MODUL PERKULIAHAN
MEDIA DAN CULTURAL STUDIES Feminisme dalam Budaya dan Media Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasting
Tatap Muka
09
Kode MK
Kajian
Disusun Oleh Sofia Aunul, MSi
Abstract
Kompetensi
Mata kuliah ini memperkenalkan pemahaman dan kompetensi tentang media and cultural studies sebagai suatu Body Of Knownledge yang bersifat multidisipliner, yang kali ini akan menjelaskan feminisme.
Dengan memperoleh materi ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami tentang feminisme dalam kajian budaya dan media.
Pendahuluan Perempuan telah menjadi bagian industry hiburan yang sulit dipungkiri oleh lembaga manapun yang berjuang tentang penyelamatan gender dari sekedar komoditas. Sosok Perempuan merupakan subjek manusia yang sering dihadirkan sebagai objek oleh media massa, baik itu surat kabar, majalah, televisi, film dan iklan. Perempuan ada dan kemudian dijadikan komoditas oleh media yang berdiri dengan basis ideologi dibalik proses representasi tersebut. Konstruksi sosial dan budaya yang mengkristal sejak lama menjadi ideologi yang bias gender, karena memposisikan perempuan berada dibawah laki-laki. Bias gender tersebut muncul berbarengan dengan ideologi kapitalis dan budaya patriakhi yang kini banyak mewarnai
media
dan
secara
sadar
atau
tidak
sadar
media
kemudian
mensosialisasikan pada publiknya. Ini lah kemudian menjadikan media mempunyai andil yang besar dalam mempertegas persoalan ketidakadilan gender. Menurut pendapat para feminis, pelecehan seksual bukanlah perkara semata – mata perkara seks, melainkan perkara kekuasaan. Ada yang berkuasa oleh karena itu ia dapat melakukan pelecehan. Dalam kajian budaya feminis seperti ditulis oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam bukunya Kajian Budaya Feminis, Tubuh,Sastra dan Budaya Pop, SEKS dan SEKSUALITAS adalah suatu konstruksi, maka SEKS dan SEKSUALITAS bukanlah wacana mengenai tubuh dan keinginan, atau kebutuhan biologis semata, melainkan juga merupakan wacana kekuasaan. Beberapa tahun lalu, lembaga HAM international melaporkan bahwa negaranegara di timur tengah, melarang wanita menonton TV bahkan harus menutup aura wajahnya. Wanita dijadikan korban kepentingan para pria, dengan mengatasnamakan ajaran agama mereka mencabut hak kemerdekaan kaum perempuan. Bahkan disinyalir adanya pelecehan seksual dengan memeriksa keperawanan para perempuan yang mengabdi di rumah raja, dimasa silam. Perbedaan gender adalah hal biasa dan tidak menjadi masalah sepanjang perbedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun kenyataan nya saat ini ketidak adilan gender justru terus berlangsung dan tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri bahkan juga ketika publik terutama laki-laki memandangnya. walaupun laki-laki tidak
09
2
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Elemen utama budaya patriakhi barat memperlihatkan perempuan sebagai objek tontonan untuk dilihat dan subjek pandangan audiens laki-laki. Pornografi adalah contoh paling nyata bagaimana genre pornografi mempertontonkan tubuh perempuan sebagai objek hasrat, fantasi dan kekerasan. Keseluruhan tubuh perempuan sebagi unsur dekorasi iklan, dan host acara-acara tertentu dipastikan selalu mempresentasikan gaya dan mode baru menjadi soft pornografi. Berbicara mengenai perempuan, perempuan dikonstruksi harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual dan harus memaklumi prilaku agresif laki-laki, hal ini jelas tampak pada pemberitaan, sinetron-sinetron dan acara-acara lainnya. Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa memerlukan sebuah nuansa khas dari seorang perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karier dan jabatannya, ketegaran menyikapi sebuah
persoalan
besar,
kenekadannya
dalam
melakukan
sesuatu
dan
keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. Perempuan memiliki daya pikat tersendiri yang membuatnya menarik. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa segala sesuatu di media mana pun selalu dikaitkan dengan sosok perempuan. Mulai dari sinetron, film, iklan, cover CD (compact disk) atau apa pun itu selalu menempatkan wanita sebagai daya tarik pertama.Saat ini perempuan boleh dengan bebas mengekspresikan ide, kreasi, dan kemampuannya. Namun disadari atau tidak, perempuan kembali ditindas dan dieksploitasi oleh budaya.
