LAPORAN AKHIR (FINAL REPORT)
PEKERJAAN KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY KABUPATEN ROKAN HILIR
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
KATA PENGANTAR Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir merupakan program kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Rokan Hilir dengan PT. Kuantan Graha Marga, yang tertuang dalam Surat Perjanjian Nomor 050.5/KPA-SU/BAPPEDA/2013/02.1 tanggal 29 Juli 2013. Kegiatan Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir pada dasarnya dimaksudkan untuk mengenali dan mengembangkan sistem-sistem agroforestri, sehingga diketahui seberapa besar kebutuhan dalam pengembangan potensi sektor Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir. Secara garis besar, isi Laporan Akhir Kegiatan Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir ini meliputi Latar Belakang, Tujuan, Out Put dan Out Come, Metode Pelaksanaan, Gambaran Umum Lokasi, Permasalahan, Analisis Kawasan, Identifikasi Prosfek Pengenbangan, Sistem Kelembagaan dan Kebijakan juga Kesimpulan dan Rekomendari dari Kajian ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada : 1) Kepala Bappeda Rokan Hilir, 2) Camat, 3) Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), serta para pihak yang telah membantu dalam terlaksanannya kegiatan ini. Meskipun tim pelaksana telah bekerja dengan sepenuh hati melaksanakan kegiatan ini guna memperoleh hasil yang optimal, namun seandainya masih terdapat kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan yang disajikan dalam bentuk Laporan Akhir ini, tim pelaksana kegiatan dengan senang hati menerima kritikan dan saran. Akhirullkalam semoga laporan akhir ini dapat memberikan manfaat sesuai dengan yang diharapkan. Pekanbaru, November 2013 PT. Kuantan Graha Marga
Ir. H. FIRDAUS ATAN, MSi. Direktur Utama
LAPORAN AKHIR
I|i
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..........…………………………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI …………………......………………………………………………………………………
ii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN
………………………………………………………………………
I–1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………………
I–1
1.2. Maksud dan Tujuan …...…………………………………………………………
I–7
1.3. Sasaran Pekerjaan ……………..……………………………………………….
I–7
1.4. Ruang Lingkup ………………………….………………………………………..
I–8
1.5. Keluaran ................................................................................
I–9
KERANGKA TEORITIS 2.1. Konsep Pengembangan Agroforestry.........................................
II – 1
2.2. Bentuk-bentuk Agroforestry......................................................
II – 3
2.3. Pengembangan Agroforestry.....................................................
II – 5
METODOLOGI KEGIATAN ….……………………………………………………..
III – 1
3.1. Kerangka Pendekatan ……………………………………….……………………
III – 1
3.2. Jenjang Analisis Makro (Macro Stage) …………………………………….
III – 5
3.3. Jenjang Analisis Mikro (Micro Stage) ……..……………………………….
III – 6
3.4. Arahan Pengembangan Kawasan Agroforestri …………………………
III – 8
3.5. Metodologi ....................……………………………………..………………..
II – 11
3.5.1.
Inventarisasi dan Identifikasi Tingkat Makro.................
III – 11
3.5.2.
Inventarisasi dan Identifikasi Tingkat Makro.................
III – 17
3.5.3.
Analsis Data ...........................................................
III – 26
GAMBARAN UMUM WILAYAH ....................................................
IV – 1
4.1. Keadaan Fisik Wialayah ............................................................
IV – 1
4.1.1. Letak dan Luas .............................................................
IV – 1
4.1.2. Kondisi Iklim dan Sumberdaya Air ..................................
IV – 1
4.1.3. Fisiografi dan Bentuk Wilayah ........................................
IV – 5
4.1.4. Geologi ........................................................................
IV – 8
4.1.5. Geomorfologi ................................................................
IV – 1O
LAPORAN AKHIR
I | ii
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
BAB V
4.1.6. Tanah ..........................................................................
IV – 11
4.1.7. Erodibilitas Tanah .........................................................
IV – 17
4.1.8. Penutupan Lahan ...........................................................
IV – 18
4.2. Fokus Kesejahteraan Sosial .......................................................
IV – 19
4.2.1. Pendidikan …………..……………………………………………………..
IV – 19
4.2.2. Kesehatan ……………………….…………….………………………….
IV – 23
4.3. Aspek Pelayanan Umum ...........................................................
IV – 24
4.3.1. Angka paritisipasi sekolah …………………..……………………….
IV – 24
4.3.2. Rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah ……….
IV – 25
4.3.3. Kesehatan Penduduk dan Indeks Pembangunan Manusia ..
IV – 27
4.3.4. Fokus Fasilitas Wilayah/Infrastruktur …………………………….
IV – 28
IDENTIFIKASI POTENSI AGROFORESTRY DAN SOSIAL EKONOMI DALAM AGROFORESTRY .......................................... 5.1. Sumber Daya Lahan .................................................................
V–1
5.1.1. Potensi Lahan ……………………………………………………………..
V–2
5.1.2. Kawasan Perkebunan …………………………………………………..
V–5
5.1.3. Lahan Pekarangan ……………………………………………………..
V–8
5.1.4. Hutan Tanaman Industri …….………………………………………..
V–9
5.2. Kondisi Eksisting Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir ...............
V – 16
5.2.1. Budidaya Tanaman Kehutanan ……………………………………..
V – 20
5.2.2. Integrasi Peternakan dengan Hutan ……………….……………..
V – 21
5.2.3. Potensi Pengembangan Perikanan ……………………….……….
V – 24
5.2.4. Potensi Tanaman Hortikultura ………………….………….……….
V – 25
5.2.5. Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan ………………….…….
V – 27
5.3. Peran Agroforestri terhadap Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir ........................................
BAB VI
V–1
V – 28
5.4. Analisis Usaha Tani ..................................................................
V – 31
5.2.4. Usaha Tani di Lahan Pekarangan ……………….….…………….
V – 34
PROSPEK PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRY .........................................................................
VI – 1
6.1. Prospek dan Keuntungan Sistem Agroforestri .............................
VI – 1
6.2. Pengembangan Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir ................
VI – 22
6.2.1. Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri di
LAPORAN AKHIR
VI – 20
I | iii
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Kabupaten Rokan Hilir …………………………………………….….. 6.2.2. Kelemahan dan Tantangan Agroforest di Kabupaten Rokan Hilir ………………………………………………………………….……….. BAB VII
KELEMBAGAAN DAN KEBIJAKAN AGROFORESTRY DI KABUPATEN ROKAN HILIR .........................................................
VII – 1
7.1. Pentingnya agroforestri di Indonesia .........................................
VII – 1
7.2. Kelembagaan ..........................................................................
VII – 5
7.1.1. Pengertian Kelembagaan ……………………………………………..
VII – 7
7.2.2. Unsur-unsur kelembagaan …………………………………………..
VII – 8
7.3. Kebijakan ..............................................................................
VII – 9
7.3.1. Pengertian kebijakan …………..……………………………………..
VII – 10
7.3.2. Unsur-unsur dalam Kebijakan ……………………….………….…..
VII – 11
7.4. Arah Pengembangan Kelembagaan dan Kebijakan dalam Agroforestri............................................................................. 7.4.1. Strategi pengembangan kelembagaan ………………………... 7.4.2. Arahan Sistem Pengembangan Agroforestri di Kabupaten
VII – 12 VII – 13 VII – 19
Rokan Hilir ……………………….………….…..
BAB VIII
VI – 23
7.4.3. Pengembangan Sumber Daya Manusia ……………………..….
VII – 23
7.4.4. Pengembangan Kelembagaan Pemasaran …………….……….
VII – 23
KESIMPULAN DAN REKOMENSASI .............................................
VIII – 1
8.1. Kesimpulan .............................................................................
VIII – 1
8.2. Rekomendasi ..........................................................................
VIII – 2
LAMPIRAN -
Daftar Pustaka
-
Form Isian Questioner
-
Dokumentasi Survey
LAPORAN AKHIR
I | iv
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
1.1
Latar Belakang Agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan.
Ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan
sistem-sistem agroforestri yang telah dipraktikkan oleh petani sejak berabad-abad lalu (Hairiah dkk, 2003). Sistem agroforestri dicirikan oleh keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama. Kondisi ini mengakibatkan pengurangan bidang olah bagi budidaya tanaman semusim karena perkembangan tajuk. Oleh karena itu, dinamika ruang sistem agroforestri sangat ditentukan oleh karakteristik komponen penyusun dan sistem budidaya pohon (aspek silvikultur). Sungguhpun kondisi fisik lahan dan pola agroforestri yang dikembangkan juga menjadi faktor penentu. Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan
LAPORAN AKHIR
I|1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya
mengenali
dan
mengembangkan
keberadaan
sistem
agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan
gabungan
ilmu
kehutanan
dengan
agronomi,
yang
memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Bene, 1977; King 1978; King, 1979). Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian
serta
menyempurnakan
intensifikasi
dan
diversifikasi
silvikultur. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah mosaik-mosaik padat dari hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan yaitu sistem bercocok tanam "tradisional" dan sistem "modern". Sistem "tradisional" adalah sistem yang "dikembangkan dan diuji" sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi
LAPORAN AKHIR
I|2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pola lorong (alley cropping), pohon pembatas (trees along border), campur (mixer) atau baris (alternate rows) mempunyai karakteristik yang membuat dinamika sistem agroforestri di antara pola tersebut berbeda. Pola lorong dalam sistem agroforestri dirancang untuk memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu produksi dan konservasi, sehingga karakter pola lorong ini adalah jarak baris pohon antar lorong satu dengan lorong yang lainnya lebih pendek apabila dibandingkan dengan pola pohon pembatas. Hal ini terjadi karena pola lorong dipilih untuk lokasi yang mempunyai ragam kelerengan (tidak datar). Dinamika komponen penyusun yang diikuti oleh dinamika ruang berpengaruh terhadap dinamika sumberdaya dalam sistem agroforestri. Dinamika sumberdaya ini akan lebih terlihat dalam sistem berbagi sumberdaya (resources sharing) khususnya antar pohon, pohon dengan tanaman semusim dan antar tanaman semusim. Sumberdaya di atas tanah (cahaya matahari) bervariasi dari waktu ke waktu sehingga hal ini memberikan penangkapan cahaya oleh tanaman semusim juga dinamis. Perkembangan sistem di bawah tanah khususnya sistem perakaran juga akan memberikan kontribusi pada dinamika sistem agroforestri. Kepadatan pohon yang memberikan konsekuensi pada kepadatan penutupan bidang olah oleh tajuk akan berbanding lurus dengan kepadatan perakaran sehingga juga akan menjadi pembatas dalam maksimalisasi penyerapan sumberdaya di bawah tanah oleh tanaman semusim. Dengan demikian dinamika sumberdaya di atas tanah dan di bawah saling berhubungan erat. Salah satu pendekatan untuk mengetahui dinamika sumberdaya baik di atas tanah maupun di bawah tanah adalah respon tanaman semusim dalam menangkap dan memanfaatkan sumberdaya yang diekspresikan dalam pertumbuhan tanaman semusim. Dinamika didasarkan pada sistem zonasi dalam sistem agroforestri untuk mengetahui kecenderungan sumberdaya.
LAPORAN AKHIR
I|3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Agroforestri mampu menyediakan hasil-hasil pertanian, di samping dapat mempertahankan fungsi ekologi dari hutan. Terdapat banyak spesies alami dalam sistem agroforestri, sehingga ahli agroforestri seringkali menekankan bahwa agroforestri dapat memberikan kontribusi penting dalam usaha melestarikan biodiversitas. Namun pada umumnya tidaklah demikian, paling tidak pada sebagian besar biodiversitas global yang paling terancam. Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk LAPORAN AKHIR
I|4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada. Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah dimana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat
dengan
mudah
ditelantarkan
saja,
hingga
suatu
saat
pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak
LAPORAN AKHIR
I|5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktuwaktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Melalui keaneka-ragaman tumbuhan, agroforestri dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam sistem produksi pertanian, seperti kendala lahan, sumberdaya manusia, dan sarana produksi pertanian. Sebagaimana diketahui sebahagian besar lahan di daerah ini merupakan lahan gambut, yang memang tidak sesuai untuk usaha pertanian. Selain itu, petani di daerah ini masih banyak menggunakan teknologi yang turun temurun dilakukan, walaupun sudah menggunakan pupuk buatan. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, masyarakat cenderung mengalihkan tanaman pangan menjadi tanaman kelapa sawit, dan atau membuka hutan untuk mengusahakan tanaman kelapa sawit. Komoditi kelapa sawit telah menarik minat para investor karena permintaan pasar yang sekarang ini masih tinggi, hampir setiap penjuru daerah ini banyak menanam kelapa sawit. Dikarenakan oleh berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian di Kabupaten Rokan Hilir dan adanya keinginan yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk terus meningkatkan peranan
LAPORAN AKHIR
I|6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
sektor pertanian sebagai salah satu sektor unggulan daerah disamping tetap melestarikan hutan, dengan dukungan pemerintah daerah dan sumber daya manusia yang unggul guna mewujudkan masyarakat sejahtera dan makmur, maka dipandang perlu untuk terus meningkatkan kontribusi dan peranan sektor pertanian dan kehutanan. Diharapkan ke depan Kabupaten Rokan Hilir mampu meningkatkan produktivitas tanaman pertanian dengan tetap menjaga hutan memenuhi kebutuhan produk pertanian diwilayahnya sendiri, bahkan mampu memasok ke daerah lain atau ekspor ke luar negeri, serta mampu memberikan peran dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dengan diversifikasi hasil pada sebidang lahan serta mampu menjaga pemenuhan kebutuhan akan hasil hutan. Salah satu kegiatan yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan peranan dan kontribusi sektor pertanian disamping sektor kehutanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi wilayah dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu “Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir”, khususnya pada sub sektor tanaman pertanian dan kehutanan. 1.2
Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud Pekerjaan Maksud dari kegiatan kajian ini adalah memberikan acuan dalam pengembangan agroforestry pada suatu kawasan. 1.2.2. Tujuan Pekerjaan Tujuan kegiatan Kajian Potensi Pengembangan Agroforestry adalah: a) Perumusan kebijakan model program yang akan meningkatkan pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat melalui program agroforestry.
LAPORAN AKHIR
I|7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
b) Penyusunan
strategi
meningkatkan
pengembangan
pendapatan
ekonomi
program melalui
yang
akan
pemberdayaan
masyarakat melalui program agroforestry. c) Penyusunan dokumen pemetaan potensi pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat dengan program agroforestry yang mendukung pengembangan sistem usaha agroforestry yang dapat meningkatkan nilai tambah keekonomisan yang diharapkan dapat meningkatkan nilai taraf hidup ekonomis petani/pekebun. 1.3
Sasaran Pekerjaan Sasaran dari Kajian Potensi Pengembangan Agroforestry pada suatu kawasan : a) Sebagai pilihan saran kebijakan model program yang akan meningkatkan
pendapatan
ekonomi
melalui
pemberdayaan
masyarakat melalui program agroforestry. b) Sebagai pilihan saran strategi pengembangan program yang akan meningkatkan
pendapatan
ekonomi
melalui
pemberdayaan
masyarakat melalui program agroforestry. Tersedianya dokumen pemetaan potensi pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat melalui program agroforestry yang mendukung pengembangan
sistem
usaha
hutan
kemasyarakatan
yang
dapat
meningkatkan nilai tambah keekonomisan yang diharapkan dapat meningkatkan nilai taraf hidup ekonomis petani/pekebun. 1.4
Ruang Lingkup Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir meliputi:
Pekerjaan persiapan kegiatan.
Pelaksanaan survey untuk pengumpulan data.
LAPORAN AKHIR
I|8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Mengkaji studi-studi terdahulu yang relevan dengan kajian yang dilaksanakan.
Mengkaji tentang kondisi biofisik lahan-lahan pertanian dan kehutanan, mengkaji
kondisi
sosial
ekonomi,
kependudukan,
kelembagaan petani serta sarana prasarana pendukung.
Merumuskan arah pengembangan wilayah agroforestri dengan memperhatikan berbagai kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir berkaitan dengan kebijaksanaan pembangunan dan tata ruang agar dapat dijadikan bahan untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan agroforestri.
Membuat peta-peta tematik yang dibutuhkan untuk kejelasan hasil kajian yang digambarkan dalam album peta A3.
Melakukan analisis-analisis yang diperlukan agar diperoleh rumusan untuk menyusun perencanaan pengembangan agroforestri.
Merumuskan
kesimpulan
hasil
penelitian
dan
memberikan
rekomendasi-rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan agroforestri. 1.5
Keluaran Keluaran yang diharapan dari Kegiatan Kajian Potensi Pengembangan Agroforestry adalah sebagai berikut : 1. Diperolehnya
dokumen
perencanaan
sebagai
acuan
dalam
merencanakan dan mengembangkan agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir; 2. Tersedianya dokumen potensi pengembangan agroforestry di Rokan Hilir; 3. Sebagai masukan bagi pembuatan kebijakan dalam pengembangan agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir
LAPORAN AKHIR
I|9
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
2.1.
Konsep dan definisi Agroforestry Konsepsi agroforestri dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritasprioritas
pembangunan
di
bidang
kehutanan
di
negara-negara
berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutanhutan dinegara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan dibidang kehutananpun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas. Menurut tim, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilanjutkan, namun perlu ada perhatian pula terhadap masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem produksi kayu bersamaan dengan komoditi pertanian, dan /atau peternakan, serta merehabilitasi lahan-lahan kritis. Dilain pihak ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan,
yang
seakan-akan
tidak
dapat
dikendalikanlagi.
Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh,
dengan
cara
pengelolaan
lahan
yang
dapat
mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang bagi manusia. Menurut
International
Council
for
Research
in
Agroforetry,
mendefinisikan Agro forestry sebagai berikut : " Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan
LAPORAN AKHIR
II | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat". (King dan Chandler, 1978). Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan
berpindah-pindah,
di
Jakarta
Nopember
1981,
mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut : "
Suatu
metode
penggunaan
lahan
secara
oftimal,
yang
mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat " (Satjapradja, 1981). Nair
(1989)
setelah
meninjau
kembali
definisi-definis
tersebut,
mengusulkan untuk menggunakan definisi yang dirumuskan oleh Lundgren dan Raintree sebagai berikut : " Agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertaian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksiinteraksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan" (Nair, 1989) Menurut definisi tersebut mencakup selang variasi yang cukup luas dan dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR
II | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
a. Dasar struktural ; menyangkut–komponen, seperti sistem-, seperti sistem silvikultur, silvopastur, agrisilvopastur. b. Dasar fungsional ; menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem, terutama komponen kayu-kayuan. c. Dasar sosial ekonomi ; menyangkut tingkat masukan dalam pengelolaan (masukan rendah, masukan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan, atau tujuan-tujuan usaha (subsistem, komersial, intermedier) Dasar ekologi ; menyangkut kondisi lingkungan dan kecocokan ekologi dan sistem. 2.2.
Bentuk Bentuk Agroforestri Beberapa model Agroforestri yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut : a. "Agrisilvopastur ", yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan. b. "Sylvopastoral system ", yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak. c. "Agrosylvo-pastoral system ", yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak. d. "Multipurpose forest ", yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak.
LAPORAN AKHIR
II | 3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Teknologi Agroforestry dikawasan hutan di Jawa dilaksanakan dengan menggunakan bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan terakhir Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial. Tumpangsari berarti menduduki lahan hutan atau ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman pertanian , yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari dalam hal penerapan teknolologi pertanian yang digunakan, mencakup penggunaan teknologi sebagai berikut : a. Penggunaan bibit unggul tanaman pertanian. b. Perbaikanpengolahan dan konservasi tanah. c. Penggunaan pupuk. d. Pemilihan waktu yang tepat untuk penanaman dan pemberian pupuk, sehubungan dengan waktunya turun hujan. Pengembangan teknologi Agroforestry dengan bentuk Tumpangsasi dan Imas Tumpangsari dikategorikan bersipat sementara sedangkan sistem Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial terjadi adanya kesinambungan produksi tanaman pertanian selama daur tanaman pokok. Teknologi selama daur merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial. Dalam pelaksanaan perhutanan ada dua kegiatan pokok : a. Pelaksanaan Agroforestry selama daur. b. Pembinaan
dan
pembentukan
Kelompok
Tani
Hutan
(KTH)
Pembentukan KTH dimaksudkan sebagai wadah untuk menyalurkan informasi, baik dari dari lembaga Instansi terkait, maupun dari petani, berupa usul-usul untuk melancarkan pekerjaan. Dengan lain
LAPORAN AKHIR
II | 4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perkataan, KTH dimaksudkan untuk menyalurkan informasi secara "top down" maupun "botton up" Perbedaan-perbedaan yang penting dengan tumpangsari biasa, elain jangka waktu kontrak,dalam tumpangsari selamadaur adalah : a. Jarak tanam tanaman pokok dapat lebih lebar b. Selain tanaman pokok dapat ditanam : •
Tanaman pertanian semusim selama kurang dari 4 tahun ; untuk tahun ke- empat dan selanjutnya (diperkirakan tajuk tanaman pokok sudah menutup), disarankan tanaman-tanaman yang tanhan naungan tetapi ekonomis cukup tinggi, seperti kapulaga dan empon-empon.
•
Tanaman pengisi berupa tanaman keras, yang ditanam dilarikan tanaman pokok, bermanfaat bagi pesangem/masyarakat, dan jumlahnya sebanyak 20% dari jumlah tanaman pokok pada akhir rotasi.
•
Tanaman sisipan berupa tanaman perkebunan/pertanian, yang ditanam dikiri-kanan tanaman sela, yang bermanfaat bagi pesanggem/masyarakat, dan jumlahnya sebanyak 20% dari tanaman pokok pada akhir rotasi. Bila tanaman sisipan berupa tanaman pertanian/perkebunan, maka tanaman pengisi harus merupakan tanaman hutan, atau sebaliknya.
•
Tanaman tepi, dibuat disekeliling tanaman, di tepi alur dan jalan pemeriksaan, berupa pohon buah-buahan, seperti durian, petai picung, mangga dll.
•
Tanaman pagar, dibuat disekeliling tanaman, ditepi alur dan jalan pemeriksaan. Biasanya tanaman secang.
•
Tanaman sela diantara tanaman pokok untuk mencegah erosi dan meningkatkan kesuburab tanah, seperti lamtorogung, (yang tahan
LAPORAN AKHIR
II | 5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
kutu loncat), kaliandra, gamal, flemingia, akan tetapi juga rumputrumputan seperti setaria, hamilton, dan juga nenas. 2.3.
Pengembangan Agroforestry Memperhatikan kondisi areal yang dipilih dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta mengacu kepada bentuk/model Agroforestry pola tanam yang diterapkan secara garis besar adalah sebagai berikut : a. Tanaman Pokok ; berupa tanaman kehutanan yang merupakan prioritas utama tanaman yang ditujukan sebagai produksi kayu dengan penentuan daur tebang selama 5 tahun. Jenis tanaman yang dipilih yaitu jenis sengon (Faraserianthes falcataria). b. Tanaman Semusim (Tahap I); merupakan tanaman pertanian yang berotasi pendek, ditanam diantara tanaman pokok dengan jarak minimal 30 cm dari batang tanaman pokok. Waktu penanaman dilaksanakan pada tahun pertama/ sebelum tanaman pokok berusia satu tahun, jenis tanaman yang dipilih kacang tanah. c. Tanaman semusim (Tahap II) ; dipilih tanaman pertanian berotasi pendek yang dapat tumbuh dengan/tanpa naungan, ditanam setelah panen tanaman semusim tahap pertama (kacang tanah) sampai batas waktu tanaman pokok berumur dua tahun. Jenis tanaman yang dipilih adalah jahe Gajah. d. Tanaman Keras ; merupakan tanaman pertanian yang berotasi panjang /tanaman perkebunan yang dapat hidup dibawah naungan dan bukan sebagai pesaing bagi tanaman pokok dalam memperoleh cahaya . Ditanaman setelah tanaman pokok berurmur 2 tahun, menempati lahan diantara tanaman pokok, tujuan penanaman untuk untuk memperoleh hasil buah (non kayu). Jenis yang terpilih adalah tanaman kopi .
LAPORAN AKHIR
II | 6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tujuan pengembangan Agroforestry antara lain : a. Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan. b. Pembangunan hutan secara multi funfsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif. c. Meningkatkan
pendapatan
petani/penduduk
miskin
dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian
warga
masyarakat
terhadap
upaya
peningkatan
kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat. d. Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas.
LAPORAN AKHIR
II | 7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah daerah yang memiliki keunggulan komparatif dalam di sektor pertanian dan kehutanan. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang terbatas penerapan teknologi, modal, persaingan produk, kesulitan dalam memasarkan hasil produksi, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pertanian serta terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Olehnya itu, diperlukan adanya kajian pengembangan agroforestri untuk produktivitas lahan dan hutan. Salah satu upaya untuk mengimpelementasi pengembangan agroforestri Kabupaten Rokan Hilir adalah dengan menata kawasan pengembangan pertanian dan kehutanan maka perlu adanya kajian yang khusus mengenai Kajian Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir. 3.1.
Kerangka Pendekatan Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu : (a) Meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b) mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan (c) penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability). Produktivitas Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani,
LAPORAN AKHIR
III | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Peningkatan
produktivitas
sistem
agroforestri
dilakukan
dengan
menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi caracara pengelolaan yang baru. Perbaikan
(peningkatan)
produktivitas
sistem
agroforestri
dapat
dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri: Keberlanjutan Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
petani
pada
saat
mereka
merencanakan
untuk
menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang
LAPORAN AKHIR
III | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah. Kemudahan untuk diadopsi Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks. Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan keinginannya. Apa yang dibutuhkan adalah cara yang sistematis untuk memadukan (matching) kebutuhan teknologi agroforestri dengan potensi sistem penggunaan lahan yang ada.
LAPORAN AKHIR
III | 3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Kerangka logik pelaksanaan pekerjaan Kajian Pengembangan Agroforestri Kabupaten Rokan Hilir secara sistematis pada Gambar 2.1. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut : a. Untuk merencanakan pengembangan agroforestri memperhatikan kelayakan usaha pertanian, baik dari aspek biofisik lahan, teknis produksi, sosial ekonomi dan kelembagaan serta sarana dan prasarana pendukung agroforestri b. Pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam perencanaan agroforestri perlu melibatkan pelaku sektor pertanian dan kehutanan masyarakat c. Dalam rangka pengembangan agroforestri harus memperhatikan pola usaha dan kebiasaan penduduk setempat dalam mengusahakan jenis tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultura (sayuran dan buahbuahan) serta tanaman perkebunan dengan tanaman kehutanan d. Dalam
rangka
mengembangkan
kawasan
agroforestri
perlu
memperhatikan kondisi aktual dan kondisi potensial sumberdaya lahan pertanian dan kehutanan e. Untuk menopang pengembangan kawasan agroforestri berkelanjutan perlu dilakukan penelitian yang bersifat multidisipliner terutama mengenai “aspek biofisik lingkungan, teknis budidaya, sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan”. Dalam menyusun Pengembangan Agroforestri akan digunakan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan pertanian dan kehutanan seperti; dimensi teknis, ekologis, sosial ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan. Syarat pengembangan jenis komoditas agroforestri yaitu secara teknis dapat dilaksanakan, dampak ekologis dan lingkungan minimal, ekonomis menguntungkan, secara sosial dan budaya dapat diterima masyarakat dan secara hukum
LAPORAN AKHIR
III | 4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dan politik sejalan dengan Visi dan Misi pembangunan Kabupaten Rokan Hilir dan pembangunan nasional. Kajian Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir secara garis besar terbagi dalam dua katagori, yaitu : a) Pekerjaan inventarisasi dan identifikasi potensi lahan agroforestri, b) Pekerjaan penyusunan arahan pengembangan kawasan agroforestri. Untuk pekerjaan Inventarisasi dan Identifikasi potensi lahan agroforestri menggunakan “pendekatan berjenjang” (multi stage approach) berupa : a) Analisis makro, untuk mengetahui sebaran potensi lokasi lahan agroforestri b) Analisis mikro, untuk mengetahui detail kondisi lokasi agroforestri menurut jenis komoditas, dikombinasikan dengan metoda partisipatif, merupakan
alternatif
pendekatan
terbaik
untuk
pekerjaan
inventarisasi dan identifikasi kawasan agroforestri. 3.2.
Jenjang Analisis Makro (Macro Stage) Jenjang analisis makro dilakukan guna mendapatkan gambaran keseluruhan tentang data luas dan sebaran ketersediaan lahan agroforestri yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai lokasi pengembangan agroforestri menurut jenis komoditas. Data yang menjadi dasar analisis akan lebih banyak berupa data sekunder khususnya data spasial yang dikumpulkan dari berbagai sumber yang relevan. Melalui teknik overlay dan dipadukan dengan analisis CASM (Capability, Accessibility, Suitability dan Manageability), akan memungkinkan untuk memperoleh gambaran lokasi-lokasi tentatif yang dinilai layak untuk pengembangan agroforestri. Penajaman terhadap hasil analisis dilakukan melalui kegiatan orientasi lapangan. Dengan data hasil orientasi lapangan maka dapat dianalisis arah pengembangan agroforestri yang prosesnya
LAPORAN AKHIR
III | 5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dilakukan secara partisipatif bersama-sama dengan stake holder di tingkat kabupaten dan kecamatan. Arah kebijakan pengembangan wilayah agroforestri adalah aspek-aspek yang diperhatikan pada jenjang analisis makro. Desk study/studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi awal yang diperlukan untuk identifikasi masalah dan kendala, perumusan strategi dan rencana kerja pelaksanaan pekerjaan, disain survei, pengolahan dan analisis data, maupun dalam perumusan rekomendasi dan kebijakan. Kegiatan yang dilakukan sebagai berikut : a. Pengumpulan dan analisis peta baik peta analog maupun digital yang diperlukan dalam pekerjaan ini, yang meliputi peta citra satelit, peta rupa bumi, peta topografi, peta tata guna lahan, peta administrasi kabupaten, peta administrasi kecamatan, dan peta tata ruang daerah. b. Pengumpulan dan analisis data dan informasi sekunder yang berasal dari dokumen-dokumen peraturan dan kebijakan pengelolaan dan pembangunan kawasan agroforestri seperti PERDA tata ruang wilayah, buku-buku seperti propinsi dalam angka, kabupaten dalam angka, monografi kecamatan, monografi desa, buku potensi desa, statistik pertanian, susenas, podes, studi dan laporan-laporan proyek sejenis. Melalui jenjang analisis makro maka dapat dihasilkan keluaran (out-put) berupa : a) Gambaran awal sebaran luas dan potensi lahan agroforestri dan selanjutnya dijadikan dasar dalam menentukan lokasi sample pekerjaan perencanaan pengembangan agroforestri di setiap kecamatan, untuk selanjutnya akan dilakukan analisis tingkat mikro; b) Peta
sebaran
lokasi
kawasan
agroforestri
serta
arahan
pengembangannya
LAPORAN AKHIR
III | 6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3.3.
Jenjang Analisis Mikro (Micro Stage) Kegiatan yang dilakukan pada jenjang analisis mikro adalah : a) Pengumpulan data dan informasi, dan analisis b) Arahan lokasi kawasan pengembangan agroforestri. Kegiatan pengumpulan data dan informasi akan dilakukan secara partisipatif dan diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi tingkat detail dan lengkap yang meliputi aspek fisik, biologi, teknik budidaya, panen dan pasca panen, pemasaran sosial ekonomi dan budaya, kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung, dan lain-lain, sehingga memungkinkan untuk dilakukan analisis secara menyeluruh terhadap masing-masing jenis komoditas menurut aspek dan pola keterkaitan antara aspek satu dengan aspek yang lain. Selain itu perlu diperhatikan beberapa kriteria dan pertimbangan yang ada
dalam
kaitannya
dengan
pekerjaan
kajian
pengembangan
agroforestri seperti : a. Isu-isu kebijakan, kajian pengembangan agroforestri wilayah Propinsi Riau dan Kabupaten Rokan Hilir b. Pertumbuhan produktivitas c. Ketersediaan infrastruktur pendukung d. Penggunaan lahan dan jenis komoditas tanaman yang telah dikembangkan e. Kesesuaian, dan potensi teknis lahan f. Ketersediaan lahan untuk agroforestri g. Luas kesatuan hamparan tanah Berdasarkan tujuan dan keterbatasan yang ada maka desain untuk survei dan pengumpulan data adalah sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR
III | 7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
a. Dengan menggunakan peta dasar dan peta tata guna lahan, akan dilakukan konfirmasi kepada Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan serta Instansi terkait mengenai luas dan potensi agroforestri saat ini dan potensi lahan pengembangannya; b. Dengan menggunakan peta dasar, peta tataguna lahan dan peta administratif kabupaten dan kecamatan ditetapkan areal yang akan disurvei dari luas area pemetaan yang direncanakan, termasuk lokasi desa, kecamatan dan kabupaten yang menjadi lokasi survei; c. Penentuan lokasi titik sampel di setiap areal yang akan disurvei untuk setiap jenis komoditas tanaman agroforestri; d. Dilakukan pengambilan data biofisik, teknis budidaya, panen dan pasca panen, teknologi agroforestri, sarana pendukung, sosial ekonomi budaya, serta land use di setiap titik sampel; e. Pengambilan data biofisik akan dilakukan dengan pengukuran dan analisis laboratorium terhadap sample tanah dari titik sampel; f. Pengambilan data teknis budidaya agroforestri, panen, pasca panen, teknologi sarana pendukung, dan kelembagaan petani akan dilakukan dengan pengamatan langsung di lokasi dan wawancara dengan masyarakat petani, kelompok tani, kelompok pemakai air irigasi, pedagang, industri pengolahan, penyedia bibit, dll; g. Pengambilan data sosial ekonomi budaya akan dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap kehidupan masyarakat petani dan wawancara dengan petani sampel; h. Pengambilan data land use akan dilakukan dengan pengamatan langsung dan
wawancara
dengan
pemerintah
tingkat
desa,
kecamatan dan kabupaten. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi, potensi-potensi bio-fisik, sosial ekonomi, kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung
LAPORAN AKHIR
III | 8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
pengembangan agroforestri yang terdapat di lokasi sampling akan dapat diketahui secara baik, termasuk tentang intensitas dan keberadaan faktor-faktor produksi yang menjadi kendala dan permasalahan dalam pengembangan agroforestri. Berdasarkan analisis data dan informasi tersebut juga akan dapat diidentifikasi dan diinventarisir areal pertanian yang potensial untuk pengembangan agroforestri, tetapi telah ditanami dengan jenis tanaman perkebunan dan atau kehutanan sehingga akan menjadi masukan penting dalam menentukan ketersediaan dan arahan pengembangan agroforestri. 3.4.
