MODUL PERKULIAHAN
MEDIA & CULTURAL STUDIES Cultural Representation (RePresentasi Budaya)
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
06
Kode MK
Disusun Oleh
MK
A. Sulhardi, S. Sos, M,Si
Abstract
Kompetensi
Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat semakin mudahnya mendapatkan sumber informasi baik melalui media cetak maupun elektronik. Media memiliki andil yang besar dalam membentuk dan membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui tayangan-tayangan yang merepresentasikan kehidupan sekitar masyarakat.
Mengembangkan pemahaman mahasiswa tentang represebrasi budaya dalam perspektif cultural studies.
Cultural Representation (Re-Presentasi Budaya) Perkembangan
zaman
yang
semakin
pesat
membuat
semakin
mudahnya
mendapatkan sumber informasi baik melalui media cetak maupun elektronik. Media memiliki andil yang besar dalam membentuk dan membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui tayangan-tayangan yang merepresentasikan kehidupan sekitar masyarakat. Penyampaian yang dikemas sedemikian apik sehingga terkadang tidak menyadari bahwa sebenarnya itulah fakta yang terjadi di lingkungan sekitar. Penggambaran kejahatan dan tindak kriminal sudah menjadi teman makan siang setiap hari yang tanpa sadari meracuni pikiran kita kalau dunia kita bukanlah lagi tempat yang aman. Menyimak lebih jauh tentang penggambaran atau representasi. Banyak hal yang sebenarnya dikiaskan dengan tanda atau simbol lain dengan maksud tertentu. Maksud dan tujuan digunakannya tanda pun bermacam ada yang dengan sengaja untuk mengalihkan atau memberikan isyarat atau memberikan semacam sinyal yang hanya diketahui oleh individu, kelompok ataupun masyarakat dimana mereka memiliki pengetahuan yang sama. Representasi merupakan sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan, konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies, representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik, Secara lebih tepat dapat di idefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, di indra, di bayangkan, atau di rasakan dalam bentuk fisik. Sedangkan menurut Stuart Hall representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan, kebudayaan merupakan konsep yang sangat penting. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi
‘13
2
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Hall juga berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia, Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Representasi budaya merupakan sesuatu kajian ilmu yang penting untuk dipelajari. Dengan kita mempelajari representasi budaya, maka diharapakan mahisiswa akan bertambah khasanah ilmu pengetahuannya. Representasi Representasi dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to presentasi” , “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Pengertian representasi menurut beberapa tokoh: Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Hall menyebut ‘representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstititif darinya. Stuart Hall mengangggap bahwa ada
‘13
3
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
yang salah dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hall mengamati bahwa media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyarakat yang sudah teratur, sementara yang kulit hitam bermasalah dalam area kekuasaan sensitif itu. Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural
studies,
representasi
sendiri
dimaknai
sebagai
bagaimana
dunia
dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. Secara umum representasi dapat diartikan sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan, konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Proses Representasi Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu ‘ yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel dibawah ini.
PERTAMA REALITAS (Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ‘13
4
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.
KEDUA
REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)
KETIGA
IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.
Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkatperangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lainlain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi
sosial
atau
kepercayaan
dominan
yang
ada
dalam
masyarakat.
Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandanganpandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu. ‘13
5
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Gambaran Representasi Representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media terutama media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau dikonstruksikan di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi. Dalam kasus film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri tapi juga tentang bagaimana nilainilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya. Junaidi,dalam
artikelnya
Film
Mandarin
dan
Identitas
Budaya
Indonesia,
mendiskusikan perspektif Cultural Studies yang melihat fenomena film Mandarin dalam kaitannya dengan pembentukan identitas bangsa Indonesia. Di sini Junaidi percaya bahwa film sebagaimana halnya produk budaya lain, memegang peran yang penting dalam merepresentasikan siapa itu orang Indonesia. Dalam risetnya tersebut Junaidi menceritakan sejumlah temuannya, misalkan bahwa representasi orang China di beberapa film masih bersifat negatif dan simplisistis. Masyarakat China dilihat sebagai masyarakat yang homogen dan tak berubah, kompleksitas identitas masyarakat China dan interaksi mereka dengan etnis lain seringkali terabaikan. Sikap masa bodoh, praduga, dan stereotipe negatif akhirnya terakumulasi. Padahal jika mau jujur, belum tentu masyarakat China pada realitas kesehariannya itu sebagaimana yang ada di dalam film atau sinetron kita, oleh karena itu dapat dipahami bahwa apa yang disajikan oleh film tadi belum tentu sesuai dengan realitas yang aslinya. Representasi di sini harus lebih dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas, dalam usaha menyajikan ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan dirinya sebagai realitas yang aslinya. Belum lagi jika kita membedah lebih lanjut bagaimana proses produksi film sebagai proses representasi tadi. Di balik proses representasi ada siapa saja yang terlibat di dalamnya dalam rangka kepentingan apa dan bagaimana representasi yang mereka lakukan, jadi yang namanya representasi itu sangat sulit untuk dibilang netral atau alamiah.
