JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
49
KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAHAN INDONESIA MASA DEPAN* Erliana Hasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor
[email protected]
Abstrak Komunikasi politik pemerintahan adalah kemampuan penyelenggaran negara dalam mengimplementasikan ethos (potensi), pathos (emosional) dan logos (pengetahuan) secara komprehensif dalam rangka kesejahteraan rakyat. Konsep yang berdasar pada filsafat politik Yunani tersebut pada hakikatnya dapat dimodifikasi sesuai dengan karakteristik politik, sosial dan budaya Indonesia. Di masa depan, para aparatur negara harus mampu meramu dan mengkomunikasikan kebijakan pemerintah secara efektif dan efesien, sehingga masyarakat mampu memahami dan mendukung program dan kebijakan pemerintah secara aktif dan partisipatif. Kata kunci: komunikasi politik, aparatur negara, Indonesia masa depan
1. Pendahuluan Ketahuilah bahwa sesungguhnya Tuhan telah menetapkan dua fungsi keberadaan manusia di muka bumi ini yakni; (1) fungsi sebagai pemimpin yang menjalankan amanah berdasarkan aturan dan ketentuan yang berkeadilan dan; (2) fungsi yang mentaati aturan dan ketentuan yang sudah disepakati. Elaborasi dari dua fungsi tersebut melahirkan dua kelompok dalam kehidupan sosial manusia yaitu kelompok para pemimpin dan kelompok para pengikutnya. Kedua fungsi tersebut seyogyanya dapat memberikan kontribusi kondusif dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Untuk itu perlu adanya pemahaman holistik dan komprehensif dari kedua kelompok tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan ketidakadilan dalam *
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIV, tanggal 15 - 16 Agustus 2014, dan telah disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
50
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
menjalankan tupoksi masing-masing. Perlu diketahui juga bahwa kemakmuran dan keruntuhan suatu pemerintahan sangat bergantung kepada para penguasa dan pemimpin pemerintahan tersebut. Jika pemerintahannya berkeadilan, maka para pengikutnya (rakyat) akan merasa aman dan nyaman (Penguasa harus memiliki Ethos, Pathos dan Logos). Namun ketika penguasa pemerintahan tidak berkeadilan maka rakyatnya akan menderita dan merasa tidak aman (inilah sumber keruntuhan suatu pemerintahan negara). Kesemua peran tersebut akan dapat berjalan secara kondusif, apabila di dukung oleh kemampuan komunikasi cerdas yakni komunikasi yang dilandasi oleh teknik komunikasi Neuro lingguistik Programming (NLP), sejenis teknologi baru pencetak manusia berprestasi. Sedangkan pemaknaan politik secara filosofis adalah sebagai sarana warga negara menjadi manusia yang memiliki “Akal Budi” (Socrates: London Press, 1945:139 dalam buku yang berjudul A History of Philosophy). Pemerintahan, secara filosofis dapat dimaknai sebagai “Kelompok yang menuntun kehidupan bersama menuju kebahagiaan hidup yang sebesar-besarnya dunia dan akhirat dengan tidak merugikan pihak mana pun secara ilegal” (Van De Spiegel). Tujuan tulisan ini adalah mengupas secara sederhana tentang komunikasi politik pemerintahan di era revolusi mental, yang tentunya menjadi tanggungjawab utama pemerintahan di dunia dan akhirat. 2. Filosofi Komunikasi Pemerintahan Berbicara tentang komunikasi, hampir semua orang paham dan melakukannya, apalagi sebagai aparatur pemerintah, tentu, harus lebih paham lagi. Namun kenyataannya tidak semua aparatur dan tidak juga semua orang memahami bagaimana berkomunikasi cerdas, khususnya bagi penyelenggara pemerintahan dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasariah kepemerintahan mencakup pelayanan, pemberdayaan dan bersama-sama masyarakat mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya tanpa merugikan pihak manapun secara ilegal. Namun demikian, sudah terjadi pergeseran penerapan sistem dan mekanisme jalannya pemerintahan yakni ada kecenderungan berkuasa daripada berempati, bersimpati dan memberikan respon yang menyelesaikan dengan solusi cerdas atas nama kebersamaan. Pernyataan tersebut Saya kemukakan bukan tanpa alas an. Hasil penelitian saya yang berjudul “Pengaruh Perilaku komunikasi pemerintahan terhadap kinerja birokrat di Kabupaten Bandung Barat” menunjukkan beberapa hal tentang perilaku komunikasi birokrat sebagai berikut:
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
51
