PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011
MAKALAH
SEDIKIT TENTANG KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta
Sedikit tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik Oleh: Ifdhal Kasim∗
KOVENAN Internasional Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan produk Perang Dingin: ia merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis melawan kekuatan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi politik dunia berada dalam Perang Dingin. Situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian internasional --yang tadinya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Tapi realitas politik menghendaki lain. Kovenan yang satunya lagi itu adalah Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini merupakan anak kembar yang dilahirkan di bawah situasi yang tidak begitu kondusif itu, yang telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakan ke dua kategori hak tersebut. Saat ini Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik itu (selanjutnya disingkat ICCPR) telah diratifikasi oleh 141 Negara. Itu artinya tidak kurang dari 95% negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang berjumlah 159 Negara itu, telah menjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya. Tidak salah apabila kemudian kovenan ini dimasukkan menjadi bagian dari International Bill of Human Rights. Meskipun sangat terlambat, di bawah kepresidenan Megawati Soekrno Putri, pada tahun 2004 kita meratifikasi kovenan ini melalui UU No. 12/2004. Dengan demikian Kovenan ini telah menjadi bagian dari hukum nasional kita (the land of the law). Tulisan ini ingin mengetengahkan suatu paparan pengenalan terhadap ICCPR, sekedar untuk mengantarkan memahami secara garis besar Kovenan yang sangat penting ini. Karena itu tulisan ini tidak akan masuk pada pembahasan detail terhadap semua ketentuan yang diatur di dalam ICCPR, tapi sekedar mengetengahkan analisis yang menyeluruh terhadap ICCPR. ∗
Ketua Komnas HAM RI, Jakarta.
1
Substansi Hak-hak yang Dijamin Didalamnya ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hakhak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakannya dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (biasanya disingkat ICESCR) yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR karena itu sering juga disebut sebagai hak-hak positif (positive rights). Hak-hak negatif apa saja yang termuat dalam ICCPR? Dengan resiko terjatuh pada penyederhanaan, kita dapat membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah: (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subyek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights). Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan). Negara-negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengungangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins1 menyebut 1
Lihat Rosalyn Higgins, “Derogations under Human Rights Treaties”, (1979), 48, British Yearbook of International Law, 281-320.
2
ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback”, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara.2 Untuk menghindari hal ini, ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak pada ICCPR. Tanggungjawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak Negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak pada ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2(1) yang menyatakan, Negaranegara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua induvidu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2(2)). Perlu diketahui, tanggungjawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat “justiciable”. Inilah yang membedakannya dengan tanggungjawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressively), dan karena itu bersifat “non-justiciable”. Kewajiban Negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut: (a) menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; (b) menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang ditentukan oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum; (c) menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Dari uraian ringkas di atas tampaklah bahwa, Kovenan ini tidak mengandung sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan Negara-negara yang menjadi Pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib 2
Ketentuan pembatasan hak ini sangat diwaspadai oleh aktifis dan ahli-ahli hukum hak asasi manusia internasional agar tidak disalahgunakan oleh negara-negara.
3
sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama meraka atau menggunakan bahasan mereka sendiri” dalam komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini jelas tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu negara. Karena itu, sulit bagi kita menerima alasan mengapa sampai hari ini kita belum menjadi Negara Pihak dari perjanjian multilateral yang sangat penting ini.
