LAPORAN TIM INVESTIGASI INDEPENDEN KASUS SAPE LAMBU KABUPATEN BIMA-NTB
ANGGOTA TIM: 1.
MUJAHID A.LATIEF, S.H.,M.H.
2.
ISKANDAR, S.E.
3.
FIRDAUS DJUWAID, S.H.,M.H.
4.
SIDRATAHTA MUKHTAR, M.Si
5.
RAIHAN ANWAR, M.Si
6.
Dr. HERMAWAN SAPUTRA
7.
HUSNI MALIK, S.H.,M.M.
8.
THAMRIN, S.H.
9.
SUHARDIN, S.H.
10.
SAMUDRA PUTRA, S.E.
11.
ARIFUDDIN HAMID
Alamat: Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat Tlp/Fax (021) 3100779
DAFTAR ISI
1. LATAR BELAKANG
1
2. MAKSUD DAN TUJUAN
2
3. RUANG LINGKUP INVESTIGASI
2
4. METODE INVESTIGASI
2
5. TIM INVESTIGASI
2
6. PROSES INVESTIGASI
3
7. TERKAIT IZIN USAHA PERTAMBANGAN
3
8. PENCABUTAN SK BUPATI BIMA NO. 188.45/357/004/2010
11
9. KLAUSULA-KLAUSULA DALAM SK 188
13
10. KETIADAAN PARTISIPASI MASYARAKAT
14
11. PENDUKUNG DAN PENOLAK TAMBANG
15
12. PERISTIWA DAN DAMPAK KEKERASAN 24 DESEMBER 2011 DI PELABUHAN SAPE BIMA-NTB 13. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
17 22
LAPORAN TIM INVESTIGASI INDEPENDEN KASUS SAPE LAMBU KABUPATEN BIMA - NTB I. Latar Belakang Investigasi ini dilakukan berawal dari peristiwa 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape Bima NTB. Peristiwa tersebut menimbulkan beragam reaksi masyarakat yang pada pokoknya menyesalkan dan mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap masa demonstran. Masyarakat Bima di Jakarta juga melakukan beragam reaksi dalam bentuk aksi demonstrasi, diskusi, konferensi pers, dan lainnya untuk mengecam penembakan tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah seminar dan konferensi pers yang diinisiasi Persatuan Mahasiswa NTB di Jakarta, sebagai pembicara dan peserta umumnya adalah masyarakat Bima yang tinggal di Jakarta. Selain mengutuk keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan penembakan terhadap massa demonstran, forum tersebut juga merekomendasikan pembentukan
tim investigasi independen yang keanggotaannya
berasal dari masyarakat Bima Jakarta. Tim ini selanjutnya dinamakan Tim Investigasi Independen Kasus Sape Lambu Bima - NTB. Tim memfokuskan investigasinya pada dua hal, yakni; pertama terkait
Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357/004/2010 Tentang
Persetujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Sumber Mineral Nusantara (selanjutnya disebut SK 188) dan kedua, peristiwa kekerasan tanggal 24 Desember di Pelabuhan Sape Bima NTB. Dalam melakukan investigasi, tim memfokuskan pada keabsahan prosedural dan teknis pembuatan SK 188 dan penembakan di pelabuhan Sape dan sekitarnya. Terkait SK 188,
investigasi
dilakukan
dengan
mengkaji
Peraturan
Perundang-undangan
yang
berhubungan dengan pertanyaan pokok apakah SK tersebut telah melewati serangkaian prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan?. Apakah Proses pembuatan SK tersebut telah melibatkan masyarakat? Apakah PT. Sumber Mineral Nusantara telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku? Selanjutnya terkait penembakan oleh Kepolisian terhadap demonstran pada tanggal 24 Desember 2011, Tim memfokuskan dugaan pelanggaran prosedur tetap, peraturan disiplin dan peraturan terakit lainnya. Laporan ini sebagai pertanggungjawaban tim kepada publik, baik terkait persoalan hulu (proses lahirnya SK 188) dan persoalan hilir (penembakan tanggal 24 desember 2011).
1
II. Maksud dan Tujuan
Investigasi dimaksudkan sebagai suatu penelitian guna pengungkapan data dan fakta tentang Pertambangan di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu Kabupaten Bima. Tim investigasi ini bertujuan untuk: (a) mengetahui proses lahirnya SK 188; (b) mengetahui tuntutan masyarakat dan alasan-alasannya; (c) mengetahui peristiwa kekerasan terhadap demonstran pada tanggal 24 desember 2011.
III. Ruang Lingkup Investigasi
Investigasi meliputi dua hal, yakni: (1). Terkait proses lahirnya SK 188; dan (2). Terkait peristiwa kekerasan pada tanggal 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape Bima NTB.
IV. Metode Investigasi
Sebagai langkah awal, tim terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan antara lain peraturan
tentang pertambangan, kehutanan dan
Pemerintahan Daerah. Untuk mendapatkan informasi langsung dari narasumber, tim melakukan wawancara mendalam (indepth interview) masyarakat (baik yang menolak maupun yang
terhadap berbagai pihak, yakni a)
mendukung tambang), b) pelaku aksi
demonstrasi, c) Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, d) Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, e) Front Rakyat Anti Tambang (FRAT). Laporan ini tidak akan menyajikan secara detail perincian kegiatan, namun dapat dikatakan bahwa seluruh proses investigasi menggunakan pendekatan ilmiah.
V. Tim Investigasi Penasehat: 1. Drs. Harul Al Rasyid, M.Si. 2. dr HM. Sanusi 3. Drs. H.M. Hatta Taliwang. 4. Dr. Lukman Malanuang
2
Tim investigasi terdiri dari: Ketua
: Mujahid A. Latief, S.H., M.H.
Sekretaris
: Iskandar, S.E.
Anggota
:
1. Sidratahta Mukhtar, SS., M.Si 2. Raihan Anwar, SE., M.Si 3. DR. Hermawan Saputra 4. Firdaus Djuwaid, S.H., M.H. 5. Husni Malik, S.H., M.M. 6. Thamrin, S.H. 7. Suhardin S.H. 8. Arifuddin Hamid 9. Samudera Putra, S.E.
