LAPORAN AKHIR EVALUASI FORMATIF PROGRAM TFCA - KALIMANTAN
Oktober 2016
KATA PENGANTAR Evaluasi program TFCA Kalimantan merupakan upaya strategi yang dilakukan pengelola TFCA Kalimantan untuk dapat melihat kinerja program mitra yang didukung melalui siklus hibah 1 dan 2. Evaluasi ini diperlukan untuk melihat dan memastikan kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan yang telah disepakati (metodologi, process, output, outcome, target), serta untuk mengukur potensi dampak konservasi yang bisa dirasakan oleh kabupaten target, masyarakat dan pemangku kepentingan lain. Hasil dari evaluasi ini sangat penting dalam melakukan pengambilan keputusan untuk perbaikan-perbaikan program, baik pada level administrasi pengelolaan proyek maupun level teknis pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, Bumiraya Consulting mencoba untuk melakukan evaluasi ini dengan sudut pandang yang lebih luas dan analitik, yang diharapkan untuk memberikan masukan bagi pengelolaan Program TFCA Kalimantan ke depan. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke–empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni 2015. Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei 2016. Evaluasi ini dilaksanakan selama bulan Mei – Oktober 2016, oleh Tim Bumiraya Consulting dengan mempelajari dokumen program TFCA Kalimantan, dokumen perencanaan dan laporan kemajuan mitra, dan melihat implementasi program di lapangan, dengan terlebih dahulu diawali dengan penyusunan laporan pendahuluan ini. Laporan akhir memuat: pendahuluan, kerangka evaluasi, temuan dan hasil evaluasi, kumulatif capaian program terhadap tujuan TFCA Kalimantan, serta kesimpulan dan rekomendasi. Kami sungguh merasa berbesar hati mendapat kesempatan sebagai pelaksana evaluasi ini. Untuk itu kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pengelola TFCA Kalimantan atas terlaksananya kerjasama ini. Harapan kami, semoga catatan dan rekomendasi yang kami sampaikan dalam dokumen evaluasi ini benar – benar dapat bermanfaat, dan dapat berkontribusi pada pelaksanaan program TFCA Kalimantan ke depan, dan juga dapat berkontribusi pada konservasi hutan di Indonesia. Yogyakarta, Oktober 2016 Bumi Raya Consulting
[i]
Ringkasan Eksekutif Program Mitra TFCA Kalimantan Siklus Hibah I dan II telah dilaksanakan selama tiga tahun. Dalam tiga tahun perjalanan program tersebut, tentulah ada banyak capaian, dan sekaligus banyak catatan yang dapat menjadi pelajaran penting bagi implementasi TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Secara umum, program mitra mempunyai relevansi yang kuat terhadap pencapaian semua tujuan Program TFCA Kalimantan. Walaupun demikian, dengan asumsi bahwa semua tujuan TFCA Kalimantan harus tercapai dengan proporsi yang berimbang, masih ada beberapa indikator tujuan yang dicapai dalam jumlah minimal atau belum tercapai sama sekali melalui kontribusi program mitra siklus 1 dan 2, khususnya terkait dengan perlindungan species orang utan atau specific khusus khas Kalimantan. Persoalan konversi kawasan hutan dalam skala massive menjadi perkebunan, pertambangan, dan semen merupakan resiko dengan kategori yang sangat tinggi dalam mengancam pencapaian tujuan TFCA Kalimantan. Dalam pelaksanaan program siklus 1 dan 2 yang sudah berjalan 3 tahun, persoalan ini masih terlihat sangat jelas di lapangan. Bisa dikatakan bahwa intervensi yang dilakukan belum maksimal untuk mulai meminimalkan ancaman konversi lahan ini. Pendekatan kabupaten belum memberikan hasil optimal terhadap pencapaian program TFCA Kalimantan. Sebagai sebuah program dengan rancangan awal berbasis kabupaten, TFCA Kalimantan belum melakukan strategi implementasi yang mampu menciptakan ruang-ruang sinergi antar pihak secara sitematis di kabupaten. Kolaborasi mitra dengan Pemda yang selama ini terjadi lebih pada kedekatan hubungan individual mitra dengan pemda, bukan merupakan skenario proyek TFCA secara umum. Pendekatan kabupaten ini perlu direview kembali dengan berlakunya UU 23/2014 yang mengalihkan kewenangan urusan kabupaten ke provinsi. Dalam efektivitas program secara keseluruhan—rerata tingkat efektivitas program TFCA Kalimantan mencapai Sangat Efektif. Terkait efisiensi, rerata pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan mencapai tergolong Cukup Efisien. Sementara itu, rerata penyerapan dana program yang dijalankan mitra TFCA Kalimanatan tergolong pada kategori Kesalahan Perencanaan. Pada level administrator, KEHATI sebagai administrator program mampu menjalankan fungsinya melalui Kebijakan Penyaluran Hibah yang sudah diimplementasikan pada siklus 1 dan 2. Sebagai administrator Program TFCA Kalimantan, Yayasan Kehati telah memiliki kebijakan terkait dengan penyaluran hibah, pelaksanaan penyaluran hibah, pemantauan penyaluran dana hibah, dan pelaporan dan pertanggungjawaban dana. Penilaian umum yang dilakukan [ii]
berdasarkan variabel yang ada, mengindikasikan bahwa tugas administrator oleh Yayasan Kehati berjalan efektif. KEHATI mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada lembaga-lembaga mitra/grantee, dalam rangka melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di kabupaten target. Hal yang dipandang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketercapaian project TFCA Kalimantan pada tingkatan strategis adalah 1) penetapan target terukur baik dari sisi kuantitas maupun kualitas di setiap indikator tujuan program yang tercantum dalam Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 2013-2017. Hal ini penting untuk memonitior ketercapaian tujuan program TFCA Kalimantan; 2) pengfokusan program menyentuh aspek tenurial kawasan sebagai fondasi untuk mengamankan investasi yang dilakukan dalam upaya-upaya konservasi hutan dan lahan, dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi resiko kegagalan program akibat dari permasalahan konversi lahan yang massive (kelapa sawit, pertambangan, dan pembalakan liar); 3) Pengfokusan program untuk melakukan intervensi yang berkontribusi pada pencapaian program yang masih minimal, khususnya pada perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan); 4) Pengfokusan pada program yang rasional untuk memecahkan permasalahan-permasalahan perencanaan tata guna lahan yang buruk dan kebijakan yang lemah untuk mendukung upaya-upaya konservasi; 5) Protokol koordinasi dan komunikasi juga perlu dilakukan pada level provinsi, dengan keberadaan UU 23/2014. Bahkan, keberadaan UU 23/2014 sudah menuntut untuk melakukan perubahan pendekatan dari basis kabupaten ke propinsi terkait dengan kewenangan dan kebijakan program, walaupun koordinasi dengan kabupaten tetap dilakukan dalam skala pelaksanaan project di lapangan. Perubahan ke provinsi akan sangat mempermudah pelaksanaan project jika sasaran geografisnya adalah lintas kabupaten Dalam hal implementasi program, dipandang perlu untuk membangun mekanisme sinergi program mitra TFCA Kalimantan dengan Pemerintah Daerah dan para pihak terkait secara regular. Konsistensi dan komitmen para pihak, termasuk pemerintah daerah, juga menjadi faktor kunci bila dalam pelaksanaan program membutuhkan penyesuaian strategi agar implementasi lebih efektif atau merespon secara efisien bila kekurangan atau penyimpangan muncul. Terkait system manajemen program, perlu menciptakan sistem yang terintegrasi sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pada evaluasi yang regular dilaksanakan. Konsistensi dan komitmen dari pihak terkait mulai Dewan Pembina sampai dengan Administrator menjadi penting untuk dibangun sehingga proses pencapaian dapat lebih terukur terutama pada tingkatan dampak yang dicapai dalam jangka panjang.
[iii]
Daftar Isi KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................................... ii Daftar Isi ...........................................................................................................................................iv BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 1.1 TFCA Kalimantan ................................................................................................................... 1 1.2 Data Mitra Siklus I dan II ....................................................................................................... 2 BAB II. KERANGKA EVALUASI ........................................................................................................... 8 2.1 TUJUAN ................................................................................................................................. 8 2.2 LUARAN EVALUASI ................................................................................................................ 8 2.3 METODE EVALUASI................................................................................................................ 9 2.3.1 Pendekatan Konsep............................................................................................................ 9 2.3.3 Desain Analisis .................................................................................................................. 13 2.3.4 Target yang terlibat dalam evaluasi ................................................................................. 22 2.4 WAKTU PELAKSANAAN....................................................................................................... 23 2.4.1 Tata Waktu Kegiatan ........................................................................................................ 23 BAB III. TEMUAN DAN HASIL EVALUASI ......................................................................................... 24 3.1 RELEVANSI ........................................................................................................................... 24 3.1.1 Relevansi Terhadap Tujuan TFCA Kalimantan .................................................................. 24 3.1.2 Relevansi dengan Isu lain ................................................................................................. 27 3.2 EFEKTIVITAS......................................................................................................................... 44 3.2.1 Efektivitas Program Mitra ................................................................................................ 44 3.2.2 Efektivitas Pengelolaan Program (Administrator)............................................................ 47 3.3 EFISIENSI PROGRAM............................................................................................................ 57 3.4 ANALISIS KEBERLANJUTAN .................................................................................................. 59 3.5 ANALISIS RESIKO.................................................................................................................. 62 BAB IV. KUMULATIF CAPAIAN PROGRAM TERHADAP TUJUAN TFCA KALIMANTAN ..................... 69 4.1 CAPAIAN KUNCI MITRA TFCA .............................................................................................. 69 4.1.1 PKHB – Berau.................................................................................................................... 70 4.1.2 HOB – Kapuas Hulu & Mahakam Ulu ............................................................................... 75 4.2 KONTRIBUSI MITRA PADA TUJUAN PKHB DAN HOB ........................................................... 80 4.2.1 Kontribusi Mitra terhadap Tujuan PKHB .......................................................................... 80 4.2.2 Kontribusi Mitra terhadap Tujuan HOB ........................................................................... 82 BAB V. KESIMPULAN DAN PEMBELAJARAN ................................................................................... 87 5.1 KESIMPULAN ....................................................................................................................... 87 [iv]
5.1.1 Tingkatan Strategis ........................................................................................................... 87 5.1.2 Tingkatan Implementasi ................................................................................................... 92 5.1.3 Tingkatan Pembelajaran................................................................................................... 94 5.2 REKOMENDASI .................................................................................................................... 96
[v]
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 TFCA Kalimantan TFCA (Tropical Forest Conservation Act) Kalimantan adalah program kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika dalam rangka pengalihan hutang untuk kegiatan konservasi hutan, khususnya di Kalimantan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 29 September 2011, dengan The Nature Conservancy (TNC) dan Yayasan World Wide Fund for NatureIndonesia (WWF Indonesia) sebagai Mitra pengalihan hutang /Swap Partners. Tujuan umun dari TFCA Kalimantan adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati yang penting, meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan, mengurangi emisi dan deforestasi dan degradasi hutan, dan melaksanakan program REDD+ di Indonesia. TFCA Kalimantan memfasilitasi program konservasi, perlindungan, restorasi dan pemanfaatan lestari hutan tropis di Indonesia melalui dukungan terhadap Program Karbon Hutan Berau (PKHB) di Kabupaten Berau dan Program Heart of Borneo (HOB) di Kapuas Hulu, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Selain itu, TFCA Kalimantan juga melakukan investasi strategis di wilayah Kalimantan lainnya. Diharapkan bahwa 80% dari dana tersebut dialokasikan secara merata antara dua program, dan bahwa 20% dari dana tersedia untuk investasi strategis di luar kabupaten sasaran. Yayasan KEHATI sebagai administrator mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada Lembaga yang memenuhi syarat, untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di Kabupaten target yaitu Kapuas Hulu, Berau, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke–empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni 2015. Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei 2016. Memperhatikan hal tersebut, untuk memastikan kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan yang telah disepakati (output, outcome, target), serta untuk [1]
mengukur dampak konservasi terhadap kabupaten target, masyarakat dan pemangku kepentingan lain, maka administrator perlu melakukan evaluasi formatif untuk mitra penerima hibah dan juga Yayasan KEHATI sebagai administrator. Dalam rangka kegiatan evaluasi tersebut, Yayasan Kehati telah menunjuk Bumiraya Consulting melalui proses seleksi untuk melaksanakan kegiatan evaluasi formatif ini. Pasca penunjukan Bumiraya, berdasarkan saran dan komunikasi dengan tim teknis TFCA Kalimantan dan Kehati, telah dilakukan perbaikan terhadap desain evaluasi yang telah dibangun semula, disertai beberapa penambahan metode untuk mengukur perubahan terjadi.
1.2 Data Mitra Siklus I dan II TFCA Kalimantan melalui Yayasan KEHATI sebagai administrator, telah mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada Lembaga yang memenuhi syarat, untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di Kabupaten target yaitu Kapuas Hulu, Berau, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke–empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni 2015. Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei 2016.
[2]
[3]
Program pada siklus 1 dan siklus 2 dapat dikelompokkan menjadi 3 kegiatan utama, yaitu 1) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), 2) Hasil Hutan Bukan Kayu dan Peningkatan Ekonomi, dan 3) Konservasi species dan ekosistem. Masingmasing sebaran program dan mitra-mitra untuk siklus 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1. Program dan Mitra Siklus 1 Reguler TFCA Kalimantan Program I. PKHB
II. HOB
Nama Proponen Operation Wallacea Trust (Bogor)
Judul Program Membangun Model Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Lesan Berbasis Masyarakat
Yayasan PEKA (Bogor)
Pengembangan Model Kelola Kawasan Lindung dan Wisata Alam Berbasis Masyarakat
Yayasan BIOMA (Samarinda)
Adopsi Model Konservasi dan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Lokal sebagai Alternatif dalam Memulihkan dan Meningkatkan Manfaat Ekonomi dan Ekologi Sumberdaya Hutan di Kabupaten Berau dan Kutai Barat / Mahakam Hulu Pengayaan, Penyerapan dan Konservasi Karbon secara Kemitraan (P2K3) di Kalimantan.
Center of Social Forestry Universitas Mulawarman (Samarinda) Aliansi Organis Indonesia (Bogor)
FORINA (Bogor)
Pengembangan Madu Hutan Organis untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Hutan Tropis Kalimantan di TN Danau Sentarum dan Pesisir Sungai Kapuas di Kapuas Hulu. Konservasi Orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus Berbasis Masyarakat di Koridor Taman Nasional Betung Kerihun - Taman Nasional Danau Sentarum dan Sekitarnya di Kabupaten Kapuas Hulu.
[4]
Lokasi Desa: Sidobangen, Merapun, Muara Lesan, Lesan Dayak. Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa: Biduk-biduk, Teluk Sulaiman, Giring-giring. Kecamatan: Biduk-biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa : Long Gi, Long Boi, Muara Siram, Matalibaq, Long Galawang. Kecamatan: Kelay, Bongan, Long Hubung. Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur
Durasi Hibah 4,5 Tahun (Juni 2014 November 2018)
Desa: Memahaq Teboq, Lutan, Datah Bilang, Long Hubung. Kecamatan: Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu/Kutai Barat, Kalimantan Timur 30 Desa. Kecamatan: Selimbau, Batang Lupar, Badau, Suhaid, Jongkong, Bunut Hilir, Embaloh Hilir.
1,5 Tahun (Juni 2014 November 2015)
Desa: Malemba, Mensiau, Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
3 Tahun (Juni 2014 - Mei 2017)
2 Tahun (Juni 2014 - Mei 2016) 3 Tahun (Juni 2014 - Mei 2017)
2 Tahun (Juni 2014 - Mei 2016)
Yayasan PRCF Indonesia
Lembaga Gemawan (Pontianak)
Pengembangan Hutan Desa Untuk Mendukung Upaya Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pemanfaatan HHBK secara Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat Perlindungan Wilayah Perkebunan Karet Tradisional Rakyat di Kabupaten Kapuas Hulu
Desa: Narga Yen, Sri Wangi, Narga Jemah, Tanjung. Kecamatan Hulu Gunung, Boyan Tanjung, Mentebah
2 Tahun (Juni 2014 - Mei 2016)
Desa: Nanga Ngeri, Dangkan Kota, Nanga Dangkan, Lebak Najah. Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
3 Tahun (Juni 2014 - Mei 2017)
Tabel 1.2. Program dan Mitra Siklus 2 Reguler TFCA Kalimantan Program I. PKHB
Nama Proponen Perkumpulan Payo-Payo (Sulawesi Selatan)
Kelompok Study Karst Fakultas Geografi UGM (Yogyakarta) Menapak (Berau)
II. HOB
Forum Lingkungan Mulawarman (FLM) Samarinda Yayasan Dian Tama (Pontianak)
Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASSPUK) Jakarta
Judul Program Membangun dan Memperkuat Aksi Inspiratif (PERISAI) Warga dalam Pengelolaan Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Berau Karakterisasi dan Revitalisasi Nilai Penting Kawasan Karst Sangkulirang - Mangkaliat
Lokasi Desa : Long Lamcin, Long Lamjan, Long Ayap. Kecamatan : Kelay dan Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Durasi Hibah 4 Tahun (Juni 2015 - Mei 2019)
Area Karst Sangkulirang Mangkalihat, Kabupaten Berau -Kutai Timur, Kalimantan Timur
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
Proyek Percontohan Upaya Pengurangan Deforestasi di Hutan Lindung Hulu Sungai Dumaring Berbasis Masyarakat Melalui Skema Hutan Desa PHBM di 3 Kampung Sekitarnya Membangun Model Pengelolaan Mangrove Terpadu Untuk Keberlanjutan Kehidupan di Kabupaten Berau Pelestarian Kawasan Melalui Agroforestry dan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagai Alternatif Pendapatan Masyarakat di Koridor Labian - Leboyan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu melalui Pelestarian Tanaman Pewarna yang Berspektif Gender dan Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu
Desa: Dumaring, Sumber Mulia, Biatan Ilir. Kecamatan Talisayan Biatan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
Desa : Pegat Batumbuk dan Teluk Semanting
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
Desa : Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
Desa : Lanjak Deras, Mensiau, Manua Sedap. Kecamatan Batang Lupar Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
[5]
Sampan Kalimantan (Pontianak)
Strengthern the Management of Tembawang to Develop Community Welfare
KBCF WARSI (Samarinda)
Mendukung Perlindungan di Lansekap Ekosistem Heart of Borneo (HoB) Melalui Hutan Desa di Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat
Lanting Borneo (Putussibau Utara Kapuas Hulu)
Penguatan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Koridor DAS Labian - Leboyan Melalui Pemetaan Kearifan Lokal.
Desa : Selaup, Nanga Semang, Nanga Raon, Baherap. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Desa: Sembuan, Bermai, Mantar. Kecamatan : Nyuatan, Damai. Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat. Kalimantan Utara Kalimantan Timur Desa : Malemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018) 3 Tahun (Juni 2015 - Mei 2018)
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Tabel 1.3. Program dan Mitra Siklus 2 Small Grant Fund (SGF) TFCA Kalimantan Progra m I. PKHB
Nama Proponen Perkumpulan Jaringan Nelayan (JALA) - Berau Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Labuan Cermin (LEKMALAMI) - Berau Badan Pengelola Sumber Daya Alam Kampung Sungai Segah Segah Perkumpulan Kerima' Puri Berau
Kanopi - Berau
Judul Program Model Pengelolaan Kawasan Perlindungan Mangrove (KPM) Berbasis Masyarakat di Kampung Tanjung Batu Pengelolaan Kawasan Lindung dan Wisata Alam Labuan Cermin Berbasis Masyarakat
Lokasi Desa : Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Durasi Hibah 2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Desa : Biduk-Biduk, Teluk Harapan. Kecamatan Biduk-Biduk. Berau, Kalimantan Timur
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Developing CBFM Through SIGAP REDD+ Approach in Segah District
Desa : Loong Lai. Kecamatan Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Pengelolaan Hutan Desa Merabu, Sebagai Model Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung yang Lestari dan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kampung Batu-Batu
Desa: Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Kalimantan Timur
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Desa : Batu-Batu. Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
[6]
II. HOB
Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (KOMPAKH) Putussibau
Forum DAS LabianLeboyan (Kapuas Hulu)
Pengembangan Destinasi dan Media Pemasaran Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Penyangga TNBK dan TNDS sebagai upaya Pengembangan Alternatif Ekonomi di Kabupaten Kapuas Hulu Restorasi Pinggiran DAS Labian - Leboyan di Sepanjang Desa Sungai Ajung dan Desa Labian Berbasis Masyarakat
[7]
Desa : Menua Sadap. Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
Desa : Labian, Sungai Ajung. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
2 Tahun (Juni 2015 - Mei 2017)
BAB II. KERANGKA EVALUASI 2.1 TUJUAN Tujuan dari evaluasi formatif TFCA Kalimantan adalah : Penilaian kinerja mitra dan administrator, serta memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengawas terkait pelaksanaan kegiatan mitra dan pengelolaan program TFCA Kalimantan lebih lanjut.
2.2 LUARAN EVALUASI Hasil yang diharapkan dari evaluasi TFCA Kalimantan ini adalah: 1.
Laporan berisi hasil evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan mitra dan administrator
2.
Analisis pelaksanaan program TFCA-Kalimantan yang terbagi dalam tiga tingkat, yaitu: tingkat strategi, tingkat pelaksanaan, dan tingkat pembelajaran. Tingkatan strategis: a.
Apakah pencapaian program pada siklus 1 dan siklus 2 mempunyai kontribusi yang kuat terhadap pencapaian indikator tujuan umum dari TFCA Kalimantan?
b.
Apakah kegiatan proyek pada siklus 1 dan 2 adalah rasional untuk memecahkan permasalahan yang ada (justified)?
c.
Apakah memberikan dampak nyata bagi perubahan yang ingin dihasilkan oleh TCFA Kalimantan, terkait konservasi hutan dan perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan), perencanaan pada level kabupaten, pengembangan kebijakan dan kelembagaan, keterlibatan para pemangku kepentingan dan lain-lain .
Tingkatan implementasi: a.
Yayasan Kehati sebagai administrator. Apakah Yayasan Kehati telah menjalankan fungsinya dengan baik sebagai administrator TFCA Kalimantan?
b.
Dalam pelaksanaan program oleh mitra. Apakah semuanya berjalan atau dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan, sesuai aturan dan sesuai dengan tujuan proyek (are things being right?), yaitu: [8]
c.
Sejauh mana efektivitas dalam mencapai dampak, hasil (outcome) atau luaran (output) yang diharapkan, termasuk gambaran keberhasilan serta kekurangan/kelemahan;
Efisiensi dalam mengoptimalkan sumberdaya;
Kepuasan penerima manfaat dan pihak terkait, termasuk pemerintah, masyarakat dan mitra lokal
Tingkatan Pembelajaran: Apa pembelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan yang sudah berjalan oleh masing-masing mitra?
Apakah ada cara yang lebih baik sebagai alternatif?
Pembelajaran apa yang bisa dipetik, termasuk untuk pelaksana proyek (mitra dan administrator), pemerintah maupun masyarakat;
Apa rekomendasi terhadap kegiatan yang akan dilakukan kedepannya termasuk apakah perlu ada modifikasi hibah yaitu rekomendasi penambahan, perluasan, replikasi kegiatan atau pun fokusing pada isu dan wilayah tertentu?
2.3 METODE EVALUASI 2.3.1 Pendekatan Konsep Secara umum, metode yang digunakan dalam evaluasi formatif ini sebenarnya telah ditentukan oleh Yayasan Kehati melalui kerangka acuan kegiatan yang ada. Sesuai dengan kerangka acuan tersebut, evaluasi ini menggunakan metode evaluasi partisipatif. Keterlibatan berbagai pihak di Yayasan Kehati sebagai perwakilan administrator dan tim teknis TFCA Kalimantan merupakan pilihan untuk menggunakan metode ini. Hal ini dipertegas dengan keharusan untuk melibatkan mitra program, termasuk kelompok masyarakat penerima manfaat, yang digambarkan dalam kerangka acuan menunjukkan bukti yang jelas untuk menggunakan metode evaluasi partisipatif. Evaluasi formatif ini dilakukan dengan pendekatan Self Assesment (penilaian mandiri). Metode ini mendorong respon yang lebih akurat dan lebih efektif dengan pelibatan subyek – subyek program baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan para pihak dalam evaluasi mendukung proyeksi terhadap validitas informasi dari subyek – subyek dalam program sebagai pemasti informasi (metode triangulasi – verifikasi). Sebagai bahan utama untuk melakukan pemastian informasi, maka dijalankan dengan kajian dokumen rencana dibandingkan dengan [9]
laporan hasil pelaksanaan / implementasi. Hasil tersebut kemudian dikembangkan dengan pengembangan informasi yang diperoleh dengan verifikasi lapangan dan informasi dari para pihak. Metode verifikasi lapangan dilakukan secara berjenjang mulai dari Administrator, Grantee, penerima manfaat program. Walaupun demikian, dengan ketersedian waktu yang terbatas, metodologi ini memiliki kekurangan dalam menganalisis masalah krusial yang terjadi di lapangan Berdasarkan pemahaman arahan desain evaluasi yang telah ditentukan di dalam kerangka acuan kegiatan (Term of References) yang ada, evaluasi dilaksanakan dengan skema yang mengikuti alur proses pada gambar 3. Secara detail tentang skema yang akan dilakukan, dijelaskan dalam tahapan kegiatan.
[10]
Observasi lapangan (Verifikasi, Validasi, dan Evaluasi)
Desk studi (Identifikasi Awal)
Evaluasi Kinerja Program (TFCA dan Mitra)
- Laporan tengah tahunan - Laporan tahunan - Dokument TFCA lainnya
Review Dokumen dan Laporan
Analisis
Pelaporan
Relevansi proyek Keluaran
Keluaran
Temuan Lapangan dan pandangan para pihak: - Perkembangan pelaksanaan project - Capaian dan hasil project - Permasalahan yang ada
Temuan Awal Terkait dengan: - Perkembangan pelaksanaan project - Capaian dan hasil project - Permasalahan yang ada
- Progrees Report Mitra - Final Report Mitra
Efektivitas proyek
Review oleh expert (reviewer): - input expert dan klarifikasi - analisis tingkatan strategis - penyusunan rekomendasi
Efisiensi proyek Dampak Keberlanjutan Pembelajaran
Kunjungan Lapangan
Entry Meeting
Focus Group Discussion
Keluaran
Presentasi dan Input TFCA Kalimantan Team
DRAFT LAPORAN 1 - Forest Conservation Agreement - Rencana Implementasi TFCA 2013-2017 - Standar Biaya Maksimum
In-depth Interview dengan staf lapangan, para pemangku kepentingan, penerima manfaat, dan mitra
Keluaran
Evaluasi Kinerje Administrator (pengelolaan project)
Review Dokumen dan Laporan terkait fungsi administrator
LAPORAN AKHIR EVALUASI
Keluaran
Keluaran
Temuan Lapangan dan pandangan para pihak: - Tingkat keberhasilan - Permasalahan yang ada
- Tingkat keberhasilan pengelolaan proyek - Permasalahan yang ada
Efektivitas Pembelajaran
- Penduan Kebijakan dan Prosedur Penyaluran Hibah TFCA Kalimantan - Dokumen TFCA lainnya
Gambar 2.1. Skema dan Alur Evaluasi TFCA Kalimantan yang dilaksanakan
[11]
Berdasarkan gambar diatas, secara garis besar proses evaluasi terdiri dari 4 tahap, yakni: Tahap I : Desk Studi Proses ini diawali dengan pengumpulan dokumen terkait kinerja mitra dan fungsi administrator. Beberapa dokumen yang terkait dengan kinerja mitra adalah dokumen proposal mitra, dokumen laporan tahunan mitra, dokumen laporan kemajuan mitra, dokumen laporan M&E, Rencana Program Karbon Hutan Berau (PKHB), Rencana Program Heart of Borneo (HoB) dan dokumen laporan tahunan TFCA. Dokumen yang dibutuhkan terkait pengelolaan project oleh Kehati adalah Forest Conservation Agreement (FCA), Rencana Implementasi TFCA Kalimantan, Kebijakan penyaluran hibah TFCA Kalimantan dan laporan tahunan Administrator. Pada tahapan ini, diperlukan dokumen laporan dari mitra yang telah diverifikasi oleh pengelola project untuk melihat keakuratan capaian kinerja mitra. Keluaran tahap ini adalah temuan awal berupa perkembangan pelaksanaan project, capaian kinerja berdasar indicator (target Vs actual) di masing-masing obyek evaluasi baik di tingkat kinerja mitra dan pengelolaan project oleh administrator. Tahap II: Observasi Lapangan (verifikasi, validasi, dan klarifikasi) Berangkat dari temuan awal hasil dari tahap I, maka akan dilakukan proses verifikasi, validasi, dan klarifikasi pada masing-masing aspek obyek evaluasi melalui in-depth interview; interview kelompok atau FGD. Pihak yang akan terlibat adalah pihak-pihak yang dianggap terlibat langsung dengan pelaksanaan project, yakni staf konsorsium, termasuk staf manajemen dan staf lapangan, unsur pemerintah daerah terkait (Bappeda, Dinas Kehutanan, Kesatuan Pengelolaan Hutan /KPH, Pemprov, dll), unsur lembaga kolaboratif terkait (forum, komunitasi, dll), Masyarakat penerima manfaat (masyarakat di tapak / lokasi kegiatan), pihak swasta, perguruan tinggi, dan unsur Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan terkait (Balai Taman Nasional, Balai KSDA, BPDAS Keluaran tahap ini adalah temuan lapangan terhadap pelaksanaan project, capaian kinerja berdasar indicator (target Vs actual), pandangan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan UU 23/2014, perubahan yang terjadi, dan nilai manfaat dari perubahan yang terjadi akibat dari intervensi project. Tahap III. Analisis Data dari temuan tahap 1 dan tahap 2 akan dikombinasikan untuk dianalisis untuk mengukur kinerja project pada setiap obyek evaluasi. Untuk obyek evaluasi kinerja mitra dan program akan dilakukan analisis relevansi, efektifitas, efisiensi, dampak, keberlanjutan, dan pembelajaran. Sedangkan pada obyek evaluasi pengelolaan project oleh administrator akan dilakukan analisis efektifitas dan pembelajaran. [12]
Keluaran dari tahap ini adalah drat 1 laporan hasil evaluasi Tahap IV: Pelaporan Presentasi temuan dan rekomendasi Tahap terakhir ini lebih merupakan pada penajaman hasil dan paparan kepada pengelola TFCA Kalimantan tentang pencapaian dan tantangan dari pelaksanaan program TFCA Kalimantan sehingga mampu memberikan kesimpulan secara umum bagaimana kinerja program dan administrator Kehati selama ini. Sebagai bagian akhir atas rentetan proses evaluasi ini akan disampaikan beberapa alternative langkah sebagai usulan rekomendasi yang dapat diambil untuk meningkatkan kinerja program TFCA Kalimantan dan administrator di masa datang
2.3.3 Desain Analisis Analisis dilakukan untuk menilai kinerja dari pelaksanaan Program TFCA Kalimantan—yang terdiri dari relevansi, efektivitas, efisiensi, keberlanjutan, dan dampak program. Selain itu, dilakukan evaluasi untuk memberikan masukan terkait potensi modifikasi hibah proyek. Analisis dijalankan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui studi dokumen (desk study) dan kaji lapangan (field study). a.
