68
Ahmad Ali MD
Penelitian
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Ahmad Ali MD
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang E-mail:
[email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Abstract
Abstrak
Understanding Shia doctrine cannot be separated from its point of view. Its mainstream view is certainly not always right. Non-mainstream view is more relevant and more proper in portraying Shia and its doctrine. The sixth Muslim pillars and Islamic jurisprudence are different from mainstream doctrines (Sunni doctrines) but they are not considered as deviance because they have their own various perspectives. It can be seen from mut’ah marriage that is not absolute; there is a relevant perspective revealed by Ja‘far al-Subhânî. He states that mut’ah marriage is allowed by some determined requirements and unlike common view discrediting its perspective. Therefore to understand Shia doctrine at least is needed five non-authoritative interpretations such as honesty, perseverance, comprehensiveness, rationality, and selfcontrol. Those understandings contribute to tolerance towards Shia.
Memahami doktrin Syiah tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang terhadapnya. Sudut pandang mainstrem tidak selalu tepat. Justru sudut pandang non mainstrem relevan dan tepat dalam memotret Syiah dan doktrin ajarannya. Doktrin rukun iman, dan doktrin fikih yang berbeda dengan doktrin mainstrem (mazhab Sunni) tidak boleh serta merta dijustifikasi sebagai sesat, keluar dari Islam sebab di dalam Syiah sendiri terdapat pula pandangan yang beragam. Sebagai bukti, doktrin kehalalan nikah mut’ah bukanlah bersifat mutlak; ada pandangan, seperti dikemukakan oleh Ja‘far al-Subhânî, yang lebih relevan dan sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam pandangan tersebut, nikah mut’ah dibolehkan dengan persyaratan yang ketat, dan tidak seperti gambaran umum yang mendiskreditkannya. Oleh karena itu, dalam memahami doktrin Syiah diperlukan lima hal interpretasi non-otoritarian, yaitu kejujuran, kesungguhan, komprehensif, kerasionalan, dan pengendalian diri/ kehati-hatian. Pemahaman demikian akan mendorong tumbuhnya toleransi terhadap Syiah.
Keywords: Shia, doctrine, Ja‘far al-Subhânî, authoritative interpretation, tolerance.
Pendahuluan Tanpa pemahaman yang baik terhadap Syiah, maka seseorang atau kelompok justru akan melahirkan antipati bahkan pengkafiran dan tindakan anarkis terhadapnya. Padahal takfîr tidak serta merta dapat dilekatkan pada seseorang atau aliran tertentu. Terdapat HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Syiah, doktrin, Ja‘far al-Subhânî, interpretasi otoritatif, toleransi. persyaratan yang ketat mengenai takfîr ini, misalnya dikemukakan oleh Ibn al-Subkî, sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn al-Mûsawî: ”...maka hukum pengkafiran hanyalah boleh ditujukan kepada orang yang mengingkari dua kalimat syahadat dan keluar dari agama Islam secara keseluruhan....” (al-Mûsawî,
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
69
1967: 28-29). Hal ini karena Islam sangat mengedepankan ajaran toleransi dalam pelaksanaan ajaran agama. Disebutkan dalam Firman Allah Swt: ”Bagi kami amal-amal (ajaran agama) kami, dan bagi kamu amal-amal (ajaran agama) kamu” (QS. al-Syu‘arâ [42]: 15, al-Qashash [28]: 55).
dengan argumen pemurnian teologis, sementara Muhsin menerima keberadaan Syiah tanpa harus menerima interpretasi ajaran agama Islam dari Muslim Syiah. Argumentasinya adalah untuk menjaga nilai-nilai universal, seperti pluralisme, toleransi, dan hak-hak kewarganegaraan (Farida, 2014: 159-174).
Secara umum, sudut pandang dalam memahami Syiah dan ajarannya dapat penulis kelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, sudut pandang antipati, yang secara apriori menolak Syiah, dan memandangnya sebagai aliran sesat bahkan di luar Islam. Sudut pandang ini direpresentasikan oleh Persatuan Islam (Persis), Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam Indonesia (FUII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua, sudut pandang yang menerima Syiah. Sudut pandang ini menyatakan bahwa Syiah tidak keluar dari agama Islam, dan perbedaan ajarannya dengan aliran yang lain adalah masuk dalam ranah khilafiyah. Sudut pandang ini direpresentasikan oleh kalangan internal Syiah sendiri, dan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah (Muhsin). Ketiga, sudut pandang moderat-kritis, yang tidak serta merta menerima ataupun menolak Syiah, tetapi penerimaan atau penolakan terhadapnya selalu didasarkan pandangan moderat dan kritis dalam bingkai toleransi beragama. Pandangan ini direpresentasikan kalangan intelektual dan akademisi. Dalam kerangka tiga sudut pandang di atas, posisi penulis termasuk dalam sudut pandang yang ketiga.
Untuk itu, diperlukan uraian yang komprehensif mengenai asal usul dan varian Syiah, serta doktrin atau ajaran pokoknya, di antaranya doktrin imâmah, ‘ishmah, haram mengucapkan amin dalam shalat, dan doktrin halal nikah mut’ah. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana memahami doktrin Syiah dalam bingkai toleransi? Oleh karena itu penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi kitab-kitab Syiah, dan pandangan Ja‘far al-Subhânî, tokoh Syiah terkemuka, yang menjadi marja‘ al-taqlîd, serta menganalisisnya dengan pendekatan filsafat. Dalam analisis ini dipergunakan lima parameter interpretasi otorotatif versi Khaled Abou El-Fadl. Pendekatan filsafat tersebut relevan digunakan, karena dapat menghasilkan kajian yang kritis dan mendalam. Dengan cara ini, akan diperoleh wawasan mengenai pemahaman konsep Syiah yang proporsional, sehingga mendorong tumbuhnya sikap toleransi yang tinggi.
