Tinjauan Faktor Perilaku Kerja Tidak Selamat pada Pekerja Konstruksi Bagian Finishing PT. Djasa Ubersakti Proyek Pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel Tahun 2014 Megy Armada Putra, L. Meily Kurniawidjaja Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Email :
[email protected] Abstrak Satu dari beberapa karakteristik proyek konstruksi yaitu mempunyai risiko yang tinggi terhadap kecelakaan kerja. Sebagian besar kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh adanya perilaku tidak selamat dalam bekerja. Tujuan penelitian adalah mengetahui faktor penyebab perilaku kerja tidak selamat melalui metode analisis Lawrence Green untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja pada pekerja konstruksi di proyek pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel tahun 2014. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan pendekatan semi kuantitatif. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi. Populasi yang diteliti adalah pekerja bagian finishing sebanyak 65 responden. Desain penelitian cross sectional, observasi, kuesioner, wawancara dan analisis data menggunakan chi-square. Hasil telitian menunjukkan bahwa mayoritas pekerja berperilaku kerja tidak selamat (53,8%). Berdasarkan hasil uji statistik terlihat adanya hubungan yang signifikan antara persepsi tentang hambatan berperilaku kerja selamat, ketersediaan fasilitas keselamatan kerja, dan peraturan keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat pekerja konstruksi.
Review of Unsafe Bahaviour Factor on Construction Workers Part of Finishing in Project Development Bogor Valley Residence and Hotel PT. Djasa Ubersakti 2014 Abstract One of several characteristics of construction project that have a higher risk of accidents. Most of the work accident occurs due to the unsafe bahaviour in working. The purpose of the research was to determine the causes of workplace unsafe behavior through Lawrence Green analytical methods to prevent work accidents at construction workers in the construction project Bogor Valley Residence and Hotel in 2014. Research was a descriptive analytic study with semi-quantitative approach. The sampling method used was to test the hypothesis using two different formulas proportions. The population be researched was part of finishing as many as 65 workers as respondents. Desaign of research were Cross-sectional, observation, questionnaires, interviews and data analysis using chi-square. The results show that the majority of workers have unsafe behavior (53.8%). Based on the results of statistical tests show there is a significant relationship between perceptions of barriers to safe work behavior, availability of safety facility, and the safety regulations with unsafe behavior of construction workers. Keywords: Safety behavior, Lawrence Green Method, Construction
Pendahuluan Perkembangan yang pesat dalam proyek konstruksi menyebabkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja menjadi penting. Hal ini disebabkan semakin kompleksnya pekerjaan sehingga semakin tinggi resiko terhadap kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Menurut
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
Kurniawidjaja (2011), berbagai potensi bahaya dan risiko yang terdapat di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan, keterbatasan dari pekerja, perilaku hidup tidak sehat, perilaku kerja yang tidak selamat, buruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik, dan pengorganisasian pekerjaan serta budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan International Labor Organization (2011), menyatakan bahwa diperkirakan di seluruh dunia lebih dari 2,3 juta orang meninggal disebabkan karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Hasil laporan tahunan yang diterbitkan oleh Jamsostek dalam kurun waktu lima tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan jumlah kasus kecelakaan. Data kecelakaan tersebut diantaranya tahun 2008 yaitu terdapat jumlah kecelakaan kerja sebesar 94.736 kasus, tahun 2009 yaitu 96.314 kasus, tahun 2010 yaitu 98.711 kasus, tahun 2011 yaitu sebesar 99.491 kasus dan pada tahun 2012 terdapat 103.074 kasus kecelakaan kerja. (Jamsostek, 2012). Sedangkan berdasarkan BPJS (2014), angka kecelakaan kerja di Indonesia periode Januari sampai April 2014 mencapai 8.900 kasus. Konstruksi merupakan kegiatan dengan level risiko tinggi dan dapat menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, terutama dalam aspek keselamatan kerja. Dampak yang bisa timbul dari kegiatan konstruksi diantaranya berupa rusaknya peralatan yang digunakan, rusaknya lingkungan sekitar proyek, bahkan dapat menghilangkan nyawa dari pekerja. Pekerja yang sudah ahli didalam proyek konstruksi juga tidak terlepas dari kejadian kecelakaan kerja. (Abduh, 2010). Faktor manusia merupakan salah satu penyebab utama kecelakaan kerja setelah faktor manajemen. Faktor manusia tersebut terdiri dari pengetahuan, motivasi, keterampilan yang kurang, dan kelelahan fisik (Bird and Germain,1996). Senada dengan hal tersebut, menurut Cooper (2009), menyebutkan bahwa perilaku kerja tidak selamat (unsafe behavior) merupakan perilaku kelalaian oleh manusia yang sering kali menyebabkan terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Berdasarkan hasil telitian yang dilakukan DuPont Company (2005), menunjukkan bahwa 96% kecelakaan kerja disebabkan oleh perilaku kerja tidak selamat (unsafe behavior) dan 4% disebabkan oleh kondisi tidak aman (unsafe condition). Hal tersebut sejalan dengan hasil riset yang dilakukan National Safety Council (2011), yang menunjukkan bahwa penyebab dari kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition, dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Pekerja yang melakukan perilaku kerja tidak selamat (unsafe action) memiliki latar belakang mengapa mereka melakukan tindakan tersebut. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pekerja untuk berperilaku kerja tidak selamat. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
