LARANGAN MELANGKAHI KAKAK DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING (Desa Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD SYARIF NIM:107044102053
Di bawah bimbingan
Dr. Azizah, MA NIP. 1963 0409 198902 2001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M
LARANGAN MELANGKAHI KAKAK DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING (Desa Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)
LOGO
Oleh :
MUHAMMAD SYARIF NIM : 107044102053
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Januari 2011
Muhammad Syarif
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul LARANGAN MELANGKAHI KAKAK DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING (Desa Sirambas Kecamatan Panyabugan Barat Mandailing Natal) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Januari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Ahwal alSyahsiyyah. Jakarta, 28 Januari 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 1955 0505 198203 1012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP: 1950 0306 197603 1001
(..……………….)
2. Sekretaris
: Rosdiana, MA NIP: 1969 0610 200312 2001
(…..………….....)
3. Pembimbing
: Dr. Azizah NIP: 1963 0409 198902 2001
(……..………….)
4. Penguji I
: Dr. Hj. Mesraini, M.Ag NIP: 1976 0213 200312 2001
(………..……….)
5. Penguji II
: Dra. Masykufah, M.Ag NIP: 1968 0703 199403 2002
(…………..…….)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat-Nya, sebagai Dzat yang maha indah dan terpuji, dimana seluruh pujian dijagad ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan pernah terasa cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas segala rahmat dan cinta yang diberikan kepada hamba-Nya. Salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada manusia agung, Muhammad SAW yang menjadi panutan ummat Islam, yang selalu dinantikan syafaatnya dihari pembalasan. Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga yang menunjukkan betapa ALLAH telah memberikan rasa kasih sayang-Nya kepada Penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “LARANGAN MELANGKAHI KAKAK DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING (Desa Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal)” Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik itu berupa sumbangan pemikiran maupun berupa finansial, sehingga penulisan ini selesai. Dan penulis tidak dapat melukiskan dengan untaian kata-kata, ungkapan apa yang pantas penulis haturkan kepada mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:
i
1. Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., M.A sebagai Ketua Program studi Ahwal AlSyahsiyyah, yang selama ini telah memberikan pelayanannya kepada penulis. 3. Dr. Azizah, MA, yang telah membimbing penulis selama melakukan penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang cukup memuaskan. 4. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., dan Dra. Masykufah, M.Ag., yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran, arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 5. Rosdiana, MA, selaku sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syahshiyyah, terimakasih atas pelayanan yang sangat memuaskan dan bantuan yang tidak terlupakan. 6. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna di dunia dan di akhirat, semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. 7. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Kabupaten Mandailing Natal, yang juga meberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini. ii
8. Ayahanda dan Ibunda yang senantiasa mendorong, membimbing, mendidik penulis dan teramat berjasa, arif mendidik, tiada hentinya berdoa untuk penulis agar menjadi manusia yang berguna. Abanganda Muhammad Nuh SH.I yang selama ini memberikan bantuan financial dan motivasi kepada penulis agar menjadi orang yang sukses. Kakakku Siti Aisah S.Pd.I, dan adikadikku Ahmad Fauzi, Zainab, Muhammad Harmein, dan Ahmad Zulyadain yang senantiasa mendoakan serta memberikan support kepada penulis. 9. Bapak Dr. Mulia P. Nasution (Sekjen Menteri Keuangan), Bapak Idris Ludfi (DPR RI Fraksi PKS), yang telah membatu penulis secara financial, sehingga penulis dapat menjalankan penelitian ini dengan lancar. 10. Teman-teman jurusan Peradilan Agama angkatan 2006, yang selalu menjadi guru, teman berdiskusi dilokal, semoga apa yang kita cita-citakan dapat terlaksana. 11. Bapak Ahmad Nizar, MA, Dr. Ibrahim, Anhar, MA, Khalidah Nasution, MA, dan Kawan-kawan STAIN Padangsidimpuan (Kampus Pertama Saya), ada Khairunnah Fauziah Ritonga, Pujiati, Ariadi Praja, Erwin Sah, Herman Soni, Elida Hafni, Ratih, Nelvi, Wiratto, Sarkawi, dll. 12. Bapak Kepala Desa Sirambas (Abu Hanifah Nasution), Ustadz Malim Sulaiman, Bapak Muhammad Amin (Tokoh Adat), Ibu Amaliah Nasution, Kepala KUA Panyabungan Barat, Ketua Pengadilan Agama Mandailing Natal, yang telah memberikan waktu dan pemikirannya buat penulis, sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar. iii
13. Teman-teman HM Madina Hasonangan, Ikhwan Efendi, Khoirul Anwar, Ahmad Saukani, Wahyu,
dan
juga kawan-kawan KMSU (Komunitas
Mahasiswa Sumatera Utara) Jakarta, ada Fadlika Himmah Sahputra Harahap, Raidong Habibi Rambe, Zulhamdi Bakri Tanjung, Anda, Irsyadurrifai, dan kawan-kawan LKBHMI, ada Ridho Akmal Nasution (direktur), aji, ubai, awal, juga kawan-kawan HMI Cabang Mandailing Natal, ada Abdul Wahab, Faisal, Ramli, serta sahabat lainnya yang tidak disebutkan namanya satu persatu, yang akan selalu menjadi guru, teman satu ide dan satu perjuangan. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, penulis berdo’a semoga Allah SWT., senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahnya. Harapan terakhir penulis skripsi ini bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan. Jakarta, 28 Januari 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
7
D. Study Review .................................................................................
8
E. Metodologi Penelitian ...................................................................
9
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 13 BAB II
PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ................................................................. 13 B. Dasar Hukum Perkawinan ............................................................ 20 C. Rukun dan Syarat Perkawinan ...................................................... 24 D. Larangan Perkawinan ................................................................... 29 E. Tujuan Perkawinan......................................................................... 35 F. Hikmah Perkawinan ...................................................................... 40
BAB III
POTRET DESA SIRAMBAS A. Kondisi Geografis Desa Sirambas ................................................. 43 B. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sirambas............................ 45 C. Tata Cara Perkawinan Masyarakat Desa Sirambas dan Adat Mandailing Pada Umumnya .......................................................... 47 v
BAB IV
MELANGKAHI
KAKAK
DALAM
PERNIKAHAN
MENURUT ADAT MANDAILING DAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Perkawinan Melangkahi Kakak ................................... 63 B. Larangan Perkawinan Melangkahi Kakak Menurut: 1. Pandangan
Masyarakat, Ulama dan
Tokoh
Adat
Mandailing ................................................................................ 64 2. Pandangan Fiqh dan KHI ......................................................... 68 C. Analisis Penulis.............................................................................. 72 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 76 B. Saran-saran ..................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Naluri seksual bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan cara dipraktekkan dalam koridor Manhaj Ilahi, untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan dari masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian naluri seksual, Islam juga bukan pendukung seks bebas. Oleh karena itu dalam ajaran agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat dijunjung tinggi.1 Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, menuntut adanya solusi yang jitu untuk mengatasinya. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Maka perkawinan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini.2 Sesuai dengan firman Allah dalam surah ar-Rum:
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 2 2 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 69
2
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan menjadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (al-Rum: 21) Dalam al-Hadist juga dijelaskan:
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda:“Hai para pemuda! siapa saja kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan; dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya”(HR. Muslim )3 Melalui perkawinan telah menempatkan manusia dalam koridor yang sangat mulia dan menaikkan derajat manusia dari kehinaan hayawaniah. Bahkan hal ini jugalah yang membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya, seperti kambing, lembu, kerbau dan lainnya, makhluk Tuhan tersebut tidak memerlukan adanya perkawinan, karena bagi mereka juga tidak ada rasa malu sekalipun harus berhubungan badan dengan ibunya sendiri. Makanya apalah bedanya manusia yang melakukan hubungan dengan lawanan jenisnya tanpa melalui pernikahan yang sah. Disisi lain pernikahan bertujuan besar dan asasi sebagai sarana untuk melanggengkan kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia, sehingga terbentuklah sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai cerminan yang menentukan terbentuknya sebuah masyarakat yang madani.
3
Abi Husein Muslim Ibnu Hajjaj, Shaheh Muslim, jilid 2, (Kairo: Dar al-Ihya, 1918), h. 1018
3
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
Artinya: “Hai sekalian manusia! Bertakwalah kamu kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah ciptakan pasangan/istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan dalam jumlah yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (an-Nisa: 1) Dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.4 Oleh karena itulah Islam dengan ajaran yang luhur memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan perkawinan. Islam menjelaskan dengan sangat detail dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, apa yang seharusnya dilakukan seseorang apabila ingin melangsungkan pernikahan. Betapapun demikian, dalam praktek pelaksanaannya perkawinan tidak selamanya lepas dari pengaruh kebudayaan di mana pernikahan itu dilaksanakan. Di
4
h.70
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
4
Mandailing Natal misalnya, walaupun daerah ini tergolong masyarakat yang sangat religius dalam mengamalkan ajaran
Islam, bahkan diberikan julukan serambi
Mekkahnya Sumatera Utara.5 Akan tetapi dalam praktek perkawinan masih saja berbaur dengan adat istiadat yang memang sudah ada dan tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Praktek perkawian di Mandailing Natal memang masih tergolong unik, bila dibandingkan dengan praktek perkawinan di daerah lain di Indonesia. Misalkan saja tradisi “mamodomi boru” (menemani calon istri), artinya ada seorang gadis dari keluarga perempuan yang menemani calon istri tersebut tidur di rumah calon suami sebelum dilangsungkannya perkawinan, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya fitnah. 6 Dan lagi ada tradisi mengaririt boru dalam adat Mandailing, yaitu menjajaki guna memperoleh informasi apakah seorang gadis telah menerima pinangan atau telah dijodohkan dengan orang lain.7 Namun dari sekian banyak keunikan praktek perkawinan di Mandailing, ada satu hal yang menjadi perhatian penulis, yaitu praktek perkawinan “mangalangkai” (melangkahi) kakak perempuan bagi seorang perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan di Mandailing Natal. Suatu tradisi apabila ada seorang perempuan ingin menikah, namun masih ada kakak perempuannya yang belum menikah, maka lamaran yang datangpun untuknya 5
Basyral Hamidi Harahap, Madina Yang Madani, (Jakarta: PT. Metro Pos, 2004), h. 277 Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel diakses pada 25 Oktober 2010 dari http://www.panyabungan.page.tl/Adat-Mandailing.htm 7 Pandapotan Nasution, Uraiang Singkat Adat Mandailing, Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 56 6
5
akan ditolak oleh pihak keluarga, karena menurut pemahaman masyarakatnya, apabila ada seorang anak gadis dilangkahi oleh adik perempuannya, maka kemungkinan sang kakak tersebut sulit untuk mendapatkan jodoh. Bahkan bisa diasumsikan kakaknya tersebut tidak laku. Oleh karena itulah pihak keluargapun akan menolak lamaran kepada sang gadis tersebut. Memang dalam asas hukum adat “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat”.8 Hal inilah yang kemudian mengakibatkan adanya praktek kawin lari, sebagai jalan pintas menghindari penolakan lamaran tersebut. Dalam kasus ini terjadi dua pilihan yang sangat sulit bagi keluarga dalam menentukan keputusan, yang pertama menikahkan anak gadis yang dilamar tersebut dan
mengorbankan
kakak
perempuannya.
Kedua
menolak
lamaran
dan
mengorbankan hak anak yang memang sudah saatnya untuk menikah. Namun ada juga yang mempraktekkan tetap menerima lamaran, tetapi dengan persyaratan harus membayar uang pelangkah kepada kakak perempuan yang dilangkahi. Dalam literatur fiqh klasik maupun yang kontemporer dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang perempuan yang melangkahi kakak perempuannya, bahkan istilah melangkahi kakakpun tidak dikenal. Karena memang hal ini hanyalah praktek perkawinan yang menggunakan hukum adat istiadat. Sehingga muncul suatu persoalan apakah perkawinan tersebut sah atau tidak bila tetap dilaksanakan.
8
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 71
6
Dari permasalahan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Larangan Melangkahi Kakak dalam Perkawinan Adat Mandailing (Desa Sirambas Mandailing Natal Sumatera Utara)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan sesuai dengan studi yang akan dikaji, maka untuk mempermudah penyusunan skripsi ini penulis membatasi penelitian ini seputar “Larangan Melangkahi Kakak dalam Perkawinan Adat Mandailing (Desa Sirambas Mandailing Natal Sumatera Utara)” yang dimaksud melangkahi kakak disini adalah perkawinan seorang perempuan yang mendahului kakak perempuannya. Yang dimaksud dengan kata
“kakak” dalam penelitian ini adalah kakak
perempuan saja, tidak termasuk kakak laki-laki. Sedangkan adat Mandailing adalah salah satu adat istiadat yang berada di wilayah Sumatera Utara. Maka untuk mempermudah penelitian ini, peneliti memfokuskan di desa Sirambas Mandailing Natal Sumatera Utara, hal ini ditempuh karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh penulis sendiri, dan demi tercapainya hasil yang memuaskan dan bisa dipertanggungjawabkan. 2. Perumusan Masalah Sebagaimana penulis sebutkan dalam latar belakang di atas, adapun yang menjadi masalah pokok dalam hal ini adalah apakah perkawinan melangkahi kakak itu sah atau tidak.