Arahan Pengembangan Kawasan Agroforestri Arahan pengembangan kawasan agroforestri disusun pada lokasi potensial untuk pengembangan kawasan dengan kriteria sebagai berikut: a. kesesuaian lahan; b. ketersediaan infrastruktur; c. penggunaan lahan; d. potensi teknis lahan; dan e. luasan kesatuan hamparan lahan f. Jenis tanaman yang telah dikembangkan dan sesuai keinginan masyarakat Dalam menyusun dokumen perencanaan tersebut menggunakan pendekatan
partisipatif
dalam
keseluruhan (Gambar 3.1). pendekatan
pelaksanaan
setiap
tahapan
maupun
secara
Di bawah ini digambarkan kerangka
pekerjaan
yang akan
dilakukan untuk
menghasilkan dokumen Kajian pengembangan agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir.
LAPORAN AKHIR
III | 9
PERTEMUAN & KONSULTASI
Kajian Pengembangan Agroforestri Kabupaten Rokan Hlir
Bappeda Tim Teknis Dinas Pertanian Instansi Terkait Kabupaten
Kerangka Acuan Kerja
Tujuan Pengembangan Agroforestri Kab. Rokan Hilir
DESK STUDY
Peta Citra Landsat Peta Rupa Bumi Peta Topografi Peta Tata Guna Lahan Peta Adm. Kabupaten Peta Adm. Kecamatan Peta Penggunaan Lahan Agroforestri Peta Rencana Pengembangan Agroforestri Peta Tata Ruang Daerah Peta Kesesuaian Lahan Peta jenis Tanah
Identifikasi Masalah & Kendala Inventarisasi & Identifikasi Makro Kawasan Lahan Agroforestri, Produksi, Sarana Pendukung & Lahan Kritis
Perumusan Strategi & Rencana Kerja
Pengumpulan & Analisis Data/Info
DESAIN SURVEI
PERDA Tata Ruang Prop. dan Kab. Dalam Angka, Monografi Kec. & Desa, PODES, Susenas Kebijakan dan Peraturan Laporan Proyek & Studi Sejenis
LAPORAN PENDAHULUAN
Pendekatan Dan Metodologi
SURVEI Persiapan Survei Tim, Instrumen, Kuisioner, Pedoman Uji Coba Instrumen Survei Coaching Tim Survei PELAKSANAAN Ground Survei Biofisik Teknis Budidaya, Panen & Pasca Panen Sosek & Kelembagaan Sarana & Prasarana Pengumpulan Data Sekunder: Land Use Sosek & Kelembagaan Sarana & Prasarana
Pengolahan Data
ANALISIS DATA PENGEMB. PERTANIAN Kemampuan Lahan (Biofisik) Ekonomi Sosial Budaya & Kelembagaan Sarana Pendukung Kebijakan Lingkungan Luas & Produksi Tan. Pertanian & Perkebunan (aktual & Potensial) Pola & sistem Pengelolaan Agroteknolog Industri Olahan & Pasar Kawasan Agroforestri
Partisipasi & aspirasi Masyarakat
Draft Laporan Akhir Kondisi dan Potensi Biofiisik Lahan Agroforestri, Sosial Ekonomi, Kelembagaan & Sarana Pendukung Potensi Lahan Agroforestri Arah Pengembangan Kawasan Agroforestri Teknologi / Sarana Pendukung Pengembangan Agroforestri Kelembagaan Pengelolaan Usulan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agroforestri Peta; Kesesuaian Lahan, Potensi dan Arah Pengembangan, dll
Gambar 3-1. Kerangka Pikir (Log Frame) Kajian Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Seminar/ Presentasi Laporan Akhir
Laporan Akhir
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3.5.
Metodologi
3.5.1. Inventarisasi dan Identifikasi Tingkat Makro (Macro Stage) 1. Pengumpulan Data a. Data Sekunder Data sekunder yang relevan akan dihimpun dari berbagai sumber dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Data sekunder yang akan dikumpulkan meliputi data atribut maupun data spasial (peta) dari aspek bio-fisik lahan, data atribut aspek sosial ekonomi masyarakat, data infrastruktur dan sarana pendukung agroforestri, data atribut dan informasi strategis yang menyangkut kebijakan dan rencana pengembangan wilayah secara umum maupun agroforestri dan data atribut operasional yang terkait dengan kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi masyarakat di lokasi pengembangan agroforestri. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur, laporan-laporan, dan peta-peta yang diperoleh dari instansi terkait, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten. Di tingkat pusat, data dan informasi diperoleh di kantor, Biro Pusat Statistik (BPS), Pusat Penelitian Tanah di Bogor, LAPAN dan Bakosurtanal di Jakarta.
Di tingkat daerah, data dan informasi
diperoleh di Bappeda, BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan instansi terkait lainnya dan pihak swasta serta lembaga-lembaga kemasyarakatan. Berbagai jenis data yang akan dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.1.
LAPORAN AKHIR
III | 11
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 3.1. Jenis Data Sekunder yang Dikumpulkan Pada Jenjang Analisis Makro No 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10
Jenis Data Batas Wilayah Administrasi. Pemerintahan. Peta Kawasan Pertanian
Nama Data Sumber Data Peta Wilayah Administrasi Bappeda Kabupaten Pemerintahan dan RTRW Peta RTRW Kabupaten
Bappeda Kabupaten
Dinas Kehutanan Peta Kawasan Hutan Peta Kawasan Hutan Propinsi dan Negara Negara dan RTRW Kabupaten Status Lahan dan Peta RTRW Bappeda Kabupaten Fungsi Kawasan Peta RTRW Kabupaten / Peta Kawasan Bappeda dan Dinas Peta Kawasan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Topografi dan Kelas Peta RBI Bakosurtanal Lereng Kondisi Penutupan Peta RTRW dan Citra Bakosurtanal, Lahan atau Satelit Bappeda, LAPAN Penggunaan Lahan Stasiun BMG, Type Iklim Kondisi Peta Sebaran Iklim Data Dinas Tanaman Curah Hujan Cuaca Pangan Peta Satuan Lahan dan Jenis Tanah BPT Bogor Tanah Sistem Lahan Peta Land Sistem RePProT, BPT Bogor
b. Data Primer Penghimpunan data primer tingkat makro akan dilakukan melalui kegiatan orientasi lapangan terhadap lokasi yang tercantum dalam Peta Ketersediaan Lahan Pengembangan agroforestri. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat formal dan informal setempat, orientasi lapangan dan pengamatan singkat secara langsung dengan intensitas rendah. Jenis data primer yang akan dikumpulkan pada tahap makro adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 3.2.
LAPORAN AKHIR
III | 12
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 3.2. Jenis Data Primer yang Dikumpulkan Pada Jenjang Analisis Makro Komponen No Pengamatan / Parameter A GEOFISIK 1 Iklim
2
Fisiografi, Topografi, Tanah dan Geologi
3
Hidrologi
B BIOLOGI 1 Jenis Tananaman Agroforestri
C SOSEKBUD 1 Kependudukan : Jumlah dan kepadatan penduduk Penyebaran penduduk Keragaman etnis 2 Sosial Ekonomi : Luas dan Produksi komoditas LAPORAN AKHIR
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
BMG dan Stasiun iklim terdekat
Metode Analisa Data
Kunjungan ke stasiun iklim terdekat untuk pengumpulan data iklim 10 tahun terakhir Data Primer - Pengumpulan dan data data sekunder sekunder berupa peta, dari Instansi citra, tabel, terkait grafik dari Instansi terkait - Survei lapangan Data primer - Tabulasi data dan primer/sekunder sekunder - Survei lapangan dari Instansi terkait
Analisis klasifikasi iklim berdasarkan Schmidt dan Ferguson
Data primer dan sekunder
Tabulasi data Primer/Sekunder yang dibutuhkan dan terkait dengan kegiatan penelitian
Analisis keragaan usaha tani tanaman Pola Tanam Jarak Tanam Teknik Budidaya
Data sekunder dari Instansi terkait
Tabulasi data Primer/Sekunder yang dibutuhkan dan terkait dengan kegiatan penelitian
Analisis daya dukung lahan (land suitability)
Analisis ketersediaan sumberdaya air pertanian
Analisis yang dilakukan terdiri dari penilaian dan perbandingan terhadap kondisi demografi dengan klasifikasi dimensi waktu Data Tabulasi data Analisis Deskriptif sekunder Primer/Sekunder Analisis keuntungan dari Instansi yang dibutuhkan usaha, analisis B/C terkait dan terkait dengan rasio, IRR dan NPV
III | 13
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Komponen No Pengamatan / Parameter pertanian Rumah Tangga Pertanian Ketenagakerjaa n Prasarana Ekonomi 3 Sosial Budaya : Perilaku sosial Interaksi dan sosialisasi masyarakat Kelembagaan
D TATA RUANG 1 Penggunaan Lahan
2
Sistem Infrastuktur dan Sarana Pendukung
LAPORAN AKHIR
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisa Data
kegiatan penelitian
Data primer melalui RRA dan data sekunder dari instansi terkait
Tabulasi data Primer/Sekunder yang dibutuhkan dan terkait dengan kegiatan penelitian
Analisis perilaku sosial terhadap sumberdaya, interaksi masyarakat, dan analisis kelembagaan, baik formal maupun non formal
Tabulasi data Identifikasi sekunder yang penggunaan lahan dibutuhkan dan agroforestri terkait dengan Luasan kegiatan penelitian penggunaan lahan agroforestri Pemetaan penggunaan lahan agroforestri Status lahan sesuai peraturan yang berlaku Data Tabulasi data Kebijakan sistem sekunder sekunder yang infrastruktur dan dari instansi dibutuhkan dan sarana terkait dan terkait dengan pengembangan PEMDA kegiatan penelitian agroforestri setempat Pengamatan serta kondisi fisik observasi prasarana dan lapang sarana pendukung yang ada di wilayah studi Data sekunder dari instansi terkait dan PEMDA setempat serta observasi lapang
III | 14
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
2. Metode Analisis Data Makro Untuk mendapatkan lokasi arahan pengembangan kawasan agroforestri terseleksi, semua data baik data sekunder maupun data primer yang telah berhasil dikumpulkan akan dianalisis. Proses analisis data pada tahap mikro akan terdiri atas dua tahap yaitu: a) analisis ketersediaan lahan, b) analisis prioritas pengamatan sampel usahatani. a. Analisis Ketersediaan Lahan Analisis ketersediaan lahan dilakukan melalui teknik overlay atas data spasial yang telah terkumpulkan dengan aktivitas sebagai berikut :
Penyeragaman Skala Peta dan Peta Dasar, dilakukan untuk mengatasi adanya variasi skala peta, seluruh peta yang ada akan dibuat dalam bentuk skala yang sama dan mengacu kepada standar referensi geografis baku dengan bantuan soft ware ArcView. Sebagai peta dasar akan dipilih peta yang mencakup wilayah kabupaten dan telah mendapatkan legitimasi banyak pihak, yakni peta RTRW Kabupaten Rokan Hilir.
Super Imposed Data Spatial,
merupakan proses penapisan
lokasi tahap awal terhadap peta-peta relevan yang telah berhasil dikumpulkan.
Kajian Bersama Penapisan Lokasi. Tujuan dilakukannya proses kajian bersama terhadap Peta Sebaran Ketersediaan Lahan Pengembangan Agroforestri adalah untuk menjaring adanya informasi
penting
yang
belum
terangkum
pada
tahap
pengumpulan data, dan dalam rangka menggali aspirasi dan partisipasi para stake holder di tingkat kabupaten
LAPORAN AKHIR
III | 15
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
b. Analisis Prioritas Lokasi Pengamatan Agroforestri Analisis prioritas lokasi pengamatan usahatani dan usaha agroforestri merupakan unit sample penelitian secara detil. Detail analisis menyangkut kondisi biofisik lahan, jenis tanaman pertanian yang diusahakan,
status
lahan,
sosial
ekonomi,
sosial
budaya,
kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung, dll. 3. Teknis Penampalan Peta (overlay) dan Analisis Kelayakan Lokasi Teknis penampalan peta dilakukan dengan mengacu pada arahan kriteria dan persyaratan untuk pengembangan kawasan agroforestri. Analisis akan ditampalkan dua jenis peta atau lebih, tergantung pada kepentingan pada setiap tahapannya. Prinsip yang dianut dalam penggabungan peta akan tergantung pada apakah hasil yang diperoleh menunjukkan hasil identifikasi dan delineasi areal yang paling akurat. Pada tahap awal, peta dasar yang mengacu pada referensi geografis yang sudah baku, dalam hal ini peta topografi, terlebih dahulu ditampalkan dengan kawasan agroforestri. a. Overlay 1 : Peta Rupa Bumi Topografi dan Peta Administrasi Ciri-ciri (layer) yang terdapat meliputi batas-batas kecamatan lingkup kabupaten, serta atribut layer berbasis referenfi geografis yang baku seperti laut, sungai, tasik, dan jalan. Overlay model ini menghasilkan Peta Administrasi Kabupaten Rokan Hilir. b. Overlay 2 : Peta RTRW dan Peta Present Landuse Peta RTRW mengandung informasi kelas tata guna lahan yang telah diklasifikasikan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Overlay peta ini dengan Peta Penggunaan Lahan Sekarang (hasil penafsiran Citra Landsat) memberikan zonasi arahan zonasi kawasan agroforestri dan kenampakan penutupan lahan dan penggunaan lahan yang mutakhir (updated) berdasarkan pada penafsiran
LAPORAN AKHIR
III | 16
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
penggunaan lahan untuk jenis tanaman pertanian.
Selain itu,
diperoleh kenampakan kondisi lahan dengan kondisi aktual, diperoleh pula indikasi adanya perubahan fungsi lahan agroforestri ke fungsi peruntukan lainnya. c. Overlay 3 : Peta Sistem Lahan, Peta Kelas Lereng, Peta Iklim Penelaahan aspek-aspek hujan, tanah, fisiografi, dan bentuk wilayah atau kelerengan dilakukan dalam menganalisis kemampuan lahan rencana arahan pengembangan agroforestri. Pada tahap ini, data sekunder yang menyangkut aspek-aspek tersebut akan dipergunakan sebagai bahan penelahaan. Dari hasil penampalan peta dan penelahaan data atribut yang menyertainya, akan tersusun arahanarahan
lokasi
pengembangan
agroforestri
sesuai
dengan
peruntukannya. Dari hasil analisis ini akan menghasilkan data luasan dan sebaran lokasi serta peruntukkan pengembangan agroforestri. Calon areal Pengembangan agroforestri yang teridentifikasi tersebut kemudian ditelaah lebih lanjut aspek aksesibilitas, ketersedian infrastuktur pendukung, dan kekompakkan arealnya. 3.5.2. Inventarisasi dan Identifikasi Tingkat Mikro (Micro Stage) Kegiatan inventarisasi dan identifikasi tingkat mikro adalah sebagai kegiatan lanjutan setelah selesai ditentukannya rencana arahan pengembangan agroforestri pada kegiatan yang sama untuk tingkat makro. Keluaran (output) dari kegiatan tahap mikro adalah data dan informasi areal secara lengkap dan menyeluruh beserta hasil analisisnya yang nantinya akan menjadi masukan
(out-come) dari
kegiatan
Kajian Pengembangan
agroforestri untuk lokasi yang sama. Untuk itu desain pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi tingkat mikro adalah untuk menghasilkan: a. Data dan informasi detail tentang letak dan luas lahan, status kepemilikan lahan, penggunaan lahan, jenis tanaman agroforestri yang
LAPORAN AKHIR
III | 17
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
diusahakan, teknik budidaya, sarana produksi, panen dan pasca panen, permodalan, penerimaan dan biaya usahatani, harga panen, serta hambatan dan masalah dalam mengembangkan usahatani. b. Data dan informasi detail tentang potensi fisik dan biologi lokasi termasuk faktor-faktor pembatasnya (limitation factor) dalam rangka menilai existing kelayakan biofisik lahan, potensi perbaikan kesesuaian lahan, dan rencana arah pengembangan kawasan agroforestri menurut potensi lahan. c. Data dan informasi tentang potensi sosial, adat istiadat, norma-norma sosial, organisasi sosial, pola kepemilikan lahan, budaya pertanian, tingkat
mobilitas.
Dalam
rangka
penentuan
sistem
dan
pola
kelembagaan (di tingkat petani) serta tentang kesediaan petani mengenai jenis program yang dibutuhkan dan kesediaan untuk mempertahankan lahan usahatani dari alih fungsi. d. Data dan informasi pola pengadaan input agroforestri, pengolahan hasil pertanian dan pola pemasaran hasil pertanian dll, dalam rangka mendukung pengembangan sistem agroforestri. 1. Jenis dan Metoda Pengumpulan Data a. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur, laporan-laporan, dan peta-peta yang diperoleh dari instansi terkait, baik di tingkat kecamatan dan tingkat desa. Data dan informasi dari tingkat kecamatan seperti, peta tanah, peta geologi, peta topografi, dan peta tata guna lahan umumnya telah didapatkan pada analisis tahap makro. Adapun jenis-jenis data sekunder yang akan dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.3.
LAPORAN AKHIR
III | 18
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 3.3. Jenis Data Sekunder Yang Dikumpulkan No 1
Jenis Data Batas Wilayah Administrasi Kecamatan dan Desa.
3
Peta Kawasan Hutan Negara
4
Status Lahan dan Fungsi Kawasan Topografi (bentuk wilayah, kelerengan, drainase) Penggunaan lahan pertanian dan perkebunan rakyat
Peta RTRW
Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten Bappeda
Peta RBI
Bakosurtanal
Laporan tahunan, Statistika, dll
Iklim (hujan, kelembaban, suhu, angin, cahaya matahari) Tanah (jenis tanah dan peneyebarannya)
Peta Iklim dan Data Cuaca
Bappeda, Dinas Pertanian & Perkebunan, Kecamatan Stasiun BMG dan Dinas Pertanian
Data Tanaman Perkebunan (Jenis, Luas, Produksi, Teknologi, Industri pendukung, Rumah Tangga Perkebun) Sarana dan Prasarana Pendukung Pertanian (Saprotan, Penangkar Benih, Balai Benih, Irigasi, Balai Penyuluhan, Kelompok Tani, Pengolahan Hasil, Pemasaran dll)
Statistik Perkebunan, Statistik Industri, Monografi Kecamatan dan Desa
5
6
7
8
9
10
LAPORAN AKHIR
Nama Data Peta Wilayah Administrasi Pemerintahan Kecamatan Peta Kawasan Hutan Negara dan RTRW
Peta Sebaran Jenis Tanah
Statistik Pertanian dan Perkebunan, Statistik Industri, Peta Daerah Irigasi, Monografi Kecamatan dan Desa
Sumber Data Bappeda, Kantor Kecamatan dan Desa
Bappeda, Dinas Pertanian & Perkebunan, LPT Bogor Bappeda, BPS, Dinas Perkebunan, Dinas Industri, Kecamatan dan Desa Bappeda, BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Industri dan Perdagangan, Dinas PU/Pengairan, Kecamatan dan Desa
III | 19
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No 11
Jenis Data Aksesbilitas (jarak, sarana transportasi, jalan usahatani, pelabuhan, dll)
Nama Data Statistik Transportasi, Statisktik Pertanian, Monografi Kecamatan dan Desa
12
Demografi penduduk (jumlah, kepadatan, pemilikan lahan, matapencaharian, pendapatan)
Kabupaten dan Kecamatan Dalam Angka, Monografi Desa
Sumber Data Bappeda, BPS, Dinas Pertanian, Dinas PU, Dinas Perhubungan, Kecamatan dan Desa BPS, Kecamatan dan Desa
b. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lapangan (uji petik). Jenis data primer yang akan dikumpulkan meliputi data: biofisik lahan, sosial ekonomi, sarana dan prasarana pendukung usahatani. Deskripsi data primer antara lain: topografi, jenis tanah, iklim, ketersediaan sumber air dan irigasi, penutupan lahan, jenis tanaman, luas dan produksi, sumber bibit, ketersediaan pupuk dan obat-obatan, teknik budidaya, peralatan produksi,
pascapanen
dan
pemasaran,
tingkat
persaingan,
permodalan, pendapatan dan biaya usahatani, tingkat penerimaan dan pilihan komoditas agroforestri, strategi dan tujuan usaha, peluang dan hambatan dalam usaha, model kelembagaan yang diinginkan. Jenis data primer yang akan diambil dalam pelaksanaan studi ini disajikan pada Tabel 3.4. Pengumpulan data sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan masyarakat dilakukan dengan metoda :
Quisioner
Metode RRA (Rapid Rural Appraisal)
Wawancara Mendalam
LAPORAN AKHIR
III | 20
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 3.4. Jenis Data Bio-Fisik, Sosial Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Pendukung Usahatani serta Metoda Pengumpulannya dalam Rangka Kajian Peengembangan agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir. Sumber Data/Metode Relevansi dan No. Jenis Data Pengumpulan Kegunaan Data A Aspek Bio-Fisik 1 Topografi/Fisiofrafi Lahan : - Kelas kelerengan Analisis peta RBI dan Perencanaan pengamatan lapang kesesuaian lahan - Ketinggian lokasi dpl Pengamatan lapang 2 Tipe Penggunaan Analisis Penafsiran Pola penanaman Lahan/penutupan Citra Landsat lahan - Areal pertanian Checking Lapangan Penentuan jenis existing tanaman - Potensi areal pengembangan 3 Iklim - Curah hujan bulanan Pengumpulan data Kelas kesesuaian lahan sekunder dari BMG - Temperatur bulanan Dan pola penanaman dan stasiun - Kelembabaan udara pengamatan terdekat B Data Usahatani Purposive Sampling Mengetahui keragaan Agroforestri usahatani & kebun, hambatan dan potensi pengembangannya - Jenis dan luas Wawancara dan Jenis dan luas tanaman tanaman Pengamatan Lapang pertanian dan perkebunan - Pengolahan Lahan Wawancara dan Mengetahui teknik Pengamatan Lapang pembukaan lahan usahatani & Perkebunan - Jenis, Jumlah dan Wawancara dan Mengetahui Kebutuhan Bibit Pengamatan Lapang ketersediaan dan kebutuhan bibit tanaman - Teknik Budidaya Wawancara dan Mengetahui teknik (pemeliharaan, Pengamatan Lapang usahatani, jenis dan pemupukan jumlah saprotan, pengendalian hama & ketersediaan, hama Penyakit, dll) penyakit serta penanggulangannya
LAPORAN AKHIR
III | 21
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No.
Jenis Data Jenis dan jumlah peralatan/teknologi (budidaya, panen, pengolahan hasil, dan pemasaran) - Penggunaan Tenaga Kerja
-
C
D
Sumber Data/Metode Pengumpulan Wawancara dan Pengamatan Lapang
Wawancara dan Pengamatan Lapang
- Panen dan Pengolahan Hasil
Wawancara dan Pengamatan Lapang
- Pemasaran
Wawancara dan Pengamatan Lapang
- Pendapatan dan Biaya Usahatani/Kebun
Wawancara dan Pengamatan Lapang
- Permodalan
Wawancara dan Pengamatan Lapang
Kelembagaan dan Sarana Pendukung Lainnya
Purposive sampling
- Pola dan jenis kelembagaan - Ketersediaan sarana irigasi, jalan usahatani, pupuk, obat,obatan, alsintan, kelompok tani, kredit, dll Persepsi Masyarakat Tentang Rencana Pengembangan Agroforestri
Wawancara dan Pengamatan Lapang Wawancara dan Pengamatan Lapang
LAPORAN AKHIR
Purposive sampling
Relevansi dan Kegunaan Data Mengetahui jenis dan jumlah peralatan/teknologi, ketersediaan dan kebutuhan masyarakat Mengetahui tingkat penyerapan tenaga kerja Mengetahui cara pemanenan, proses pengolahan hasil dan hambatannya Mengetahui pola, margin pemasaran dan harga pasar komoditas serta hambatannya Mengetahui kelayakan usahatani, serta kemungkinan pengembangannya Tingkat ketersediaan modal, cara memperoleh, dan hambatannya Identifikasi Ketersediaan dan Kebutuhan Kelembagaan, Sarana Pendukung dan Hambatannya Model kelembagaan pengelola pertanian Hambatan dan Potensi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pendukung Usahatani & Perkebunan Mengetahui tingkat persepsi masyarakat terhadap pengembangan
III | 22
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No.
Jenis Data - Jenis dan hambatan usahatani agroforestri - Kesediaan masyarakat terlibat dalam program
Sumber Data/Metode Pengumpulan Wawancara dan Pengamatan Lapang Wawancara dan Pengamatan Lapang
Relevansi dan Kegunaan Data agroforestri Identifikasi masalah dan pemecahannya Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat
2. Jumlah Sampel Lokasi Pengamatan Wilayah kegiatan dalam pelaksanaan pekerjaan ini meliputi beberapa Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir. Unit sampel lokasi pengamatan adalah desa-desa yang memiliki potensi untuk jenis tanaman agroforestri Metode penentuan desa sampel dilakukan secara purposive, atas dasar: (a) memiliki keunggulan potensi luas areal dan potensi produksi untuk pengembangan usahatani agroforestri, (b) jumlah rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan agroforestri, (c) ketersediaan sarana dan prasarana pendukung agroforestri, dan (d) desa sampel terpilih dapat menjadi pewakil dari potensi agroforestri dari setiap kecamatan. Informasi awal mengenai desa-desa yang memiliki potensi luas dan produksi, rumah tangga tani/kebun, dan ketersediaan sarana-prasarana, diidentifikasi dari data sekunder dan selanjutnya ditindak lanjuti secara detail pada tingkat lapang dengan meminta informasi awal pada kepala kecamatan, petugas PPL dan UPT Dinas pertanian dan perkebunan di setiap wiayah kecamatan. Jumlah desa sampel dalam pelaksanaan kegiatan ini direncanakan 10% dari desa yang menerapkan agroforestri (asumsi memperhitungkan pemekaran kabupaten) (Kabupaten Rokan Hilir Dalam Angka, 2012). Jumlah sampel dan teknik pengambilan sampel untuk responden petani dari setiap desa sampel terpilih akan dijelaskan pada sub bab sampling pengamatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
LAPORAN AKHIR
III | 23
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3. Metoda Pengambilan Sampel a. Sampling Pengamatan Penggunaan Lahan Pengamatan penggunaan lahan dilaksanakan dengan mengamati luas, jenis, dan pola penggunaan lahan di setiap lokasi sampel tapak lahan usahatani agroforestri di setiap desa sampel maupun areal petani responden yang diwawancarai. Kegiatan yang dilakukan adalah mencatat setiap jenis penggunaan lahan yang ada (present land use) di titik pengamatan. Untuk memudahkan dalam proses delineasi penggunaan lahan akan dilakukan dipetakan penggunaan lahan per kecamatan berdasarkan data dan informasi dari pihak kecamatan seperti: monografi kecamatan, penggunaan lahan dan peta-peta ditingkat kecamatan. Hasil pendataan dan pengumpulan informasi di lokasi uji petik dan peta penggunaan wilayah kecamatan, akan diinterpolasi dengan bantuan Peta Citra Landsat, sehingga dapat dilakukan delineasi untuk menghasilkan Peta Tata Guna Lahan Terakhir di setiap kecamatan. b. Sampling Pengamatan Sosial, Ekonomi dan Budaya Unit sampel dalam pengamatan sosial, ekonomi, budaya dalam kajian pengembangan agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir adalah petani mengusahakan agroforestri pada setiap desa sampel terpilih sebagaimana diuraikan sebelumnya di setiap kecamatan. Metode pengambilan sampel petani disetiap desa sampel dilakukan secara purposive dengan pertimbangan sebagai berikut: (a) sumbermata
pencaharian
utama
responden
adalah
petani
agroforestri, (b) memiliki lahan usahatani atau kebun agroforestri, (c) berpengalaman minimal 5 tahun dalam mengusahakan tanaman agroforestri, (d) bersedia dan mampu memberikan informasi yang benar dalam mengembangkan usaha-usaha dibidang agroforestri, dan (e) setiap sampel petani yang dipilih minimal mewakili satu atau LAPORAN AKHIR
III | 24
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
lebih jenis komoditas tanaman agroforestri yang potensial di setiap desa sampel. Jumlah petani sampel dalam kegiatan ini direncanakan sebanyak 3 orang per desa, sehingga disesuaikan dengan jumlah desa sampel per kecamatan. Penentuan jumlah responden perdesa sampel akan disesuaikan dengan kondisi lapang (proporsional) yaitu semakin banyak petani dan semakin beragam jenis tanaman agroforestri yang dikembangkan maka akan semakin besar jumlah petani sampel yang diambil, agar dapat menjadi pewakil dari setiap komoditas unggulan terdapat dalam suatu wilayah serta sesuai dengan kebiasaaan dan budaya masyarakat di setiap desa sampel terpilih. Metoda pengumpulan data dalam kegiatan inventarisasi, identifikasi dan penetapan lokasi pengembangan dirinci sebagai berikut :
Metode survey, observasi dan partisipasi : digunakan untuk mengumpulkan data lokasi eksisting, potensi dan arahan pengembangannya, perlakuan terhadap lahan agroforestri, penetapan kebutuhan sarana dan prasarana agroforestri dan serta rencana model kelembagaan.
Metode interview terhadap pihak petani, kelompok tani, industri pendukung hulu dan hilir, pedagang hasil pertanian, tokoh masyarakat
setempat
yang
berkaitan
dengan
rencana
pengembangan agroforestri.
Metode Sampel dan Enumerasi, untuk kegiatan penentuan desadesa sampel (purposive), penetapan lokasi pengamatan potensi lahan pertanian dan jenis usahatani yang dikembangkan (stratified dan purposive), keinginan dan kebutuhan masyarakat terhadap jenis komoditas agroforestri, sikap dan persepsi serta minat petani terhadap Pengembangan agroforestri, kebutuhan berkelompok ditingkat desa.
LAPORAN AKHIR
III | 25
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Untuk mendukung pengumpulan data dan analisis data maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bias dan efesiensi waktu. Pedoman pengumpulan data disiapkan beberapa model antara lain :
Pedoman wawancara untuk petani/masyarakat
Pedoman wawancara untuk petugas lapangan
Pedoman wawancara untuk pedagang hasil agroforestri
Pedoman
wawancara
untuk
institusi
dan
dinas
terkait
agroforestri
Pedoman pengamatan lapang untuk biofisik lahan agroforestri.
3.5.3. Metoda Analisis Data
Analisis
Pendapatan
Usahatani
:
untuk
menghitung
besarnya
pendapatan rata-rata petani dari usahatani yang dikembangkan dengan formula sebagai berikut : n n Zi = P . Hpi - X . HXi i=1 i=1 Dimana : Z = Pendapatan usahatani X = Input P = Output HPi = Harga output HXi = Harga input i = Jenis komoditas ke-n
Analisis Persepsi Pilihan Masyarakat Terhadap Komoditas Agroforestri Analisis Persepsi Masyarakar dimaksudkan untuk mengetahui pilihan jenis komoditas agroforestri yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam mengembangkan usahatani dan atau usaha agroforestri. Analisis ini sifatnya deksriptif yaitu setiap responden petani
LAPORAN AKHIR
III | 26
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
diminta untuk menentukan (mengurutkan) jenis tanaman unggulan agroforestri yang cocok dikembangkan di wilayah sesuai dengan kondisi biofisik lahan, memberikan pendapatan yang layak, serta telah dikenal dan sosial budaya mayarakat setempat.
Analisa pengembangan Agroforestri Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro). Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktekpraktek agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.
LAPORAN AKHIR
III | 27
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4.1.
Keadaan Fisik Wilayah
4.1.1. Letak dan Luas Kabupaten Rokan Hilir merupakan pemekaran dari kabupaten Bengkalis. Daerah ini terletak dibagian pesisir timur Pulau Sumatera dengan luas wilayah 8.881,59 km2 terletak pada posisi 1o14’ 2o30’ LU serta antara 100o16’-101o21’BT. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Rokan Hilir adalah :
Sebelah utara
:
Propinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka
Sebelah selatan
:
Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hulu
Sebelah barat
:
Propinsi Sumatera Utara
Sebelah timur
:
Dumai
Sebagian besar wilayah merupakan dataran dan hanya sebagian kecil berbukit dan bergelombang. Secara umum ketinggian tempat berkisar antara 1.5-50 m diatas permukaan laut. Wilayah tertinggi terdapat di Kecamatan Bagan Batu dan terendah terdapat di Kecamatan Panipahan. Aksesibilitas Kabupaten Rokan Hilir cukup memadai dimana antar wilayah dihubungkan oleh jalan baik jalan aspal maupun jalan tanah sebagai berikut: jalan aspal (365.35 km); kerikil (413.78 km); tanah (509.57 km); jalan beton (593.30 km) dan jembatan beton (14 buah). Selain itu untuk komunikasi lebih lancar dengan adanya jaringan telepon selular (BPS Rokan Hilir, 2009).
