LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN KREATIVITAS ANAK PADA SEKOLAH DASAR KONVENSIONAL DAN PROGRESIF DI KOTA DEPOK
NURUL ISTIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif Di Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013
Nurul Istiana NIM. I25100091
RINGKASAN NURUL ISTIANA. Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif Di Kota Depok. Dibimbing oleh RATNA MEGAWANGI dan EUIS SUNARTI. Perubahan yang begitu cepat dalam arus informasi dan teknologi merupakan tantangan yang harus dihadapi suatu bangsa untuk mampu bertahan dan bersaing dengan bangsa lainnya. Untuk menghadapi tantangan itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mampu beradaptasi, dan mampu memecahkan persoalan hidup dengan berbagai cara yang kreatif sehingga setiap individu dapat tetap survive di era globalisasi ini. Pada dasarnya setiap individu memiliki sikap dan perilaku kreatif yang dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas seseorang di lingkungan keluarga maupun sekolah. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pendidikan anak yang berkaitan dengan pola asuh, interaksi, dukungan, kemandirian, orientasi tugas, orientasi keberhasilan, agama dan budaya serta komitmen terhadap peraturan bersama. Lingkungan sekolah adalah tempat dimana anak belajar bersosialisasi, menemukan dan mendapatkan pengetahuan serta pengalamannya. Sekolah perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan yang dapat membangun rasa keingintahuan anak untuk terus belajar menemukan pengetahuannya secara langsung dan bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak serta untuk menganalisis pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasar konvensional dan progresif Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di empat sekolah di Kota Depok yakni satu sekolah negeri unggulan dan tiga sekolah swasta. Penentuan sekolah dipilih secara sengaja (purposive) kemudian ke empat sekolah dipisahkan ke dalam dua tipe sekolah yaitu sekolah konvensional dan sekolah progresif. Populasi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 SD yang kemudian dari masing-masing sekolah dipilih secara acak sebanyak 30 anak, sehingga jumlah keseluruhan contoh adalah 120 anak. Data primer yang dikumpulkan berupa data karakteristik anak, karakteristik keluarga dan karakteristik sekolah. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah diuji coba dengan nilai alpha cronbach berkisar antara 0.67 sampai dengan 0.85 untuk instrumen yang digunakan. Data sekunder didapat dari sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Depok yang terdiri dari data siswa dan data umum sekolah. Data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Untuk analisis uji beda digunakan independent t test, uji korelasi digunakan spearman correlation. Untuk melihat faktor yang berpengaruh pada kreativitas digunakan ANCOVA dan tingkat kreativitas figural dan verbal dilakukan langsung oleh psikolog. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia contoh berada pada rentang usia 9 sampai 11 tahun dengan jumlah anak perempuan lebih banyak dibandingkan anak laki-laki dan hampir setengahnya berusia 10 tahun. Ayah contoh rata-rata berusia 42.49 tahun dan ibu contoh rata-rata berusia 39.31 tahun. Latar belakang
pendidikan ayah dan ibu contoh di sekolah progresif sebagian besar berpendidikan sarjana/pascasarjana. Pendapatan total keluarga sekolah progresif lebih tinggi dari pada sekolah konvensional. Fasilitas sekolah seperti perpustakaan, kamar mandi, lapangan olah raga, WC dan ruang UKS dimiliki oleh kedua sekolah. Guru di sekolah progresif rata-rata berusia lebih muda yakni 28.42 tahun dan di sekolah konvensional adalah 38.42 tahun. Guru di sekolah konvensional sebagian besar adalah sarjana kependidikan sementara guru di sekolah progresif sarjana non kependidikan. Tidak ditemukan adanya perbedaan antara lingkungan keluarga di sekolah konvensional dengan sekolah progresif, artinya bahwa baik keluarga di sekolah konvensional maupun keluarga di sekolah progresif memberi ruang dan kualitas yang sama pada pengembangan kreativitas anak, melalui hubungan keluarga, pertumbuhan pribadi serta pemeliharaan sistem keluarga. Berbeda dengan lingkungan keluarga, pada lingkungan sekolah ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara lingkungan sekolah konvensional dengan sekolah progresif. Lingkungan sekolah progresif lebih mendukung terjalinnya hubungan antara guru dengan siswa terutama dalam hal kerjasama dan pengembangan pertumbuhan pribadi seperti mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, melakukan percobaan dan mengambil resiko. Manajemen kelas dan pembelajaran di sekolah progresif juga lebih baik seperti diikutsertakannya siswa dalam pembuatan peraturan kelas, bebas mengeluarkan pendapat atau ide dan melakukan kegiatan pembelajaran dengan praktek langsung sesuai dengan keinginan siswa. Tingkat kreativitas figural dan verbal contoh dari sekolah progresif memiliki skor lebih tinggi dari pada contoh sekolah konvensional. Hasil uji ANCOVA menunjukkan bahwa nilai adjusted R square pada tingkat kreativitas figural adalah 0.168 atau 16.8 persen kreativitas figural dipengaruhi oleh usia anak dan tipe sekolah sementara pada tingkat kreativitas verbal sebesar 0.152 atau 15.2 persen kreativitas verbal dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan pendapatan total keluarga. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga namun lingkungan sekolah dan tipe sekolah memiliki peran yang lebih besar dalam pengembangan kreativitas anak kelas 4 dan 5 SD. Dengan mengetahui bahwa kreativitas menjadi hal yang penting dalam mempersiapkan anak-anak yang tangguh dan kreatif maka disarankan bagi orang tua untuk memilih sekolah yang lebih memperhatikan pengembangan kreativitas bagi anak. Guru dan sekolah yang merencanakan untuk melakukan perubahan dari sistem pendidikan konvensional menuju sistem pendidikan progresif dapat melakukan pembinaan/ pelatihan yang berhubungan dengan metode pembelajaran kreatif, manajemen kelas, dan suasana belajar yang menyenangkan. Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian sejenis, perlu mengkaji lebih dalam faktor lain yang mempengaruhi kreativitas anak terutama yang berhubungan dengan kondisi emosi atau sikap anak ketika diteliti. Bagi pemerintah terutama Departemen Pendidikan Nasional, perlu mengkaji kurikulum yang memberikan porsi lebih banyak bagi pengembangan kemandirian dan kreativitas siswa. Kata kunci :
Kreativitas figural dan verbal, Lingkungan keluarga dan sekolah
SUMMARY NURUL ISTIANA. Family Environment, Schools and Children's Creativity In Conventional and Progressive Primary School in Depok. Supervised BY RATNA MEGAWANGI and EUIS SUNARTI . Rapid changes in the flow of information and technology is a challenge that must be faced by a nation to survive and compete with other nations. To face these challenges qualified human resources are required, which must be able to adapt, and be able to solve the problems of life with a variety of creative ways so that each individual can survive in this globalization era. Naturally, each individual have a creative attitude and behavior which were influenced by both the family environment and school environment. Education is one of the factors that can affect the development of one's creativity in family environment and school environment. Family environment is first and foremost a place for the education of children with regard to parenting, interaction, support, independence, task orientation, success orientation, religion and culture, and commitment to common rules. While the school is a place where children learn to socialize, discover and gain knowledge and experience. Schools need to create a fun learning environment that can build a child 's curiosity to keep learning and to directly find meaningful knowledge. This study aimed to analyze the differences between family environment, school environment and creativity, as well as to analyze the influence of family environment and school environment to the creativity of children in progressive and conventional primary school. This study uses cross-sectional design study conducted in four schools in Depok, one prominent state schools and three private schools. The schools were purposively selected (purposive sampling), the sample schools were then separated into two types of schools, namely conventional schools and progressive school. The population of samples in this study were students in the fourth and fifth grade and then from each school as many as 30 children were randomly selected, bringing a total sample of 120 children. Primary data were collected in the form of children characteristics, family characteristics and school characteristics data. Primary data were collected using a questionnaire that had been tested, with Cronbach alpha values ranged from 0.67 to 0.85 for the instruments used. Secondary data obtained from the schools and the Education Department of Depok consisting of student and general school data. The data were presented in tables and analyzed descriptively. For the difference testing analysis, independent t test was used, Spearman correlation test was used for testing correlation. To see the factors that affect the creativity ANCOVA was used, while to determine the sample’s level of creativity figural and verbal creativity tests were directly conducted by professional psychologist using reliable and valid standardized testing tools. The results showed that the samples are in the range of 9 to 11 years of age, there are more girls than boys and nearly half of the samples are 10 years old. For the sample’s fathers, the average age was 42.49 years and for the sample’s mothers the average age was 39.31 years. For the educational background of parents in the progressive school, almost half are graduate/postgraduate level.
Total family income is higher for the progressive school than the conventional school. While school facilities such as libraries, bathrooms, sports fields, basic medical facilities are present both at conventional and progressive schools. Teachers in the progressive schools on average were younger i.e 28.42 years than the teachers in the conventional schools i.e 38.42 years. Most of teachers in conventional schools are undergraduates in educational discipline, while most of teachers in progressive schools are undergraduates with non-educational backgrounds. There was no significant difference between family environment of the conventional schools and the progressive schools. Family environment of the conventional as well as progressive schools give the same space and quality for the development of children’s creativity by maintaining family relationships, supporting personal growth as well as maintaining and keeping the family system. Unlike the family environment, there were significant differences between the school environment of the progressive and the conventional school. The school environment of the progressive schools were found to be more supportive for the development of relationships between teachers and students especially in terms of cooperation, as well as support for the development of student’s personal growth such as developing skills for problem solving, experimenting and risk taking. School learning activities and classroom management are also better in the progressive schools such as engaging students in making class rules, giving more freedom for voicing opinions or ideas, and hands-on learning activities based on the students interests. The results of the figural and verbal creativity tests showed that samples from progressive schools scores higher than that of the conventional schools. ANCOVA test results demonstrate that the adjusted R square value of figural creativity level is 0.168 which means that 16.8 percent figural creativity is influenced by the child's age and the type of school while the number for the verbal creativity is 0.152 which means that 15.2 percent verbal creativity is influenced by the school environment and total family income. From the results of this study, it is indicated that the level of figural and verbal creativity levels are not entirely influenced by the family environment but the school environment whereas the type of school have a greater role in the development of creativity of children in the fourth and fifth grade. Knowing that creativity is becoming increasingly important for preparing the children future, it is advisable for parents to choose schools that pay more attention to the development of creativity for children. Teachers and schools planning to make a change from the conventional system towards a progressive system may need to develop coaching/training associated with creative teaching methods, classroom managements and fun learning environment. For researchers who will conduct similar research, it is necessary to examine other factors that may affect the creativity of children, especially those related to the child's emotional state or attitude while they are being observed. For the government, especially the Ministry of National Education, there is a need to examine alternative educational system which will give more emphasis for the development of students’ selfreliance and creativity. Keywords : figural and verbal creativity, family and school environment
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentinganm pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN KREATIVITAS ANAK PADA SEKOLAH DASAR KONVENSIONAL DAN PROGRESIF DI KOTA DEPOK
NURUL ISTIANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Diah Krisnatuti MSc
Judul Tesis Nama NIM
: Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif di Kota Depok : Nurul Istiana : I25100091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Ratna Megawangi, MSc Ketua
Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc,MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 3 Juli 2013
Tanggal Lulus :
Judul Tesis Nama
NIM
: Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif di Kota Depok : Nurul Istiana : 125 1100091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Ratna Megawangi,MSc Ketua
Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS Anggota
Diketahui o!eh
Ketua Program Studi {lmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc. MSc
Tanggal Ujian: 3 Juli 2013
Tanggal Lulus:
0 7 NOV 2013
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tesis ini. Mulai dari penyusunan sampai dengan penyelesaian tesis ini tentu tidak terlepas dari dorongan semangat dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada : 1. Dr Ir Ratna Megawangi, MSc dan Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS, selaku komisi pembimbing atas bimbingan, waktu, saran, masukan, ilmu yang diberikan selama penyusunan tesis ini dan dukungannya untuk terus menyemangati penulis. 2. Dr Ir Diah Krisnatuti atas kesediaan dan waktu untuk menjadi penguji pada ujian sidang tesis serta Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku wakil PS-IKA atas masukannya serta Dr Herien Puspitawati, MSc,MSc dan seluruh pengajar IKA 3. Seluruh keluarga, terutama suami yang memberikan waktu, kesempatan, bimbingan, saran, masukan dan selalu mendukung langkah penulis selama penulis belajar dan menyelesaikan studi ini, serta anak-anakku tercinta (Yasmin Nadia dan Muhamad Arya Guntara) yang selalu memberi pelukan dan sayang. 4. Bapak Sinwari Natakusumah, Ibu Martini Dewi (Alm), Bapak Mudjiman Soemodihardjo dan Ibu Legina, orangtua penulis yang selalu mendukung dan memberi semangat untuk menyelesaikan studi. 5. Kakakku yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis, adik (Asri dan Ibnu) terimakasih untuk persahabatannya 6. Rekan-rekan di TK Seruni, atas segala pengertian, dukungan yang penuh semangat dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi 7. Teman-teman IKA angkatan 2010 (Siti Hidayah, Ria Magdalena Pasaribu, Retno Kumoro, Edianna P Mayangsari, Diana Berlianti, Dian Anggraeni, Hani Maria, Mitha Pramintari, Zulfia Novit, Riza, Tita Hasanah, Andri) dan Kenty Martiastuti untuk dukungannya Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2013
Nurul Istiana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
Halaman xii xiii xiii 1 1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Pendekatan teori struktural fungsional Pendekatan teori ekologi Lingkungan keluarga Sekolah Pendekatan teori perkembangan anak Pendidikan Sekolah konvensional Sekolah progresif Kreativitas
5 5 5 7 9 12 15 16 18 18 19
KERANGKA PEMIKIRAN
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penarikan Contoh Jenis dan cara pengambilan data Pengolahan dan analisis data Definisi operasional
26 26 27 27 29 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian Karakteristik contoh Karakteristik keluarga Karakteristik sekolah Lingkungan keluarga Lingkungan sekolah Kreativitas Hubungan variabel penelitian dengan kreativitas Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas Pembahasan Umum
33 33 34 35 38 40 45 51 53 55 56
SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
57 59 64
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif Jenis dan cara pengumpulan data Nilai alpha cronbach instrument penelitian yang digunakan Jenis data penelitian Keadaan umum sekolah Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Sebaran orang tua contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Sebaran orang tua contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Hasil uji beda orangtua contoh berdasarkan usia, jenis Kelamin dan tingkat pendidikan Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga dan perbedaannya antar tipe sekolah Sebaran rata-rata usia guru (tahun), jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah(%) Sebaran pendidikan guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah Sebaran fasilitas yang memotivasi kreativitas berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pemeliharaan sistem Berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah xii
Halaman 19 28 28 29 34 35 36 37 37 38 39 39 40 41 42 42 43 44 44 45 46 46 47 48 48 49
27 28 29 30 31 32 33 34
Sebaran contoh komponen pembelajaran berdasarkan tipe Sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh tingkat kreativitas figural berdasarkan tipe Sekolah Sebaran contoh tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe Sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan lingkungan keluarga, sekolah, kreativitas figural dan kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Hasil uji hubungan antar variabel dan koefisien korelasi Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal
50 50 51 51 52 52 54 55
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4
Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya Kerangka pemikiran lingkungan keluarga, sekolah dan kreativitas anak Tehnik penarikan sampel Sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal antar tipe sekolah
Halaman 8 25 27 52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil uji korelasi antar variabel penelitian
xiii
63
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
Halaman xii xiii xiii 1 1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Pendekatan teori struktural fungsional Pendekatan teori ekologi Lingkungan keluarga Sekolah Pendekatan teori perkembangan anak Pendidikan Sekolah konvensional Sekolah progresif Kreativitas
5 5 5 7 9 12 15 16 18 18 19
KERANGKA PEMIKIRAN
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penarikan Contoh Jenis dan cara pengambilan data Pengolahan dan analisis data Definisi operasional
26 26 27 27 29 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian Karakteristik contoh Karakteristik keluarga Karakteristik sekolah Lingkungan keluarga Lingkungan sekolah Kreativitas Hubungan variabel penelitian dengan kreativitas Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas Pembahasan Umum
33 33 34 35 38 40 45 51 53 55 56
SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
57 59 64
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif Jenis dan cara pengumpulan data Nilai alpha cronbach instrument penelitian yang digunakan Jenis data penelitian Keadaan umum sekolah Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Sebaran orang tua contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Sebaran orang tua contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Hasil uji beda orangtua contoh berdasarkan usia, jenis Kelamin dan tingkat pendidikan Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga dan perbedaannya antar tipe sekolah Sebaran rata-rata usia guru (tahun), jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah(%) Sebaran pendidikan guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah Sebaran fasilitas yang memotivasi kreativitas berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pemeliharaan sistem Berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah xii
Halaman 19 28 28 29 34 35 36 37 37 38 39 39 40 41 42 42 43 44 44 45 46 46 47 48 48 49
27 28 29 30 31 32 33 34
Sebaran contoh komponen pembelajaran berdasarkan tipe Sekolah (%) Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah berdasarkan tipe sekolah Sebaran contoh tingkat kreativitas figural berdasarkan tipe Sekolah Sebaran contoh tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe Sekolah Sebaran rataan dan hasil uji beda tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Sebaran rataan lingkungan keluarga, sekolah, kreativitas figural dan kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Hasil uji hubungan antar variabel dan koefisien korelasi Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal
50 50 51 51 52 52 54 55
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4
Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya Kerangka pemikiran lingkungan keluarga, sekolah dan kreativitas anak Tehnik penarikan sampel Sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal antar tipe sekolah
Halaman 8 25 27 52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil uji korelasi antar variabel penelitian
xiii
63
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan yang begitu cepat dalam arus informasi dan teknologi merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam segala aspek kehidupan bangsa untuk mampu bertahan dan bersaing dengan bangsa lainnya. Untuk menghadapi tantangan di era globalisasi saat ini dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas yang memiliki kemampuan cepat beradaptasi, cepat berpikir mencari solusi, dan imajinatif serta penuh ide untuk dapat mengembangkan strategi/design/inovasi baru (Megawangi, et.al. 2010). Kemampuan beradaptasi dan berpikir tingkat tinggi dalam menghadapi problema yang semakin kompleks dapat dilakukan dengan membentuk cara baru atau mengubah cara lama, yang menurut Munandar (2009) disebut sebagai cara kreatif. Melalui cara yang kreatif diharapkan setiap individu mampu bertahan mengikuti perubahan, mampu memproduksi gagasan baru yang melibatkan pembentukan pola-pola baru dengan mengkombinasikan pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan situasi saat ini yang memungkinkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Hurlock 1993). Pada dasarnya setiap individu memiliki sikap dan perilaku kreatif yang merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya yang berlangsung secara terus-menerus (Munandar, 2009). Salah satu pengembangan sikap dan perilaku kreatif dapat dilakukan melalui pendidikan di rumah maupun di sekolah karena pendidikan memiliki tujuan untuk menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersamasama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (GBHN 1999). Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pendidikan anak yang berkaitan dengan pola asuh orang tua dan dukungan keluarga. Pola asuh memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap dan perilaku kreatif anak. Sikap dan perilaku kreatif anak perlu dikembangkan di lingkungan keluarga sejak kecil, namun pengembangan kreativitas dalam keluarga masih kurang mendapatkan perhatian dari orang tua (Mayesky, 1990). Sikap orang tua yang menggunakan pendekatan konservatif masih banyak ditemukan, seperti membiarkan anak berkembang sendiri tanpa memberikan rangsangan kognisi ataupun keterampilan, terlalu melindungi anak (over protection), membatasi eksplorasi anak, pengaturan waktu yang sangat ketat, menguasai anak (dominan) atau membatasi khayalan anak. Orang tua saat ini lebih khawatir jika anaknya tidak mampu secara akademik sehingga saat duduk dibangku pra sekolah, anak sudah diajarkan calistung (membaca, tulis dan hitung), sehingga menyebabkan terabaikannya pengembangan kreativitas sementara keluarga merupakan tempat pertama dalam kehidupan anak yang akan cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap serta perilaku anak sepanjang hidupnya (Hurlock 1991). Lingkungan sekolah dengan sistem pendidikan yang saat ini berlaku di Indonesia cukup memprihatinkan dan masih jauh dari tujuan pendidikan nasional yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
2
kemasyarakatan dan kebangsaan”. Menurut Supriadi (1994) sistem pendidikan belum sepenuhnya mendukung berkembangnya daya kreativitas dan kemandirian anak, karena orientasinya masih lebih mengarah pada pendidikan “akademikmembentuk manusia untuk menjadi pintar di sekolah saja” dan “Industri tenaga kerja–menjadi pekerja bukan manusia Indonesia seutuhnya” (Munandar 2009). Pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan pada pemikiran reproduktif, hafalan, dan mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan dan masih bertujuan untuk memenuhi kelulusan Ujian Nasional saja, sementara proses pemikiran yang tinggi termasuk berpikir kreatif hampir tidak pernah diajarkan, anak tidak diberikan kesempatan untuk berpikir divergen dan kreatif (Munandar 1999). Pendidikan di sekolah yang mengekang tumbuhnya kreativitas menurut John Dewey dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan dalam suasana yang kurang menyenangkan, adanya pemberian tugas (PR) yang cukup banyak, hafalan dan driling yang berlebihan serta tidak diberikannya kesempatan untuk menjawab atau berpikir yang berbeda (kreatif). Tipe sekolah dengan sistem pendidikan ini digolongkan ke dalam pendidikan mainstream atau konvensional dan sudah berjalan lama sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melakukan perubahan. Anak didik yang dihasilkan dari pendidikan ini adalah anak didik yang memiliki kemampuan sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolahnya saja namun tidak berdaya ketika dituntut pada kemampuan lain untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan. Sebaliknya tipe sekolah yang memberi keleluasaan, kebebasan dan kesempatan kepada anak untuk memecahkan masalahnya sendiri atau secara berkelompok, berani mengeluarkan ide-ide baru, memiliki metode belajar yang mudah dan bermakna serta kurikulum yang dibuat secara terpadu dalam berbagai kegiatan digolongkan ke dalam pendidikan progresif. Melihat permasalahan yang ada di lingkungan keluarga dan sistem pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kesiapan kita dalam menghadapi tantangan globalisasi abad 21, maka kreativitas menjadi sebuah kompetensi yang sangat diperlukan oleh setiap individu untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan zaman yang selalu terus berubah. Ketidakmampuan berkreativitas dapat menyebabkan tertinggalnya kita dari orang lain, tergeser, tidak mampu memecahkan masalah yang semakin kompleks dan bahkan tidak menghasilkan apa-apa. Rumusan Masalah Kondisi lemahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi bagian penting dalam merumuskan pembangunan menghadapi abad 21 ini. Sumber daya manusia merupakan salah satu modal yang baik bagi pembangunan bangsa, namun kenyataannya tingkat pengangguran, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, tingkat kriminalitas dan tingkat korupsi di Indonesia masih menjadi hal utama yang harus ditangani dengan cepat. Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2012 menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka berada pada posisi cukup tinggi yakni sebesar 6,32 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dimana kurang lebih 30 persennya adalah penduduk produktif yang berusia 19-24 tahun. Rendahnya kualitas pekerja lulusan SD ke bawah juga masih mendominasi yaitu
3
sebesar 55,5 juta orang atau 49,21 persen dimana para lulusan tersebut bekerja sebagai buruh, tenaga kasar atau pekerja serabutan. Jika sumber daya manusia Indonesia dengan lulusan pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja pada tempat yang lebih baik, kemungkinan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin yang berjumlah 12,49 persen atau sekitar 30 juta jiwa dari kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia pada tahun 2011. Kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi hal yang utama dalam menghadapi era globalisasi saat ini, karena dengan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komparatif dalam sektor creative economy maka suatu bangsa akan menguasai masa depan (Megawangi 2010). Sementara kualitas sumber daya manusia Indonesia masih menjadi kendala, ini dibuktikan dengan Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi orang Indonesia menurut data TIMMS (Megawangi 2010) ternyata paling rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Rendahnya kemampuan berpikir tersebut, terlihat pada kurang dimilikinya sikap dan pribadi kreatif individu seperti ketidakmampuan individu dalam memecahkan masalah, lebih mudah menyerah dan tidak mampu menghadapi tantangan dalam hidupnya. Penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah buruknya sistem pendidikan di sekolah dan rendahnya kualitas pengasuhan di lingkungan keluarga yang memberi dampak bagi individu sehingga tidak memiliki sikap dan pribadi kreatif. Hal ini mungkin terjadi karena orang tua dan guru tidak memahami makna serta pentingnya kreativitas bagi masa depan anak. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara (Munandar 2009). Pengembangan kurikulum ditingkat satuan pendidikan (KTSP) sebenarnya telah memberikan ruang kepada guru dan sekolah untuk melakukan pengajaran sesuai dengan kebutuhan, kompetensi, usia dan kemandirian anak sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kreativitas anak. Namun kurikulum yang dapat dikembangkan di sekolah untuk mendukung kreativitas anak belum sepenuhnya dilaksanakan, hal ini tergambar pada Global Creativity Index atau indeks kreativitas global (2011), jika dibandingkan dengan negara maju dan berkembang lainnya, Indonesia berada pada kategori tidak kreatif yakni berada di peringkat 81 dari 82 negara. Penelitian tentang kreativitas telah mendapat perhatian yang cukup besar terutama dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang penuh dengan permasalahan (Guilford, 1950) dan dibutuhkan dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Hasil penelitian lain menggambarkan pengaruh dan hubungan antara lingkungan dari psikomotif dan perspektif kognitif terhadap kreativitas (Sternberg, 1998) karena menurut Csikszentmihalyi (1998) kreativitas tidak bisa dilihat sebagai hasil dari tindakan individu secara mandiri saja. Guilford (1967); Torrance (1974); Amabile (1983) menganggap kreativitas penting untuk dikembangkan dan ditemukenali sejak dini. Penelitian Roe 1952; MacKinnon 1962 dan Cattell 1968 (Cheng 2007) menunjukkan bahwa profil kepribadian dari tokoh-tokoh yang unggul kreatif berbeda dari profil kepribadian rata-rata. Crutchfield (1962) menunjukkan bahwa subjek yang kreatif dapat bertahan terhadap tekanan sosial karena orientasi yang lebih kuat terhadap tuntutan tugas. Dacey (1989) menemukan bahwa dukungan lingkungan keluarga yang baik akan menumbuhkan anak remaja yang kreatif. Penelitian Munandar (1977, 1986, 1988)
4