Analisis Relevansi
Analisis Relevansi dipergunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana intervensi yang dilakukan konsisten dengan kebutuhan perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection), kebutuhan masyarakat (lokal), kebijakan Pemerintah, maupun Program TFCA Kalimantan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan capaian atau output yang dihasilkan Mitra dengan capaian atau output yang diinginkan TFCA Kalimantan dalam program design yang telah direncanakan. Jenis dokumen program design yang dibangun pada tingkat TFCA Kalimantan/Kehati dan Mitra menentukan pada tataran mana analisis relevansi dilakukan—output, indikator, atau capaian kegiatan. Tabel berikut menyajikan contoh matriks analisis relevansi program yang dipergunakan dalam evaluasi ini.
Tabel 2.1. Matriks Analisis Relevansi Dampak/Tujuan Program TFCA Kalimantan 2013 – 2017
Output Program Mitra
Indikator
[13]
Capaian Kegiatan
Relevan/ Tidak Relevan (Y/N)
Tabel di atas dipergunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi apakah capaian program mitra berkontribusi secara langsung kepada Program TFCA Kalimantan. Segenap capaian atau output program mitra—beserta indikator dan capaian kegiatan—diletakkan dalam kerangka pencapaian dampak/tujuan Program TFCA Kalimantan. Apabila di dalam proses pemetaan atau pengisian tabel, dijumpai output program mitra yang tidak dapat dimasukkan—maka dapat dipastikan bahwa output tersebut tidak relevan dengan kerangka pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Berlandaskan matriks analisis relevansi tersebut, selanjutnya dapat dilakukan analisis tingkat relevansi, penyusunan peta relevansi, analisis koherensi, serta analisis sosial dan gender. 1) Tingkat Relevansi Dalam evaluasi ini, tingkat relevansi menggambarkan kuat-lemahnya program mitra dalam berkontribusi terhadap pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Tingkat relevansi diperoleh dengan membandingkan antara jumlah capaian atau output program mitra yang relevan dengan total jumlah capaian atau output yang direncanakan. Rumus tingkat relevansi adalah sebagai berikut:
Selanjutnya, tingkat relevansi dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.2. Kategorisasi Tingkat Relevansi No. 1 2 3 4
Kategori Relevansi Sangat Kuat Kuat Sedang Lemah
Tingkat Relevansi >75 % - 100 % >50 % - 75 % > 25 % - 50 % ≤ 25%
Selain capaian atau output, peta relevansi juga mampu memberikan informasi secara cepat tentang berapa capaian yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan program yang mana. Dengan demikian, terlihat kegiatan-kegiatan yang strategis yang mampu menghasilkan banyak capaian dan/atau memberikan dukungan bagi pencapaian lebih dari 1 (satu) tujuan program.
[14]
2) Analisis Koherensi Analisis koherensi merupakan analisis untuk mendapatkan relevansi antara program dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan ekologi yang terjadi. Dalam evaluasi ini, analisis koherensi dijalankan dengan membandingkan capaian atau output program mitra dengan kebutuhan masyarakat/konservasi setempat dan pembangunan wilayah. Relevansi koheren diuji dengan konfirmasi langsung dengan masyarakat/stakeholders penerima manfaat dan terkena dampak. Sementara, dalam kaitan dengan pembangunan wilayah—analisis dilakukan dengan membandingkannya dengan dokumen perencanaan wilayah seperti RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Hasil analisis disajikan secara deskriptif seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.3. Analisis Koherensi Program Mitra TFCA Kalimantan Tujuan Capaian Capaian #1 Capaian #2 Tujuan #1 Capaian #3 Capaian #4
Kebutuhan Masyarakat
Relevan
Tujuan #2
Capaian #5
Tidak Relevan
Tujuan #3
Capaian #6
Relevan
--detail klarifikasi---detail klarifikasi---detail klarifikasi--
Pembangunan Wilayah
Tidak Relevan Relevan Relevan
--detail klarifikasi---detail klarifikasi---detail klarifikasi--
3) Analisis Relevansi Sosial dan Gender Analisis Relevansi Sosial dan Gender adalah analisis yang dilakukan untuk melihat relevansi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh proyek pada kelompok marjinal— seperti kaum miskin, perempuan, difabel, dan lain sebagainya. Setiap proyek harus dirancang dan dijalankan dengan perspektif inklusi sosial melalui intervensiintervensi yang relevan dan efektif dalam upaya mempersempit kesenjangan sosial. Pada umumnya, faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan sosial meliputi akses (access), partisipasi (participation), kontrol (control), dan manfaat (benefit).
[15]
Relevan
Akses Partisipasi Permasalahan/ Kesenjangan Sosial dan Gender
INTERVENSI PROYEK
Efektif/ Berhasil
Kontrol Manfaat
Relevan
Gambar 2.2. Desain Analisis Sosial dan Gender
Dalam evaluasi ini, analisis sosial dan gender diawali dengan melihat permasalahan atau kesenjangan sosial dan gender yang disasar (address) oleh proyek yang dijalankan Mitra TFCA Kalimantan. Selanjutnya, dilakukan pengelompokan (clustering) terhadap permasalahan sosial dan gender dalam 4 (empat) tipe kesenjangan gender (gender gap)—yakni akses, partisipasi, kontrol, dan/atau manfaat. Berkaitan dengan kesenjangan sosial dan gender tersebut, dilihat relevansi dari setiap intervensi proyek yang telah dijalankan oleh Mitra TFCA. Apakah intervensi tersebut berhasil atau efektif dan relevan dengan permasalahan sosial dan gender yang disasar. Adapun, panduan pertanyaan yang diajukan kepada Mitra TFCA Kalimantan dan para pihak sebagai informasi primer dalam analisis sosial dan gender ini meliputi: a) Isu/permasalahan sosial dan gender apa yang disasar dalam proyek dan mengapa isu/permasalahan tersebut yang dipilih? b) Apakah ada bentuk intervensi proyek yang dilakukan untuk menjawab permasalahan sosial dan gender tersebut? Jika ada, apa bentuk intervensi proyek tersebut? c)
Apakah intervensi proyek yang dijalankan tersebut berjalan dengan baik/berhasil/efektif? Apa faktor penunjang dan penghambatnya?
d) Apakah intervensi proyek yang dijalankan relevan dengan permasalahan sosial dan gender yang disasar? Mengapa? Selanjutnya, informasi yang didapatkan ditabulasi dalam matriks analisis sosial dan gender sebagaimana tercantum dalam Tabel 6 di bawah ini.
[16]
Tabel 2.4. Matriks Analisis Sosial dan Gender Detail Permasalahan/ Kesenjangan Sosial dan Gender
b.
Cluster Permasalahan atau Kesenjangan Sosial Gender Aks es
Partisip asi
Kont rol
Manf aat
Intervensi Proyek
Efektif/Be rhasil
Relevan
Analisis Efektifitas
Analisis efektivitas dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah program atau kegiatan telah dijalankan dengan strategi intervensi yang tepat dan benar (doing right things). Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan capaian atau output yang berhasil diraih dengan capaian atau output yang direncanakan sebelumnya. Dalam evaluasi ini, sumber informasi yang dipergunakan adalah laporan TFCA Kalimantan dan Mitra yang diperbandingkan dengan program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Analisis efektivitas program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.5. Matriks Analisis Efektivitas Capaian/Output Program (TFCA Kalimantan/Mitra)
Indikator Capaian Targetted (program design)
Capaian Aktual
Informasi Detail
Faktor Pendukung/ Penghambat
Matriks di atas menunjukkan seberapa jauh capaian atau output program berhasil diraih oleh TFCA Kalimantan dan Mitra. Untuk memberikan gambaran kinerja (performance), analisis ini juga menghitung prosentase ketercapaian output atau tingkat efektivitas program.
[17]
Selanjutnya, tingkat efektivitas dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini: Tabel 2.6. Kategorisasi Tingkat Efektivitas No. 1 2 3 4
Kategori Efektivitas Sangat Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif
Prosen Ketercapaian >75 % - 100 % >50 % - 75 % > 25 % - 50 % ≤ 25%
Analisis efektivitas juga menyajikan faktor-faktor pendukung yang berkontribusi dalam keberhasilan pencapaian output dan faktor-faktor penghambat yang mengganggu proses pencapaian output. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut dikaji lebih jauh dalam analisis pembelajaran program. c.
Analisis Efisiensi
Analisis efisiensi dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah program atau kegiatan telah dijalankan melalui strategi intervensi yang dilakukan dengan cara yang tepat dan benar (doing things right). Efisiensi sebuah program atau kegiatan terlihat dari implementasinya yang konsisten dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Dalam evaluasi ini, analisis efisiensi dilakukan dengan melihat konsistensi tata waktu dan penggunaan anggaran. Sumber analisis yang dipergunakan adalah informasi penyelenggaraan program dan penyerapan anggaran yang termuat dalam laporan TFCA Kalimantan dan Mitra—yang diperbandingkan dengan rancangan tata waktu dan anggaran di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Analisis efisiensi program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.7. Matriks Analisis Efisiensi Tata Waktu Kegiatan Rencana Pelaksanaan
Anggaran
Selisih
Selisih Justifikasi Justifikasi Rencana Pelaksanaan (bulan) Perubahan (Rp) perubahan
Total [18]
Efisiensi waktu yang baik terlihat apabila pelaksanaan program atau kegiatan sesuai dengan jadwal atau tata waktu yang telah disusun sebelumnya di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Pelaksanaan program atau kegiatan yang terlambat cukup lama berkontribusi terhadap ketidak-efisienan program dari sisi waktu. Begitu pula, implementasi program atau kegiatan yang bergeser lebih cepat pun dapat berdampak pada ketidak-efisienan program. Bahkan, pergeseran waktu yang melebihi 20 % dari keseluruhan waktu program dianggap sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy). Selanjutnya, tingkat efisiensi waktu dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.8. Kategorisasi Tingkat Efisiensi Waktu Pergeseran Waktu 0 % - 20 %
Prosen Ketercapaian (Tingkat Efektivitas) > 100 % >90 % - 100 % 80 % - 90 % <80 %
< 20 %
Kategori Efisiensi Sangat efisien Efisien Cukup Efisien Tidak Efisien Kesalahan perencanaan
Sementara itu, efisiensi biaya yang baik terlihat apabila penggunaan anggaran program atau kegiatan sesuai dengan rancangan anggaran yang telah disusun sebelumnya di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Penggunaan anggaran yang melampaui rancangan awal berkontribusi terhadap ketidakefisienan program dari sisi biaya. Begitu pula, penggunaan anggaran yang jauh di bawah rancangan pun dapat berdampak pada ketidak-efisienan program. Bahkan, penyerapan anggaran yang tidak mencapai 80 % atau melampau 120 %, dianggap sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy). Selanjutnya, tingkat efisiensi biaya dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.9. Kategorisasi Tingkat Efisiensi Biaya Penyerapan Anggaran 80 % - 120 %
Prosen Ketercapaian (Tingkat Efektivitas) > 100 % >90 % - 100 % 80 % - 90 % <80 %
< 80 % atau >120%
[19]
Kategori Efisiensi Sangat efisien Efisien Cukup Efisien Tidak Efisien Kesalahan perencanaan
Matriks dan kategorisasi efisiensi pada tabel-tabel di atas merupakan alat (tools) yang dipergunakan untuk membantu analisis efisiensi program. Justifikasi perubahan tata waktu dan penggunaan anggaran, menentukan kesimpulan efisien atau tidaknya sebuah program atau kegiatan dijalankan. Justifikasi perubahan tersebut dikonfirmasi dari pengelola, pelaksana, dan manajemen program. Informasi lain yang berkaitan—baik mendukung ataupun tidak—dari berbagai pihak yang terlibat juga menjadi faktor penimbang bagi penentuan kesimpulan oleh evaluator.
d.
Analisis Keberlanjutan
Keberlanjutan merupakan problem terbesar yang dihadapi oleh program atau kegiatan yang didukung oleh lembaga donor. Seringkali, program atau kegiatan tersebut berhenti seiring dengan berakhirnya pendanaan dari lembaga donor. Tentu saja, hal tersebut tidak dikehendaki oleh pelaksana program, lembaga donor, dan juga stakeholders penerima manfaat. Oleh karena itu, identifikasi keberlanjutan program sangat penting dilakukan untuk memberikan masukan kepada pengelola program—dalam hal ini TFCA Kalimantan dan Mitra—terkait strategi pelaksanaan program ke depan. Analisis keberlanjutan menggambarkan sejauh mana program atau kegiatan dapat mengubah atau memberikan manfaat sesuai harapan ketika program atau kegiatan tersebut telah selesai dijalankan. Keberlanjutan sebuah program atau kegiatan ditandai dengan tetap berjalannya fungsi keproyekan setelah berakhirnya intervensi atau facing out. Program atau kegiatan yang memiliki tingkat keberlanjutan tinggi ditandai dengan relevansinya yang kuat terhadap situasi kekinian—seperti kebutuhan masyarakat dan pembangunan wilayah—dan besarnya dampak (impact) positif yang ditimbulkannya. Dalam evaluasi ini, selain relevansi kekinian yang kuat dan dampak yang signifikan—keberlanjutan program diuji dengan keberadaan atribut-atribut pendukung yang mampu memberikan peluang tinggi terhadap terus dipertahankan dan dikembangkannya capaian atau output program. Atribut-atribut pendukung tersebut meliputi kebijakan (policy), kelembagaan (institution), dukungan para pihak (stakeholders), dukungan pendanaan, dan telah munculnya rencana tindak lanjut terhadap keberlanjutan capaian atau output tertentu. Analisis keberlanjutan program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
[20]
Tabel 2.10. Matriks Analisis Keberlanjutan Atribut Pendukung
Dampak
Capaian/ Kondisi dan Relevansi Output Aktual Peluang kekinian Dampak
Kebijakan
Kelembagaan
Rencana Stake- Dukungan Tindak holders Pendanaan Lanjut
Peluang Keberlanjutan
Berdasar tabel tersebut, keseluruhan informasi mengenai kondisi aktual capaian atau output, dampak dan peluang dampak, relevansi kekinian, dukungan kebijakan, dukungan kelembangan, stakeholders, dukungan pendanaan, dan keberadaan rencana tindak lanjut—menjadi penimbang bagi disimpulkannya peluang atau tingkat keberlanjutan program.. e.
Analisis Pembelajaran
Salah satu tujuan evaluasi adalah mendapatkan pembelajaran (lesson learned) dari proses yang telah berlangsung dan dihasilkan oleh program atau kegiatan. Setiap program atau kegiatan yang dilaksanakan pasti menyisakan pembelajaran bagi pengelola, para pelaku, dan para pihak yang terkait. Pembelajaran tersebut bisa bersifat positif—yang kemudian menjadi pemicu bagi gagasan perluasan capaian/output/model dan pendekatan yang dilakukan oleh program atau kegiatan. Namun demikian, pembelajaran dapat juga bersifat negatif atau korektif—ketika pendekatan atau intervensi yang digunakan dalam sebuah program atau kegiatan kurang dapat memberikan hasil yang maksimal. Pembelajaran korektif tentu tidak mengulangi pendekatan atau intervensi yang sama dan mencoba menemukan alternatif pendekatan atau intervensi lain yang lebih efektif dan efisien dalam meraih capaian atau output.
[21]
Gambar 2.3 Skema Pembelajaran dan Modifikasi Hibah
Selain berdasarkan skema di atas, pembelajaran program juga didapatkan dari berbagai analisis sebelumnya. Analisis pembelajaran dilakukan melalui konfirmasi lebih detail mengenai temuan-temuan yang telah mulai muncul dari serangkaian analisis tersebut. Misalnya, analisis efektivitas program telah menemukan faktorfaktor pendukung yang berkontribusi dalam keberhasilan pencapaian output dan faktor-faktor penghambat yang mengganggu proses pencapaian output. Analisis pembelajaran juga menjadi rekomendasi bagi modifikasi hibah proyek—seperti perpanjangan, replikasi, maupun penurunan skala. 2.3.4 Target yang terlibat dalam evaluasi Evaluasi formatif mengevaluasi kinerja dari Kehati sebagai Administrator dan 25 Mitra TFCA Kalimantan yang terdiri dari : 1. 9 Mitra TFCA Kalimantan siklus 1 (termasuk Yayasan Penabulu), 2. 9 Mitra TFCA Kalimantas siklus 2 reguler 3. 7 Mitra TFCA Kalimantan siklus 2 SGF Selain itu, evaluasi ini juga melibatkan para pemangku kepentingan untuk memberikan hasil yang lebih lengkap. Para pemangku kepentingan yang dilibatkan adalah:
Staf konsorsium, termasuk staf manajemen dan staf lapangan Unsur Pemerintah Daerah terkait (Bappeda, Dinas Kehutanan, Kesatuan Pengelolaan Hutan /KPH, Pemprov, dll) Unsur lembaga kolaboratif terkait (forum, komunitasi, dll) Masyarakat penerima manfaat (masyarakat di tapak / lokasi kegiatan) Pihak swasta Perguruan tinggi Unsur Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait (Balai Taman Nasional, Balai KSDA, BPDAS)
[22]
2.4 WAKTU PELAKSANAAN 2.4.1 Tata Waktu Kegiatan Kegiatan ini dilakukan selama 50 hari kerja dalam kurun waktu bulan Mei-Oktober 2016. Rencana dan tata waktu yang dilakukan untuk melaksanakan kegiatan ini adalah sebagai berikut: Tata Waktu (Dalam Minggu) No
Kegiatan
Mei M3
1
Kick off meeting
2
Review documen dan Penyusunan Inception Report
3
Presentasi inception report dan entry meeting
4
Penyempurnaan dan Penyerahan Laporan Pendahuluan
5
Kunjungan Lapangan
6
Penyusunan laporan dan menyampaikan draf
7
Presentasi temuan awal
8
Perbaikan laporan dan menyampaikan draf
9
Presentasi laporan akhir
10
Perbaikan, Penyerahan dan Persetujuan Laporan akhir
M4
Juni M1
M2
M3
Juli M4
Rencana Pelaksanaan
[23]
M1
M2
M3
Agustus M4
September
Oktober
M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3
BAB III. TEMUAN DAN HASIL EVALUASI 3.1 RELEVANSI 3.1.1 Relevansi Terhadap Tujuan TFCA Kalimantan Dalam kerangka Program TFCA Kalimantan secara utuh, pencapain output/outcome yang dihasilkan dari berbagai strategi intervensi yang dijalankan oleh Mitra harus mampu memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan dan indikatornya. Seperti diketahui, Program TFCA Kalimantan 2013 – 2017 memiliki 4 (empat) tujuan dan 14 indikator—sebagaimana termaktub pada matriks berikut ini. Tujuan dan Indikator Program TFCA Kalimantan Tujuan
Indikator
1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal
#Tambahan luasan (hektar) ekosistem hutan yang esensial dan terancam punah (termasuk karst, lahan gambut, mangrove, hutan rawa basah) di bawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan #Meningkatnya persentase kelangsungan hidup populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan #Tambahan luasan (hektar) dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, dibawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan #Luasan (hektar) ekosistem yang terhubung sebagai hasil dari koridor baru atau pengembangan, di bawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan
2. Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan
# Rumah tangga yang tergantung pada hutan yang pendapatan dan peluang mata pencahariannya meningkat (baik untuk jenis pekerjaan tetap maupun subsisten) # Tambahan luasan (hektar) area hutan dibawah pengelolaan masyarakat yang formal
3. Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati dan
# Tambahan luasan (hektar) hutan lindung dengan stok karbon tinggi dengan ancaman yang tinggi atau menengah di bawah manajemen yang efektif di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) hutan kawasan "non-hutan" yang berhasil dipertahankan sebagai hutan alam untuk penyimpanan karbon atau direklasifikasi sebagai hutan lindung/konservasi di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) konsesi hutan yang ada di bawah manajemen hutan lestari di mana terdapat praktik-praktik penebangan berdampak rendah yang diterapkan di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) hutan produksi yang dikelola untuk
[24]
tujuan konservasi di Kalimantan 4. Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+.
# Model pendanaan karbon hutan lestari yang dapat direplikasi # Dokumen petikan pembelajaran, praktik pengelolaan terbaik yang didokumentasikan berdasarkan pelaksanaan proyek, dan artikel jurnal yang berhubungan dengan proyek TFCA Kalimantan # Potongan media nasional (cetak, televisi, dll) yang memberikan rincian tentang program TFCA Kalimantan # Kunjungan lapangan oleh organisasi atau para pembuat kebijakan yang tertarik dengan program TFCA Kalimantan
Program TFCA Kalimantan yang telah berlangsung semenjak tahun 2014 berkolaborasi dengan 24 mitra1—yang terbagi dalam Siklus 1, Siklus 2 Reguler, dan Siklus 2 SGF. Keseluruhan mitra bekerja pada 4 (empat) Kabupaten sasaran di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur—meliputi Kapuas Hulu, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Berau. Secara umum, kontribusi mitra terhadap pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan tergambar pada ilustrasi berikut ini. 92% 22
BERAU Kapuas Hulu Kubar - Mahulu
20 Kanopi JALA LEKMALAMIN 75% BP Segah 18 Kerima Puri MENAPAK 13 FLIM 13 Kanopi Payo-payo LEKMALAMIN 11 BP Segah PEKA Kerima Puri Kanopi FLIM OWT MENAPAK JALA OWT KBCF - Warsi FLIM Kerima Puri KBCF - Warsi BIOMA PEKA FLIM BIOMA FDLL KBCF - Warsi KSK UGM 6 Lanting Borneo KOMPAKH CSF PEKA FDLL Dian Tama Lanting Borneo OWT Dian Tama SAMPAN Dian Tama KBCF - Warsi SAMPAN 3 ASPPUK SAMPAN SAMPAN ASPPUK Dian Tama PRCF ASPPUK PRCF 1 PRCF KOMPAKH AOI PRCF AOI FORINA FORINA FORINA GEMAWAN AOI 1 2 3 4 1 2 Goal of TFCA Kalimantan #1 Goal of TFCA Kalimantan #2 Protecting globally, nationally, and locally significant forest biodiversity, rare and endangered species and ecosystems, watershed ecosystem services, connectivity between forest ecological zones, and forest corridors for both biodiversity and climate change benefits
Circle #1 Circle #2 Reguler Circle #2 SGF
58% 14 46% 11
10 LEKMALAMIN MENAPAK 7 FLIM Kerima Puri Payo-payo MENAPAK PEKA FLIM OWT PEKA KBCF - Warsi 3 OWT Lanting Borneo MENAPAK BIOMA PRCF CSF SAMPAN GEMAWAN SAMPAN 1 2 3 Goal of TFCA Kalimantan #3
8
0 4
Kanopi MENAPAK KSK UGM 4 PEKA MENAPAK OWT 3 Kanopi BIOMA MENAPAK 2 Payo-payo SAMPAN PEKA FLIM OWT ASPPUK SAMPAN FORINA 1 2 3 4 Goal of TFCA Kalimantan #4
In a manner consistent with protecting Implementing activities to reduce emissions from Contributing to the cross fertilization of ideas and forests, enhancing the livelihoods of forestdeforestation and forest degradation, achieving sharing of experiences on forest conservation and dependent communities through meaningful greenhouse gas emissions reductions while REDD+ program implementation in Indonesia and sustainable natural resource management supporting biodiversity conservation at the district level, in each of informing the development of the national conservation and supporting low-emission community the target districts and REDD+ program framework
Gambar 3.1 Diagram Kontribusi Mitra Terhadap Tujuan dan Indikator Program TFCA Kalimantan
Berdasarkan ilustrasi tersebut, hampir seluruh mitra—atau sebesar 92 %— menjalankan intervensi berkaitan dengan upaya peningkatan mata pencaharian 1
Penabulu merupakan mitra ke dua puluh lima—yang secara khusus—bertugas memberikan asistensi teknis bagi keseluruhan mitra Program TFCA Kalimantan.
[25]
masyarakat atau berkontribusi pada tujuan ke dua dari Program TFCA Kalimantan. Hanya FORINA dan Kelompok Studi Karst (KSK – UGM) yang tidak memainkan intervensi pada lokus tersebut. Sementara, upaya perlindungan keanekaragaman hayati atau tujuan pertama dari Program TFCA Kalimantan—juga dijalankan oleh sebagian besar mitra—atau sebanyak 75 %. Menilik dominasi mitra pada kedua fokus intervensi tersebut—TFCA Kalimantan telah memilih dan berada pada jalur yang tepat (on the right track) di dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati pada wilayah Heart of Borneo (HoB) dan Program Karbon Hutan Berau (PKHB). Upaya peningkatan mata pencaharian (livelihood) yang dapat secara nyata dirasakan oleh masyarakat— berpotensi memberikan jaminan pada keberlanjutan perlindungan keanekaragaman hayati. Tujuan ke tiga atau upaya-upaya penurunan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan—didukung oleh setengah jumlah mitra—dengan dominasi pada Kabupaten Berau. Namun demikian, tidak satu pun mitra yang tercatat berkontribusi pada pemenuhan indikator ke empat dari tujuan ke tiga Program TFCA Kalimantan—berupa #Tambahan luasan (hektar) hutan produksi yang dikelola untuk tujuan konservasi di Kalimantan. Tujuan ke empat atau pertukaran ide dan berbagi pengalaman—memiliki dukungan paling minim dari mitra-mitra yang terlibat di dalam pelaksanaan Program TFCA Kalimantan. Tercatat 9 (sembilan) mitra atau sebesar 38 %—bekerja pada fokus intervensi tersebut— dengan dominasi pada pencapaian indikator ke dua—berupa # Dokumen petikan pembelajaran, praktik pengelolaan terbaik yang didokumentasikan berdasarkan pelaksanaan proyek, dan artikel jurnal yang berhubungan dengan proyek TFCA Kalimantan.
Gambar 3.2. Diagram Kontribusi Output Terhadap Pencapaian Tujuan Program TFCA Kalimantan
[26]
Sementara itu, berdasarkan kontribusi output yang dihasilkan oleh mitra—tujuan pertama Program TFCA Kalimantan memperoleh proporsi 25 %. Setidaknya 32 output—yang berasal dari 18 mitra—berkontribusi pada upaya perlindungan keanekaragaman hayati di wilayah target Program TFCA Kalimantan. Sumbangan output bagi pencapaian tujuan ke dua pun tercatat paling tinggi—yakni sebesar 30 %. Setidaknya 38 output—yang berasal dari 22 mitra—memberikan dukungan pada upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat. Dominasi kontribusi output pada pencapaian kedua tujuan tersebut—menegaskan bahwa TFCA Kalimantan sangat kuat menerapkan strategi perlindungan keanekaragaman hayati tanpa menegasikan upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat.
