P2M DIPA Reguler
LAPORAN PROGRAM PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (P2M)
PENDAMPINGAN PENYUSUNAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) SIAGA BENCANA BERBASISKAN DOMAIN SOSIAL BAGI GURU-GURU SD DI KECAMATAN BANJAR KABUPATEN BULELENG
Oleh: Ni Wayan Rati, S.Pd.,M.Pd. NIDN. 0014127602 (Ketua) Dra. Nym Kurmariyatni, S.Pd., M.Pd. NIDN. 0011035905 (Anggota) I Gusti Ayu Tri Agustiana,S.Pd., M.Pd. NIDN. 0028088402 (Anggota)
Dibiayai dari DIPA Universitas Pendidikan Ganesha Tahun 2013 dengan SPK Pengabdian Pada Masyarakat No.: 135/UN48.15/LPM/2013
LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA Oktober 2013
HALAMAN PENGESAHAN
a
Judul Program
:
b. c. d. 1.
Jenis program Bidang kegiatan Identitas pelaksana Ketua Nama NIP NIDN Alamat kantor Alamat Rumah Anggota I Nama NIP NIDN Alamat kantor Alamat Rumah Anggota II Nama NIP NIDN Alamat kantor Alamat Rumah Biaya Lama Kegiatan
: :
2
3
e. f.
Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan Domain Sosial Bagi Guru-guru SD di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng P2M DIPA Reguler Pendidikan
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Ni Wayan Rati, S.Pd.,M.Pd., 197612142009122002 0014127602 Jl. Udayana 12 Singaraja Jl. Bisma, No.75 x Singaraja I Gusti Ayu Tri Agustiana, S.Pd.,M.Pd 1984082009122005 0028088402 Jl. Udayana 12 Singaraja Btn. Banyuning Indah Blok C. No 21 Singaraja Dra. Nyoman Kurmariyatni, S.Pd., M.Pd. 195903111986022001 0011035905 Jl. Udayana 12 Singaraja Jln. Jelantik Gingsir 107 Rp. 7.500.000,8 Bulan
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan
Singaraja, 4 Nopember 2013 Ketua Pelaksana,
Drs. Ketut Pudjawan, M.Pd NIP. 195508181983031002
Ni Wayan Rati, S.Pd.,M.Pd., NIP. 197612142009122002
Mengetahui, Ketua LPM Undiksha,
Prof. Dr. Ketut Suma, M.S. NIP. 195901011984031003 2
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat
rahmat-NYA
kegiatan
pengabdian
pada
masyarakat
dengan
judul
“Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan Domain Sosial Bagi Guru-guru SD di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng” serta penulisan laporan ini dapat terselesaikan tepat pada waktrunya. Pengabdian pada masyarakat ini terlaksana berkat bantuan dana dari Dipa Undiksha tahun anggaran 2013 yang sisalurkan melalui LPM Undiksha. Kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini ingin disampaikan ucapan terimakasi kepada semua pihak yang membantu kelancaran kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya SD di kecamatan Banjar.
Singaraja, 4 Nopember 2013 Ketua Pelaksana
Ni Wayan Rati, S.Pd., M.Pd 3
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL …………………………….………………………….
1
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………
2
PRAKATA ………….……………………………………………………...
3
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
4
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..
5
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
6
1.1 Latar Belakang ................................................................................
6
1.2 Analisis Situasi …………..………..……………………………...
7
1.3 Identifikasi Masalah ………………………………………………
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………….. ………………………....
10
2.1 Hakikat Mitigasi Bencana ………………………………………...
10
2.2 Dasar Hukum Pendidikan Mitigasi Bencana ……………………..
11
2.3 Tujuan Pendidikan Mitigasi Bencana …………………………….
12
2.4 Model Pembelajaran Mitigasi Bencana …………………………..
13
2.5 Hakikat IPA ………………………………………………………
13
2.6 Domain Sosial dalam Pembelajaran IPA …………………………
16
2.7 Tujuan Kegiatan …………………………………………………..
18
2.8 Manfaat Kegiatan ………………………………………………...
18
2.9 Khalayak Sasaran …………………………………………………
18
BAB III METODE PELAKSANAAN ......................................................... 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah …………………………………. .
19
3.2 Rancangan Evaluasi ........................................................................
21
BAB IV HASIL YANG DICAPAI ...............................................................
22
BAB V KESIMPULAN ...............................................................................
25
5.1 Kesimpulan .....................................................................................
25
5.2 Saran................................................................................................
25
LAMPIRAN ..................................................................................................
28
4
19
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1
Kerangka Pemecahan masalah …………………………..……….
19
3.2
Keterkaitan Masalah dan Metode Kegiatan ……………………...
20
3.3
Indikator keberhasilan ……………………………………….......
21
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 4.1
Sambutan ketua Pelaksana ………..……………………..……….
22
4.2
Pembukaan P2M Oleh KUPP Kec. Banjar ……….……………...
23
4.3
Pemaparan Materi Oleh Narasumber ……….……………….......