7
Untuk menjawab masalah pokok tersebut, penulis merumuskannya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut 1. Adakah larangan melangkahi kakak dalam perkawinan menurut Fiqh dan KHI? 2. Bagimana tradisi pernikahan dalam adat Mandailing? 3. Bagimana pendapat masyarakat desa Sirambas tentang larangan menikah melangkahi kakak? 4. Apa pendapat Tokoh Adat dan Ulama tentang larangan menikah mendahuli kakak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Agar dapat mengetahui apakah ada larangan melangkahi “mengalangkai” kakak dalam fiqh dan KHI. 2. Untuk dapat mengetahui bagaimana gambaran tradisi pernikahan dalam adat Mandailing. 3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat masyarakat desa Sirambas tentang larangan melangkahi kakak dalam perkawinan adat Mandailing. 4. Untuk mengetahui pendapat tokoh adat dan ulama terhadap larangan melangkahi kakak dalam perkawinan adat Mandailing. Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
8
1. Secara Akademis. Diharapkan dapat memberikan penambahan hazanah keilmuan bagi peneliti, untuk dapat dikembangkan kemudian, apalagi dalam kajian hukum adat. Dan diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi perkembangan penelitianpenelitian yang tema dan kajiannya hampir sama dengan yang dilakukan oleh penulis ini. 2. Secara Praktis. Diharapkan dapat memberikan pencerahan buat masyarakat desa Sirambas khususnya dan Mandailing Natal umumnya tentang persoalan praktek perkawinan. Diharapkan juga dapat memberikan kontribusi hazanah bagi lembaga-lembaga yang menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan agama. D. Study Review Setelah penulis melihat dan memperhatikan skripsi yang ada di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum, terdapat skripsi yang topik penelitiannya hampir sama dengan penelitian yang akan penulis lakukan, yaitu skripsi yang berjudul “Perkawinan Melangkahi Kakak Menurut Adat Sunda”, penelitian ini dilakukan di desa Cijurey Sukabumi Jawa Barat. Namun walaupun demikian antara satu daerah dengan daerah yang lainnya pasti memiliki budaya yang berbeda satu sama lainnya, adat Sunda dengan Minang akan memiliki perbedaan, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun akan
9
berbeda, dan hukum yang timbul di dalamnya juga akan berbeda, disebabkan perbedaan tempat, kondisi, dan situasinya. Atas dasar itulah menurut penulis masih sangat relevan untuk melakukan penelitian ini, apalagi penelitian ini berkaitan dengan budaya yang ada di Indonesia. Diharapkan kemudian penelitian ini bukan hanya melihat apakah praktek perkawinan itu telah sesuai dengan hukum Islam dan Perundang-undangan, tapi lebih dari itu diharapkan dapat menggali nilai-nilai budaya yang ada di Mandailing Natal. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yaitu mengumpulkan data-data dengan cara langsung turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, dan supaya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis sendiri. 2. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah berupa metode kualitatif, yang merupakan metode penelitian yang menggunakan data-data berupa pandangan-pandangan tentang study etnografi (etnis) dalam perkawinan adat Mandailing Natal ditinjau dari perspektif Hukum Islam. Adapun pendekatan Etnografi adalah suatu uraian dan penafsiran terhadap budaya atau sistem kelompok
10
sosial, peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola prilaku, kebiasaan, dan cara hidup masyarakatnya.9 Sedangkan metode hukum yang digunakan adalah bersifat doktriner (normatif), yaitu penelitian berdasarkan data-data yang ada sesuai dengan ketentuan Fiqh dan Hukum Positif. Adapun yang dimaksud fiqh dalam penelitian ini adalah pendapat ulama yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan hukum positif adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer dan data skunder. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat (Kepala Desa, Tokoh Adat, Tokoh Agama) dan penduduk desa Sirambas Mandailing Natal Sumatera Utara, dan dokumen-dokumen yang berupa undang-undang, misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawina, KHI, serta dokumen non Undang-undang, misalnya hasil sensus penduduk, dan lainlain. Di dalam penelitian hukum, digunakan pula data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat ke dalam, berupa buku-buku, makalah seminar, jurnal-jurnal,
9
Iyan Apriani, “Metode Penelitian Kualitatif” artikel diakses pada 12 Nopember 2010 dari H:/skripsi/116-metode-penelitian-kualitatif.html
11
laporan penelitian, artikel, majalah dan koran,10 yang ada kaitannya dengan penelitian ini, misalnya buku (Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Tentang adat Mandailing serta tata cara perkawinannya). 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang ada serta untuk lebih memfokuskan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data-data yang maksimal: a. Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in– depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai b. Observasi Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan Observasi Partisipasi (participant observation) yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden. c. Dokumen
10
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2008),
h. 155
12
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan harian, hasil survei, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain dan sebagainya. 5. Pengolahan Data Langkah-langkah analisis data pada studi etnografi, yaitu: a. Mengorganisir file. b. Membaca keseluruhan informasi. c. Menguraikan setting sosial dan peristiwa yang diteliti. d. Menginterpretasi penemuan. e. Menyajikan presentasi baratif berupa tabel, gambar, atau uraian. 6. Analisis Data Dalam proses analisa data penulis menggunakan metode analisis eksploratif berupa metode deskriptif yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap susunan penelitian. Dalam penelitian kualitatif memungkin peneliti untuk melakukan analisis mengalir (jalinan), dimana tiga komponen analisis bisa dilakukan saling menjalin, artinya tanpa harus menunggu terkumpulnya semua data yang dibutuhkan. Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum” yang diterbitkan oleh fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.11
11
Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum,
2007)
13
F. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa berurutan, maka akan penulis sistematisir sedemikian rupa, sehingga menjadi beberapa bagian yang mempunyai kaitan dan saling melengkapi serta membentuk sutu kesatuan yang utuh dan ada garis besarnya. Pembahasan skripsi ini diklasifikasikan menjadi 5 bab, yaitu: Pada Bab Pertama Pendahuluan memuat: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Study Review, dan terakhir adalah Sistematika Penulisan. Bab Kedua Pengertian dan Tujuan Perkawinan. Pada bab ini penulis akan membahas secara umum tentang: Pengertian Perkawinan, Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Larangan Perkawinan, Tujuan Perkawinan, dan Hikmah Perkawinan. Bab Ketiga Potret Desa Sirambas. Membahas tentang: kondisi geografis dan sosial desa Sirambas, tingkat Pendidikan masyarakat, serta tata cara pernikahan yang berlaku di desa Sirambas dan Adat Mandailing pada umumnya. Bab Keempat Melangkahi Kakak dalam Perkawinan Menurut Adat Mandailing dan Hukum Islam. Membahas tentang: Pengertian perkawinan melangkahi kakak, larangan perkawinan melangkahi kakak menurut; pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh Adat; pandangan Fiqh dan KHI, serta analisis Penulis tentang ketiganya. Bab Kelima Penutup. Memuat tentang kesimpulan dan saran-saran
14
BAB II PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan Prof. Muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan, bahwa kata “kawin” paling tidak dapat didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syari’i) dan makna fiqh (hukum). Namun pembahasan di depan ini hanya ingin mencoba menjabarkan pengertian “nikah” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga pendekatan tersebut di atas, yaitu dari sudut pandang lughawi dan makna fiqh (hukum).1 Adapun pendekatan makna ushuli yang menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum tidak menjadi pembahasan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat penulisan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.2 Sedangkan Dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.3 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( ( نكاحdan zawaja ()زواج. Kedua kata ini yang 1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 41 2 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456 3 M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h.249
15
terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam alQur’an dan hadits Nabi.4 Secara arti kata nikah berarti “bergabung” () ضم, “hubungan kelamin” ()وطء dan juga berarti “akad” ()عقد. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung arti tersebut.5 Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 230:
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui” Ayat ini mengandung arti “hubungan kelamin” bukan hanya sekedar akad nikah, karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan lakilaki yang kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut. Dalam al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22:
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 35 5 Ibid.,
16
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” Ayat tersebut seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah melangsungkan akad pernikahan dengan seorang perempuan, sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut. Adapun dalam arti terminologis terdapat beberapa defenisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam titik pandangan di kalangan ulama. Salah satu di antaranya ialah:
“Akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalakan bersenang-senangnya perempuan dengan lakilaki”6 Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah merumuskan nikah sebagai berikut:
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”7
6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 37 7
17
Pemberian defenisi oleh kalangan Syafi’iyah sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami dan istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak ada kebolehan. Hampir senada dengan itu kalangan Hanafiyah mendefenisikan dengan:
“Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja”.8 Defenisi lainnya dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya alAkhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:
“Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenang-senang (berhubungan badan) antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan”9 Namun yang dimaksud dengan dua orang yang berakad di sini adalah antara calon suami dengan calon istrinya. Defenisi-defenisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu.10 Oleh karena itu ulama kontemporer
mencoba
memperluas
jangkauan
defenisi
ataupun
pengertian
8
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007),
h. 6514 9
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr, 2005), h. 19 Ibid.,
10
18
perkawinan, misalnya defenisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur
dalam
bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy, mendefenisikan:
“Akad yang membolehkan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”.11 Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:12 “Ikatan lahir dan bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujaun membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.13 Dalam undang-undang Perkawinan
No. 1 tahun 1974, perkawinan tidak
hanya dilihat dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.14 Perkawinan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai hidup dan kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.15
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 39 12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 42 13 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), h. 4 14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 42 15 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 2
19
Pencantuman kata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan adalah, “Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dari perumusan defenisi pernikahan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang perempuan”. Hal ini mengandung arti bahwa perkawinan hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. 2. Ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. 3. Penyebutan “berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, menandaskan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.16 Dari semua penjelasan yang disebutkan di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah, kekal, dan diridhoi Allah SWT”
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 40
20
B. Dasar Hukum Perkawinan Hukum asal melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah (kebolehan) atau halal.17 Ini juga dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki perempuan melakukan sesuatu yang tidak boleh. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata-mata mubah saja. Dalam surah an-Nisa’ ayat 3 Allah berfirman:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berdasarkan kepada ayat di atas terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum Islam dalam menentukan hukum asal perkawinan yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni; Pertama, golongan yang mengatakan hukum menikah adalah wajib, karena perintah menikah di dalam al-Qur’an sura an-Nisa ayat 3 menunjukkan perintah wajib. Hal ini berdasarkan pada kaidah bahwa setiap sighat “amar’ itu menunjukkan
17
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Depok: UI Press, 1986), h. 49
21
wajib secara mutlak. Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zhahiry, yakni satu kali kawin untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten. Kedua,
hukum
menikah
atau
menikahkan
adalah
sunnah,
dengan
mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nisa ayat 3 yang menunjukkan bahwa jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua cara; dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Perbedaan antara keduanya adalah menikah dengan memberikan status kepada wanita untuk memperoleh dari suami suatu perawatan yang wajar, suami berkewajiban memberi nafkah istrinya sesuai dengan kedudukannya. Berdasarkan ijma’ ulama hukum tasarri itu adalah tidak wajib. Ketentuan surat an-Nisa menyuruh untuk memilih antara tasarri dan menikah. Oleh karena tasarri tidak wajib ini menunjukkan bahwa menikah hukumnya tidak wajib.18 Menurut ushul fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, kerna yang dikatakan wajib itu sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan, dengan demikian maka hukumnya adalah sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Ketiga, Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan bahwa firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri, yang menunjukkan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut ijma‟, tasarri hukumnya mubah, karena menikah juga hukumnya mubah (tidak sunah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan
18
Abd. Soman, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syari‟ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 282
22
mubah. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa asal hukum nikah adalah jaiz atau mubah, atau dengan kata lain seseorang boleh kawin dan boleh tidak kawin. Dari perbedaan dalam menentukan hukum asal menikah tersebut, para pakar hukum Islam juga berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Namun secara umum dapat diberikan perincian hukum nikah berdasarkan kondisi orang yang mau melaksanakan pernikahan tersebut, karena apabila berubah illah suatu hukum, maka hukum yang lahirpun akan berubah pula.19 1. Sunnah Bagi orang-orang yang telah memiliki potensi biologis melakukan hubungan suami istri, akan tetapi ia tidak takut atau tidak khawatir akan terjebak ke dalam perbuatan terlarang. Menurut jumhur fuqaha kondisi seseorang pada tingkatan ini lebih baik baginya melakukan pernikahan daripada menunda-nunda. 2. Wajib Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan kuat untuk melakukan hubungan biologis dan memiliki perlengkapan dan ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin. Dalam term Ushul Fiqh disebutkan:
“Tidak sempurna suatu yang wajib tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesautu itu wajib adanya”.
19
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 7
23
Menghindarkan diri dari perbuatan zina itu hukumnya wajib, maka apabila tidak bisa dicegah kecuali dengan nikah, maka menikah baginya dihukumkan menjadi wajib.20 3. Haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila melangsungkan nikah istrinya akan terlantar, maka baginya haram hukumnya untuk menikah.21 Thabrani menjelaskan sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa “Ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa ia tidak akan mampu untuk memberi nafkah kepada istrinya, membayar maharnya, maupun menjalankan segala konsekuensi pernikahan, maka haram baginya untuk menikah hingga benar-benar merasa mampu.22 Penjelasan Thabrani ini ingin mengatakan bahwa yang mengetahui apakah seseorang mampu atau tidak untuk melangsungkan perkawinan adalah orang yang mau menikah tersebut. Pada saatnya dia merasa mampu untuk memenuhi konsekuensi dari perkawinan, maka kaharaman tersebut hilang. Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 195 menjelaskan bahwa Allah melarang orang untuk mendatangkan kerusakan:
20
Ahmad Kuzari, NIkah Sebagai Perikatan , h. 30 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.20 22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 2, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009), h. 457 21
24
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” 4. Makruh Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan, dan cukup kuat untuk menahan diri sehingga tidak memungkin dirinya tergelincir berbuat zina, akan tetapi orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat dalam memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. Maka bagi orang ini dimakruhkan untuk melangsungkan perkawinan. 5. Mubah Bagi orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan pernikahan tersebut tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapa pun.23 C. Rukun dan Syarat Perkawinan 1. Rukun Perkawinan Rukun dalam semua tindakan hukum sangatlah menentukan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut. Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak.24 Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam ranah ijtihadiyah, dan hampir disemua aspek pembahasan fiqh bahkan sampai tataran teologi akan terjadi perbedaan pendapat. 23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 46 24 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 60
25
Perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa saja sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebut sebagai syarat. Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa, menurut kalangan Hanafiyah yang menjadi rukun nikah hanya “akad” saja, selain itu disebut dengan syarat.25 Hal ini tidak mengherankan karena menurut kalangan ini hakikat dari pernikahan itu adalah “akadnya”. Senada dengan itu Abdurrahman al-Jaziri menerangkan dalam kitabnya al-Fiqh „ala Mazahib alArba‟ah, bahwa yang dikategorikan sebagai rukun nikah itu adalah Ijab dan Qabul yang pada dasarnya akad itu sendiri. Karena menurutnya tanpa keduanya sebuah pernikahan tidak akan ada.26 Sedangkan menurut Ijma’ Ulama Indonesia dalam KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Penjelasan tentang hal itu adalah: a. Mempelai laki-laki/calon suami, dan syarat-syaratnya: 1) Bukan mahram dari calon istri 2) Tidak terpaksa/atas kehendak sendiri 3) Orangnya tertentu/jelas orangnya Dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun.