LAPORAN AKHIR
IV | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4.1.2. Kondisi Iklim dan Sumberdaya Air 1) Curah hujan Menurut klasifikasi Oldemand dalam AgroClimatc Map of Sumatera, Skala 1:3.000.000 (CRIA, 1978), daerah studi termasuk wilayah beriklim D1. Curah hujan rata-rata tahunan adalah 1.926 mm, sehingga daerah ini termasuk wilayah hujan < 2.000 mm dengan pola V.1 menurut Peta Wilayah Curah Hujan Pulau Sumatera skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000).
V.1
IV.1
Gambar 4.1. Peta Pewilayah Hujan di Kabupaten Rokan Hilir Gambar 4.2. menunjukan curah hujan bulanan di Kabupaten Rokan Hilir tepatnya di Stasiun Bangko, yang mewakili bagian barat daya. Jumlah bulan basah yaitu bulan dengan curah hujan lebih dari 200 mm per bulan dijumpai 3 bulan, yaitu Oktober, Nopember dan Desember. Curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Februari (92 mm) dan tertinggi pada Bulan November (239 mm).
LAPORAN AKHIR
IV | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Sementara itu, sebagian besar wilayah mempunyai tipe iklim E2 seperti diwakili oleh Stasiun Dumai dengan rata-rata curah hujan 1.905 mm/tahun dengan bulan basah 1 dan bulan kering 2 (Gambar 4.3). Curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Januari (86 mm) dan tertinggi pada Bulan Oktober (228).
Gambar 4.2. Sebaran Curah Hujan di Bagian Barat Daya Kab. Rokan Hilir
Gambar 4.3. Sebaran curah hujan di Bagian Timur Kab. Rokan Hilir
LAPORAN AKHIR
IV | 3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
2) Temperatur Udara Catatan temperatur udara di calon lokasi ini tidak tersedia. Untuk mengetahui lebih jauh, digunakan hasil pengamatan dari stasiun terdekat, yaitu BMG SSQ Pakanbaru. Gambar 3.4. menyajikan data temperatur bulanan dalam derajat celcius dan sebarannya menurut bulan, pada periode pengamatan tahun 2009. Temperatur udara terendah 26oC dapat diamati pada bulan Desember, sedangkan temperatur udara tertinggi 32oC diamati pada bulan Juni. Tujuh dari 12 bulan mempunyai suhu yang cukup panas yaitu 27 hingga 28 oC. Secara rata-rata tahuan, temperatur udara adalah 27 oC.
Gambar 4.4. Temperatur udara di Bandara Pekanbaru tahun 2011 (Riau dalam Angka, 2012) 3) Kelembaban Udara Gambar 4.5 menyajikan besaran kelembaban udara dan variasinya menurut bulan. Kelembaban udara terendah diamati pada bulan Maret (79 %) sedangkan kelembaban udara tertinggi diamati pada Bulan November (82,5 %). Secara rata-rata kelembaban udara di lokasi ini adalah 81 %.
LAPORAN AKHIR
IV | 4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 4.5. Kelembaban udara di Bandara Pekanbaru tahun 2011 (Riau dalam Angka, 2012).
4) Sumberdaya Air Selain mengandalkan curah hujan, kebutuhan air di Kabupaten Rokan Hilir pasok dari berbagai sungai. Sungai Rokan merupakan sungai terbesar yang melintas sejauh 350 kilometer dari muaranya di Rokan Hilir hingga ke hulunya di Rokan Hulu. Sebagai sungai terbesar, Sungai Rokan memainkan peranan penting sebagai lalu lintas penduduk dan sumber ekonomi masyarakat. Sungai-sungai lainnya adalah Sungai Kubu, Sungai Daun, Sungai Bangko, Sungai Sinaboi, Sungai Mesjid, Sungai Siakap, Sungai Ular dan lainnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Rokan Hilir, 2009). Sebagian besar wilayah kabupaten terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa, terutama di sepanjang Sungai Rokan hingga ke muaranya. Wilayah ini memiliki tanah yang sangat subur dan menjadi lahan persawahan padi terkemuka di Provinsi Riau. 4.1.3. Fisiografi dan Bentuk Wilayah Secara umum Kabupaten Rokan Hilir dibedakan atas empat tipe fisiografi utama, yaitu fisiografi Aluvial, Gambut, Pasang Surut, dan Lahan Kering LAPORAN AKHIR
IV | 5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
(Gambar 4.6). Dari keempatnya, fisiografi gambut dan lahan kering cukup mendominasi di Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan daerah studi mempunyai fisiografi pasang surut. U
Gambar 4.6. Penyebaran Spasial Tipe Fisiografi Utama di Kabupaten Rokan Hilir
Keempat fisiograpi itu menyebabkan adanya empat perbedeaan agroekologi. Fisogragrafi gambut membatasi agroekologi lahan rawa gambut. Tanah gambut ini sangat mudah rusak apabila tidak dipertahankan dalam kondisi alami. Akibatnya, penggunaan lahan ini untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman harus hati-hati terutama berkaitan dengan pemilihan lahan yang ditentukan oleh jennis gambutnya, kedalaman gambut, dan tanah yang ada di bawahnya. LAPORAN AKHIR
IV | 6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Fisiografi gambut di Rokan Hilir termasuk kubah gambut, dimana ketebalan gambut semakin dalam dengan semakin tengahnya lokasi. Pemukiman bila ada biasannya berada dipinggiran kubah ini, dimana ketebalan gambut dangkal. Fisiograpi Aluvial dan Pasang Surut, sama-sama fisiografi yang dipengaruhi dinamika air. Pada fisiograpi Aluvial atau lebak, siklus hidup tanaman sangat dipengaruhi oleh dinamika air sungai, sehingga kejadian banjir dan debit merupakan hal yang penting diperhatikan. Tanah-tanah di daerah ini relatif subur karena hasil pengendapan dari bawaan sungai hasil erosi daerah hulu. Pemukiman biasanya berada di daerah tanggultanggul sungai. Sementara itu pasang surut banyak dipengaruhi oleh dinamika pasang dan surutnya air surut, sehingga muka air tanah bisa naik turun. Dinamaika ini berlaku harian, tidak seperti dinamika air sungai yang musiman.Tinggi tempat dari muka air laut berkisar antara 83-86 m dpl, yang menempatkan areal ini sebagai ageoekologi lahan dataran rendah. Dari ketinggian itu, areal lahan yang paling dominan berada dalam ketinggian 85 m dpl. Dari segi bentuk wilayah (Gambar 4.7), Kabupaten Rokan Hilir didominasi oleh wilayah dataran. Kecuali Kecamatan Simpang Kanan dan Bagan Sinembah, semua kecamatan mempunyai bentuk wilayah yang datar dengan kemiringan lereng < 3 %. Wilayah yang berombak dan bergelombang hanya dijumpai di wilayah Kecamatan Pujud, Simpang Kanan dan Bagan Sinembah.
LAPORAN AKHIR
IV | 7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
U
Gambar 3.7. Penyebaran Spasial Bentuk Wilayah di Kabupaten Rokan Hilir 4.1.4. Geologi Wilayah Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dari cekungan yang memanjang dalam struktur tersier endapan lembah Sungai Rokan. Endapan pada daerah aliran sungai (DAS) ini terdiri atas campuran batu lumpur, batu lanau, batu pasir, tufit, dan tefra halus. Di sekeliling endapan ini terdapat campuran endapan tefra berbutir halus, tufit, batu lumpur, batu lanau, batu pasir, aluvium sungai muda, pasir tua dan kerikil. Mendekati aliran sungai dan daerah meander, endapan ini
LAPORAN AKHIR
IV | 8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
umumnya terdiri atas aluvium yang sebagian besar ditutupi oleh rawa bergambut dan gambut dalam. Berdasarkan peta geologi, Wilayah Kabupaten Rokan Hilir terbentuk dari batuan berumur tersier dan bahan endapan berumur kuarter. 1) Batuan berumur tersier ini terdiri dari :
Formasi petani (Tup) yang merupakan lapisan palembang tengah dan bawah yang tersusun dari batu lumpur berwarna kehijauan, batu pasir bertufa, sedikit batu lanau dan batu pasir halus. Formasi petani ini terdapat pada bagian Tenggara dari Kabupaten Rokan Hilir yaitu Sedinginan ke arah Kota Duri.
Formasi Telisa (Tmt); formasi ini dicirikan oleh batu lumpur kelabu bergamping dengan sedikit batu lanau dan sisipan batu gamping, lensa gamping tersebar di atas formasi petani.
Formasi Pematang (TLpe); muncul setempat-setempat di Bukit Batu Kerikil dan Bukit Pelentung yang dicirikan oleh batu lumpur berkaratan ungu sampai jingga dan konglomerat breksian, serpih cokiat karbonat.
2) Bahan endapan berumur kuarter terdiri dari:
Formasi Minas (Qpmi); terdapat di atas formasi petani (Tup) dan dibawah endapan permukaan tua (Qp). Formasi ini dicirikan oleh batu lumpur lunak terkaolinkan dan terurat limonitan, batu lanau, pasir dan kerikil. Formasi minas ini merupakan lipatan dan peralihan antara antikiln dan sinkiin.
Endapan Permukaan Tua (Qp) merupakan daerah basah (basin) dan daerah kering (upland) formasi ini dicirikan oleh bahan lempung, lanau dan kerikil lempungan serta sisa-sisa tumbuhan.
LAPORAN AKHIR
IV | 9
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Endapan Permukaan Muda (Qh) didominasi oleh bahan organik berupa kubah gambut dan hanya sebagian kecil terbentuk dari lempung, lanau dan kerikil licin yang disepanjang sungai Rokan membentuk aluvial sungai.
Berdasarkan jenis batuan yang ada, maka di Kabupaten Rokan Hilir dijumpai potensi bahan tambang yang meliputi bahan galian golongan A (Strategis) dan bahan galian golongan C (bahan bangunan, industri, nistrates strategis dan nirvital). Bahan galian golongan A (Strategis), berupa minyak bumi dan gas yang terdapat di Kecamatan Tanah Putih dan Rimba Melintang. Minyak bumi dan gas ini telah diekspioitasi oleh PT Chevron Pasifik Indonesi (CPI), dan masih berlangsung hingga saat ini. Hingga tahun 1991 terdapat 335 sumur minyak yang tersebar di 25 daerah/lapangan minyak, dengan laju produksi 77.865 bopd. Untuk laju produksi gas sebesar 2.076 Mscfd. Dari keseluruhan sumur minyak yang ada, jumlah sumur maupun laju produksi migas yang terbesar terdapat di lapangan minyak Bangko. Diperkirakan di daerah Rantau Bais Kecamatan Tanah Putih, memiliki kandungan deposit migas yang dapat diekploitasi dengan 1.000 pompa angguk. 4.1.5. Geomorfologi Wilayah Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dari lingkungan cekungan yang memanjang di atas dataran aluvial dan rawa-rawa. Pembentukan kembali sedimen tersier dengan arah barat laut - tenggara sebagian besar merupakan penciri topografi (bagian jalan sekitar Bangko Bagan Sinembah - Simpang Kanan merupakan salah satu dari punggung ini). Pola drainase aliran sungai berbentuk paralel dengan kemiringan pada puncak dan punggung lereng yang berbentuk cembung dan sepanjang sinklinal bagian tengah dan bawah.
LAPORAN AKHIR
IV | 10
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Saat ini, pada daerah dataran masih mengalami siklus erosi aktif karena adanya proses pengangkatan dan biasanya membentuk lembah-lembah sempit menyerupai bentuk huruf V. Adanya pemotongan permukaan tanah, mengiris dataran sangat dalam seperti permukaan endapan Minas, yang relatif datar, sisa dari permukaan ini Satuan geomorfologi yang terdapat di wilayah Kabupaten Rokan Hilir antara lain adalah :
Dataran-dataran banjir bergambut, tergenang tetap
Dataran-dataran banjir danau, lembah-lembah sempit
Dataran-dataran endapan bertufa yang berbukit
Dataran-dataran pasir paduan sungai/muara
Dataran-dataran pasir sungai non-vulkanik pedalaman
Dataran-dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang
Dataran lumpur antar pasang surut dibawah bakau
Jalur meander sungai-sungai besar dengan tanggul-tanggul lebar
Rawa-rawa gambut dalam, biasanya berkubah
Rawa-rawa gambut dangkal
Teras-teras laut tua yang rendah berpasir dan bertanah liat
Teras-teras laut tua yang tertutup gambut rendah
Teras-teras laut, tertoreh, berpasir dan bertanah liat.
4.1.6. Tanah 1) Perkembangan dan Pengelompokan Tanah Sifat-sifat tanah sangat ditentukan oleh jenis bahan induk dan posisinya di landscape. Bahan induk tanah di Rokan Hilir ini berupa LAPORAN AKHIR
IV | 11
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
bahan tanah mineral dari sedimen halus, batuan sedimen halus dan kasar masam, serta bahan organik. Jenis bahan induk ini dapat dibedakan atas bahan induk aluvium atau koluvium, yaitu bahan induk yang diendapkan oleh aktivitas air di sungai atau parit (aluvium), bahan longsoran dari lereng atas (koluvium). Bahan induk lainnya adalah bahan induk batuan sedimen halus dan kasar masam. Bahan induk tanah mineral pastinya menurunkan tanah-tanah mineral. Tanah mineral ini sebagaian telah mengalami pelapukan sangat lanjut yang tergolong tanah Ultisols dan Inceptisol. Variabilitas sifat tanah di daerah ini sangat ditentukan oleh jenis fisiografinya. Hal yang paling membedakan adalah kondisi drainase pada fisiografi pelembahan cenderung terhambat sementara pada fisiografi dataran draenase cenderung baik. Pengamatan terhadap sifat morfologi tanah melalui telahaan data-data sekunder, di daerah studi dapat dibedakan atas 4 subgrup tanah menurut sistem taksonomi tanah, yaitu: Tropaquepts, Kandiudults, Hapludox, dan Saprists. 2) Satuan Peta Tanah Tanah mempunyai sifat yang beragam, baik secara vertikal maupun horizontal. Perbedaan sifat tanah secara vertikal dapat diamati ketika tanah yang digali atau dibor menunjukan misalnya perbedaan warna, kelekatan dengan semakin dalamnya pengamatan. Perbedaan ini disebabkan oleh adannya proses pedogenesis seperti pencucial, mineralisasi, dan yang lainnya yang ditentukan oleh faktor bahan induk, iklim, topografi, organisma, yang bekerja pada kurun waktu geologi tertentu. Adanya horizonasi dan perbedaan kedalaman tanah seringkali menjadi dasar pengelompokan tanah berdasarkan sistem tatanama (Sistem Taksonomi).
LAPORAN AKHIR
IV | 12
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tanah juga beragam secara horizontal, yang disebabkan juga oleh keragaman secara horizontal dari faktor pembentuk tanah, seperti bahan induk, lereng, dan topografi. Dalam mempengaruhi sifat tanah, lereng dan topografi ini bersifat lokal, berbeda dengan faktor iklim yang bersifat global. Perbedaan sifat tanah secara horizontal dikombinasikan dengan perbedaan secara spasial faktor-faktor pembentuk tanah terutama bahan induk dan lereng yang bisa dibedakan dan dibatasi merupakan dasar pembentukan peta tanah. Istilah satuan peta menunjukan kombinasi keragaman vertikal dan horizontal. Satuan peta tanah adalah sebidang lahan yang mempunyai faktor penyusun yang sama, dimana penyusunnya adalah karakteristik tanah, bentuk wilayah, dan bahan induk. Satuan peta ini secara grafis digambarkan dalam bentuk poligon sehingga dapat dihitung luasannya. Penarikan garis batas poligon didasarkan pada adanya perbedaan dalam kelerengan. Hal penting lainnya dalam satuan peta adalah adanya informasi penyebaran karena penyusunan poligon-poligon satuan peta dalam batas kajian. Dikombinasikan dengan luasannya masing-masing, maka dapat diketahui agregasi atau blocking dari setiap satuan peta, seperti ditunjukan pada Gambar 3.8.
LAPORAN AKHIR
IV | 13
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
U
Gambar 4.8. Penyebaran Secara Spasial Satuan Peta Tanah di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 4.1 menyajinkan deskripsi dari masing-masing komponen penyusun satuan peta tanah (SPT). Sebaran SPT bisa diamati pada Gambar 9 Komponen penyusun utama SPT adalah tipe tanah. Komponen lainnya adalah fisiografi, bahan induk dan bentuk wilayah, yang lebih dahulu telah diuraikan. Tabel 4.1. Satuan Peta Tanah Kabupaten Rokan Hilir
1
Unit Lahan Bf.4.2
2
Bf.4.3
SPT
LAPORAN AKHIR
Fisiografi Dataran PS berawa di belakang pantai Dataran PS sepanjang pantai bervegetasi bakau
Bahan Induk
Relief
Lereng
Sedimen
datar
<3
Sedimen halus
Datar
<3
Tanah Sulfaquents (D), Hydraquents (F), Sulfaquents (D), Hydraquents (F),
IV | 14
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3
Unit Lahan Bf.4.4
4
Bf.4.5
5
Bf.4.6
6
Bf.5.5
7
SPT
Fisiografi
Bahan Induk
Relief
Lereng
Tanah
Dataran PS sepanjang estuari bervegetasi mangrove campuran dan/atau nipah Dataran pantai di atas ketinggian pasang rata-rata, daerah tinggi (yg diolah) dan tua Daerah sepanjang dataran estuarin yang telah didraenase, yang telah diolah Rawa belakang pantai, rawa yg telah diolah
Sedimen halus
Datar
<3
Sulfaquents (D), Hydraquents (F),
Sedimen halus
Datar sampai berombak
<3
Sulfaquents (F), Tropaquepts (F), Dystropepts (M), Sulfaquepts (T)
Sedimen halus
datar
<3
Tropaquepts (D), Sulfaquents (F), Sulfaquepts (T)
Sedimen halus
datar
<3
Bf.6
Endapan delta
Sedimen halus
datar
<3
8
Bfq.4.4
<3
D.2.1.2
Batuan sedimen halus dan kasar masam Bahan organik
datar
9
datar sampai cembung
<3
Troposaprists (D), Tropohemists (F)
10
D.2.1.3
Bahan organik
datar sampai cembung
<3
Tropohemists (D), Troposaprists (F)
11
D.2.2.2
bahan organik
Datar
<3
12
D.2.3.2
Bahan organik
datar
<3
Troposaprists (F), Tropohemists (M), Tropofibrist (M), Sulfihemist (M) Troposaprists (F), Tropohemists (F), Tropofibrist (M), Sulfihemist (T)
13
Au.1.1.3
Dataran PS sepanjang estuari bervegetasi mangrove campuran dan/atau nipah Kubah gambut oligotropik air tawar, ked. Gambut 0.5-2.0 m Kubah gambut oligotropik air tawar, ked. Gambut > 2.0 m Kubah gambut oligotropik terpengaruh air asin, ked. 0.5-2 m Kubah gambut yg telah diolah, telah mengalami pemadatan, ked. 0.52.0 m Tanggul sungai
Sulfihemist (F), Sulfaquents (F), Hydraquents (F) Tropaquepts (D), Sulfaquents (F), Sulfaquepts (T) Sulfaquents (D), Hydraquents (F),
Sedimen
Datar
<3
14
Au.1.2
Dataran banjir dr sungai bermeander
Sedimen
Datar
<3
15
Au.4.1.1
Teras sungai
Sedimen
Datar
<3
16
Pf.3.2
Dataran
berombak
3-8
17
Pf.4.2
Dataran
Pfq.1.0
Dataran
berombak sampai bergelombang datar
3-16
18
Batuan sedimen halus masam Batuan sedimen halus masam Batuan sedimen halus dan kasar masam
LAPORAN AKHIR
<3
Tropaquepts (D), Tropaquents (F), Troposaprist (M) Tropaquepts (D), Dystropept (F), Tropofluvents (M) Eutropepts (P), Tropaquepts (M) Hapludults (D), Dystropepts (F), Tropaquepts (M) Hapludults (D), Dystropepts (F), Tropaquepts (M) Hapludox (D), Tropaquepts (F)
IV | 15
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
19
Unit Lahan Pfq.2.1
Dataran
20
Pfq.3.1
Dataran
21
Pfq.4.2
Dataran
22
Pfq.5.2
Dataran
23
Pq.1.1
Dataran
24
Pq.2.1
25
Pq.3.1
SPT
Fisiografi
Bahan Induk
Relief
Lereng
Tanah
Batuan sedimen halus dan kasar masam Batuan sedimen halus dan kasar masam Batuan sedimen halus dan kasar masam Batuan sedimen halus dan kasar masam Batuan sedimen kasar masam
Datar sampai berombak
<8
Hapludox (D), Kandiudults (F), Tropaquepts (M)
berombak
3-8
Kandiudults (D), Hapludox (F), Tropaquepts (M)
berombak sampai bergelombang
3-16
Kandiudults (D), Hapludox (F), Tropaquepts (M)
bergelombang
8-16
Kandiudults (D), Hapludox (F), Tropaquepts (T)
datar
<3
Dataran
Batuan sedimen kasar masam
Datar sampai berombak
<8
Dataran
Batuan sedimen kasar masam
berombak
3-8
Tropohumods (D), Tropaquepts (F), Hapludox (M), Tropopsamments (T) Tropohumods (D), Hapludox (F), Tropaquepts (M), Tropopsamments (T) Hapludox (D), Tropaquepts (F), Tropopsamments (M)
3) Kesuburan Tanah Kesuburan tanah merupakan kualitas tanah atau kemampuan tanah menjaga ketersediaan dan keseimbangan unsur hara serta unsurunsur yang meracun dalam tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil analisa tanah tingkat kesuburan tanah lokasi kajian bervariasi dari tinggi sampai rendah. C-organik dan N-total. Bahan organik merupakan salah satu sumber hara dalam tanah dan akan tersedia apabila telah mengalami pelapukan. Adapun unsur hara yang dihasilkan dari pelapukan bahan organik adalah N, P, K dan unsur mikro. Jumlah unsur hara yang dapat disumbangkan oleh bahan organik sangat tergantung pada macam dan tingkat pelapukan yang terjadi. Pada umumnya kandungan bahan
LAPORAN AKHIR
IV | 16
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
organik yang tinggi akan diikuti oleh unsur N yang tinggi. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan C-organik tergolong rendah dan N-total tergolong rendah. Fosfor dan Kalium. Peranan unsur hara P dan K tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan unsur N dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Perombakan bahan organik atau mineral tertentu di dalam tanah diharapkan sebagai sumber P dan K dalam tanah. Hasil analisis P berturut-turut di Kecamatan Bangko, Batu Hampar, Tanah Putih Tanjung Melawan, Bangko Pusako, dan Simpang Kanan tergolong rendah-sedang, rendah-sedang, rendah, rendah-sedang, dan rendahtinggi. Reaksi Tanah. Reaksi tanah sifat tanah yang sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara tanaman. Disamping itu reaksi tanah juga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Reaksi tanah tergolong agak masam sampai masam. 4.1.7. Erodibilitas Tanah Erodibilitas tanah di DAS Rokan termasuk sedang, yaitu rata-rata 0,23. Penyebaran kelas kepekaan ini mencapai luas 315.829 ha (51% dari luas DAS) (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Luas dan Sebaran Erodibiltas Tanah (K) di DAS Rokan No 1 2 3 4 5
Kelas Erodibilitas Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
LAPORAN AKHIR
Luas (Ha) 102.056 128.810 315.829 13.826 53.848 614.369
Proporsi (%) 16,61 20,97 51,41 2,25 8,76 100
IV | 17
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah (mudah tidaknya tanah tererosi) di DAS Rokan adalah: (1) Tekstur tanah berkisar halus sampai agak kasar (liat sampai lempung berpasir). Tanah bertekstur halus tahan terhadap erosi karena adanya kohesi yang tinggi antar partikel. Begitu juga dengan bertekstur kasar akan tahan terhadap erosi karena mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sedangkan tanah bertekstur debu atau pasir halus mudah terangkut oleh aliran permukaan; (2) Struktur tanah adalah granular, gumpal, dan lepas. Tanah-tanah yang berstruktur granular dan lepas lebih terbuka dan lebih sarang dan akan menyerap air lebih cepat, dan dengan demikian, menurunkan laju aliran permukaan dan erosi; (3) Bahan organik tanah berharkat sedang sampai sangat
tinggi.
Kandungan
bahan
organik
tersebut
cenderung
memperbaiki struktur disamping menjaga stabilitas struktur; (4) Permeabilitas tanah bervariasi dari sangat lambat sampai cepat. Tanahtanah yang mempunyai permeabilitas cepat menaikan laju infiltrasi, dan dengan demikian, menurunkan laju aliran permukaan; dan (5) Kedalaman efektif berkisar antara dalam sampai sangat dalam, sehingga mampu menyerap air lebih banyak dan tentunya menurunkan laju aliran permukaan. 4.1.8. Penutupan Lahan
Sebagian besar lahan di Kabupaten Bengkalis sudah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian, perkebunan, dan perikanan. Tanaman yang sekarang dibudidayakan antara lain padi sawah, kedelai, ubi kayu, jagung, salak dan kelapa sawit. Disamping itu semua kolam yang ada juga diusahakan dengan beberapa jenis ikan. Teknologi budidaya yang diterapkan kelihatannya masih sangat rendah tidak menerapkan teknologi yang tersedia. Wajar saja bila produktivitas yang dicapai rendah dan penampakan fisik tanaman tidak sesuai dengan yang seharusnya.
LAPORAN AKHIR
IV | 18
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Menurut data BPS Rohil (2009), Luas Kabupaten Rokan Hilir adalah 865.767 ha, dari luas tersebut dipergunakan untuk lahan sawah seluas 62.658 ha sedangkan untuk lahan kering 803.109 ha. Lahan sawah terluas di Kecamatan Bangko yaitu 24.621 ha sedangkan luas lahan kering terbesar adalah dikecamatan Pujud yaitu seluas 145.630 ha. Tabel 4.3. Luas Lahan Menurut Jenis Lahan (Ha) dan Kecamatan Tahun 2008 (BPS Rohil, 2009) Kecamatan Tanah Putih Pujud Tp Tj Melawan Rantau Kopar Bagan Sinembah Simpang Kanan Kubu Pasir Limau Kapas Bangko Senaboi Batu Hampar Rimbang Melintang Bangko Pusako Jumlah 2008 2007 2006
4.2.
lahan sawah 518 0 1.500 0 480 643 8.523 5.600 24.621 11.831 2.153 4.735 2.054 62.658 71.945 75.464
lahan kering 61.711 145.630 18.339 370 104.569 16.822 131.720 44.134 133.807 21.717 16.109 37.626 71.198 803.109 816.214 812.695
Jumlah 62.229 145.630 19.839 370 105.049 16.822 140.243 49.734 158.428 33.548 18.262 42.361 73.252 865.767 888.159 888.159
Fokus Kesejahteraan Sosial
4.2.1. Pendidikan Pembangunan
pendidikan
merupakan
bahagian
penting
dalam
peningkatan kualitas sumberdaya manusia daerah. Potensi sumber daya alam dan jumlah penduduk yang besar memerlukan pengembangan melalui sistem pendidikan yang tepat agar memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk. Pendidikan harus mampu melahirkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan tidak menjadi beban pembangunan dan masyarakat, yaitu sumberdaya
LAPORAN AKHIR
IV | 19
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
manusia yang menjadi sumber kekuatan atau sumber pengerak (driving forces) bagi seluruh proses pembangunan dan kehidupan masyarakat. Pembangunan pendidikan formal dan non formal dititik beratkan pada peningkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Kabupaten Rokan Hilir dalam pembangunan pendidikan, seperti peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, perluasan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat, dan lain-lain sebagainya. Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu diperlukan system pendidikan yang lebih baik dan tenaga pengajar yang berkualitas serta didukung sarana dan prasarana yang memadai baik negeri maupun swasta. Peningkatan mutu tidak dihitung dengan kualitas sekolah yang tersebar akan tetapi bagaimana menciptakan sekolah yang berkualitas. Untuk mengetahui jumlah sarana pendidikan sekolah baik negari maupun swasta dari SD sampai pada jenjang SLTA dapat dilihat pada table berikut. No.
Sekolah
Negeri
Swasta
1.
SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI)
259/1
75/59
2.
SLTP/MTs
39/1
62/67
3.
SLTA/MA
21/1
28/23
4.
Sekolah Menengah Kejuruan
2
16
324
330
Jumlah Sumber: Profil Kabupaten Rokan Hilir, Tahun 2010
Gambar 4.7. Jumlah Sekolah yang ada di Kabupaten Rokan Hilir
Pada tahun 2010 Jumlah Sekolah Negeri sebanyak 324 Sekolah dan Jumlah Sekolah Swasta sebanyak 330 sekolah yang terdiri dari Sekolah Dasar Negeri berjumlah 259, Madrasah Ibtidaiyah Negeri berjumlah 1 buah, Sekolah Dasar Swasta berjumlah 59 buah. Dibandingkan keberadaan LAPORAN AKHIR
Sekolah
Dasar,
jumlah
Sekolah
Lanjutan
Tingkat IV | 20
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pertama/Madrasah Tsanawiyah justru lebih sedikit dibandingkan jumlah Sekolah Dasar. Jumlah SLTP Negeri di Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 39 buah dan MTS Negeri sebanyak 1 buah sedangkan SLTP Swasta sebanyak 62 buah dan MTS Swasta sebanyak 67 buah. Dilihat dari levelnya SLTA, MA dan SMK adalah sama, namun orientasi dan arah pendidikannya berbeda. Jumlah SLTA Negeri berjumlah 21 buah, MA Negeri berjumlah 1 buah, SLTA Swasta 28 buah, dan MA Swasta 23 buah sedangkan SMK Negeri berjumlah 2 buah dan SMK Swasta berjumlah 16 buah. Untuk tahun 2010, jumlah guru Sekolah Dasar di Kabupaten Rokan Hilir berjumlah 5.138 orang, SLTP sebanyak 2.676 orang, SLTA sebanyak 1.294 orang, dan SMK sebanyak 381 orang. Meskipun dilihat dari jumlah guru untuk semua sekolah sudah banyak, namun sampai saat ini Kabupaten Rokan Hilir masih kekurangan guru, terutama untuk penempatan di daerah terpencil.
100 80 60 40 20 0
Partisipasi Partisipasi Partisipasi Sekolah 7 - 12 Sekolah 13 - 15 Sekolah 16 - 18
Laki-Laki
92.28
68.55
40.86
Perempuan
97.59
69.39
39.18
Total
94.88
68.89
40.09
Gambar 4.8. Angka Partisipasi Sekolah Penduduk di Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008
Pemanfaatan fasilitas pendidikan yang telah dibangun menunjukkan hasil pada peningkatan pelayanan pendidikan. Salah satu gambaran dari LAPORAN AKHIR
IV | 21
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perluasan akses pendidikan adalah peningkatan partisipasi sekolah. Angka partisipasi sekolah penduduk umur 7 – 12 tahun (usia pendidikan Sekolah Dasar) pada tahun 2008 adalah 94,88 persen, dimana partisipasi sekolah penduduk usia 7 – 12 tahun untuk penduduk perempuan lebih tinggi yaitu 97,59 persen, sedangkan partisipasi sekolah penduduk lakilaki yaitu 92,28 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk perempuan berusia 7 – 12 tahun lebih banyak yang bersekolah dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Hasil pendidikan pada tingkat pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) menunjukkan bahwa partisipasi sekolah untuk penduduk usia 13 – 15 tahun pada tahun 2008 adalah 68,89 persen, atau masih terdapat sebanyak 31,11 persen penduduk usia 13 – 15 tahun yang tidak bersekolah. Partisipasi sekolah penduduk perempuan usia 13 – 15 tahun sebanyak 69,39 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan partisipasi sekolah penduduk laki-laki usia 13 – 15 tahun yaitu 68,55 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk laki-laki yang bersekolah pada SLTP lebih sedikit jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki.
100 80 60 40 20 0 Laki-Laki
Perempuan
Total
Buta Huruf Usia 10 - 49 thn
99.59
98.39
99.01
Buta Huruf Usia 50 +
93.7
74.05
84.39
Gambar 4.9. Angka Melek Huruf Penduduk di Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008
LAPORAN AKHIR
IV | 22
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pada tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) partisipasi sekolah justru lebih rendah. Pada tahun 2008 tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 16 – 18 tahun sebanyak 40,09 persen, sehingga masih terdapat 59,91 persen penduduk usia 16 – 18 tahun yang tidak bersekolah di SLTA. Penduduk perempuan usia 16 – 18 tahun yang bersekolah di SLTA sebanyak 39,18 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia 16 – 18 tahun yang bersekolah yaitu sebanyak 40,68 persen. Indikator hasil pembangunan pendidikan lainnya adalah angka buta huruf yang masih ditemukan di Kabupaten Rokan Hilir. Pada tahun 2008 terdapat sebanyak 99,01 persen penduduk usia 10 – 49 tahun yang melek huruf, atau terdapat sebanyak 0,99 persen penduduk yang masih buta huruf. Hasil pembangunan yang cukup baik, sehingga pemberantasan buta huruf menjadi suatu titik keberhasilan yang telah dicapai pada pembangunan pendidikan Kabupaten Rokan Hilir. Sedangkan penduduk usia 50 tahun ke atas yang melek huruf sebanyak 84,39 persen, atau masih terdapat sebanyak 15,61 persen penduduk usia ini yang masih buta huruf. Dapat dimaklumi penduduk usia ini yang buta huruf tentunya merupakan penduduk dengan usia tidak produktif. 4.2.2. Kesehatan Dalam pelayanan kesehatan masyarakat adalah keberadaan jasa pelayanan masyarakat itu sendiri, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu. Pada tahun 2010 Rumah Sakit sebanyak 3 buah, puskesmas sebanyak 15 buah, dan Puskesmas Pembantu76 buah sedangkan Posyandu yang ada di Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 435 posyandu yang terbesar di 126 Desa.