Gender Gender merupakan kategorisasi yang memisahkan laki-laki dan perempuan atas dasar asumsi-asumsi prilaku, nilai, sikap, dan kepercayaan. Yang kemudian dikontraskan dengan seks yang lebih mengacu pada pembedaan biologis. Asumsi gender didasarkan atas ideologi sedangkan pembedaan seksual didasarkan atas 09
3
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
genitalia (biologis). Peran gender dapat dipahami salah satunya dari media, yang merepresentasikan perempuan dan pembentukan stereotipe mengenai peran berdasarkan jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih , gender merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun
kultural, baik pada laki-laki maupun
perempuan.Misalnya,
bahwa
perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional , jantan dan perkasa. Ciri dan sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. (Mansour, 2012) Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda tempat, maupun kelas yang berbeda itulah yang dikenal dengan konsep gender. Gender sebagai suatu konstruksi sosial, yang melahirkan suatu perbedaan, lahir melalui proses panjang. Proses-proses penguatan perbedaan gender tersebut, termasuk diadalamnya proses sosialisasi, kebudayaan, keagamaan dan kekuasaan negara. Proses ini terjadi akibat bias gender yang esensial yang bersifat nature. Selanjutnya gender mewariskan konsep pemikiran tentang wacana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk pembenaran terhadap perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan hanya karena perbedaan jenis kelaminnya (Hariyanto, 2009). Dalam kajian cultural studies, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah. Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi.
09
4
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Media dalam Perspektif Gender Membahas media dari segi institusi juga akan menampakkan bahwa media menganut atau bersifat patriakhi. Seringkali terjadi ketimpangan-ketimpangan gender karena terdapatkan nilai-nilai kapitalis dan nilai partiakhi yang saling menguntungkan. Budaya Media (media culture) seperti yang dituturkan oleh Douglas Kellner menunjuk pada suatu keadaan yang menampilkan audio visual atau tontonantontonannya telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, membantu proyekproyek hiburan, membentuk opini publik dan prilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner, 1996) . Media cetak, radio, televisi, internet dan bentuk-bentuk akhir teknologi media lainnya telah menyediakan defenisi untuk menjadi laki-laki atau perempuan dan membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks (Hartiningsih, 5 Agustus 2003). Piliang (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998:xvi) melihat media massa sebagai arena “perjuangan tanda”. Media adalah arena perebutan posisi, tepatnya antara posisi memandang aktif dan posisi yang diapandang pasif. Yang diperebutkan adalah tanda yang mencerminkan citra tertentu. Satu pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan adalah male gaze, Laura Mulvey (1990). sinematografi,
Mulvey juga menjelaskan konsep male gaze dalam industri yang
menurutnya
terlalu
menggunakan
pandangan
laki-laki.
Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai subjek yang punya kuasa atas dirinya sendiri melainkan sebagai obyek male gaze. Mata sebuah kamera pun diibaratkan sebagai mata seorang laki-laki sehingga tampilan perempuan didalam media cenderung tunduk pada kontrol tatapan mata laki-laki. Pesan yang ada pun dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan kepada penonton laki-laki juga, sementara perempuan hanya menjadi tontonan.
