Ornamen Arsitektur sebagai wujud kebudayaan merupakan simbolisasi dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pemilik kebudayaan. Upaya untuk memahami simbolisasi tersebut dapat melalui nilainilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pembangunnya. Pemahaman di atas didasarkan pada dua hal pokok. Pertama, arsitektur merupakan hasil atau wujud fisik dari kebudayaan. Pada awalnya berupa wujud ide-ide tentang keinginan memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Berikutnya ide-ide tersebut mulai direalisasikan ke dalam wujud fisik. Pada akhirnya secara sosial menjadi “kesepakatan“ bersama oleh suatu kelompok masyarakat untuk menggunakan hasil tersebut, atau menjadikannya sebuah tradisi. Kedua, kebudayaan adalah substansi dasar yang dimiliki setiap kelompok masyarakat dan menjadi pembeda antar kelompok masyarakat yang ada. Dikaitkan dengan pemahaman bahwa arsitektur merupakan wujud fisik kebudayaan, maka dapat dipahami bahwa arsitektur merupakan bentuk-bentuk simbolisasi dari tradisi atau kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Apapun yang terwujud dari hasil kebudayaan merupakan upaya menyampaikan “sesuatu” melalui simbolisasi fisik atau secara simbolis. Dalam konteks yang paling nyata, ternyata simbolisasi tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar dimana kelompok masyarakat tersebut hidup. Hal ini sangatlah beralasan karena alam adalah guru pertama yang mengajarkan kepada manusia berbagai permasalahan sekaligus jawabannya. Berbagai keunikan yang tercipta tidak akan terlepas dari proses pembelajaran alamiah, yang selanjutnya menjadi sebuah tradisi. Kedekatan dengan alam sebagai guru juga mengilhami digunakannya berbagai simbol bermotif flora dan fauna yang umum dijumpai atau yang memiliki manfaat dalam kehidupan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kegiatan musyawarah, atau yang lebih dikenal dengan istilah rapat mufakat. Secara simbolis maksud ini digambarkan dengan hiasan pucuk rabung yaitu tunas pohon bambu, yang diukir menjadi bentuk segi tiga. Selain itu juga dimaksudkan sebagai perlambang harapan akan dilandasi dengan jiwa perkasa, suci, luhur, serta mencerminkan niat yang tulus dan ikhlas. Selain itu masih banyak sekali terdapat simbol lain dan juga makna yang menyertainya. Selain digunakannya simbol flora dan fauna yang lekat dengan kehidupan masyarakat, semangat mengamalkan ajaran agama serta memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat juga turut memaknai simbolisasi yang ada pada rumah tradisional selanjutnya. Bentuk simbolisasi melalui seni kaligrafi adalah yang paling umum digunakan. Hal ini sesuai dengan definisi kebudayaan -yang dianggap paling mapan- yaitu definisi yang diajukan oleh Clifford Geertz; kebudayaan diartikan sebagai sesuatu yang menunjuk kepada adanya sistem simbol sebagai pengarah tingkah laku manusia. Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan itu sangat terkait dengan adanya simbol sebagai ungkapan petunjuk bertingkah-laku pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam aspek kebudayaan membangun.