VI. Proses Investigasi Dalam proses investigasi, tim melakukan pengumpulan data selama sembilan hari, terhitung sejak tanggal 7 Januari 2012 sampai dengan 16 Januari 2012. Selama di Bima, tim melakukan wawancara dan pengamatan mendalam terhadap responden, meliputi; a) masyarakat (menolak dan mendukung), b) pelaku aksi demonstrasi, c) Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, d) Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, dan e) Front Rakyat Anti Tambang.
VII. Terkait Izin Usaha Pertambangan
a. Kilas Balik Lahirnya SK 188, dasar konstitusi dan filosofis hak menguasai negara terhadap sumber daya mineral
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur hak penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 33 ayat (3) 3
menentukan “ Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Makna yang terkandung dalam Pasal 33 mengandung dua aspek utama yaitu : Pertama, Hak Penguasaan Negara atas Bumi Air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Menurut Boedi Harsono1 makna hak penguasaan negara yang terkandung dalam Pasal 33 mengandung tiga makna, yaitu; a) mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan
dan
penggunaan
objek
kepemilikan; b) menentukan dan mengatur hubungan antara orang dengan objek kepemilikan; dan c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan hukum atas objek kepemilikan. Abrar Saleng dalam Bukunya yang berjudul Hukum Pertambangan mengatakan bahwa Hak Penguasaan Negara atas Bumi dan Kekayaaan yang terkandung didalamnya harus dimaknai dalam konteks pemahaman hubungan hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domain) yang bersifat publikrecht dalam artian bahwa negara sebagai pemilik sumber daya alam yang dimiliki masyarakat keseluruhan bukan dalam konteks hak milik eigenaar yang bersifat privaterechlijk.2 Hal ini berarti bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur, merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional.
Negara dalam konteks hak penguasaan negara kemudian diwujudkan oleh penguasaan pemerintah dalam mengatur pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional. Negaralah yang kemudian memiliki kewenangan untuk memberikan ijin kepada perusahaan swasta untuk mengelola sumber daya mineral yang dimilikinya. Ijin pengelolaan negara kemudian dilimpahkan kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi sampai pemerintah kabupaten dan Kota.
Kedua, Sumber daya alam tersebut dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun negara diberikan hak untuk menguasai sumber daya alam, namun hak 1 2
Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria (cet.3) Djambatan, Djakarta, 1973, hlm. 28 Abrar saleng, Hukum Pertambangan, UII Press,Jogjakarta, hlm. 33
4
penguasaan negara itu dihajatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak penguasaan negara merupakan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Menurut Bagir manan Hak penguaasaan Negara yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan instrument, sedangkan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari penguasaan negara.3
Dalam perspektif hukum makna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan jaminan konstitusional atas hak masyarakat untuk menikmati dan mendapatkan manfaat atas sumber daya alam yang mereka miliki, sehingga masyarakat dapat hidup layak dan makmur. Dalam Konteks Hak Penguasaan Negara atas sumber daya pertambangan makna penguasaan negara diartikan sebagai keterlibatan rakyat secara hukum dalam pengusahaan dan menikmati pemanfaatan segala potensi pertambangan yang ada di wilayahnya.4
Di sisi lain pemaknaan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus juga ditafsirkan bahwa masyarakat sebagai pemilik sumber daya alam dapat menolak hak menguasai negara untuk mengelola sumber daya alam di wilayahnya jika menurut masyarakat bahwa pengelolaan oleh negara melalui perusahaan swasta yang mendapatkan ijin dari pemerintah, pengelolaan tersebut akan merusak lingkungan dan ekosistemnya, apalagi jika berakibat pada hilangnya eksistensi dan keberlangsungan hidup masyarakat di areal atau sekitar lokasi tambang tersebut. Masyarakat berhak menolak hak menguasai negara dengan alasan-alasan lingkungan hidup, ekologi dan sosial lainnya. Dalam tafsiran yang modern Pasal 33 ayat (3) tidak saja dimaknai bahwa pengelolaan sumber daya alam itu merupakan hak negara yang harus dilaksanakan dan diterima secara taken for granted oleh masyarakat, namun harus dimaknai bahwa rakyat sebagai pemilik sah sumber daya alam dapat menolak pengelolaan sumber daya alam jika pengelolaan itu mendatangkan atau berakibat buruk bagi kehidupan rakyat.
3
Bagir Manan, Bagir Manan, Beberapa catatan atas RUU tentang Minyak dan gas Bumi, FH-UNPAD, Bandung, 1999. Hlm,.2 4
Abrar saleng, op.cit
5
b. Perjalanan Pengaturan Pertambangan Di Indonesia
Era Penjajahan Belanda dan Jepang Secara historis pengaturan pertambangan di Indonesia telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Pada era kolonial (Belanda), masalah pertambangan diatur dalam sebuah Peraturan Pertambangan (mijnreglement). Peraturan ini memberikan hak konsesi penambangan kepada warga negara Belanda. Pada masa Belanda pertambangan dilakukan oleh dua entitas yaitu negara ataupun swasta. Berdasarkan pasal 5a Indishe Mijnwet tahun 1910 memberikan kewenangan kepada pemerintah Belanda untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi pertambanngan sepanjang tidak bertentangan dengan konsesi yang diberikan kepada perusahaan swasta yang telah mendapatkan konsesi. Pada masa penjajahan Jepang dapat dikatakan bahwa pertambangan dikuasai oleh pemerintah Jepang.
Era Kemerdekaan (Periode 1950-1966) Pengaturan pertambangan pada periode 1950-1966 ditandai dengan DPRS yang dipelopori Teuku Moh.Hassan dkk yang mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pertambangan terkait pembentukan komisi negara urusan pertambangan dan menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya selama menunggu hasil pekerjaan panitia urusan pertambangan negara. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No.10 tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-hak pertambangan. Berdasarkan UU ini semua hak pertambangan yang terbit sebelum tahun 1949 semuanya dibatalkan.
Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan kembali Perpu yang kemudian menjadi UU Pertambangan tahun 1960. Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan UU No.44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Pertambangan tersebut
memberikan
ijin
kepada
pemerintah
untuk
menarik
modal
asing
untuk
mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan pola production sharing contract (PSC) dimana peminjaman modal dari investor asing oleh pemerintah yang akan dibayar dengan hasil produksi.