Mekanisme Pengawasan Kovenan ini menciptakan badan pengawasannya sendiri (treaty-base organ), yaitu Komite Hak Asasi Manusia. Komite inilah yang serahi mandat untuk mengawasi jalannya pelaksanaan isi ICCPR pada semua Negara Pihak. Untuk melengkapi pengawasan yang dilakukan oleh Komite ini, pada ICCPR ditambahkan satu protokol yang bersifat pilihan, yakni Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut Protokol Opsional). Artinya Negara-negara Pihak ICCPR boleh memilih terikat atau tidak kepada prosedur yang disusun di dalam Protokol Opsional tersebut. Anggota Komite Hak Asasi Manusia yang disebut di muka terdiri dari 18 orang, yang dipilih dari warga negara yang menjadi Pihak pada Kovenan ini. Kualifikasi warga negara yang dapat dipilih menjadi anggota Komite tersebut harus merupakan “pribadipribadi bermoral tinggi dan dikenal memiliki keahlian dalam bidang hak asasi manusia”. Pemilihan anggota Komite dilakukan setiap empat tahun sekali, yang dipilih dari caloncalon yang diusulkan oleh masing-masing Negara Pihak melalui suatu pemungutan suara secara tertutup. Meskipun anggota tersebut diajukan oleh negara, tetapi ia tidak mewakili negaranya ketika terpilih sebagai anggota Komite: ia harus berfungsi dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Bukan bertindak dalam kapasitas wakil dari suatu negara. Sifat pribadi dari tugas-tugas yang dijalankan oleh anggota Komite, tampak diperkuat dengan janji yang harus diucapkannya ketika dilantik, yaitu akan menjalankan fungsi mereka secara adil dan sungguh-sungguh. Para perancang ICCPR tampaknya menyadari soal yang peka, yang berkaitan dengan keterwakilan budaya atau hukum di dalam Komite. Karena itu, untuk menjamin keterwakilan itu, disyaratkan agar dalam pemilihan anggota Komite, masalah distribusi geografis yang merata dan perwakilan bagi berbagai bentuk peradaban dan sistem hukum harus dipertimbangkan. Tetapi tidakkah, keragaman asal-usul anggota Komite itu, akan membawa Komite terjebak dalam perdebatan ideologi dan politik yang pada gilirannya akan mengganggu bekerjanya Komite? Prof. Nowak mengatakannya tidak. Menurut pengamatannya,3 Komite ini bekerja atas dasar konsensus. Meskipun telah terjadi perselisihan yang tak terelakkan mengenai doktrin dan metodologi hukum, tetapi 3
Lihat M. Nowak, “The Effectiveness of the International Covenant on Civil and Political Rights –Stocktaking After the First Eleven Session of the United Nations Human Rights Committee”, (1980),1, Human Rights Law Journal 136-70.
4
konfrontasi politik tak banyak terjadi. Sekali lagi terlihat, bahwa anggota Komite hanya memiliki komitmen pada Komite, bukan pada negara yang mencalonkannya. Komite menjalankan fungsi pengawasan berdasarkan mekanisme yang ditetapkan dalam ICCPR dan Protokol Opsional. Yang bertama adalah mekanisme yang bersifat wajib, yaitu pengawasan melalui suatu sistem laporan berkala. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini diwajibkan menyampaikan laporan mengenai tindakan-tindakan yang telah mereka tempuh dalam rangka pelaksanaan hak-hak yang terdapat dalam Kovenan, dan kemajuan yangh telah dicapainya. Laporan berkala inilah yang dipelajari dengan saksama oleh Komite, dan kemudian menyampaikan komentar-komentarnya kepada Negaranegara Pihak. Keuntungan utama mekanisme ini adalah dimungkinkannya Komite untuk mengadakan “dialog yang konstruktif” dengan Negara-negara Pihak. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan Komite menyelidiki kepatuhan Negara-negara Pihak dengan memeriksa kelemahan-kelemahan, mengatasi keragu-raguan, dan menyoroti penggelapan fakta yang dijumpai dalam laporan. Mekanisme ini sekilas tampak sangat “lunak”, tetapi sebetulnya sering juga membuat Negara-negara Pihak marah dan gusar dengan komentar dan kritik Komite terhadap laporan mereka. Mekanisme pengawasan yang kedua adalah pengaduan antar-negara. Mekanisme ini bersifat opsional atau fakultatif, tidak diwajibkan sebagaimana pada prosedur yang pertama. Mekanisme ini mensyaratkan persetujuan setiap Negara Pihak, dan hanya dapat dipergunakan terhadap negara-negara lain