3.1.2 Relevansi dengan Isu lain a.
Relevansi Gender Dan Inklusi Sosial
Analisis relevansi gender dan inklusi sosial ini perlu diletakkan dalam kerangka program TFCA Kalimantan. Pendekatan ini membantu meminimalkan risiko bahwa gender sering hanya dianggap sebagai tempelan ataupun tambahan, yang tidak berkorelasi dengan pencapaian tujuan besar dari program. Dalam program TFCA, beberapa praktek baik yang menunjukkan posisi penting dari prinsip kesetaraan dan keadilan gender ini bisa dilacak pada beberapa hal berikut ini: Rumusan kebijakan dan prinsip tentang kesetaraan gender dan inklusi sosial telah dihasilkan dan menjadi rujukan dalam pengembangan dan implementasi program TFCA. Dokumen yang menjadi rujukan di sini adalah dokumen Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan. Salah satu kebijakan TFCA adalah bahwa setiap penerima hibah harus memiliki praktek terbaik, standar dan kebijakan pengaman sosial dan lingkungan, termasuk untuk mendorong kesetaraan gender dan iklusi sosial. Praktik terbaik, standar, dan kebijakan pengaman itu harus dimuat didalam Perjanjian Penerimaan Hibah Dalam proses pengembangan program, ketika sebuah lembaga mengajukan usulan proposal, template yang dipergunakan dalam pengajuan proposal juga mencakup bagian dimana grantee diminta untuk menjelaskan, bagaimana usulan program yang diajukan oleh grantee memperhitungkan aspek kesetaraan gender. Namun demikian, praktek dari kebijakan terkait gender dan inklusi sosial yang sudah cukup kuat ini, memiliki implikasi yang beragam pada level pengembangan dan implementasi program di tingkat mitra. Analisa tentang sejauh mana integrasi gender dan sosial inilah yang diuraikan dalam sub bab ini. Bagian ini diawali dengan melihat, sejauh mana relevansi gender terhadap tujuan dan indikator program TFCA Kalimantan, dan melihat, apa sajakah isu-isu gender [27]
yang ada dan perlu menjadi catatan dalam pengembangan dan implementasi program TFCA. Matriks Isu-isu Gender Kunci terkait Tujuan TFCA Kalimantan Tujuan TFCA Kalimantan 1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal
Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan
Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai
Isu-isu Gender Kunci Akses: Terbatasnya akses perempuan dan masyarakat adat terhadap keanekaragaman hayati hutan. Hal ini diperkuat dengan rendahnya pengakuan dan dukungan bagi pengetahuan perempuan dan masyarakat adat yang sebetulnya memiliki peran penting dalam memastikan perlindungan dan keberlanjutan keanekaragaman hutan Partisipasi dan kontrol: Partisipasi dan kontrol perempuan dan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan terkait hutan sangat terbatas. Perempuan sering tidak nampak, bahkandi dalam kelembagaan yang memperjuangkan kelola sumber daya hutan berbasis masyarakat. Hal ini terjadi karena rendahnya keterwakilan perempuan atau anggapan cukup diwakili laki-laki sebagai kepala keluarga. Sementara masyarakat adat, sering terpinggir dalam proses kebijakan karena tidak dianggap memiliki cukup pengetahuan dan berkontribusi untuk kelola sumber daya hutan Manfaat: Rusaknya sumber daya dan keanekaragaman hayati memiliki dampak berarti bagi kehidupan masyarakat adat dan perempuan serta anak-anak dan lansia. Hal ini karena masyarakat adat memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber daya hutan. Sementara bagi perempuan, hal ini karena perempuan seringkali memegang peranan kunci dalam peran merawat kehidupan, seperti memastikan asupan pangan, ketersediaan air bersih, atau perawatan bagi keluarga yang sakit. Dalam situasi rendahnya akses dan kontrol masyarakat adat dan perempuan terhadap sumber daya hutan, dampak yang berlapis dari kerusakan sumber daya hutan menjadi persoalan harian yang nyata bagi perempuan dan masyarakat adat Akses Akses kepada pasar bagi produk-produk yang dihasilkan perempuan, dan masyarakat adat/ sekitar hutan, menjadi satu masalah klasik. Hal ini diperparah dengan akses kepada teknologi dan juga keuangan/ modal yang lebih terbatas. Partisipasi & Kontrol Sebetulnya, perempuan memiliki andil besar di dalam aktivitas ekonomi terkait pengelolaan sumber daya hutan. Namun masalahnya, ketika sampai pada posisi penentu pengambilan keputusan, proses peminggiran kerapkali terjadi. Sedangkan bagi masyarakat adat, kerusakan hutan juga mempersempit ruang gerak dan opsi ekonomi yang bisa dikelola oleh masyarakat adat/ sekitar hutan. Terlebih dalam kelembagaan untuk aktivitas ekonomi terkait pengelolaan sumber daya hutan, ruang mereka menjadi semakin sempit. Manfaat. Tanpa memastikan keterlibatan dan kontrol perempuan dan masyarakat adat/sekitar hutan dalam kebijakan terkait dengan hutan dan livelihood, kerusakan hutan berimplikasi serius pada kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan perempuan serta masyarakatadat/masyarakat sekitar hutan. Hal ini makin kuat terjadi manakala konversi hutan untuk aktivitas ekstraktif berjalan dengan laju yang kencang, yang membuat hancurnya sumber-sumber pendapatan dan penghidupan perempuan dan masyarakat adat/ sekitar hutan menjadi tak terhindarkan. Akses. Terbatasnya akses perempuan dan masyarakat adat terhadap berbagai upaya penghutanan kawasan non hutan untuk penyimpanan karbon Partisipasi dan Kontrol. Rendahnya keterlibatan dan keterwakilan perempuan dan masyarakat adat
[28]
pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+
dalam posisi kunci pengelolaan hutan lindung dengan stok karbon tinggi dengan ancaman yang tinggi atau menengah.
Akses Akses perempuan dan masyarakat adat terhadap proses pembelajaran yang bertumpu pada exchange learning antar komunitas masih terbatas Partisipasi dan Kontrol Rendahnya pengakuan dan penghargaan terhadap pengetahuan dan kontribusi perempuan dan masyarakat adat/ sekitar hutan dalam praktekpraktek pengelolaan sumber daya hutan
Dengan melihat matriks di atas, dalam memastikan pencapaian keempat tujuan program TFCA, gender menjadi isu yang sangat penting. Hal ini karena, ketidakperhatian pada penyelesaian isu-isu gender yang diuraikan di atas, bisa berimplikasi pada kegagalan pencapaian tujuan program TFCA secara keseluruhan. Di sini, gender bukan hanya isu tempelan saja, karena menjadi nafas yang penting diperhatikan guna memastikan pencapaian tujuan program TFCA Kalimantan ini. Gender dalam Design dan Implementasi Program TFCA Kalimantan Beberapa intervensi yang dilakukan grantee untuk menjawab isu-isu gender pada masing-masing tujuan program TFCA antara lain adalah: Tujuan TFCA Kalimantan 1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal
Intervensi Program untuk Menjawab Isu Gender Akses: Memperluas akses, misalnya dengan peningkatan kapasitas untuk perempuan dan masyarakat adat terkait dengan pengetahuan baru, seperti teknologi dan revitalisasi pengetahuan lokal yang berkontribusi penting dalam upaya menjaga lingkungan. Intervensi ini tergambar dalam program yang dilakukan oleh ASPPUK di Kapuas Hulu yang menggali kembali pengetahuan, penanaman dan pengolahan pewarna alam bagi perempuan pengrajin tenun. Revitalisasi dan penguatan pengetahuan perempuan dan masyarakat adat dalam kelola hutan, seperti menggali pengetahuan lokal tentang tanaman pewarna alam, ataupun konservasi sumber air dan tanaman hutan, seperti yang dilakukan oleh… Partisipasi dan kontrol: Mendorong keterwakilan perempuan dalam kelembagaan untuk kelola hutan berbasis masyarakat. Keterwakilan yang didorong memang masih cenderung keterwakilan deskriptif dan belum semua perempuan yang berada dalam posisi kunci berhasil membawa isu dan agenda perempuan, namun hal ini
[29]
merupakan proses dan upaya yang dilakukan merupakan salah satu terobosan penting. Mendorong keterwakilan perempuan dalam kelembagaan sosial seperti di tingkat kampung untuk mengawal usulanusulan perempuan. Misal, keterwakilan perempuan di tim 11 untuk pembahasan RPJMK di kampung Teluk Semanting dan Pegat Batumbuk yang difasilitasi oleh FLIM Contoh lain adalah upaya Lekmalamin yang memfasilitasi FGD terpisah khusus untuk perempuan dalam pembahasan lahan dan kawasan hutan desa di Biduk-biduk, Berau. Hal ini menjadi solusi yang dianggap efektif karena dalam berbagai pertemuan, perempuan cenderung pasif Di Kapuas Hulu, Lanting Borneo memfasilitasi dan mendorong masuknya perempuan dalam kelembagaan masyarakat untuk memperjuangkan Wilayah Kelola Masyarakat Adat di desa Malemba. Perempuan juga terlibat dalam rapat desa untuk pengambilan kebijakan kampung. Cairnya ruang sosial ini salah satunya dipengaruhi dengan budaya setempat di mana semua keluarga menjadi satu dalam rumah panjang (Rumah Bedang) yang membuat interaksi antar individu termasuk perempuan sangat kuat. Di dalam program yang difasilitasi SAMPAN, LPHD Desa Bahenap dipimpin oleh seorang remaja. Program juga mendorong aturan tentang keharusan keterlibatan perempuan dalam rapat desa, dam dukungan bagi peran setara laki-laki dan perempuan dalam kelompok masyarakat. Manfaat: Akomodasi aspirasi dan kebutuhan perempuan dan masyarakat adat dalam penentuan keputusan dan kebijakan desa terkait sumber daya hutan, khususnya dalam RPJMK. Di kampung Pegat-Batumbuk yang difasilitasi FLIM misalnya, perempuan juga mengajukan usulan dalam visi kolektif kampung untuk pengelolaan kawasan mangrove Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan
Akses -
Peningkatan kapasitas bagi kelompok perempuan melalui rangkaian pelatihan untuk peningkatan ekonomi perempuan ramah lingkungan, seperti pelatihan pembuatan produk daur ulang yang dilakukan oleh OWT di Merapun, Berau. Juga kegiatan peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan yang dilakukan oleh JALA di Tanjung Batu, Berau. Dukungan bagi perluasan akses pasar, melalui branding dan packaging produk-produk yang dihasilkan oleh perempuan Perluasan akses permodalan dan pasar melalui kelembagaan koperasi perempuan. Hal ini dilakukan oleh ASPPUK di kabupaten Kapuas Hulu ke kelembagaan keuangan di tingkat kampung (Badan Usaha Milik Kampung) melalui skema berkelompok Partisipasi & Kontrol: Penguatan kelompok perempuan, melalui mekanisme berkelompok untuk penguatan ekonomi perempuan. Hal ini sebagai contoh, dilakukan oleh FLIM di Pegat – Batumbuk, Berau, ataupun ASPPUK di Kabupaten Kapuas Hulu Keterlibatan perempuan dan kaum muda dalam kelembagaan pengelolaan usaha berbasis komunitas, seperti yang dikelola melalui skema BUMK. Hal ini telah diinisiasi oleh JALA di kampung Tanjung Batu, Berau Advokasi kepada kebijakan di tingkat kampung untuk mendorong peran kelembagan BUMK dan dukungan kebijakan
[30]
Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+
dan pendanaan kampong. Upaya ini dilakukan oleh FLIM di Pegat-Batumbuk, Berau dan juga JALA di kampung Batu, Berau Masuknya perempuan dalam kelembagaan kelompok untuk pengelolaan hasil hutan khususnya madu yang difasilitasi oleh AOI di kabupaten Kapuas Hulu Manfaat: Peningkatan pendapatan dan diversifikasi sumber penghidupan bagi perempuan melalui usaha-usaha ekonomi ramah lingkungan. Contohnya adalah program untuk peningkatan pendapatan perempuan melalui pembuatan dan penjualan produk daur ulang oleh OWT di Merapun, Berau Peningkatan pendapatan perempuan melalui usaha kelompok juga difasilitasi antara lain oleh PEKA di Bidul-biduk, Teluk Sulaeman, dan Giring-giring di kabupaten Berau Peningkatan nilai tambah produk lokal melalui dukungan pelatihan dan teknologi tepat guna, misalnya untuk pembuatan dan pemanfaatan pewarna alam untuk tenun yang dilakukan oleh ASPPUK di Kapuas Hulu Peningkatan ekonomi perempuan melalui usaha bersama kelompok dalam pengembangan makanan olahan lokal yakni gemi cempa atau abon ikan yang dilakukan oleh Lekmalamin di Biduk-Biduk, Berau Peningkatan pendapatan perempuan dari aktivitas pengolahan pasca panen untuk madu hutan, yang difasilitasi oleh AOI di kabupaten Kapuas Hulu Partisipasi dan kontrol: Keterlibatan perempuan dalam kegiatan penanaman kembali hutan atau rehabilitasi lahan kritis. Beberapa mitra seperti JALA di Berau dan Lanting Borneo di Kapuas Hulu ataupun SAMPAN di belum melakukan kegiatan rehabilitasi lahan kritis, namun dalam proses perencanaan, mereka mendesign proses ini juga melibatkan perempuan di dalamnya. Manfaat: Manfaat dari kegiatan rehabilitasi lahan termasuk dalam rehabilitasi sumber air dan juga kesehatan lingkungan dan komunitas. Hal ini masih menunggu hasil dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi pada point sebelumnya. Akses dan partisipasi Melibatkan perempuan dalam kegiatan pembelajaran lintas komunitas terkait dengan praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kegiatan exchange learning yang difasilitasi oleh FLIM untuk komunitas Semanting melibatkan beberapa perempuan di dalamnya
Catatan lainnya juga perlu dilihat dalam kaitan dengan peta relevansi proyek grantee terhadap tujuan program TFCA Kalimantan. Peta relevansi terkait dengan relevansi program grantee terhadap 4 tujuan TFCA menunjukkan bahwa separuh dari jumlah mitra berkontribusi untuk pencapaian tujuan ke-2, yaitu meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi [31]
rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan. Catatan evaluasi menunjukkan, bahwa pada pencapaian tujuan ke-2 ini, mayoritas grantee memfokuskan intervensi programnya pada kelompok perempuan. Hal ini bisa memiliki makna positif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam sumber daya program, dan menguatkan catatan penting tentang keberhasilan program pemberdayaan ekonomi yang menyasar perempuan. Melihat beragam intervensi yang dilakukan oleh grantee, secara umum, karakter dari intervensi gender di dalam program TFCA antara lain adalah: Intervensi di lakukan, namun analisa gender secara komperhensif untuk memetakan isu gender dan gender strategi dalam program, masih sangat terbatas dilakukan oleh grantee. Dalam dokumen proposal grantee terutama di bagian tentang bagaimana proyek mendorong kesetaraan gender, kebanyakan grantee tidak melakukan elaborasi tentang apa sajakah isu gender yang dihadapi dan apakah strategi yang dipakai untuk menjawab isu gender tersebut. Strategi mainstreaming gender masih lebih kental di pahami sebagai mendorong partisipasi/ keterlibatan perempuan dalam kegiatan. Terdapat pemahaman yang kuat, bahwa inilah satu yang paling penting (dan bahkan mungkin dianggap sebagai cara tunggal) untuk mendorong mainstreaming gender dalam program. Sebagian grantee sudah bergerak lebih maju dengan juga mendorong masuknya perempuan dalam wilayah yang lebih strategis dalam pengambilan keputusan, namun yang melakukan inisiatif ini, jumlahnya masih sedikit. Tidak semuanya merupakan intervensi yang bersifat programatik. Terdapat grantee yang di dalam design dan dokumen proyek tidak mengisi bagian tentang analisa gender dan sosial, namun dalam implementasi di lapangan, sangatlah menekankan keterlibatan perempuan dan mendorong kepemimpinan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melihat beberapa catatan tersebut di atas, evaluasi menemukan beberapa gap yang perlu menjadi perhatian ke depan dalam menguatkan strategi pengarusutamaan gender di dalam proyek, yaitu: Apakah mendorong keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan secara otomatis juga mendorong relasi gender yang lebih setara? Jawaban terhadap pertanyaan ini, selayaknya diajukan dengan mengecek kembali, apakah perubahan yang dihasilkan dari melibatkan perempuan dalam kegiatan di dalam program dari perspektif perempuan itu sendiri. Pelajaran penting dari beragam program pemberdayaan dengan melibatkan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan adalah, pendekatan ini tidak selalu berhasil, bila tidak dibarengi dengan melihat kondisi dan kebutuhan perempuan, dan di lain sisi, juga sekaligus mendorong relasi dan pembagian peran yang lebih adil antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, bilamana perempuan sudah [32]
-
-
-
sangat sibuk dengan agenda domestik, keterlibatan perempuan dalam kegiatan tanpa memperhatikan beban kerja dan kelonggaran waktu perempuan, ataupun tidak mendorong laki-laki berbagi peran domestik dengan perempuan, bisa jadi justru akan meningkatkan beban perempuan. Dalam hal ini, pengembangan dan implementasi program perlu mengkaji dan melakukan langkah perbaikan untuk menjawab, apakah yang menjadi hambatan untuk partisipasi dan keterwakilan perempuan? Tanpa menjawab pertanyaan ini, melibatkan lebih banyak perempuan bisa jadi tidak memiliki makna berarti untuk tatanan sosial yang lebih adil dan setara Bagaimana mendorong kepemimpinan perempuan yang lebih baik dalam struktur dan proses pengambilan keputusan? Hampir semua grantee menekankan partisipasi dalam kegiatan, namun ketika sampai pada isu kepemimpinan perempuan dan mempengaruhi struktur pengambilan keputusan, hanya sedikit grantee yang melakukan hal ini. Memanfaatkan peluang dengan perubahan kelola di tingkat lokal dimana kencang berhembus gagasan pentingnya keterlibatan dan kepemimpinan perempuan. Salah satu angin perubahan yang penting untuk dilihat adalah dengan tata kelola di tingkat desa dengan implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang desa, yang banyak memberi peluang dengan penekanan keterlibatan dan keterwakilan perempuan. Peluang ini bisa menstimulasi dan mengakselerasi upaya mendorong kesetaraan dan keadilan gender di dalam program. Gender seharusnya tidak diidentikkan dengan perempuan. Dalam proyek, penting untuk juga mengelaborasi, bagaimana dukungan dari kelompok arus utama (laki-laki) yang memiliki posisi menentukan dan berpengaruh untuk mendorong praktek kesetaraan dan keadilan gender. Secara strategis, keterlibatan dan dukungan laki-laki juga menjadi penting karena mereka lah yang banyak memegang posisi penentu kebijakan, dan dalam kerangka yang lebih luas, hal ini juga sejalan dengan ide gerakan mendorong kesetaraan dan keadilan di mana perubahan relasi sosial membutuhkan dukungan dan kontribusi baik laki-laki maupun perempuan. Selain keterlibatan, upaya ini juga bisa dilakukan melalui mengakomodasi kepentingan laki-laki dengan menjawab isu gender yang dihadapi oleh laki-laki, misalnya besarnya risiko terkait dengan peran mencari nafkah yang secara sosial, menjadi peran yang melekat pada laki-laki.
b. Relevansi Program Mitra TFCA Kalimantan pada Pembangunan Ekonomi Hijau (Green Economy) di HOB Wilayah HOB memiliki potensi ekonomi yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan serta potensi ekonomi non ekstraktif seperti jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Wilayah HOB
[33]
mencakup sekitar 23 juta hektar. Selain menopang ekonomi, wilayah HOB ditujukan untuk menjadi basis konservasi di Kalimantan, Malaysia dan Brunei Dasrussalam. Ekonomi Hijau yang difokuskan pada wilayah HOB mendasarkan pada 3 prinsip yaitu rendah emisi (low emission), efisiensi sumberdaya (natural resourcess efficiency) dan keterlibatan masyarakat (social inclusive). Prinsip – prinsip tersebut terkait dengan instrumen-intrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan hidup yang tersebut dalam UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan implementasi baik di tingkat operasional seperti perencanaan tata ruang, pembentukan kawasan industri terpadu, insentif praktek terbaik bagi kehutanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan serta pengembangan energi terbarukan. Selain itu dibutuhkan juga pada tingkat sektoral seperti lisensi sertifikasi ISPO, HCVF, SVLK dan PHPL yang membatasi ruang ekstraksi pada perkebunan dan kehutanan. Termasuk didalamnya adalah pemanfaatan HHBK dan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL). Dengan demikian, dampak ekonomi sekaligus keberlanjutan sumberdaya hutan mampu berjalan dengan baik. Beberapa mitra pelaksana program TFCA Kalimantan telah memulai mendorong jenis – jenis investasi masyarakat yang berwujud investasi hijau (green investment) pada sektor kehutanan, pertanian dan perikanan – peternakan sesuai dengan dimensi yang disasar. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan aplikasi bagi setiap lembaga yang akan menjadi mitra program TFCA Kalimantan pada dokumen Kebijakan Prosedur Penyaluran Hibah pada item 2.3 Kegiatan yang dapat didanai. Hal tersebut menunjukkan konsern yang terfokus dari program TFCA Kalimantan untuk mengakomodasi kegiatan – kegiatan yang memiliki afiliasi terhadap green economy meskipun lebih pada tingkatan basis lahan (land base). Sedangkan pada tingkatan energi, TFCA Kalimantan tidak memberikan dukungan. Hal penting yang kemudian tidak mendapat fasilitasi dari adanya program TFCA adalah fasilitasi – fasilitasi yang dimungkinkan dapat dibangun untuk menjembatani alokasi – alokasi dana untuk kegiatan lingkungan hidup dan perubahan iklim (GCF – Green Climate Funds) yang saat ini telah banyak didorong oleh perbankan dan perusahaan. Beberapa jenis pendanaan hijau yang dijalankan antara lain : CSR dan Dana Reboisasi. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memiliki pendanaan hijau dengan skema tunda tebang, penanaman dan perawatan lahan kritis, simpan – pinjam kelompok yang berbentuk pinjaman sangat lunak berjangka waktu 8 tahun. Sistem peminjaman adalah dengan agunan berbentuk pohon yang saat ini ditangani oleh Badan Layanan Umum milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Fasilitasi yang dilakukan program dapat berupa workshop ataupun kegiatan sejenisnya untuk membuka akses mitra pelaksana dan penerima manfaat terhadap dukungan – dukungan pendanaan hijau yang umumnya memiliki home base di Jakarta. Hal tersebut dapat menjadi jalan terbaik bagi keberlanjutan program di tingkat tapak termasuk sebagai konsekuensi atas kebijakan [34]
perdagangan karbon yang terhenti. Mekipun demikian, terdapat mitra – mitra yang melakukan uji coba pada pelaksanaan perdagangan karbon seperti halnya yang dijalankan oleh Perkumpulan Payo-Payo di dalam rancangan kegiatannya. Mitra program TFCA Kalimantan dalam menjalankan programnya terutama pada lokus HOB memiliki panduan untuk membangun programatik yang berkorelasi dengan pembangunan ekonomi hijau. Untuk mengukur tingkat relevansi program yang dijalankan oleh mitra TFCA yang berkontribusi pada pembangunan hijau maka digunakan prinsip-prinsip ekonomi hijau diperbandingkan dengan target-target sampai dengan capaian / realisasi yang dirancang dan telah dijalankan oleh mitra TFCA Kalimantan. Hasil analisis secara umum dari mitra TFCA yang bekerja di Kalimantan Barat disajikan pada tabulasi sebagai berikut: No. 1
Indikator Implementasi Ekonomi Hijau Rendah emisi (low emission)
Capaian/Kegiatan Program yang Berkaitan dengan Pencapaian Indikator Green Economy
2
Efisiensi sumber daya (efficiency of resources)
3
Keterlibatan sosial (social engagement)
Model-model pengembangan ekonomi berbasis komoditas perkebunan dan pertanian yang dijalankan Pengembangan teknologi pertanian ramah lingkungan seperti pupuk organik Tambahan luasan hutan (rehabilitasi, agroforestry) Proteksi kawasan (DAS, Tembawang, Kawasan Kelola, Koridor Satwa) Bisnis – bisnis masyarakat berbasis HHBK (Madu, kopi, karet, tengkawang Efisiensi lahan pemukiman dan ladang dengan usaha produktif seperti sayuran, ikan, jahe. Perhutanan sosial dalam bentuk hutan desa Ekowisata berbasis komunitas Baseline sumberdaya hutan Luasan lahan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat secara efektif dan berkelanjutan Perencanaan – perencanaan pembangunan desa yang mengakomodir kegiatan terkait perlindungan lingkungan hidup dalam rancangannya. Peningkatan nilai tambah produk seperti pengemasan madu dan pembuatan keripik pisang Terbentuknya kelompok tani, kelompok usaha perempuan, kelompok usaha HHBK, Koperasi usaha masyarakat Pengakuan Periau sebagai kelompok sosial oleh pemerintah daerah Terbentuknya 7 LPHD Pemetaan partisipatif (Batas desa, Lokasi rehabilitasi, Kawasan lindung masyarakat) Dukungan pemerintah daerah dalam kebijakan dan fasilitasi perijinan pengelolaan
Pengembangan Ekonomi Rendah Emisi Dalam pelaksanaan program TFCA Kalimantan, mitra – mitra TFCA mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang diorientasikan pada ekonomi rendah emisi yang diakomodasikan dalam bentuk-bentuk teknis yang dijalankan oleh masyarakat. [35]
Capaian penting pada prinsip pertama ekonomi hijau diwujudkan dalam aktvitasaktivitas ekonomi yang berkontribusi pada peningkatan serapan karbon dalam bentuk penambahan luasan lahan hutan (rehabilitasi lahan, pengkayaan tanaman, konservasi DAS) ataupun pengembangan tanaman perkebunan rakyat seperti pengusahaan kopi, perbaikan tanaman karet serta komoditas lain yang sejenis. Selain itu, mitra-mitra TFCA juga mengembangkan fasilitasi untuk perlindungan kawasan lindung, DAS dan hutan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan serapan karbon. Beberapa mitra juga mengembangkan pendekatan untuk pengurangan emisi akibat pemakaian pupuk an organik dan pestisida kimia dengan model pertanian berbasis organik. Implementasi dari kegiatan tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Effisiensi Sumberdaya Alam Sebagai pendukung sektor riil masyarakat, umumnya mitra-mitra melakukan kegiatan teknis baik dalam tataran demonstrasi, fasilitasi teknis dan penyuluhan serta bantuan permodalan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi berbasis pemanfaatan sumberdaya alam. Tipe umum produksi masyarakat yang menjadi obyek intervensi oleh mitra adalah berbasis komoditas seperti karet, kopi, tengkawang, sayuran serta pemanfaatan jasa lingkungan seperti ekowisata. Beberapa mitra telah melakukan intervensi bahkan hingga pada tataran pasar pada produk-produk komunitas seperti yang dijalankan oleh Sampan dan PRCF untuk lemak tengkawang atau yang dijalankan oleh Warsi dan Kompakh untuk ekowisata berbasis adat dan landscape serta kerajinan oleh Yayasan Diantama Beberapa mitra juga mengusahakan untuk melakukan fasilitasi bagi masyarakat dalam hal hak dan akses kelola hutan negara dalam bentuk perhutanan sosial terutama untuk skema Hutan Desa seperti yang dijalankan oleh Sampan, PRCF, Warsi. Terdapat mitra TFCA Kalimantan yang turut membangun added values bagi produk-produk seperti yang dilakukan oleh Warsi dan Dian Tama. Selain itu, beberapa mitra dalam program yang dijalankan juga membangun base data mengenai keanekaragaman hayati yang dijalankan dengan metode penilaian HCVF (PRCF) ataupun dengan metode inventarisasi hutan ( Sampan, AOI, ASSPUK, Lanting Borneo, BIOMA, FORINA dan Gemawan). Dalam melakukan efisiensi kebun pekarangan atau lahan sekitar pemukiman, mitra TFCA melakukan intervensi dalam bentuk fasilitasi-fasilitasi pengelolaan untuk mengembangkan produk atau komoditas yang memiliki ceruk pasar lebar. Jenis – jenis yang dikembangkan dalam peningkatan ekonomi pekarangan tersebut lebih banyak berbentuk sayuran, Jahe, Sahang (Gemawan, Sampan) namun ada juga yang dijalankan dengan mengembangkan perikanan darat seperti yang dicapai oleh Sampan. Terdapat mitra yang memiliki spesifikasi untuk mengembangkan produk HHBK khusus seperti Madu (AOI) dan Pewarna alami (ASSPUK). Namun secara
[36]
umum, orientasi dukungan mitra TFCA Kalimantan untuk masyarakat lebih banyak untuk penguatan produk dan pemasaran HHBK dalam aneka ragam bentuknya. Keterlibatan Sosial Dalam merancang dan mengimplementasikan programnya, seluruh mitra TFCA Kalimantan berpedoman pada metode partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan. Pelibatan tersebut ditujukan pada optimalisasi capaian yang hendak dituju yaitu masyarakat sebagai penerima manfaat. Selain itu pelibatan di tingkat pemangku kepentingan lain baik Pemerintah Daerah tingkat kabupaten dan tingkat Propinsi ditujukan untuk melakukan intervensi skema pembangunan dan jaminan program yang dijalankan mendapatkan perhatian dan keberlanjutan pada masa selanjutnya. Pihak – pihak pemerintah yang terlibat dalam kegiatan mitra TFCA Kalimantan mulai dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Tata Ruang, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Penyuluh Pertanian dan Kehutanan, BAPPEDA hingga pada tataran DPRD dan Bupati. Capaian dari mitra yang dapat dijumpai sebagai fakta dari proses fasilitasi dan pelembagaan komunitas barupa terbangun dan berkembangnya kelompokkelompok tani, kelompok pembibitan/rehabilitasi, kelompok usaha perempuan, kelompok HHBK, Koperasi dan kelompok usaha madu (periau). Selain itu proses kelembagaan yang dikembangkan oleh mitra – mitra TFCA juga mengakses pada tingkatan lembaga desa dengan terbangunnya perencanaan desa, perencanaan kelola hutan, perencanaan kelola periau, penetapan kawasan rehabilitasi hingga terbentuknya peraturan desa dan integrasi pengelolan lingkungan dalam RPJM Desa. Untuk melihat spesifik relevansi pembangunan hijau maka dijalankan analisa keterkaitan dengan Dimensi ekonomi hijau di Kalimantan Barat yang disajikan dalam tabel sebagai berikut: Dimensi / Dimension
Kegiatan Ekonomi Hijau / Green Economy Activities
Tata Ruang / Spatial layout plan
Finalisasi RTRW, hutan kemasyarakatan dan perlindungan daerah tangkapan air, terutama di kabupaten konservasi / Finalization of the province’s Regional Spatial Layout Plan (RTRW), community forestry and province’s Regional Spatial Layout Plan (RTRW), community forestry and protection of water catchment areas, especially in conservation districts Perlindungan flora dan fauna, keterhubungan seluruh kawasan proteksi / Protection of flora and fauna, connectedness of the entire protection areas Pelaksanaan RIL, sertifikasi SFM, restorasi areal konsesi hutan yang rusak / Implementation of RIL, SFM certification, restoration of damaged forest concession areas
Kawasan Proteksi / Protected areas Kehutanan / Forestry
[37]
Perkebunan Sawit / Oil palm plantations
Ekspansi pada kawasan terdegradasi. Perkebunan lain: karet dan lada menjadi andalan masyarakat / Expansion to degraded areas; the planting of other crops such as rubber and pepper treasured as mainstay commodities by the communities
Pertambangan / Mining
Pertambangan yang bertanggung jawab, reklamasi bekas tambang (terutama batubara) / Responsible mining, reclamation of ex-mine sites (particularly coal mines)
Pertanian / Agriculture
Pengembangan food estates mengacu pada prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan / Developing food estates based on sustainable agriculture principles
Energi / Energy
Pengurangan konsumsi energi domestik, peningkatan energi alternatif dan terbarukan / Reducing domestic [fossil fuel-based] energy consumption, increasing production of alternative and renewable energy Aplikasi sistem pembayaran jasa lingkungan hidup, minimisasi erosi dan sedimentasi lahan / Implementing systems of payment for environmental services, minimizing erosion and land sedimentation Pengembangan indusri rumah tangga berbasis lidah buaya dan produk turunannya / Developing household industries based on aloe vera and its derivatives
Usaha Kehati / Biodiversity conservation Hijau Inovatif / Green innovation
Relevansi Mitra pada dimensi Tata Ruang telah dijalankan oleh beberapa mitra HOB dalam berbagai bentuk dan skala nya. Umumnya mitra TFCA melakukan intervensi terkait tata ruang untuk mendukung persoalan terkait dengan batas desa, alokasi lahan rehabilitasi, kawasan lindung masyarakat, kawasan kelola dan penetapan areal kerja perhutanan sosial. Mitra TFCA dalam melakukan pemantapan tata ruang atau yang berkontribusi pada dimensi tersebut dijalankan dengan berbagai metode baik dengan menggunakan GPS dengan ground check, penggunaan wahana tanpa awak, hingga dengan cross chek pada bagian tata ruang propinsi / kabupaten. Relevansi mitra pada dimensi kawasan lindung dijumpai pada beberapa mitra yang digunakan untuk melakukan intervensi pada konservasi hayati. Mitra – mitra yang memiliki perhatian terkait kawasan lindung antara lain Warsi, PRCF dan Sampan untuk kawasan hutan Lindung dengan skema Hutan Desa, Gemawan untuk skema perlindungan kawasan budidaya masyarakat, Lanting Borneo untuk pengembangan kawasan lindung masyarakat, AOI untuk kawasan lindung lokasi – lokasi madu hutan dan periau, FDLL untuk lokus area perlindungan DAS, ASSPUK untuk konteks perlindungan adat, Dian Tama dengan kawasan perlindungan adat, Forina yang ditujukan untuk pengembangan koridor Satwa seperti Orang Utan. Bentuk intervensi tersebut lebih banyak ditujukan untuk mengembangkan kepastian hak dan akses kelola masyarakat pada sumberdaya hutan pada masing – masing wilayah desa. Pada Dimensi terkait dengan Kehutanan, maka seluruh mitra memiliki orientasi untuk upaya pelestarian hutan. Baik yang disusun sebagai program bentuk [38]
advokasi, pelatihan maupun agroforestry. Sedangkan untuk mitra yang melakukan intervensi terkait dengan dimensi Pertambangan dan Perkebunan serta Energy maka tidak ditemukan mitra yang memiliki concern pada ketiga dimensi tersebut. Sebagian besar mitra TFCA yang bekerja pada kawasan HOB melakukan intervensi yang berkontribusi pada dimensi usaha kehati dalam bentuk pemanfaatan HHBK untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Kegiatan-kegiatan pemanfaatan HHBK yang telah dijalankandan dicapai oleh mitra TFCA baik dalam skala investasi (penanaman) maupun skala produksi seperti pengusahaan tengkawang, karet dan madu hutan. Intervensi yang dilakukan oleh mitra-mitra TFCA dalam dimensi tersebut lebih difokuskan pada revitalisasi produk HHBK untuk dapat mengakses pasar baik dalam hak kualitas, tata cara pengemasan, hingga perlakukan pemasaran produk. Sedangkan kegiatan mitra TFCA juga membangun dimensi hijau inovatif seperti industri rumah tangga, kerajinan dan usaha ekowisata berbasis masyarakat. c.
Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah—selanjutnya ditulis UU No. 23 Tahun 2014—sebagai aturan baru yang mengatur pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut melahirkan beberapa masalah pelaksanaan pemerintahan daerah antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan. Pembacaan singkat ini memfokuskan pada pasal per pasal yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan. Perihal tentang konservasi hutan diatur dalam Bab XVI tentang Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara dalam UU No. 23 Tahun 2014. Pemerintah pusat menetapkan kawasan khusus untuk penyelenggaraan fungsi pemerintahan tertentu. Salah satu kawasan khusus tersebut adalah kawasan hutan konservasi.2 Akan tetapi, keterangan hukum atas pengelolaan kawasan hutan konservasi tidak secara detil diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Konsep otonomi daerah pada pokoknya adalah membuat daerah lebih aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi—dimana lokasi hutan berada dalam wilayah administrasi pemerintah daerah—menarik pemerintah daerah lebih dalam ke aspek kewenangan pengelolaan konservasi seharusnya menjadi opsi kebijakan yang utama dari pada tidak memberi ruang atau kewenangan sama sekali bagi pemerintah daerah untuk turut serta dalam pengelolaan konservasi, sebagaiman yang berlaku saat ini. Di samping itu, kewajiban pemerintah daerah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di daerahnya, khususnya yang hidup di kawasan dan sekitar kawasan 2
Lihat Pasal 360 ayat (2) huruf c UU No. 23 Tahun 2014.
[39]
konservasi, merupakan tugas utama dibentuknya pemerintahan daerah—selain juga untuk mengurus administrasi pemerintahan. Ada tiga alasan yuridis-logis atas opsi memberikan kebijakan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi, walau kadar dan tingkat perannya sangat terbuka untuk didiskusikan. Pertama, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 mengatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Ketentuan yuridis ini menjadi basis yang logis dan rasional bahwa konstitusi memberi ruang yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Dengan demikian, pilihan untuk mengurangi—atau bahkan menghilangkan—jejak kebijakan dan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah daerah dapat dikatakan tidak sesuai dengan konstitusi, sebagai hukum dasar negara. Kedua, Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyebutkan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Landasan yuridis ini menjadi pendukung dan penjamin (back-up) atas Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Kebijakan dan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola dan turut serta dalam pengelolaan kawasan konservasi dilindungi oleh peraturan perundang-undangan—dalam hal ini adalah Peraturan Daerah atau peraturan lain dalam lingkup daerah. Sehingga opsi untuk memberikan kebijakan dan kewenangan dalam keturutsertaan pengelolaan kawasan konservasi kepada pemerintah daerah menemukan jalurnya. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 memaparkan, “Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Pasal di atas mengindikasikan bahwa urusan konservasi seharusnya tidak menjadi urusan absolut yang hanya menjadi domain pemerintah pusat,3 tetapi juga menjadi domain penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. UU No. 23 Tahun 2014 yang diberlakukan pada 2 Oktober 2014 membawa konsekuensi yang serius terkait dengan pengelolaan kehutanan. Peraturan tersebut menggeser kewenangan pengelolaan hutan yang sebelumnya berada di tangan 3
Meskipun dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 disampaikan bahwa penyelenggaraan urusan absolut dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat atau dilimpahkan ke instansi vertikal yang ada di daerah atau ke gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi.
[40]
kabupaten beralih ke tangan provinsi. Pemerintah kabupaten/kota hanya diberikan kewenangan pengelolaan taman hutan raya. Terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 membuat mitra pelaksana program TFCA mengubah pendekatannya. Misalnya, Gemawan melakukan pendekatan pengawalan kebijakan ke provinsi untuk perlindungan wilayah kelola yang prinsipnya adalah perlindungan kawasan budidaya masyarakat dari konsesi perkebunan atau tambang. Lanting Borneo, Sampan FDLL, dan PRCF lebih memproyeksikan pendekatan ke provinsi untuk mengawal kebijakan tentang perhutanan sosial. Tabel 3.2. Perubahan Kebijakan Mitra terkait Pemberlakuan UU No. 23/2014 Mitra Gemawan
Perhatian Isu Kawasan kelola masyarakat
Lanting Borneo
Perhutanan sosial
Sampan
Perhutanan sosial
FDLL
Perhutanan sosial
PRCF
Perhutanan sosial
Keterangan Menggagas perlindungan kelola masyarakat ke provinsi dengan tujuan peraturan daerah tentang perlindungan wilayah kelola kawasan budidaya masyarakat dari konsesi perkebunan atau tambang Mendapatkan dukungan provinsi dan bersinergi dengan kebijakan pemerintah provinsi Mendorong pemerintah provinsi dalam menyusun tata ruang desa diselaraskan dengan kepentingan masyarakat setempat Mendapatkan dukungan kebijakan dari pemerintah provinsi untuk penanaman vegetasi Mendesak pemerintah provinsi Menyelesaikan tumpang tindih perizinan
Selanjutnya, UU No. 23 Tahun 2014 juga menyebabkan pemerintah kabupaten tidak cukup leluasa untuk melakukan pengawasan kehutanan. Posisi provinsi yang relatif jauh dari lokasi hutan mengakibatkan gerak provinsi yang terbatas. Di sisi lain, kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan atas pengawasan kehutanan. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 dengan kata lain membuat pemerintah kabupaten menjadi “mati suri” atas pengawasan kehutanan. Koordinasi tidak cukup cepat dilakukan dalam mendukung pelaksanaan pengawasan kehutanan. Dinas Kehutanan Kabupaten tidak lagi memiliki cukup anggaran untuk melaksanakan kewenangan di bidang kehutanan pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014. Misalnya, program hutan desa yang telah dicanangkan pada 2014 oleh pemerintah kabupaten melalui Surat Keputusan Bupati pada 2015, tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal karena tidak tersedianya anggaran. Tidak adanya anggaran disebabkan oleh pencabutan kewenangan kabupaten akibat diterbitkannya UU No. 23 Tahun 2014.4 Keberadaan program TFCA sangat membantu dalam menutup sebagian anggaran kabupaten yang tidak tersedia di sektor kehutanan. 4
Hasil Wawancara dengan Ibu Krista Tala, Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan Kutai Barat, 21 Juli 2016.
[41]
Isu adanya eksodus PNS Dinas Kabupaten ke provinsi—karena kewenangan kabupaten yang ditarik provinsi—membuat PNS Dinas Kehutanan Kabupaten tidak fokus bekerja. Ditambah dengan beredarnya informasi bahwa hanya PNS kabupaten bergelar Sarjana Kehutanan saja yang dapat ditarik ke provinsi semakin memproduksi pelemahan kinerja PNS Dinas Kehutanan.5 Inilah yang disebut “mati suri” Dinas Kehutanan Kabupaten akibat pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014. Dinas Kehutanan juga membentuk panitia persiapan untuk mengawal sektor kehutanan, khususnya pemberlakuan program hutan desa, namun hasilnya tidak tidak tentu. Mengingat Kabupaten hanya menjadi subordinat dari provinsi dalam kewenangan kehutanan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014. Dinas Kehutanan juga terkesan lambat merespon pengawasan kehutanan karena merasa tidak memiliki kewenangan lagi setelah dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2014.6 Pendek kata, kabupaten seperti dirugikan dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014. Di sisi yang lain, meskipun diterbitkan UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi juga mengalami kendala dalam merespon pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014. Kendala utama di lingkup manajemen dan pengawasan. Tidak mudah menampung PNS kabupaten dinas kehutanan ke provinsi karena harus disesuaikan kembali dengan beban analisis kerja bagi satuan kerja perangkat daerah. Alhasil, susunan Dinas Kehutanan provinsi harus dirombak terlebih dahulu untuk menfasilitasi masuknya PNS Dinas Kehutanan Kabupaten. Kebijakan pengawasan kehutanan juga menjadi masalah dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014. Jarak yang jauh dari lokasi hutan membuat Dinas Kehutanan Provinsi harus mengatur pola pengawasan dengan cermat. Hal ini dapat diatasi hanya jika Dinas Kehutanan Provinsi mau mendelegasikan kewenangannya ke kabupaten. Sayangnya hal demikian tidak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. Meski demikian, tidak tampak usaha dari Kabupaten Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Berau untuk melakukan uji materi Undang-Undang 23 Tahun 2014—khususnya sektor kehutanan, seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa kabupaten dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia/APKASI, seperti Aceh Tengah, Tapanuli Selatan, Lampung Timur, Lampung Selatan, Cilacap, Banjarnegara, dll. Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 belum menghapus aturan pelaksana dari undangundang tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Artinya, ada celah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten dalam mengelola hutan di tengah keberlakuan UU No. 23 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota— selanjutnya ditulis PP No. 38 Tahun 2007—sebagai aturan pelaksana dari UU No. 32 Ibid. Hasil Wawancara dengan Bapak Edy Supian, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, Dinas Kehutanan Kutai Barat, 21 Juli 2016. 5 6
[42]
Tahun 2004 (undang-undang pemerintahan daerah sebelum UU No. 23 Tahun 2014) memberi ruang kewenangan kepada pemerintah kabupaten dalam urusan pengelolaan hutan. Misalnya, lampiran PP No. 38 Tahun 2007 bagian AA. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan sub bidang Rencana Pengelolaan Dua Puluh tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), menunjukkan kewenangan pemerintah kabupaten sebagaimana pada tabel di bawah ini: Tabel 3.3. Pembagian Bidang Menurut PP No. 38 Tahun 2007 Sub bidang Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (jangka panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
Sub sub bidang
Pemerintah
Provinsi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Kabupaten Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Demikian, ada gap atau jarak antarperaturan perundang-undangan yang disebabkan oleh terbitnya sebuah peraturan perundang-undangan. Khusus untuk pemerintah kabupaten, kemungkinan akan muncul post kewenangan sehingga beberapa urusan—atau pertimbangan teknis—yang berkaitan dengan pengelolaan hutan konservasi tidak menemukan hasilnya. Bahkan paling parah adalah tidak diurus. UU No. 23 Tahun 2014 dalam Pasal 404 menegaskan, “Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan undang-undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.” Artinya, urusan pengelolaan hutan yang sebelumnya ada di tangan kabupaten, harus dialihkan ke atas, ke provinsi. Dan batas akhir penyerahan urusan dari kabupaten ke provinsi untuk urusan pengelolaan kehutanan paling lambat adalah 2 Oktober 2016 karena undang-undang tersebut diundangkan pada 2 Oktober 2014. Tidak hanya itu, aturan pelaksana dari UU No. 23 Tahun 2014 juga harus diterbitkan dua tahun setelah undang-undang ini diterbitkan.7 Sama halnya dengan penyerahan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pengelolaan kehutanan dari kabupaten paling lambat harus dialihkan ke provinsi pada 2 Oktober 2016. 7
Pasal 410 UU No. 23 Tahun 2014.
[43]
Hanya saja, undang-undang tidak serta-merta menutup jalan bagi kabupaten dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Pasal 408 UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan, “Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.” Ketentuan ini menjadi jalan keluar hukum untuk mengatasi gap antarperaturan perundang-undangan. Dengan kata lain, selama tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP No. 38 Tahun 2007, maka secara hukum peraturan pemerintah tersebut masih dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Pasal 404 Pasal 410 Pasal 408
Peralihan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan Penerbitan aturan pelaksana Pernyataan keberlakuan PUU Celah hukum
Dengan bunyi Pasal 408 UU No. 23 Tahun 2014, maka pemerintah daerah kabupaten semestinya masih memiliki celah hukum untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan dalam urusan pengelolaan hutan. Dan celah inilah yang tidak dimanfaatkan oleh Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Kapuas Hulu.
3.2 EFEKTIVITAS 3.2.1 Efektivitas Program Mitra Efektivitas program diukur dengan cara membandingkan capaian atau output yang berhasil diraih dengan capaian atau output yang direncanakan sebelumnya. Secara keseluruhan, efektivitas Program TFCA Kalimantan yang dijalankan oleh 24 mitra— tersaji pada matriks berikut.
[44]
Siklus/Site Kapuas Hulu
1 2 Reguler 2 SGF Rerata
80% 71% 85% 79%
Kubar - Mahulu Berau Rerata
57% 82% NA 65%
90% 78% 97% 88%
77% 76% 91% 81%
16 Sangat Efektif 6 Cukup Efektif 1 Kurang Efektif
120% 100% 80% 60% 40% 20% NA
GEMAWAN PRCF AOI FORINA ASPPUK SAMPAN Dian Tama FDLL Lanting Borneo KOMPAKH BIOMA CSF KBCF - Warsi OWT PEKA Payo-payo KSK UGM FLIM MENAPAK Kerima Puri BP Segah LEKMALAMIN JALA KANOPI
0%
Gambar 3.3 Diagram Efektivitas Program TFCA Kalimantan
Berdasarkan ilustrasi tersebut, secara keseluruhan—rerata tingkat efektivitas program TFCA Kalimantan mencapai 81 % atau Sangat Efektif. Sebanyak 16 mitra— atau sebesar 67 %—memiliki tingkat pencapaian output yang sangat efektif. Menapak—yang bekerja pada wilayah Berau—merupakan mitra dengan tingkat efektif paling tinggi—yakni sebesar 100 %. Tingkat efektifitas Menapak mencapai 100% dikarenakan, berhasil mencapai semua perencanaan dengan baik. Sementara itu, sebanyak 6 mitra—atau setara 25 %--menyandang peringkat efektivitas program Cukup Efektif—dengan rerata sebesar 65 %. Tingkat efektivitas paling minim disandang oleh CSF—yang bekerja pada wilayah Kutai Barat dan Mahakam Ulu. CSF hanya mampu meraih 45 % dari output yang seharusnya direalisasikan. Efektivitas rerata tertinggi juga terjadi pada mitra-mitra yang tergabung di dalam skema Siklus 2 SGF, yakni mencapai 91% atau Sangat Efektif. Seperti diketahui, skema ini memfasilitasi dana hibah kecil (small grant facilities) dan diperuntukkan bagi KSM – Kelompok Swadaya Masyarakat setempat. Pada umumnya, KSM cenderung memasang target output yang sangat realistis—sehingga berimbas pada tingginya pencapaian output dari intervensi yang dijalankan. Sementara itu, Skema [45]
Siklus 1 memiliki tingkat efektivitas paling rendah—sebesar 77 %. Mitra yang tergabung pada siklus ini telah menuntaskan tahun ke dua pelaksanaan Program TFCA Kalimantan. Secara keseluruhan, keberhasilan efektivitas pencapaian output oleh beberapa grantee didukung oleh beberapa faktor yakni: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Assessmen untuk mengidentifikasin kondisi sosial masyarakat dampingan dan mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat di desa dampingan. Pemahaman tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kebutuhan yang terjadi dilapangan, memberikan gambaran untuk mengambil langkah-langkah strategi yang dibutuhkan dalam implementasi program di di lapangan. Pendampingan. Pendampingan intensif memegang penting terhadap keberhasilan program, yang dilakukan pada kelompok tani, kelompok ibuibu dan pemerintah kampung. Hal inilah yang dilakukan oleh OWT, Kerima Puri, dan Grantee yang lain. Beberapa kiat yang harus dipegang dalam melaksanakan pendampingan adalah 1) jangan ingkar janji dan harus tulus dari sesuatu yang akan dikerjakan bersama masyarakat, karena masyarakat akan memegang janji dan kepercayaan pada program. 2) pendampingan harus bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, kelompok, maupun pemerintah kampung. 3) Pendampingan harus bisa memberikan solusi dari persoalan social yang terjadi di masyarakat. Pengalaman tenaga pendamping, sangat berperan dalam menentukan strategi-strategi program yang perlu diambil, jika ada tantangan dan hambatan yang muncul di masyarakat, yang bisa kendala tercapainya project. Hal inilah yang terjadi jika membandingkan tenaga pendamping OWT yang berpengalaman dengan tenaga pendamping Payo-Payo dalam menghadapi hambatan yang hampir mirip di desa dampingan. Penting sekali untuk melibatkan tokoh kunci masyarakat karena struktur social masyarakat yang masing memegang kepercayaan kepada tokoh atau pemimpin social di masyarakat, baik kelompok tani, kelompok ibu-ibu, maupun pemerintahan kampong. Sebuah program pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat harus bisa memadukan dua pendekatan sekaligus, yakni pendekatan konservasi dan pendekatan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat Situasi politik di kampong dan daerah yang kondunsif dalam mendukung pelaksanaan program. Terkadang situasi politik, terutama menjelang pilihan kepala kampong merupakan situasi yang tidak kondunsif yang disebabkan pecahnya masyarakat menjadi kelompok-kelompok pendukung kandidat kepala kampong. Hal ini sangat rentan terhadap konflik social di tengah masyarakat, yang bisa menghambat jalannya program.
[46]
7.
Koordinasi dan komunikasi yang terbangun bagus antara grantee dengan pihak-pihak yang berkepentingan masyarakat, pemerintah kampong, KPHL Berau Barat, maupun SKPD-SPKD terkait di kabupaten.
Selain keberhasilan mencapai tujuan yang sangat efektif, beberapa grantee juga mengalami kendala untuk mencapai efektifitas tujuan project. Beberapa factor penghambat yang menjadi kendala atau tantangan yang bisa menghambat efektivitas ketercapaian program: 1.
2.
3. 4. 5.
Sejarah pendampingan dan program dari LSM-LSM sebelumnya yang meninggalkan jejak tidak baik dan melahirkan trauma bagi masyarakat. Bahkan ada isu di Kampung Muara Lesan bahwa mereka dijual oleh LSM untuk mendapatkan dana. Ketersediaan waktu dari pemerintah kampung dan masyarakat yang disibukan dengan kegiatan individual untuk mencari nafkah di hutan, maupun berbenturan dengan kegiatan –kegiatan kampung seperti kegiatan ADK, kegiatan natal dan peringatan hari besar yang lain. Beberapa grantee belum menemukan cara untuk mencari solusi terbaik terkait kendala ini. Birokrasi yang cukup lama dalam memproses pengajuan ijin penetapan areal kerja perhutanan sosial seperti hutan desa Lokasi desa dampingan yang sangat jauh dan akses jalan yang sulit, dengan komunikasi yang sulit dijangkau (dengan telephon) Bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan yang menghambat pelaksanaan kegiatan.
3.2.2 Efektivitas Pengelolaan Program (Administrator) a. Tujuan dan Ruang Lingkup Evaluasi Evaluasi ini dilakukan sebagai persyaratan (mandatory) bagi implementasi program TFCA Kalimantan dengan fokus utama melakukan penilaian terhadap pencapaian di tingkat tujuan utama (goal), outcome dan output program dilihat dari perspektif individual program yang dilaksanakan oleh grantee dan pengelolaan dana hibah oleh KEHATI sebagai administrator program. Laporan ini adalah khusus untuk menyampaikan hasil analisis evaluasi kinerja administrator baik sebagai bagian refleksi internal staf administrator (self assessment) maupun penilaian dari pihak lain, baik dari perspektif OCTM maupun lembaga-lembaga pelaksana program sebagai grantee. Penilaian kineja administrator berpegang pada beberapa variable seperti tercantum pada tabel di bawah ini:
[47]
Tabel 3.4. Variabel Kinerja Administrator
Secara keseluruhan, tujuan evaluasi kinerja administrator adalah untuk: a. Melakukan evaluasi terhadap efektifitas pelaksanaan program b. Mengumpulkan berbagai pelajaran berharga Hasil dari evaluasi ini diharapkan mampu menginspirasi para pihak untuk mengembangkan inisiatif berpijak pada beberapa hasil nyata yaitu keberhasilankeberhasilan yang dicapai dan rekomendasi pokok yang disampaikan. Oleh karena itu, draf hasil evaluasi disampaikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan kunci yang terlibat dalam program, untuk mengerucutkan temuan dan rekomendasi-rekomendasi tersebut, sekaligus menjadwalkan prioritas tentang apa yang perlu dan sanggup dilakukan agar hasil-hasil pokok bisa terus berlanjut dan meluas pengaruhnya. Proses presentasi draf laporan kepada pengelola dan pemangku kepentingan kunci ini juga mendiskusikan beberapa tindak-lanjut yang perlu dilakukan dalam rangka menjaga dan meluaskan semangat dan keterlibatan. b.
Metode Pengumpulan Data
Proses evaluasi kinerja administrator ini dilaksanakan melalui beberapa komponen. Komponen pertama adalah analisa dokumen program. Dokumen ini meliputi aspek rancangan awal program TFCA Kalimantan mulai dari nota kesepahaman (MoU), rencana implementasi sampai dengan laporan pelaksanaan masing-masing projek termasuk aspek keuangan. Keseluruhan analisa dokumen ini terefleksi di dalam Gambar 3.4 yang menampilkan peta target capaian, dimana sebagian besar adalah dokumen, yang harus dicapai per tahun oleh KEHATI sebagai administrator program. Komponen kedua, evaluator bekerja sama dengan administrator mengidentifikasi pihak-pihak yang dilibatkan dalam proses evaluasi sebagai responden untuk mengisi kuesioner yang diedarkan kemudian. Komponen ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang sama dengan pihak-pihak yang terlibat di komponen proses evaluasi ini.
[48]
Gambar 3.4. Diagram Komponen Evaluasi Kinerja Administrator
Dalam prakteknya, dari keseluruhan kandidat narasumber, semua berhasil diwawancara namun sampai dengan penyusunan laporan ini, tidak semua responden mengisi kuesioner yang telah tim evaluator kirimkan. Gambaran tentang keterlibatan narasumber ini tertuang dalam table di bawah ini. Tabel 3.5. Daftar Narasumber No.
Nama
OCTM 1 Lana Sari Lubis
Lembaga
Catatan
Directorate General of Ecosystem and Nature Resource Conservation, MINISTRY OF FORESTRY
Proses wawancara pada hari Senin, 18 Juli’16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner.
2
Antonius P.Y. Djogo
U.S Agency for International Development
Proses wawancara pada hari Senin, 25 Juli’16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner.
3
Hermayani Putra
Yayasan World Wide Fund for Nature-Indonesia
4
Intan Ritonga
The Nature Conservation Policy
Proses wawancara pada hari Minggu, 24 Juli’16 namun tidak memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Rabu, 20 Juli’16 namun tidak memberikan masukan dengan mengisi kuesioner.
[49]
Tim Administrator 5
6
7
Puspa Dewi Liman
M. Abd. Syukur Ines Novitasari Saragih
Proses wawancara pada hari Kamis, 30 Juni’16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Rabu, 29 Juni’16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner Proses wawancara pada hari Rabu, 29 Juni’16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner
KEHATI KEHATI
KEHATI
Pertanyaan kunci sebagai acuan dasar dalam wawancara mendalam terbagi menjadi dua kategori analisis, yaitu: efektifitas dan pembelajaran. Berikut adalah beberapa pertanyaan dasar di kedua kriteria tersebut: Tabel 3.6. Acuan Dasar Wawancara Mendalam Kriteria Evaluasi
Pertanyaan Evaluasi
Efektifitas
1) Sejauh mana tujuan program tercapai? 2) Sejauh mana program dapat memberikan dukungan kepada para mitra baik grantee maupun pemerinttah daerah? 3) Sejauh mana program menghasilkan perubahan positif dalam konteks HOB dan BFCP? 4) Apa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi baik keberhasilan dan kegagalan program? Bagaimana hal tersebut terjadi? 5) Sejauh mana program berhasil melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan?
Pembelajaran
1) Apa saja pembelajaran penting yang dapat dibagikan pada praktisi lain dalam konteks HOB dan BFCP? 2) Adakah praktek-praktek menarik yang dilakukan sepanjang program? Jika ya, bagaimana potensi replikasi dari praktek menarik ini untuk program lain di Indonesia? 3) Apa saja strategi-strategi dan pendekatan yang baik yang diterapkan didalam program? 4) Bagaimana program ini berkontribusi terhadap pengembangan/perbaikan kapasitas lembaga pelaksana (grantee)?
Hasil analisis dokumen program (Diagram 3.5) menjadi dasar operasionalisasi pertanyaan kunci di atas dalam wawancara mendalam sebagai proses verifikasi tingkat ketercapaian KEHATI sebagai administrator program. Komponen verifikasi temuan lainnya adalah isian kuesioner dimana sayangnya menjadi salah satu keterbatasan proses evaluasi ini mengingat tidak semua narasumber memberikan masukan tertulisnya.
[50]
Gambar 3.5. Diagram Daftar Target Capaian Per Tahun oleh Administrator
[51]
c.