6
Periode 1967-2009 Pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU No.11 tahun 1967 tentang ketentuanketentuan pokok pertambangan (UUPP) 1967. UU ini mengatur tentang hak penguasaan negara atas sumber daya alam berdasarkan pasal 33, penggolongan bahan-bahan galian,perusahaan pertambangan dapat dilakukan oleh negara atau daerah sedangkan perusahaan asing bertindak sebagai kontraktor dari negara, konsesi ditiadakan digantikan dengan kuasa pertambangan (KP) karena konsesi memberikan hak dan kewenangan yang kuat kepada pemegang konsesi karena dapat menjadi hak kebendaan.
Periode 2009- sekarang Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba pengaturan tentang pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia diatur secara komprehensif. Berlakunya UU ini mencabut keberlakuan UU No.11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Hal terbaru dari UU ini adalah adanya pembagian kewenangan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada tiga jenjang pemerintahan yaitu pemerintah pusat, Pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten/Kota. Pembagian
kewenangan tersebut didasarkan pada wilayah pertambangan yang menjadi kewenangan masaing-masing otoritas pemerintahan. Disamping itu, UU ini membuka kran liberalisasi sektor pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. Bahkan UU ini memberikan kepemilikan saham mayoritas kepada Perusahaan asing.
c. Surat Keputusan Bupati Bima No.188.45/357/004/2010 Tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan Kepada PTSumber Mineral Nusantara (SMN)
Dasar Kewenangan Bupati 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam (termasuk tambang) kewenangan daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada pasal 17 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 yaitu kewenangan untuk :
1) kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; 7
2) bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan 3) penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasca berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kewenangan untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota. Wujud dari kewenangan kepada Bupati itu diformalkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati (beschiking) yang berkaitan dengan Ijin Usaha Pertambangan.
Pasal 8 UU MInerba menyatakan bahwa, kewenangan pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a) pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; c) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d) penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; e) pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota; f) penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota; g) pengembangan
dan
pemberdayan
masyarakat
setempat
dalam
usaha
pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; pengembangan
8
dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; h) penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; i) penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; j) pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan k) peningkatan
kemampuan
aparatur
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Dalam kaitan SK NO.188.45/357/004/2010 yang didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh Pasal 8 UU Minerba. Namun Pemerintah Kabupaten Bima tidak mampu menjalankan kewenangannya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat dengan cara damai dan persuasif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 8 huruf a dan b. Seharusnya pemerintah
kabupaten Bima menggunakan kewenangan
itu untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi di masayarakat Sape Lambu sebagai bentuk penolakan terhadap kegiatan ekslplorasi yang dilakukan oleh PT SMN. Dalam kasus ini, Bupati lebih mengedepankan kewenangan untuk memberikan ijin tanpa memperhatikan penolakan masyarakat. Sehingga SK NO.188.45/357/004/2010 memiliki dasar yang kuat untuk dicabut karena Bupati lalai dalam menjalankan kewenanganya yang diberikan Undang-undang. UU No. 22 tahun 1999 sebagaimana telah diamandemen dengan UU No. 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mengelola sumber daya alam. UU No. 4 tahun 2009 menganut rezim izin dan memberikan kewenangan kepada bupati/walikota, gubernur dan Menteri, tergantung dari wilayahnya. PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 112 mengamanatkan bahwa Kuasa Pertambangan harus disesuaikan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) selambatnya tanggal 1 Mei 2010. Bupati Bima telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang Persetujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) tanggal 28 April 2010, dari segi waktu dikeluarkan telah memenuhi syarat sesuai PP No. 32/2010. SK ini memberikan izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT 9
SMN untuk melakukan eksplorasi di Kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu dengan total luas 24.980 Ha. IUP sejatinya baru bisa dilaksanakan eksplorasi kalau sudah dinyatakan clean and clear (CNC), indikatornya adalah bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak bermasalah secara administrasi dan tidak ada tumpang tindih. Suatu IUP dinyatakan non CNC jika memenuhi hal-hal sebagai berikut (1) IUP terbit setelah 30 April 2010; (2) tumpang tindih sama komoditi; (3) tumpang tindih beda komoditi; (4) tumpang tindih lintas kewenangan (5) dokumen pendukung tidak lengkap; (6) koordinat tidak sesuai dengan SK; (7) KP yang belum menyesuaikan menjadi IUP (T. Riefky Harsa:2011). Bagaimana halnya dengan SK 188? Saat terjadinya peristiwa kekerasan pada 24 Desember 2012 di Pelabuhan Sape Bima NTB, status perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) merujuk Dirjen Minerba Kementerian Sumberdaya Mineral adalah non clear and clean artinya masih terdapat tumpang tindih wilayah eksplorasi perusahaan tersebut dengan komoditi yang sama dan atau komoditi lainya, koordinat tidak sesuai dengan SK, administrasi tidak lengkap dan belum mempunyai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Selain itu, pihak Pemerintah Daerah dan Perusahaan tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat sebagaimana dipersyaratkan dalam regulasi AMDAL tentang aktifitas perusahaan pada masa eksplorasi mencakup berbagai rencana perusahaan sehingga muncul kekuatiran dari masyarakat tentang dampak buruk pertambangan dikemudian hari baik dari sisi lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat berkeyakinan bahwa ketika perusahaan pertambangan mulai beroperasi mereka akan kehilangan mata pencaharian tradisionalnya yang telah mereka usahakan puluhan tahun termasuk akan dipindahlan secara paksa oleh pihak perusahaan.
Bupati Kabupaten Bima lambat merespon tuntutan masyarakat untuk mencabut SK 188.45/357/004/2010 meskipun telah jatuh korban nyawa dan harta, patut diduga didalam tubuh Pemkab Bima telah tumbuh dengan subur perilaku pejabat pemburu rente (rent seeker behavior) baik di eksekutif maupun legislatif sehingga pemerintah yang semula diharapkan sebagai institusi yang dapat memberikan keuntungan (benevolent institution) berubah menjadi institusi “pemangsa” (predatory institution). Pemkab Kabupaten Bima tidak mempunyai cukup kapasitas dan kapabilitas untuk mengelola sumberdaya mineral karena belum mempunyai inspektur tambang, Komisi Penilai AMDAL Kabupaten yang kredibel, 10
Perda Penataan Ruang yang baik serta sumberdaya manusia yang mumpuni. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Stiglitzh “jika pemerintah belum mempunyai manageman yang baik untuk mengelola pertambangan” maka perut bumi adalah tempat yang paling aman untuk menyimpan sumberdaya mineral.
3. UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Pelanggaran terhadap Pasal ini menurut Pasal 78 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Dalam Ijin Usaha Pertambangan yang diberikan Bupati Bima seluas 24.890 Ha meliputi pula kawasan Hutan Doromasa, kawasan Hutan Maria dan Kawasan Hutan Pamali. Ketiga kawasan Hutan tersebut menurut Dinas Pertambangan NTB masuk dalam Kawasa hutan Lindung.
Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT SMN sudah pada tahap eksplorasi. Sesuai UU Pasal 50 ayat (3) di atas PT SMN wajib memiliki ijin dari menteri Kehutanan berupa Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Namun hingga saat ini PT SMN belum memiliki ijin dari Menteri Kehutanan. Dengan demikian jika mengikuti konstruksi ketentuan pidana yang terdapat dalam pasal 78 ayat (2) Undang-undang Kehutanan di atas, maka PT SMN dapat diminta pertanggungjawaban pidana baik kepada pengurus perusahaan maupun kepada PT SMN sebagai Badan Hukum.
VIII. Pencabutan SK Bupati Bima NO.188.45/357/004/2010 Undang-undang Minerba menentukan bahwa sistem penghentian kegiatan usaha tambang dalam dua macam yaitu : pencabutan ijin sementara dan pencabutan ijin permanen.
1. Pencabutan usaha sementara jika memenuhi persyaratan :
11
a) keadaan kahar, yaitu Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia. b) keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain, blockade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan. c) apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak
dapat
menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
2. Pencabutan IUP Permanen
SK 188 adalah izin penyesuaian yang dikeluarkan Bupati Bima kepada pemegang izin usaha pertambangan atas izin eksplorasi pada tahun 2008. SK 188 diberikan kepada PT. SMN guna melakukan eksplorasi di wilayah pertambangan yang meliputi areal sebesar 24.980 Ha, yang tersebar di wilayah kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu. Disebabkan adanya perubahan undang-undang dengan disyahkannya UU NO. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Kuasa Pertambangan yang diberikan kepada PT SMN selanjutnya dilakukan penyesuaian izin.
Dalam UU No. 4/ 2009, izin usaha pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap, yakni IUP eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan, dan IUP
operasi produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Pasal 119 UU Minerba memberikan kewenangan Kepada Bupati untuk mencabut SK Pemberian Ijin Usaha Pertambangan yang telah dikeluarkannya dengan alasan sebagai berikut secara permanen, jika : 12
1) pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; 2) pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; 3) pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. Menurut pernyataan Bupati Bima yang telah diberitakan di berbagai media massa bahwa ia tidak berani mencabut SK No.188.45/357/004/2010 karena ada kekhawatiran Bupati melanggar hukum jika Ijin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh Bupati dicabut. Padahal jika merujuk ketentuan Pasal 119 UU Minerba Bupati memiliki dasar hukum yang kuat untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010 tersebut. Pertama, PT.SMN tidak memenuhi kewajiban dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disampaikan di atas bahwa sampai saat ini PT.SMN belum mendapatkan ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagaimana yang diwajibkan UU Kehutanan. Dugaan pelanggaran hukum pidana sebagaimana yang diancam dalam Pasal 78 UU Kehutanan cukup dijadikan dasar bagi Bupati Bima untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010. Alasan lain yang cukup kuat adalah penolakan masyarakat yang begitu besar dan jika dipaksakan akan menimbulkan konflik sosial dan politik, baik vertikal maupun horizontal yang kian rumit dan berkepanjangan.
Dari perspektif hukum tuntutan masyarakat Sape, Lambu, dan Langgudu yang menuntut pencabutan SK NO.188.45/357/004/2010 memiliki landasan hukum yang kuat. Pasal 119 UU Minerba membuka peluang hukum bagi Bupati untuk mencabut SK NO.188.45/357/004/2010 dengan dasar ada dugaan tindak pidana yang dilakukan PT.SMN karena melakukan eksplorasi hutan lindung tanpa mendapatkan ijin Menteri kehutanan.
IX) Klausula-klausula dalam SK 188 Keputusan Bupati Bima Nomor: 188.45/357/004/2010 tanggal 28 April 2010 tentang penyesuaian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada PT. Sumber Mineral Nusantara bukan pemberian ijin baru melainkan penyesuaian terhadap ijin yang lama yaitu Kuasa Pertambangan Nomor: 621 Tahun 2008, tanggal 22 Mei 2008 sebagaimana yang 13
diamanatkan peraturan pemerintah No. 23 Tahun 2010. Ijin Usaha Pertambangan (IUP) adalah ijin untuk melakukan eksplorasi dengan jenis kegiatan: Penyelidikan Umum, Kegiatan Ekplorasi yang meliputi: Pengambilan sampel, Pengambilan contoh air dan membuat pemetaan geologi. Dalam SK 188, terdapat beberapa klausul yang perlu ditilik secara cermat, yakni: 1. SK 188 berisi ketentuan persetujuan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT. SMN. 2. Dalam judul SK, tidak tercantum SK sebelumnya yang kemudian mendapat penyesuaian izin. 3. Dalam poin mengingat, tidak terdapat ketentuan Perda Kabupaten Bima tentang pertambangan, dan atau Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). 4. Komoditas pertambangan berupa emas dan mineral pengikut, dengan luas areal eksplorasi sebesar 24. 980 Ha meliputi kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu. 5. PT. SMN selaku pemegang IUP eksplorasi mempunyai hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, dan studi kelayakan dalam WIUP untuk jangka waktu lima tahun, terhitung mulai tanggal ditetapkannya keputusan sampai tanggal 1 Mei 2015. 6. Jangka waktu IUP eksplorasi meliputi tahap eksplorasi selama empat tahun, dan studi kelayakan selama satu tahun.
