LAPORAN KUNJUNGAN KERJA PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KE PROVINSI BALI TANGGAL 21 s.d. 23 MEI 2012
I.
Pendahuluan Keanggotaan Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Pemerintahan Daerah sekaligus merangkap sebagai anggota RUU tentang Desa, yang berbeda adalah pimpinannya. Sehingga dalam melakukan kunjungan kerja ke daerah termasuk kunjungan kerja ke Provinsi Bali, Pansus disamping menggali informasi dan menjaring aspirasi terkait dengan RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), juga menggali informasi dan aspirasi terkait dengan RUU tentang Desa. Kunjungan kerja (Kunker) yang dilaksanakan pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2011 – 2012 ini dilakukan pada tanggal 20 – 23 Mei 2012. Tim Kunker Pansus RUU tentang Pemda dan RUU tentang Desa ke Provinsi Bali diketuai oleh Budiman Sudjatmiko dari F-PDIP, dan diikuti oleh 8 anggota tim yakni: 1. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SE, dari Fraksi PD 2. H. Darizal Basir, dari Fraksi PD 3. H. Subyakto, SH, MH, dari Fraksi PD 4. Arif Wibowo, dari Fraksi PDIP 5. H. Yan Herizal, SE, dari Fraksi PKS 6. Drs. H Akhmad Muqowam, dari Fraksi PPP 7. Abdul Malik Haramain, MSi, dari Fraksi PKB 8. Miryam S. Haryani, SE, MSi, dari Fraksi Hanura Tim Kunjungan Kerja Pansus didampingi oleh pejabat dan staf Sekretariat Pansus DPR RI, serta Tim Ahli (Peneliti dan Legal Drafter).
II. Waktu dan Tempat Kunjungan Kerja Kunjungan Kerja dilaksanakan dari tanggal 20 sampai dengan 23 Mei 2012 di Provinsi Bali dan telah mengadakan pertemuan dengan: 1. Gubernur Provinsi Bali, beserta jajarannya; 2. Pimpinan DPRD Provinsi Bali, 3. Pimpinan DPRD Kab/Kota se Provinsi Bali 4. Walikota/Bupati se Provinsi Bali 5. Para Kepala Desa se Provinsi Bali, dihadiri juga oleh Forum Komunikasi Kepala Lingkungan, Kelihan dan Banjar Desa (FK3D) 6. Dekan, dan para dosen Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
1
III. Masukan dari Hasil Kunjungan Kerja A. Masukan Terkait RUU tentang Pemda 1. Masukan-masukan yang diperoleh dari pertemuan antara Tim Pansus RUU Pemda dan Desa dengan Pemerintah Provinsi Bali (Gubernur Bali, para Walikota/Bupati se Provinsi Bali, DPRD Provinsi dan DPRD Kota dan Kabupaten se Provinsi Bali) a)
b) c)
d)
e) f)
g)
Proses pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20004 tentang Pemerintahan Daerah selama ini di Provinsi Bali telah berjalan dengan baik, namun masih ada beberapa permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu : 1. adanya kesenjangan antara daerah dan pusat dan antar daerah dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, sebagaimana di Provinsi Bali tidak mempunyai sumber daya alam tetapi memiliki sumber daya budaya yang tinggi. 2. masih ditemukan adanya egosektoral dari penyelenggaraan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. masih adanya keterbatasan kualitas Sumber Daya Aparatur dalam hal menunjang pelaksanaan program kegiatan menggali potensi dalam mewujudkan penyelenggaraan Otonomi Daerah. penyelenggaraan asas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Bali dibawah UU No. 2 Tahun 2004 belum dapat berjalan secara optimal karena perencanaan asas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan lebih banyak bersifat Top-Down, seharusnya dapat berjalan secara efektif dari perencanaan supaya bertitik tolak dari kebutuhan dan aspirasi daerah (Bottom-Up). Menurut pendapat kami mengenai kebijakan pembentukan daerah otonom baru saat ini lebih banyak menyulitkan daerah otonom tersebut, terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Untuk itu dalam rangka pembentukan daerah otonom baru, menurut kami evaluasi dari Pemerintah Pusat sudah berjalan dengan baik, namun dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan Otonomi Daerah agar dihindari adanya pemekaran daerah yang bermotif politik serta untuk menampung birokrasi dalam jabatan Pemerintah Daerah. Selanjutnya ke depan disusun aturan tentang pengembangan wilayah yang ideal dalam suatu provinsi berdasarkan atas kajian yang bersifat komprehensif baik di lihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, letak geografis dan potensi pengembangan wilayah ke depan maupun dari aspek manajemen pemerintahannya sehingga Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan suatu daerah dapat menciptakan kesejahteraan dan demokrasi di tingkat lokal. Terkait dengan daerah berciri kepulauan, perlu diatur secara khusus apakah bentuk one island management atau otonomi khusus. mengenai pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan saat ini melalui pemilihan langsung sudah tepat karena pimpinan daerah dapat dipilih secara langsung oleh masyarakat sehingga mendapat legitimasi yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintah. Mengenai hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selama ini tidak ada permasalahan dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran strategis sebagai satu kesatuan dengan Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya pada prinsipnya kami mendukung gagasan mengangkat PNS sebagai Wakil Kepala Daerah, namun hal ini perlu adanya kajian yang lebih komprehensif agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap aparatur daerah terkait dengan pelanggaran yang bersifat administratif memang diperlukan, karena dengan tindakan hukum yang bersifat administratif merupakan suatu upaya pembinaan untuk menyadarkan aparatur daerah agar tidak lagi melanggar peraturan perundang-undangan.
2
h)
i)
Perlu dilakukan penerapan hukum tertentu bagi aparatur daerah yang terkait dengan pelanggaran yang bersifat administratif atau tidak hanya dikenakan sebatas pada pelanggaran yang bersifat pidana, yang maksudnya adalah dalam upaya meningkatkan disiplin aparatur daerah sehingga diharapkan produktifitas kinerja organisasi dapat tercapai sesuai dengan tujuan organisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencapaian secara politik UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak simetris dengan pencapaian dalam aspek kesejahtraan masyarakat. Akibatnya banyak yang beranggapan bahwa otonomi daerah hanya menghasilkan raja-raja kecil di daerah tetapi tidak membawa manfaat untuk rakyat banyak. UU tentang Pemda kedepan harus bisa membawa pada pencapaian dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Masukan dari Pemerintah Kabupaten Badung (Wakil Bupati Badung, DPRD Kabupaten Badung, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), Forum Komunikasi Kepala Daerah se Badung, dan Forum Komunikasi Kepala Lingkungan, Kelihan dan Banjar Dinas (FK3D) a) Di Bali banyak tenaga asing yang perlu diatur agar memberikan kemanfaatan untuk masyarakat, untuk pemerintah dan juga perusahaan yang menampung tenaga asing tersebut. Bagaimana pengaturan terhadap tenaga kerja asing yang ada di wilayah kabupaten dan kota di Bali agar mampu memberikan azas manfaat. b) Terkait dengan masalah pertanahan. DPR diharapkan mampu memberikan regulasi terhadap ketegasan kewenangan terkait pertanahan dalam mengatur status-status tanah. c) Terkait dengan adanya sengketa antar dan inter wilayah daerah di Bali. Perlu ada pengaturan terkait dengan perbatsan antar dan inter wilayah, baik wilayah propinsi, kabupaten, desa, apalagi wilayah desa adat. Karena Bali memiliki wilayah khusus yang tidak dimiliki daerah-daerah lain. d) Terkait dengan pengaturn daerah khusus dan juga kawasan strategis, mana yang mnejadi kewenangan pengaturan daerah khusus oleh kabupaten, mana oleh propinsi dan mana oleh pemerintah pusat sehingga terjadi sinkronisasi. Begitu juga terhadap kawasan strategis, mana yang boleh diputuskan oleh kabupaten, mana oleh propinsi dan mana oleh pemerintah pusat sehingg tidak terjadi berlomba-lomba dalam memberikan keputusan. Karena itu akan memberikan implikasi perpecahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab antara pemerintah pusat sebagai perwakilan di wilayah dengan kabupaten. e) UU dibuat, peraturan dibuat kembali lagi mengaytur pembangunan yang ada pada saat sekarang, bukan setback ke belakang, kalau itu terjadi maka implikasinya sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat kita bahkan tidak tertutup kemungkinan bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, maka harus dipertegas dengan peraturan yang berlaku surut. f) RUU ini harus mengait ke pengaturan mengenai pemilukada, karena pada pasal-pasal didepan ada beberapa yang mengkait dengan hal itu. RUU ini membingungkan, pengaturan mengenai sistem pemilihan belum nyambung. Dulu pengaturan mengenai pemilukada Gubernur/wakil Gub, Bupati/wakil bup dan Walikota/wakil walikota yang dipilih secara paket. Tapi RUU ini mengatur pemilihan mereka tidak paket lagi. g) Ada hak dari pusat yang khas sekali seperti yang diatur di Pasal 49 yakni; “Jika ada pelanggaran....., maka Gub bisa diberhentikan oleh Presiden melalui Mendagri, Bupati/Walikota diberhentikan oleh Mendagri melalui Gubernur, padahal kami dipilih oleh rakyat. h) Wakil kepala daerah yang diangkat dari birokrat, politisi di DPRD Kabupaten Badung belum menerima pengaturan hal itu. i) Anggota DPR, dan DPRD tugas dan fungsinya sama tapi hak berbeda, politisi di Bali memohon untuk diperjuangkan anggota DPRD supaya menjadi pejabat negara. 3
3. Masukan dari Civitas Akademika Universitas Udayana : a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Gagasan pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah langkah mundur demokratisasi pemilihan gubernur, dn tidak koheren dengan politik hukum pengisian jabatan-jabatan politis yang dipilih secara langsung oelh rakyat sebagaimana digariskan oleh UUD 1945. Mengenai gagasan mengangkat PNS sebagai wakil kepala daerah, beranjak dari politik hukum pengisian jabatan politis melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, maka waki kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat (dipilih secara demokratis dimaknai sebagai dipilih secara langsung oleh rakyat). Konsekuensinya, apabila wakil kepala daerah diangkat dari PNS, menimbulkan persoalan pada saat kepala daerah berhalangan tetap, yakni ia tidak dapat menggantikan kepala daerah. Posisi wakil kepala daerah diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas kepala daerah ketika berhalangan sementara dan menggantikannya ketika berhalangan tetap. Kompetensi aparatur daerah mungkin memadai dengan diadakannya diklat atau bimtek, namun dengan mutasi aparatur daerah ke bidang lain menyebabkan kompetensi yang dimiliki sebelumnya tidak begitu bermanfaat di tempatnya yang baru. Masalah yang terkait dengan peran kepala daerah sebagai pembina pegawai daerah terjadi pada penggunaan kewnangannya untuk penguatan posisinya, terutama kepala daerah yang mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan kedua. Pelanggaran administratif seharusnya dikenakan tindakan atau sanksi administratif. Pelanggaran pidana merupakan kewenangan penegak hukum. Instansi pengawas internal tidak dapat menentukan aparatur daerah melakukan pelanggaran pidana, yang atas dasar itu penegak hukum melakukan proses hukum terhadap aparatur daerah bersangkutan. Hal ini membatasi kewenangan penegak hukum. Konsideran hrurf a; “bahwa sesuai UUD 1945 Pasal 18 ayat (7) susunan dan tatacara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam UU,” tidak relevan. Butir tersebut relevan ditempatkan pada Mengingat. Belum menggambarkan konsiderans yuridis, yaitu perlunya landasan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 18B, Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 tidak relevan sebagai dasar hukum. Pasal-pasal UUD 1945 yang relevan adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 18, dan Pasal 18A UUD 1945. Dasar hukum berupa UU perlu dikaji lagi relevansinya dengan dasar Pasal 10 ayat (1) huruf b UU No 12/2011 yang menentukan materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi perintah suatu UU untuk diatur dengan UU. Jadi, UU yang dicantumkan sebagai dasar hukum suatu UU adalah UU yang memerintahkan suatu materi diatur dengan UU. Babi I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6; “Otonomi daerah adalah hak,......” wewenang meliputi hak dan kewajiban, berdasarkan atas pandangan ini, maka sebaiknya otonomi daerah dirumuskan sebagai