12
PENTINGNYA DOKTRIN MANUSIA DALAM PL Joni Tapingku Abstract The Old Testament doctrine of man is that man is created in God's image. This is the doctrine that distinguishes anthropology in the Bible of all other views of man. Man as the image of God consists aspects of the structure and fungsinal and includes relationships with God, with others and with nature. The image of God in man is not only found in the self, through mental and spiritual capacities, but also beyond, through penatalayanannya action on nature and life. Although humans have been damaged spiritually because it has been separated from God, but the aspect of the image in the image of God as the power to rule and conquer the earth is not lost. In other words, human beings who have fallen into sin still bears the image of God. So as with the image of God, both in a state before the fall and after the fall into sin, God's people still become partners in menatalayan and take the creation. This means menatalayan task and take the creation God has given as the duties and responsibilities of universal human and also individually.
Pendahuluan Salah satu pertanyaan terpenting yang direnungkan para filsuf adalah, “Apoakah manusia itu?” Di dalam salah satu dialognya, Plato menggambarkan gurunya, Socrates, sebagai seorang yang di dalam pencariannya akan hikmat, begitu terobsesi pada satu tujuan sentral, yaitu untuk mengenali dirinya sendiri (Hoekema 2008: 1). Banyak pemikir telah memberikan beragam jawaban bagi pertanyaan “Apakah manusia itu?”, dan masingmasing memiliki implikasi yang luas bagi pemikiran dan kehidupan. Akan tetapi, pada saat ini, pertanyaan tentang manusia tengah diajukan dengan urgensi yang baru. Sejumlah pihak mengamati bahwa masyarakat pada saat ini tidak lagi terlalu tertarik untuk mempertanyakan realitas-realitas ultimat (peringatan dengan ancaman) atau ontologi (ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia), tetapi mereka sangat tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai manusia. Ada banyak alasan mengapa hal ini terjadi. Salah satunya ialah sejak Immanuel Kant, problem epistemologi (cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar pengetahuan) telah menjadi yang terutama, sementara problem ontologi tergeser ke posisi sekunder. Bangkitnya eksistensialisme sebagai suatu cara berpikir dalam filsafat, teologi, dan sastra juga turut memberikan penekanan baru, yaitu bahwa eksistensi seseorang lebih penting daripada esensinya — bahwa untuk dapat memahami seseorang, maka aspek-aspek yang unik dari pribadinya lebih penting dibandingkan aspek-aspek yang dimilikinya bersama dengan orang-orang lain. Jadi, eksistensialisme merupakan suatu cara baru dalam mengajukan pertanyaan “Apakah manusia itu?” Ketika kepercayaan kepada Allah semakin langka, maka kepercayaan kepada manusia akan mengambil alih, dan itu yang nampak sekarang dengan munculnya sebuah humanisme baru (Hoekema 2008: 2). Tetapi humanisme ini sedang bermasalah. Dua perang dunia dan kekejaman rezim Nazi yang tak terlukiskan telah mengguncang keyakinan banyak orang terhadap kebaikan dasar manusia dan signifikansi nilai-nilai manusia. Maka muncullah gelombang baru nihilisme yang menyangkal semua nilai-nilai manusia dan menyuarakan ketiadaan makna dan hidup ini. Faktor-faktor yang mengancam nilai-nilai manusia saat ini antara lain: supremasi teknologi yang terus meningkat, tumbuhnya birokrasi, meningkatnya metodemetode produksi massal, dampak media massa yang semakin besar. Kekuatan-kekuatan seperti ini cenderung melunturkan personalitas kemanusiaan. Berbagai perkembangan baru di bidang biologi, psikologi, dan sosiologi membuat segelintir orang semakin dimungkinkan 12
13
untuk memanipulasi orang banyak. Praktik-praktik seperti inseminasi (pemasukan sperma laki-laki ke rahim perempuan), buatan, bayi tabung, aborsi, pengendalian perilaku dengan zat kimia, eutanasia, rekayasa genetika, dan lain sebagainya, menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai martabat hidup manusia. Ini semua masih ditambah lagi dengan isuisu yang memanas seperti rasisme, problem keterasingan (kelompok lama lawan baru, konservatif lawan progresif, mayoritas lawan minoritas) dan masalah kesetaraan perempuan dan laki-lak. Jadi, orang bisa melihat mengapa pertanyaan “Apakah manusia itu?” begitu mendesak saat ini (Stoot 2005). Manusia menjadi salah satu problem yang paling krusial pada zaman sekarang. Para filsuf bergumul dengannya; para sosiolog mencoba untuk menjawabnya; para psikolog dan psikiater tengah menghadapinya; pakar etika dan aktivis sosial mencoba untuk memecahkannya. Bahkan para penulis novel dan dramawan juga melibatkan diri dalam pertanyaan ini. Novel-novel Dostoyevski yang tajam berusaha untuk menjawab pertanyaan ini sekaligus menjawab pertanyian “Mengapa manusia ada di sini?” Jean-Paul Sartre dan Albert Camus mencoba untuk memberikan jawaban-jawaban non-Kristen untuk pertanyaan tersebut, sementara penulis-penulis seperti Graham Greene dan Morris West mencoba untuk memberikan jawaban-jawaban kristiani. Hampir setiap novel atau drama kontemporer bergumul dengan pertanyaan, “Apakah manusia itu?” (Hoekema 2008: 2). Bagaimana seseorang melihat manusia memiliki arti penting di dalam menentukan program tindakannya? Tujuan kaum Marxis berakar di dalam konsepsi Marx tentang manusia, begitu juga program revolusi politik yang bukan berasal dari seorang Marxis. Gerakan kaum feminis akhir-akhir ini juga berakar di dalam pemahaman tertentu tentang pribadi manusia, khususnya mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan (Hoekema 2008: 2). Dapat dibedakan tipe-tipe antropologi non-Kristen. Menurut antropologi idealistik, manusia pada dasarnya adalah roh dan tubuh fisiknya merupakan hal yang asing bagi natur sejatinya. Kita menemukan pandangan ini di dalam filsafat Yunani kuno. Menurut Plato, misalna, apa yang nyata dari manusia adalah intelektual atau rasionya, yang dianggap merupakan percikan ilahi di dalam diri seseorang yang akan terus bereksistensi bahkan setelah tubuhnya mati. Akan tetapi, tubuh manusia terdiri dari materi yang merupakan realitas yang lebih rendah; tubuh ini merupakan penghambat bagi roh, dan seseorang akan benar-benar lebih baik jika tidak memiliki tubuh. Orang-orang yang menganut pandangan ini mengajarkan kekekalan jiwa tetapi menyangkal kebangkitan tubuh (Hoekema 2008: 2). Antropologi non-Kristen yang lebih lazim saat ini adalah antropologi materialistik, yang sangat berlawanan dengan pandangan di atas. Menurut pandangan ini, manusia terdiri dari unsur-unsur materi, sedangkan kehidupan mental, emosional, dan rohnya hanya merupakan produk sampingan dari struktur materialnya. Sebagai contoh, pandangan Marxis bahwa sejarah ditentukan oleh struktur ekonomi yang ada, disandarkan pada pandangan yang materialistik atau naturalistik tentang natur manusia. Bagi kaum Marxis, manusia hanya sebuah produk alam dan tidak diciptakan menurut gambar Allah. Mereka bahkan menolak keberadaan Sang Pencipta itu sendiri. Marxisme tidak mengenal tanggung jawab seseorang kepada Allah. Manusia adalah bagian dari sebuah struktur sosial; kejahatan muncul dari struktur itu dan bisa dihilangkan hanya dengan mengubah struktur itu. Individu bukanlah penanggung jawab utama atas kejahatan yang ada, masyarakatlah yang bertanggung jawab. Maka di dalam Marxisme, manusia sebagai individu tidaklah penting; manusia penting hanya sebagai anggota masyarakat. Maka, tujuan Marxisme bukanlah keselamatan individual, melainkan pencapaian masyarakat yang sempuma di masa yang 13
14
akan datang, yang di dalamnya pergumulan klasik antara “kaum berada” dengan kaum “miskin” telah terhapuskan. Tindakan, revolusioner dengan kekerasan diperlukan untuk mencapai masyarakat masa depan. Tipe lain dari antropologi materialistik yang berpengaruh saat ini adalah pandangan tentang manusia bahwa perilakunya bukan ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh liungkungannya (pandangan B.F. Skinner). Bagi Skinner, penentu bagi suatu perilaku harus dipindahkan dari “manusia yang otonom” kepada lingkungannya (Skinner 1974: 195, 214). Ide bahwa seseorang bebas bertindak seperti yang dikehendakinya merupakan sebuah mitas. Perilaku seseorang seutuhnya ditentukan oleh lingkungannya (Skinner 1974: 195, 214). Di dalam manusia tidak ada pikiran yang mengambil keputusan, di dalam manusia tidak ada kebebasan. Aktivitas manusia seutuhnya ditentukan oleh lingkungan. Jika lingkungan itu bisa diketahui secara sempurna, perilaku manusia akan bisa sempurna pula. Dalam mengevaluasi pandangan idealistik dan materialistik, nampak bahwa keduanya terlalu berat sebelah, keduanya menekankan satu aspek manusia dengan mengorbankan aspek lainnya. Antropologi idealistik hanya menekankan “jiwa” atau “rasio” seseorang, dan menyangkal keberadaan struktur materinya. Antropologi materialistik seperti dari Marx dan Skinner, memutlakkan sisi fisik manusia dan menyangkal keberadaan sisi “mental” atau “spiritual”. Yang lebih penting lagi ialah bahwa kedua pandangan tersebut memutlakkan satu aspek manusia dan memisahkannya dari ketergantungan atau tanggung jawab apa pun kepada Allah, Sang Pencipta. Sehiungga keduanya telah melakukan dosa pemberhalaan: menyembah satu aspek ciptaan yang menggantikan posisi Allah. Jika hal terpenting dari manusia adalah relasinya yang tak terelakkan dengan Allah, seperti yang Alkitab ajarkan, maka harus dilihat setiap antropologi yang menyangkal hubungan ini sebagai antropologi yang cacat. Dengan demikian sangat penting untuk menggali pandangan PL tentang manusia apakah pandangan