LAPORAN AKHIR
IV | 23
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No.
Sarana Pendidikan
2008
2009
2010
1.
Rumah Sakit
3
3
3
2.
Puskesmas
15
15
16
3.
Puskesmas Pembantu
76
76
76
Sumber: Profil Kabupaten Rokan Hilir, 2010
Gambar 4.10. Sarana Rumah Sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu
4.3.
Aspek Pelayanan Umum
4.3.1. Angka paritisipasi sekolah Angka partisipasi sekolah tergambar dari angka APK, APM, dan APS untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA seperti yang terlihat pada Tabel 2.13. Tabel ini menunjukkan tren angka partisipasi sekolah yang terus meningkat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009.
Meskipun ….., angka partisipasi sekolah untuk tingkat
SMA/MK/MA masih harus ditingkatkan lagi.
Karena itu, fokus
peningkatan untuk tingkatan ini harus diberikan perhatian lebih. Angka partisipasi untuk tingkatan SMA/MK/MA di Kabupaten Rokan Hilir mengalami sedikit kesenjangan dibandingkan angka partisipasi untuk pendidikan dasar seperti terlihat pada Tabel 2.14. Persentase penduduk yang bersekolah untuk usia 19-24 tahun (Strata 1) juga memperlihatkan angka yang masih rendah yang juga merupakan fenomena yang sama di tingkat Provinsi Riau.
Prosentase penduduk melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi masih sangat rendah, dibawah 10%.
Hal ini perlu
mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir.
LAPORAN AKHIR
IV | 24
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 4.4 Perkembangan APK, APM, dan APS Tahun 2006 s.d. 2009 Kabupaten Rokan Hilir No 1
Tahun
Jenjang/Umur
2006
2
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA Angka Partisipasi Murni (APM)
3
SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA Angka Partisipasi Sekolah (APS)
2007
2008
2009
7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun
Sumber: Data Tabel 4.5 Persentase Penduduk Berumur 7-24 Tahun ke Atas yang Masih Sekolah Di Kabupaten Rokan Hilir Kelompok Umur Jumlah
7– 12
13-15
16-18
19-24
ROKAN HILIR
98,95
91,41
57,04
6,30
65,40
RIAU
98,55
91,58
63,92
13,14
66,35
Kabupaten/Kota
Sumber:
4.3.2. Rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah Rasio ketersediaan guru terhadap siswa pada tingkat pendidikan dasar dan menengah sebenarnya sudah cukup baik, seperti terlihat pada Tabel 2.15. Yang menjadi masalah adalah tingkat pemerataannya pada setiap kecamatan. Sementara itu, kualifikasi dan kualitas guru yang mengajar juga belum bisa diperbandingkan dari data yang ada. Sementara itu, rasio jumlah murid per sekolah pada Tabel 2.16 menunjukkan tingkat kecukupan yang memadai. Meskipun demikian, angka ini belum bisa LAPORAN AKHIR
IV | 25
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
menunjukkan jumlah murid per kelasnya. Di wilayah kecamatan yang relatif maju dan berpenduduk tinggi, rasio siswa/sekolah yang tinggi bisa jadi disebabkan oleh banyaknya jumlah ruang kelas pada sekolah-sekolah itu, sementara di daerah kabupaten, rasio yang lebih rendah bisa jadi disebabkan oleh jumlah ruang kelas per sekolah yang juga rendah. Hal ini dapat menjadi indikasi tingkat pemerataan yang masih kurang. Tabel 4.6 Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Tahun 2010 Di Kabupaten Rokan Hilir No
Jenjang Pendidikan
Sekolah
Guru
Siswa
Rasio Siswa/Guru
1
TK/RA
484
2.257
32.204
14
2
SD/MI/PLB
399
4.910
89.917
18
3
SMP/MTs
166
2514
42.375
17
4
SMA/MA/SMK
76
1312
15.744
12
Sumber: Rokan Hilir dalam Angka 2010
Tabel 4.7 Jumlah Sekolah dan Murid Jenjang Pendidikan Dasar Tahun 2010 Menurut Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tanah Putih Pujud Tp Tj Melawan Rantau Kopar Bagan Sinembah Simpang Kanan Kubu Pasir Limau Kapas Bangko Senaboi Batu Hampar Rimba Melintang Bangko Pusako JUMLAH 2009/2010 2007/2008 2006/2007 2005/2006
Jumlah sekolah 44 52 7 4 80 19 36 32 51 10 4 23 37 399 446 384 362
SD/MI Jumlah murid 8598 10817 1716 828 21285 907 6753 7467 12002 2132 1091 4961 8435 89917 96998 7939 79232
Rasio 195,4 208,0 245,1 207,0 266,1 47,7 187,6 233,3 235,3 213,2 272,8 215,7 228,0 225,4 217,5 20,7 218,9
Jumlah sekolah 21 24 2 2 37 7 12 12 18 3 2 7 19 166 224 158 139
SMP/MTs Jumlah murid 3155 3080 532 298 8896 1369 2499 2096 5043 525 530 1605 3195 32823 39910 28017 26680
Rasio 150,2 128,3 266,0 149,0 240,4 195,6 208,3 174,7 280,2 175,0 265,0 229,3 168,2 197,7 178,2 177,3 191,9
Sumber: Rokan Hilir dalam Angka 2010
LAPORAN AKHIR
IV | 26
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4.3.3. Kesehatan Penduduk dan Indeks Pembangunan Manusia Untuk kesehatan penduduk, data yang bisa diukur dan dibandingkan adalah data tentang status gizi balita (Tabel 2.17). Data ini menujukkan bahwa status gizi balita relatif baik di Kabupaten Rokan Hilir. Namun, yang lebih penting untuk dilihat adalah kecenderungan trend gizi buruk setiap tahunnya dari beberapa tahun sebelumnya. Hal ini penting untuk melihat keberhasilan program bidang kesehatan penduduk yang telah dilakukan.
Tabel 4.8 Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) di Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2009 Balita yang Ditimbang
Status Gizi (%) Buruk
Kurang
Baik
Lebih
ROKAN HILIR
54.512
1,1
6,4
91,6
1,0
RIAU
436.189
1,8
7,9
89,1
1,2
Sumber : Dilihat dari data Indek Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Rokan Hilir pada Tabel 2.18 yang merupakan deskripsi dari tiga komponen sosial yaitu indeks harapan hidup, pendidikan dan standar hidup layak, maka secara umum IPM Kabupaten Rokan Hilir termasuk kategori menengah (IPM 66,0-79,9). Meskipun data IPM menunjukkan kecendrungan pembangunan manusia yang relatif baik, namun dari segi pemerataan masih masih perlu di teliti dengan melihat nilai Gini Ratio.
LAPORAN AKHIR
IV | 27
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 4.9 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Rokan Hilir IPM 2005
2006
2007
2008
2009
ROKAN HILIR
68,6
70,9
71,1
71,51
71,98
RIAU
73,6
73,8
74,6
75,09
75,06
Sumber: Data Annual Prov. Riau 2011
4.3.4. Fokus Fasilitas Wilayah/Infrastruktur Gambaran umum daya dukung fasilitas wilayah dan infrastruktur dalam pembangunan Kabupaten Rokan Hilir menunjukkan adanya kemajuan. Kondisi jalan baik untuk jalan negara, provinsi, dan kabupaten di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2010 dengan bandingan pada dua tahun sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.26. Pada tabel ini terlihat bahwa padaTahun 2010, sekitar 32% jalan kabupaten di Kabupaten Rokan Hilir dalam kondisi rusak dan rusak berat. Disamping itu, 3,3% jalan provinsi mengalami kerusakan ringan dan berat. Pada tahun 2011 ini kerusakan semakin meningkat, terutama jalan-jalan akses ke perindustrian. Besarnya tingkat kerusakan infrastruktur jalan di Kabupaten Rokan Hilir bukan merupakan hal yang luar biasa mengingat tiga sektor pendukung perekonomian Kabupaten Rokan Hilir adalah industri pengolahan seperti industri pengolahan kayu, pertambangan dan pertanian yang didominasi perkebunan kelapa sawit dan karet. Ketiga sektor perekonomian ini memberikan beban yang sangat besar pada infrastruktur jalan di Kabupaten Rokan Hilir akibat mobilisasi kendaraan angkutan peralatan, bahan baku dan hasil olahan yang bertonase tinggi (tonase kendaraan besar dari 20 ton). Disamping itu, kerusakan infrastruktur jalan juga disebabkan sebagian besar kondisi tanah dasar (subgrade) di Kabupaten Rokan Hilir merupakan tanah lunak dengan daya dukung yang rendah. Keterbatasan anggaran biaya dan pemanfaatan teknologi stabilisasi/perkuatan tanah
LAPORAN AKHIR
IV | 28
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
lunak pada pembangunan infrastruktur jalan di Kabupaten Rokan Hilir merupakan beberapa faktor yang menyebabkan daya dukung infrastruktur jalan yang dibangun tidak sesuai dengan beban tonase lalu lintas kendaraan yang ada. Kerusakan infrastruktur jalan ini baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi dasa saing perekonomian dan minat investasi di Kabupaten Rokan Hilir. Tabel 4.10 Panjang jaringan jalan dalam km di Kabupaten Rokan Hilir berdasarkan kondisi Tahun 2010 dengan bandingan kondisi dua tahun sebelumnya Tingkat Pemerintahan 1. Negara
Sedang
Rusak/RusakBerat
Jumlah
72
48
0
120
112,15
32,5
5
149,65
1005
570,20
735,85
2311.05
2009
1189,15
650,7
735,85
2580,70
2008
1189,15
650,7
306,99
2151,84
2007
1189,15
650,7
306,99
2151,84
2. Provinsi 3. Kabupaten Jumlah
Baik
Sumber: Rokan Hilir dalam Angka 2010
Selain ifrastruktur jalan, telah dibangun juga jembatan yang pada tahun 2009 tercatat sepanjang 1256m. Fasilitas terbangun lainnya meliputi pelabuhan dan fasilitas irigasi meskipun infrastruktur ini masih perlu ditingkatkan. Disamping itu, pembangunan bandara di Sinaboi telah selesai proses perencanaannya dan tinggal dilanjutkan pelaksanaannya.
LAPORAN AKHIR
IV | 29
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
5.1.
Sumber Daya Lahan Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salahsatu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan
keberadaan
system
agroforestri
yang
telah
dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Agroforestry di kabupaten Rokan Hilir belum dikembangkan dengan baik mengingat masyarakat masih termotivasi mengembangkan perkebunan. Saat ini masyarakat masih mengembangkan agroforestry dalam bentuk
LAPORAN AKHIR
V|1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
kebun yang dibatasi oleh tanaman kehutanan atau pepohonan. Berikut ini potensi agroforestry dilihat dari penyediaan lahannya 5.1.1 Potensi Lahan Potensi lahan merupakan salah satu factor dalam pengembangan agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir. Potensi lahan yang dikembangkan untuk agroforestry lebih banyak dialokasikan pada lahan-lahan perkebunan. Berikut ini potensi lahan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir.
Tabel 5.1. Potensi Lahan yang Terdapat di Kabupaten Rokan Hilir No
Vegetasi
Sub Vegetasi
Luas (Ha)
1 Awan
Awan
3,376.38
2 Belukar Rawa
Belukar Rawa
3 Hutan 4 Hutan
Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder
22,325.72
5 Hutan
Hutan Rawa Primer
20,745.35
6 Hutan
Hutan Rawa Sekunder
7 Hutan
Hutan Sekunder
2,316.04
8 Hutan
Hutan Tanaman
11,149.10
9 Kebun
Kelapa Sawit
128,782.00 673.78
197,469.98
274,991.58
10 Pemukiman
Pemukiman Eksisting
6,820.59
11 Pertambangan
Minyak & Gas
7,505.65
12 Pertanian
Pertanian Campuran Pertanian Tanaman Pangan
13 Pertanian
LAPORAN AKHIR
101,915.64 43,326.61
V|2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No
Vegetasi
Sub Vegetasi
Luas (Ha)
14 Pertanian
Sawah
4,173.57
15 Rawa
Rawa
3,427.50
16 Semak/Belukar
Semak/Belukar
7,670.96
17 Tanah Terbuka/kosong
Tanah Terbuka/kosong
18 Tubuh Air
Danau
19 Tubuh Air
Perairan
Jumlah
61,010.30 136.87 9,766.45 907,584.07
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat sebaran penggunaan lahan dan penutupan vegetasi yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir. Beberapa penggunaan lahan dibedakan menjadi penutupan vegetasi yang berhutan dan tidak berhutan. Penutupan vegetasi berhutan terdiri atas hutan buatan (hutan tanaman) dan hutan alami. Hutan alam terdiri atas hutan berair (hutan rawa baik primer maupun sekunder serta hutan mangrove baik primer maupun sekunder) dan hutan kering yang masuk dalam kategori hutan sekunder.
Vegetasi non hutan terdiri dari vegetasi
tanaman pertanian, kebun dan semak belukar.
Diantara berbagai
penutupan vegetasi tersebut yang berpotensi dapat dikembangkan sebagai agroforestry dapat dilihat sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR
V|3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 5.2. Potensi Riil Lahan untuk Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir No
Vegetasi
Sub Vegetasi
Luas (Ha)
Potensi lahan
1
Belukar Rawa
Belukar Rawa
128,782.00
128,782.00
2
Hutan
Hutan Tanaman
11,149.10
11,149.10
3
Kebun
Kelapa Sawit
274,991.58
68,747.90
4
Pertanian
Pertanian Campuran
101,915.64
25,478.91
5
Pertanian
Pertanian Tanaman Pangan
43,326.61
10,831.65
6
Pertanian
Sawah
4,173.57
1,043.39
7
Rawa
Rawa
3,427.50
3,427.50
8
Semak/Belukar
Semak/Belukar
7,670.96
7,670.96
9
Tanah Terbuka/kosong
Tanah Terbuka/kosong
61,010.30
61,010.30
636,447,26
318,141.71
Jumlah
Komoditas Jenis-jenis tanaman padi rawa dan pohon rawa Jenis-jenis tumpangsari Jenis jati dan jabon Jenis sengon atau kayu pertukangan Jenis sengon atau kayu pertukangan Jenis sengon atau kayu pertukangan Jenis-jenis tanaman padi rawa dan pohon rawa Komoditas perkebunan dan kehutanan Komoditas perkebunan dan kehutanan
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa potensi riil lahan yang dikembangkan seluas 318.141,71 ha. Pada lahan-lahan yang ditumbuhi oleh semak belukar, rawa dan tanah terbuka dapat dikembangkan seluruhnya untuk agroforestry dengan komoditas yang diinginkan atau yang diprogramkan oleh pemerintah begitu juga dengan hutan tanaman dapat dikembangkan menjadi kawasan agroforestry yang mengadopsi pola tumpang sari pada jati. Pada lahan-lahan pertanian dan kebun biasanya masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir menjadikan komoditas kehutanan sebagai batas lahannya sehingga diasumsikan luas potensial
LAPORAN AKHIR
V|4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
untuk dikembangkan sebanyak ¼ dari luas lahan milik masyarakat tersebut atau ditanami pada batas tanah atau bagian keliling tanah. Berdasarkan luas potensial tersebut terdapat tiga pendekatan dalam pengembangan agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir. 1. Pada kawasan belukar rawa, semak belukar dan tanah terbuka dapat dikembangkan agroforestry dengan komoditas utama pohon atau kebun dengan pola tanam berselang seling 2. Pada kawasan hutan tanaman dapat dikembangkan agroforestry dengan komoditas utama pohon baik Acacia mangium, Acacia crassicarpa maupun Eucalyptus deglupta dengan pola tanam tumpang sari dengan tanaman palawija atau hortikultura. Pola tanam yang dikembangkan berselang seling pada saat umur komoditas tanaman utama masih kecil sedangkan pada saat sudah besar diutamakan tanaman pertanian yang dapat ternaungi. 3. Pada
kawasan
perkebunan,
pertanian
dan
sawah
dapat
dikembangkan menjadi kawasan agroforestry dengan tanaman tepi atau tanaman pagar dari komoditas kehutanan dengan pola tanam system jalur atau tanaman pagar. 5.1.2 Kawasan Perkebunan Kabupaten Rokan Hilir adalah daerah pertanian terutama perkebunan, jenis usaha yang banyak menyerap tenaga kerja setempat adalah usaha sub sektor perkebunan utamanya perkebunan rakyat. Sumberdaya alam yang banyak tersedia di Kabupaten Rokan Hilir adalah lahan pertanian, merupakan sumberdaya alam yang banyak diusahakan, melalui kegiatan usaha perkebunan tanaman kelapa sawit, kelapa dan aren. Pengusahaan kebun kelapa, aren dan kelapa sawit ini dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat maupun oleh pengusaha dalam bentuk perusahaan perkebunan.
LAPORAN AKHIR
V|5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pengembangan perkebunan rakyat secara keseluruhan diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan
pekebun
penguasanya,
pembangunan perkebunannya merupakan sasarannya.
sedang
Pembangunan
perkebunan rakyat seyogyanya mengutamakan sumberdaya manusianya melalui peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup pekebunnya. Perjalanan waktu dan dinamika harga sawit kala itu membawa pesona tersendiri
bagi
mendominasi
masyarakat
perkembangan
pekebun.
Selanjutnya
perkebunan
secara
kelapa
sawit
keseluruhan
di
Kabupaten Rokan Hilir. Tidak jarang ditemui alih fungsi lahan menjadi lahan kebun sawit. Pekebun di Kabupaten Rokan Hilir sangat tinggi minatnya untuk berkebun kelapa sawit. Daerah utama penanaman komoditi kelapa sawit adalah Kecamatan Bagan Sinembah, Bangko Pusako dan Pujud. Untuk komoditi kelapa daerah utama penanamannya adalah Kecamatan Pasir Limau Kapas, Bangko Pusako dan Bangko, sedang daerah penanaman utama untuk komoditi karet adalah di Kecamatan Pujud, Tanah Putih dan Bangko Pusako. Adapun tanaman kopi, kakao dan pinang relatif tidak banyak diusahakan oleh pekebun di Kabupaten Rokan Hilir. Secara rinci luas lahan perkebunan rakyat di Kabupaten Rokan Hilir disajikan dalam Tabel 5.3.
LAPORAN AKHIR
V|6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 5.3. Luas Lahan Tanaman Perkebunan Rakyat di Kabupaten Rokan Hilir Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kecamatan Tanah Putih Bagan Sinembah Kubu Bangko Rimba Melintang T. Pt. Tj. Melawan Pujud Simpang Kanan Pasir Limau Kapas Sinaboi Batu Hampar Bangko Pusako Rantau Kopar Total
Luas Lahan Tanaman (Ha)
18,163
16
5,702.
10
10
5
23,906
Penafsiran Citra Landsat 51,347
77,972 20,724 6,396
2 423 1,024
3,880 0 7
1 0 0
1 70 0
3 30 0
81,859 21,247 7,427
59,155.51 23,319.51 20,429.33
7,960
28
138
0
69
21
8,216
18,364.60
5,248 33,705
5 619
177 14,271
0
3 23
0
1)
1)
5,433 48,618
9,718.65 65,604.92 37,549.55
16,512
0 27,84 0 130 261
3,365
0
9
0
19,886
10 10 87
0 0 0
14 13 0
29,282 683 1,061
34,418.32 674.29 5,992.46
1)
1)
245 0 1 17
47,281 2,326 297,225
65,766.90 17,887.67 410,229.00
Kelapa Sawit
1,173 530 712 40,129 2,174 231,398
Kelapa
1,561 30 31,93 9
Karet
5,574 122 33,343
Kopi
Kakao
Pinang
0 11
0 212
0 322
Total
Sumber : Data diolah, 2013
Berdasarkan hasil survey di lapangan terhadap potensi agroforestry yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir dapat ditentukan pola penanaman dan potensi pengembangan di lapangan. Adapun pola, lokasi dan potensi pengembangan agroforestry yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir sebagai berikut :
LAPORAN AKHIR
V|7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No 1
2
3
Tabel 5.4. Pola Penanaman, Lokasi, dan Potensi pengembangan Pola penanaman Lokasi kecamatan Luas pengembangan Tanaman perkebunan di Hampir di seluruh 68,747.90 tengah dan tanaman kecamatan kehutanan di keliling atau batas tanah Tanaman kehutanan di tengah Hampir di seluruh 11,149.10 dan diselingi tanaman kecamatan perkebunan Tanaman perkebunan di Hampir di seluruh 106,101.85 tengah dan diselingi tanaman kecamatan kehutanan
5.1.3 Lahan pekarangan Pemanfaatan lahan meningkat sangat signifikan di Kabupaten Rokan Hilir untuk pekarangan dan bangunan, perkebunan, lahan yang dimanfaatkan untuk hutan mengalami penurunan luas yang sangat nyata.
Hal ini
merupakan gambaran alih fungsi lahan yang bergerak cepat, sedangkan luas lahan untuk tanaman kayu terjadi kenaikan tetapi tidak signifikan dampak perluasanya. Penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut :
Tabel 5.5. Luas Lahan Berdasarkan Penggunaanya Penggunaan Lahan Tahun
No
2009 1
Pekarangan/untuk Bangunan
2010
2011
22.515
64.046
79.258
58.780
57.245
64.050
193
210
212
2
22
22
lahan sekitarnya 2
Kebun/ladang/tegalan/huma
3
Padang Rumput
4
Tambak
LAPORAN AKHIR
V|8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
No
Penggunaan Lahan
Tahun 2009
5
Kolam/tebat/empang
6
Lahan yang sementara tidak
2010
2011
121
146
161
21.384
21.568
19.187
18.472
21.361
20.759
257.169
324.397
365.859
digunakan 7
Lahan untuk tanaman kayukayuan
8
Perkebunan
9
Sawah
61.767
56.298
55.508
10
Rawa
222.373
132.436
109.011
11
Hutan negara
107.239
91.747
62.310
12
Lain -lain
118.144
118.153
111.882
Sumber : BPS Rohil dalam Angka 2012
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa lahan pekarangan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan agroforestry dimana masyarakat biasanya menggunakan lahan untuk menanami pohon buahbuahan. Beberapa lokasi juga menunjukkan masyarakat juga menanam pekarangannya dengan kelapa sawit 5.1.4 Hutan tanaman industri Definisi dan Pengertian dari Hutan Tanaman Industri atau HTI adalah hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan prinsip pemanfaatan
yang
optimal,
dengan
memperhatikan
kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Penarapan kedua prinsip itu selalu diupayakan agar dapat berjalan selaras dan seimbang. Dalam pembangunan nasional, sebagai yang digariskan dalam Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990, tujuan pengusahaan HTI adalah :
LAPORAN AKHIR
V|9
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa. 2. Meningkatkan produktivitas lahan dan lingkungan, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Tujuan tersebut dijabarkan lebih jauh sebagaimana yang diformulasikan oleh Ditjen Pengusahaan Hutan (1991), bahwa tujuan pembangunan HTI antara lain adalah untuk : 1. Membangunan
hutan
tanaman
yang
secara
ekonomis
menguntungkan, secara ekologis sehat, dan secara sosial bermanfaat bagi masyarakat setempat. 2. Meningkatkan produktivitas hutan dalam arti meningkatkan riap ( growth per ha/tahun), sehingga diperoleh volume akhir daur (yield) yang tinggi. 3. Memenuhi kebutuahan bahan baku industri yang ada (existing industry), serta yang akan dikembangkan. Sasaran pada akhir jangka waktu pembangunan HTI, diarahkan pada pembentukan hutan yang tertata denagan baik, terutama dalam hal pengelolaannya, komposisi dan struktur hutannya, serta lingkungan biofisik dan sosial ekonominya. Sedangkan sasaran yang akan dicapai pada setiap periode lima tahun, adalah pembentukan penutupan lahan dengan tumbuhan hutan yang berkualitas, perampungan penataan kawasan, serta konsolidasi unit HTI dengan mengantisipasi pembangunan regional dan pembangunan kehutanan daerah, termasuk pembangunan dan pengembangan indistri perkayuan. Pengusahaan HTI pada hakekatnya merupakan alokasi sumber daya antar waktu. Sumberdaya tersebut berupa sumber daya alam (hutan, tanah dan air) tenaga kerja, modal, sarana/prasarana dan kemampuan manejerial yang profesional. Pengusahaan HTI merupakan suatu asaha yang
LAPORAN AKHIR
V | 10
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
berjangka panjang, sehingga perlu dikelola sebaik-baiknya dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dalam pengusahaanya agar mampu memberikan keuntungan secara terus-menerus secara lestari. Pengusahaan HTI sangat bergantung pada keadaan alam dan memerlukan waktu panjang, serta mengandung resiko kegagalan yang tidak
kecil,
terutama
apabila
tidak
dilengkapi
dengan
sarana
pengendalian yang memadai. Karena sifat usaha yang demikian itu, maka perencanaan yang matang yang meliputi seluruh tahap pengusahaan, merupakan salah satu persyaratan untuk bisa mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Tabel 5.6. Luas Hutan Berdasarkan Penutupannya N o. A
Penutupan Vegetasi Berhutan 1. Hutan Alam
B
2. Hutan Tanaman Tidak Berhutan Jumlah
Fungsi /Luas Penutupan Kawasan Hutan (Ha ) Baka HL HPT HP KSA u HPK 324 38.41 128.5 0 1.70 40.871 2 17 9 324 38.41 114.4 0 1.70 40.871 2 90 9 0 0 14.02 0 0 0 7 11.87 100.3 147.8 560 6.73 391.31 4 28 68 2 2 12.19 138.7 276.3 560 8.44 432.18 8 39 85 1 3
Luas Total (Ha) 209.83 2 195.80 6 14.027 658.67 3 868.50 6
Sumber : NSDA 2011
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hutan tanaman memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai system agroforestry. Berikut ini potensi agroforestry berbasiskan hutan tanaman
LAPORAN AKHIR
V | 11
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 5.7. Pola Penanaman, Lokasi, dan Potensi pengembangan No 1 2 3 4 5 6
Lokasi kecamatan Tanah putih tanjung melawan Tanah putih Rimba Melintang Pujud Pekaitan Bangko pusako
Luas pengembangan 7,040.25
Pola penanaman
853.38 1,803.89 1,070.13 184.41 197.04
Hutan tanaman dengan pola tanaman kehidupan dan tanaman unggulan setempat Hutan tanaman dengan pola tumpangsari tanaman pangan, hortikultura
Dalam skema pembangunan hutan tanaman dengan sistem agroforestri, jenis tanaman yang dapat dikembangkan terdiri dari : a. Tanaman Hutan Berkayu, Tanaman hutan berkayu ini di bagi dalaam beberapa kelompok jenis, yaitu : 1. Kayu Pertukangan, antara lain : a) Kelompok Jenis Meranti (Shorea sp) b) Kelompok Jenis Keruing (Dipterocarpus sp) c) Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae : 1) Jati (Tectona grandis) 2) Sengon (Paraserianthes falcataria) 3) Sonokeling (Dalbergia latifolia) 4) Mahoni (Swietenia macrophylla) 5) Kayu Hitam (Diospyros celebica) 6) Akasia (Acacia mangium) 7) Rajumas (Duabanga molucana) 8) Sungkai (Peronema canescens) 2. Kayu Serat, antara lain : 1) Eucaliptus (Eucalyptus spp) 2) Akasia (Acacia mangium)
LAPORAN AKHIR
V | 12
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3) Tusam (Pinus merkusii) 4) Gmelina (Gmelina arborea) b. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu Yang termasuk jenis tanaman budidaya tahunan berkayu tersebut adalah : 1. Karet (Hevea brasiliensis) 2. Durian (Durio zibethinus) 3. Nangka (Artocarpus integra) 4. Mangga (Mangifera indica) 5. Rambutan (Nephelium lapaceum) 6. Kemiri (Aleuritus moluccana) 7. Duku (Lansium domesticum) 8. Pala (Myristica fragrans) c. Komposisi Tanaman Pokok
Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan hutan tanaman dengan sistem agroforestri ditetapkan sbb :
-
Tanaman Hutan Berkayu ± 70%
-
Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu ± 30%
Pemegang izin dapat melakukan kegiatan Tumpang Sari Tanaman Budidaya musiman/Palawija diantara tanaman pokok s/d 2-3 tahun.
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan.
Pola rekomendasi agroforestry sawit dengan tanaman kehutanan dikembangkan berdasarkan hasil studi dan analisis terhadap pola-pola agroforestry yang telah dikembangkan oleh masyarakat. Pola-pola tersebut adalah pola tanam jalur berseling, pola jalur intensif, pola pagar,
LAPORAN AKHIR
V | 13
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dan pola kombinasi pagar dan jalur berseling. Masing-masing pola dirinci secara lebih detil sebagai berikut : Pola 1. Agroforestry pola tanam jalur Pada pola ini sawit ditanam dengan pola segitiga 9 m x 9 m, jumlah batang 143 batang/ha. Pohon ditanam dengan jarak tanam 9 m x 15,6 m dengan jumlah pohon 71 batang/ha (Gambar 1).
Gambar 5.1. Agroforestry sawit dengan tanaman kehutanan dengan pola tanam jalur Pola 2. Agroforestry pola tanam jalur berseling Pada pola ini, sawit juga ditanam sama dengan pola tanam jalur sehingga jumlah sawit adalah 143 batang/ha. Pola ini bermaksud mengurangi jumlah pohon per hektar dan jarak tanam pohon menjadi 18 m x 16.4 m sehingga diperoleh sebanyak 34 batang/ha. Pada pola ini produksi sawit diharapakan lebih banyak dibanding pola tanam jalur (Gambar 5.2).
LAPORAN AKHIR
V | 14
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 5.2. Agroforestry sawit atau karet dengan tanaman kehutanan dengan pola tanam jalur berseling Pola 3. Agroforestry pola tanam tepi/pagar Pada pola ini sawit ditanam seperti pola sebelumnya, tetapi tanaman kayu hanya ditanam pada tepi lahan. Pada pola ini juga akan diperoleh pohon dengan jumlah 46 batang/ha (Gambar 5.3).
Gambar 5.3. Agroforestry sawit atau karet dengan tanaman kehutanan dengan pola tepi/pagar
LAPORAN AKHIR
V | 15
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pola 4. Agroforestry kombinasi pola pagar dan jalur berseling Pola ini adalah pola kombinasi antara pola pagar dan pola jalur berseling. Sawit ditanam dengan jarak tanam seperti pada pola sebelumnya. Pada pola ini jumlah pohon/ha adalah 80 batang/ha.
Gambar 5.4. Agroforestry sawit atau karet dengan tanaman kehutanan dengan pola kombinasi tepi/pagar dan jalur berseling
5.2.
Kondisi Eksisting Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan fakta yang terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Didaerah Kabupaten Rokan Hilir masyarakat telah banyak mengkoversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit sebagai mata pencahariannya. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan
LAPORAN AKHIR
V | 16
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Permasalahan ini bertambah berat dari waktu kewaktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Agroforestri memberikan tawaran pengelolaan lahan yang mungkin dapat manjawab dan mengatasi permasalahan tersebut. Kabupaten
Rokan
Hilir
terdiri
dari
14
Kecamatan
dan
151
Desa/Kelurahan, dimana Kecamatan Tanah Putih merupakan kecamatan terluas dibandingkan dengan kecamatan lainya. Kecamatan Tanah Putih memiliki luas wilayah
1.915.23 Km2 dihuni oleh 60.499 penduduk.
artinya 10,55% dari total jumlah penduduk menghuni Kecamatan Tanah Putih. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas paling kecil adalah kecamatan tanah putih tanjung melawan dengan luas wilayah 198,39 Km2 dan dihuni oleh 13.155 penduduk, sekitar 2,29% dari total penduduk Kabupaten Rokan Hilir menempati wilayah ini. Luas wilayah dan jumlah penduduk untuk tiap Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir dapat lihat pada tabel berikut : Tabel 5.8. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk berdasarkan Kecamatan
KECAMATAN 2 LUAS (KM ) (1) District 1. TANAH PUTIH
PERSENTASE (2) PENDUDUK 1,915.23 Area Wide 984.90
2. (4) P U J U D (5) 3. TP TJ MELAWAN 198.39 Percentage 4. RANTAU KOPAR 231.13 5. BAGAN SINEMBAH 847.35 6. SIMPANG KANAN 445.55 7. K U B U 1,061.06 8. PASIR LIMAU KAPAS 669.63 9. B A N G K O 475.26 10. S E N A B O I 335.48 11. BATU HAMPAR 284.31 12. PEKAITAN 465.30 13. RIMBA MELINTANG 235.48
LAPORAN AKHIR
JUMLAH
PERSENTASE (%) (3)
(%) 21.56
60,499
10.55
11.09 70,681 Percentage Population12.33 2.23 13,155 2.29 2.60 5,295 0.92 9.54 130,315 22.73 5.02 26,393 4.60 11.95 37,741 6.58 7.54 34,058 5.94 5.35 65,920 11.50 3.78 11,668 2.04 3.20 7,747 1.35 5.24 16,183 2.82 2.65 32,389 5.65
V | 17
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
14. BANGKO PUSAKO Total
732.52
8.25
8.881,59
100
61,167
10.67 100
Sumber : BPS Rokan Hilir dalam angka 2012 Dari tabel 5.8 diatas dapat dijelaskan bahwa potensi ketersediaan lahan masih cukup luas untuk pengembangan agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir. Teknologi penggunaan lahan yang terencana yang dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bamboo dll) dengan tanaman pertanian dan hewan sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh masyarakat namun penyebaranya belum maksimal. Pemanfaatan luas lahan diharapkan mampu
memberikan
manfaat
ekonomis
dan
ekologis
dalam
meningkatkan kesejahteraan. Pola sederhana yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Rokan Hilir dalam pemanfaatan lahan serta memaksimalkan hasil, tanaman kayu, pinang, kelapa dll, ditanam sebagai pembatas tanah dan sekaligus sebagai pelindung. Diharapkan kayunya memiliki nilai ekonomis saat sudah masuk usia panen, sedangkan tanaman kelapa atau pinang diharapkan mampu memberikan hasil secara rutin.