X. Ketiadaan Partisipasi Masyarakat Kebijakan yang baik yang memenuhi prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government) adalah kebijakan yang memenuhi prinsip transparansi, keadilan, partisipatif, dan akuntabel. SKK 188.45/357/004/2010 dibuat tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, masyarakat tidak mengetahui proses kelahiran SK tersebut, setelah SK lahir baru disosialisasikan dan itupun hanya untuk kalangan terbatas., Peserta sosialisasi yang diundang adalah aparat desa dan tokoh masyarakat, tokoh masyarakat yang diundang adalah tokoh pilihan aparat desa, dalam sosialisasi tersebut dihadiri oleh semua kepala desa dan hanya dua desa yang mengatakan penolakan terhadap IUP sementara 10 lainnya menrima kebijakan pemerintah berupa SK 188. Berdasarkan keterangan Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, mereka baru mengetahui adanya SK 188 tiga hari sebelum kejadian pembakaran kantor camat Lambu 10 Pebruari
14
2011.5 Sedangkan SK 188 dikeluarkan tanggal 28 April 2010. DPRD baru mengetahui tiga hari sebelum terjadinya peristiwa pembakaran kantor Camat Lambu 10 Pebruari 2011, artinya DPRD selaku lembaga yang bertugas menyuarakan aspirasi masyarakat baru mengetahui adanya SK yang kontroversial tersebut hampir satu tahun sejak dikeluarkan. Masyarakat juga mengalami hal yang hampir serupa, masyarakat sama sekali tidak diajak membicarakan tentang rencana pemberian izin usaha pertambangan kepada PT SMN. Namun, sejak dilakukan sosialisasi yang dinilai masyarakat tidak representatif tersebut, Masyarakat telah melakukan berbagai upaya pendekatan kepada Pemerintah daerah agar mencabut SK 188 tetapi tidak membuahkan hasil, hingga terjadi aksi protes warga yang berakhir dengan pembakaran Kantor Camat Lambu 10 Pebruari 2011. Selain masalah ketiadaan partisipasi dan sosialisasi yang tidak memadai, izin usaha yang diberikan juga cacat secara administratif. Pemerintah Kabupaten Bima belum memiliki kapasitas memberikan izin usaha pertambangan disebabkan beberapa hal, yakni; ( a) belum memiliki inspektur tambang; (b) belum memeliki tim penilai AMDAL yang terstandardisasi dan kompeten; (c) belum memiliki SDM (di lingkungan dinas pertambangan dan energi) yang kredibel dalam hal tambang.
XI. Pendukung dan Penolak Tambang
Kehadiran PT. SMN yang mendapat IUP dari Bupati Bima di wilayah Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat, reaksi ini diimplementasikan dalam pelbagai bentuk, pendukung tambang walau jumlahnya sedikit memandang perlu mendukung kebijakan Pemerintah, sementara disisi lain tegas menolak. Berikut adalah sekilas alasan dibalik sikap masing-masing pihak: a. Alasan Mendukung Tambang6 Meskipun tidak dilakukan survey atau jajak pendapat terhadap seluruh masyarakat, Sape, Lambu dan Langgudu namun dengan menggunakan tolok ukur aksi massa demonstrasi dan menanyakan langsung secara acak kepada masyarakat dapat disimpulkan bahwa
Jumlah masyarakat pendukung tambang tidak banyak bahkan dapat dikatakan 5 6
Wawancara dengan Pimpinan DPRD Kabupaten Bima, 10 Januari 2011 Wawancara dilakukan dengan masyarakat pendukung tambang di Bima, 16 Januari 2011.
15
sangat sedikit. Pendukung tambang yang jumlahnya sangat sedikit mengatakan pada awalnya mereka tidak paham proses tambang, mereka hanya mengetahui adanya SK 188.45/357/004/2010. Dukungan mereka hanya sebatas pada SK 188 yang memberikan izin eksplorasi dan tidak untuk tahap selanjutnya yaitu eksploitasi. Penerimaan atau dukungan untuk melaksanakan penelitian dan penyelidikan umum,
mereka berpendapat kalau ada
kelanjutan akan dibahas lagi. Sebagian dari kelompok ini adalah adalah jasa konsultan Humas yang tidak terikat perusahaan, kapasitasnya memediasi apa yang dinginkan oleh masyarakat dan apa yang diinginkan oleh perusahaan. Bagi mereka pendukung tambang melihat permasalahan Lambu bukan hanya persoalan tambang tapi juga persoalan politik. Tokoh-tokoh yang saat ini tampak kelihatannya menolak tambang pada dasarnya bukan sepenuhnya menolak tambang akan tetapi mereka punya agenda lain, misalnya ada yang menawarkan perusahaan tambang yang lebih bonafit.ada juga yang mengusulkan tambang koperasi, ada juga dugaan penolak tambang karena kalah tender. Dasar mereka mendukung kebijakan Pemerintah khususnya SK Bupati Bima karena hidup di NKRI jadi tidak mau berbeda. Selain memandang bahwa SKK 188 tidak melihat kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Hanya itulah pikiran yang menjadi dasar dukungan kepada SK 188. Sementara sebagian pihak yang diindikasikan pendukung tambang pada dasarnya tidak demikian, kelompok ini pada posisi yang tidak memungkinkan untuk menolak secara tegas dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan protes oleh masyarakat, dan pada saat yang sama tidak menunjukkan sikap yang menolak. Kelompok ini secara formal bersikap netral namun pada dasarnya juga menolak tambang. b. Alasan Menolak Tambang7 Masyarakat menolak tambang memiliki beragam argumentasi dan alasan. Alasan dan argumentasi yang dikemukakan sangat terkait dengan tingkat pemahaman, pengetahuan, strata pendidikan masyarakat. Ada sebagian yang menjelaskan secara sangat rinci penolakan terhadap tambang, antara lain alasan yang dikemukakan adalah tambang akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat karena akan menghancurkan lingkungan, menghilangkan mata air, dan relokasi pemukiman penduduk, alasan lain yang dikemukakan adalah lokasi tambang sesui IUP 24.980 ha tersebut termasuk pemukiman dan areal persawahan/pertanian penduduk, dll. Tetapi ada juga yang memberikan alasan yang 7
Wawancara dilakukan diberbagai kesempatan dengan masyarakat khususnya masyarakat Sumi dan Rato antara tanggal 7-15 Januari 2011.