Deskripsi Hasil Evaluasi
Berdasarkan diagram daftar target capaian diatas, dapat dilihat bahwa ketersediaan dokumen pendukung yang mampu penuhi oleh KEHATI sebagai administrator setiap tahunnya adalah pada tahun 2012 sebanyak 5 dokumen, 2013 sebanyak 20 dokumen, 2014 sebanyak 2 dokumen, 2015 sebanyak 3 dokumen dan 2016 sebanyak 2 dokumen (sampai proses evaluasi dilakukan), berikut adalah prosentase ketercapaian target per tahun oleh KEHATI. Gambar 3.6. Diagram Prosentase Ketercapaian Target Dokumen Per tahun oleh Administrator
Beberapa catatan kritis dari analisis di atas adalah: 1. Prosentase merujuk pada kelengkapan dokumen bukan pada kualitas substansi. 2. Kelengkapan dokumen yang ada lebih pada manajerial dan keuangan (seperti laporan keuangan, audit, kebijakan penyaluran hibah) daripada programatik yang bersifat substansi (seperti analisis situasional kabupaten, ruang lingkup dan mandat project) 3. T.A.P adalah pencapaian strategis yang tertunda dan berakibat pada tidak terpenenuhinya beberapa pencapaian hasil terutama berkaitan dengan dukungan kepada mitra (seperti asesmen peningkatan kapasitas, desain bimbingan teknis yang dibutuhkan untuk apparat pemerintah dan CSOs) 4. Tidak adanya target tahunan yang terukur dan disepakati untuk seluruh indikator dalam implemention plan TFCA. Efektivitas Dari analisa isian kuesioner yang ada, maka hasil rekapitulasinya adalah sebagai berikut:
[52]
Tabel 3.7. Rekapitulasi Hasil Kuesioner Efektivitas Skor Total Sangat Efektif Efektif
Kriterias
Kurang Efektif
OCTM
Admin
Kebijakan penyaluran dana hibah
12.2
15.2
>13
8 – 12
<7
Pelaksanaan penyaluran dana hibah
24
29.6
>22
11 – 21
< 10
Pemantauan penyaluran dana hibah
10.8
20.8
>20
10 – 19
<9
Pelaporan dan pertanggungjawaban dana
4.2
10.2
>10
6–9
<5
Perbedaan penilaian antara OCTM dengan administrator terutama dalam konteks monitoring dan pelaporan implementasi program dana hibah mengindikasikan masih perlu ditingkatkannya pola komunikasi dan koordinasi agar lebih efektif. Akan tetapi, penilaian umum yang dilakukan berdasarkan variabel yang ada, mengindikasikan bahwa tugas administrator oleh Yayasan Kehati berjalan efektif Secara umum dengan mengacu pada 3 komponen proses evaluasi serta jawaban beberapa pertanyaan kunci dalam wawancara mendalam, maka hasilnya adalah sebagai berikut: Analisis Temuan
Sudah terdapat capaian-capaian strategis yang mengarah pada indikator-indikator yang tertuang dalam rencana implementasi terutama dalam konteks penyaluran hibah. Beberapa kebijakan penyaluran hibah perlu ditegaskan kembali konsistensinya dalam pelaksanaan. Ketiadaan target terukur yang ditetapkan setiap tahunnya di masingmasing indikator menjadi kendala dalam menganalisa seberapa jauh kontribusi masing-masing projek oleh grantee. Pendekatan berbasis kabupaten juga tidak terefleksi secara utuh ke dalam strategi implementasi masing-masing grantee. Hal ini dimungkinkan terjadi karena belum tersusunnya project portfolio di tingkat kabupaten sehingga perencanaan hibah belum terstruktur menjadi bangunan besar HOB atau BFCP. Keterlambatan pembentukan TAP dan konsolidasi kebijakan program antara OC/OCTM dan administrator menjadi indikasi utama terhambatnya optimalisasi capaian program terutama dikaitkan dengan penguatan lembaga mitra baik dari sisi grantee maupun pemerintah daerah. Inisiasi adanya perubahan kebijakan pembangunan lingkungan [53]
Bukti-bukti yang ditemukan selama proses evaluasi untuk mendukung analisis
terutama perhutanan tampak mulai dari adanya nota kesepahaman dengan komunitas, pelaku usaha sampai dengan keputusan pemerintah baik tingkat kementerian maupun daerah yang diantaranya tertuang dalam surat keputusan gubernur. Administrator sudah memiliki kebijakan penyaluran hibah, namun masih perlu dilakukan perbaikan terhadap perkembangan/dinamika seperti model penyaluran terhadap dana grant, beasiswa, prosedur pemantauan, dll. Pada siklus 1, due diligence (penilaian kapasitas dan kelayakan mitra) selalu dilakukan pada sebelum calon mitra diterima sebagai mitra TFCA Kalimantan. Due diligence memuat serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengorek internal dapur mitra, sehingga seringkali tidak nyaman terutama jika lembaga pada akhir keputusan dinyatakan tidak lolos. Pada siklus berikutnya, hasil due diligence tidak mempengaruhi kelolosan calon mitra, hasil due diligence digunakan bagi administrator untuk melakukan kegiatan penguatan kelembagaan grantee. Proses review dan revisi TOR tentang TAP yang berkepanjangan (2011-2015) yang berakibat tidak sistematisnya kegiatan dukungan berupa penguatan kapasitas terutama kepada grantee. Inisiasi perubahan salah satu contohnya adalah PRCF memfasilitasi pembentukan empat Lembaga Pengelolaan Hutan (LPHD) dan Rencana kerja untuk Hutan Desa (RKHD). Analisa situasi eksternal: 1. Kesempatan a. Komitmen dari pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam pelaksanaan program. b. Tingginya minat CSO lokal berkontribusi dalam program-program pembangunan sektor lingkungan di Kalimantan. c. KEHATI sebagai sebuah lembaga telah diterima oleh para mitra terutama di daerah, sebagai lembaga pemberi hibah (grant maker). d. Adanya potensi integrasi dengan program yang dibiayai oleh lembaga donor lain terutama yang dilaksanakan oleh lembaga yang tergabung dalam OCTM. e. Adanya ruang integrase beberapa komponen program ke dalam RPJM tingkat desa atau kampung. 2. Ancaman a. Perkembangan secara masif industri ekstraktif (pertambangan, minyak sawit, semen) dimana pada saat yang sama kurang lebih 50% dari total grantee bekerja di kawasan non tenurial. b. Adanya kesenjangan kapasitas mitra antara lembaga-lembaga yang berbasis nasional dengan lembaga-lembaga local. Analisa situasi internal: 1. Kekuatan a. Masih adanya waktu yang relatif lama (kurang lebih 5 tahin) dan tersedianya dana yang relative memadai (US$ 15,2 million) untuk [54]
peningkatan strategi implementasi program termasuk mitra-mitra di Siklus 3. b. Tim administrator yang memiliki kapasitas pengelolaan administrative (pelaporan, system dan prosedur serta manajemen keuangan). 2. Kelemahan a. Adanya indikasi kebutuhan peningkatan komunikasi dan koordinasi antara OC, OCTM dan administrator terutama dalam konteks Monitoring penyaluran dana hibah serta pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan dana. b. Tertundanya pembentukan dan bekerjanya T.A.P sebagai komponen strategis program terutama dalam kaitan peningkatan kapasitas mitra baik pemerintah daerah maupun grantee. c. Ketiadaan personel yang bertanggung jawab khusus pada system monitoring dan evaluasi program. Hal ini berakibat pada kurangnya pendayagunaan data yang ada untuk peningkatan strategi iplementasi agar lebih efektif dan efisien.
Penilaian Kinerja Administrator oleh Grantee Selain beberapa anggota OCTM dan administrasi kehati, tim evaluator juga telah melakukan penjaringan data kepada para grantee baik melalui wawancara mendalam atau berkelompok untuk menangkap isu yang berkembang di lapangan terkait kinerja administrator. Tema besar evaluasi pengelolaan program TFCA Kalimantan tersebut adalah: 1) Koordinasi, komunikasi dan dukungan teknis pelaksanaan program. Pola interaksi dengan mitra hanya sebatas hubungan pengelolaan dana hibah. Belum ada dukungan teknis dalam rangka perbaikan strategi implementasi. Sebagai contoh, bagaimana sebaiknya menyusun RPJM Kampung. Interaksi selama ini hanya sebatas konfirmasi pemenuhan pengumpulan laporan sebagai pra-syarat administrasi projek. Koordinasi dan komunikasi program di tingkat kabupaten perlu diperkuat baik antar CSO maupun antara pemerintah daerah dan CSO. Hal ini menjadi titik kritis pelaksanaan program terutama ketika berkaitan dengan kondisi geografis yang sangat luas. Sebagai contoh, lokasi dan jarak Kampung Biduk-biduk dengan kota kabupaten yang relatif tersebar jauh sehingga banyak memerlukan waktu. Dalam konteks dukungan teknis pelaksanaan program, saat ini tampak belum diarahkan pada pencapaian grantee sebagai sebuah lembaga yang harus tetap hidup tanpa terkungkung periode program. Membangun portfolio lembaga menjadi penting untuk menghindari posisi grantee yang hanya sebatas event [55]
organizer. Administrator hendaknya mampu membangun kerangka logis projek yang runtut dan memastikan bahwa tujuan akhir projek berkontribusi pada misi jangka panjang lembaga. Tim evaluator juga mencatat beberapa pola komunikasi yang kurang efektif sehingga memunculkan multi tafsir di beberapa isu, yaitu mengenai kebijakan penggunaan dana sisa program, prosedur dan tata laksana audit keuangan, prosedur beserta proses pembayaran (invoice), kesusuaian rancangan waktu antara kerangka logis projek dengan pelaksanaan riil proyek, kejelasan konsekuensi bila terdapat beberapa kegiatan tidak dilaksanakan serta prosedur dan tata laksana pengadaan barang dan jasa. Hal lain yang krusial untuk dibahas adalah penyesuaian standar biaya yang diterapkan. Standar biaya yang ditetapkan TFCA Kalimantan dirasa terlalu rendah dan tidak sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. Sebagai misal, biaya logistik dibatasi hanya sebesar Rp. 50.000, - per hari per orang dimana dengan besaran seperti ini sangat menyulitkan field assistant untuk melaksanakan kegiatan. 2) Sinergi program. Sebagai program yang dirancang melalui pendekatan Kabupaten, mekanisme sinergi antar mitra di dalam kabupaten yang sama belum terbangun. Demikian pula, tidak juga dilakukan mekanisme sinergi program mitra TFCA Kalimantan dengan Pemerintah Daerah dan para pihak terkait. Keberadaan Pokja REDD dan Pokja HOB belum bisa dimaksimalkan untuk mendukung pelaksanaan program TFCA Kalimantan. Pada prinsipnya, Pokja HOB dan Pokja REDD merupakan simpul komunikasi dan koordinasi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi) berbagai program baik dari SKPD maupun dari NGO terkait dengan REDD. Hanya isu saja yang membedakan keduanya, dimana Pokja HOB untuk program HOB di Kutai Barat dan Mahakam Ulu, sedangkan Pokja REDD untuk program PKHB di Berau. Secara kelembagaan, Pokja HOB dan Pokja REDD ini masih eksis karena susunan kepengurusan masih ada, tetapi kurang berjalan secara program. Terkait dengan program TFCA Kalimantan, secara institusi, tidak ada koordinasi yang dirancang antara grantee TFCA Kalimantan dengan Pokja untuk mengkoordinasikan berbagai inisiatif grantee TFCA dengan SKPD terkait. Pokja HOB dan Pokja REDD ini mempunyai modalitas untuk mengkonsolidasikan dan akses program SKPD. Kendala yang ada adalah persoalan anggaran yang tidak tersedia untuk melakukan fungsi koordinasi sehingga fungsi koordinasi dengan mitra TFCA Kalimantan tidak berjalan.
[56]
Keberadaan Pokja HOB dan Pokja REDD sebagai lembaga multipihak juga harus mulai diperkuat untuk menjadi salah satu pilihan bentuk kelembagaan untuk mempersiapkan langkah exit strategi project TFCA Kalimantan Solusi yang bisa ditawarkan adalah TFCA Kalimantan menfasilitasi serial koordinasi pokja REDD dengan melibatkan semua mitra-mitra TFCA Kalimantan sebagai forum untuk perencanaan, evaluasi, sharing pengalaman, dan sekaligus sebagai forum untuk menginformasikan kemajuan kegiatan TFCA Kalimantan kepada pihak-pihak terkait di Kabupaten Kerjasama dengan mitra TFCA lain sangat penting untuk mendukung kegiatan teknis di lapangan. Perlu dukungan agar para grantee dan pihak terkait dapat saling bertukar pengalaman dan informasi yang kemudian mampu memunculkan inisiasi-inisiasi bersama guna mencapai perbaikan tata kelola hutan dalam konteks lebih luas. 3) Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi berkala yang dilakukan TFCA Kalimantan lebih cenderung mengedepankan persoalan administrasi program—seperti pelaporan, administrasi keuangan, dan lain sebagainya. Mitra merasa kurang mendapatkan masukan dalam kerangka perbaikan program yang mengarah pada tindakan implementatif yang strategis untuk dijalankan—sehingga intervensi program dapat lebih efektif dan efisien. Penabulu adalah lembaga penerima dana hibah dengan tujuan khusus yaitu memberikan bantuan teknis pengembangan rancangan projek termasuk manajemen keuangan grantee lainnya. Dalam prakteknya, Penabulu adalah mitra TFCA Kalimantan dimana memiliki posisi yang sejajar dengan mitra-mitra yang lain. Oleh karena itu, Penabulu tidak memiliki legitimasi untuk “memaksa” dalam konteks perbaikan administrasi keuangan yang dilakukan. Sehingga yang dilakukan adalah hanya bersifat saran atau rekomendasi dimana saran atau rekomendasi tersebut kadang tidak dijalankan oleh mitra sebagai grantee.
3.3 EFISIENSI PROGRAM Efisiensi sebuah program atau kegiatan terlihat dari implementasinya yang konsisten dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Efisiensi Program TFCA Kalimantan ini dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian—meliputi efisiensi waktu dan efisiensi biaya. Efisiensi waktu terlihat dari panjang-pendek-nya rentang pergeseran waktu pelaksanaan program—apabila diperbandingkan dengan tata waktu yang direncanakan, sementara—efisiensi biaya tergambar dari kondisi aktual penyerapan dana program. Secara keseluruhan, efisiensi Program TFCA Kalimantan yang dijalankan oleh 24 mitra—tersaji pada matriks berikut. [57]
Gambar 3.7. Diagram Efisiensi Program TFCA Kalimantan
Berdasarkan ilustrasi tersebut, rerata pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan mencapai 16 %. Sebanyak 17 mitra—atau sebesar 74 %—mengalami pergeseran waktu di bawah 20 %. FDLL – Forum DAS Labian - Laboyan—yang bekerja pada wilayah Kapuas Hulu—merupakan mitra dengan pergeseran waktu paling rendah— yakni sebesar 0 %. Sementara itu, sebanyak 4 mitra—atau setara 17 %—mengalami pergeseran waktu berkategori Sedang—dengan rerata sebesar 26 %. Pergeseran waktu paling besar disandang oleh CSF—yang bekerja pada wilayah Kutai Barat dan Mahakam Ulu. CSF mengalami pergeseran waktu sebesar 68 % dari waktu yang direncanakan. Secara keseluruhan, dengan tingkat efektivitas sebesar 81 % dan pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan sebesar 16 %—maka efisiensi waktu pelaksanaan program TFCA Kalimantan tergolong Cukup Efisien. Hal ini banyak didukung oleh kemampuan grantee—dalam hal ini tenaga pendamping—dalam menjaga pelaksanaan program agar sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Pendamping mencoba untuk menemukan strategi dan jalan tengah terkait tantangan ketidaktersediaan waktu dari masyarakat dan pemerintah kampong karena kesibukan sehari-hari dan kegiatan kampong. Selain itu, efisiensi waktu yang banyak didukung oleh KSM melalui siklus 2 SGF, disebabkan KSM cenderung memasang target output yang sangat realistis—sehingga berimbas pada kemudahan untuk mencapainya dari intervensi yang dijalankan Sementara itu, rerata penyerapan dana program yang dijalankan mitra—mencapai 75 %. Sebanyak 7 mitra—atau sebesar 33 %—mengalami penyerapan dana yang baik atau di dalam rentang 80 – 120 %. SAMPAN—yang bekerja pada wilayah [58]
Kapuas Hulu—merupakan mitra dengan penyerapan dana paling baik—yakni sebesar 94 %. Sementara itu, sebagian besar atau sebanyak 14 mitra—hanya mampu melakukan penyerapan dana di luar rentang 80 – 120 % —dengan rerata sebesar 68 %. Penyerapan dana paling minim disandang oleh ASPPUK—yang bekerja pada wilayah Kapuas Hulu. ASPPUK hanya mampu melakukan penyerapan dana sebesar 36 %. Secara keseluruhan, dengan tingkat efektivitas sebesar 81 % dan penyerapan dana sebesar 75 %—maka efisiensi biaya program TFCA Kalimantan tergolong pada kategori Kesalahan Perencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan anggaran ini masih di bawah rancangan yang berdampak pada ketidak-efisienan program. Penyerapan anggaran yang kecil ini mungkin disebabkan karena ketidaksamaan periode pelaporan keuangan yang tersedia, dimana pada waktu evaluasi dilakukan beberapa laporan keuangan yang ada untuk beberapa mitra, belum memberikan laporan keuangan terbaru, seperti yang ada Kerima dan PayoPayo.
3.4 ANALISIS KEBERLANJUTAN Analisis keberlanjutan menggambarkan sejauh mana program atau kegiatan dapat mengubah atau memberikan manfaat sesuai harapan ketika program atau kegiatan tersebut telah selesai dijalankan. Keberlanjutan sebuah program atau kegiatan ditandai dengan tetap berjalannya fungsi keproyekan setelah berakhirnya intervensi atau facing out. Program atau kegiatan yang memiliki tingkat keberlanjutan tinggi ditandai dengan relevansinya yang kuat terhadap situasi kekinian—seperti kebutuhan masyarakat dan pembangunan wilayah—dan besarnya dampak (impact) positif yang ditimbulkannya. Dalam evaluasi ini, selain relevansi kekinian yang kuat dan dampak yang signifikan—keberlanjutan program diuji dengan keberadaan atribut-atribut pendukung yang mampu memberikan peluang tinggi terhadap terus dipertahankan dan dikembangkannya capaian atau output program. Atribut-atribut pendukung tersebut meliputi kebijakan (policy), kelembagaan (institution), dukungan para pihak (stakeholders), dukungan pendanaan, dan telah munculnya rencana tindak lanjut terhadap keberlanjutan capaian atau output tertentu. Analisis keberlanjutan program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Berdasarkan analisa per mitra tersebut jika diagregrasi maka peluang keberlanjutan untuk TFCA Kalimantan dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut:
[59]
Matrik Analisa Keberlanjutan Keberlanjutan Penerima Hibah
Jumlah Ouput
1
Lekmalamin
5
4
80.00
1
20.00
0
0.00
0
0.00
2
Kerima Puri
6
4
66.67
2
33.33
0
0.00
0
0.00
3
Sampan
6
4
66.67
0
0.00
0
0.00
2
33.33
4
Gamawan
5
3
60.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
5
Bioma
7
4
57.14
0
0.00
3
42.86
0
0.00
6
Forina
6
3
50.00
3
50.00
0
0.00
0
0.00
7
Asppuk
4
2
50.00
0
0.00
2
50.00
0
0.00
8
KBCF Warsi
4
2
50.00
1
25.00
1
25.00
0
0.00
9
Kompak
2
1
50.00
0
0.00
1
50.00
0
0.00
10
Jala
2
1
50.00
0
0.00
1
50.00
0
0.00
11
SCF Unmul
7
3
42.86
0
0.00
1
14.29
3
42.86
12
CSF
7
3
42.86
0
0.00
4
57.14
0
0.00
13
Menapak
10
4
40.00
0
0.00
0
0.00
6
60.00
14
AOI
5
2
40.00
2
40.00
0
0.00
0
0.00
15
Peka
9
3
33.33
3
33.33
3
33.33
0
0.00
1
33.33
2
66.67
0
0.00
0
0.00
17
Lanting Borneo OWT
3
16
7
2
28.57
5
71.43
0
0.00
0
0.00
18
FLIM
4
1
25.00
1
25.00
1
25.00
1
25.00
19
BP Segah
4
0
0.00
1
25.00
3
75.00
0
0.00
20
FDLL
3
0
0.00
1
33.33
2
66.67
0
0.00
21
PRCF
3
0
0.00
1
33.33
2
66.67
0
0.00
22
YDT
3
0
0.00
3
100.00
0
0.00
0
0.00
23
Payo-Payo
24
Karst UGM Total
112
47
41.96
26
23.21
24
21.43
12
10.71
No
Tinggi
%
Sedang
Rendah
%
NA/ Belum dilaksanakan
*= belum dianalisa
Berdasarkan tabulasi di atas dapat digambarkan bahwa total output TFCA yang telah diagregrasi dari 24 mitra TFCA Kalimantan terdapat 112 output proyek dengan hasil analisa keberlanjutan sebabgai berikut: 1. Output yang mempunyai tingkat keberlanjutan tinggi, yang memenuhi seluruh atau setidaknya empat atribut potensi keberlanjutan, berjumlah 47 indikator atau 41,96 % dari seluruh indikator. Lembaga-lembaga dengan output keberlanjutan tinggi secara persentase meliputi Lekmalamin, Kerima Puri, Sampan, Gemawan dan Bioma dengan kisaran 80% sampai 57%. Khusus untuk Bioma, lembaga dengan output keberlanjutan tinggi secara persentase tetapi output dengan keberlanjutannya rendah juga tinggi. [60]
%
2. Output yang mempunyai tingkat keberlanjutan sedang, yang hanya memenuhi 3 atribut potensi keberlanjutan, berjumlah 26 indikator atau 23,21 % dari seluruh indikator. 3. Output yang mempunyai tingkat keberlanjutan rendah, yang hanya memenuhi 2 atau kurang dari atribut potensi keberlanjutan, berjumlah 24 indikator atau 21,43 % dari seluruh indikator. Lembaga-lembaga dengan output keberlanjutan rendah secara persentase meliputi BP Segah, CSF, FDLL dan PRCF. Kondisi di atas menunjukkan bahwa perlu upaya yang lebih tersistematis dalam rangka memastikan output-output program TFCA dapat berlanjut di masa depan mengingat ouput dengan tingkat keberlanjutan tinggi masih di bawah 50%. Beberapa output yang tingkat keberlanjutannnya sedang perlu didorong lebih agar tingkat keberlanjutannya meningkat menjadi tinggi. Secara keseluruhan, Program TFCA Kalimantan memiliki tingkat keberlanjutan Sedang atau 67,5 %. Adanya Rencana Tindak Lanjut (RTL) pada output yang telah dicapai oleh Mitra—mendominasi kontribusi pada tingkat keberlanjutan—atau sebanyak 88 % output telah memiliki Rencana Tindak Lanjut (RTL). Secara hampir berimbang, atribut kelembagaan dan dukungan stakeholders (para pihak) juga dominan memperkuat keberlanjutan pada output yang telah dicapai oleh MitraKetidakjelasan dukungan pendanaan merupakan aspek paling lemah dalam memberikan jaminan keberlanjutan program. Selain pendanaan yang langsung bersumber dari output penguatan ekonomi, aspek ini dapat didorong dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada—seperti dana desa/kampung yang cukup besar saat ini, dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang belum termanfaatkan secara tepat, dana program lain yang memiliki lokus yang sama, dan lain sebagainya. Meskipun telah cukup banyak output yang telah dilengkapai dengan atribut kebijakan, namun aspek ini juga perlu lebih didorong secara maksimal. Ketiadaan dukungan kebijakan dapat secara tiba-tiba menghancurkan output yang telah terbangun. Secara lengkap, analisa aspek keberlanjutan Program TFCA Kalimantan—terlihat pada matriks berikut ini. Matriks Analisa Aspek Keberlanjutan Program TFCA Kalimantan Atribut Keberlanjutan TOTAL ∑
NO
MITRA
1
GEMAWAN
2
PRCF
3
AOI
4
FORINA
5
ASPPUK
6
SAMPAN
7
Dian Tama
8
FDLL
9
Lanting Borneo
Output
Kebijakan
Kelembagaan
Stakeholders
Pendanaan
5 3 5
2 1 4 3 2 5
2 3 5 3 3 5 3 1 2
1 1 5 6 2 6 3
2 1 2
1
1
6 4 6 3 1 3
1 2
[61]
2 2
RTL
∑ Atribut
Max.
5 3 5 5 3 5 3 1 3
12 9 21 17 12 23 9 3 9
25 15 25 30 20 30 15 5 15
Tingkat Keberlanjutan
48.0% 60.0% 84.0%
Rendah Sedang Tinggi
56.7% 60.0% 76.7% 60.0% 60.0% 60.0%
Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang
10
KOMPAKH
11
BIOMA
12
CSF
13
KBCF - Warsi
14
OWT
15
PEKA
16
Payo-payo
17
KSK UGM
18
FLIM
19
MENAPAK
20
Kerima Puri
21
BP Segah
22
LEKMALAMIN
23
JALA
24
KANOPI TOTAL
2 7 4 4 7 14 na na 4 5 6 4 4 2 5 104
2 3 2 7 9 na na 1 5 5 3 1 3 61
2 4 3 4 7 5 na na 2 5 6 4 4 2 5 80
2 4 4 3 7 13 na na 3 5 4 1 4 1 5 81
1 4 2 2 5 na na
4 4 1 5 38
2 4 3 4 7 9 na na 3 5 6 4 4 2 5 91
9 16 13 15 30 41
10 35 20 20 35 70
9 20 20 25 25 30 9 20 19 20 7 10 23 25 351 520
90.0%
Tinggi
45.7% 65.0% 75.0% 85.7% 58.6%
Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sedang na
45.0% 80.0% 83.3% 45.0% 95.0%
na Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
70.0% 92.0% 67.5%
Sedang Tinggi Sedang
3.5 ANALISIS RESIKO Analisis resiko dalam program TFCA Kalimantan ini, di dekati dengan melakukan analisis situasi eksternal dan internal. Analisis eksternal dilakukan dengan mengidentifikasi kesempatan dan ancaman yang bisa mempengaruhi ketercapaian program TFCA Kalimantan. Sedangkan analisis internal, dilakukan dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang ada. Analisa situasi eksternal: 1. Kesempatan a. Komitmen dari pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam pelaksanaan program. Hal ini diperkuat dengan adanya dukungan dari pemerintahan kabupaten dan desa yang bisa menjadi pijakan untuk menggalang dukungan pemerintahan provinsi. b. Tingginya minat CSO lokal berkontribusi dalam program-program pembangunan sektor lingkungan di Kalimantan. c. KEHATI sebagai sebuah lembaga telah diterima oleh para mitra terutama di daerah, sebagai lembaga pemberi hibah (grant maker). d. Adanya potensi integrasi dengan program yang dibiayai oleh lembaga donor lain terutama yang dilaksanakan oleh lembaga yang tergabung dalam OCTM. e. Adanya ruang integrasi beberapa komponen program ke dalam RPJM tingkat desa atau kampung. f. Lokasi-lokasi proyek TFCA Kalimantan yang dikembangkan menjadi tujuan wisata alam, memberikan peluang baru bagi masyarakat untuk memberikan alternative pendapatan
[62]
2. Ancaman a. Tekanan dari perkembangan secara masif industri ekstraktif (pertambangan, minyak sawit, semen) dimana pada saat yang sama kurang lebih 50% dari total grantee bekerja di kawasan non tenurial. b. Adanya kesenjangan kapasitas mitra antara lembaga-lembaga yang berbasis nasional dengan lembaga-lembaga lokal. Beberapa mitra TFCA masih perlu dilakukan peningkatan kapasitas organisasi dalam melaksanakan program TFCA, terutama untuk kelompok KSM. c. Program TFCA yang berbasis kabupaten, tidak diuntungkan dengan lahirnya UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang memindahkan kewenangan di dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kabupaten tidak lagi menjadi stakeholder penting dalam urusan kehutanan (termasuk terkait project TFCA), sementara upaya komunikasi dan koordinasi yang dilakukan baru pada pada level kabupaten d. Pemberlakuan UU No 6 2014 tentang Desa, menyebabkan Desa mendapatkan kucuran dana yang cukup besar. Sementara dana desa kurang didistribukan ke dalam ke sektor kehutanan, yang menyebabkan masyarakat akan mengenyampingkan sektor kehutanan. e. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengancam keberhasilan upaya-upaya konservasi yang dilakukan, terutama pada musim-musim kemarau panjang. Kebakaran hutan juga sangat mengancam kualitas hasil madu hutan yang dihasilkan pada program mitra yang mengembangkan hasil hutan non kayu, seperti AOI dan Kerima Puri. f. Penurunan harga komoditas dari produk-produk yang dikembangkan masyarakat yang didukung oleh TFCA Kalimantan, menurunkan minat masyarakat untuk membudidayakan, seperti yang terjadi pada tanaman karet. Analisa situasi internal: 1. Kekuatan a. Masih adanya waktu yang relatif lama (kurang lebih 3 tahun) dan tersedianya dana yang relative memadai (US$ 15,2 million) untuk peningkatan strategi implementasi program termasuk mitra-mitra di Siklus 3. b. Tim administrator yang memiliki kapasitas pengelolaan administrative (pelaporan, system dan prosedur serta manajemen keuangan). c. Tim administrator yang didukung oleh OCTM (oversight committee technical member) memberikan dukungan kapasitas dalam melakasanakan program TFCA Kalimantan.
[63]
2. Kelemahan a. Adanya indikasi kebutuhan peningkatan komunikasi dan koordinasi antara OC, OCTM dan administrator terutama dalam konteks monitoring penyaluran dana hibah serta pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan dana. b. Tertundanya pembentukan dan bekerjanya T.A.P sebagai komponen strategis program terutama dalam kaitan peningkatan kapasitas mitra baik pemerintah daerah maupun grantee. c. Ketiadaan personel yang bertanggung jawab khusus pada system monitoring dan evaluasi program. Hal ini berakibat pada kurangnya pendayagunaan data yang ada untuk peningkatan strategi iplementasi agar lebih efektif dan efisien. d. Proses pengambilan keputusan terkait pelaksanaan program TFCA yang membutuhkan waktu cukup lama, sementara proses-proses pelaksanaan program di lapangan menuntut waktu yang cepat dengan dinamika sosial yang cukup tinggi. Beberapa analisis eksternal dan internal tersebut di kelompokkan ke dalam matriks analisis resiko sebagai berikut:
[64]
Matriks analisis risiko (dari sangat tinggi – rendah)
Identifikasi Pemicu Risiko Resiko alih fungsi lahan untuk pertambangan, kelapa sawit, dan semen
Kebakaran hutan dan lahan
Uraian Alih fungsi lahan untuk pertambangan, kelapa sawit, dan semen merupakan ancaman terbesar bagi program TFCA. Tekanan dari perkembangan secara masif industri ekstraktif (pertambangan, minyak sawit, semen) dimana pada saat yang sama kurang lebih 50% dari total grantee bekerja di kawasan non tenurial, seperti KBNK/Kawasan Budidaya Non Kehutanan dan APL lain. Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi pada musim kemarau
Pengaruh bagi strategi pendekatan dan pencapaian tujuan proyek Ancaman* Keluarnya ijin-ijin baru untuk kelapa sawit, pertambangan, dan semen sangat mengancam areal-areal yang sedang diintevensi TFCA untuk perlindungan hutan dan konservasi,
Peluang** Penetapan kawasan untuk konservasi atau kawasan lindung atau kawasan strategis kabupaten melalui Penetapan Menteri LHK, SK Bupati maupun SK Gubernur.
Tingkat risiko Sangat tinggi
Rekomendasi mitigasi risiko
Siapa
Kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi yang saat ini diintervensi langsung oleh TFCA, harus dipastikan tenurialnya melalui pengusulan dan penetapan kawasan SK Menteri LHK untuk menjadi kawasan hutan tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku, seperti hutan desa, hutan lindung, atau hutan konservasi.
Mitra, Kehati, OTCM, Pemerintah Kabupaten
Bisa juga diusulkan untuk menjadi kawasan strategis melalui SK Bupati atau SK Gubernur Kebakaran hutan dan lahan sangat mengancam keberhasilan upayaupaya konservasi yang dilakukan. Kebakaran hutan juga sangat mengancam kualitas hasil madu hutan yang dihasilkan pada program mitra yang
Masyarakat telah memiliki ketrampilan memadamkan api dan telah melakukan patrol secara regular sehingga dapat meminimalkan resiko kebakaran hutan
[65]
Tinggi
Mitra, kelompok masyarakat Penguatan kapasitas masyarakat untuk memadamkan api dengan melengkapi peralatan pendukung.
Pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Perubahan harga komoditas pertanian (agroforestry) & HHBK
Pemberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Perubahan harga komoditas pertanian (agroforestry) &
Program TFCA yang berbasis kabupaten, tidak diuntungkan dengan lahirnya UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang memindahkan kewenangan di dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Provinsi. Minat masyarakat bercocok tanam dan melakukan budidaya suatu komoditas dipengaruhi naik turun harga komoditas di pasar. Seperti saat ini harga karet sedang rendah sehingga masyarakat tidak terlalu antusias menanam dan memelihara karet Dana desa mendapatkan kucuran dana sangat besar
Minat masyarakat bercocok tanam dan melakukan budidaya suatu komoditas
mengembangkan hasil hutan non kayu, seperti AOI dan Kerima Puri Pemerintah Kabupaten tidak lagi menjadi stakeholder penting dalam urusan kehutanan (termasuk terkait project TFCA), sementara upaya komunikasi dan koordinasi yang dilakukan baru pada pada level kabupaten
belum teridentifikasi
Tinggi
Selain judicial review terhadap UU No. 23 Tahun 2014 (yang khusus untuk sektor kehutanan), kabupaten perlu bersinergi dengan provinsi untuk membagi kewenangan administratif dan pegawasan sektor kehutanan.
Mitra, Kehati, OCTM, dan pemerintah kabupaten
Mitra TFCA dan Kehati sudah harus mulai membangun komunikasi dan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi
Harga komoditas rendah menurunkan minat masyarakat untuk membudidayakan
Petani terbuka untuk membudidayakan komoditaskomoditas baru
Tinggi
Dana desa kurang disalurkan ke sektor kehutanan. Masyarakat akan mengenyampingkan sektor kehutanan Harga komoditas rendah menurunkan minat masyarakat
Dana desa dapat diposisikan sebagai pendukung anggaran untuk sektor kehutanan di desa Petani terbuka untuk membudidayakan
sedang
[66]
Lebih cermat memilih komoditas yang dibudidayakan di masyarakat dan melakukan intervensi program dalam penanganan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian
Tinggi
Harus ada penjelasan yang komprehensif bahwa kehutanan di desa juga menjadi bagian dari sektor yang harus ditopang oleh dana desa Lebih cermat memilih komoditas yang dibudidayakan di masyarakat dan melakukan
Mitra dan Kelompok tani
Mitra, pemerintah desa
Mitra dan Kelompok tani
HHBK
Adanya kesenjangan kapasitas mitra antara lembagalembaga yang berbasis nasional dengan lembagalembaga lokal
Komunikasi dan koordinasi antara OC, OCTM dan administrator
Ketiadaan personel yang bertanggung jawab khusus pada system monitoring dan evaluasi program
dipengaruhi naik turun harga komoditas di pasar. Seperti saat ini harga karet sedang rendah sehingga masyarakat tidak terlalu antusias menanam dan memelihara karet Beberapa mitra TFCA masih perlu dilakukan peningkatan kapasitas organisasi dalam melaksanakan program TFCA, terutama untuk kelompok KSM
untuk membudidayakan
komoditaskomoditas baru
intervensi program dalam penanganan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian
Lemahnya kapasitas dari beberapa CSO dan KSM mempengaruhi mereka dalam pelaksanaan program mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi serta pelaporan, yang dapat menghambat tercapai tujuan program
Adanya minat dari CSO dan KSM untuk terlibat aktif dalam program TFCA
Indikasi kurangnya komunikasi dan koordinasi antara OC, OCTM, dan Kehati dalam konteks monitoring penyaluran dana hibah serta pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan dana. Belum ada orang yang khusus menangani system monitoring dan evaluasi program. selama ini dirangkap oleh Conservation Specialist
menghambat pelaksanaan program TFCA
Adanya keinginan bersama antara Kehati dan OCTM untuk meningkatkan koordinasi
sedang
Kesulitan untuk mengukur ketercapaian program dan membangun strategi tentang bagaimana mencapai tujuan program
Keberadaan staff monev menjadi kebutuhan bersama antara Kehati sebagai administrator dan OCTM
sedang
Sedang
Mitra, kehati, OCTM Perlu asistensi teknis kepada CSO dan KSM berdasarkan kebutuhan mereka dalam implementasi program
[67]
Kehati, OCTM Mengembangkan protocol komunikasi dan koordinasi yang disepakati semua pihak Perlu disediakan staff project yang khusus bertanggung jawab tehadap system monitoring dan evaluasi program. Staff khusus ini juga perlu dilengkapi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi program
Kehati, OCTM
Proses pengambilan keputusan terkait pelaksanaan program TFCA yang membutuhkan waktu cukup lama
Tertundanya pembentukan dan bekerjanya T.A.P sebagai komponen strategis program
Proses pengambilan keputusan terkait pelaksanaan program TFCA yang membutuhkan waktu cukup lama, sementara proses-proses pelaksanaan program di lapangan menuntut waktu yang cepat dengan dinamika sosial yang cukup tinggi. Keberadaan TAP yang tertunda, menyebabkan beberapa proses asistensi teknis tidak berjalan, sementara kebutuhan TA di lapangan sangat mendesak.
Menghambat jalannya pelaksanaan program oleh mitra di lapangan
Ada pemahaman bersama bahwa perlu peningkatan kinerja Program TFCA
sedang
Perlu pemahaman bersama tentang mekanisme pengambilan keputusan antara Kehati dan OCTM.
Kehati, OCTM, OC
Perlu dibuat jenjang level pengambilan keputusan, dimana KEHATI sebagai administrator diperbolehkan untuk mengambil keputusan Menghambat prosesproses ketercapaian program karena tidak ada asistensi teknis yang dilakukan
Sudah terbentuk TAP
Rendah
Kehati, OCTM, TAP TAP segera berfungsi
[68]
BAB IV. KUMULATIF CAPAIAN PROGRAM TERHADAP TUJUAN TFCA KALIMANTAN 4.1 CAPAIAN KUNCI MITRA TFCA Kegiatan penerima hibah siklus 1 dan 2 TFCA Kalimantan diharapkan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan TFCA Kalimantan yang terkait dengan Perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+. Secara keseluruhan total luasan kawasan untuk fungsi konservasi dan lindung yang berhasil diintervensi oleh TFCA Kalimantan mencapai sekitar 634.135,2 ha,--belum memasukkan luasan kawasan karst sangkulirang yang mencapai 1.876.676 ha. Kontribusi pencapaian mitra terhadap ekosistem hutan yang essensial mencapai 9.322 ha, yang banyak bekerja di kawasan mangrove dari mitra FLIM, KANOPI, JALA dan juga dukungan dari LEKMALAMIN yang melakukan intervensi program di hutan bakau. Luasan ini akan bertambah jika kawasan sangkulirang yang merupakan sasaran project dari KARST UGM ikut diperhitungkan yang seluas 1.876.676 ha. Dengan demikian, kontribusi luasan terhadap ekosistem hutan esensial mencapai 1.876.999 ha. Pencapaian luasan pengelolaan yang efektif di wilayah DAS banyak di dukung oleh mitra-mitra yang bekerja di kawasan hulu DAS, baik di Berau maupun Kapuas Hulu. Kontribusi mitra yang mencapai luasan 317.162,82 ha. Beberapa mitra yang berkontribusi untuk pencapaian ini adalah OWT, Gemawan, BP Segah, Payo-Payo, Asppuk, Sampan, dan Yayasan Dian Tama. Sedangkan pencapaian luasan ekosistem yang terhubung sebagai hasil dari koridor baru, dikontribusikan oleh FORINA dan KOMPAKH yang mencapai total 244.613 ha. Area hutan dibawah pengelolaan masyarakat yang formal, banyak dilakukan melalui skema hutan desa yang dilakukan oleh KBCF Warsi, PRCF, Kerima Puri, Jala, dan Menapak. Total luasan yang berhasil dikembangkan ke dalam pengelolaan hutan desa mencapai 50.627 ha. Untuk tujuan perlindungan orang utan atau species lain, hingga evaluasi ini dilakukan, belum teridentifikasi tentang berapa prosen peningkatan populasi yang dicapai karena kurangnya data dan hanya 1 mitra yang bekerja di tujuan ini. Akan tetapi saat ini, FORINA sedang melaksanakan beberapa survei untuk identifikasi area reintroduksi orangutan di Kalimantan Barat dan persiapan untuk daerah rehabilitasi di koridor Labian-Leboyan. Peningkatan peluang mata pencaharian merupakan tujuan yang banyak diintervensi oleh mitra. Dalam rangka mendukung hasil hutan non-kayu (HHBK) di [69]
Kapuas Hulu, dukungan program adalah melalui penguatan produk dan kualitas madu hutan dengan fasilitasi dan pelatihan untuk 37 kelompok tani madu (699 anggota); peningkatan kapasitas dan pelatihan untuk pemanfaatan tanaman pewarna alami untuk 33 perempuan sebagai tradisional penenun; dan memperkuat kapasitas petani perkebunan karet tradisional. Dampak nyata dari madu hutan fasilitasi adalah kenaikan harga (Rp 80.000 / 300 gram) di tempat produksi. Selanjutnya, di Berau, TFCA Kalimantan bekerja pada pengembangan ekowisata untuk 3 desa dan penyediaan dukungan kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan souvenir atau kerajinan. Untuk isu hutan lindung dengan stok karbon tinggi, Di Berau, Kalimantan TFCA berhasil memfasilitasi proses pembentukan SLPF (Sungai Lesan Hutan Lindung) melalui Keputusan Menteri Nomor Forest 718 / Menhut-II / 2014 tentang Hutan Lindung di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara. Keputusan tersebut memberlakukan status Kawasan Lindung Lesan sebagai Hutan Lindung seluas 10.238,17 ha, yang berisi 1.200.252.548 ton stok karbon dan CO2-setara dengan 4.400.914.764 ton berdasarkan pengukuran alometrik. Dari 1 Januari - 30 November 2015, Pemerintah Indonesia telah mengalihkan USD 2.779.049,25 ke rekening Trust Fund. Dengan demikian, USD 20,770,949.06 telah ditransfer sebagai debt swap Pemerintah Indonesia sejak berjalannya program TFCA Kalimantan pada tahun 2012. Untuk beban manajemen, penarikan dari rekening Trust Fund sampai dengan Desember 2015 adalah Rp.3,041,472,566 dengan sisa anggaran Rp 1,390,158,590 (31%). Untuk penarikan dengan tujuan hibah per Maret 2016 adalah Rp.40,089,780,620 dengan sisa anggaran untuk hibah Rp. 52,540,938,380 (57%). 4.1.1 PKHB – Berau Di Kabupaten Berau, ada 12 mitra TFCA Kalimantan yang bekerja di 3 areal geografis tersebut. Dalam hal jadual pelaksanaan program, setiap mitra mempunyai waktu mulai dan lama program yang cukup variatif. Ada 3 mitra yang sudah memulai program sejak tahun Mei 2014, dan ada 9 mitra yang memulai programnya sejak Mei 2015. Setiap mitra juga mempunyai jangka waktu project juga cukup bervariasi, ada yang 4,5 tahun, 3 tahun, bahkan ada yang hanya 2 tahun. Waktu mulai program yang berbeda, tentunya juga mempengaruhi hasil capaian program berbeda. Beberapa capaian penting dari setiap mitra sejak 2014 dan 2015 hingga saat ini, adalah: Nama Proponen Operation Wallacea Trust (Bogor)
Lokasi Desa: Sidobangen, Merapun, Muara Lesan, Lesan Dayak. Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Capaian Penting - Menghasilkan 2 dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kampung yang berbasis pengelolaan sumberdaya alam lestari (didalamnya termasuk perlindungan Hutan Lindung Sungai Lesan) di 2 Kampung, yakni Kampung Sidobangen dan Muara Lesan
[70]
Yayasan PEKA (Bogor)
Yayasan BIOMA (Samarinda)
Perkumpulan PayoPayo (Sulawesi Selatan)
Desa: Biduk-biduk, Teluk Sulaiman, Giring-giring. Kecamatan: Bidukbiduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa: Long Gi, Long Boi, Muara Siram, Matalibaq, Long Galawang. Kecamatan: Kelay, Bongan, Long Hubung. Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur Desa: Long Lamcin, Long Lamjan, Long Ayap. Kecamatan: Kelay dan Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
- Bekerja sama dengan BPKH Wilayah IV Samarinda, telah berhasil melakukan pemetaan dan penataan batas kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan, yang dibuktikan dengan adanya peta tata batas kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan. - Saat ini, telah telah keluar SK Menteri Kehutanan No. SK. 3924/Mehut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Muara Lasan, dengan luas 13.565,58 ha. - OWT telah berhasil membangun demplot budidaya tanaman sebagai alternative pendapatan baru. Demplot yang dibangun dalam bentuk pusat persemaian tanaman kayu, non kayu, dan hortikultura di 3 Kampung, yakni persemaian Kampung Sidobangen, Muara Lesan, dan Lesan Dayak. - Pemetaan tata guna lahan untuk kesepakatan tata kelola kawasan - Identifikasi dan kajian potensi jenis – jenis pendapatan lain masyarakat - Terbentuknya kelompok – kelompok usaha produktif masyarakat Berhasil mengumpulkan data dan informasi tentang sumber keanekaragaman hayati flora dan fauna di DAS Pariq Praktik sebagai hasil dari studi keanekaragaman hayati.
-
-
-
Kelompok Study Karst Fakultas Geografi UGM (Yogyakarta)
Area Karst Sangkulirang Mangkalihat, Kabupaten Berau -
-
[71]
Fasilitasi untuk perencanaan kampung lewat penyusunan RPJMK. Selama ini, proses penyusunan RPJMK dianggap tidak sesuai prosedur oleh kabupaten karena penyusunannya yang menggunakan jasa konsultan tanpa melibatkan dan berkonsultasi dengan warga masyarakat Demplot ekonomi dengan pemeliharaan ikan tawar berupa ikan lele. Usulan pengembangan demplot ekonomi ikan lele dan ikan tawar lainnya merupakan usulan dari masyarakat karena ini merupakan hal yang baru bagi mereka dan mereka ingin mencobanya Hasil kunjungan belajar ke Desa Merabu yang diikuti oleh beberapa warga desa Long Lamjan untuk belajar tentang bagaimana mengembangkan ekowisata. Hal ini memicu semangat warga Kampung Long Lamjan untuk merencanakan pengembangan kawasan wisata di Kampung Long Lamjan seperti yang dilakukan di Kampung Merabu Telah dihasilkan buku panduan survei terintegrasi kawasan karst SangkulirangMangkalihat. Buku panduan ini menjadi rujukan pada survei besar pada bulan Juni dan September
Kutai Timur, Kalimantan Timur
Menapak (Berau)
Desa: Dumaring, Sumber Mulia, Biatan Ilir. Kecamatan Talisayan - Biatan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
-
Forum Lingkungan Mulawarman (FLIM) - Samarinda
Desa: Pegat Batumbuk dan Teluk Semanting
-
-
Perkumpulan Jaringan Nelayan (JALA) - Berau
Desa: Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
-
-
Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Labuan Cermin (LEKMALAMI) Berau
Desa: Biduk-Biduk, Teluk Harapan. Kecamatan BidukBiduk. Berau, Kalimantan Timur
-
2016 Keterlibatan aktor lokal dalam tim survei, baik dari unsur perguruan tinggi maupun aktivis CSO/ NGO, merupakan salah satu strategi penting untuk mendorong kepemilikan (ownership) maupun juga transfer of knowledge kepada aktor kunci di daerah Menghasilkan data dan informasi sebagai hasil riset yang faktual sebagai landasan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan selanjutnya. Beberapa data yang diperoleh adalah adalah terkait sosial ekonomi, konflik dan asset masyarakat, yang diperoleh melalui metode PAR. Penyusunan RPJMK merupakan salah satu capaian strategis dari proyek TFCA yang dilaksanakan oleh Menapak, terutama untuk dua desa yakni Sumbet Mulya dan Bitan Ilir. Kegiatan penyusunan RPJMK ini sangat strategis untuk mengintegrasikan muatan-muatan program TFCA ke dalam RPJMK terkait pengelolaan hutan berbasis masyarakat FLIM membangun demplot ekonomi skala kecil, yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga masyarakat. Di Pegat Batumbuk, kelompok perempuan tengah mengembangkan produk terasi berbahan baku udang. Saat ini, kelompok tersebut sedang berusaha mendapatkan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) untuk mendukung upaya pemasaran produk Integrasi program ke dalam RPJM Kampung. Pegat Batumbuk—yang kebetulan tengah menyusun RPJM Kampung—telah memasukkan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove di dalam proses penyusunan rencana kampungnya. Usulan masyarakat untuk ekowisata mangrove telah diintegrasikan dalam RPJMK. Usulan ekowisata ini merupakan salah satu rumusan dari visi bersama komunitas tentang kelola kawasan kampung telah dirumuskan dengan mendasarkan pada pemanfaatan hasil survei keanekaragaman hayati dan sosek masyarakat Telah terususun dokumen Pusat Pengembangan & Rehabilitasi Mangrove (PPRM) yang menjadi rumusan bersama masyarakat untuk konservasi dan ekonomi dari kelola kawasan mangrove tersebut. Selain itu, pada aspek kelembagaan, saat ini juga telah terbentuk Tim Pengelola Mangrove yang menjadi pengelola harian dari ekowisata tersebut. Tim ini akan menjadi bagian dari skema Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) menyusul implementasi UU Desa Pembentukan dan penguatan kelompok petani penggarap di kawasan lindung beranggotakan 36 petani dengan luasan lebih dari 100 Ha, yang melakukan upaya-upaya pelestarian Kawasan Labuan Cermin sebagai daerah penyangga Danau Labuan Cermin
[72]
Badan Pengelola Sumber Daya Alam Kampung Sungai Segah - Segah
Desa: Loong Lai. Kecamatan Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Perkumpulan Kerima' Puri - Berau
Desa: Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Kalimantan Timur
Kanopi - Berau
Desa: Batu-Batu. Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten
- Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan wisata alam Labuan Cermin telah berbasis masyarakat telah secara nyata meningkatkan sumber mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat di sekitar Labuan Cermin. Peningkatan pendapatan secara langsung diperoleh dari usaha penyeberangan perahu dari desa ke lokasi danau dengan tariff Rp 10.000,- per orang, dan penyewaan alat-alat kelengkapan wisata air seperti: pelampung, masker dan lain-lain. Selain kegiatan ekonomi di atas terdapat pula fasilitasi dari program TFCA untuk pengembangan produk makanan berbasis potensi lokal yakni gemi cempa atau abon ikan. Produk ini dihasilkan oleh kelompok ibu-ibu yang difasilitasi dan diperkuat oleh TFCA dengan dukungan modal dan peningkatan ketrampilan - BP Segah telah menfasilitasi untuk menghasilkan penggalian aset dan visi kampung, yang menjadi dasar untuk penyusunan rencana kampung. Beberapa aset atau kekuatan yang teridentifikasi di kelompokkan menjadi 5 aspek besar, yakni Aset Sumber Daya Manusia, Aset Infrastruktur, Aset Sosial Budaya, Aset Keuangan Masyarakat, dan Aset Lingkungan dan SDA. Aset-aset tersebut kemudian dikembangkan untuk membangun visi dan kampung. Capaian Visi dan Misi Kampung Long Laai Kecamatan Segah Kabupaten Berau “TERWUJUDNYA PEMERINTAHAN KAMPUNG DAN PEMBANGUNAN YANG MAJU BERBASIS PADA NILAI-NILAI AGAMA, SOSIAL, PENDIDIKAN,SUMBER DAYA ALAM, DAN ADAT ISTIADAT. - BP Segah berhasil mengidentifikasi tata guna lahan, yang akan dikembangkan sebagai kawasan hutan yang perlu dijaga fungsi dan kelestariannya seluas 14.493 ha. Tata guna lahan sudah diformusikan dalam bentuk peta skala 1:50.000 - Kerima juga telah menghasilkan penataan tata batas hak kelola hutan merabu sepanjang ± 68 Km. Tata batas dilakukan dengan PLAT, yang berjarakat antar PLAT sepanjang 100 m. Masih ada batas yang belum diberi tata batas sepanjang ±25 Km. Hal ini disebabkan karena kurangnya dana untuk operasional survey pemasangan PLAT dan batasbatas hutan desa Merabu yang menabrak dinding karst. - Kerima Puri telah menfasilitasi pengembangan ekonomi alternative berbasis hasil hutan maupun non berbasis hutan. Beberapa pemanfaatan yang hasil hutan yang sudah dilakukan adalah madu dan paket unggas. Kampung Merabu adalah salah satu penghasil madu yang besar pada masa-masa panen madu. Dalam kegiatan pembelian madu ini Kerima Puri berhasil menampung sebanyak 233 Liter madu dari pendanaan TFCA dan kerima puri - Berhasil menyusun peta kekuatan dan visi kolektif masyarakat. Visi masyarakat Batu-batu adalah Menjadikan Batu-Batu Sebagai Kampung
[73]
Berau, Kalimantan Timur
Ekowisata Mangrove Dan Bekantan Yang Terdepan - Tersusun dokumen perencanaan pembangunan dan pengelolaan ekowisata mangrove dan bekantan di kampung Batu-batu. Secara umum terdapat empat jenis wilayah yang dimasukkan dalam tata ruang kawasan mangrove yang telah disepakati masyarakat sesuai hasil pemetaan partisipatif yaitu: 1) Kawasan Ekowisata, 2) Kawasan Perlindungan Sumber Daya Air dan Perikanan Kampung, 3) Kawasan Mangrove Lindung Kampung, 4) Kawasan Rehabilitasi
Berdasarkan tabel diatas, capaian mitra dapat kategorikan ke dalam 4 kelompok besar, yakni: 1. Keberhasilan dalam melakukan penataan areal batas kawasan hutan atau mangrove yang dikelola oleh kelompok. Penataan batas ini kemudian diformulasikan ke dalam bentuk peta. 2. Keberhasilan mitra dalam mengintegrasikan program terkait pengelolaan hutan dan mangrove berbasis masyarakat ke dalam RPJM Kampung. Capaian ini diawali dengan identifikasi aset yang dimiliki masyarakat/kampung, yang kemudian dikembangkan untuk membangun visi misi kelompok dan kampung. Aset dan visi misi inilah yang kemudian menjadi salah satu materi sebagai dasar dalam menyusun RPJM Kampung. 3. Pengembangan sumber alternative ekonomi sebagai sumber mata pencaharian kelompok, baik berbasis hutan maupun non hutan. Fasilitasi yang dilakukan terhadap masyarakat untuk pengembangan alternative ekonomi, didasarkan pada potensi lokal yang ada telah memberikan hasil nyata dalam menambah pendapatan masyarakat. Beberapa pengembangan sumber ekonomi alternative yang dikembangkan adalah madu, paket unggas, paket ekowisata, olahan makanan, demplot budidaya tanaman buah dll. Hampir semua mitra TFCA Kalimantan bekerja untuk kategori ini 4. Untuk aspek kelembagaan, pengelolaan-pengelolaan sumber daya alam diperkuat dengan melakukan penguatan kelompok-kelompok masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan, serta penyusunan perencanaan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Hampir semua mitra TFCA juga bekerja untuk kategori ini. 5. Keluarnya SK Menteri Kehutanan untuk penetapatan areal kawasan yang diintervensi oleh mitra-mitra TFCA. Seperti halnya yang dilakukan oleh OWT dalam mengawal keluarnya SK Menteri Kehutanan No. SK. 3924/MehutVII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Muara Lasan.
[74]
4.1.2 HOB – Kapuas Hulu & Mahakam Ulu Sebaran 12 mitra TFCA Kalimantan di Kabupaten Kapuas Hulu dan Mahakam Ulu lebih banyak terkonsentrasi di bagian koridor TNBK – TNDS (Labian-Leboyan Corridor). Sebanyak 7 mitra dari 12 mitra yang bekerja, melakukan kegiatan di areal tersebut, sedangkan 3 mitra yang lain bekerja di areal penyangga Pegunungan Muller dan 2 mitra lain bekerja di penyangga HOB di Kabupaten Mahakam Ulu. Dalam peta sebaran intervensi didapatkan bahwa lokus kerja 7 mitra tersebut saling bertampalan di desa atau bahkan dusun yang sama. Dalam verifikasi di tingkat lapangan, hal tersebut terlihat dengan bentuk-bentuk intervensi yang serupa pada lokasi yang sama. Ke – 7 mitra TFCA tersebut adalah: AOI, FORINA, ASSPUK, KOMPAKH, FDLL, DIAN TAMA dan LANTING BORNEO. Tampalan lokasi disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Lokasi Desa Malemba Desa Labian Desa Sungai Ajung Desa Manua Sedap
Mitra TFCA AOI, FORINA, Lanting Borneo FORINA, Dian Tama, FDLL FORINA, Dian Tama, FDLL ASSPUK, KOMPAKH
Program Lain FORCLIME FORCLIME FORCLIME FORCLIME
Kondisi tersebut bisa memberikan dampak positif namun bisa juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan tingkat efisiensi program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Seperti yang terlihat pada lokasi di desa Sungai Ajung, terdapat 4 program yang bertujuan untuk penanaman DAS Labian – Leboyan. Dalam satu desa bisa ditemukan empat lokasi pembibitan dengan kepemilikan dari FDLL, Dian Tama, Forina dan Forclime, dengan jumlah KK yang hanya sekitar 120 orang maka bisa dipastikan bahwa pelaku atau penerima manfaat dari keempat program juga saling bertampalan. Terkait dengan capaian program per mitra maka dapat di sajikan dalam tabulasi sebagai berikut; Mitra TFCA FORINA
Lokasi Kegiatan Desa: Malemba, Mensiau, Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Capaian Penting -
-
[75]
2 Calon lokasi pelepasliaran orangutan di DAS Mendalam Identifikasi populasi dan distribusi orangutan di 5 desa Koridor TNBKDS dengan survey dan pemetaan potensi koridor untuk mendukung adanya koneksitas antar habiatat dan populasi orangutan yang terpisah Pengkayaan Lahan Habitat Orang utan dengan 26.000 bibit yang telah ditanam pada potensi lokasi penanaman sebanyak 117 ha di Desa Mensiau dan 80 hektar di Desa Labian
