56 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 56-65
Handewi P.S. Rachman et al.
MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG1) Handewi P.S. Rachman, A.Purwoto, dan G.S. Hardono Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161
PENDAHULUAN Ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumber daya manusia yang bermutu. Oleh karena itu, membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat mutlak bagi pembangunan nasional. Ketahanan pangan merupakan salah satu fokus utama kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Gotong Royong (1999-2004), dan dilanjutkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode 2005-2009 (Departemen Pertanian 1999; 2002). Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional (Simatupang et al. 2001; Suryana 2001). Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang ber1)
Naskah disarikan dari bahan Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan Mei 2005.
kuasa (Hardinsyah et al. 1999). Kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga dengan proporsi cukup besar masih ditemukan di daerah-daerah dengan ketahanan pangan tingkat regional (provinsi) maupun tingkat nasional terjamin (Saliem et al. 2001). Oleh karena itu, pencapaian ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan individu merupakan sasaran pembangunan ketahanan pangan suatu negara. Hermanto (2002) menyatakan bahwa gejolak harga pangan (beras) berdampak negatif terhadap daya beli konsumen serta menghambat rumah tangga untuk mengakses pangan yang dibutuhkan. Di tingkat produsen, gejolak harga dan penurunan harga gabah pada saat panen raya berdampak pada menurunnya pendapatan dan daya beli petani. Dengan demikian, ketidakstabilan harga beras berdampak pula terhadap daya beli dan akses petani terhadap pangan khususnya yang berstatus netconsumer. Oleh karena itu, kebijakan stabilisasi harga (beras) merupakan salah satu faktor penentu tercapainya ketahanan pangan. Pengelolaan atau manajemen stok pangan secara bijak di tingkat rumah tangga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat merupakan salah satu kunci tercapainya ketahanan pangan serta meminimalkan kejadian rawan pangan. Termasuk dalam pengelolaan stok atau ca-
58
untuk skala nasional. Hal itu berarti, apabila kebutuhan pembelian beras telah sesuai prognosa maka Perum Bulog akan berhenti melakukan pembelian beras, meskipun di wilayah kerja Divre atau SubDivre masa panen padi belum selesai dan produksi padi belum terserap pasar. Tidak ada kewajiban bagi Bulog melakukan operasi pasar untuk menampung kelebihan tersebut dan mempertahankan tingkat harga jual, seperti pada waktu berstatus sebagai LPND. Perubahan misi Bulog tersebut secara nasional berdampak pada dilepasnya kontrol terhadap harga dan distribusi beras sehingga hanya mengikuti aliran imbangan kekuatan pasokan dan permintaan (dinamika) pasar domestik. Lebih dari itu, di beberapa lokasi penelitian di Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, indikasi kejenuhan harga di pasar lokal makin terasa dalam lima tahun terakhir. Meskipun pemerintah kemudian berupaya untuk memberikan regulasi tentang periode waktu impor dan penetapan lokasi pelabuhan impor, informasi dari beberapa sumber di lokasi penelitian menunjukkan kedua aturan tentang impor tersebut belum efektif mencegah laju penurunan harga yang makin besar karena adanya kelebihan pasokan.
KEBIJAKAN STABILISASI HARGA Secara umum, selama kurun waktu 19952003 instrumen pokok kebijakan stabilisasi harga, yaitu harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP), berfungsi cukup efektif dalam menopang stabilisasi harga beras dan gabah. Namun, terdapat indikasi bahwa efektivitas harga dasar tersebut menurun antarwaktu. Pada periode 1995-1997 (pasar terisolasi), efek-
Handewi P.S. Rachman et al.
