MAKALAH HADITS TARBAWY
ADAB AL-MU’ALLIM Dosen Pengampu : Saiful Amien, M.Pd
Disusun Oleh : 1. Lusiana Acnesyah Putri Aminuddin (039) 2. Resti Ayu Pratiwi (040) 3. Rita Suprapti (041) 4. Nur Fadliyah (043)
Prodi. Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang 2016
A. Pendahuluan Dunia pendidikan tidak terlepas dari adanya guru dan siswa karena merupakan unsur yang penting dalam sebuah pendidikan, terutama dalam proses belajar dan pembelajaran. Seorang guru dalam mendidik, mengajar, membimbing dan mengarahkan kepada anak didiknya tentunya dengan adab yang baik. Yakni perilaku, sifat, dan tindakan yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Seorang guru tidak hanya mendidik mengenai materi pelajaran saja tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang unggul, baik jasmani maupun rohani. Adab seorang guru merupakan hal yang penting dalam sebuah proses belajar. Guru tentunya harus mengetahui bagaimana cara mendidik dan mengajar anak didik yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dalam makalah kali ini akan dibahas tentang adab seorang guru atau mu’allim kepada siswa atau anak didiknya sesuai dengan hadist Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Adab seorang guru diantaranya yaitu, berniat ikhlas, sabar, memperhatikan keadaan peserta didik, lemah lembut, adil, mengembalikan ilmu kepada Allah, dan memberikan ilmu sesuai dengan tingkat pemikiran peserta didik. B. Pembahasan 1. Pengertian Adab Al-Muallim Secara etimologi adab berasal dari bahasa Arab yaitu addabayu’addibu-ta’dib yang berarti ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’.1 Dalam kamus Al-Munjid dan Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memilki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.2 1
Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. dari Bahasa Inggris oleh Haidar Bagis (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 60. 2 Luis Ma’ruf, Kamus Al-Munjid, Al-Maktabah Al-Katulikiyah (Beirut, tt), hlm. 194; Husin AlHabsyi, Kamus Al Kautsar (Surabaya: Assegraff, tt), hlm. 87.
2
Sedangkan Mu’allim atau guru dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensinya, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.3 Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa muallim atau guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani (fisik) dan rohani (psikis) peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan, sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaanya sebagai khalifah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Jadi Adab Al-Muallim yaitu tingkah laku, budi pekerti dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru terhadap anak didiknya dalam proses pembelajaran maupun diluar proses pembelajaran sesuai dengan ajaran Islam. 2. Hadist tentang Adab Muallim a. Berniat Ikhlas Secara etimologi kata niat dengan tasydid pada huruf ya’ ) ( نيّهadalah bentuk mashdar dari kata kerja ينوى- نوىyang berarti maksud.4 Jadi niat merupakan unsur terpenting dalam sebuah amal perbuatan. Niat yang benar adalah keinginan dalam hati untuk melaksanakan suatu kegiatan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Kata Ikhlas diambil dari kata khalasa, khalushan, khalashan ً خََلسَ – خَُلسً – خََلسberarti jernih.5 Mu’allim atau guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik harus niat ikhlas karena Allah Swt. baik aktivitas yang berhubungan dengan perintah, larangan, nasihat, pengawasan, maupun hukuman terhadap anak didiknya. Niat yang
3
Ahmad Tafsir (ed.), llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 74-75. 4 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009),hlm. 28. 5 Bukhari Umar, Hadist Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 82.