25
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, h. 2522 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arb‟ah, Juz IV, (Qahirah: Dar al-Fikr, tt),
26
h. 12
26
b. Mempelai wanita/calon istri, dan syarat-syaratnya: 1) Tidak ada halangan hukum, yakni -
tidak sedang bersuami
-
bukan mahram
-
tidak sedang dalam iddah
2) Merdeka atas kemauan sendiri Dalam pasal 16 KHI disebutkan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. 3) Jelas orangnya Pasal 15 KHI ayat 1. “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapi umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun” c. Wali nikah, dan syarat-syaratnya: 1) Laki-laki 2) Islam 3) Baligh 4) Waras akalnya d. Dua orang saksi, syarat-syaratnya: 1) Laki-laki
27
2) Islam 3) Adil 4) Akil Baligh 5) Tidak terganggu ingatannya Waras akalnya 6) Dapat mendegar dan melihat 7) Bebas, tidak dipaksa e. Ijab dan kabul, dan syarat-syaratnya: 1) dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi) 2) akad dilakukan sendiri oleh wali 3) kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami 2. Syarat Pernikahan Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.27 Jadi syarat sah perkawinan adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hukum, sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.28 a. Perempuan yang dinikahi bukan mahram Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah perempuan yang 27
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 12 28 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 2, h. 525
28
haram dinikahi, baik haram untuk sementara waktu maupun haram untuk selamanya. b. Mahar Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit diungkapkan dalam al-Qur’an seperti yang terdapat di dalam surah an-Nisa’ ayat 4, sebagai berikut:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” Berangkat dari ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an. Mahar oleh sebagian ulama ditempatkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul al-Mujtahidnya.29 Sedangkan ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan. 30 Berbeda dengan Wahbah Al-Zuhaily dalam kitabnya al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga bukan syarat dari 29
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 64 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Mazahib al-Arb‟ah, Juz IV, h. 12
30
29
perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasannya: 31
“bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga bukan syarat dari beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan atsar/akibat hukum dari beberapa atsar-atsar perkawinan”
Sejalan dengan itu dengan sangat jelas KHI menyatakan bahwa mahar itu bukanlah rukun dalam perkawinan, sebagaimana terdapat dalam pasal 34 ayat: “Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan” D. Larangan Perkawinan Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung lagi pada satu hal, yaitu perkawinan tersebut telah lepas dari segala yang menghalangi, yang dimaksud dengan penghalang/larangan perkawinan dalam pembahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan disebabkan hal tertentu. Adapun yang dibicarakan di sini ialah perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki, dan juga sebaliknya.32 Pembahasan larangan perkawinan dapat dikelompokkan kedalam dua garis besar: 1. Mahram Muabbad. Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan perkawinan untuk selamanya. Bagian ini ada tiga macam: 31
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, h. 6761 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 109 32
30
Pertama: Disebabkan adanya hubungan kekerabatan/nasab. Mereka itu adalah perempuan-perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan kekerabatan, adalah: a. Ibu b. Anak Perempuan c.
Saudara
d. Saudara Ayah/bibi e. Saudara Ibu f. Anak dari saudara laki-laki g. Anak dari saudara perempuan Penjelasan ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 23:
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” Kedua: Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut dengan hubungan mushaharah. Bila seorang laki-laki melakukan perkawinan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan keluarga si perempuan/istrinya dan demikian pula sebaliknya. Adapun perempuan yang tidak boleh dinikahi yang disebabkan hubungan mushaharah adalah:
31
a. Ibu tiri (perempuan yang telah dinikahi ayah) b. Menantu (perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki) c. Ibu istri (mertua) d. Anak dari istri (anak tiri) dengan ketentuan istri itu telah digauli. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam ayat 22 dan sambungan ayat 23 surah an-Nisa di atas:
......
Artinya:“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (ayat 23). ....“Ibuibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)” Ketiga: Larangan perkawinan karena adanya hubungan persusuan. Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu perempuan tersebut akan menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak, sehingga perempuan itu telah seperti ibu bagi anak itu. Adanya hubungan persusuan ini setelah terpenuhinya beberapa syarat berikut: a. Usia anak yang menyusui itu berumur 2 tahun, inilah yang dipegangi oleh jumhur ulama.
32
b. Kadar susuan sebanyak 5 kali menyusui, karena apabila kurang dari itu belum menyebabkan pertumbuhan.
c. Kemurnian air susu, dalam pengertian tidak bercampur dengan air susu lain atau zat lain.
d. Suami sebagai sebab adanya susu. Jumhur ulama berpendapat bahwa susu yang itu dari perempuan yang sudah menikah, karena apabila susu itu dari perempuan yang berzina, maka tidak menyebabkan keharaman.
Apabila syarat-syarat tersebut di atas telah terpenuhi, maka diharamkan bagi seseorang menikah dengan perempuan-perempuan yang disebutkan di bawah ini: a. Ibu susuan b. Anak susuan c. Saudara susuan d. Paman susuan e. Bibi susuan f. Anak saudara laki dan saudara perempuan susuan. 2. Mahram Ghairu Muabbad Mahram ghairu muabbad ialah larangan menikah bagi laki-laki dengan seorang perempuan yang bersifat sementara yang disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Adapun yang masuk dalam golongan ini adalah: a. Mengawini dua orang perempuan bersaudara dalam satu waktu Bila dua perempuan itu dinikahi sekaligus dalam satu akad, maka pernikahan dengan kedua adalah batal, sedangkan bila pernikahan dalam
33
waktu yang berurutan, maka pernikahan pertama dihitung sah dan pernikahan kedua batal. b. Poligami di luar batas Hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh memberikan perluang bagi laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu orang sampai batas tiga orang, sedangkan apabila lebih dari itu adalah tidak dibolehkan. c. Larangan karena ikatan perkawinan Seorang perempuan yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain tidak boleh melangsungkan perkawinan. d. Larangan karena talak tiga Bagi perempuan yang telah dijatuhkan talak tiga tidak boleh lagi menikah dengan mantan suaminya, kecuali setelah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah dijatuhkan talaknya, dan habis masa iddahnya dengan laki-laki tersebut. Hal ini tergambar dalam firman Allah surah al-Baqarah ayat 230:
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
34
e. Larangan karena ihram Larangan menikahi seorang permpuan yang sedang ihram berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
Artinya: “Dari Utsman Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan." Riwayat Muslim.33 Namun dalam hal perkawinan perempuan yang sedang ihram ini kalangan Hanafiyah berbeda pendapat dengan kebanyakan ulama, yang menyatakan bahwa perkawinan itu tetap sah, berdasarkan kepada hadits dari Ibnu Abbas yang menjelaskan nabi telah menikahi Maimunah dalam keadaan ihram, namun sebagain ulama mengatakan bahwa nabi menikah itu sudah tidak dalam keadaan ihram lagi.
Aritnya: “Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram”34
33
Muhammad Ibnu Ismail al-Amir al-Shan’any, Subulus Salam, juz 6, (Jeddah: Dar Ibnu alJauzy, 2004), h. 45 34 Ibid., h. 46
35
f. Larangan menikah karena perbedaan Agama Larangan menikah ini tergambar dalam firmah Allah dalam surah alBaqarah ayat 221: .......
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....” g. Larangan menikahi bekas istri yang diputus perkawinannya karena sumpah li‟an. Perjelasan larangan perkawinan ini dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam sebanyak enam pasal, dimulai dari pasal 39 sampai pasal 44. Penulis tidak akan menjelaskan lagi menurut KHI, karena secara prinsip tidak terjadi perbedaan yang signifikan. E. Tujuan Perkawinan Perkawinan disyari’atkan tentunya mempunyai tujuan yang sangat mulia. Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia. Sejak Nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam Islam. Secara medis (kedokteran), pernikahan dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan. Sebab, sperma bisa keluar secara normal. Bila sprema lama tidak keluar maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.35 Karena prilaku seksual yang normal dapat merupakan keseimbangan antara “motor erotik” yang mendorong hasrat untuk aktifitas seksual, dan suatu “rem seksual” yang menjaga keinginan 35
Rahman Syakur, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, (Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt), h 83
36
tersebut tetap terkendali. Apabila sinyal “motor erotik” ini tidak ada pemenuhannya dapat mengakibatkan kelainan libido yang menyebabkan distress, maupun kesulitan berhubungan dengan orang lain.36 Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan.37 Sejalan dengan itu dalam Kompilasi Hukum Islam sangat jelas disebutkan dalam pasal 3 yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.38 Dari hal itulah tujuan pernikahan dapat disimpulkan kedalam empat point besar, yaitu: 1. Menenteramkan Jiwa Allah menciptakan hamba-Nya hidup berpasang-pasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya. Bila sudah terjadi “akad nikah”, si wanita merasa jiwanya tenteram, karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga.
36
Linda J. Heffner dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 74 37 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 22 38 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 114
37
Sebaliknya suami pun akan merasa terteram karena ada yang mendampinginya. 39 Karna pada dasarnya juga perkawinan itu dikehendaki oleh ajaran agama adalah perkawinan yang berdimensi ganda, yaitu melahirkan
ketenteraman dunia dan
akhirat.40 Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dapat saja ditempuh melalui jalur luar pernikahan; namun dalam mendapatkan ketenangan dalam hidup bersama suami istri itu tidak mungkin di dapatkan kecuali melalui perkawinan.41 Dalam al-Qur’an surah ar-Ruum ayat 21 Allah menjelaskan:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan sayang antara suami dan istri, tidak mau berbagi suka dan duka, maka berarti tujuan pernikahan tidak sempurna, kalau tidak dapat dikatakan pernikahan itu telah gagal, yang bisa berakibat terjadinya perceraian. 2. Mewujudkan (Melestarikan Keturunan) 39
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 13 40 Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Ambon: STAIN Ambon Press, 2007), h. 70 41 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 47
38
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang tidak mendambakan anak dan keturunan untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapkan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam dalam jiwa suami dan istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah dalam firmannya dalam surah an-Nahl ayat 72:
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas, bahwa Allah menciptakan manusia ini berpasang-pasangan satu sama lainnya, supaya berkembang biak mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah, naluri manusia pun menginginkan demikian. 3. Memenuhi Kebutuhan Biologis Seorang tokoh agama Yahudi bernama Farwed pernah menjelaskan kepada pengikutnya, bahwa mereka harus segera melampiaskan insting biologis, dengan dalih bahwa tanpa tindakan tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan pada jiwanya. Dr. Cases Carl juga menuliskan di dalamnya bukunya yang berjudul “AlInsaan Dzaalikal Majhuula”: “Bahwa biasanya kecerobohan didalam seks itu akan
39
menurunkan daya kerja otak dan akal sehat, hanya hubungan seksual yang sehatlah yang mampu mencapai orgasme yang alami”.42 Oleh sebab itu Islam dengan ajarannya yang sangat mengakomodir kebutuhan dasar manusia, menjadikan pernikahan sebagai sarana untuk memenuhi insting seksual, disamping juga ingin menyelamatkan akal sehat yang dikhawatirkan bisa rusak yang diakibatkan oleh seks bebas tersebut.
Artinya: “dari Abddillah bin Mas‟ud, dia berkata: “(suatu ketika) Rasulullah SAW, pernah menyeru kami: “Hai para pemuda! Siapa saja kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena Sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan; dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya” (H.R. Muttafaq‟alaih)43 Bahkan pengebirian terhadap kebutuhan seksual juga merupakan hal yang tidak dibolehkan agama. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Mulim menjelaskan:
Artinya :”Dari Saad bin Abi Waqqash RA, dia berkata “Rasulullah SAW melarang Utsman bin Mazh‟un untuk membujang selamanya, dan seandainya Rasulullah membolehkannya, tentu kami akan mengebiri kemaluan kami”.44
42
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h. 12 Ahmad Mudjab Muhalli, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq „Alaih, (Jakarta: Prenada Media, 2002), h. 33-34 44 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, buku I, (Jakarta: Pustaka Azzam, tt), h.558 43
40
4. Latihan Memikul Tanggung Jawab Apabila perkawinan dilakukan untuk mengatur fitrah manusia, dan mewujudkan kelangsungan hidup manusia di bumi, maka faktor yang keempat yang tidak kalah penting dalam perkawinan adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa perkawinan adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikul tanggung jawab itu sendiri. F. Hikmah Perkawinan Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuhtumbuhan.45 Karna sudah menjadi kodrat makhluk memiliki naluri seksualitas yang memerlukan tempat pemenuhannya. Ketentuan tersebut telah dituangkan di dalam firman Allah surah ar-Ra’du ayat 3: Artinya: “Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gununggunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. Pada ayat di atas dijelaskan bahwa segala sesuatu telah diciptakan secara berpasang-pasangan. Ayat tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya 45
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 41
41
ini dan segala yang ada. Bentuk berpasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.46 Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Ilahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi. Berbicara tentang hikmah disyari’atkannya pernikahan sangatlah banyak. Namun dalam penelitian ini penulis hanya memuat antara lain: 1. Menyelamatkan manusia dari kerusakan akhlak. Dengan perkawinan, masyarakat dapat diselamatkan dari kerusakan akhlak dan mengamankan setiap individu dari kerusakan pergaulan. Tampak dengan jelas bahwa tabiat manusia senantiasa condong kepada lawan jenisnya.47 Melalui pernikahan menghindari manusia dari godaan syaitan yang selalu berusaha menjerumuskan.48 2. Menentramkan jiwa setiap pribadi Perkawinan dapat menenteramkan jiwa, cinta kasih yang dapat melembutkan perasaan antara suami dan istri, tatkala suami selesai bekerja pada siang hari dan kemudian kembali ke rumahnya pada sore harinya. Ia dapat berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Hal ini dapat melenyapkan semua kelelahan pada siang harinya.
