MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)
I. LATAR BELAKANG 1. Dalam waktu dekat akan terjadi perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian (termasuk peternakan) secara global terkait dengan menurunnya suplai dan stock komoditas pertanian yang diperdagangkan. 2. Selain dampak dari perubahan iklim global juga terjadi penurunan stock akibat permintaan pasar dunia terhadap sejumlah komoditas untuk bahan baku energi yang tercermin dari perubahan volume ekspor-impor komoditas pertanian dunia. 3. Pada akhirnya perubahan struktur perdagangan dunia ini akan menciptakan harga keseimbangan baru yang lebih tinggi dari pada harga keseimbangan rata-rata sepuluh tahun yang lalu. 4. Perubahan struktur perdagangan dunia ini tentu saja akan ditandai dengan kenaikan harga komoditas daging, telur dan susu di pasar internasional dan menyebabkan semakin pentingnya komoditaskomoditas tersebut. 5. Perubahan struktur tersebut bagi pembangunan peternakan akan kita lakukan untuk perbaikan kesejahteraan petani/peternak di Indonesia, sehingga para peternak yang tergolong miskin tersebut tidak menjadi korban dari perubahan struktur. 6. Kunci utama adalah strategi yang terkait dengan teknologi dan diarahkan kepada strategi pro poor dan pro job. 7. Dikaitkan dengan masalah gizi masyarakat, maka tentu saja akan terpengaruh oleh perubahan struktur tersebut, khususnya untuk penyediaan komoditas daging, telur dan susu.
*)
Oleh Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M Sc, Direktur Jenderal Peternakan pada Acara Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, Bogor, 21 Nopember 2007
II. TREND KONSUMSI PANGAN HEWANI (ASAL TERNAK), MEMBAIK ATAU MEBURUK ? 1. Masalah gizi masyarakat yang sangat penting adalah kekurangan energy protein (KEP) selain GAKI, anemia gizi dan dan kekurangan vitamin A sampai saat ini masih belum sepenuhnya dapat teratasi. 2. Disamping itu masih ada hal yang sangat penting selain kekurangan gizi (under nutrition) adalah gizi lebih dan gizi salah. 3. Dalam bidang peternakan masalah dalam mengatasi kondisi gizi adalah masalah-masalah tingkat produksi dan produktivitas ternak yang belum mampu memenuhi tingkat permintaan yang ada, sehingga sebagian produk peternakan masih harus diimpor. 4. Pada saat ini hanya sebagian kecil saja dari masyarakat perkotaan yang mampu memenuhi dan melebihi tingkat konsumsi pangan hewani. Tingkat konsumsi hasil ternak (daging, telur dan susu) memang cenderung meningkat, sedangkan konsumsi ikan meskipun relatif tinggi, namun cenderung menurun termasuk pada kelompok masyarakat berpendapatan tinggi (Susenas, 2003). Tingkat permintaan tersebut dipengaruhi oleh preferensi konsumen dan harga. 5. Peningkatan konsumsi pangan hewani selama 4 tahun terakhir (1999 2003) pada kelompok berpendapatan tinggi ternyata cukup significan, yaitu untuk daging sapi 62,5 kkal/kap/hari, daging ayam 142,3 kkal/kap/hari dan telur 57,8 kkal/kap/hari. Meskipun demikian rata-rata tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih dibawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3,35 gr/kap/hari, telur 1,77 gr/kap/hari dan susu 0,6 gr/kap/hari, total 5,72 gr/kap/hari. 6. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 1,25 %/tahun dan peningkatan pendapatan/kapita sebesar 1,45 %/tahun dan nilai elastisitas masih berada diatas satu (elastis) untuk komoditas peternakan, maka pada tahun 2010 diperkirakan konsumsi daging sapi 6,62 gr/kap/hari, telur 2,03 gr/kap/hari dan susu 0,73 gr/kap/hari, berarti pada tahun-tahun sekitar 2008 dan 2009 target pemenuhan protein hewani asal ternak telah terlampaui.