Membahas kebudayaan dalam konteks sebagai pengarah tingkah laku manusia dalam membangun adalah mengungkap hal-hal yang mendasari manusia bertindak membangun, bentuk tindakan membangun, dan tahapan membangun yang seluruhnya terwujud dalam sebuah karya arsitektur yang harus dipahami sebagai satu kesatuan menyeluruh (nilai-nilai, tradisi, lingkungan, dan berbagai aspek lainnya). Melalui sebuah anatomi yang membedah arsitektur selaku simbol, maka akan jelas arti, makna, beserta alasan-alasan yang terkandung di dalamnya. Salah satu simbol yang paling menonjol yang tersisa dan masih dapat dilihat pada rumah bubungan tinggi adalah seni ukiran (tatah). Seni ukiran dalam arsitektur Rumah Bubungan Tinggi merupakan salah satu hiasan yang menjadi ciri khas untuk menunjukkan tingginya nilai status sosial rumah ini di antara rumah-rumah tinggal type lainnya dalam masyarakat Banjar. Terdapat beberapa sumber inspirasi bentuk, motif dan juga detail ukiran yang ada dalam arsitektur masyarakat Banjar, antara lain; sejarah (mitos dan legenda) masa lalu, lingkungan alam sekitar, dan kepercayaan/ajaran agama Islam. Dari sejarah masa lalu masyarakat Banjar, kisah dan riwayat Putri Junjung Buih bersama Pangeran Surianata yang memimpin negara Dipa pada zaman Hindu sangat mempengaruhi pola ragam hias yang ada. Begitu pula, riwayat Patih Lambung Mangkurat bersama kedua keponakannya, Bambang Padmaraga dan Bambang Sukmaraga. Dalam cerita tersebut terselip cerita yang melahirkan motif api, air, bunga teratai, matahari, melati, mawar, kacapiring, kenanga, nagasari, dll. Juga terilhami oleh lingkungan alam yang sangat kaya dengan ragam flora dan fauna, menjadikan Rumah Bubungan Tinggi terasa sangat membumi dengan lingkungan di mana rumah ini dibangun. Motif-motif yang dikembangkan sebagian besar merupakan metafora dan transformasi beragamnya jenis flora yang ada. Flora yang banyak tumbuh di lingkungan alam setempat, yang memiliki makna simbolik kemuliaan hidup, serta yang memiliki fungsi kegunaan tertentu dalam setiap kehidupan Masyarakat Banjar, merupakan flora yang sering dijumpai simbolisasinya dalam hiasan atau seni ukiran ini. Seiring dengan masuknya ajaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Banjar, penghayatan terhadap ajaran agama yang menuntun pada kemuliaan hidup di dunia dan akhirat turut mengilhami ragam hias dan bentuk-bentuk seni ukiran dalam Rumah Bubungan Tinggi selanjutnya. Seni kaligrafi dikembangkan sebagai salah satu motif dalam ukiran. Kalimat-kalimat mulia; Asma Allah, Rasulullah Muhammad SAW serta sahabat beliau kerap dijumpai dalam bentuk ukiran. Juga kalimat Syahadat yang menunjukkan pengakuan diri terhadap Allah, SWT. dan Rasulullah SAW selaku utusan-NYA; serta kalimat Basmalah, yang menjadi bacaan dalam setiap langkah gerak kehidupan masyarakat Banjar. Pemahaman-pemahaman mendalam di atas, merupakan bagian kebudayaan yang sangat jelas dimaksudkan dalam simbolisasinya. Dalam masyarakat Banjar, pendidikan agama merupakan salah satu kewajiban (fardu ain) yang harus dilaksanakan. Dan melalui kaligrafi ini merupakan salah satu uapaya pendidikan dalam keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dalam setiap keluarga, biasanya sejak anak-anak telah
diwajibkan untuk belajar ilmu agama. Anak-anak disekolahkan di madrasah atau belajar membaca tulis AlQuran di surau-surau atau mendatangkan guru ke rumah. Dalam Rumah Bubungan Tinggi sendiri, simbolisasi beragam nilai-nilai mulia dalam kehidupan menjadi sangat diperhatikan. Ini dapat terlihat dari perletakan berbagai simbol tersebut. Umumnya ornamen atau ragam hias, sebagai media penyampaian diletakan pada bagian yang mudah terlihat. Pada bagian eksterior bangunan, hiasan diletakkan di beberapa sudut atap. Bentuk atap yang menjulang tinggi menjadikan ornamen mudah terlihat. Sementara di bagia interior, hiasan diletakkan pada area ruang publik, atau area yang digunakan untuk menerima tamu. Salah satunya adalah pada area ruang pelataran dan ruang tamu. Pada ruang pelataran, ornamen terlihat jelas di bagian pelataran dalam (lapangan pamedangan). Berbagai ragam hias terdapat di pelataran dalam ini, antara lain; pintu, pagar keliling, dinding samping, balok kasau, tiang, dan pada sambungan-sambungan kayu. Sedangkan pada ruang tamu, hiasan terlihat mulai dari tiang, balok, sambungan kayu, daun jendela, dinding sandaran (tataban), dan khususnya pada bagian dinding pembatas dalam (tawing halat).