wewenang Daerah Otonom untuk engatur dan megurus sendiri urusan pmerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem negara Kesatuan RI. Rumusan baru ini sesuai dengan rumusan Daerah Otonom dalam Pasal 1 angka 12. Terkait dengan Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (2). Urusan pemerintahan absolut yakni yustisi atau peradilan bukan merupakan urusan dari Pemerintah/eksekutif, tapi merupakan urusan lembaga judisial/kehakiman. Oleh karena itu, tidak tepat dikategorikan sebagai urusan pemerintahan. Sebagai urusan lembaga judisial memang tidak didesentralisasikan kepada daerah. Dalam rangka desentralisasi, azas yang dikenal adalah otonomi dan medebewind (pembantuan/tugas pembantuan). Urusan pemerinatahan umum dikategorikan bukan sebagai urusan atas dasar otonomi, maka perlu ketegasan sebagai urusan dalam rangka pembantuan. Penyelenggaraan 4
rusan pemerintah pusat dapat juga dilakukan berdasarkan asas dekonsentrasi, maka perlu juga dipertimbangkan urusan pemerintahan umum diberikan kepada Daerah berdasarkan dekonsentrasi. i) Pasal 32 ayat (4), Gubernur dan upati/walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum disebut Kepala Wilayah Administratif. Dasar hukum konstitusional pembentukan UU tentang Pemerintahan Daerah adalah Pasal 18 UUD 1945, yang intinya berdasarkan pada asas otonomi (seluas-luasnya) dan tugas pembantuan. Atas dasar ini sebutan Kepala Wilayah Administratif tidak relevan, bahkan dapat berpotensi menjadi pintu masuk pengertian dan praktek penguasa tunggal di wilayahnya. j) Terkait denga Pasal 77, Pasal 92 ayat (2) dan Pasal 101 ayat (2). Ketentuanketentuan tersebut tidak sejalan dengan ketentuan konstitusional tentang otonomi yang seluas-lusnya dalam pasal 18 UUD 1945. Dalam rangka NKRI, mekanisme yang perlu dipertimbangkan adalah mekanisme pembataalan Perda atau mekanisme pengujian Perda terhadap UU. k) Pasal 102 ayat (3), “Pengangkatan camat yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatalkan pengangkatannya oleh gubernur”. Untuk menjamin adanya perlindungan hukum, semestinya disediakan mekanisme upaya administratif baik berupa prosedur keberatan maupun banding administratif. l) Pasal 123, “Asas pembentukan dan materi muatan Perda berkaidah pada peraturan perundang-undanagn dan asas-asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan degan prinsip NKRI.” Rumusan serupa dalam UU No. 32/2004 (Pasal 137, 138) lebih jelas daripada rumusan dalam RUU ini. m) Terkait dengan Pasal 126 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4). Untuk mendapatkan kejelsan rumusan, sebaiknya ditegaskan Perda dapat memuat sanksi administratif. Kemudian dalam Penjelasan Pasal dijelaskan jenis-jenis sanksi administratif yang dapat dimuat dama Perda. Pasal 126 ayat (3) semestinya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal bahwa yang dimaksud dengan ancaman pidna atau denda dalam ketentuan ini adalah ancaman pidana atau denda yang diatur dalm peraturan perundang-undangan sebagai ancaman pidana atau denda yang dapat dimuat dalam Perda. n) Terkait dengan Pasal 170 dan Pasal 171 ayat (1), ketentuan konstitusional dapat dijadikan dasar hukum konstitusional untuk memasukkan pariwisata (budaya dan/atau keindahan alam) sebagai salah satu sumber Dana Bagi Hasil. Sehingga daerah-daerah yang tidak mempunyai sumber daa alam, akan tetapi memberikan kontribusi besar kepada Pusat dari sektor pariwisata, misalnya, akan mendapat Dana Bagi Hasil juga. o) Terkait Pasal 273; “Kepala daerah yang mengangkat pegawai honorer yang pengadaannya tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 274; “Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perijinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dikenai sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan apabila pelanggarannya bersifat pidana. Terhadap kedua Pasal tersebut, maka berdasarkan Kaidah 118 TP3, rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Kaidah 121 TP3, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan. Rumusan ketentuan pidana dalam RUU ini menyalahi kaidah tersebut.
