3
Manfaat penelitian adalah untuk menyediakan informasi mengenai struktur komunitas mangrove dan lingkungan yang kondusif bagi pengelolaan ekosistem mangrove sehingga dapat dijadikan acuan bagi penentuan lahan dan spesies yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dan bahan bagi pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
Mangrove
Luasan hutan Mangrove
Kerapatan hutan mangrove
Ancaman terhadap komunitas mangrove
Degradasi ekosistem mangrove
Tingkat kerusakan
Faktor penyebab kerusakan Kondisi kualitas air dan substrat
Analisis rehabilitasi
Rekomendasi rehabilitasi
Gambar 1. Skema rumusan masalah
2. TINJAUAN PUSTAKA
3
4
2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1 Pengertian mangrove Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama dari Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan, atau komunitas (Ng dan Sivasothi 2001 in Setyawan 2008). Sedang menurut MacNae (1968) in Setyawan (2008) kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen 2001a). Sedangkan definisi ekosistem mangrove sendiri adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2000 in Rochana 2007). 2.1.2. Karakteristik mangrove Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi ekstrim tempat tumbuhnya, seperti (1) adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin (2) sistem perakaran yang khas (Gambar 2), dan lentisel sebagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi (Onrizal 2005).
4
5
Gambar 2. Tipe perakaran mangrove (Kusmana et al. 2003) Karakteristik habitat ekosistem mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan drainase. Secara umum, karakteristik mangrove digambarkan sebagai berikut (Bengen 2001a): a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan berpasir. b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove. c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. d. Terlindungi dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2–22‰) hingga asin (38‰), contohnya muara sungai dan daerah pantai. 2.1.3. Struktur vegetasi mangrove Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera berbunga (Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
5
6
Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8 famili. Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu populasi zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti substrat (lumpur, pasir, atau gambut). Keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas, serta pengaruh pasang surut. Pembentukan zonasi mangrove dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri atas zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling depan dan langsung berhadapan dengan laut. Zona di belakangnya berturut-turut adalah tegakan Rhizophora dan Bruguiera (Dahuri 2003). Vegetasi mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis teratas sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae (Bengen 2001a). Tomlinson (1986) in Setyawan (2008) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor, dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat
membentuk
tegakan
murni,
beradaptasi
terhadap
salinitas
melalui
pneumatofora, embryo vivipar, serta mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus, antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk komponen utama yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni, dan hanya menempati tepian habitat, misalnya: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria, Heritiera, Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, dan Xylocarpus. Tumbuhan asosiasi mangrove adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan tidak hanya ditemukan di hutan mangrove. Tumbuhan ini merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum,
6
7
Salicornia arthrocnemum, Cocos nucifera, Metroxylon sagu, Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain. 2.1.4. Fungsi ekosistem mangrove Karena berada diperbatasan antara darat dan laut maka kawasan mangrove ini merupakan suatu ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan baik dengan ekosistem darat maupun dengan ekosistem lepas pantai diluarnya. Kawasan mangrove ini sebelumnya sering dianggap sebagai daerah yang tak bermanfaat dan karenanya sering disalah gunakan. Pada akhir-akhir ini setelah makin banyak diketahui fungsi ekosistemnya orang menyadari betapa penting kawasan mangrove ini, bukan saja sebagai sumberdaya hutan tetapi juga perannya menunjang sumberdaya perikanan di perairan lepas pantai (Nontji 2005). Menurut Odum (1971), awal rangkaian rantai makanan pada habitat mangrove, bermula saat pohon mangrove menjatuhkan daun-daunnya ke tanah dan masuk air laut. Merontokkan daun-daun merupakan salah satu cara dari pohon mangrove mengurangi kandungan garam dalam jaringannya karena daun yang jatuh tersebut membawa konsentrasi garam yang tinggi. Segera setelah daun jatuh dan masuk ke dalam air, daun tersebut dimanfaatkan berbagai jenis organisme. Pada giliran berikutnya hewan-hewan kecil ini menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar seperti kepiting, udang, dan ikan yang lebih besar. Beberapa ikan, udang, dan hewan air lain dimanfaatkan oleh hewan terestrial yang bermukim diatas daratan dan udara seperti reptil, burung, dan lain-lain. Menurut Wada (1999) in Santoso (2008) 80% dari ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove, ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Di daerah subur seperti di delta sungai, mangrove dapat menyumbang sampai sekitar 1,5 ton/ha/th bahan organik ke dalam rangkaian rantai makanan ini. Fungsi dan manfaat hutan mangrove menurut Bengen (2001a) adalah: a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. b. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove.