Dalam konteks ini Anik Farida telah melakukan penelitian mengenai respon organisasi kemasyarakatan Islam terhadap Syiah di Bandung, Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon terhadap eksistensi Syiah di Bandung, Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi dua, yang direpresentasikan oleh dua ormas, yaitu FUUI dan Muhsin. FUUI menolak Syiah
Asal-Usul dan Varian Syiah Memahami asal-usul dan varian Syiah ini penting untuk menghindarkan generalisasi Syiah, yang mengakibatkan kesalahpahaman dalam memahami Syiah dan ajarannya. Asal kata Syiah, yang bentuk nisbatnya adalah Syî‘î, adalah alfirqah min al-nâs (suatu aliran manusia) baik untuk seorang, dua orang maupun jamak, baik laki-laki maupun perempuan dengan lafad satu dan makna satu. Syiah adalah istilah umum yang pengertiannya mencakup semua pendukung ‘Alî ibn Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
70
Ahmad Ali MD
Abî Thâlib r.a. dan semua ahli baitnya (ahli baitihi ajma‘în), sehingga menjadi nama khusus. Para pendukung ‘Alî itu sederhananya berarti ”partai” ‘Alî. AlAzharî, sebagaimana dikutip oleh Muhsin al-Amîn, mengatakan bahwa: ”Makna Syiah adalah kaum yang condong kepada ‘itrah nabi dan mencintai mereka” (alAmîn, 1998: I, 19). Pada awal kelahirannya, sikap Syiah merupakan sikap politik yang mendukung ‘Alî r.a. sebagai pemimpin (imam/ khalifah). Dukungan ini didasarkan pada keberpihakan Syiah kepada ‘Alî. Keanggotaan kelompok ini dipersempit pada orang-orang yang mendukung ‘Alî dan keturunannya. Sikap ini merupakan respon terhadap pembentukan prinsip turunan oleh Muawiyah. Sungguhpun demikian, prinsip keturunan pun tidak menyelesaikan masalah, karena Syiah telah melakukan tindakan yang melebihi terhadap penentangnya (El-Affendi, 2001: 32, Tholib, 2007: 178-179). Dalam perkembangannya selama bertahun-tahun, Syiah berkembang dari hanya sebagai partai politik menjadi sekte, dan beberapa kelompok kecil atau banyak varian, yang terlibat dalam konflik dan permusuhan dengan Sunni dengan tingkatan yang berbeda-beda, yang berbeda dari arus utama dalam beberapa wilayah hukum. Meskipun demikian, kesuksesan yang dicapai oleh negara yang diilhami oleh Syiah, tidak membawa perbedaan yang signifikan dari praktik umum negara-kekuasaan yang dibangun oleh Muawiyah yang bersandar pada paksaan, pajak ilegal dan dispensasi korup dari dana publik. Hal ini terjadi pada abad IV Hijriah, ketika seluruh dunia Islam berada di bawah pemerintahan Syiah. Negara-negara ini tidak berbeda dengan saingannya, negara Sunni. Bahkan beberapa di antaranya lebih tidak adil dan jauh menyimpang dari cita-cita Islam, daripada beberapa negara tetangganya yang dekaden atau HARMONI
Mei - Agustus 2015
negara-negara sebelumnya (El-Affendi, 2001: 32-33). Adapun varian Syiah dapat dilihat dari klasifikasi yang dikemukakan oleh al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Asy‘arî (w. 330 H.), yang mendapat julukan Syaikh Ahl al-Sunnah wa-alJamâ‘ah. Dalam kitabnya Maqâlât alIslâmiyyîn, al-Asy‘ârî membagi Syiah kepada tiga varian besar. Pertama, alGhâliyyah (extrimist sects), yaitu mereka yang mengkultuskan ‘Alî r.a. secara ekstrim; mempertuhankan dirinya atau menganggapnya sebagai nabi, terdiri atas 15 (lima belas) firqah. Kedua, al-Râfidhah, yaitu mereka yang mengklaim adanya teks dalil mengenai ‘Alî r.a. sebagai orang yang paling berhak sebagai khalifah pasca wafatnya Nabi; di samping juga mereka berlepas diri dari para khalifah sebelum ‘Alî dan para sahabat pada umumnya; mereka selain al-Kâmiliyyah berjumlah 24 (dua puluh empat) varian. Mereka dikenal juga sebagai al-Imâmiyyah. Ketiga, al-Zaidiyyah, yaitu para pengikut Zaid ibn ‘Alî ibn al-Husain; mereka lebih mengutamakan ‘Alî r.a. dibandingkan seluruh sahabat yang lain, meskipun tetap mengakui kekhalifahan Abû Bakar dan ‘Umar r.a. Keterangan lebih rinci mengenai varian Syiah ini dapat dilihat dalam al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Asy‘arî dalam kitabnya Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf al-Mushallîn, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd (1950: 65-155), dan Abû ‘Îsâ Muhammad Ibn Husain al-Mishrî, dalam kitabnya alMausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib waal-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah (2011: I, 153-174). Terkait dengan varian-varian Syiah, ada klasifikasi menarik yang dibuat oleh ‘Alî Syarî‘ati (1933-1977) mengenai Syiah, yaitu ”Syiah Hitam” dan “Syiah Merah”. Istilah Syiah Hitam dialamatkan kepada jenis Syiah penguasa, yang berbeda dengan Syiah ‘Alî dan Imam al-Husain.