16
sederhana, kelompok ini mengatakan kehadiran tambang akan menghancurkan kehidupan mereka yang sudah turun temurun selama ribuan tahun. Pada awalnya mereka tidak begitu mengetahui dampak adanya pertambangan. Namun setelah adanya advokasi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang teroganisir baik melalui aksi demonstrasi kecil-kecil maupun dalam bentuk penyebaran informasi dan disiarkan melalui TV Kabel yang kemudian menjadi tontonan menarik bagi masyarakat khususnya masyarakat Lambu. Singkatnya melalui media itulah kesadaran massif itu muncul pada masyarakat. Kesadaran yang massif itulah yang memunculkan protes yang massif pula. Aksi demontrasi berupa pendudukan pelabuhan Sape dan sekitarnya tidak muncul secara tiba-tiba akan tetapi dilatarbelakngi oleh “frustasi” masyarakat karena aspirasi dan tuntutan mereka tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan DPRD. Sebagian masyarakat yang diwawancara mengaku mereka kerapkali didatangi orang yang mengaku mewakili PT SMN yang membujuk agar memberikan dukungan kepada PT SMN untuk melakukan eksplorasi. Sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk uang maupun janji-janji jika dikemudian hari PT tersebut sudah melakukan kegiatan eksploitasi. Alasan penolakan Masyarakat dapat disimpulkan homogen (seragam) yaitu menyangkut keselamatan hidup masyarakat dan pencabutan SK 188 adalah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi.
XII.
Peristiwa dan Dampak Kekerasan 24 Desember 2011 di Pelabuhan Sape Bima
NTB.
Sejak 19 Desember 2011 warga telah melakukan aksi unjuk rasa di depan pelabuhan Sape Bima NTB menuntut pencabutan SK 188.45/357/004/2010 dan menuntut pembebasan salah satu warga yang bernama Adi Supriadi yang sudah menjadi terdakwa dalam kasus pembakaran kantor Kecamatan Lambu 10 Pebruari 2011. Warga yang melakukan aksi ini terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, Petani, Pelajar dan mahasiswa, Ibu-ibu dan anak-anak. Mereka secara sadar, mengorganisir dirinya dalam sebuah gerakan yang di sebut Front Rakyati Anti Tambang (FRAT). Pelabuhan Sape Bima NTB merupakan penghubung lalu lintas barang, jasa dan masyarakat dari/ ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat terpaksa melakukan aksi 17
pemblokiran di Pelabuhan karena cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya nyaris tidak mendapatkan
perhatian
Pemerintah.
Masyarakat
pada
dasarnya
tidak
bermaksud
menghambat kepentingan publik. Selama aksi berlangsung, tidak ada tindakan anarkis, yang terjadi justru masyarakat melakukan bakti sosial membersihkan sampah/ kotoran di pelabuhan. Pendudukan pelabuhan tidak pernah bertujuan melakukan hal-hal yang negatif, apalagi di kaitkan dengan isu Sara. Mereka hanya menduduki fasilitas publik tersebut agar pemerintah cepat menanggapi tuntutannya. Masyarakat telah menggunakan pelbagai cara dalam menyampaikan tuntutannya, antara lain menyampaikan ke DPRD, Pemda, dan aksi demonstrasi di tempat -tempat lain, tapi tidak membuahkan hasil. Masyarakat
frustrasi
menghadapi situasi ini. Dengan kata lain pemblokiran pelabuhan sungguh merupakan pilihan terakhir ditengah kebuntuan saluran aspirasi yang ada. Selama aksi berlangsung telah dilakukan negosiasi, namun tidak membuahkan hasil. Pada kedua aksi pemblokiran (20/12) telah dilakukan pertemuan dan dialog di ruangan Camat Sape antara 8 (delapan) orang perwakilan masyarakat Lambu dengan Bupati Bima dan difasilitasi Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) NTB dan rombongan, Kepala Dinas Perhubungan Kominfo Propinsi NTB, Kapolresta Bima, Dandim 1608 Bima, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, Kabag Hukum Setda Bima, Camat Sape, Camat Lambu dan Kapolsek Sape dengan tuntutan sebagai berikut: Tuntutan Pendemo: Pertama, pencabutan SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010 tanggal 28 April 2010 tentang penyesuaian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada PT. Sumber Mineral Nusantara, Kedua, pembebasan Saudara Adi Supriadi dari tahanan. Negosiasai ini berakhir dengan adanya pernyataan tertulis dan ditandatangani oleh Bupati Bima, yang isinya: Pertama, Bupati Bima akan melakukan Penghentian sementara atas ijin ekplorasi PT. Sumber Mineral Nusantara. Kedua, terkait dengan tuntutan pembebasan saudara Adi Supriadi tidak dapat dipenuhi karena hal tersebut telah masuk ke ranah Penegakan Hukum dalam hal ini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Raba Bima (P 21). Menanggapi pernyataan tertulis Bupati tersebut, Pihak massa yang diwakili 8 orang yang dipimpin Saudara Hasanuddin tidak mau menerima dan tetap pada tuntutannya yaitu pencabutan SK Bupati dan pembebasan saudara Adi Supriadi tersangka aksi pembakaran Kantor Camat Lambu pada tanggal 10 Pebruari 2011. Upaya negosiasi tidak mebuahkan hasil. 18
Tanggal 23 Desember 2011 Bupati Bima mengeluarkan Keputusan Bupati Bima Nomor: 188.45/743/004/2011 tanggal 23 Desember 2011 tentang Penghentian Sementara Ijin Eksplorasi Emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara di Kecamatan Lambu, Sape dan Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Sekitar Jam 6.30 WITA, aparat kepolisian mengajak perwakilan massa aksi untuk melakukan negosiasi. Dalam pertemuan ini “Kapolresta Bima mendesak; untuk membuka pintu pelabuhan, mengumpulkan senjata tajam (tombak, parang, dan panah), dan membubarkan massa aksi. Kapolresta menyampaikan, Kapolda akan membantu masyarakat untuk proses hukum pencabutan SK. Desakkan kapolresta Bima ini disetujui, tetapi mereka tidak bersedia membubarkan diri sebelum ada bukti pencabutan SK. Jam 08.00 WITA, salah satu tokohnya berinisial “S” bermaksud menghadap Kapolresta Bima untuk menyampaikan tuntutan massa aksi. Tidak jauh dari lokasi massa aksi, Barisan yang berseragam polisi bersenjata lengkap dan water cannon sudah siap siaga. Komnas Ham menyimpulkan aparat kepolisian diduga telah melakukan kesalahan prosedur dan menggunakan kekerasan secara berlebihan yang mengakibatkan 3 orang 8 warga meninggal dunia, 30 orang warga mengalami luka tembak, 9 orang mengalami kekerasan, 10 orang merupakan korban anak-anak, 1 orang korban yang belum kembali, 12 kantor pemerintah dan 56 rumah pejabat dan penduduk yang rusak atau terbakar.