5
B. Masukan terkait RUU Desa 1. Masukan dari Pemerintah Kabupaten Badung (Wakil Bupati Badung, DPRD Kabupaten Badung, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), Forum Komunikasi Kepala Daerah se Badung, dan Forum Komunikasi Kepala Lingkungan, Kelihan dan Banjar Dinas (FK3D) a) Banyak keluhan darimasyarakat desa yang potensi kekayaannya banyak digarong oleh pengusaha-pengusaha. Pansus diharapkan nsegera memproses kaur sebagai PNS. Karena Sekdes sudah PNS, itu menimbulkan kecemburuan sosial. Walaupun di Bali pendapatan Kaur hampir sama dengan pendapatan Sekdes. Di Badung Kaur mendapat 2juta, tapi di luar Bali masih mendapat sekitar 500 ribu/bln. b) BUMN yang sumber-sumbernya ada di desa/kelurahan, kabupaten atau provinsi, mohon dipikirkan, karena pada waktu yang lalu Ngurah Rai jadi bulan-bulanan dan kami tidak mendapat apa-apa, apakah hal ini bisa dibenarkan ? c) Kaur selama ini masuk ke tenaga honor, mohon diperjuangkan kaur menjadi PNS d) Desa adat ya desa adat, dan desa dinas ya desa dinas, desa adat dan desa dinas di Bali ibarat suami istri yang saling mendukung. Wilayahnya juga ada yg satu desa adat berhimpit denga satu desa dinas. Ada yag satu desa dinas ada 4 desa adat, aman-aman saja tidak ada yg ribut. e) Jangan desa adat diatur secara nasional, karena itu muatan lokal, dia harus berdiri sendiri, dia merupakan lokal genus, sedang aspek pemerintahan yang lain bisa diatur secara nasional. f) Pengaturan tentang tenaga kerja asing, desa hendaknya diberi kewenangan untuk mengatur tenaga kerja asing, pengaturannya harus sampai ke tingkat desa atau banjar jangan hanya sampai di pemprov. g) Lokasi-lokasi atau investasi yang besar, handaknya Pemda diberi manfaat pembagian hasilnya, Bandara Ngurah rai misalnya, kita gak bisa masuk, kita hanya dapat hasil dari retribusi parkir tapi parkir mobil dan sepeda motor, bukan parkir pesawat terbang. Harus dikuatkan di peraturan UU agar daerah mendapat pembagian yang layak. h) APBN yang 10% di draft RUU ini langsung diberikan kepada desa jangan mampir kemanamana. i) Kepala desa bisa berpolitik, bisa menjadi pimpinan partai, kalau memang tidak boleh, harus diatur mengenai sanksi, kalau melanggar sanksinya begini dst. j) Tenaga outsourcing hendaknya ditiadakan saja karena tidak memberikan kepastian. III. Penutup Demikian laporan hasil Kunjungan Kerja Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa ke Provinsi Bali pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2011-2012, sebagai hasil masukan dan pandangan dari berbagai unsur di Provinsi Bali dalam rangka pembahasan RUU Pemda dan RUU Desa. Kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya kunjungan kerja ini kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 23 Mei 2012 Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah
6
Budiman Sujatmiko A-367
7