‘13
6
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Representasi terbuka pada pengetahuan-pengetahuan baru untuk diproduksi dalam dunia, berbagai macam subyektivitas untuk dieksplor, dan dimensi baru makna yang tidak pernah menutup sistem kekuasaan yang sedang beroperasi. REPRESENTASI SEBUAH TANDA Tanda adalah segala sesuatu, dapat berupa, warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Hal yang dirujuk oleh tanda dikenal sebagai referen dan citraan dari tanda tersebut disebut konsep. Tanda merujuk kepada sesuatu dan manusia melihat sebuah tanda, memiliki konsep mengenai rujukan tersebut dalam pikirannya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tanda merupakan sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang lain dalam kapasitas dan pandangan tertentu (Danesi, 2004:7-10) Pierce (dalam Danesi, 2004) memandang tanda sebagai struktur triadik, terdiri atas tiga dimensi: representamen (tanda), objek (konsep, benda, gagasan, dst), dan interpretan (makna yang diperoleh dari sebuah tanda). Menurut Danesi dan Peron (2004:24-25), sebuah tanda diiterpretasikan dalam tiga tahap: semiosis (kemampuan otak untuk mereproduksi dan memahami tanda), representasi
(penggunaan
tanda
untuk
menguhubungkan,
menggambarkan,
memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu), dan signifikansi kultural (tahap produksi dan interpretasi tanda untuk memahami segala sesuatu berdasarkan konteks tertentu). Proses interpretasi tersebut menghubungkan tubuh, pikiran, dan kebudayaan sebagai sarana untuk mereproduksi dan memaknai tanda. Dengan demikian proses pemaknaan suatu tanda meliputi proses semiosis yang terjadi di tubuh, proses representasi di pikiran, dan proses signifikansi kultiral di budaya. Proses interpretasi juga terkait dengan penandaan. Jenis penandaan dapat mengahasilkan makna tertentu. Thwaites (2002) mengungkapkan bahwa tanda budaya dapat berasosiasi atau menggantikan tanda lain dengan cara yang kompleks. Ia membagi jenis-jenis interaksi dalam tanda-tanda budaya menjadi tiga bagian yaitu metafora, metonimi, konotas dan denotasi. Metafora adalah proses interaksi tanda yang berupa perbandingan secara implisit atau eksplisit terhadap sebuah tanda. Metafora membentuk sebuah preposisi: X dan Y
‘13
7
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
memiliki paradigma yang sama sehingga keduanya dapat dikatakan ekuivalen. Contoh: matahari dimetaforakan sebagai raja siang. Metonimi adalah proses interaksi tanda yang berupa asosiasi makna. Sebuah tanda berasosiasi dengan tanda lainnya yang merujuk pada kepada sebagian, keseluruhan, sebuah fungsi, atau sebuah konsep terkait. Contoh: tanda tangan merujuk kepada pemiliknya. Stereotipe juga bersifat metonimi, karakteristik seseorang dinilai sebagai karakteristik sebuah kelompok. Konotasi dan denotasi menurut Barthes (1977) merupakan dua jenis penandaan yang disebut dengan first order (denotasi) dan second order (konotasi). Denotasi yaitu sesuatu yang dapat didefinisikan secara harfiah, nyata, jelas, dan umum. Dalam studi linguistik, makna denotatif dapat diperoleh di dalam kamus dan merupakan represntasi visual yang diterima dan dimaknai sama dalam setiap kebudayaan. Konotasi adalah sesuatu yang merujuk kepada sosiokultural dan asosiasi personal yang terkait dengan ideology, emosi, kelas, usia, gender, dan etnisitas. REPRESENTASI DALAM SEBUAH FILM Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public consensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada di dalam masyarakat. (Irawanto, 1999:14) Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari berbagai macam tanda yang terdapat dalam film. Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat sebagai pandangan yang refleksionis. Yaitu film dilihat sebagai cermin yang memantulkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai dominant dalam kebudayaannya. Bagi Graeme, perspektif ini sangat primitif dan mengemukakan metapora yang tidak memuaskan karena menyederhanakan proses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan, baik dalam film, prosa atau percakapan (Irawanto, 1999:15).