7
8
c. Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp). e. Pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya. f. Sebagai tempat pariwisata. 2.1.5. Kerusakan ekosistem mangrove Kusmana et al. (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran ini merupakan dampak negatih dari kegiatan pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan, (2) konversi hutan mangrove guna kepentingan manusia seperti budidata perikanan, pertanian, jalan raya, industri, produksi garam, perkotaan, pertambangan, dan penggalia pasir yang kurang memperhatikan faktor lingkungan, dan (3) penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips, dan sebagainya yang dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar hutan mangrove. Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dilihat dari persentase penutupan lahan dan kerapatan pohon (Tabel 1). Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kep-MENLH No 201 (2004) modifikasi
Sangat baik
Penutupan (%) ≥ 75
Kerapatan (pohon/100m2) ≥ 15
Baik
≥ 50 - < 75
≥ 10 - < 15
Rusak ringan
≥ 25 - < 50
≥7 - < 10
Rusak Sedang
≥ 10 - < 25
≥4-<7
< 10
<4
Kriteria
Rusak Berat
8
9
2.1.6. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan lain-lain), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem mangrove baik secara langsung (misal kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (misal pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen 2001a). Pengaruh akibat kerusakan mangrove terhadap lingkungan menyebabkan perubahan sifat fisik-kimia, biologi, dan keseimbangan (Kusmana et al. 2003). Gangguan kerusakan mangrove terhadap sifat fisik-kimia meliputi peningkatan suhu air, pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi, turbiditas, bahan-bahan toksik, dan erosi tanah. Gangguan pada ekosistem mangrove berdampak negatif terhadap sifat biologi berupa perubahan spesies dominan, kerapatan populasi, serta struktur tanaman dan hewan. Gangguan pada ekosistem mangrove juga berdampak terhadap keseimbangan dalam proses alami seperti regenerasi, pertumbuhan, habitat, rantai makanan, ekosistem mangrove, dan ekosistem sekitar pantai dapat terganggu jika ekosistem mangrove mengalami kerusakan. Gangguan keseimbangan ini dapat mengubah distribusi, kerapatan, dan struktur alami spesies yang terdapat dikawasan mangrove yang mengalami kerusakan tersebut. Setiap aktfitas manusia yang dilakukan pada ekosistem pesisir memberikan dampak terhadap ekosistem mangrove dan sekitarnya (Tabel 2). keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat, dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Gunarto 2004). Pada kawasan pesisir yang banyak terdapat tambak ikan atau udang sering sekali menyebabkan melimpahnya bahan organik dari hasil budidaya tersebut, untuk menjaga keseimbangannya maka peran mangrove sebagai biofilter sangat dibutuhkan.
9
10
Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove (Bengen 2001b) Kegiatan Tebang bebas Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dan lain-lain
Pembuangan sampah cair Pembuangan sampah padat
Pencemaran minyak tumpahan Penambangan dan ekstraksi mineral, baik didalam hutan maupun di daratan sekitar hutan mangrove
Dampak Potensial Berdasarkan komposisi tumbuhan mangrove Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan Peningkatan salinitas hutan mangrove Menurunnya tingkat kesuburan hutan
Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove Terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove Pendangkalan perairan pantai Erosi garis pantai dan intrusi garam Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat. Kematian pohon mangrove Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan) Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove
2.2. Substrat Salah satu faktor penting dalam ekosistem mangrove adalah keadaan substratnya. Substrat menentukan secara langsung struktur dan produktivitas ekosistem mangrove. Menurut Lovelock (1993) in Setyawan (2008), derajat keasaman (pH) tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam, dan berbau telur busuk. Menurut Setyawan (2008), adanya kalsium dari cangkan moluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun
10
11
tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Tekstur dan komposisi sedimen di dasar teluk banten merupakan hasil pengendapan modern yang berasal dari daratan dan dari paparan. Sumber dari lingkungan darat memberikan kontribusi terbesar, dicirikan oleh detrital batuan beku vulkanik, batuan terobosan, batuan sedimen hasil rombakan dari alluvial sungai, dan endapan karbon. Sedangkan sumber dari lingkungan paparan dicirikan oleh mineral dan material karbonat berupa kalsit, detrital batu gamping, cangkang moluska, pecahan koral, dan foraminifera. Endapan asal darat terutama terkirim melalui aliran sungai ke laut, sedangkan endapan asal paparan umumnya terbentuk secara insitu (Witasari 2002). Nybakken (1993) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya adalah salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi organisme di dasar ekosistem mangrove. Semakin halus tekstur substrat semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik. Menurut Plaster (2003) ilmuan tanah membagi tekstur substrat kedalam tiga kelas yaitu: pasir, debu, dan liat. Pengelompokan jenis substrat menurut Departemen Budidaya Pertanian Amerika Serikat dilakukan berdasarkan ukuran diameter partikel (Tabel 3). Tabel 3. Pengelompokan jenis partikel substrat (Plaster 2003) Jenis Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir Pasir halus Pasir sangat halus Debu Liat