Pada akhirnya sekitar pukul 05.30 WITA, aparat kepolisian dan Brimob sudah melakukan pengepungan di wilayah pelabuhan Sape. Pukul 06.00 WITA, aparat kepolisian meminta dan memperingatkan warga untuk membubarkan diri dari pelabuhan. Tapi oleh warga tidak di indahkan. Mereka diam saja dan hanya melakukan pendudukan dipelabuhan tanpa melakukan perlawanan. a) Dampak Sosial Gerakan “perlawanan” rakyat Bima, khususnya di Kec. Lambu Bima terhadap kebijakan pertambangan di Bima. Pemerintah daerah merencanakan dan mengembangkan program pertambangan tidak didasarkan kepada kebutuhan dan tuntutan masyarakat Bima, yang ingin mengembangkan beberapa sektor pembangunan yang sudah dipandang memberikan harapan bagi masyarakat. Yakni pembangunan pertanian, kehutanan, perkebunan dan kelautan. Penolakan tambang didasarkan pada pemahaman masyarakat 8
Paparan Ketua Komisi nasional Hak Asasi Manusia pada Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta 16 Januari 2012.
19
tentang dampak dan akibat tambang yang merusak lingkungan hidup, menghilangkan hakhak tanah adat dan kepemilihan public tentang pertanian dan lainnya. Aksi perlawanan dan penolakan yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa dari masyarakat Lambu itu, telah mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat (social distrust) terhadap para penyelenggara pemerintah, Bapati, Camat, Lurah dan aparatur negara lainnya di Bima. Indikatornya telah terjadi amuk massa untuk membakar dan menghancurkan sarana dan prasarana publik yang ada di daerah, khususnya rakyat lambu. Sebenarnya konflik itu muncul secara alamiah akibat produk dari relasi sosial dengan pemerintah, dan relasi antar masyarakat. Konflik mestinya dapat diredam dengan membangun dialog dan consensus.. Dalam proses ini, pemerintah harus membuka dialog dan respek dari negara dan masyarakat. Oleh karena itu konflik dan kekerasan di Lambu Bima terjadi karena ketidakpercayaan publik atas proses regulasi daerah yang tidak adil, dan tidak didasarkan pada partisipasi publik. Rakyat hanya dijadikan sebagai obyek semata dari pembangunan daerah. Sementara itu, masyarakat Lambu dan Bima secara umum telah mengalami ideologisasi dan proses pencerahan
baik karena iklim kebebasan dan praktek demokratisasi yang dialami
masyarakat, tetapi juga faktor jaringan organisasi dan aktifis Bima yang pulang kampung. Gerakan sosial dan aksi-aksi keprihatinan masyarakat Lambu telah mengalami eksklasi setelah kematian 2 (dua) aktivis demonstran anti tambang yang memblokade Pelabuhan Sape. Didukung dengan berbagai aksi solidaritas dan kritik yang tajam atas kinerja aparat keamanan yang menggunakan senjata untuk membunuh warga Lambu. Dukungan publik Indonesia itu menambah semangat dan melegitimasi tindakan demonstran anti tambang sebagai gerakan yang berpihak pada kebenaran. Platform perjuangan warga Lambu hanya satu singkirkan niat untuk mengubah Lambu sebagai arena pertambangan emas dan dengan demikian, masyarakat menolak SK 188 tentang kebijakan pertambangan daerah Bima. Sikap penolakan warga Lambu bertentangan dengan sikap keras Bupati Bima Ferry Zulkarnaen yang masih mempertahankan SK 188 itu. Alasannya kebijakan itu sudah dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan yang sudah mulai dilakukan setahunan lalu, dan telah mengeluarkan biaya awal yang tidak sedikit. Dugaan pelanggaran jabatan dan wewenang tidak terelakkan dalam kasus konflik Bupati dan warga Lambu ini. Peristiwa penembakan terhadap massa pendemo oleh aparat kepolisian 24 Desember 20
2011 menyisakan persoalan sosial mendalam. Pasca kejadian, massa pendemo melakukan reaksi dengan melakukan pengrusakan rumah warga yang disinyalir mendukung tambang. Padahal kalau ditilik secara sosio-ekonomi, masyarakat Lambu seperti layaknya masyarakat di daerah lain yang bercorak agraris memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, serta hubungan kekerabatan yang intim. Dari investigasi yang dilakukan, masih banyak warga yang belum berani kembali ke rumah.9 Bahkan ada yang mengungsi sampai ke seberang Pulau. Trauma psikologis ini dialami oleh, baik yang menolak maupun yang diduga mendukung tambang. Bagi yang menolak tambang, ingatan tragis akan peristiwa 24 Desember 2011 belum sepenuhnya dapat dihilangkan, sehingga warga terus berjaga-jaga takut ada intimidasi, penculikan, atau penangkapan oleh pihak luar. Sementara bagi yang diduga mendukung tambang, takut menghadapi reaksi horisontal masyarakat yang menolak tambang. Situasi yang terjadi di Kecamatan Lambu cukup mencekam, bahkan dapat dikatakan terjadi kerapuhan sosial (social disorder) akibat rendahnya modal sosial pasca insiden Pelabuhan Sape. Situasi ini, apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah persuasif, rawan menjurus pada konflik horizontal.