perilaku individu yaitu faktor dasar (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). PT. Djasa Ubersakti merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi yang didirikan pada tanggal 22 Februari 1971. PT. Djasa Ubersakti sebagai perusahaan kontraktor bidang jasa dan sektor industri dengan aktivitas-aktivitas produksi (pekerjaan) saat ini meliputi sub bidang perencanaan atau perancangan (engineering), penyelia atau pengadaan (procurement) dan pembangunan atau konstruksi (construction). Pekerjaan tersebut disingkat dan lebih dikenal sebagai EPC (Engineering, Procurement, Construction). Saat ini PT. Djasa Ubersakti sedang melakukan proyek pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel yang berada di kawasan Bogor, Jawa Barat. Dalam kegiatan konstruksi tersebut banyak ditemukan potensi bahaya dan risiko yang bisa menyebabkan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja. Berdasarkan data laporan tahunan kecelakaan kerja di proyek Bogor Valley Residence dan Hotel pada periode bulan September 2013 sampai dengan Februari 2014 terjadi 16 kecelakaan kerja. Dengan level risiko pekerjaan tinggi, perlu budaya keselamatan yang efektif agar dapat menekan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Hal tersebut dapat dilakukan dengan fokus mengurangi perilaku kerja tidak selamat pada pekerja konstruksi, salah satunya melalui pendekatan perilaku.
Tinjauan Teoritis Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah segala bentuk tindakan dan aktivitas manusia itu sendiri baik yang bisa diamati secara langsung maupun yang tidak bisa diamati pihak luar. Sedangkan menurut Skinner seorang ahli psikologi, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2012), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Salah satu bentuk perilaku yang berisiko menimbulkan kecelakaan kerja adalah perilaku kerja tidak selamat. Menurut Kletz (2001), pada dasarnya tindakan atau perilaku tidak selamat dapat dianalogikan dengan kesalahan manusia dalam mengambil sikap atau tindakan. Apabila kita perhatikan teori kesalahan manusia, ada beberapa penyebab mengapa sesorang melakukan kesalahan. Kesalahan manusia bisa disebabkan oleh beberapa hal, yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
1. Kesalahan karena lupa Kesalahan ini terjadi pada seseorang yang sebetulnya mengetahui, mampu dan berniat mengerjakan secara benar dan aman serta telah biasa dilakukan. Namun, orang tersebut melakukan kesalahan karena lupa. 2. Kesalahan karena tidak tahu Kesalahan ini terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara mengerjakan atau mengoperasikan peralatan dengan benar dan aman, atau terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut biasanya terjadi disebabkan karena kurangnya pelatihan, kesalahan instruksi, perubahan informasi yang tidak diberitahukan, dan lain-lain. 3. Kesalahan karena tidak mampu Kesalahan jenis ini terjadi dikarenakan orang tersebut tidak mampu melakukan tugasnya. Contoh : pekerjaan terlalu sulit, beban fisik maupun mental pekerjaan terlalu berat, tugas atau informasi terlalu banyak, dan lain-lain. 4. Kesalahan karena kurang motivasi Kesalahan karena kurangnya motivasi dapat terjadi akibat : a. Dorongan pribadi, misalnya ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin merasa nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil risiko yang berlebihan, dan lain-lain. b. Dorongan lingkungan, misalnya lingkungan fisik, sisem manajemen, contoh dari pimpinan, dan lain-lain. Menurut teori Lawrance Green dalam buku Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu: faktor predisposisi (predisposing), faktor pemungkin (enabling), dan faktor penguat (reinforcing). 1) Faktor Predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi adalah faktor anteseden (sesuatu yang mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku tersebut) yang memberikan alasan atau motivasi seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Faktor predisposisi meliputi pengetahuan, persepsi, sikap, keyakinan, nilai, dan semua yang berhubungan dengan motivasi seorang individu atau kelompok untuk bertindak. Faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, dan status sosial ekonomi juga merupakan faktor predisposisi yang penting.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
2) Faktor Pemungkin (enabling factor) Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan alasan atau motivasi tersebut direalisasikan. Faktor-faktor pemungkin adalah lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas dan sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya: ketersediaan APD, kenyamanan dalam pemakaian APD, pelatihan, aksesibilitas, dan sebagainya. 3) Faktor Penguat (reinforcement factor) Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat juga merupakan faktor penyerta perilaku yang memberikan gambaran, insentif, atau hukuman atas perilaku dan juga berperan dalam menetapkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut. Faktor tersebut seperti sikap dan perilaku dari petugas kesehatan terkait, undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya.