1). Beragamnya makna penyelenggaraan pemerintahan di kalangan para birokrat. Tidak adanya kesamaan makna dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. 2). Rendahnya intensitas komunikasi dalam berkoordinasi untuk capaian kesamaan makna tujuan secara komprehensif 3). Kentalnya kerjasama untuk mencapai tujuan secara partial 4). Rendahnya penerimaan informasi kekinian (up to date) tentang keluhan dan penyimpangan yang terjadi di level pelaksanaan. 5). Lambannya penyelesaian keluhan dan konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal. 6). Tingginya intensitas konflik dalam masyarakat termasuk konflik antara lembaga negara dan pemerintahan. 7). Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. 8). Rendahnya kontrol internal dan ada kesan pembiaran terjadinya berbagai penyimpangan 9). Rendahnya kualitas kerja termasuk inefisiensi dalam setiap lini dan unit kerja pemerintahan. Kenyataan tersebut di atas memberi kesan bahwa pemerintahan masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitas kerja agar tujuan negara dan pemerintahan sebagai pemimpin sekaligus pengayom masyarakat dapat diwujudkan secara cerdas, amanah, dan akuntabel. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana caranya? Begini jalan pikiran saya. 1). Kita yakini bahwa tidak ada aktivitas manusia yang dilakukan tanpa berkomunikasi. 2). Bahwa politik adalah simbol-simbol pesan yang dibentuk dan memiliki konsekuensi terhadap sistem pemerintahan. 3). Komunikasi adalah kodrat mulia manusia yang harus dijaga dan terus ditingkatkan dengan nuansa harmonis yang cerdas. 4). Manusia yang tidak mampu menjalin komunikasi interpersonal (silaturrohim), cenderung lebih banyak menderita “penyakit hati,” analoginya seluruh penyelenggara negara dan pemerintahan wajib memiliki komitmen pada komunikasi dua arah (two ways communication). 5). Kemampuan pemerintah dalam berkomunikasi tidak hanya mempengaruhi sense of identity masyarakat, tapi harus juga mampu mempengaruhi kesehatan jiwa setelah itu kesehatan raga pemerintahan yang kredible, dan akuntable. Dengan perkataan lain pemerintah harus memperlakukan komunikasi transparan dan bertanggungjawab. 6). Pemerintahan yang harmonis dan transparan dalam berkomunikasi jauh lebih sehat dan mudah menyesuaikan dengan situasi yang berkembang. 7). Prosedur kerja pemerintah yang komunikatif dipengaruhi oleh kecerdasan dan keterampilan aparatur pemerintah dalam berkomunikasi.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
52
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
Analoginya adalah aparatur pemerintah hendaknya memiliki kepiawaian dalam menangani kondisi seburuk apapun termasuk issu tak berdasar yang dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat. 8). Struktur kerja pemerintah juga dipengaruhi oleh kemauan pemerintah untuk terbuka dan jujur dalam berkomunikasi. Analoginya adalah transparansi harus merupakan tujuan bersama yaitu kesamaan makna dalam mewujudkan tujuan negara dan pemerintahan. 9). Kultur pemerintah tumbuh dan berkembang mengikuti, maindset, pola, gaya, sistem dan mekanisme yang ditampilkan oleh para pemimpin, pengambil kebijakan, dan seluruh penyelenggara pemerintahan utamanya mengedepankan keteladanan yang berkeadilan untuk seluruh rakyat. 3. Filosofi Komunikasi Politik Pemerintahan Sejak zaman Yunani Kuno, ketika komunikasi masih terbatas pada bentuk komunikasi lisan yang waktu itu dikenal dengan istilah retorika, telah ditekankan bahwa setiap orator agar mereka melengkapi dirinya terlebih dahulu dengan apa yang disebut “ETHOS, PHATOS DAN, LOGOS” (Casmir, 1974:19-20). Setelah melewati ratusan tahun dari zaman Yunani Kuno tersebut sampai saat ini ketika komunikasi telah mencapai tingkat kejayaannya dengan segala kecanggihan teknologinya, namun para komunikator tetap saja dianjurkan untuk tetap eksis memperhatikan apa yang disebut “ETHOS, PHATOS DAN, LOGOS” itu. Kenapa demikian? Komunikasi politik pemerintahan sesungguhnya adalah “kemampuan penyelenggara pemerintahan dalam mengimplementasikan apa yang disebut ethos, pathos dan, logos itu. Pertama, ethos, dimaknai sebagai potensi yang dimiliki penyelenggara negara sehingga mampu mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan dunia dan akhirat dengan tidak merugikan pihak mana pun. Muncul pertanyaan, apa saja indikator yang dapat dijadikan sebagai alat ukur bagi pemerintah yang memiliki ethos? Austin J. Freeley dalam bukunya “Argumentation and Debate” menguraikan komponen-komponen ethos meliputi; (1) kompetensi; (2) integritas; (3) good will; (4) toleransi. Ketika penyelenggara pemerintahan (dalam kontek ini sebagai komunikator) telah memiliki kriteria tersebut, diprediksi pemerintahan akan kredibel dan akuntabel dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat dan masyarakatnya. Untuk dapat memiliki kompetensi, integritas, niat yang baik dan benar dan, kemampuan toleran terhadap berbagai kepentingan kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya, menurut Austin harus didukung oleh tujuh faktor pendukung lahirnya ethos kerja penyelenggara negara yaitu: 1). Persiapan (preparation) 2). Kesungguhan (serius) Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
3). 4). 5). 6). 7).
Volume 6, November 2014: 49 - 65
53
Ketulusan (sincerity) Percaya Diri (confidence) Ketenangan (poise) Keramahan (frienship) Kesederhaan (moderation) Ingat bahwa berilmu dilambangkan dengan “parsimoni”.
