KONSEP ETOS KERJA MENURUT HADIS (Studi Analisis Sanad)
Diajukan Pada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapat Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh Abdul Rasyid 104034001227
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR ا ا ا Bismillahirrahmaanirrahiim Puji syukur hanya milik Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, manusia pilihan pembawa risalah Islam yang ajarannya tidak lapuk tertelan jaman. Selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, baik berupa dukungan moral maupun materi. Dalam kesempata ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa memberikan bantuannya. Ucapan terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada : 1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal. 2. Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Bustamin, M.Si 3. Sekretaris jurusan Tafsir Hadis, Dr. Lili Ummi Kaltsum, MA. 4. Pembimbing Bapak Drs. Harun Rasyid, MA, atas pengorbanan waktu dan kesabarannya dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi sehingga penulisan skripsi ini selesai. 5. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. 6. Orang tua penulis, Ayahanda H. Hasan Basri dan Ibunda Hj. Rokayanih, yang telah sabar mendidik, menasehati untuk keberhasilan anak-anaknya. Doa dan baktiku semoga keduanya dalam rahmat dan lindungan-Nya.
i
7. Sahabat-sahabatku yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi dikampus tercinta dan semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya dengan yang setimpal. Akhirnya, penulis berharap semua skripsi ini memberikan sumbangsih khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi pembaca, khusunya bagi penulis.
Jakarta, 13 Februari 2011
Penulis
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi kata-kata arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku Chicago and Turabian Style, University of California Berkeley. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ب
-
Tidak dilambangkan
B
Be
ث
Th
Te dan ha
ح خ
ḥ
ha dengan titik bawah
kh
ka dan ha
ذ
dh
de dan ha
ز
Z
zet
ش
Sh
es dan ha
ض
ḍ
ا
ت ج
د
ر س ص ط
T J
da
R
er
S
es
ṣ
es dengan titik bawah de dengan titik bawah
ṭ
ẓ
غ
gh
ق
Q
ف
je
D
ظ ع
Te
te dengan titik bawah zet dengan titik bawah
،
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
F
ef
ge dan ha ki
ك
K
ka
م
M
em
ل
ن
L
el
N
en
iii
و
W
we
ء
’
Apostrof
هـ
H
ي
ha
Y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa arab, seperti bahasa indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Untuk vokal tunggal penulisannya adalah: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin َ A ِ I ُ U Adapun vokal rangkap penulisannya adalah: Tanda Vokal Arab ي َ و َ ي ِ
Tanda Vokal Latin Ay Aw i>
keterangan fath}ah} kasrah d{ammah keterangan a dan ye a dan we i dengan garis di atas
Vokal panjang (Madd) Ketentuan penulisan vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan #ـــ a> a dengan garis di atas $ــ i> I dengan garis di atas %ــ u> U dengan garis di atas Adapun ىyang terletak pada akhir kata juga menunjukkan huruf vokal panjang yang tertulis a, contoh:
Penulisan Hatta> u>la
Kata Arab
ّ
او
iv
Ta>' Marbu>t}ah ()ة
a. Ketika ada kata benda (noun) dan kata sifat (adjective) diakhiri dengan huruf ة, atau didahului dengan kata sambung الdan diikuti kata sifat (na't), maka ةditulis dengan huruf h, contohnya:
Penulisan Kata Arab ة s}ala>h ا ا al-Risa>lah al-bahi>yah b. Ketika ada kata yang diakhiri dengan ةdiikuti oleh kata benda (isim), maka huruf ة ditulis t, contohnya:
Penulisan Kata Arab وزارة ا Wizara>t al-Tarbiyah اة ان Mir'a>t al-zama>n c. Ketika ada huruf yang berakhiran dengan ةberkedudukan sebagai kata keterangan , maka ةditulis ( ةtan), contoh: Penulisan faj'atan
Kata Arab ً*)ة+
Shaddah (Tashdid) Shaddah atau tashdid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, namun dalam penulisan ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda shaddah itu, contoh: Penulisan shawwa>l s}awwara
Kata Arab !َّال َّار
Kata Sandang Kata Sandang, yang dalam sistem bahasa Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan
lam, dituliskan menjadi huruf ا, baik diikuti oleh huruf shamshiyah maupun qamariyah, contoh:
v
Penulisan
Kata Arab
al-d{aru>rah
ّ ورة$ا
"#ا
al-as}l
Penulisan dan ا
Penulisan
Kata Arab
Ah{mad ibn Muhammad ibn Abi> al-Rabi>'
( ا' ا%& % ا
Ibn Malik
. ا
Sharh Ibn ‘Aqi>l‘ala Alfi>yat
vi
- ا,+ " *+ ! ح ا
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................................iii DAFTAR ISI .........................................................................................................................vii \ BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah .................................................................................1
B. Pembatasan dan perumusan masalah.............................................................6
C. Tujuan penulisan ............................................................................................6
D. Metodologi penelitian....................................................................................6 E. Tinjauan pustaka............................................................................................7
F. Sistematika penulisan ....................................................................................8 BAB II : KONSEP ISLAM TENTANG ETOS KERJA A. Etos Kerja
1. Pengetian Etos Kerja ..............................................................................9
2. Karakteristik Etos Kerja .........................................................................12
3. Urgensi dan Tujuan Etos kerja ...............................................................15
B. Ajaran Islam Tentang Etos Kerja ..................................................................19 BAB III : HADIS-HADIS TENTANG ETOS KERJA
A. Materi Hadis Tentang Etos Kerja dan Terjemahnya....................................26 B. Asbabul Wurud Hadis Etos Kerja.................................................................33
C. Pemikiran Ulama Tentang Etos kerja...........................................................34
BAB IV : ANALISA KUALITAS HADIS DAN PEMAHAMAN KONTEKSTUAL HADIS
A.
Analisa Sanad Hadis Tentang Etos Kerja ..................................................36
C.
Relevansi Hadis Tentang Etos Kerja Dengan Kondisi Kekinian...............56
B.
Kandungan Makna Hadis Tentang Etos Kerja...........................................55
vii
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................................58 B. Saran ............................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................60
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Quran adalah dasar Tasyri‘ Islam (hukum Islam) yang pertama. Sedangkan as-sunnah merupakan dasar Tasyri‘ Islam yang kedua. Keduanya merupakan sumber ajaran Islam. H{{adi>s/sunnah menempati posisi yang penting dalam kehidupan umat Islam. Sebab didalamnya terdapat aturan-aturan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an masih bersifat global, maka penjelas dari al-Qur’an itu adalah h{adi>s. Tetapi, dalam periwayatan h{adi>s kadang terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya, untuk itu perlu diadakan pengkajian tentang h{adi>s-h{adi>s dimaksud. Manusia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan. Manusia diciptakan oleh Tuhan bukan hanya sebagai hiasan pekerjaan, tetapi juga sebagai suatu ciptaan yang diberi tugas, dan salah satu tugasnya ialah memelihara ciptaan ini dengan pekerjaannya. Dengan demikian, kerja merupakan tugas Ilahi, yang mengandung kewajiban dan hak. Kerja sebagai suatu upaya untuk merubah kehidupan manusia, maka manusia dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi dalam kehidupannya, karena mustahil bila kita tidak bekerja mendapatkan hidup yang layak. Islam sebagai sebuah agama mengajarkan kepada umatnya untuk meningkatkan usahanya dan ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah Allah swt berfirmaan:
1
2
(10 :
ٗ (اٌجّع.
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.( al-Jumuah: ayat 10) Ayat tersebut di atas, menjelaskan bahwa kaum muslimin dianjurkan untuk bekerja keras. Sebab bekerja dan kesadaran bekerja mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya, karena makna dan hakikat bekerja adalah fitrah manusia yang dapat memanusiakan manusia itu sendiri lewat bekerja. Sedangkan dari kesadaran bekerja akan melahirkan nilai yang lebih bermakna dalam hidup. Ajaran Islam sangat menyeimbangkan antara kekuatan-kekuatan material, ekonomi dan politik dengan daya moral yang bersifat rohani, menyeimbangkan antara kebutuhan individu dengan kepentingan masyarakat. Namun perlu disadari bahwa seorang muslim bekerja tidaklah hanya sekedar untuk mendapatkan gaji, pangkat atau hanya sekedar menjaga gengsi agar tidak disebut sebagai pengangguran. Karena kesadaran bekerja secara produktif akan melahirkan semangat dan tanggung jawab yang merupakan ciri khas dan karakter kepribadian seorang muslim. Maka semua hasil pekerjaan seorang muslim yang dilakukan untuk menafkahi istri, anak dan pembantunya, pekerjaan dapat dikatakan sebagai sha>daqah. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw :
ْ ٍش١َُّٓ ع ِ ْٓ عَُّبسَ َح ث ْ َ َُ ع١ِ٘ٓ إِثْشَا ْ َ ٍس عُٛٓ َِْٕص ْ َْ ع ُ َب١ْ ٍش أَخْجَشََٔب عُف١ِٓ وَث ُ ْدَذَثََٕب ُِذََّ ُذ ث ذ ْ ٌَٓ َِبٌِِٗ فَمَب ْ ِِ ً ُ ٌُ أَفَآ ُو١َِز٠ ِٞ دِجْشَِٟب فَْٕٙ اٌٍَ ُٗ عٟ َظ ِ َذ عَبئِؾَ َخ س ْ ٌَََب عَؤََٙٔٓ عََّزِ ِٗ أ ْ َع
3
ُٖ ٌََُذَٚٚ ِِٗٓ وَغْج ْ ِِ ً ُج ُ ًَ اٌش َ ت َِب أَ َو ِ َ١ْٓ أَط ْ ِِ ْ َ َِعٍََ َُ إٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ُ ُٛي سَع َ لَب ) دٚ داٛاٖ اثٚٓ وَغْجِٗ ( س ْ ِِ Terjemahnya : Telah menceritakan kepadaku Muhamma>d ibn Kasi>r, telah mengkabarkan kepadaku Sufya>n ibn Mansu>r, dari Ibrahi>m, dari Uma>rah ibn Umair, dari budaknya, ia bertanya kepada Aisyah ra, di Hijir Yatim, makanan dari hartamu sendiri, ia berkata : Rasulullah saw bersabda, ‚Sesungguhnya sebaik-baik makanan adalah hasil dari tangannya sendiri, dan hasil usahanya itu untuk anak-anaknya‛(HR. Abi Daud). Dari konteks ayat dan h{adi>s diatas, Toto Tasmara berpendapat sebagai berikut: ‚ayat diatas harus dilihat dalam pengertian dan tafsir aktual yang membumi dan workable, khususnya dalam memberikan dorongan kepada kita semua yang telah ditunjuk sebagai khai>ru umma>h, sosok umat pilihan yang mempunyai potensi untuk mencapai amal prestatif yang terpuji, dapat dibanggakan dan berdimensi luas.‛ 2 Kiranya menghadapi pasar bebas , umat Islam harus meningkatkan etos kerja yang dimilikinya, sebab apabila ini tidak segera dilakukan oleh umat Islam khususnya di Indonesia, umat islam akan terpinggirkan. Karena era pasar bebas sudah nampak di depan mata. Sebuah era yang mengharuskan setiap orang berkompetensi untuk dapat mempertahankan hidupnya dan memperoleh kelayakan hidup di dunia dengan menggunakan skill dan pengetahuan yang mumpuni sehingga dapat menikmati fasilitas yang memadai. Dari h{adi>s tersebut di atas, disebutkan bahwa Islam sangat menganjurkan untuk berusaha sebab hasil usaha itu disamping merupakan kewajiban bagi sang
1
Sulaiman Ibn al-Asy‘As as-Syizistani,Sunan Abi> Dau>d, kitab al-buyu, bab Ar-rajulu ya'kulu min maalin waladihi (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998),h. 544 2 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim ( Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. 2, h. 9
4
suami, hal itu juga merupakan sedekah orang yang memberi nafkah kepada keluarganya tersebut. Islam juga tidak mengajarkan umatnya untuk meminta-minta, hal ini sesuai dengan h{adi>s Nabi saw sebagai berikut :
ْ َ َٓ عَُّ َش أ ِ ْٓ اث ْ َٓ َٔبفِ ٍع ع ْ َٗ ع١ٍّب لشا ع١ذ عٓ ِبٌه ثٓ أٔظ ف١جخ ثٓ عع١دذثٕب لز ََاٌزَعَفُفٚ َزْوُ ُش اٌصَذَلَ َخ٠ َٛ َُ٘ٚ إٌِّْْجَ ِشٍََٝ عَٛ َُ٘ٚ ي َ َعٍَََُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص َ ُٛسَع ُ اٌغَبئٍَِخٍََْٝاٌغُفٚ َب إٌُّْْفِمَ ُخ١ٍَُْ ُذ اٌْع١ٌَْاٚ ،ٍََْٝ ِذ اٌغُف١ٌْٓ ا ْ ِِ ْ ٌش١ََب خ١ٍَُْ ُذ اٌْع١ٌْ ا:ِٓ اٌَّْغْؤٌََخ ْ َع Terjemahnya : Telah menceritakan Qutaiba>h ibn Sa‘id dari Ma>lik ibn Anas dari Na>fi‘ dari Ibn Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: ketika beliau di atas mimbar sedang membicarakan masalah sedekah dan menghindari perbuatan meminta-minta, Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Tangan yang diatas adalah memberi dan tangan yang dibawah adalah pemintaminta.4 Dari h{adi>s diatas dianjurkan kepada umat Islam untuk memberi dan dilarang untuk meminta-minta, karena tangan yang memberi itu lebih baik dari tangan yang diberi. Fenomena sekarang ini, kadang orang sering diberi dari pada memberi, hal ini dapat disaksikan di tengah-tengah kota dan pinggiran kota, dimana gelandangan
dan
pengemis
yang
disebut
dengan
gepeng,
merupakan
pemandangan keseharian di kota-kota besar di Indonesia, bahkan pencurian, penganiayaan, penodongan dan perampokan sering terjadi baik lokal maupun Nasional. Salah satu faktor pemicu kesalahan tersebut menurut asumsi penulis karena persoalan ekonomi. Maka orang berfikir untuk cepat mendapatkan uang
3
ِ Abi> al-Husai>n Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Khusyairi an-Naisaburi, kitab Zakat, bab bayan inna al-yadul al-Ulya khaiirun Min al-Yadul as-Shufla (Beirut : Dar al-Kutub al-Alamiah, th),h. 413 4 Hamzah Ya`kub, Etos Kerja Islami; Petunjuk Pekerjaan yang Halan dan Haram dalam Syariat Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) h.12.