-
AOI
30 Desa. Kecamatan: Selimbau, Batang Lupar, Badau, Suhaid, Jongkong, Bunut Hilir, Embaloh Hilir.
-
ASSPUK
Yayasan Dian Tama
Desa : Lanjak Deras, Mensiau, Manua Sedap. Kecamatan Batang Lupar - Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Desa : Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
-
-
Lembaga Gemawan
Desa: Nanga Ngeri, Dangkan Kota, Nanga Dangkan, Lebak Najah. Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat -
PRCF Indonesia
Desa: Narga Yen, Sri Wangi, Narga Jemah, Tanjung. Kecamatan Hulu Gunung, Boyan Tanjung, Mentebah -
-
-
[76]
Peningkatan peran aktif masyarakat setempat dalam konservasi orangutan Peningkatan kesadaran masyarakat umum dalam konservasi orangutan dengan program pendidikan lingkungan seperti strategi kampanye yang partisipatif, inovatif, komprehensif dan berkesinambungan Pengakuan Periau dan hak kelolanya Rencana bisnis Madu Sentra madu hutan dengan SK Bupati no SK 434/2014 dan sertifikasi madu hutan Lembaga keuangan dalam bentuk sentra dan sub sentra EWS untuk pengendalian kebakaran Penguatan kapasitas dalam produksi pewarna alam dan tenun Demplot dan penanaman tanaman pewarna alam seluas 1 Hektar Publikasi melalui media sosial diupload dalam website ASPPUK (http://www.asppuk.or.id; blog http://warnaalamblog.wordpress.com ,akun facebook sahabat warna alam dan twitter @warnaalamfriend. Persemaian dan Model Pertanian Terpadu dan menghasilkan bibit sebanyak 7.000 bibit tanaman yang terdiri dari 25 jenis, yaitu meranti, tekam, cempedak, langsat, durian, rotan, manggis, kopi dan coklat Penanaman lahan kelola masyarakat. Penguatan Kapasitas Lembaga Lokal Regulasi perlindungan kawasan ekonomi masyarakat policy brief yang diutarakan dalam workshop dan mendapat dukungan pemerintah daerah (SEKDA) Kapuas Hulu Hilirisasi produk dengan perubahan pola budidaya dan panen karet dihubungkan dengan pasar dalam bentuk sms komunitas Pemberdayaan masyarakat dengan terbentuknya 17 kelompok tani Akses dan Hak Kelola Masyarakat dalam bentuk 1 HPHD definitif dan 3 proses verifikasi Baseline standar pengelolaan hutan dalam usaha-usaha peningkatan keberlanjutan social dan lingkungan hidup dalam bentuk HCVF pada lokasi Hutan Desa Rehabilitasi Kawasan Hutan Lindung pada 50 hektar kawasan kritis /desa dengan jenis – jenis tanaman setempat Economic development dan inklusi
Sampan Kalimantan
Desa : Selaup, Nanga Semang, Nanga Raon, Baherap. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat -
-
-
-
Forum DAS Labian – Leboyan
Desa : Labian, Sungai Ajung. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Lanting Borneo
Desa : Malemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
-
Desa : Menua Sadap. Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
-
KOMPAKH
-
-
-
-
[77]
gender dengan pengembangan 3 koperasi dengan basis usaha produktif komunitas dengan melibatkan perempuan Disemininasi program dengan memperluas jangkaun program hingga 20 desa dari 4 desa target Akses dan Hak Kelola Masyarakat menghasilkan 5 lembaga pengelola hutan desa (LPHD) dan pengajuan ijin HPHD dari 5 lokasi desa Revisi perencanaan pembangunan desa dengan 4 RPJM Desa yang telah difasilitasi Perlindungan kawasan Tembawang dengan peraturan desa pada 5 lokasi site Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan masyarakat dengan strategi pengembangan kelompok 6 HHBK yang fokus pada produksi komoditas tertentu. Pengorganisasian masyarakat untuk Rehabilitasi lahan dengan bentuk kelompok-kelompok rehabilitasi DAS Labian – Leboyan dengan kontribusi lahan kelola milik masyarakat di sepanjang DAS Pemetaan dan identifikasi desa yang menghasilkan 23 hektar lokasi kawasan lindung masyarakat Drafting dan konsultasi masyarakat tentang Hak kelola kawasan lindung masyarakat dengan integrasi rancangan kelola wilayah kedalam RPJM Desa yang berbasis adat dan kesepakatan bersama Dukungan parapihak dalam penyusunan Rencana Induk Pariwisata Daerah (RIPDA) Penyiapan destinasi ekowisata dengan survey inventarisasi dan penilaian potensi obyek daya tarik wisata alam yang ada di lokasi dampingan dengan bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Peningkatan Kapasitas Pengelola Ekowisata di masing-masing lokasi seperti mempraktekkan pelayanan ekowisata terhadap wisatawanwisatawan Promosi dan jaringan Pemasaran Ekowisata dalam bentuk website dan membuat leaflet yang berisi penawaran program ekowisata di kedua lokasi kegiatan
KBCF – WARSI
Desa: Sembuan, Bermai, Mantar. Kecamatan : Nyuatan, Damai. Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat. Kalimantan Utara Kalimantan Timur
-
-
CSF UNMUL
Desa: Memahaq Teboq, Lutan, Datah Bilang, Long Hubung. Kecamatan: Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu/Kutai Barat, Kalimantan Timur
-
-
Pengajuan PAK Hutan Desa, pembentukan LPHD serta pengusulan HPHD untuk 8 desa Pengembangan skema PHBM di tingkat propinsi dengan pembentukan Pokja PS Data keanekaragaman hayati dan tata guna lahan Identifikasi HHBK potensial Identifikasi kebutuhan masyarakat dalam program kemitraan dengan Perusahaan Rakor Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, BP DAS Mahakam-Berau, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK
Secara umum, fokus – fokus capaian mitra dapat dipilah dalam sebagai berikut: 1. Inventarisasi keanekaragaman hayati Setidaknya terdapat 3 lembaga mitra yang mengusahakan kegiatan untuk mengembangkan baseline mengenai keanekaragaman hayati pada lokasi programnya. Pendataan yang dilakukan dijalankan dengan metode inventarisasi, pengumpulan preparat ataupun dengan pendekatan HCVF. Dokumen keanekaragaman hayati tersebut selanjutnya dikemas baik dalam bentuk buku, album maupun filem dokumenter. 2. Hak dan Akses kelola masyarakat pada kawasan Setidaknya terdapat 3 lembaga yang bekerja untuk menyelesaikan persoalan kelola kawasan pada areal hutan negara dengan skema perhutanan sosial. Dukungan yang diberikan meliputi pemetaan areal kerja, pengajuan penetapan areal kerja, pembentukan LPHD hingga fasilitasi HPHD. Hingga saat evaluasi dijalankan maka setidaknya terdapat 1 HPHD definitif telah ditetapkan sedangkan 8 yang lainnya sedang dalam proses. 3. Perlindungan Kawasan budidaya dan kelola masyarakat Setidaknya terdapat 3 mitra yang mengerjakan fokus untuk perlindungan kawasan baik sebagai kawasan kelola budidaya maupun kawasan lindung. Dukungan yang diberikan oleh mitra kepada masyarakat mulai dari pemetaan dan membangun kesepakatan batas, integrasi dalam peraturan desa atau dokumen perencanaan desa hingga perencanaan kelola. 4. Bisnis komunitas
[78]
Pada saat evaluasi dijalankan terdapat 6 mitra yang mengangkat usaha-usaha produktif masyarakat sebagai bagian dari fokus outputnya. Dukungan yang diberikan beraneka ragam mulai dari pengorganisasian kelompok, perencanaan bisnis kelompok, fasilitasi pendanaan kelompok, hingga fasilitasi pemasaran baik secara langsung maupun dengan media cetak dan online. Bisnis yang dikembangkan lebih banyak pada HHBK seperti Madu, Karet, Sayuran di bawah tegakan 5. Rehabilitasi kawasan Setidaknya terdapat 5 mitra yang ada di Kabupaten Kapuas Hulu melakukan kegiatan yang ditujukan pada rehabilitasi areal / kawasan. Kerja yang dijalankan juga sebagian besar memiliki kemiripan seperti pengusahaan jenisjenis tanaman / pohon setempat serta berorientasi pada agroforestry. Pengusahaan rehabilitasi kawasan dijalankan dengan; pengembangan kebun bibit, penetapan target lokasi tanam pada lahan kritis atau DAS, serta penanaman tanaman. 6. Ekowisata Kompakh merupakan satu – satunya lembaga mitra TFCA Kalimantan yang berfokus pada ekowisata sebagai alur utama programnya. Pola yang dikembangkan dalam ekowisata adalah berbasis masyarakat, pengembangan kelembagaan, etika wisata dan mengembangkan paket-pekat wisata. Selain itu dalam program juga dijalankan edukasi yang terkait dengan konservasi sumberdaya hutan 7. Koridor Satwa Terdapat dua lembaga mitra TFCA yang baik langsung maupun tidak langsung mengembangkan program untuk konservasi satwa dengan intervensi koridor satwa untuk penyediaan pakan. 8. Pola kemitraan masyarakat dengan perusahaan Satu-satunya mitra TFCA Kalimantan yang menyasar pengembangan pengelolan hutan dengan perusahaan adalah CSF Unmul. Pengembangan diarahkan kepada pola kemitraan dengan fasilitasi ruang-ruang kelola masyarakat pada lokasi ijin perusahaan. Pengusahaan ditujukan untuk pengembangan agroforestry.
[79]
4.2 KONTRIBUSI MITRA PADA TUJUAN PKHB DAN HOB 4.2.1 Kontribusi Mitra terhadap Tujuan PKHB Mengacu pada document Rencana Strategis PKHB 2011 – 2105, intervensi utama PKHB dilakukan melalui dua komponen program yang dilaksanakan secara simultan dan terpadu, yakni: Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin dan Strategi Investasi Berbasis Tapak. Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin merupakan strategi yang diimplementasikan secara lintas sektor, sedangkan Strategi Investasi Berbasis Tapak diimplementasikan pada tingkatan unit-unit pengelola lahan. Strategi Penguatan Kondisi Pemungkin mencakup: a. b. c. d. e. f.
Penyempurnaan rencana tata ruang dan pemanfaatan lahan, Perbaikan tata kelola sektor kehutanan, Pelibatan para pemangku kepentingan, Peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan dan pembagian manfaat yang adil, Berperan serta dalam pengembangan sistem yang terukur, dapat dilaporkan, dan dapat diverifikasi bagi perhitungan pengurangan emisi di tingkat nasional.
Strategi Investasi Berbasis Tapak mencakup: 1.
2.
3.
4.
Perbaikan tata kelola hutan produksi pada paling sedikit areal seluas 650.000 ha dengan potensi pengurangan emisi sebesar 3 juta ton CO2 selama lima tahun ke depan, Perbaikan tata kelola hutan lindung pada paling sedikit areal seluas 100.000 ha dan pengurangan emisi serta penambahan stok karbon dengan potensi sebesar 2 juta ton CO2 selama lima tahun ke depan, Perbaikan perencanaan tata guna lahan dan tata kelola perkebunan kelapa sawit pada paling sedikit areal seluas 20.000 ha dengan potensi pengurangan emisi sebesar 7 juta ton CO2 selama lima tahun ke depan, Perbaikan perencanaan tata guna lahan dan tata kelola kawasan mangrove
Mengacu pada penjelasan diatas terkait tujuan ingin dicapai oleh PKHB, kontribusi capaian mitra TFCA Kalimantan saat ini, hanya bisa dibuat analisis relevansinya. Hal ini disebabkan karena target capaian mitra-mitra TFCA Kalimantan juga tidak diberi tanggung jawab untuk memberikan konstribusi capaian terukur kepada program PKHB. Hal inilah yang menyebabkan kendala untuk mengukut kontribusi secara kuantitatif terhadap program PKHB. Akan tetapi, kontribusi capaian mitra-mitra TFCA dapat dijelaskan dengan pendekatan relevansi terhadap tujuan PKHB, sebagai berikut: [80]
Capaian Penting
Relevansi terhadap PKHB
Keberhasilan dalam melakukan penataan areal batas kawasan hutan atau mangrove yang dikelola oleh kelompok. Penataan batas ini kemudian diformulasikan ke dalam bentuk peta Keberhasilan mitra dalam mengintegrasikan program terkait pengelolaan hutan dan mangrove berbasis masyarakat ke dalam RPJM Kampung. Capaian ini diawali dengan identifikasi aset yang dimiliki masyarakat/kampung, yang kemudian dikembangkan untuk membangun visi misi kelompok dan kampung. Aset dan visi misi inilah yang kemudian menjadi salah satu materi sebagai dasar dalam menyusun RPJM Kampung Pengembangan sumber alternative ekonomi sebagai sumber mata pencaharian kelompok, baik berbasis hutan maupun non hutan. Fasilitasi yang dilakukan terhadap masyarakat untuk pengembangan alternative ekonomi, didasarkan pada potensi lokal yang ada telah memberikan hasil nyata dalam menambah pendapatan masyarakat. Beberapa pengembangan sumber ekonomi alternative yang dikembangkan adalah madu, paket unggas, paket ekowisata, olahan makanan, demplot budidaya tanaman buah dll. Hampir semua mitra TFCA Kalimantan bekerja untuk kategori ini Untuk aspek kelembagaan, pengelolaanpengelolaan sumber daya alam diperkuat dengan melakukan penguatan kelompokkelompok masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan, serta penyusunan perencanaan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Hampir semua mitra TFCA juga bekerja untuk kategori ini Keluarnya SK Menteri Kehutanan untuk penetapatan areal kawasan yang diintervensi oleh mitra-mitra TFCA. Seperti halnya yang dilakukan oleh OWT dalam mengawal keluarnya SK Menteri Kehutanan No. SK. 3924/MehutVII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Muara Lasan
Strategi penguatan kondisi pemungkin #1 . Penyempurnaan rencana tata ruang dan pemanfaatan lahan. Capaian ini berkontribusi pada pencapaian strtegi penguatan kondisi pemungkin #1, terutama pada pemanfaatan lahan level kampung dan tapak Strategi penguatan kondisi pemungkin #1 . Penyempurnaan rencana tata ruang dan pemanfaatan lahan Strategi penguatan kondisi pemungkin #3 . Pelibatan para pemangku kepentingan, terutama para pengambil kebijakan pada level kampung
Strategi penguatan kondisi pemungkin #4. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui pengembangan ekonomi alternative yang memberikan penambahan sumber pendapatan. Masyarakat menerima manfaat langsung dengan lahirnya peluang sumber mata pencaharian dari kegiatan pemantauan hutan, pengelolaan hutan secara lestari, pertanian dan wanatani, dan pembagian manfaat yang adil
Strategi penguatan kondisi pemungkin #3. Pelibatan para pemangku kepentingan. Mitra-mitra TFCA Kalimantan telah berhasil membangun kelompok-kelompok pada level masyarakat, untuk terlibat dan membangun kesepahaman bagi pembangunan rendah emisi. Kelompok-kelompok tersebut telah dilibatkan dalam proses-proses perancangan dan pelaksanaan program. Strategi penguatan kondisi pemungkin #2. Perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Capaian mitra ini mendorong dan menguatkan kerangka kerja peraturan dan hukum untuk mendukung strategi pembangunan rendah emisi melalui SK Menteri Kehutanan No. SK. 3924/MehutVII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Muara Lasan, yang dikelola oleh KPHL Model Berau Barat. Penetapan kelompok hutan Muara Lasan sebagai hutan lindung berpotensi menambah pengurangan emisi serta penambahan stok karbon.
[81]
4.2.2 Kontribusi Mitra terhadap Tujuan HOB Dari 12 Mitra TFCA Kalimantan yang bekerja pada areal HOB, terdapat mitra yang tidak sampai menyelesaikan programnya sesuai dengan rancangan awal program. Mitra yang tidak menyelesaikan tersebut adalah BIOMA. Dengan demikian hanya ada 11 mitra di HOB yang masih bekerja sesuai dengan rancangan yang diajukan kepada TFCA Kalimantan. Namun demikian dalam evaluasi yang dijalankan, tidak menganalisis mengenai posisi mitra, tetapi lebih pada konten dan valuasi kerja mitra TFCA Kalimantan pada objective – objective yang telah ditetapkan oleh TFCA Kalimantan. Dalam rencana strategis dan aksi nasional HOB tahun 2009 – 2014, maka terdapat 4 program utama aksi HOB yang meliputi; 1. Kerjasama provinsi/kabupaten dengan kluster program meliputi: - Penggunaan lahan berkelanjutan - Penyempurnaan kebijakan sektor - Pengembangan kapasitas lembaga 2. Pengelolaan kawasan lindung dengan kluster program meliputi; - Advokasi kebijakan - Informasi dan pengelolaan kawasan lindung - Pemberdayaan masyarakat - Pelibatan peran swasta / BUMN 3. Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung - Penyempurnaan kebijakan sektor - Penggunaan lahan berkelanjutan - Sistem informasi dan pemantauan 4. Penguatan kelembagaan dan pendanaan berkelanjutan - Penguatan kapasitas kelembagaan - Penyempurnaan kebijakan sektor - Pengembangan pendanaan berkelanjutan Selanjutnya rencana aksi tersebut diperbaharui dengan rencana strategis dan aksi nasional HOB tahun 2015 – 2019 dengan pemetaan isu sebagai berikut: MISI 1. Kelestarian sumber daya
2. Efektivitas pengelolaan kawasan lindung
ISU 1. Eksploitasi sumber daya alam
7. Konektivitas
2. Kegiatan pertanian 3. Kebakaran hutan
8. Sumber daya manusia 9. Tataguna lahan dan rencana spasial
4. Pendanaan
10. Kualitas ekosistem
5. Kehendak politik dan kebijakan
11. Kesejahteraan
6. Infrastruktur
12. Energi berkelanjutan
1. Sumber daya manusia
7. Keanekaragaman hayati
2. Pendanaan
8. Penegakan hukum
3. Infrastruktur
9. Eksploitasi sumber daya alam
[82]
4. Konektivitas
3. Kesejahteraan sosialekonomi masyarakat di wilayah perbatasan
4. Pengembangan ekowisata
5. Kehendak politik dan kebijakan
10. Kesejahteraan 11. Hak dan kepemilikan sumber daya
6. Kualitas ekosistem
12. Kerja sama perbatasan
1. Kehendak politik dan kebijakan
8. Sumber daya manusia
2. Pendanaan
9. Perdagangan dan bisnis
3. Kesejahteraan
10. Konektivitas
4. Penegakan hukum
11. Infrastruktur
5. Eksploitasi sumber daya alam
12. Kerja sama perbatasan
6. Kegiatan pertanian 7. Tataguna lahan dan rencana spasial
13. Energi berkelanjutan
1. Kehendak politik dan kebijakan
7. Daerah tujuan wisata
2. Pendanaan
8. Konektivitas
3. Sumber daya manusia
9. Infrastruktur
4. Kesejahteraan
10. Kerja sama perbatasan 11. Kebudayaan dan kearifan tradisional
5. Keanekaragaman hayati 6. Promosi wisata/ekowisata 5. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
1. Sumber daya manusia
5. Kerja sama perbatasan
2. Kehendak politik dan kebijakan
6. Konektivitas
3. Infrastruktur
7. Kesejahteraan
4. Pendanaan
Dari perancangan isu tersebut, selanjutnya disusun dalam program HOB yang disajikan dalam rancangan sebagai berikut; 1. PROGRAM 1: Persiapan untuk implementasi dan akselerasi program di HoB Tujuan : untuk memberikan dasar yang kuat bagi program dan kegiatan yang dikembangkan di HoB 2. PROGRAM 2: Pembangunan sumber daya alam di luar kawasan lindung secara berkelanjutan di HoB Tujuan : mengelola sumber daya alam di luar kawasan lindung secara berkelanjutan di kawasan HoB yang berada di wilayah Indonesia 3. PROGRAM 3: Pengelolaan kawasan lindung Tujuan : meningkatkan efektivitas kawasan lindung dan meningkatkan partisipasi pemangku-kepentingan dalam mengelola kawasan lindung di kawasan HoB, agar keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat dilestarikan dengan baik 4. PROGRAM 4: Pembangunan ekonomi berkelanjutan di wilayah lintas-batas Tujuan : kesejahteraan masyarakat di wilayah lintas-batas berdasarkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan 5. PROGRAM 5: Pengembangan ekowisata Tujuan : mengidentifikasi dan mempromosikan pengembangan ekowisata berkelanjutan di kawasan HoB [83]
6. PROGRAM 6: Peningkatan kapasitas sumber daya manusia Tujuan : memperkuat sumber daya manusia lokal agar dapat melakukan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan pengelolaan kawasan lindung, serta pengembangan pariwisata kawasan HoB Pada masing-masing program, memuat dua konten yaitu konten kebijakan/ perencanaan serta konten yang menjadi rujukan intervensi program. Mendasarkan pada program yang disusun dalam rencana strategis dan aksi Nasioal HOB tersebut maka dapat dilakukan analisis komprehensif mengenai kontribusi capaian mitra – mitra TFCA terhadap HOB sebagai berikut; Capaian umum mitra TFCA Kalimantan – baik pada siklus 1 maupun siklus 2 - pada wilayah kerja HOB terdistribusi menjadi 7 tematik. Tematik tersebut meliputi : basis informasi mengenai keanekaragaman hayati pada site fokus program, hak dan akses kelola hutan oleh masyarakat pada kawasan, perlindungan kawasan budidaya dan kelola masyarakat, bisnis komunitas, rehabilitasi kawasan, ekowisata dan koridor satwa. Dari ketujuh tematik tersebut merujuk atau mendukung pada masing-masing program umum pada rencana dan aksi nasional HOB 2009 – 2014 yang ditampilkan sebagai berikut; Capaian Mitra TFCA - HOB 1.
Basis informasi keanekaragaman hayati
Kontribusi pada Rencana dan Aksi Nasional HOB Rencana Aksi #1 Kerjasama provinsi/kabupaten, pada kerja # Pengembangan Kapasitas Lembaga pada implementasi Mendorong proses pelibatan, kerjasama, peningkatan kepedulian dan pendidikan dalam pelaksanaan HoB. Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung, pada kerja #2 Informasi dan Manajemen Pengelolaan Kawasan Lindung pada implementasi Membangun standar, sistem, penilaian, publikasi, monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan lindungserta kerjasama kelembagaan antar pengelola kawasan lindung dan pengembangan ekowisata dalam areal HoB.
2.
Hak dan akses kelola hutan oleh masyarakat
Rencana Aksi #3 Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung, pada kerja #3 Sistem informasi dan pemantauan, pada implementasi mengembangkan basis data sumberdaya alam di seluruh areal HoB dan menyusun kriteria dan indikator untuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi sumberdaya alam Rencana Aksi #1 Kerjasama provinsi/kabupaten, pada kerja #1 Penggunaan Lahan Berkelanjutan pada implementasi Menetapkan batas area HoB dan Mendorong terselesaikannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/ kota guna mewujudkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di area HoB. #2 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Menyusun kriteria dan indikator pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan diseminasi agar terintegrasi dalam kebijakan sektor #3 Pengembangan Kapasitas Lembaga dalam implementasi Menyusun kerangka kerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya
[84]
alam dalam area HoB dan Mendorong proses pelibatan, kerjasama, peningkatan kepedulian dan pendidikan dalam pelaksanaan HoB. Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung, pada kerja #1 Advokasi Kebijakan pada implementasi Merekomendasikan upaya penguatan pengelolaan dan/atau (jika dipandang penting) mengusulkan penambahan dan peningkatan status kawasan lindung dan kawasan konservasi di area HoB. Dan Membangun kebijakan pengembangan dan atau penguatan pengelolaan kawasan konservasi lintas batas #3 Pemberdayaan Masyarakat pada implementasi Memperkuat kebijakan dan implementasi kerjasama pengelolaan kawasan lindung, termasuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Rencana Aksi #3 Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung, #1 Penyempurnaan Kebijakan Sektor, dalam implementasi Mengembangkan pemerataan manfaat pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. #2 Penggunaan Lahan Berkelanjutan, pada implementasi Inventarisasi dan klasifikasi bentuk-bentuk konflik pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan di areal HoB, Menyusun mekanisme penyelesaian konflik dan melakukan mediasi penyelesaian konflik dan Evaluasi penggunaan ruang.
3. Bisnis komunitas
Rencana aksi #4 Penguatan kelembagaan dan pendanaan berkelanjutan pada kerja #1 Penguatan Kapasitas Lembaga pada implementasi Mendorong adanya payung hukum area HoB. #2 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Mendorong realisasi desentralisasi dan devolusi pengelolaan area HoB Rencana Aksi #1 Kerjasama provinsi/kabupaten, pada kerja #2 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Menyusun kriteria dan indikator pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan diseminasi agar terintegrasi dalam kebijakan sektor Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung pada kerja #3 Pemberdayaan Masyarakat pada implementasi Memperkuat kebijakan dan implementasi kerjasama pengelolaan kawasan lindung, termasuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Rencana Aksi #3 Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung pada kerja #1 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Mengembangkan pemerataan manfaat pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan Melakukan audit terhadap kegiatan pemanfaatan hutan alam dan tanaman di area HoB #2 Penggunaan Lahan Berkelanjutan pada implementasi Menyusun mekanisme penyelesaian konflik dan melakukan mediasi penyelesaian konflik. Rencana aksi #4 Penguatan kelembagaan dan pendanaan berkelanjutan pada kerja #3 Pengembangan pendanaan berkelanjutan pada implementasi Menggalang dana dan mobilisasi sumberdaya dan Menggali dan menggalang pendanaan kreatif
[85]
4. Rehabilitasi kawasan
Rencana Aksi #1 Kerjasama provinsi/kabupaten, pada kerja #1 Penggunaan Lahan Berkelanjutan pada implementasi Menetapkan batas area HoB dan Mendorong terselesaikannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/ kota guna mewujudkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di area HoB. Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung pada kerja #1 Advokasi Kebijakan pada implementasi Merekomendasikan upaya penguatan pengelolaan dan/atau (jika dipandang penting) mengusulkan penambahan dan peningkatan status kawasan lindung dan kawasan konservasi di area HoB.
5. Ekowisata
6.
Koridor satwa
Rencana Aksi #3 Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung pada kerja #1 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Mengembangkan pemerataan manfaat pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, Melakukan audit terhadap kegiatan pemanfaatan hutan alam dan tanaman di area HoB dan Mendorong pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan hutan dan lahan yang rusak di area HoB. #2 Penggunaan Lahan Berkelanjutan pada implementasi Inventarisasi dan klasifikasi bentuk- bentuk konflik pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan di areal HoB. Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung pada kerja #1 Advokasi Kebijakan pada implementasi Merekomendasikan upaya penguatan pengelolaan dan/atau (jika dipandang penting) mengusulkan penambahan dan peningkatan status kawasan lindung dan kawasan konservasi di area HoB Rencana Aksi #3 Pengelolaan sumberdaya alam di luar kawasan lindung pada kerja #1 Penyempurnaan Kebijakan Sektor pada implementasi Memantau dan mengevaluasi kegiatan perekonomian serta mempromosikan area HoB sebagai tujuan ekowisata dan pelaksanaan program Reduction of Emission from Deforestation and Degradation (REDD) Rencana Aksi #2 Pengelolaan kawasan lindung pada kerja #1 Advokasi Kebijakan pada implementasi Merekomendasikan upaya penguatan pengelolaan dan/atau (jika dipandang penting) mengusulkan penambahan dan peningkatan status kawasan lindung dan kawasan konservasi di area HoB
Dengan demikian, merunut pada analisa yang disajikan dalam tabel diatas, kontribusi mitra-mitra TFCA secara umum masuk ke dalam semua rencana dan aksi nasional HOB. Namun demikian, pada rencana dan aksi nasional program ke – 4 terkait dengan Penguatan kelembagaan dan pendanaan berkelanjutan belum banyak disasar oleh mitra. Sedangkan 3 program pada rencana dan aksi nasional HOB merupakan program-program yang cukup kuat didukung oleh kerja-kerja mitra TFCA Kalimantan.
[86]
BAB V. KESIMPULAN DAN PEMBELAJARAN 5.1 KESIMPULAN Program Mitra TFCA Kalimantan Siklus Hibah I dan II telah dilaksanakan selama tiga tahun. Dalam tiga tahun perjalanan program tersebut, tentulah ada banyak capaian, dan sekaligus banyak catatan yang dapat menjadi pelajaran penting bagi implementasi TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Evaluasi formatif program TFCA Kalimantan yang dilaksanakan oleh Bumiraya Consulting telah menghasilkan beberapa catatan kesimpulan. Kesimpulan yang disampaikan di sini merupakan kristalisasi dari upaya untuk menjawab pertanyaan utama evaluasi ini pada tingkatan strategis, tingkatan implementasi, dan tingkatan pembelajaran. Dasar kesimpulan diambil dari esensi substanstif yang sudah dijelaskan pada masingmasing uraian yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam evaluasi ini. 5.1.1 Tingkatan Strategis 1.
Program TFCA Kalimantan yang telah berlangsung semenjak tahun 2014 berkolaborasi dengan 24 mitra8—yang terbagi dalam Siklus 1, Siklus 2 Reguler, dan Siklus 2 SGF. Keseluruhan mitra bekerja pada 4 (empat) Kabupaten sasaran di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur—meliputi Kapuas Hulu, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Berau. Secara umum, kontribusi program mitra mempunyai relevansi yang kuat terhadap pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan. Walaupun demikian, dengan asumsi bahwa semua tujuan TFCA Kalimantan harus tercapai dengan proporsi yang berimbang, masih ada beberapa indikator tujuan yang dicapai dalam jumlah minimal atau belum tercapai sama sekali melalui kontribusi program mitra siklus 1 dan 2. Penjelasan lebih lanjut tentang ketercapaian indikator tujuan TFCA Kalimantan adalah sebagai berikut: a.
Sebagian besar mitra—atau sebanyak 75 %—menjalankan intervensi untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan upaya perlindungan keanekaragaman hayati atau tujuan ke-1 dari Program TFCA Kalimantan.
b.
Hampir seluruh mitra—atau sebesar 92 %—menjalankan intervensi berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan ke-2 ke dua dari Program TFCA Kalimantan.
c.
Hampir 50 % mitra melakukan intervensi untuk berkontribusi pada tujuan ke-3 atau upaya-upaya penurunan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan—dengan dominasi pada Kabupaten Berau. Namun
8
Penabulu merupakan mitra ke dua puluh lima—yang secara khusus—bertugas memberikan asistensi teknis bagi keseluruhan mitra Program TFCA Kalimantan.
[87]
demikian, tidak satu pun mitra yang tercatat berkontribusi pada pemenuhan indikator ke empat dari tujuan ke tiga Program TFCA Kalimantan—berupa #Tambahan luasan (hektar) hutan produksi yang dikelola untuk tujuan konservasi di Kalimantan. d.
Pencapaian tujuan ke-4 TFCA Kalimantan atau pertukaran ide dan berbagi pengalaman—memiliki dukungan paling minim dari mitra-mitra yang terlibat di dalam pelaksanaan Program TFCA Kalimantan. Tercatat 9 (sembilan) mitra atau sebesar 38 %—bekerja pada fokus intervensi tersebut—dengan dominasi pada pencapaian indikator ke dua—berupa # Dokumen petikan pembelajaran, praktik pengelolaan terbaik yang didokumentasikan berdasarkan pelaksanaan proyek, dan artikel jurnal yang berhubungan dengan proyek TFCA Kalimantan.
Sementara itu, mengacu pada kontribusi output yang dihasilkan oleh mitra terhadap setiap indikator pada tujuan TFCA Kalimantan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Tujuan pertama Program TFCA Kalimantan memperoleh proporsi dukungan paling besar—yakni sebanyak 25 %. Setidaknya 32 output— yang berasal dari 18 mitra—berkontribusi pada upaya perlindungan keanekaragaman hayati di wilayah target Program TFCA Kalimantan. Walaupun demikian, indikator ke-4 dari tujuan ke-1—Luasan (hektar) ekosistem yang terhubung sebagai hasil dari koridor baru atau pengembangan, di bawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan—memiliki proporsi dukungan yang paling sedikit dibanding dengan 3 indikator tujuan yang lain Sumbangan output bagi pencapaian tujuan ke dua pun tercatat cukup tinggi—yakni sebesar 30 %. Setidaknya 38 output—yang berasal dari 22 mitra—memberikan dukungan pada upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat. Kontribusi output pada pencapaian tujuan 3 mendapat dukungan 26 % atau sebanyak 33 output. Kontribusi output ini lebih banyak mendukung pada indikator ke-2, sedangkan indikator yang lain mendapatkan dukungan yang sedikit. Merujuk dukungan intervensi program mitra yang sedikit dalam berkontribusi pada tujuan ke-4, maka kontribusi output yang dihasilkan juga paling minimal dibanding tujuan yang lain, yakni hanya mencapai 9 % atau 9 output.
Dominasi kontribusi output pada pencapaian kedua tujuan tersebut— menegaskan bahwa TFCA Kalimantan sangat kuat menerapkan strategi perlindungan keanekaragaman hayati tanpa menegasikan upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat.
[88]
2.
Tingkatan strategi yang juga perlu dijawab adalah apakah kegiatan proyek pada siklus 1 dan 2 adalah rasional untuk memecahkan permasalahan yang ada (justified)? Berdasarkan Rencana Implementasi TFCA Kalimantan 2013 – 2017, Program TFCA Kalimantan di desain untuk berkontribusi dalam mengatasi permasalahan kehutanan tentang tingginya lajunya deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan. Penyebab utama dari cepatnya kerusakan hutan antara lain 1) konversi skala besar kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan; 2) kebutuhan penduduk desa untuk lahan pertanian dan sumber daya ekonomi lainnya memainkan peran yang lebih kecil; 3) praktik pengelolaan lahan yang buruk; 4) proses perencanaan tata guna lahan yang tidak tepat; dan 5) kebijakan serta struktur pemerintahan yang lemah. Secara umum, dengan mengacu pada capaian dan analisis resiko program mitra yang teridentifikasi, kontribusi dari intervensi program mitra-mitra dalam memecahkan permasalahan: a.