dan Supriadi (1994) menemukan bahwa ada hubungan latar belakang keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh dengan peningkatan bakat dan kinerja kreatif anak. Kreativitas diduga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia meskipun tidak dengan waktu yang singkat namun memerlukan waktu yang cukup panjang dan berproses, salah satunya adalah melalui pendidikan baik pendidikan informal di rumah maupun pendidikan formal di sekolah (Munandar, 2009). Melihat pentingnya kreativitas bagi masa depan dan perlu untuk ditumbuh kembangkan sejak dini baik dalam lingkungan keluarga dan sekolah, maka peneliti mengangkat permasalahan kreativitas pada anak yang duduk dibangku sekolah dasar kelas 4 dan 5 di empat sekolah yang berada di Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Secara garis besar, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimanakah karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah ? 2. Adakah perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak di sekolah dasar konvensional dan progresif di Kota Depok ? 3. Apakah terdapat pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasar konvensional dan progresif di Kota Depok ? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Kreativitas Anak Pada Sekolah Dasar Konvensional dan Progresif di Kota Depok. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian adalah : 1. Menganalisis karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, dan sekolah 2. Menganalisis perbedaan lingkungan keluarga, sekolah, dan kreativitas anak di sekolah dasar konvensional dan progresif di kota Depok 3. Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kreativitas anak di sekolah dasar konvensional dan progresif di kota Depok Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi orang tua, bahwa lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mendukung pengembangan kreativitas anak dan mengetahui tipe sekolah yang dapat dipilih bagi pendidikan anak. Bagi sekolah dan guru, dapat memberikan gambaran terhadap dukungan bagi pengembangan kreativitas anak melalui lingkungan belajar yang kreatif, metode pembelajaran, penyediaan sarana/prasarana dan manajemen kelas. Bagi peneliti, memberikan gambaran mengenai kreativitas dan pengembangannya pada penelitian lanjutan. Bagi pemerintah, memberikan gambaran bahwa pengembangan kreativitas anak perlu dimasukan ke dalam kurikulum sekolah.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI 1998). Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, adalah bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah anaknya, atau dan anaknya. Keluarga juga diartikan sebagai kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya (Ki Hajar Dewantara). Keluarga menurut Sunarti (2008) merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia. Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat bahkan pemimpin Negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung. Oleh sebab itu penting kehidupan keluarga memiliki nilai-nilai seperti cinta dan kasih sayang, komitmen, tanggungjawab, saling menghormati dan kebersamaan serta komunikasi sehingga keluarga menjadi tempat yang terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal (Megawangi dan Sunarti 2003). Keluarga sebagai lembaga pendidik yang pertama dan utama, berlangsung secara wajar dan informal, yang memberikan sumbangan mental dan fisik terhadap hidupnya (Sadulloh 2009). Sementara Drijarkara menyatakan bahwa keluarga secara perlahan membentuk konsepsi tentang pribadinya dan memiliki tanggungjawab dalam pendidikan untuk memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya (dalam Sadulloh 2009). Oleh karena itu keluarga memegang peranan penting dalam mencetak generasi dengan sumber daya manusia yang berkualitas yang tercerminkan pada perilaku dan perkembangan anak. Pendekatan Teori Stuktural Fungsional Perubahan arus informasi dan teknologi yang begitu cepat, mempengaruhi struktur dan fungsi masyarakat termasuk keluarga. Karena keluarga merupakan salah satu subsistem masyarakat yang tidak akan lepas berinteraksi dengan subsistem lainnya, seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama (Puspitawati 2009). Keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat namun keluarga juga dapat mengalami krisis karena pengaruh perubahan masyarakat sehingga diperlukan pendekatan struktural fungsional. Pendekatan struktural fungsional menurut Ogburn dan Parsons (Megawangi 1999) mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam berbagai fungsi yang sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pendekatan ini menurut Newman dan Grauerholz (2002) dapat digunakan
6
untuk menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Dalam menjalankan kelangsungan hidup keluarga, anggota keluarga memiliki tugas dan fungsinya sesuai dengan struktur keluarga yang ada dan berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas, dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga (Megawangi 1999). Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 (BKKBN 1996) meliputi fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri dari keagamaan, sosial, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Sementara Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama keluarga adalah “keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”. Saat ini fungsi keluarga mulai bergeser sejalan dengan meningkatnya orang tua yang bekerja di luar rumah dan perubahan jaman kearah yang lebih modern akan mempengaruhi institusi keluarga. Menurut Megawangi dan Sunarti (2003) dampak perubahan jaman itu sudah terlihat dengan adanya pergeseran nilai-nilai keluarga dimana cinta berubah menjadi situasional, komitmen dan tanggung jawab berkurang, terutama terhadap pengasuhan anak. Secara fisik anak mendapatkan kebutuhannya seperti makanan sehat dan bergizi, bersosialisasi dengan lingkungannya, namun dari sisi psikologis anak kurang menemukan fungsi afektif yang berhubungan dengan perasaan-perasaan bahagia, sedih atau rasa aman (Friedman 1998). Oleh karena itu keluarga harus menciptakan kondisi yang sehat, yang memiliki pembagian peran dan fungsi yang jelas dimana fungsi tersebut memiliki pola dalam struktur hirarkis yang harmonis dan komitmen dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (Puspitawati 2000). Pentingnya keberfungsian sebuah keluarga dalam menjalankan tugasnya merupakan hal penting dalam menjaga keutuhan keluarga tersebut. Bahwa suami dan istri perlu benar-benar memahami kedudukannya di dalam unit keluarga. Suami istri yang ikut terlibat dalam urusan rumah tangga akan lebih mampu mengatasi demokrasi-demokrasi yang terjadi di rumah tangga terutama ketika anak-anak mulai bersekolah dan dewasa (Supriyanti 2002). Dari hasil penelitian Gronseth ditemukan bahwa orang tua yang bersama-sama mengambil bagian dalam mengasuh anaknya menghasilkan kemampuan diri anak menjadi lebih tinggi, lebih matang, mudah bergaul, dan mampu menghadapi berbagai masalah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya terlibat dalam kegiatan sekolah selama tiga tahun atau lebih menghasilkan prestasi belajar anak yang lebih baik khususnya keterlibatan ayah daripada keterlibatan ibunya di sekolah (McBride et al.. 2005). Kebutuhan akan aktualisasi dan pengembangan diri anak dapat dilakukan melalui pendidikan. Sebagai salah satu fungsi keluarga, fungsi ini merupakan kunci keberfungsian keluarga dalam mendidik, mengarahkan, memberikan pengetahuan, ketrampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Keluarga harus mempersiapkan anak untuk kehidupan yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa maka keluarga harus memiliki kemampuan adaptasi dalam mendidik anak-anaknya untuk mampu
7
mengatasi kesulitan hidup. Dengan demikian memperjelas bahwa fungsi pendidikan merupakan bagian penting dalam keluarga mengingat lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang mendukung proses tumbuh kembang anak. Fungsi pendidikan bagi anak akan dilanjutkan di lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu tanggungjawab pendidikan anak terletak pada kerjasama antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang mempunyai peranan serta pengaruh yang besar dalam menuntun perkembangan anak untuk menjadi manusia dewasa. Fungsi keluarga tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu bahkan peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penanaman nilai kepada anak adalah sangat besar (Megawangi 2010). Dengan demikian seluruh anggota keluarga harus dapat menjalankan tugas sesuai fungsinya dengan baik, sehingga akan tercipta keluarga yang kokoh. Menurut Megawangi dan Sunarti (2003) dengan terciptanya keluarga yang kokoh akan tercipta generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat yang akhirnya membawa kejayaan sebuah bangsa. Pendekatan Teori Ekologi Lingkungan disekitar keluarga akan sangat mempengaruhi kekuatan keluarga dalam mempertahankan diri. Perubahan yang begitu cepat di era globalisasi saat ini, menurut Khairuddin (1985) dan Lenski & Lenski (1987) memberi dampak pada perubahan dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga menjadi tidak stabil dan berada pada masa transisi menuju keseimbangan yang baru. Hal ini menjadi perhatian bagi setiap keluarga untuk mampu mempertahankan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya karena keluarga merupakan lembaga sosial terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, maka keluarga sangat bergantung dengan lingkungan disekitarnya dan keluarga juga mempengaruhi lingkungan sekitarnya (Puspitawati 2012). Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan, perilaku dan sikap keluarga dalam menghadapi setiap masalah. Menurut ;Megawangi dan Sunarti (2003) interaksi yang menyenangkan antar lingkungan akan meningkatkan aktifitas sistem organorgan yang sedang berkembang, dan proses tumbuh kembang bisa menjadi optimal. Interaksi individu dan lingkungannya digambarkan oleh Brofenbrenner (2002) dalam tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu yang terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dengan lingkungan sehari-harinya. Bronfenbrenner menempatkan posisi anak pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya. Lingkungan tersebut terbagi ke dalam : (1) Mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak, yang meliputi keluarga dan hubungan antar anggota keluarga, sekolah, teman sebaya dan tetangga; (2) Mesosistem merupakan lingkungan kedua bagi anak yang meliputi hubungan anak dengan sekolahnya, dan hubungan anak dengan teman sebayanya;
8
(3) Eksosistem adalah lingkungan dimana anak tidak berpartisipasi aktif secara langsung tetapi lingkungan tersebut mempengaruhi anak, seperti lingkungan keluarga besar, pekerjaan orang tua, atau tempat kerja orang tua; (4) Makrosistem adalah lingkungan yang semakin luas yang meliputi struktur sosial budaya, gaya hidup dan masyarakat tempat anak berada; (5) Kronosistem menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial. Berikut ini adalah gambar 1 yang menunjukkan hubungan perkembangan anak dalam sistem lingkungannya.
Gambar 1 Hubungan perkembangan anak dengan lingkungannya (Model ekologi dari Bronfenbrenner 1981) Lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan individu melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan kemampuan serta temperamen. Individu berkembang melalui sistem yang saling mempengaruhi melalui interaksi sosial baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat yang berdampak pada bagaimana orang tua, guru dan masyarakat semestinya mengasuh dan mendidik anak secara holistik (Berns, RM 1997). Interaksi dalam keluarga menurut Megawangi (1999) merupakan suatu sistem unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Hal tersebut memperjelas bahwa di dalam keluarga, karakteristik biologis, psikologis, bakat, kemampuan dan temperamen dipengaruhi oleh anggota keluarga satu dengan lainnya. Hal ini karena keluarga bukan hanya bisa mempengaruhi namun juga dipengaruhi energi tertentu dalam pemeliharaan serta keberlangsungannya, adaptasi dan mau melakukan beragam fungsi kreatif (Sunarti 2010).
9
Keluarga terutama orang tua memiliki tugas dan peran untuk mempersiapkan individu dalam menghadapi dua hal yakni stabilitas dan perubahan. Stabilitas, berarti bahwa keluarga meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat. Sementara perubahan, berarti bahwa keluarga juga harus mempersiapkan individu untuk berubah menjadi individu dewasa yang berkompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Sekolah dan masyarakat juga merupakan sebuah sistem dapat mempengaruhi individu dalam mengembangkan diri, sikap dan perilakunya. Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat hendaknya dapat memberikan keamanan dan kebebasan psikologis bagi individu untuk mampu mengungkapkan dan mewujudkan diri (Rogers, 1982) serta mempersiapkan individu-individu yang mampu menghadapi tantangan dengan kreatif. Menurut Munandar (2009) kreativitas dapat dikembangkan dengan memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Proses pengembangan kreativitas akan terjadi dengan sendirinya pada lingkungan yang memiliki iklim menunjang, menerima dan menghargai individu. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya. Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai dan tentram (Taylor 1995). Rodi dan Salovey (dalam Munandar 2009) mengungkapkan bahwa keluarga dan perkawinan adalah sumber dukungan sosial yang paling penting bagi perkembangan anak dan mendorong individu berkembang kreativitasnya sementara dukungan sosial menurut Dunst & Trivette (1988) baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Dukungan keluarga yang mendorong tumbuh kembang anak melalui pemberian kepercayaan, berbagi ide, dukungan orang tua, pengasuhan, kasih sayang dan interaksi yang baik antar anggota keluarga lainnya terutama saudara kandung. Menurut Hurlock (1982) bahwa pengembangan kreativitas perlu dikembangkan sejak kecil dalam lingkungan keluarga karena kehidupan anak yang pertama dalam keluarga cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap serta perilaku anak sepanjang hidupnya. Dalam pendidikan, lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat membantu anak dalam proses pembelajaran yang juga dapat menjadikan efek penyangga yaitu menahan efek-efek negatif dari lingkungan luasnya (Friedman 1998). Sikap orang tua dalam memberikan pendidikan merupakan faktor penentu yang positif dari kinerja kreatif seorang anak (Munandar 2009). Lingkungan keluarga yang berkaitan dengan pendidikan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial ekonomi seperti usia, ukuran keluarga, jenis kelamin, pendidikan orang tua, pekerjaan dan status ekonomi keluarga. Lingkungan keluarga yang baik adalah lingkungan dimana orang tua memberikan lebih banyak kesempatan dan kebebasan pada anak untuk memahami dan bertindak sesuai dengan keinginan anak. Selain gizi, kesehatan, pendidikan dan pengasuhan, lingkungan keluarga yang kondusif akan membantu anak memiliki kinerja yang
10
lebih baik pada berbagai tugas. Lingkungan yang kaya stimulasi dalam keluarga sangat penting untuk setiap anak sehingga anak menjadi lebih optimis dalam membangun kecerdasan sosial dan kognitifnya. Menurut Hurlock (1978) iklim dan suasana rumah dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh afeksi, respon kerjasama, dan toleransi antar anggota keluarga. Lingkungan keluarga terbukti mendukung kreativitas anak, terutama pada anak yang tinggal dalam keluarga yang mendukung dan terorganisir sehingga anak mengalami peningkatan kepercayaan diri, memiliki kompetensi sosial, lebih mandiri dan mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai cara sehingga anak mengalami penurunan kecemasan (Moos & Moos 2002). Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas anak. Seiring dengan hasil penelitian Teale mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya cukup mempengaruhi kreativitas dan prestasi belajar anak. Latar belakang pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga juga sebagian besar berkontribusi terhadap lingkungan rumah yang mereka sediakan untuk anak-anak mereka. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar pada pendidikan anak-anak untuk beberapa alasan. Alasan pertama bahwa orang tua merupakan guru pertama bagi anak. Alasan kedua bahwa orang tua dengan latar belakang pendidikan yang baik yang diberikan oleh orang tuanya dulu memiliki waktu yang jauh lebih mudah dalam mempersiapkan anak untuk sekolah dibandingkan dengan orang tua yang kurang mendapat didikan orang tua ketika kecilnya. Pendidikan yang diterima anak sangat tergantung pada pendidikan yang orang tua mereka terima ketika mereka masih anak-anak. Pendidikan orang tua memberikan dukungan yang positif terhadap kreativitas anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua semakin baik prestasi anak terutama pendidikan ibu yang berhubungan positif dengan prestasi anak daripada pendidikan ayah (Munandar 2009). Sejalan dengan hasil penelitian Dacey (1989) bahwa anak kreatif mempunyai rasa identifikasi yang kuat dengan ibu mereka bahkan ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan kreativitas keluarganya. Anak kreatif menurut Supriadi (1994) tumbuh dari keluarga yang orang tuanya berpendidikan tinggi dan berpenghasilan baik, karena orang tua ini memiliki pengalaman yang bermakna yang kaya dalam hidupnya, lebih unggul dan memiliki iklim kehidupan yang baik. Penelitian Dacey (1989) menunjukkan bahwa keluarga dari anak kreatif sangat jauh berbeda dengan keluarga biasa lainnya. Keluarga dari anak kreatif memperlihatkan suatu karakteristik tersendiri, yaitu : (1) Orang tua sangat mendukung anak untuk mengembangkan minat, bakat dan potensi kreatifnya. (2) Orang tua dari anak kreatif tidak terlalu banyak ikut campur dalam kegiatan anak, tidak bertindak otoriter, terlalu mengawasi atau membatasi kegiatan anaknya. Mereka tidak terlalu permisif tetapi juga tidak terlalu otoriter (3) Orang tua menunjukkan tingkat humor yang tinggi dan ikut berperan aktif dalam proses kreatif anaknya. (4) Orang tua mendorong anak untuk tidak mudah putus asa dan mendorong kerja keras dalam proses kreatif anaknya. (5) Orang tua dari anak kreatif sangat perhatian dan terlibat langsung dalam pendidikan anaknya. Untuk mengukur lingkungan keluarga, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Family Environment Scale (FES) atau skala lingkungan keluarga yang dikembangkan oleh Moos & Moos (2009). Pendekatan ini mengukur lingkungan keluarga dalam 3 dimensi, yakni : dimensi hubungan
11
(relationship), dimensi perkembangan pribadi (personal growth) dan dimensi pemeliharan sistem (system maintenance). Dimensi hubungan keluarga (relationship) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hal hubungan antar anggota keluarga yang terdiri dari 3 sub skala yaitu : (1) kohesi (cohesion) adalah tingkat komitmen dan dukungan anggota keluarga satu kepada anggota keluarga lainnya seperti membicarakan masalah yg dihadapi, atau membuat kegiatan bersama; (b) ekspresif (expressiveness) adalah sejauh mana anggota keluarga didorong untuk mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, seperti saling menjaga perasaan, bebas mengeluarkan pendapat, mudah mengekspresikan diri dan mudah untuk menyampaikan keinginan; (c) demokrasi (democracy) adalah persamaan hak bagi anggota keluarga untuk berpendapat, mengambil keputusan serta menyelesaikan masalah secara bersama. Dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth) terdiri dari : (a) kebebasan atau kemandirian (independent), menilai sejauh mana anggota keluarga yang tegas, mandiri dan mampu membuat keputusannya sendiri seperti semua anggota keluarga memiliki tugas rumah, keluarga mendukung untuk mandiri, bebas melakukan kegiatan sesuai dengan hobi, dan berani mengemukakan pendapat; (b) orientasi keberhasilan (achievement orientation), mencerminkan berapa banyak kegiatan yang dibuat dalam rangka mencapai prestasi atau persaingan seperti berusaha untuk mengerjakan dengan baik, menjadi yang lebih baik merupakan hal yang penting atau keluarga mendorong untuk mendapatkan juara/berprestasi; (c) orientasi intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation), mengukur tingkat minat dalam kegiatan seni dan budaya, seperti pergi ke tempat-tempat yang sesuai dengan hobi, mengikuti kegiatan-kegiatan seni budaya atau berdiskusi tentang berita-berita yang berkaitan dengan kegiatan kreatif; (d) orientasi rekreasi (active-recreational orientation), mengukur jumlah partisipasi dalam kegiatan sosial dan mengisi waktu untuk rekreasi (kegiatan bersama), seperti menghabiskan akhir pekan bersama, menerima kunjungan teman kerumah, berkunjung ke tempat yang dapat menciptakan ide kreatif dan pergi berekreasi; (e) orientasi agama (moral-religion emhasis), menekankan pada masalah etika dan agama serta nilai-nilai moral, seperti mengunjungi tempat ibadah, meyakini agama, melakukan hal yang sesuai dengan ajaran agama. Dimensi pemeliharaan sistem (system maintenance) terdiri dari : (a) organisasi (organization) yakni seberapa banyak perencanaan yang dimasukkan ke dalam kegiatan keluarga dan dipertanggung jawabkan, seperti kegiatan keluarga dibuat dan direncanakan terlebih dahulu, kondisi rumah dalam keadaan rapih, bersih mudah untuk menemukan barang serta tepat waktu merupakan hal yang penting; (b) kontrol (control) atau pengawasan yakni seberapa banyak aturan dan prosedur yang digunakan untuk menjalankan kehidupan keluarga seperti peraturan yang dibuat dan ditaati bersama, dan masing-masing anggota memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Torrance (1981) mengemukakan lima bentuk interaksi orang tua dengan anak atau remaja yang dapat mendorong berkembangnya kreativitas yaitu : (1) menghormati pertanyaan-pertanyaan yang tidak lazim; (2) menghormati gagasangagasan imajinatif; (3) menunjukkan kepada anak atau remaja bahwa gagasan yang dikemukakan itu bernilai; (4) memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar atas prakarsanya sendiri dan memberikan reward kepadanya; (5) memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar dan
12
melakukan kegiatan-kegiatan tanpa suasana penilaian. Interaksi antara orang tua dan anak yang dapat menghambat berkembangnya kreativitas dikemukakan oleh Torrance (1981) disebabkan oleh : (1) terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi anak; (2) membatasi rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin (sexual roles); (4) terlalu banyak melarang anak; (5) terlalu menekankan kepada anak agar memiliki rasa malu; (6) terlalu menekankan pada keterampilan verbal tertentu; (7) sering memberikan kritik yang bersifat destruktif. Sekolah Kamrani (dalam Syafrudin 2008) menyatakan bahwa “Pendidikan keluarga betul-betul menjadi basis bagi pendidikan di sekolah dan masyarakat, sehingga sekolah dan masyarakat hanyalah bagian pelimpahan dan tanggungjawab sebuah keluarga”. Meskipun orang tua memberi pengaruh utama dan sumber daya utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, namun orang tua bukan satusatunya pengaruh yang membentuk perilaku anak. Pengaruh lingkungan seperti teman sebaya, tetangga, media massa serta sekolah juga merupakan tempat yang akan mendukung pembentukan diri anak. Sekolah adalah lembaga yang diberi kepercayaan oleh orang tua untuk mengembangkan potensi anak. Sekolah diharapkan memberi pendidikan dan pengajaran yang diperlukan oleh anak sebagai bekal dikemudian hari. Menurut Bandura (1997) lingkungan sekolah yang baik mendorong pertumbuhan psikologis dan memberikan kontribusi pada kualitas hidup. Dengan demikian sekolah selain tempat mendidik, mengajar juga memiliki tanggungjawab untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas seperti memberikan kenyamanan, keamanan, kebebasan dan pemerataan pengetahuan bagi siswanya serta melatih anak menjadi kreatif dan mandiri agar siap menghadapi semua perubahan di masa depan. Lingkungan sekolah sebagai tempat dimana anak belajar banyak hal, termasuk bagaimana anak mendapatkan dan membangun pengalaman pengetahuannya. Dave (1963) mendefinisikan lingkungan pendidikan sebagai "kondisi, proses dan rangsangan psikologis" yang mempengaruhi pencapaian pendidikan anak. Pentingnya lingkungan sekolah, menurut Bandura (1997) karena sekolah adalah tempat dimana anak mengembangkan kompetensi kognitif dan mengakuisisi pengetahuan serta keterampilan dalam memecahkan masalah agar dapat berpartisipasi secara efektif dimasyarakat dan selalu berlandaskan pada tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa ”Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Guru merupakan pendidik yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan membentuk watak serta kepribadian anak di sekolah. Guru memegang peran penting dalam menyiapkan anak-anak menuju masa depan dengan kemandirian, kecakapan hidup, ketangguhan dalam menghadapi berbagai masalah dengan kreatif. Guru akan mentransfer semua keilmuannya termasuk kreativitas dalam memecahkan masalah, karena dari guru yang kreatif akan memungkinkan tumbuh siswa yang
13
kreatif, pendapat tersebut sejalan dengan beberapa hasil penelitian mengenai kreativitas (Evita Adnan 1995; Cropley 2001; Wijaya 1991), sikap guru dan prestasi belajar anak menunjukkan kebermaknaan antara kreativitas guru dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Guru yang kreatif memiliki ciri-ciri perilaku kreatif (Munandar 1999) antara lain : memiliki rasa ingin tahu, mau bekerja keras, berani, memaksimalkan kemampuan intelektualnya, mandiri, dinamis, penuh inovasi/gagasan dan daya cipta, bersedia menerima informasi, menghubungkan ide dan pengalaman yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, serta cenderung menampilkan berbagai alternatif terhadap subyek tertentu. Guru yang kreatif akan memprioritaskan metode dan teknik yang mendukung berkembangnya kreativitas seperti keterampilan dalam merancang pembelajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka, membuat pembelajaran yang dapat melibatkan keaktifan siswa, mengembangkan sikap kerjasama antar siswa serta memiliki kemampuan menganalisa jawaban-jawaban siswa dan mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk dimanfaatkan siswa dalam belajar. Namun kreativitas guru masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia yakni rendahnya kreativitas guru, sementara kreativitas guru dalam proses belajar mengajar mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan menciptakan siswa yang kreatif (Wijaya 1991). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, dan guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkannya kedalam kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, sesuai dengan kompetensi anak, kesiapan belajar anak, kemampuan fisik dan kognitif anak. pengembangannya diserahkan kepada sekolah dengan menyesuaikan pada kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus Kurikulum pembelajaran di sekolah saat ini masih jauh dari kurikulum yang dapat mendukung kreativitas anak, hal ini dikarenakan sekolah lebih mementingkan potensi akademik, nilai dan lulus Ujian Nasional. Kurikulum dan penciptaan pembelajaran yang active learning memungkinkan pengembangan sikap dan perilaku kreatif anak, seperti memberikan kebebasan pada anak untuk mengerjakan tugasnya sendiri, memecahkan masalah, belajar secara berkelompok. Beberapa peneliti telah membuat taksonomi belajar mengajar yang kreatif. Salah satunya yang banyak diterapkan dalam kurikulum regular di Indonesia adalah taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom dalam ranah kognitif mencakup enam tingkat pemikiran, mulai dari pengenalan sampai dengan proses pemikiran tertinggi (analisis, sintesis dan evaluasi). Taksonomi Bloom digunakan sebagai cara untuk mengembangkan dan mengevaluasi pertanyaan. Guru dapat menyusun kegiatan dengan memasukan beberapa tingkat dalam setiap kegiatan yang disesuaikan dengan kemampuan dan waktu konsentrasi anak. Guru juga dapat memilih metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa di kelas seperti metode ekspositori, inkuiri, berbasis masalah, peningkatan, kontekstual, kooperatif, PAIKEM, tanya jawab, demostrasi, penemuan, karya wisata, diskusi, sosio drama, kerja kelompok, latihan. Metode pembelajaran seperti ini yang menurut NAEYC (National Association for the Education of Young Children) merupakan pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak
14
yang memungkinkan pengetahuan (Knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions) dan perasaan (feelings) bekerja dengan baik (Megawangi 2010). Fasilitas juga dapat mempengaruhi kreativitas anak, membantu pelaksanaan tugas di sekolah, membantu kegiatan belajar anak, menurut Arter (1998) fasilitas juga mendukung kelengkapan sumber dan kenyamanan lingkungan. Lingkungan fisik berupa barang, sarana dan prasarana serta kelengkapan sumber belajar akan mempengaruhi upaya peningkatan hasil belajar siswa. Belajar yang baik menurut Gie (2002) hendaknya didukung oleh ketersediaan fasilitas belajar yang memadai seperti : tempat belajar, alat tulis, buku-buku, penerangan yang cukup dan kelengkapan peralatan praktek, perpustakaan, lapangan olahraga, ruang-ruang praktek (ruang bahasa, ruang komputer, ruang kearsipan, ruang kegiatan ekstra kurikuler dan sebagainya). Pendekatan yang telah digunakan dibeberapa penelitian yang berhubungan dengan lingkungan sekolah, salah satunya adalah pendekatan dimensi yang dikembangkan oleh Moos & Trickett (1974) dan Moos (1979) yakni School Environment Scale (SES) atau skala lingkungan sekolah, Classroom Environment Scale (CES) atau skala lingkungan kelas serta pendekatan yang dikembangkan oleh Frasser (1990) yaitu Individual Classroom Environment Questionare (ICEQ) atau kuesioner individu skala lingkungan kelas yang menjadi landasan penelitian ini. Pendekatan ini terbagi menjadi 3 dimensi yakni : dimensi hubungan (relationship), dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) dan dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance). Dimensi hubungan guru-siswa (relationship) adalah keterlibatan guru dengan siswa yang saling mendukung dan membantu, serta mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas terbuka. Moos mengatakan bahwa dimensi ini mencakup aspek afektif dari interaksi antara guru dengan anak didik. Skala yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah : (a) interaksi hubungan gurusiswa yakni timbal balik positif yang bersifat edukatif yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah disepakati bersama secara efektif. Dimensi hubungan termasuk bagaimana hubungan antar siswa yang baik, saling mengenal, bekerjasama, berartisipasi dalam kegiatankegiatan dan aktif dalam memberikan pendapat; (b) dukungan guru, seperti guru memberikan bantuan, mendorong siswa untuk menemukan ide-ide baru, memuji hasil karya siswa dan memberikan rasa nyaman terutama ketika siswa mengalami kesulitan; (c) kerjasama adalah keinginan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok melalui kegiatan berdiskusi, mendiskusikan ide-ide kegiatan dan saling memberi semangat. Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) adalah dimensi yang berorientasi pada tujuan, dimensi ini membicarakan tujuan utama sekolah dalam mendukung pertumbuhan atau perkembangan pribadi dan motivasi guru dalam mendukung tumbuh dan kembang kreativitas anak. Yang termasuk dalam dimensi ini antara lain : (a) kemandirian, yakni bentuk kepribadian yang terbebas dari sikap ketergantungan, yang bukan sebagai pribadi yang tanpa sosialisasi melainkan sebagai suatu kemandirian yang terarah melalui pengaruh lingkungan (orang tua/pendidik) yang positif, seperti guru mendorong siswa untuk berpikir sendiri dan guru memberi kebebasan pada siswa untuk membuat keputusan sendiri; (b) orientasi pada tugas, seperti mengetahui langkah-langkah dalam
15
menyelesaikan tugas baik sendiri maupun berkelompok serta berusaha menyelesaikannya; (c) berani mengambil resiko adalah berani memulai sesuatu yang serba tidak pasti dan penuh resiko, seperti berani mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan menemukan masalah meskipun dengan hal yang berbeda. Dimensi manajemen kelas (class management) membicarakan sejauh mana lingkungan sekolah mendukung harapan, memperbaiki kontrol dan merespon perubahan melalui peraturan dan pengaturan kelas. Skala-skala lingkungan sekolah yang termasuk dalam dimensi ini antara lain : (a) organisasi kelas adalah suatu pola hubungan siswa di bawah pengarahan guru untuk mengejar tujuan bersama, seperti mengatur ruang kelas sehingga kelas dapat menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar; (b) peraturan yakni sesuatu yang disepakati dan mengikat sekelompok orang/lembaga dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama, seperti membuat peraturan kelas bersama dan mematuhinya.