Komunikasi politik pemerintahan sesungguhnya adalah “pemindahan sejumlah informasi dan pengertian dari satu orang kepada orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi agar yang diberi informasi dapat menerima informasi yang disampaikan dengan penuh kesadaran. Kedua, Pathos yang dimaksud oleh Austin adalah kemampuan emosional (appeals) yang ditunjukkan oleh seorang komunikator dengan menampilkan gaya dan bahasanya, sehingga mampu membangkitkan semangat yang berkobar-kobar pada khalayak, oleh sebab itu komunikator dapat dikatakan memiliki pathos, ketika ia mampu menunjukkan dan menampilkan gaya bicara lugas tidak berbelit-belit dan terkendali, sehingga membuat orang terpanggil secara emosional (bandingkan dengan gaya bicara dari ke enam Presiden RI). Ketiga, Logos, dimaknai sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh komunikator. Komunikan akan mempercayai komunikator ketika mampu menunjukkan secara konsisten pengetahuan dan wawasan yang dimiliki. Demikian juga halnya ketika seorang komunikator mampu merangkai katakata yang tersusun rapi mengalir seperti air, sederhana dan mudah dicerna, saat itu dikatakan komunikator memiliki logos karena terkesan runtut dalam berpikir yang dioralkan secara verbal dan dapat meyakinkan bahwa pesan atau materi yang disampaikannya masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat. Aspek ethos, patos dan logos tersebut ternyata juga dikembangkan oleh Aristoteles yang ditulis oleh Littlejhon (1978:159) yang kemudian dikenal dengan teori komunikasi persuasi (Persuation Communication). Kesemua faktor yang menyangkut karakteristik komunikator dari zaman Yunani Kuno sampai era globalisasi saat ini ternyata merupakan sesuatu yang unik untuk diperdebatkan apalagi dikaitkan dengan krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Apa yang dikemukakan oleh Austin tersebut secara substansial masih sangat eksis dan selalu menjadi wacana menarik untuk didiskusikan. Terutama menghadapi fenomena pemerintahan di era demokratisasi, era teknologi, dan era informasi yang demikian canggihnya saat ini, dimana orang tidak saja bisa berargumentasi di dunia nyata tetapi juga dapat berargumentasi di dunia maya, bahkan dunia yang satu ini banyak menimbulkan polemik khususnya penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan,
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
54
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
pemberdayaan dan peningkatan kapasitas berkelanjutan. Itulah yang menjadi dasar pemikiran Saya dalam mengedepankan konsep paradigma komunikasi pemerintahan. Uraian singkat tersebut di atas mempertegas bahwa sesungguhnya filosofi komunikasi politik pemerintahan adalah “proses penyampaian berbagai kebijakan pemerintahan kepada masyarakat dengan tujuan agar dilaksanakan dengan penuh kesadarandan pengertian dalam rangka mewujudkan tujuan pemerintahan yaitu; (1) melindungi; (2) mencerdaskan; (3) mensejahterakan dan; (4) ikut melaksanakan perdamaian dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.” Maka, secara filosofis komunikasi politik pemerintahan mengarah pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat bangsa, tanpa pilih kasih dan pilih asih. 4. Fenomena Komunikasi Politik Pemerintahan Berbicara tentang fenomena komunikasi politik pemerintahan tidak terlepas dari membahas komunikasi politik pemerintahan dari era pemerintahan orde lama dan orde baru, serta orde reformasi. Ini akan berlanjut pada era Revolusi Mental yang baru akan dimulai. (Kita semua berharap benarbenar akan terjadi perubahan mental bangsa kita yang kita ketahui terakhir ini termasuk dalam golongan masyarakat terkorup menjadi negara terbersih dari korupsi). Penerapan demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari kebutuhan, tuntutan dan dorongan internal dan eksternal termasuk negara-negara yang dianggap berhasil dalam penerapan demokrasi, agar pemerintahan dapat mencapai tujuan negara lebih berkualitas. Namun dalam perjalanannya negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi ternyata selalu berhadapan dengan tuntutan dan kehendak rakyat yang tidak pernah terpenuhi, walaupun dengan versi dan fenomena yang berbeda-beda. Pada waktu zaman Kerajaan Majapahit, dikenal adanya budaya “pepe” yaitu etika rakyat ketika menyampaikan kehendaknya dengan cara duduk bersila di atas pasir atau rerumputan di alun-alun istana, tanpa bicara apa-apa. Ketika Raja melihat rakyat kepanasan di bawah terik matahari, Rajapun tanggap ing sasmito/mampu menangkap isyarat, dan mawas diri sembari bertanya pada diri sendiri “apa yang salah dengan diriku? (introspeksi), apa yang salah dengan kebijakanku. Lalu Rajapun bertanya kepada Pungowo Keraton, apa yang sebenarnya mereka kehendaki. Boleh jadi kepedulian dan kepekaan Raja dan sikap rakyat yang santun seperti itu telah menciptakan sistem politik yang bermartabat yang tidak perlu dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan tidak beretika. (Sebagaimana kondisi perpolitikan Indonesia saat ini jauh dari sopan santun apalagi etika. Mungkin etika politik demikian perlu digali kembali. Wallahu’alam.)