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
Sedangkan Syiah Merah digunakan untuk menyebut Syiah ‘Alî, yakni Syiah kesyahidan (Shi‘ism of martyrdom) --Islam yang berselimutkan jubah merah kesyahidan. Dalam pandangan Syari‘ati, sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra (1996: 77-78), Syiah yang benar ialah Syiah protes dan revolusioner. Syiah revolusioner ini merupakan Syiah awal, yang dipersonifikasikan Abû Dzâr (al-Ghifarî) dengan kepapaannya, dan Imam al-Husain dengan kesyahidannya. Keduanya dipandang sebagai simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syiah revolusioner ini dalam perjalanannya kemudian mengalami ”penjinakan” atau pelunakan di tangan kelas atas, penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas ”Islam” versi penguasa. Keseluruhan varian Syiah di atas merujuk pada empat kitab hadis utama, yang dikenal sebagai al-Kutub alArba‘ah. Keempat kitab hadis ini adalah al-Kâfî karya Hujjat al-Islâm Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulainî (w. 328/329 H.), Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh karya Abû Ja‘far Muhammad ibn ‘Alî ibn Mûsâ ibn Bâbawaih al-Qarnî al-Qummî, yang dikenal sebagai Syaikh al-Shadûq (320-381 H.), dan Tahdzîb al-Ahkâm dan alIstibshâr fî Mâ Ikhtalafa min al-Akhbâr, karya al-Syaikh Abû Ja‘far Muhammad ibn Hasan al-Thûsî (385-460 H.). Inilah Empat Kitab yang dijadikan pegangan (sumber) utama hadis, dan sumber hukum dalam mazhab Syiah. Sungguhpun demikian, terdapat perbedaan di antara mereka dalam menilai status dan kualitas hadis dalam empat kitab tersebut. Pemahaman yang tidak utuh mengenai hal ini mengakibatkan kesalahpahaman pula dalam memahami ajaran atau doktrin Syiah, seperti doktrin nikah mut’ah. Sebagaimana diketahui bahwa status hadis yang mutawâtir dalam kitab-kitab hadis Syiah, termasuk Sunni, sangatlah sedikit, berbeda dengan hadis âhâd yang sangat banyak jumlahnya. Dalam hal
71
inilah muncul banyak pendapat. Secara garis besar, perbedaan pendapat dalam Syiah tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang menerima hadis âhâd sebagai hujjah hukum. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa hadis âhâd bukan merupakan hujjah hukum, karena bukan dalil yang sifatnya pasti (definitif). Dari perbedaan pandangan tersebut muncul banyak varian pendapat: 1) Kelompok yang secara mutlak menolak kehujahan hadis âhâd; 2) Kelompok yang menerima kehujahan hadis âhâd, khususnya yang terdapat dapat al-Kutub al-Arba‘ah, karena dipastikan kebenarannya; 3) Kelompok yang menerima kehujahan hadis âhâd pun terbelah menjadi banyak varian: (a) Kelompok yang menerima kehujahan semua hadis âhâd yang terdapat dalam al-Kutub al-Arba‘ah semata, dengan mengecualikan hadis yang menyalahi hadis yang masyhur; (b) Kelompok yang menyatakan kehujahan sebagian hadis âhâd dalam al-Kutub alArba‘ah, dengan tolok ukur pengamalan sahabat (‘amal al-ashhâb); (c) Kelompok lainnya mendasarkan tolok ukurnya pada keadilan rawi atau kemutlakan kredibilitasnya ataupun persangkaan kuat semata tanpa mempertimbangkan sifat rawi dan seterusnya (Ali MD, 2012: 228-242). Dalam kaitannya dengan hadishadis di luar Syiah yang tersebut dalam al-Kutub al-Sittah/al-Kutub al-Sab‘ah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmidzî, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, dan Musnad Ahmad bin Hanbal), hadis-hadis ini tidaklah dijadikan hujah oleh Syiah. Riwayat-riwayat sahih dalam kitab-kitab hadis Sunni ini ditolak oleh Syiah karena dinilai da’if, disebabkan para perawi dalam sanadnya (yang merupakan para sahabat senior dan para imam yang amanah) tidak percaya terhadap akidah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah (al-Sâlus, 2011: 142). Oleh karena itu, dalam Syiah, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
72
Ahmad Ali MD
ada tiga unsur tarjîh (riwayat hadis yang diunggulkan), yaitu kemasyhuran, kesesuaian dengan al-Kitab dan alSunnah, dan perbedaan dari pendapat umum/Sunni (al-Muzhaffar, 1421: III, 217). Sebagai bukti, Syiah Ja’fariyah mengutamakan riwayat masyhur atas yang tidak masyhur bahkan atas hadishadis yang sesuai dengan al-Kitab dan alSunnah. Dalam hal ini, al-Muzhaffar (1421: III, 227) mengatakan: ”Hasilnya, tidak ada satu kaidah pun yang meniscayakan untuk mendahulukan salah satu di antara hadis-hadis yang ditarjih, selain karena kemasyhuran sebagai syarat diterimanya dan didahulukan”.