•
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dimana hal tersebut terjadi setelah seseorang melakukan proses pengindraan (sebagian besar diperoleh dari indera mata dan telinga) terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan (Notoatmodjo, 2012).
•
Persepsi Menurut Atkinson dan Hilgard (1991), menyatakan persepsi merupakan proses seseorang menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan sebagai cara pandang. Persepsi muncul akibat adanya respon terhadap stimulus, dimana persepsi dihasilkan melalui suatu proses yang rumit. Proses tersebut diawali dengan stimulus yang sangat komplek diterima oleh seseorang, lalu stimulus tersebut masuk ke dalam otak kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna.
•
Ketersediaan Fasilitas Menurut Teori Lawrence Green, perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor, salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Hal tersbut merupakan perwujudan dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum akan terjadi dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung untuk terbentuknya perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2012). Salah
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
satu bentuk ketersediaan fasilitas keselamatan kerja oleh perusahaan adalah seperti ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), tempat penitipan APD, standar prosedur kerja, pelatihan, area khusus merokok di tempat kerja, dll.
•
Pengawasan Kelemahan dari peraturan keselamatan kerja adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi aktivitasnya dalam bekerja. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002:199). Oleh karena itu, diperlukan pengawasan terhadap perilaku kerja tidak selamat untuk menegakkan peraturan di tempat kerja.
•
Peraturan Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar, norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Salah satu dari strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan, misalnya dengan peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama, karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran diri sendiri (Notoatmodjo, 2012).
Metodologi Penelitian Desain penelitian ini adalah pendekatan cross-sectional, dimana variabel dependen dan independen diukur pada waktu yang bersamaan (one point in time). Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan pendekatan semi kuantitatif untuk melihat faktorfaktor determinan yang berhubungan dengan perilaku kerja tidak selamat pada pekerja. Peneltian ini dilakukan di PT. Djasa Ubersakti proyek pembangunan apartemen Bogor Valley Residence dan Hotel, yang berlokasi di jalan Raya Soleh Iskandar No. 5, Kedung Badak - Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - Mei tahun 2014. Populasi penelitian pekerja konstruksi bagian finishing PT. Djasa Ubersakti proyek pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel berjumlah ±70 orang. Besar minimal sampel dengan tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 80% menggunakan rumus uji Hipotesis Beda 2 Proporsi adalah 131 orang. Namun, karena keterbatasan jumlah populasi pekerja maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian, besar kekuatan uji penelitian dihitung dengan
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
menggunakan rumus uji Hipotesis Beda 2 Proporsi (Ariawan, 1998). Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, pengisian data kuesioner, pedoman wawancara serta mendokumentasikan kegiatan di lapangan dengan menggunakan kamera dan buku catatan serta alat tulis sebagai alat bantu untuk penulisan laporan penelitian. Observasi digunakan untuk mengetahui gambaran dari perilaku kerja tidak selamat pada pekerja konstruksi sehingga dapat ditentukan variabel independepen apa saja yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan wawancara digunakan sebagai triangulasi data yakni pembanding dengan data hasil kuesioner sehingga bisa menambah informasi untuk analisis dalam pembahasan penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis univariat dan bivariat. Hasil Penelitian •
Karakteristik Responden Dari hasil telitian menunjukkan bahwa distribusi umur responden paling banyak berusia antara 17-30 tahun, yakni berjumlah 38 responden (58,5%). Sebagian besar responden (60%) berpendidikan menengah kebawah. Mayoritas responden (60%) baru bekerja dibidang konstruksi selama kurang dari 1 tahun. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Total
Karakteristik Responden
N = 65
%
~ Umur
17-‐30
38
58.5
31-‐40
14
21.5
41-‐50
9
13.8
>50
3
6.2
~ Pendidikan
Tidak tamat SD
3
4.6
Tamat SD
9
13.8
Tamat SMP
29
44.6
Tamat SMA
23
35.4
1
1.5
Tamat Perguruan Tinggi ~ Lama Bekerja
< 6 Bulan
24
36.9
6 Bulan -‐ 1 Tahun
15
23.1
1 -‐ 2 Tahun
10
15.4
> 2 Tahun
16
24.6
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
•
Perilaku Kerja Tidak Selamat Hasil telitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden yaitu sejumlah 35 orang (53.8%) berperilaku kerja tidak selamat. Sedangkan 30 orang (46.2%) berperilaku kerja selamat. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perilaku Kerja Tidak Selamat
•
Perilaku Kerja
Jumlah
Persentase (%)
Selamat
30
46.2
Tidak selamat
35
53.8
Total
65
100
Pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat Dari hasil telitian disimpulkan bahwa, sebagian besar responden memiliki pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat yang baik yakni sebanyak 38 responden (58.5%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai P-value = 0,313 atau P-value > 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat.