b) Dampak Ekonomi
Aksi blokade jalan pasca insiden Pelabuhan Sape menyebabkan aktivitas distribusi barang dan jasa dari dan ke Kecamatan Lambu terhambat. Terhitung blokade telah beberapa kali dilakukan, sehingga kemungkinan pasokan kebutuhan masyarakat Lambu juga mengalami hambatan. Dari pantauan langsung dan laporan dari beberapa informan di Bima, blokade dilakukan beberapa kali. Seperti diketahui, sebagian besar kebutuhan barang masyarakat Lambu dipasok dari Kecamatan Sape. Hal ini karena pasar dan pertokoan yang menyajikan aneka kebutuhan pokok terdapat di Pasar Baru dan Pasar lama Sape. Artinya, aksi blokade yang dilakukan membuat pasokan barang di Kecamatan Lambu berkurang. Kondisi ini diperparah oleh phobia masyarakat luar Lambu untuk berkunjung ke Kecamatan Lambu. Blokade jalan ini adalah “sistem pertahanan” masyarakat dalam mengantisipasi segala kemungkinan termasuk kemungkinan adanya upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian. Bahwa ada efek ekonomi yang muncul tidak dapat dihindari akan tetapi masyarakat tidak 9
Termasuk masyarakat pro eksplorasi yang diwawancarai tim belum berani kembali ke rumah. Untuk data selengkapnya, dapat dilihat di lampiran.
21
terlalu memperdulikan hal tersebut.
c) Dampak Administrasi Pemerintahan
Dalam hal administrasi pemerintahan dan akses pelayanan publik. Reaksi masyarakat dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran beberapa perkantoran, fasilitas dan rumah warga, dan blokade jalan masuk ke kecamatan Lambu yang kerap terjadi membuat kegiatan pemerintahan tidak bisa berjalan optimal, bahkan di beberapa wilayah mengalami kelumpuhan. Selain kerusakan infrastruktur, aparat pemerintahan juga tidak berani masuk ke wilayah kecamatan Lambu. Hampir semua PNS non guru tidak melakukan aktifitasnya disebabkan kantor pemerintahan mengalami kerusakan akibat reaksi spontan masyarakat pada peristiwa kekerasan tanggal 24 Desember 2011 yang berujung pada adanya korban jiwa dan luka-luka.
XIII. Kesimpulan dan Rekomendasi: 1. Saat terjadinya peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape Bima NTB pada 24 Desember 2012 status perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) merujuk Dirjen Minerba Kementerina Sumberdaya Mineral adalah non clear and clean artinya masih terdapat tumpang tindih wilayah eksplorasi perusahaan tersebut dengan komoditi yang sama dan atau komoditi lainya, koordinat tidak sesuai dengan SK, administrasi tidak lengkap dan belum mempunyai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 2. Pihak Pemerintah Daerah tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan berupa penerbitan 188.45/357/004/2010. 3. Pihak Pemerintah Daerah dan Perusahaan tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat sebagaimana dipersyaratkan dalam regulasi AMDAL tentang aktifitas perusahaan pada masa eksplorasi mencakup berbagai rencana perusahaan sehingga muncul kekuatiran dari masyarakat tentang dampak buruk pertambangan dikemudian hari baik dari sisi lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya. 4. Masyarakat berkeyakinan bahwa ketika perusahaan pertambangan mulai beroperasi mereka akan kehilangan mata pencaharian tradisionalnya yang telah mereka usahakan puluhan tahun termasuk akan dipindahlan secara paksa oleh pihak perusahaan. 22
5. Bupati Kabupaten Bima lambat merespon tuntutan masyarakat untuk mencabut SK 188.45/357/004/2010 meskipun telah jatuh banyak korban nyawa dan harta karena didalam tubuh Pemkab Bima diduga telah tumbuh dengan subur perilaku pejabat pemburu rente (rent seeker behavior) baik di eksekutif maupun legislatif sehingga pemerintah yang semula diharapkan sebagai institusi yang dapat memberikan keuntungan (benevolent institution) merubah menjadi institusi “pemangsa” (predatory institution). 6. Ringkasnya adalah Pemkab Kabupaten Bima tidak mempunyai cukup kapasitas dan kapabilitas untuk mengelola sumberdaya mineral karena belum mempunyai inspektur tambang, Komisi Penilai AMDAL Kabupaten yang kredibel, Perda Penataan Ruang yang baik serta sumberdaya manusia yang mumpuni. 7. Untuk itu Tim Investigasi Independen Kasus Sape Lambu Bima – NTB mendesak Bupati Bima untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk segera mencabut SK 188 yang menjadi tuntutan masyarakat 8. Aksi demontrasi yang dilakukan oleh masyarakat di pelabuhan Sape dan sekitarnya adalah pilihan terkahir masyarakat karena berbagai cara yang
telah dilakukan
sebelumnya, namun tidak mendapatkan tanggapan dari Pemerintah. 9. Masyarakat yang membawa senjata tajam pada saat aksi demonstrasi sama sekali tidak dimaksudkan untuk melawan aparat, tetapi semata-mata kebiasaan masyarakat yang secara turun temurun membawa senjata tajam seperti parang, tombak jika bepergian, senjata taja itu juga dimaksudkan untuk memproteksi jika ada gangguan dari kelompok masyarakat lain. 10. Pembubaran paksa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kepolisian pada tanggal 24 Desember 2011 telah dilakukan
dengan cara brutal sehingga menyebabkan adanya
korban jiwa dan korban luka. 11. Terhadap peristiwa 24 Desember 2011, Tim merekomendasikan kepada kepolisian agar melakukan investigasi secara komprehensif, bagi yang melakukan pelnaggaran prosedur dan disiplin dikenakan sanksi dispilin dan bagi yang melakukan tindak pidana harus duiproses secara pidana pada semua tingkatan.
Jakarta, 24 Januari 2012 23
Tertanda
Mujahid A.Latief, S.H.,M.H.
Iskandar, S.E.
Ketua
Sekretaris
Anggota
:
Firdaus Dzuwaid, S.H.,M.H.
Sidratahta Mukhtar, M.Si
Raihan Anwar, M.Si
Dr. Hermawan Saputra
Husni Malik, S.H.,M.M.
Thamrin, S.H.
Suhardin, S.H.
Arifudidin Hamid
Samudra Putra, S.E.
24