tivitasnya lebih tinggi dibandingkan pada periode 1998-1999 (pasar bebas) maupun 2000-2003 (pasar terkendali). Dalam periode pasar terisolasi, rasio harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (HKG) terhadap HDG masing-masing sebesar 136% dan 116%. Pada periode pasar bebas, rasio tersebut berubah menjadi 132% dan 117%, dan selama periode pasar terkendali menjadi 103% dan 96% (Saliem et al. 2004). Besaran koefisien variasi menunjukkan bahwa fluktuasi harga yang meningkat selama periode pasar bebas kembali normal seperti kondisi pada periode 1995-1997 ketika memasuki periode pasar terkendali (2000-2003). Hasil analisis juga menunjukkan pada periode pasar terkendali, perubahan harga beras lebih terkait dengan perubahan HDG. Namun, pada masa pasar bebas dan pasar terkendali, pengaruh HDG tidak menimbulkan korelasi yang kuat terhadap harga GKP atau GKG. Perbandingan antara rasio harga gabah terhadap harga beras pada periode pasar terisolasi, pasar bebas, dan pasar terkendali masing-masing adalah 50:44:45 persen untuk GKP dan 58:53:55 persen untuk GKG. Selain menunjukkan disparitas yang makin lebar antarwaktu, perbandingan tersebut juga mengindikasikan posisi harga GKP terhadap harga beras makin lemah, padahal petani umumnya menjual gabah dalam bentuk GKP. Dinamika situasi harga beras dan gabah pada dasarnya merupakan hasil interaksi pengaruh berbagai faktor, seperti karakteristik produksi secara internal, kondisi infrastruktur penunjang dan lingkungan sumber daya, situasi pasar, nilai tukar, serta peran pemerintah. Terkait dengan perubahan kondisi pasar dunia, harga paritas beras impor yang telah lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik men-
60
pergudangan yang tersebar di seluruh tanah air, SDM yang terampil, dan metode pengelolaan cadangan pangan nasional yang telah teruji. Kekuatan lainnya adalah cadangan pangan yang dikelola Bulog relatif terukur, dalam arti kuantitasnya dapat diketahui secara pasti sehingga memudahkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan masalah pangan. Salah satu kelemahan dalam pengembangan cadangan pangan pamerintah adalah sistem pengelolaan yang bersifat sentralistik dengan beban pembiayaan seluruhnya ditanggung pemerintah pusat, serta koordinasi pusat dan daerah sangat terbatas. Kelemahan lainnya adalah jenis bahan pangan pokok yang telah dilakukan pencadangannya oleh pemerintah pusat baru beras, padahal makanan pokok penduduk Indonesia tidak seluruhnya berupa beras. Selain faktor eksistensi bencana, faktor lain yang dapat juga dipandang sebagai peluang atau kesempatan pengembangan cadangan pangan pemerintah adalah diktum dalam PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang menyebutkan bahwa semua tingkatan pemerintahan, dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat, wajib melakukan cadangan pangan pokok. Satu-satunya tantangan atau ancaman bagi pengembangan cadangan pangan pemerintah adalah keterbatasan dana yang dapat disediakan pemerintah pusat untuk melakukan pengelolaan cadangan pangan. Tantangan atau ancaman ini adalah riil mengingat dana untuk itu dari tahun ke tahun cenderung meningkat (Amang dan Sawit 2001). Dalam konteks pengembangan cadangan pangan masyarakat, strategi yang dipilih untuk mewujudkan tersebarnya cadangan pangan di semua komponen
Handewi P.S. Rachman et al.