46
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab, (tt: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 2 47 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 44 48 M. Abdul Ghofar E.M, Fikih Wanita, Edisi Terjemahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 379
42
3. Menyalurkan nilai kebapaan atau keibuan. Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.49 4. Menyatukan antara dua keluarga Menyatukan dua keluarga antara pihak laki dan pihak perempuan. Sehingga hubungan silaturahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih layak. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.50 Dahlan Tamrin dalam bukunya Filsafat Hukum Islam menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain di berbagai hal dalam kehidupannya. Maka dengan perkawinan itu diharapkan dapat merealisasikan kebutuhan tersebut.51 Sehingga dengan adanya perkawinan diharapkan lahirnya keluarga yang baru yang lebih harmonis, yang bisa menyatukan satu keluarga dengan keluarga yang lainnya, dan menciptakan masyarakat yang tentram dan damai.
49
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
h. 1329 50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h.
70 51
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 149
43
BAB III POTRET DESA SIRAMBAS
A. Kondisi Geografis dan Sosial Desa Sirambas 1. Secara Geografis Desa Sirambas merupakan salah satu dari 9 desa yang ada di kecamatan Panyabungan Barat kabupaten Mandailing Natal, kabupaten hasil pemekaran dari Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Secara geografis desa Sirambas memiliki luas pemukiman ± 7,5 Ha, sebelah timur berbatasan dengan desa Sabajior, sebelah selatan dengan desa Aek Ngali, sebelah barat dengan desa Longat, sedangkan dari sebelah utara berbatasan dengan desa Tarutung. Masyarakat Sirambas merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, dsb.1 Adapun perkampungan desa Sirambas bisa digolongkan dataran rendah, yang hampir seluruhnya dikelilingi persawahan nan subur indah dan molek, bila memandang ke arah selatan di pagi hari, bisa menyaksikan indahnya puncak gunung Sori Marapi, sehingga udara terasa sedang, tidak terlalu dingin dan juga tidak terlalu panas. Desa ini tidak terlalu jauh dari Ibu kota Kabupaten, dan akses menuju kotapun digolongkan mudah. Sedangkan dari ibu kota kecataman hanya berjarak ± 2 km. Jadi tidak ada kendala dalam transportasi.
1
Hasil wawancara dengan Bapak Abu Hanifah Kepala Desa Sirambas, pada tanggal 19 Nopember 2010
44
2. Sosial Desa Sirambas Dilihat dari segi keagamaan penduduk desa Sirambas 100% beragama Islam, dan hampir bisa dipastikan belum ada warga yang menganut agama selain Islam. Sedangkan suku-suku yang ada hampir seluruhnya bersuku Mandailing, hanya dua keluarga saja yang bersuku Jawa. Menurut data sensus penduduk pada tahun 2010, penduduk desa Sirambas berjumlah ± 1202 jiwa, yang terdiri dari ± 596 jiwa laki-laki dan ± 606 jiwa perempuan dengan jumlah KK sebanyak 276. Sedangkan kalau dilihat dari lapangan pekerjaan yang tersedia hampir 80 % pertanian, meliputi perkebunan dan persawahan.2 Untuk memperjelas dapat dilihat pada data jumlah penduduk sesuai dengan hasil sensus tahun 2010 di bawah ini: Jumlah Penduduk Desa Sirambas No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
2
Golongan Umur 0 s/d 4 5 s/d 9 10 s/d 14 15 s/d 19 20 s/d 24 25 s/d 29 30 s/d 34 35 s/d 39 40 s/d 44 45 s/d 49 50 s/d 54 55 s/d 59 60 s/d 64 65 ke atas Total
Jenis Kelamin Lk PR 89 77 82 76 65 71 70 84 58 51 56 45 38 35 31 35 29 25 33 32 20 27 11 10 8 12 6 26 596 606
Jumlah 166 158 136 154 109 101 73 66 54 65 47 21 20 32 1202
Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Sirambas pada tanggal 19 Nopember 2010
45
Adapun
penghasilan
rata-rata
perkeluarga
hanya
±
Rp.
500.000
perminggunya. Sehingga dari jumlah penduduk di atas dapat disimpulkan pendapatan perkapita masyarakat hanya ± Rp. 459.234 per-orang, dengan penjelasan:
Jumlah KK x500.000x 4 minggu PendapatanPerkapita Jumlah Jiwa Sehingga,
276 x 500.000 x 4 459.234 1202
B. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sirambas Secara umum masyarakat desa Sirambas masih torgolong sangat ketinggalan bila dilihat dari segi pendidikan. Dalam berbagai tingkatan, baik itu ditingkat perguruan tinggi maupun ditingkat sekolah menengah atas. Sungguh ironis memang bila melihat kondisi itu. Dari hasil wawancara peneliti dengan Kepala Desa Sirambas didapatkan informasi yang menjelaskan, bahwa desa ini masih sangat ketinggalan dibidang pendidikan bila dibandingkan dengan desa-desa lain. Hal ini membuat tingkat pengangguran meningkat, yang terjadi adalah warga masyarakat menjadi buruh tani upahan, yang sebenarnya gajinya itu tidak mencukupi. Dan akibatnya tindak kejahatanpun semakin meningkat, misalkan seringnya hasil pertanian warga yang hilang sebelum sempat dipanen. Kalau melihat pendapatan perkapita desa Sirambas di atas, sangat memungkinkan terjadinya tingkat putus sekolah yang sangat tinggi. Apalagi menurut pengamatan peneliti selama ini, kebutuhan para orang tua untuk nongkrong di warung
46
kopi sepertinya mempersulit keadaan. Betapa tidak jadwal masuk warung kopi adalah 2 kali setiap harinya, yaitu pagi dan malam hari. Disisi lain dorongan dari lingkungan sangat tidak mendukung anak-anak untuk lebih mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Untuk memperjelas ketetangan di atas dapat dilihat dari gambaran tingkat pendidikan di desa ini dengan menggunakan hasil sensus penduduk tahun 2010, sebagai berikut: Table 1 Kondisi Pendidikan
Murid Sekolah
Jenis Kelamin LK PR
Jumlah
SMP Negeri yang berumur 15 tahun ke atas
12
10
22
SMP Swasta yang berumur 15 tahun ke atas
-
-
-
SMA Negeri
6
4
10
SMA Swasta
-
-
-
SMK Negeri
1
3
4
SMK Swasta
-
2
2
MTS Negeri yang berumur 15 tahun ke atas
4
14
18
MTS Swasta yang berumur 15 tahun ke atas
-
-
-
MA Negeri
4
5
9
MA Swasta
-
1
1
Ponpes yang berumur 15 tahun ke atas Jumlah
23
26
49 115
Data Sensus Penduduk 20103
Bila dilihat dari jumlah keseluruhan anak yang berumur dari 15 tahun s/d 25 tahun dan dibandingkan dengan jumlah anak-anak yang melanjutkan pendidikan di
3
Data diambil dari hasil sensus penduduk desa sirambas tahun 2010
47
atas SD, maka dapat disimpulkan hanya 43, 72 % yang melanjutkan sekolah, berarti 56,27 % anak yang putus sekolah. Hal inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah, khususnya pemerintahan daerah Mandailing Natal, sehingga kesejahteraan yang telah diamanatkan oleh UUD RI menjadi kenyataan. C. Tata Cara Perkawinan Masyarakat Desa Sirambas dan Adat Mandailing Pada Umumnya. 1. Perkawinan Adat Mandailing Secara Umum a. Pengertian Adat Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia ditemukan pengertian kata “adat” sebagai; budaya, etiket, istiadat, kebiasaan, kultur, rasam, tradisi.4 Suatu kebiasaan dinamakan adat karena ia dikerjakan oleh masyarakat tertentu secara berulangkali. Dalam bukunya Bushar Muhammad “Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar” dijelaskan bahwa, kata “adat” disandingkan dengan kata “hukum”, yang merupakan terjamahan dari istilah bahasa Belanda “adatrecht”. Snouk Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah tersebut. Istilah itu dipakai untuk mengungkapkan istilah “Undang-undang Agama”, “lembaga rakyat”, “kebiasaan”, “lembaga asli”.5 Sedangkan dalam buku qawaid fiqhiyah dijelaskan bahwa adat sebagai:
4
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006),
h. 6 5
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1994), h.2
48
“Adat ialah segala apa yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan yang belaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan”6 Di dalam ilmu masyarakat adat diartikan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan turun temurun berurat berakar dalam kalangan suatu bangsa atau suatu suku. Ia meliputi lapangan kepercayaan, peribadatan, dan keduniaan.7 Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya adat itu dimulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan prilaku. Prilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang, maka ia akan menjadi kebiasaan orang lain. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan prilaku kebiasaan tadi, maka kebiasaan itu menjadi “adat”.8 Dalam kebiasaan yang menjadi norma-norma tersebut dijadikan landasan kehidupan masyarakatnya. Dalam kajian ushul fiqh dilihat dari penilaian baik dan buruknya suatu “adat”, maka dapat dibagi kepada: 1) Adat yang shahih , yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya mengadakan halal bi halal saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
6
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 93 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 60
7 8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 1
49
2) Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Misalnya pesta dengan menghidangkan minum yang haram.9 Demikian halnya di dalam adat mandailing, dalam proses sosialisasi ada nilai-nilai budaya yang diajarkan antara lain, adalah patik dohot uhum. Patik adalah nilai mengenai benar dan salah yang merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ajaran moral. Jadi patik adalah etika perilaku orang madina, baik sebagai anggota keluarga, kerabat, maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Termasuk dalam patik adalah hapantunon “sopan santun”; habisukon “budipekerti”; untuk membentuk orang madina agar berbudi pekerti yang halus dan baik. Uhum adalah norma, aturan atau ketentuan yang mengikat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima di dalam masyarakat madina. Uhum mempunyai daya paksa, artinya pelanggaran terhadap uhum akan mengakibatkan sanksi.10 b. Perkawinan Adat Mandailing Berbicara mengenai perkawinan dalam adat Mandailing pada awalnya disebut dengan perkawinan manjujur. Perkawinan manjujur adalah perkawinan yang
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2008), h. 368
10
Basyral Hamidi Harahap, Madina Yang Madani, (Jakarta: PT. Metro Pos, 2004), h. 355-356
50
sifatnya eksogami patriarchat11. Yang dinamakan eksogami adalah perkawinan yang mengharuskan seorang laki-laki mencari pasangan hidup diluar marganya (klanpatrilinial), dan sangat dilarang menikah dengan orang yang semarga.12 Perkawinan adat Mandailing disebut dengan eksogami-patriarchat, karena dengan perkawinan ini wanita akan meninggalkan klannya dan masuk kedalam klan suaminya. Dengan melepaskan si wanita dari klan (marga) orang tuanya masuk ke marga suaminya, orangtua si wanita harus menerima imbalan untuk itu, yang disebut jujur. Jujur ini fungsinya untuk menjaga keseimbangan atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk anggota keluarga suaminya. Adapun benda yang akan diberikan sebagai jujur ini berupa sere (emas), sehingga diberi nama mas kawin, dan sampai sekarang istilah menyerahkan uang jujur di Mandailing dengan ungkapan manulak sere (menyerahkan mas kawin).13 Dalam paradaton (sistem adat) Mandailing, si suami disebut sebagai bayo pangoli dan si istri disebut boru na ni oli). Ada dua jenis sere yang akan diberikan sesuai dengan fungsinya, yaitu: 1) Sere Namenek (emas berukuran kecil)
11
Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 53 12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h.
68 13
Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 54
51
Yaitu sejumlah emas atau uang diberikan oleh pihak pria kepada wanita sesuai dengan yang telah disepakati. Disamping itu ada beberapa tambahan yang berupa (kain tenunan bugis) yang jumlahnya ganjil. Ungkapan sere namenek ini sebenarnya sebagai gambaran bahwa, itu merupakan sesuatu yang masih mungkin untuk dibayarkan oleh pihak keluarga lakilaki. Dan sere namenek inilah nantinya yang akan diberikan langsung pada saat dilangsungkan atau sebelum dilangsungkannya pernikahan. 2) Sere Nagodang (Emas dalam ukuran besar) Sere Nagodang merupakan beban yang dikenakan kepada keluarga laki-laki sehingga disebut ia dengan garda atau ompong-ompong. Garda ini sebenarnya kalau dilihat dari jumlahnya tidaklah mungkin untuk dibayar oleh pihak laki-laki. Oleh sebab itulah disebut beban sepanjang adat. Ini maksudnya karena anak boru menurut adat selamanya punya hutang yang tak lunas-lunasnya kepada mora.14 Dalam perjalanan sejarah masyarakat Mandailing mengenal bermacammacam bentuk perkawinan, yaitu: 1) Perkawinan Sumbang Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa
masyarakat
Mandailing
menganut perkawinan eksogami dengan tatanan patriarkat, yang mengharuskan seseorang kawin dengan marga lain. Menjadi sesuatu yang tabu apabila ada seseorang
14
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Amin selaku tokoh adat pada tanggal 20 Nopember 2010
52
kawin dengan perempuan yang semarga dengannya. Apabila perkawinan tersebut terjadi inilah yang disebut dengan kawin sumbang. Bagi orang yang melakukan kawin sumbang ini menurut adat dahulu, sang laki-laki dihukum pasung paling lama 6 bulan dan perkawinan tersebut harus dibatalkan dengan perceraian.