5
dengan cara mudah, padahal Islam sangat melarang hal itu. Untuk itu, penelitian terhadap hadis tentang etos kerja ini menarik untuk diteliti, sebab Islam di Indonesia masyarakatnya merupakan mayoritas pemeluk Islam, maka kepada umat Islam dituntut untuk membangun etos kerja dan membangun umat dengan meningkatkan taraf ekonomi yaitu dengan bekerja keras sebagaimana banyak dianjurkan dalam al-Qur’an dan H{adi>s. Untuk lebih jauh perlu dilakukan pencarian terhadap h{adi>s ini, karena sangatlah penting mengingat para ulama melalui penelitiannya telah membagi hadis kepada h{adi>s sha>hi>h, h{adi>s hasan, dan h{adi>s dhai>f. Dengan demikian, maka banyak h{adi>s yang mardu>d (ditolak)/karena cacat pada sanad atau matannya. Untuk itu, perlu diadakan penelitian terhadap suatu h{adi>s guna mengetahui validitas h{adi>s tersebut, agar suatu h{adi>s dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan hujja>h atau tidak dalam menetapkan hukum. Inilah yang menjadi landasan penelitian ulama terhadap h{adi>s-h{adi>s terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhri>j. Arti dari Takhri>j adalah upaya penelitian kembali atau mengeluarkan suatu h{adi>s dari kitab-kitab h{adi>s. Untuk menganalisa keadaan sanadnya, baik aspek keseimbangan , mata rantai perawi, maupun tingkat kredibilitas para rawi. Karena dengan demikian akan diketahui tingkat validitas h{adi>s. Dengan latar belakang faktor-faktor diatas, maka melalui skripsi ini penulis ingin membahas lebih jauh lagi masalah tentang etos kerja. Karena etos kerja sangat berhubungan dengan apa yang menjadi tujuan manusia didalam melakukan aktivitasnya. Terutama didalam bekerja.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengkaji atau menelaah suatu permasalahan tentunya tidak terlepas dari pembahasan dalam berbagai aspek terkait dengan masalah tersebut. Namun penjelasan yang detail juga dapat membuat penelitian tersebut cenderung bersifat bias dan tidak tentu arah. Hal itu dikarenakan banyaknya masalah yang ditentukan dalam penelitian. Dalam permasalahan yang melatarbelakangi pembahasan ini, maka penulis membatasi penelitian berkaitan dengan topik h{adi>s
ini, yaitu pada
penelitian jalur sanad al-Da>rimi>, dan Abi> Dau>d. Dari uraian diatas, maka perumusan masalah dalam skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: ‚ Bagaimanakah kualitas sanad h{adi>s Nabi tentang Etos kerja? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah untuk mengetahui h{adi>s-h{adi>s yang mempunyai korelasi dengan etos kerja sekaligus mengetahui sejauhmana kualitas sanad dan matannya. Juga memberikan motivasi ataupun dorongan kepada setiap muslim agar senantiasa semangat dalam mencari rizqi Allah SWT dimuka bumi ini yang tentunya dengan konsep-konsep yang sesuai dengan syariat Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mensejahterakan diri, keluarga dan umat secara umum baik di dunia maupun di akherat. D. Metodologi Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melakukan studi kepustakaan (library research) dengan merujuk kepada sumber kitab-kitab h{adi>s. Untuk mengkaji h{adi>s tersebut, penulis menggunakan alat berupa kitab-kitab Ima>m Tirmi>dhi>, Ima>m Nasai>,dan Ima>m Abi> Dau>d. Untuk penelusuran periwayatan dan
7
penyelidikan sanad h{adi>s dengan merujuk kepada sumber primer yang tersebut diatas. Sedangkan untuk mengkaji h{adi>s tersebut, penulis menggunakan alat bantu yang berupa kitab-kitab kamus. Seperti kitab al-Mu‘jam al-Mufahras Li
alfa>d{ al-H{adi>s al-Nabawi>, Mausu>a‘ah al-At}ra>f al-H{adi>s al-Na>bawi> al-Shari>f, Mifta>h} Kunu>z al-Sunna>h, kitab Rija>l al-H{adi>s, kitab Shara>h} al-H{adi>s, kitab Tahdhi>b al-Tahdhi>b dan kitab Tahdhi>b al-Kama>l Fi asma>’ al-Rija>l. Adapun data sekunder merupakan sumber pendukung yang masih ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptip analitis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat muhadditsin, untuk kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi yang ada di pedoman Akademik Tahun 2004/2005 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. E. Tinjauan Pustaka Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama skripsi dan karya ilmiyah di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan karya ilmiah yang secara khusus membahas tentang konsep etos kerja menurut h{adi>s. Memang ada satu skripsi yang membahas tentang etos kerja, namun sama sekali tidak berkenaan dengan tema yang penulis teliti. Skripsi tersebut berjudul ‚Motivasi Kerja Dalam Perspektif Rasulullah‛ yang ditulis oleh Heri Khairiyah tahun 2004, dalam skripsi ini penulis belum melihat h{adi>s yang dibahas mengenai kualitas sanad yang ada.
8
F. Sistematika Penyusunan Untuk mencapai suatu kesimpulan dan agar penulisan lebih sistematis, maka dituangkan dalam bentuk penulisan yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari skripsi ini. Bab ini memberikan umum penelitian isinya mengenai pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah yang memberikan gambaran secara global bentuk dan isi penelitian, Pembatasan dan Perumusan masalah, Metodologi penelitian serta sistematika penyusunannya
Bab kedua, mengenai kerangka teori yang menguraikan berbagai macam permasalahan mengenai etos kerja, yang didalamnya terdapat, pengertian etos kerja, karakteristik etos kerja, urgensi dan tujuan etos kerja,serta ajaran islam tentang etos kerja.
Bab ketiga, Hadis-hadis tentang etos kerja yang didalamnya terdapat materi hadis tentang etos kerja, as-babul wurud dan pemikiranan ulama tantang etos kerja.
Bab keempat, Analisa kualitas hadis dan pemahaman kontekstual hadis yang berisikan analisa sanad hadis tentang etos kerja, kandungan makna hadis tentang etos kerja, dan relevansi hadis tentang etos kerja dengan kondisi kekinian.
Bab kelima, Merupakan penutup dari skripsi ini, yang berisikan kesimpulan yang didasari pada bab-bab yang sebelumnya, dan juga termuat didalamnya saransaran, dan diakhiri dengan Daftar Pustaka
BAB II KONSEP ISLAM TENTANG ETOS KERJA A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja Etos kerja terdiri dari dua suku kata yang berbeda, yaitu ‚etos‛ dan ‚Kerja‛. Secara etimologis etos berasal dari kata Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Kemudian pada perkembangannya etos berarti juga ‚ethic‛ yaitu, pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal pula ‚etiket‛ yang artinya cara bersopan santun yang dalam agama disebut sebagai akhlak. Etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap pribadi harus mengisi etika tersebut dengan nilai-nilai yang syar`i dalam arti yang aktual, sehingga cara dirinya mempersepsi sesuatu selalu positif dan sejauh mungkin terus berupaya untuk menghindari hal yang negatif. Dengan demikian makna etos disini adalah norma, serta cara diri memandang, mempersepsi dan meyakini sesuatu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia etos berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Sedangkan etos kebudayaan adalah sifat, nilai, dan adat istiadat khas yang member watak pada kebudayaan suatu golongan sosial dimasyarakat.1 Dan dalam arti yang sederhana makna etos menurut Jansen Sinamo adalah adat istiadat atau kebiasaan.2 Kata yang kedua adalah Kerja yang dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan atau diperbuat.
1
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka), hal.237 Jansen Sinamo, Delapan Etos Kerja Propesional, Navigator Anda Menuju Sukses (Jakarta: Malta Printindo, 2008), hal. 23 2
9
10
Atau dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian.3 Dalam kamus munji>d di sebutkan kerja berarti,‘`amila, kasaba dan sa`a, namun kata kasaba memiliki arti yang menunjukan pada sebuah pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.4 ‚Kerja‛ jika dijalankan sesuai ajaran Islam, ia merupakan salah satu bentuk jihad yang tidak dapat dipisahkan dari signifikansi religius dan spiritual yang tercakup didalamnya. Didalam bahasa Arab kata ‚kerja‛ biasanya disebut ‘amal dan shun’ yang nanti akan melahirkan berbagai derivasinya, seperti ma’mal (laboratorium) atau shâni’ (produsen). Diantara kedua kata ini, yang pertama berarti ‚tindakan‛, sedangkan yang kedua berarti ‚membuat‛ atau ‚memproduksi‛ sesutau yang dalam pengertian artistik dan keterampilan. Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT. Pada kehidupan sehari-hari manusia memiliki dua macam fungsi; pertama, bertindak didalam atau terhadap dunia. Kedua, membuat sesuatu dengan mengolah ulang bahan-bahan dan objek-objek yang diambil dari dunia sekelilingnya. Pada prinsipnya, etika (etos) kerja dalam Islam melingkupi dua macam fungsi ini, yaitu ‘amal atau s}un’, sebab ajaran Islam melingkupi seluruh jaringan tindakan perbuatan manusia. Sementara prinsip-prinsip aspek shun’ atau ‚seni‛ dalam pengertian primordial kata itu, berkaitan dengan dimensi spiritual pewahyuan Islami.
3 4
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka), hal.240 Louis Ma`luf, Al-Munjid (Bairut: Daar Al-Masyrik, 1977), hal.530
11
Apabila etos dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih khas. Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang menyatu. Makna khas itu adalah bahwa etos kerja merupakan concern pragmatis. Ia membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula bermakna semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok. Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang dengan sengaja diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan manusia itu sendiri, entah itu jasmani atau rohani atau pertahanan terhadap kekayaan yang telah diperoleh. Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi
nilai-nilai
yang
diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.5 Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan evaluasi itu akan tercipta gerak grafik menanjak dan meningkat dalam waktuwaktu berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil kemudian. Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life yaitu sebagai daya dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap individu atau kelompok pada sisi yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang dianutnya. Sedangkan menurut Musa Asy`ari etos kerja berarti refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan 5
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 14.
12
hidup yang berorientasi pada nilai nilai yang berdimensi transenden. Oleh karena itu, salah satu hal yang ingin dicari sebagai sumber untuk menemukan etos kerja adalah dari agama. Karena agama bagi pemeluknya merupakan system nilai yang mendasari seluruh aktifitas hidupnya, maka kerja merupakan perwujudan dan realisasi diri dari ajaran agama.6 2. Karakteristik Etos Kerja Karakteristik orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khai>ru Umma>h). Secara eksplisit karakteristik etos kerja dapat digambarkan pada nilainilai berikut: a. Memilki jiwa kepemimpinan (leadership) Pemimpin berarti mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain, agar orang lain tersebut dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran, sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkungannya. Dia larut dalam keyakinannya tapi tidak segan untuk menerima kritik, bahkan mengikuti apa yang terbaik. Karakteristik dari seorang pemimpin bukan tipikal pengekor, terima jadi. Karena sebagai seorang pemimpin dia sudah dilatih untuk berpikir kritis, analitis karena dia sadar bahwa seluruh hidupnya akan diminta pertanggungjawabanya di hadapan Allah SWT.
6
Musa Asy`ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi (Yokjakarta: 1997).cet.1
Lesfi,
13
b. Evaluasi diri. Mengenai evaluasi diri untuk memotivasi etos kerja dalam sebuah atsar disebutkan:
د غَذًا ُ َُّٛه ر َ َٔه وؤ َ ً ٌِآخِشَر ْ َّ َْاعٚ ،ؼ أثَذًا ُ ١ْ ِه رَع َ َٔن وؤ َ َب١ًُْٔ ٌِذ ْ َّ ْاع "Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya dan beribadahlah untuk akhirat seakan-akan engkau akan mati besok".
Umar ibn Khattab pernah berkata: maka hendaklah kamu menghitung diri kamu sendiri, sebelum datang hari dimana engkau yang akan diperhitungkan dan hal ini sejalan dan senapas dengan firman Allah yang berbunyi:7
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.al-Hasyr:18)
Setiap langkah dalam kehidupannya selalu memperhitungkan segala aspek dan resikonya dan tentu saja sebuah perhitungan yang rasional, tidak percaya dengan tahayul apalagi segala macam mistik atribut kemusyrikan. Komitmen pada janji dan disiplin pada waktu merupakan citra seorang muslim sejati. Didalam bekerja dan berusaha, akan tampaklah jejak seorang muslim yang selalu teguh pendirian, tepat janji, dan berhitung dengan waktu. 7
Toto Tasmara, Etos kerja Pribadi Muslim (Jakarta: Dana Bakti Waqaf), h. 31
14
c. Menghargai waktu Tentang pentingnya makna dan pemanfaatan waktu sebagai mana tersurat dalam al-A'shr ayat 1-3. Waktu adalah rahmat yang tiada terhitung nilainya. Baginya pengertian terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Menyusun tujuan, membuat perencanaan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerja dirinya, merupakan salah satu cirri dan karakter seorang mujahid. Seorang mujahid adalah tipikal manusia yang sangat memperhatikan waktu. Baginya waktu adalah sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan deretan kalimat kerja dan prestasi. d. Hidup berhemat dan efisien Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang pelari marathon-lintas alam, yang harus berjalan dan lari jarak jauh. Maka akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di dalam mengelola setiap "resources" yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak produktif dan mubadzir karena mubadzir adalah sekutunya setan yang maha jelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin menumpuk kekayaan, sehingga melahirkan sifat kikir individualistis. Tetapi berhemat dikarenakan ada satu reserve, bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara luas, ada up and down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. e. Ulet dan pantang menyerah Keuletan merupakan modal yang sangat besar didalam menghadapi segala macam tantangan atau tekanan sebab sejarah telah banyak membuktikan betapa banyaknya bangsa-bangsa yang mempunyai sejarah pahit akhirnya dapat keluar
15
dengan berbagai inovasi, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi lingkungannya. Sikap istiqa>mah, kerja keras, tangguh dan ulet akan tumbuh sebagai bagian dari kepribadian diri kita seandainya kita mampu dan gemar hidup dalam tantangan. Menyadari hal ini maka seorang muslim yang mempunyai etos kerja, berupaya untuk membuat tantangan, target, dan arah kemana mereka harus menuju. Pribadi muslim yang membumi, mampu melihat realitas dan dari pengalamannya mampu merangkum dan melakukan berbagai improvisasi untuk mengelola tantangan atau tekanan menjadi satu kekuatan. 3. Urgensi dan tujuan etos kerja Urgensi dan tujuan menjadi pengrajin dan perintah bekerja keras dalam Islam, bukanlah sekedar memenuhi naluri, yakni hidup untuk kepentingan perut. Islam memberikan pengarahan kepada satu tujuan filosofis yang luhur, tujuan yang mulia, tujuan yang ideal yang sempurna yakni untuk berta`abud, memperhambakan diri, mencari keridhaan Allah SWT. Semua usaha dan aktifitas seorang muslim, baik bercorak duniawiah maupun bercorak ukhrawiyah pada hakekatnya tertuju pada suatu titik tumpuan falsafah hidup muslim, yaitu keridhaan Allah SWT. Seperti yang ditandaskan dalam firman Allah SWT.
Terjemahnya : Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Adz-Dzariyat : 56)
16
Selain dari tujuan etos kerja diatas Hamzah Ya'`qub mengklasifikasikan urgensi dan tujuan etos kerja yaitu:8 1. Memenuhi kebutuhan hidup Kita hidup di dunia ini mempunyai sejumlah kebutuhan yang bermacammacam yang terbagi kedalam tiga tingkatan: a.
Kebutuhan Primer (Pokok) seperti kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal.
b. Kebutuhan sekunder seperti keperluan terhadap kendaraan, radio dan sebagainya. c. Kebutuhan Lux (mewah) seperti manusia memiliki perabot lux, kendaraan mewah dan sebagainya. Islam menyuruh memenuhi keperluan tersebut dan sebaiknya tidak melawan naluri secara terpaksa. Islam menyuruh makan dan minum yang h{ala>l, suci bersih dan sehat. Islam menyuruh menutup aurat dengan menikmati pakaian yang diturunkan Allah. Selanjutnya Allah memberikan kepandaian dan kecakapan kepada manusia melindungi dirinya ketika istirahat dengan menciptakan rumah. Sudah barang tentu untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, baik makan, minum,pakaian dan tempat tinggal mustilah tanpa dengan ikhti>ya>r dan rajin bekerja sebagai manifestasi dari nilai etos kerja Ikhti>ya>r memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah perintah agama tercakup dalam alquran surat Al-Qashas ayat 77
8
Hamzah Ya`qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk pekerjaan yang halal dan haram dalam syariat islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hal. 14
17
Terjemahnya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.( Al-Qashas ayat 77) Perintah menunaikan tugas dan tanggung jawab kita dihadapan Allah adalah prinsip dalam doktrin Islam melalui pengabdian kita terhadap Allah. 1. Memenuhi nafkah keluarga Suami atau kepala rumah tangga adalah bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga. Seperti ditegakan oleh Rasulullah dalam hadis muttafaqun alaihi berikut:
ٓ ْ َي ع ٌ ُٚ َِغْؤَٛ َُ٘ٚ
ٍِِْٗ٘ أًٟ سَاعٍ ف ُج ُ َُاٌشٚ ،َِِٗز١ِٓ سَع ْ َي ع ٌ َُٚوٍُُىُ ُْ َِغْؤٚ ع ٍ وٍُّىُ ُْ سَا
َٟاٌخَبدَُِ فٚ ، َبَِٙز١ِٓ سَع ْ ٌََ ٌخ عُٛ َِغْئٟ َ ِ٘ َٚ َبِٙجَٚذ ص ِ ْ١َ ثَٟخٌ ف١َِاٌّْشَأ ُح سَاعٚ ،َِِٗز١ِسَع َِِٗز١ِٓ سَع ْ َي ع ٌ ُٚ َِغْؤَٛ َُ٘ٚ ع ٍ ِذِ ِٖ سَا١ََِبيِ ع Terjemahnya: kamu sekalian adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban dalam hal kepengurusannya. Suami adalah pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. 9
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut:Dar alFikr, 1994), Juz 3, h. 151
18
Kewajiban tanggungjawab tersebut menimbulkan konsekuensi bagi suami sebagai
kepala
keluarga.