23
5
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan tingkat ancaman bencana alam yang paling besar di dunia. Bencana mengerikan, seperti gempa bumi dan Tsunami seakan „sangat akrab‟ dengan kehidupan di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia: Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Pada bingkai itu, Indonesia memang tidak banyak bisa mengelak, namun harus hidup berdamai dengan bencana alam (Satake et al., 2011). Bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah yang rawan bencana solusi strategis adalah berusaha hidup harmoni dengan bencana, dan bersiasat memperkecil dampak atau meminimalkan resiko kerugian bagi manusia. Oleh sebab itu, perlu pengetahuan, pemahaman, kesiapsiagaan keterampilan untuk mencegah, menditeksi dan mengantisipasi secara lebih dini tentang berbagai macam bencana atau lebih dikenal dengan istilah mitigasi bencana. Mitigasi meliputi aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang dapat diawali dari persiapan sebelum bencana itu berlangsung, menilai bahaya bencana, penanggulangan
bencana,
berupa
penyelamatan,
rehabilitasi
dan
relokasi.
Pengetahuan, pemahaman dan keterampilan berprilaku dalam mencegah, menditeksi, mengansipasi bencana secara efektif dapat ditransformasikan dan disosialiasikan (Tanaka dan Jinadasa, 2011). Sosialisasi melalui pendidikan IPS telah berhasil dengan baik bagi anak-anak SMP (Maryani, 2010). Sosialisasi pada aspek usia yang lebih dini dan jenis pelajaran yang menyentuh langsung fenomena alam seperti IPA, sangat strategis untuk dilaksanakan, karena kedua aspek itu belum banyak dilakukan oleh para guru dan pihak sekolah. Padahal, pemahaman anak SD tentang gejala alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus dan gempa telah terungkap dalam pelajaran IPA. Oleh karena itu, keterampilan dan pemahaman tentang berbagai penerapan mitigasi bencana yang dintegrasikan dengan pelajaran IPA menarik untuk dikaji, kondisi ini diharapkan membangun kepekaan dan mengurangi kecemasan pada diri anak-anak. Bekal pengetahuan dan kecakapan hidup diperlukan oleh siswa khususnya kelas-kelas awal sehingga ketika terjadi bencana dapat melakukan upaya 6
penyelemaatan diri dan juga dapat menolong orang lain (National Research Council 2007). Oleh karena itu panduan dalam bentuk kurikulum merupakan langkah strategis untuk memulai langkah pengelolaan bencana (disaster management). Model mitigasi bencana nampak sangat mendesak dilakukan di Indonesia, dan khusus di kabupaten Buleleng. Alasannya adalah, telah terjadi beberapa kali bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung, banjir dan gelombang pasang. Pola pengajaran mitigasi bencana selama ini jauh dari budaya masyarakat lokal. Padahal kearifan lokal telah ada digunakan untuk mengatasi bencana dan lebih membumi. Oleh karena itu, pengenalan awal terhadap mitigasi bencana nampaknya perlu dilakukan di SD (sekolah dasar). Langkah awal itu adalah pendampingan penyusunan LKS tentang mitigasi bencana untuk guru-guru SD. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendampingan penyusunan LKS bagi guru-guru IPA di wilayah rawan bencana, di kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng-Bali.
1.2. Analisis Situasi
Kecamatan banjar memiliki kondisi rawan bencana yang relatif tinggi, karena lokasinya yang relatif heterogen dari segi landscape, yaitu pantai, perbukitan, hutan yang rawan longsor. Wilayah pantai paling dominan sebagai obyek wisata (lovina), sehingga sangat baik untuk diberikan pemahaman tentang mitigasi bencana bagi anak-anak sekolah dasar di sekitarnya. Di dekat pegunungan rawan tanah longsong, karena semakin hari-hari tingkat penggundulan hutan terus terjadi. Pemahaman itu untuk mengatasi bencana perlu dilakukan di wilayah kecamatan Banjar. Ditinjau dari jumlah anak-anak SD yang berusia usia 7-12 tahun di kecamatan Banjar adalah 1284 orang. Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun di kecamatan Banjar adalah sebesar 1164. Artinya potensi anak-anak SD relatif tinggi untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan pendidikan di Kabupaten Buleleng, secara keseluruhan. Jumlah guru IPA sebanyak 121 orang guru tersebar di Kecamatan Banjar pada 68 gedung SD. Oleh karena itu motivasi perbaikan profesionalisasi lewat penelitian tindakan kelas perlu didukung secara optimal, baik oleh pemerintah selaku 7
pemangku kebijakan, maupun Pendidikan Tinggi, seperti Undiksha selaku Institusi pengembang pendidikan. Dari hasil penelitian tentang penerapan model mitigasi bencana untuk anakanak SD, terhadap sikap ketahan malangan diketahui bahwa para guru belum sepenuhnya memahami menyusun LKS dalam mitigasi bencana. Sehingga diperlukan pemantauan pendampingan guru-guru IPA di Kecamatan Banjar. Kendala yang muncul di lapangan adalah (1) Guru belum biasa melakukan pembelajaran yang mengintegrasikan dengan mitigasi bencana, dan (2) para guru juga belum memahami dalam hal penyusunan perangkat pembelajaran yang berkaitan dengan mitigasi bencana.