Diameter (mm) 2,000 – 1,000 1,000 – 0,500 0,500 – 0,250 0,250 – 0,100 0,100 – 0,050 0,050 – 0,002 < 0,002
Bahan organik dalam tanah terdiri atas bahan organik kasar dan bahan organik halus atau humus. Humus terdiri atas bahan organik halus berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme di dalam tanah, pada ekosistem mangrove humus diperoleh dari serasah yang berjatuhan dari mangrove. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi
11
12
detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. (Zamroni & Rohyani 2008). Humus merupakan senyawa yang resisten (tidak mudah hancur), berwarna hitam atau coklat, dan mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Kandungan bahan organik tanah dihitung dari kandungan C-organik. Sifat kimia tanah berdasarkan kandungan C-organik terbagi menjadi lima yaitu; sangat rendah (<1,00% C), rendah (1,00-2,00% C), sedang (2,01-3,00% C), tinggi (3,015,00% C), dan sangat tinggi (>5,00% C) (Hardjowigeno 2003). Kestabilan substrat, rasio antara erosi, dan perubahan letak sedimen diatur oleh pergerakan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi, dan kecepatan akan air tawar. Gerakan air tawar yang lambat menyebabkan partikel sedimen halus cenderung mengendap dan berkumpul didasar. Gerakan awal air yang lambat pada ekosistem mangrove selanjutnya ditingkatkan oleh adanya sistem perakaran mangrove sendiri (misalnya akar tunjang dan akar lutut). Adanya sistem akar yang sangat rapat ini menyebabkan partikel yang sangat halus dengan kadar organik tinggi akan cepat mengendap di sekeliling akar bakau dan membentuk kumpulan lapisan sedimen (Dahuri 2003). 2.3. Parameter Lingkungan Perairan 2.3.1. Suhu Pada umumnya, suhu dinyatakan dengan satuan derajat Celcius (0C) atau derajat Fahrenheit (0F). Pengukuran suhu pada kolom air dengan kedalaman tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan reversing thermometer, thermophone, atau thermisor (APHA 1976 in Effendi 2003). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi
12
13
ekosistem perairan (Haslam 1995 in Effendi 2003). Pasang surut dan aliran sungai dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan oksigen ke sistem perakaran (Setyawan 2008). Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan subtropis dengan suhu tinggi. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 0C, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5 0C. Suhu yang tinggi (>40 0C) cenderung
tidak
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
kehidupan
mangrove
(Supriharyono in Iqbal 2009). 2.3.2. Salinitas Menurut Effendi (2003), salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg, promil (‰), atau practical salinity unit (PSU) (Nybakken 1993). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰-30,0‰, dan perairan laut 30,0‰-40,0‰. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40,0‰-80,0‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Salinitas sangat penting bagi pertumbuhan, daya tahan hidup dan zonasi spesies mangrove. Mangrove biasanya dapat bertahan hidup dan tumbuh subur pada selang salinitas antara 10-30‰. Meskipun beberapa jenis mangrove dapat tumbuh pada salinitas sangat tinggi. Menurut Wells (1982) in Aksornkoae (1993) di Australia Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh pada kawasan dengan salinitas sebesar 85‰, Avicennia officinalis dapat tumbuh pada kawasan dengan salinitas maksimum 63‰, sementara salinitas maksimum Ceriops spp. dapat tumbuh dengan toleransi 72‰, Sonneratia spp. adalah 44‰, Rhizophora apiculata 65‰ dan Rhizophora stylosa 74‰. Xylocarpus granatum dapat tumbuh pada kawasan dengan salinitas tidak lebih dari 34‰ dan Bruguiera spp. pada kawasan dengan salinitas tidak lebih dari 37‰. Tidak ada nilai yang pasti mengenai nilai maksimum salinitas air dimana spesies mangrove dapat bertahan, akan tetapi
13
14
salinitas optimal bagi mangrove adalah 28-34‰. Apabila salinitasnya kurang dari 28‰, maka pertumbuhan tanaman mangrove akan menurun (Aksornkoae 1993). 2.3.3. Derajat keasaman (pH) pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7,0-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah, toksisitas logam memperlibatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003). Pada pH <4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Derajat keasaman perairan mempengaruhi tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove. Dalam kegiatan rehabilitasi mangrove diperlukan kondisi perairan dengan pH optimal agar pertumbuhannya tidak terganggu. Menurut Setyawan (2008) pH air dan pH sedimen substrat mangrove nilainya hampir sama, meskipun sering ditemukan pH air sedikit lebih besar dibandingkan dengan pH sedimen.
14