Pendekatan Teori Perkembangan Anak Piaget (1970) mengemukakan bahwa setiap individu akan mengalami tahap perkembangan yang sama dan tidak ada perbedaan antara bangsa satu dengan bangsa lainnya namun bersifat universal. Tahap-tahap perkembangan dimulai sejak masa prenatal, bayi, anak, remaja, dewasa, dan kematian yang disetiap tahapnya berupaya untuk mengoptimalkan potensi-potensinya dengan sebaik-baiknya. Tahap-tahap perkembangan menurut Piaget berhubungan erat dengan tahap perkembangan kognitif seperti pada usia 0 – 6 bulan adalah masa reflex, 6 – 18 bulan adalah masa sensori-motorik, 18 bulan – 5 tahun adalah masa pre-operasional, 6 – 12 tahun adalah masa operasi konkrit dan 13 tahun ke atas masa operasi formal. Pada penelitian ini anak yang menjadi objek penelitian adalah anak usia sekolah dasar yang berusia 10 – 11 tahun atau berada di kelas 4 dan 5 SD yang menurut beberapa ahli seperti ; (1) Piaget menyatakan bahwa anak diusia ini berada di tahap operasional konkrit yakni sudah mampu melakukan tugas-tugas kognitif seperti matematika; (2) Sigmund Freud menyatakan anak diusia ini berada ditahap laten yakni masa tenang dan nyaman dalam mengembangkan potensi intelektual maupun sosialisasinya; (3) Erik Erikson menyatakan anak diusia ini berada pada masa industri yakni mulai mengembangkan kepribadian seperti pembentukan konsep diri fisik, sosial dan akademik, harga diri, percaya diri dan efikasi diri. Anak diusia ini sudah mengalami proses kematangan sosial, mental, psikologis dan moral (Harris dan Liebert 1992; Santrock 1997). Pada tahap operasional konkret menurut Piaget, anak mulai dapat menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan berkembang rasa ingin tahunya serta sudah memiliki pola interaksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tua. Hal ini disebabkan egosentris anak sudah semakin berkurang dan memungkinkan menyerap lebih banyak pengetahuan, mau bekerjasama dan memiliki daya imajinasi yang baik, termasuk kreativitas. Anak juga sudah dapat melihat, mengobservasi dan mengevaluasi kehidupan dinamika diri yang dialami
16
dimasa lalu, kini dan mendatang. Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahapan perkembangan kreativitas diantaranya : a. Tahap Prekonvensional (Preconventional phase) Tahap ini terjadi pada usia enam sampai delapan tahun. Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan emosional dalam menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan batasan dari luar. b. Tahap Konvensional (Conventional phase) Tahap ini berlangsung pada usia sembilan sampai dua belas tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang. c. Tahap Poskonvensional (Postconventional phase) Tahap ini berlangsung pada usia dua belas sampai dewasa. Pada tahap ini, individu sudah mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional yang ada di lingkungan. Beberapa faktor yang memungkinkan berkembangnya kreativitas antara lain adalah : (1) anak sudah mulai mampu menampilkan operasi-operasi mental ; (2) anak mulai mampu berpikir logis dalam bentuk sederhana; (3) anak mulai berkembang kemampuannya untuk memelihara identitas diri; (4) konsep tentang ruang sudah semakin meluas; (5) anak sudah menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang; (6) anak sudah mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih memerlukan bantuan objek-objek konkret. Pendidikan Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat (Branata 1988). Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, hal ini karena pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan bukanlah hal mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yang kompleks, dinamis dan kontekstual, pendidikan merupakan wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan. Peranan pendidikan dalam pembentukan diri (Umiarso 2010) meliputi aspek pengembangan kognitif berupa keterampilan akademik (membaca dan matematika) dan keterampilan berfikir (kemampuan memecahkan masalah), sementara pengembangan aspek sosial interpersonal memungkinkan individu dapat bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif, inisiatif, dan empati. Pembentukan diri dilakukan di rumah dan sekolah. Sekolah menurut Nazwar (dalam Indrawati 2009) sebagai tempat mendidik memiliki tugas dalam memberikan bekal kepada peserta didik agar potensinya berkembang, wajar, optimal dan bersifat adaptif dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sekolah juga harus terus melaksanakan berbagai upaya dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, melalui pengembangan pengajaran, penyediaan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru
17
dan tenaga kependidikan lainnya. sehingga sekolah dapat membentuk manusia yang mampu menghadapi masa depan dengan kreatif. Menurut Henderson (1959) bahwa pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial, lingkungan fisik dan berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Pendidikan di Indonesia dicanangkan dalam program wajib belajar 9 tahun yakni sekolah dasar 6 tahun dengan rentang usia 7 sampai 12 tahun dilanjutkan dengan sekolah menengah pertama 3 tahun dengan rentang usia 13 sampai 15 tahun. Program pemerintah berikutnya adalah mencanangkan wajib belajar 12 tahun yakni dengan menambahkan 3 tahun di sekolah menengah atas dengan rentang usia 16 sampai 18 tahun. Pemerintah meluncurkan program sekolah gratis dengan harapan seluruh anak di Indonesia dapat menggunakan haknya dalam pendidikan, karena melalui pendidikan, kualitas sumber daya manusia Indonesia diharapkan dapat meningkat. Dalam PP No 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 Tentang Standar Proses Pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran. Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara siswa dengan pendidik sudah harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Sekolah Dasar atau Elementary School adalah jenjang pendidikan dasar pendidikan formal di Indonesia setelah Taman Kanak-kanak. Jenjang pendidikan ini berada dibawah pengawasan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Departemen Pendidikan Nasional. Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat dengan SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang penyelenggaraan serta pengelolaannya dikelola oleh pihak pemerintah yang kemudian sekolah ini disebut sebagai sekolah negeri sementara yang dikelola oleh pihak swasta melalui sebuah yayasan pendidikan disebut sekolah swasta, baik yang berbasis agama maupun sekolah umum. Sekolah memiliki keunikan masing-masing dalam merancang program dan metode pembelajaran, meski secara keseluruhan sekolah menggunakan kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional, namun pengembangan kegiatan diserahkan kepada masing-masing sekolah untuk membuat dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang dapat membangun pengetahuan, kecerdasan serta kreativitas anak didiknya. Menurut Dewey, kurikulum di sekolah harus mencerminkan perkembangan manusia dalam masyarakat yang dibarengi dengan praktek-praktek kegiatan langsung di kelas. Dilihat dari kurikulum, kegiatan belajar mengajar, sistem penilaian, metode pengajaran, dan manajemen sekolah maka empat sekolah terpilih dalam penelitian ini, dibagi menjadi dua tipe sekolah yakni dua sekolah masuk dalam kategori sekolah konvensional dan dua sekolah masuk dalam kategori sekolah progresif.
18
Sekolah Konvensional Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pendidikan dengan cara-cara lama (Megawangi et al. 2010). Menurut Dewey 1997; Weng 2000; Chandler 1998; kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah konvensional bersifat satu arah, artinya selama proses belajar mengajar berlangsung siswa bersikap pasif (mendengarkan) sementara guru yang aktif (mengajar). Magnesen (dalam DePorter et al. 2007) menyatakan bahwa jika pada proses belajar mengajar, siswa hanya mendengarkan saja maka sebenarnya siswa hanya mampu menyerap 20 persen materi yang diberikan oleh guru. Konsep belajar sekolah konvensional adalah siswa belajar dengan cara mengingat atau menghafal tanpa memahami makna akan apa yang dihafalkan tersebut. Menurut Bloom, proses mengingat atau menghafal berada pada lapisan berpikir yang paling bawah dari taksonomi Bloom (Megawangi et al. 2010). Pembelajaran, pemberian tugas, hafalan/drilling dan pekerjaan rumah lebih berorientasi untuk mendapatkan nilai dan lulus ujian nasional. Materi pembelajaran tidak terintegrasi antar satu pelajaran dengan pelajaran lainnya sehingga materi yang diberikan tidak mendalam. Tidak terintegrasinya pembelajaran menurut Megawangi menjadikan siswa tidak dapat melihat keterkaitan materi satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya bahkan siswa tidak mengerti apa relevansinya dengan kehidupan nyata. Penilaian atas hasil kerja anak diberikan dalam bentuk angka, laporan perkembangan anak diberikan dalam bentuk rangking. Pajangan hasil kerja anak sebagai sebuah penghargaan dan prestasi sangat sedikit sekali dipajangkan bahkan jika adapun bukan yang up to date. Sekolah Progresif Sekolah progresif, menurut Hadisusanto (dalam Sudiono 2008) adalah sekolah yang memiliki prinsip memberikan kebebasan pada anak untuk dapat berkembang secara wajar, menemukan pengalaman secara langsung sehingga dapat merangsang minat belajar anak. Pembelajaran pada sekolah progresif berorientasi pada proses dan kegiatan yang berpusat pada anak. Kegiatan pembelajaran di sekolah progresif dilakukan dengan cara praktek langsung, sehingga siswa mendapatkan pengetahuannnya secara langsung dan menemukan masalah serta mengatasi masalah secara langsung. Kegiatan pembelajaran diberikan untuk dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat mengatasi masalah dengan berbagai cara menyelesaikannya. Kegiatan dilakukan baik sendiri maupun berkelompok. Tipe sekolah ini pada hakekatnya mengajarkan kepada pendidik dan penyelenggara pendidikan untuk mendidik bagaimana berpikir kritis, sistematis, ilmiah dan mampu menguji kebenaran dalam ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Guru menjadi pembimbing kegiatan belajar atau fasilitator dalam membangun pengetahuan anak dengan konsep dan pertanyaan-pertanyaan yang harus diselidiki. Penilaian diberikan dalam bentuk narasi dan tidak ada pemberian rangking kelas. Secara lebih lengkap perbedaan antara dua tipe sekolah tersebut menurut Dewey (1997) dan Chandler (1998) disajikan dalam Tabel 1.
19
Tabel 1 Perbedaan sekolah konvensional dan sekolah progresif Sekolah Konvensional Sekolah Progresif Kegiatan belajar berpusat pada guru Kegiatan belajar berpusat pada anak Jumlah siswa per kelas lebih besar Jumlah siswa per kelas lebih kecil Kurikulum terpisah (mata pelajaran Kurikulum terpadu (mata pelajaran diajarkan secara terpisah) dikaitan dalam tema pelajaran) Berorientasi pada produk (nilai/ujian Berorientasi pada proses Nasional) Belajar dengan pengulangan Belajar dengan berbagai kegiatan Konsep disajikan sebagai fakta untuk menghafal (pembelajaran dasar) Evaluasi kuantitatif (pengujian numerik) Penilaian dalam bentuk angka dan rangking dalam kelas Ruang kelas tidak terdapat pajangan atau sedikit sekali hasil kerja anak
Konsep disajikan sebagai pertanyaan yang harus diselidiki (pembelajaran mendalam) Authentic Assessment Penilaian dalam bentuk narasi dan tidak ada rangking dalam kelas Ruang kelas terdapat pajangan hasil kerja anak
Kreativitas Kreativitas menurut Mackinnon (1970) adalah kemampuan untuk menciptakan dan mengekspresikan seluruh potensi unik dari individu. Mackinnon dan Taylor (1988); Mooney 1963 (dalam Munandar 1988) menyarankan untuk melihat kreativitas dari empat aspek yaitu : pribadi kreatif, proses kreatif, situasi kreatif dan produk kreatif. Situasi kreatif dapat pula adalah sebagai faktor pendorong kreatif. Sementara Roger (1982) mengemukakan bahwa kreativitas sudah merupakan suatu kebutuhan sosial dari orang-orang yang kreatif. Roger melontarkan berbagai kritik terhadap apa yang terjadi yang menghambat kreativitas. Salah satunya adalah pendidikan, Rogers menyatakan bahwa pendidikan cenderung merubah sikap konformis, stereotip individu bukan pemikir yang bebas kreatif. Dari kritik tersebut jelas bahwa pendidikan yang ada termasuk pendidikan di Indonesia belum membentuk anak didik menjadi seorang yang kreatif. Guilford (1967), berupaya menarik perhatian terhadap masalah kreativitas dalam pendidikan, yaitu bahwa pengembangan kreativitas diterlantarkan dalam pendidikan formal padahal ini amat bermakna bagi pengembangan potensi individu secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Para lulusan hanya mampu memecahkan masalah sesuai dengan pembelajaran yang diterima di kelas namun tidak mampu ketika menemukan masalah yang baru yang sebelumnya tidak diketahui. Guilford menciptakan suatu teori yang menampilkan semua kemampuan intelek manusia atau lebih dikenal dengan Model Struktur Intelek yang melihat kepada hubungan intelegensi dengan kreativitas. Model struktur intelek membedakan antara berpikir “konvergen” dan “divergen”. Berpikir konvergen yang mendasari tes intelegensi tradisional dan kemampuan berpikir divergen merupakan indikator kreativitas. Struktur intelek Guilford
20
terbagi menjadi tiga dimensi yaitu : (1) Operasi, terdiri dari kognisi, ingatan, berpikir divergen, berpikir konvergen dan evaluasi; (2) Produk, terdiri dari unit, kelas, hubungan, sistem, transpormasi dan implikasi; (3) Konten, terdiri dari figural, simbolik, semantik dan perilaku. Pengembangan kreativitas diperlukan saat ini, karena kreativitas merupakan satu-satunya kemungkinan bagi suatu bangsa yang sedang berkembang untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dan untuk dapat menghadapi masalah-masalah yang semakin kompleks. Individu, kelompok atau suatu bangsa menurut Munandar (2009) harus mampu memikirkan, membentuk cara-cara baru atau mengubah cara-cara lama secara kreatif agar dapat “survive” dan tidak hanyut atau tenggelam dalam persaingan antar bangsa dan Negara. Kreativitas perlu dipupuk sejak usia dini karena : (a) dengan berkreasi orang dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) dirinya dan perwujudan/ aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam manusia (Maslow 1967); (b) berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacammacam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan karena sekolah lebih melatih penerimaan pengetahuan, ingatan dan penalaran (Guilford 1967); (c) bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu; (d) kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya dengan ide baru, penemuan baru dan teknologi baru. Pengembangan kreativitas ini dipupuk agar individu terutama anak-anak sejak kecil memiliki sikap, pemikiran dan perilaku kreatif. Sikap kreatif menurut Munandar (2009) dioperasionalisasikan dalam dimensi-dimensi : keterbukaan terhadap pengalaman baru dan luar biasa, fleksibel dalam berpikir, kebebasan dalam ekspresi dan pernyataan, menghargai fantasi, minat terhadap aktivitas kreatif, kepercayaan terhadap gagasan sendiri, kebebasan dalam penilaian. Pengaruh sikap orang tua terhadap perkembangan potensi kreatif anak menurut Safaria (2005) antara lain : (1) orang tua memberikan kebebasan pada anaknya untuk bereksperimen, berkarya atau mengekspresikan kreativitasnya di rumah, (2) orang tua dapat menghargai dan menerima anak apa adanya, tidak memaksakan keinginannya pada anak, (3) orang tua memberikan kehangatan, perhatian dan kasih sayangnya, (4) penekanan pada prestasi, bukan angka. Orang tua mendorong prestasi tertinggi dan menghasilkan karya-karya terbaiknya, (5) Orang tua yang aktif dan mandiri menjadi model bagi anak sehingga anak mencontoh perilaku orang tuanya. Ciri-ciri kepribadian kreatif menurut Treffinger (1986) adalah memiliki pribadi yang mampu mengorganisir tindakannya seperti memikirkan dengan matang rencana inovatif atau produk orisinal yang akan dibuat sampai dengan mempertimbangkan masalah-masalah yang akan timbul. Ciri-ciri kepribadian kreatif antara lain : memiliki rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide/konsep, memiliki rasa ingin tahu, kecendrungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang rumit dan misterius, mandiri, penuh semangat, dan percaya diri (Munandar 2009). Namun orang yang kreatif juga bisa memiliki sifat yang tidak kooperatif, egosentris, terlalu asertif, kurang sopan, keras kepala, emosional, menarik diri dan terlalu asertif. Ciri-ciri perilaku kreatif yang ditemukan pada orang-orang yang
21
memberi sumbangan kreatif yang menonjol terhadap masyarakat antara lain : berani dalam pendirian, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir, intuitif, ulet, tidak bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja. Berpikir divergen dan konvergen, adalah dua hal cara berpikir yang dimiliki oleh orang kreatif dimana kemampuan berpikir divergen lebih menonjol dan merupakan bentuk pemikiran terbuka, yang menjajaki bermacam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan atau masalah. Secara universal, produk divergen yang dikaitkan dengan kemampuan spesifik dari Guilford (1967) yang melibatkan lima proses kreatif adalah sebagai berikut : (a) kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan; (b) keluwesan (fleksibility) adalah kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan dan atau jalan pemecahan terhadap suatu masalah; (c) keaslian (originalitas) adalah kemampuan untuk melahirkan gagasan-gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; (d) penguraian (elaboration) adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci; (e) perumusan kembali (redefinisi) adalah kemampuan untuk mengkaji/menilik kembali suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lazim. Kemampuan berpikir konvergen orang kreatif adalah kemampuan berpikir yang berfokus pada tercapainya satu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah. Hal ini diperlukan untuk memilih aspek masalah yang relevan dan membuang yang tidak relevan (selective encoding), mengkreasi sistem koheren dari informasi yang berbeda serta mengintegrasikan informasi baru dengan yang telah diketahui sebelumnya. Melalui cara berpikir yang lancar dan fleksibel, orang kreatif mampu mengadaptasi hampir semua situasi agar tujuannya tercapai. William (1979) mengembangkan pemikiran bahwa kreativitas perlu dipupuk secara menyeluruh dan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada semua bidang kegiatan, terutama keterampilan kognitif dan afektif dalam pengembangan kreativitas digabung dengan bidang tradisional yang diajarkan di sekolah. Pengukuran kreativitas, dilakukan untuk mengetahui seseorang dapat dikatakan kreatif melalui indikator-indikator tertentu. Indikator ciri dari kreativitas dapat diamati dalam dua aspek yakni aspek aptitute dan nonaptitute. Ciri-ciri aptitute adalah ciri-ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir, sedangkan ciri-ciri nonaptitute adalah ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan. Menurut Dacey (1989) berbagai alasan penting yang dikemukakan dalam mengukur potensi kreatif antara lain : untuk tujuan pengayaan (enrichment) yakni mengidentifikasi potensi kreatif anak; untuk perbaikan (remedial) yakni menemukenali kemampuan kreativitas yang sangat rendah; untuk bimbingan kejuruan yakni membantu siswa memilih jurusan pendidikan dan karier; untuk penilaian program kegiatan yakni untuk memutuskan apakah dibutuhkan program kreativitas; untuk mengkaji perkembangan kreativitas pada berbagai tahap kehidupan yakni mengetahui pertumbuhan dan penurunan kreativitas pada macam-macam tipe orang dan mengetahui masa puncak kreativitas (Terman 1959; Davis 1992). Mengukur potensi kreatif dilakukan melalui berbagai pendekatan yaitu : pengukuran secara langsung, pengukuran tidak langsung, mengukur unsur-unsur kreativitas, mengukur ciri kepribadian kreatif, pengukuran potensi kreatif secara
22
non-test dan pengukuran terhadap kinerja kreatif. Pengukuran tersebut dilakukan melalui berbagai tes kreativitas yang telah dilakukan di laur negeri antara lain : tes kemampuan divergen-Guilford (1967), tes kemampuan berpikir kreatif-Torancce (1974), tes berpikir kreatif–produksi menggambar atau test for creative thinking drawing production (Jellen dan Urban 1985), tes berpikir kreatif dengan bunyi dan kata atau thinking creatively with sounds and words (Torrance, Khatena dan Cunnington 1973), dan tes inventory Khatena-Torrance persepsi kreatif atau Khatena-Torrance Creative Perception Inventory. Di Indonesia tes kreativitas dilakukan oleh Munandar pada tahun 1977 dengan tes kreativitas verbal, tes kreativitas figural, skala sikap kreatif, dan skala penilaian anak berbakat oleh guru. Kreativitas verbal dan kreativitas figural dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur seberapa jauh kreativitas anak usia 10-11 tahun. Tes kreativitas verbal diadaptasi dari model struktur intelek Guilford dan kreativitas figural diadaptasi dari circle test Torrance. Guilford (1967) mengemukakan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan berfikir divergen, yaitu pemikiran yang menjajagi bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang sama besarnya atau kemampuan berpikir kreatif yang mengukur aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas dan elaborasi (Munandar 2009). Menurut Torrance (Munandar 1999) kreativitas verbal adalah kemampuan berpikir kreatif terutama mengukur kelancaran, kelenturan dan orisinalitas dalam bentuk verbal yakni yang berhubungan dengan kata dan kalimat. Faktor yang mempengaruhi kreativitas verbal adalah lingkungan yang responsif (keluarga, sekolah, dan masyarakat) merupakan faktor utama terjadinya proses perkembangan inteligensi dan merupakan dasar yang kuat untuk pertumbuhan kreativitas verbal. Tes kreativitas verbal terdiri dari 6 sub-tes yang terdiri dari permulaan kata, menyusun kata, membentuk kalimat tiga kata, sifat-sifat yang sama, macam-macam penggunaan, dan apa akibatnya. Kreativitas figural memberikan perspektif yang lebih luas dari pengukuran kemampuan berpikir kreatif. Materi kreativitas figural sangat sederhana dan tidak mahal penyelesainnya pun cukup singkat. Tes kreativitas figural terdiri dari tiga sub-tes, yaitu tes bentuk, gambar yang tidak lengkap dan tes lingkaran. Torrance (1967) mengatakan bahwa produk kreativitas figural adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan spatial ability seperti sepak bola dan bola basket atau mengerjakan bangunan dan arsitektur. Cara berpikir menjadi dasar membangun sikap-sikap kreatif yang imajinatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, teguh dengan ide yang dimiliki, percaya diri, antusias, intuitif, konsisten, mandiri dan mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara dibutuhkan untuk membangun sikap dan perilaku kreatif. Keluarga dan sekolah perlu menciptakan kondisi yang dapat memupuk daya kreatif individu dan memberi kekuatan untuk mendorong tumbuhnya sikap-sikap kreatif. Karena tumbuhnya kreativitas atau suatu kreasi yang diciptakan oleh seseorang individu dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan kebudayaan tempat dimana individu itu hidup dan bekerja (Soemardjan 1983).