Gambar Ornamen pada Dinding Pemisah Dalam (tawing halat).
Metode atau teknik ukir yang umum dibuat dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu ukiran berbentuk relief (tatah surut), ukiran berbentuk tiga dimensional (tatah babuku), dan ukiran tembus pada lembaran kayu (tatah baluang/ bakurawang). Walaupun terdapat beberapa metode atau teknik pembuatan ukiran, namun motif yang digunakan dapat sama atau tidak ada perbedaan khusus. Bahkan motif yang ada pada rumah ini, digunakan juga untuk motif pada beragam barang-barang keperluan sehari-hari; seperti kain tradisional (sasirangan), kain tirai penutup (dinding air guci), kain pakaian atau sarung wanita (tapih), nisan untuk kubur, berbagai macam peralatan (tutujah, ranggaman, aniani, dll), tempat kapur sirih (penginangan), gayung mandi, dan lain-lain.
Salah satu ukiran yang sangat khas adalah ukiran di bagian atap, yaitu jamang. Ukiran jamang ini terletak di bagian atap palataran dan atap sindang langit. Sedangkan pada puncak bubungan terdapat ukiran layang-layang. Motif yang paling umum digunakan pada ukiran jamang adalah sulur-suluran atau tanaman merambat.
Gambar Ornamen pada Bagian Atap Bangunan
Gambar Ornamen jamang pada Puncak Atap.
Ornamen atau ragam hias lain yang ada pada Rumah Bubungan Tinggi adalah pada bagian yang disebut dinding sandaran (dinding tataban). Dinding tataban ini dipasang di sekeliling ruang tamu (panampik kacil, panampik tangah, dan penampik basar). Dinding ini berfungsi sebagai tempat untuk bersandar. Sehingga dipasang sampai dengan ketinggian sekitar 30 - 50 cm. Menurut cerita di masyarakat, pada bagian ini juga biasa dipakai untuk menyembunyikan atau menyimpan harta benda. Dinding tataban dihias dengan ornamen kayu berprofil, dan ukiran tali beranyam (tali bapintal) di sepanjang dinding. Warna yang sering digunakan umumnya warna putih, sedangkan ukiran motif tali selalu menggunakan warna kuning.
Gambar Dinding tataban pada Ruang Tamu (panampik)
Khusus berkaitan dengan motif, terdapat setidaknya empat motif yang paling umum digunakan,yaitu (1) motif flora, (2) motif fauna, dan (3) motif kaligrafi atau tulisan dalam bahasa Arab dan (4) motif yang terkait legenda masa lalu. Motif flora sangat banyak terdapat dalam arsitektur tradisional masyarakat Banjar. Sebagaimana telah diterangkan pada bagian sebelumnya, penggunaan motif flora dipengaruhi faktor
lingkungan alam setempat. Adanya penilaian masyarakat setempat akan makna/nilai-nilai yang ingin disampaikan disesuaikan dengan penilaian akan karakter flora yang ada. Dalam penyampaiannya, motif flora dapat diungkapkan dengan berbagai cara, antara lain metafora, transformasi, dan juga wujud sesungguhnya. Motif flora yang umum digunakan ada 3 jenis, yaitu buah-buahan, bunga-bungaan, dan jenis tanaman khusus lainnya. Untuk jenis buah-buahan yang dijadikan motif adalah buah-buahan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Sedangkan motif bunga-bungaan, umumnya bunga yang tumbuh di lingkungan sekitar, memiliki keindahan, manfaat, dan juga digunakan dalam berbagai upacara adat. Sedangkan jenis tanaman khusus lainnya adalah berbagai tanaman yang tumbuh di lingkungan setempat, dapat diolah menjadi bahan makanan dan memiliki khasiat pengobatan. Beberapa buah-buahan yang umum dijadikan motif ornamen dalam arsitektur tradisional Banjar, antara lain; 1. Buah belimbing. Motif buah belimbing digunakan karena sifat pohon belimbing yang memberikan keteduhan pada rumah tinggal. Pohon belimbing diyakini sangat baik ditanam di halaman rumah karena dapat memberikan kesejukan. Juga buah belimbing mempunyai khasiat untuk mencegah berbagai penyakit. Motif belimbing biasanya ditemukan pada tiang gapura mimbar mesjid. 