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
55
Saat ini suasana politik sangat jauh dari kepekaan penguasa, jauh dari tujuan pengambil keputusan, yang muncul adalah hujat menghujat, jelek menjelekkan bahkan merekayasa sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, untuk menjatuhkan lawan politik (Machiaveli, menghalalkan segala cara, demi tercapainya tujuan). Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, saya memiliki harapan besar akan terjadinya perubahan dalam sistem politik pemerintahan. Ironisnya harapan itu lenyap entah dimana rimbanya. Parahnya lagi suasana perpolitikan saat ini benar-benar telah menjadi anti tesis dari apa yang dikemukakan Carl Schmitt, Almond, dan Powell. Pembangunan politik seharusnya meningkatkan diferensiasi dan spesialisasi efektivitas dan efisiensi perilaku serta mampu memberikan solusi bijaksana terhadap fenomena dan anomali yang muncul. Runtuhnya teori-teori politik menuntut adanya perbaikan sistem politik yang kita hadapi, namun kekacauan dalam memaknai politik untuk mencapai tujuan, juga perlu menjadi kajian bersama pemerintahan dan masyarakat. Lihat saja efek dari beda pendapat telah memancing emosi lalu muncul tindakan brutal, anarkis sampai pada bentrok fisik yang berakibat rusaknya fasilitas umum dan sosial sampai hilangnya nyawa dan harta benda rakyat yang tidak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi. Harold J. Laski menulis tujuan dan fungsi negara sebagai “creation of those conditions under which teh member of the state may attain the maximum satisfaction of their desires (Laski, 1947, 12).
Bandingkan pernyataan Laski tersebut dengan substansi alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: ... membentuk suatu pemerintahan negara yang melindungi ang segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...
Agar tujuan tersebut dapat terwujud, dibutuhkan sistem politik yang handal yakni suatu sistem yang mampu memelihara keseimbangan antara infra dan supra struktur, sehingga kepentingan-kepentingan semua pihak tidak berbenturan dan paling tidak dapat dikurangi, dipertemukan, bahkan apabila memungkinkan dapat menghindari demonstrasi dan konflik. Masalahnya adalah bagaimana caranya agar semua menjadi nyaman, tertib dan terkendali? Jawabannya sederhana “Lakukan pendidikan politik Masyarakat atau Modernisasi Politik ”. Berbicara pendidikan politik masyarakat, memang belum banyak diungkap para pakar politik kecuali mengungkap “pembangunan politik”
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
56
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
sebagaimana dikemukakan para ahli antara lain Lucian W. Pye bahwa, “pembangunan politik untuk meningkatnya Diferensiasi dan spesialisasi struktur politik dengan meningkatnya sekularisasi budaya politik” (L.W. Pye, Almond dan Powell 1968:106). Pembangunan politik secara umum akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi perilaku sistem politik serta kapabilitasnya. Artinya pembangunan politik berlangsung untuk pelakupelaku dan elit politik tidak menyentuh masyarakat dan rakyat sebagai subjek politik. Dengan demikian kemampuan sistem politik diprediksi hanya mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi baik dari luar maupun dari dalam negeri pada ranah elit dan pentolan politik pada ranah yang terbatas. Berbeda dengan pendidikan politik masyarakat ranahnya merambah seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang level, suku, jenis kelamin dan tidak juga membedakan profesi masyarakat. Karena sifatnya pendidikan politik, maka cakupan pendidikannya lebih luas dari sekadar supra dan infra struktur, melainkan merambah sampai pada level budaya, struktur kelompok masyarakat, comunity, jejaring sosial dan media sosial. Apabila dalam proses pembangunan politik kita temukan tiga ciri pokok yaitu: 1). Pemusatan kekuasaan pada negara yang dibarengi melemahnya sumbersumber wewenang kekuasaan tradisional. Yang dimaksud adalah secara perlahan namun pasti loyalitas primordial kesukuan memudar dan bergerak ke loyalitas yang bersifat nasional. 2). Terbatasnya diferensiasi masyarakat tradisional sama dengan sistem feodal. Sistem politik yang berkembang dalam masyarakat yang dimodernisasi menjadi sangat rumit. Antara lain disebabkan oleh meningkatnya volume dan ruang lingkup keputusan-keputusan resmi untuk melaksanakan tugas-tugas yang kian kompleks. 3). Masyarakat tradisional bukan partisipan, namun sebaliknya masyarakat modern semakin tinggi partisipannya. Seharusnya semakin besar peluang masyarakat untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. 4). Maka pada pendidikan politik masyarakat, kunci utamanya adalah lahirnya kesadaran politik yang bersifat partisipatif, penuh kesadaran atas panggilan hati nurani, bukan konsolidasi apalagi pengarahan politik masyarakat yang menonjolkan politik “transaksional” dalam arti adanya janji-janji kekuasaan bahkan iming-iming keuntungan berupa materi. Beralih kepada konsep dan pengertian Komunikasi (lebih kurang 127 definisi) yang pada intinya mengedepankan bahwa, komunikasi sebagai proses pengoperan ide dan perasaan dalam rangka menyatukan kekuatan sehingga terjadi interaksi antara orang-orang