‘13
8
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan, baik bersifat kultural, sub kultural, industrial, serta institusional.Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengkaji adanya hubungan antara film dengan kultur masyarakat, yaitu secara textual dan contextual (Turner, 1995:153). Pendekatan tekstual berfokus pada teks-teks film. Film sebagai sebuah teks dipahami sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu pada kultur masyarakatnya. Isi film yang ada di masyarakat, cenderung mempertahankan struktur sosial yang sudah ada dengan cara mereproduksi makna-makna yang berasal dari nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan kontekstual lebih menekankan pada aspek industrial, kultural politik, dan institusional film. Dalam kaitan ini, film lebih dipandang sebagai suatu proses produksi kultural daripada sebagai sebuah representasi dimana sebuah produksi film akan dipengaruhi oleh lingkup sosial dan ideologi di mana film itu dibuat dan berpengaruh kembali pada kondisi masyarakatnya. Antara masyarakat dan film terdapat berbagai dimensi yang menimbulkan makna-makna yang dapat dikaji untuk menghasilkan pemahaman tentang aspek-aspek yang muncul dari suatu realitas. Bagaimana pun hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya, tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi struktur tersebut. Turner berpendapat bahwa selain film bekerja pada sistem-sistem makna kebudayaan – untuk memperbarui, memproduksi, atau me-reviewnya – ia juga diproduksi oleh sistemsistem makna itu. Dengan demikian, posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya. REPRESENTASI DALAM BENTUK KOMIK Salah satu komik Indonesia yang sarat dengan representsi budaya lokal Indonesia adalah Garudayana, yang dikresikan oleh Is Yuniarto (duniaku.net) dalam sumber dikatakan bahwa komik hitam-putih ini beredar pada tahun 2009 dan diterbitkan oleh M&C! PT. Gramedia. Judul komik ini diangkat dari kata Garuda dan Yana, inspirasinya dari Ramayana. Komikus memahami arti Ramayana adalah Cerita Rama atau The Tale of Rama sehingga ia mencoba bereksperimen dengan membuat epic atau cerita baru dengan karakter sentral Garuda, karena Garuda dikenali oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Jadi dengan demikian komik ini akhirnya diberi judul Garudayana (2009)
‘13
9
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Berlatar kisah Mahabarata, namun tidak menggunakan latar waktu yang pakem dari Mahabarata. Komikus mencoba mengisahkan wayang Mahabarata dengan sudut pandang yang baru dengan menambah karakter baru, yaitu tokoh utama perempuan bernama Kinara. Komikus menambahkan tokok Kinara ini karena menurutnya kisah Mahabarata terlalu didominas oleh tokoh-tokoh pria. Meskipun demikian, ditampilkan juga tokoh-tokoh Mahabarata lainnya, seperti Gatotkaca, Arjuna, Pandawa dan Kurawa (oase.kompas.com). Nama-nama dalam tokoh ini merupakan tanda budaya, secara khusus merepresentasikan budaya perwayangan di Indonesia. REPRESENTASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Iklan bekerja atas dasar identifikasi karena iklan hanya bekerja ketika kita mengidentifikasi apa yang direpresentasikan oleh imaji-imaji, di mana imaji-imaji itu mengkonstruksi kita,melalui hubungan kita dengan mereka. Makna adalah interpretasi, stereotip menetapkan makna yang diberikan kepada kelompok-kelompok, misal gambaran orang kulit hitam yang terbatas, memberikan efek pada apa yang dipahami masyarakat mengenai orang kulit hitam dalam dunia nyata. Gambaran memproduksi pengetahuan tentang bagaimana kita melihatnya direpresentasikan, sehingga perjuangan untuk membuka praktik stereotip kadang adalah sebuah perjuangan untuk meningkatkan
perbedaan
celakanya
semakin
memperlihatkan
identitas
yang
