BERITA
w w w. k o m n a s p e r e m p u a n . o r . i d
KOMNAS PEREMPUAN EDITORIAL
Edisi 11 JULI 2013
Memorialisasi Mei’98: Membentuk Bangsa yang Berjiwa Besar
R
Komnas Perempuan memperingati Reformasi sebagai salah satu bentuk dari rangkaian aktifitas memaknai kembali perjalanan 15 Tahun Reformasi. Tahun 2013 ini, guna memaknai 15 tahun reformasi dan untuk mendorong pemenuhan hak-hak korban, Komnas Perempuan menyelenggarakan Peringatan Reformasi di dua kota, yaitu Solo (11/05/2013) dan Jakarta (19/05/2013). Napak Reformasi di Jakarta menjadi fokus utama berita Komnas Perempuan kali ini. Namun, tidak kalah pentingnya adalah capaian dari kegiatan di Solo. Bersama jaringan masyarakat sipil Jejer Wadon, Komnas Perempuan memfasilitasi pertemuan komunitas korban dari beragam latar belakang dan kegiatan memperingati Tragedi Mei 1998. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, kami mendapat dukungan untuk gagasan memorialisasi di Solo. Gagasan ini juga disambut baik oleh Pemerintah Daerah Surakarta, sebagaimana disampaikan langsung oleh Wakil Walikota Solo, Achmad Poernomo, di Loji Gandrung pada kegiatan Peringatan 15 Tahun Reformasi di Solo. Dalam kegiatan ini turut diluncurkan Peta Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di Solo. Newsletter kali ini juga akan menyoroti laporan Jaringan Pemantau 231 berjudul ”Menjelujur Pengalaman Kekerasan Perempuan di Aceh: Perjuangan Tiada Henti Meniti Keadilan”. Jaringan pemantauan yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan ini terdiri dari berbagai organisasi perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh. Penamaan Jaringan Pemantauan 231 terinspirasi dari Pasal 231 ayat (1) Undang Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Peluncuran laporan Catatan Dua Tahun Terakhir (2011-2012) Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh ini telah dilakukan (04/06/2013) Dalam edisi kali ini, kami menyoroti dua aktivitas bersama mekanisme HAM PBB. Pertama, Pelapor Khusus untuk Hak atas Perumahan Layak, Raquel Rolnik dalam kunjungan resminya ke Indonesia. Dalam kerangka menjalankan mandatnya sebagai institusi HAM nasional, Komnas Perempuan menerima dan memfasilitasi perjumpaan Pelapor Khusus itu dengan komunitas korban dan pendamping (10/06/2013). Kedua, Pelapor Khusus untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Shuaib Chalken. Dengan mendukung kehadirannya dalam kapasitas sebagai ahli, Komnas Perempuan bermaksud menguatkan komitmen negara pasca ratifikasi Kovensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dok. Komnas Perempuan
eformasi sudah berusia 15 tahun. Semuanya dimulai setelah tergulingnya rezim pengerat yang telah menggurita selama puluhan tahun. Akhirnya, Mei menemui harapan baru, membuncahkan kesejarahan yang baru. Namun sejarah kelam 15 tahun silam masih belum terungkap, masih dalam ingatan bahwa hingga kini aktor intelektualnya belum terungkap. Ada lagi yang masih luput dan absen dibicarakan yaitu: Kekerasan Seksual. Mengenai kekerasan seksual, Komnas Perempuan terus mengingatkan Peringatan 15 Tahun Reformasi di Jakarta bahwa peristiwa itu fakta historis bukan rekaan fiksi. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah memverifikasi sejumlah kasus kekerasan seksual dalam peristiwa itu.