1.3 dentifikasi dan Perumusan Masalah A. Identifikasi masalah 1) Guru belum biasa melakukan pembelajaran yang mengintegrasikan dengan mitigasi bencana. 2) Guru belum pernah mendapatkan penjelasan dari instansi terkait tentang kaitan antara mitigasi bencana dengan pembelajaran di kelas. 3) Para guru biasanya memberikan himbauan tentang mitigasi bencana saat ada himbauan dari pihak terkait, hanya informasi umum. 4) Guru IPA belum biasa dan tidak pernah membuat perangkat pembelajaran tentang mitigasi bencana. 5) Para guru juga belum memahami dalam hal penyusunan perangkat pembelajaran yang berkaitan dengan mitigasi bencana berbasiskan domain sosial masyarakat Bali. B. Perumusan masalah 1) Bagaimanakah pemahaman guru-guru IPA terhadap mitigasi bencana setelah proses pendampingan penyusunan LKS berbasiskan domain sosial masyarakat Bali? 2) Bagaimanakah respon guru-guru IPA Sekolah Dasar dalam pemahaman tentang model mitigasi bencana dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar setelah proses pendampingan selesai?
8
3) Bagaimanakah kualias LKS mitigasi bencana yang berbasiskan domain sosial masyarakat Bali, yang dihasilkan guru-guru IPA SD se kecamatan Banjar Buleleng setelah proses pendampingan penyusunan selesai?
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1Hakikat Mitigasi Bencana Bencana telah menjadi isu pembangunan, karena hasil pembangunan yang telah dirintis puluhan bahkan ratusan tahun dapat musnah atau rusak seketika dengan adanya bencana, perekonomian masyarakat dan negara pun banyak mengalami kemunduran, banyak prasarana dan sarana ekonomi, sosial dan budaya yang rusak. Masyarakat yang terkena bencana seringkali harus menata ulang kehidupannya dari awal, mereka harus pindah ke tempat lain, dan mulai penghidupan di tempat baru. Mitigasi (mitigate) berati tindakan-tindakan untuk mengurangi bahaya supaya kerugian dapat diperkecil. Mitigasi meliputi aktivitas dan tindakan-tindakan. Perlindungan yang dapat diawali dari persiapan sebelum bencana itu berlangsung,
menilai
bahaya
bencana,
penanggulangan
bencana,
berupa
penyelamatan, rehabilitasi dan relokasi. Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 Tahun 2003, mitigasi atau penjinakan adalah upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana, yang meliputi kesiapsiagaan, kewaspadaan dan berbagai kemampuan untuk mengatasinya. Negara Indonesia secara geografis dan geologis terletak di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Dari 33 provinsi, 25 provinsi diidentifikasi oleh Departemen Dalam Negeri sebagai daerah rawan bencana. Daerah gempa, menurut ahli geologi, menyebar di hampir seluruh wilayah negeri, mulai dari ujung Sumatera bagian utara sampai dengan bagian utara Pulau Papua. Serangkaian bencana telah melanda negeri ini, yang terbaru bencana gempa di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah, menelan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda. Menyadari tingginya kerentanan terhadap bencana, tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Indonesia untuk bersiap siaga mengantisipasi terjadinya bencana. Karena itu, upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dengan program yang
10
terstruktur dan komprehensif menggunakan kombinasi pendekatan bottom-up dan top-down menjadi sangat penting, utamanya untuk mengurangi resiko bencana. Berbagai inisiatif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana mulai dilakukan di Indonesia di berbagai tingkatan administrasi. Upaya ini melibatkan banyak lembaga dan institusi, baik di tingkat lokal dan nasional maupun internasional, seperti: KOGAMI Padang, LIPI, ESDM, ITB, PMI/IFRC dan UNESCO yang bekerjasama dengan Bakornas, MPBI, USAID, CRS dan Yayasan IDEP. Sebagian pemerintah daerah juga mengklaim telah melakukan upaya tersebut di daerahnya masing-masing. Menurut Horan dan Schooley (2007), Upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat yang telah dilakukan belum dapat diketahui, karena belum ada framework dan tools untuk menilai tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan keberlanjutan kegiatan tersebut. Selama ini upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan kepedulian, tujuan dan kemampuan dari institusi-institusi yang bersangkutan. Dengan demikian belum dapat diketahui apakah upaya-upaya itu telah memenuhi semua unsur yang diperlukan untuk kesiapsiagaan terhadap bencana.
2.2 Dasar Hukum Pendidikan Mitigasi Bencana Kegiatan pengurangan risiko bencana sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
11
Oleh karena setiap orang harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana maka sekolah dan komunitas di dalamnya juga harus memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktifitas pendidikan keseharian. Usaha meningkatkan kesadaran adanya kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, di dunia pendidikan harus dilaksakanakan baik pada taraf penentu kebijakan maupun pelaksana pendidikan di pusat dan daerah. Dengan harapan pada seluruh tingkatan memiliki pemahaman yang sama akan perlunya pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut.