Gambar 5.5. Pemanfaatan batas lahan di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir
LAPORAN AKHIR
V | 18
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pemanfaatan lahan untuk meningkat sangat signifikan di Kabupaten Rokan Hilir untuk pekarangan dan bangunan, perkebunan, lahan yang dimanfaatkan untuk hutan mengalami penurunan luas yang sangat nyata, hal ini merupakan gambaran alih fungsi lahan yang bergerak cepat, sedangkan luas lahan untuk tanaman kayu terjadi kenaikan tetapi tidak signifikan dampak perluasanya. Penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut :
Tabel 5.9. Luas Lahan Berdasarkan Penggunaanya No
Penggunaan Lahan
Tahun 2009
1
Pekarangan/untuk
2010
2011
22.515
64.046
79.258
58.780
57.245
64.050
193
210
212
2
22
22
121
146
161
21.384
21.568
19.187
18.472
21.361
20.759
257.169
324.397
365.859
Bangunan lahan sekitarnya 2
Kebun/lading/tegalan/huma
3
Padang Rumput
4
Tambak
5
Kolam/tebat/empang
6
Lahan yang sementara tidak digunakan
7
Lahan untuk tanaman kayukayuan
8
Perkebunan
9
Sawah
61.767
56.298
55.508
10
Rawa
222.373
132.436
109.011
11
Hutan negara
107.239
91.747
62.310
12
Lain -lain
118.144
118.153
111.882
Sumber : BPS Rohil dalam Angka 2012
LAPORAN AKHIR
V | 19
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
5.2.1. Budidaya Tanaman Kehutanan Hutan mempunyai peranan yang penting bagi stabilitas keadaan susunan tanah dan isinya. Luas Hutan di Kabupaten Rokan Hilir adalah 889.287 hektar. Bila dirinci menurut fungsinya seluas 51.139 ha (5,75 persen) merupakan hutan lindung, 8.279 ha (0,93 persen) hutan suaka alam, 220.628 ha (24,81 persen) hutan produksi, 504.329 ha (56,71 persen) kawasan perkebunan, pertanian, pariwisata, industri dan lain-lain.
Gambar 5.5. Pemanfaatan lahan jabon untuk tanaman pisang di Kecamatan Kubu Kabupaten Rokan Hilir
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (a) langsung menambah penghasilan petani berupa makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industry. dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup dsb. Peningkatan produktivitas sistem agroforesti diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa di Kabupaten Rokan Hilir.
LAPORAN AKHIR
V | 20
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Peningkatan
produktivitas
sistem
agroforestri
dilakukan
dengan
menerapkan perbaikan cara pengelolaan sehingga hasilnya dapat melebihi yang diperoleh dari tahapan sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian keuntungan ekonomi yang diperoleh dan peningkatan hasil jangka pendek seringkali menjadi faktor penentu petani atau masyarakat mau menerima dan mengadopsi cara pengelolaan yang baru. Perbaikan peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat dan menurunkan jumlah masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri, penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan memberikan pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar merata persatuan produk dibandingkan dengan sistem perkebunan monokultur. 5.2.2. Integrasi Peternakan dengan Hutan Hutan serba-guna merupakan praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa atau keuntungan lainya. Dalam penerapan dan pelaksanaanya bisa menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan. Beberapa cirri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982) adalah : 1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan), paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu. 2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun 3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu
LAPORAN AKHIR
V | 21
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan. 5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function) misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat 6. Untuk sistem pertanian masukan rendah didaerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen. 7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur. Komponen utama penyusun agroforestri yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non pohon, ternak dan manusia dengan memanfaatkan lahan yang sama untuk dapat memperoleh berbagai macam keuntungan, sebaran ternak di Kabupetan Rokan Hilir dapat disajikan pada tabel 5.10 berikut :
Tabel 5.10. Sebaran ternak berdasarkan kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir
KECAMATAN
SAPI
(1)
(2) DOMBA
(5)District 2. UJUD 1. P TANAH PUTIH 3. TP TANJUNG 4. RANTAU KOPAR MELAWAN 5. BAGAN SINEMBAH 6. SIMPANG KANAN 7. K U B U 8. PASIR LIMAU KAPAS 9. B A N G K O
Cow 1,519 362 Sheep 252 71 5,538 1,041 104 15 47
LAPORAN AKHIR
KERBAU (3)
(4)
KAMBING Buffalo 27 352 13 338 76 4 466 45 - 37 Goat 20 1,740 171 13 1,035 533 3 1,166 72 - 1,445 70 - 545 8
BABI Pig (4) 124 6,977 140 150 593 261
V | 22
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
10. SENABOI 11. BATU HAMPAR 12. PEKAITAN 13. RIMBA MELINTANG 14. BANGKO PUSAKO JUMLAH / Total
140 121 129 452 330 10,121
25 430
424 205 705 2,771 885
85 50
12,128
1,123
330 975 9,550
Sumber : BPS Rohil dalam Angka 2012
Gambar 5.6. Pemanfaatan lahan karet untuk ternak sapi di Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir
Peran hewan atau ternak dalam sistem agroforestri masih dianggap kontroversi disatu sisi ternak merupakan komponen penting dalam pertanian berkelanjutan, disisi lain dianggap sebagai penyebab deforestasi hutan tropis. Jika ternak tidak dipelihara dengan baik atau dipelihara pada kondisi ekosistem yang marginal, memang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pada
umumnya
ternak
menghasilkan
kotoran
yang
selanjutnya akan termineralisasi sehingga menambah unsure hara khususnya N dan P yang dibutuhkan oleh tanaman. Yang termasuk dalam kotoran adalah urine, kotoran padat, dan sisa pakan yang tercampur menjadi satu.
LAPORAN AKHIR
V | 23
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Ternak dalam berbagai sistem pertanian menjadi salah satu komponen yang memberikan penghasilan cukup besar bagi petani, antara lain : ternak dapat berfungsi sebagai tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual. Ternak kecil berupa unggas merupakan sumber protein hewani dalam memenuhi sumber gizi. Ternak besar juga menjadi sumber penghasil tenaga baik untuk penarik bajak maupun pengangkutan atau transportasi.
Gambar 5.7. Pemanfaatan lahan untuk ternak kerbau di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir
5.2.3. Potensi Pengembangan Perikanan Produksi perikanan di Kabupaten Rokan Hilir sebagian besar berasal dari perikanan laut. Pada tahun 2011, produksi perikanan tercatat sebanyak 57.850 ton, dimana sebanyak 57.234 ton atau 98,93 persen merupakan hasil perikanan laut dan perairan umum hanya 617 ton (1,07 persen) hasil dari perikanan budidaya. Bila dibandingkan dengan total produksi ikan pada tahun sebelumnya
yang
berjumlah 54.112,01 ton
berarti produksi perikanan mengalami penurunan sebesar 1,57 persen.
LAPORAN AKHIR
V | 24
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 5.8. Pemanfaatan lahan untuk budidaya ikan lele di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir
Potensi perikanan budidaya memiliki peluang yang terbuka lebar untuk memberikan sumbangan pendapatan dan nilai ekonomis serta sumber gizi keluarga. Sumbangan perikanan budidaya terhadap hasil perikanan masih relatif kecil, dengan pendekatan sistem agroforestri diharapkan memberikan nilai tambah dalam optimalisasi produktifitas lahan. 5.2.4. Potensi Tanaman Hortikultura Luas panen tanaman sayur- sayuran di Kabupaten Rokan Hi lir adalah 490 ha dengan produksi 2.265 ton, sedangkan produksi tanaman buahbuahan sebesar 17.742 ton.
LAPORAN AKHIR
V | 25
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 5.9. Pemanfaatan lahan sela untuk budidaya tanaman jagung di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir
Daerah sentra produksi tanaman sayuran - sayuran adalah Kecamatan Bangko, Kecamatan Bagan sinembah, Kecamatan batu hampar dan Kecamatan Simpang Kanan. Produksi tanaman sayuran berdasarkan kecamatan yang ada di Kabupaten Rokan Hilir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.11. Produksi Tanaman Sayuran Menurut Jenis Tanaman
Kecamatan Sawi Bayam (1)
(2)
1. TANAH PUTIH 0 2. PUJUD 0 3. TP Tj MELAWAN 0 4. RANTAU KOPAR 0 5. BAGAN SINEMBAH 25 6. SIMPANG KANAN 59 7. KUBU 0 8. PASIR LIMAU KAPAS0 9. BANGKO 101 10. SINABOI 0
LAPORAN AKHIR
Kangkung Terong
Petsai/ (3) 0 0 0 0 21 0 44 10 22 0
(4) 0 0 0 0 96 48 112 22 64 0
(5) 0 12 6 12 87 93 140 12 0 12
Kacang Cabe Ketimu Panjang n (6) (7) (8) 0 30 9 0 113 54 118 10 20 20
3 0 24 6 15 0 0 52 33 19 62 63 104 6 19 0 0 0 24 11
V | 26
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
11. BATU HAMPAR 12. PEKAITAN 13. RIMBA MELINTANG 14. BANGKO PUSAKO JUMLAH 2010
84 0 0
21 0 2 0
64 0 27 0
29
35
2011 269
120
433
438
483
169
353
269
120
433
438
483
169
353
0 35 0
3 3 3
64 10
29 38 5
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Rokan Hilir 2012 Sedangkan untuk tanaman buah – buahan banyak terdapat di Kecamatan Bagan Sinembah, Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Pujud dan sedikit di Kecamatan Kubu, kecamatan Simpang Kanan, serta Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan. Dari tabel 5.11 dapat dijelaskan bahwa Kabupaten rokan Hilir merupakan sentra penghasil nenas, penghasil nangka atau cempedak, dan penghasil rambutan. Potensi tanaman buah masih dapat dikembangkan didaerah rantau kopar dan wilayah kecamatan lain yang memiliki lahan potensial untuk pengembangan tanaman buah – buahan. Dengan produksi yang ada saat ini masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga buah – buahan banyak di datangkan dari daerah sumatera utara dan sumatera barat. Dari sistem pertanian campuran yang telah dilaksanakan di Kabupaten Rokan Hilir diharapkan mampu memberikan nilai tambah, dan menghasilkan buah – buahan yang memiliki keunggulan dan daya saing. 5.2.5. Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2011 terdapat 418 usaha industri, terdiri dari 288 unit (68,90 persen) industri hasil pertanian dan kehutanan, 119 unit (28,47 persen) usaha industri logam, mesin dan kimia, serta sisanya 11 unit (2,63 persen) industri aneka. Banyaknya usaha industri di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2011 mengalami penambahan sebesar 46,41
LAPORAN AKHIR
V | 27
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
persen dibandingkan tahun 2008. Usaha hasil pertanian dan kehutanan adalah yang paling banyak terdapat di sembilan kecamatan. Sebagian besar usaha industri berada di Kecamatan Bangko dan Kecamatan Bagan Sinembah, masing-masing 136 usaha (32,54 persen) dan 91 usaha (21,77 persen). Di Kecamatan Pasir Limau Kapas terdapat 47 usaha (11,24 persen), sedangkan untuk kecamatan lain jumlahnya antara 6 sampai 31 usaha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut : Tabel 5.12. Banyaknya Industri berdasarkan Kecamatan
LOGAM, District KECAMATAN (1)
MESIN DANINDUSTRI INDUSTRI Metal, Principal PERTANIAN DAN KIMIA ANEKA HASIL machine Manufacture KEHUTANAN (2) (3) (4) and
2. UJUD chemical 1. P TANAH PUTIH 33. TP TANJUNG MELAWAN 1 4. RANTAU KOPAR 1 5. BAGAN SINEMBAH 44 6. SIMPANG KANAN 8 7. K U B U 3 8. PASIR LIMAU KAPAS 17 9. B A N G K O 23 10. SENABOI 5 11. BATU HAMPAR 12. PEKAITAN 13. RIMBA MELINTANG 7 14. BANGKO PUSAKO 7 Total 2011 119
-1 2 1 4 1 2 11
10 9 3 46 9 24 30 109 4 22 22 288
Sumber : BPS Rohil dalam Angka 2012
5.3.
Peran Agroforestri terhadap Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir Secara umum telah difahami bahwa tujuan utama pengembangan
LAPORAN AKHIR
V | 28
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
agroforestri baik secara umum maupun khusus di Kabupaten Rokan Hilir adalah dalam upaya menekan degradasi hutan alam dan lingkungan hidup (aspek ekologi), serta upaya untuk memecahkan permsalahan sosial ekonomi dan budaya masyarakat dipedesaan yang ada di Kabupaten Rokan Hilir. Aspek budaya akan lebih erat ditemukan pada praktek agrofostri yang telah berumur puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang ada ditengah kehidupan masyarakat dibandingkan dengan sistem agroforestri yang baru diperkenalkan dari luar. Dalam kaitan dengan hal ini ada beberapa alasan sebagai berikut : 1. Praktek agroforestri tradisional merupakan produk pemikiran dan pengalaman yang telah berjalan lama dimasyarakat dan teruji sepanjang peradaban masyarakat setempat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. 2. Produk dan fungsi yang dihasilkan oleh komponen penyusun agroforestri tradisional memiliki manfaat bagi implementasi kegiatan budaya masyarakat yang bersangkutan. Aspek sosial ekonomi agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri sangat beragam, yang bisa dibagi menjadi dua kelompok : (a) produk komersial misalnya bahan pangan, buahbuahan, hijauan makan ternak, kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, getah dll. (b) pelayanan jasa lingkungan, misalnya konservasi sumberdaya alam (tanah, air dan sumberdaya hayati). Ditinjau dari aspek sosial ekonomi agroforestri memiliki keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan sistem penggunan lahan lainya. Tujuan agroforestri akan tercapai dengan mengoptimalisasikan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau komponen tersebut dengan lingkungannya. Berkaitan dengan hal ini agroforestri memiliki keunggulan bila
LAPORAN AKHIR
V | 29
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dibandingkan sistem penggunaan lahan lainya yaitu dalam hal : 1. Produktivitas Dari hasil dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja luaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutupi oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainya. 2. Diversitas Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih dari pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal permanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur) 3. Kemandirian Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebtuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar, dengan diversitas yang lebih tinggi dari pada sistem monokultur. 4. Stabilitas Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal
mampu
pengusahaan
memberikan
lahan,
hasil
sehingga
yang
dapat
seimbang sepanjang menjamin
stabilitas
(kesinambungan) pendapatan petani. Selain itu agroforestri ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan di Kabupaten Rokan Hilir dengan persyaratan hidup yang sulit
LAPORAN AKHIR
V | 30
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dimana masyarakat miskin banyak dijumpai, mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik, mempertahankan orangorang muda dipedesaan struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan, memelihara nilai-nilai budaya. 5.4.
Analisis Usaha Tani Pola tanam adalah merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Pola tanam merupakan bagian atau sub sistem dari sistem budidaya tanaman, maka dari sistem budidaya tanaman ini dapat dikembangkan satu atau lebih sistem pola tanam. Pola tanam ni diterapkan dengan tujuan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan. Namun yang penting persyaratan tumbuh antara kedua tanman atau lebih terhadap lahan hendaklah mendekati kesamaan. Pola tanam di daerah tropis, biasanya disusun selama satu tahun dengan memperhatikan curah hujan, terutama pada daerah atau lahan yang sepernuhnya tergantung dari hujan. Makan pemilihan jenis/varietas yang ditamanpun perlu disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan. Pola tanam terbagi dua yaitu pola tanam monokultur dan pola tanam polikultur. Pertanian monokultur adalah pertanian dengan menanam tanaman sejenis. Misalnya sawah ditanami padi saja, jagung saja, atau kedelai saja. Tujuan menanam secara monokultur adalah meningkatkan hasil pertanian. Sedangkan pola tanam polikultur ialah pola pertanian dengan banyak jenis tanaman pada satu bidang lahan yang terusun dan terencana dengan menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik. Pengetahuan mengenai pola tanam sangat perlu bagi petani. Sebab dari usaha tani yang dilakukan, diharapkan dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Tidak hanya hasil yang menjadi objek, bahkan keuntungan
LAPORAN AKHIR
V | 31
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
maksimum dapat didapat dengan tidak mengabaikan pengawetan tanah dan menjaga kestabilan kesuburan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan dan survey lapangan di Kabupaten Rokan Hilir potensi peningkatan pendapatan melalui program agroforestri atau polikultur pada Tabel 5.13 dibawah ini :
Tabel 5.13. Rata – rata Pendapatan Usaha Tani Campuran (Kelapa Sawit dengan Tanaman Kehutanan dalam luasan 1 Ha) Rata - Rata N o
Jenis Usaha Tani
Luas
Penerimaan
Variabel
Gross
Gara
Usaha Tani
Usaha
Margin
pan
(Rp)
Tani
Usaha
(Rp)
Tani (Rp)
(Ha) 1
Kelapa Sawit MT
BCR
0,70
11.245.000
4.442.200
6.802.800
2,53
1 2
Gaharu MT 1
0,30
6.200.350
3.670.100
2.530.250
1,68
3
Kelapa
0,70
12.799.100
4.211.285
8.587.815
3,03
Sawit
MT2 4
Jabon MT 2
0,30
8.922.500
4.640.000
4.282.500
1,92
5
Kelapa Sawit MT
0,70
10.437.400
3.420.350
7.017.050
3,05
0,30
7.664.250
3.970.645
3.693.605
1,93
3 6
Meranti MT 3
Dari table diatas dapat dijelaskan bahwa pada usata tani campuran (agroforestri) antara tanaman kelapa sawit dengan gaharu berpotensi meningkatkan
pendapatan
ekonomi
sebesar
Rp.
2.530.000,-
bila
dibandingkan dengan pola tanaman monokultur atau lebih dikenal satu jenis tanaman hanya menghasilkan Rp.6.802.800,-. Pola yang lajim digunakan adalah pola tanaman jalur berseling atau dapat juga tepi berpagar.
LAPORAN AKHIR
V | 32
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Demikian juga pada pola tanaman kelapa sawit dengan tanaman jabon berpotensi menambah hasil pendapatan Rp. 4.282.500,- dengan jumlah tanaman sawit 143 pokok/ha dan tanaman jabon berjumlah 46 batang. Tanaman jabon merupakan tanaman tahunan yang akan dipanen sebagai tabungan dan tambahan pendapatan setelah layak panen. Selain itu untuk pola tanaman kelapa sawit dengan meranti juga berpotensi menghasilkan peningkatan pendapatan Rp. 3.693.605,- bila dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit dengan pola monokultur. Kombinasi tanaman karet dengan tanaman gaharu mempunyai masa panen yang berbeda, gaharu cenderung mempunyai waktu panen yang relative lama, kerena yang dipanen dan ditunggu berupa gaharunya, sedangkan karet pada usia 4 – 6 tahun sudah produksi. Tanaman gaharu disela tanaman karet merupakan tanaman investasi jangka panjang bagi petani. Untuk pola tanaman karet dengan tanaman kehutanan (gaharu) dapat dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 5.14. Rata – rata Pendapatan Usaha Tani Campuran (Karet dengan Tanaman Kehutanan) per luasan 1 hektar Rata - Rata
No
Luas
Penerimaan
Variabel
Gross
Jenis Usaha
Garapan
Usaha Tani
Usaha
Margin
Tani
(Ha)
(Rp)
Tani
Usaha
(Rp)
Tani
BCR
(Rp) 1
Karet MT 1
0,70
11.221.900
5.280.100
5.941.800
2,1
2
Gaharu MT 1
0,30
8.120.500
3.554.300
4.566.200
2,2
Pemanfaatan areal HTI untuk tanaman pangan jagung dan kedelai sangat potensial baik secara luasan dan kesesuaian lahan. Potensi ini diduga dapat meningkatkan pendapatan dengan pola tumpang sari antara tanaman
LAPORAN AKHIR
V | 33
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
kehutanan dengan tanaman jagung atau kedelai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 5.15. Analisis Usaha Tani Campuran (HTI dengan Tanaman Pangan) per luasan 1 Ha Rata – Rata
No
Luas
Penerimaan
Variabel
Gross
Jenis Usaha
Garapan
Usaha Tani
Usaha Tani
Margin
Tani
(Ha)
(Rp)
(Rp)
Usaha
BCR
Tani (Ha) 1
HTI MT 1
0,60
26.244.200 17.909.000 8.335.200
1,46
2
Jagung MT 1
0,40
4.333.250
1.990.000 2.343.250
0,21
3
Jagung MT 1
0,40
3.980.200
1.870.500 2.109.700
2,12
4
HTI MT2
0,60
25.551.000 17.266.000 8.285.000
1,47
5
Kedelai MT2
0,40
6.335.150
2.880.000 3.455.150
2,19
6
Kedelai MT2
0,40
6.780.900
2.588.000 1.604.900
2,62
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa potensi peningkatan pendapatan jika HTI dimanfaatkan untuk tanaman jagung dan tanaman kedelai pasca panen HTI. Disamping meningkatkan pendapatan juga merupakan usaha melitbatkan sekaligus memberdayakan masyarakat untuk bersama – sama menjaga dan mengelola hutan untuk kelestarian. Dampak dari pola tumpang sari di areal HTI sangat siginifikan dan memberikan nilai tambah yang sangat berarti bagi petani sekitar kawasan HTI. 5.4.1 Usaha Tani di Lahan Pekarangan Pekarangan merupakan lahan terdekat dari tempat tinggal masyarakat atau petani, sehingga perhatian khusus terhadap pekarangan biasanya juga baik.
LAPORAN AKHIR
V | 34
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Sehingga ketersediaan sumber pangan, sayur, ternak dan sumber gizi lainya cukup tersedia di lahan pekarangan. Kecukupan ini merupakan usaha nyata untuk pemenuhan dan efisiensi terhadap pengeluaran rumah tangga. Pekarangan yang cukup tersedia sayur, ikan, ayam, kelapa dll, maka untuk kebutuhan yang lainya sedikit untuk dilengkapi kekuranganya. Untuk meningkatkan nilai tambah dari lahan pekarangan perlu diusahakan dengan menciptakan sumber penghasilan dengan skala harian dari tanaman dan ternak, sumber pendapatan skala mingguan dari tanaman dan ternak, sumber pendapatan bulanan dari tanaman perkebunan seperti kelapa, sedangkan sumber pendapatan skala tahunan berasal dari investasi tanaman tahunan berupa tanaman kehutanan, selain sebagai kelestarian lingkungan secara jangka panjang akan manambah penghasilan.
Tabel 5.16. Rata –Rata Pendapatan Usaha Tani Campuran di Lahan Pekarangan per luasan 1 hektar Rata - Rata
No
Luas
Penerimaan
Variabel
Gross
Jenis Usaha
Garapan
Usaha Tani
Usaha
Margin
Tani
(Ha)
(Rp)
Tani
Usaha
(Rp)
Tani
BCR
(Rp) 1
Kelapa MT 1
0,15
1.530.000
822.000
708.000
1,86
2
Pinang MT 1
0,10
560.000
504.000
56.000
1,1
3
Mangga MT 1
0,05
390.200
185.809
204.391
2,1
4
Rambutan MT
0,16
640.000
350.000
290.000
1,82
1 5
Ikan MT 1
0,16
258.500
210.000
48.500
1,23
6
Ayam MT 1
0,01
460.500
225.100
235.400
2,04
7
Cabai MT 1
0,15
200.400
150.955
49.445
1,32
LAPORAN AKHIR
V | 35
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
8
Ubi MT 1
0,30
340.500
154.650
185.850
2,20
9
Bayam MT 1
0,02
180.500
95.500
85.000
1,89
Dari table diatas dapat dijelaskan bahwa sumber pendapatan petani dari lahan pekarangan dapat dihasilkan dari aneka ragam tanaman dan ternak. Hal ini harus dikembangkan dengan baik agar pola yang dihasilkan tepat dan nilai ekonomis dari hasil produksi juga baik.
LAPORAN AKHIR
V | 36
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
6.1
Prospek dan Keuntungan Sistem Agroforestri Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masalah, misalnya penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan. Secara global, masalah ini semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan, terutama pangan yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk. Di tengah perkembangan itu lahirlah agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan sistemsistem agroforestri yang telah dipraktekkan oleh petani sejak berabadabad yang lalu. Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk
memberi
manfaat
kepada
manusia
atau
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak.
Agroforestri
mengoptimalkan
hasil
utamanya suatu
diharapkan
bentuk
dapat
penggunaan
membantu
lahan
secara
berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak
LAPORAN AKHIR
VI | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi. Secara umum sistem penggunaan lahan seperti ditunjukkan skema pada Gambar 6.1.
Gambar 6.1. Sistem penggunaan lahan pada umumnya
Sistem penggunaan lahan agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan
tenaga
ataupun
sumber
daya
sendiri
(internal)
dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan. Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam pemecahannya (von Maydell, 1986) : 1) Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan: 2) Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
LAPORAN AKHIR
VI | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3) Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian: 4) Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai: 5) Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat: Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence). Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai sistem agroforestri dengan cara mengoptimalkan
interaksi
positif
antara
berbagai
komponen
penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal: 1. Produktivitas (Productivity) : Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya. 2. Diversitas (Diversity) : Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
LAPORAN AKHIR
VI | 3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3. Kemandirian (Self-regulation) : Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (seperti pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur 4. Stabilitas (Stability) : Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani. Disamping itu sistem penggunaan lahan agroforestri juga memiliki berbagai keunggulan dan keuntungan dalam berbagai aspek yaitu : 1. Ekologi/lingkungan 1) Multi-jenis, artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. 2) Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan penyakit. 3) Kesinambungan
vegetasi,
sehingga
tidak
pernah
terjadi
keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak keseimbangan ekologinya. 4) Penggunaan bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat 'relung' (niches) yang beragam tergantung pada kesuburan tanah, kemiringan lereng, kerentanan terhadap
LAPORAN AKHIR
VI | 4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga. 2. Keunggulan ekonomi 1) Tanaman yang ditanam lebih beragam, yang biasanya dipilih jenisjenis tanaman yang mempunyai nilai komersial dengan potensi pasar yang besar. Keragaman atau diversifikasi jenis hasil ini akan meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi harga dan jumlah permintaan pasar. Jadi sebenarnya dengan sistem ini petani telah menebar risiko, dengan jalan tidak 'meletakkan semua telur unggasnya dalam satu sarang' (do not put all eggs in one basket). Selanjutnya, dengan diperolehnya jenis hasil yang beragam dan berkesinambungan ini akan menjamin pendapatan petani lebih merata sepanjang tahun. 2) Kebutuhan investasi yang relatif rendah, atau mungkin dapat dilakukan secara bertahap. 3. Keunggulan sosial budaya 1) Teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari sangat intensif untuk masyarakat yang sudah maju, sampai kurang intensif untuk masyarakat yang masih tradisional dan subsisten 2) Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil agroforestri
umumnya
sudah
sangat
dikenal
dan
biasa
dipergunakan oleh masyarakat setempat 3) Filosofi budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besar dengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil.
LAPORAN AKHIR
VI | 5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4. Keunggulan politis
1) Agroforestri dapat dan sangat cocok dilakukan oleh masyarakat luas, adanya pemerataan kesempatan usaha, serta menciptakan struktur supply yang lebih kompetitif 2) Dapat meredakan ketegangan atau konflik politik, yang selama ini terus memanas akibat ketimpangan peran antar golongan dan ketidakadilan ekonomi. 3) Kepercayaan yang diberikan masyarakat akan direspon dengan ‘rasa memiliki’ dan menjaga sumber daya hutan/lahan yang memberi manfaat nyata kepada mereka. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif (mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, konservasi air dan tanah, karbon sink), sehingga seringkali dipakai sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Kenyataannya, agroforestri yang dipraktekkan masyarakat dengan menanam pohon di lahan milik mereka, keberadaannya sering diabaikan dalam diskusi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Penggunaan lahan sistem agroforestri
diharapkan
mampu
mengembalikan
fungsi
hutan
(keberadaan pohon-pohonan), sekurang-kurangnya bentuk penggunaan lahan yang dianggap lebih baik dan paling mendekati dengan sistem penggunaan hutan alami, yang fungsinya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.2.
LAPORAN AKHIR
VI | 6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 6.2. Fungsi hutan ditinjau dari segi biologi, ekonomi dan pertambangan (Van Noordwijk et al., 2001). Keterangan: T & B = Tebang dan Bakar.
Telah berabad-abad lamanya petani menanam pohon di lahannya, mereka tidak perlu menunggu peneliti untuk mengembangkan konsep agroforestri. Di Asia Tenggara, sistem agroforestri ini telah dipromosikan secara luas sebagai salah satu bentuk pengelolaan tanah yang berkelanjutan. Tetapi peneliti, pengambil kebijakan dan penyuluh lapangan sangat jarang yang mengenali bahwa sistem agroforestri sebenarnya berasal dari petani. Sistem ini telah dikembangkan, dibuktikan dan dirasakan sendiri oleh petani. Oleh karena agroforestri ini dikembangkan oleh petani dengan tujuan yang berbeda-beda, maka macam agroforestri di satu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Namun demikian, agroforestri masih sering disebut sebagai “proyek pengembangan”, karena kadang-kadang memang idenya berasal dari “luar” dan kadang-kadang di “luar” lingkup interaksi pohon-tanahLAPORAN AKHIR
VI | 7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
tanaman semusim. Seperti kita ketahui bahwa pada suatu bentang lahan yang sama, ada kemungkinan terdapat berbagai macam sistem pengunaan lahan mulai dari hutan (di mana terdapat 70-100% tutupan kanopi, meskipun di beberapa daerah yang berbeda tipe ekologinya mungkin dengan 25% tutupan kanopi sudah disebut hutan) hingga pertanian intensif (di mana tidak ada pohon pada bentang lahan tersebut). Batasan tersebut sangat jelas terlihat pada bentang lahan di mana terdapat sistem pertanian monokultur yang relatif luas. Namun, kenyataannya di lapangan ada bagian transisi atau bagian “kelabu” yang merupakan bentuk campuran dari kedua sistem tersebut (sistem pertanian terpadu), bahkan seringkali sistem ini justru mendominasi suatu bentang lahan. Bagian “kelabu” ini dapat dianggap bagian dari kehutanan atau bisa juga pertanian atau bisa agroforestri. Pembagian yang mutlak ini juga tercermin dalam pembagian wewenang dari masingmasing Kementerian, yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, yang sangat jelas pembagian batasan dan wewenangnya; tetapi sayangnya tidak ada Kementerian Agroforestri yang harus mengurus sistem “kelabu” di atas. Pada Gambar 6.3. dapat dilihat ilustrasi tutupan kanopi berbagai sistem penggunaan lahan
LAPORAN AKHIR
VI | 8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Gambar 6.3. Gambar kiri: Tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon berkisar dari 0 hingga 100% sebagai dasar penentuan batas ambang dari kriteria “hutan”. Berdasarkan definisi terakhir, hutan memiliki tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon bervariasi antara 20-80%. Gambar kanan: Berbagai pilihan dari kombinasi ketiga bentuk utama sistem penggunaan lahan yang ada pada tingkat bentang lahan yang harus memenuhi tuntutan agronomis yang menguntungkan dan lingkungan yang sehat seperti yang diberikan oleh sistem hutan alami (Van Noordwijk et al., 2001). Penelitian agroforestri seringkali dikaitkan dengan pengembangan teknologi
di
tingkat
plot
yang
fokus
utamanya
adalah
pada
pengembangan teknologi agroforestri. Sasaran yang diharapkan biasanya adalah mencari teknologi terbaik, produksi pohon dan tanaman lainnya tinggi. Program pembangunan yang didasarkan pada asumsi bahwa petani perlu dididik untuk menerapkan teknologi baru dan lebih baik, hampir dapat dipastikan selalu gagal, jika tidak dimulai dengan diagnosa masalah dan jika jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah yang cukup.
LAPORAN AKHIR
VI | 9
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Hasil adaptasi teknologi bergantung pada banyak faktor lain: sumber daya manusia (kesehatan, nutrisi, tenaga kerja dan pengetahuan), sumber daya alam (tanah, air, vegetasi, hewan dan mineral), modal sosial (institusi, kebijakan, kerjasama dan keadilan), modal finansial (tunai, kredit, cadangan atau tabungan) dan modal fisik (infrastruktur dan kekayaan). Petani harus memiliki akses ke kelima bentuk modal tersebut. Program yang mengutamakan teknologi dan peningkatan produktivitas dari modal alam (tanah, plasma nutfah, dsb) hanya berhasil jika keempat jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah cukup pula. Pada Gambar 6.4. dapat dilihat macam-macam modal yang berhubungan erat dengan adopsi teknologi di tingkat petani
Gambar 6.4. Macam-macam modal yang berhubungan erat dengan adopsi teknologi di tingkat petani.