7. Masalahnya adalah selain tingkat produksi dan produktivitas yang belum sepenuhnya mampu memenuhi konsumsi (terpaksa impor) juga deversifikasi pangan dan gizi penduduk dan pola konsumsi masyarakat Indonesia selama ini masih terlalu bertumpu kepada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya Starchy Staple Ratio yaitu sebesar 66,3 %. 8. Dalam lingkup pangan hewani sendiri sebenarnya terjadi perkembangan yang cukup menarik. Selama lebih dari 30 tahun telah terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari red meat ke white meat. 9. Pada sekitar tahun enampuluhan konsumsi daging merah, khususnya daging sapi dan kerbau mendominasi hampir 55 %, sedangkan daging unggas sekitar 19 %. Tiga puluh tahun kemudian terjadi evolusi pangan hewani, yaitu pada saat ini pangan dari unggas (white meat) telah mendominasi mendekati 60 % dan red meat menjadi sebaliknya, yaitu sekitar 20 %. 10. Dikaitkan dengan masalah gizi, telah terjadi ketimpangan distribusi terutama di perkotaan dan perdesaan, sehingga menimbulkan masalah gizi ganda, yaitu ”gizi lebih” atau ”gizi salah” terjadi di perkotaan dan kekurangan gizi di perdesaan. III. APAKAH PILIHAN STRATEGI SWASEMBADA DAGING, TELUR DAN SUSU DAPAT MENJADI KUNCI UTAMA PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT ? 1. Kebijaksanaan yang akan ditempuh untuk menghadapi masalah gizi tersebut adalah terus meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, meningkatkan populasi dan menjamin suplai (produksi) masyarakat akan pangan hewani menjadi Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). 2. Peningkatan produksi tersebut tentu saja harus berbasiskan sumberdaya lokal, artinya untuk mencapai tingkat produksi yang diinginkan tersebut segala potensi dan sumberdaya yang kita miliki harus lebih dioptimalkan. 3. Pilihan swasembada pangan hewani menjadi salah satu pilihan yang harus dijalankan. Swasembada adalah sikap untuk menumbuhkan kemandirian di bidang pangan hewani dalam mempertahankan keamanan pangan hewani, sehingga persediaan pangan hewani yang berbasiskan sumberdaya lokal merata pada tingkat keluarga, terjangkau semua lapisan masyarakat, tetap menguntungkan peternak dan keseimbangan mutu gizi, teknologi pangan hewani, jaminan bebas dari pencemaran bahan-bahan berbahaya (ASUH)
4. Dalam rangka mewujudkan swasembada tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan revitalisasi atau restrukturisasi peternakan, yakni penataan ulang Industri Peternakan, baik dari aspek hulu, budidaya dan hilir.
IV. RESTRUKTURISASI PETERNAKAN SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT 1. Restrukturisasi Industri Ternak Potong Besar Industri ternak potong besar diharapkan akan berbasiskan sumberdaya lokal. Dan tingkat swasembada akan tercapai secara sustainable. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan populasi dan produktivitas serta perbaikan kelembagaan, yang meliputi antara lain : • • • • • • •
Memacu kegiatan IB melalui optimalisasi akseptor, Penjaringan dan penyelamatan betina produktif. Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan. Perbaikan kawin alam melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek. Pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal. Pengembangan SDM dan kelembagaan. Penyediaan induk/bibit
2. Restrukturisasi Industri Ternak Ruminansia Kecil Pada tahun-tahun mendatang diharapkan Indonesia sudah mampu mengekspor ke beberapa negara, khususnya Timur Tengah. Saat ini walaupun potensi ada, peluang ekspor tsb belum dapat dimanfaatkan. Ternak ruminansia kecil (babi) selama ini telah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ke depan didorong agar dapat melakukan ekspor untuk ternak kambing, domba dan babi. Dan ternak ruminansia kecil ini sudah berbasis sumberdaya lokal, sehingga secara langsung dapat memfasilitasi dan mendorong agribisnis peternakan yang berdaya saing. Upaya yang perlu dilaksanakan antara lain perluasan wilayah budidaya dan terus dicari teknologi budidaya, pengolahan, pemasaran dan standarisasinya. 3. Revitalisasi Industri Persusuan Pada saat ini produksi baru memenuhi sepertiga, sedangkan dua pertiganya masih harus diimpor. Total permintaan susu (2006) 2,1 juta ton. Penyediaan 489 ribu ton. Revitalisasi Industri Persusuan akan dilakukan melalui penataan menyeluruh, terutama dari aspek perbibitan/
replacement ternak dan penentuan harga susu. industri persusuan harus dilengkapi dengan berdirinya industri pengolahan susu. Swasembada susu dipandang masih paling sulit tercapai oleh karena lebih banyak tergantung dengan sektor/sub sektor lainnya. Disamping itu preferensi masyarakat Indonesia yang masih menggemari susu bubuk dan susu kental manis dibandingkan susu segar juga menyebabkan industri persusuan masih tergantung dari luar. Dan industri persusuan harus dilengkapi dengan berdirinya industri pengolah susu. 4. Restrukturisasi Industri Perunggasan Diperlukan penataan struktur hulu mulai dari pembangunan perbibitan, penyediaan alat pengolah ransum, dan penyediaan obat/vaksin. Untuk penataan kawasan budidaya unggas meliputi penataan kawasan produksi dan non produksi. Sedangkan pada sektor hilir mencakup pembangunan penampungan unggas sebelum dipotong, RPU, lalulintas ternak, pasar, dan penanganan kotoran unggas. Aspek good farming practices sudah mulai dapat diterapkan di Indonesia, termasuk kompartementalisasi. Industri ini diharapkan akan berkembang menjadi industri yang tidak sepenuhnya footloose tetapi sudah ke arah grass root. Industri perunggasan, baik lokal maupun ras telah menemukan bentuknya dan menjadi faktor pemicu pertumbuhan pembangunan peternakan. V. PENUTUP Demikian Pokok-Pokok Pikiran Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Peternakan untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat yang dapat disampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat. Bogor, 21 Nopember 2007 DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN
Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana, M Sc
MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT
Disampaikan pada : Acara Seminar Nasional HPS Bogor, 21 Nopember 2007
DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2007