Beberapa Doktrin Kontroversial
Syiah
yang
Penggunaan terma kontroversial ini didasarkan pada keterkaitannya dengan doktrin umum atau mainstream, sebagaimana yang terdapat dalam Sunni. Di samping itu, dalam beberapa rincian doktrin tersebut, terdapat pula perbedaan di dalam Syiah itu sendiri. Beberapa doktrin Syiah yang penulis pandang kontroversial, di antaranya doktrin dalam bidang rukun iman dan hukum/fikih. Di antara doktrin Syiah yang penting dikemukakan di sini adalah doktrin imâmah, ta’mîn (membaca amîn dalam salat), dan nikah mut’ah. Ketiga doktrin ini dipilih karena dapat merepresentasikan tiga dimensi, yaitu dimensi teologis/politis, ibadah dan dimensi muamalah, dalam hal ini aspek nikah. Di luar ketiga doktrin tersebut, masih banyak doktrin lain yang kontroversial, seperti doktrin taqiyyah (mengemukakan atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sejatinya/yang disembunyikan). Dalam bidang rukun iman (ushûl al-‘aqâ’id), doktrin Syiah Imâmiyyah ada 5 (lima), yaitu al-tauhîd, al-nubuwwah, alimâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd (al-Ghathâ’, HARMONI
Mei - Agustus 2015
. Doktrin rukun iman ini berbeda dengan versi Sunni. Berkaitan dengan imâmah, misalnya yang menjadi titik perbedaan antara Syiah dan Sunni berkisar pada tiga poin penting, yaitu: 1) Keharusan pengangkatan imam dari sisi Allah SWT, yakni nabi tidak boleh melupakannya dan menyerahkan kepada umat, tetapi wajib menentukan imam; 2) Keharusan seorang imam memiliki‘ishmah (maksum), yakni keterpeliharan diri dari maksiat, salah dan lupa); dan 3) Keharusan seorang imam memiliki ilmu laduni dari Allah Swt, yakni mengetahui segala ilmu atau ilmu syariat saja yang dibutuhkan umat. Bagi Sunni, pengangkatan imam tidak menjadi keharusan bagi Allah Swt. Mengenai imam tidaklah maksum, karena yang maksum hanyalah nabi. Demikian juga imam tidak harus memiliki ilmu laduni dari Allah Swt (Ibn Husain al-Mishrî, 2011: I, 203-231, dan al-‘Âmilî, 2007: 282). 1993: 64-79)
Dalam bidang hukum/fikih, terdapat ajaran atau doktrin Syiah yang populer dan berbeda tajam dengan doktrin Sunni, di antaranya doktrin membaca amin dalam sholat dan doktrin nikah mut’ah. Syiah mengharamkan mengucapkan ta’mîn (membaca amîn/ âmîn) dalam sholat. Membaca amin dalam sholat mengakibatkan sholat menjadi batal, karena dipandang sebagai perbuatan orang di luar sholat. Sangat maklum bahwa dalam Mazhab Sunni disunnahkan setelah selesai membaca alFâtihah dalam shalat untuk membaca ta’mîn, yakni membaca âmîn/amîn, artinya Allâhumma istajib, Ya Allah kabulkanlah permohonanku. Hukum sunnah ini disepakati mazhab empat, yakni Hanafiyyah, Mâlikiyyah, Syâfiiyyah dan Hanâbilah (al-Mughniyyah, 2008: 94). Dalilnya: HR Imam Ahmad, Abû Dâwud, al-Tirmîdzî dari Wâ’il bin Hajar ia berkata: Aku mendengar Nabi s.a.w. membaca maka beliau membaca âmîn, dengan memanjangkan suaranya. Dari Abî Hurairah ia berkata:
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
adalah Rasulullah s.a.w. ketika membaca beliau membaca âmîn sehingga dapat didengar oleh orang yang berada di shaf awal di dekatnya (HR. Abû Dâwud dan Ibn Mâjah). Membaca amîn ketika selesai membaca surat al-Fâtihah bagi orang di luar sholat hukumnya sunnah, dan bagi orang yang sedang sholat, baik sholat sendirian (munfarid) atau berjamaah: menjadi imam ataupun makmum, dan dalam semua keadaan (sholat jahar ataupun sholat siri, sholat wajib ataupun sholat sunnah; sholat yang dilakukan dengan berdiri ataupun duduk ataupun berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau duduk) hukumnya sunnah muakkad (sangat disunnahkan). Dasarnya hadis riwayat al-Bukharî dan Muslim dari Abû Hurairah r.a., di antaranya versi berikut:
”Jika imam membaca amîn maka kalian bacalah amîn, karena sesungguhnya siapa yang bacaan amînnya cocok dengan bacaan aminnya Malaikat, maka diampunilah dosanya yang telah lewat.” (Muttafaq ‘alaih). Dikatakan pengertian cocok itu pada waktunya, dikatakan juga pada dikabulkannya do’a (ijâbah), dan dikatakan juga pada sifat ikhlasnya. Imam al-Nawawî (w. 676 H.) menjelaskan bahwa membaca âmin/amîn tersebut sunnah dilakukan dengan jahar (keras) dalam sholat yang bacaan fatihahnya disunahkan dibaca jahar, karena mengikuti bacaan surat al-Fâtihah tersebut (alNawawî, 2002: I, 111). Ketentuan hukum kesunnahan membaca amin dalam sholat di atas sangat berbeda dengan Mazhab Syiah Imâmiyah. Bagi Imâmiyah, hukum membaca ta’mîn (amîn/âmîn) adalah haram dan membatalkan sholat, baik dalam sholat munfarid (sendirian), maupun sholat berjamaah, baik sebagai
73
imam maupun makmum. Hal ini karena ta’mîn itu dipandang sebagai perkataan manusia, padahal dalam sholat tidaklah sah suatu perkataan manusia. Ketentuan Mazhab Imâmiyyah ini adalah penolakan terhadap hadis riwayat dari Abû Hurairah yang dijadikan dasar hukum empat mazhab di atas, yang dinilainya tidak sahih (al-Mughniyyah, 2008: 94, dan Ali MD, 2015: 69-73). Dalam masalah nikah mut’ah harus dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara doktrin dalam tataran normatif (law in book) dan dalam praktik di lapangan (law in society). Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Sukron Makmun dalam Jurnal Muwazah (2009). Menurutnya, nikah mut’ah secara resmi tercantum dalam hukum perdata (Civil Law) Republik Islam Iran, sebagaimana tampak dalam Undang-Undang Rumah Tangga (droit civil la famille/huqûqe khâvâdeh). Dalam undang-undang ini disebutkan dua jenis perkawinan yang dianggap sah menurut hukum positif Iran, yaitu nikah permanen (nikâh dâ’im) dan nikah yang tidak permanen (nikâh munqathi‘). Nikah jenis yang kedua disebut nikah mut’ah atau nikâh mu’aqqat, atau lebih populer dengan sebutan”sîgheh” di kalangan masyarakat Iran, dan kawin kontrak di masyarakat Indonesia. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa nikah tidak permanen ini secara de-facto jarang dilakukan masyarakat Iran, dan bahkan secara bertahap, prakteknya semakin tidak diminati masyarakat setempat (Makmun, 2009: 153). Berbagai riwayat/hadis mengenai nikah mut’ah yang dijadikan dalil oleh Syiah bagi kehalalannya, dinilai banyak terjadi pertentangan dan merupakan riwayat yang lemah (idhtirâb). Penisbatan beberapa riwayat itu kepada para imam dapat dikatakan sebagai pencederaan. Padahal jika dihubungkan dengan teksteks yang lainnya dalam kitab-kitab Syiah itu sendiri dan apalagi jika di-cross Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