Masalah yang dihadapi di lapangan sangat kompleks, maka pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara terpadu atau terintegrasi (integrated natural resources management). Langkah pendekatan pengelolaan sumber daya alam secara terpadu meliputi: LAPORAN AKHIR
VI | 10
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
1) Diagnosis masalah sumber daya alam yang ada di masyarakat dan perspektif dari para pihak terkait akan masalah tersebut, 2) Identifikasi beberapa pilihan sistem penggunaan lahan yang ada saat ini dan sistem lain yang berpotensi untuk memecahkan masalah penurunan sumber daya alam, termasuk di antaranya sistem agroforestri 3) Evaluasi keuntungan yang akan diperoleh ditinjau dari 3 segi yaitu produktivitas
dan
keberlanjutannya,
sosial
dan
distribusinya,
pelayanan lingkungan termasuk di dalamnya emisi gas rumah kaca, perlindungan terhadap daerah aliran sungai dan keanekaragaman hayati, 4) Evaluasi peluang untuk pengembangan sistem yang ditawarkan dengan melihat trend-nya saat ini, dengan segala pro dan kontranya, 5) Merencanakan perubahan aturan, insentif dan akses yang hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat. Hasilnya adalah diberikannya jaminan penguasaan lahan yang jelas kepada masyarakat, beban pajak yang sesuai, ecolabelling dan dukungan infrastruktur. Keberhasilan penggalian potensi agroforestri untuk memperbaiki tingkat hidup pedesaan dan lingkungan sangat ditentukan oleh keputusan petani dan keluarganya untuk menggunakan atau memelihara sumber daya lahannya. Keputusan mereka untuk mengadopsi, menerapkan, menolak atau mengembangkan agroforestri adalah sangat penting. Untuk mempengaruhi
keputusan
tersebut
secara
positif,
dan
untuk
menghilangkan semua pembatas dan hambatan, beberapa aspek mungkin perlu diubah : 1) Konteks sosial, akses pada lahan dan sumber daya produksi yang lebih kondusif untuk menyelesaikan konflik penggunaan sumber daya setempat.
LAPORAN AKHIR
VI | 11
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
2) Akses pada pasar yang “sehat”, yang tergantung pada infrastruktur, kelembagaan lokal dan kebijakan makro, juga akses untuk selalu memperbaharui informasi. 3) Pengetahuan umum, pemahaman akan adanya berbagai pilihan dan kemampuan untuk belajar dan memperoleh pengetahuan baru. Informasi akan teknologi spesifik dan bagaimana mendapatkan input yang dibutuhkan (termasuk plasma nutfah pohon yang berkualitas tinggi). Dalam pengembangan sistem penggunaan lahan agroforestri agar dapat mencapai tujuan dan maksud pengembangannya berbagai pendekatan penelitian dan pengembangan dilakukan diantaranya Pendekatan komoditi, pengelolaan lahan ditingkat petani, Pengelolaan bentang lahan dan proses pemerintahan. 1. Pendekatan komoditi Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai
lembaga
penelitian
pertanian
nasional
ataupun
internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet, padi, dsb. Dalam konteks tersebut, agroforesti akan berusaha menjawab pertanyaan pada level “komponen”, “interaksi antar komponen” serta “ciri dan sifat sistem”: Komponen
: Pohon apa saja yang dipilih petani (lokal, eksotik, yang ada sekarang, varietas unggul), dan bagaimanakah sifat dan ciri pohon tersebut ?
Interaksi
: Bagaimana petani mempertahankan plasma nutfah yang berkualitas ? Bisakah hal ini dikembangkan?
LAPORAN AKHIR
VI | 12
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Sifat dan ciri system : Bagaimanakah
“integrasi vertikal”
dalam
seluruh rantai pasar memberikan umpan balik pada pilihan dan keputusan petani? Informasi dari hasil penelitian tentang pohon yang tersedia dan keragaman pohon masih dibutuhkan oleh petani sebagai bahan dalam mengambil keputusan untuk menanam, mengelola atau memanen pohon. Akses untuk mendapatkan bahan tanaman yang berkualitas tinggi masih merupakan faktor pembatas utama bagi petani. Akses pasar serta harga hasil pohon yang berasal dari agroforestri sangat tergantung dari aturan yang mudah sekali berubah. Produsen skala kecil kurang mengetahui informasi tentang aturan jual-beli yang terkait dengan konsumen dan kualitas yang diinginkan. 2. Pendekatan pengelolaan lahan pada tingkat petani Pendekatan lainnya adalah berpusat pada “pilihan teknologi” atau “sistem pertanian”, yang memprioritaskan petani (farmer first), lihat Gambar 6.5. Pada lapisan luar pertama dalam Gambar 6.5. tersebut, ada empat faktor yang mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan
untuk
mengadopsi,
menolak,
mengadaptasi
atau
mengembangkan sistem agroforestri, yaitu : 1) Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan. 2) Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal. 3) Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan ketersediaan kredit.
LAPORAN AKHIR
VI | 13
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
4) Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
Gambar 6.5. Interaksi petani dengan faktor luar
Pada lapisan luar kedua, menunjukkan dukungan yang dibutuhkan yaitu : 1) Kebijakan dan iklim ekonomi yang mendukung, 2) Dukungan infrastruktur seperti sarana transportasi, kredit dsb, 3) Lembaga penelitian yang dapat memberikan informasi tentang berbagai bentuk agroforestri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, 4) Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam pengelolaan agroforestri. Pendekatan pilihan teknologi ini sebenarnya mewakili pengertian agroforestri berdasarkan interaksi komponen dan pendukungnya
LAPORAN AKHIR
VI | 14
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
dalam penggunaan sumber daya alam pada tingkat petani. Pada pendekatan ini, beberapa pertanyaan penelitian diarahkan untuk menjawab pertanyaan pada tingkat “komponen”, “interaksi antar komponen”serta “ciri dan sifat sistem” : Tingkat komponen
: Teknologi apa saja yang tersedia pada skala plot yang dapat digunakan petani? Dan bagaimanakah hubungan input-output yang terjadi pada suatu kondisi tertentu?
Tingkat interaksi
: Bagaimana keluarga petani mengalokasikan sumber
daya
mereka
untuk
mengelola
lahannya. Bagaimana caranya keputusan tersebut diubah dengan adanya peningkatan akses
terhadap
produk
pengetahuan
(informasi). Tingkat sifat dan ciri system : Apa pengaruh dari pengambilan keputusan petani saat ini dan di masa yang akan datang terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, keuntungan, dan keberlanjutan dari sistem produksi serta dampak terhadap lingkungan eksternal? Tersedianya teknologi pada skala plot adalah dasar pertimbangan keluarga petani untuk menggunakan lahannya secara produktif. Pengetahuan akan ada tidaknya dampak pohon dalam pengelolaan lahan masih sangat diperlukan petani. Pada masa lalu, penelitian telah direkayasa menjadi semacam paket teknologi. Keputusan akhir dari petani untuk dapat/tidaknya mengadopsi
LAPORAN AKHIR
VI | 15
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
teknologi agroforestri pada sebagian lahan pertanian mereka, masih kurang dipahami. Akibatnya, tindakan penyuluhan menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Dalam pemanfaatan sumber daya yang produktif, terdapat tarik-ulur (trade-offs) antara keuntungan jangka pendek (manfaat, panen), dengan produktivitas jangka panjang (tanaman, manfaat/fungsi tanaman) dan fungsi layanan lingkungan (environmental services) yang ada pada skala plot. Tarik ulur yang dikaitkan dengan lahan, tenaga kerja, dan modal finansial dalam suatu lahan pertanian harus menjadi dasar pertimbangan untuk menentukan ‘penghargaan terhadap layanan lingkungan’ yang disediakan. Dalam konteks ini, pengertian lahan pertanian dan petani adalah sangat luas, yang mencakup petani dengan lahan pertanian yang secara eksklusif dimiliki dan dikelola oleh suatu keluarga, tetapi termasuk juga petak lahan dalam sistem gilir-balik (rotational forest fallow) yang dialokasikan dan dikelola oleh jaringan masyarakat yang lebih besar. Tambahan lagi, pada semua area dimana hutan kemasyarakatan mulai dikenal, petani juga terlibat dalam kegiatan produktif dan/atau konservatif pada lahan milik umum (village common lands) melalui kesepakatan organisasi masyarakat. 3. Pendekatan tingkat bentang lahan Sistem ini muncul beberapa dekade belakangan ini sebagai dasar untuk Pengelolaan Sumber Daya Terpadu (PSDT) yang melibatkan berbagai pihak terkait, yang terlibat dalam penyelesaian “konflik”, maupun dalam pemberian “penghargaan” untuk suatu keberhasilan. Agroforestri mungkin dapat menjadi solusi pada skala ini, tetapi juga dapat menimbulkan masalah. Dalam hal ini, dibutuhkan keahlian, mitra (partner) dan organisasi yang lebih luas untuk terlibat secara efektif. Penelitian dalam pendekatan ini diarahkan untuk menjawab LAPORAN AKHIR
VI | 16
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
pertanyaan pada level “komponen”, “interaksi antar komponen” serta “ciri dan sifat sistem” : Komponen
: Bagaimanakah fungsi layanan lingkungan (termasuk fungsi hidrologi dan konservasi keanekaragaman hayati) dalam suatu mosaik bentang lahan yang di dalamnya terdapat penggunaan
lahan
agroforestri,
juga
campuran dari kawasan lindung, hutan pertanian intensif dan/atau perkampungan? Interaksi
: Bagaimanakah mosaik penggunaan lahan tersebut berubah seiring dengan waktu di bawah pengaruh manusia, dan apakah artinya bagi pihak setempat yang terkait, juga pihak luar yang ikut memanfaatkan fungsi layanan lingkungan tersebut? Seberapa jauh fungsi untuk produksi dan layanan lingkungan dapat berjalan bersama?
Sifat
dan
ciri
system
:
Bagaimananakah
mengembangkan
dan
masyarakat
lokal
menggunakan
cadangan sosial untuk melakukan interaksi di antara mereka, mengurangi konflik dan melakukan perundingan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk meningkatkan fungsi ganda dari bentang lahan? Konsep agroforestri kita dengan sendirinya harus mencakup mosaik “bentang lahan agroforestri” yang tersusun dari dua komponen plot “pertanian” maupun plot “hutan”, dan penelitian yang dilakukan mencakup: LAPORAN AKHIR
VI | 17
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
(1) Penelitian strategi spatial untuk penempatan dan penyebaran agroforestri relatif pada bentang lahan setempat, (2) Pendekatan manajemen, serta (3) Monitoring dampaknya terhadap layanan lingkungan. 4. Pendekatan Proses Pemerintahan Adanya kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan akan membentuk kondisi pembatas bagi agroforestri. Untuk menghilangkan pembatas tersebut, terutama pada
lahan
kering
dibutuhkan
suatu
mekanisme
untuk
menghubungkan antara kebutuhan dan penyediaan fungsi layanan lingkungan melalui penggunaan lahan. Pemberdayaan masyarakat nampaknya mutlak diperlukan untuk mengusahakan pengelolaan sumber daya alam yang terpadu. Ada 3 contoh yang mungkin dapat menjelaskan, “Pemerintahan”, yang dimasudkan di sini termasuk multi-level struktur pemerintah, termasuk masyarakat sipil. Keempat komponen tersebut di atas (pohon, petani, lahan pada skala bentang lahan dan pemerintahan) sekarang ini merupakan titik pusat penelitian. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, interaksi yang kuat antara keempat level (dan batas yang terbuka/fleksibel antar keempat komponen tersebut) sangat diperlukan. Level sistem pemerintahan mudah sekali mendominasi yang lain, dan tidak dapat diabaikan dalam menyelesaikan suatu masalah. Tetapi beberapa proses pemerintahan jarang sekali secara eksplisit atau eksklusif menyebutkan agroforestri, sehingga pelaku agroforestri masih perlu menyatukan visi dan misi dalam skala yang lebih besar, supaya proses pemerintahan menjadi lebih terarah. Arah penelitian pada level ini ialah:
LAPORAN AKHIR
VI | 18
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Komponen
: Peraturan, kebijakan, lembaga dan sistem insentif apa yang sekarang ada untuk sumber daya
alam
dan
penggunaan
(agroforestri)
pada
skala
lahan
internasional,
nasional, regional dan lokal, dan bagaimana instrumen ini dapat dimodifikasi? Interaksi
: Bagaimana menyusun struktur penghargaan yang transparan, adil dan efisien sebagai insentif
yang
harus
diberikan
kepada
masyarakat yang melaksanakan konservasi terhadap fungsi layanan lingkungan, Sifat dan ciri system : Bagaimanakah
supaya
pemberdayaan
(building capacity) yang sekarang ada pada berbagai
skala
dan
level
dapat
mempersiapkan generasi mendatang untuk dapat mengelola sumber daya alam secara terintegrasi
dengan
mempertimbangkan
manusia, sosial, alam, infrastruktur dan cadangan finansial? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas (masukan dan keluaran), apakah yang dapat dilakukan oleh universitas/Perguruan Tinggi ?. Universitas/Perguruan Tinggi dapat membantu melalui penelitian, pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan agroforestri. Sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon, tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat mengalami LAPORAN AKHIR
VI | 19
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang terjadi dalam interaksi antara pohon-tanahtanaman semusim. Pengukuran dan pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu dalam menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat ke dalam tingkat ilmiah. Meningkatnya
pembukaan
hutan
di
Indonesia
menyebabkan
terjadinya degradasi lahan. Salah satu sistem yang terbukti dapat menekan laju degradasi lahan adalah sistem agroforestri. Namun sistem ini mempunyai pesaing yang menghasilkan kesamaan produk, yaitu
pertanian,
kehutanan,
hortikultura
dan
perkebunan.
Pengalaman menunjukkan bahwa sistem monokultur memiliki banyak kelemahan.
Perubahan
paradigma
pengelolaan
hutan
yang
mempertimbangkan kelestarian sumber daya alam dan berbasis masyarakat, kepedulian global terhadap kelestarian alam dan pengurangan polusi lingkungan, meluasnya lahan terdegradasi menciptakan peluang yang cukup besar bagi agroforestri. Pengembangan agroforestri di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, misalnya jaminan hak penguasaan lahan, kemudahan memperoleh masukan (pengetahuan, bimbingan, bibit, informasi pasar, kebijakan, dsb). Salah satu usaha pemecahan masalah ini untuk mengembangkan agroforestri adalah dengan mengubah pendekatan agroforestri dari skala plot menjadi bentang lahan dengan mengubah pengelolaan parsial menjadi terpadu atau terintegrasi dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Penelitian yang dibutuhkan adalah pengembangan pengelolaan sistem agroforestri yang spesifik
LAPORAN AKHIR
VI | 20
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
lokasi, penyediaan bibit yang berkualitas tinggi, pemilihan lokasi yang cocok (tree by site matching) dan pemasaran, pengukuran tingkat layanan lingkungan oleh agroforestri, dan penyempurnaan kebijakan pemerintah yang memihak para pelaku agroforestri. Usaha agroforestri tidak jarang mengalami kegagalan, karena pertumbuhan pohon yang tidak baik sebagai akibat rendahnya mutu bibit yang dipilih. Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam penyediaan
bibit,
maka
masyarakat
perlu
dibekali
dengan
pengetahuan dan ketrampilan dalam pemilihan bibit. Pemilihan lokasi yang tepat bagi jenis komoditi tertentu merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri. Penelitian tentang pola sebaran pepohonan pada skala bentang lahan merupakan informasi
yang
sangat
berharga
bagi
masyarakat
untuk
mengembangkan usaha agroforestrinya. Di samping itu, informasi pasar untuk produk pohon (kayu bangunan, buah-buahan dan rempah) akan banyak membantu petani dalam mengatur strategi pengelolaan lahannya. Dari sisi pemerintahan penelitian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan agroforestri antara lain yang berhubungan dengan : 1) Jaminan penguasaan lahan (land tenure). 2) Pengadaan “pasar hijau” bagi produk yang ramah lingkungan dan pemberian “insentif” bagi petani yang melaksanakannya.
LAPORAN AKHIR
VI | 21
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
6.2
Pengembangan Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir Secara
umum
pengembangan
sistem
produksi
pertanian
adalah
agroforestry dengan beberapa permasalahan yang ingin di atasi atau isu kunci yang menjadi perhatian utama. 6.2.1. Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pertama : pola iklim (terutama, curah hujan, temperatur dan evapotranspirasi). Sistem produksi pertanian harus diarahkan kepada upaya memanfaatkan musim hujan karena persoalan keseimbangan air yang sangat bermasalah. Dalam hal ini pemilihan tanaman diupayakan bias
menyesuaikan
dengan
kelebihan
curah
hujan
atau
tingkat
ketergenangan yang tinggi di Kabupaten Rokan Hilir, Tanaman pangan semusim umumnya hanya bisa diusahakan dalam musim hujan masa transisi diusahakan tanaman yang bisa hidup dengan curah hujan rendah dan temperatur tinggi. Tanaman-tanaman tertentu memerlukan naungan sehingga
pemilihan
perkebunan
tanaman
(seperti
sawit,
pelindung karet,
kopi
untuk dan
tanaman-tanaman lada)
sangat
vital
peranananya.
Kedua : Drainase dan keseimbangan air memerlukan tindakan pengawetan tanah dan air (soil and water conservation). Hal ini dikaitkan dengan ketergenangan air oleh tanah di Kabupaten Rokan Hilir yang relatif tinggi serta tanah yang rentan terhadap pencucian hara. Karena itu pola drainase dan pengawetan air sudah menjadi bagian dari tradisi yang kemudian dikembangkan dengan bentuk-bentuk yang diperkenalkan seperti
pola
tanam
dalam
jalur,
larikan
tanaman
hidup
yang
dikembangkan dan kemudian dinamakan alley cropping. Tindakan pengawetan tanah secara tradisional juga dilakukan secara mekanik dengan menggunakan batu, terasering, sisa-sisa tanaman atau kayu.
Ketiga : upaya memperoleh uang tunai dari sistem produksi pertanian lahan
LAPORAN AKHIR
kering
dengan
tanaman
semusim
maupun
dari
tanaman
VI | 22
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perdagangan monokultur (karet, cengkeh, kopi, kemiri, sawit) tidak begitu besar dan terutama tidak stabil). Karena itu penganekaragaman system produksi pertanian menjadi pilihan penting.
Keempat : Upaya menyediakan bahan bangunan dan kayu bakar lahan sendiri
sudah
menjadi
kebutuhan
mendesak
yang
menyebabkan
masyarakat mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami dengan kayu bangunan.
Kelima : Sistem pengolahan lahan dengan menggunakan api bisa menjadi masalah kebakaran bagi kebun-kebun yang berbatasan dengan kebun lain atau juga dengan hutan sekunder yang biasanya dibakar pada musim kemarau untuk membuka lahan.
Keenam : fungsi sosial yang ingin dijalankan terutama dalam masyarakat tradisional
atau
masyarakat
yang
masih
mempertahankan
dan
menjalankan institusi adat. Ada lokasi, jenis tanaman dan upacara yang memerlukan perhatian di mana lokasi tertentu harus dipertahankan. Keenam masalah dasar ini menjadi landasan untuk menentukan pola kombinasi tanaman, teknologi serta sistem (struktur dan fungsi) agroforestri yang dikehendaki. Misalnya di daerah dengan tingkat ketergenangan yang tinggi pola pengembangan agroforestri pasti memiliki unsur toleransi terhadap ketergenangan. Di daerah dengan tanaman perkebunan yang memerlukan naungan (shade trees) berbagai pilihan tanaman pelindung pasti tersedia atau akan dikembangkan. Demikian pula halnya dengan upaya pengembangan ternak di mana pola tanam dan jenis tanaman penghasil pakan ternak pasti akan menjadi perhatian utama dalam pengembangan agroforestrinya. 6.2.2. Kelemahan dan Tantangan Agroforest di Kabupaten Rokan Hilir 1. Kelemahan
Kesulitan visual Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote
LAPORAN AKHIR
VI | 23
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
sensing) menjadikan bentang hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.
Kesulitan mengukur produktivitas Masyarakat terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian. Adanya penyisipan pohon diantara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman
2. Ancaman Keberlanjutan
Kesulitan
merubah
pandangan
ahli
agronomi
dan
kehutanan Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan masyarakat yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri
sederhana
menganggap
ketidakteraturan
dan
keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan masyarakat yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif.
LAPORAN AKHIR
VI | 24
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
3. Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern) Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan
perubahan
ekologi,
keadaan
sosial
ekonomi,
dan
perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.
Kepadatan penduduk Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.
Penguasaan lahan Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan
proyek
pembangunan
besar
lainnya.
Ketidakpastian
kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai
LAPORAN AKHIR
VI | 25
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan
Indonesia.
memberikan tersebut,
Akibatnya,
dukungan
seperti
yang
belum
pembangunan diberikan
ada
upaya
terhadap
terhadap
untuk
agroforest
sawah,
kebun
monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Konsep agroforestry sebagai bagian dari konsep penguhatan sosial secara umum dijelaskan dalam frame work untuk analisis strategi sosial forestry (K.F. Wiersum, 1994 ) sebagai berikut :
COMMUNITY FOREST MANAGEMENT
MANAGEMENT CHARACTERISTIC Objective for lokal forest management - direct household - input into agricultural and livestock production prosesses - sourse of income and employment - cultural and religious values
Objective of interventions
Forest management practices - controlled utilization - protection & maintenance - purposeful regeneration
Provision of external input
Organitation of decision-making and control - presence of different groups of lokal management organization - organizational rules - norm and values according to which
organization operate
Institutional reajudsmens
- improved forest management - improved land - tenure system - legal codes productivity - land-use policies - improved - forestry and employment and other exstesion income services - produces basic need NATURE OF INTERVENTION - increase selfreliance - emancipation of SOCIAL FORESTRY underprivileged INTERVENTIONS groups - technical asisten - extension - finantial intensive - marketing cooperative - provision of accses to ( forest ) land
LAPORAN AKHIR
VI | 26
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Beberapa bentuk model pengembangan agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir
A. Intercropping kelapa sawit dan jati Intercropping merupakan sistem kultur teknis dari suatu tanaman utama dan tanaman pendamping (companion) yang dilakukan secara simultan atau sekuensial pada satu unit lahan yang sama. Dengan demikian baik tanaman utama maupun tanaman pendamping harus mempunyai preferensi yang sama terhadap tanah dan iklim namun harus komplementer dilihat dari segi pertumbuhan maupun sisi ekonomis. Kelapa sawit dan jati keduanya adalah sun-loving plant yang dapat tumbuh di berbagai tipe tanah dan iklim. Apabila ditanam di daerah beriklim monsoon maka jati akan tumbuh dengan baik sementara kelapa sawit berkurang produktivitasnya karena kekeringan mendorong terbentuknya bunga jantan dan menyebabkan aborsi bunga atau bakal bunga. Apabila terjadi kekeringan selama 3-6 bulan maka produksi TBS akan menurun sebesar
8–23%
intercropping
di
(Harahap daerah
dan
Latif,
beriklim
1998). basah
Penerapan tampaknya
pola lebih
memungkinkan mengingat jati tumbuh dan menghasilkan kayu jati berkualitas baik di Johore (Malaysia) yang mempunyai curah hujan rata-rata lebih besar dari 2500 mm per tahun (Tee et al., 1995). Ditinjau dari segi biologi dan pertumbuhan, baik kelapa sawit maupun jati
memiliki
beberapa
sifat
komplementer
yang
tidak
akan
menyulitkan intercropping keduanya. Sistem perakaran, kecepatan pertumbuhan meninggi, kerapatan tajuk menunjukkan bahwa kedua tanaman tidak akan berkompetisi terhadap hara, air dan sinar matahari apabila desain pertanaman dilakukan dengan baik 1) Pola Tanam Intercropping Kelapa Sawit – Jati Kelapa sawit umumnya ditanam dengan pola segitiga sama sisi dengan kerapatan 120 – 143 pohon per hektar, sedangkan jati
LAPORAN AKHIR
VI | 27
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
ditanam berbaris dengan kerapatan sampai 1500 pohon per hektar. Di Balung River Plantation, kelapa sawit ditanam dengan kerapatan 128 pohon per hektar dan jati ditanam di antara dua tanaman kelapa sawit sehingga kerapatannya juga 128 pohon per hektar. Jati ditanam 18 bulan setelah kelapa sawit. Pola tanam seperti ini ternyata mengakibatkan pelepah kelapa sawit yang berumur 6-7 tahun tumbuh membentuk sudut yang lebih sempit (erect), sehingga tandan buah sulit berkembang mengingat kedua tanaman
adalah
sun-loving plant yang tidak mentoleransi
penaungan berat, maka kerapatan tanam dapat dikurangi hingga hanya 120 pohon atau kurang per hektar, baik kelapa sawit maupun jati. Pengurangan populasi kelapa sawit ditengarai tidak akan menurunkan kemampuan tanaman ini sebagai sumber pendapatan bagi pekebun. Penanaman jati yang 18 bulan lebih lambat dari penanaman kelapa sawit dinilai sudah cukup tepat. telah berada di atas kanopi kelapa sawit yang ditanam pada tahun 1994 dan 1996. Pola tanam seperti ini juga mengakibatkan cabang pertama dan kedua jati tidak berkembang, akibat kalah bersaing dengan kelapa sawit, sehingga tidak perlu dilakukan pemangkasan. Namun demikian untuk memperoleh batang tunggal pemangkasan perlu dilakukan apabila ditemui tunas yang berlebihan, terutama pada saat jati berumur
6
bulan.
Pemangkasan
dapat
dilakukan
dengan
kekerasan 30%, yaitu 30% cabang dipangkas dan sisanya dibiarkan. Penyulaman dilakukan 2 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun dengan mengganti tanaman yang mati dan yang pertumbuhannya
jelek
(kerdil,
bengkok,
pangkal
batang
berlubang, luka terbakar, benjol, patah atau gundul). Penjarangan tampaknya tidak perlu dilakukan dalam pola intercropping. Pemupukan jati dapat dimulai pada saat sebelum tanam dengan memberi pupuk organic (kompos) sebanyak 1-2 kg yang dicampur dengan 50 gram pupuk NPK dan 50-100 gram dolomit untuk
LAPORAN AKHIR
VI | 28
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
setiap lubang tanam. Pemupukan lanjutan diberikan 2 kali setahun. Pemupukan pertama dilakukan 1-3 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 30-100 gram per pohon. Pemupukan kedua dilakukan pada saat jati berumur 6-12 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 60-200 gram per pohon. 2) Prospek Dan Keterbatasan Intercropping Kelapa Sawit Jati Areal perkebunan rakyat yang luasnya mencapai 35% dari total pertanaman kelapa sawit Indonesia merupakan generasi pertama dan
sebagian
sudah
memasuki
masa
peremajaan.
Dalam
pelaksanaan peremajaan para pekebun dihadapkan pada kesulitan biaya. Sebenarnya biaya peremajaan ini dapat disediakan oleh para pekebun dengan menyisihkan sebagian dari pendapatannya selama tanaman masih produktif. Akan tetapi karena pendapatan yang terbatas hal tersebut tidak dapat dilakukan. Berbeda dengan di Sri Lanka di mana peremajaan karet rakyat disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk seluruh biaya bahan tanaman dan sebagian biaya pekerja (RODRIGO et al., 2001). Namun biaya peremajaan kelapa sawit tidak akan menjadi masalah bila
intercropping dengan jati berjalan dengan baik. Dengan harga per log kayu jati berumur 20-25 tahun yang dapat mencapai RM 5.000 (tahun 1995), maka dari 120 pohon yang ditanam dan dipanen akan diperoleh suatu nilai yang substantial (TEE et al., 1995). Silvikultur jati umumnya memerlukan tenaga kerja dan input lainnya yang lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit. Introduksi jati dan tanaman hutan lainnya ke dalam sistem pertanaman kelapa sawit secara teknis tidak menambah beban pekebun. Hal ini khususnya untuk pekebun kecil (smallholder) maupun pekebun rakyat. Pola intercropping jarang diterapkan di perkebunan besar terutama karena kurangnya insentif, resiko pemasaran dan keamanan serta tidak cukupnya pengetahuan mengenai pola pertanaman
LAPORAN AKHIR
ini
(RODRIGO
et
al.,
2001).
Pengembangan
VI | 29
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perkebunan kelapa sawit rakyat mungkin dapat lebih diarahkan pada pola pertanaman intercropping ini. Pengembangan pola
intercropping ini memerlukan pemahaman terhadap pertumbuhan pohon dan korelasinya dengan pemanenan hasil akhir. Untuk sekedar tumbuh, pohon jati jenis pionir yang mampu tumbuh pada
berbagai
produktivitasnya
jenis
tanah
dan
(pertambahan
kondisi
pertumbuhan
iklim.
Namun,
per
satuan
waktu/tempat) akan sangat dibatasi oleh berbagai factor tumbuh. Hasil kayu pohon jati secara kuantitas (volume) lebih mudah dicapai, namun kualitasnya (kekuatan kayu, keawetan dan sifat anatomi, fisik, kimia dan lainnya) akan sangat dipengaruhi oleh umur panen, tanah dan iklim. Pola adaptasi dan pertumbuhan awal pohon kehutanan berbeda untuk setiap jenis. Hal yang sering terjadi adalah pertumbuhan pohon yang menjanjikan pada saat awal, namun berubah menurun dengan cepat dan kemudian stagnan pada fase pertumbuhan lanjut. Dengan daur hidup yang panjang,
reaksi
tanaman
hutan
terhadap
kondisi
tumbuh
seringkali baru tampak beberapa tahun setelah penanaman. Kegagalan tersembunyi ini akan sering terjadi pada kegiatan introduksi jenis baru ke dalam sistem pertanaman yang telah mapan, seperti halnya intercropping kelapa sawit dan jati. Pemahaman terhadap aspek teknis dan ekologis pola pertanaman
intercropping perlu diikuti dengan memperhatikan juga aspek sosial, ekonomi dan pasar. Pemahaman yang didominasi oleh aspek teknis semata tidak akan mampu menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan penanaman jenis kayu tertentu. Diperlukan pembaruan kerangka pikir dari yang bersifat teknis semata kepada pelibatan aspek ekonomi dan kelembagaan (KARTODIHARDJO, 2000).
B. Agroforestri yang terbentuk secara alamiah Wanatani
yang
terbentuk secara alamiah juga ditemukan di
Kabupaten Rokan Hilir.
LAPORAN AKHIR
Wanatani ini terjadi karena proses-proses
VI | 30
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
alamiah atau proses ekologis di mana kemudian masyarakat melihat model itu sebagai sumber daya di mana ada komponen atau produk yang bisa dimanfaatkan atau bermanfaat bagi manusia maupun ekosistem alam. Bagaimana pun juga manusia cenderung intervensi, ekploitatif dan bahkan merusak ekosistem alam menjadi ekosistem buatan. Banyak wanatani yang terbentuk secara alamiah kemudian dimanfaatkan manusia. Contoh-contoh wanatani yang terbentuk secara alamiah tanpa campur tangan manusia adalah kawasan bakau (mangrove) khususnya di daerah pesisir Kabupaten Rokan Hilir.
Kawasan mangrove dengan
ikan di dalam air di bawahnya. Masyarakat pesisir mencari ikan, kepiting, udang sebagai sumber makanan bagi kehidupannya, namun ikan ini tergantung hidupnya pada ekosistem atau habitat yang terbentuk karena interaksi antara mangrove dengan air. Model interaksi antara bakau dan air serta ikan ini kemudian dimanipulasi oleh manusia dengan pengembangan ikan bandeng dan kepiting sehingga menjadi agroforestri buatan (hasil manipulasi) manusia yang dapat diklasifikasikan sebagai silvofishery.
C. Hutan Kemasyarakatan Masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan butuh ruang untuk bisa eksisten secara ekonomi, budaya dan sosial politik. Brown (2004) mencatat bahwa sedikitnya ada 50 juta penduduk miskin Indonesia berada di dalam dan sekitar hutan yang menggantungkan penghidupannya akan sumberdaya hutan. Karenanya, kebijakan Hutan
Kemasyarakatan
selain
bertujuan
untuk
pemberdayaan
masyarakat juga untuk mengentaskan masalah kemiskinan dengan mendistribusikan akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat. Dengan keberadaan Hutan Kemasyarakatan, ada beberapa manfaat yang diperoleh bagi masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu :
LAPORAN AKHIR
VI | 31
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
1. Bagi Masyarakat, HKm dapat: (a) memberikan kepastan akses untuk turut mengelola kawasan hutan, (b) menjadi sumber mata pencarian, (c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumahtangga dan pertanian terjaga, dan (d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya. 2. Bagi pemerintah, HKm dapat: (a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan (b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamatan hutan. 3. Bagi fungsi hutan dan restorasi habitat (a) terbentuknya keaneka ragaman tanaman, (b) terjaganya fungsi ekologis dan hidrologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan (c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya. HKm mampu memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga, dari hasil tanaman palawija yang ditanam diantara tanaman keras.