•
Persepsi tentang hambatan untuk berperilaku kerja selamat Sebagian besar responden berpersepsi bahwa untuk berperilaku kerja selamat memiliki hambatan yang kecil yakni sebanyak 37 responden (56.9%). Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square diperoleh nilai P-value sebesar 0.005 atau P-value < 0,05. Maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi pekerja tentang hambatan berperilaku kerja selamat dengan perilaku kerja tidak selamat.
•
Ketersediaan fasilitas keselamatan kerja Hasil telitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan perusahaan telah menyediakan fasilitas keselamatan kerja yang dibutuhkan dengan baik yakni sebanyak 36 responden (55.4%). Dan terdapat 29 responden (44.6%) yang menyatakan perusahaan masih kurang baik dalam menyediakan fasilitas keselamatan kerja. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai P-value sebesar 0,012 atau P-value < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan fasilitas keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
•
Pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat Berdasarkan hasil telitian diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat yang dilakukan perusahaan sudah baik yakni sebanyak 44 responden (67.7%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai P-value sebesar 0,189. Karena nilai P-value > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat. Tabel 3. Hubungan antara Variabel Independen dengan Perilaku Kerja Tidak Selamat Perilaku Faktor Risiko
Selamat
Tidak selamat
Total
N = 30
%
N = 35
%
N = 65
%
20
52.6
18
47.4
38
58.5
10
37
17
63
27
41.5
23 7
62.2 25
14 21
37.8 75
37 28
56.9 43.1
22
61.1
14
38.9
36
55.4
8
27.6
21
72.4
29
44.6
23
52.3
21
47.7
44
67.7
7
33.3
14
66.7
21
32.3
§ Ada
25
61
16
39
41
63.1
§ Tidak Ada
5
20.8
19
79.2
24
36.9
Pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat § Baik § Kurang Baik Persepsi tentang hambatan berperilaku kerja selamat § Kecil § Besar
PValue
OR (95% CI)
0.313
1.89 (0.69-5.17)
0.005
4.93 (1.67-14.56)
0.012
4.12 (1.44-11.84)
0.189
2.19 (0.74-6.47)
0.02
5.94 (1.85-19.09)
Ketersediaan fasilitas keselamatan kerja § Baik § Kurang Baik Pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat § Baik § Kurang Baik Peraturan keselamatan kerja
•
Peraturan keselamatan kerja Sebagian besar responden menyatakan bahwa perusahaan telah memiliki peraturan keselamatan kerja yang mengatur untuk berperilaku selamat dalam bekerja yakni sebanyak 41 responden (63.1%). Dan sebanyak 24 responden (36.9%) yang menyatakan perusahaan belum mempunyai peraturan terkait perilaku kerja selamat. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai P-value sebesar 0,02 atau P-value
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
<0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan peraturan keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat. Pembahasan 1. Analisis Perilaku Kerja Tidak Selamat Menurut Bird dan Germain (1990), perilaku tidak selamat adalah perilaku yang dapat membolehkan terjadinya suatu kecelakaan kerja atau insiden. Berdasarkan hasil telitian, didapatkan bahwa 53,8% responden berperilaku kerja tidak selamat. Hasil telitian ini menunjukkan bahwa faktor yang signifikan berhubungan dengan perilaku kerja tidak selamat adalah persepsi pekerja tentang hambatan berperilaku kerja selamat, ketersediaan fasilitas keselamatan kerja, dan peraturan keselamatan kerja. Hal itu diduga berhubungan dengan masih tingginya responden yang berperilaku kerja tidak selamat. 2. Pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2012). Menurut Green (1980), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh (predisposing factor) sebagai pendorong atau penghambat individu untuk berperilaku. Hasil telitian ini, menunjukkan 41,5% responden berpengetahuan kurang baik tentang perilaku kerja tidak selamat. Hal ini diduga berhubungan dengan banyak pekerja yang berpendidikan hanya sampai jenjang SMP, SD dan bahkan tidak tamat SD yaitu 63 %. Hasil telitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2007), yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon lebih baik terhadap informasi yang bermanfaat dibanding dengan yang berpendidikan rendah. Selain itu, hasil telitian ini juga menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat. Hasil jawaban kuesioner didapatkan bahwa 47,4% responden yang berpengetahuan baik tentang perilaku kerja tidak selamat namun masih berperilaku kerja tidak selamat. Artinya, tingkat pengetahuan yang baik tidak menjamin seseorang akan berperilaku kerja secara selamat. Hal tersebut diduga berhubungan dengan tingkatan pengetahuan reponden. Menurut Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa dalam domain kognitif pengetahuan memiliki 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Berdasarkan