Selain berbagai isu di atas, newsletter edisi 11 mewartakan kerja-kerja Komnas Perempuan, termasuk kunjungan dari komunitas korban dari Korea Utara dan sejumlah komunitas korban kebijakan diskriminatif dari berbagai daerah di nusantara. Redaksi berharap, newsletter edisi 11 dapat melengkapi berbagai informasi yang telah tersedia di media website dan jejaring sosial yang dimiliki Komnas Perempuan. Sebutlah, Komnas Perempuan berdialog dengan sepuluh orang perwakilan komunitas korban Syiah yang hadir melalui “Gowes Sepeda Kemanusiaan” bersepeda dari Sampang hingga Jakarta (18/06/2031). Juga, keterlibatan Komnas Perempuan dalam pembahasan RUU tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagai tindak lanjut pengesahan Konvensi Migran (01/07/2013), dan menjadi salah satu delegasi dalam dialog HAM yang diinisiasi oleh AICHR/ ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (25/06/2013). Semoga newsletter ini dapat membangun dan menyelami khasanah pembaca untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. n Arkian, Selamat membaca!
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 1
AKTIVITAS Kunjungan Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Perumahan Layak ke Komnas Perempuan
K
Komnas Perempuan juga memfasilitasi Pelapor Khusus PBB tersebut untuk bertemu langsung dengan para korban dan pendamping korban yang ada di Indonesia. Sejumlah 18 korban dan lembaga pendamping korban hadir, diantaranya dari Walhi, Tim Relawan Kemanusiaan Perempuan untuk Aceh, Rifka Anissa Yogyakarta, Sanggar Waria Remaja, Ardhanary Institut, Organisasi Schizoprenia Indonesia dan Ahmadiyah yang masih menjadi pengungsi hingga saat ini. Azriana, dari Tim Relawan Kemanusiaan Perempuan untuk Aceh mengusulkan kepada special rapporteur agar memasukan adanya jaminan untuk terhindar dari kekerasan dan kebebasan atas hak-hak privasi sebagai salah satu indikator perumahan yang layak. “Karena selama dua tahun, pada tahun 2011 sampai 2012 terdapat 73,6 % kekerasan yang dialami oleh perempuan di Aceh itu terjadi di rumah,“ jelas Azriana tentang usulan itu. Kekerasan di ranah domestik
DAFTAR ISI Editorial
1
Aktivitas
2, 4, 6, 9
Fokus Utama
3
Pendapat Pakar
5
Info Hukum
7
Pantau
8
Profil
10
Resensi
11
Glosarium
12
Terobosan Kebijakan
12
2
| Berita Komnas Perempuan
Dok. Komnas Perempuan
o m n a s Perempuan menerima kunjungan dari Special Rapporteur on Adequate Housing, atau Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Perumahan Layak (10/06/2013). Raquel Rolnik, sesuai mandatnya akan meninjau tingkat realisasi pemenuhan hak atas perumahan yang layak di Indonesia, serta melihat kembali kebijakan dan pencapaian program yang telah dilakukan oleh pemerintah berdasarkan prinsip non diskriminasi. Nantinya, Raquel Rolnik akan membawa rekomendasi yang berupa laporan misi negara, disampaikan di hadapan Dewan HAM PBB, tahun depan.
Komnas Perempuan memfasilitasi pelapor khusus PBB bertemu para korban dan pendampingnya.