23
KERANGKA PEMIKIRAN Kreativitas menjadi salah satu hal yang penting dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini, keluarga dan sekolah sebagai bagian dari makro sistem memberi pengaruh terhadap kreativitas, pembentukan sikap, dan perilaku kreatif anak. Kreativitas setiap anak berbeda, seiring dengan usia dan tingkatan kelas yang berbeda, anak akan memiliki pengetahuan serta pengalaman yang berbeda pula karena usia berhubungan positif dengan kreativitas sementara jenis kelamin berhubungan signifikan dengan kreativitas dan diduga berpengaruh terhadap bagaimana orang tua dan guru memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan, anak perempuan cenderung diperlakukan lebih lembut daripada anak laki-laki dan anak laki-laki lebih sering dituntut untuk lebih disiplin dan kreatif (Richardson 1986; Kim dan Michael 1995; Karimi 2000; dan Mehrafza 2004 dalam Habibulloh). Usia dan jenis kelamin orang tua berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Pola asuh yang diterima orang tua semasa kecilnya akan mempengaruhi pola asuh bagi anak-anaknya. Ayah lebih keras dalam mendidik anak laki-laki daripada anak perempuannya, sedangkan ibu lebih feminin dan menggambarkan kehangatan. Pendidikan dan pendapatan orang tua, merupakan keadaan sosial ekonomi, yang juga mempengaruhi tumbuhnya lingkungan keluarga yang kreatif. Pendidikan yang baik serta pekerjaan yang mapan, memberikan kontribusi terhadap pengetahuan, pemberian fasilitas dan cara orang tua mempersiap-kan masa depan anak-anaknya dan terdapat hubungan antara orang tua anak yang berbakat dan kreatif dengan tingkat pendidikan, jabatan professional dan penghasilan yang lebih tinggi (Munandar 1982 dan Karimi 2000). Guru sebagai pendidik merupakan mediator dalam membangun pengetahuan dan pengalaman anak di kelas. Guru harus mampu membuat pembelajaran dan strategi belajar yang dapat melibatkan seluruh potensi anak serta membangun pribadi kreatif dengan memberikan pilihan kegiatan yang dapat dilakukan sendiri oleh siswa (Robinson 2009; Paris et al. 2006; Hanson 2009; csikzentmhalyi 1993). Dukungan guru yang kreatif memungkinkan berkembangnya kreativitas anak di kelas karena menurut Fryer dan Collings (1991) guru yang kreatif meyakini bahwa 90 persen kreativitas anak dapat dikembangkan dan dipupuk dengan cara membangun rasa percaya diri siswa. Fasilitas sekolah menjadi bagian pendukung kegiatan belajar bagi anak yang memberi pengaruh yang positif pada kinerja anak di kelas. Lingkungan keluarga terutama orang tua adalah pendidik pertama yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan masa depan anak yang memungkinkan menemukan dan mengembangkan kemampuan anak sehingga dapat mencapai prestasi tertinggi, berpikir independen dan ekspresif, aktif pada kegiatan sosial, rekreasi, budaya dan intelektual (Olszewski et al. 1987). Keluarga memiliki sistem coding dan pola penjelasan yang akan mempengaruhi nilai-nilai dan sikap anak (Csikszentmihalyi dan Beattie 1979) yang dilakukan melalui penanaman orientasi tujuan, orientasi tugas dan sosial budaya pada anak sehingga anak memiliki tujuan, nilai-nilai hidup dan moral agama. Orang tua juga mendukung nilai-nilai yang kondusif bagi pengembangan bakat anak (Olszewski, Kulieke, dan Buescher 1987). Dengan demikian dukungan lingkungan keluarga memungkinkan
24
pembentukan keberhasilan anak dalam membangun masa depannya. Lingkungan sekolah menurut Sternberg dan Williams (dalam Kim 2010) mendorong kreativitas anak melalui pemberian waktu untuk berpikir kreatif, menemukan ideide kreatif bermanfaat, membayangkan sudut pandang lain, menjelajahi lingkungan; menemukan kepentingan dan masalah, menghasilkan beberapa hipotesis, berfokus pada ide-ide yang luas daripada fakta-fakta tertentu, dan berpikir tentang proses berpikir (Starko 1995). Interaksi guru dengan siswa memberi dampak pada kemampuan kreatif siswa (Dudek, Strobel, dan Runco 1993), melalui kegiatan serta strategi pembelajaran dalam lingkungan yang nyaman dan kondusif. Keluarga dan sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang dapat berfungsi menjadi pendorong dalam pengembangan kreativitas anak (Munandar 2009). Kedua lingkungan ini diharapkan dapat membantu mempersiapkan individu-individu yang mampu menghadapi tantangan di masa depannya melalui kemandirian, kecakapan hidup, ide-ide kreatif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mampu mengembangkan dirinya dengan sikap-sikap kreatif.
25
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik Anak -
l
Usia Jenis kelamin
Lingkungan Keluarga a. Hubungan/interaksi b. Pertumbuhan Pribadi c. Pemeliharaan sistem
Karakteristik Keluarga -
Usia Jenis kelamin Pendidikan
Karakteristik Sekolah -
Guru Fasilitas
Lingkungan Sekolah a. b. c. d.
Kreativitas Anak
Hubungan guru-siswa Pertumbuhan pribadi Manajemen kelas Pembelajaran
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Kreativitas Anak
26
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian payung dengan desain cross sectional study yakni penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari objek riset dalam satu waktu tertentu saja, tidak berkesinambungan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu dan pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2012. Penelitian ini dilakukan di empat sekolah di Kota Depok dan penentuan sekolah sebagai tempat penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Keempat sekolah ini merupakan sekolah yang mewakili sekolah-sekolah yang ada di Kota Depok. Pemilihan secara purposive juga merupakan masukan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Kota Depok, hal ini dikarenakan tidak tersedianya informasi secara detil mengenai pembagian sekolah dengan tipe sekolah konvensional dan progresif. Pertimbangan lain pun dikarenakan sekolah dengan tipe progresif di Kota Depok sangat terbatas. Keempat sekolah yang dipilih secara purposive kemudian dipisahkan ke dalam dua tipe sekolah dengan kriteria sekolah konvensional dan sekolah progresif. Kriteria sekolah konvensional antara lain : (a) metode pembelajaran yang digunakan yaitu metode rote learning/drilling, yang berorientasi kepada buku pelajaran; (b) sekolah atau guru memberikan laporan hasil studi atau laporan kemajuan siswa berupa penilaian dalam bentuk angka serta rangking kelas; (c) pada kegiatan belajar mengajar, guru dan siswa biasanya melakukan komunikasi satu arah yaitu guru memberi pengajaran sementara siswa yang mendengarkan; (c) metode yang digunakan oleh guru di sekolah ini biasanya menggunakan metode ceramah; (d) materi pembelajaran dalam kurikulum tidak dibuat terpadu (mengaitkan satu pelajaran dengan pelajaran lainnya) namun materinya diberikan secara terpisah. Kriteria sekolah progresif antara lain : (a) metode pembelajaran yang digunakan salah satunya active learning yakni melibatkan siswa dalam setiap kegiatan belajar mengajarnya; (b) melaksanakan kegiatan diskusi atau praktek dengan maksud agar siswa dapat memahami materi pelajaran lebih dalam; (c) guru membuat laporan hasil studi atau laporan perkembangan belajar siswa dengan menggunakan narasi bukan angka atau rangking; (d) kegiatan belajar mengajar dua arah, siswa dilibatkan dalam kegiatan seperti diskusi, tanya jawab, dan guru sebagai fasilitator; (e) materi pembelajaran tematik dibuat secara terpadu dengan menghubungkan pelajaran satu dengan pelajaran lainnya. Sekolah konvensional dalam penelitian ini terdiri dari satu sekolah negeri unggulan dan satu sekolah swasta, sementara sekolah progresif terdiri dari dua sekolah swasta. Sekolah yang dipilih memiliki kriteria yang sama pada tingkat status ekonomi orang tua, fasilitas yang tersedia, kurikulum, dan kekuatan sekolah serta kesediaan pihak sekolah untuk bekerjasama. Sekolah yang terpilih adalah sekolah yang memiliki bangunan yang memadai, fasilitas fisik yang cukup lengkap (perpustakaan, toilet, tempat ibadah, aula, ruang untuk setiap kelas, halaman, peralatan praktikum) dan tersedianya kegiatan ekstrakurikuler penunjang bakat dan minat anak.
27
Penarikan contoh Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 di empat SD terpilih di Kota Depok. Pertimbangan mengambil contoh kelas 4 dan 5 dengan siswa usia rentang 10 sampai 11 tahun dikarenakan anak sudah dapat berkomunikasi dengan baik, memahami perintah atau peraturan serta untuk keperluan tes kreativitas figural dan verbal baru dapat dilakukan pada anak berusia 10 tahun keatas. Penarikan contoh menggunakan metode acak dengan jumlah masing-masing sekolah adalah 30 contoh dari jumlah anak yang ada di kelas 4 dan 5 sehingga total contoh dalam penelitian ini berjumlah 120 anak. Tehnik penarikan contoh digambarkan sebagai berikut : Sekolah Dasar di Kota Depok Sekolah Dasar Konvensional
Sekolah Dasar progresif
Sekolah Negeri Unggulan
Sekolah swasta
Kelas 4, 5
Kelas 4, 5
Kelas 4, 5
Kelas 4, 5
n = 30 siswa
n = 30 siswa
n = 30 siswa
n = 30 siswa
Sekolah swasta
Sekolah Swasta
Gambar 3 Tehnik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengambilan Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner di kelas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data keluarga dan data sekolah didapat dari orang tua, guru dan pihak sekolah. Data yang dikumpulkan terdiri dari (1) karakteristik anak (usia dan jenis kelamin); (2) karakteristik keluarga (usia, jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan total keluarga); (3) karakteristik sekolah (guru, dan fasilitas); (4) lingkungan keluarga; (5) lingkungan sekolah; dan (6) kreativitas. Kuesioner digunakan untuk menjaring pendapat anak tentang apa saja dan bagaimana dukungan yang diberikan keluarga di rumah dan di sekolah. Kuesioner diberikan kepada anak untuk melihat persepsi anak terhadap variabel lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Persepsi siswa tentang keluarga merupakan gambaran tentang hubungan serta interaksi anak dengan orang tua dan dengan anggota keluarga lainnya. Kegiatan-kegiatan kebersamaan yang berdasar pada aspek sosial, budaya, agama dan orientasi keberhasilan yang dapat memberi pengetahuan dan pengalaman pada anak serta dapat membentuk sikap dan perilaku kreatif anak. Persepsi anak tentang sekolah merupakan gambaran interaksi guru dengan siswa, dukungan dan dorongan guru, partisipasi siswa dan manajemen kelas. Secara keseluruhan guru perlu memperhatikan lingkungan kelas, hal ini dikarenakan siswa akan menghadapi lingkungan belajar yang beraneka ragam serta menghabiskan
28
banyak waktu di dalam kelas sehingga siswa memiliki perasaan yang akurat terhadap kelas. Untuk mengkategorikan tingkat kreativitas anak maka digunakan tes kreativitas figural dan tes kreativitas verbal. Kedua tes ini menjadi alat ukur yang digunakan psikolog untuk mendalami tingkat kreativitas anak. Pengambilan tes kreativitas pada penelitian ini dilakukan langsung oleh psikolog pada 120 contoh secara bergantian sesuai jadwal kunjungan ke sekolah. Pengambilan data primer dilakukan di kelas untuk seluruh variabel penelitian termasuk tes kreativitas figural dan verbal yang membutuhkan waktu kurang lebih 3 sampai 5 hari untuk tiap sekolah. Sementara data sekunder terdiri dari data siswa, keadaan umum sekolah, dan dokumentasi yang terkait dengan topik penelitian didapat dari data yang ada di sekolah, dan data dari kantor Dinas Pendidikan Kota Depok. Berikut adalah Tabel 2 yang menyajikan jenis dan cara pengumpulan data. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data. No 1 2
3
Variabel Karakteristik anak Karakteristik keluarga Karakteristik Sekolah
Indikator Usia anak Jenis kelamin Usia orang tua Pendidikan orang tua Pendapatan Usia guru Pendidikan guru Masa kerja guru Fasilitas
Alat Bantu Kuesioner Kuesioner
Kuesioner & pengamatan Kuesioner
Lingkungan keluarga
Dimensi hubungan keluarga Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi pemeliharaan sistem
5
Lingkungan sekolah
Dimensi hubungan guru-siswa Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi manajemen Kelas
Kuesioner
Pembelajaran
Kuesioner & pengamatan Kuesioner Tes- psikolog
Kreativitas
Kreativitas Figural & Verbal
Hurlock (1991)
Kuesioner
4
6
Konsep
Family Environment Scale (FES) Moos 2002
School Environment Scale (SES) Moos 2002 Classroom Environment Scale (CES) Moos 1979 Alfie Kohn Guilford & Torrance Munandar (1998, 2009)
Kualitas data lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah dilakukan kontrol dengan menggunakan uji reliabilitas dengan metode Cronbach’s Alpha untuk seluruh instrumen lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Tabel 3 menyajikan nilai cronbach alpha instrumen. Tabel 3 Nilai alpha cronbach instrumen penelitian yang digunakan No 1
2
Instrumen Lingkungan Keluarga a. Dimensi hubungan b. Dimensi pertumbuhan pribadi c. Dimensi pemeliharaan sistem Lingkungan Sekolah a. Dimensi hubungan guru-siswa b. Dimensi pertumbuhan pribadi c. Dimensi manajemen kelas d. Pembelajaran
Jumlah item pertanyaan 12 20 8 12 6 5 20
Cronbach Alpha (α) 0.811 0.740 0.852 0.756 0.825 0.797 0.684 0.675 0.848
29
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap mulai data yang terkumpul di lapangan sampai siap untuk dianalisis. Tahapan pengolahan data tersebut antara lain: editing, coding, scoring, entrying, cleaning, dan analyzing. Tahapan editing adalah pengecekan terhadap data-data yang telah dikumpulkan melalui pengisian kuesioner. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Data yang dianalisis secara statistik deskriptif meliputi : data karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan kreativitas. Berikut adalah Tabel 4 yang menyajikan jenis data penelitian. Tabel 4 Jenis data penelitian No 1
Variabel Penelitian Karakteristik anak
2
Karakteristik keluarga
Jenis informasi Usia anak Jenis kelamin Usia orang tua
Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga
3
Karakteristik sekolah a. Guru
Usia guru
Jenis kelamin Pendidikan
4
b. Fasilitas Lingkungan keluarga
5
Lingkungan sekolah
6
Kreativitas
Dimensi hubungan, Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi sistem Pemeliharaan Dimensi hubungan Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi manajemen kelas Figural dan Verbal
Instrumen [1] Laki-laki ; [2] perempuan [1] Dewasa awal (18-40 tahun); [2] Dewasa madya (41-60 tahun); [3] Dewasa akhir (>60 tahun) (Hurlock, 1991) [1] Tidak sekolah; [2] SD; [3] SMP, [4] SMA; [5] Diploma; [6] S1; [7] S2/S3 [1] Rp 0 – Rp 5.000.000 [2] Rp 5.000.001 – Rp 10.000.000 [3] Rp 10.000.001 –Rp 15.000.000 [4] > Rp 15.000.000 1] Dewasa awal (18-40 tahun); [2] Dewasa madya (41-60 tahun); [3] Dewasa akhir (>60 tahun) [1] Laki-laki ; [2] perempuan [1] kependidikan; [2] non kependidikan [3] lainnya Ketentuan peneliti Ekspresif, kebersamaan, dan demokrasi Kemandirian, orientasi keberhasilan, orientasi budaya, orientasi rekreasi dan orientasi agama Sistem organisasi dan control Interaksi, dukungan guru, kerjasama Kemandirian, orientasi tugas dan berani mengambil resiko Sistem organisasi dan peraturan Guilford, Torannce, Munandar
Data karakteristik anak terdiri dari usia anak dan jenis kelamin. Data karakteristik keluarga terdiri dari usia ayah dan ibu, jenis kelamin, tingkat pendidikan ayah dan ibu, dan pendapatan total keluarga. Usia ayah dan ibu dibagi dalam tiga kategori berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh Hurlock (1991) yaitu terbagi dalam kategori dewasa awal yang berusia antara 18-40 tahun, dewasa madya yang berusia antara 41-60 tahun dan dewasa akhir yang berusia lebih dari 60 tahun. Data karakteristik sekolah terdiri dari guru dan fasilitas sekolah. Karakteristik guru terdiri
30
dari usia, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan. Data fasilitas terdiri dari ketersediaan fasilitas yang ada dan dimiliki oleh sekolah seperti perpustakaan, ruang UKS, WC, tempat ibadah, meja dan kursi, ruang guru, lapangan atau ruang olahraga, laboratorium, peraturan kelas. dan hasil karya.. Data lingkungan keluarga terdiri dari data dimensi hubungan, dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi pemeliharaan sistem. Untuk mengukur lingkungan keluarga digunakan Family Environment Scale (FES) yang dikembangkan oleh Moos & Moos (2002) yang didefinisikan sebagai interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya yang diukur menurut persepsi dari anak dalam keluarga tersebut (dalam Martiastuti 2012). Alasan menggunakan alat ukur ini adalah : (1) pentingnya keluarga dalam perkembangan anak dan remaja; (2) disiplin ilmu yang mendasari penelitian ini yakni ilmu keluarga; (3) melihat interaksi atau pola hubungan keluarga secara lebih mendalam. Instrumen Family Environment Scale dalam penelitian ini sebanyak 40 item pertanyaan yang terbagi dalam 3 dimensi yakni dimensi hubungan (kebersamaan, ekspresif dan demokrasi) dengan 12 item pertanyaan. Dimensi pertumbuhan (kemandirian, orientasi keberhasilan, orientasi budaya, orientasi rekreasi dan orientasi agama) dengan 20 item pertanyaan dan dimensi pemeliharaan sistem (organisasi dan kontrol) dengan 8 item pertanyaan. Skoring yang digunakan yaitu 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering) dan 4 (selalu). Data lingkungan sekolah terdiri dari hubungan guru-siswa, pertumbuhan pribadi dan manajemen kelas digunakan instrumen School Environment Scale (SEC) dan Classroom Environment Scale (CES) yang dikembangkan oleh Moos (1974) dan Individual Classroom Environment Questionarre (Frasser). Kuesioner yang dikembangkan terdiri dari 3 dimensi yakni dimensi hubungan (interaksi, dukungan guru dan kerjasama) dengan 12 item pertanyaan, dimensi pertumbuhan pribadi (kemandirian, orientasi tugas dan resiko) dengan 6 item pertanyaan dan dimensi manajemen kelas (pemeliharaan sistem organisasi dan kontrol) dengan 5 item pertanyaan. Total jumlah pertanyaan adalah 23 dengan jawaban terdiri dari 4 skala yaitu 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering) dan 4 (selalu). Instrumen pembelajaran diambil dari instrumen yang dikembangkan oleh Alfie Khon terdiri dari 20 pertanyaan. Untuk pertanyaan 20 merupakan pertanyaan dalam bentuk negatif, sehingga jawaban yang diberikan oleh contoh akan dimasukan dengan jawaban yang dibalik terlebih dahulu. Untuk jawaban selalu (4) menjadi kadangkadang (2), jawaban sering (3) tidak ada perubahan tetap 3 (sering), jawaban kadangkadang (2) menjadi selalu (4) dan jawaban tidak pernah (1) tetap tidak pernah (1). Tes kreativitas fiqural dan tes kreativitas verbal bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tingkat kreativitas anak secara objektif dan akurat. Tes kreativitas figural diadaptasi dari teori Guilford dan tes kreativitas verbal diadaptasi dari teori Torancce (1973). Tes ini di Indonesia dikembangkan oleh Utami Munandar (1977, 1986, 1988). Tes kreativitas verbal dilakukan pada anak berusia minimal 10 tahun karena dianggap sudah lancar menulis dan kemampuan berbahasanya pun sudah berkembang, sedangkan tes kreativitas figural dilakukan pada anak mulai usia 5 tahun. Kedua tes ini menjadi acuan dunia pendidikan dalam hal mengubah cara berpikir dan bersikap anak yang kreatif. Analisis statistik inferensial untuk karakteristik anak (usia dan jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia ayah ibu, pendapatan total keluarga, dan pendidikan ayah ibu), karakteristik sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, digunakan uji t tes untuk mengetahui beda antar dua tipe sekolah (konvensional dan progresif).