2.3 Tujuan Pendidikan Mitigasi Bencana Tujuan Pendidikan Mitigasi Bencana antara lain: (1) Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta didik tentang adanya risiko bencana yang ada di lingkungannya,
berbagai
mengantisipasi/mengurangi
macam risiko
jenis
yang
bencana,
ditimbulkannya.
dan (2)
cara-cara Memberikan
keterampilan agar peserta didik mampu berperan aktif dalam pengurangan risiko bencana baik pada diri sendiri dan lingkungannya (3) Memberikan bekal sikap mental yang positif tentang potensi bencana dan risiko yang mungkin ditimbulkan. (4) Memberikan pengetahuan dan wawasan tentang bencana di Indonesia kepada siswa sejak dini. 5) Memberikan pemahaman kepada guru tentang bencana, dampak bencana, penyelamatan diri bila terjadi bencana. (6) Memberikan keterampilan kepada guru dalam menyusun perencanaan, melaksanakan dan melakukan pendidikan bencana kepada siswa. (7) Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman bagi pihak terkait, sehingga diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan pembelajaran tentang bencana. Pendidikan mitigasi bencana dapat dilaksanakan melalui berbagai jenis pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan mitigasi bencana secara formal dapat dilaksanakan secara terintegrasi ke dalam muatan kurikuler yang telah ada, atau menjadi mata pelajaran sendiri yaitu muatan lokal. Penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah maupun daerah.Pelaksanaannya dapat bermitra dengan berbagai unit atau para pihak terkait sehingga tujuan dari pendidikan ini dapat tercapai secara optimal dalam rangka
12
menyiapkan generasi muda yang tangguh, cerdas secara akademi dan emosi, serta berperan aktif pada masyarakat lokal dan global
2.4 Model Pembelajaran Mitigasi Bencana Pembelajaran mitigasi bencana dapat diterapkan untuk semua bidang studi. Dalam penelitian ini model mitigasi bencana yang diterapkan adalah pada pelajaran IPA SD. Perkembangan siswa SD masih dalam tahap operasional konkrit. Pada tahap operasional konkrit siswa mampu berpikir logis melalui objek-objek konkrit, dan merupakan permulaan berpikir rasional. Kegiatan belajar dan berpikir anak pada tahap operasional konkrit sebagian besar melalui pengalaman nyata yang berawal dari proses interaksi dengan objek. Proses pembelajaran tidak bisa lepas dari karakteristik siswa karena dalam perkembangan proses berpikir, siswa menempuh berbagai tingkat kognitif. Oleh karena itu dalam pembelajaran mitigasi bencana, guru banyak
membantu
dan
memfasilitasi
siswa
menyusun
langkah-langkah
pembelajaran. Implementasi model pembelajaran mitigasi bencana mengikuti alur sebagai berikut (1) persiapan sebelum bencana itu berlangsung, (2) menilai bahaya bencana, (3) penanggulangan bencana, berupa penyelamatan, rehabilitasi dan relokasi. (4) Pengetahuan, pemahaman dan keterampilan berprilaku dalam mencegah,
(5)
menditeksi,
mengansipasi
bencana
secara
efektif
dapat
ditransformasikan dan (7) mensosialiasikan (Maryani, 2010).
2.5 Hakikat IPA Pendidikan
IPA
merupakan
salah
satu
aspek
pendidikan
dengan
menggunakan IPA sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan pada umum-nya, dan tujuan pendidikan IPA khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan IPA adalah sesuai dengan tujuan IPA itu senditi (Amien dalam Sadia, 1998). Tujuan utama pendidikan IPA adalah mengembangkan individu-individu yang literasi IPA. Literasi IPA ini meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah dan aspek-aspek fundamental tentang IPA yaitu konsep dan prinsip ilmiah, hukumhukum dan teori ilmiah, serta keterampilan inkuiri. Kuslan & Stones (dalam Sarkim, 1998) menyatakan bahwa IPA pada dasarnya mencakup dua aspek, yaitu body of knowledge yang sering disebut sebagai aspek produk (product) dan proses (method). IPA, baik sebagai produk maupun 13
proses bukanlah dua dimensi yang terpisah, namun merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai satu kesatuan. Proses IPA akan menghasilkan pengetahuan (produk IPA) yang baru, dan pengetahuan sebagai produk IPA akan memunculkan pertanyaan baru untuk diteliti melalui proses IPA, sehingga dihasilkan pengetahuan (produk IPA) yang lebih baru. Aspek produk IPA diantaranya adalah prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori. Prinsip, hukum maupun teori-teori merupakan hasil rekaan atau buatan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya (Sarkim, 1998). Dengan demikian, IPA sebagai suatu produk keilmuwan mencakup konsep, hukum dan teori yang dikembangkan sebagai pemenuhan rasa ingin tahu manusia. Pada pembelajaran IPA, aspek produk tampil dalam bentuk bahan pengajaran yang berisi pokok-pokok bahasan, misalnya pokok bahasan tentang optika geometris, suhu, kalor dan sebagainya. Aspek kedua IPA adalah aspek proses, yaitu suatu cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan. Metode ini disebut dengan metode keilmuwan. Menurut Sarkim (1998), metode keilmuwan merupakan perpaduan antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme merupakan pandangan yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pikiran. Sedangkan, empirisme merupakan pandangan yang meyakini pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman. Sejalan dengan kedua pandangan tersebut maka metode keilmuwan merupakan dasar dari pemahaman terhadap hakikat IPA, di mana pemahaman terhadap hakikat IPA dapat diperoleh dan diterapkan melalui pembelajaran yang berorientasi pada hakikat IPA itu sendiri. Hakikat IPA menyatakan bahwa terdapat keterampilan proses intelektual yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam pembelajaran IPA yaitu: 1) membangun prinsip melalui induksi; 2) menjelaskan dan meramalkan; 3) pengamatan dan mencatat data; 4) identifikasi dan mengendalikan variabel; 5) membuat grafik untuk menemukan hubungan; 6) perancangan dan melaksanakan penyelidikan ilmiah; 7) menggunakan teknologi dan matematika selama penyelidikan; dan 8) menggambarkan simpulan dari bukti-bukti. Selain kedua aspek IPA tersebut, Carin & Sund (dalam Sarkim, 1998) menyatakan bahwa aspek ketiga IPA adalah sikap keilmuwan. Aspek sikap yang dimaksud adalah berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuwan khususnya ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan 14
baru. Sikap-sikap IPA yang dimiliki oleh ilmuwan yang baik diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Skeptis dan curiga, yaitu selalu melakukan penyelidikan untuk menemukan berbagai hal baru dan menuntut bukti yang tepat untuk dapat dinyatakan serta menghindari hasil akhir yang tidak beralasan. (2) Objektif dan tidak dogmatis, yaitu mereka menunjukkan keintelektualan, keintegritasan, menghindari kesalahan yang bersumber dari diri sendiri, serta bersikap terbuka untuk perbaikan di hadapan bukti yang tak dapat dipertentangkan. (3) Logis dan kreatif, yaitu mereka mencoba untuk menyediakan penjelasan yang masuk akal atas dasar fakta yang telah diterima. (4) Jujur dan terpercaya yaitu mereka menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu cakupan sosial, dan mentaati prinsip yang etis tentang masyarakat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu terkait dengan produk dan proses IPA, pembelajaran IPA harus
menghantarkan
peserta
didik
menguasai
konsep-konsep
IPA
dan
keterkaitannya untuk dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan sikap IPA. Peserta didik diharapkan tidak hanya sekadar tahu (knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep IPA, melainkan harus mengerti dan paham (to understand) terhadap konsep-konsep tersebut dan menghubungkan keterkaitan suatu konsep dengan konsep lain (Wahyudi, 2002). Namun, kenyataan yang ditemui di lapangan, sebagian besar peserta didik tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep IPA dalam kehidupan nyata. Suastra (2002) mengemukakan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu sebagai berikut. (1) Sikap, yaitu rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecah-kan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended (2) Proses, yaitu prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, eva-luasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan (3) Produk, yaitu berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum (4) Aplikasi, yaitu penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan dapat muncul sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru. 15
2.6 Domain Sosial dalam Pembelajaran IPA Para ahli yang berkecimpungan dalam penelitian tentang keterlibatan nilainilai budaya yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran IPA menggunakan sebuah metafora atau pengkiasan yang diberi nama ”metafora sang pelintas batas (border erossing methaphor)” untuk menjelaskan proses pembelajaran IPA dari perspektif anthropologi (Jegede & Aikenhead, 2000; Wahyudi, 2003:7). Menurut metafora ini, siswa dianggap sebagai sang pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai budaya asli dalam keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya IPA di sekolah yang pada dasarnya didominasi oleh budaya IPA Barat. Kata “batas” di sini dalah “batas imaniler” yaitu batas yang ada dalam pikiran, bukan batasan secara material. Menggunakan metafora ini, Costa (1995) mengelompokkan siswa ke dalam lima kategori berdasarkan cara mereka masuk ke dalam budaya IPA di kelas dari budaya keseharian mereka, seperti digambarkan dalam Gambar 2.1. School’s Culture
CB
IOS
OS
PS OSK & IDKS
Student Prior Beliefs School Science Culture
Gambar 2.1 Proses kelima kelompok siswa dalam melintasi “batas” budaya Keterangan: CB OSK
= cultural border (batas budaya) PS = other smart kids: IDKS