Persoalan konversi kawasan hutan dalam skala massive menjadi perkebunan, pertambangan, dan semen merupakan resiko dengan kategori yang sangat tinggi dalam mengancam pencapaian tujuan TFCA Kalimantan. Sesungguhnya persoalan ini sudah teridentifikasi sangat jelas dalam Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 2013-2017. Akan tetapi dalam pelaksanaan program siklus 1 dan 2 yang sudah berjalan 3 tahun, persoalan masih terlihat sangat jelas di lapangan. Bisa dikatakan bahwa belum ada intervensi apapun yang dilakukan untuk mulai meminimalkan ancaman konversi lahan ini. Pada saat yang sama, hampir 50 % program siklus 1 dan 2 banyak bekerja pada kawasan-kawasan yang belum jelas status tenurialnya seperti KBNK/Kawasan Budidaya Non Kehutanan dan APL lain. Alternatif jangka pendek yang bisa dilakukan saat ini adalah kawasankawasan hutan lindung dan konservasi yang saat ini diintervensi langsung oleh TFCA, harus dipastikan tenurialnya melalui pengusulan dan penetapan kawasan melalui SK Menteri LHK untuk menjadi kawasan hutan tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan lindung, atau hutan konservasi. Bisa juga diusulkan untuk menjadi kawasan strategis melalui SK Bupati atau SK Gubernur.
b.
Permasalahan kebutuhan penduduk terhadap sumber daya hutan dan sumber alam lainnya, dijawab dengan program-program peningkatan mata pencaharian bagi masyarakat sekitar hutan. Hampir semua program mitra siklus 1 dan 2, menjalankan intervensi untuk memecahkan persoalan ini.
[89]
c.
Hampir sama dengan pada point b, permasalahan pengelolaan lahan yang buruk oleh masyarakat, banyak dijawab oleh program siklus 1 dan 2 melalui program-program peningkatan kapasitas melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat, baik dikembangkan untuk hutan desa, ekoswisata, maupun untuk daerah tangkapan air.
d. Mengacu pada kegiatan dan output yang ingin dicapai oleh program mitra siklus 1 dan 2, bisa dikatakan bahwa belum banyak intervensi yang dilakukan untuk menjawab persoalan perencanaan tata guna lahan yang buruk dan kebijakan yang lemah untuk mendukung upaya-upaya konservasi. Persoalan kebijakan Rencana Tata Ruang Kabupaten dan Provinsi dan Kebijakan pada level nasional memang bukan menjadi pilihan yang rasional bagi program-program mitra yang banyak bergerak di lapangan, sementara persoalan ini harus banyak dilakukan melalui upaya advokasi mulai level nasional, provinsi, sampai kabupaten. Proses advokasi yang lama, kebutuhan dana yang besar, serta ketergantungan yang sangat tinggi terhadap para pengambil kebijakan dalam menghasilkan output project yang diharapkan, mungkin menjadi alasan rasional bagi para mitra siklus 1 dan 2 untuk melakukan intervensi untuk persoalan ini. 3.
Selain kontribusi terhadap pencapaian TFCA Kalimantan dan rasionalitas untuk memecahkan permasalahan yang ada, program mitra siklus 1 dan 2 juga perlu dilihat bahwa, apakah program telah memberikan dampak nyata bagi perubahan yang ingin dihasilkan oleh TCFA Kalimantan, terkait konservasi hutan dan perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan), perencanaan pada level kabupaten, pengembangan kebijakan dan kelembagaan, keterlibatan para pemangku kepentingan dan lain-lain? Tidak semua mitra TFCA bisa dilihat potensi perubahan yang telah dihasilkan. Ini disebabkan karena awal dan lama pelaksanaan project yang berbeda-beda antara mitra satu dengan mitra lainnya. Akan tetapi, potensi perubahan yang dapat dilihat dari pelaksanaan program oleh secara keseluruhan adalah: a.
Terkait dengan konservasi hutan, hampir semua program mitra siklus 1 dan 2 melakukan intervensi untuk memperkuat kawasan yang mempunyai fungsi konservasi. Hal ini dilakukan dengan kegiatan langsung dilapangan dalam bentuk pengelolaan kawasan untuk fungsi konservasi dan lindung yang lebih baik, yang berbasiskan masyarakat, dengan total luasan mencapai 634.135,2 ha. Upaya-upaya ini lalu diperkuat dengan intervensi pada level kebijakan melalui keluarnya beberapa surat keputusan—melalui SK Menteri Kehutanan untuk penetapan Hutan Desa, SK Menteri untuk Penetapan Hutan Lindung, SK Bupati untuk penetapan Kawasan Strategi Kabupaten—yang menetapkan status kawasan yang diintervensi oleh [90]
mitra-mitra TFCA untuk memberikan jaminan bahwa lokasi-lokasi tersebut mempunyai kepastian hukum untuk tidak di konversi menjadi fungsi lain seperti tambang atau sawit. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Gubernur di beberapa desa dampingan yang menjadi pelopor bagi desa lain untuk memberikan jaminan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola hutan bagi kehidupan masyarakatnya. Dalam program yang dilakukan oleh mitra TFCA ini, luasan hutan yang telah ditetapkan atau sedang berproses untuk ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, hutan desa, bagian dari KPH atau kawasan strategi kabupaten adalah kira-kira seluas 50.627 hektar. b.
Perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan) menjadi pilihan yang kurang menarik bagi mitra siklus 1 dan 2. Hanya ada 1 mitra atau 4 % dari semua mitra siklus 1 dan 2, yakni FORINA dengan program yang melakukan intervensi langsung dalam rangka perlindungan dan konservasi Orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus. Artinya, program mitra siklus 1 dan 2 berpotensi untuk belum memberikan dampak nyata untuk upaya-upaya perlindungan species.
c.
Pengembangan kebijakan dan perencanaan pada level kabupaten merupakan poin penting yang belum mendapatkan perhatian bagi program TFCA Kalimantan. Sebagai sebuah program dengan rancangan awal berbasis kabupaten, TFCA Kalimantan belum melakukan strategi implementasi yang mampu menciptakan ruang-ruang sinergi antar pihak secara sitematis. Bahkan mitra dan admin TFCA Kalimantan mendapatkan “kritikan tajam” dari pemda terkait tidak adanya laporan kegiatan TFCA kepada pemerintah kabupaten, yang pada awal proyek direkomendasikan dari pemda. Pola hubungan antar CSO atau antara pemerintah daerah dengan CSO dilakukan secara parsial oleh masing-masing grantee. Tidak adanya “forum” di tingkat kabupaten yang bisa menjembatani kepentingan para mitra dengan pihak pemerintah daerah, mengakibatkan kolaborasi proyek TFCA Kalimantan dengan pemerintah tidak optimal. Apalagi Program TFCA yang berbasis kabupaten, tidak diuntungkan dengan lahirnya UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang memindahkan kewenangan di dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kabupaten tidak lagi menjadi stakeholder penting dalam urusan kehutanan (termasuk terkait project TFCA).
[91]
5.1.2 Tingkatan Implementasi Berbagai temuan evaluasi dari review dokumen dan kajian lapangan, memberikan kesimpulan bahwa: 1.
Terkait fungsi administrator, ada perbedaan penilaian yang nyata terhadap keefektifan tugas administrator program TFCA Kalimantan yang dijalankan oleh Yayasan Kehati, antara OCTM, Kehati, dan grantee terkait kebijakan penyaluran hibah, pelaksanaan penyaluran hibah, pemantauan penyaluran dana hibah, dan pelaporan dan pertanggungjawaban dana. Akan tetapi, penilaian umum yang dilakukan berdasarkan variabel yang ada, mengindikasikan bahwa tugas administrator oleh Yayasan Kehati berjalan efektif. Administrator sudah memiliki kebijakan penyaluran hibah, namun masih perlu dilakukan perbaikan untuk menyesuaikan dengan perkembangan/dinamika seperti model penyaluran terhadap dana hibah, beasiswa, prosedur pemantauan, dll, terkait dengan proses due diligence (asesmen kapasitas dan kelayakan calon mitra) kepada calon mitra. Pada siklus 1, hasil due diligence menjadi pertimbangan keputusan untuk dinyatakan lolos atau tidak. Pada siklus 2, hasil due diligence tidak mempengaruhi kelolosan calon mitra, hasil due diligence digunakan bagi administrator untuk melakukan kegiatan penguatan kelembagaan grantee Ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan, terkait dengan prosentase ketercapaian target per tahun oleh KEHATI sebagai administrator program: a. b.
c.
d. 2.
Prosentase merujuk pada kelengkapan dokumen bukan pada kualitas substansi dari dokumen yang dihasilkan Kelengkapan dokumen yang ada lebih pada manajerial dan keuangan (seperti laporan keuangan, audit, grant making policy) dari pada dokumen programatik yang bersifat substantive (seperti analisis situasional kabupaten). T.A.P adalah pencapaian strategis yang tertunda dan berakibat pada tidak terpenenuhinya beberapa deliverables terutama berkaitan dengan dukungan kepada mitra (seperti assessment kebutuhan peningkatan kapasitas, desain technical assistance yang dibutuhkan untuk pemerintah daerah dan CSO) Tidak adanya target tahunan yang terukur dan disepakati untuk seluruh indikator yang tercantum dalam Rencana Implemention Plan 2013-2017.
Dalam desain perencanaan dan pengembangan program mitra (dalam proposal), beberapa hal yang menjadi catatan kritis untuk perbaikan adalah a) ada perbedaan redaksional bahkan jumlah outcome/output dan aktivitas antara yang tertera perjanjian penerimaan hibah (PPH), proposal, dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Perbedaan ini menimbulkan kebingungan tentang standar [92]
mana yang digunakan untuk menilai kinerja program mitra; b) Tidak ada logical framework proyek yang baku sehingga menyulitkan proses monitoring dan evaluasi proyek, terutama untuk melihat kontribusi proyek pada tujuan TFCA, relevansi ke HOB dan PKHB, dan agregrasi capaian proyek per mitra ke TFCA; c) Format proposal (template) dari TFCA telah dibakukan, namun pada praktiknya isi proposal tidak terstandar, dengan indikasi yang ditunjukkan bahwa indikator proyek antar mitra sangat berbeda standarnya; d) Belum ditemukan problem statement diproposal yang jelas dari setiap program mitra yang ingin dintervensi, sehingga rancangan aktivitas dan output dari mitra belum secara jelas menyebutkan kontribusi untuk pemecahan masalah yang diusulkan; e) Asistensi pengembangan proposal dari admin belum optimal yang menyebabkan kualitas proposal tidak terstandar, sangat bervariasi tergantung kapasitas mitra. 3.
Dalam efektivitas program secara keseluruhan—rerata tingkat efektivitas program TFCA Kalimantan mencapai 81% atau Sangat Efektif. Sebanyak 16 mitra—atau sebesar 67 %—memiliki tingkat pencapaian output yang sangat efektif. Sementara itu, sebanyak 6 mitra—atau setara 25 % —menyandang peringkat efektivitas program Cukup Efektif—dengan rerata sebesar 65 %. Tingkat efektivitas paling minim disandang oleh 1 mitra, yakni CSF—yang hanya mampu meraih 45 % dari output yang seharusnya direalisasikan.
4.
Terkait efisiensi, rerata pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan mencapai 16 %. Sebanyak 17 mitra—atau sebesar 74 %—mengalami pergeseran waktu di bawah 20 %. Sementara itu, sebanyak 4 mitra—atau setara 17 %—mengalami pergeseran waktu berkategori Sedang—dengan rerata sebesar 26 %. Secara keseluruhan, dengan tingkat efektivitas sebesar 81 % dan pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan sebesar 16 %—maka efisiensi waktu pelaksanaan program TFCA Kalimantan tergolong Cukup Efisien. Sementara itu, rerata penyerapan dana program yang dijalankan mitra—mencapai 75 %. Sebanyak 7 mitra—atau sebesar 33 %—mengalami penyerapan dana yang baik atau di dalam rentang 80 – 120 %. Sementara itu, sebagian besar atau sebanyak 14 mitra—hanya mampu melakukan penyerapan dana di luar rentang 80 – 120 % —dengan rerata sebesar 68 %. Secara keseluruhan, dengan tingkat efektivitas sebesar 81 % dan penyerapan dan sebesar 75 %—maka efisiensi biaya program TFCA Kalimantan tergolong pada kategori Kesalahan Perencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan anggaran ini masih di bawah rancangan yang berdampak pada ketidak-efisienan program
[93]
5.1.3 Tingkatan Pembelajaran 1.
Pada level pendekatan program yang dilakukan, beberapa pembelajaran yang dihasilkan adalah: a. Pendekatan kabupaten belum memberikan hasil optimal terhadap pencapaian program TFCA Kalimantan, karena belum terkelolanya dengan baik untuk melakukan strategi implementasi yang mampu menciptakan ruang-ruang sinergi antar pihak secara sitematis dengan pihak-pihak di kabupaten. Kolaborasi mitra dengan Pemda yang selama ini terjadi lebih pada kedekatan hubungan (pribadi staf) mitra dengan pemda, bukan merupakan skenario proyek TFCA secara umum. Keberadaan Pokja REDD dan Pokja HOB kurang bisa dimaksimalkan oleh TFCA Kalimantan sebagai forum koordinasi dan komunikasi dengan para pihak di kabupaten. Pokja HOB dab Pokja REDD ini mempunyai modalitas untuk mengkonsolidasikan dan akses program SKPD. Kendala yang ada adalah persoalan anggaran yang tidak tersedia untuk melakukan fungsi koordinasi sehingga fungsi koordinasi dengan mitra TFCA Kalimantan tidak berjalan. b. Pendayagunaan jaringan TNC dan WWF dalam implementasi program TFCA Kalimantan merupakan modal sosial yang tinggi. Masing-masing mitra TNC dan WWF selalu memanfaatkan esksistensi TNC dan WWF sebagai salah satu tempat untuk berkonsultasi, berkoordinasi, dan memanfaatkan jaringan mereka kepada para pihak. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah belum maksimalnya mekanisme konsultasi dan koordinasi antara TNC dan WWF untuk memberikan dukungan bagi mitra TFCA di Kalimantan, sehingga terkesan para mitra bekerja sendiri dalam melaksanakan program TFCA Kalimantan.
2.
Pada level pelaksanaan program oleh mitra TFCA, beberapa pembelajaran penting antara lain sebagai berikut: a.
Kombinasi pendekatan teknokratis dan pendekatan sosial-politik dalam mendorong perubahan sosial. Melalui implementasi proyek ini, salah satu pembelajaran penting seperti yang dijalankan oleh KARST UGM adalah tentang kontribusi institusi pendidikan dan legitimasi akademiknya dalam mendorong perubahan sosial. Walaupun menyadari bahwa sumbangsih dan legitimasi akademik yang diemban memiliki pengaruh kuat dalam proses pengambilan kebijakan, namun proses ini perlu dilihat sebagai sebuah proses dinamik yang tidak berada di ruang hampa. Cepatnya laju konversi karst untuk ekstraksi tambang menunjukkan bahwa kalkulasi tentang manfaat –manfaat ekonomi lebih sering dikedepankan daripada manfaat konservasi, dan pada sisi ini, hasil survei dan kajian yang dilakukan Karst UGM menemukan titik kritis atas relevansinya pada perubahan sosial. Bagaimana upaya ini terhubung dengan inisiatif berbagai pihak untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan publik, mempengaruhi sejauh mana [94]
b.
c.
d.
e.
f.
3.
sumbangsih dan peran kerja teknokratis yang dilakukan institusi pendidikan seperti Karst UGM Pentingnya membangun kedekatan dan kepercayaan warga sebagai pijakan sebelum pelaksanaan program. Kasus yang ditemui oleh FLIM, beberapa kegiatan di awal pelaksanaan proyek mundur dari rencana semula, karena FLIM melakukan pendekatan ke masyarakat melalui masuk dalam kegiatan-kegiatan sosial yang membutuhkan waktu yang cukup. Dengan masuk ke dalam aktivitas sosial seperti menjadi panitia di peringatan agustusan, atau menjadi khotib di sholat jumat yang dipakai di kampung Batumbuk,merupakan strategi membangun pengaruh yang tepat. Pendampingan intensif yang didukung dengan tenaga pendamping berpengalaman, memegang penting terhadap keberhasilan program, yang dilakukan pada kelompok tani, kelompok ibu-ibu dan pemerintah kampung. Hal inilah yang dilakukan oleh OWT, Kerima Puri, dan Grantee yang lain. Beberapa kiat yang harus dipegang dalam melaksanakan pendampingan adalah 1) jangan ingkar janji dan harus tulus dari sesuatu yang akan dikerjakan bersama masyarakat, karena masyarakat akan memegang janji dan kepercayaan pada program. 2) pendampingan harus bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, kelompok, maupun pemerintah kampung. 3) Pendampingan harus bisa memberikan solusi dari persoalan social yang terjadi di masyarakat. Upaya pendekatan multipihak yang intensif untuk membangun koordinasi dan komunikasi yang baik—Pemerintah Kampung, Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Pusat—menjadi kunci bagi kelancaran proses usulan PAK Hutan Desa oleh KBCF – Warsi yang telah terbengkalai cukup lama Sebaran 12 mitra TFCA Kalimantan di Kabupaten Kapuas Hulu dan Mahakam Ulu lebih banyak terkonsentrasi di bagian koridor TNBK – TNDS (Labian-Leboyan Corridor). Sebanyak 7 mitra dari 12 mitra yang bekerja, melakukan kegiatan di areal tersebut, sedangkan 3 mitra yang lain bekerja di areal penyangga Pegunungan Muller dan 2 mitra lain bekerja di penyangga HOB di Kabupaten Mahakam Ulu. Dalam peta sebaran intervensi didapatkan bahwa lokus kerja 7 mitra tersebut saling bertampalan di desa atau bahkan dusun yang sama, dan menjalankan kegiatan yang serupa. Dalam pelaksanaan programnya, Sampan Kalimantan berhasil melakukan Bridging antara peta desa, identifikasi keanekaragaman hayati, kebijakan dan perencanaan desa, perencanaan pengelolaan Tembawang dengan kebijakan nasional tentang perhutanan sosial. Semua input yang menjadi intervensi selanjutnya menjadi literatur untuk pemenuhan pengajuan perijinan kelola hutan negara oleh masyarakat tanpa melupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek masyarakat
Pada level administrator program TFCA Kalimantan, beberapa pembelajaran yang dihasilkan adalah: [95]
a.
b.
c.
d.
Dalam menjalankan fungsinya, administrator Kehati telah dilengkapi dengan mekanisme Kebijakan Penyaluran Hibah yang sudah diimplementasikan pada siklus 1 dan 2. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam kebijakan penyaluran hibah serta pengoptimalan fungsi kehati terkait dengan 1) koordinasi komunikasi dan dukungan teknis pelaksanaan program ; 2) mekanisme sinergi program antar mitra dan sinergi program mitra dengan kabupaten, yang sama sekali belum terbangun, terutama pada lokasi-lokasi yang berada dalam satu kabupaten.; 3) monitoring dan evaluasi berkala yang dilakukan TFCA Kalimantan perlu dilakukan pada level persoalan teknis dan strategi untuk perbaikan program. KEHATI sebagai lembaga seharusnya lebih terlibat secara programatik bukan sekedar penyedia dana hibah Bukan tim teknis (OCTM) yang nantinya akan ditanya tentang progres program tetapi KEHATI. Mengingat semakin tingginya kemungkinan perubahan strategi implementasi di lapangan, maka Administrator perlu memastikan proses pengambilan keputusan tidak akan mengganggu jadwal kegiatan program, sementara saat ini yang terjadi, proses pengambilan keputusan dianggap lambat, sehingga cukup menghambat proses implementasi program di lapangan. Kemampuan menulis staf admin dan komunikasi perlu diperbaiki. TAP perlu memasukkan pelatihan penulisan atau report writing workshop bukan hanya bagi penerima hibah tetapi juga staf administrator.
5.2 REKOMENDASI Kriteria Evaluasi
Rekomendasi
Tingkat an Strategi
Penetapan target terukur baik dari sisi kuantitas maupun kualitas di setiap indikator tujuan program yang tercantum dalam Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 20132017. Hal ini penting untuk memonitior ketercapaian tujuan program TFCA Kalimantan. Pengfokusan program menyentuh aspek tenurial kawasan sebagai fondasi untuk mengamankan investasi yang dilakukan dalam upaya-upaya
Pemangku Kepentingan yang Relevan OCTM
Waktu yang disarankan Quarter selanjutnya
Strategi Pengembangan
Siklus 3
Setiap program mitra yang berbasis lahan untuk konservasi, perlu memasukkan intervensi “aspek
Tim Administrator
OCTM Tim Administrator
[96]
Review dan Revisi Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 2013-2017
konservasi hutan dan lahan, dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi resiko kegagalan program akibat dari permasalahan konversi lahan yang massive (kelapa sawit, pertambangan, dan pembalakan liar). Pengfokusan program untuk melakukan intervensi yang berkontribusi pada pencapaian program yang masih minimal, khususnya pada perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan). Pengfokusan pada program yang rasional untuk memecahkan permasalahanpermasalahan perencanaan tata guna lahan yang buruk dan kebijakan yang lemah untuk mendukung upaya-upaya konservasi.
Protokol koordinasi dan komunikasi perlu dilakukan pada level provinsi, dengan keberadaan UU 23/2014. Bahkan, keberadaan UU 23/2014 sudah menuntut untuk melakukan perubahan pendekatan dari basis kabupaten ke propinsi terkait dengan kewenangan dan kebijakan program, walaupun koordinasi dengan kabupaten tetap dilakukan dalam skala pelaksanaan project di lapangan. Perubahan ke
tenurial kawasan” pada setiap usulan programnya
OCTM
Quarter selanjutnya
Kebijakan penyaluran hibah siklus 3 yang focus untuk perlindungan species
Quarter selanjutnya
-
Tim Administrator
OCTM Tim Administrator
OCTM Tim Administrator
[97]
Quarter selanjutnya
Kebijakan penyaluran hibah siklus 3 dan selanjutanya yang focus untuk menjawab problem statement yang ada di Rencana Implementasi TFCA Kalimantan 20132017 - Jika diperlukan, dilakukan review dan revisi problem statement yang ada di Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 2013-2107 untuk menyesuaikan dengan pencapaian tujuan yang rasional. Review dan Revisi Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan 2013-2017
Tingkat an Implem entasi
provinsi akan sangat mempermudah pelaksanaan project jika sasaran geografisnya adalah lintas kabupaten. Pendekatan Program Sebagai program berbasis kabupaten, perlu untuk memberikan perhatian dalam pengembangan program dan perencanaan pada level kabupaten menciptakan ruangruang sinergi antar pihak melalui protokol koordinasi dan komunikasi yang sistematis, dengan memaksimalkan keberadaan Pokja REDD di Berau dan Pokja HOB di Mahakam Ulu dan Kutai Barat. Keberadaan Pokja HOB dan Pokja REDD juga harus mulai diperkuat untuk menjadi salah satu pilihan bentuk lembaga sebagai langkah exit strategi project TFCA Kalimantan
Perlu membangun mekanisme konsultasi dan koordinasi antara mitra TFCA Kalimantan dengan TNC dan WWF untuk memaksimalkan dukungan teknis kepada mitra. Pelaksanaan Program Isu monev: Penetapan personil yang khusus bertanggung jawab pada aspek monitoring dan evaluasi untuk pendayagunaan data yang ada dalam rangka peningkatan strategi implementasi agar lebih efektif dan efisien Isu Target Tahunan: Penyusunan target tahunan yang terukur dan disepakati untuk setiap indikator dalam mendukung ketercapaian tujuan TFCA
TAP
Quarter selanjutnya
Tim Administrator
OCTM
Quarter selanjutnya
Tim Administrator
Quarter selanjutnya
OCTM Tim Administrator
Quarter selanjutnya
[98]
Fasilitasi serial koordinasi dan penguatan Pokja HIB dan Pokja REDD dengan melibatkan semua mitra-mitra TFCA Kalimantan sebagai forum untuk perencanaan, evaluasi, sharing pengalaman, mendiskusikan peluang sinergi program dengan SKPD, menjaring materi untuk menyusun rencana kerja tahunan. dan sekaligus sebagai forum untuk menginformasikan kemajuan kegiatan TFCA Kalimantan kepada pihak-pihak terkait di Kabupaten. Membangun koordinasi dan konsultasi secara periodik antara mitra TFCA dengan TNC dan WWF
Rekrutmen staff khusus yang memiliki pengalaman khusus tentang monitoring dan evaluasi project. Personal ini akan bertanggung jawab pada aspek monitoring dan evaluasi project. Rencana Kerja Tahunan yang telah disusun oleh Administratur perlu di lengkapi dengan target tahunan yang terukur dan disepakati oleh OCTM dan Administrasi
Isu Proses due diligent: Penyepakatan standar kualifikasi calon grantee setelah dilakukan due diligence yang tertuang dalam kebijakan penyaluran dana hibah secara konsisten diterapkan. Isu Peningkatan kapasitas: Penyusunan kegiatan penguatan kapasitas berdasar kebutuhan mitra di lapangan dengan juga mempertimbangkan hasil asesmen kapasitas calon mitra
OCTM Tim Administrator
Awal Siklus 3
TAP
Awal Siklus 3
Isu standar biaya: Penyesuaian standar biaya minimum berdasar kondisi lapangan terkini
Tim Administrator
Awal Siklus 3
Isu templete proposal dan penilaian teknis:
TAP
Awal Siklus 3
Asistensi pengembangan proposal untuk memberikan standard yang sama pada setiap mitra.
Isu templete proposal dan penilaian teknis: Dalam pengembangan proposal perlu dicantumkan problem statement yang jelas untuk memonitor bahwa intervensi
Tim administrator
TAP Tim administrator
[99]
Awal Siklus 3
untuk mendukung ketercapaian tujuan TFCA Kalimantan. Membangun kesepakatan antara Administrasi dan OCTM untuk standar kualifikasi calon grantee Adanya serial penguatan kapasitas dan teknikal asistant mitra berdasarkan kebutuhan—baik administrative maupun substansi teknis—yang direncanakan untuk mendukung strategi implementasi program mitra Review standar biaya minimum yang ada untuk disesuaikan kondisi lapangan terkini Workshop klinik proposal langsung dimana proposal mitra yang telah direview, langsung diperbaiki oleh mitra, dengan didampingi langsung oleh administrator dan TAP--baik dalam hal menulis, membahasakan dalam proposal, maupun membangun logical framework project, dan sekaligus pembuatan budget—sehingga dihasilkan proposal final dari workshop ini. Templete proposal perlu di tambahkan item Problem Statement
yang dilakukan berkontribusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga proposal mitra ini juga akan berkontribusi terhadap pemecahan problem statement yang ada di Rencana Implementasi Plan 2013-2017. Isu templete proposal dan penilaian teknis:
Tingkat an Pembel ajaran
Perlu dilakukan klarifikasi penyamaan redaksional dan review alur logic dari intervensi mitra siklus 1 dan siklus 2 menurut PPH, proposal, dan RKT, Hal ini penting untuk memperjelas capaian output dan outcome yang mitra harapkan. Harapannya, tersusun alur logic yang jelas mulai dari activity – output – outcome, terutama pada mitra payo-payo, Forina, Kompakh, Lekmalamin, dan Bioma Penyusunan kertas kerja project dalam konteks kontribusi terhadap pencapaian tujuan HOB dan BFCP untuk
TAP
Quarter selanjutnya
-
Tim Administrator Mitra siklus 1 dan 2
-
TAP
Quarter selanjutnya
Diskusi kritis pencapaian projek dan penyusunan rencana kerja dengan pemerintah (terutama tingkat daerah) Pengembangan tools monev internal programatik dan uji coba di beberapa grantee
OCTM Tim Administrator TAP TAP
Quarter selanjutnya
Belajar dari fungsi Penabulu yang tidak mempunyai legitimasi memaksa ke mitra untuk melakukan perbaikan laporan administrasi keuangan, perlu dipertimbangkan untuk menggabungkan TAP dan Administrator ke dalam satu manajemen program, yang berfungsi sebagai penyedia technical assistant dan sekaligus
OCTM
Quarter selanjutnya
Tim Administrator TAP
[100]
Quarter selanjutnya
Untuk siklus 1 dan 2, Review kembali document perjanjian penerimaan hibah (PPH), proposal, dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dari beberapa mitra Untuk siklus selanjutnya, penyamaan redaksional yang sama antar 3 dokumen tersebut.
Review rencana kerja tahunan TFCA Kalimantan untuk memasukkan konteks kontribusi terhadap pencapaian tujuan HOB dan BFCP untuk Pertemuan secara periodic dengan pemda
Review tools monev internal programatik dan uji coba di beberapa grantee Membangun mekanisme kelembagaan antara TAP dan Administrasi, untuk dilakukan penjajagan tentang bagaimana tentang menyatukan fungsi keduanya
melakukan monitoring dan evaluasi program. Hal ini mempermudah koordinasi diantara keduanya, dan sekaligus memperkuat untuk mendapatkan legitimasi ketika melakukan monev secara administrasi dan programatik ke mitra. Untuk mempercepat pengambilan keputusan antara OCTM dan Administrator, perlu dipertimbangkan untuk dibuat jenjang level pengambilan keputusan, dimana KEHATI sebagai administrator diperbolehkan untuk mengambil keputusan pada level-level tertentu
OCTM Tim Administrator
[101]
Quarter selanjutnya
Membangun mekanisme pembagian kewenangan antara OCTM dan Administrator
LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Laporan Evaluasi Mitra PKHB – Siklus 1 Laporan Evaluasi Mitra HOB – Siklus 1 Laporan Evalusi Mitra PKHB – Siklus 2 Laporan Evaluasi Mitra HOB – Siklus 2
[102]