D. Pola agroforestry untuk memberantas alang-alang 1. Pola agroforestri dengan berbagai jenis tanaman kayu Penanaman jenis kayu dalam pola agroforestri banyak dilakukan oleh petani dengan meniru pola penanaman di Hutan Tanaman Industri dan Inhutani. Tanaman kayu yang digunakan biasanya yang cepat tumbuh misalnya :
a. Sengon (Paraserianthes falcataria). Pada awalnya petani membuka lahan yang beralang-alang dengan menggunakan herbisida dan dibajak. Selanjutnya ditanami sengon (Paraserianthes falcataria) dengan jarak tanam 2 x 2 atau 2 x 2.5 atau 2 x 4 m2. Pada tahun pertama, di antara tanaman sengon ditanami padi gogo dan pada tahun ke-2 sampai ke-4 ditanami ketela pohon. Naungan dari sengon kurang begitu rapat, sehingga setelah panen tanaman pangan
LAPORAN AKHIR
VI | 32
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
harus dilakukan penyiangan atau pembajakan di antara barisan kayu. Menurut Tjitrosemito dan Soerjani (1991) pada sengon yang berumur antara 5-8 tahun intensitas cahaya yang samp ai di permukaan tanah antara 18-28% dari total cahaya penuh.
Pada
intensitas
ini,
alang-alang
dapat
ditekan
pertumbuhannya, tetapi masih mampu untuk tumbuh kembali.
b. Akasia (Acasia mangium). Akasia yang ditanam dengan jarak tanam 2 x 4 m2 (1.250 tanaman ha-1) dengan basal area 23 cm2 m-2 pada umur 4 tahun intensitas cahaya yang sampai di permukaan tanah hanya
10%,
sehingga
cukup
baik
digunakan
untuk
merehabilitasi alang-alang.
2. Pola agroforestri karet Karet biasanya ditanam oleh petani dengan jarak tanam 3.3 x 6 m2 atau 4 x 5 m2 (500 tanaman ha -1). Pada umur sekitar 7 tahun basal area batang adalah 10 cm2 m-2 dan intensitas cahaya yang sampai di permukaan tanah kurang dari 20% total cahaya. Pada tahun pertama sampai tahun ketiga, biasanya petani menanam ketela pohon di antara barisan tanaman karet. Setelah tahun ketiga, dimana percabangan tanaman karet telah terbentuk, tanaman pangan dan alang-alang mulai tidak bisa tumbuh. Saat itu menurut Bagnall-Oakeley et al. (1997) disebut sebagai kondisi “transisi” dalam agroforestri.
3. Pola agroforestri kelapa sawit Petani menganggap kelapa sawit sebagai pilihan yang terbaik, karena bias tumbuh kembali setelah terbakar, tahan terhadap kekeringan. Jarak tanam yang biasa digunakan petani untuk bertanam kelapa sawit adalah 8 x 9 m2 atau terdapat 138 tanaman ha -1. Pada umur 1-5 tahun, intensitas cahaya yang sampai di permukaan tanah di dekat kanopi tanaman dalam sistem ini antara 50-80% dari cahaya penuh dan pada jarak 4-4,5
LAPORAN AKHIR
VI | 33
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
m dari tanaman masih sekitar 100%. Pada tanaman yang telah mencapai ketinggian 10 m intensitas cahaya yang sampai di bawah tanaman sekitar tinggal 15-20%. Pada saat ini kelapa sawit sudah dapat menekan pertumbuhan alang- alang.
4. Sistem agroforestri lada/kopi Untuk memulai penanaman lada/kopi, petani menanam tanaman penaung yaitu Gliricidia sepium atau Erythrina orientalis lebih dahulu. Tanaman penaung yang juga berfungsi sebagai tanaman perambat, ditanam dengan jarak 2 x 2 m2. Setelah tumbuh dengan baik (1 -2 tahun) lada dan kopi baru ditanam. Lada ditanam di dekat tanaman penaung sedangkan kopi ditanam di tengah luasan 4 m2. Selama menunggu tanaman penaung tumbuh dengan baik, biasanya petani menanam tanaman pangan seperti padi, jagung atau tanaman pangan yang lain. Selain itu, di dalam sistem ini biasa ditemukan pula tanaman buah dan tanaman lain seperti pete (Parkia spesiosa), jengkol (Phitecellobium dulce), durian (Durio zibethinus), duku (Lansium
domisticum) dan kapuk (Ceiba pentandra) yang tumbuh secara acak yang berfungsi seb agai penaung dan batas kepemilikan lahan. Pada umur 4 tahun dengan basal area batang 5 cm2 m-2, intensitas cahaya yang sampai di permukaan tanah masih berkisar antara 45-50%, tetapi pada umur 10 tahun dengan basal area batang 10 cm2m-2, intensitas cahaya yang sampai dipermukaan tanah hanya 20% dari total cahaya penuh. Hal ini disebabkan selain pengaruh tanaman penaung seperti G. sepium atau E.
orientalis, juga tajuk tanaman buah yang tumbuh secara acak berperan pula sebagai penahan cahaya yang masuk. Pola-pola agroforestri dengan menggunakan tanaman kayu, karet, kelapa sawit dan lada/kopi dapat dilakukan untuk mengendalikan alang-alang, namun kemampuan masing-masing pola agroforestri tersebut tergantung pada pertumbuhan umur tanaman dan kerapatan kanopinya.
LAPORAN AKHIR
Kerapatan
kanopi
tersebut
sangat
mempengaruhi
VI | 34
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
intensitas cahaya yang masuk ke permukaan tanah, selanjutnya berpengaruh pada biomasa alang-alang yang ada di bawahnya Penggunaan pola agroforestri untuk mengendalikan alang-alang, atau disebut dengan pengendalian secara biologi sangat dianjurkan karena cara tersebut relatif murah dan ramah terhadap lingkungan. Dengan pola
agroforestri
yaitu
dengan
menanam
pohon
naungan
pertumbuhan alang-alang di Kabupaten Rokan Hilir khususnya di Tanah Putih atau lainnua menjadi terganggu bahkan dalam waktu tertentu alang-alang tidak akan tumbuh lagi, sehingga petani tidak perlu menggunakan herbisida yang akan menyebabkan tercemarnya lingkungan. Selain itu, penanaman pohon naungan dapat membantu menyuburkan tanah karena adanya masukan bahan organik dari serasah pohon yang terdecomposisi, dapat menjadi penghalang bagi penyebaran hama dan penyakit dan dapat memberikan 'income' bagi petani. Dengan demikian pola agroforesti pada pengendalian alangalang
dapat
menciptakan
sistem
pertanian
yang
sehat
dan
berkelanjutan.
LAPORAN AKHIR
VI | 35
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
7.1.
Pentingnya agroforestri di Indonesia
Agroforestry (agroforestri atau wanatani) sudah sejak lama dipraktikkan oleh masyarakat di Indonesia.Dapat dikatakan bahwa agroforestri sudah lahir sejak manusia beralih tradisi dari berburu ke bercocok tanam. Menurut catatan, penggunaan pekarangan untuk bercocok tanam sudah dikenal sejak 7000 tahun SM yang pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai agroforestri (BPDAS Pemali Jratun 2010dalam Rohadi et al, 2013). Praktek agroforestri telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Sistem usaha tani ini di Indonesia dikenal dengan berbagai model dan nama lokal, seperti “parak” di Maninjau, Sumatera Barat; “pelak” di Kerinci, Jambi; “repong damar” di daerah Krui, Lampung; “tembawang” di Kalimantan Barat; “simpukng” dan “kebun” di Kalimantan Timur; “talun” atau “dudukuhan” di Jawa Barat; “wono” dan “kitren” di Jawa Tengah; “tenganan” di Bali dan “amarasi” di wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjono et al. 2003dalam Rohadiet al., 2013). Beberapa ahli mengemukakan pengertian agroforestri dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Nair (1983) menyatakan bahwa agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui perpaduan antara pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan dapat diperoleh hasil-hasil nabati dan hewani secara optimal dan berkesinambungan. Lundgren dan Raintree (1982) dalam Rohadi (2013), mengajukan definisi agroforestri sebagai istilah kolektif atas berbagai sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan LAPORAN AKHIR
VII | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
memadukan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem dan bambu) dengan tanaman pertanian dan atau hewan (ternak) dan atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Garrity
(2004)
mengatakan
bahwa
agroforestri
adalah
praktek
penggabungan pohon dengan tanaman tahunan dan kegiatan pertanian lainnya. Dari
berbagai
definisi
tersebut
serta
dengan
mempertimbangkan
perkembangan praktek agroforestri di masa kini, istilah agroforestri di dalam strategi nasional ini mempunyai pengertian sebagai berikut: 1
Merupakan istilah kolektif atas berbagai sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan memadukan tumbuhan berkayu (seperti pohon, perdu, palem dan bambu) dengan tanaman pertanian dan atau hewan (ternak) dan atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara berbagai komponen yang ada.
2
Merupakan
sistem
penggunaan
lahan
terpadu
yang
menjaga
keseimbangan antara aktivitas produksi dan pelestarian lingkungan, dengan kombinasi hasil pangan, ternak, pohon serta mempunyai peran sosial untuk mengurangi potensi konflik penggunaan lahan, serta dilaksanakan atas pemahaman multidisiplin keilmuan. Berdasarkan agroforestri
komponen-komponen dapat
dijumpai,
yaitu
penyusunnya, agroforestri
berbagai
bentuk
di
kering
lahan
(agrosilviculture), wanamina (silvofishery), wanahijauan pakan ternak (silvopasture), budidaya perlebahan (apiculture), budidaya persuteraan alam (sericulture), dan budidaya tanaman obat-obatan di bawah tegakan hutan (wanafarma). Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini bukan hanya menjadi domain sektor kehutanan.Agroforestri merupakan bagian dari program pembangunan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, serta kesehatan.Bahkan agroforestri merupakan program yang LAPORAN AKHIR
VII | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
melibatkan sektor hulu hingga hilir, sehingga terkait pula dengan sektor perindustrian dan perdagangan. Sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang telah disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat, agroforestri dapat berkontribusi terhadap strategi pembangunan nasional dengan memberikan peluang kerja (pro
job), mengentaskan kemiskinan (pro poor), meningkatan ekonomi daerah (pro growth), dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan (pro
environment).Kontribusi agroforestri tersebut diwujudkan di tingkat lokal dalam
bentuk
kontribusi
terhadap
penyediaan
lapangan
kerja,
pengembangan ekonomi lokal, dan peningkatan ketahanan lingkungan yang selanjutnya dapat diperluas pada tingkat nasional. Selain kontribusi ekonomi, sistem agroforestri juga memberikan dampak positif bagi aspek konservasi.Sistem ini terbukti mampu mempertahankan kesuburan tanah, melindungi daerah tangkapan air, berkontribusi di dalam upaya penyerapan karbon dan mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati dan restorasi lansekap. Sebagai contoh, repong damar di Lampung terbukti berperan mempertahankan ratusan spesies langka seperti flora epifit, jamur dan berbagai herba (de Foresta dan Michon 1994dalam Rohadi et al 2013). Selain itu repong juga berperan sebagai habitat bagi 92 jenis burung dan 46 jenis mamalia, termasuk 17 spesies yang dilindungi (ICRAF 2001dalam Rohadi et al. 2013). Berdasarkan hasil kajian Fernández (2004) dan Fernández et al. (2003)dalam Rohadi et al. (2013), sistem agroforestri di Sumatera Utara juga terbukti berkontribusi terhadap konservasi keanekaragaman hayati serta menjaga kondisi hutan alam di sekitarnya yang menjadi habitat bagi orang utan. Pada contoh kasus sistem agroforestri dudukuhan di Jawa Barat, Manurung et al. (2008)dalam Rohadi et al. (2013), menunjukkan bahwa sistem ini selain memainkan peran penting dalam aktivitas ekonomi regional, juga mampu menjaga kelestarian sejumlah jenis tanaman kehutanan dan buah-buahan. Sabarnurdin et al. (2011) menyatakan bahwa sistem agroforestri LAPORAN AKHIR
VII | 3
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
diprediksi kuat dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah baik sosial maupun lingkungan, diantaranya isu global mengenai kemiskinan, pemanasan
global,
dan
degradasi
lingkungan.Sistem
agroforestri
merupakan solusi untuk menjawab tantangan kelangkaan di bidang pangan, papan, energi, dan air.Keempat komponen tersebut merupakan kebutuhan dasar umat manusia yang semua keberadaannya di atas lahan. Konsep agroforestri merupakan opsi yang tepat dan strategi yang penting dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan kehutanan karena dapat menjadi jembatan antara kebutuhan akan lahan pertanian dan peningkatan ekonomi lokal, sementara di sisi lain tetap dapat menjaga kelestarian fungsi hutan. Di dalam konteks ketahanan pangan, sektor kehutanan memiliki tiga fungsi
utama,
memungkinkan
yaitu
sebagai
terjadinya
penyedia
produksi
jasa
pangan
lingkungan
secara
yang
berkelanjutan,
penyedia sumber genetik yang bisa memperkuat produksi pangan, dan sebagai penyedia lahan. Melalui sistem agroforestri, pemanfaatan lahan kehutanan dapat lebih dioptimalkan untuk mendukung program ketahanan pangan tersebut. Bagi negara dengan penduduk relatif besar seperti Indonesia, strategi ekonomi berbasis masyarakat mempunyai daya dorong yang tinggi pada tingkat nasional. Strategi tersebut juga menarik peran serta masyarakat karena dapat meningkatkan kesejahteraan serta mempunyai daya topang terhadap ekonomi lokal. Salah satu strategi pembangunan ekonomi Indonesia adalah melalui pendekatan ekonomi kerakyatan yang dapat menjadi
kunci
ketahanan
ekonomi
nasional
dalam
mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan (Rusli, 2005dalam Rohadiet
al.,
2013).Agroforestri
dapat
diartikan
sebagai
agen
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat. Uraian di atas menunjukkan bahwa agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang efisien dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan baik pada level masyarakat maupun level nasional. Namun LAPORAN AKHIR
VII | 4
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
demikian, agroforestri sampai saat ini belum menjadi arus utama di dalam kebijakan pembangunan kehutanan.Bahkan agroforestri relatif belum banyak mendapat tempat di dalam tata hukum positif di Indonesia. Strategi nasional ini diharapkan menjadi pendorong agar sistem agroforestri lebih diperhatikan dalam
proses pengambilan keputusan
pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia 7.2.
Kelembagaan Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi , hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena kini
mulai
banyak
ekonom
berkesimpulan
bahwa
kegagalan
pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat. Dalam bidang ilmu politik kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk kepentingan bersama atau umum (public). Ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku manusia (behaviour).Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dari sudut hukum, aturan dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya. Pendekatan ilmu biologi, ekologi atau lingkungan melihat institusi dari sudut analisis system
lingkungan
(ecosystem)
atau
sistem
produksi
dengan
menekankan struktur dan fungsi system produksi atau system lingkungan kemudian dapat dianalisis keluaran serta kinerja dari system tersebut dalam beberapa karakteristik
system
properties)
seperti
atau kinerja (system performance atau produktivitas,
stabilitas,
sustainabilitas,
penyebaran dan kemerataanya. Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi
LAPORAN AKHIR
VII | 5
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
institusi
baru (neo institutional economics)1 melihat kelembagaan dari
sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective
action). Di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau faktor produksi (property rights) , ketidak-seimbangan akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic
behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics)2sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm) (Stiglitz, 1986dalam Djogo et
al, 2003 ). Analisis
dan
pengembangan
kelembagaan
memerlukan
dukungan
pendekatan analisis dari bidang tingkah laku organisasi, psikologi, sosiologi, anthropologi, hukum dan ekonomi.Perpaduan dari berbagai pendekatan
ini
bisa
menghasilkan
analisis
kelembagaan
yang
komprehensif. Pendekatan
pembangunan
kelembagaan
sebenarnya
sudah
lama
dibicarakan terutama dari sudut pandangan antropologi, sosiologi dan politik.Pendekatan analisis kelembagaan juga dipakai dalam ilmu tentang tingkah laku organisasi. Bersamaan dengan berkembangnya penelitianpenelitian dalam bidang ilmu ini dan adanya temuan dari kegagalan berbagai model pembangunan yang direkomendasikan Bank Dunia sampai dengan akhir tahun 1990-an para donor termasuk Bank Dunia pun
melakukan
reorientasi
kebijakan
mereka
dalam
memberikan
dukungan pembangunan baik dalam bentuk pinjaman (loan) ataupun bantuan (grant)3.
1.
2. 3.
Ilmu ekonomi institusi baru dibedakan dari ilmu ekonomi instutusi lama (old institutional economics) yang dikembangkan pada awal tahun 1900-an. Teori institusi baru (neo institutional theories atau approach) telah banyak merasuk ke dalam berbagai ilmu seperti ekonomi, politik, teori kebijakan, organisasi, hukum, sosiologi dan sebagainya. Lihat Williamson, O.E and Masten, S.E. 1995. Transaction Cost Economics. Edward Elgar, Aldershot. Lihat Piccioto, R.and Wiesner, E. (1998). Evaluation and Development, The Institutional Dimension. The World Bank Publication.
LAPORAN AKHIR
VII | 6
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
7.2.1. Pengertian Kelembagaan
Ada berbagai definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang.Diantara definisi tersebut sebagian dikutip dibagian berikut.Lembaga adalah .....
..... aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986). ..... aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama.North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).
Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga
pada
peraturan
yang
mengatur
perilaku
tersebut
atau
mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. LAPORAN AKHIR
VII | 7
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
7.2.2. Unsur-unsur kelembagaan
Dari berbagai definisi yang ada, dapat kita rangkum berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya adalah: a. Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat b. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur c. Peraturan dan penegakan aturan/hukum d. Aturan
dalam
masyarakat
yang
memfasilitasi
koordinasi
dan
kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota e. Kode etik f.
Kontrak
g. Pasar h. Hak milik (property rights atau tenureship) i.
Organisasi
j.
Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan
Perpaduan antara berbagai pendekatan ini bisa menghasilkan analisis kelembagaan (institutional analysis) yang memadai.Apa implikasi dari pembangunan
atau
penguatan
kelembagaan
bagi
pengembangan
wanatani? Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism). Memperhatikan latar belakang teori di atas, maka kita ingin mendekati LAPORAN AKHIR
VII | 8
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
analisis kelembagaan dari dua sudut utama yaitu lembaga sebagai organisasi dan lembaga sebagai aturan main sebagaimana tersebut di atas.Berbeda
dengan
perdagangan
dan
pengembangan
industri,
kelembagaan
pengembangan
dalam
bisnis,
kelembagaan
dalam
agroforestri cukup sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya.Ada aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik.Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan dan kebijakan yang berkaitan dengan agroforestri tidak terlepas dari sejarah terbentuknya kelembagaan yang relevan dengan komponen penyusun agroforestri, utamanya kelembagaan pertanian dan kehutanan.Analisis kelembagaan perlu dibedakan dari analisis para pihak (stakeholder analysis) yang akhirakhir ini banyak dibicarakan. 7.3.
Kebijakan Salah satu persoalan mendasar dari upaya pengembangan agroforestri adalah sangat terbatasnya dukungan kebijakan (policy) dan kemauan politik pemerintah dalam bidang ini. Tidak ada sektor yang merasa bertanggung
jawab
dan
berkewajiban
agroforestri karena bidang ini
mengembangkan
kebijakan
lintas disiplin dalam analisisnya dan
sektoral dalam implementasinya. Kebijakan adalah salah satu unsur vital dalam organisasi atau lembaga apapun, apakah itu lembaga pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, LSM, donor, atau lembaga internasional, bahkan dalam keluarga atau institusi
informal
sekalipun.Kebijakan
merupakan
landasan
untuk
tindakan-tindakan nyata di lapangan.Kebijakan ada pada setiap lembaga atau organisasi yang dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus dan kode etik, program dan proyek. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan pelaksanaannya. Analisis LAPORAN AKHIR
kebijakan
sebagai
ilmu
pengetahuan
juga
memerlukan VII | 9
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
pendekatan multisipliner dan pengembangannya memerlukan pendekatan lintas sektoral. Artinya kebijakan di satu sektor harus memperhatikan implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Persoalannya kebijakan lintas sektoral sulit dikembangkan karena masing-masing sektor akan mempunyai
strategi, program, proyek dan anggaran terpisah.
Apakah ada sektor yang mau dipimpin atau dikelola sektor lain? Kaum akademik bisa melihat kebijakan sebagai suatu ilmu yang lintas disiplin.Sebagaimana kita mempelajari teori kelembagaan, ilmu kebijakan (policy sciences) merupakan ilmu yang multidisiplin, berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Ilmu ini dirancang untuk menyoroti masalah-masalah fundamental yang muncul ketika warga negara dan pembuat kebijakan (policy maker) melihat perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik dan membuat kebijakan untuk
mencapai tujuan
publik (Dunn, 1994). 7.3.1. Pengertian kebijakan Ada berbagai pengertian tentang kebijakan.Di bawah ini, diringkaskan salah satu pengertian kebijakan. Kebijakan adalah...... cara atau jalan
yang dipilih pemerintah untuk mendukung suatu aspek dari ekonomi termasuk sasaran yang pemerintah cari untuk mencapainya dan pemilihan metoda untuk mencapai tujuan dan sasaran itu (Elis, 1994 dalam Djogo et al, 2003). Dari berbagai definisi kebijakan baik yang sederhana maupun yang kompleks di atas kita bisa menghimpun unsur-unsur utama dalam kebijakan. Dalam mata ajaran ini kita membuat definisi sebagai berikut: „Kebijakan adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah
pembangunan
tertentu
atau
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya dilapangan dengan menggunakan instrumen tertentu‟.
LAPORAN AKHIR
VII | 10
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
7.3.2. Unsur-unsur dalam Kebijakan Pada saat ini ada pandangan keliru bahwa kebijakan sama dengan peraturan pemerintah. Kebijakan bukan hanya apa yang tertulis dalam peraturan dan perundangan-undangan. Kebijakan merupakan refleksi dari struktur
dan
fungsi
pemerintahan
yang
mengaturnya.
Peraturan,
perundang-undangan dan ketetapan berisi pembatasan-pembatasan, hak dan kewajiban serta pengaturan lainnya yang mengikat. Setiap peraturan dijalankan oleh suatu struktur pemerintahan yang berbeda-beda dan sangat tergantung akan budaya kebijakannya. Apakah budaya kebijakan tersebut dapat mengakomodir kenyataan lapangan ataukah ketat menterjemahkan sesuai dengan isinya.Kebijakan ini
biasanya
diterjemahkan
dalam
pernyataan-pernyataan
yang
dikeluarkan oleh pemerintahan yang menjalankannya, yang biasanya juga mencerminkan kepentingan pihak yang menjalankannya.Dalam praktek, kebijakan seringkali justru dibuat untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan kelompok politik atau pribadi tertentu. Kebijakan adalah kendaraan pemerintah untuk berbuat yang baik bagi rakyatnya.Karena itu kebijakan adalah untuk kepentingan umum (publik). Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai 1) instrumen legal (hukum) seperti peraturan perundangan atau 2) instrumen ekonomi seperti kebijakan fiskal, pajak, subsidi, harga, kebijakan keuangan, moneter dan finansial; atau 3) petunjuk dan arahan atau instruksi dan perintah; 4) pernyataan politik semata (political statement); dan 5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, rencana, program dan kemudian dapat diterjemahkan ke dalam proyek dan rencana anggaran tertentu. Dari berbagai definisi di atas, beberapa elemen penting dari kebijakan yaitu : a. Masalah yang akan diatasi dengan kebijakan b. Cara untuk mengatasi masalah tersebut
LAPORAN AKHIR
VII | 11
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
c. Tujuan yang akan dicapai d. Kepentingan yang diinginkan e. Aktor yang akan melakukannya f.
Instrumen atau perangkat untuk melaksanakan kebijakan
g. Aturan untuk menggunakan instrumen tersebut 7.4.
Arah
Pengembangan
Kelembagaan
dan
Kebijakan
dalam
Agroforestri Sebagaimana disebutkan di atas kelembagaan dan kebijakan adalah dua sisi dari satu mata uang. Ada kesamaan yang perlu diperhatikan dalam memahami kelembagaan dan kebijakan, yaitu : 1. Memperhatikan atau menyangkut prilaku, norma, etika dan nilai perorangan dan organisasi 2. Dapat dituangkan dalam peraturan dan memerlukan peraturan untuk implementasinya 3. Memerlukan
instrumen
atau
perangkat
tertentu
untuk
melaksanakannya 4. Memerlukan
wadah
berupa
pranata
atau
organisasi
untukmenjalankannya. 5. Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan. 6. Implementasi
memerlukan
tindakan
kolektif
yang
memerlukan
solidaritas dan kohesi antara anggota. Pengembangan kebijakan dan kelembagaan perlu dilakukan secara terpadu. Pengembangan kebijakan yang baik tanpa didukung oleh pengembangan
kelembagaan
yang
memadai
akan
menghambat
pengembangan dan keberlanjutan agroforestri. Jika pemerintah tidak mendukung dengan kebijakan dan kelembagaan yang memadai idealnya pengembangan wanatani diserahkan saja kepada masyarakat sendiri. Namun persoalan akan menjadi sulit karena komponen pemilikan tanah, alokasi kawasan hutan yang mungkin diberikan kepada masyarakat atau LAPORAN AKHIR
VII | 12
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
perusahaan dalam bentuk konsesi tidak bisa diakomodasi. Agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekologi dan ekonomi.Dari fungsifungsi ini ada tiga kelompok kebijakan yang perlu diperkuat untuk mendukung keseluruhan strategi, program dan proyek pengembangan agroforestri. Kelompok kebijakan tersebut tersebut adalah 1) Kebijakan di bidang pembangunan ekonomi yang berbasis pada sumber daya pertanian
dan
kehutanan,
2)
Pengembangan
kebijakan
untuk
pengembangan institusi itu sendiri dan 3) Pengembangan kebijakan untuk konservasi dan pelestarian hutan, rehabilitasi dan konservasi tanah-tanah pertanian. Ketiga kelompok kebijakan ini menjadi payung dari seluruh kebijakan, strategi dan program pengembangan watanani (agroforestri). Kebijakan dan kelembagaan bisa dibangun dan diperkuat jika kita bisa memahami masalah-masalah yang menyebabkan kegagalan kebijakan dan kelembagaan. 7.4.1. Strategi pengembangan kelembagaan Berbicara tentang kelembagaan dalam kaitannya dengan pengembangan agroforestri, identik dengan melihat bagaimana pemerintah mengatur tata organisasi di Kementerian yang mandatnya berkaitan dengan komponen penyusun agroforestri.Dua Kementerian yang semestinya menjadi pionir (perintis) dalam pengembangan agroforestri adalah Kementerian
Pertanian
dan
Kementerian
Kehutanan.Idealnya
KementerianPerikanan Kelautan dan Kementerian Perindustrian juga dilibatkan dalam tata organisasi yang memungkinkan dikembangkannya kebijakan agroforestri, strategi, program dan kegiatan agroforestri di tingkat lapangan.Tetapi apakah Kementerian Kelautan dan Perikanan serta
Kementerian
agroforestri?
Perindustrian
tertarik
untuk
mengembangkan
Memang kedua Kementerian tersebut terkait dengan
agroforestri, tetapi apakah agroforestri merupakan salah satu prioritas dalam pengembangan kebijakan dan strategi mereka? Paling tidak Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian dapat
LAPORAN AKHIR
VII | 13
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
mengembangkan kelembagaan dan kebijakan agroforestri pada kawasan atau wilayah kerja
serta sesuai dengan program mereka. Kebijakan
pengembangan agroforestri yang diperlukan untuk pengembangan pertanian lahan kering guna mendukung kegiatan konservasi tanah dan air, tumpang sari tanaman pangan dengan tanaman pakan ternak dan pengembangan ternak, atau perpaduan antara tanaman perkebunan dengan tanaman pangan, tanaman pangan dengan tanaman bahan bangunan yang dilakukan di lahan-lahan pertanian di luar kawasan hutan tentu saja menjadi daerah kerja Kementerian Pertanian karena di dalamnya termasuk peternakan.
Untuk
pengembangan
pertanian tanaman pangan, perkebunan dan kegiatan
konservasi
dan
rehabilitasi
lahan,
perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan di
kawasan hutan tentu saja menjadi wewenang dari Kementerian Kehutanan. Idealnya kebijakan agroforestri harus melembaga dan terorganisir dengan baik.Namun sejarah menunjukkan bahwa pengembangan organisasi dalam pembangunan lebih menekankan pada struktur organisasi daripada fungsi organisasi. Selain itu pembentukan lembaga baru akan menyebabkan pemerintah pusat lebih sibuk dan mendapatkan manfaat daripada pemerintah daerah dan rakyat. Pembentukan unit baru di dalam Kementerian manapun akan menyebabkan munculnya biaya birokrasi baru dengan segala perangkat administrasinya, namun fungsi dan hasil yang dicapai mungkin tidak sesuai dengan harapan. Pembentukan unit baru di pusat kemungkinan juga akan menyebabkan pembentukan sub-unit di tingkat daerah dan hal ini
menyebabkan
intervensi
pemerintah
pusat
akan
meningkat,
sedangkan kreativitas pemerintah daerah berkurang atau mungkin tidak ada sama sekali. Pemerintah daerah di lain pihak akan mengharapkan adanya proyek dalam bentuk uang daripada bentuk pemberdayaan atau penguatan
kelembagaan,
sumber
daya
manusia,
pembentukan
infrastruktur sosial dan infrastruktur institusi. Model pembangunan di masa lalu lebih menekankan pada pembentukan infrastruktur fisik dan LAPORAN AKHIR
VII | 14
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
ekonomi daripada infrastruktur sosial dan institusi. Pengadaan proyek baru cenderung membuat organisasi atau suborganisasi baru.Kesempatan pemerintah pusat cenderung lebih besar karena
memang
mereka
yang
menguasai
anggaran
dan
proyek.Kenyataan menunjukkan institusonalisasi proyek seperti itu tidak begitu berhasil. Hal ini bisa kita lihat dari setiap proyek baru yang diciptakan pemerintah seperti UPSA (Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam), Konservasi Tanah dan Air, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Agrokompleks, Budidaya Lorong, Pengembangan MPTS (Multipurpose
Trees and Shrubs Species) atau tanaman serbaguna dan sebagainya. Hampir semua proyek ini berakhir tanpa hasil yang memadai. Dalam konteks organisasi banyak diskusi yang berkembang yang menekankan pendekatan multipihak (multistakeholder) dan berbasis pada masyarakat.Organisasi masyarakat, kelompok tani organisasi adat dan organisasi lokal lainnya perlu mendapat perhatian.Organisasi sosial biasanya lebih berfungsi memecahkan masalah-masalah sosial.Dengan demikian penguatan kelembagaan perlu menekankan pada penguatan organisasi di tingkat lokal pula. Proses pembangunan di masa lalu lebih memperhatikan penguatan kelembagaan di lapisan atas. Biaya, tenaga dan perhatian pada penguatan organisasi pemerintah sangat besar.Salah satu pertanyaan kunci yang serinmg diajukan adalah bagaimana mengembangkan lembaga keuangan dan pasar di tingkat lokal? Kekuatan ekonomi biasanya dipegang oleh swasta dengan kemampuan mereka menguasai lembaga keuangan dan pasar . Pengembangan kelembagaan agroforestri dapat terjamin, jika 1) ada insentif bagi orang atau organisasi yang melaksanakannya; 2) sasaran pengembangan: siapakah yang diuntungkan; 3) ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi; 4) kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin; 5) ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, 6) ada aturan yang ditegakkan dan ditaati. Kelembagaan (institusi) hanya bisa berkembang dan berfungsi baik jika LAPORAN AKHIR
VII | 15
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
ada insentif bagi orang dan organisasi untuk melaksakanannya, mentaati aturan-aturan mainnya serta mau bergabung dalam kegiatan kolektif.Hak atau kepemilikan atas sumber daya lahan dan tanah, akses kepada sumber daya, kepada informasi, aturan yang kondusif merupakan sebagian dari insentif yang bisa mendorong orang bekerja dalam pengelolaan hutan dengan kelembagaan yang baik. Analisis kelembagaan ditujukan untuk memahami insentif-insentif yang memotivasi perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, dan dampak perilaku itu pada sumber daya hutan.Insentif-insentif tersebut mencakup (1) insentif yang berkaitan dengan karakteristik sumber daya, (2) insentif yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat, dan (3) insentif yang berkaitan dengan karakteristik aturan-aturan (rules). Karakteristik pertama, sumber daya alam, mempunyai dua karakteristik utama
yang
dapat
membangkitkan
insentif
bagi
petani
untuk
mengelolanya, yakni feasibility of exclusion dannature of consumption.
Feasibility of exclusion digunakan untuk memperkirakan sulit atau mudahnya mengendalikan akses terhadap barang dan jasa. Sedangkan
nature of consumption menunjuk pada apakah barang atau jasa bersifat substractive (artinya jika barang itu dikonsumsi seseorang, maka orang lain tidak dapat mengkonsumsinya; misalnya pohon yang ditebang oleh seorang petani untuk kayu bakar keluarganya, maka orang lain tidak dapat menggunakan pohon itu) atau joint (artinya lebih dari satu orang dapat mengkonsumsi barang dan jasa yang sama; misalnya fungsi hutan untuk rekreasi dan hidroorologis).
Berdasarkan kategori-kategori sifat
barang dan jasa tersebut dapat dikenali kombinasi jenis-jenis barang dan jasa (Tabel 1).