= potential scientist student
= Idon’t know students: OS
=
Outsider
students
Kelompok pertama disebut dengan “Potential Scientist” (PS). Siswa dalam kelompok ini dapat dengan mudah melintasi batas kedua budaya (CB) yaitu budaya sekolah IPA dan budaya keseharian mereka secara alami, seolah-olah batas tersebut tidak ada bagi mereka. Kelompok kedua disebut dengan “Other Smart Kids’ (OSK), yaitu kelompok siswa yang dapat melewati batas dengan baik, namun mereka masih 16
menganggap dan mengakui IPA sebagai sebuah budaya asing. Siswa dalam kelompok ini kebanyakkan suka menggunakan cara “cerdas” untuk berhasil dalam pembelajaran IPA. Mereka dapat membangun pengetahuan IPA di dalam skema mental mereka dan menyimpannya dalam memori jangka panjang yang hanya dapat diakses lagi ketika diperlukan pada saat ujian. Kelompok ketiga adalah ”Idon’t Know Students”I (IDKS), yaitu suatu kelompok yang menghadapi masalah serius dalam melintasi batas kedua budaya tersebut, tetapi mau belajar untuk mengatasinya, dan berhasil menggunakan cara Fatima’s Rule secara terus menerus. Kelompok ini mungkin berhasil di dalam ujian pelajaran IPA, namun mereka tidak memahami konsep IPA secara komprehensif. Mereka cenderung menghafal konsep, bukan memahaminya. Kelompok keempat adalah “Outsider” (OS), yaitu kelompok siswa yang cenderung terasing selama proses pembelajaran IPA berlangsung. Kelompok ini mengahadapi masalah besar dalam usaha melintasi batas budaya. Kelompok siswa ini hampir tidak mungkin dapat melintasi batas tersebut. Hal ini disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh nilai kebudayaan keseharian mereka, dibandingkan dengan konsep-konsep IPA yang mereka pelajari di kelas. Kelompok terakhir adalah “Inside Outsider” yaitu suatu kelompok yang merasakan diskrimasi budaya oleh IPA modern sehingga mereka merasakan tidak mungkin dapat menembus batas kedua budaya tersebut. Kelompok ini sebenarnya memiliki keinginan yang besar, namun menjadi asing di kelas/sekolah tidak menyediakan tempat untuk nilai-nilai budaya/ keyakinan awal siswa (student’s prior belief). Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan (teralienisasi) sehingga tidak memperoleh pengetahuan IPA yang bermakna bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, wajarlah bahwa pada masyarakat asli dengan budaya non-Barat (termasuk Indonesia) akan mengalami kesulitan yang jauh lebih besar dalam belajar IPA dan pada akhirnya mutu pendidikan IPA nya juga rendah. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa dalam konteks masyarakat asli akan mengalami kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan siswa dari negara Barat dalam mengkontruksi IPA, nilai dan sikap ilmiah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep, pemaknaan (epistemologi), dan cara memperoleh pengetahuan mereka. Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPA di sekolah, perlu adanya bridging gap agar terjadi keharmonisan budaya yang datang dari Barat dengan budaya yang mereka miliki sebagai warisan leluhur mereka dan bagian dari kehidupan keseharian mereka. 17
Dengan demikian, budaya yang memiliki siswa dalam masyarakat tradisional tidak begitu saja hilang dengan datangnya budaya IPA Barat, tetapi dapat berjalan secara paralel dan bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnnya (inkulturasi) (Suastra, 2010).
2.7 Tujuan Kegiatan
Tujuan dari dilakukannya kegiatan P2M ini adalah: 1) Untuk mengetahui pemahaman guru-guru IPA terhadap mitigasi bencana setelah proses pendampingan penyusunan LKS dilakukan. 2) Untuk mengetahui respon guru-guru IPA sekolah dasar dalam pemahaman tentang model mitigasi bencana dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar setelah proses pendampingan selesai. 3) Untuk mengetahui kualias LKS Mitigasi bencana yang dihasilkan guruguru IPA SD se Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng setelah proses pendampingan penyusunan selesai. 2.8 Manfaat Kegiatan
Manfaat bagi peserta setelah mengikuti pendampingan ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Guru IPA SD se Kecamatan Banjar dan Guru bidang studi yang lain memiliki pengetahuan dan keterampilan membuat LKS mitigasi bencana. 2) LKS mitigasi bencana yang dihasilkan dapat digunakan langsung untuk perangkat pembelajaran IPA di SD. 3) Dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas guru untuk membantu dari aspek pemahaman pada anak didik dalam menanggulangi bencana alam.
2.9 Khalayak Sasaran Strategis
Khalayak yang dijadikan sasaran kegiatan ini adalah guru IPA SD se Kecamatan Banjar. Jumlah khalayak guru IPA yang dilibatkan dalam kegiatan ini sebanyak 40 orang. Mekanisme perekrutan adalah surat permintaan di kirim kepada SD se Kecamatan Banjar untuk mengirim salah satu guru IPA untuk diberi pelatihan tentang penyusunan LKS mitigasi bencana.