Fungsi
dan
tanggungjawabnya
itulah
yang
mengharuskannya bangkit bergerak dan rajin bekerja. Memenuhi kebutuhan keluarga bukan hanya kewajiban dan tanggungjawab semata, melainkan juga kebajikan yang mendapatkan pahala. Dengan kata lain memberikan nafqah pada keluarga juga termasuk ibadah dalam pengertian yang luas. Itulah salah satu tujuan yang mulia etos kerja dalam pandangan Islam. 2. Menolak kemungkaran Diantara tujuan ideal dari etos kerja adalah menolak sejumlah kemungkaran yang mungkian dapat terjadi pada orang yang menganggur. Dengan bekerja dan berusaha berarti menghilangkan salah satu sifat dan sikap yang buruk berupa kemalasan dan penggangguran. Dalam doa Rasulullah saw disebutkan memohon perlindungan dari kemalasan. Apabila etos kerja dapat ditegakkan sebaik-baiknya, maka kesulitan yang menimpa pribadi dan masyarakat dapat dihindari. Aktifitas kerja yang ditata dalam pola-pola yang benar berdasarkan prinsip syariat Islam akan menghilangkan segala kesulitan dan sebaliknya menumbuhkan kesejahteraan dan kemakmuran. Apabila garis sosial menjadi sejahtera maka kemungkaran lainnya dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan. Seperti pencurian, perampokan, perjudian, korupsi dan sebagainya. Perbuatan buruk itu timbul dalam situasi dan kondisi sosial yang buruk dan ketiadaan lapangan kerja. Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ideal etos kerja adalah mencegah kemungkaran dan amar ma‘ruf nahi> mungkar termasuk dalam rangkaian tugas kewajiban muslim. Begitu besar pandangan Islam terhadap etos kerja, dalam
19
Islam kerja bukanlah sekedar untuk dunia saja, bukan hanya mengejar gaji, juga bukan semata untuk menepis gengsi. Akan tetapi merupakan bentuk tanggung jawab dengan semangat tauhid (Uluhiyah) yang semua aktifitas kerja seorang muslim harus diniatkan untuk beribadah dan mencari ridha kepada Allah SWT. B. Ajaran Islam Tentang Etos Kerja Manusia secara fitrah tidak bisa dipisahkan oleh pekerjaan. Manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sebagai hiasan pekerjaan, namun juga sebagai suatu ciptaan yang diberikan tugas, dan salah satunya adalah memelihara ciptaannya yaitu menjadi khali>fah dimuka bumi.10 Al-Qur`an dan sunah bagi setiap muslim merupakan suatu pedoman landasan moral di dalam melaksanakan pekerjaannya, demi terbentuknya kualitas etos kerja yang tinggi. Etos kerja pribadi muslim dapat dikatakan sebagaimana yang dikemukakan Sahlan Samlawi " perilaku moral semestinya bersendikan pada ajaran Islam bagi seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya. Karena etos kerja pribadi muslim adalah akhlak seseorang dalam bekerja menurut ajaran Islam.11 Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling tidak ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi, dan
10
Dawam Raharjo, Islam Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta:Lembaga Studi Agama dan Filsafat,1999), hal.247 11 Sahlan Samlawi, Pedoman dan Penghayatan Ajaran Moralitas Islam (Jakarta: Penebar Aksara, 1999), h.52
20
memanfaatkan rezeki. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai Khalifah seizin Allah. Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan berusaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran ‚tawakkal‛ yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah h{adi>s, sangat menghargai ‚kerja‛, seperti salah satu h{adi>snya.
ٓ ْ َْ ع َ ٓ َِعْذَا ِ ْٓ خَبٌِ ِذ ث ْ َْ ٍس عَٛٓ ث ْ َظ ع َ ُٔ ُٛ٠ ٓ ُ ْ ثَٝغ١ِ أَخْجَشََٔب عَٝعُِٛ ٓ ُ ْ ُُ ث١ِ٘دَذَثََٕب إِثْشَا ً أَدَ ٌذ َ َِب أَ َو
ي َ َعٍَََُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ِ ُٛٓ سَع ْ َ اٌٍَ ُٗ عَْٕ ُٗ عٟ َظ ِ َاٌِّْمْذَا َِ س
ً ُ َؤْ ُو٠ ْ َ ْ ِٗ اٌغٍََبَ وَب١ٍََُ َد عٚ اٌٍَ ِٗ دَاٟ َ ْ َٔ ِج َ َِإٚ ِٖ َِذ٠ ً ِ َّ َٓ ع ْ ِِ ً َ َؤْ ُو٠ ْ ْ َٓ أ ْ ِِ ْشًا١َّط خ ُ َطَعَبًِب ل َِٖذ٠ ً ِ َّ َٓ ع ْ ِِ Terjemahnya: Telah menceritakan Ibrahi>m ibn Mu>sa, telah mengkabarkan Isa> ibn Yu>nus dari Tsau>rin dari Kha>lid ibn Ma‘da>n dari Mikda>m RA. Dari Rasulullah saw beliau bersabda: tidak seorangpun memakan satu makanan yang lebih baik dari apa yang ia makan dari hasil kerja tangannya dan sesungguhnya Nabi Dau>d itu makan dari hasil kerja tangannya.13
H{adi>s di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang 12
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahi>h al-Bukha>ri> (Beirut:Dar alFikr, 1994), Juz 3, h. 12 13 Misbahul Munir, Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah, Kajian Hadis Nabi dalam Persperktif Ekonomi (Malang: Uin Press, 2007), Cet 1, h. 105
21
berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing. Dalam beberapa ayat di al-Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah al-Jumu‘ah ayat 10, dinyatakan:
Terjemahnya: Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.‛ Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: ‚Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddi>qi>n, dan syuha>da>.‛ (HR al-Tirmidzi). Dan pada h{adi>s yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: ‚Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.‛ (HR al-Bukhari) Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT:
22
Terjemahnya:. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.an-Nisa : 100) Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima sha>da>qah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana h{adi>s Rasulullah SAW yang berbunyi:
ٓ ِ ْٓ عَُّبسَ َح ث ْ ًَ ع ٍ ١ْ َ لَبٌَب دَذَثََٕب اثُْٓ فُعٍَْٝٓ عَجْ ِذ اٌْؤَع ُ ًْ ث ُص ِ َاَٚٚ ت ٍ ْ٠َ وُشُٛدَذَثََٕب أَث َُ ٍَََعٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ُ ُٛي سَع َ ْشَحَ لَبيَ لَب٠َ ُ٘شِٟٓ أَث ْ َ صُسْعَ َخ عِٟٓ أَث ْ َع ع ِ اٌْمَعْمَب َغْزَىْثِش١ٌِ ْٚ ًَ أ َ َغْزَ ِم١ٍَْي جَّْشًا ف ُ َغَْؤ٠ ُ ُْ رَىَثُشًا فَئََِّٔبٌََٙاَِْٛي إٌَبطَ أ َ َِْٓ عََؤ Terjemahnya:‚Telah menceritakan Abu> Khu>raib, dan Washi>l ibn Abdul A‘la,berkata telah menceritakan Ibn Fhu>d}hail dari Uma>rah ibn Qha‘qha dari Abi> Jur‘ah dari Abi> Hu>rai>rah berkata,bersabda Rasulullah SAW: Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.‛ (H.R. Muslim).14
14
hal. 63
Yusuf Qardhawi, kiat islam mengentaskan kemiskinan (Jakarta: Gema insani Press),
23
Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn Qayyi>m, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul‘alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri. Tindakan zalim terhadap hak Rabbu>l‘alami>n artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memenuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama
makhluk. Ia menjual
kesabaran,
ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain. Islam menuntun setiap orang untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya. Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan. Dengan demikian hubungan antara aktifitas kerja dan prinsip-prinsip Islam tidak dapat dipisahkan atau inheren. Sebagaimana
24
lahir dan batin, hubungan antara keduanya ibarat matahari dengan pancaran sinarnya, karena Islam memancarkan etos kerja yang baik, agar aktifitas mendapatkan hasil yang terbaik, mulia dan terhormat.15 Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan. Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat
merusak
bangunan
masyarakatnya.
Masyarakat
Islam
dituntut
menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya. Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, adalah membangkitkan kembali semangat Ukhuwah Islamiyah di antara kita. Hal ini merupakan tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap keluarga dan saudaranya. Umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat ‚duduk sama rendah berdiri sama tinggi‛ dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu disadari, bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa ia sendiri yang mengubah nasibnya, oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos
15
2, h. 15
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet.
25
kerja agar tidak tertinggal oleh yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
) 11 : ( اٌشعذ Terjemahnya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS.13/ arRa’d: 11) Hamzah Ya'`kub berpendapat bahwa manusia adalah makhluk kerja yang ada persamaannya dengan hewan yang juga bekerja dengan gayanya sendiri. Tetapi tentu lain dengan caranya. Hewan bekerja semata berdasarkan naluriah, tidak ada etos, kode etik dan pendayagunaan akal, tapi manusia memilikinya.16 Bilamana manusia bekerja tanpa etos, moral dan akhlak maka gaya kerja manusia meniru hewan, turun pada tingkat yang rendah, demikian juga kalau manusia bekerja tanpa menggunakan akal maka hasilnya tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa.
16
Hamzah Ya`qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), hal. 1
BAB III HADIS-HADIS TENTANG ETOS KERJA A. Materi H{adi>s Tentang Etos Kerja dan Terjemahnya. Kemauan kerja merupakan fitrah dalam kejiwaan manusia yang hukumnya telah diputuskan oleh kebutuhan manusia untuk meujudkan keinginannya. Islam mempertajam, mempersiapkan dan menolong kemauan ini agar tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri. Dapat kita lihat hal itu ketika Islam menanamkan dalam jiwa muslim bahwa usaha yang baik adalah yang tidak terpisah dari imannya, dan bahwa ia wajib berusaha dengan bersungguh-sungguh. Hadis yang terkait dengan etos kerja adalah sangat banyak diantaranya sebagai berikut: 1. Dalam h{adi>s al-Bu>kha>ri> Rasulullah bersabda:
ْ َ ٓ َِعْذَا ِ ْٓ خَبٌِ ِذ ث ْ َْ ٍس عَٛٓ ث ْ َظ ع َ ُٔ ُٛ٠ ٓ ُ ْ ثَٝغ١ِ لبي أَخْجَشََٔب عَٝعُِٛ ٓ ُ ْ ُُ ث١ِ٘دَذَثََٕب إِثْشَا ً أَدَ ٌذ َ ي َِب أَ َو َ َعٍََ َُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ِ ُٛٓ سَع ْ َ اٌٍَ ُٗ عَْٕ ُٗ عٟ َظ ِ َٓ اٌِّْمْذَا َِ س ْ َع ً ُ َؤْ ُو٠ ْ َ ْ ِٗ اٌغٍََبَ وَب١ٍََُ َد عٚ اٌٍَ ِٗ دَاٟ َ ْ َٔ ِج َ َِإٚ ِٖ َِذ٠ ً ِ َّ َٓ ع ْ ِِ ً َ َؤْ ُو٠ ْ ْ َٓ أ ْ ِِ ْشًا١َطَعَبًِب لَّطُ خ َِٖذ٠ ً ِ َّ َٓ ع ْ ِِ
Terjemahnya: Telah menceritakan Ibrahi>m ibn Mu>sa, Isa> ibn Yu>nus berkata dari Tsau>rin dari Kha>lid ibn Ma‘da>n dari Mikdam RA. Dari Rasulullah saw beliau bersabda, Tidak seorangpun memakan satu makanan yang lebih baik dari apa yang ia makan dari hasil kerja tangannya dan sesungguhnya Nabi Daud itu makan dari hasil kerja tangannya.
1
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 3, h. 12
26
27
2. Selanjutnya Nabi Muhammad saw memberi motivasi kepada umatnya agar ia dapat bersedekah dari hasil usahanya dengan melalui istri dan dengan sedekah yang dikeluarkannya itu,istri dapat pahala karena dia mensedekahkan dan juga suami dapat pahala karena suamilah yang bersedekah. Sesuai hadis Rasulullah saw.
ٓ ْ َق ع ٍ ُٚٓ َِغْش ْ َك ع١ٓ ؽم ْ َ ٍس عُٛٓ َِْٕص ْ َ ٌش ع٠ِْجَخَ دَذَثََٕب جَش١َ ؽِٟٓ أَث ُ ْْ ث ُ دَذَثََٕب عُثَّْب ذ ْ َإِرَا أَْٔفَم
َُ ٍَََعٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ُ ُٛي سَع َ َب لَبٌَذْ لَبَْٕٙ اٌٍَ ُٗ عٟ َظ ِ َعَبئِؾَ َخ س
ت َ ََب ثَِّب وَغِْٙجٌََِٚضٚ ذ ْ ََب أَجْشَُ٘ب ثَِّب أَْٔفَمٌَٙ ْ َ ْ َش ُِفْغِذَ ٍح وَب١ََب غِْٙز١َٓ طَعَب َِ ث ْ ِِ اٌَّْشْأَ ُح ْئًب١َُ ُْ أَجْ َش ثَعْطٍ ؽُٙص ثَعْع ُ َُْٕم٠ ه ٌَب َ ًٌَِ ر ُ ْ ِِ ْث ِ ٌٍَِِْخَبصٚ Terjemahnya : Telah menceritakan Utsma>n ibn Abi> Syai>bah, Ja>rir berkata dari Mansu>r dari Abi> Wa'il dari Masru>k dari Aisyah RA. Aisyah berkata: Rasulullah saw bersabda. Apabila seorang istri bersedekah dari makanan yang ada dirumahnya sedekah yang tidak merusak maka ia mendapatkan pahala dari sedekahnya itu dan juga suaminya mendapat pahala (dari sedekah yang dikeluarkan istrinya ) karena dialah yang mengusahakannya.