09
5
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pandangan para ahli terhadap gender Karya Mulvey yang berjudul” Visual Pleasure and Narrative Cinema’ pertama kali diterbitkan pada tahun 1975, Karya ini adalah karya mengenai kritik film feminis yang paling banyak dikutip. Karya Mulvey ini tidak hanya memberikan suatu pemahaman bagaimana citra perempuan dilayar berperan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki, namun karya ini juga penting untuk membuat perdepatan mengenai gender dan kepenontonan menjadi inti dalam kritik feminis. Meskipun para kritikus sebelumnya sudah menteorikan bagaimana posisi menonton’ terjalin dengan teks film’ tapi Mulvey menggunakan teori film psikoanalisis yang dikembangkan oleh Cristian Metz yang berpendapat bahwa teks-teks sinematik ini diorganisasikan sedemikian rupa untuk menghasilkan posisi menonton yang lakilaki. Pendapat ini menstimulasi perdebatan dalam kritik film feminis tentang apakah ada kemungkinan untuk kepenontonan perempuan dalam sinema mainstream yang bersifat patriakhi dan karenanya diorganisasikan disekitar kebutuhan batin laki-laki. Mulvey berpendapat, perempuan bertindak sebagai penanda untuk laki-laki yang lain, diikat oleh urutan simbolik yang dapat menjadi tempat laki-laki bisa melepaskan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan menekankannya pada citra diam perempuan yang masih terikat di tempatnya sebagai pembawa makna dan bukan pembuat makna. Mulvey juga tertarik dengan bagaimana citra perempuan dalam sinema narasi juga dikodekan sebagai objek erotis, objek kenikmatan visual bagi penonton laki-laki. (Hollows, 2010). Gagasan bahwa perempuan menandai pengebirian atas perbedaan perempuan dari laki-laki menandai inferioritas atau kekurangan berkaitan dengan laki-laki. Dengan demikian citra perempuan berpotensi mengancam laki-laki karena perempuan menandai ketidakberdayaan, manandai kurangnya kekuasaan dan kemunculannya yang mendefenisi apa itu laki-laki. Singkatnya perempuan menandai ancaman kemungkinan laki-laki menjadi seperti perempuan. Oleh sebab itu ancaman pengebirian yang diperlihatkan perempuan kepada laki-laki adalah ancaman bahwa laki-laki bisa kehilangan atribut positifnya yang diakaitkan dengan maskulinitas lalu makin menjadi mirip dengan feminis yang “berbeda” tersebut.
09
6
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Oleh sebab itu sinema dominan menggunakan mekanisme yang mengalihkan ancaman ini melalui berbagai bentuk cara pandang tertentu yaitu dengan Fetisisme dan Voyerisme. Fetisisme, mengubah perempuan menjadi suatu citra yang aman, dapat dinikmati, dan tidak mengancam dengan menjadikan beberapa tubuhnya menjadi fetis yaitu memusatkan perhatian pada beberapa aspek perempuan yang dapat dibuat menjadi menyenangkan seperti, kaki, rambut. Selanjutnya voyerisme menangani ancaman yang diperlihatkan oleh perempuan dengan mencoba menginvestigasi
perempuan,
memahami
misterinya,
kemudian
menganggap
perempuan sebagai yang dapat diketahui, dikendalikan dan merupakan subjek kekuasaan laki-laki. Sehingga menjadikan perempuan sebagai citra menjadi sumber kenikmatan laki-laki dan bukan sebagai sumber ancaman. Karena identitas seksual dipandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dibicarakan, maka feminisme dan kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalahmasalah seks dan representasi. Umpamanya, kajian budaya telah mempelajari representasi perempuan dalam program acara Sex O phone, dan mendapatkan bahwa perempuan diseluruh dunia terkonstitusi sebagai bagian yang wajar jika menampakkan auratnya, tersubordinasi sebagai tontonan menarik oleh lelaki. Dengan kata lain, posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan yang menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi dan beautification atau tatanan kerja yang menjadikan mereka sebagai ibu dan berkarir serta mampu mengeksplorasi individualitasnya dan tampil menarik serta mempesona. Namun ada kemungkinan untuk menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini, karena meski teks memang mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi menekankan pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks, termasuk kemungkinan melakukan resistensi terhadap makna tekstual. Kajiankajian inilah yang sering merayakan nilai-nilai dan budaya menonton perempuan (Giddens, 1992).
09
7
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Contoh Acara tengah malam SexOphone di trans TV
dengan di pandu Chantal della
Concetta dan psikolog Zoya Amirin yang dikemas dalam bentuk sex education diantara tema nya antara lain : Oral Sex, Orgasme, Does Size matter?, Fore play dan lain-lain , Sexophone selain menampilkan dan mengekploitasi tubuh bagian dan dada secara dekat baik dari sisi pemandu dan bintang tamu nya juga memperlihatkan adegan yang menampilkan percakapan tentang rangkaian dan aktifitas seks dan prilaku seks, dan jelas hal ini tidak sesuai dengan kepatutan yang berlaku, Terlihat semua yang ditampilkan dalam acara ini termasuk salah satu ciri khas media massa dalam program acara nya melakukan konstruksi terhadap representasi perempuan, yang ditonjolkan dalam bentuk objek yang erotis, dan mata sebuah kamera diibaratkan sebagai mata lelaki. Wanita di mata lelaki diupayakan mempertahankan budaya patriakhi, tubuh wanita dianggap alat yang sangat efektif memenuhi keinginan seksual lelaki. Wanita pun dijadikan lambang penghias status dan kekuasaan lelaki Pandangan ahli lain dalam melihat sebuah iklan Foucalt
dalam History of Sexuality bahkan menunjukkan bahwa
wacana
seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan yang didalamnya, termasuk cara kerja budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang patriarkal. Pertanyaan yang ditujukannya adalah mengapa seksualitas dibicarakan secara luas.