PL tentang manusia, bagaimana pandangan ini berbeda dengan berbagai pandangan-pandangan lainnya, dan apa implikasi pandangan PL terhadap pemikiran dan kehidupan gereja masa kini. Manusia sebagai pribadi yang diciptakan Salah satu implikasi yang jelas dari fakta penciptaan oleh Allah ialah bahwa semua realitas ciptaan, termasuk manusia, seutuhnya tergantung kepada Allah. Werner Foerster mengatakan demikian: “Maka di dalam menjadi, berada dan musnah, semua ciptaan sepenuhnya tergantung pada kehendak Sang Pencipta” (Hoekema 2008: 6). Alkitab dengan sangat jelas menyatakan bahwa segala benda dan semua makhluk yang diciptakan, sepenuhnya tergantung kepada Allah. “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Neh. 9:6). Pemeliharaan Allah atas semua ciptan-Nya, termasuk manusia, mengimplikasikan bahwa mereka bergantung kepada-Nya bagi keberlangsungan keberadaan mereka. Akan tetapi, manusia bukan sekadar sebuah ciptaan, meliankan juga adalah satu pribadi. Menjadi satu pribadi berarti memiliki suatu bentuk kemandirian bukan mutlak tetapi relatif. Menjadi satu pribadi berarti mampu membuat keputusan, menetapkan tujuan, dan bergerak ke arah tujuan-tujuan itu. Ini berarti memiliki kebebasan — setidaknya dalam arti manusia mampu membuat pilihan-pilihannya sendiri. Manusia bukan robot yang 14
15
tindakannya ditentukan secara total oleh kekuatan-kekuatan yang ada di luar dirinya. Manusia memiliki kekuatan untuk menentukan dan mengarahkan diri sendiri. Jika memakai kalimat Leonard Verduin, maka menjadi satu pribadi berarti menjadi “ciptaan yang memiliki pilihan” (Verduin 1970). Singkatnya, manusia adalah satu ciptaan sekaligus satu pribadi. Manusia adalah adalah pribadi yang diciptakan. Inilah misteri sentral dari manusia: bagaimana manusia bisa menjadi ciptaan dan pribadi pada saat yang sama? Seperti dikemukakan di atas, menjadi ciptaan berarti bergantung sepenuhnya kepada Allah; menjadi pribadi berarti memiliki kemandirian yang relatif. Menjadi ciptaan berarti saya tak bisa menggerakkan satu jari atau mengucapkan sepatah kata pun secara terpisah dari Allah; menjadi pribadi berarti bahwa ketika jari saya digerakkan, sayalah yang menggerakkannya, dan bahwa ketika kata-kata keluar dari mulut saya, sayalah yang mengucapkannya. Menjadi ciptaan berarti Allah adalah Tukang Periuk dan manusia adalah tanah liatnya (Rm. 9:21); menjadi pribadi berarti manusialah yang membentuk hidupnya sesuai keputusan-keputusannya (Gal. 6:7-8). Manusia sebagai gambar Allah Perjanjian Lama tidak banyak berbicara tentang gambar Allah. Konsep ini dibicarakan secara eksplisit hanya dalam tiga bagian Perjanjian Lama, semuanya di Kitab Kejadian (Kej. 1:26-28; 5:1-3; dan 9:6). Orang juga bisa berpendapat bahwa Mazmur 8 mendeskripsikan apa yang dimaksudkan dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah, tetapi frasa “gambar Allah” tidak ada di sana. Kejadian 1 mengajarkan keunikan penciptaan manusia, yakni bahwa sementara Allah menciptakan setiap hewan “menurut jenisnya” (Kej. 1:21, 24-25), hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27). Herman Bavinck menyatakan bahwa seluruh dunia merupakan penyataan Allah, cermin dari nilai-nilai dan kesempurnaan-Nya; dengan cara dan menurut ukurannya masing-masing, setiap makhluk merupakan perwujudan dari pemikiran ilahi. Tetapi di antara semua ciptaan, hanya manusia yang merupakan gambar Allah, penyataan yang tertinggi dan terkaya akan Allah, dan oleh karena itu, merupakan kepala dan puncak dari seluruh penciptaan (Bavinck 1918: 566). Kata yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat 26 berasal dari kata Ibrani ~d"²a' (’adam). Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam (Kej. 5:1 – “Inilah daftar keturunan Adam”). Tetapi, kata ini bisa juga berarti manusia pada umumnya. Dalam pengertian ini, kata tersebut memiliki makna yang sama dengan kata Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam keberbedaannya dengan perempuan, melainkan manusia dalam keberbedaannya dari ciptaan yang non-manusia, yaitu manusia sebagai laki-laki atau perempuan, atau manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian inilah kata tersebut dipakai di dalam Kejadian 1:26 dan 27. Kadang kata ~d"²a' (’adam) juga dipakai untuk menunjuk umat manusia (Kej. 6:5 – “ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi”). Karena berkat yang terdapat di Kejadian 1:28 teraplikasikan kepada seluruh umat manusia, maka bisa dikatakan bahwa ayat 26 dan 27 mendeskripsikan penciptaan umat manusia, meski kemudian harus dibatasi pernyataan ini sebagai berikut: Allah menciptakan laki-laki dan perempuan itu, yang mana dari keduanyalah semua umat manusia akan dilahirkan. Ungkapan berikut yang penting dalam ayat 26 adalah “menurut gambar dan rupa Kita”. Kata yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem, dan yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Di dalam bahasa Ibrani, kata sambung (dan) tidak ada di antara kedua ungkapan tersebut. Teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita”. Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata 15