15
Hingga ada ungkapan “nahancit ma antong naso
markula dongan, suada do tu simartolu, nahancit ma antong mambuat dongan samarga, ruhut ni adat angkon disirang mangolu” (Betapa sakitnya kawin dengan orang yang semarga, harus dipisahkan di waktu hidup oleh peraturan adat). Namun aturan seperti ini sudah ditinggalkan orang, apalagi di Mandailing Natal. 2) Kawin Mandinding Kawin Mandinding ini kebalikan dari perkawinan yang menggunakan jujuran. Dalam perkawinan ini pihak laki-laki tidak menyerahkan uang jujuran sebagaimana biasanya, pihak keluarga hanya menyerahkan si laki-laki kepada pihak keluarga gadis untuk bertempat tinggal bersama mertuanya, sebagai pengganti jujuran tadi. Oleh karena ia belum dapat memenuhi kewajibannya menurut adat, maka dialah yang dianggap sebagai agunannya. Bentuk perkawinan seperti ini sudah tidak lagi dilakukan orang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Bila dilihat dari prosesnya, maka perkawinan di Mandailing dapat dikelompokkan lagi kepada:
15
L.S. Diapari, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, (Jakarta: tt, 1987), h. 128
53
1) Kawin lari Mungkin istilah kawin lari bukanlah sesuatu hal yang baru dikalangan masyarakat Indonesia. Di Mandailing biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang pemuda membawa kawin lari seorang gadis, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada keluarganya, biasanya si gadis ditemani satu orang gadis yang disebut dengan pandongani. Adanya pandongani ini berguna untuk menghindari sesuatu yang dianggap melanggar norma-norma, sehingga lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi Boru”. 16 Mamodomi Boru artinya, meramaikan/menemani seorang gadis yang mau menikah pada malam hari dirumah kediaman calon suaminya sebelum dilangsungkan akad nikah. Mamodomi boru biasanya diramaikan oleh gadis-gadis setempat selama tiga malam. Menurut adat apabila seorang pemuda hendak melarikan seorang gadis, maka ia harus memberikan sepotong kain kepada si gadis, supaya diletakkannya di bawah bantal tidurnya. Ini merupakan suatu pertanda, bahwa anaknya sudah pergi kawin lari. Bentuk perkawinan seperti ini sering terjadi, disebabkan oleh: a) Kedua pasangan sudah sangat serius untuk menikah, akan tetapi terhalang oleh restu orang tua. b) Orang tua gadis meminta syarat-syarat yang tinggi, sehingga pihak laki-laki tidak sanggup untuk memenuhinya.
16
Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel diakses pada 25 Oktober 2010 dari http://www.panyabungan.page.tl/Adat-Mandailing.htm
54
2) Kawin yang dilamar (nai sapaan) Perkawinan
seperti
ini
adalah
perkawinan
sebagaimana
lazimnya
dipraktekkan oleh masyarakat Mandailing dan perkawinan secara umum. Nai sapaan memiliki arti bahwa perkawinan ini sebelumnya ada lamaran dari pihak keluarga lakilaki. Berbeda dengan kawin lari, biasanya perkawinan seperti ini sudah mendapat restu dari kedua keluarga. Perkawinan seperti ini biasanya upacara pelepasan gadis yang disebut dengan pesta pabuat boru. 3) Tangko Binoto Perkawinan seperti ini merupakan gabungan antara kawin lari dan kawin yang dilamar, ada beberapa alasan kenapa terjadi seperti itu: a) Biasanya keluarga perempuan tidak mampu untuk membuat acara pabuat boru, sehingga gadis tersebut dibawa tanpa adanya acara pelepasan. Tetapi bukan berarti tidak mendapatkan izin. b) Disebabkan ada kakak perempuannya yang belum menikah, sehingga tidak dibuat acara pelepasan, supaya sang kakak tidak merasa kecil hati. c. Tahapan-tahapan Perkawinan Dalam perkawinan adat mandailing paling tidak dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pesta dirumah boru na ni oli yang disebut dengan pesta (pabuatkon) dan pesta di rumah bayo na ni oli yang disebut dengan(pabagaskon). Pabuatkon merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan di rumah keluarga perempuan, sedangkan pabagaskon dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki.
55
Pada bagian pertama dapat digambarkan beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Mangaririt Boru Perkawinan bukanlah urusan individu dengan individu semata, akan tetapi hubungan antara keluarga dengan keluarga. Oleh karena itu apabila sudah ada keinginan seorang pria untuk menikah, maka tahapan pertama yang harus dilakukan adalah mangaririt boru, yang disebut mangaririt boru disini bertujuan untuk memastikan apakah gadis yang akan dilamar ini sudah dilamar orang atau belum. Kalau dibagian angkola disebut dengan istilah mangarisik boru.17 Biasanya mangaririt boru ini dilakukan setalah mendapat pemberitahuan dari anak laki-laki yang ingin menikah itu, bahwa dia ada keinginan untuk melamar gadis yang akan didatangi tersebut. 2) Manguso Boru Manguso boru ini adalah merupakan rangkaian acara yang dilakukan secara berulang-ulang ke rumah orang tua si gadis untuk mematangkan pembicaraan mengenai: a) Kesediaan si gadis untuk dijadikan teman hidup si pria b) Berapa besarnya adat yang akan diadakan untuk menyambut kedatangannya. c) Besarnya beban yang akan ditimpakan kepada si pria. Dalam prakteknya manguso baru ini bisa berjalan dengan lancar, dan terkadang bisa berjalan alot. Karena tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan jadi tidaknya diterima suatu lamaran.
17
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Amin pada tanggal 20 Nopember 2010
56
3) Patobang Hata Tahapan
berikut
setelah
melewati
mangaririt
dan
manguso
boru
dilaksanakan, maka tibalah saat untuk patobang hata (melamar atau meminang secara resmi). Patobang hata ini dilaksanakan bila antara keluarga laki-laki dan perempuan sudah mendapat permufakatan. Dalam permufakatan biasanya ada 3 hal yang diharapkan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, yaitu: a) Lapok ni tobu suanon (meminta si gadis untuk penerus keturunan) b) Andor na mangolu parsiraisan (meminta keluarga si gadis menjadi mora “besan” keluarga tempat berlindung). c) Titian batu nasora buruk (meminta kedua belah pihak agar mengikat tali persaudaraan)18 4) Manulak Sere (menyerahkan mahar) Pada waktu manulak sere ini dibawalah semua apa yang telah dimufakatkan baik sere namenek maupun sere nagodang. Ketika acara penyerahan mahar tersebut benda-benda yang akan diserahkan diletakkan di atas pahar (sejenis nampan yang terbuat dari anyaman bambu) yang sudah dialasi dengan kain tenun petani, daun pisang yang ada ujungnya ditaburi beras kunyit, di atasnya diletakkan puntu (gelang) dan keris yang pegangannya dihadapkan kepada mora (besan dari pihak perempuan) dan ujungnya kepada anak boru (besan dari pihak laki-laki). Hal ini melambangkan
18
Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Adat Mandailing serta Tata Cara Perkawinannya, h.
58
57
bahwa keluarga si laki-laki siap menanggung resiko, jika mereka tidak menepati janji. Sedangkan gelang (puntu) tadi melambangkan sudah adanya ikatan. 5) Mangalehen Pangan Mamunan Yang dimaksudkan dengan mengalehen mangan pamunan yaitu memberi makan anak gadisnya yang akan melangsungkan pernikahan. Pada acara tersebut si gadis bersama-sama teman sepermainan makan bersama yang khusus dimasak istimewa. Makan bersama ini merupakan makan pamitan (mangan pamunan), karena si gadis akan meninggalkan masa gadisnya bersama orang tuanya dan akan masuk ke dalam keluarga si suami. Pada waktu mengalehen pangan mamunan ini para sanak keluarga diberi kesempatan memberi nasehat kepada si gadis, bahwa statusnya yang sekarang sebagai anak gadis bisa bermanja-manja tidak lagi boleh dilakukannya apabila ia sudah berumah tangga. Sebagai anak ni mora (orang terhormat) ia harus menunjukkan tabiat yang baik, bagaimana dia berbuat baik kepada orang tuanya, harus demikian pula kepada keluarga suaminya. 6) Menikah Sebelum boru na ni oli (calon istri) dibawa oleh bayo pangoli (calon suami), tentunya secara agama tidaklah dibenarkan boru na ni oli dibawa oleh bayo pangoli sebelum dinikahkan secara agama. Acara pernikahan ini dapat dilakukan pada hari yang sama, satu hari sebelumnya, atau beberapa hari sebelum pesta di rumah keluarga perempuan.
58
Hanya saja ada satu hal yang menjadi perhatian dalam aturan adat mandailing, yaitu antara akad nikah dengan acara pabuat boru tidak boleh terlalu lama, karena pada dasarnya setelah akad nikah dilangsungkan si gadis telah menjadi hak laki-laki. 7) Pabuat Boru Yang disebut pabuat boru adalah upacara adat penyerahan mempelai wanita kepada pihak keluarga laki-laki, yang dilaksanakan di rumah orang tua wanita. Pada pesta adat ini pihak laki-laki akan menuju rumah pihak perempuan. Dalam hal ini mereka tidak langsung ke rumah orang tua si gadis, apabila rumahnya itu berbeda kampung. Mereka terlebih dahulu manopot kahanggi (anak boru dari keluarga si gadis). Dari rumah kanggi (klan suami) inilah mereka berangkat ke rumah orang tua si gadis.19 8) Pasahat Mara Pasahat mara disini bertujuan menyerahkan si gadis kepada suaminya secara adat. Di sini keluarga perempuan akan menjelaskan bahwa anak perempuan mereka ini jangan disia-siakan, dan disebutkan bahwa boru ini mempunyai nilai yang tinggi bagi mereka, harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Setelah dipasahat mara dengan kata-kata pesan, bahwa anak gadisnya harus selalu dituntun., jangan karena masih muda disayang-sayang. Setelah itu keluarga
19
L.S. Diapari, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan suatu Tinjauan, h. 138
59
laki-laki pamitan dan akan turun dari rumah menunggu di tangga. Akan dilakukan penyerahan anak gadis dari pihak keluarga kepada keluarga laki-laki. 2. Perkawinan Masyarakat Desa Sirambas Tata cara perkawinan masyarakat desa Sirambas beragam dan bervariasi. Ada tata cara yang harus dilewati menurut adat sehingga pernikahan tersebut dikatakan pernikahan yang sesuai dengan adat. Adapun tata cara ataupun tahapan-tahapan dalam pernikahan di desa Sirambas adalah: a. Manangkasi hata pinomparan (Memastikan kata-kata Anak) Biasanya sebelum pihak keluarga laki-laki mendatangi keluarga pihak perempuan ( calon mora), sang ayah sudah mendapat informasi dari anak laki-lakinya yang berkeinginan untuk melepaskan masa lajangnya, dalam informasi itu dapat diperoleh keterangan bahwa dia telah mempunyai kesepakatan dengan wanita. Sehingga pada tahapan ini pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan guna memastikan apa yang diceritakan oleh anak laki-lakinya. Inilah yang biasa disebut orang dengan istilah Menangkasi hata pinomparan. b. Manyapai Boban Siporsanon (membicarakan mahar) Langkah berikutnya setelah memastikan apa yang menjadi kesepakatan kedua anak manusia tadi (laki-laki dan perempuan), adalah membicarakan tuhor (mahar). Biasanya mahar disini terbagi dalam dua bentuk, yaitu sere namenek dan sere nagodang. Sere na menek itu ialah mahar yang disepakati dan dapat diserahkan.
60
Sedangkan sere na godang adalah mahar yang sudah menjadi ketetapan adat, yang berbentuk hutang keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan yang tidak akan lunas sepanjang adat, yang dimaksud hutang disini bukun hutang berupa materi lagi, karena banyaknya yang harus dibayarkan sehingga sulit bagi keluarga laki-laki, maka lahirlah ungkapan mula dibutuhkan hami di sogot niari ro pe hami di potangpotangi, mula dibutuhkon hami di potang ni ari ro pe hami disogot ni ari i (bila kami dibutuhkan di waktu pagi hari kami sudah tiba sebelumnya (sore hari sebelumnya), sedangkan bila dibutuhkan sore hari, maka kami akan datang paginya). Ini menggambarkan betapa besarnya mahar yang harus dibayarkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, sehingga tidak mungkin untuk membayarkannya, dan menjadi hutang sepanjang adat. Artinya sepanjang hubungan perkawinan itu masih ada, maka selama itu hutang masih ada. Dalam pertemuan ini biasanya terjadi permufakatan antara keluarga laki-laki dan perempuan, membicakan seberapa besar kewajiban yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan (anak gadis) c. Patibal Sere (Menyerahkan Mahar) Tahapan berikutnya setelah mendapat kesepakatan pada malam sebelumnya, maka tibalah saatnya menyerahkan mahar, yang tentunya tata cara penyerahan tersebut menggunakan tata cara yang telah teradat. d. Marikah (Menikah) Walaupun masyarakat desa Sirambas masih tergolong yang masih kuat memegang teguh adat-istiadat dalam hal perkawinan, namun dalam soal akad
61
nikah/pernikahannya sendiri, masih berpatokan kepada hukum Islam. Setelah semua langkah-langkah yang disebutkan diatas, maka tiba saatnya untuk memenuhi rukun nikah (akad nikah). Ada dua tempat yang dapat dipilih oleh keluarga buat tempat dilangsungkannya pernikahan. Ada yang melangsungkan di KUA kecamatan dan ada yang di rumah mempelai perempuan. e. Mangalehen Ajar dohot Poda (Memberi Nasehat) Sebelum anak gadis dibawa ke rumah keluarga laki-laki, biasanya pada pesta pabuat boru (pesta dirumah keluarga perempuan) ada rangkaian acara yang disebut dengan mangalehen ajar dohot poda hal ini dimaksudkan memberi nasehat-nasehat kepada kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera hidup berumah tangga.20 Pada kesempatan ini yang memberikan nasehat akan diberikan kesempatan bergilir dari pihak keluarga perempuan sendiri dan juga orang-orang yang dituakan secara adat di kampung itu. f. Do’a Selamat Selesai memberikan nasehat-nasehat untuk mengambil berkah, maka dibacakanlah do’a oleh alim ulama yang ada di kampung itu, dengan harapan supaya pernikahan kedua mempelai ini mendapat berkah dari Allah SWT. Sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. g. Serah Terima Saat pemberangkatan menuju rumah keluarga laki-laki, biasanya masih ada rangkaian acara terakhir dari pihak keluarga perempuan, yaitu penyerahan langsung
20
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Amin selaku tokoh adat sirambas, pada tanggal 20 Nepember 2010.