18
BAB III METODE PELAKSANAAN
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana, bencana yang muncul dapat berupa banjir, tsunami, logsor, gempa bumi dan gunung meletus dan lain-lain. Selama ini, tindakan yang sangat penting untuk dilakukan adalah mengantisipasi bencana sedini mungkin. Oleh sebab itu dibutuhkan persiapan sumber daya manusia, dan pemahaman masyarakat luas untuk mengantisipasi itu. Salah satu upaya adalah lewat pendidikan yaitu pendidikan dasar, khususnya mata pelajaran IPA. Proses pendidikan membutuhkan sarana dan prasarana, contohnya perangkat pembelajaran, salah satunya adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS dengan mitigasi bencana dapat berisi kontens dan strategi akan menjadi relevan dan baik bila sedini mungkin dilatih penyusunannya pada para guru. Berikut pada Tabel 3.1 disajikan permasalahan dan alternative solusi yang dilakukan. Tabel 3.1. Kerangka Pemecahan masalah Permasalahan
Akar masalah
Alternatif Solusi
Guru-guru IPA terhadap mitigasi bencana kurang memiliki sikap tanggap bencana
Guru-guru IPA kurang memahami tindakan untuk mengatasi bencana alam yang terjadi
Ceramah tentang hakekat bencana alam dan strategi mengatasi bencana alam
Perangkat pembelajaran tentang mitigasi bencana belum ada yang mengkaitkan domain sosial
Kurikulum belum sepenuhnya mengadopsi konsep mitigasi bencana
Memberikan ceramah dan workshop pengintegrasian materi mitigasi bencana kepada para guru dan kepala sekolah
Guru IPA belum mampu membuat perangkat
Pengetahuan guruguru belum memiliki
Pendampingan penyusunan LKS mitigasi bencana
19
pembelajaran tentang mitigasi bencana erbasiskan domain sosial masyarakat Bali
kemampuan untuk menyusun perangkat pembelajaran (LKS) mitigasi bencana domain sosial masyarakat Bali
dan domain sosial masyarakat Bali
Masalah pokok yang dipecahkan dalam pengabdian masyarakat ini berkaitan dengan pembuatan LKS mitigasi bencana. Keterkaitan antara tujuan dan metode yang dipakai untuk mencapai tujuan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2 Keterkaitan Masalah dan Metode Kegiatan No
Tujuan
Metode
Bentuk Kegiatan
Untuk mengetahui Ceramah dan Diskusi pemahaman guru-guru IPA terhadap mitigasi bencana setelah proses pendampingan penyusunan LKS mitigasi bencana dilakukan.
2
Untuk mengetahui Ceramah dan Diskusi respon guru-guru IPA Sekolah dasar dalam pemahaman tentang model mitigasi bencana dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar setelah proses pendampingan selesai.
Ceramah dan diskusi model mitigasi bencana
3
Untuk mengetahui Praktek kualitas LKS Mitigasi bencana yang dihasilkan guru-guru IPA SD se kecamatan Banjar Buleleng setelah proses pendampingan
Praktek penyusuan LKS mitigasi bencana dengan langkah sebagai berikut; Penentuan topik-topik yang akan dibuat LKS mitigasi bencana dari cabaran SK-KD Penyusunan LKS mitigasi bencana Pembimbingan oleh
1
20
Ceramah tentang pembuatan LKS mitigasi bencana. Workshop Ceramah dan diskusi tentang penusunan LKS mitigasi bencana
penyusunan selesai
tim Dosen Undiksha Evaluasi LKS mitigasi bencana Buatan Guru
3.2 Rancangan Evaluasi Rancanagan evaluasi kegiatan ini dilakukan terhadap proses dan produk kegiatan. Evaluasi proses berkaitan dengan kehadiran peserta, semangat mengikuti kegiatan, dan kerjasama. Evaluasi proses dilakukan selama kegiatan berlangsung. Evaluasi produk dilakukan terhadap kualitas LKS mitigasi bencana yang dibuat oleh peserta ditinjau dari kesesuai dengan indikator dari Silabus. Evaluasi proses dilakukan pada akhir sesi kegiatan. Pelaksanaan program kegiatan ini dinyatakan berhasil jika hasil evaluasi proses dan produknya tergolong baik. Tabel 3.3. Indikator keberhasilan Pencapaian (%) No.
Indikator Keberhasilan
Awal
Selama Latihan
Akhir
1.
Keterampilan menyusun LKS mitigasi bencana
0
50
100
2.
Aktivitas saat menyusun LKS mitigasi bencana
0
50
100
3.
Kedisiplinan menyelesaikan LKS mitigasi bencana
0
50
100
21
BAB IV HASIL YANG DICAPAI
Kegiatan P2M ini diikuti oleh kepala sekolah, pengawas sekolah dan guru bidang studi IPA di SD se-kecamatan Banjar. Sebelum kegiatan dimulai terlebih dahulu dilalui dengan sambutan ketua pelaksana yang kemudian diikuti oleh sambutan dari KUPP Kecamatan Banjar yang sekaligus membuka secara resmi kegiatan pengabdian ini.
Gambar 4.1 Sambutan Oleh Ketua Pelaksana Kegiatan
22
Gambar 4.2 Kegiatan ini dibuka oleh KUPP Kecamatan Banjar. Kegiatan ini diawali dengan pemaparan materi tentang mitigasi bencana dan domain social oleh narasumber yang dalam hal ini dipaparkan oleh Dr. I Nyoman Tika, M.Si.
Gambar 4.3 Pemaparan Materi Oleh Narasumber 23
Kegiatan ini sangat disambut baik oleh KUPP Kecamatan Banjar maupun guru-guru mata pelajaran IPA. Berdasarkan hasil pengamatan selama kegiatan berlangsung kegiatan P2M ini memberikan dampak yang positif bagi guru-guru peserta pelatihan penyusunan LKS siaga bencana berbasiskan domain sosial hal ini terbukti dari proses kegiatan berlangsung peserta sangat antusias dan seriusan dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Antusias peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan baik kepada narasumber maupun pada dosen pendamping. Respon positif dari peserta dapat dilihat dari angket yang disebarkan saat kegiatan mereka (pesert) menyatakan bahwa pelatihan dan pendampingan penyusunan LKS ini sangat bermanfaat dan menarik. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap hasil karya peserta dapat dinyatakan bahwa kegiatan ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Guru-guru peserta pelatihan telah mampu menyusun LKS siaga bencana sesuai dengan harapan.