yang juga telah setuju untuk terikat pada mekanisme ini. Berdasarkan mekanisme ini, suatu negara yang beranggapan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Kovenan ini oleh suatu negara lain, dapat meminta perhatian negara bersangkutan akan fakta tersebut. Negara yang ditunding itu harus menanggapi tuduhan itu dalam jangka waktu tiga bulan. Apabila kedua negara tidak dapat menyelesaikannya perselisihan meraka dalam jangka waktu enam bulan, maka salah satunya dapat mengajukan masalah ini kepada Komite. Komite kemudian menawarkan jasa baiknya dalam rangka mencapai penyelesaian secara bersahabat di antara negaranegara itu. Tetapi apabila penyelesaian yang ditawarkan Komite itu juga tidak mampu mengatasinya, maka Komite dapat mengangkat sebuah Komisi Pendamai ad hoc untuk menyelesaikannya. Mekanisme pengaduan antar-negara ini merupakan mekanisme yang paling tidak memuaskan. Mekanisme ini sangat rawan dari penyalahgunaan untuk tujuan politis oleh masing-masing negara. Penekanannya pada penyelesaian perselisihan secara bersahabat, juga menyebabkan mekanisme ini tidak banyak gunanya untuk kepentingan melindungi induvidu. Yang tampak ditonjolkan di sini adalah kepentingan Negara-negara. Namun karena keputusan-keputusan dari Komite maupun Komisi Pendamai ad hoc dalam memutuskan perselisihan antar-negara tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka tidaklah mengherankan apabila mekanisme ini tidak pernah digunakan. Mekanisme pengawasan yang ketiga adalah pengaduan induvidual (induvidual petition). Mekanisme ini juga bersifat opsional, artinya hanya dapat diterapkan di Negara-negara Pihak yang telah meratifikasi Protokol Opsional Pertama ICCPR. Induvidu, melalui mekanisme ini, dapat berhubungan berhubungan langsung dengan
5
Komite. Tanpa melalui perantara negaranya lagi. Mekanisme ini dengan demikian telah menegaskan status induvidu dalam hukum internasional dewasa ini, yang tidak lagi sekedar sebagai “incidental beneficiary”.4 Melainkan telah diakui pula sebagai subyek hukum internasional.5 Melihat arti penting dari mekanisme pengaduan induvidual ini, di bawah ini dicoba diuraikan secara lebih memadai.
Mekanisme Pengaduan Induvidual Mekanisme ini diperuntukkan bagi induvindu yang menjadi korban pelanggaran hak dan kebebasan yang dilindungi ICCPR. Komite dapat menerima pengaduan ini, jika Negara-negara Pihak ICCPR terlebih dahulu telah menerima kewenangan Komite. Prosedur kerja Komite dalam menerapkan mekanisme ini bersifat tertulis dan rahasia. Artinya Komite hanya mempertimbangkan suatu pengaduan, jika pengaduan itu disampaikan secara tertulis kepadanya. Komite akan memeriksa pengaduan ini secara rahasia, dan semua rapat Komite bersifat tertutup. Begitu selesai memeriksa bukti-bukti tertulis yang dihadapinya, Komite menyampaikan pandangannya berkenaan dengan pengaduan tersebut kepada negara dan induvidu yang bersangkutan. Selain diharuskan menyampaikannya ke ECOSOC dan Majelis Umum PBB. Berdasarkan pengalaman Komite dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam Protokol Opsional, pengaduan yang diterima dan dipertimbangkan oleh Komite adalah pengaduan yang memenuhi beberapa syarat berikut ini: (i) Pengaduan tertulis itu harus berasal dari induvidu yang menyatakan diri sebagai korban; (ii) Pengaduan tertulis itu tidak sedang dipertimbangkan melalui prosedur penyidikan atau prosedur penyelesaian internasional lain apapun; (iii) Korban harus menunjukkan bahwa ia telah mengupayakan semua prosedur hukum yang tersedia di negaranya (exhaustion of domestic remedies); (iv) Pengaduan tertulis itu harus didukung oleh fakta yang kuat. Syarat-syarat yang dikemukan di atas tentu saja memerlukan penjelasan yang panjang lebar-lebar. Tetapi karena keterbatasan halaman yang tersedia, tulisan ini hanya membahas salah satu dari syarat-syarat tersebut. Tampaknya yang paling mendesak dibahas adalah syarat yang pertama: Apakah hanya induvidu yang menjadi korban saja
4
Pembahasan yang mendalam mengenai isu ini dapat dibaca dalam Louis Henkin, The Age of Human Rights” (New York; Columbia University Press, 1990).