memungkinkan dari orang-orang yang belum direpresentasikan sebelumnya. Ada kesulitan tersendiri ketika ingin membalikkan stereotip negatif tersebut sebagaimana juga sulit untuk mempertahankan atau memperbaiki representasi positif. Saat ini banyak masyarakat khususnya wanita yang dibanjiri oleh bermacam iklan produk yang hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan beragam trik menawarkan perubahan warna kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita atau calon konsumen yang melihat iklan menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut, iklan produk tersebut dengan bentuk penawaran yang sedemikian rupa memberikan pencitraan tersendiri dalam membentuk suatu frame dalam masyarakat. Dalam hal ini pesan iklan yang efektif bagi para pengiklan dan kreator iklan melalui penyampaian sisi imagistik, yakni simbolisasi suatu produk yang merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkan. Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan realitanya citra dalam iklan sabun dan penyampaian dalam iklan produk-produk tersebut mengindikasikan bahwa hanya
‘13
10
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
mereka yang berkulit putihlah yang cantik dengan kebanyakan menggunakan representasi selebriti wanita indonesia. Ini tidak menyampaikan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat dimana iklan tersebut berada. Dalam iklan ini terdapat ketimpangan sosial dimana Indonesia sendiri dilihat dari ras yang memiliki kulit tidak hitam dan tidak putih atau sawo matang, sehingga memberikan frame pada masyarakat bahwa citra wanita cantik Indonesia adalah mereka yang memiliki kulit putih dan mulus. Apabila ini dikaitkan dengan cultural studies dalam televisi, teks, dan penonton, bahwa iklan sabun maupun produk-produk kecantikan lain mengandung unsur hegemoni yang dimenangkan dan bukan diterima, lebih jauh lagi diperlukan terus menerus dimenangkan ulang dan dinegosiasikan ulang menjadi kebudayaan yang suatu saat bisa berubah menjadi lahan konflik. Fokus dan representasi perempuan telah diupayakan sebelumnya oleh sejumlah penulis feminis terhadap opera sabun karena sering kali dikatakan bahwa opera sabun adalah suatu ruang perempuan dimana motivasi perempuan disahkan dan dirayakan. Dalam operasi sabun suatu bentuk global berdasarkan dua alas an yaitu ia adalah cara bernarasi yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia dan ini adalah salah satu bentuk acara televisi yang paling banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks budaya. REPRESENTASI POLITIK Survey politik dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar guna mengetahui elektabilitas calon pemimpin maupun partai politik. Melalui survey maka para penggiat politik akan lebih bekerja keras membangun basis organisasi dan merancang strategi jitu untuk memenangkan pemilihan umum. Di Indonesia, hiruk pikuk pemilihan umum nasional masih satu tahun lagi, namun sudah diramaikan oleh berbagai hasil survey yang telah menggambarkan beberapa tokoh untuk menjadi pemimpin pada 2014 yang akan datang. Partai politik yang diperkirakan unggul pun sudah bisa digambarkan melalui survey ini bahkan belakangan hasilnya banyak menjadi rujukan bagi partai politik untuk bekerja keras mengambil hati dan simpati masyarakat. Para lembaga survey tersebut biasanya menggunakan pers sebagai institusi yang dianggap dapat menyebarkan hasil kajiannya kepada khalayak umum sehingga persepsi atas seseorang tokoh atau organisasi politik bisa lebih mengena. Saluran media merupakan hal yang paling tepat untuk sosialisasi hasil polling dari berbagai lembaga yang kredibel dibidangnya
‘13
11
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
tersebut. Selanjutnya dapat ditebak sendiri bahwa media massa (khususnya televisi) kemudian memberitakan dengan berbagai kepentingannya. Hasil dari survey politik ini menjadi perbincangan dan wacana dalam media televisi dalam beberapa bulan ini, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika beberapa lembaga survey mengeluarkan hasil kajiannya terhadap calon presiden RI 2014 mendatang. Beberapa nama tokoh baik masa lalu maupun sekarang masuk dalam bursa capres dengan elektabilitas pemilih yang bervariasi dan menariknya salah satu tokoh yang mempunyai hasil survey tertinggi memiliki catatan masa lalu yang