2. Buah Manggis (Garcinia mangostana L). Buah manggis adalah buah yang sangat digemari oleh masyarakat Banjar. Motif buah manggis digunakan karena mempunyai makna ganda yaitu keterusterangan dan bekerja keras. Keterusterangan didasarkan pada penafsiran bahwa kelopak pada pangkal/tangkai buah selalu menunjukkan jumlah yang sama dengan jumlah isi buah. Sedangkan kerja keras didasarkan pada analogi bahwa usaha untuk menikmati isi buah memerlukan usaha keras untuk membuka buah manggis. Terlebih kulit manggis memiliki rasa yang sangat pahit. Ornamen motif buah manggis biasanya diaplikasikan pd sungkul tangga . 3. Buah Mengkudu/Pacekap (Morinda citrifolia, Linn). Buah mengkudu sudah terkenal dengan manfaatnya sebagai obat untuk berbagai penyakit. Karena khasiatnya ini, motif mengkudu mempunyai makna untuk menolak bala. Sesuai dengan makna tersebut, motif mengkudu ditemukan pada ukiran di bagian ventilasi pintu. 4. Buah Nenas (Ananas comosus). Motif buah nenas mempunyai makna ganda yaitu dikatujui dan membersihkan karat dalam hati, ditempatkan sebagai sungkul pada kiri kanan pohon tangga hadapan rumah adat Banjar Bubungan Tinggi.
Sedangkan untuk jenis bunga-bungaan, terdapat beberapa jenis bunga yang umum digunakan, yaitu: 1. Bunga Cempaka Putih (Michelia Alba DC). Bunga ini diyakini sebagai lambang kehormatan. Selain karena bentuknya yang indah, warnanya putih bersih, juga karena bunga ini berbau harum. Diaplikasikan dalam ukiran relief, kombinasi dengan dedaunan pada ornamen tawing halat, tawing watun dan dinding tataban. 2. Bunga Kacapiring. Motif bunga kacapiring melambangkan satria suci,
kejujuran dan kesucian. Diaplikasikan pada
dinding pelataran (tawing palatar) dan dinding sandaran (dinding tataban). 3. Bunga Kenanga. Bunga kenanga dikenal sangat harum. Motif bunga kenanga bermakna lambang cinta. Karena baunya yang sangat harum dan warnanya kuning (lambang kemuliaan) maka bunga kenanga sangat disukai. 4. Bunga Pakis. Bunga Pakis mengandung makna kekuatan. Tanaman ini mampu tumbuh di tempat-tempat yang sulit. Diaplikasikan pada pangkal tiang tangga atau pada pagar pelataran. 5. Bunga Mawar (Rosa Sp) .Bunga mawar terkenal karena warnanya yang indah dan harum baunya. Bunga mawar selalu digunakan dalam setiap upacara adat karena harumnya. Motif bunga mawar diyakini sebagai perlambang rasa cinta. 6. Bunga Melati (Jasminum sambac, Ait). Bunga melati serupa dengan bunga mawar. Selain karena harum baunya bunganya juga indah. Untuk itu sering digunakan dalam upacara adat, dengan cara dirangkai ataupun ditaburkan. Juga karena sifatnya yang serupa dengan mawar dan warnanya yang saling melengkapi maka mawar dan melati sering disatukan dalam satu ukiran, a.l; bogam. 7. Bunga Teratai (Nelumbium nelumbo Druce). Tanaman teratai sebenarnya merupakan tanaman air. Tumbuhnya di rawa dan kadang tidak pernah diperhatikan, namun pada saat berbunga sangat indah. Bunga teratai yang masih muda juga dapat di konsumsi.