16
dan, sehingga memberi kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda. Tetapi, teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada perbedaan yang esensial di antara keduanya: “menurut gambar Kita” hanyalah suatu cara lain untuk mengatakan “menurut rupa Kita”. Dalam Kejadian 1:26, baik kata gambar maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar yang dipakai. Meskipun kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, bisa ditemukan sedikit perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk gambar, tselem, diturunkan dari akar kata yang bermakna “mengukir” atau “memotong” (BDB 1907: 853). Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia di dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Sedangkan kata Ibrani untuk rupa, demuth di dalam Kejadian 1 bermakna “menyerupai” (BDB 1907: 197-198). Jadi, orang bisa berkata bahwa kata demuth di Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai Kita” (Keil dan Delitzsch 1961: 63). Kedua kata itu menjelaskan bahwa manusia merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tersentu. Bagaimana manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik dan eksplisit di dalam kisah penciptaan, meskipun bisa dilihat bahwa keserupaan-keserupaan tertentu dengan Allah terimplikasikan di sana. Misalnya, dari Kejadian 1:26 bisa ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan atas binatang dan atas seluruh bumi merupakan satu aspek dari gambar Allah. Di dalam menjalankan kekuasaan ini manusia menjadi serupa dengan Allah, karena Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan ultimat atas bumi. Dari ayat 27 bisa disimpulkan bahwa aspek lain dari gambar Allah menyangkut perihal penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dari fakta bahwa Allah memberkati umat manusia dan memberikan mandat kepada mereka (Kej. 1:28), bisa disimpulkan bahwa umat manusia juga menyerupai Allah dalam hal mereka adalah keberadaan yang berpribadi dan bertanggung jawab, yang bisa diajak berbicara oleh Allah dan yang bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta dan Penguasa atas mereka. Sebagaimana Allah di sini dinyatakan sebagai satu Pribadi yang mampu membuat keputusan dan memerintah, maka manusia adalah pribadi yang juga mampu membuat keputusan dan memerintah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diciptakan menurut gambar atau rupa Allah tidak sekadar mau menjelaskan integritas spiritual dan moral manusia, tetapi juga mengindikasikan pemisahan manusia dari semua ciptaan Allah yang lain dan bahwa manusia dibentuk dengan cara yang unik. Pernyataan ini tidak hanya memberitahukan arah hidup manusia pada mulanya, yaitu di dalam ketaatan kepada Allah, tetapi juga mendeskripsikaan manusia di dalam totalitas eksistensinya. Yang ditekankan ialah pertama-tama bahwa manusia itu adalah sekutu Allah, bukan tandingan Allah dan bukan lawan Allah. Sebagai sekutu Allah, manusia diberi kuasa dan wewenang untuk memerintah dan mengatur ciptaan Allah yang lain. Jika Allah memberikan kuasa kepada manusia, maka tidak berarti bahwa manusia dapat bertindak sewenang-wenang terhadap ciptaan Allah yang lain. Manusia harus melakukan atau melaksanakan kuasa itu dengan penuh tanggung jawab, sebab kuasa untuk memerintah dan mengatur itu bukanlah kuasa mutlak manusia, malainkan kuasa Allah yang diwakilkan kepada manusia. Oleh karena itu semua tindakan manusia atas ciptaan Allah yang lain haruslah manusia pertanggungjawabkan kepada Khaliknya. Dengan demikian tugas manusia yang terutama adalah pemelihara dan bukan pemusnah. Karena itu manusialah yang bertanggungjawab atas musnahnya berbagai jenis makhluk di bumi ini. 16
17
Jika manusia Kejadian 2 menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah dan hembusan nafas dari Allah, maka itu mau menegaskan: a. Kata Adam yang berarti manusia mempunyai kaitan dengan kata adamah (bhs. Ibr. yang berarti tanah), karena manusia dibuat dari tanah (Kej. 2:7) sama dengan cara Allah menjadikan binatang dan burung-burung (Kej. 2:19), dalam hal ini manusia sama dengan makhluk yang disebutkan dalam ayat 19. b. Manusia hidup dan makan dari tanah (Kej. 3:17, 18); hal ini tidak dapat disangkal, karena semua yang kita makan berasal dari tanah. Karena itu tidak mengherankan kalau manusia sangat akrab dengan tanah. c. Manusia mati kembali ke tanah (Kej. 3:19). Ketiga catatan di atas memberikan gambaran bahwa manusia pada dirinya adalah fana sama dengan makhluk lain. Akan tetapi penciptaan manusia