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
57
yang berkomunikasi menuju pencapaian kesamaan makna (bandingkan, dengan makna dan tujuan koordinasi pemerintahan). Dari pengertian komunikasi tersebut dapat diidentifikasi sekurangkurangnya terdapat lima unsur yang harus dipenuhi agar tujuan berkomunikasi tercapai secara efektif yaitu; (1) komunikasi sebagai proses; (2) sebagai pengoperan ide dan perasaan; (3) guna menyatukan; (4) adanya interaksi; (5) tujuan bersama (bandingkan dengan unsur-unsur dalam administrasi dan pemerintahan). Sebagai suatu proses, komunikasi mengindikasikan bahwa aktivitas manusia selalu tumbuh dan berkembang, serta bergulir terus dan terus tanpa henti selagi ada denyut kehidupan. Artinya komunikasi itu sendiri tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan dan kebutuhan dalam hidup dan kehidupan manusia, yang semula hanya mempelajari seluk beluk komunikasi antar manusia kemudian berkembang ke arah komunikasi pembangunan, lalu di era demokratisasi dalam genggaman teknologi yang serba canggih ini berkembang ke arah berbagai bidang seperti lahirnya komunikasi manajemen, komunikasi media, komunikasi politik dan belakangan mulai berkembang wacana komunikasi pemerintahan. Seiring dengan perkembangan tersebut muncul berbagai fenomena bahkan anomali dan pemaknaan yang sering menimbulkan miscommunication, yang berlanjut dengan misunderstanding yang dapat berakibat lahirnya misbehavior, kondisi demikian diperparah lagi dengan kecanggihan teknologi yang suka tidak suka berpengaruh terhadap kelembagaan komunikasi pemerintah. Di sisi lain dalam kelembagaan komunikasi organisasi pemerintahan pengoperan ide dan perasaan dimaknai sebagai suatu kondisi yang terkesan kering dari inovasi dan kreativitas karena tersandera oleh sistem birokrasi yang hierarkis. Karena kita tahu bahwa ide yang idealis datang dari hasil pemikiran yang logis sementara perasaan datang dari hati yang bersih yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai denyut kehidupan itu sendiri. (bandingkan hasil pemikiran yang selalu dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat induksi dan intuitif). Aplikasi dua ranah yang berbeda tersebut diharapkan dapat menjadi suatu energi baru dalam menyelesaikan dan mencapai tujuan pemerintahan (termasuk unsur keempat dari komunikasi). Unsur berikutnya adalah interaksi, karena komunikasi bertujuan menyampaikan ide atau gagasan, maka dalam interaksinya lebih mengedepankan sharing pendapat. Jadi tidak otomatis ide/gagasan dari komunikator saja yang terbaik tapi mungkin saja ide/gagasan komunikan juga cukup berbobot untuk dipertimbangkan, sehingga dalam ber-komunikasi tidak hanya dikuasai oleh seorang tapi dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut (pada umumnya unsur mufakat untuk mencapai
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
58
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
tujuan dalam menetapkan suatu kebijakan baik oleh legislatif maupun eksekutif). Berikutnya untuk mencapai tujuan bersama, unsur-unsur tersebut mengingatkan kita pada salah satu unsur pencapaian tujuan organisasi, tujuan pemerintahan dan bahkan hampir semua tujuan dari aktivitas yang dilakukan manusia adalah untuk mencapai tujuan bersama dalam kebersamaan. Penjelasan singkat tersebut mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa, ''komunikasi merupakan sebagai urat nadi tempat mengalirnya informasi menuju tercapainya tujuan bersama dengan kebersamaan yakni mewujudkan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial''. Werther (1982: 12) memberikan definisi komunikasi sebagai “communication is the transfer of information and undertanding for ane person to nanother parson'' - komunikasi sebagai pemindahan sejumlah informasi dan pengertian dari satu orang kepada orang lain akan berlansung ketika informasi yang diterima sebagai isi dari komunikasi itu sendiri. Scramm (1987: 16) bahwa komunikasi adalah sebagai proses penggunaan pesan oleh dua orang atau lebih dimana semua pihak saling berganti peran sebagai pengirim dan penerima pesan, sampai ada saling pmahaman atas pesan yang disampaikan oleh semua pihak. Uraian tersebut semakin memperjelas bahwa komunikasi selain merupakan kegiatan untuk membujuk, juga merupakan aktivitas yang bersifat convergency untuk menciptakan perubahan