3
ikhlas seperti ini juga dijelaskan oleh Rasulullah Sallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari
َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ ال اخ َب ْرنا َم ِال ٌك َع ْن َي ْح َي ْب ِن َس ِع ْيد َع ْن ُم َح َّم ْد هللا بن مسلمة ق ِ حد ثناعبد َ ُ ّ َّ َ َّ ْ ْبن ِا ْب َراه ْي َم َع ْل َق َم َة ْبن َو َقاص َع ْن ُع َم َ َرا َّن َر ُس َ الل َعل ْي ِه َو َسل َم هللا صل ل و ِ ِ ِ َ َ َ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َق ََ َ ْ ُ َ َ ّ ال ب هللا َو ِ االني ِة وِلك ِ ّل ام ِر ئ ما نوى ف َمن كا نت ِهج َر ته ِالى ِ ِ ُ ال اال ع َم َ ُُ َْ َ ْ ُ َ َ َ َ ُ ْ هللا َو َر ُس ْو ِل ِه َو َم ْن كا ن ْت ِه ْج َر ت ُه ِل ُد ن َيا ُي ِص ْي ُب َحا ا ِو ى ل ِ رسو ِل ِه ف ِهجر ته ِا َ َ َ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ )اج َر ِال ْي ِه (رواه البخاري امر اة يتزوجها ف ِهجر ته ِالى ما ه “Telah
menceritakan
‘Abdullah bin Maslamah berkata ; telah
mengabarkan Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari ‘Al Qamah bin Waqqas dari ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Semua amalan tergantung niatnya. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrah karna Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa yang hijrahnya karna dunia atau karna perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia berhijrah kepadanya”. (HR. Bukhari)6 Hadits ini menegaskan bahwa diterimanya amal perbuatan manusia tergantung keikhlasan kepada Allah. Seseorang dengan niatnya dapat mencapai pahala yang sama dengan orang yang melakukan suatu amal meskipun ia tidak melakukan amal tersebut karena terhalang oleh suatu uzur. Segala bentuk pekerjaan dinilai sesuai dengan niatnya. Dalam proses pendidikan dapat bernilai ibadah apabila orang yang melaksanakan mempunyai niat yang ikhlas. Seorang pendidik harus mendidik dan mengajar dengan niat mengerjakan perintah Allah. Ikhlas merupakan ruh dan inti dari setiap amal.
6
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi, Shahih Bukhari Kitab Al-Iman (Beirut: Darl Al-Fikr, 1994), No. 51 hlm. 212-213.
4
Ada beberapa pelajaran yang terdapat dalam hadits ini sebagai seorang muallim atau guru, yaitu dalam menuntut dan mengajarkan ilmu, harus disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah. jika setelah itu memperoleh sanjungan dari manusia, itu adalah nikmat dan anugrerah dari Allah. Tetapi apabila dikerjakan dengan riya’, maka niatnya hampa disisi Allah. Dan apabila ikhlas karena Allah dalam mengajarkan ilmunya, maka akan mendapat balasannya dari Allah. Niat jika hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia saja, maka hanya itulah yang diperoleh, tanpa mendapat ganjaran pahala dari Allah. b. Sabar Sabar adalah kemampuan menguasai diri dari kemarahan. Kebencian dan dendam serta sanggup melakukan tugas-tugas amal shalih. Sabar merupakan kekuatan batin, karena dengan sabar ia dapat menguasai dan memimpin dirinya, sehingga tidak melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Marah adalah gelora di jiwa, orang yang marah kehilangan keseimbangannya dan pertimbangan-pertimbangan yang dimilikinya terbalik, sehingga ia hampir-hampir tidak bisa membedakan antara haq dan yang bathil.7
َ َْ ْ َ َ َ ّّ َ ّ ّ َ ُ ُ َ ّ ّ ظ َو ْال َعا ف َين َعن ن ,اس الن ي غ ال ين م ظ الك و آء ر الض و آء ر الس ى ف ِ ِ ِ ِ ِ ِ ال ِذين ي ِنفقو ِ ِ ُْ ُ ّ َو الل ُيح ُّب اْل ْح ِس ِن َين Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan.8
7
Fuad bin Abdul Aziz asy-Syalhub, Begini Seharusnya Menjadi Guru, Terj: Jamaluddin (Jakarta: Darul Haq, 2008), hlm. 40. 8 Al-Qur’an Surah Al Imran: 134.