31
Untuk melihat hubungan antara karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pembelajaran digunakan uji korelasi Spearman. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kreativitas dianalisis dengan menggunakan uji Ancova. Data yang dianalisis berpengaruh adalah karakteristik anak, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah terhadap kreativitas anak dengan melihat asal sekolah yaitu sekolah konvensional dan sekolah progresif. Tehnik analisa ANCOVA digunakan untuk melihat atau mengetahui variabel lain yang mungkin mempengaruhi kreativitas namun tidak terkontrol atau tidak termasuk dalam variabel penelitian ini. Teknik analisa data dengan menggunakan analisis ANCOVA untuk kreativitas (Y) sebagai berikut : Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + β10X10 + α Dimana : Y = kreativitas Anak α = konstanta β = koefisien regresi X1 = tipe sekolah X2 = lingkungan sekolah X3 = lingkungan keluarga X4 = usia anak X5 = jenis kelamin anak X6 = usia ayah (tahun) X7 = pendidikan ayah X8 = usia ibu (tahun) X9 = pendidikan ibu X10 = pendapatan keluarga (Rp/bln) α = galat (error)
Definisi Operasional Lingkungan keluarga adalah tempat dimana orang tua, anak serta anggota keluarga lainnya berinteraksi, melakukan kegiatan bersama, saling menghargai dan menjaga komitmen bersama. Dimensi hubungan keluarga adalah segala sesuatu yang mengarah pada interaksi antar anggota keluarga melalui kebersamaan, ekspresi dan demokrasi. Kebersamaan adalah tingkat komitmen, dukungan dan penghargaan kepada seluruh anggota keluarga dalam melakukan kegiatan secara bersama Ekspresi adalah ungkapan tentang rasa, pikiran, gagasan, cita-cita, fantasi, dan lainlain atau segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung Demokrasi adalah kebebsan untukusaha dalam menyatukan perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan atau ide dan menemukan penyelesaiannya secara damai dan terbuka.
32
Dimensi pertumbuhan pribadi adalah pertumbuhan keluarga dan anggota keluarga yang berhubungan dengan perkembangan pribadi yang menyangkut kemandirian, pencapaian keberhasilan, orientasi budaya, orientasi rekreasi dan moral agama Kemandirian menilai sejauh mana keluarga mendukung kemandirian anggota keluarga, berani mengemukakan pendapat dan melakukan kegiatan sesuai keinginan sendiri Orientasi keberhasilan mencerminkan dukungan keluarga dalam rangka mencapai prestasi, berusaha melakukan yang terbaik dan dorongan untuk pencapaian prestasi. Orientasi budaya mencerminkan dukungan dalam kegiatan budaya atau kegiatan hobi yang berhubungan dengan menemukan atau menciptakan ide seni dan budaya Orientasi rekreasi mencerminkan kegiatan keluarga yang berhubungan dengan rekreasi yang dilakukan dalam kebersamaan. Orientasi agama mencerminkan penekanan pada masalah etika dan agama dan kegiatan yang berhubungan dengan penerapan nilai-nilai kehidupan, moral dan agama dalam keluarga Dimensi pemeliharaan sistem adalah kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan sistem keluarga seperti nilai-nilai, peraturan, tata tertib dalam keluarga yang diorganisasikan dan dikontrol bersama Lingkungan sekolah adalah seluruh kondisi yang ada di dalam kelompok pembelajar, terdiri dari guru, kurikulum, anak didik, fasilitas, peraturan, pengelolaan kelas Dimensi hubungan guru dan siswa adalah hubungan aktif multi arah antara pendidik dan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik lainnya atau dengan sumber belajar Dimensi pertumbuhan pribadi mencerminkan usaha kemandirian, menyelesaikan tugas, memecahkan masalahnya sendiri dan berani mengambil resiko (mau mencoba) Dimensi manajemen kelas mencerminkan pengaturan kegiatan kelas, tata tertib, peraturan dan konsekuensi, tata letak media dan sumber belajar, Sekolah konvensional adalah sekolah yang melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya menggunakan metode pembelajaran satu arah dan lebih mengarah kepada pencapaian tujuan bukan proses belajar atau menemukan pengetahuan Sekolah progresif adalah sekolah yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar menggunakan metode active learning dan lebih menitik beratkan pada proses dan pencarian pengetahuan Kreativitas adalah kemampuan bertindak dan berpikir yang berbeda untuk menghasilkan suatu ide-ide baru atau pengembangan ide dan mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara Kreativitas Figural adalah kemampuan berpikir kreatif yang dilakukan melalui gambar atau bentuk dengan melihat kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, elaborasi dan originalitas Kreativitas verbal adalah kemampuan berpikir kreatif dalam menemukan berbagai cara memecahkan masalah, keragaman jawaban melalui kata atau kalimat.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian mengenai keadaan umum, karakteristik contoh, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, kreativitas serta faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas akan dijelaskan pada bab ini. Penelitian mengenai pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap kreativitas anak dilakukan di dua tipe sekolah, yakni sekolah konvensional dan sekolah progresif. Sekolah konvensional diwakili oleh satu SD negeri unggulan dan satu SD swasta sedangkan sekolah progresif diwakili oleh dua SD swasta. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi sekolah pertama adalah SD negeri unggulan yang masuk dalam tipe sekolah konvensional dan merupakan salah satu SD Negeri percontohan yang memiliki 823 siswa dengan jumlah rombongan belajar adalah 20 dengan guru berjumlah 27 orang yang sebagian besar merupakan guru Pegawai Negeri Sipil. Letak sekolah yang strategis dengan luas lahan 2.639 m2 dan berada di Kecamatan Pancoran Mas adalah merupakan tanah fasos/fasum (fasilitas sosial/umum). Dalam 1 kelas terdiri dari kurang lebih 40 siswa dengan 1 orang wali kelas. Tidak terdapat media pembelajaran dikelas, jika adapun bukan yang terbaru. Hasil kerja atau karya siswa tidak banyak dijumpai di dalam kelas. Metode pengajaran yang dilakukan guru lebih banyak satu arah, atau metode pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari guru kepada siswa. Untuk mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan, dilakukan melalui ujian atau tes hasil belajar dengan bentuk soal adalah pilihan ganda, yakni siswa hanya memilih satu jawaban yang benar. Guru memberikan penilaian untuk ujian atau tes hasil belajar dalam bentuk angka dan terdapat peringkat atau rangking di kelas. Lokasi sekolah kedua adalah sekolah swasta yang berada di Kecamatan Pancoran Mas dan masuk dalam tipe sekolah konvensional. Sekolah ini terkenal dengan kedisiplinannya dan merupakan sekolah satu atap yang terdiri dari SD dan SMP dengan luas lahan 8.645 m2 yang merupakan hak milik. Sekolah ini menampung lebih dari 1.500 siswa, di mana 899 anak merupakan siswa sekolah dasar dengan 33 orang guru dan 24 rombongan belajar. Bangunan sekolah dasar terdiri dari 3 lantai, setiap kelas rata-rata terdiri dari 30 sampai 40 siswa dengan 1 orang wali kelas. Sekolah ini memiliki fasilitas berupa lapangan futsal, bola volley, basket, kantin dan halaman parkir. Lapangan yang luas digunakan untuk upacara bendera atau kegiatan ektrakurikuler seluruh kelas. Satu hal yang paling unik dari sekolah ini adalah kelas yang berada di lantai 2 dan 3 yang disatu sisi dindingnya dibuat terbuka dengan ketinggian 1,5 meter yaitu pada sisi yang berada diarah pintu masuk. Hal ini membuat kondisi kurang kondusif terutama ketika satu kelas belum dimulai atau tidak ada kegiatan belajar. Media belajar ataupun pajangan hasil karya anak tidak terlihat di sekolah ini. Metode pengajaran yang digunakan oleh guru hampir sama dengan metode pengajaran yang digunakan di SD Negeri. Pemberian nilai berupa angka dan adanya peringkat kelas menjadi bagian dari sistem penilaian dan evaluasi belajar. Evaluasi belajar menggunakan tes tertulis dengan satu jawaban yang benar atau bentuk pilihan ganda. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan praktek yang hasilnya dinilai
34
sebagai evaluasi pembelajaran. Namun, tes tertulis mempunyai proporsi yang lebih besar dalam menentukan tingkat pemahaman siswa. Lokasi sekolah ketiga adalah sekolah swasta yang merupakan tipe sekolah progresif berlokasi disalah satu perumahan di Kecamatan Sukmajaya. Sekolah ini memiliki luas 1.300 m2, terdiri dari 3 lantai dengan fasilitas yang lengkap dan dalam kondisi yang baik. Jumlah siswa dari kelas 1-6 adalah 257 orang dengan jumlah guru adalah 38 orang. Dalam 1 kelas terdiri dari kurang lebih 20 siswa dengan 2 orang guru kelas. Metode pengajaran yang dilaksanakan adalah active learning yakni siswa terlibat secara aktif pada kegiatan diskusi, siswa bebas bertanya dan menjawab dan guru menjadi fasilitator. Beberapa kegiatannya menggunakan permainan sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Lokasi sekolah keempat adalah sekolah swasta yang kedua yang bertipe sekolah progresif dan berlokasi di Kecamatan Cimanggis dengan luas tanah 30.000 m2. Sekolah ini cukup strategis karena berada dipinggir jalan raya. Fasilitas yang dimiliki tergolong lengkap dan baik. Jumlah siswa dari kelas 1 sampai 6 adalah 139 orang dengan guru berjumlah 29 orang. Dalam 1 kelas terdiri dari kurang lebih 20 siswa dengan 2 orang guru kelas. Kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan guru dan siswa banyak menggunakan metode komunikasi dua arah. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru antara lain metode-metode yang melibatkan siswa seperti diskusi dan tanya jawab. Siswa diberi kebebasan untuk aktif bertanya dan memberikan pendapat. Kurikulum pembelajaran dibuat secara tematik, terpadu dan kurikulum pendidikan karakter dipadukan dalam setiap kegiatan belajar. Penilaian diberikan dalam bentuk narasi pada tugas siswa sebagai perbaikan dan bukan dalam bentuk angka dan peringkat kelas. Guru menilai pemahaman siswa berdasarkan performance siswa di kelas. Hasil karya siswa dipajang di kelas dan di lingkungan sekolah. Beberapa kegiatan belajar dilakukan dengan cara berkelompok. Untuk memperjelas kondisi sekolah, maka pada Tabel 5 disajikan keadaan umum sekolah. Tabel 5 Keadaan umum sekolah Keadaan sekolah Konvensional SD Negeri SD Swasta Unggulan Lokasi Kecamatan Kecamatan Pancoran Mas Pancoran mas Luas Tanah 2639 m2 8645 m2 Jumlah siswa 823 899 Jumlah guru 27 33 Rasio guru siswa 1 : 30 1 : 27
Progresif SD Swasta SD Swasta Kecamatan Sukmajaya 1300 m2 257 38 1:6
Kecamatan Cimanggis 3 hektar 139 29 1:5
Keterangan : SD = sekolah dasar
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh yang dibahas terdiri dari usia dan jenis kelamin antar tipe sekolah. Usia Usia anak diduga berhubungan dengan banyaknya dukungan, pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki oleh anak. Seiring bertambahnya usia maka dukungan bagi anak juga semakin banyak termasuk dukungan dalam mengembangkan kreativitasnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Waldman (1986) dan McEvoy
35
(1989) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara usia dan kreativitas bahkan usia sebagian besar terkait dengan kinerja kreatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh berusia 10 tahun (51.7%). Usia terendah dari contoh adalah 9 tahun (22.5%) sementara usia tertinggi adalah 11 tahun (25.8%) dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada usia contoh antar tipe sekolah. Jenis Kelamin Jenis kelamin diduga berhubungan dengan tingkat kreativitas anak, terutama pada anak laki-laki dipercaya lebih kreatif daripada anak perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Naderi et al. (2008); Amabile (1996); Palaniappan (2007); Ai, (1999); Habibollah et al. (2008); Runco (1991); Ogawa, Kuehn-Ebert, dan DeVito (1991) menemukan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan pada tingkat kreativitas secara keseluruhan. Namun demikian menurut Hurlock (1993) anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak perempuan terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak, hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan. Kreativitas pada anak perempuan berkembang sampai dengan jenjang SMP, ketika SMA dan perguruan tinggi, anak laki-lakilah yang lebih berkembang kreativitasnya. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin (%) dimana contoh sekolah konvensional lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki sementara contoh dari sekolah progresif lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin contoh antar tipe sekolah. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Karakteristik Contoh Usia 9 tahun 10 tahun 11 tahun Total
Tipe sekolah Konvensional Progresif Lk Pr Total Lk Pr Total 8.3 25.0 20.0 53.3
10.0 25.0 11.7 46.7
18.3 50.0 31.7 100
11.7 16.7 10.0 38.3
15.0 36.7 10.0 61.7
26.7 53.3 20.0 100
Total Lk
Pr
Total
10.0 20.8 15.0 45.8
12.5 30.8 10.8 54.2
22.5 51.7 25.8 100
Keterangan : Lk = laki-laki; Pr = Perempuan
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga terdiri dari usia ayah, usia ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan pendapatan total keluarga. Usia Orang Tua Beberapa penelitian mengenai pengaruh usia orang tua terhadap kreativitas anak memang belum banyak ditemukan. Hasil penelitian Coren et al. (2001) menyatakan bahwa usia ibu yang masih remaja diduga memiliki faktor kerentanan dalam mendidik anak sementara dukungan orang tua terutama ibu sangat penting dalam mengembangkan potensi kreatif anak di lingkungan keluarga melalui pendidikan, kasih sayang, kebersamaan dan perhatian. Widayatun (1999) mengatakan
36
bahwa “individu akan berperilaku atau beraktifitas berdasarkan hasil gabungan antara pembawaan lingkungan dan kematangan usia. Ini berarti semakin bertambah umur seseorang maka kemampuan seseorang untuk menganalisa masalah semakin tinggi dan lebih matang dalam proses berpikir karena dipengaruhi oleh pengalaman. Dan semakin dewasa umur seseorang maka akan lebih konstruktif dalam menggunakan pengalaman dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah”. Tabel 7 merupakan tabel sebaran orangtua contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin pada dua tipe sekolah. Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan usia, jenis kelamin dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Karakteristik Keluarga Usia 18-40 tahun 41-60 tahun >60 tahun Total
Tipe sekolah Konvensional Progresif
Total
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
16.7 33.3 0.8 50.0
32.5 17.5 0 50.0
18.3 30.8 0.8 50.0
28.3 21.7 0 50.0
Ayah 35.0 64.2 0.8 100.0
Ibu 60.8 39.2 0 100.0
Keterangan : Lk = laki-laki, Pr = perempuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan rata-rata usia ayah adalah 42,49 tahun dan rata-rata usia ibu adalah 39.31 tahun. Berdasarkan pengkategorian usia menurut Hurlock (1991) terdiri dari usia dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir, sebanyak 64.2 persen usia ayah berada pada kategori dewasa madya yaitu 41-60 tahun dan 60,8 persen ibu berada pada usia dewasa awal 18-40 tahun. Usia ayah termuda adalah 28 tahun dan usia ayah tertua adalah 66 tahun sementara usia ibu termuda adalah 27 tahun dan usia ibu tertua adalah 50 tahun. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan ayah dan ibu diduga berhubungan dengan pemberian dukungan untuk keluarga. Ayah dan ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi diduga memiliki semakin banyak informasi atau pengetahuan mengenai cara membangkitkan kreativitas anak. Ann (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan tinggi memberikan kontribusi besar bagi perkembangan anak. Pada beberapa penelitian, dinyatakan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan tinggi lebih memperhatikan pendidikan anak-anaknya, memahami pentingnya interaksi dengan anak, dan memiliki cukup waktu untuk melibatkan diri dengan kepentingan pendidikan anak. Orang tua dengan pendidikan tinggi memiliki tingkat stress yang lebih kecil sehingga mampu membuat suasana belajar anak lebih baik. Notoatmojo (1996) menyatakan bahwa pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Dalam penelitian tradisional yang dikemukakan Gratz (2006) ditemukan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi memiliki keberhasilan yang lebih besar dalam mendukung kemampuan kognitif dan kemampuan berbahasa yang berkontribusi terhadap keberhasilan anak di sekolah. Dalam penelitian ini, 55 persen atau 84 orang ayah contoh berlatar belakang pendidikan sarjana (S1) dan yang berpendidikan pascasarjana (S2/S3) di sekolah progresif lebih banyak (26 orang) jika dibandingkan dengan ayah dari sekolah
37
konvensional (9 orang). Tingkat pendidikan terendah ayah adalah SMA dan tingkat pendidikan tertinggi adalah pascasarjana. Demikian pula tingkat pendidikan ibu sebanyak 45,8 persen atau 55 orang ibu adalah berpendidikan sarjana dan yang berpendidikan pascasarjana pada sekolah progresif lebih banyak yaitu 7 orang atau 5.8 persen jika dibandingkan dengan sekolah konvensional hanya 1 orang atau 0.7 persen. Tingkat pendidikan terendah ibu adalah SMP dan tingkat pendidikan tertinggi adalah pascasarjana. Tabel 8 menyajikan sebaran orangtua contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan perbedaannya antar tipe sekolah. Tabel 8 Sebaran orang tua contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan perbedaannya antar tipe sekolah (%) Pendidikan
Tipe sekolah Konvensional Progresif Ayah Ibu Ayah Ibu 0 0.8 0 0 8.3 15.0 0.8 5.8 10.8 13.3 4.2 12.5 23.3 20.0 31.7 25.8 7.5 0.8 13.3 5.8 50.0 50.0 50.0 50.0
SMP SMA Diploma S1 S2/S3 Total
Total Ayah 0 9.2 15.0 55.0 20.8 100
Ibu 0.8 20.8 25.8 45.8 6.7 100
Hasil uji beda pada Tabel 9 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada ratarata usia ayah dan usia ibu antar tipe sekolah sementara hasil uji beda pada tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh menunjukkan adanya perbedaan nyata tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu pada dua tipe sekolah dengan hasil uji beda adalah 0.000 dan 0.001 pada taraf α < 0.05. Tabel 9 Sebaran rataan orangtua berdasarkan usia, tingkat pendidikan dan hasil uji beda antar tipe sekolah Uji beda T (P)
Usia Pendidikan
Jenis kelamin Ayah Konvensional
Progresif
42.90
42.40
Ibu P (Value) 0.618 0.000
Konvensional
Progresif
39.28
39.80
P (value) 0.492 0.001**
Keterangan : **signifikan pada taraf < 0.05
Pendidikan ibu mempunyai peranan dalam pengembangan kreativitas keluarganya dan kehidupan kreatif ibu secara alamiah akan tertanam dalam pikiran anak-anaknya menjadi bagian yang hidup dari pemikiran anak-anaknya. Ibu sangat berperan dalam mendorong potensi kreatif anak. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih memahami hal-hal yang dapat membantu pengembangan kreativitas anaknya, misalnya dengan membantu tumbuhnya motivasi instrinsik dalam diri anaknya, menyediakan sarana dan prasarana yang beragam yang memudahkan proses bersibuk diri secara kreatif serta berperan sebagai model dan nara sumber bagi anak. Ibu berpendidikan rendah biasanya kurang memahami cara-cara mendidik yang dapat memupuk pengembangan kreativitas anak namun lebih menekankan prestasi di sekolah, membatasi anak untuk melakukan kegiatan atau hal-hal yang tidak berhubungan dengan sekolah seperti main musik, olah raga.
38
Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga dalam penelitian ini adalah pendapatan total yang dimiliki oleh keluarga, yang merupakan gabungan dari pendapatan ayah maupun pendapatan ibu. Pendapatan keluarga diduga berhubungan dengan tingkat kreativitas anak karena dengan pendapatan total keluarga yang tinggi berarti anak memiliki kesempatan untuk mendapatkan stimulasi atau dukungan yang lebih sehingga anak menjadi lebih kreatif. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi merupakan determinan yang relatif konstan mempengaruhi kreativitas. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya status sosial ekonomi maka nilai tes kreativitas juga semakin meningkat. Oleh karena itu, disamping perhatian khusus pada sumber daya individu maka faktor ekonomi tampaknya menjadi faktor penting yang mempengaruhi kreativitas (Dhillon & Mehra 1987, Dudek et al. 1993; Lichtenwalner & Maxwell, 1969; Runco 2004; Srivastava 1982). Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata pendapatan total keluarga contoh sebesar Rp 12.623.100/bulan. Pendapatan total keluarga terkecil adalah Rp 1.000.000/bulan dan pendapatan total keluarga tertinggi adalah Rp 50.000.000/bulan. Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh sekolah konvensional memiliki tingkat pendapatan antara Rp.0 - Rp 5.000.000/bulan (18.3%) dan tingkat pendapatan sekolah progresif sebesar 19.2 persen memiliki pendapatan total keluarga per bulan antara Rp.10.000.001 - 15.000.000. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga dan perbedaannya antar tipe sekolah Pendapatan (Rp/bln) 0 – 5.000.000 5.000.001-10.000.000 10.000.001-15.000.000 >15.000.000 Total Rata-rata (rupiah) Uji beda T (p)
Tipe sekolah Konvensional Progresif N % N % 22 18.3 5 4.2 19 15.8 11 9.2 10 8.3 23 19.2 9 7.5 21 17.5 60 50.0 60 50.0 9.320.000 15.926.200
Total N 27 30 33 30 120
% 22.5 25.0 27.5 25.0 100.0 12.623.000 0.000**
Keterangan : N = jumlah, **signifikan pada p < 0.05
Dari hasil uji beda T-tes ditemukan bahwa rata-rata pendapatan total keluarga sekolah konvensional dan sekolah progresif terdapat perbedaan nyata pada taraf α < 0.05 artinya bahwa pendapatan total keluarga akan memberi pengaruh kepada dukungan terhadap kegiatan dan pemberian fasilitas bagi anggota keluarga. Rata-rata pendapatan total keluarga pada sekolah progresif lebih besar yakni Rp. 15.926.200,daripada rata-rata pendapatan total keluarga dari sekolah konvensional yakni Rp. 9.320.000.-. Karakteristik Sekolah Karakteristik sekolah menggambarkan kondisi sekolah yang terdiri dari guru (usia, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan) dan fasilitas yang tersedia di sekolah.