3. Selanjutnya Nabi menjelaskan keutamaan orang yang etos kerjanya tinggi sehingga menjadi orang kaya dan dengan kekayaannya itu ia dapat memberikan kepada orang yang miskin. Sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
ُٛ أَثَِٟٕي دَذَث َ صَبٌِخٍ لَبُٛؼ دَذَثََٕب أَث ُ َّ ْ دَذَثََٕب اٌْؤَعِٟص دَذَثََٕب أَث ٍ ْٓ دَف ُ ْدَذَثََٕب عَُّ ُش ث ن َ ًَ اٌصَذَلَ ِخ َِب رَش ُع َ َْعٍََ َُ أَفٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝ صٟ ُ ي إٌَ ِج َ اٌٍَ ُٗ عَُْٕٗ لَبيَ لَبٟ َظ ِ َْشَ َح س٠َُ٘ش ٍََْٝ ِذ اٌغُف١ٌْٓ ا ْ ِِ ْ ٌش١ََب خ١ٍَُْ ُذ اٌْع١ٌَْاٚ ًِٕٝغ
2
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 2, h. 143 3 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 2, h. 143
28
Terjemahnya : Telah menceritakan ‘Umar ibn Hafs, menceritakan kepada kami Abi>, menceritakan kepada kami al-A`‘masi>, menceritakan kepada kami Abu> Sha>lih, menceritakan kepadaku Abu> Hu>rairah RA, berkata: Nabi saw bersabda: Sedekah yang paling utama adalah yang dikeluarkan oleh orang kaya dan tangan diatas ( memberi ) lebih baik daripada tangan dibawah ( penerima ). Selanjutnya Nabi Muhammad saw. Menjelaskan prioritas utama sedekah itu sebaiknya diutamakan atau didahulukan keluarga, kemudian berikutnya baru pada orang lain. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
ٓ ُ ْ ُذ ث١ِ عَعَِٟٔي أَخْجَش َ ِ لَبِٞٓ اٌضُْ٘ش ْ َظ ع َ ُٔ ُٛ٠ ٓ ْ َْ أَخْجَشََٔب عَجْ ُذ اٌٍَ ِٗ ع ُ دَذَثََٕب عَجْذَا ي َ َعٍَََُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝ صٟ ِ ٓ إٌَ ِج ْ َ اٌٍَ ُٗ عَْٕ ُٗ عٟ َظ ِ َْشَ َح س٠َت أََُٔٗ عَِّ َع أَثَب ُ٘ش ِ َ١َاٌُّْغ يُٛٓ رَع ْ ََِّاثْذَ ْأ ثٚ ًِْٕٝ ِش غَٙٓ ظ ْ َْ ُش اٌصَذَلَ ِخ َِب وَبَْ ع١َخ Terjemahnya : Telah menceritakan ‘Abdan, mengkabarkan kepadaku Abdulla>h dari Yu>nus dari Juhri>, berkata Sa‘i>d ibn Musayya>b dari Abu> Hu>rairah, Rasulullah saw bersabda sebaik-baik sedekah adalah yang diluar orang kaya dan mulailah ( kamu memberi) kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu.
4. Rasulullah saw melarang umatnya bermasa bodoh dan bersikap menyerah atas kesusahan-kesusahannya karena utang atau karena terdesak utang atau terdesak oleh kebutuhan. Nabi saw pada suatu hari pernah masuk masjid, di sana beliau mendapatkan sahabatnya, Abu> Uma>mah berada dimasjid selain waktu shalat, dan bertanyalah Nabi kepadanya tentang masalah yang dihadapinya. Jawab Abu> Uma>mah, saya tertimpa banyak kesusahan dan menanggung banyak utang. Nabi berkata, maukah kamu ku ajari beberapa kalimat yang apabila kamu mau mengucapkannya maka Allah selesaikan utangmu dan membukakan kesusahan hatimu, Abu Umamah menjawab tentu ya Rasulullah, lalu nabi bersabda : 4
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 6, h. 233
29
Terjemahnya : Ya Allah aku berlindung kepadamu dari kesusahan dan kesedihan, kelemahan, kemalasan, kikir, penakut dan lari menanggung utang dan paksaan orang orang. 5. Selanjutnya Nabi saw sangat mencela orang yang malas yang tidak berusaha dan kerjaannya hanya meminta-minta. Selain beliau mencela sikap seperti itu, juga mengabarkan bahwa orang yang kerjanya didunia ini hanya meminta-minta maka nanti di hari kiamat ia bangkit dengan tidak memiliki daging sedikitpun di wajahnya.hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
شح٠ ٘شٟ أٌضٔبد عٓ األعشج عٓ أثٟعف أخجشٔب ِبٌه عٓ أثٛ٠ ٓدذثٕب عجذ اهلل ث َؤخُز٠ ْ ْ َذِ ِٖ ٌِؤ١ ثِٝ َٔفْغَِٞاٌزٚ :عٍُ لبيٚ ٗ١ٍ اهلل عٍٝي اهلل صٛ اهلل عٕٗ أْ سعٟسظ َُٗ ََِٕعْٚ َغْؤٌ ُٗ أعْطب ُٖ أ١ سَجُال فَِٟؤر٠ ْ ْ ْشٌٌ ُٗ ِٓ أ١َْشِ ِٖ خٙ ظٝ َ ٍَخزطت ع١أدَذُو ُْ دجٍٗ ف Terjemahnya : Telah menceritakan ‘Abdulla>h ibn Yu>suf, telah mengkabarkan kepadaku Ma>lik, dari Abi> al-Zina>d, dari al-A‘ra>j, dari Abi> Hu>rairah RA, Rasulullah saw bersabda: Demi Allah apabila seseorang diantara kamu menyiapkan talinya, lalu datang membawa gulungan kayu bakar diatas punggungnya itu adalah lebih baik baginya daripada ia mendatangi seorang laki laki dan meminta minta padanya sehingga ia diberi atau tidak. Selanjutnya pada hadis lain Nabi menjelaskan:
5
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 7, h. 205 6 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri (Beirut:Dar al-Fikr, 1994), Juz 2, h. 157
30
ذ دَّْضَ َح ُ ْ جَعْفَشٍ لَبيَ عَِّعِٟٓ أَث ِ ْْ ِذ اٌٍَ ِٗ ث١َٓ عُج ْ َث ع ُ ْ١ٌٍَْ ٍش دَذَثََٕب ا١َٓ ثُى ُ ْ ثَٝ١َْذ٠ دَذَثََٕب ٟ ُ ي إٌَ ِج َ اٌٍَ ُٗ عَُْٕٗ لَبيَ لَبٟ َظ ِ َٓ عَُّ َش س َ ْذ عَجْ َذ اٌٍَ ِٗ ث ُ ْٓ عَُّشَ لَبيَ عَِّع ِ ْٓ عَجْ ِذ اٌٍَ ِٗ ث َ ْث ِٟظَ ف١ْ ٌَ َبَِ ِخ١ِْ ََ اٌْمَٛ٠ ٟ َ َؤْ ِر٠ َٝدز َ ط َ ي إٌَب ُ َغَْؤ٠ ً ُج ُ َي اٌش ُ َضَا٠ َعٍَََُ َِبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝص ٍُِْ ِٗ ُِضْعَ ُخ ٌَذَْٙجٚ Terjemahnya : Telah menceritakan Yahya> ibn Bu>kair, menceritakan kepadaku Lai>ts dari ‘Ubaidilla>h ibn Abi> Ja‘far, aku mendengar Hamza>h ibn ‘Abdulla>h ibn ‘Umar, ia berkata aku mendengar ‘Abdulla>h ibn ‘Umar RA, berkata: Nabi saw bersabda: Orang yang senantiasa di dunia ini meminta-minta kepada sesama manusia, maka di hari kiamat ia datang dengan tidak memiliki daging sama sekali diwajahnya. Dari uraian tersebut diatas maka sangat jelaslah bagi kita bahwasanya agama samawi mengajarkan pada penganutnya agar menjadi manusia pekerja dan dalam bekerja harus punya semangat besar sehingga dengan semangat besar itu dapat menjadi manusia produktif atau menghasilkan berbagai kebutuhan dan kepentingan manusia pada umumnya, pribadi dan keluarga pada khususnya, sehingga kita terhindar dari kehidupan sengsara, melarat dan meminta-minta, sebab sikap seperti itu sangat dikecam oleh Rasulullah saw. Dalam buku
karangan Toto Tasmara diantara hadis yang berkaitan
dengan etos kerja adalah :
ْ ٍش١َُّٓ ع ِ ْٓ عَُّبسَ َح ث ْ َ َُ ع١ِ٘ٓ إِثْشَا ْ َ ٍس عُٛٓ َِْٕص ْ َْ ع ُ َب١ْ ٍش أَخْجَشََٔب عُف١ِٓ وَث ُ ْدَذَثََٕب ُِذََّ ُذ ث ذ ْ ٌَٓ َِبٌِِٗ فَمَب ْ ِِ ً ُ ٌُ أَفَآ ُو١َِز٠ ِٞ دِجْشَِٟب فَْٕٙ اٌٍَ ُٗ عٟ َظ ِ َذ عَبئِؾَ َخ س ْ ٌَََب عَؤََٙٔٓ عََّزِ ِٗ أ ْ َع
7
Abi abdillah Muhammad bin ismail al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri bi Hasyiyati asSanadi,bab Man sa ala an-Nas Takatsuran (Arab Saudi: Dar Ihya al-Kutub, tth), h. 257
31
ُٖ ٌََُذَٚٚ ِِٗٓ وَغْج ْ ِِ ً ُج ُ ًَ اٌش َ ت َِب أَ َو ِ َ١ْٓ أَط ْ ِِ ْ َ َِعٍََ َُ إٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ُ ُٛي سَع َ لَب ) دٚ داٛاٖ اثٚٓ وَغْجِٗ ( س ْ ِِ Terjemahnya : Telah menceritakan kepadaku Muhamma>d ibn Kasi>r, telah mengkabarkan kepadaku Su>fyan ibn Mansu>r dari Ibrahi>m dari ‘Uma>rah ibn ‘Umai
r Yati>m, makanan dari hartamu sendiri, ia berkata : Rasulullah saw bersabda, ‚Sesungguhnya sebaik-baik makanan adalah hasil dari tangannya sendiri, dan hasil usahanya itu untuk anak-anaknya‛(HR.Abi Daud). Dan yang lainnya
ْ َ َٓ عَُّ َش أ ِ ْٓ اث ْ َٓ َٔبفِ ٍع ع ْ َٗ ع١ٍّب لشا ع١ذ عٓ ِبٌه ثٓ أٔظ ف١جخ ثٓ عع١دذثٕب لز ََاٌزَعَفُفٚ َزْوُ ُش اٌصَذَلَ َخ٠ َٛ َُ٘ٚ إٌِّْْجَ ِشٍََٝ عَٛ َُ٘ٚ ي َ َعٍَََُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص َ ُٛسَع ُ اٌغَبئٍَِخٍََْٝاٌغُفٚ َب إٌُّْْفِمَ ُخ١ٍَُْ ُذ اٌْع١ٌَْاٚ ،ٍََْٝ ِذ اٌغُف١ٌْٓ ا ْ ِِ ْ ٌش١ََب خ١ٍَُْ ُذ اٌْع١ٌْ ا:ِٓ اٌَّْغْؤٌََخ ْ َع Terjemahnya : Telah menceritakan Qu>tai>bah ibn Sa‘i>d dari Ma>lik ibn Ana>s dari Na>fi‘ dari Ibn ‘Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: ketika beliau di atas mimbar sedang membicarakan masalah sedekah dan menghindari perbuatan meminta-minta, Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Tangan yang diatas adalah memberi dan tangan yang dibawah adalah pemintaminta. (HR Muslim).10
Dari hadis diatas dianjurkan kepada umat Islam untuk memberi dan dilarang untuk meminta-minta, karena tangan yang memberi itu lebih baik dari tangan yang diberi.
8
Sulaiman Ibn al-Asy'As as-Syizistani, Sunan Abi> Dau>d, kitab al-Buyu, Bab Ar-rojulu ya'kulu min maalin waladihi (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998), h. 544 9 ِ Abi al-Husain Muslim Ibni al-Hujjaj Ibni Muslim al-Khusyairi an-Naisaburi, kitab Zakat, Bab bayan inna al-yadul al-Ulya khaiirun Min al-Yadul as-Shufla (Beirut : Dar al-Kutub al-Alamiah, th),h. 413 10 Hamzah Ya`kub, Etos Kerja Islami; Petunjuk Pekerjaan yang Halan dan Haram dalam Syariat Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) h.12.
32
Dan hadis riwayat al-Tirmidhi>.11
خَِّبصًبُْٚ َش رَغْذ١َق اٌط ُ َُشْص٠ َوٍُِ ِٗ ٌَشَصَلَىُ ُْ وََّبَٛك ر َ َ اٌٍَ ِٗ دٍََْٝ ع َ ٍََُٛوَٛ أََٔىُ ُْ رَزْٛ ٌَ
. )ٞ ُح ثِطَبًٔب (أخشجٗ اٌزشِزَُٚرَشٚ Terjemahnya : Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarbenar tawakal niscaya Allah memberi rizqi kepada kalian sebagai mana burung diberi rizqi, ia berangkat pagi dengan perut kosong dan kembali denga perut terisi. Dalam hadis lain disebutkan.
ْذ اهلل١ٍَْخ عَٓ عٍَََّخ اثْٓ عُج١َُّ ؽِٟٓ ثْٓ أَث ِ َّْٓ عَجْ ِذ اٌشَد ْ ََ َخ ع٠َِٚ اْ ثْٓ ُِعَبْٚ َِشََٜٚسٚ ِٟخ إِِٓبً ف َ َٓ أَصْج ْ َِ :ٍََََُعٚ ِٗ ْ١ٍََهلل ع ُ اٍََٝهلل ص ِ يا ُ ْٛ ُي سَع َ لَب:َِٗ لَبي١ِٓ أَث ْ َثْٓ ِذصٓ ع ْشَِ٘ب١ِبثِذَزَاف١ُْٔد ٌَ ُٗ اٌذ ْ َض١ِ فَىَؤَََّٔب د، َِِِْٗٛ٠ د ُ ُٛ عِْٕذَُٖ ل، ِٗ َِٔ ثَذِٟ فٝ ُِعَبف، ِٗعِشْث Terjemahnya :Telah menceritakan Marwa>n ibn Mua>wiyah dari ‘Abd alRahma>n ibn Abi> Syu>mailah Ibn ‘Ubaidilla>h ibn Mahshan dari bapaknya berkata: Rasulullah bersabda: Barang siapa yang pada pagi harinya merasa aman ditengah-tengah kaumnya, sehat tubuhnya dan memiliki pangan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia dengan segala isinya.(HR.al-Bukhari) Pada hadis yang lain juga Rasulullah saw mengapresiasi orang yang bekerja sebagaimana hadis al-Bukha>ri>12
11
hal 13.