74
Ahmad Ali MD
reverence (rujuk silang) dengan teks di luar kitab Syiah, maka penggunaan teksteks hadis untuk menjustifikasi kehalalan nikah mut’ah tidaklah râjih, tidak otoritatif, tetapi justru otoriter. Ada teksteks hadis dalam kitab-kitab Syiah sendiri yang disandarkan kepada para imam yang menetapkan keharaman nikah mut’ah. Akan tetapi teks-teks tersebut dimaknai dan diterapkan Syiah sebagai bentuk taqiyyah, untuk tujuan tertentu/ penyelamatan diri. Misalnya teks hadis berikut: 1. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî dan al-‘Âmilî dalam Wasâ’il al-Syî‘ah menyebutkan: ”…Dari ‘Abdullâh ibn Sinân dari al-Mufadhdhal ibn ‘Umar ia berkata, ”Aku mendengar Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata tentang mut’ah: ”Tinggalkanlah, tidaklah seorang kalian malu diketahui auratnya….” (al-Kulainî, 1375: V, 453, al-Âmilî, VII, 450). 2. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî menyebutkan Ketika ‘Alî ibn Yaqthîn bertanya kepada Abû al-Hasan a.s. tentang mut’ah, ia menjawab:”Tidak untukmu, tetapi itu saja (nikah syar’i), karena sungguh Allah telah mencukupkan dirimu dari mut’ah.” (al-Kulainî, 1475: V, 452). 3. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî menyebutkan: Dari ‘Ammâr berkata: Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata kepadaku dan Sulaimân ibn Khâlid: ”Sungguh telah diharamkan atas kalian berdua nikah mut’ah.” (alKulainî, 2005: II, 48). Dalam mazhab Syiah, tidak ada perbedaan pendapat mengenai kehalalan nikah mut’ah secara jelas tanpa ada keragu-raguan (sharâhatan wa-dûna taraddud). Meskipun demikian, menurut Ja‘far al-Subhânî, salah seorang marjâ‘ altaqlîd, dalam kitabnya Rasâ’il wa-Maqâlât Tabhatsu fî Mawâdhi‘i Falsafiyyatin waKalâmiyyatin wa-Fiqhiyyatin wa-Fîhâ alHARMONI
Mei - Agustus 2015
Da‘watu ilâ al-Taqrîb Baina al-Madzâhib, kebolehan nikah mut’ah itu tidaklah diterapkan kecuali dalam batasan yang ketat dan khusus (illâ fî hudûd dhîqatin wakhâshshah), dan tidak sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian pendapat yang telah tersebar dalam masyarakat dan dengan bentuk yang dianggap tercela dan campuran (al-Subhânî, 1419: 538). Dengan demikian, menurut penulis, pendapat Ja‘far al-Subhânî itulah yang tepat dan seharusnya dijadikan pegangan dalam memahami doktrin Syiah tentang nikah mut’ah. Hal ini karena pendapat Syiah yang menghalalkan nikah mut’ah secara total (mutlak), dengan mendasarkan kepada riwayat-riwayat hadis dalam empat kitab hadis pokok mereka (al-Kutub al-Arba‘ah) dan kitab hadis lainnya, tidaklah obyektif, melainkan subjektif dan terjebak ke dalam bentuk pemahaman atau interpretasi yang otoriter (sewenang-wenang). Hal ini tidak lepas dari posisi dan sudut pandang Syiah terhadap empat kitab hadis utama tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, terdapat dua kelompok utama Syiah dalam memandang status hadis âhâd dalam empat kitab di atas. Dalam hal ini, hadis terkait nikah mut’ah tidaklah termasuk hadis dalam kategori mutawâtir, melainkan hadis âhâd. Status hadis âhâd sendiri ini diterima kehujahannya oleh sebagian Syiah, tetapi ditolak oleh sebagian yang lainnya. Penilaian penulis ini didasarkan kepada prosedur atau mekanisme dalam memahami dan menetapkan hukum Islam. Ada 5 (lima) syarat agar pemahaman dan penerapan hukum itu otoritatif, sebagaimana dikemukakan oleh Khaled Abou El Fadl (Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat). Panca prasyarat otoritatif ini harus dipenuhi oleh seseorang, kelompok, lembaga atau organisasi agar tidak mudah melakukan
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
tindakan yang sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan (El-Fadl, 2001: 55-56). Kelima syarat di atas sebagai berikut. Pertama: melakukan kejujuran (honesty). Prasyarat kejujuran mencakup harapan bahwa wakil (yang mengemban amanat membuat keputusan hukum) tidak bersikap pura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang wawasan ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, kesungguhan (diligence). Maksudnya bahwa seseorang bertanggung jawab atas keputusannya yang menyesatkan atau melanggar hak orang lain. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang berakal, semakin bersentuhan dengan hak orang lain, maka semakin besar pula keharusannya untuk semakin berhatihati, dan semakin keras upaya mereka dalam melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan terhadap hak orang lain, maka semakin besar pula pertanggungjawabannya di sisi Tuhan. Ketiga, kemenyeluruhan (comprehensiveness), berarti mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Maksudnya adalah bahwa seseorang/ kelompok/lembaga yang akan mengambil keputusan hukum haruslah telah mencoba untuk menyelidiki perintah Allah Swt secara menyeluruh dan berharap ia telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan, membuat upaya terusmenerus untuk menemukan semua perintah yang relevan, dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu. Keempat, melakukan rasionalitas (reasonableness), yaitu melakukan upaya interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis). Meskipun rasionalitas ini dipandang sebagai konsep yang abstrak, tetapi setidaknya dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum. Ketika seseorang/kelompok/lembaga memilih