LAPORAN AKHIR
VII | 16
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Tabel 1.Kategori-kategori Sumber daya Agroforestri Berdasarkan Sifat Kelayakan Ekslusi dan Konsumsi dari Produk Agrofrestri Sifat Konsumsi Kelayakan Eksklusi Mudah Sulit
Dapat dipisahkan
Tidak dapat dipisahkan
(Subtractive)
(Joint)
Barang-barang & jasa-
Tool goods & services
jasa private
(pribadi)
Barang-barang & jasa-
Barang-barang & jasa-
jasa kolektif atau milik
jasa Publik
komunal
Sumber : Djogo et al. (2003)
Karakteristik kedua, masyarakat mempunyai keinginan atau motivasi, berkaitan dengan insentif (1) untuk bekerjasama, (2) untuk mematuhi atau melanggar aturan-aturan pengelolaan sumber daya, dan (3) untuk mencakup kebutuhan-kebutuhan generasi yang akan datang. Karakteristik-karakteristik masyarakat ditentukan oleh faktor sejarah pembentukannya, faktor sosial (etnisitas, struktur keluarga, bahasa, klas, dan gender), faktor ekonomi (kesamaan atau perbedaan strategi mata pencaharian, derajat stratifiksi ekonomi), dan faktor budaya (religi, norma-norma). Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain, misalnya stratifikasi suatu masyarakat didasarkan pada asal usulnya; agama yang dianut dan etnisitas bersama-sama menjadi faktor penting solidaritas sosial yang dibangun; perbedaan penguasaan sumber daya dan etnisitas menjadi faktor penting konflik antar etnis. Karakteristik ketiga, aturan (rule), berkaitan dengan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Terdapat dua jenis aturan, yaitu formal - non formal dan working - non working. Berdasarkan kategori jenis aturan tersebut dapat dikenali kombinasi jenis-jenis aturan. Dalam kajian institusi, Ostrom (1992) lebih menekankan pada “a set of rules LAPORAN AKHIR
VII | 17
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
actually used (the working rules or rules-in-use) by a set of individuals”… Suatu kumpulan aturan yang benar-benar digunakan dan berfungsi atau berjalan dengan baik yang dipatuhi oleh sekelompok orang. Evaluasi
kebijakan
memerlukan
kaitan
dengan
kehutanan
dan
agroforestry seperti yang dilaksanakan oleh International Expert Panel pada International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington DC, USA di bulan Agustus 1991 (Gregersen et al., 1992). Workshop tersebut menyimpulkan bahwa, terdapat tiga tipe usaha yang dapat diidentifikasi sebagai komponen pada perubahan kebijakan dan formulasi kebijakan yaitu: (a) Pemahaman terhadap situasi, permasalahan dan kesempatan yang ada; (b) Mengidentifikasi perubahan yang diharapkan ; dan (c) mendefinisikan instrumen kebijakan dan mekanisme lain yang dpat digunakan untuk mencapai tujuan. Informasi yang disyaratkan pada berbagai tingkatan di dalam proses kebijakan berkaitan dengan agroforestry diringkas pada tabel berikut: Tabel 2.Informasi yang disyaratkan pada berbagai tingkatan kebijakan terkait Agroforestri Pertanyaan pada masingNo
masingtahapan yang mengarah kepada
Informasi yang disyaratkan
perubahan kebijakan 1
Bagaimana
situasi
bagaimana
yang
ada
perubahan
diharapkan untuk
dan Background
information,
yang pengukuran
kebutuhan
mencapai tujuan masalah,
pengembangan
berkaitan
pengembangan
berkelanjutan
informasi
dan pasar,
dengan informasi teknik (biofisik, sosial, dan dan ekonomi)
lingkungan? 2
Apakah input2 terhadap ekonomi lokal, Penelitian regional, mengubah
LAPORAN AKHIR
dan
nasional
pencapaian
harus untuk
terhadap
cara-cara
mengganti
aktivitas
tujuan agroforestry,
merefleksikan
VII | 18
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
Pertanyaan pada masingNo
masingtahapan yang mengarah kepada
Informasi yang disyaratkan
perubahan kebijakan pengembangan
kendala sosial dan ekonomi dan menggambarkan
kesempatan
yang ada 3
Apakah kebijakan tersebut telah efektif Penelitian dalam
mencapai
kebijakan,
studi
tujuan mengenai akibat dan kesempatan
pengembangan? Perubahan kebijakan untuk
mencapai
tujuan
apa yang disyaratkan untuk mengubah pengembangan situasi yang ada dalam memenuhi perubahan tujuan pengembangan
melalui
kebijakan
berkaitan
dengan insentive dan regulasi
7.4.2. Arahan Sistem Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir memiliki arti penting, yaitu : 1) bagi masyarakat, agroforestri dapat menjadi aset atau sebagai saving untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang, 2) karena dibudidayakan secara tumpangsari dan tanaman beragam, agroforestri memiliki biodiversity yang tinggi dan ekosistem yang stabil serta tahan terhadap serangan hama, 3) Keberadaan agroforestri mampu mnegurangi laju erosi dan mampu melindungi aneka pertanian di sekitarnya, 4) agroforestri sebagai sumber kayu bagi masyarakat, 5) permintaan kayu rakyat yang terus meningkat telah membuka peluang bisnis kayu dari agroforestri. Dalam pengembangan agroforestri perlu dipertimbangkan bahwa usaha dibidang
kehutanan
memiliki
sifat
khas
dan
unik
yang
perlu
dipertimbangkan. Sifat yang khas dan unik itu, diantaranya 1) memiliki resiko tinggi karena amat sangat tergantung pada kondisi alam; 2) memerlukan waktu yang relatif lama untuk mulai dapat diproduksi; 3) rawan terhadap serangan hama dan penyakit serta ancaman kebakaran LAPORAN AKHIR
VII | 19
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
hutan; 4) membutuhkan modal yang cukup; dan 5) mempunyai efek ganda; dan 6) memiliki tingkat akuntabilitas publik yang tinggi karena hutan sebagai paru-paru dunia telah menjadi sorotan utama bagi masyarakat nasional dan internasional (Puslit Sosek Kehutanan dan Perkebunan, 2000dalam Rohadi et al. 2013). Untuk
meminimalkan
agroforestri
harus
resiko
karena
faktor
mengimplementasikan
alam,
pengembangan
kaidah
teknik-teknik
pengelolaan hutan yang benar dan profesional dari mulai pembibitan sampai pemeliharaan tanaman.Data lapangan menunjukan sebagian besar petani belum menerapkan kaidah pengelolaan agroforestri secara benar.Diperlukan pembinaan dan bimbingan teknis yang terus menerus agar keberhasilan pembangunan agroforestri dapat tercapai.Pembinaan dan bimbingan teknis budidaya agroforestri menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Sementara itu permasalahan rawan terhadap hama dan penyakit tanaman serta membutuhkan waktu yang lama untuk mulai menghasilkan (sebenarnya telah bisa diatasi oleh para petani agroforestri dengan menerapkan sistem agroforestry (tumpangsari) dalam membudidayakan tanaman kayu rakyat. Menurut De Foresta et.al (2000) dalam Djogo et
al. (2003), manfaat agroforestry dapat dilihat dari sudut pandang 1) pertanian, 2) petani, dan 3) kehutanan. a. Sudut Pandang Pertanian Sistem
agroforestry
berkelanjutan
merupakan
yang
petani.Agroforestry
salah
tepat-guna,
mempunyai
satu
sesuai
fungsi
model
pertanian
dengan
keadaan
ekonomi
penting
bagi
masyarakat.Peran utama agroforestry bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Pengembangan agroforestri dengan sistem agroforestry akan memberikan manfaat ganda bagi perbaikan kualitas lahan, kualitas tata air dan secara makro dapat memperbaiki kualitas ekosistem secara LAPORAN AKHIR
keseluruhan
yang
pada
akhirnya
akan
mendorong VII | 20
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
berkembangnya sektor-sektor pertanian lainnya. b. Sudut Pandang Petani Keunikan konsep agroforestry adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu jenis saja.Pendapatan dari agroforestry untuk menutupi kebutuhan sehari-hari diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya pisang, jagung, ubi kayu dan lain-lain.Selain itu, agroforestry juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman misalnya buahbuahan seperti rambutan, nangka, manggah, cengkeh, pala, durian dan lain-lain. Sedangkan tanaman kayu-kayuan menjadi
sumber
uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis
tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit
diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, jenis ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja,
hingga suatu saat
pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan
gangguan
ekologi
terhadap
tanaman.
Petak
agroforestri tetap utuh dan produktif dan jenis yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur hutan, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu jenis-jenis baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa jenis.
jenis yang sudah puluhan tahun
berada di dalam hutan dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat
evolusi
pasar, atau
pembangunan jalan baru. agroforestri
agroforestry
pembangunan
infrastruktur
seperti
Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, menyediakan
kebutuhan
sehari-hari
petani.Hutan juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu).Melalui LAPORAN AKHIR
VII | 21
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
keanekaragaman tumbuhan, agroforestri dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan. c. Sudut Pandang Kehutanan Perbedaan agroforestry dengan budidaya pertanian pada umumnya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tanaman tahunan (kayukayuan) baik yang ada secara alami maupun yang ditanam.Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan kayu-kayuan dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok.
Pada
sistem agroforestry tanaman tahunan berfungsi sebagai pendukung proses pertumbuhan tanaman lain.
Oleh sebab itu pada sistem
agroforestry tidak memerlukan penyiangan intensif, sehingga dapat mempertahankan sebagian jenis-jenis asli. Sejak lama bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada bahan baku kayu
gelondongan
merupakan
unsur
sebagai
hasil
dominan
utama. hutan
Kayu yang
gelondongan relatif
sulit
diperbaharui.Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan.Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya buah-buahan, bijibijian, kayu-kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat.Agroforestry berbasis pepohonan merupakan sumber pasokan kayu yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Dalam setiap hektar agroforestry terdapat antara
150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan. Dengan potensi lahan yang luas dan pengelolaan yang lestari agroforestri dengan sistem agroforestry merupakan salah satu sumber kayu tropika di masa depan. Pilihan
sistem
agroforestry
di
Kabupaten
Rokan
Hilir
juga
berlandaskan bahwa sistem ini telah banyak dipraktekkan oleh LAPORAN AKHIR
VII | 22
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
masyarakat, sehingga secara sosio-kultural tidak akan mendapat hambatan dalam penerapannya.Pola pengembangan agroforestri dengan subsidi dari pemerintah masih diperlukan karena keterbatasan pendanaan masyarakat terutama untuk pembeliaan bibit tanaman. Namun ke depan pengembangan agroforestri secara swadaya harus terus
digalakkan
dengan
melakukan
pembinaan
secara
terus
menerus. 7.4.3. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengembangan wilayah merupakan interaksi antara sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Suatu wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya dan sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi akan cepat berkembang dibandingkan wilayah lainnya yang tidak cukup mempunyai sumber daya alam dan sumber daya manusia yang unggul ( Alkadri dkk, 2001dalam Rohadi et al. 2013). Faktor manusia merupakan unsur utama sekaligus penggerak dalam kegiatan pengembangan agroforestri. meningkatkan
kualitas
dan
peran
Secara garis besar, untuk sumber
daya
manusia
dalam
pengembangan agroforestri maka perlu usaha-usaha sebagai berikut: 1) meningkatkan pendidikan keahlian, keterampilan, dan kemampuan tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas; 2) perlunya peningkatan penyuluhan dan penguasaan teknologi pertanian agar dapat menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasaran regional, nasional, maupun internasional; 3) peningkatan jumlah dan kualitas kursus dan pelatihan kehutanan; 4) peningkatan jumlah dan kualitas aparatur negara dalam bidang perencanaan dan pengembangan wilayah yang berbasis kehutanan. 7.4.4. Pengembangan Kelembagaan Pemasaran Masalah harga juga menjadi masalah utama petani agroforestri.Petani tidak berada pada posisi yang kuat dalam menetapkan harga jual LAPORAN AKHIR
VII | 23
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
produknya.Untuk memudahkan penjualan maka perlu dibentuk kelompok usaha produktif yang dapat menghimpun komoditas agroforestri dalam jumlah besar.Selain itu perlu dikembangkan sistem pemasaran komoditas kayu rakyat yang lebih efisien, seperti sistem kontrak, sistem jual langsung, ataupun sistem lelang.Adapun tujuan dari sistem tersebut agar posisi tawar petani dalam menetapkan harga meningkat dan terciptanya pasar yang lebih kompetitif.
Peran aktif instansi terkait (Dinas
Kehutanan, Dinas Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi), lembaga keuangan, petani, kelompok tani, dan pelaku industri lainnya diperlukan dalam pengembangan sistem pemasaran tersebut. Petani juga harus mendapatkan fasilitas agar dapat mengakses informasi harga pasar secara mudah dan cepat.
Pemerintah daerah dapat
memanfaatkan media-media yang ada seperti surat kabar, radio, televisi lokal dan lain-lain. Peran aparatur pemerintah di lapangan (penyuluh) juga sangat berperan di sini, mengingat mereka memiliki mobilitas yang tinggi serta dekat dengan sumbersumber informasi.
LAPORAN AKHIR
VII | 24
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
8.1
Kesimpulan 1. Model program yang akan meningkatkan pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat dengan program agroforestri adalah program
pembangunan
dan
pengembangan
agroforestri
pada
beberapa bentuk penggunaan lahan yaitu: lahan kebun rakyat, lahan pekarangan dan lahan hutan tanaman, kebijakan yang perlu diperkuat untuk
mendukung
keseluruhan
strategi,
program
dan
proyek
pengembangan agroforestri ini adalah 1) Kebijakan di bidang pembangunan ekonomi yang berbasis pada sumber daya pertanian dan kehutanan, 2) Pengembangan kebijakan untuk pengembangan institusi itu sendiri dan 3) Pengembangan kebijakan untuk konservasi dan pelestarian hutan, rehabilitasi dan konservasi tanah-tanah pertanian 2. Strategi
pengembangan
program
yang
akan
meningkatkan
pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat dengan program agroforestri
dapat ditempuh melalui program sosialisasi,
penyuluhan dan pilot proyek melibatkan semua stake holder, dengan sasaran introduksi tanaman berkayu (kehutanan) pada penggunaan lahan pertanian (pangan, kebun, ternak dan ikan) serta introduksi pertanian (pangan dan ikan) pada bentuk penggunaan lahan hutan tanaman. 3. Berdasarkan hasil pemetaan potensi pendapatan ekonomi melalui pemberdayaan
masyarakat
dengan program agroforestry
yang
mendukung pengembangan sistem usaha agroforestry yang dapat meningkatkan nilai tambah keekonomisan yang diharapkan dapat
LAPORAN AKHIR
VIII | 1
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
meningkatkan nilai taraf hidup ekonomis petani/pekebun, berpotensi dibangun dan dikembangkan menjadi bentuk penggunaan lahan agroforestri seluas 318.141,71 ha. 4. Pengembangan kelembagaan agroforestri dapat terjamin, jika 1) ada insentif bagi orang atau organisasi yang melaksanakannya; 2) sasaran pengembangan: siapakah yang diuntungkan; 3) ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi; 4) kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin; 5) ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, 6) ada aturan yang ditegakkan dan ditaati. 8.2
Rekomendasi 1. Bappeda Kabupaten Rokan Hilir perlu melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan dinas/instansi terkait dalam pembangunan dan pengembangan program agroforestri 2. Dinas/Instansi dalam memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan di Kabupaten Rokan Hilir dengan masyarakat
miskin
mengembangkan
banyak pilot
kehidupan yang sulit dimana
dijumpai,
proyek
dapat
agroforestri
membangun yang
dan
mampu
mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik, mempertahankan orang-orang muda dipedesaan, dan optimalisasi
fungsi
dan
produktifitas
lahan
dengan
berbagai
pendekatan. 3. Lahan yang belum dimanfaatkan di Kabupaten Rokan Hilir sekitar 19.187
Ha
masih
dapat
dioptimalkan
pemanfaatanya
dengan
pendekatan pemanfaatan lahan untuk memperoleh hasil dengan memanfaatkan interaksi antara pohon, tanaman, hewan ternak (agroforestri) dan manusia sebagai pengelolanya. 4. Diperlukan ketersedian/pilot proyek berbagai model agroforestri membantu menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna.
LAPORAN AKHIR
VIII | 2
Kajian Potensi Pengembangan Agroforestri di Kabupaten Rokan Hilir
5. Diperlukan inovasi pengadaan “pasar hijau” bagi produk agrofostri yang ramah lingkungan dan pemberian “insentif” bagi petani yang melaksanakannya 6. Perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam memutuskan pilihan komponen penyusun sistem agroforestri, penyediaan bibit bermutu,
dan teknik pengelolaan
tanaman, ternak, ikan dan lebah madu.
LAPORAN AKHIR
VIII | 3
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Agroforests: Examples from Indonesia. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRADCP and the Ford Foundation. BPS Rohil dalam Angka 2012 Bene JG, HW Beall and A Cote. 1977. Trees, Food and People. IDRC, Ottawa, Canada. Bruenig EF. 1986. Terminologie fuer Forschung und Lehre in den Fachgebieten And Vorlessungen. = Mitteilung Bundesforschungsanstalt No. 152. Hamburg. De Foresta H and G Michon. 1993. Creation and management of rural agroforests in Indonesia: potential applications in Africa. In Hladik C.M et al. (eds.): Tropical forests, people and food. Biocultural Interactions and applications to Development. De Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp De Foresta H and G Michon. 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems 36:105-120. Dinas Kehutanan. 2012. Neraca Sumberdaya Hutan 2012 Didik Suprayogo, Kurniatun Hairiah, Sunaryo, Meine van Noordwijk. Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Agroforestri World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Didik Suharjito, Leti Sundawati, Sri Rahayu Utami, Suyanto. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. Agroforestri World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Djogo, Toni dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Ed ke-2. Yogyakarta: Gajah MadaUniv Pr. Terjemahandari: Public Policy Analysis: An Introduction. Hairiah K, Widianto, SR Utami, D Suprayogo, Sunaryo, SM Sitompul, B Lusiana, R Mulia, M van Noordwijk dan G Cardisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.
King KFS.
1968. Agrisilviculture: The Taungya System. Bulletin No. 1. Department of Forestry, University of Ibadan, Nigeria.
King KFS. 1979. Agroforestry. Proceeding of the Fiftieth Symposium on Tropical Agriculture. Royal Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands. King, K.F.S. dan M.T. Chandler. 1978. The watershed lands. The Program of Work on The International Council for Research in Agroforestry (ICRAF). Roma. Kurniatun Hairiah, Sri Rahayu Utami, Bruno Verbist, Meine van Noordwijk, Mustofa Agung Sardjono. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri. AgroforestriWorld Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan: Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Bogor: Ideals. Michon G and H de Foresta. 1995. The Indonesian agro-forest model: forest resource management and biodiversity conservation. In Halladay P and DA Gilmour eds.: Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agroecosystems. IUCN:90-106. Mustofa Agung Sardjono, Kurniatun Hairiah, Sambas Sabarnurdin. Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Mustofa
Agung Sardjono, Tony Djogo, Hadi Susilo Arifin, Nurheni Wijayanto.Klasifikasi Agroforestri World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Nair, P.K.R. 1989. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation with International Centre for Research In Agroforestry, ICRAF. Netherlands. Nair PKR. 1983. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht/Boston/ London: Kluwer Academic Publishers. North DC. 1990. Institutions, Institutional change and Economics Performance. New York : Cambridge University Press Ostrom E. 2006. The institutional analysis and development framework in historical perspective.Presentation paper.Workshop in Political Theory and Policy Analysis. Bloomington: Indiana University. Rahmawaty. 2004. Hutan: Fungsi Dan Peranannya Bagi Masyarakat. Usu Digital Library. Rochmayanto, Y. 2012. Peran Hutan Rakyat dalam Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan Makalah pada Alih Teknologi Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
Rohadi
D, Herawati T, Firdaus N, Maryani R, Permadi P. 2013. StrategiNasionalPenelitianAgroforestri 20132030.PusatPenelitiandanPengembanganPeningkatanProduktivitasHuta n, BadanPenelitiandanPengembanganKehutanan, Bogor, Indonesia.
Sunaryo, Laxman Joshi. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Agroforestri World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Sabarnurdin S, Budiadi, Suryanto P. 2011. Agroforestriuntuk Indonesia: StrategiKelestarianHutandanKemakmuran. Yogyakarta: Cakrawala Media. Suprayogo, Didik,dkk. 2003. Peran Agro Forestri. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito, Martua Sirait. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Penulis: AgroforestriWorld Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Thamman R. 1989. Rainforest Species Management within the Cintex of Existing Agroforestry System. In Heuveldop J, Homola M, von Maydell HJ and C van Tuyll. (Eds.). 1989. GTZ Regional Forestry Seminar. GTZ, Suva, Fiji. 354-371. Van Noordwijk M, PM Susswein, TP Tomich, D Diaw and S Vosti. 2001. Land usepractices in the humid tropics and introduction to ASB benchmark areas. ASB-LN2.In Van Noordwijk M, SE Williams and B Verbist (eds.), Towards integrated naturalresource management in forest margins of the humid tropics: local action and globalconcerns. ASB Lecture Notes 1-12. ICRAF, Bogor, Indonesia. Wijayanto
N. 2007. InsentifPengusahaanHutan Agroforestry.Tidakditerbitkan. Bogor.
Rakyat.
Materikuliah
Yustika AE. 2006. EkonomiKelembagaan; Definisi, TeoridanStrategi.Edisi ke1.Bayumedia Publishing. Malang Wiersum KF. 1982. Tree Gardening and Taungya on Java: Examples of Agroforestry Techniques in the Humid Tropic. Agroforestry Systems 1: 53 – 70. Widianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito, Mustofa Agung Sardjono. Fungsidan Peran Agroforestri. AgroforestriWorld Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Widianto, Nurheni Wijayanto Dan Didik Suprayogo. 2003. Pengelolaan Dan Pengembangan Agroforestri. Bogor, Indonesia
Lampiran 1. Kuesioner Responden/Petani Agroforestry
ASPEK SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA PRAKTEK AGROFORESTRY
PENGENALAN TEMPAT Dusun Desa Kecamatan Kabupaten Propinsi No urut sampel
PETUGAS Enumerator Tanggal
I. Identitas Responden 1. Nama/Usia : 2. Jenis Kelamin : 3. Suku : 4. Pendidikan : 5. Pekerjaan utama : 6. Pekerjaan sampingan : 7. Jumlah anggota keluarga: II. Data Umum Agroforestry Yang Dikelola 1. Koordunat GPS lokasi agroforestry........................................................................ 2. Berapa luas total lahan yang Bapak miliki? ........Ha (atau satuan lain seperti rante) 3. Berapa luas lahan yang digunakan untuk agroforestry ....................Ha 4. Penggunaan lahan yang lain: Penggunaan lahan Perumahan Sawah
Luas Penggunaan lahan Perkebunan Kosong
Luas
Ladang
Lainnya
5. Status lahan yang digunakan untuk agroforestry a. Lahan milik/pribadi b. Lahan sewa c. Lahan adat/marga d. Lainnya 6. Apakah semua lahan yang Bapak miliki bersertifikat? a. Ya b. Tidak 7. Jika tidak bersertifikat, apa alasannya............................................................ 8. Jika tidak bersertifikat, apa bentuk bukti kepemilikan lahannya?.................. 9. Sejak kapan agroforestry yang Bapak miliki dikembangkan (ditanam pertama kali)................................................................................................... 10. Alasan mengembangkan agroforestry Alasan
Urutan alasan
Lahan milik sendiri Pasti akan memanen hasilnya Lahan masih luas Supaya lahan tidak diambil orang
11.
13. 14.
Urutan alasan
Supaya lahan subur/hijau lagi Supaya tidak terjadi longsor .... ......
Jenis tanaman yang dikembangkan di agroforestry Tanaman kehutanan
12.
Alasan
Banyak -nya
Tahun tanam
Tanaman pertanian atau perkebunan
banyaknya
Tahun tanam
Jarak lahan agroforestry dari tempat tinggal (rumah) Bapak ………...................... Akses jalan ke lahan agroforestry............................................................................ Alat angkut yang biasa digunakan untuk pergi ke lahan agroforestry......................
III. Kegiatan Silvikultur A. 1.
Persiapan lahan Berapa lama waktu untuk mempersiapkan lahan? a. 1 bulan sebelum penanaman b. 2 bulan Sebelum penanaman c. Lainnya …………………………………....................................................
2. 3.
Berapa orang tenaga kerja yang dibutuhkan? ................................................orang Apa jenis kegiatan dalam persiapan lahan dan berapa biayanya? Kegiatan Biaya (Rp) Kegiatan Biaya (Rp)
4.
Apa saja alat yang dibutuhkan dalam persiapan lahan? ………………………………… 5. Adakah aturan tradisional (adat) dalAm persiapan lahan a. Ya b. Tidak 6. Jika Ya, tolong jelaskan! ............................................................................................................... ............................... ....................................................................................................................... ......................... B. Penanaman 1. Jenis tanaman apa saja yang ditanam di lahan agroforestry: Jenis tanaman Banyaknya (btg) Jenis tanaman Banyaknya (btg)
2.
Mengapa Saudara memilih menanam jenis pohon tersebut? a. Karena cukup menambah penghasilan, jelaskan! ........................................................ b. Karena bisa menjadi pelindung dari angin, jelaskan! .................................................. c. Sebagai batas lahan, jelaskan! ..................................................................................... d. Guna perbaikan dan perlindungan lahan, jelaskan! ..................................................... e. Karena alasan adat/budaya, , jelaskan! ......................................................................... f. lainnya …………………......................................................................................... ..... 3. Dari mana bibit pohon diperoleh? a. Membibitkan sendiri b. Membeli c. Bantuan pemerintah d. Lainnya................ 4. Berapa jarak tanam pohon yang ditanam? …………………………………………...... 5. Apa jenis kegiatan dalam penanaman lahan dan berapa biayanya? Kegiatan Biaya (Rp) Kegiatan Biaya (Rp)
C.
Pemeliharaan 1. Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pemeliharaan agroforestry dan berapa biayanya? Kegiatan
Biaya (Rp)
Kegiatan
Biaya (Rp)
2. Berapa kali dilakukan penyiangan dalam 1 tahun? a. 1 kali b. 2 kali c. Lainnya..... 3. Berapa kali tanaman dipupuk dalam setahun? a. 1 kali b. 2 kali c. Lainnya.......... 4. Coba Bapak sebutkan hama dan penyakit yang menyerang tanaman: …………….............., …………................, ………………............., …………............ 5.
Bagian mana saja tanaman yang diserang? a. Perakaran, batang, daun. b. Perakaran, cabang, ranting c. Lainnya ……………………………………………… 6. Bagaimana cara memberantas hama dan penyakit dilakukan? a. Menyemprot pestisida, fungisida, insectisida b. Melakukan pemusnahan pada tanamanan yang terkena penyakit. c. Lainnya ……………………………………………………………… 7. Coba jelaskan dampak kerugian yang diakibatkan hama dan penyakit? ………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………….. 8. Selain hama dan penyakit, apa saja yang lain yang menjadi ancaman tanaman? a. Penggembalaan liar, kebakaran, angin keras. b. Pencurian, tanah longsor, banjir c. Lainnya ……………………………………………… 9. Coba jelaskan dampak kerugian yang disebabkan oleh beberapa ancaman diatas: ………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………….. 10. Bagaimana cara penanggulangan ancaman tersebut? ………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………….. 11. Apakah ada perlakukan khusus dalam pemeliharanan tanaman? Jika ada tolong jelaskan:............................................................................................... ............................................................................................................ ............................................. D. Produksi dan Pemanenan
1. Tujuan produksi utama dari tanaman agroforestry yang ditanam? a. Kayu pertukangan b. Kayu bakar c. Getah d.Buah e.Lainnya f. Gabungan 2. Pemungutan produksi hasil hutan dari agroforestry
Rincian
Jenis Produksi Hasil Hutan dari Agroforestry yang Dipungut Selama Satu Tahun
Usia panen Frekuensi panen Satuan produksi Banyaknya produksi
Dijual Harga/satuan produksi Nilai Produksi Total
3. Kegiatan pemungutan produksi hasil hutan dari agroforestry dan biayanya
Rincian biaya (Rp)
Jenis Produksi Hasil Hutan dari agroforestry yang Dipungut Selama Satu Tahun
Biaya pemanenan Upah pekerja Biaya pemasaran Biaya lainnya Total Biaya
4. Pemungutan produksi pertanian/perkebunan dari agroforestry Rincian Usia panen Frekuensi panen Satuan produksi Banyaknya produksi
Jenis Produksi Pertanian/Perkebunan dari agroforestry yang Dipungut Selama Satu Tahun
Harga/satuan produksi Nilai Produksi Total
5. Pemungutan produksi pertanian/perkebunan dari agroforestry Rincian biaya (Rp)
Jenis Produksi Pertanian/Perkebunan dari agroforestry yang Dipungut Selama Satu Tahun
Biaya pemanenan Upah pekerja Biaya pemasaran Biaya lainnya Total Biaya
6. Bagaimana perubahan produksi utama dari agroforestry selama tiga tahun terakhir a. Menurun, jelaskan mengapa. ................................................................................. b. Sama saja, jelaskan mengapa ............................................................................... c. Meningkat, jelaskan mengapa .............................................................................. 7. Jika terjadi penurunan produksi, tindakan apa yang dilakukan agar produksi meningkat kembali, Jelaskan.................................................................................................... ........ 8. Bagaimana sistem pemanenan hasil hutan kayu (pohon) dari agroforestry dilakukan? a. Sistem tebang habis b. Sistem tebang pilih c. lainnya …............................ 9. Bagaimana sistem pemanenan hasil hutan lainnya a. buah ............................................................................ b. getah .......................................................................... c. lainnya ...................................................................... d. lainnya ..................................................................... 10. Adakah peraturan/kebijakan pemerintah (setempat) dalam pengembangan agroforestry (seperti IPKTM = Ijin Pemanfaatan Kayu pada Tanah Milik) ? a. Ya b. Tidak 11. Siapa yang mengeluarkan ijin tersebut? ................................................................................ 12. Apakah Saudara punya izin tersebut? a. Tida b. Ya 13. Jika Tidak, mengapa? ................................................................................................................ ................................................................................................................ ................................................
14. Jika Ya, mengapa ................................................................................................................ ................................................................................................................ ................................................ 15. Bagaimana prosedur yang dilakukan dalam pembuatan izin tersebut, jelaskan? ................................................................................................................ ................................................................................................................ ................................................ 16. Apakah harus membayar dalam mendapatkan ijin tersebut a. Ya b. Tidak 17. Jika "Ya", berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan ijin tersebut? Rp................................ 18.
Apakah ada aturan adat dalam pemanfaatan produksi hasil dari agroforestry a. Ya b. Tidak 19. Jika "Ya", apakah peraturan tersebut masih dipatuhi, jelaskan? ............................................................................................................ ............................................................................................................ ............................................................. 20. Bagaimana isi peraturan tersebut? ....................................................................................................................... ................. ....................................................................................................................... ................... E. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Metode Penjualan (pemasaran) Hasil Produksi Agroforestry (kayu, buah, hasil pertanian/kebun, dll). Adakah aturan pemerintah dalam penjualan hasil hutan (khususnya kayu), seperti Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) kayu? A. Ya b. Tidak Jika "Ya" Siapa yang mengeluarkan izin tersebut?...................................................... Apakah harus membayar untuk surat (ijin) tersebut a. Ya b. Tidak Jika "Ya", berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan surat (ijin) tersebut? Rp................................ Bagaimana prosedur yang dilakukan dalam pembuatan izin tersebut, jelaskan? ................................................................................................................ ................................................................................................................ ...................................................... Bagaimana sistem penjualan hasil dilakukan?
Komoditi
Tempat Jual (A/B/C/D)
Asal Pembeli (a/b/c/d)
Bentuk jenis tranksaksi (1/2/3)
Status Pembeli (1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
Keterangan
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
(A/B/C/D)
(a/b/c/d)
(1/2/3)
(1) / (2)
...
Keterangan : A B C D (1) (2)
: : : :
Rumah Pasar Koperasi Lainnya
a b c d : :
: : : :
Satu Desa Satu Kecamatan Satu Kabupaten Luar Kabupaten
1 2 3
: : :
Uang Muka Tunai Tidak Tunai
Konsumen Langsung Pedagang
IV. Kelompok Tani Hutan (KTH) 1. 2. 3. 4. 5. V.
Apakah ada KTH di desa ini? Apakah Bapak menjadi anggota KTH tersebut Ya, jelaskan ....................... Tidak, jelaskan ................. Kapan KTH tersebut dibentuk Apakah KTH tersebut masih berfungsi? Ya, jelaskan .................................. Tidak, jelaskan ............................. Apakah KTH mempunyai rencana pengelolaan agroforestry Ya, jelaskan .................................. Tidak, jelaskan .............................
Permasalahan dan Penyelesaiannya 1. Apa yang menjadi kendala dalam pengelolaan agroforestry, jelaskan? a. .......................... b. ........................... c. .......................... d. ......................... e. .......................... 2.
Apa solusi yang dilakukan dari permasalahan di atas, jelaskan? a. .......................... b. ........................... c. .......................... d. ......................... e. .........................
VI.
SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DI LUAR PRAKTEK AGROFORESTRY No
Sumber Pendapatan
Jumlah (Rp)
Keterangan
Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan
Survey lapangan
Identifikasi Pengembangan Potensi Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir
Dokumentasi pengambilan Titik Sample Padi sawah dan Ladang
Dokumentasi wawancara dengan masyarakat
Identifikasi Pengembangan Potensi Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir
Identifikasi Pengembangan Potensi Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir
Identifikasi Pengembangan Potensi Agroforestry di Kabupaten Rokan Hilir