5
Demikian Islam menganjurkan orang-orang untuk bersikap sabar dan tabah. Jika ayat itu diterapkan kepada seorang guru, selain tugasnya untuk mengajar secara terus menerus dan berkesinambungan guru juga harus menghadapi anak-anak didik yang mempunyai tingkat akal yang bervariasi dalam hal daya paham, cara pandang, penerimaan dan lain-lain. Adakalanya peserta didik ada yang nakal, ada yang sulit menerima pelajaran, dan lain sebagainya. Dari sini dapat dilihat banyaknya cobaan yang menuntut kesabaran bagi pendidik. Dan sabar dalam menahan amarah tersebut di tampakan oleh perbuatan dan perkataan Nabi. Beliau adalah orang yang paling mampu menahan emosi. Sebagaimana yang dituturkan oleh Anas bin Malik:
ّ َْ ْ َ َ ْ ْ َ ٌ َ َّ َ َ ّ َْ ُ ُ َ ْ ََّ َ الل الل ِق ِ عن إسحا ق ب ِن عب ِد, حدثني ما لك: ال ِ اعيل بن عب ِد ِ حدثنا إسم َ ّ ُك ْن ُت َأ ْمش ي َم َع: ال ُ ّ ص َّلى َ النب ّي َ ابن أ بي َط ْل َح َة َع ْن َأنس بن َ الل ق لك ا م ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ْ َ ُ َ َ َ َ ُّ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ُّ َ ْ َ ٌ ْ ُ ْ َ َ َ َ ّ َ َ ْ َ َ علي ِه وسلم وعلي ِه بر دنجرا ِني غ ِليضا الحا ِشي ِة فأدركه أعر ِابي فجذبه جذ َ ُّ َّ ّ ّ َ ّ َ َب ُة َشد َيد ًة َح ّتى َن َ إلر َ ض ْر ُت الل َعل ْي ِه َو َسل َم ق ْدأ ص ْف َح ِة َعا ِت ِق الن ِب ِي صلى ِ ّ ّ َُ َ ّ َ ْ ُ َ الر َد ِاء م ْن ش ّدة َج ْذ َبته ُث ّم َق الل ال ِذي ِ ال م ْرِلي ِمن ما ِل ِِ ِ ِ ِ ّ ث َر ث ِب ِه حا ِشية َ َ ُ َ ع ْن َد َك َفا ْل َت َف َت َإل ْيه َف ض ِح َك ث ّم أ َم َر ل ُه ِب َعطاء ِ ِ Artinya: telah menceritakan Ismail bin Abdillah berkata: telah menceritakan Malik dari Ishaq bin Abdillah Ibn Abi Thalhah dariAnas bin Malik “Saya pernah berjalan bersama Rasulullah SAW, sementara beliau memakai selimut najran yang tebal dan kasar di bagian ujungnya. Beliau dikejar oleh seorang badui lalu menarik selimut dengan keras sehingga saya melihat permukaan leher Rosulullah lecet oleh ujung selimut tersebut akibat keras tarikannya. Kemudian dia (badui) itu berkata “wahai Muhammad, perintahkan agar diberikan untukku dari harta Allah yang
6
ada padamu. “Rosulullah menoleh kepadanya dan tersenyum, kemudian memerintahkan agar ia diberikan pesangon.9 Dalam hadits ini terdapat pelajaran berupa sikap menahan diri serta membalas keburukan dengan kebaikan. Selayaknya perilaku nabi ini menjadi cermin bagi para guru agar lebih sabar dalam memperlakukan anak didiknya. Menurut Ibnu Hajar, bahwa orang yang memberi nasihat boleh menampakan sikap marah. Karena dia sebagai orang yang memberi peringatan. Begitu juga seorang guru, jika dia mencela kesalahan murid yang belajar kepadanya. Karena terkadang hal itu terpaksa dia lakukan agar si murid dapat mencari kebenaran darinya. Meskipun sebagai seorang guru dianjurkan untuk bersabar, namun adakalanya guru bersikap tegas pada murid yang melakukan kesalahan berulang-ulang. c. Memperhatikan Keadaan Peserta Didik Menjadi seorang pendidik harus mampu memperhatikan peserta didiknya. Agar pendidikan dan pembelajaran dapat terlaksana dengan afektif. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat, kemampuan dan kondisi jasmani peseta didik. Pendidik jangan sampai memngajarkan pelajaran yang melebihi batas kemampuan peserta didiknya. Karena apabila siswa sudah berada dalam titik kejenuhan biasanya siswa tidak dapat memahami materi yang disampaikan oleh pendidik. seperti dalam hadist :