menurut kedua cerita di atas tidak hanya sampai di situ, karena setelah Allah membentuk manusia dari debu tanah, Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam hudung manusia. Secara hakiki hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Yang mau ditegskan ditegaskan di sini ialah bahwa hidup-mati manusia bergantung sepenuhnya kepada Allah. Karena itu manusia tidak berhak atas hidupnya sendiri dan juga tidak berhak atas kehidupan orang lain. Karena itu tindakan bunuh diri atau membunuh orang lain adalah dosa dan mengambil hak Allah. Hal lain yang mau ditekankan di sini ialah bahwa hakekat manusia adalah persekutuan dengan Allah. Karena itu saat manusia terlepas dari persekutuan dengan Allah atau dengan perkataan lain apabila manusia memberontak terhadap Allah dengan melanggar perintahperintah-Nya, maka akibatnya kematian bagi manusia (bnd. Kej. 3). Pribadi yang utuh Menurut Wolff, sering kali terdapat pemakaian kata yang stereometrik, maksudnya, menunjuk kepada kata-kata yang paralel dan saling tumpang tindih untuk menunjuk kepada manusia seutuhnya. Kata-kata yang mempunyai arti hampir sama dipakai berganti-ganti untuk menunjuk kepada manusia seutuhnya dari berbagai segi pandangan yang sedikit berbeda, sehingga memberikan gambaran yang lebih lengkap. Misalnya, Mazmur 84:2, “Hatiku dan dagingku bersorak-sorai”, atau Amsal 2:10, “Karena hikmat akan masuk ke dalam hatimu dan pengetahuan akan menyenangkan jiwamu”. Jadi, pemakaian kata itu secara bersamaan memberikan arti yang lebih dalam (Wolff 1974: 7-9). Di samping pemakaian kata yang stereometrik, juga sering kali terdapat pemakaian kata-kata yang sintetis, di mana satu bagian tertentu dari tubuh mewakili seluruh tubuh itu. Bagian tubuh tertentu bersama kegiatan bagian tubuh tersebut dipadukan seperti dalam Yesaya 52:7, “Bagaimana elok di atas gunung-gunung kaki orang yang memberi tahu barang yang baik”. Jadi, “dengan kosa kata yang relatif terbatas orang Ibrani dapat menyebutkan berbagai hal dan khususnya bagian-bagian tubuh manusia untuk mengungkapkan keserbaragaman nuansa yang sangat halus dengan cara memisahkan dari konteks kalimat, segala kemungkinan, aktivitas, kemampuan, dan pengalaman dari apa yang disebutkan” (Wolff 1974: 8). Jiwa (nefes) Kata Ibrani yang biasa diterjemahkan dengan “jiwa” muncul sebanyak 755 kali dan sungguh-sungguh berarti “jiwa” di beberapa tempat saja. Kata ini terutama mau menekankan manusia sebagai makhluk. Dari seluruh jumlah pemakaian itu hanya 3 persen saja yang menunjuk kepada Allah. Dalam Kejadian 2:7 Allah menghembuskan napas ke dalam manusia dan manusia menjadi jiwa atau nyawa (TL) yang hidup. Bahwa hal ini tidak khusus untuk manusia terlihat dalam pemakaian istilah ini pada penciptaan binatang-binatang dalam Kejadian 1:20, 21, dan 24, yang biasanya diterjemahkan sebagai “makhluk yang hidup”. Di sini artinya 17
18
hanyalah suatu individu yang hidup. Manusia hidup sebagai jiwa; manusia tidak “memiliki” jiwa (Childs 1973: 572; Dyrness 2001: 68-69). Kata nepes sering dipakai untuk mengungkapkan keadaan seseorang yang berada dalam kekurangan, umumnya dalam arti jasmaniah semata-mata. Kadang-kadang nepes dipakai dalam arti kerongkongan yang terbuka dengan rakus (Yes. 5:14). Nepes dapat berarti anggota tubuh yang minum (Ams. 25:25) atau yang mengecap (Ams. 16:24) atau yang mendambakan (Yer. 2:24, Ibrani; TB, “nafsu untuk berjantan”). Atau kata itu dapat berarti leher saja (Mzm. 105:18 dan Yeremia 4;10, dalam naskah Ibrani; TB, “nyawa”). Dalam pengertian ini jiwa adalah tempat segenap kebutuhan dasar seseorang. Kalau diperluas istilah ini berarti “keinginan” dan menunjuk kepada suatu kebutuhan atau perjuangan yang sangat penting, seperti “keinginan hati kami” (Mzm. 35:25; Mi. 7:1). Inilah pemakaian kata nepes yang paling umum. Kemudian pemakaian ini diperluas lagi sehingga berarti jiwa dalam arti pusat segenap pengalaman rohani. “Karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel. 23:9; II Sam. 5:8; Ayb. 30:25). Nepes dipakai juga dalam arti “hidup” (Ams. 8:35; Mzm. 30:3, TL), atau “individu” atau “orang” (Ams. 3:22), atau bahkan “mayat” (Bil. 6:6) (Childs 1973: 572; Dyrness 2001: 68-69). Jadi, jiwa adalah individu yang hidup, bukan dalam arti roh yang tak dapat binasa, melainkan hidup fisik yang konkret dan sarat dengan berbagai kebutuhan. Hidup ini berasal dari Tuhan dan selalu membutuhkan penyegaran; hidup ini sendiri tidak memberikan perlindungan terhadap keterbatasan sebagai makhluk. Seorang percaya dalam Perjanjian Lama tidak dapat mengharapkan keabadian sebagai sifat bawaan; keabadian ini harus datang dari Allah dan dijamin oleh Allah (Mzm. 16:10; 49:16). Manusia ingin sekali dan haus akan hidup dan vitalitas, yakni hidup yang tidak dapat berasal dari dunia saja. Hasrat manusia akan hidup itu