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
hasil kuesioner diketahui bahwa, 76,9% responden telah mengetahui bahwa APD harus selalu digunakan walaupun belum terjadi kecelakaan kerja. Selain itu, sebagian besar responden (56,9%) telah mengetahui bahwa perilaku kerja tidak selamat adalah penyebab dari kecelakaan kerja. Dari hasil data tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkatan pengetahuan responden tentang perilaku kerja tidak selamat masih dibawah tingkatan pengetahuan aplikasi. Pada tingkat aplikasi, pekerja seharusnya telah memiliki kemampuan menggunakan pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat yang dimilikinya untuk diaplikasikan dalam bentuk berperilaku kerja selamat saat bekerja. Walaupun tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat, tetapi sebaiknya perusahaan perlu mempertahankan dan meningkatkan lagi tingkat pengetahuan pekerja mengenai bahaya dari berperilaku kerja tidak selamat antara lain dengan penambahan frekuensi safety talk, pemberian pelatihan tentang perilaku selamat dalam bekerja, pemasangan papan wajib baca mengenai bahaya dan risiko berperilaku kerja tidak selamat di tempat yang mudah dilihat oleh seluruh pekerja. 3. Persepsi tentang hambatan berperilaku kerja selamat Hasil telitian ini, menunjukkan 43,1% responden berpersepsi tentang hambatan untuk berperilaku kerja selamat yang besar. Dari kategori kelompok responden tersebut, 67,7% responden menyatakan tidak nyaman dalam menggunakan APD dan 60% responden menyatakan sudah tidak ada bahaya di area kerja sehingga tidak perlu lagi menggunakan APD saat bekerja. Hal tersebut diduga berhubungan dengan masih terdapatnya responden yang berpersepsi mempunyai hambatan yang besar untuk berperilaku kerja selamat. Hasil telitian ini sejalan dengan teori Geller (2001), yang menyatakan bahwa penerapan perilaku aman dalam bekerja pada umumnya menyebabkan pekerja merasa kurang nyaman. Untuk itu perlu disiapkan sebuah konsekuensi berupa peraturan yang mengatur hukuman serta penghargaan. Persepsi memiliki kaitan erat dengan pengetahuan, pekerja yang tidak mengetahui bahaya dan risiko yang terdapat di area proyek maka akan berpersepsi bahwa sudah tidak ada ancaman yang dapat membahayakan keselamatan jiwa mereka walaupun mereka berperilaku kerja tidak selamat seperti tidak menggunakan APD. Hasil telitian ini juga sejalan dengan pendapat Rachmat (1985), yang menyatakan bahwa perbedaan persepsi disebabkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Menurut Notoatmodjo (2005), pengalaman atau pengetahuan merupakan faktor internal
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
yang
menyebabkan
stimulus
yang
diterima
panca
indera
untuk
kemudian
diinterpretasikan sebagai persepsi. Berdasarkan hasil telitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara persepsi pekerja tentang hambatan berperilaku kerja selamat dengan perilaku kerja tidak selamat. Berdasarkan hasil kuesioner, diketahui 75% responden yang berpersepsi mempunyai hambatan yang besar untuk berperilaku kerja selamat dan berperilaku kerja tidak selamat. Adanya hubungan yang bermakna antara persepsi tentang hambatan untuk berperilaku kerja selamat dengan perilaku kerja tidak selamat, berarti bahwa perilaku pekerja akan selamat jika pekerja berpersepsi mempunyai hambatan yang kecil untuk berperilaku kerja selamat. Oleh karena itu, perusahaan perlu mempertahankan persepsi pekerja yang telah baik dan merubah persepsi pekerja yang masih kurang baik. 4. Ketersediaan fasilitas keselamatan kerja Hasil telitian, menunjukkan bahwa 44,6% responden menyatakan ketersediaan fasilitas keselamatan kerja masih kurang baik. Dari responden tersebut, 73,8% menyatakan bahwa pihak perusahaan belum menyediakan area dan jam khusus merokok di tempat kerja. 63% menyatakan masih sulit dalam mendapatkan APD serta masih terdapat 36,9% responden yang menyatakan belum terdapat prosedur kerja terkait perilaku kerja selamat. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa perusahaan belum menyediakan fasilitas keselamatan kerja seperti area khusus merokok dan tempat penitipan APD bagi pekerja. Menurut pihak manajemen ketersediaan APD untuk pekerja telah mencukupi, namun masih terdapat beberapa kendala sehingga ketersediaan APD belum secara maksimal terpenuhi. Sedangkan untuk ketersediaan prosedur kerja, menurut hasil wawancara diketahui bahwa perusahaan telah membuat prosedur kerja selamat seperti prosedur pemakaian APD dan prosedur mengangkat beban dengan benar (ergonomi). Hal tersebut sejalan dengan hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan telah terdapat prosedur kerja selamat. Namun, masih terdapat 36,9% responden yang belum mengetahui adanya prosedur kerja selamat dan berperilaku kerja tidak selamat di proyek. hal itu diduga berhubungan dengan sosialisasi tentang peraturan dan prosedur kerja yang berlaku di proyek belum berjalan secara menyeluruh.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
Berdasarkan hasil telitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan fasilitas keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat. Berdasarkan hasil kuesioner didapatkan bahwa 72,4% responden tersebut menyatakan ketersediaan fasilitas keselamatan kerja kurang baik dan berperilaku kerja tidak selamat. Adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan fasilitas keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat berarti bahwa perilaku pekerja akan selamat jika terdapat fasilitas keselematan kerja yang menunjang mereka untuk berperilaku kerja selamat. Oleh karena itu, perusahaaan wajib menyediakan fasilitas keselamatan kerja seperti APD, area khusus merokok, tempat penitipan APD, prosedur kerja dan pelatihanpelatihan K3 yang dibutuhkan oleh pekerja. 5. Pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat Hasil telitian ini menunjukkan bahwa responden yang menyatakan pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat masih kurang baik sebesar 32,3%. Dari responden tersebut, 70,8% responden menyatakan bahwa pengawas K3/mandor tidak menegur jika mereka berperilaku kerja tidak selamat. Dan 50,8% responden menyatakan pengawas K3/mandor tidak memeriksa kelengkapan APD mereka sebelum bekerja. Berdasarkan hasil telitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat. Hasil kuesioner didapatkan bahwa 47,7% responden yang menyatakan pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat telah berjalan baik namun masih berperilaku kerja tidak selamat. Geller (2001) menyatakan bahwa sebagian besar pekerja yang berperilaku berisiko memiliki kemampuan untuk mengindari tindakan tersebut. Tetapi dikarenakan kurangnya motivasi, mereka cenderung untuk tetap melakukan perilaku tersebut. Faktor individu lain seperti emosi, persepsi, perasaan, niat, gaya berpikir, dan kepribadian diduga berhubungan kuat dengan perilaku kerja tidak selamat pekerja dibandingkan dengan faktor eksternal seperti pengawasan. Walaupun tidak ada hubungan yang bermakna antara pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat dengan perilaku kerja tidak selamat, tetapi sebaiknya perusahaan perlu meningkatkan lagi pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat kepada pekerja. Pengawasan yang dilakukan sebenarnya tidak hanya peran dari petugas safety saja, tetapi semua elemen seperti mandor/subkon, staf pegawai, supervisor, site manajer, project manager, maupun owner seharusnya ikut terlibat dalam melakukan pengawasan tentang
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
masalah K3 khususnya dalam hal perilaku kerja tidak selamat. Hal tersebut bisa diwujudkan dengan konsisten melaksanakan inspeksi P2K3 secara rutin setiap minggu sesuai dengan jadwal inspeksi P2K3 yang telah dibuat. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab akan keselamatan dan kesehatan kerja oleh semua elemen perusahaan, maka dianjurkan pada saat safety talk/briefing pihak yang menyampaikan informasi tentang materi safety tidak selalu oleh pengawas K3 tetapi sebaiknya bisa dilakukan juga oleh mandor, supervisor, project manager, bahkan owner sehingga bisa menjadi panutan bagi pekerja. 