12
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami (Jakarta: Gema Insani Pres, 2002),
Sudirman Teba, Membangun Etos kerja dalam Perspektif Tasawuf (Bandung: Pustaka Nusantara, 2003), Cet, I, hal. 8
33
ٓ ُ ْ ُِذََّ ُذ ثَِٟٕي دَذَث َ ٓ ُِطَشِفٍ لَب ُ ْْ ُِذََّ ُذ ث َ غَغَبُٛػ دَذَثََٕب أَث ٍ َب١َٓ ع ُ ْ ثٟ ُ ٍَِدَذَثََٕب ع ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص َ ُْٛ سَع َ ََُّبإَْٔٙ اٌٍَ ُٗ عٟ َظ ِ َٓ عَجْ ِذ اٌٍَ ِٗ س ِ ْٓ جَبثِ ِش ث ْ َإٌُّْْىَذِ ِس ع ََٝإِرَا الْزَعٚ ََٜإِرَا اؽْزَشٚ َي سَدِ َُ اٌٍَ ُٗ سَجًٍُب عَّْذًب إِرَا ثَبع َ َعٍَََُ لَبٚ Terjemahnya :Telah menceritakan kepadaku ‘Ali ibn Iya>s, Abi> Ghassa>n Muhamma>d ibn Mutharri>f, berkata kepadaku Muhamma>d ibn al-Munkadi>r, dari Ja>bi>r bin Abdulla>h, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Allah mengasihi mereka yang berusaha dan bekerja untuk kehidupan mereka.(HR.al-Bukhari)
B. Asbabul Wurud Hadis Tentang Etos Kerja Dari hadis-hadis yang berkaitan dengan etos kerja diatas terdapat asbabul wurud yang menerangkan tentang etos kerja diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri>, Abi> Da>ud, al-Na>sai>
ٓ ُ ْ ُذ ث١ِ عَعَِٟٔي أَخْجَش َ ِ لَبِٞٓ اٌضُْ٘ش ْ َظ ع َ ُٔ ُٛ٠ ٓ ْ َْ أَخْجَشََٔب عَجْ ُذ اٌٍَ ِٗ ع ُ دَذَثََٕب عَجْذَا ي َ َعٍَََُ لَبٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝ صٟ ِ ٓ إٌَ ِج ْ َ اٌٍَ ُٗ عَْٕ ُٗ عٟ َظ ِ َْشَ َح س٠َت أََُٔٗ عَِّ َع أَثَب ُ٘ش ِ َ١َاٌُّْغ )ٞي ( أخشجٗ اٌجخبسُٛٓ رَع ْ ََِّاثْذَ ْأ ثٚ ًِْٕٝ ِش غَٙٓ ظ ْ َْ ع َ ْ ُش اٌصَذَلَ ِخ َِب وَب١َخ Terjemahnya : Telah menceritakan ‘Abdan, mengkabarkan kepadaku ‘Abdulla>h, dari Yu>nus, dari Juhri>, berkata: Sa‘i>d ibn Musayya>b, telah mendengar Abu> Hu>rairah, Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik sedekah adalah yang diluar orang kaya dan mulailah( kamu memberi) kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu.(HR al-Bukhari)
13
Abi Abdillah Muhammad Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah, S{ahi>h Bukha>ri, kitab alBuyu, Bab as-Shuhulah wa as-shimahah (Beirut: A'lam al-Kutub,tth), juz 3, h. 121-122
34
Asba>bul wuru>d : Sebagaimana yang telah disebutkan pada h{adi>s" Ibda biman ta`ulu" dari h{adi>s Ha>kim ibn Hazm didalam riwayat Bai>haqi> dari Abu> Hu>rairah dengan tambahan: Siapa yang paling membutuhkan?". Jawab nabi" " Istrimu yang berkata:" berilah aku makan, jika tidak, ceraikanlah aku" kepadamu pembantumu yang berkata: " berilah aku makan jika tidak juallah aku." Kepada anakmu yang berkata:" kepada siapa kau menaruh iba? Kata Al-Ha>fiz al-Iraqi> dan muridnya Burha>n Al-Ha>libi>: " penjelasan ini mauquf sampai kepada Abu> Hu>rairah. Didalam"Al-Huda" oleh Ibn al-Qayi>m diterangkan bahwa didalam An-Nasai> h{adi>s ini disampaikan oleh Abu> Hu>rairah secara Marfu‘` berbunyi: Ibda Biman Ta`ulu". Rasulullah ditanya orang: siapa yang paling membutuhkan? Jawab beliau seperti h{adi>s diatas. Didalam: "Su>nan al-Kubra>" diriwayatkan dari Ibn Ahma>r. Juga Ibn Qurqu>l meriwayatkan di dalam "Mathla'ul Anwar", yang as-bab al-wurudnya: "Bahwa seorang laki telah bersedekah dengan salah satu dari dua buah bajunya yang disedekahkan orang kepadanya. Rasulullah telah melarangnya, dan beliau berkata: "sebaik-baik shadaqah ialah……………….dan seterusnya". C. Pemikiran Ulama Tentang Etos Kerja Terdapat pandangan beberapa ulama yang berkaitan tentang etos kerja diantaranya mufassir terkemuka Ibn Katsi>r menafsirkan surat al-Jumu`‘ah ayat 10 bahwa hendaknya bagi seorang muslim setelah menunaikan ibadah shalat jum`at untuk bertebaran dimuka bumi sebagai manifestasi mencari rizqi sebagai karunia Allah SWT. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa hak khaliq dan insan harus seimbang dalam menjalani kehidupan di dunia, jangan sampai perlombaan
35
mencari rizqi menghalangi untuk mengingat Allah sebagai pemberi rizqi. Sebab dalam dzikrullah terletak keuntungan dan kejayaan, kebahagiaan yang besar.14 Selain Ibn Katsi>r, Al-Mara>ghi> dalam tafsirnya juga mengungkapkan bahwa orang mukmin dituntut untuk bekerja baik untuk dunia maupun untuk kehidupannya di akherat, sampai beliau mengutip sebuah atsar yang berkaitan dengan etos kerja.
د غَذًا ُ َُّٛه ر َ َٔه وؤ َ ً ٌِآخِشَر ْ َّ َْاعٚ ،ؼ أثَذًا ُ ١ْ ِه رَع َ َٔن وؤ َ َب١ًُْٔ ٌِذ ْ َّ ْاع Terjemahnya : Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.15 Dalam al-Qur`an dan Tafsirnya terbitan Universitas Islam Indonesia disebutkan bahwa hendaknya muslim bertebaran di muka bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah memenuhi kewajibannya terhadap sang Khaliq, bekerja dengan senantiasa mengingat Allah sebanyak-banyaknya, menghindari diri dari
kecurangan, penyelewengan dan berbagai bentuk kemungkaran
lainnya.16 Dengan demikian dari pemikiran dan pandangan para ulama diatas dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan hal yang sangat urgen untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya, keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya serta untuk bermuamalah dengan masyarakat, namun yang perlu diingat bahwa bekerja harus disertai dengan bentuk pengabdian diri kepada Allah dengan selalu ingat kepada-Nya agar rizqi yang didapatkan menjadi berkah sehingga tercapai juga kehidupan bahagia dunia akhirat.
14
Salim Bahresy dan Said Bahresy, Terjemah, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 125 15 Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi ( Semarang: Toha Putra, 1989), Jilid 28, hal. 170 16 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur`an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1991), Jilid 10, hal. 153
36
BAB 1V ANALISA KUALITAS H{ADI<S DAN PEMAHAMAN KONTEKSTUAL H{ADI<S
A. Analisa Sanad H{adi>s Tentang Etos Kerja Pada bab sebelumnya penulis telah menyebutkan h{adi>s-h{adi>s yang relevan tentang etos kerja, namun sebagai pembatasan pada bab ini penulis hanya mentakhrij dua h{adi>s etos kerja . H{adi>s tentang etos kerja yang pertama
ِٝٓ أَث ْ ََ َح عْٚ ِ٘ؾَب ٌَ ثٓ عُشَِٕٝي دَذَث َ ْثُ لَب١ٌٍَ إَِٝي دَذَث َ ٓ صَبٌِخٍ لَب ُ ْأَخْجَشََٔب عَجْ ُذ اٌٍَ ِٗ ث ْ ُش اٌصَذَلَ ِخ َِب١َ« خ: ي ُ َُٛم٠ ٍُعٚ ٗ١ٍ اهلل عٍٝي اٌٍَ ِٗ ص َ ُٛذ سَع ُ ْْشَحَ لَبيَ عَِّع٠َُ٘ش ) ِٟاٖ اٌذاسٚي ( س ُ َُٛع٠ ٓ ْ ََِّجْذَ ْأ أَدَذُوُ ُْ ث١ٌَْٚ ، ًِْٕٝ ِش غَٙٓ ظ ْ َق ثِ ِٗ ع َ ِرُصُذ Terjemahnya: Telah mengkabarkan ‘Abdulla>h ibn Sha>lih, laits dan Hisya>m berkata dari Abi> Hu>rairah saya mendengar Rasululllah SAW bersabda: Sebaik-baik sedekah adalah yang diluar orang kaya dan mulailah ( kamu memberi) kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu.( HR.al-Darimi) Hadis yang Kedua
ْ ٍش١َُّٓ ع ِ ْٓ عَُّبسَ َح ث ْ َ َُ ع١ِ٘ٓ إِثْشَا ْ َ ٍس عُٛٓ َِْٕص ْ َْ ع ُ َب١ْ ٍش أَخْجَشََٔب عُف١ِٓ وَث ُ ْدَذَثََٕب ُِذََّ ُذ ث ذ ْ ٌَٓ َِبٌِِٗ فَمَب ْ ِِ ً ُ ٌُ أَفَآ ُو١َِز٠ ِٞ دِجْشَِٟب فَْٕٙ اٌٍَ ُٗ عٟ َظ ِ َذ عَبئِؾَ َخ س ْ ٌَََب عَؤََٙٔٓ عََّزِ ِٗ أ ْ َع
37
ُٖ ٌََُذَٚٚ ِِٗٓ وَغْج ْ ِِ ً ُج ُ ًَ اٌش َ ت َِب أَ َو ِ َ١ْٓ أَط ْ ِِ ْ َ َِعٍََ َُ إٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝي اٌٍَ ِٗ ص ُ ُٛي سَع َ لَب )دٚداٛاٖ اثِِْٚٓ وَغْجِٗ(س Sebelum menganalisa sanad h{adi>s, penulis akan berusaha mentakhrij h{adi>s tentang etos kerja dengan menggunakan metode takhri>j h}adi>s bi al-faz{ atau penelusuran h{adi>s melalui kata-kata dengan merujuk pada kitab al-Mu`‘jam al-
Mufa>hras al-H{adi>s al-Na>bawi> yang ditulis oleh A.J.Weinsinck (W.1939). Penelusuran h{adi>s-h{adi>s tentang etos kerja
ًِْٕٝ ِش غَٙٓ ظ ْ َق ثِ ِٗ ع َ ِْ ُش اٌصَذَلَ ِخ َِب رُصُذ١َخ Pada h{adi>s etos kerja penulis menemukan penggalan kata yang di telusuri adalah sebagai berikut:
)اٌصذلخ ( صذق Data yang diperoleh dalam Mu`‘jam pada h{adi>s ini dan yang akan digunakan sebagai rujukan adalah18 :
. 39 صوبح: د .21 صوبح: ٜد
ٓ ِ ْٓ عَُّ َش ث ِ ْٓ عَبصِ ُِ ث ْ َك ع َ َٓ إِعْذ ِ ْٓ ُِذََّ ِذ ث ْ ًَ دَذَثََٕب دََّب ٌد ع َ ١ِٓ إِعَّْع ُ ْ ثَٝعُِٛ دَذَثََٕب ِٗ ٌٍَي ا ِ ُٛي وَُٕب عِْٕ َذ سَع َ ِ لَبِٞٓ عَجْ ِذ اٌٍَ ِٗ اٌْؤَْٔصَبس ِ ْٓ جَبثِ ِش ث ْ َ ٍذ ع١ِٓ ٌَج ِ ْ ِد ثُّْٛٓ َِذ ْ َلَزَبدَ َح ع ِٗ ٌٍَي ا َ َُٛب سَع٠ ي َ ٓ رََ٘تٍ فَمَب ْ ِِ ْعَ ٍخ١ًَ ث ِ ً ثِِّ ْث ٌج ُ ََعٍََ َُ إِ ْر جَبءَ ُٖ سٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝص ِٗ ٌٍَي ا ُ ُٛض عَْٕ ُٗ سَع َ َْشََ٘ب فَؤَعْش١َه غ ُ ٍَِِْ صَذَلَ ٌخ َِب أٟ َ ِٙ َٓ َِعْذٍِْ فَخُزَْ٘ب ف ْ ِِ ِٖ ِذ َ٘ز ُ ْأَصَج َُ ُض عَْٕ ُٗ ث َ ًَ رٌَِهَ فَؤَعْش َ ي ِِ ْث َ َِّْٓ فَمَب٠ًَ سُوِْٕ ِٗ اٌْؤ ِ َعٍََ َُ ثُ َُ أَرَب ُٖ ِِْٓ لِ َجٚ ِٗ ْ١ٍََ اٌٍَ ُٗ عٍََٝص 17
Sulaiman Ibnu al-Asy'As as-Syizistani, Sunan Abi Daud, kitab al-Buyu, Bab Ar-rajulu ya'kulu min maalin Waladuhu (Yordania : Dar al-A'lam, 2003), h. 578 18 A.J.Weinsinck, al-Mu‘jam al-Mufahras al-H{adi>s al-Nabawi. (W.1939),Jilid 3 h289,288
38
ٓ ي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ ثُ َُ أَرَب ُٖ ِِ ْ ض عَْٕ ُٗ سَعُُ ٛ ً سُوِْٕ ِٗ اٌْؤَْ٠غَشِ فَؤَعْشَ َ أَرَب ُٖ ِِْٓ لِ َج ِ ي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍَََُ فَذَزَفَ ُٗ ثَِٙب فٍََ ْ ٛأَصَبثَزْ ُٗ ٌَؤَْٚجَعَزْ ُٗ أَ ْٚ خٍَْفِِٗ فَؤَخَزََ٘ب سَعُُ ٛ ي َ٘زِ ِٖ ي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ َ٠ؤْرِ ٟأَدَذُوُ ُْ ثَِّب ٍَِّْ٠هُ فََ١مُُ ٛ ي سَعُُ ٛ ٌَعَمَشَرُْٗ فَمَب َ ٓ ظَِ ْٙش غًِٕٝ ط خَُ ْ١ش اٌصَذَلَ ِخ َِب وَبَْ عَ ْ ف إٌَب َ صَذَلَ ٌخ ثُ َُ َ٠مْعُ ُذ َ٠غْزَىِ ُ ي ٓ أثُ٘ ٟشَْ٠شَح لب َ ٓ عُشَْٚح عَ ْ ث دَذَثِِٕ٘ ٟؾَبَ ث ُ ٓ صَبٌِخ دَذَثِٕ ٟاٌٍِ ْ١ أخْجَشََٔب عَجْذُ اهلل ث ُ ٓ ق ثِ ِٗ عَ ْ ي :خَُ ْ١ش اٌصَذَل ِخ َِب رصَذَ َ عَِّعْذُ سعٛي اهلل صٍ ٝاهلل عٍ ٚ ٗ١عٍُ َ٠م ُْ ٛ ٓ َ٠عُ ْٛيُ(عٕٓ اٌذاسِ)ٟ َ١ٌَٚ ٝجْذَأ أدَذُو ُْ ثَِّ ْ ظِ ْٙش غَ ِٕ ٍ Pada h{adi>s yang kedua penulis menemukan penggalan kata yang ditelusuri adalah sebagai berikut:
ٓ وَغْجِٗ ٓ وَغْجِِٗ ٌَََٚٚذُ ُٖ ِِ ْ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ٓ أَطِْ َ١ ْ ِِ ْ إِ َ
Sedangkan data yang diperoleh dari h{adi>s yang kedua dengan metode
Takhri>j al-H{adi>s bi al-Fa>z{ adalah sebagai berikut:19
ر :ثٛ١ع 15 د :أدىبَ 22 ْ :ثٛ١ع 1 جٗ :رجبساد64 ،1 ، دُ 220 ،203 ،201 ،193 ،162 ،127 ،42 ،41 ،31 .6 : al-Bukha>ri>:
ٓ ْ عَ ْ ٓ َِعْذَا َ ٓ خَبٌِ ِذ ثْ ِ ٓ ثٍَ ْٛس عَ ْ ظ عَ ْ ٓ َ ُٔ ُٛ٠ ٓ ُِٛعَ ٝأَخْجَشََٔب عِ١غَ ٝثْ ُ دَذَثََٕب إِثْشَاِ٘ ُُ ١ثْ ُ ً أَدَ ٌذ َِب أَ َو َ ي ي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍَََُ لَب َ ٓ سَعُِ ٛ ٟاٌٍَ ُٗ عَْٕ ُٗ عَ ْ ظَ اٌِّْمْذَا َِ سَ ِ
A.J.Weinsinck al-Mu‘jam al-Mufahras al-H{adi>s al-nabawi>.(W.1939),jilid h. 69
19
39
ً ْ َ٠ؤْ ُو ُ ٟاٌٍَ ِٗ دَاَ ُٚد عٍََ ِٗ ْ١اٌغٍََبَ وَب َ ْ َٔ ِج َ ً َ٠ذِ ِٖ َٚإِ َ ٓ عَ َّ ِ ً ِِ ْ ْ َ٠ؤْ ُو َ ٓ أَ ْ طَعَبًِب لَّطُ خَْ١شًا ِِ ْ ً َ٠ذِِٖ. ٓ عَ َّ ِ ِِ ْ al-Tirmi>dhi>:
ٓ ؼ عَ ْ ٓ أَثِ ٝصَائِذَ َح دَذَثََٕب األَعْ َّ ُ ٓ صَوَشَِ٠ب ثْ ِ ٓ ٍَِِٕ ١ع دَذَثََٕب َ٠ذْ َٝ١ثْ ُ دَذَثََٕب أَدَّْ ُذ ثْ ُ ي اٌٍَ ِٗ -صٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ- ي سَعُُ ٛ ٓ عَبئِؾَخَ لَبٌَذْ لَب َ ٓ عََّزِ ِٗ عَ ْ ٓ عٍَُّ ْ١ش عَ ْ عَُّبسَ َح ثْ ِ ٓ ة عَ ْ ي َٚفِ ٝاٌْجَب ِ ٓ وَغْجِىُ ُْ » .لَب َ ْ أَ ْٚالَدَوُ ُْ ِِ ْ ٓ وَغْجِىُ ُْ َٚإِ َ ت َِب أَوٍَْزُ ُْ ِِ ْ ْ أَطَْ َ١ « إِ َ ث دَغٌَٓ. ي أَثُ ٛعِ١غََ٘ ٝزَا دَذٌِ ٠ ٓ عَّْشٍ .ٚلَب َ جَبثِ ٍش َٚعَجْ ِذ اٌٍَ ِٗ ثْ ِ ٓ عَبئِؾَخََٚ .أَوْثَشُُُْ٘ لَبٌُٛا ٓ أُِِ ِٗ عَ ْ ٓ عٍَُّ ْ١ش عَ ْ ٓ عَُّبسَ َح ثْ ِ َٚلَ ْذ سَ َٜٚثَعْعَُ٘ ُْ ُٙزَا عَ ْ ٓ عَبئِؾَخَ. ٓ عََّزِ ِٗ عَ ْ عَ ْ - ٝصٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ- ة إٌَ ِج ِ ٓ أَصْذَب ِ ً اٌْعٍِْ ُِ ِِ ْ ط أَ ْ٘ ِ ً عٍَََ٘ ٝزَا عِْٕ َذ ثَعْ ِ َٚاٌْعَ َّ ُ ال ي ثَعْعَُ ُُْٙ ي ٌََٚذِ ِٖ َ٠ؤْخُ ُز َِب ؽَبءََٚ .لَب َ ْ َ َ٠ذ اٌَْٛاٌِ ِذ َِجْغُٛطَخٌ فَِِ ٝب ِ َٚغَْ١شُِِْ٘ لَبٌُٛا إِ َ ال عِْٕ َذ اٌْذَبجَ ِخ إٌَِ.ِْٗ١ ٓ َِبٌِ ِٗ ِإ َ َ٠ؤْخُ ُز ِِ ْ al-Nasai>:22
اخجشٔب عج١ذ اهلل ثٓ عع١ذ أث ٛلذاِخ اٌغشخغ ٟلبي :دذثٕب ٠ذ ٝ١ثٓ عع١ذ عٓ عف١بْ عٓ ِٕصٛس عٓ عّبسح ثٓ عّ١ش عٓ عّزٗ عٓ عبئؾخ لبٌذ :لبي سعٛي اهلل صٍ ٟاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ :إْ أط١ت ِب أوً اٌشجً ِٓ وغجٗ ٚإْ ٌٚذ اٌشجً ِٓ وغجٗ
أخجشٔب ِذّذ ثٓ ِٕصٛس لبي دذثٕب عف١بْ لبي دذثٕب االعّؼ عٓ إثشا٘ ُ١عٓ عّبسح ثٓ عّ١ش عٓ عّخ ٌٗ عٓ عبئؾخ أْ إٌج ٟصٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ لبي اْ أٚالدوُ ِٓ أط١ت وغجىُ فىٍٛا ِٓ وغت أٚالدوُ
20
Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari , S{ahi>h Bukha>ri (Riyad:Baitul Ifkaar Addauliyah, 2008), hal . 230 21 Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah, Sunan Tirmidzi> (Bairut: Darul Ma`rifah, 2002), cet 1, hal. 568 22 Abi Abdurrahman Ahmad ibn Syuaib Annasa`I, Sunan An-Nasa'I (Bairut: Daar Ihya Atturits Al-Arabi, th), hal. 755
40
ٓ ؼ عَ ْ ي أَْٔجَؤََٔب األَعْ َّ ُ ٓ ُِٛعَ ٝلَب َ ً ثْ ُ عُ ي أَْٔجَؤََٔب اٌْفَ ْ ٓ عِ١غَ ٝلَب َ ف ثْ ُ أَخْجَشََٔب ُٛ٠عُ ُ ْ ي اٌٍَ ِٗ -صٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ « -إِ َ ي سَعُُ ٛ ٓ عَبئِؾَخَ لَبٌَذْ لَب َ ٓ األَعِْ َٛد عَ ْ إِثْشَاِ٘ َُ ١عَ ِ ٓ وَغْجِ ِٗ ». ٓ وَغْجِ ِٗ ٌَََٚٚذُ ُٖ ِِ ْ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ أَطَْ َ١
أخجشٔب أدّذ ثٓ دفص ثٓ عجذ اهلل إٌ١غبثٛس ٞلبي دذثٕ ٟأث ٟلبي دذثٕ ٟإثشاُ٘١ ثٓ طّٙبْ عٓ عّش ٚثٓ عع١ذ عٓ االعّؼ عٓ إثشا٘ ُ١عٓ االعٛد عٓ عبئؾخ لبٌذ لبي سعٛي اهلل صٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ إْ أط١ت ِب أوً اٌشجً ِٓ وغجٗ ٚإْ ٌٚذٖ ِٓ وغجٗ Ibn ma>jah:23
ٓ دَجِ١تٍ لَبٌُٛا ٓ إِثْشَاِ٘ َُ ١ثْ ِ ك ثْ ُ ٓ ُِذََّ ٍذ َٚإِعْذَ ُ ٟثْ ُ ٓ أَثِ ٟؽَْ١جَ َخ َٚعٍَِ ُ دذثٕب أَثُ ٛثَىْ ِش ثْ ُ ي ٓ عَبئِؾَخَ لَبٌَذْ لَب َ ٓ اٌْؤَعِْ َٛد عَ ْ ٓ إِثْشَاِ٘ َُ ١عَ ْ ؼ عَ ْ دذثٕب أَثُُِ ٛعَبَ٠ِٚخَ دذثٕب اٌْؤَعْ َّ ُ ٓ ْ ٌََٚذَ ُٖ ِِ ْ ٓ وَغْجِ ِٗ َٚإِ َ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ْ أَطَْ َ١ سَعُٛي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ إِ َ وَغْجِ ِٗ
ٓ عٍَُّ ْ١ش ٓ عَُّبسَ َح ثْ ِ ؼ عَ ْ ٓ اٌْؤَعْ َّ ِ ٓ أَثِ ٟصَائِذَ َح عَ ْ ٓ أَثِ ٟؽَْ١جَخَ دذثٕب اثْ ُ دذثٕب أَثُ ٛثَىْ ِش ثْ ُ ت َِب أَوٍَْزُ ُْ ْ أَطَْ َ١ ي سَعُٛي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ إِ َ ٓ عَبئِؾَخَ لَبٌَذْ لَب َ ٓ عََّزِ ِٗ عَ ْ عَ ْ ٓ وَغْجِىُُْ ْ أٌََْٚبدَوُ ُْ ِِ ْ ٓ وَغْجِىُ ُْ َٚإِ َ ِِ ْ
Ahmad Ibn Hanbal:
ْ عٓ َِْٕصٌُ ٛس ٠ٚذ ٝ١عَْٓ عف١بْ لبي دذثٕٟ دَذَثَِٕ ٝأَثِ ٝثََٕب إعذك ثٕب عُفَْ١ب َ - ٝصٍٝ ٓ إٌَ ِج ِ ٓ عَبئِؾَ َخ عَ ِ ٓ عََّزِ ِٗ عَ ْ ٓ عَُّبسَ َح ثٓ عّ١ش عَ ْ ِٕصٛس عٓ إِثْشَاِ٘ َُ ١عَ ْ ٓ وَغْجِ ِٗ » ٓ وَغْجِ ِٗ ٌَََٚٚذُ ُٖ ِِ ْ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ْ أَطَْ َ١ اهلل عٍٚ ٗ١عٍُ -أٔٗ لبي « إِ َ
23
Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Ibn Majah al-Kazuaeni, Sunan Ibn Ma>jah (Riyad: Baitul Ifkar al- dauliyah, 2004), hal 232, 246 24 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal (Bairut; Daarul Fikr), Jilid 6, h. 31.
41
ْ عٓ األعّؼ عٓ إثشا٘ ُ١عٓ عّبسح عٓ عّخ ٌٗ عٓ دَذَثَِٕ ٝأَثِ ٝثٕب عُفَْ١ب َ - ٝصٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ إْ أٚالدوُ ِٓ أط١ت وغجىُ فىٍٛا ِٓ عبئؾخ عٓ إٌَ ِج ِ وغت أٚالدوُ ٓ ٓ األَعِْ َٛد عَ ْ ٓ إِثْشَاِ٘ َُ ١عَ ِ ؼ عَ ْ ال ثٕب األَعْ َّ ُ دَذَثَِٕ ٝأَثِ ٝدَذَثََٕب أَثُُِ ٛعَبَ َ٠ِٚخ َ٠َٚعٍَْ ٝلَب َ ٓ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ْ أَطَْ َ١ ي اٌٍَ ِٗ -صٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ إِ َ ي سَعُُ ٛ عَبئِؾَخَ لَبٌَذْ لَب َ ٓ وَغْجِ ِٗ وَغْجِ ِٗ ٌَََٚٚذُ ُٖ ِِ ْ
دَذَثَِٕ ٝأَثِ ٝثٕب عجذ اٌشصاق لبي أٔب عف١بْ عٓ ِٕصٛس عٓ إثشا٘ ُ١عٓ عّبسح ثٓ -ٝ عّ١ش عٓ عّخ ٌٗ عؤٌذ عبئؾخ عٓ ٠ز ُ١ف ٟدجش٘ب فمبٌذ عبئؾخ لبي إٌَ ِج ِ ٓ وَغْجِ ِٗ ٓ وَغْجِ ِٗ ٚإْ ٌَََٚذ ُٖ ِِ ْ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ْ أَطَْ َ١ صٍ ٝاهلل عٍٚ ٗ١عٍُ إِ َ
دذثٕ ٟأث ٟثٕب ٠ذ ٝ١ثٓ صوش٠ب ثٕب األعّبػ عٓ عّبسح عٓ عّزٗ عٓ عبئؾخ ت َِب أَوٍََزُ ِٓ وغجىُ َٚإْ ْ أَطَْ َ١ ي اٌٍَ ِٗ صٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ إِ َ لبٌذ لبي سَعُُ ٛ ٓ وَغْجىُِ 162 أٌََٚذُو ُُ ِِ ْ ٓ ٓ عَُّبسَ َح عَ ْ ٓ إِثْشَاِ٘ َُ ١عَ ْ ي دَذَثََِِْٕٕ ٟصٌُ ٛس عَ ْ دذثٕ ٟأث ٟثٕب َ٠ذْ َٝ١عَْٓ عُفَْ١بَْ لَب َ ٓ ً ِِ ْ جُ ً اٌشَ ُ ت َِب أَ َو َ ْ أَطَْ َ١ ٟصٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ إِ َ ٓ إٌَ ِج ِ ٓ عَبئِؾَ َخ عَ ْ عََّزِ ِٗ عَ ْ ٓ وَغْجِِٗ193 . وَغْجِ ِٗ ٌَََٚٚذُ ُٖ ِِ ْ
ْ ثٓ عٕ١١خ عٓ األعّبػ عٓ إثشا٘ ُ١عٓ عّبسح عٓ عّخ ٌٗ دذثٕ ٟأث ٟثٕب عُفَْ١ب َ ت وغجىُ فىٍٛا ِٓ ْ أٚالدوُ ِٓ أَطَْ َ١ ٟصٍََ ٝاٌٍَ ُٗ عٍَََٚ ِٗ ْ١عٍََ َُ إِ َ ٓ إٌَ ِج ِ ٓ عَبئِؾَ َخ عَ ْ عَ ْ وغت أٚالدوُ201 .
25
Ahmad ibn Hanbal Bairut, Daarul Fikr,h. 41. Ahmad ibn Hanbal Bairut, Daarul Fikr, hal 42. 27 Ahmad ibn Hanbal Bairut, Daarul Fikr, hal 127 26
42
ِٓذّذ ثٓ جعفش لبي ثٕب ؽعجخ عٓ اٌذىُ عٓ عّبسح لبي إثٚ َٝ١َْذ٠ ثٕبٟ أثٟٕدذث ٌذٚ عٍُ لبيٚ ٗ١ٍ اهلل عٍٝ صٟش عٓ أِٗ عٓ عبئؾخ عٓ إٌج١ّجعفش إثٓ ع 203 .ئب١ٕ٘ ٌُٙاِٛا ِٓ أٍٛت وغجٗ فى١اٌشجً ِٓ وغجٗ ِٓ أط
ُٓ ع١٘ه عٓ األعّبػ عٓ إثشا٠عف عٓ ؽشٛ٠ ٓ ثٕب إعذبق ثٟ أثٟٕدذث ًت ِب أوً اٌشج١عٍُ أٔٗ لبي إْ أطٚ ٗ١ٍ اهلل عٍٝ صٟد عٓ عبئؾخ عٓ إٌجٛاألع 220 ٌٗذٖ ِٓ وغجٚ ْإٚ ِٗٓ وغج ANALISA KUALITAS SANAD H{ADI>S
Dalam menganalisa sanad h{adi>s, khususnya h{adi>s tentang etos kerja sebelumnya harus mengetahui apa dan bagaimana yang dikatakan sebagai s{anad h{adi>s yang Sahi>h. Dalam bukunya Syuhudi Ismail dikatakan bahwa yang dikategorikan sebagai sanad yang shahi>h ialah, Sanad yang mengandung beberapa ciri, antara lain: 1. Sanad yang bersambung 2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil 3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith 4. Sanad h{adi>s itu terhindar dari syudzudz dan 5. Sanad h{adi>s itu terhindar dari illa>t. Langkah-langkah dalam menganalisa Sanad atau kritik h{adi>s Nabi saw, ada tiga cara, antara lain: a. Melakukan kegiatan al-I‘tiba>r. b. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. c. Mengambil kesimpulan (natijah).
43
1. Melakukan al-I‘tiba>r28 Melakukan al-I‘tiba>r dilakukan untuk memperhatikan dengan jelas seluruh jalur sanad h{adi>s yang diteliti, termasuk nama-nama periwayat dan metode periwayatannya yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Karena itu untuk mempermudah proses kegiatan al-I‘tiba>r penulis akan membuat skema untuk sanad secara keseluruhan sebagai berikut:
al-I‘tiba>r, ini akan diketahui apakah hadis yang diteliti mempunyai Sya>hi>d atau Mutabi'>29. Setelah dianalisa ternyata tidak terdapat sya>hi>d dan mutabi'> baik dari jalur h{adi>s al-Da>rimi> dan Abu> Da>ud. 2. Meneliti pribadi periwayat Adapun urutan nama-nama periwayat h{adi>s dari jalur: 1. Dari Abu> Hu>rairah dapat dilihat dari tabel berikut; No
Nama Perawi Hadis
Urutan Perawi Hadis
1
Abdulla>h ibn Sha>lih
Perawi ke-4
2
Al-laits
Perawi ke-3
3
Hisya>m ibn Urwa>h
Perawi ke-2
4
Abu> Hu>rairah
Perawi ke-1
28
Kata I'tibar menurut bahasa adalah peninjauan langsung berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, I'tibar berarti menyertakan sanad-anad yang lain untuk suatu hadis tertentu. Sehingga dapat diketahui apakah ada periwayat yang lainb atau tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, h. 51 29 Syahid adalah hadis yang mempunyai sanad dan periwayat ditingkat sahabat lebih dari satu orang, sebaliknya, Mutabi hadis yang mempunyai sanad dan periwayat lebih dari satu orang dan bukan digolongan sahabat,"Kaidah Kesahihan Sanad Hadis", (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 74
44
1.