menunjukkan kerinduan yang lebih dalam akan persekutuan dengan Allah, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mzm. 42:2) (Dyrness 2001: 6869). Roh (ruakh) Kata ini yang muncul 389 kali, lebih sering dipergunakan untuk Allah (136 kali) daripada untuk orang atau binatang (129 kali). Arti dasarnya adalah “angin” atau “napas” yang fisik. Ruakh adalah angin yang menggoyangkan pohon-pohon (Yes. 7:2), atau hanya saat hari “sejuk” (Kej. 3:8), Ruakh adalah napas yang Tuhan berikan kepada umat manusia (Yes. 42:5), atau napas yang berbau busuk (Ayb. 19:17, harfiahnya, “napasku menimbulkan rasa jijik kepada istriku”). Kalau diperluas kata ini mempunyai arti tenaga vital – “kekuatan” – bila mengacu kepada manusia. Roh dapat menopang orang yang patah semangat (Ams. 18:14), meski Tuhan berjanji untuk menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya/rohnya (Mzm. 34:19). Karena kata roh, meski mengingatkan pada kekuatan, juga menunjuk kepada keterbatasan. Allahlah yang memberikan roh ini dan bila la mengambilnya kembali, maka orang tersebut kembali menjadi debu (Ayb. 34:14-15; Mzm. 104:29-30). Sebenarnya dalam ayat-ayat ini roh manusia dan Roh Allah hampir tidak terpisahkan (Dyrness 2001: 70-71). Roh dipakai untuk Allah guna menunjukkan kekuasaan-Nya yang besar. Oleh Roh-Nya (“napas”) bumi diciptakan (Mzm. 33:6) atau air Laut Merah tertimbun (Kel. 15:8). Karena itu, bila Roh Tuhan turun atas seseorang maka orang tersebut dianugerahi kuasa (Hak. 3:10; 6:34) atau wibawa yang luar biasa (Yes. 42:1). Pada saat Roh-Nya hinggap atas Yehezkiel, ia diberi kata-kata untuk diucapkan (Yeh. 11:5); dengan cara yang sama Bezaleel dikaruniai kemampuan artistik (Kel. 31:3). Dalam kebanyakan kasus ini roh berarti kuasa yang akan melengkapi kemampuan yang sudah ada, menambah apa yang masih 18
19
kurang (Yes. 11:2), meski bukan dengan unsur-unsur yang aneh dan bertentangan dengan watak manusia. Ketika Firaun mencari seorang yang “penuh dengan Roh Allah” (Kej. 41:38), maksudnya adalah seorang yang berakal budi dan bijaksana, yang kemampuannya sebagai manusia melebihi yang lain. Kemudian hari kata ini berarti organ hidup psikis manusia, yaitu arti umum bagi roh dewasa ini. Roh dapat juga berarti “hati” (Yeh. 11:5), “semangat” (Yer. 51:11) atau “ketetapan hati” (Yes. 19:3). Ketika ratu negeri Syeba melihat segala hikmat Salomo maka dia “tiada lagi bersemangat” (1 Raj. 10:5, TL). Namun, konotasinya tetap “kekuatan” atau “tenaga” yang manusia terima dari Allah dan tidak dapat dituntut atau dipertahankan untuk dirinya sendiri. Wolff menyimpulkan bahwa manusia itu mempunyai roh, hidup, mengingini apa yang baik dan berperilaku sebagai makhluk yang diberi kuasa – semua ini bukan berasal dari manusia sendiri” (Wolff 1974: 39). Dalam Perjanjian Lama sudahlah jelas bahwa hanya ketika orang mengenal Allah dan menerima kekuatan dari-Nya dapatlah seseorang menjadi manusia benar-benar. Daud tahu bahwa ia tidak mungkin mempunyai hubungan yang baik dengan Allah sebelum Allah menaruh “roh yang teguh” di dalam dirinya (Mzm. 51:10). Meskipun orang-orang percaya Perjanjian Lama sunggah-sungguh bersukacita dalam Allah mereka dan menikmati karunia-karunia-Nya, mereka tetap menantikan hari itu bilamana Allah akan mencurahkan Roh-Nya dengan limpah. Nabi Yoel berbicara tentang hari itu dan menghubungkannya dengan akhir zaman (Yl. 2:28-29). Dengan tegas Petrus menghubungkan pengaruniaan Roh Kudus pada Hari Pentakosta dengan nubuat ini (Kis. 2:16). Karunia yang melengkapi dengan kuasa untuk akhir zaman ini sekarang menjadi kepunyaan setiap orang percaya. Rasul Paulus menyebutnya jaminan warisan kita di surga (2 Kor. 1:22). Tetapi semuanya ini menjadi mungkin karena bagaimanapun juga manusia adalah gambar Allah. Bahkan peninjauan singkat mengenai “roh” ini menyatakan persamaan ajaib yang ada antara kita dengan Allah. Roh manusia berseru memohon pelengkapnya yang ilahi; Allah pada pihak-Nya mencari orang-orang yang mau beribadah kepada-Nya dalam roh dan kebenaran. Ketertarikan ini nyata dari pengalaman orang Kristen sendiri, karena Roh Allah bersaksi bersamasama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm. 8:16). Daging (basar) Kata basar yang biasanya diterjemahkan dengan “daging” muncul sebanyak 273 kali, dan sepertiganya menunjuk kepada binatang dan selebihnya menunjuk kepada manusia (tidak pernah dipakai untuk Allah). Jadi, dari permulaan kata daging menunjuk kepada kesamaan manusia dengan binatang dalam perbedaan mencolok dengan Allah. Kata ini dapat berarti daging saja, yaitu daging yang dimakan orang (Yes. 22:13; Ams. 23:20), tetapi lebih sering berarti daging sebagai karakteristik keberadaan tubuh (Ayb. 10:11; Mzm. 78:39). Dalam suatu contoh sintesis, “si aurat besar” menjadi penggambaran nafsu yang besar (Yeh. 16:26), dan