kelam yakni penculikan aktivis dan pembungkaman demokrasi. Masyarakat seakan dipersepsikan sudah melupakan tragedi kelam tersebut namun berkat konstruksi media maka perbincangan dosa masa lalu telah terpinggirkan oleh kontestasi antar lembaga survey yang saling bersahutan mempublikasikan hasil kajiannya. Hasil survey ini kemudian menjadi komoditas informasi bagi industri media televisi dengan beragam kepentingan ekonomi politiknya, survey tersebut menjadi alat kekuatan para pemilik media yang memiliki akses dan jaringan luas terhadap berbagai kalangan. Hasil survey politik direpresentasikan oleh media televisi melalui bermacam program baik berita, talkshow, ataupun parodi politik. Sebagai ruang wacana bagi masyarakat mungkin sah saja media massa menggambarkan hasil survey politiknya untuk rujukan pemilih, namun yang menjadi permasalahan ketika menjadikan hasil survey tersebut sebagai alat konstruksi berpikir kepada masyarakat agar terfokus kepada salah satu calon ataupun partai politik tertentu. Peran media yang seharusnya dapat mencerahkan berubah menjadi tunduk kepada kepentingan politik tertentu, secara umum mungkin tidak terlihat bagaimana media tersebut mendukung tetapi hal ini terlihat dari representasi kontennya yang disampaikan kepada khalayak. Konsep representasi dalam media tidak sekedar mereproduksi atau menampilkan kembali sesuatu fakta kepada khalayak, tetapi melalui beragam konsepnya representasi menghadirkan makna tertentu kepada kita. Konsep representasi Stuart Hall dengan pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna dibuat oleh pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki (Hall, 1997:25). Makna tersebut digunakan untuk merepresentasikan konsep tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat dapat menentukan maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem representasi yang mereka miliki. Sebagai contoh ketika seorang presenter televisi mempertanyakan hasil survey terhadap suatu partai yang sedang terpuruk dengan beragam pertanyaan yang lebih menyudutkan partai tersebut. Melalui ‘13
12
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
narasi yang disampaikannya itu maka secara tidak langsung konstruksi makna telah tercipta dan audiens televisi dapat memaknainya dengan tersendiri. Berdasarkan konsep inilah maka survey politik ketika masuk kedalam ruang media televisi sangat rawan akan manipulasi bahasa sehingga pemirsa dibawa kedalam permainan kuasa bahasa yang muaranya mengarah kepada kekuatan tertentu. Tentunya tidak seluruh media merepresentasikan hal demikian namun melihat peta industri televisi yang saat ini dikuasai oleh para politisi maka akan rawan manipulasi. Meski demikian masih ada beberapa media massa yang menjadikan survey politik hanya untuk wacana di masyarakat tanpa memiliki kepentingan pribadi politiknya. Tulisan Asli dapat dilihat di http://cipuputrii.blogspot.com/2013/03/cultural-studies-dan-kajian-budaya-pop.html
‘13
13
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Agung, Setiawan Arif. Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas kristen Petra. http://puslit.petra.ac.id/journal/design/ Arifin, Eva. 2010. Broadcasting: To Be Broadcaster. Yogyakarta: Graha Ilmu. Baudrillard, Jean. Masyarakat Konsumsi. 2011. Bantul : Kreasi Wacana. Foucault, M. 2007. Order of Things, Arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Quart, Alissa. Belanja Sampai Mati. 2008. Yogyakarta : Resist Book. Suyanto,
Dr. Bagong. Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme. 2013. Surabaya : Prenada Media Groupa Cipta.
https://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/ http://koleksihalim.blogspot.com/2012/01/representasi-budaya.html http://www.esaunggul.ac.id/article/budaya-populer-dan-realitas-media/ http://communicationsphere.blogspot.co.id/2010/10/cultural-studies-identitas-danpolitik.html https://yolagani.wordpress.com/2007/10/27/mengenali-ideologi-secara-sederhana/
‘13
14
Media & Cultural Studies A. Sulhardi,S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id