ini juga dilaporkan oleh Suster dari Belu. Menurutnya, “Di Kabupaten Belu, sebanyak 71,13% perumahan dindingnya semi permanen dan ada lubang-lubang. Orang bisa dengar, tahu dan lihat apa yang ada di dalam rumah. Nah, akibatnya banyak terjadi incest, kekerasan seksual dan perkosaan, ”ujar suster dari Belu. Demikian halnya yang terjadi di Kabupaten Sikka. Menurut suster Estokia dari Sikka karena rumah tidak layak, sebagian rumah tidak ada pintu, tidak ada kamar, maka kasus incest banyak terjadi di Kabupaten Sikka. Beliau kembali menambahkan bahwa sejak tahun 2000 telah terjadi 155 kasus, yaitu incest dan perkosaan. Di sesi akhir, Raquel Rolnik memberikan catatan khusus terhadap vulnerable groups, domestic workers and migrant, religious intolerance, women with disabilities dan kasus perkosaan terhadap perempuan. February 2014, laporan final akan dipublikasikan. n (Chrismanto Purba, Divisi Partisipasi Masyarakat)
Penanggung Jawab: Sub Komisi Partisipasi Masyarakat: Andy Yentriyani, Arimbi Heroepoetri, Neng Dara Affiah Redaktur Pelaksana: Chrismanto Purba, Christina Yulita Purbawati Kontributor: Asma’ul Khusnaeny, Ema Mukarramah, Siti Maesaroh, Theresia Yuliwati, Tini Satra, Virlian Nurkristi Alamat Redaksi: Jl. Latuharhary No. 4B, Jakarta 10310, Telp. (021) 3903963, Fax. (021) 3903922, www.komnasperempuan.or.id Komnas Perempuan-Group Silakan kirim masukan dan kritik Anda ke:
[email protected] EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
FOKUS UTAMA Masuknya 4 Situs Tragedi Mei’98 dalam Peta Sejarah DKI Jakarta
Sebuah Komitmen Pemerintah Provinsi DKI Oleh Tini Sastra Koordinator Divisi Pendidikan Komnas Perempuan
Tragedi Mei ’98 Menyisakan Sejumlah Masalah
Berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah sendiri melalui Presiden Habibie yang telah mengeluarkan Keppres No 181/1998 jo Perpres No 65 Tahun 2005 dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Dapat dikatakan Komnas Perempuan merupakan anak sulung reformasi yang mempunyai mandat untuk memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM dalam Tragedi Mei’98 yang sampai 15 tahun reformasi masih banyak fakta yang belum terungkap, khususnya otak intelektual peristiwa tersebut. Memorialisasi: Upaya Merawat Ingatan Komnas Perempuan berkepentingan untuk terus mendorong upaya pemenuhan hak-hak korban Tragedi Mei ’98, dan berbagai pelanggaran HAM masa lalu lainnya. Secara khusus, Tragedi Mei ’98 merupakan titik balik perjuangan isu kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual yang menjadi wacana masyarakat dan menginisiasi tumbuhnya layanan bagi perempuan korban. Salah satu bentuk pemenuhan hak korban adalah melalui memorialisasi. Memorialisasi merupakan proses pembangunan representasi bangunan atau ragam kegiatan peringatan sejarah masa lalu dan ditempatkan di wilayah-wilayah publik. Bangunan atau ragam kegiatan dirancang untuk menyuarakan reaksi khusus atau sekumpulan reaksi, termasuk penghargaan dari masyarakat melalui sebuah kegiatan atau tokoh di dalamnya, refleksi personal atau duka cita, kebanggaan, kemarahan, kesedihan tentang peristiwa yang telah terjadi atau pembelajaran tentang sejarah masa lalu. Salah satu bentuk memorialisasi adalah melalui Napak Reformasi, sebuah metode yang telah dikembangkan oleh Komnas Perempuan. Metode yang menyenangkan dengan mengunjungi situs-situs bersejarah di mana Tragedi Mei’98 terjadi. Dengan
Dok. Komnas Perempuan
Bagi Bangsa Indonesia, Tragedi Mei‘98 merupakan peristiwa penting terkait perubahan pemerintah dari Era Orde Baru menuju Era Reformasi. Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM atas Tragedi Mei’98 belum kunjung menemukan penyelesaian memadai, korban mendapatkan stigma penjarah, sementara kasus perkosaan dan serangan seksual disangkal. Pelanggaran yang terjadi dalam tragedi tersebut menjadi temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tim independen yang dibentuk pemerintah tersebut telah memberikan laporan temuannya, namun hingga saat ini belum ditindaklanjuti. Komnas Perempuan bekerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan Napak Reformasi.