perilaku sesuai yang dikehendaki. Dengan adanya stimuli yang diberikan dalam berkomunikasi diharapkan perubahan terjadi tanpa ada unsur paksaan. Artinya perubahan yang terjadi betul-betul atas kesadaran diri sendiri oleh semua pihak. Perubahan yang terjadi atas kesadaran diri sendiri berdampak lebih kuat dan bertahan lama dibandingkan dengan perubahan nyang dihasilkan dari suatu pemaksaan kehendak kepada orang lain. Cane (1988: 65) mengemukakan bahwa salah satu dari nilai utama manusia adalah menanamkan kepercayaan dan penghargaan. Dalam organisasi pemerintahan ada kebutuhan yang sama pentingnya antara berpegang pada pelaksanaan fungsi komunikasi yang halus dan komunikasi silang yang mengarah ke atas dan ke bawah. Demikian juga komunikasi yang berhubungan dengan pihak luar, juga merupakan permasalahan yang perlu perhatian ekstra sebagaimana dikemukakan oleh Cane (1988: 86), bahwa cara paling mudah untuk menciptakan efektifitas komunikasi dalam organisasi adalah dengan mentransfer ide-ide secara jelas sehingga pesan yang disampaikan ditangkap sama seperti yang dikirimkan.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
59
Dari pengertian komunikasi tersebut di atas dapat dipahami bahwa akar permasalahan komunikasi adalah, ”Membicarakan secara bersama, berbuat, memperbincangkan dan berunding bersama dalam mencari kesamaan makna”. Jadi komunikasi dapat dikatakan sebagai suatu bentuk proses pemenuhan kebutuhan manusia akan keberadaan manusia lainnya”. Hal ini dipertegas lebih lanjut dengan kata ''Communicare'' yang sejalan dengan kata Latin yakni komunitas, yang dapat dimaknai bukan hanya sekedar masyarakat dalam satu himpunan tertentu tetapi dapat juga masyarakat dalam artian adanya persahabatan dan keadilan guna memperbincangkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Komunikasi sebagai suatu cara memperoleh efektifitas di tempat kerja sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Magnet (1992: 98) bahwa proses pemindahan makna dari sender ke receiver dapat dianalogkan sebagai pemindahan makna dari pemerintah kepada masyarakat atau khalayak. Berikut ini uraian singkat tentang konsep dan pengertian Pemerintahan. Banyak tulisan di beberapa buku tidak secara implisit menegaskan pengertian dari kata ''Pemerintahan'' yang mengarah kepada pemberian pelayanan. Ada kemungkinan pengertian yang tidak pas akan memberi warna pada pemahaman seseorang dan pemahaman terwujud dalam bentuk perilaku aparatur pemerintah termasuk persepsi masyarakat sebagai kelompok yang diperintah. Kondisi demikian dapat saja menimbulkan distorsy (perbedaan, jarak) atau noise (gangguan). Berikut ini sekelumit illustrasi terkait dengan asal kata dan pengertian ''Pemerintahan''. Ketika kata pemerintahan dinyatakan berasal dari kata ''Perintah'' sebagaimana dikemukakan Prof. Pamuji dan Prof. Taliziduhu Ndraha, ketika makna tersebut dipersepsi pada tataran ''kulit-nya saja'' dalam arti belum dipahami secara utuh (aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya) disinyalir akan melahirkan pemahaman dan persepsi yang keliru terkait dengan fungsi, tanggungjawab dan keberadaan pemerintahan itu sendiri. (lihat saja perilaku Satpol PP dalam menegakkan keputusan pengadilan seperti penggusuran, pembongkoran, penertiban Pedagang Kaki Lima, dll). Misalnya, para Pamong Muda yang baru menyelesaikan pendidikan kepamongan, mempersepsi bahwa tugas-tugas yang akan mereka lakukan nantinya adalah dalam konteks perintah-memerintah. Hal ini membuka peluang terjadinya misperception (hasil penelitian mengindikasikan adanya kecenderungan kearah pembentukan perilaku seperti tuan tanah di zaman Feodal dimana sikap keras dan memerintah sambil mengacung-ngacungkan tangan kanan dan menunjuk pakai tangan kiri). Perilaku demikian akan semakin mempertajam perbedaan antara kelompok yang diperintah
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
60
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
(masyarakat dan atau rakyat) dengan yang memerintah. Di satu sisi yang diperintah suka tidak suka harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh yang memerintah, sedangkan sisi lain yang diperintah tidak mengerti dan tidak tahu kenapa dan mengapa? Dalam koridor negara hukum yang berbentuk negara kesatuan seperti Indonesia, perbedaan yang terlalu tajam antara karakteristik yang memerintah dengan yang diperintah berisiko pada munculnya trust, miscommunication yang dapat menimbulkan antipati dari yang diperintah, bahkan tidak jarang menjadi sumber konflik antara pemerintah dengan masyarakat warganya. Mencermati opini yang berkembang dan beragamnya tuntutan serta perlawanan yang ditujukkan masyarakat dewasa ini sering muncul pertanyaan, untuk apa adanya pemerintahan?, adalah suatu pertanyaan logis