39
Usia Guru Guru dalam penelitian ini sebanyak 75 persen berada dalam kategori dewasa awal (18-40 tahun) dan rata-rata usia guru sekolah konvensional adalah 38.42 tahun dengan usia yang paling muda adalah 27 tahun dan yang paling tua adalah 50 tahun. Rata-rata usia guru sekolah progresif adalah 28.42 tahun dengan usia yang paling muda adalah 25 tahun dan usia yang paling tua adalah 40 tahun. Sebaran rata-rata usia guru dan jenis kelamin antar dua tipe sekolah ditunjukkan pada Tabel 11 yakni dari hasil penelitian ditemukan adanya perbedaan nyata rata-rata usia guru antar tipe sekolah pada taraf α < 0.05 dengan p value = 0.001, di mana guru sekolah progresif rata-rata lebih muda jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional, hal ini dikarenakan sekolah progresif umumnya adalah sekolah yang relatif baru berdiri dan mengkualifikasi guru muda yang cerdas dan kreatif. Tabel 11 Sebaran rataan usia guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah (%) Karakteristik contoh Usia 18-40 tahun 41-60 tahun >60 tahun Total Uji beda T (p)
Tipe sekolah Konvensional Progresif Lk 16.7 25.0 0 41.7
Pr 33.3 25.0 0 58.3
Lk 33.3 0 0 33.3
Pr 66.7 0 0 66.7
Konvensional
Total Progresif
25.0 25.0 0 50.0
50.0 0 0 50.0
Total 75.0 25.0 0 100.0 0.001 **
Keterangan : Lk = laki-laki, Pr = Perempuan, **signifikan pada taraf p < 0.05
Latar Belakang Pendidikan Guru Guru di sekolah konvensional lebih banyak yang berlatar belakang sarjana kependidikan yaitu 9 orang guru, sementara di sekolah progresif lebih banyak guru yang berlatar belakang sarjana non kependidikan yaitu 9 orang guru. Dari hasil uji beda pada Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara latar belakang pendidikan guru antar tipe sekolah pada taraf α < 0.05 dengan p value sebesar 0.003. Tabel. 12 Sebaran pendidikan guru dan hasil uji beda antar tipe sekolah Latar belakang Pendidikan Sarjana Kependidikan Sarjana Non kependidikan Lainnya (SMA-Diploma) Total Uji beda T (p)
Tipe sekolah Konvensional Progresif N % N 9 37.5 3 1 4.2 9 2 8.3 0 12 50.0 12
Total % 12.5 37.5 0 50.0
50.0 41.7 8.3 100.0 0.003**
Keterangan : N = jumlah, **signifikan pada taraf < 0.05
Fasilitas sekolah Penciptaan kondisi lingkungan sekolah dan ketersediaan fasilitas yang memadai tentu perlu dipersiapkan dengan baik. Hal ini memungkinkan anak untuk belajar dengan baik, mampu mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya dan memungkinkan timbulnya sikap-sikap dan perilaku kreatif. Menurut Gie (2002) untuk
40
belajar yang baik hendaknya tersedia fasilitas belajar yang memadai antara lain tempat belajar, alat, waktu dan lain-lain. Di sekolah fasilitas diperlukan terutama dalam mengembangkan kreativitas termasuk dalam penataan ruang kelas, media belajar dan kebebasan anak untuk bergerak atau berkegiatan. Secara keseluruhan keempat sekolah memiliki fasilitas yang cenderung lengkap dengan kondisi baik seperti : (a) data siswa, guru, komite sekolah, dokumen pembelajaran, peraturan dan tata tertib; (b) ruang kamar mandi, UKS, laboratorium komputer, ruang TU, ruang guru, tempat ibadah, ruang bimbingan & konseling; (c) meja, kursi dan komputer; (d) lapangan olahraga dan lingkungan sekolah yang bersih. Namun beberapa fasilitas yang dapat memotivasi kreativitas anak seperti hasil karya atau hasil kerja siswa, media pembelajaran yang dipajang dikelas atau di lingkungan sekolah tidak terlihat di sekolah konvensional. Tabel 13 menyajikan sebaran fasilitas yang dapat memotivasi kreativitas di dua tipe sekolah. Tabel 13 Sebaran fasilitas yang memotivasi kreativitas berdasarkan tipe sekolah Konvensional Progresif Fasilitas Ada Tdk ada Ada Tdk ada Hasil karya/kerja siswa √ √ Pengaturan ruang kelas √ √ Pengaturan ruang kelas pun menjadi bagian dari kegiatan belajar, hal ini menurut Semawan et al. (1985) bahwa ruang kelas yang baik dan menyenangkan dapat berpengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Pengaturan ruang kelas yang dilakukan secara rutin diduga mendukung pengetahuan dan kreativitas anak. Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga sangat penting dalam mendukung kreativitas anak, hal ini terbukti pada anak yang tinggal dalam keluarga yang mendukung dan terorganisir, lebih mungkin mengalami peningkatan kepercayaan diri, kompetensi sosial, kemandirian dan mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai cara. Hal ini akan berdampak pada penurunan kecemasan (Moos dan Moos 2002). Pada beberapa penelitian (Albert & Harrington 1980; Block & Blok 1987; Dacey 1989) bahwa kreativitas benar-benar didorong oleh lingkungan termasuk lingkungan keluarga yang memberikan perhatian khusus pada anak bahkan keluarga dari anak kreatif sangat jauh berbeda dengan keluarga biasa lainnya. Dimensi Hubungan Keluarga Dimensi lingkungan keluarga (Moos & Moos 1974) yang pertama yaitu dimensi hubungan keluarga, di dalamnya terdiri dari sub dimensi kebersamaan (menghabiskan waktu bersama, membuat kegiatan bersama), sub dimensi ekspresif (kebebasan untuk menyampaikan keinginan atau ide), dan sub dimensi demokrasi (ada perbedaan pendapat, menyelesaikan masalah bersama). Tabel 14 menyajikan sebaran komponen lingkungan keluarga untuk dimensi hubungan keluarga dengan tiga sub dimensi yaitu dimensi kebersamaan, pertumbuhan dan pemeliharaan sistem. Masing-masing dimensi terdiri dari 4 item pertanyaan sehingga total menjadi 12 item pertanyaan. Tanpa melihat sekolah dan tipe sekolah,
41
lingkungan keluarga yang dapat meningkatkan kreativitas adalah keluarga yang saling mendukung, saling menjaga perasaan, mudah untuk mengekspresikan diri, mau melakukan kegiatan serta berusaha menyelesaikan masalah secara bersama dan menjaga suasana damai. Dinamika hubungan keluarga antar dua tipe sekolah terlihat pada Tabel 14 yang secara keseluruhan memperlihatkan dukungan keluarga di sekolah konvensional dan di sekolah progresif seperti melakukan kegiatan kreatif secara bersama-sama (68.4%), mudah menyampaikan keinginan atau ide (81%) dan mudah mengekspresikannya (83.4%). Anak juga mudah untuk menyampaikan ide/keinginan (75%), ada perbedaan pendapat dalam keluarga namun selalu diusahakan untuk diselesaikan dengan damai. Kegiatan yang banyak dilakukan bersama keluarga di rumah menurut Dacey (1998) akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kreativitas anak. Tabel 14 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Komponen dimensi hubungan keluarga
Konvensional
Progresif Skala 4 1
1 2 3 Sub Dimensi kebersamaan Dukungan satu sama lain 20.0 36.6 43.4 Menghabiskan waktu bersama di rumah 18.6 45.0 36.4 Saling membicarakan masalah yang 16.6 45.0 26.6 11.6 5.0 dihadapi Membuat kegiatan kreatif bersama-sama 5.0 26.6 43.4 25.0 8.4 Sub Dimensi ekspresif Saling menjaga perasaan satu sama lain 1.6 8.4 46.6 43.4 Kebebasan mengeluarkan ide/keinginan 1.6 26.6 43.4 28.4 1.6 Mudah untuk mengekspresikan diri 3.4 18.4 40.0 38.4 mudah menyampaikan keinginan/ide 1.6 30.0 40.0 28.4 5.0 baru Sub Dimensi demokrasi Ada perbedaan pendapat dalam keluarga 10.0 53.4 28.4 8.4 5.0 Ada anggota keluarga yang tidak bisa 36.6 53.4 5.0 19.0 21.6 menerima ide anggota keluarga lainnya Anggota keluarga saling memberi saran, 18.4 36.4 30.0 15.0 1.6 masukan atau pendapat Berusaha untuk menyelesaikan masalah 15.0 45.0 40.0 1.6 bersama dan menjaga suasana damai Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2
3
4
30.0 26.6 60.0
36.6 46.6 28.4
33.4 26.6 6.6
23.4
53.4
15.0
35.0 16.6 16.6 20.0
30.0 38.4 38.4 48.4
35.5 43.4 45.0 26.6
36.6 65.0
46.6 13.4
11.6 -
53.4
25.0
20.0
18.4
38.4
41.6
Tabel 15 menyajikan sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga pada dimensi hubungan keluarga yang secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antar dua tipe sekolah, artinya bahwa hubungan keluarga di sekolah konvensional dan di sekolah progresif memiliki dukungan yang sama, saling menghargai, saling menjaga dan berusaha untuk menyelesaikan perbedaan pendapat secara damai. Namun demikian ditemukan perbedaan pada sub dimensi demokrasi pada sekolah progresif yang memiliki skor rataan demokrasi yang lebih tinggi dari lingkungan sekolah konvensional. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai demokrasi di sekolah progresif lebih memberikan kebebasan bagi anggota keluarga untuk mengeluarkan ide dan menerima ide anggota keluarga lainnya, berpendapat dan memberi pendapat, berdiskusi dan berusaha menyelesaikan masalah.
42
Tabel 15 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi hubungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Lingkungan keluarga hubungan keluarga
dimensi
Kebersamaan Ekspresif Demokrasi Dimensi hubungan keluarga
Tipe sekolah Konvensional Progresif 11.63 12.38 9.80 33.82
Uji Beda T (P)
11.15 12.48 10.40 34.03
0.221 0.805 0.054* 0.807
Keterangan : *signifikan pada taraf < 0.1
Dimensi Pertumbuhan Pribadi Dimensi lingkungan keluarga yang kedua adalah dimensi pertumbuhan pribadi yang terdiri dari sub dimensi kemandirian (melakukan tugas rumah); sub dimensi orientasi keberhasilan (berusaha melakukan yang terbaik); sub dimensi orientasi budaya (mengunjungi tempat-tempat sesuai hobi); sub dimensi orientasi rekreasi (berakhir pekan bersama) dan sub dimensi orientasi agama (mengunjungi tempat ibadah dan yakin pada agama). Tabel 16 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Konvensional Komponen dimensi pertumbuhan Skala pribadi 1 2 3 4 1 Sub dimensi kemandirian Anggota keluarga memiliki tugas 11.6 26.6 30.2 31.6 10.0 Keluarga mendukung untuk mandiri 6.6 38.4 55.0 Bebas melakukan kegiatan sesuai hobi 3.4 38.4 35.0 23.2 Berani mengemukakan pendapat 3.4 18.4 41.6 36.6 Sub dimensi keberhasilan Berusaha mengerjakan dengan baik 8.4 35.0 56.6 Menjadi lebih baik adalah penting 6.6 33.4 60.0 Mendorong untuk mendapatkan ranking 21.6 23.4 26.6 28.4 30.0 Senang mengikuti perlombaan menjadi pemenang 15.0 31.6 33.4 20.0 1.6 Sub dimensi orientasi budaya Diskusi yang berkaitan dng kreativitas 15.0 40.0 30.0 15.0 11.8 Pergi ke tempat sesuai dengan hobi 1.6 28.4 40.0 30.0 1.6 Dukungan untuk menciptakan/ menemukan ide yang baru 1.6 16.4 45.0 36.6 3.4 Tertarik kegiatan seni dan budaya 13.4 33.4 33.2 20.0 15.0 Sub dimensi orientasi rekreasi Ada kunjungan teman-teman kerumah - 28.4 31.6 40.0 1.6 Menghabiskan akhir pekan bersama 1.6 38.4 33.4 26.6 8.4 Berkunjung ke tempat - ide-ide kreatif 6.6 45.0 30.0 18.4 3.4 Berekreasi/karyawisata/outbound 5.0 45.0 30.0 20.0 3.4 Sub dimensi orinetasi agama Mengunjungi tempat beribadah 8.4 30.0 61.8 Diajarkan tentang agama 3.4 8.4 31.6 56.6 Percaya, agama menjadi keyakinan dalam hidup 6.8 16.6 76.6 Berusaha melakukan hal yang baik 1.6 5.0 25.0 68.4 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
Progresif 2
3
4
48.2 6.6 25.0 23.4
23.4 30.0 36.6 50.0
18.4 63.4 38.4 26.6
3.4 3.4 46.6
31.6 28.6 13.4
65.0 68.0 10.0
35.0
31.6
31.8
41.6 18.4
31.6 36.6
15.0 43.4
21.6 26.6
41.6 26.6
33.4 31.8
25.0 35.0 43.4 45.0
41.6 25.0 21.6 35.0
31.8 31.6 31.6 16.6
23.4 6.6
35.0 28.4
41.6 65.0
1.6 3.4
10.0 28.2
88.4 68.4
43
Sebaran komponen lingkungan keluarga dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah pada Tabel 16 menunjukkan persepsi contoh secara keseluruhan terhadap (a) sub dimensi kemandirian, contoh dari sekolah konvensional dan sekolah progresif menyatakan selalu mendapat dukungan dari keluarga untuk mandiri (93.4%). Di sekolah progresif kebebasan lebih besar untuk melakukan kegiatan sesuai dengan hobi (75%); (b) sub dimensi orientasi keberhasilan, keluarga sekolah konvensional selalu mendorong untuk berusaha mengerjakan sesuatu dengan baik dan menjadi lebih baik adalah hal yang penting (92.4%). Mendapatkan rangking di sekolah konvensional masih menjadi hal utama (55%) dan selalu untuk menjadi pemenang disetiap perlombaan; (c) sub dimensi orientasi budaya, 75.0 persen keluarga sering melakukan kunjungan ke tempattempat seni budaya yang dapat mendukung ide-ide kreatif dan ketertarikan pada kegiatan-kegiatan hobi, seni dan budaya; (d) orientasi rekreasi, 70% persen keluarga sekolah konvensional dan 80% keluarga sekolah progresif melakukan kunjungan ke tempat rekreasi yang menghasilkan ide kreatif; (e) orientasi agama, keluarga sekolah konvensional mengajarkan bahwa agama adalah sesuatu yang menjadi keyakinan dalam hidup (93.2%) sementara keluarga sekolah progresif (98.4%) dan percaya jika melakukan hal yang baik akan mendapatkan pahala/hadiah. Hasil uji beda pada Tabel 17 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata dimensi pertumbuhan pribadi pada lingkungan keluarga antar tipe sekolah baik secara keseluruhan maupun sub dimensinya, artinya bahwa lingkungan keluarga di sekolah konvensional dan sekolah progresif keduanya memberi dukungan terhadap kemandirian dan keberhasilan anak, mengajarkan dan menanamkan hal-hal yang baik tentang agama dan kepercayaan. Hal yang berbeda adalah pada sub dimensi orientasi keberhasilan, di sekolah konvensional tingkat keberhasilan masih dilihat dengan rangking dikelas meskipun pada laporan perkembangan anak (raport) tidak tertulis namun pengumuman rangking disampaikan dikelas. Sementara di sekolah progresif orientasi keberhasilan anak bukan pada tuntutan rangking atau prestasi belajar. Menurut Safari (2005) keluarga yang mendukung kreativitas memberikan penekanan prestasi atau keberhasilan bukan pada angka, nilai atau rangking tertinggi di kelasnya, karena orang tua mendorong dan memotivasi anak untuk mencapai prestasi tertinggi dan menghasilkan karya-karya terbaiknya lebih pada proses yang jujur dan bertanggungjawab. Tabel 17 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Lingkungan keluarga dimensi pertumbuhan pribadi Kemandirian Orientasi keberhasilan Orientasi budaya Orientasi rekreasi Orientasi agama Dimensi Pertumbuhan Pribadi
Tipe sekolah Konvensional Progresif 12.20 12.22 11.20 11.22 14.25 61.08
12.33 12.30 11.52 11.30 14.30 61.65
T tes p value 0.930 0.815 0.477 0.845 0.880 0.710
Dimensi Pemeliharaan sistem Dimensi lingkungan keluarga yang ketiga adalah dimensi pemeliharaan sistem yang terdiri dari sub dimensi organisasi (kegiatan dibuat dan direncanakan, kondisi rumah yang bersih dan rapi, tepat waktu adalah hal penting) dan sub dimensi kontrol
44
(peraturan dibuat dan ditaati bersama, setiap anggota keluarga memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan). Sebaran komponen lingkungan keluarga dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah pada Tabel 18 menunjukkan bahwa 51.7 persen kegiatan keluarga selalu dibuat dan direncanakan terlebih dahulu. Peraturan keluarga dibuat dan ditaati oleh seluruh anggota keluarga (38.3%) dan semua anggota keluarga memiliki hak yang sama dalam membuat keputusan keluarga (39.2%). Pada sekolah konvensional ditemukan kondisi rumah yang selalu dalam keadaan rapih dan bersih sehingga membuat anak tidak mudah untuk menggali keinginannya secara bebas ketika berkreativitas sementara dikeluarga sekolah progresif anak diberikan kebebasan untuk bereksplorasi dalam rumah, melakukan aktivitas yang kreatif, karena anak menganggap rumahnya sebagai tempat menemukan pengalamannya dan anak selalu memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan dalam keluarga. Tabel 18 Sebaran contoh menurut komponen lingkungan keluarga dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Konvensional
Progresif
Komponen dimensi pemeliharaan
Skala
1 2 3 4 1 Sub dimensi organisasi Kegiatan dibuat & direncanakan 1.6 18.4 25.0 55.0 0 Kondisi rumah rapih dan bersih 1.6 10.0 38.4 50.0 1.6 Mudah menemukan peralatan 1.6 33.4 40.0 25.0 Tepat waktu adalah penting - 23.4 35.0 41.6 Sub dimensi kontrol Peraturan dibuat bersama 5.0 23.4 41.6 30.0 6.6 Peraturan ditaati bersama 1.6 20.0 40.0 38.4 1.6 peraturan merapihkan kembali peralatan 3.4 23.2 23.4 50.0 1.6 Hak yang sama dalam keputusan - 31.6 40.0 28.4 1.6 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2
3
4
21.6 31.6 43.4 33.4
30.0 46.8 38.4 31.6
48.4 20.0 18.4 35.0
28.4 28.4 11.6 28.4
35.0 36.6 33.4 38.4
30.0 33.4 53.4 31.6
Hasil uji beda pada Tabel 19 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dimensi pemeliharaan sistem antara sekolah konvensional dengan sekolah progresif, namun ada perbedaan nyata pada sub dimensi organisasi pada taraf α < 0.05 dengan p value = 0.019, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan keluarga sekolah konvensional dalam hal merencanakan kegiatan keluarga dan mengatur kondisi rumah, lebih terorganisasi dengan baik. Namun sebaliknya menurut Safari (2005) anak justru membutuhkan ruang bebas yang tidak banyak peraturan atau batasan dalam mengembangkan potensi kreatifnya untuk bereksperimen, berkarya atau mengekspresikan kreativitasnya di rumah. Tabel 19 Sebaran rataan dan hasil uji beda dimensi pemeliharaan sistem berdasarkan tipe sekolah Lingkungan keluargaDimensi Pemeliharaan sistem Organisasi Kontrol Total Dimensi Pemeliharaan Sistem Keterangan : **signifikan pada taraf α < 0.05
Tipe sekolah Konvensional
Progresif
12.77 12.28 25.05
11.88 12.28 24.17
T tes p value 0.019** 1.000 0.225
45
Secara keseluruhan sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga pada dimensi hubungan keluarga, dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi pemeliharaan sistem tergambarkan dalam Tabel 20. Hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada lingkungan keluarga baik pada dimensi hubungan keluarga, dimensi pertumbuhan pribadi, dan pemeliharaan sistem di kedua tipe sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan keluarga di sekolah konvensional memiliki kualitas yang sama dengan lingkungan keluarga di sekolah progresif dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan kreativitas anak.. Tabel 20 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan keluarga berdasarkan tipe sekolah Lingkungan keluarga Dimensi hubungan keluarga Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi pemeliharaan sistem Lingkungan keluarga
Tipe sekolah Konvensional
Progresif
33.82 61.08 25.05 119.95
34.03 61.65 24.17 119.85
T tes p value 0.807 0.710 0.225 0.972
Lingkungan sekolah Lingkungan sekolah yang memberi pengaruh terhadap perkembangan kreativitas menurut Moos (1979) terdiri dari tiga dimensi antara lain : (1) dimensi hubungan guru-siswa, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas dan dukungan guru; (2) dimensi pertumbuhan pribadi meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri; (3) dimensi manajemen kelas termasuk ketertiban dari lingkungan, perencanaan dan kejelasan dari aturan-aturan serta kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan yang telah dibuat bersama. Dimensi Hubungan Sebaran komponen lingkungan sekolah untuk dimensi hubungan guru dengan siswa tergambarkan pada Tabel 21 yakni sebanyak 50 persen contoh menyatakan sering bekerjasama dengan siswa lainnya melalui kegiatan berdiskusi dan 36.7 persen mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Siswa juga memiliki rasa saling mendukung dan memberi semangat antar teman lainnya di dalam kelompok (48.3%), terutama bagi teman-teman yang mengalami kesulitan. Kedekatan yang baik antara guru dengan siswa bahkan menganggap siswa sebagai teman (48.4 %), akan memberi dampak bagi berkembangnya kreativitas anak karena anak yang merasa nyaman dan tidak merasa takut pada saat kegiatan belajar, akan berani bertanya, berani memberi pendapat dan lebih kritis terutama ketika mengalami kesulitan. Mendorong munculnya ide-ide baru, memberikan pujian atas hasil karya anak serta memberi semangat selalu dilakukan guru di sekolah progresif. Guru di sekolah konvensional juga selalu memberi dukungan untuk mencoba ide-ide baru (46.6%), dan memberi bantuan (43.3%) pada anak untuk membangun pengalamannya. Anak juga berani untuk bertanya ketika mengalami kesulitan dalam belajarnya (36.6%)
46
Tabel 21 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi hubungan gurusiswa berdasarkan tipe sekolah (%) Komponen lingkungan sekolah dimensi hubungan guru-siswa
Tipe sekolah Konvensional 1
2
3
Progresif Skala 4 1
Sub dimensi interaksi Siswa saling mengenal 1.6 13.4 41.6 43.4 Siswa saling bekerjasama 26.6 45.0 28.4 1.6 Guru menjadi teman 5.0 16.6 48.4 30.0 6.6 Berpartisipasi - ekstrakurikuler 6.6 40.0 33.4 20.0 3.4 Memberikan pendapat di kelas 35.0 38.4 26.6 3.4 Sub dimensi dukungan Guru memberikan bantuan 1.6 15.0 40.0 43.4 Guru mendorong ide baru 6.6 16.6 46.6 30.2 3.2 Guru memuji hasil karya siswa 3.4 25.0 41.6 30.0 1.6 Siswa berani bertanya 16.8 46.6 36.6 Sub dimensi kerjasama Mendiskusikan hasil karya 3.4 41.6 36.6 18.4 3.4 Siswa mendiskusikan ide-ide baru 5.0 33.4 30.0 31.6 3.4 Siswa saling memberi semangat 3.4 15.0 48.2 33.4 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2
3
4
16.6 30.0 6.6 30.0 41.6
45.0 45.0 38.4 40.0 40.0
38.4 23.4 48.4 26.6 15.0
5.0 18.4 15.0 23.4
55.0 43.4 36.8 51.6
40.0 35.0 46.6 25.0
21.6 15.0 13.4
33.4 46.6 48.2
41.6 35.0 38.4
Hasil uji beda pada Tabel 22 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dimensi hubungan guru dan siswa antar tipe sekolah, artinya kedua tipe sekolah memiliki kedekatan yang sama antara siswa dengan gurunya, antar siswa saling mengenal, dapat bekerjasama dengan teman, memiliki kegiatan ekskul di sekolah dan sering memberikan pendapat pada saat berdiskusi. Namun demikian terdapat perbedaan yang signifikan pada sub dimensi kerjasama dengan p value = 0.003 (pada α < 0.05). Skor rata-rata sekolah progresif lebih tinggi (9.52) dibanding dengan sekolah konvensional (8.50) artinya bahwa sekolah progresif memberi ruang yang lebih luas dengan memberikan keluasaan bagi anak terutama dalam mempersiapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di kelas, mendiskusikan hasil karya yang akan dibuat, mempersiapkan pembuatan kegiatan/acara kreatif yang akan digelar pada acara sekolah secara bersama. Tabel 22 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi hubungan guru-siswa berdasarkan tipe sekolah Lingkungan sekolahDimensi hubungan guru-siswa Interaksi Dukungan Kerjasama Dimensi hubungan guru-siswa
Tipe sekolah Konvensional 14.90 12.52 8.50 35.92
Progresif 15.07 12.75 9.52 37.33
T tes p value 0.698 0.530 0.003** 0.141
Keterangan : ** signifikan pada taraf α < 0.05
Dimensi Pertumbuhan Pribadi Dimensi lingkungan sekolah yang kedua adalah dimensi pertumbuhan pribadi yang terdiri dari sub dimensi kemandirian (dorongan untuk melakukan sendiri), sub dimensi orientasi tugas (siswa mengetahui langkah-langkah dalam menyelesaikan
47
tugas) dan sub dimensi berani mengambil resiko (berani mencoba dan menemukan masalah/hal yang baru). Sebaran komponen lingkungan sekolah dimensi pertumbuhan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa siswa sering mendapat dorongan untuk berpikir sendiri (42.5%) dan membuat keputusan berdasarkan fakta (43,3%). Contoh membuat langkahlangkah sebelum mengerjakan sesuatu (48.3%), dan 43.3 persen berusaha menyelesaikan tugas bersama serta 42.5 persen menemukan hal atau masalah yang berbeda serta berani melakukan praktek percobaan. Sejalan dengan hasil penelitian Munandar (2009) menunjukkan bahwa bukan hanya faktor-faktor non-kognitif seperti sifat, sikap, minat dan temperamen yang turut menentukan produksi lintas kreatif. Selain itu latihan dan pengembangan aspek non-kognitif seperti sikap berani mencoba sesuatu, mengambil resiko, usaha meningkatkan minat dan motivasi berkreasi, pandai memanfaatkan waktu serta kepercayaan diri dan harga diri akan sangat menentukan kreativitas. Tabel 23 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Komponen lingkungan sekolah dimensi pertumbuhan pribadi
Konvensional
Progresif Skala
1 2 3 4 1 Sub dimensi kemandirian Guru mendorong siswa lainnya untuk berpikir sendiri 3.4 15.0 23.4 38.4 1.6 Guru mendorong membuat keputusan berdasarkan fakta 8.4 25.0 41.6 25.0 3.4 Sub dimensi orientasi tugas Mengetahui langkah-langkah yang harus dikerjakan 11.6 48.4 40.0 berkelompok berusaha menyelesaikan tugas bersama-sama 21.6 43.4 35.0 Sub dimensi resiko menemukan hal atau masalah yang berbeda-beda 5.0 35.0 40.0 20.0 1.6 membuat praktek percobaan meskipun belum pernah mencoba 10.0 31.6 33.4 25.0 6.6 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2
3
4
15.0
41.6
41.6
25.0
45.0
26.6
11.6
48.4
40.0
10.0
43.4
46.6
21.6
45.0
31.6
21.6
35.0
36.6
Hasil uji beda pada Tabel 24 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada lingkungan sekolah sub dimensi pertumbuhan pribadi di kedua tipe sekolah dengan nilai p value = 0.063 (α < 0.1), hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan dukungan lingkungan sekolah terutama di sekolah progresif dengan skor 18.92 lebih tinggi dari sekolah konvensional. Hal ini berarti bahwa sekolah progresif lebih memberi pengaruh terhadap kemandirian siswa, keberanian dalam mengambil keputusan sendiri dengan langkah-langkah dan siswa berusaha menyelesaikan tugas dengan baik. Siswa juga berani untuk mengambil resiko meskipun menghadapi masalah yang berbeda atau belum pernah siswa dapatkan.