5
Ahli hukum internasional senior Indonesia, Prof Mochtar Kusumaatmadja, juga telah melihat induvidu sebagai subyek dalam hukum internasional. Meskipun disebutnya sebagai subyek hukum internasional dalam arti terbatas. Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung:Putra A Bardin, cetakan ke 9, 1999).
6
yang boleh menyampaikan pengaduan tertulis kepada Komite? Bagaimana dengan kelompok yang menjadi korban, apakah dapat menggunakan prosedur ini? Apabila dilihat secara harfiah, ketentuan harus “korban itu sendiri” yang menyampaikan pengaduan, memang dapat mengarah kepada suatu pengingkaran terhadap hak untuk mengadu dalam situasi tertentu. Bahaya ini tampaknya disadari oleh Komite. Dalam pengalaman atau jurisprudensi Komite kita lihat, Komite dapat menerima pengaduan yang disampaikan oleh wakil atau pihak ketiga atas nama korban. Jadi tidak harus korban itu sendiri. Dalam kasus Massera v Uruguay,6 Komite menerima baik suatu pengaduan tertulis yang disampaikan oleh seorang perempuan yang menuduh bahwa suami, ibu dan ayah tirinya telah ditahan dan disiksa dengan sewenang-wenang di Uruguay, dengan menyatakan: “Penulis pengaduan ini dapat dibenarkan untuk bertindak atas nama … para korban seperti yang dituduh dengan alasan adanya hubungan keluarga dekat”. Pandangan Komite ini telah menjadi rujukan dalam kasus-kasus berikutnya, dan telah memastikan bahwa pihak ketiga yang mewakili korban itu tidak harus merupakan keluarga dekat si korban. Si penulis pengaduan cukup membuktikan adanya suatu kepentingan dalam tindakan hukumnya itu. Pengaduan tertulis atas nama kelompok tidak diterima oleh Komite. Berdasarkan Protokol Opsional, suatu tindakan kelompok atau dikenal sebagai actio popularis, tidak dapat diterima. Jurisprudensi Komite berkaitan dengan isu ini adalah kasus Mauritian Women. Dalam kasus ini, sejumlah perempuan mengadu mengenai efek diskriminatif dari sebuah undang-undang imigrasi tahun 1977 yang mempengaruhi hak tinggal para lekali asing yang menjadi suami perempuan-perempuan Mauritius, tetapi tidak mempengaruhi hak tinggal perempuan asing yang diperistri oleh lelaki Mauritius. Tidak semua perempuan-perempuan itu mau menunjukkan nama dan identitas mereka, karena itu pengaduan itu diajukan atas nama beberapa di antara mereka yang bersedia menunjukkan identitas mereka. Komite menolak menolak pengaduan actio popularis ini.7 Begitu juga pengaduan tertulis oleh suatu kelompok mengenai pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu negara, juga tidak dapat diterima oleh Komite.
Penutup Tulisan ini, seperti sudah disampai di awal, hanya mengetengahkan pembahasan yang menyeluruh terhadap Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Mulai dari aspek 6
Lihat Massera v Uruguay, Communication No. R 1/5. (1980) 1, Human Rights Law Journal.
7
Pertimbangan Komite menolak pengaduan tersebut, karena: “Seseorang hanya dapat mengklaim diri sebagai korban jika hal itu benar-benar mengenai dirinya. Bagaimana kongkritnya persyaratan ini harus ditafsirkan, hanyalah masalah derajat. Tetapi pada umumnya, tidak seorang pun dapat, melalui actio popularis, mempermasalahkan ketepatan suatu undang-undang atau praktek yang belum diterapkan secara kongkret sehingga merugikan induvidu tersebut; …”. Lihat, Communication No. 9/35, (1981) 2, Human Rights Law Journal, 139. 7
substansinya, hingga ke aspek proseduralnya telah dibahas secara ringkas dalam tulisan ini. Yang terlihat dengan demikian barulah hutannya, bukan pohon-pohon yang menciptakan hutan itu. Sekarang Kovenan ini telah menjadi bagian dari hukum nasional kita, karena itu pemahaman terhadap substansi hak-hak yang dijamin di dalam Kovenan ini menjadi sangat penting. Pelaksanaan Kovenan ini juga tergantung pada kemampuan kita memahami materi dan prosedur yang terdapat didalamnya. ***
Jakarta, Mei, 2011.
8