Abdulla>h Ibn Sha>lih(223 H) 30 a. Nama lengkapnya: Abdulla>h Ibn Sha>lih ibn Muhamma>d ibn Muslim alJuhani>', b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s: Ibra>hi>m ibn Sa‘ad al-Zuhri>, Baka>r ibn Mud{ha>r, ‘Abdulla>h ibn Wa>hab, Laist ibn Sa‘ad. Muridnya antara lain: Rabi‘ ibn Sulaima>n, Ibra>hi>m ibn Ya‘qu>b al-Juzzani>, Ahma>d ibn Mansyu>r al-Naisyaburi>, ‘Abdulla>h ibn ‘Abd ar-Rahman ad-Darimi>.31 c. Pernyataan para kritikus h{adi>s: An-Nasa'i>: laitsa bi tsiqah Yahya> ibn Ma‘in: yu>usaq, Abu> Sha>lih: Tsigah Ma'mun
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Abdulla>h bin Sha>lih, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari al-Laits dengan lambang اخبرًاyang berarti sanadnya sambung. 1. Al-Laits (W.175H)32 a. Nama lengkap beliau adalah Laits bin Sa‘ad bin ‘Abdul Rahma>n al-Fahmayu Abu> Al Harits al-Masyri>, merupakan budak dari ‘Abdul Rahma>n ibn Kha>lid ibn Musa>fir. Menurut pendapat yang masyhu>r bahwa Laits berasal dari Bani> Fahmi>, dan Bani> Fahmi> berasal dari Bani Qai>s ibn ‘Ailan. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s: Yahya> ibn Sa‘i>d Al- Ansha>ri>, saudaranya ‘Abdul Rahman ibn Sa‘i>d, Ibn Azlan, Al-Zuhri>, Kha>lid ibnYa>zi>d, Hisya>m ibn Urwa>h. Muridnya antara lain: Syu‘ai>b, Muhamma>d ibn Ajlan, 30
Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz 15,
h. 98-108.
31
Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al-Dzahabi, Syira'A'lam al-Nubala (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1992), Juz 10, h. 406, Lihat kitab Tahzib at-Tahzib, juz 5, h. 225226 32 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz 15, h. 449-451.
45
Hisya>m ibn Sa‘ad, Yahya> ibn Ka>bir, Adam ibn Abi> Iyas, ‘Abdulla>h ibn Sha>lih.33
c. Pernyataan para Kritikus h{adi>s: Ibn Hajar : Beliau adalah seorang yang tsiqa>h tsa>bat fiqh ima>m. Ahmad ibn Sa‘ad bin Ibra>him Al-Zuhri> : Aku mendengar Ahmad ibn Hambal berkata bahwa : Laits ibn Sa‘id tsiqah tsabat. Berkata Isha>q ibn Mansu>r, Abu> Ba>kar ibn Abi> Khaismah dari Yahya> ibn Mu‘i>n, dan Abu> ‘Abdul Rahma>n An-Nasai>: beliau adalah seorang tsi>qah.
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela AlLaits, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan
perawi di atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari Hisyam Ibn Urwah dengan lambang حدثٌى yang berarti sanadnya sambung. 2. Hisya>m Ibn Urwa>h (w. 145/146 H)34 a. Nama lengkapnya : Hisya>m Ibn Urwa>h Ibn al-Zuba>ir Ibn al-Awwam alQurasyi> al-Asadi>. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah : Ba>kr Ibn Wai>l, Sha>leh Ibn Rabi‘ah al-Samma>n, ‘Uba>d Ibn Hamzah Ibn ‘Abdilla>h Ibn al-Zubai>r, ‘Abdulla>h Ibn Zubai>r, Abu> Hu>rairah, Ustma>n Ibn Urwa>h Ibn al-Zubai>r. Di antara muridnya : Aba>n Ibn Ya>zid al-Atsa>r, Isra‘i>l IbnYu>nus, Isma>il Ibn Iya>si, Ayyu>b
Ibn Wa>qid al-Kufi>, Ja>rir Ibn ‘Abd
Ha>mid, Al -Laisi>.35
33
Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al-Dzahabi, Syira'A'lam al-Nubala (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1992), Juz 10, h. 406, Lihat kitab Tahzib at-Tahzib, juz 5, h. 225226 34 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz 30, h. 232 35 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz 30, h. 236, lihat kitab, syira'A'lam al-Nubala, Juz 6, h. 34-42
46
c. Pernyataan para kritikus h{adi>s: Abu> Ha>tim : Tsiqa>h, imam dalam periwayatan h{adi>s. Muhamma>d Ibn Sa‘i>d dan al-Aja>li : Tsiqa>h, Ibn Sa‘i>d menambahkan, bahwa dia juga Tsa>bit, banyak meriwayatkan h{adi>s. Ya'qu>b Ibn Syai>bah :Tsa>bit, Tsiqa>h. Analisa: dari pernyataan kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Hisya>m Ibn Urwa>h, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di
atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari . Abu >Hu>rairah dengan lambang عيberarti sanadnya bersambung
3. ‘Abd al-Rahman Ibn Sha>khr (Abi> Hu>rairah). W.57 H a. Nama lengkap: Abi> Hu>rairah mempunyai banyak versi, ada yang mengatakan beliau bernama Abi> Hu>rairah ‘Abdulla>h Ibn Ama>r36, dan dalam versi lain mengatakan bahwa nama Abi> Hu>rairah adalah ‘Abd al-Rahman Ibn Sha>khr37. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadis. Di antara guru beliau adalah Muhamma>d saw, ‘Uba>y Ibn Ka‘ab Ibn Qa>is, Usa>mah Ibn Za>id, Si>nan Ibn ‘Ubai>d, ‘Aisya>h Binti Abu> Ba>kar al-Shiddi>q, ‘Abdulla>h Ibn Sala>m. Diantara muridnya : ‘Abba>n Ibn Ya>zid, Ibra>him Ibn ‘Abd al-Ma>lik, Isma>il Ibn Musli>m, Ayyu>b Ibn Abi> Miski>n, Hisya>m bin Urwa>h c. Pernyataan para kritikus h{adi>s :
h. 366
36
Jamal al-Din Abi al-Hajja Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz 34
37
Izza al-Din IBn al-Asir Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Jazri, Ushl al-Ghabah Fi
Ma'rifah al-Sahabah (Beirut : Dar al-fikr), Juz V, h. 318-319
47
‘Abdulla>h Ibn ‘Uma>r berkata bahwa Abu> Hu>rairah lebih sering bersama Nabi saw dari kami, lebih banyak menghafal h{adi>s dari kami, dan lebih banyak mengetahui h{adi>s dari kami38. Al-Syafi'i> berkata bahwa Abi> Hu>rairah hafalannya paling baik dari pada oarng yang sezaman dengannya dan yang paling banyak meriwayatkan h{adi>s39. Al-A‘ra>j berkata bahwa Abi> Hu>rairah lebih banyak menerima h{adi>s dari Nabi saw selalu hadir dalam majlis Nabi saw dan tidak akan lupa apa yang telah didengar dari Nabi saw40. Masih banyak lagi pujian serta komentar para kritikus h{adi>s yang memberikan pujian kepada Abi> Hu>rairah, pujian yang diberikannya tersebut memiliki peringkat yang tinggi dan berkualitas pribadi serta kemampuan intelektual yang tidak diragukan lagi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa h{adi>s yang sanad-nya diteliti ini telah diterima langsung oleh Abi> Hu>rairah dari Nabi saw. Abu> Hu>rairah adalah salah satu sahabat Nabi saw maka kejujurannya tidak diragukan lagi sebagaimana para ulama berkomentar. Kemudian di lihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan, dan juga bertemunya guru dan murid yang dapat dipastikan ada periwayatan h{adi>s. Dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari Nabi Muhammad dengan lambang قالyang berarti sanadnya bersambung.
38
Abd al-Mun'im Shalih al-Ali al-Izzi, Difa'an Abi Hurairah (Beirut: Dar al-Kalam, 1983), h. 95 39 Ibn Hajar, fath al-Barri bi Syarh al-Bukhari (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,1959), h. 224 40 Izza al-Din Ibn al-Asir Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Jazri, Ushl al-Ghabah Fi Ma'rifah al-Sahabah, Juz V h. 319-321
48
رسول اهلل قال
أبي هريرة عي
هشام بي عروة حدثٌى
الليث حدثٌى
عبد اهلل بي صالح أخبرًا
الدارهي 2.Dari ‘Aisyah dapat dilihat dari tabel berikut;
No
Nama Perawi H{adi>s
UrutanPerawi H{adi>s
1
Muhamma>d ibn katsi>r
Perawi ke-7
2
Sufya>n
Perawi ke-6
3
Mansyu>r
Perawi ke-5
4
Ibrahi>m
Perawi ke-4
5
‘Uma>rah ibn umai>r
Perawi ke-3
6
al-Aswa>d ibn Yazi>d
Perawi ke-2
7
‘Ai>syah
Perawi ke-1
49
1. Muhamma>d Ibn Katsi>r (w.223 H)41 a. Nama lengkapnya: ‘Abdulla>h Ibn Katsi>r al-‘Abdi> Abu> ‘Abdulla>h al-Basri> b. Guru dan murid dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah : Syu‘bah, Sufya>n Ibn Sa‘i>d al-Tsauri>, Ibrahi>m Ibn Na>fi‘, Ja‘far ibn Sulaima>n. Diantara muridnya : Bukhari>, Abi> Dau>d, al-Da>rimi>, Husai>n ibn Muhamma>d. c. Pernyataan para kritikus h{adi>s : Ibn Ma‘i>n: lam yakun bi at-s{iqa>h, Abu> Ha>tim: S{aduq
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Muhamma>d bin Katsi>r, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari Sufya>n Ibn Sa‘i>d al-Tsauri> dengan lambang حدثٌاyang berarti sanadnya sambung. 2 .Sufya>n Ibn Sa‘i>d al-Tsauri> ( w 161 H )42. a. Nama lengkap : Sufya>n Ibn Sa‘i>d Ibn Masru>q al-Sauri>. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah : : ‘Abd al-Rahma>n Ibn Jiya>d, ‘Abba>s ibn Rabi>‘ah, ‘Umar Ibn Muhamma>d, Mansyu>r Ibn Mu‘tamar. Diantara muridnya : ‘Abd ar-Ra>zak Ibn Hamma>n, ‘Amr Ibn Muhamma>d, Kha>lid Ibn Ha>ri>s, Muhamma>d Ibn Isha>q, Muhamma>d ibn Katsi>r, Yahya> ibn Sa‘i>d. c. pernyataan para kritikus h{adi>s : Bisri> Ibn H{a>ris : tidak ada yang lebih tinggi pengetahuannnya dari Sufya>n. Yahya> Ibn Ma‘i>n : tidak ada yang salah dari Sufya>n Su‘ba>h : Amir al-mu'mina fi al-h{adis43.
41
al-Asqalani, Tahdzi>b wa Tahdzi>b ( Bairut: Dar al-Fikr: tt), Jilid 9, h. 371 Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 11, h.154. Lihat juga Syamsuddin Muhammad bin Yazid bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Syirah A'lam Al-Nubala, juz 7, h. 229 43 Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 11, h.164 42
50
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Sufya>n Ibn Sa‘i>d al-Tsauri>, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan
perawi di atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari Mansu>r ibn Mu‘tamar dengan lambang
أخبرًاyang berarti sanadnya
sambung. 3.Mansyu>r ibn Mu‘tamar (w.132 H)44 a. Nama lengkapnya: Mansyu>r bin al-Mu'tamar ibn ‘Abdulla>h bin Rubai>‘ah. Versi lainnya yaitu Mansyu>r ibn Mu‘tamar Abu> Ata>b as-Salimi>,45 beliau lama tinggal di Ku>fah, Thaba>qat Sha>gir dari Tabi‘i>n. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah: Ibra>him an-Nakhahi>, Sa‘ad ibn ‘Ubaida>h, Sa>lim ibn Abi> Ja‘dah. Diantara muridnya: Sa>lam ibn Sa>lim, Sufya>n ibn Sya>riq, Sufya>n Ibn Sa‘i>d al-Tsauri> c. Pernyataan para kritikus h{adi>s: Ibn Abi> H{a>tim: ia adalah Tsiqa>h, al-Ijli>: Tsiqa>h dalam ilmu h{adi>s, alNasa'i>:Tsiqa>h.
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Mansyu>r ibn Mu‘tamar, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di
atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima hadis di atas dari Ibrahi>m ibn Yazi>d dengan lambang عيyang berarti sanadnya sambung. 4.Ibrahi>m ibn Yazi>d (w.96 H)46 a. Nama lengkapnya: Ibrahi>m ibn Yazi>d ibn Qa>is al-Aswa>d ibn ‘Umar ibn Rabi‘a>h ibn Zuhl ibn Sa‘ad ibn Ma>lik ibn al-Nakha‘ al-Nakha'i>, Abu> ‘Umar al-Kufi>>. 44
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 28, h. 546 Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 28, h. 547 46 Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 2, h. 233. Lihat juga Syamsuddin Muhammad bin Yazid bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Syirul A'lam Al-Nubala, jilid 4, h. 520. Ibnu Abu Khatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta'dil, jilid 2, h. 144 45
51
b. Guru dan Muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah: alAswa>d ibn Yazi>d, al-Qa>mah ibn Qha>is, Uma>rah ibn Umai>r. Diantara muridnya Muhamma>d ibn Shu‘qah, Mansyu>r ibn Mu'tamar, Yazi>d ibn Abi> Ziya>d. c. Pernyataan para kritikus h{adi>s: Ah{mad ibn ‘Abdulla>h al-Ijli> berkata, beliau adalah seorang mufti ahli Ku>fah yang hidup sezaman dengan al-Sya‘bi>, beliau adalah seorang Rija>lan Sha>lihin. Jari>r ibn ‘Abdul Ha>mi>d dari Isma>il ibn Abi> Kha>lid berkata, al-Sya‘bi> dan Ibrahi>m dan Abu> al-Dhuha> mereka sering berkumpul di masjid untuk mendiskusikan h{adi>s, kemudian apabila diantara mereka menemukan kejanggalan maka riwayat Ibrahi>m akan dipilih.
Komentar kritikus hadis di atas, tidak seorangpun yang mencela Ibrahi>m ibn Yazi>d, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di
atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari ‘Uma>rah ibn ‘Umair dengan lambang عيyang berarti sanadnya sambung. 5.‘Uma>rah ibn ‘Umai>r.(47 a. Nama lengkapnya: ‘Uma>rah ibn ‘Umai>r at-Taimi> al-Kufi>.(Ibn Tsa‘labah) b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah: H{ari>ts ibn Syu‘ai>d, Aswa>d ibn Yazid, Ibn Muthawwi>s, Abi> Amma>r al-Hamdani>, Hari>ts ibn Juhai>r. Diantara muridnya : H{abi>b ibn Abi> Tsa>bit, Sa‘ad ibn ‘Ubai>d, ‘Abdul Ma>lik ibn Maisya>rah, Ibrahi>m ibn Yazi>d c. Pernyataan para kritikus h{adi>s: ‘Abdulla>h Ibn Ah{mad Ibn H{anbal: bertanya kepada bapaknya, berkata tsiqa>h wa
az-ziya>dah Isha>q ibn Mansyu>r, Yahya> ibn Ma‘i>n, Abu> Ha>tim, an-Nasa'i>:Tsiqa>h Al-Ijli>:Tsiqa>h48
47 48
h. 256-257
Al-Mizzi, Tahdzi>b al-Kamal Fi Asma al-Rijal, jilid 21, h. 256 Jamal al-Din Abi al-Hajja Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz. 21,
52
Komentar kritikus hadis di atas, tidak seorangpun yang mencela ‘Uma>rah ibn ‘Umai>r, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan
perawi diatasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari Al-Aswa>d ibn Yazi>d dengan lambang عيyang berarti sanadnya sambung.