8. Bunga Tapak Kuda (Jalukap). Motif ini mempunyai makna bermanfaat, karena daun jalukap dapat dijadikan obat. Diapliasikan sebagai hiasan pada bagian atas kusen pintu.
Selain buah-buahan dan bunga-bungaan, terdapat juga beberapa tanaman khusus yang digunakan sebagai motif antara lain; 1.
Tanaman
Kangkung
(Ipomoea
Aquatiqa).
Tanaman
kangkung sangat mudah tumbuh, karena media tumbuhnya adalah lingkungan berair. Karena sifat tanaman ini maka di lingkungan rawa mudah sekali menemukan tanaman kangkung. Tanaman ini juga dapat dikonsumsi atau dijadikan bahan makanan untuk ternak. Kangkug juga sangat berkhasiat. Motif kangkung mengandung makna tahan ujian dan godaan. 2.
Tanaman Jamur (Kulat). Tanaman jamur adalah tanaman yang sangat mudah tumbuh di lingkungan tropis. Namun demikian tidak semua tanaman jamur dapat dikonsumsi. Motif jamur memiliki lambang tahan terhadap penderitaan, kesabaran, dan kesadaran.
3.
Bunga Cengkeh (Syzygium aromaticum, [Linn Merr.]). Motif bunga cengkeh memiliki makna manfaat. Bunga cengkeh sangat disukai sebagai bahan pelezat masakan. Berbagai masakan khas Banjar menggunakan bunga cengkeh sebagai bumbu masakan. Daun cengkeh juga memiliki khasiat untuk mengobati berbagai penyakit di daerah setempat.
4.
Tanaman Paku Alai. Memiliki lambang bermanfaat karena tumbuhan ini dapat dijadikan sayur bahan makanan, diaplikasikan sebagai ukiran layang-layang pada puncak atap bubungan.
5.
Tunas bambu/Pucuk Rabung. Tunas bambu biasanya diolah sebagai bahan pelengkap untuk sayuran khas di masyarakat Banjar. Motif pucuk rabung mempunyai makna kerukunan sekaligus sebagai penolak bala.
6.
Tanaman Jaruju (Acanthus Ilicifolius L). Tanaman Jaruju merupakan tumbuhan semak berduri yang suka hidup ditanah rendah dan rawa-rawa. Karena duri yang ada pada
tanaman
ini,
maka
memiliki
dimanfaatkan
untuk
melindungi dari binatang-bintang tertentu. melambangkan menolak bala. Diaplikasikan sebagai hiasan pada bagian pintu atau list atap. 7.
Tanaman Sirih (Piper betle, Linn.). Tanaman ini sangat terkenal sebagai bahan untuk obat-obatan. Juga untuk keperluan upacara adat.