48
Tabel 24 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi pertumbuhan pribadi berdasarkan tipe sekolah Lingkungan sekolahDimensi pertumbuhan pribadi Kemandirian Orientasi tugas Berani mengambil resiko Dimensi pertumbuhan pribadi
Tipe sekolah Konvensional 6.00 6.42 5.48 17.90
T tes
Progresif 6.18 6.65 6.08 18.92
p value 0.496 0.215 0.022** 0.063*
Keterangan : * signifikan pada taraf α < 0.10, **signifikan pada taraf α < 0.05
Dimensi Manajemen Kelas Dimensi lingkungan sekolah yang ketiga adalah dimensi manajemen kelas, yang terdiri dari sub dimensi organisasi (pengaturan layout kelas, hasil karya) dan sub dimensi kontrol (peraturan dibuat bersama). Dimensi manajemen kelas di lingkungan sekolah telah memberikan dukungan dalam pembiasaan disiplin pada anak. Disiplin tersebut terlihat pada bagaimana peraturan dibuat dan dipatuhi bersama menurut Piaget, anak di rentang usia 8-11 tahun berada pada tahap anak sudah dapat mengenal peraturan dan memahami adanya sanksi serta menerimanya sebagai sebuah konsekuensi. Tabel 25 Sebaran contoh komponen lingkungan sekolah dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Konvensional Komponen dimensi manajemen kelas
Progresif Skala 4 1
1 2 3 Sub dimensi organisasi Kursi, meja, layout kelas, media belajar dapat diatur sesuai kebutuhan 3.4 15.0 56.6 25.0 Hasil karya siswa, media pengajaran, dipajang di kelas 1.6 31.6 40.0 26.6 1.6 Kelas, tempat menemukan pengetahuan atau pengalaman belajar 3.4 40.0 56.6 Sub dimensi control Peraturan kelas dibuat bersama 5.0 16.6 30.0 48.4 Guru menjelaskan konsekuensi peraturan 6.6 16.6 45.0 31.6 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2
3
4
26.6
40.0
33.4
23.4
50.0
25.0
5.0
26.6
68.4
6.6 6.6
23.4 30.0
70.0 63.4
Tabel 25 menyajikan sebaran komponen lingkungan sekolah dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah, di sekolah progresif tata letak atau lay out kelas selalu dikondisikan dan diatur sesuai kebutuhan pembelajaran, sehingga kondisi kelas menjadi nyaman dan kelas menjadi tempat belajar dalam menemukan pengetahuan dan pengalaman belajar (62.5%). Peraturan kelas dibuat bersama (59.2%) serta 47.5 persen contoh menyatakan bahwa guru selalu menyampaikan peraturan serta konsekuensinya. Pengaturan layout kelas menjadi bagian penting dalam memberikan kenyamanan belajar siswa menurut Mutia (dalam Mayangsari 2005) menata kelas sesuai dengan metode atau pendekatan yang dipilih dapat mengubah suasana belajar anak. Posisi meja diatur dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Pemajangan hasil karya dikelas dapat menjadi bukti pengaktualisasian diri anak dan sikap menghargai guru kepada anak didik.
49
Tabel 26 menunjukkan hasil uji beda lingkungan sekolah pada dimensi manajemen kelas yaitu terdapat perbedaan antar sekolah konvensional dengan sekolah progresif. Skor rata-rata manajemen kelas di sekolah progresif lebih tinggi (16.88) dari pada sekolah konvensional (15.72) dan terlihat pada sub dimensi kontrol terdapat perbedaan salah satunya adalah keterlibatan siswa didalam kelas menjadi hal penting di sekolah progresif seperti pada pembuatan peraturan kelas (70%) dan penjelasan konsekuensi jika siswa melanggar peraturan (63.4%). Tabel 26 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah-dimensi manajemen kelas berdasarkan tipe sekolah Lingkungan sekolahDimensi manajemen kelas Organisasi Kontrol Dimensi manajemen kelas
Tipe sekolah Konvensional 9.48 6.23 15.72
Progresif 9.68 7.20 16.88
T tes P value 0.455 0.000** 0.009**
Keterangan ; ** signifikan pada taraf p < 0.05
Pembelajaran Sebaran komponen pembelajaran pada Tabel 27 menunjukkan bahwa pembelajaran yang bertujuan membangun pengetahuan siswa melalui kegiatan pembelajaran tematik dan terpadu yang dipersiapkan oleh guru dengan merancang, dan menciptakan suasana belajar mengajar terlihat membuat siswa aktif melalui permainan (46.7%), kegiatan praktek langsung (51.7%), kegiatan berdiskusi secara berkelompok (42,5%) dan metode mengajar sesuai dengan keinginan siswa dan selalu memberikan contohnya (45.8%). Dari hasil uji beda ditemukan terdapat perbedaan pembelajaran yang nyata pada dua tipe sekolah pada taraf α < 0.10 dengan p value = 0.069. Hal ini ditunjukkan pada skor rata-rata pembelajaran di sekolah progresif yang lebih tinggi (60.17) dari sekolah konvensional (57.53) artinya bahwa cara guru di sekolah progresif memiliki kualitas lebih baik dalam memotivasi, mendorong, memberi kesempatan dan menggunakan metode atau strategi kepada siswanya. Metode serta strategi pembelajaran yang lebih bervariatif yang dilakukan di sekolah progresif seperti metode diskusi, tanya jawab, demonstrasi, bermain peran atau praktek langsung, membangkitkan cara berpikir cepat, mencari berbagai kemungkinan jawaban akan mendukung tumbuhnya kreativitas anak. Secara keseluruhan lingkungan sekolah dengan dimensi hubungan guru dan siswa, pertumbuhan pribadi, manajemen kelas, pembelajaran dan hasil uji beda berdasarkan tipe sekolah tergambarkan pada Tabel 28. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada dimensi pertumbuhan pribadi dan pembelajaran pada taraf α < 0.10 dan perbedaan nyata pada dimensi manajemen kelas pada taraf α < 0.05 di dua tipe sekolah. Secara keseluruhan lingkungan sekolah di kedua tipe sekolah juga terdapat perbedaan yang nyata. Sekolah progresif memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah konvensional, perbedaan ini berarti bahwa lingkungan sekolah progresif lebih memberikan ruang pada anak untuk berekspresi dalam mendukung kreativitas anak. Penggunaan metode pembelajaran yang lebih bervariatif dan pembelajaran yang berpusat pada anak menjadikan siswa selalu aktif terlibat di dalam kegiatan belajar dan menemukan pengetahuannya sendiri.
50
Tabel 27 Sebaran contoh komponen pembelajaran berdasarkan tipe sekolah (%) Tipe sekolah Komponen pembelajaran
Konvensional
Progresif Skala 4 1 16.6 3.4 48.4 13.4 1.6 21.6 6.6
1 2 3 Belajar disekitar lingkungan sekolah 10.0 51.6 21.8 Guru membantu memahami materi 3.4 8.4 40.0 Praktek berhubungan dengan materi 5.0 43.4 28.4 Belajar sesuai dengan keinginan siswa 11.6 31.6 35.0 Guru memotivasi, apa yang dipelajari adalah penting 1.6 15.0 40.0 43.4 1.6 Guru memotivasi, untuk belajar dengan hasil yang baik 8.4 36.6 55.0 Ingin tahu lebih banyak 1.6 15.0 43.4 40.0 1.6 Guru menggunakan metode mengajar sesuai keinginan siswa 5.0 26.4 64.4 21.6 Guru mengajar dengan contoh atau praktek langsung 3.4 35.0 38.6 25.0 3.4 Kesempatan untuk mengutarakan ide 5.0 36.6 36.6 21.6 Guru menyiapkan bahan ajar 11.6 41.6 46.6 Kegiatan secara berkelompok 1.6 45.0 36.4 16.6 Kesempatan mengeluarkan pendapat 1.6 23.4 55.0 20.0 1.6 Guru memberikan pujian 3.4 41.6 31.6 23.4 1.6 Penilaian dalam bentuk angka 6.6 21.6 71.4 1.6 Kesempatan memperbaiki tugas 1.6 50.0 20.0 28.4 5.0 Materi belajar dengan tema -terpadu 1.6 31.6 40.0 26.6 1.6 Pekerjaan rumah (PR) dari buku paket 3.4 41.6 28.4 26.6 Pembelajaran dengan permainan 11.6 56.6 21.6 10.0 Kunjungan luar kelas berhubungan dengan pelajaran 23.4 61.6 11.6 3.4 Keterangan : skala 1 (tidak pernah); 2 (kadang-kadang); 3 (sering); 4 (selalu)
2 51.6 15.0 40.0 21.6
3 30.0 43.4 46.6 38.4
4 16.6 41.6 11.6 13.4
10.0
51.8
36.6
16.6 20.0
26.6 43.4
56.6 35.0
23.4
45.0
31.6
38.4 31.6 6.6 40.0 13.4 31.6 16.6 25.0 20.0 46.6 35.0
36.6 45.0 43.4 38.4 51.6 40.0 41.6 42.4 38.4 45.0 45.0
21.6 23.4 40.0 21.6 33.4 26.6 40.0 26.6 40.0 8.4 20.0
41.6
35.0
23.4
Secara keseluruhan Tabel 28 menyajikan sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah yang terdiri dari dimensi hubungan guru-siswa, dimensi pertumbuhan pribadi, dimensi manajemen kelas dan pembelajaran. ditemukan perbedaan diantara dua tipe sekolah pada dimensi pertumbuhan pribadi (P value <0.10 = 0.063), dimensi manajemen kelas (p value < 0.05 = 0.009) dan pembelajaran (P value <0.10 = 0.069). Tabel 28 Sebaran rataan dan hasil uji beda lingkungan sekolah berdasarkan tipe sekolah Lingkungan sekolah
Tipe sekolah Konvensional
Dimensi hubungan guru-siswa Dimensi pertumbuhan pribadi Dimensi manajemen kelas Pembelajaran Lingkungan sekolah
35.92 17.90 15.72 57.53 127.07
Progresif 37.33 18.92 16.88 60.17 133.30
Keterangan : * signifikan pada taraf p < 0.10 dan ** signifikan pada taraf p < 0.05
T tes P value 0.141 0.063* 0.009** 0.069* 0.039**
51
Kreativitas Tingkat kreativitas yang ingin diketahui dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan tes kreativitas yang objektif dan teruji. Tes kreativitas figural dan kreativitas verbal dilakukan langsung oleh psikolog dengan menggunakan alat ukur yang sudah dikembangkan dan banyak digunakan dalam penelitian kreativitas anak di Indonesia oleh Utami Munandar. Tingkat Kreativitas Figural Hasil tes kreativitas figural digambarkan pada Tabel 29 yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat kreativitas figural contoh pada kedua tipe sekolah berada pada tingkat rata-rata (50%), namun sebanyak 60 persen contoh di sekolah progresif memiliki tingkat kreativitas figural diatas rata-rata sampai sangat superior sementara di sekolah konvensional hanya sebesar 26,7 persen. Tabel 29 Sebaran contoh tingkat kreativitas figural berdasarkan tipe sekolah Tingkat kreativitas figural Dibawah rata-rata (≤ 90) Rata-rata (91-110) Di atas rata-rata –superior (≥111-127) Sangat superior (≥ 128) Total Keterangan : N = jumlah
Tipe Sekolah Konvensional Progresif N % N % 6 10.0 2 3.3 38 63.3 22 36.7 16 26.7 26 43.3 0 0.0 10 16.7 60 100.0 60 100.0
Total N 8 60 42 10 120
% 6.7 50.0 35.0 8.3 100.0
Tingkat Kreativitas Verbal Selain tingkat kreativitas figural, tingkat kreativitas verbal digunakan untuk mengukur tingkat kreativitas contoh dalam hal bahasa. Hal ini berhubungan dengan bagaimana keluarga berinteraksi, berkomunikasi dengan anak, melalui kegiatankegiatan yang dilakukan secara bersama di rumah dan kegiatan pembelajaran di sekolah. Tingkat kreativitas verbal secara keseluruhan pada dua tipe sekolah berada pada tingkat rata-rata yakni sebesar 69.2 persen dan sebanyak 18,4 persen contoh pada sekolah progresif berada di atas rata-rata sampai sangat superior sementara 3.3 persennya berada di sekolah konvensional. Tabel 30 Sebaran contoh tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Tingkat kreativitas verbal Dibawah rata-rata (≤ 90) Rata-rata (91-110) Di atas rata-rata –superior (111-127) Sangat superior (≥ 128) Total Keterangan : N = jumlah
Tipe Sekolah Konvensional Progresif N % N % 18 30.0 6 10.0 40 66.7 43 71.7 2 3.3 10 16.6 0 0.0 1 1.7 60 100.0 60 100.0
Total N 24 86 9 1 120
% 20.0 69.2 10.0 0.8 100.0
Hasil uji beda pada Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal pada sekolah konvensional dan progresif dengan taraf α < 0.05 dengan p value = 0.000. Rata-rata tingkat kreativitas figural dan verbal sekolah progresif lebih tinggi skornya jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Gambar 5 pada hal selanjutnya
52
merupakan sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal sekolah konvensional dan sekolah progresif. Tabel 31 Sebaran rataan dan hasil uji beda tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Tingkat Kreativitas Figural dan verbal
Tingkat kreativitas figural Konvensional Progresif
Rata-rata skor Uji beda T tes (P value)
103.33
113.90
Tingkat kreativitas verbal Konvensional Progresif 95.57
0.000**
102.63 0.000**
Keterangan : ** signifikan pada taraf α < 0.05
120 115 110 105 Sekolah Konvensional 100
Sekolah Progresif
95 90 85 Tingkat Kreativitas Figural
Tingkat Kreativitas Verbal
Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal antar tipe sekolah Secara keseluruhan hasil penelitian yang tergambarkan pada Tabel 32 menunjukkan bahwa sekolah progresif memiliki rata-rata skor lebih tinggi pada lingkungan sekolah, kreativitas figural dan verbal. Terdapat perbedaan nyata pada lingkungan sekolah, kreativitas figural dan kreativitas verbal di dua tipe sekolah namun tidak terdapat perbedaan pada lingkungan keluarga. Tabel 32 Sebaran rataan lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, kreativitas figural dan kreativitas verbal berdasarkan tipe sekolah Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan kreativitas Lingkungan keluarga Lingkungan sekolah Kreativitas figural Kreativitas verbal
Tipe sekolah Konvensional Progresif 119.95 119.89 127.07 133.30 103.33 113.90 95.57 102.63
Keterangan : ** signifikan pada taraf α < 0.05
T tes P value 0.972 0.039** 0.000** 0.000**
53
Hal ini berarti bahwa lingkungan keluarga di sekolah konvensional dan sekolah progresif memiliki kualitas yang sama dalam mendukung perkembangan kreativitas anak sedangkan dukungan lingkungan sekolah konvensional berbeda dengan sekolah progresif dalam memberikan dukungan kreativitas. Perbedaan ini terlihat pada bagaimana kegiatan dan metode pembelajaran di sekolah progresif dibuat dan dirancang untuk lebih membangkitkan keingintahuan, cara berpikir kritis dan kreatif (Chandler 1998). Hubungan Variabel Penelitian dengan Kreativitas Uji korelasi Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah karakteristik individu (usia dan jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga), lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan tipe sekolah. Karakteristik Contoh, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah dan Kreativitas Karakteristik contoh dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis korelasi spearman diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan baik usia atau jenis kelamin dengan kreativitas figural dan kreativitas verbal, artinya bahwa baik anak laki maupun anak perempuan sama-sama memiliki potensi kreatif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Munandar (2002) terhadap anak SD dan SMP, yaitu tidak terdapat perbedaan tingkat rata-rata kreativitas baik pada anak perempuan maupun anak laki-laki. Karakteritik keluarga terdiri dari usia ayah dan ibu, pendidikan ayah dan ibu serta pendapatan total keluarga. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan ayah dengan kreativitas anak namun terdapat hubungan antara pendidikan ibu pada kreativitas verbal anak. Ini berarti semakin tinggi pendidikan ibu berarti dukungan dan pola komunikasi yang baik terhadap kreativitas verbal semakin meningkat, terutama pada ibu yang bekerja di rumah. Hal ini dibuktikan pada penelitian Munandar (1974) yang menyatakan bahwa berkembangnya kreativitas serta prestasi anak didukung oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu berhubungan jelas dan positif dengan prestasi, intelegensi dan kreativitas anak. Pendapatan keluarga juga berhubungan dengan kreativitas verbal dan figural anak yakni pada ketersediaan sarana dan prasarana serta kelengkapan bagi kegiatan anak. Karakteritik sekolah meliputi guru (usia, jenis kelamin, pendidikan) dan fasilitas. Hasil uji korelasi antara usia guru, jenis kelamin dan pendidikan guru menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara guru dengan kreativitas figural dan verbal. Ini berarti semakin tinggi usia, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan guru, belum tentu akan membantu meningkatkan kreativitas anak. Kemungkinan lain mengapa usia, jenis kelamin dan pendidikan guru tidak memberikan pengaruh pada kreativitas, adalah karena (1) guru enggan untuk mengubah pola berpikir konvergennya padahal pola berpikir divergen merupakan hal yang paling efektif dalam merangsang kreativitas siswa (Karnes et al. 1961); (2) guru
54
enggan membuat metode yang tidak biasa digunakan atau dipakainya; (3) sukar untuk menerima inovasi pembelajaran yang mendukung pengetahuan dan kreativitas anak. Uji Hubungan Lingkungan Keluarga, lingkungan sekolah dan Kreativitas Hasil uji korelasi antar variabel dan koefisien korelasi pada Tabel 33 menunjukkan variabel-variabel yang berhubungan dengan kreativitas. Lingkungan keluarga dengan kreativitas Hubungan interaksi yang hangat dan baik yang dibangun orang tua dan anggota keluarga lainnya memberikan kenyamanan pada anak, untuk mengembangkan kreativitasnya. Hasil uji korelasi lingkungan keluarga dengan kreativitas menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan, baik dengan tingkat kreativitas figural maupun dengan tingkat kreativitas verbal. Hal ini kemungkinan lingkungan keluarga tidak sepenuhnya mempengaruhi kreativitas anak di rumah meskipun keterlibatan orang tua dalam bentuk pengasuhan di rumah juga memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap prestasi anak (Desforges 2003). Tabel 33 Hasil uji hubungan antar variabel dan koefisien korelasi Variabel
Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga -Lingkungan sekolah 0.715* Kreativitas Figural 0.045 Kreativitas Verbal 0.124 Tipe sekolah -0.023 Keterangan : * signifikan pada taraf α < 0.01
Lingkungan Sekolah
Kreativitas Figural
Kreativitas verbal
Tipe Sekolah
-0.141 0.256* 0.171
-0.546* 0.407*
-0.337*
--
Lingkungan sekolah dengan kreativitas Salah satu konteks yang penting dalam proses belajar adalah sekolah. Sekolah bukan hanya tempat di mana proses belajar secara akademis, namun merupakan sebuah tempat di mana siswa dapat berpikir, melakukan penalaran, sekaligus menjadi arena sosial yang memiliki makna besar bagi perkembangannya (Santrock 2003). Guru memiliki peran penting dalam mendidik anak di sekolah. Guru diharapkan dapat menggugah inisiatif siswa untuk melakukan eksperimen, mengeluarkan ide-ide dan membangun daya imajinasinya. Penciptaan iklim belajar yang mendukung pengembangan kemampuan siswa dalam menggunakan keterampilan berkomunikasi, menerapkan konsep inti, berpikir dan memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan, menjadi individu mandiri, dan menjadi anggota tim yang bertanggung jawab menjadi prioritas tujuan mengajar guru (Dona 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan sekolah dengan kreativitas figural, namun terdapat hubungan antara lingkungan sekolah dengan kreativitas verbal pada taraf α < 0.05 dengan p value = 0.256. Hal ini berarti bahwa dukungan sekolah cukup mempengaruhi perkembangan verbal anak yakni melalui pembelajaran bersosialisasi. Kegiatan kreativitas yang membangun pengetahuan anak akan muncul jika kegiatan belajar mengajar secara berinteraksi dan menyenangkan seperti berdiskusi, menyelesaikan tugas secara berkelompok, menemukan ide-ide, kebebasan dalam mengemukakan pendapat, adanya interaksi yang baik antara siswa dan guru. Dukungan ketersediaan ruang fisik (sarana/prasarana) yang nyaman pun dapat mendukung siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan kreativitas baik individu maupun kelompok (Amabile 1999).
55
Tipe Sekolah dengan Kreativitas Tipe sekolah berhubungan dengan tingkat kreativitas anak, dalam penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara tipe sekolah dengan kreativitas figural pada taraf α < 0.01 dengan p value = 0.407 dan kreativitas verbal dengan p value = 0.337. Hal ini menunjukkan bahwa tipe sekolah berhubungan dengan pengembangan kreativitas anak di sekolah. Penggunaan metode atau cara-cara belajar mengajar perlu diperhatikan sehingga pengembangan kecerdasan dibarengi juga dengan pengembangan bakat serta kreativitas siswa. Menurut Wijaya (1991), salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah menumbuhkan kreativitas guru dalam proses belajar mengajar yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan mutu dan hasil belajar siswanya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kreativitas Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kreativitas anak adalah karakteristik anak (usia anak dan jenis kelamin), karakteristik orang tua (usia ayah dan ibu, tingkat pendidikan ayah dan ibu dan pendapatan total keluarga), lingkungan keluarga, lingkungan sekolah serta tipe sekolah. Tabel 34 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kreativitas Figural dan verbal Figural
Verbal
Variabel Bebas Intercept
B 59.279
T 2.652
Sig. .009**
B 55.065
T .121
Sig .002**
Tipe sekolah
10.926
.390
.000**
3.568
.816
.072*
Lingkungan sekolah .072 .723 .471 .202 .558 Lingkungan keluarga .002 .016 .987 -.092 -.069 Jenis kelamin -.818 -.833 .407 .939 .126 Usia anak .622 .268 .389 .102 .025* Usia ayah .251 .807 .422 .323 .318 Pendidikan ayah .218 .138 .890 .027 .021 Usia ibu -.410 -.982 .328 -.340 -.032 Pendidikan ibu .964 .665 .507 .095 .958 Pendapatan keluarga -.670E-8 -.102 .919 .960E-7 .294 R Squared 0.238 0.173 Adjusted R Squared 0.168 0.152 Keterangan : * signifikan pada taraf α < 0.01 dan ** signifikan pada taraf α < 0.05
.012* .287 .263 .273 .190 .983 .304 .340 .024*
Hasil uji analisis ANCOVA pada Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat kreativitas figural dipengaruhi oleh tipe sekolah dan usia anak, sementara tingkat kreativitas verbal dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan pendapatan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia anak dengan tipe sekolah yang memberikan kebebasan untuk bertindak serta berpikir kritis, maka semakin berkembang kreativitas anak. Lingkungan sekolah mempengaruhi tingkat kreativitas verbal, metode dan strategi yang digunakan di sekolah progresif seperti metode diskusi dan tanya jawab yang akan memperkaya anak dalam kosakata dan kalimat. Pendapatan keluarga memberi pengaruh pada seberapa banyak keluarga dapat melakukan aktivitas bersama, menyediakan media dan bahan belajar, buku,
56
menyempatkan waktu untuk jalan bersama, mengunjungi tempat-tempat yang dapat menghasilkan atau menemukan ide-ide baru seperti mengunjungi tempat-tempat seni budaya, rekreasi atau yang berhubungan dengan hobi (Supriadi 1994). Pengembangan kreativitas figural dan verbal di sekolah sangat didukung oleh kurikulum dan kemampuan guru dalam menggunakan metode belajar mengajar di kelas. Hasil penelitian Chen, Ting, & Hong (1996) menyatakan bahwa guru harus mengembangkan kemampuan atau kemauan untuk memanfaatkan beragam cara yang inovatif dalam mengajar baik melalui diskusi, tanya jawab maupun penugasan/ proyek, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan membangun pengetahuan dan kreativitas anak.