24
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan Adapun simpulan yang dapat ditarik adalah bahwa 1.
Adanya pemahaman guru-guru IPA terhadap mitigasi bencana setelah proses pendampingan penyusunan LKS mitigasi bencana berbasiskan domain sosial masyarakat
2.
Respon guru-guru IPA Sekolah Dasar di Kecamatan Banjar dalam penyusunan LKS siaga bencana berbasiskan domain sosial sangat positif hal ini terlihat dari pemahaman tentang model mitigasi bencana dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar setelah proses pendampingan selesai.
3.
Kegiatan semacam ini sangat diperlukan oleh guru-guru SD dengan demikian dapat
menambah
wawasan
meraka
dalam
penyusunan
perangkat
pembelajaran yang dapat mendukung kelancaran proses pembelajaran.
5.2 Saran Saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan kegiatan ini adalah disarankan untuk LPM Undiksha agar dapat memberikan biaya dan mendampingi kegiatan serupa untuk guru-guru SD sehingga kinerja guru-guru dapat ditingkatkan.
25
Daftar Pustaka Arends, Richard I, 2004. Learning To Teach. Sixth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies. Arikunto, S. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Aryati, K. N. 2003. Pengaruh Model Pembelajaran Problem-Based Learning dan Gaya Kognitif Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Singaraja Tahun Pelajaran 2007/2008. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Ganesha. Barrett, P. (2007). Moving Online Meaningfully (MOM) Project: moving meaningfully into and within online learning technologies at the University of Northern British Columbia. In T. Bastiaens & S. Carliner (Eds.), in Proceedings of World Conference on E-Learning in Corporate, Government, Healthcare, and Higher Education 2007 Candiasa, I Made. 2004. Analisis Butir. Unit Penerbitan IKIP N Singaraja. Carpenito. L. 2001. Buku Saku Dianogsa Keperawatan. Jakarta: EGC Coburn, AW, R.J.S. Spence dan A. Pomonis, 1994, Mitigasi Bencana, Cambridge Architectural Research Limited, The Oast House, Malting Lane, Cambridge United Kingdom http://www.undmtp.org/Indonesian/Disaster_mitigation/Mitigasi Degeng, I N.S., 2001. Landasan dan Wawasan Kependidikan. Malang: Lembaga Pengembangan dan Pendidikan (LP3) Universitas Negeri Malang. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Gempa Bumi dan Tsunami. Bandung. Hagen, B. 2002. Lights, Camera, Interaction: Presentation Programs and the Visual Experience. In C. Crawford et al. (Eds,), Proceedings of Society for Information Technology and Teacher Education International Conference 2002 (p.2151) Harlen, W. 1992. The Teaching of Science. Britain: David Fulton Publishers Herawati, Ratna. 2010. Peningkatan Sikap ilmiah Matematika Pokok Bahasan Ruang Dimensi Tiga melalui Pendekatan Kooperatif Tipe GI dengan Memanfaatkan Alat Peraga Matematika di kelas X semester II SMA Negeri Purmodadi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kemis, W.C. & Taggart, R. M. 1988. The Action Research Planner. Geelong Victoria: Deakin University. Kusumasari, B., Q. Alam, 2012, Bridging the gaps: the role of local goverment capability and the management of a natural disaster in bantul, Indonesai Nat.Hazarrds., 60:761-779. 26
Maryani, N., 2010, Model Pembelajaran Mitigasi Bencana Dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Di Sekolah Menengah Pertama. Gea. Vol 10. No.1 April 2010. Nilan, Pam. 2010. Indonesia: New Directions in Educational Research. Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran. Vol. 6. No. 2. Hal. 1141-1296 Nurkancana dan Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Surabaya: UNESA Prawirohardjo. Sarwono. 2003. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatural. Jakarta: EGC. Riyani, Rismiati. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Group Investigation menggunakan Macromedia Flash untuk meningkatkan Kualitas Proses dan Penguasaan Konsep Biologi pada Siswa Kelas VII A SMP Negeri 2 Kartasura. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sadia, I W. 1998. Reformasi pendidikan IPA (IPA) menuju masyarakat yang literasi IPA dan teknologi. Orasi pengukuhan jabatan pengajar besar tetap dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam pada sekolah tinggi ilmu kepengajaran dan ilmu pendidikan singaraja. Disampaikan pada sidang terbuka senat sekolah tinggi kepengajaran dan ilmu pendidikan singaraja pada Rabu, 14 Oktober 1998.
27
LAMPIRAN-LAMPIRAN
28
LAMPIRAN 1. FOTO-FOTO KEGIATAN
Kegiatan Pembukaan P2M yang diikuti oleh Kata sambutan oleh ketua pelaksana KUPP kecamatan Banjar, kepalas sekolah dan guru-guru IPA di kecamatam Banjar
Peserta tampak serius mengikuti pelatihan
29
Penyampaian materi oleh pakar
Kegiatan pendampingan
Penayangan contoh alat sederhana pendeteksi gempa yang dapat di buat melalui LKS
30
LAMPIRAN 2 DAFTAR HADIR PESERTA
31
LAMPIRAN3. ANGKET RESPON KEGIATAN
32