75
sebuah formula, maka ia/mereka harus mengenal komunitas interpretasi dan komunitas makna yang akan dihadapi. Untuk itu, harus dipertimbangkan perihal formula tertentu yang tetap sehingga bisa dipahami oleh komunitas tertentu. Di samping itu harus pula menyadari bahwa penelusuran makna bukanlah persoalan pribadi, tetapi realitas dan makna tersebut diformulasikan dalam dan oleh berbagai komunitas. Ini bukan berarti bahwa komunitas makna tertentu harus diikuti dan tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan. Tetapi, justru ini menegaskan bahwa komunitas makna yang sudah established dan integritas teks itu sendiri haruslah dihormati. Meminjam istilah Umberto Eco, sebagaimana dijelaskan oleh El-Fadl, seseorang tidak perlu melakukan ”interpretasi yang berlebihan” terhadap teks dengan cara memasukkan sebuah teks fiktif yang tidak konsisten ke dalam teks tersebut. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membaca suatu perintah tentang hukum dengan cara sedemikian rupa sehingga seseorang akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa teks itu memberikan perintah-perintah seperti yang diinginkan pembaca, bukan menampilkan perintah yang sebenarnya dikehendaki teks. Penafsiran yang esktrim atau berlebihan terhadap teks bisa terjadi dengan cara membuka teks itu dimasuki dengan beragam makna yang tidak terbatas, sehingga tidak cukup ditampung oleh teks tersebut. Di sisi lain, teks yang terbuka untuk dimasuki berbagai makna dapat ditafsirkan seseorang, tetapi teks itu justru diyakini dengan kuat hanya dapat menampung sebuah makna an sich. Jika demikian, seseorang telah sewenang-wenang menutup cakupan makna teks tersebut. Baik membuka teks tanpa batasan maupun menutup teks secara otoriter adalah bentuk pelanggaran terhadap prasyarat rasionalitas dan prasyarat yang lainnya. Singkatnya, penyumbatan terhadap proses interpretasi tersebut adalah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
76
Ahmad Ali MD
bentuk kezaliman, dan sikap otoriter. Dalam konteks inilah, interpretasi atau pemahaman terhadap hadis mengenai keutamaan nikah mut’ah, dan menjadikan kriteria bagi kesempurnaan iman (kamâl al-îmân) tampak tidak memenuhi syarat reasonableness. Pemahaman atau penafsiran yang sangat tidak rasional tampak dalam pandangan, yang menurut alSayyid Husain al-Mûsawî, dinisbatkan kepada Fathullâh al-Kâsyânî dalam karyanya Manhaj al-Qâshidîn. Dalam Manhaj al-Qâshidîn, menurut suatu sumber, dikatakan bahwa: ”Anak yang dilahirkan dari perkawinan mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui nikah yang tetap. Dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.” Pandangan yang mengutamakan anak hasil nikah mut’ah dibandingkan dengan anak hasil nikah yang syar’i sangatlah berlebih-lebihan dan tidaklah rasional. Lebih dari itu pandangannya yang mengkafirkan dan memurtadkan orang yang mengingkari kehalahan nikah mut’ah sangatlah ekstrim (al-Mûsawî, t.t.). Kelima, melakukan pengendalian diri (self-restraint). Pengendalian diri berarti bahwa seorang wakil harus mengenal batasan peran yang dia miliki. Seorang wakil perlu menahan diri untuk tidak menarik kesimpulan tentang suatu persoalan jika bukti-buktinya tidak mencukupi. Prasyarat ini secara logis menghendaki agar seseorang wakil menunjukkan tingkat kerendahan dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak hukum Tuhan. Prasyarat ini sebenarnya telah dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam, wallâhu a‘lam (dan Tuhan tahu yang terbaik). Kelima prasyarat di atas hendaklah dijadikan sebagai uji atau parameter shahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum HARMONI
Mei - Agustus 2015
akhirnya digunakan untuk membuat keputusan hukum dan merasa yakin bahwa seseorang atau kelompok ataupun lembaga betul-betul mengemban sebagian perintah Tuhan. Prasyarat inipun terlihat tidaklah dipenuhi dalam pandangan-pandangan ulama Syiah yang menghalalkan nikah mut’ah secara mutlak dan sikap ekstrim yang mengkafirkan dan memurtadkan orang yang mengingkari nikah mut’ah. Pandangan demikian tentu menunjukkan bahwa penafsirnya tidaklah melakukan pengendalian diri secara sungguh-sungguh, sehingga menjustifikasi pemahamannya sebagai yang paling benar. Sebagai implikasinya adalah bahwa pemahaman yang lainnya dipandang salah, bahkan harus dikafirkan dan dimurtadkan. Selain menggunakan parameter 5 (lima) prasyarat pemahaman dan penerapan hukum Islam dalam mendudukkan problematika nikah mut’ah, pendekatan Mashlahah tepat untuk diterapkan. Nikah mut’ah meskipun mengandung kemaslahatan bagi si pelakunya, berupa kenikmatan biologis ataupun psikologis, tetapi sebetulnya di dalamnya terkandung mafsadat. Di antara mafsadatnya yang ditimbulkan dalam nikah mut’ah adalah pembolehan mut’ah dengan perempuan secara terus-menurus bahkan dengan banyak merupakan perendahan terhadap martabat wanita, dan dari sisi medis tidaklah baik bagi kesehatan. Tegasnya bahwa sungguhpun bagi pelaku mut’ah (lakilaki maupun perempuan), merasakan kemanfaatan, tetapi mafsadat yang terkandung di dalamnya cukup jelas, yaitu merendahkan harkat perempuan karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka. Dengan demikian dari tinjauan ini menjadi jelas bahaya dan mafsadat mut’ah baik dari segi religiusitas, sosial, dan etika/moral. Sebagaimana diketahui bahwa kemuliaan atau kehormatan adalah prinsip yang
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
fundamental dalam Islam, dalam kategori hifzh al-‘irdh.