Pembahasan Umum Lingkungan keluarga memberikan andil dalam meningkatkan kreativitas anak, meskipun setiap keluarga akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Dukungan keluarga, saling menghargai, mempersiapkan anak mandiri, mengajarkan tentang agama/keyakinan, membuat suasana nyaman yang memudahkan anak untuk berani mengeluarkan pendapat atau menerima pendapat orang lain, mudah untuk mengekspresikan diri (tertawa, menangis, melanwak, dan lainnya). Lingkungan yang kedua dari anak adalah lingkungan sekolah yang menurut Fisher (1990) dapat menyebabkan perubahan tingkah laku anak dan guru juga akan mempengaruhi prestasi kerja melalui pengembangan potensi kreatif. Hal ini dikarenakan potensi kreatif yang dimiliki oleh semua individu menurut Torrance (1988, 2000), Tayor dan Sackes (1981) dapat ditingkatkan melalui pembelajaran di sekolah. Sekolah progresif yang menggunakan pendekatan berpusat pada anak memiliki kegiatan belajar yang kooperatif dan kolaboratif, memperhatikan perbedaan gaya belajar individu dalam proses dan isi pembelajaran serta memberikan kebebasan dalam mengeksplorasi keingintahuannya akan membantu mengembangkan kreativitas anak. Sementara sekolah konvensional menurut Chandler (1998) cenderung untuk menahan rasa alami anak untuk bereksplorasi dan berkreativitas karena sistem pembelajaran yang bersifat satu arah, tidak memberikan kebebasan pada anak untuk berani bertanya, berpendapat dan mengeluarkan ide-ide. Sekolah progresif menghasilkan tingkat kreativitas figural dan tingkat kreativitas verbal yang lebih tinggi pula. Sekolah progresif memiliki guru yang meski bukan seluruhnya berlatar belakang pendidikan namun pembinaan dalam pengajaran yang kreatif secara rutin dilakukan. Bagi sekolah konvensional yang ingin membuat sistem pendidikan serupa sekolah progresif tentu memerlukan waktu dan keseriusan dalam merubah paradigma yang selama ini telah berjalan seperti mengganti metode pengajaran yang kaku menjadi kreatif, kurikulum yang terpisah menjadi terpadu dan mendukung guru untuk menjadi guru yang kreatif. Oleh karena itu sekolah penting untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik bagi anak karena menurut Howard Gadner jika anakanak menerima pelajaran dalam sistem pendidikan yang salah, akan mengalami penurunan skor kreativitas hingga 90 persen pada usia lima hingga tujuh tahun (usia TK sampai kelas satu SD) dan penurunan akan berlanjut hingga mereka mencapai usia 40 tahun.
57
Hubungan antara guru dan siswa akan memberi pengaruh terhadap peningkatan kreativitas anak, Ormrod (2003) dan Walker (2008) menyatakan bahwa ketika siswa merasa sebagai bagian dalam kelompok belajar maka siswa akan memperlihatkan perilaku prososial, mengerjakan tugas, antusias terhadap aktivitasaktivitas kelas dan menunjukkan prestasi yang tinggi. Dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan keberanian anak dalam mengambil resiko. Kegiatan praktek secara langsung termasuk yang belum pernah dilakukan oleh siswa menjadi bagian dari proses membangun pengetahuan siswa dan berani mengambil resiko. Pada dimensi manajemen kelas secara keseluruhan terutama pada sub dimensi organisasi ditemukan perbedaan antar tipe sekolah, hal ini berhubungan dengan bagaimana kelas diciptakan dalam suasana yang menyenangkan dengan pengaturan tata letak (meja, kursi, perlengkapan belajar lainnya), pajangan hasil karya, keterlibatan siswa dalam membuat peraturan bersama, dan melaksanakan konsekuensi dari peraturan tersebut. Kreativitas anak diukur melalui tes kreativitas figural dan verbal dalam penelitian ini ditemukan bahwa kreativitas figural dipengaruhi oleh tipe sekolah dan usia anak artinya bahwa semakin bertambah usia anak, maka kemampuan figural anak meningkat pula seperti kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, elaborasi, dan originalitas. Sementara kreativitas verbal dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga dapat mendorong kemampuan verbal anak melalui penyediaan fasilitas buku, CD edukasi, diskusi seni dan budaya, kunjungan ke tempat-tempat yang menjadi hobi. Penelitian ini memiliki keterbatasan waktu sehingga perlu kajian lebih dalam pada penelitian lanjutan yang melibatkan aspek-aspek yang tidak termasuk dalam penelitian ini serta penajaman instrumen sehingga menghasilkan lebih baik lagi. Namun demikian hasil penelitian dan beberapa penelitian lainnya tentang kreativitas menunjukkan bahwa pengembangan kreativitas dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah yang berperan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas melalui pembelajaran serta kebudayaan yang berkembang dimasyarakat (Munandar 2009).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang usia contoh dari usia 9 sampai 11 tahun, jumlah anak perempuan lebih banyak dari anak laki-laki dan tidak terdapat perbedaan usia di sekolah konvensional dan sekolah progresif. Ayah rata-rata berusia 42.49 tahun dan ibu rata-rata berusia 39.31 tahun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada usia ayah dan ibu di sekolah konvensional dan sekolah progresif. Terdapat perbedaan latar belakang pendidikan orangtua terutama di sekolah progresif yang hampir seluruhnya berpendidikan sarjana sampai pascasarjana. Pendapatan total keluarga sekolah progresif lebih tinggi daripada sekolah konvensional. Kedua tipe sekolah memiliki fasilitas, sarana dan prasarana sekolah yang tidak jauh berbeda. Usia guru di sekolah progresif rata-rata lebih muda (28.42 tahun) dibandingkan dengan rata-rata usia guru di sekolah konvensional (38.42 tahun). Latar belakang pendidikan guru di sekolah konvensional adalah sarjana kependidikan (75%), sebaliknya di sekolah progresif 75 persen guru adalah sarjana non kependidikan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lingkungan keluarga di sekolah konvensional maupun di sekolah progresif artinya bahwa lingkungan keluarga pada kedua sekolah mempunyai kualitas yang sama dalam mempengaruhi perkembangan
58
kreativitas anak. Lingkungan keluarga sekolah progresif lebih demokratis, anggota keluarga saling menghargai adanya perbedaan pendapat (memberi dan menerima pendapat), kebebasan memilih serta selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah secara bersama. Hasil penelitian juga menemukan perbedaan yang nyata pada lingkungan sekolah mulai dari dimensi hubungan (dengan sub dimensi kerjasama), dimensi pertumbuhan pribadi (dengan sub dimensi berani mengambil resiko), dimensi manajemen kelas (dengan sub dimensi organisasi kontrol) dan pembelajaran. Sekolah progresif memiliki skor lebih tinggi dari sekolah konvensional hal ini diperlihatkan dari hubungan kerjasama yang tercipta antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa lainnya cukup kuat terjalin. Dalam menemukan pengalaman dan pengetahuan, siswa sekolah progresif lebih berani untuk melakukan hal-hal baru meskipun belum pernah mencobanya serta beresiko. Guru selalu melibatkan siswa dalam membuat peraturan bersama. Skor rata-rata bahkan sampai superior tingkat kreativitas figural dan verbal contoh dari sekolah progresif lebih tinggi dibandingkan dengan skor tingkat kreativitas figural dan verbal contoh dari sekolah konvensional. Tingkat kreativitas figural dan verbal tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga tetapi lingkungan sekolah dan tipe sekolahlah yang lebih banyak berperan dalam mengembangkan kreativitas anak kelas 4 dan 5 SD. Saran Lingkungan keluarga yang mendukung kreativitas dalam penelitian ini ditunjukkan dalam kegiatan-kegiatan kebersamaan yang menumbuhkan kreativitas anak dan keluarga dengan suasana demokrasi seperti menghargai perbedaaan pendapat dan berusaha untuk menyelesaikannya secara bersama. Sekolah progresif memberi dukungan tumbuh dan berkembangnya kreativitas terutama dalam kerjasama antar siswa dikelas dan kegiatan kelompok, berani mengambil resiko dan terlibat langsung dalam pembuatan peraturan kelas. Metode pembelajaran, kegiatan belajar, guru serta lingkungan sekolah progresif memberi dukungan yang nyata terhadap tingkat kreativitas figural dan verbal anak. Hal ini menjadi dasar bagi orangtua, guru, sekolah, para peneliti dan pemerintah untuk menganggap penting kreativitas bagi menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini bagi orang tua, harus mulai memahami bahwa kreativitas adalah hal yang penting bagi masa depan anak masa depan anak sehingga perlu dipersiapkan sejak dini dengan memilih sekolah yang lebih memperhatikan pada pengembangan kreativitas anak. Bagi guru dan sekolah, pembinaan atau pelatihan yang berhubungan dengan metode belajar mengajar kreatif, kegiatan-kegiatan kreatif, penciptaan hubungan dan suasana belajar yang menyenangkan perlu dilakukan secara rutin dan terus menerus terutama jika kegiatan belajar mengajar yang akan dibangun adalah metode belajar mengajar seperti yang digunakan di sekolah progresif. Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian sejenis, perlu mengkaji lebih dalam faktor-faktor lain yang mempengaruhi kreativitas anak terutama yang berhubungan dengan kondisi emosi atau sikap anak ketika diteliti. Bagi pemerintah terutama Departemen Pendidikan Nasional, perlu menganggap pentingnya kreativitas bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan melakukan pembenahan sistem pendidikan yang saat ini masih berorientasi akademis dan memasukan kreativitas ke dalam kurikulum.
59
DAFTAR PUSTAKA Adnan Evita. 1995. Kreativitas dan Sikap Guru Terhadap Penerapan CBSA dengan Prestasi Belajar Siwa SD. Tesis Magister. Jakarta : Universitas Indonesia. Afdal Ibrahim. 2009. Pentingnya Peningkatan Kemampuan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jurnal jpi.files.wordpress.com/2009/.../vol-1-no-2-ibrahim bafadal. pd. Ai X. 1999. Creativity and Academic Achievement: An Investigation of Gender Differences. Creativity Research Journal, 12(4), 329-337. Amabile T.M. 1983. The social psychology of creativity. New York: Springer-Verlag Ames & Archer. 1998. Achievement goals in the classroom: Students Learning Strategies and Motivation Processes. Journal Of Educational Psychology Arter J.A.1989. Assessing School Climate and Clasroom Climate. Tes Centre of Northwest Regional Educational Laboratory, Portland Oregon. Bandura A. 1997. Self Efficacy, The Exercise of Control. New York : Freeman and Company Berns RM. 1997. Child, Family, School, Community Social and support. Harcourt Brace College Publishers. McBride, S. J. Schoppe-Sullivan, H. Moon-Ho. 2005. "The Mediating Role of Fathers' School Involvement on Student Achievement," Journal of Applied Developmental Psychology, Vol. 26, No. 2, pp. 201-216. Brofenbrener u. 2002. Ecological Theory. [terhubung berkala] http://www.des.emory.edu. 2011 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Data informasi kependudukan 2012. Jakarta 10710 Indonesia, E-mail:
[email protected] Csíkszentmihályi Mihály. 1999. "Implications of a systems perspective for the study of creativity". In R. J. Sternberg. Handbook of Creativity. Cambridge University Press. Chang D Kiki. 2001. Family Environment of Children and adolescents With Bipolar Parents. Original Article. Chandler LA. 1998. Designing the kinds of schools our children need: Structure and man-agement from a psychological perspective. Unpublished manuscript. University of Pittsburgh, PA. (ERIC EA028860). Cheng-Ping Chang, Chih-Ting Hsu, I-Jun Chen. 2011. The relationship between the playfulness climate in the classroom and student creativity © Springer Science+Business Media B .V. Cheng Yilling. 2007. An Examination Of The Relationship Between Creative Potential And Personality Types Among American And Taiwanese College Students Of Teacher Education Cropley Arthur J. 2001. Creativity in Education and Learning: A Guide for Teachers and Educators. Publisher Kogan Page Ltd Dacey JS. 1989. Fundamentals of Creative Thinking. Lexington, MA : Lexington Books Dariyo A. 2007. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Darnell G. Cole, Heather L. Sugioka, Lisa C. Yamagata-Lynch. Running Head: Supportive Classroom Environments For Creativity. Supportive Classroom Environments For Creativity in Higher Education.
60
Fasko Jr, Daniel. 2001. Education and Creativity Creativity Research Journal 317 Creativity Research Journal Copyright 2000–2001 by 2000–2001, Vol. 13, Nos. 3 & 4, 317–327. Fraser J. Barry, Fisher l Darrell. 1983. Development and validation of short forms of some instruments measuring student perceptuon of actual and preferred classroom learning enviromnet. Science Education Assessment instrument. Fryer M dan Collins JA. 1991. Teachers views about creativity, British journal of Education Psychology. Fisher DL & Fraser BJ. 1983. 'A comparison of actual and preferred classroom environment as perceived by science teachers and students', Journal of Research in Science Teaching, vol. 20, 55-61. Friedman Marilyn. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC. Guilford JP. 1967. Creativity: Yesterday, today, and tomorrow. Journal of Creative Behavior, 1, 3–14. Guilford, J. P. (1967). The nature of human intelligence. New York: McGraw-Hill. Habibollah et al. 2010. Relationship between creativity and academic achievement : A study of gender differences. Journal of American Science ; 6(1):181-190 Harris JR & Liebert RM. 1992. Infant and Child: Development from Birth through Middle Childhood. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hal Henderson Stella van Pettern. 1959. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Hock Chia Eng. 2000. Anda Juga Bisa Menjadi Kreatif. Menerapkan pemikiran kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Penerbit Prestasi Pustakaraya. Hoff E and Carlsson I. 2011. Department of Psychology, Lund University, Lund, Sweden Teachers Are Not Always Right: Links between Teacher Ratings and and Self-Ratings in School Subjects. The Open Education Journal, 4, (Suppl 1:M11) 120-129. Hurlock BE. 1978. Child Development Sixth Edition. McGrawn-Hill Hurlock BE. 1993. Psikologi Perkembangan.Istiwidayanti & Sujarwo. Penerjemah, Jakarta : Erlangga Indrawati. 2009. Lingkungan Pembelajaran Terpadu Di SD. Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA). Jan Chao hong at al. The Questionairre Construction of Creativite teaching Factors. National Taiwan Normal University Khairuddin H.1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nurcahaya Kim and Baska. 2010. The Relationship Between Creativity and Behavior Problems Among Underachieving Elementary and High School Students. Creativity Research Journal, 22(2), 185–193. Lenski G, Lenski J. 1987. Human Societies an Introduction to Macrosociology, USA. McGraw Hill MacKinnon, D. W. (1962). The nature and nurture of creative talent. American Psychologist, 17, 484–495. MacKinnon D W. 1982. “The Personality Correlates of Creativity: A Study of American Architects” dalam PE Vernon (ed), Creativity Middlesex: Penguin Martiastuty K. 2012. Resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah [tesis], Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Maslow A. H. (1963). The creative attitude. The Structurist (University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada), 3, 1-16. Doi
61
Maslow A. H. (1968). Some educational implications of the humanistic psychologies. Harvard Educational Review, 38(4), 685-696. Retrieved from creative attitude Mayangsari S. 2005. Peran Ruang Dalam Menunjang Perkembangan Kreativitas Anak Desain Interior. Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra Dimensi Interior, Vol. 3, No. 1, Juni 2005: 80 – 94 Mayesky Mary. 1990. Creative Activities for Young Children. USA: Delmat Publisher Inc. Megawangi R, Dona R, Yulisinta F, Dina Wahyu. 2010. Pendidikan Yang Patut dan Menyenangkan. Indonesia Heritage Foundation. Cimanggis Depok Megawangi R . 2010. Mencetak generasi Kreatif. Seri Pendidikan karakter. IHF. 2010 Megawangi R 1999. Membiarkan berbeda sudut pandang baru tentang relasi gender. Bandung : Mizan Pustaka Megawangi R, Sunarti E. 2003. Peran Keluarga Dalam Membangun Bangsa Berkualitas: Penghargaan Kembali Terhadap Kiprah Wanita Dalam Pengasuhan Anak. Makalah Seminar Nasional Peran Dan Fungsi Wanita Dalam Perspektif Kesejarahan Umat Kesyukuran Setengah Abad Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan, Sumenep, Madura. Munandar Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Cetakan Ke-3 Februari 2009. PT. Rineka Cipta Jakarta Munandar Utami. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT. Grasindo. Moos R. 1974. Family Environment Scale (Form R). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press. Moos BS, Moos RH. 2009. Family Environment Scale. Califormia: Mind Garden. Moran III. Creativity in Young Children http://www.kidsource.com/ kidsource/ content2/Creativity_in_kids.html Paul Kelly. 2010. School and Classroom Environment of a Small Catholic Secondary School. Virginia, January 2010. Disertasi Piaget J.1970. Science and Education and The Psychology of the Child. New York: Orion Puspitawati Herien. 2012. Gender dan keluarga, Konsep dan Realita di Indonesia. Cetakan pertama IPB Press Robin Shahen. 2010. An Investigation Into The Factors Enhancing Or Inhibiting Primary School Children Creativity In Pakistan. Robinson K, Azzam A. M. 2009. "Why creativity now?". Educational Leadership 67 (1): 22–26. Rogers C. 1982. Toward a Theory of Creativity dalam PE Vernon (ed) Creativity. Middlesex : Penguin Books Sadulloh Uyoh. 2009. Pedagogika Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Upi Press 2003. Bandung : Alfabeta Safrudin Aziz. 2008. Kreativitas anak usia pra sekolah. http :// alfianaziz. blogspot. com/2008/06/kreativitas-anak-usia-prasekolah.html. Santrock John W. 1997. Life-Span Development. New york : Mc Graw Hill Semawan Conny. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta: PT. Gramedia Slavin E Robert 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek. Edisi kedelapan jilid 1. @2006 Pearson Education, Inc. Allyn and Bacon, Permissions Departement, 75 Arlington Street, Suite 300.
62
Smith K Mark dkk. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Mengukur Kesuksesan Anda Dalam Proses Belajar dan Mengajar Bersama Psikologi Pendidikan Dunia. Mirza Media Pustaka Yogyakarta Soemardjan Selo.1983. Kreativitas : Suatu Tinjauan Dari Sudut Sosiologi. Kreativitas. Jakarta Dian Rakyat. Sunarti E 2008. Program pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan keluarga. Bahan kuliah KKP, Departemen IKK, FEMA-IPB. Sunarti E. 2010. Bahan Seminar Program KB dalam Konteks Pembangunan Sumberdaya Manusia. Keluarga Berencana Dalam Konteks Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Dan Ketahanan Keluarga Sunitha N.H .October 2005. Academic Learning Environment Of Students From Aided And Unaided Co-Educational High Schools Department Of Human Development College Of Rural Home Science University Of Agricultural Sciences Dharwad – 580 005. Supriadi Dedi.1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta Supriyantini Sri. Hubungan Antara Pandangan Peran Gender Dengan Keterlibatan Suami Dalam Kegiatan Rumah Tangga. Fakultas Kedokteran Program Studi Psikolgi Universitas Sumatera Utara. Tesis Teacher and Student Perceptions of Creativity in the Classroom Environment http://www.thefreelibrary.com/Teacher+and+Student+Perceptions+of+Creativ ity+in+the+Classroom...-a062684709. Torrance E. P. (1974) Education and creative potential. Minneapolis: University of Minnesota Torrance E. P. (1974). Torrance Tests of Creative Thinking: Norms-technical manual. Lexington, MA: Ginn. Torrance, E. P. (1981). Creative teaching makes a difference. In J. C.Gowan, J. Khatena, & E. P. Torrance (Eds.), Creativity: Its edu-cational implications (2nd ed., pp. 99–108). Dubuque, IA:Kendal/Hunt. Treffinger D. 1986. Thingking Skills and Problem Solving, New York, Centre for Creative learning. Umiarso Gojali I. 2010. Manajemen Mutu Sekolah Di Era Otonomi Pendidikan. “Menjual Mutu Pendidikan Dengan Pendekatan Quality Control. Lembaga Pendidikan. Penerbit IRCiSod. Wang, 2011. Contexts of Creative Thinking: A Comparison on Creative Performance of Student Teachers in Taiwan and the United States National Taichung University of Education,
[email protected] international cross-cultural studies, volume 2 isues I.
Hasil uji Korelasi karakteristik Anak, Keluarga, Lingkungan Sekolah, Lingkungan Keluarga dan Tingkat Kreativitas Verbal dan Figural LKTOTAL Spearman's rho
Correlation Coefficient LKTOTAL
N Correlation Coefficient LS+P
Sig. (2-tailed) N
CQ-VERBAL
-0.089
0.129
-0.023
PNDPTKELG
-0.023
0.035
0.126
0.002
0.155 0.092
.
0
0.177
0.622
0.334
0.159
0.806
0.8
0.704
0.17
0.981
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
**
1
.256
**
0.141
-0.002
0.079
0.171
-0.029
0.057
0.081
0.007
0.095
0
.
0.005
0.125
0.981
0.393
0.062
0.752
0.534
0.381
0.942
0.3
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
**
1
**
0.112
0.027
**
-0.033
0.171
-0.008
.715
**
**
.
0
0.223
0.773
0
0.724
0.062
0.927
0.008
0
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Correlation Coefficient
0.045
0.141
**
1
-0.012
0.116
**
0.006
0.107
0.051
0.137
.182
Sig. (2-tailed)
0.622
0.125
0
.
0.9
0.207
0
0.951
0.247
0.584
0.135
0.046
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
-0.089
-0.002
0.112
-0.012
1
-0.102
0.151
*
0.085
-.187
*
0.127
0.09
0.334
0.981
0.223
0.9
.
0.267
0.101
0.03
0.356
0.041
0.168
0.326
Sig. (2-tailed)
.546
.546
.337
.407
-.198
.240
.354
*
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Correlation Coefficient
0.129
0.079
0.027
0.116
-0.102
1
-0.144
.189*
-0.169
.240**
-0.077
-0.057
Sig. (2-tailed)
0.159
0.393
0.773
0.207
0.267
.
0.116
0.038
0.066
0.008
0.401
0.536
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
-0.023
0.171
**
0.151
-0.144
1
-0.097
**
0.043
.282
0.806
0.062
0
0
0.101
0.116
.
0.293
0.001
0.637
0.002
0
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
-0.023
-0.029
-0.033
0.006
-.198*
.189*
-0.097
1
-0.089
.737**
-0.172
-0.147
Sig. (2-tailed)
0.8
0.752
0.724
0.951
0.03
0.038
0.293
.
0.332
0
0.061
0.11
N
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Correlation Coefficient
0.035
0.057
0.171
0.107
0.085
-0.169
.309**
-0.089
1
0.1
.469**
.471**
Sig. (2-tailed)
0.704
0.534
0.062
0.247
0.356
0.066
0.001
0.332
.
0.275
0
0
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
0.126
0.081
-0.008
0.051
-.187*
.240**
0.043
.737**
0.1
1
0.01
-0.009
Sig. (2-tailed)
0.17
0.381
0.927
0.584
0.041
0.008
0.637
0
0.275
.
0.912
0.924
N
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Correlation Coefficient
0.002
0.007
.240**
0.137
0.127
-0.077
.282**
-0.172
.469**
0.01
1
.529**
Sig. (2-tailed)
0.981
0.942
0.008
0.135
0.168
0.401
0.002
0.061
0
0.912
.
0
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Correlation Coefficient
0.155
0.095
.354**
.182*
0.09
-0.057
.446**
-0.147
.471**
-0.009
.529**
1
Sig. (2-tailed)
0.092
0.3
0
0.046
0.326
0.536
0
0.11
0
0.924
0
.
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
120
Sig. (2-tailed)
N Correlation Coefficient
N PNDPTKELG
0.045
PDDKIBU
120
Correlation Coefficient
PDDKIBU
0.124
USIAIBU
0.005
N
USIAIBU
**
PDDKAYAH
120
Correlation Coefficient
PDDKAYAH
USIAYAH
0.177
N
USIAYAH
TIPSEK
Sig. (2-tailed)
N
TIPSEK
USIAANAK
.256
Correlation Coefficient
USIAANAK
JKLAMIN
0.124
N JKLAMIN
.715
CQFIGURAL
Correlation Coefficient N CQ-FIGURAL
1
Sig. (2-tailed)
CQVERBAL
LS+P
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.337
**
.407
.309
**
120 .446
**
64
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 25 Maret 1971. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara, lahir dari pasangan Bapak Mudjiman Soemodihardjo dan Ibu Legina. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri 15 Bandung pada tahun 1989. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi di Jurusan Manajemen Produksi Fakultas Manajemen Produksi dan Pemasaran Institut Manajemen Koperasi Indonesia di Bandung dan lulus pada tahun 1994 dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi. Pada tahun 2005 dengan dukungan keluarga, penulis bersama beberapa teman membangun sekolah bagi pendidikan anak usia dini dengan nama TK Seruni. Penulis juga pernah membantu beberapa TK dalam hal manajemen sekolah dan pernah meraih Juara III Kepala Sekolah berprestasi pada tahun 2010 tingkat Kota Depok. Pada tahun 2010 pula penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA), Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.