62
dari ayah perempuan kepada mempelai laki-laki, penyerahan secara adat yang menyimbolkan bahwa anak gadis yang selama ini menjadi tanggung jawabnya, sekarang tanggung jawab tersebut akan diserahkan kepada suaminya. Biasanya dalam serah terima tersebut dilangsungkan di depan pintu rumah, karena di kampung ini masih banyak rumah panggung, maka sang ayah dan anak perempuannya berdiri di atas tangga dan mempelai laki-laki di bawah sambil menerima penyerahan dari ayah perempuan tersebut. Sebelum anak gadis meninggalkan rumah orang tuanya, biasanya untuk mengiringi keberangkatannya itu diiringi dengan lantunan azan, dengan harapan supaya perjalanannya untuk menempuh bahtera hidup yang baru mendapat keselamatan.
63
BAB VI MELANGKAHI KAKAK PERKAWINAN ADAT MANDAILING
A. Pengertian Perkawinan Melangkahi Kakak Defenisi atau pengertian tentang pernikahan melangkahi kakak tidak ditemukan secara spesifik pembahasannya dalam literatur fiqh maupun Kompilasi Hukum Islam. Namun, secara terpisah kedua kata tersebut dapat dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata melangkahi berasal dari akar kata “langkah” yang berawalan “me” dan berakhiran “i”. salah satu makna dari kata ini adalah “mendahului kawin”. Ada juga ditemukan kata “ke-langka-han” yang bermakna “didahuli kawin”.1 Sedangkan kata “kakak” dalam kamus yang sama memiliki makna (1) saudara yang lebih tua (2) panggilan kepada (laki-laki atau perempuan) yang dianggap lebih tua (3) panggilan kepada suami. Dari dua akar kata di atas dapat diartikan bahwa perkawinan melangkahi kakak adalah perkawinan seorang adik yang melangkahi saudara tertua dari (laki-laki atau perempuan) dalam menikah. Apabila ada seseorang yang melakukan pernikahan padahal masih ada kakak (laki-laki atau perempuan) nya yang belum menikah, maka pernikahannya tersebut dapat digolongkan kepada perkawinan yang melangkahi kakak. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda. Dalam memahami pernikahan melangkahi kakak juga akan berbeda pemahaman antara satu daerah 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 09 Nopember 2010 dari Indonesiagratis-lengkap.php.htm
64
dengan daerah lainnya, orang Sunda belum tentu memiliki pemahaman yang sama dengan orang Batak. Apalagi pada kata “kakak” sering terjadi pemahaman yang berbeda, panggilan “kakak” hanya diberikan kepada saudara perempuan yang lebih tua umurnya pada masyarakat Batak, sedangkan di tempat lain belum tentu demikian. B. Larangan Perkawinan Melangkahi Kakak 1. Pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh Adat Mandailing a. Pandangan Masyarakat Desa Sirambas Pada dasarnya masyarakat desa Sirambas sudah mulai menganggap perkawinan melangkahi kakak menjadi sesuatu yang biasa, walaupun masih ada beberapa orang tua yang menghalang-halangi perkawinan tersebut, bahkan dalam pergaulan hidup masyarakat sudah sering melakukannya.
Berbeda dengan desa
Sirambas 10 tahun yang lalu, saat itu orang masih menganggap perkawinan tersebut sesuatu yang tabu, karena ada beberapa alasan:2 Pertama, apabila ada seorang perempuan dilangkahi kawin oleh adiknya yang perempuan, maka diasumsikan kakaknya itu tidak laku atau tidak dapat jodoh. Kedua, bila seorang perempuan dilangkahi kawin oleh adik perempuannya, dikhawatirkan si kakak sulit untuk mendapatkan jodoh atau jadi perawan tua. Maka dari hal itu diharuskan bagi seorang yang ingin menikah melangkahi kakak untuk meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, supaya perkawinannya nanti tidak mendapat halangan dan rintangan. Karena masih menjadi kepercayaan sebagian masyarakat bila adik tidak meminta izin, maka dikhawatirkan terjadi hal-hal
2
Hasil wawancara dengan Ibu Amaliah Nasution pada hari Rabu 17 Nopember 2010
65
yang tidak diinginkan dalam perkawinannya atau menimpa sang kakak sendiri, seperti yang dijelaskan di atas. Menurut data yang diambil dari KUA Panyabungan Barat, bahwa dari 22 orang perempuan yang menikah dari desa Sirambas sepanjang tahun 2009-2010, terdapat 5 orang diantaranya melakukan pernikahan melangkahi kakak.3 Hal ini menunjukkan betapa masyarakat sudah mulai mengganggap itu sesuatu yang biasa. Namun walaupun demikian masih ada anggapan dari sebagian masyarakat bahwa bila masih ada kakak gadis yang mau menikah tersebut yang belum menikah, maka seharusnya dia bersabar dulu, menunggu kakaknya dapat jodoh, itupun apabila gadis itu belum terlalu tua. Karena bagaimanapun juga antara kakak dengan adik masih harus saling menghargai. Soal adanya uang pelangkah yang harus dibayarkan bila perkawinan tersebut melangkahi, ada dua pendapat dikalangan masyarakat; pertama, bahwa kewajiban uang pelangkah itu dibebankan kepada calon suami. Kedua, dibebankan kepada adik yang mau menikah, dengan cara mengambil sebagian dari maharnya. Sedangkan nominal yang harus dibayarkan tidak ada patokannya, tergantung berapa yang disepakati pada saat tahapan membicarakan mahar. Dari wawancara peneliti dengan warga masyarakat, dapat keterangan bahwa dalam bidang
perkawinan sebenarnya sudah banyak adat/kebiasaan yang sudah
mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat, misalkan saja tradisi mengkhatam bagi calon istri pada malam pestanya atau sebelum dilangsungkannya acara akad nikah, ini sudah jarang ditemukan. 3
Data diambil dari KUA Panyabungan Barat pada tangal 19 Nopember 2010
66
b. Pandangan Ulama Perkawinan itu merupakan sesuatu yang harus disegerakan bila sudah tiba saatnya, apalagi melihat kondisi masyarakat sekarang ini, yang budaya ketimurannya sudah digilas oleh budaya barat. Sangat sulit untuk menyelamatkan anak-anak muda dari keterjerumusan kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.4 Ketika ditanya soal bagaimana pandangan beliau tentang adanya larang melangkahi kakak dalam adat mandailing, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut sangat tidak dibenarkan, apalagi sampai menggagalkan pernikahan tersebut. Karena perkawinan itu merupakan anjuran agama. Banyak ayat maupun hadits yang menjelaskan betapa pentingnya melangsungkan perkawinan, bahkan ada anjuran mensegerakan perkawinan, bila takut jatuh kepada perbuatan yang diharamkan agama. Terkait dengan itu, masalah adanya uang pelangkah yang harus diberikan kepada kakak yang dilangkahi, pak Ustadz memberi penjelasan dengan; a. Apabila uang pelangkah itu menyebabkan terhalangnya penikahan, misalkan pihak suami tidak mampu untuk membayarkan,
maka tindakan tersebut
adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. b. Apabila uang pelangkah itu tidak sampai memberatkan, maka itu adalah halhal yang wajar saja, dan itu memang berguna buat kakaknya yang dilangkahi, dan pada prinsipnya yang dipraktekkan kebanyakan masyarakat, tidak sampai memberatkan kepada pihak keluarga laki-laki, walaupun tidak menutup kemungkinan yang menyalahi itu. 4
Hasil wawancara dengan Ustadz Malim Sulaiman pada malam Selasa 22 Nopember 2010
67
Demikian juga halnya dengan orang tua yang menghalagi anak perempuan untuk menikah, disebabkan masih ada kakaknya yang belum menikah. Ini merupakan perbuatan yang dicela. Pada dasarnya menikah itu merupakan hak yang sangat asasi, kebutuhan yang sangat mendasar bagi laki-laki dan perempuan yang sudah mencapai umur dewasa, dan itu merupakan tuntutan fitrahnya.5 c. Pandangan Tokoh Adat Hampir seirama dengan Ustadz Malim Sulaiman, menurut tanggapan tokoh adat desa Sirambas ketika diwawancarai menjelaskan bahwa, sebenarnya masalah jodoh itu merupakan kewenangan Tuhan yang Maha Kuasa, manusia tidak dapat menentukan kapan jodohnya datang.6 Namun walaupun demikian, menurut adat bila seseorang yang ingin menikah melangkahi kakaknya, maka diharuskan meminta izin kepada sang kakak terlebih dahulu, sebelum ia melangsungkan perkawinan. Ini bertujuan supaya kakaknya So ulang tarlimpon tondi (biar jangan merasa rendah hati). Sebenarnya adat tidak sampai menghalang-halangi seseorang untuk menikah, jika itu berkaitan dengan persoalan ada kakaknya yang belum menikah, akan tetapi ada kewajiban adik untuk meminta izin kepada kakaknya. Tapi walaupun demikian masih ada juga orang yang menghalang-halangi pernikahan tersebut. Itupun sebenarnya bukan karena adatnya, melainkan kembali kepada orang tua gadis tersebut yang tidak menginginkan ada anak perempuannya
5
Hasil wawancara Ustadz Malim Sulaiman pada tanggal 22 Nopember 2010 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Amin pada tanggal 20 Nopember 2010
6
68
yang dilangkahi kawin, dengan mendasarkan kepada keharusan dalam adat untuk meminta izin kepada sang kakak. Bicara soal adanya uang pelangkah, beliau menjelaskan bahwa itu sebenarnya tidak ditentukan nominalnya, melainkan tergantung seberapa kemampuan keluarga laki-laki. Dan memang menurut pengamatan beliau selama ini, belum ada yang merasa diberatkan dengan adanya uang pelangkah tersebut. 2. Pandangan Fiqh dan KHI a. Fiqh Ketika melakukan pembahasan menggunakan perspektif fiqh, disini penulis akan meninjau apakah ada praktek dalam adat yang berkaitan dengan perkawinan melangkahi kakak bertentangan dengan fiqh. Dalam literatur fiqh pembahasan mengenai larangan menikah hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan adanya hubungan sedarah, perkawinan, persusuan antara kedua calon suami istri. Sedangkan untuk larangan melangkahi kakak tidak ditemukan. Justru yang ada adalah anjuran untuk menyegerakan pernikahan. Seperti dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, jika seseorang sudah merasa perlu untuk menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus kepada perzinaan, maka ia diwajibkan untuk mendahulukan pernikahan daripada kewajiban haji.7 Berdasarkan hal tersebut, maka praktek melarang seseorang untuk menikah disebabkan masih ada kakaknya yang belum menikah adalah tidak dibenarkan, bahkan bisa jatuh perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan kepada ayat al7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009), h. 459
69
Qur‟an yang telah menegaskan tentang mensegerakan perkawinan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah an-Nur ayat 32
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui” M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbahnya menjelaskan kata “al-ayyama” adalah bentuk jamak dari ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi kemudian meluas sehingga masuk juga gadis-gadis, bahkan meluas sehingga mencakup juga pria yang hidup membujang, baik jejaka maupun duda. Bahkan Ibnu „Asyur dalam tafsirnya sebagaimana dikutip oleh M.Quraish Shihab, menjelaskan bahwa perintah ini dapat merupakan perintah wajib jika pengabaiannya melahirkan kemudharatan agama dan masyarakat.8 Abdul Aziz bin Abdurrahman dalam bukunya menjelaskan, sesungguhnya Allah maha mengetahui, bahwa manusia seringkali menolak orang yang meminang anak gadisnya, karena orang tersebut miskin. Padahal sesungguhnya mereka itu
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesa, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 335
70
mengerti, bahwa anaknya itu sekufu dengan orang itu, baik agamanya, akhlaknya, maupun keturunannya.9 Memang kafa’ah itu diatur dalam perkawinan Islam; namun karena dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al-Qur‟an maupun dalam hadits, maka kafa’ah menjadi pembicaraan di kalangan ulama, baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan, maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafa’ah itu.10 Masalah kafaah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Seorang laki-laki yang saleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang derajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi.11 Sehingga tidak tepat membedakan manusia disebabkan perbedaan keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Karena yang membedakan manusia hanya ketakwaan. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 13:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku 9
Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1993, h. 59 10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 140 11 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2009), h. 56
71
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dari ulasan tersebut dan dijelaskan bahwa sesungguhnya mempercepat perkawinan dan selalu melapangkan jalannya adalah menjaga kemaslahatan; agar tidak jatuh dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang akibatnya ditanggung oleh keluarga khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Semua fitnah dan kerusakan serta kehancuran moral tidak hanya menimpa kedua belah pihak, tetapi akan menjalar ke seluruh penduduk negeri. b. KHI Kompilasi Hukum Islam sebenarnya hampir sejalan dengan fiqh, karena KHI merupakan godokan dari para ulama dengan menggunakan fiqh klasik maupun fiqh kontemporer, dengan menyesuaikan kepada masyarakat Indonesia. Karena dalam penyusunan KHI, secara subtansial dilakukan dengan mangacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur‟an dan Sunnah Rasul; dan secara hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia, dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan.12
12
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 8
72
Berdasarkan hal itulah, pembahasan mengenai larangan perkawinan tidak berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam fiqh. Sehingga tidak ditemukan larangan yang berkaitan dengan melangkahi kakak perempuan. Hanya saja dalam KHI terdapat 6 pasal yang menjelaskan larangan perkawinan dimulai dari pasal 39 sampai dengan pasal 46, yang kesemuanya itu telah dimuat pada bab II pada skripsi ini. C. Analisis Penulis Dari beberapa penjelasan di atas, ada beberapa hal menurut penulis yang menarik untuk dianalisis, yaitu: 1. Soal larangan melangkahi, apakah kemudian bila pernikahan tersebut dilangsungkan dapat mempengaruhi sah tidaknya suatu pernikahan. 2. Apakah praktek membayar uang pelangkah merupakan sesuatu yang dibenarkan atau tidak. Untuk pembahasan yang pertama, sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang tersebut di atas, baik menggunakan perspektif fiqh maupun KHI, sudah sangat jelas bahwa pernikahan seorang perempuan tidak dapat dipengaruhi oleh kakak perempuannya yang belum menikah. Bahkan menurut penulis seorang kakak tidak dapat menghalang-halangi adik perempuannya untuk menikah. Sebuah bentuk keegoisan menurut penulis bila itu dilakukan oleh seorang perempuan. Bahkan bagi seorang ibu sendiripun tidak boleh menghalang-halangi anak perempuannya untuk menikah, apalagi memang sudah saatnya untuk menikah. Karena banyak hal yang dikhawatirkan, misalnya terjadi perbuatan yang melanggar agama, bahkan bisa dihukumkan haram.