Dijawabnya sendiri
ringkas,tujuannya adalah untuk mendefinisi
bahwa secara
rezim kekuasaan – pengetahuan-
kenikmatan yang melanggengkan wacana seksualitas manusia, didalam masyarakat kita. Isu utamanya adalah untuk menjelaskan fakta bahwa seksualitas itu diperbincangkan, untuk menemukan siapa yang melakukan pembicaraan,
dari
posisi dan sudut pandang apa seksualitas itu dibicarakan, institusi apa yang mendorong orang membicarakan seksualitas serta institusi apa yang menyimpan dan menyebarkan hal- hal yang dibicarakan itu . Dengan mengikuti pemikiran itu, dapat dikatakan bahwa laki –laki dikonstruksi sebagai institusi normative yang dapat
09
8
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
mendefinisi apa yang berterima atau tidak. Dengan cara itu kebutuhan dan hasrat laki – laki menjadi kebutuhan kolektif perempuan dan laki- laki. Seksualitas laki – laki dibicarakan dan diekspresikan sebagai norma normative, alamiah atau natural atau pada saat yang sama dinaturalisasi. Pemusatan seksualitas kepada seksualitas laki – laki, menyebabkan seksualitas perempuan dimaknai dan ditandai sebagai sesuatu untuk seksualitas laki – laki. Dan bukan dalam perspektif yang melihat seksualitas perempuan dan laki – laki merupakan suatu hal particular dan plural, yang mengandung persamaan dan perbedaan baik antara laki – laki dan perempuan. Pelembagaan seksualitas laki – laki sebagai norma itu dilakukan melalui pelbagai institusi termasuk sastra, media, film dsb. Foucalt menunjukkan bahwa seksualitas merupakan saling keterkaitan antara aspek ras, masyarakat, kelas, budaya, ekonomi, kekuasaan dan pengetahuan, dan hal itu menjadikan wacana seks dan seksualitas tidak pernah sederhana. Dalam ensiklopedia feminism yang buku aslinya berjudul “Dictionary of Feminist Theories ditulis oleh Maggie Hum mencantumkan “SEX” yang secara langsung diterjemahkan sebagai “jenis kelamin”. Teori feminis mendefinisikan jenis kelamin hanya sebagai kondisi seseorang apakah dia secara anatomi laki – laki atau perempuan. Sementara seksualitas diterangkan sebagai “ proses sosial yang menciptakan, mengorgananisir, dan mengekspresikan serta mengarahkan hasrat” Feminism percaya bahwa bentuk – bentuk seksualitas bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri perempuan melainkan merefleksikan institusi politik dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu. (Prabasmoro,2007)
Daftar Pustaka Barker, C. (2004). Cultural Studies : Teori & Praktek. Yokyakarta: Kreasi wacana.
Hariyanto. (2009). Gender dalam Konstruksi Media. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.167-183.
Hartiningsih, M. (5 Agustus 2003). Gender dan Media Massa. Jakarta.
09
9
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Hollows, J. (2010). Feminisme, Femininitas dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, I. S., & Suranto, h. (1998). Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam ruang publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kellner, D. (1996). Media Culture : Cultural Studies, Identity and Politics between the modern and Post Modern. USA : Westvie Press.
Mansour, F. (2012). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Annastasia, Melliana. 2006. Menjelajah Tubuh dan Mitos Kecantikan, Jogjakarta : Lkis Prabasmoro, Aquarini. 2007. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Jogjakarta: Jalasutra. Ekawenats. Blogspot.com/2006/03/perempuan – dan – konstruksi-media-html.
09
10
Media dan Cultural Studies Sofia Aunul MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id