َ َْ ُ َ َ ُ ّ ّ َ ُّ ّ َ َ َ ُ ّ َ ْ الل َعل ْي ِه َو َسل َم َي َتخ ّول َنا ِباْل ْو ِعظ ِة و ال ِعلم ك ْي ال با ب ما كان الن ِبي صلى َ َ ُ ُ ُ ُ ّ َ ُ ََّ َ ُ َْ َ عن األ,َ أ ْخ َب َرَنا ُس ْفيا ُن: ال َ ف َق َع ْن, عمش ين ِفروا حدثنا محمد بن يو س ِ ّ َع ْن ابن َم ْس ُعد َقا َل َكا َن, أبي َوائل ُ ّ ص ّلى َ النب ُّي ْالل َع َل ْيه َو َس ّل َم َي َت َخ ّو ُل َنا ب ْاْلَو ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ّ ع َظة في ْاأل ّيا م َك َر َاه َة السا َم ِة َعل ْي َن ِ ِ ِ ِ 9
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi, Shahih Bukhari Kitab Al-Jana’iz (Riyadh: Darus Salam,1997), No. 9085.
7
Dari ibnu Mas’ud, ia menceritakan, “Nabi Muhammad Salallahu alaihi Wasalam selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami menghindari menghindari kebosanan kami.” (HR Bukhari).10 Dalam hadist ini dijelaskan bahwa Rasulullah mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada juga waktu istirahat. Itu berarti para sahabat membutuhkan waktu istirahat agar tidak kelelahan dalam belajar. Karena dalam proses belajar harus ada rentang waktu untuk istirahat. Hal ini sangat berpengaruh dalam proses belajar yang tepat, dengan adanya jadwal belajar, pelajaran akan lebih mudah di pahami. Dan prinsip belajar dengan membagi waktu belajar dapat menghilangkan rasa bosan. d. Lemah Lembut Lemah lembut adalah salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh seorang guru atau pendidik. Lemah lembut merupakan sifat yang sangat halus yang ada dalam diri seseorang, seseorang yang memiliki hati lemah lembut dapat terlihat dari raut wajahnya, selain itu, sifat lemah lembut juga dapat terlihat dari bagaimana cara dia bertutur kata dan dalam berbuat suatu hal. Pendidik berperan sebagai orang tua murid ketika berada di sekolah. Hal ini berarti semua tanggung jawab diserahkan kepada pihak pendidik ketika murid atau peserta didik berada di sekolah. Maka dari itu, sebagai pendidik guru harus lemah lembut dan memberikan kasih sayang yang tulus kepada muridnya sebagaimana menganggap anak didik seperti anak sendiri. Sifat lembut yang seperti ini juga dijelaskan oleh Rasulullah Sallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari11 yaitu :
َ ُ َّ َّ َ َّ َّ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ َّ الل َعل ْي ِه َو َسل َم عن أ ِبي سليمان م ِال ِك ب ِن الحوي ِر ِث قال أتينا الن ِبي صلى َ َ ْ َ َ َ ً َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َ ٌ ُ َ َ ُ َن ين ل ْيلة فظ َّن أ َّنا اش َت ْق َنا أ ْهل َنا ونحن شببة متقا ِربو فأقمنا ِعنده ِعش ِر 10
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi, Shahih Bukhari Kitab AlJana’iz (Riyadh: Darus Salam,1997), No. 68. 11
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi, Shahih Bukhari Kitab Al-Adzan (Riyadh: Darus Salam,1997), No. 685 hlm. 137-138.