73
Makanya melangkahi tidaklah mempengaruhi terhadap sah tidaknya suatu pernikahan. Karena itu tidak menjadi persyaratan, dalam adat sendiri larangan tersebut tidak sampai menjadi sesuatu yang menyebabkan sah tidaknya pernihakan itu. Namun menurut pandangan penulis, diharuskannya minta izin kepada kakak yang mau dilangkahi, tidak lebih sebagai penghargaan adik kepada kakaknya. Dan hal memang pantas untuk dilakukan, sebagai bentuk penghormatan kepada sang kakak. Walaupun masih ada di sebagian warga yang melarang anak perempuannya menikah, disebabkan masih ada kakaknya. Bicara kebiasaan “adat” yang mengharuskan adik untuk meminta izin kepada kakaknya, penulis mencoba menggunakan salah satu metode ijtihad yang dijadikan ulama sebagai intrumen untuk mengistinbath hukum. Adapun kaidah yang berkaitan dengan itu adalah:
“adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum”13 Alasan ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap adat tersebut adalah berdasar kepada hadits yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu:14
“Apa yang dipandang ummat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka hal tersebut di sisi Allah adalah baik”
13
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, h. 94 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 376
14
74
Menurut penulis dengan menggunakan kaidah tadi, tidak semua dari praktek larangan melangkahi tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan syara‟. Maka harus dipisahkan antara larangannya dengan diharuskannya untuk meminta izin. Bagi penulis meminta izin disini mengandung mashlahat buat hubungan persaudaraan dan keluarga nantinya. Karena pada dasarnya pernikahan itu bukan hanya kepentingan suami istri saja, tapi lebih dari itu. Jangan sampai dengan
adanya perkawinan
menyebabkan retaknya hubungan antara adik dengan kakaknya. Dalam hal “menghalangi menikah” penulis sendiri sepakat bahwa perbuatan tersebut yang sangat tercela. Namun dalam hal meminta izinnya, penulis berpedoman kepada penjelasan Prof. Amir Syarifuddin dalam buku ushul fiqhnya, yang menjelaskan bahwa terjadinya pertemuan antara syara‟ dan adat akan menimbulkan perbenturan. Maka perlu dilakukan proses penyeleksian adat yang dipandang masih diperlukan untuk dilaksanakan.15 Salah satu pedoman yang dijadikan pedoman penyeleksian adalah “Adat yang lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur kemaslahatan”. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat, namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian. Adapun unsur manfaat yang bisa diambil dalam praktek tersebut adalah supaya kakak yang dilangkahi itu tidak merasa kecil hati, atau tidak merasa bahwa dia seorang gadis yang tidak laku. Jadi menurut penulis untuk yang satu ini memang harus dipertahankan, tetapi harus dilakukan penyesuaian jangan sampai bertentangan
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 153
75
dengan syara‟, misalnya sampai tidak membolehkan adiknya untuk menikah, atau dijadikan alat untuk menghalangi adiknya menikah, maka ini tidaklah dibenarkan. Selanjutnya pada pembahasan kedua, tentang uang pelangkah. Menurut keterangan yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan tokoh adat, ulama, kepala desa, semuanya memiliki pemahaman yang sama tentang “uang pelangkah”. Bahwa uang pelangkah disini hanya sebagai pemberian suka rela, yang tidak ada patokan dalam adat berapa nominal yang harus diberikan oleh pihak keluarga lakilaki, kepada kakak yang dilangkahi itu. Namun sedikit tambahan dari Ustadz Malim Sulaiman, beliau menerangkan bila “uang pelangkah” itu dijadikan sebagai persyaratan, maka itu tidak dibenarkan. Menurut penulis sendiri dengan melihat kepada realitas yang ada di desa Sirambas, bahwa apa yang dipraktekkan masyarakat selama ini hanya sebagai pemberian suka rela, yang dalam istilah adatnya “so ulang tarlimpon tondi” (supaya jangan merasa rendah diri), dan lagi ini tidak sampai memberatkan kepada pihak keluarga laki-laki, maka itu sah-sah saja dilakukan. Namun apabila sampai memberatkan, dan dijadikan sebagai alat untuk menghalang-halangi pernikahan, maka sangatlah tidak dibenarkan. Jadi dari praktek perkawinan adat Mandailing menurut penulis, ada yang harus dihilangkan dan ada juga yang harus dipertahankan sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam
kesimpulan
skripsi
“Larangan
melangkahi
kakak
dalam
perkawinan adat Mandailing” ini penulis ingin membagi kepada beberapa point penting yaitu: 1. Status hukum perkawinan melangkahi kakak. Dari penjelasan pada bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa, perkawinan melangkahi kakak tidak ada larangan dalam fiqh maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, bahkan bentuk perkawinan tersebut tidak diatur atau tidak dikenal, karena memang bentuk berkawinan seperti ini adalah praktek perkawinan yang dilakukan masyarakat desa Sirambas yang mendasarkan kepada aturan adat-adat istiadat Mandailing Natal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan tersebut tetap sah menurut fiqh maupun menurut perundang-undangan yang berlaku di Negara ini. 2. Tanggapan Umum Masyarakat, Ulama dan Tokoh Desa Sirambas. Masyarakat desa Sirambas masih tetap mempertahankan adat istiadat mereka. Hal ini dapat dilihat dari praktek perkawinan, yang masih tetap melalui tahapantahapan yang sudah menjadi ketetapan adat istiadat sejak dahulu. Namun seiring perkembangan peradaban, banyak juga yang sudah melakukan penyesuaianpenyesuaian. Melangkahi kakak di desa Sirambas pada saat peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat yang meliputi warga, kepala desa, tokoh adat, dan ulama,
77
menyimpulkan bahwa melangkahi kakak sudah tidak dianggap tabu lagi oleh masyarakat, bahkan sudah dianggap sesuatu yang biasa dilakukan. Ini dapat dibuktikan dengan data yang diambil dari KUA Kecamatan Panyabugan Barat. Namun walupun demikian masih ada beberapa orang yang tetap melarang anak perempuannya menikah dengan alasan tersebut. Sedangkan keharusan meminta izin kepada kakak masih tetap dipertahankan oleh masyarakat, bahkan masih tetap diharuskan. Karena masih ada anggapan bahwa apabila tidak minta izin terlebih dahulu, bisa saja perkawinannya tidak langgeng atau bisa saja kakaknya tidak dapat jodoh. Adapun tanggapan tokoh Adat dan Ulama hampir senada dalam beberapa hal sesuai dengan kapasitasnya dalam memberikan penjelasan. Dalam hal memberi uang pelangkah, adat tidak memberikan patokan berapa yang harus diberikan kepada kakak yang dilangkahi. Karena pada dasarnya pemberian itu sifatnya suka rela, itupun dengan menanyakan kepada kakak apa yang menjadi keinginannya. Dengan asas tidak memberatkan kepada pihak keluarga lakilaki. Demikian pemaparan tokoh adat ketika diwawancarai. 3. Pandangan Fiqh dan KHI Istilah Larangan Pernikahan Melangkahi Kakak tidak dikenal dalam literatur fiqh maupun KHI, yang ada hanya larangan melangsungkan perkawinan bagi calon suami dan calon istri sebagaimana dijelaskan pada bab II pada skripsi ini. Namun anjuran untuk menyegerakan pernikahan bila sudah tiba saatnya sangatlah banyak, bahkan menolak lamaran yang memang sudah sekupu juga tidak dibenarkan.
78
Sebagaimana, diriwayatkan dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
Artinya: Dari Abi Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Kalau datang lelaki yang kalian sukai karena agamanya, untuk melamar putri kalian, maka nikahkanlah dia dengan putri kalian tersebut. Kalau kalian tidak menikahkan mereka, niscaya akan terjadi bencana dan kerusakan besar di muka bumi.” Makanya melarang atau menghalagi seorang perempuan untuk menikah adalah perbuatan yang diharamkan. Karena anjuran untuk menikah sangat jelas dalam al-Qur’an maupun hadits. Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bentukan Ulama Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi ke-Indonesiaan, juga sangat menghargai setiap orang untuk menikmati hak-haknya untuk menikah, tanpa mengenal kakak dengan adik. Tentang uang pelangkah yang dipraktekkan oleh masyarakat desa Sirambas, ada dua kategori, pertama
apabila uang pelangkah tersebut dijadikan sebagai
persyaratan, maka itu tidak dibenarkan. Kedua apabila uang pelangkah itu hanya sekedar pemberian yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada kakaknya, tanpa memberikan patokan, sehingga tidak memberatkan kepada pihak keluarga laki-laki, maka hal ini sesuai dengan kaidah fiqh tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Sehingga dari penjelasan poin-point di atas dapat disimpulkan perkawinan yang melangkahi kakak adalah sah menurut adat maupun menurut Fiqh dan KHI.
79
B. Saran-saran Karena pernikahan bukan hanya urusan individual semata, tetapi berkaitan dengan kedua pihak keluarga dan orang-orang disekitarnya, maka demi tercapainya apa yang menjadi tujuan pernikahan sebagai pembentukan keluarga sakinah mawaddah warahmah, sehingga melahirkan masyarakat yang madani, penulis memaparkan beberapa saran yang berdasarkan penelitian yang penulis lakukan. 1. Hendaklah orang tua tidak menjadikan kakak sebagai penghalang perkawinan, karena pada dasarnya semua wanita punya hak yang sama untuk menikah. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan agama. 2. Seorang adik yang ingin melakukan perkawinan sedangkan dia masih punya kakak, maka hendaklah terlebih dahulu meminta izin. Karena bagimanapun juga saling menghargai antara bersaudara itu lebih indah. 3. Seorang kakak jangan menjadikan uang pelangkah sebagai alat untuk menghalang-halangi adiknya untuk menikah, dengan pertimbangan keluarga laki-laki akan mengurungkan niatnya untuk melamar, disebabkan mahalnya uang pelangkah yang harus dibayarkan. 4. Kepada tokoh Agama di desa Sirambas sebaiknya menambah materi-materi yang berkaitan dengan masalah perkawinan, supaya pemahaman masyarakat terhadap itu tidak kosong, tidak hanya berpatokan kepada adat istiadat yang sudah pernah ada, tetapi bertentangan dengan syari’at.
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN KEPALA DESA SIRAMBAS Bpk. Abu Hanifah Tanggal, 19 Nopember 2010 1. Agama apa yang dianut masyarakat Sirambas, dan seberapa presentasenya ? Jawaban : Masyarakat
Sirambas 100 % menganut agama Islam, sepanjang
sepengetuan belum pernah warga disini yang beragama non muslim. 2. Berapa jumlah penduduk desa Sirambas ini? Jawaban : Jumlah 1297 jiwa dengan jumlah KK 276, dengan luas desa 7,2 Ha. 3. Bagaimana dengan tingkat pendidikan masyarakat, tolong Bapak berikan gambaran? Jawaban : Pendidikan masyarakat sebenarnya masih sangat minim, bila dibandingkan dengan desa lain disekitar panyabungan barat. Dari seluruh warga masyarakat yang sudah menyelesaikan S1 hanya berjumlah 9 orang, sementara yang lulus SMA hanya dibawah 100 orang. Dan yang putus sekolah dari SD, SLTP, SMA sebanyak 60 orang. Memang bila melihat angka-angka tersebut kami sendiri pemerintahan desa merasa sangat perihatin dengan kondisi tersebut. 4. Bagaimana dengan lapangan pekerjaan? Jawaban : Umumnya masyarakat desa sirambas 90 % petani, mulai dari petani sawahan dan petani kebun, bahkan dari yang 90 % tersebut sekitar 80 % warga merupakan buruh upahan. Sedangkan pendapatan perkapita masyarakat hanya Rp. 425.597,5. Apakah bapak pernah mendengar istilah perkawinan melangkahi kakak? Jawaban: Ia Pernah 6. Bagaimana pandangan Bapak tentang perkawinan tersebut? Jawaban : Sebenarnya kalau masalah pandangan saya itu sudah merupakan hal yang biasa, karena masalah perjodohan bukan kita yang mengatur, namun kalau dari segi adatnya ya soalnya lain. Bagi seorang adik yang menikah melangkahi kakaknya diharuskan bagi calon suami untuk membayar adat kepada kakak yang dilangkahi (membayar uang pelangkah), biasanya yang
dibayarkan itu berupa kain, ataupun perhiasan mas dengan nilai yang tidak ditentukan. 7. Menurut pengamatan bapak selama ini, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pernikahan melangkahi kakak? Jawaban :
Sebanarnya kalau pandangan umum dari masyarakat itu hal biasa, Cuma bagi kakak yang dilangkahi merasa malu karena dia merasa tidak laku disebabkan dilangkahi kawin oleh adiknya.