termasuk
Andaikan terdapat kemaslahatan dalam nikah mut’ah itu tentu nikah mut’ah itu tidaklah diharamkan. Akan tetapi karena banyak mafsadatnya maka Rasul mengharamkannya, demikian pula Amîr al-Mu’minîn. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah fiqh ”Dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih”, maka nikah mut’ah hukumnya haram. Berdasarkan analisis di atas, nikah mut’ah dalam konteks untuk mendapatkan pemahaman dan penerapan hukum Islam yang tepat sebaiknya ditempatkan sebagai masalah khilâfiyah. Sungguhpun demikian, penulis lebih cenderung berpendapat dengan mendasarkan pada paradigma Maqâshid al-Syarî‘ah, yang lebih menekankan substansi hukum/ ajaran Islam, seperti keadilan dan kehormatan/harga diri. Menurut penulis, hukum nikah mut’ah dengan persyaratan yang sangat ketat bisa halal. Hal ini sebagaimana pula dikemukakan oleh Ja‘far al-Subhânî, seorang marja’ taqlid di Iran. Maksud bahwa hukum nikah mut’ah dengan persyaratan yang sangat ketat bisa halal adalah bahwa dalam kondisi tertentu nikah mut’ah bisa menjadi solusi alternatif dalam menghindari terjadinya zina. Tetapi nikah mut’ah bukanlah solusi yang terbaik. Masih ada solusi yang lain, misalnya nikah lagi (berpoligami) bagi seorang pria yang ingin nikah lagi, tanpa harus dengan melakukan nikah mut’ah, atau nikah siri, bagi yang tidak ingin nikah secara resmi yang dicatat oleh pihak/pegawai yang berwenang/ KUA (Kantor Urusan Agama). Sebab suatu hubungan perkawinan itu diikat (merupakan suatu ikatan yang kuat (mitsâqan ghalîzhan) untuk suatu tujuan sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan sakinah, mawaddah warahmah tentu diharapkan akan senantiasa berjalan hingga batas penghabisan, ketika kedua
77
atau salah satu pasangan itu meninggal dunia. Sedangkan dalam nikah mut’ah, hubungan perkawinannya sangat dibatasi waktu, sehingga tujuan nikah tersebu (membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah) juga terbatas. Ini tidak jauh beda dengan perkawinan yang kemudian timbul perceraian. Dalam perkawinan (nikah biasa) itu sendiri sulit dicapai tujuan sakinah, mawaddah warahmah, apalagi melalui nikah mut’ah. Tentu maqâshid al-Syarî‘ah tidak akan tercapai. Sungguhpun demikian, berdasarkan Siyâsah al-Syar‘iyyah dapat dilakukan (suatu kebijakan) pelarangan terhadap nikah mut’ah. Pelarangan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan mengenai kemaslahatan dan kemadaratan yang ditimbulkan dari nikah mut’ah. Di antaranya karena dalam nikah mut’ah tentu tidak ada wali dan saksi, apalagi pencatatan nikah, maka mengakibatkan tidak ada kekuatan hukum, sehingga salah satu pihak ketika dizalimi oleh pasangannya, misalnya tidak memberikan warisan atas sebuah akad mut’ah yang dicantumkan persyaratan saling mewarisi, maupun tidak memenuhi maskawin yang tidak diberikan secara kontan (dihutang), tidak dapat menuntut hukumnya, sebab tidak ada pihak yang mengetahui (saksi) tentang akad mereka. Tanpa ada pencatatan perkawinan, nikah mut’ah itu tidak mempunyai kekuatan hukum dalam pandangan hukum positif seperti di negara kita, Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum IslamKHI). Dalam Pasal 4 KHI disebutkan bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Dalam UU tentang Perkawinan ini pada Pasal 2 Ayat (1), disebutkan bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam hukum Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
78
Ahmad Ali MD
Islam, terdapat ketentuan tentang rukun dan syarat perkawinan yang sah, seperti dalam Pasal 14 KHI disebutkan tentang rukun dan syarat, bahwa perkawinan harus ada …c. Wali nikah; d. Dua orang saksi;…. Tegasnya menurut ketentuan ini, sahnya suatu pernikahan (perkawinan) adalah dengan wali dan saksi. Oleh karena nikah mut’ah berlangsung tanpa wali dan saksi, ia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Bahkan berdasarkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, pelaku nikah mut’ah dapat dipidana. Tentu pemidanaan ini dapat diterapkan ketika RUU Hukum Materill Peradilan Agama Bidang Perkawinan tersebut, yang melarang nikah mut’ah, telah diundangundangkan dan diberlakukan.