karena kecanggihan tekhnologi dewasa ini yang tidak dibarengi dengan kecanggihan berpikir dan bertindak yang masih saja lamban, berbelit-belit, dan terkesan kurang profesional. Jawaban untuk pertanyaan ini apabila ditinjau dari aspek yuridis formil tentu untuk mewujudkan makna alinea ke IV UUD 1945. Dari aspek praksis perwujudan amanah UUD. 1945 tersebut tidak semudah menuliskan pada ketentuan UUD.1945. Karena dalam perjalanannya membutuhkan proses, prosedur, kemauan, kemampuan serta dukungan seluruh elemen bangsa yang tidak pernah lepas dari pola berpikir, persepsi yang terbentuk, dan pengetahuan serta kultur yang berkembang. Dikaitkan dengan pemikiran yang lebih mendasar dari sisi kata Government yang secara harfiah diartikan sebagai Civil Servant atau pelayanan, maka amanah tersebut sangatlah signifikan. Artinya ada hubungan dan pengaruh yang sangat kuat antara kata government sebagai ”pelayanan” kepada masyarakat dengan tujuan keberadaan pemerintahan, walaupun terdapat perbedaan redaksional dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Samuel Edward Finer bahwa, kata government menunjuk kepada: Kegiatan atau proses pemerintah melakukan kontrol atas pihak lain (the activity or the process of governing). Masalah-masalah negara dalam kegiatan atau proses dalam penyelenggaraan pemerintahan. Cara, metode dan sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu diperintah (the manner, method or system by which a particular society is governed). Seiring dengan pernyataan Samuel tersebut, Herman C.F. Strong (1960: 6) menyatakan bahwa, pemerintahan sebagai organisasi yang memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat dalam arti luas
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
61
merupakan sesuatu yang lebih besar dari pada suatu kementerian yang diberi tanggungjawab memelihara perdamaian dan keamanan negara. Pernyataan Burnett tersebut apabila direkonstruksikan ke dalam konsep komunikasi politik pemerintahan terkait dengan target audiencs yang dianalogikan sebagai hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah atau dalam good governance dikatakan sebagai hubungan antara tiga pilar utama dalam suatu negara yaitu, State, privat and society. Walaupun dari sisi tujuan memang berbeda, dimana tujuan pemerintahan adalah pelayanan sementara tujuan swasta adalah keuntungan, namun secara implementatif komunikasi di sektor bisnis bersaing secara ketat sementara pelanggan memiliki kebebasan dan peluang memilih lebih luas. Tidak demikian halnya di sektor publik karena pelanggan dan customer tidak mempunyai pilihan kecuali menerima, karena kualitas produk pemerintah sudah given yang dilegalkan melalui ketentuan perundang-undangan. Yang menjadi permasalahan adalah apakah pelayanan yang diberikan itu telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat sebagai konsumen atau belum. Danet and Katz menggambarkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai hubungan official-client. Dalam komunikasi politik kedua komponen tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisional, konstektual dan situasional. Yang dimaksud dengan faktor predisposisional adalah faktor-faktor yang telah tertanam dalam diri seseorang dan mempengaruhi pola berpikir, bersikap dan berperilaku termasuk dalam mengambil keputusan. Sedangkan faktor kontekstual adalah situasi yang melingkupi suasana waktu tertentu dengan permasalahan yang terjadi pada waktu yang sama. Dan faktor situasional adalah kondisi yang berubah-ubah sesuai peristiwa dalam situasi, lingkungan dan waktu kejadian. Aplikasi dari berbagai pendapat tersebut dapat menghasilkan unsurunsur yang melingkupi terbentuknya paradigm komunikasi pemerintahan yaitu; (1) predisposisi; (2) kredibelitas komunikator; (3) situasional; (4) kemampuan penerima pesan; (5) setting komunikasi; (6) media yang digunakan. Sehingga arah pergerakan komunikasi pemerintahan secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam gambar 1. Bagan arah pergerakan komunikasi pemerintahan Aplikasi dari pendapat Keith Davis dan Millet tersebut diramu ke dalam komunikasi politik pemerintahan secara terintegrasi dan berlangsung kesegala arah baik vertikal, horizontal, top-down, bottom-up, internal dan eksternal, melalui tahapan-tahapan interaksi yang mencakup bidang-bidang; (1) kepribadian umum; (2) tahap pertukaran eksplorasi; (2) tahap pertukaran interaksi sosial dan; (3) tahap hubungan stabil.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
62
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
PREDISPOSISI
KREDIBELITAS KOMUNIKATOR SITUASIONAL
KEMAMPUAN PENERIMA PESAN
KOMUNIKASI DALAM KOORDINASI PEMERINTAHAN
SETTING KOORDINASI KOMUNIKASI
MEDIA YANG DIGUNAKAN
Gambar 1. Bagan arah pergerakan komunikasi pemerintahan.