8. Dalam perkawinan adat Mandailing menurut Bapak siapa saja yang tidak boleh dilangkahi? Jawaban : Di mandailing yang tidak boleh dilangkahi hanya kakak perempuan, sedangkan bila seorang adik perempuan melangkahi abang, atau seorang laki-laki melangkahi abangnya, maka hal ini tidak disebut melangkahi. 9. Menurut bapak apa yang menjadi alasan kenapa kakak tidak boleh dilangkahi? Jawaban : Persoalan ini kembali kepada pihak perempuan, masalahnya si kakaknya itu merasa dirinya tidak laku (tidak ada jodoh), menurut saya hanya ini yang menjadi persoalan, kalau dilihat dari sisi masyarakatnya sendiri sebenarnya tidak ada persoalan. 10. Selama ini apakah ada sanksi adat yang diberikan kepada adik yang melangkahi kakaknya dalam perkawinan? Jawaban:
Kalau sanksi sepanjang pengatahuan saya memang tidak pernah ada
Sirambas, 19 Nopember 2010
MUHAMMAD SYARIF Peneliti
ABU HANIFAH
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN Ibu Amliah Nasution Tanggal, 17 Nopember 2010
1. Menurut Ibu apakah masyarakat sini masih memegang teguh adat istiadat, seberapa kuatkah? Jawaban : Secara umum masyarakat masih memegang teguh adat istiadat itu, apalagi dalam hal perkawinan, setahu saya belum ada adat yang ditinggalkan, cuma ada tradisi yang dulu saya masih remaja, apabila ada yang mau menikah maka dihari walimahnya ada khatam al-qur’an, nah itu sekarang sudah tidak pernah lagi saya lihat disini. 2. Bagaimana pandangan ibu tentang perkawinan melangkahi kakak? Jawaban : Kalau tentang adik yang mau menikah melangkahi kakak dalam tradisi di kampung ini si adik harus meminta izin kepada kakaknya, sebagai penghargaan kepada kakaknya, tapi memang ada juga yang tidak minta izin apabila si adik sudah tahu bakalan tidak di beri izin oleh kakak maupun orang tuanya dengan sebab masih ada kakaknya yang belum menikah. Jalan yang ditempuh oleh perempuan tersebut adalah kawin lari, apalagi dia memang sudah punya tekat betul untuk menikah. 3. Bagaimana sikap ibu sendiri melihat orang yang kawin melangkahi kakaknya? Jawaban : Kalau sekarang sih saya melihat sudah tidak terlalu masalah lagi, karena sudah sering orang melakukan kawin melangkahi dengan berbagai bentuk. Tapi kalo sekitar 10 tahun yang lalu memang saya sendiri masih memandah ada sesuatu yang jangkal dalam perkawinan tersebut. Karena perempuan itu kan masih punya kakak, apa dia ga sabar nunggu kakaknya manikah dulu baru dia menikah, bukannya masih ada waktu. 4. Menurut ibu kenapa seorang adik tidak boleh melangkahi kakak? Jawaban : Setahu saya bila seorang perempuan dilangkahi kawin oleh adik perempuannya ada pandangan yang aneh terhadap kakak tersebut. Misalnya ada pandangan bahwa kakaknya itu tidak laku karena mungkin dia punya
cacat. Dan juga biasanya apabila ada perempuan yang dilangkahi, maka jodohnya pun akan sulit datang, tapi itu terkadang ada juga yang cepat, tapi kebanyakan yang saya lihat memang agak sulit untuk dapat jodoh. 5. Apabila terjadi ada yang melangkahi menurut ibu apa alasannya? Jawaban : Kalau yang saya lihat selama ini sich, perempuan/seorang adik itu sudah tidak lagi memandang keberadaan kakaknya, karena menurut dia kalau dia sudah datang jodohnya, kanapa harus menunggu kakaknya, apa dia harus menunggu sampai datang jodoh kakaknya, kan gak mungkin. Bisa aja nanti jadi perawan tua. 6. Apa saja kewajiban yang harus dipenuhi kalaupun terjadi perkawinan tersebut? Jawaban : Bagi adek yang melangkahi dia diberi kewajiban untuk memberi sesuatu kepada kakaknya berupa uang yang diambil dari maharnya. Biasanya ketika ada pembicaraan tentang berapa mahar yang harus diberikan oleh pihak calon suami ada tawar menawar tuwor (mahar), maka disaat itulah ada alasan dari pihak perempuan untuk bertahan pada tawarannya dengan alasan, giot dikakak nai dopentong (kan masih ada yang harus diberikan buat kakaknya).
Sirambas, 17 Nopember 2010
MUHAMMAD SYARIF Peneliti
AMLIAH NASUTION
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN Tokoh Adat Bpk. Muhammad Amin Tanggal, 20 Nopember 2010
1. Menurut bapak apakah masyarakat sini masih memegang teguh adat istiadat, seberapa kuatkah? Jawaban : Adat itu sebenarnya masih kuat dipegangi oleh masyarakat sirambas, dan belum ada yang ditinggalkan. 2. Bagaimana tata cara perkawinan di desa sirambas? Jawaban : Kalau ditanya bagimana tata cara perkawinan di desa ini, saya rasa tidak terlalu berbeda dengan desa-desa lain disekitar mandailing. Mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh biasa; (1) Manangkasi Hata ni Pinomparan, (2) Manyapai Boban Siporsanon, (3) Patibal Sere, (4) Marikah, (5) Mangalehen Ajar dot Poda, (6) Do’a Selamat, (7) Serah Terima. Namun pada saat satu keluarga ingin mengadakan pesta adat ada tiga bentuk permufakatan atau musyawarah, yaitu Pokat kahanggi (Musyawarah Keluarga Kelompok), Pokat Sisolkot (antara Mora, Kanggi dan Anak Boru), Pokat Sakampung (Musyarawah yang melibatkan seluruh warga). 3. Bagaimana menurut adat Mandailing tentang perkawinan melangkahi kakak? Jawaban : Kalau menurut adat bagi orang yang ingin menikah sedangkan dia masih punya kakak perempuan yang belum menikah, maka seharusnya meminta izin dulu kepada kakaknya, hal ini supaya kakaknya So ulang tarlimpon tondi (biar jangan merasa rendah hati). Dalam adat mandailing sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan serius, namun ada aturan yang sudah teradat tadi yang harus dipenuhi. 4. Bagaimana pandangan bapak tentang perkawinan melangkahi kakak? Jawaban : Bagi saya sendiri persoalan melangkahi kakak itu kan sebenarnya kita kembalikan kepada masalah jodoh, karena bagiamanapun juga kita tidak dapat menentukan kapan datangnya jodoh manusia ini, yang lebih tahu kan yang Maha Kuasa. Kan tidak mungkin kita menghalang-halangi orang untuk
menikah kalau memang jodohnya sudah datang. Walaupun dalam prakteknya ada juga yang menghalang-halangi, itupun bukan karena adat, hanya kembali kepada orang tuanya saja yang tidak ingin anak ada yang dilangkahi. 5. Bagaimana pandangan Bapak kalau ada orang yang menghalangi anaknya melangkahi? Jawaban : Seperti yang saya sebutkan tadi bahwa persoalan jodoh kan bukan kehendak kita, jadi tidaklah seharusnya menghalang-halangi perkawinan, apalagi hanya persoalan karena ada kakaknya yang belum menikah. 6. Menurut bapak kenapa adik tidak boleh melangkahi kakaknya? Jawaban : Kalo menurut pandangan saya itu karena masih ada sifat saling menghargai antara kakak dan adik. Jadi bila adiknya yang dulu dapat jodoh sudah sepantasnya meminta izin untuk, meminta maaf untuk mengambil keberkatan dan pernikahannya berjalan mulus. 7. Jika ada yang melangkahi menurut bapak apa yang menjadi alasannya? Jawaban : Itu kembali kepada masalah perjodohan tadi sebernarnya, menurut saya tidak lebih dari itu. 8. Apa saja kewajiban yang harus dipenuhi kalaupun terjadi perkawinan tersebut? Jawaban : Menurut saya hanya memberikan uang pelangkah saja. 9. Apakah dalam peraturan adat ada kewajiban memberi uang pelangkah? Jawaban : Kalau itu tidak sampai wajib, tapi orang tidak pernah meninggalkannya. 10. Sepanjang pengamatan bapak apakah yang merasa keberatan dengan uang pelangkah tersebut? Jawaban : menurut saya tidak, karna tidak sampai memberatkan. Sirambas, 20 Nopember 2010
MUHAMMAD SYARIF Peneliti
MUHAMMAD AMIN
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN Tokoh Agama/Ulama (Malim Sulaiman) Tanggal, 21 Nopember 2010
1. Selama ustats menyampaikan pengajian di kampung ini materi apa saja yang disampaikan? Jawaban : Setiap malam jum’at akan digilir materi pengajian berkaitan dengan Aqidah (ushuluddin), Fikih, dan Tasawuf. 2. Apakah materi tentang pernikahan pernah disampaikan dalam pengajian? Jawaban : Materi tentang itu jarang di singgung, karena selain walaupun ada fikihnya tepai biasanya sangat tergantung kepada momennya, kalau mendekati bulan puasa, maka materinya berkaitan dengan ibadah puasa, kalau di bulan rajab maka materinya pun mengupas tentang Isra’ Mi’raj. Dan begitulah seterusnya, makanya yang khusus membahas materi penikahan tidak ada. 3. Apakah ustats tahu tentang adat istiadat mandailing dalam hal pernikahan, bisa dijelaskan? Jawaban : Kalau ditanya apakah saya tentang itu, ya ga’ terlalu tahu. Mungkin tokoh adatlah yang lebih faham. 4. Menurut ustats seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang adat istiadat? Jawaban : Kalau yang saya lihat dalam beberapa hal orang masih memegang teguh adat itu. Tapi dilihat dari segi adat-adat yang berkaitan dengan etika, moral yang diatur dalam adat kebiasaan yang biasa disebut dengan patik sebenarnya sudah mulai hilang. Menurut saya hal ini disebabkan pradaban timur kita sudah digilas oleh peradaban barat, yang tidak dibendung dengan akidah yang kuat. Adat istiadat yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam sudah mulai hilang. 5. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang adat istiadat? Jawaban : Kadang-kadang seirama antara adat istiadat dengan hukum Islam, dan terkadang menyalahi.
6. Apakah adat istiadat tersebut tetap dilaksanakan sekalipun bertentangan dengan hukum Islam? Jawaban : Ya kalau yang bertentangan dengan ajaran Islam terkadang dibatasi orang, dan terkadang tidak bisa dibendung dan tetap dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena memang orang sudah memegang betul adat itu dan sulit untuk menghilangkannya. 7. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang adik yang melangkahi kakaknya dalam perkawinan? Jawaban : Dalam fikih tidak ada persoalan, karena dalam Islam dianjurkan menyegerakan kawin apabila sudah ada waktunya. Tidak ada halangan yang berkaitan dengan belum menikah kakaknya. 8. Apakah masyarakat sini masih menggunakan uang pelangkah? Jawaban : Masih tetap digunakan. 9. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang uang pelangkah? Jawaban : Dalam pandangan fikih hal tersebut tidak boleh, 10. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang orang tua yang mewajibkan uang pelangkah? Jawaban : Sebenarnya kalau menurut pemahaman saya soal uang pelangkah itu, tidak boleh dipaksakan. Apalagi sampai menggalkan pernikahan gara-gara calon suaminya tidak mampu untuk memberikan uang pelangkah tersebut. Namun kalau hanya sekedar pemberian kepada kakaknya, untuk menyenangkan hatinya tidak ada persoalan, sepanjang tidak memberatkan. Sirambas, 20 Nopember 2010
MUHAMMAD SYARIF Peneliti
MALIM SULAIMAN
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahnya, Depag RI. Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995 Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim, buku I, Jakarta: Pustaka Azzam, tt Al-Istanbuli, Mahmud Mahdi, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arb’ah, Juz IV, Qahirah: Dar alFikr, tt Al-Musnad, Abdul Aziz bin Abdurrahman, Perkawinan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1993, Al-Qurthuby, Ibn Rusyd, Bidayatu Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, jilid 2, Semarang: Hidayah, tt Al-Zuhaily, Wahbah , Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,Jilid 9, Damaskus: Dar alFikri, 2007 Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Diapari, L.S., Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, Jakarta: tt, 1987 Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995 Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003 Ghofar, M. Abdul, Fikih Wanita, Edisi Terjemahan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998 Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, Ambon: STAIN Ambon Press, 2007 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990 __________________, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003 Hajjaj, Abi Husein Muslim Ibnu Shaheh Muslim, jilid 2, Kairo: Dar al-Ihya, 1918 Harahap, Basyral Hamidi, Madina Yang Madani, Jakarta: PT. Metro Pos, 2004 Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003 Heffner, Linda J. dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 09 Nopember 2010 dari Indonesia-gratis-lengkap.php.htm Kuzari, Ahmad, NIkah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Lubis, Musor dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel diakses pada 25 Oktober 2010 dari http://www.panyabungan.page.tl/Adat-Mandailing.htm Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Marzuki, Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2008
Muhalli, Ahmad Mudjab, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Jakarta: Prenada Media, 2002 Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1994 Mujieb, M. Abdul, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Musbikin, Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Nasution, Pandapotan, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, Jakarta: Widya Press, 1994 Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah jilid 2, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Kesan dan Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Syakur, Rahman, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006 Soman, Abd, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2010 Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2007 Thalib, Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Depok: UI Press, 1986 Tihami, H.M.A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009 Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Qahirah: Dar al-Fikr, 2005