8
َ َ َو َس َأ َل َنا َع َّم ْن َت َر ْك َنا في َأ ْهل َنا َف َأ ْخ َب ْرَن ُاه َو َك َ ان َر ِف ًيقا َر ِح ًيما َف َق ال ا ْر ِج ُعوا ِإلى ِ ِ َ ُ َ ُّ َ َ ْ ُ ُ ُ َ ْ ُ ُ ّ َ َ ْ ُ ْ َ ُ َ َّ ْ َ َ َ َ َ ّ َ الصلة صلوا ك َما َرأ ْي ُت ُمو ِني أص ِلي وِإذا حضرت أه ِليكم فع ِلموهم ومروهم و ُ َْ ُ ُ ُ ُ َ ُ َ ّ َ َْ ) (رواه البخارى.فل ُيؤ ِذ ْن لك ْم أ َح ُدك ْم ث َّم ِل َيؤ َّمك ْم أك َب ُرك ْم Artinya : “Dari Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: “Kami, beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: ‘Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.’” (HR. Al-Bukhari) Dapat dilihat pada hadits di atas, Rasulullah Sallallahu’alaihi wa Sallam merupakan seseorang pendidik yang sangat halus perasaannya serta penyayang kepada siapa yang saja yang tengah dekat dengannya. Maka dengan adanya hadits Rasulullah di atas diwajibkan atas setiap pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan lemah lembut serta memberikan kasih sayang yang tulus kepada mereka. e. Adil Adil menurut bahasa Arab disebut dengan kata ‘adilun, yang berarti sama dengan seimbang. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Dan menurut ilmu akhlak ialah meletakan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai
9
haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya12. Jadi, adil merupakan suatu sifat yang meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya atau menyamaratakan semua sesuai dengan porsi yang seharusnya ia dapatkan. Adil juga dapat diartikan menyeimbangkan segala sesuatu tanpa harus dibeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dilihat dari pengertian adil di atas, sifat adil adalah salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Sifat adil ini berperan penting dalam suatu proses pendidikan dimana pendidikan seyogyanya disampaikan dengan objektif tanpa ada pilih kasih antar peserta didik atas dasar apapun. Sifat adil ini juga telah Rasulullah jelaskan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Al-Baihaqi13 :
ُ ْ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ ُّ َعن ُ ْ ُ َ ال َق َ الن َع َمان ْب َن َب ِش ْير َق اع ِدلوا َب ْي َن هللا صلى هللا علي ِه وسلم ِ ال َرسول ِ ُْ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ْ ُ َ ْ َ .ئبنا ِئكم اع ِدلوا بين ئبنا ِئكم Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu! Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu!” (HR. An-Nasa’i dan Al-Baihaqi) . Maksud dari hadits di atas adalah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wa sallam memerintahkan kepada seluruh umatnya untuk senantiasa berbuat adil kepada anak-anaknya. Dalam konteks pendidikan, hadits ini mempunyai pengaruh yang sangat besar. Tentunya jika dihubungkan dengan pendidikan, yang dimaksud anak-anak dalam hadits ini yaitu anakanak peserta didik dan pendidik selaku orang tua. Maka, berdasarkan hadits di atas wajib bagi setiap pendidik memiliki sifat adil kepada setiap anak didiknya.