masyarakat serta teratasinya masalah pangan secara cepat adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan sosialisasi bahwa mengandalkan sepenuhnya pemenuhan kebutuhan pangan pokok lewat pasar bebas adalah riskan karena masalah pangan bisa terjadi kapan saja. Kedua, melakukan sosialisasi bahwa petani produsen juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan cadangan pangan masyarakat. Ketiga, menumbuhkembangkan dan sekaligus memelihara tradisi melakukan cadangan pangan di tingkat rumah tangga secara sendiri-sendiri. Keempat, menumbuhkan motivasi petani produsen agar membiasakan diri untuk melakukan cadangan pangan secara kolektif dengan membangun lumbung pangan. Kelima, mengelola lumbung pangan dengan orientasi usaha sebagai kegiatan ekonomi, bukan lagi sebagai kegiatan sosial, sehingga lembaga ini secara bertahap dapat berperan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi masyarakat di pedesaan, dan dapat menumbuhkan kembali tradisi masyarakat petani melakukan cadangan pangan secara kolektif. Dalam konteks pengembangan cadangan pangan pemerintah, strategi yang dipilih untuk mewujudkan tersebarnya cadangan pangan di semua lini pemerintahan serta teratasinya masalah pangan secara cepat adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan sosialisasi tentang pentingnya ketersediaan cadangan pangan di berbagai tingkat pemerintahan maupun di berbagai elemen masyarakat dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan masalah pangan. Kedua, mempertahankan sistem pencadangan pangan beras yang bersifat sentralistik, sebagaimana telah dijalankan selama ini oleh pemerintah pusat. Pertimbangan pertama, sistem ini dalam implementasinya
62
mendesak, dan bantuan bersifat sementara atau jangka sangat pendek. Program bantuan pangan untuk menangani kelompok rumah tangga rawan pangan transien, khususnya akibat bencana alam, dapat dilakukan secara terpusat atau terdesentralisasi (Perum Bulog 2004b). Untuk tahun 2005, Perum Bulog telah menyusun rancangan mekanisme penyaluran beras untuk korban bencana secara terpusat maupun terdesentralisasi. Kelompok rawan pangan kronis adalah kelompok rumah tangga atau individu yang karena keterbatasan sumber daya menyebabkan akses mereka terhadap pangan menjadi terhambat, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sesuai standar normatif untuk dapat hidup sehat dan produktif. Dalam kerangka tujuan pembangunan global (millenium development goals) untuk menurunkan kemiskinan dan kerawanan pangan sebesar 50% sampai tahun 2015, di Indonesia program tersebut tertuang dalam kebijakan pembangunan ketahanan pangan dan diimplementasikan dalam bentuk program bantuan pangan (beras) dengan harga bersubsidi bagi kelompok miskin (Raskin). Dari sisi volume, upaya Indonesia tersebut sangat signifikan dan dihargai komunitas internasional, khususnya dalam penanggulangan kerawanan pangan bagi penduduk miskin. Namun demikian, penyaluran program Raskin di beberapa daerah masih terdapat ketidaksesuaian dalam penetapan rumah tangga sasaran, jumlah beras yang diterima rumah tangga, waktu penyaluran, dan atau ketidaktepatan sistem administrasi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan seperti diamanatkan dalam Undangundang Pangan No 7 tahun 1996, yaitu “…kondisi terpenuhinya pangan yang cukup bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
Handewi P.S. Rachman et al.
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau…”; maka kebijakan penanganan kondisi darurat rawan pangan yang diimplementasikan dalam program penanggulangan bencana dan Raskin merupakan instrumen yang tepat. Untuk program penanggulangan bencana, struktur organisasi, aturan main, dan mekanisme penyaluran bantuan dinilai sudah cukup mapan. Bantuan pangan untuk kelompok tersebut bersifat gratis dan untuk jangka waktu sangat pendek, dan program bantuan ini tidak terlepas dari program pengelolaan cadangan pangan yang dikuasai pemerintah. Namun demikian dalam operasionalnya, efektivitas program tersebut perlu dikomplemenkan dengan program pemberdayaan dan solidaritas sosial, serta partisipasi masyarakat