6. Peraturan keselamatan kerja Hasil telitian menunjukkan bahwa responden yang belum mengetahui adanya peraturan keselamatan kerja yang berlaku di proyek sebesar 36,9% responden. Dari responden tersebut, 75,3% menyatakan bahwa tidak ada sanksi/denda yang diberikan oleh perusahaan jika mereka melakukan perilaku kerja tidak selamat. Hal tersebut diduga terkait dengan sosialisasi tentang sanksi peraturan keselamatan kerja yang tidak menyeluruh. Selain itu berdasarkan hasil telitian, diketahui bahwa 60% responden baru bekerja di proyek kurang dari 1 tahun sehingga kemungkinan belum mengetahui tentang adanya peraturan dan sanksi yang berlaku di proyek. Berdasarkan hasil telitian, menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peraturan keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat. Dari hasi kuesioner terdapat 79,2% responden yang menyatakan tidak ada peraturan keselamatan kerja dan berperilaku kerja tidak selamat. Adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan peraturan keselamatan kerja dengan perilaku kerja tidak selamat, berarti bahwa perilaku pekerja akan selamat jika pekerja telah mengetahui ada peraturan yang mengatur tentang keselamatan dalam bekerja. Oleh karena itu, pihak manajemen perlu meningkatkatkan pengetahuan dari pekerja tentang peraturan dan sanksi yang berlaku. Hal tersebut dapat dilakukan melalui media tertulis seperti spanduk, poster, atau rambu-rambu yang berisi larangan serta sanksi. Sosialisasi peraturan dan sanksi bisa lebih disampaikan pada saat safety induction dan safety talk. Selain itu, perlu dibuatkan peraturan tentang penggunaan handphone serta hal-hal yang dapat menggangu saat bekerja seperti mendengarkan musik. Diharapkan perusahaan dapat secara konsisten menerapkan sanksi/denda bagi siapa pun yang melanggar peraturan keselamatan kerja tanpa terkecuali baik pekerja maupun pimpinan perusahaan.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
Simpulan Berdasarkan telitian yang telah dilakukan mengenai faktor yang berhubungan dengan perilaku kerja tidak selamat pada pekerja konstruksi di proyek pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden berperilaku kerja tidak selamat, yaitu sebesar 53,8%. Hal tersebut diduga berhubungan dengan faktor persepsi pekerja tentang hambatan berperilaku kerja selamat, ketersediaan fasilitas keselamatan kerja, dan peraturan keselamatan kerja. 2. Responden berpengetahuan kurang baik tentang perilaku kerja tidak selamat sebesar 41,5%. Hal tersebut diduga berhubungan dengan faktor tingkat pendidikan pekerja yang masih rendah. 3. Responden berpersepsi mempunyai hambatan yang besar untuk berperilaku kerja selamat sebanyak 43,1%. Hal tersebut diduga berhubungan dengan faktor pengetahuan pekerja tentang bahaya serta risiko di proyek, ketidaknyamanan menggunakan APD, dan faktor ketersediaan fasilitas keselamatan kerja. 4. Responden yang menyatakan ketersediaan fasilitas keselamatan kerja masih kurang baik sebesar 44,6%. Hal tersebut diduga berhubungan dengan faktor persepsi responden mengenai kemudahan mendapatkan APD, ketidaktahuan pekerja tentang prosedur kerja yang berlaku, dan ketersediaan tempat penitipan APD serta area khusus merokok. 5. Responden yang menyatakan pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat masih kurang baik sebesar 32,3%. Hal tersebut diduga berhubungan dengan faktor persepsi responden mengenai bentuk pengawasan seperti teguran dan pemeriksaan kelengkapan APD. 6. Responden yang menyatakan tidak ada peraturan tentang keselamatan kerja sebesar 36,9%. Hal itu diduga berhubungan dengan masa kerjasebagian besar responden kurang dari 1 tahun, dan pengetahuan tentang peraturan keselamatan kerja dan sanksi yang berlaku masih kurang baik. Saran Berdasarkan telitian yang telah dilakukan, saran yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi atau meminimalisasi perilaku kerja tidak selamat pada pekerja konstruksi di proyek pembangunan Bogor Valley Residence dan Hotel, antara lain : 1. Mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang perilaku kerja tidak selamat dengan cara penambahan frekuensi safety talk, pemberian pelatihan-pelatihan K3 seperti pelatihan tentang ergonomi, pemasangan papan wajib baca, poster, spanduk, dan
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