pada saat daging manusia menjadi sangat menjijikkan, maka daging itu disamakan dengan daging binatang (Yeh. 23:19-20) (Childs 1973: 572; Dyrness 2001: 70-71). Sebagai istilah yang menandai keberadaan jasmaniah, kata daging acap kali berarti tubuh manusia selengkapnya. Meskipun bahasa Ibrani tidak mempunyai istilah untuk menunjukkan tubuh selengkapnya, tetapi istilah ini sering kali dipakai dalam arti demikian. Kata Pemazmur bahwa pada dagingnya (tubuhnya) tidak ada yang sehat oleh karena amarah Tuhan (Mzm. 38:4). Tubuh (daging) harus dicukur seluruhnya dalam upacara penahbisan orang Lewi (Bil. 8:7). Juga sering kali daging berarti eksistensi jasmaniah atau cara hidup yang jasmaniah. Ketika Pemazmur mengundang segala makhluk memuji nama Allah, ia mengundang segala orang dalam kehidupan jasmaniah mereka mencari Tuhan (Mzm. 145:21). Orang yang sedaging denganku secara fisik mempunyai hubungan keluarga denganku (Neh. 5:5; Kej. 29:14). 19
20
Sangatlah penting bahwa tidak ada petunjuk yang mengatakan daging adalah jahat atau sumber kejahatan. Tetapi orang sebagai daging dianggap lemah dan tidak mempunyai kekuatan. Ini terutama benar jika daging dibandingkan dengan Allah. Kejadian yang berdaging manakah yang dapat berdiri di hadapan Allah dan tetap hidup (Ul. 5:26)? Jika aku percaya kepada Allah, apakah yang dapat dilakukan daging terhadap aku (Mzm. 56:4)? Terkutuklah orang yang mengandalkan daging daripada Tuhan (Yer. 17:5,7). Sama halnya dengan roh, manusia sebagai daging mengharapkan kekuatan dari Tuhan (Ayb. 34;14-15). Seperti yang dinyatakan oleh Yesaya, “seluruh umat manusia (daging) adalah seperti rumput ... Rumput menjadi kering ... tetapi Firman Allah kita tetap untuk selarna-larnany” (Yes. 40:6, 8). Daging adalah bentuk kehidupan yang jasmaniah, tidak pernah menentang keakuan, melainkan merupakan sarana yang tepat bagi kehidupan rohani dan perorangan. Meski lemah, daging itu sendiri tidak jahat atau menjadi sumber kekecewaan. Karena dalam konteks inilah manusia dapat datang kepada Allah dan menemukan kekuatan dan perhentian. Pemazmur berdoa, kepada-Mu datang semua yang hidup (daging) (Mzm. 65:3). Bersama dengan jiwaku maka tubuhku (dagingku) rindu kepada-Mu (Mzm. 63:2). Dalam angan-angannya Nabi Yesaya mernbayangkan seluruh umat manusia (daging) datang untuk sujud menyembah Tuhan (Yes. 66:23), dan Yehezkiel menubuatkan bahwa Allah akan mengambil dari tubuh mereka hati kebatuan dan memberi mereka hati kedagingan (Yeh. 11:19). Jantung atau Hati (leb) Inilah kata yang paling umum di antara semua istilah lainnya di Perjanjian Lama untuk mengacu pada seseorang dan hidupnya. Kata ini muncul sekitar 850 kali dalam berbagai bentuknya dan hampir selalu menunjuk kepada manusia (hanya lima kali menunjuk kepada hewan). Bila pernah ada istilah yang telah disalahartikan dalam terjemahannya, maka istilah itu ialah “jantung atau hati”. Dalam pengertian modern, kata ini kurang mengandung kedalaman arti yang dimilikinya dalam konteks alkitabiah. Dari satu segi, kata “hati” menunjuk kepada aspek internal dari jiwa. Namun pemahaman ini pun menyempitkan wawasannya karena hampir-hampir tidak ada proses rohani yang tidak dikaitkan dengan hati. Perjanjian Lama tidaklah terlalu tertarik akan anatomi, karena leb sering kali dipakai sebagai bandingan untuk “isi perut” yang dianggap sebagai pusat emosi yang dalam (Mzm. 38:11; 26:2). Di I Samuel 25:37-38, jantung Nabal berhenti dan Nabal menjadi seperti batu. Namun Nabal masih hidup sepuluh hari lagi. Jelaslah bahwa yang dimaksud adalah emosinya dan bukan jantungnya. Dalam Hosea 13:8, “ ... mengoyakkan dada mereka” (dari naskah Ibraninya “merobek leb mereka”) nampaknya memiliki arti yang lebih harafiah; dalam 2 Raja-Raja 9:24 jelas leb berarti jantung yang sesungguhnya. Yang jauh lebih penting bagi orang Ibrani daripada sekadar rujukan anatomi untuk leb (yang diterjemahkan sebagai jantung) ialah tempat leb (yang diterjemahkan sebagai hati) dalam keberadaan seseorang. Leb terletak pada tingkat perasaan yang terdalam dan mencatat tanggapan-tanggapan yang paling dalam terhadap hidup. Yeremia 4:19 melukiskan kesedihan yang dialami nabi itu menghadapi peperangan yang berada di ambang pintu dengan istilah-istilah yang beginu dramatis sehingga kita cenderung mengira bahwa Yeremia terkena serangan jantung. Pada saat hati kita lemah lesu, maka kita berada dalam keadaan yang paling parah (Mzm. 61:3). Jelaslah keadaan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling dalam dari manusia (Mzm. 25:17). Bahwa pemahaman ini dapat dilihat dari beberapa pemakaian istilah leb ini secara kiasan yang menyiratkan tempat yang tak terhampiri atau terpencil letaknya (“di tengah-tengah laut”, Ams. 30:19). Jadi, hati atau leb merupakan bagian seseorang yang hanya dapat dilihat oleh Tuhan. Manusia dapat melihat 20