Penutup Berdasarkan analisis di atas diperoleh kesimpulan bahwa cara memahami doktrin Syiah dalam bingkai toleransi adalah dengan tidak menggeneralisirnya terhadap semua aliran Syiah, yang mengakibatkan penilaian sesat terhadap pengikutnya bahkan keluar dari Islam. Hal ini karena terdapat beragam varian dalam Syiah sendiri. Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyyah masih berada dalam koridor Islam; sementara Syiah Ghâliyyah (ekstrim) telah sangat menyimpang dan keluar dari Islam. Secara teknis, memahami doktrin Syiah harus dilakukan dengan menggunakan lima perangkat pemahaman atau interpretasi non-otoritarian versi Khaled Abou El-Fadl, yaitu penuh kejujuran (honesty), kesungguhan (diligence), kemenyeluruhan (comprehensiveness), yakni mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait, mempertimbangkan rasionalitas (reasonableness) dalam upaya interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis),
HARMONI
Mei - Agustus 2015
disertai pengendalian diri (self-restraint) dalam menetapkan putusan hukum. Dengan pemahaman model ini, muncul pemaknaan bahwa doktrin ‘ishmah lebih tepat dimaknai sebagai kriteria ideal bagi imam, dan keterpeliharaan menyeluruh terhadap kriteria ideal bagi nabi sebagai utusan Allah Swt. Doktrin hukum haramnya membaca amin dalam sholat harus dimaknai sebagai bentuk perbedaan penetapan hukum, karena ada perbedaan dalam memahami hadis riwayat Abû Hurairah yang dijadikan dasar hukumnya. Adapun doktrin hukum halalnya nikah mut’ah harus ditempatkan dalam kerangka maslahat dan mafsadat, dan dalam prosedur yang sangat ketat. Hal ini sejalan dengan teori Mashlahah yang menjunjung tinggi maqâshid al-Syarî‘ah. Penghalalan mutlak nikah mut’ah merupakan pandangan yang otoriter, di samping karena mendasarkan pada hadis âhâd, yang dalam Syiah sendiri terdapat beragam penilaian, karena merupakan pandangan yang tidak mempertimbangkan lima perangkat otoritatif dalam pemahaman hukum di atas (kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan rasionalitas, dan pengendalian diri/kehati-hatian). Oleh karena itu, perlu dipublikasikan bahwa doktrin rukun Iman dan doktrin hukum Syiah yang berbeda dengan mainstream (Sunni) tidaklah boleh menjadikan pengikut Syiah dikucilkan yang berakibat pengabaian terhadap hak-hak konstitusional dan kewargaannya. Toleransi harus didorong untuk direalisasikan dalam menciptakan hubungan yang harmonis di antara sesama umat beragama dan warga negara. Oleh karena itu, pemahaman terhadap doktrin Syiah tersebut harus dilakukan dengan menggunakan lima perangkat pemahaman non-otoritarian versi Abou El-Fadl di atas.
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
79
Daftar Pustaka Abou El-Fadl, Khaled M. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld, 2001. Ali MD, Ahmad. ”Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih”. Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 13, No. 3 (September-Desember 2014), hlm. 126-137. -------------. ”Hadis Sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Syiah”. Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 13, No. 3 (2012), hlm. 228-242. -------------. Mutiara Al-Fatihah. Tangerang: PSP Nusantara, 2015. al-‘Âmilî, al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ. Al-Shahîh min Sîrat al-Nabî al-A‘zham. Beirut: Dâr al-Hadîts li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nasyr, 2007. al-‘Âmilî, al-Syaikh Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr. Wasâ’il al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ’il al-Syarî‘ah. Editor ‘Abd al-Rahîm al-Rabbânî al-Syîrâzî, Tehran: Maktabat alIslâmiyyah, t.t. al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Syî‘ah. Editor al-Sayyid Hasan al-Amîn. Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mathbû‘ât, 1998. al-Asy‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf alMushallîn. Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat alNahdhah al-Mishriyyah, 1950. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Judul Asli Who Need an Islamic State?. Penerjemah Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS, 2001. Farida, Anik. ”Respon Organsasi Massa Islam terhadap Syiah di Bandung Jawa Barat”. Jurnal Penamas, Vol. 27, No. 2 (Juli-September 2014), 159-175. al-Ghathâ’, Muhammad al-Husain al-Kâsyif. Ashl al-Syî‘ah wa-Ushûluhâ. Edisi Keempat. Beirut: Mu’assasat al-A‘lamî li-al-Mathbû‘ât, 1993. Halm, Heinzm. Shi‘ism. Second edition. Ttranslated from German as Die Schia by Janet Watson. United Kingdom: Edinburgh University Press Ltd, 2004. Ibn Husain al-Mishrî, Abû ‘Îsâ Muhammad. al-Mausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah. Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011. al-Kulainî, al-Furû‘ min al-Kâfî, dalam ‘Alî Akbar al-Ghifârî. al-Kutub al-Arba‘ah. Qum: Mu’assasat Anshâriyyan li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nashr, 2005. Makmun, Sukron. ”Fenomena Pernikahan Mut’ah di Republik Islam Iran (Antara Ada dan Tiada)”. Muwâzâh, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2009), hlm. 153-163.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
80
Ahmad Ali MD
Mughniyyah, Muhammad Jawwâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Khamsah: al-Ja‘farî-alHanafî-al-Mâlikî-al-Syâfi‘î-al-Hanbalî. Kairo: Maktabat al-Syurûq al-Duwaliyyah, 2008. al-Mûsawî, ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn. Al-Fushul al-Muhimmah fî Ta’lîf al-Ummah. Cet. ke-4. Najaf: Mathba‘ah al-Nu‘mân, 1967. al-Mûsawî, al-Sayyid Husain. Lillâhi..Tsumma li-al-Târîkh: Kasyf al-Asrâr wa-Tabri’at alA’immat al-Athhâr (T.tp.: Tp., Tt.). al-Muzhaffar, Abd al-Husain Syaraf al-Dîn Muhammad Ridhâ. Ushûl al-Fiqh. Qum: Mu’assasat Mathbû‘ât Ismâ‘îliyân, 1421. al-Sâlus, ‘Alî Ahmad. Ensiklopedi Sunnah Syiah: Studi Perbandingan Hadis & Fiqh. Judul Asli Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah fî al-Ushûl wa-al-Furû‘ (Mausû‘ah Syâmilah): Dirâsah Muqâranah fî al-Fiqh wa-al-Hadîts. Penerjemah Asmuni Solihin Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001. al-Subhânî, Ja‘far. al-Rasâ’il al-Arba‘: Qawâ‘id Ushûliyyah wa-Fiqhiyyah Taqrîran li-Buhûts al-Faqîh al-Muhaqqiq al-Syaikh Ja‘far al-Subhânî. Qum: Mu’assasat al-Imâm alShâdiq, 1415. Tholib, Udjang. ”The Historical Background of the Sunnite-Shi’ite Conflict in Iraq”. Indo-Islamika: Journal of Islamic Sciences. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Vol. 4, No. 2 (2007), hlm. 117-206.
HARMONI
Mei - Agustus 2015