di tingkat lokal maupun masyarakat secara luas. Masalah utama dalam program Raskin adalah belum dapat terlayaninya seluruh rumah tangga miskin. Adanya senjang antara pagu penyediaan beras dalam program Raskin dengan jumlah keluarga miskin mengakibatkan realisasi volume penerimaan Raskin di tingkat rumah tangga tidak sesuai paket. Kalaupun ada maka kontinuitas bagi penerima Raskin tidak terjamin. Di desa penelitian di Banyumas dan Demak, misalnya, sejak dua tahun lalu jatah Raskin yang dibagikan adalah 4 kg/ KK/bulan. Walaupun hal tersebut tidak menyalahi Pedoman Umum tahun 2004, namun apabila jumlahnya terlalu kecil, program tersebut kurang signifikan dapat menanggulangi ketidakmampuan rumah tangga dalam mengakses pangan untuk hidup sehat dan aktif. Dalam Pedum disebutkan bahwa ongkos angkut dari titik distribusi sampai ke rumah tangga penerima Raskin diharapkan dapat disediakan oleh pemda (APBD)
64
pokok masyarakat setempat; (2) mempertahankan sistem pengelolaan cadangan pangan beras secara sentralistik oleh pemerintah pusat; (3) melakukan pembagian peran, yaitu pemerintah pusat mengelola stok operasi, stok penyangga dan pipe line stock, sedangkan pemerintah daerah mengelola reserve stock untuk keperluan darurat seperti bencana alam dan konflik sosial yang tidak bersifat nasional; dan (4) menggunakan pendekatan desentralisasi dalam penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Semua struktur/kelembagaan yang diusulkan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi melalui pengurangan koordinasi, pemotongan jalur birokrasi, pendistribusian tugas dan wewenang, dan sekaligus pendistribusian beban biaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan Penanganan Kondisi Darurat Rawan Pangan Untuk menangani kondisi darurat rawan pangan yang diakibatkan oleh bencana alam, konflik sosial atau kerusuhan dilakukan penyaluran bantuan pangan secara gratis. Dalam kaitan ini, ketepatan waktu penyampaian kepada kelompok yang terkena bencana sangat penting. Program bantuan pangan ini terkait erat dengan sistem pengelolaan cadangan pangan yang dikuasai pemerintah dan efektivitas penyalurannya. Untuk program Raskin, pilihan kebijakan yang dapat ditempuh yaitu: (1) memaksimalkan jumlah rumah tangga yang diberi bantuan pangan dengan konsekuensi jumlah beras yang disalurkan per rumah tangga terbatas; dan (2) membatasi jumlah penerima Raskin pada kelompok yang benar-benar tergolong prioritas
Handewi P.S. Rachman et al.
untuk dibantu dengan jumlah bantuan beras sesuai dengan yang dibutuhkan rumah tangga. Masing-masing pilihan kebijakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Kebijakan pertama secara politis memiliki kelebihan, karena pada periode waktu tertentu dapat menjangkau dan membantu (sebagian) kebutuhan rumah tangga miskin dalam jumlah besar, namun tidak signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan atau mengentaskan mereka dari kemiskinan. Pilihan kedua memiliki kelemahan, yaitu dalam jangka waktu tertentu jumlah rumah tangga miskin yang dapat dibantu relatif terbatas, namun cukup signifikan dalam membantu kebutuhan pangannya. Beberapa penyempurnaan pelaksanaan program Raskin adalah: (1) merevaluasi kriteria penetapan rumah tangga penerima Raskin, mengakomodasikan kelompok rumah tangga rawan pangan transien, dan memberi kesempatan kepada masyarakat setempat untuk menentukan penerima Raskin secara objektif; (2) mensinergikan program Raskin dengan program peningkatan produktivitas rumah tangga melalui perluasan program food for work dan pinjaman modal usaha, khususnya pada kelompok rumah tangga rawan pangan transien; (3) meningkatkan partisipasi pemda dalam pelaksanaan program Raskin dengan mengalokasikan anggaran untuk transportasi beras dari titik distribusi ke rumah tangga penerima; (4) menyusun perencanaan target waktu akhir bantuan dengan merumuskan kriteria dan indikator pada saat kapan rumah tangga tersebut sudah mampu sehingga bantuan pangan dapat dihentikan; dan (5) menyusun pangkalan data tentang kinerja rumah tangga penerima Raskin serta memantau dan mengevaluasi secara baik, konsisten,