21
penampilan lahiriah saja (I Sam. 16:7), namun di dalam hati (leb) sekalipun kita tidak dapat menyimpan rahasia dari Tuhan (Ams. 24:12). Pada tingkat leb dalam watak manusia terletak bidang keinginan dan – jauh lebih penting lagi – keputusan-keputusan dari kehendak. Sering kali kita membaca mengenai keinginan hati seseorang, artinya keinginannya yang terdalam (Ams. 21:2). Hasil pemikiran dari hati yang penuh dosa adalah jahat senantiasa (Kej. 6:5); orang bebal berkata dalam hatinya tidak ada Allah (Mzm. 14:1). Pada saat hati sudah mengeras seseorang menjadi keras kepala dan tidak bisa diajak berunding (Kel. 7:22; Yos. 11:20); namun ketika hati meluluh, pikiran pun berubah (Yos. 14:8). Namun, sekalipun seseorang mengambil keputusan dalam hati, Allahlah yang memimpin hidupnya (Ams. 16:9). Jadi, keputusan yang teguh ialah keputusan yang bersandar kepada Tuhan (Mzm. 57:8; 108:2). Jadi, hati merupakan bagian dari kepribadian seseorang yang harus diserahkan kepada Tuhan. Seperti yang diterangkan oleh Yeremia, bukanlah kulit khatan kita yang harus disunat tetapi hati kita (Yer. 4:4). Jadi, hati adalah pusat kehidupan perorangan: diri pribadi yang mempertimbangkan, menanggapi, mengambil keputusan. Pengetahuan hati sama sekali tidak abstrak atau tidak bersifat pribadi. Hal itu dinyatakan melalui partisipasi perorangan dan keputusan yang diambil dengan pertimbangan (Ul. 29:3, 4). Dari penjelasan tentang watak manusia di atas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki sifat dasar yakni sebagai satu kesatuan atau sebagai dwirangkap. Kesatuan manusia: tubuh dan jiwa bersama-sama dalam hubungan timbal balik. Keadaan rohani terungkap dalam tubuh, dan di pihak lain, pribadi-pribadi mengungkapkan diri dalam dan melalui tubuh mereka. Hati manusia menyatakan kesatuan pikiran, kehendak, dan perasaan manusia. Tetapi pada saat yang sama, pertimbangan-pertimbangan penting berpihak pada sisi dwirangkap itu, bahwa seorang individu terdiri dari dua bagian, meski ada hubungan timbal balik yang bagaimanapun. Karena tubuh nyata-nyata berasal dari debu tanah, dan hidup itu berasal dari Allah. Allah telah menjadikannya satu, karenanya tak pada tempatnya untuk menganggap tubuh sebagai penjara bagi jiwa. Vitalitas kehidupan manusia dalam Perjanjian Lama meminta penyingkapan lebih lanjut dari kehidupan tubuh yang merupakan wahana yang sesuai bagi persekutuan dengan Allah. Kesimpulan Dari uraian di atas nampak apa yang diajarkan Perjanjian Lama mengenai hidup manusia. Gambaran utama Perjanjian Lama mengenai manusia ialah bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. Inilah konsep yang membedakan antropologi dalam Alkitab dari semua pandangan lain mengenai manusia. Manusia sebagai gambar Allah terdiri aspek struktur dan fungsinal dan mencakup hubungan-hubungan dengan Allah, dengan sesama dan dengan alam. Gambar Allah pada manusia tidak hanya ditemukan di dalam diri, melalui kapasitas mental dan rohani, tetapi juga di luar, melalui tindakan penatalayanannya atas alam dan kehidupannya. Walaupun secara rohani manusia telah rusak karena telah terpisah dari Allah tetapi aspek dari gambar dalam rupa Allah seperti berkuasa untuk memerintah dan menaklukan bumi tidak hilang. Atau dengan keadaan yang telah berdosa tersebut tidak menghilangkan gambar Allah yang ada di dalam diri manusia. Dengan kata lain, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tetap menyandang gambar Allah. Maka sebagai penyandang gambar Allah, baik dalam keadaan sebelum kejatuhan maupun setelah jatuh ke dalam dosa, manusia tetap menjadi mitra Allah dalam menatalayan dan memelihara ciptaan yang lain. Ini berarti tugas menatalayan dan memelihara ciptaan yang Allah 21
22
berikan sebagai tugas dan tanggung jawab manusia secara universal dan juga secara individu. Daftar Pustaka Bavinck, Herman. Gereformeerde Dogmatiek. Kampen: Kok, 1918. Childs, Brevards. Biblical Theology of The Old and New Testament Theological Reflection on the Christian Bible. Minneapolis: Fortress, 1993. Dyrness, W. Tema-Tema Dalam Perjanjian Lama. Malang: gandum Mas, 2002. Francis, Brown, S.R. Driver, and Charles A. Briggs. A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament (berdasarkan kamus William Gesenius). Oxford: Clarendon Press, 1978. Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, diterjemahkan oleh Irwan Tjulianto. Surabaya: Momentum, 2000. Keil, C.F. and F. Delitzsch, Biblical Commentary on the Old Testament, vol. I. Edinburgh: T & T Clark, 1961. Skinner, B.F. Beyond Freedom and Dignity. New York: Alfred A. Knopf, 1972. Theological Dictionary of the New Testament, jilid 3:1011. Verduin, Leonard. Somewhat less than God. Grand Rapids: Eerdmans, 1970. Wolff, H.W. Anthropology of the Old Testament. Philadelphia: Fortress, 1974.
22