Dari berbagai jenis flora yang digunakan, sesungguh nya faktor kemanfaatannyalah yang sangat menentukan. Faktor manfaat inipun tidak terlepas dari berbagai tuntutan atau permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat, yang selanjutnya memerlukan penyelesaiannya. Dalam uapaya menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi, masyarakat lokal sangat arif dan bijaksana, yaitu memanfaatkan berbagai potensi yang ada di lingkungan alam sekitar mereka yang sudah terbukti mampu bertahan karena sifatnya yang sangat adaptif. Beragam jenis flora diwujudkan/disimbolisasikan dalam beragam bentuk sesuai karakternya, antara lain; 1. Sulur-suluran, yaitu transformasi dalam bentuk tanaman bertunas memanjang. Berbagai jenis flora dapat diwujudkan dalam bentukan ini. Dengan wujud sulur-suluran ini maka fleksibilitas bentuk dapat diciptakan untuk memenuhi tuntutan estetika. 2. Kambang Barapun, yaitu ini bentukan utuh dari tanaman berbunga. 3. Kambang dalam Jambangan, yaitu motif tanaman bunga dalam tempatnya (jambangan). 4. Kambang Malayap, wujud ini termasuk kedalam wujud sulur-suluran, namun lebih menunjuk pada jenis flora tertentu yaitu tanaman berbunga yang merayap/merambat. Selain motif flora, motif kedua adalah motif fauna (hewan). Biasanya motif fauna digunakan secara terbatas, yaitu ditampilkan secara tidak penuh atau hanya bagian tertentu dari hewan. Penyajian secara utuh sangat dihindari. Hal ini dikhawatirkan akan menyerupai bentuk berhala yang sangat dilarang dalam ajaran Agama Islam. Kalaupun ada bentuk fauna, umumnya hanya merupakan bagian tertentu saja, dan sudah dimetamorfosa (distilir) sedemikian rupa hingga hanya dipahami sebagai perlambang simbolik saja. Keberadaan seni ukir dengan segala ragam motif, warna dan makna yang dikandungnya sangat tergantung dari kemampuan pemiliki rumah. Umumnya pemilik rumah dari golongan bangsawan/pedagang kaya akan sangat menginginkan ukiran yang penuh. Dengan kata lain kehadiran seni ukir adalah suatu harapan dalam hidup untuk mencapai kemuliaan yang diungkapkan dari wujud simbolisasi ukiran yang ada. Beberapa motif fauna yang sering digunakan dalam arsitektur rumah tradisional Banjar, antara lain; motif ayam jantan (babulungan hayam jagau), Cacak Burung, Gigi ikan gabus (gigi
haruan), binatang lipan (halilipan), kumbang (Kumbang Bagantung), Unggas (I-itikan), Sarang Tawon (Wanyi), Burung Enggang, dan Naga.
Gambar Burung Enggang.
Selain motif flora dan fauna, motif ketiga yang ada dalam Rumah Bubungan Tinggi adalah motif kaligrafi. Motif kaligrafi mulai digunakan seiring semakin kuatnya semangat pengamalan ajaran agama Islam. Ornamen kaligrafi yang terdapat dalam Rumah Bubungan Tinggi umumnya memiliki karakter; 1.
Dibuat dengan teknik ukiran relief. Teknik ini dikerjakan dengan mengukir permukaan papan dan membentuk kaligrafi yang diinginkan.
2.
Dilengkapi/ditambah dengan hiasan motif flora untuk memperindah kaligrafi. Perpaduan antara kaligrafi dan ornamen flora menjadikan kaligrafi semakin indah. Terdapat ungkapan yang ingin disampaikan antara perpaduan kaligrafi dan unsur flora, yaitu keindahan dari alam sebagai ciptaan Tuhan.
3.
Kaligrafi dihias pula dengan menggunakan warna kuning emas. Hal ini juga sebagai ungkapan bahwa warna kuning keemasan yang berkilauan dimaksudkan memperkuat kesan kemuliaan kalimat tersebut.
4.
Ukiran kaligrafi juga diperindah dengan memberi bingkai. Ukiran list berprofil dan ukiran tali disekeliling kaligrafi menjadikan kalografi sebagai titik pandang utama (point of interest).
5.
Kaligrafi bertuliskan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki makna kuat dalam menuntun kehidupan, yaitu kalimat Syahadat. Juga ungkapan pengagungan Asma Allah dan Rasulullah. Selain itu ada juga tulisan dalam bahasa Arab nama-nama sahabat, dll.
6.
Yang juga terlihat indah adalah diterapkannya model keseimbangan (simetris) dari tulisan kaligrafi dan ornamen flora. Tulisan kaligrafi dibuat bolak-balik (dicerminkan), atau dikreasikan sehingga nampak seperti tercermin bolak balik. Hal yang ingin disampaikan adalah adanya
pemahaman yang utuh, walalupun dipandang dari sudut yang berbeda. Sedangkan ornamen flora dan hiasan lain dibuat simetris untuk memperkuat kaligrafi dan menunjukan keindahan.
Gambar Ukiran dengan Motif kaligrafi.