12
sebagaimana dikutip dari http://jajaka-aja.blogspot.co.id/2012/01/materi-aqidah-akhlaktentang-adil-rida.html diakses pada tanggal 17, pukul 23.00 13 Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, h. 573; AlBayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, Juz 2, h. 411 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
10
Keadilan pendidik terhadap peserta didik meliputi banyak hal, seperti memberikan kasih sayang, penilaian, perhatian, bimbingan, pengajaran dan lain sebagainya. Apabila sifat ini tidak dimiki oleh seorang pendidik, maka ia tidak akan disenangi oleh peserta didiknya; dan apabila terdapat proses pembelajaran, maka tidak akan mendapat hasil yang maksimal14. f. Mengembalikan ilmu pada Allah Sebagai seorang pendidik seharusnya bersikap tawadhu’, tidak malu untuk
mengutarakan
ketidaktahuannya
tentang
suatu
ilmu
yang
dipertanyakan oleh peserta didik . Sebagaimana yang telah di contohkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sesuai dalam hadist beliau :
عن سعيد, عن ابى بشر, اخبرنا شعبة: اخبرنا عبدهللا: حدثنا حبان َ عن ابن عباس رض ي هللا عنهم َق,ابن جبير ُس ِئ َل َر ُس ْو ُل هللا صلى هللا: ال َ َ َََ ْ ُ ُ َ َ عليه وسلم عن اوالد اْلشركين ؟ َف َق {هللا ِاذ خلق ُه ْم أ ْعل ُم ِب َما كان ْوا َعا : ال 15}مل ْي َن ِِ Diriwayatkan dari Hibban , dari Abdullah, dari Syu’bah, dari Abi Bisyri, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas berkata : Rasulullah ditanya tentang anak-anak orang-orang musyrik? Maka beliau menjawab : { Allah yang menciptakannya lebih mengetahui apa yng mereka perbuat }. Dalam hadist ini diriwayatkan bahwa Rasulullah ditanya tentang nasib anak orang-orang musyrik nanti, pada hari qiyamat. Lalu beliau menjawab bahwa Allah lebih mengetahui akan hal itu. Dapat diambil kesimpulan dalam hadist ini bahwa seorang pendidik tidak harus memberikan jawaban atas pertanya’an yang diajukan oleh peserta didik yang masih diragukan kebenarannya apalagi belum tahu sama sekali tentang jawabannya. 14
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadist, Cetakan ketiga, (Jakarta: Amzah , 2015), hlm. 81. 15 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi, Shahih Bukhari Kitab AlJana’iz (Darus Salam,1997), No. 1383 hlm. 272.
11
Sehingga pendidik tidak perlu risih mengatakan ketidaktahuannya dan mengembalikan pada Allah akan kebenaran yang sesungguhnya16. g. Memberikan ilmu sesuai dengan tingkat pemikiran peserta didik Pendidik hendaknya menyampaikan ilmu yang sesuai dengan tingkat pemikiran peserta didik. Tidak layak bagi pendidik menyampaikan suatu ilmu diluar tingkat pemikiran mereka. Karena jika hal tersebut terjadi, maka peserta didik tidak akan bisa mengerti tentang ilmu yang disampaikan , sehingga tujuan dari pembelajaran tidak akan tercapai dengan baik. Sebagaimana sabda Rasulullah:
َّ َن ْح ُن َم َعاش ْرال ْنب َياء ُأم ْرَنا ْأن ُن ْنز َل: قال النبي صلى هللا عليه وسلم َ الن اس ِ ِ ِ ِ ِ َّ ُ َ َ َ َم َنا ِزل ُه ْم َونك ِل َم ُه ْم َعلى ق ْد ِر ُع ُق ْوِل ِه ْم
Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Kita para
nabi diperintahkan agar menempatkan masing-masing orang pada tempatnya
dan
berbicara
pada
mereka
sesuai
dengan
tingkat
pemikirannya.17 Atau dalam riwayat lain:
وروى الحافظ ضياء الدين في اْلختارة من رواية أحمد بن زياد العتكي ثنا األسود بن سالم ثنا أبو عبد الرحمن يزيد بن يزيد الزراد عن محمد بن َْ ُ أ ِمرنا:عجلن عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال َْ َ َ ْ َ َّ األ ْنب َياء َأ ْن ُن َك ّل َم ْاس َع َلى َق ْدر ُع ُق ْوِلهم َ الن ِ ِ م ع شر ِ ِ ِ Diriwayatkan dari Hafidz (dhiya’ud din ) dalam kitab mukhtaroh, dari riwayat Ahmad bin Ziyad dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi Muhammad, Beliau bersabda: Kita para nabi
16 17
Bukhari Umar, Op. Cit. hlm. 89-90. Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ulumuddin, (Beirut: Darul Fikr,1989), jilid 1
hlm. 71.