6. Al-Aswa>d ibn Yazi>d(w 57 H)49 a. Nama lengkapnya: al-Aswa>d ibn Yazi>d ibn Qha>is an-Nakhahi> Abu> ‘Amr. Ada yang mengatakan Abu> ‘Abd al-Rahma>n al-Khufi>. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Di antara guru beliau adalah: Bila>l ibn Rhaba>h, khuzai>fah ibn al-Ya>man, Salma>n al-Faritsi>, ‘Aisyah ra. Diantara muridnya : Ibrahi>m ibn Su‘ai>d, ‘Uma>rah ibn ‘Umai>r, khatsi>r ibn Mudri>k. c. Pernyataan para kritikus h{adi>s:50 Ahmad : Tsiqa>h, min ahli al-khai>r. Yahya>: Tsiqa>h, Muhamma>d bin Sa‘ad: Tsiqa>h,
h{adi>s as-sha>lihah
Komentar kritikus h{adi>s di atas, tidak seorangpun yang mencela Al-Aswa>d ibn Yazi>d, dilihat dari tahun wafatnya tidak ada kejanggalan dengan perawi di
atasnya, dan juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan demikian periwayatan yang menyatakan bahwa beliau telah menerima h{adi>s di atas dari ‘Aisyah dengan lambang عيyang berarti sanadnya sambung
49
Jamal al-Din Abi al-Hajja Yusuf al-Mizzi, Tahdzi>b al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Juz. 3, h. 233-235, lihat juga Syamsuddin Muhammad bin Yazid bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, Syirah A'lam Al-Nubala, jilid 4, h. 50 50 Jamal al-Din Abi al-Hajja Yusuf al-Mizzi, Tahdzi>b al-Kamal Fi Asma al-Rijal>, Juz. 3, h. 234
53
7.‘Aisyah (w. 57 H)51. a. Nama lengkapnya: ‘Aisyah ibn Abu> Ba>kar al-Siddi>q b. Guru dan muridnya dalam periwayatan h{adi>s. Diantara guru ‘Aisyah adalah Nabi saw, H{amzah Ibn ‘Umar al-Aslami>, Sa‘ad Ibn Abi> Waqqa>s, ‘Umar Ibn alKhatta>b, Abi> ba>kar al-Siddi>q (bapaknya), Jada>mah Binti Wahb al-Asa>diyah, Fa>timah binti Rasulillah saw. Diantara murid beliau cukup banyak, di antaranya adalah, Ibrahi>m Ibn Yazi>d al-Nakha'i>, Isha>k Ibn Talha>h Ibn ‘Ubaidilla>h, al-Ha>rits Ibn Naufal Ibn al-Khatta>b, ‘Amr Ibn al-‘As, ‘Ammatihi> (Aswa>d ibn Yazi>d). c. Pernyataan para kritikus h{adi>s:52 Al-Zuhri>: Seandainya dikumpulkan semua ilmu yang dimiliki seluruh istri-istri Nabi saw, dan ilmu seluruh wanita, maka ilmu yang dimiliki ‘Aisyah itu lebih utama. ‘Ata‘Ibn Abi> Ra>bah: ‘Aisyah adalah orang yang lebih memahami masalah agama, yang lebih luas ilmunya, dan juga seseorang yang lebih baik pendapatnya dalam setiap masalah. Hisya>m Ibn ‘Urwa>h: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih memahami agama kecuali ‘Aisyah ra. Analisa: Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela ‘Aisyah, pujian yang diberikan orang kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. ‘Aisyah adalah istri yang amat disayang oleh Nabi saw, tentu kepribadiannya tidak ada yang meragukan lagi, apalagi dalam meriwayatkan h{adi>s pun pastilah tidak diragukan lagi. Di samping penulis juga setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat Nabi saw, pada dasar nya bersifat ‘adi>l, kecuali bila terbukti telah melakukan yang menyalahi sifat ‘adi>l. Lambang periwayatan yang digunakan dalam menyampaikan h{adi>s Nabi saw, yang sedang diteliti sanadnya ini adalah فقالتItu berarti, ‘Aisyah telah benarbenar mendengar langsung h{adi>s tersebut dari Nabi saw. Dengan demikian dapatlah
51
Syihab al-Din Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani, (selanjutnya disebut alAsqalani,), al-Isa>bah Fi Tamyi>z al-Sahabah, (Beirut: Dar al-fikr, 1994), Juz 8, h. 16-20. Tahdzib wa Tahdzib, Jilid 12, h. 436. Al-Mizzi, Tahdzi>b al-Kamal Fi Asma al-Rija>l, jilid 35, h. 227. 52 Jamal al-Din Abi al-Hajja Yusuf al-Mizzi, Tahdzi>b al-Kamal Fi Asma al-Rija>l, Juz. 35, h. 234
54
dinyatakan bahwa h{adi>s yang sanadnya diteliti ini diterima langsung, dan juga dapat dinyatakan sanadnya bersambung. 3.kesimpulan (natijah) Dari hasil penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dari h{adi>s pertama jalur Abu> Hu>rairah, tidak ada periwayat bermasalah. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa h{adi>s tersebut Sha>hi>h. Kemudian h{adi>s kedua dari jalur ‘Aisyah tidak ada periwayat bermasalah. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadis tersebut Sha>hi>h.
عائشت )عوته (األسود بي يزيد عوارة بي عوير إبراهين هٌصور سفياى هحود بي كثير أبو داود
55
B. Kandungan Makna H{adi>s Tentang Etos Kerja
H{adi>s tentang etos kerja di atas, dari segi makna h{adi>s, mendorong kepada kaum muslim untuk bekerja keras sebagai mana Nabi Saw mencontohkan bagaimana Nabi Dau>d AS. Ia sebagai seorang Nabi dan raja berusaha dengan tangannya sendiri utnuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Begitu juga dengan Rasulullah Saw, sebagai seorang khalifah dan seorang Nabi, ia bekerja dengan tangannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan menolong kaumnya yang lain.
Hadis di atas umpamanya dari segi makna menyiratkan kepada umat bahwa hamba yang baik adalah hamba yang bekerja dengan tangannya sendiri untuk menafkahi istri, anak dan pembantunya dan nafkah tersebut tergolong pada sedekah. Bahkan dalam Islam disebutkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah. Maksudnya seorang muslim di tuntut untuk bekerja bukan untuk meminta-minta dan menjadi sampah masyarakat. Untuk itu nilai etos kerja harus dimulai dari jiwa pribadi muslim itu sendiri untuk dapat merubahnya, dan Allah tidak akan merubah keadaan suatu manusia kecuali dirinya sendiri. Dalam Islam apabila bekerja telah ditunaikan, maka semua urusan tersebut diserahkan pada Allah swt karena dialah tempat kembali. Anjuran Islam untuk bekerja ini disebutkan dalam surat al-Jumu‘`ah ayat 9, bahwa apabila kita telah menghadap Allah maka kembalilah mencari karunia Allah swt yaitu dengan bekerja, karena dengan bekerja manusia akan mampu merubah hidupnya, sebab dalam Islam dunia adalah ladang untuk akhirat. Pada Islam yang konsep ajarannya integral dan luhur mengingatkan agar tidak meninggalkan atau menggunakan bahagian dunia dan akhirat.
56
C. RELEVANSI H{ADI>S TENTANG ETOS KERJA DENGAN KONDISI KEKINIAN. Umat Islam sebagai umat mayoritas di negara Indonesia terlihat seperti buih dilautan, ketika diterpa ombak hancur berkeping-keping. Fenomena ini terlihat dengan jelas di depan mata sekarang ini, bahkan mayoritas umat Islam menjadi pekerja kasar (kuli) di negara sendiri dari pada menjadi pimpinan, meskipun tidak dipungkiri bahwa ada segelintir umat Islam yang sukses, namun kadang sebagian dari mereka enggan mengambil pekerja-pekerja dari umat muslim, karena ada emage bahwa kualitas kerja umat muslim rendah. Untuk menghilangkan emage tersebut sebagai muslim harus berbenah diri dengan meningkatkan semangat kerja yang ditunjukkan kepada individu masingmasing dan mempunyai keahlian yang diharapkan oleh perusahaan dan instansi, karena al-Qur`an dan hadis Nabi menganjurkan kepada umatnya untuk berlomba mencari kebajikan, salah satunya dengan melakukan kerja keras agar memperoleh kesuksesan. Namun itu semua harus dilandasi untuk mengabdi kepada Allah swt, sebab bagi umat muslim hidup di dunia ini adalah untuk bekal di akhirat kelak. Umat Islam yakin bahwa setelah kehidupan di dunia ini akan ada lagi kehidupan lain yaitu akhirat. H{adi>s etos kerja di atas dalam kondisi kekinian masih relative jauh dari yang diharapkan. Tentunya ini merupakan problematika sendiri bagi umat Islam untuk berbuat yang terbaik didalam kehidupannya, dengan meningkatkan kualitas dan kerja. Adapun yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk meningkatkan semangat kerja adalah dengan melakukan introspeksi diri, bukankah dalam sebuah h{adi>s dinyatakan bahwa "Apabila hari ini sama dengan hari kemarin adalah termasuk orang yang merugi, sedangkan orang yang beruntung hari ini lebih baik dari hari kemarin.
57
Etos kerja itu harus dimulai dengan ketauhidan kita kepada Allah swt, karena Islam meletakkan dasar-dasar (nilai) pijakan bagi umatnya dalam mengarungi bahtera kehidupan ini melalui kepercayaan kepada keesan Tuhan, kekuasaan,kasih sayang dan cinta sang pencipta. Tauhid adalah tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Bagi muslim, Tauhid adalah nilai yang paling fundamental yang menjadi landasan bagi seluruh aktifitas manusia baik lahir maupun batin. " keesaan Tuhan bukanlah suatu konsep di tengahtengah berbagai konsep, akan tetapi ia merupakan suatu prinsip fundamental keimanan dan aksi manusia. Tauhid merupakan pusat dari segala bentuk transformasi. Ia menghubungkan yang metafisis dan spiritual dengan berbagai aspek kehidupan sehari-hari, pekerjaan, produksi, perdagangan, usaha, hubungan keluarga, prilaku sosial, institusi sosial, hukum dan seni. Doktrin tauhid bagi kehidupan manusia, menjadi sumber kehidupan jiwa dan pendidikan kemanusiaan yang tertinggi dalam kaitan ini adalah etos kerja, muslim yang berpegang teguh pada tauhid tentunya meningkatkan kualitas kerjanya. Sebab tauhid akan mendidik jiwa manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya kepada Allah semata. Orang yang bertauhid mengerti bahwa hanya Allah pemilik semua kekuasaan, dan tidak seorangpun dari makhluknya selain dia yang dapat memberikan keuntungan atau mudharat, atau yang dapat memberikan kebutuhannya, atau memberi dan mencabut nyawanya, atau mempunyai kekuasaan atau pengaruh.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan pembahasan-pembahasan tentang h{adi>sh{adi>s etos kerja dalam penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Bekerja dan berusaha dengan baik merupakan ibadah apabila dilakukan dengan iklas karena Allah. Tujuan utama bekerja dan berusaha secara material adalah membantu para anggota keluarga untuk memakmurkan bumi dan beribadah kepada Allah. 2. Secara umum h{adi>s-h{adi>s tentang etos kerja dapat dikategorikan sebagai h{adi>s-h{adi>s shahi>h, karena keriteria hadis shaheh terdapat didalamnya, yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabi>t sampai akhir sanad, dan didalam h{adi>s itu tidak terdapat kejanggalan dan cacat. 3. Kontekstualitas h{adi>s etos kerja masih sangat relevan dengan kondisi kekinian, untuk mendorong produktivitas kerja umat muslim dalam meningkatkan taraf kehidupanya. Dengan pemahaman terhadap h{adi>s secara menyeluruh, umat islam akan mampu merefleksikannya dalam kehidupan keseharian.
58
59
B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka dalam rangka meningkatkan semangat etos kerja, penulis sampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Sebagai makhluk Tuhan manusia diwajibkan untuk berusaha dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi kehidupannya. 2. Agar mencapai tingkat ekonomi yang tinggi hendaknya setiap individu menanamkan semangat etos kerja pada setiap usahanya. 3. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan disana-sini dalam penulisan skripsi ini, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teori yang penulis kuasai. Namun demikian, penulis jadikan semua itu sebagai pemicu untuk meningkatkan pada taraf tang lebih baik. 4.
Terakhir semoga karya kecil ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dalam pengetahuan tentang hadis dan umumnya bagi para pembaca yang budiman. Semoga Allah swt, selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amin.
60
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim Terjemahan Departemen Agama R.I Al-Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Qardhawi,Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi,bandung:Karisma, 1995. Al-Bukha>ri>, Ima>m Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail bin Al-Mugirah ibn Al-Bardizbah, Mat'nu al-bukhari Bihasyiyat al-sanadi, Kairo: Matba‘ah Dar Ihya al-Kutub al-Arabi'ah, t.th Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid ibn Majah al-Khazwaini, Sunan Ibnu majah, Riyad: Bait al Afqar ad-Dauliyah, 2004. Abi Abdirrahman Ahmad ibn Syuaib an-nasa'I, Sunan Nasai, Beirut: Dar Ihya atturats al-Arabi. Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy'as al-Sijistani, Sunan Abu daud, Beirut: Dar al-Fikr. Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal. Bairut; Daarul Fikr,tt Djakfar, Muhammad, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang press, 2007.
61
Edi, Swasono, Dkk, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan dari Cendekiawan kita
Tentang Islam, Jakarta: UI-Press, 1988. Fatah Natsir,Nanat, Etos Kerja Wirausahawan Muslim, Bandung: Gunung djati Press, 1999. Hajar al-Asqalani, Syihab al-Din Ahmad ibn, al-Isabah Fi Tamyiz al-Sahabah, Beirut: Dar al-fikr, 1994.
_____,Tahzib at-Tahzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1984. Ismail M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta : Bulan Bintang, 2007. Ibnu Abu Khatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta'dil, jilid 2, M. Isa H. A. Salam, Bustamin, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004. Munir, Misbahul, Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah Kajian Hadits Nabi dalam
Perspektif Ekonomi, Malang: UIN-malang press, 2007. Muslim bin Al-hajjaj al-Qusyayri, Abu Al-Husayn, Al-Jami'al-Shahih Sinamo,Jansen, Etos Kerja Profesional, Jakarta:PT Malta Printindo, 2008. Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-dzahabi, Syi'rah A'lam
an-Nubala, Muassasah al-Risalah, 1992.
62
Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, Jogjakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995. Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Tebba, Sudirman, Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, Bandung: Pustaka Nusantara, 2003. Tebba, Sudirman, Bekerja dengan Hati Bagaimana Membangun Etos Kerja
dengan Spiritualitas Religius, Jakarta:Pustaka irfan, 2009. Ya'qub, Hamzah, Etos Kerja Islami Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram
dalam Syari'at Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1992. Yusuf al-Mizzy Jamaluddin, Tahdzib al-Kamal Fi Asma al-Rijal, Beirut: Muassasat al-Risalah, 1994. Wensiks, al-Mu'jam al-Mufahras li al-fadz al-Hadis al-Nabawi, londen, 1955