rambu-rambu mengenai bahaya risiko di proyek serta manfaat berperilaku kerja selamat ditempat yang mudah dilihat oleh seluruh pekerja. 2. Mempertahankan dan meningkatkan persepsi pekerja tentang manfaat berperilaku kerja selamat dengan cara meningkatkan pengetahuan responden mengenai bahaya dan risiko di proyek. Meninjau kembali jenis APD serta kualitas APD yang digunakan di proyek sehingga dapat mengurangi persepsi ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD, dan konsisten dalam menerapkan sanksi/denda terhadap pelanggaran peraturan keselamatn kerja yang berlaku. 3. Melakukan identifikasi dan risk assessment dalam penyediaan fasilitas keselamatan kerja seperti dalam penyediaan APD, tempat penitipan APD, area khusus merokok, dan pelatihan K3 seperti pelatihan tentang ergonomi. Selain itu diperlukan perbaikan terhadap pendataan dan administrasi ketenagakerjaan oleh perusahaan, sehingga jumlah perencanaan penyediaan APD dapat sesuai dengan jumlah pekerja di proyek. Kemudian diperlukan juga sosialisasi lebih untuk meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai adanya prosedur kerja selamat yang telah berlaku di proyek. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pemberian buku saku K3 untuk seluruh pekerja. 4. Mempertahankan dan meningkatkan pengawasan tentang perilaku kerja tidak selamat antara lain dengan cara meningkatkan peran serta semua elemen perusahaan seperti mandor, supervisor, staf pegawai, site manager, project manager dan owner untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan pengawasan. Selain itu, juga harus terus konsisten dalam melaksanakan inspeksi P2K3 secara rutin sesuai dengan jadwal yang berlaku. Dan sebaiknya penyampai informasi mengenai materi K3 saat kegiatan safety talk tidak selalu oleh safety officer, tetapi semua pihak harus bisa ikut menyampaikan seperti mandor dan owner. 5. Mempertahankan dan meningkatkan pemahaman serta pengetahuan pekerja tentang peraturan keselamatan kerja dan sanksi yang berlaku di proyek. Hal tersebut bisa dilakukan dengan sosialisasi kepada pekerja saat safety induction dan safety talk. Selain itu diperlukan pemasangan papan wajib baca, poster, spanduk, dan rambu-rambu K3 yang berisi tentang larangan dan sanksi yang mudah dilihat oleh seluruh pekerja. Membuat peraturan tentang penggunaan alat komunikasi seperti handphone. Dan konsisten menerapkan sanksi/denda terhadap pelanggaran peraturan keselamatan kerja serta selalu menghimbau pekerja untuk selalu disiplin dan bekerja sesuai standar prosedur kerja yang berlaku seperti tidak bercanda saat bekerja dan tidak mendengarkan musik sambil bekerja.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
Daftar Refrensi Abduh, Rizky & Bobby. (2010). Pengelolaan faktor non-personil untuk pencegahan kecelakaan kerja konstruksi. [Jurnal] Jurnal Konferensi Nasional Teknik Sipil 4. journal.unair.ac.id/filerPDF/k3aaaf3d0761full.pdf [10 Juni 2014]. Ariwan, Iwan. (1998). Besar dan Metode Sampel Penelitian Kesehatan. Depok: FKM UI. Atkinson dan Hilgard. (1991). Psikologi Umum Jilid I. Batam: Interaksara. Bird, E. Frank & Germain, G. L. (1990). Practical Loss Control Leadership. Edisi Revisi. USA: Division Of Internationaligation. Loss Control Institute. BPJS. (2014). BPJS: Terjadi 8.900 Kecelakaan Kerja Selama 2014. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. http://www.menkokesra.go.id/content/bpjs-terjadi-8900-kecelakaan-kerja-selama2014 [11 Juni 2014] Cooper, D. (2009). Behavioral Safety a Framework For Success. Indiana : BSMC, Incorporation. DuPont, Company. (2005). “Not Walking the Talk: DuPont’s Untold Safety Failures”. http://assets.usw.org/resources/hse/resources/Walking-the-Talk-Duponts-UntoldSafetyFailures.pdf [8 Juni 2014]. Geller, E. Scoot. (2001). The Pshychology Of Safety Handbook. Lewis Publisher, Boca Raton London. New York. Washington D.C. Green, L. zw, et. al. (1980). Health Education Planning A Diagnostic Approach. America: Mayfield Publisng Company. International Labour Organization. (2011). Health and Safety Hazards in the Construction Industry. Geneva: ILO. Jamsostek. (2012). Laporan Tahunan 2012 Membangun Kekuatan Menuju BPJS Ketenagakerjaan. Jakarta: Jaminan Sosial Tenaga Kerja Republik Indonesia. www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content_file/AR%20JAMSOSTEK.pdf [20 Februari 2014]. Kletz, Trevor A. (2001). Engineer’s View of Human Error. Book News Inc. Kurniawidjaja, L. Meily. (2011). Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. National Safety Council. (2011). Injury Facts, 2011 Edition. Itasca, IL: Author. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014
Notoatmodjo, Soekidjo, (2007), Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Edisi 4, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Rachmat, Jalaludin. (1985). Psikologi komunikasi. Remaja Karya, Bandung. Roughton, James E. and James J. Mercurio. (2002). Developing and Effective Safety Culture: a Leadership Approach. USA : Butterworth Heinemann.
Tinjauan faktor…, Megy Armada Putra, FKM UI, 2014