Tugas pemerintah memang berat karena masyarakat yang dihadapi terdiri dari berbagai etnik dengan berbagai kepentingan yang sangat kompleks. Karakteristik yang melekat dalam setiap kegiatan pemerintah, antara lain; (1) program pemerintah ditujukan untuk masyarakat luas dengan berbagai latar belakang, karakter, ekonomi, pendidikan yang beragam; (2) seringkali hasilnya abstrak yang sulit dilihat dalam waktu dekat, bahkan dalam jangka yang panjang sekalipun, karena sifatnya yang terpadu dan berkesinambungan; (3) program pemerintah selalu mendapat pengawasan dari berbagai kalangan, terutama pers, lembaga swadaya masyarakat, (LSM) dan sebagainya yang berperan dalam proses penyadaran masyarakat mengenai permasalahan sebagai warga masyarakat. Demikian beratnya tugas pemerintah yang tidak hanya mencakup pelayanan dan pemberdayaan masyarakat dalam negeri, namun juga menjangkau pelayanan kepada seluruh masyarakat yang ada di dalam dan di luar negeri (misal kasus penganiayaan terhadap TKW dan kasus KDRT Manohara dan kasus KDRT lainnya). Sehingga perlu dipikirkan komunikasi politik pemerintahan.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
63
5. Simpulan Kondisi seperti yang telah diuraikan di atas melatarbelakangi pemikiran saya mengapa Komunikasi politik Pemerintahan perlu diajarkan dan dikembangluaskan secara profesional di tengah permasalahan pemerintahan yang masih mencari jati diri. Belum lagi masalah dana, masalah tumpang tindihnya job description, adanya image negatif yang memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat. Uraian singkat tentang komunikasi politik pemerintahan tersebut di atas, mudah-mudahan membuka cakrawala kita sebagai pendidik bahwa Komunikasi Politik Pemerintahan pada dasarnya tidak boleh dipolitisir kecuali dicarikan strategi akurat, karena pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mempublikasikan atau mempromosikan kebijakan-kebijakan, rencana peraturan perundang-undangan, program kerja pemerintahan dan segala sesuatu yang berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Semoga uraian singkat komunikasi politik pemerintahan secara empirik dapat dinyatakan sebagai alternatif terhadap jawaban pertanyaan, bagaimana Komunikasi Politik Pemerintahan itu? Hasil seminar efisiensi kerja dan Konggres Etika Pemerintahan oleh seluruh dosen Etika pada PT yang dilakukan di Kampus IPDN pada tanggal 6 sampai dengan 9 Juni 2012 yang lalu menyimpulkan sepuluh pedoman untuk perilaku aparatur yang disebut “Human Touch in Managerial Leadership“ sebagai berikut ini: 1). Jangan mengadu domba, bukan persaingan tapi kerja sama yang harus menjadi semangat untuk mencapai kemajuan. 2). Ide atau gagasan bawahan haruslah disambut dengan baik 3). Perlakukan bawahan sebagai manusia 4). Instruksi yang dikeluarkan hendaknya diwujudkan sebagai ajakan atau permintaan (tidak sebagai perintah) 5). Berikan penyadaran pada bawahan bahwa perubahan terus akan terjadi setiap waktu bahkan setiap detik 6). Jangan memberi pekerjaan tanpa sepengetahuan atasan langsungnya 7). Selidiki setiap kegagalan dan kesalahan sebaik-baiknya sebelum meminta pertangungjawaban kepada bawahan 8). Memperhatikan setiap jasa dan nyatakan penghargaan dengan satu dan lain cara. 9). Jangan memberikan kritikan dan celaan kepada bawahan dihadapan orang lain 10). Kemaslah setiap pembicaraan sebelum berkomunikasi dengan siapapun dan Jangan main paksa.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
64
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
Sepuluh perilaku aparatur dan manusia tersebut bersifat umum dan di dalam praktek masih perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu, karena dalam ilmu komunikasi manajemen ada teori “Situational thinking and understanding”. Jangan berperilaku kaku dan dogmatis dalam menanggapi persoalan-persoalan Hidup dan kehidupan.
Daftar Pustaka Abdurachman. Prinsip-Prinsip Manajemen Dalam Pemerintahan: Analis Tugas-Tugas Pimpinan. Pertj. The Sun Smp. 1971. Andri, Alexander dan Sangkanparan, Hartono. Tiga Sinergi Otak. Teknik Dahsyat Menggolaborasi Otak Kanan, Otak Kiri dan Otak Tengah. Jakarta: Visimedia. 2010. Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII). Jakarta: Penerbit Arga Wijaya Persada. 2003. _________________. ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II). Jakarta: Penerbit Arga Wijaya Persada. 2003. Avey, Albert E. Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnas & Noble, Inc. 1961. Center for Civic Education (CCE). Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas. California: U.S Departement of Education. 1994. Hasan, Erliana. Pradigma Komunikasi Pemerintahan, Orasi iImiah Pengukuhan Guru Besar. Jakarta. 2009. __________. Komunikasi Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka Indonesia. 2010. __________. Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Ghalia. 2011. __________. Filsafat Ilmu Dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Ghalia. 2014. Radhakrishnan, Sarpavalli, et. Al. History of Philosophy Eastern and Western. London: George Allen and Unwind Ltd. 1953. Soewardi, Herman. Mempersiapkan Sains Tauhidullah. Bandung: Bakti Mandiri. 2000.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 49 - 65
65
Steinberg, Sheldon S. and Austren, David T.. Government Ethics And Managers: Penyelewengan Yang dilakukan Oleh Aparatur Pemerintahan. Bandung: Rosda Karya. 1999. Richard L. Johannesen. Etika Komunikasi. Bandung: PT. Rosda Karya. 1996. Arasy, Rasul. Memalukan ! Indonesia negara terkorup ke-empat di dunia. Arrahmah.com, 4 November 2011.
Nusantaraku. ”Memalukan... Indonesia Negara Terkorup Asia Pasifik”, dalam Nusantaraku: Informasi, Fakta dan Opini. 9 Maret 2010.
Komunikasi Politik Pemerintahan Indonesia Masa Depan