12
diperintahkan untuk berbicara pada mereka sesuai dengan tingkat pemikirannya.18 C. Penutup Berdasarkan
pembahasan
mengenai
akhlak
pendidik,
terdapat
beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan. Bahwa sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam makalah di atas merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Sifat ikhlas adalah salah satu sifat yang yang harus dimiliki seorang pendidik. Ikhlas disini secara singkat diartikan sebagai meniatkan segala bentuk upaya dalam melaksanakan pendidikan semata-mata hanya karena mengharap ridho Allah. Selanjutnya adalah sifat sabar, yakni sifat diamana seorang pendidik menempatkan kesadaran diri secara penih terhadap kontrol emosi, khususna Dalam menahan emosi marah kepada peserta didik. Sifat pendidik yang selanutnya adalah memperhatikan peserta didik, hal ini penting adanya karena berkaitan dengan porsi pembelaran, metode pembelajaran hingga pencapaian pembelajaran masing-masing peserta didik berbeda satu dan yang lainnya, tidak dapat digeneralisir. Lemah lembut adalah sikap yang harus dimiliki oleh pendidik selanjutnya. Lemah lembut merupakan hal yang berbeda dari sabar, lemah lembut tidak semata-mata berupa kontrol emosi belaka. Lemah lembut adalah wujud afeksi (perhatian) dari pendidik kepada peserta didik. Kemudian adil, sifat ini juga merupakan salah satu sifat yang haris dimiliki oleh pendidik. Pendidik sangat perlu bersikap adil, yakni memandang dan menempatkan secara objektif seluruh peserta didik dalam tingkat yang sama.
18
Muhammad bin Muflif bin Muhammad Al-Qudsi. Al-Adab Asy-Syar’iyyah wal Minah AlMar’iyyah. ( Islamu.web.net, 1998), hlm. 155.
13
Mengembalikan ilmu pada Allah, seorang pendidik tidak harus memberikan jawaban atas pertanya’an yang diajukan oleh peserta didik yang masih diragukan kebenarannya apalagi belum tahu sama sekali tentang jawabannya.
Sehingga
pendidik
tidak
perlu
risih
mengatakan
ketidaktahuannya dan mengembalikan pada Allah akan kebenaran yang sesungguhnya. Memberikan ilmu sesuai dengan tingkat pemikiran peserta didik, pendidik hendaknya menyampaikan ilmu yang sesuai dengan tingkat pemikiran peserta didik. Tidak layak bagi pendidik menyampaikan suatu ilmu diluar tingkat pemikiran mereka. Karena jika hal tersebut terjadi, maka peserta didik tidak akan bisa mengerti tentang ilmu yang disampaikan ,sehingga tujuan dari pembelajaran tidak akan tercapai dengan baik. D. Daftar Pustaka Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad. Beirut: Darul Fikr.
Ihya’ulumuddin. 1989. jilid I.
Al-Attas. 1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Terj. dari Bahasa Inggris oleh Haidar Bagis. Bandung: Mizan. Husin Al-Habsyi, Kamus Al Kautsar. Surabaya: Assegraff. Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi. 1994. Shahih Bukhari Kitab Al-Iman. Beirut: Darl Al-Fikr. Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhari Ja’fiyyi. 1997. Shahih Bukhari Kitab Al-Jana’iz. Riyadh: Darus Salam. Jaka. 2012. Materi Aqidah Akhlak Tentang Adil, Rida dan Beramal Sholeh, (Online), (http://jajaka-aja.blogspot.co.id/2012/01/materi-aqidahakhlak-tentang-adil-rida.html), diakses 17 November 2016. Ma’ruf, Luis. Kamus Al-Munjid, Al-Maktabah Al-Katulikiyah. Beirut: tt. 14
Muhammad bin Muflif bin Muhammad Al-Qudsi. 1998. Al-Adab AsySyar’iyyah wal Minah Al-Mar’iyyah. Islamu.web.net. Tafsir, Ahmad. (ed.). 1992. llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. bandung: Remaja Rosdakarya. Umar, Bukhari. 2015. Hadist Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadist (Cetakan 3). Jakarta: Amzah. Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
15