metode ini diharapkan masyarakat mudah memahami makna memorialisasi dan mampu mencegah tidak terulangnya pelanggaran HAM serupa di masa mendatang. Napak Reformasi, Sebuah Wisata Sejarah setelah 15 Tahun Reformasi Pada 19 Mei 2013, memperingati lima belas tahun reformasi Komnas Perempuan kembali melakukan Napak Reformasi di Jakarta dalam rangka memorialisasi Tragedi Mei’98. Kali ini peserta Napak Reformasi melibatkan pemerintah, khususnya pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta. Pelibatan pemerintah ini bertujuan mendorong adanya komitmen pemerintah, khususnya pemerintah daerah terhadap pentingnya memorialisasi sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak korban. Melalui kegiatan ini, Komnas Perempuan bermaksud mendorong komitmen pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk turut mengupayakan memorialisasi dalam bentuk merawat dan/atau membangun situs peringatan. Juga, dengan mengintegrasikan metode Napak Reformasi dalam peta wisata sejarah dan dalam pendidikan sejarah di sekolah agar memudahkan sosialisasi ke semua kalangan, khususnya generasi muda dalam mencegah keberulangan. Sambutan dari Pemda DKI Jakarta pada upaya memorialisasi Tragedi Mei’98 akan menjadi role model di tingkat Nasional dalam berbagai konteks pelanggaran HAM berat. Napak Reformasi 2013 juga melibatkan beberapa tokoh perempuan, tokoh pendidikan, tokoh media, serta komunitas
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 3
keluarga korban khususnya dari Kelurahan Jati Kaum Klender. Napak Reformasi yang diikuti oleh kurang lebih 40 peserta ini mengunjungi Prasasti Jarum Mei di Klender dan Makam Souw Beng Kong di Jakarta Barat. Sepanjang perjalanan Napak Reformasi, peserta dipandu oleh seorang narator yang menceritakan sejarah Prasasti Jarum Mei yang dibangun mandiri oleh komunitas masyarakat korban Tragedi Mei’98 sebagai simbol upaya menjahit luka dan kunjungan ke makam Souw Beng Kong, seorang tokoh Tionghoa yang membangun Jakarta pada abad ke 17 M, menjadi “jembatan” untuk mengingatkan kebhinnekaan dalam masyarakat Indonesia sebagai keniscayaan, namun pada saat bersamaan perbedaan tersebut gampang dieksploitasi untuk menebar kebencian dan kekerasan, sebagaimana tercermin dalam Tragedi Mei’ 98.
Komitmen Pemprov DKI Jakarta Napak Reformasi diakhiri dialog dengan Pemerintah DKI Jakarta di Balai Kota yang diwakili oleh Wagub Basuki Tjahaja Purnama. Dalam dialog publik ini, Wagub DKI Jakarta telah menyatakan beberapa komitmennya dan menyampaikan permohonan maaf kepada orang tua atau keluarga yang menjadi korban dari Tragedi Mei’98 ini. Wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama menegaskan Pemerintah Daerah berkomitmen memasukkan 4 situs Tragedi Mei’98, yaitu Prasasti Jarum Mei, Komnas Perempuan, TMP Pondok Rangon yang menjadi salah satu lokasi kuburan masal korban Tragedi Mei’ 98 dan makam Souw Beng Kong ke dalam peta situs sejarah DKI Jakarta. Untuk itu, Komnas Perempuan akan terus mengawal komitmen tersebut melalui dialog-dialog sebagai langkah implementasi komitmen tersebut.*) n
AKTIVITAS Dialog Para Korban akibat Kebijakan Diskriminatif di Indonesia
K
Dok. Komnas Perempuan
hadir mengatakan gereja-gereja omnas Perempuan di Singkil sudah ada sejak tahun menerima kunjungan dan dialog dari 1970 dan baru mendapat masalah berbagai pihak yang sejak tahun-tahun terakhir ini selama ini menjadi korban saja. Kasus penutupan dayah kebijakan daerah diskriminatif (pesantren) pasca pelanggaran di Indonesia (27/05/2013). Para HAM yang dialami Tengku Ayub korban dan pendampingnya di Bireuen, tanggal 17 November tersebut berasal dari 5 provinsi, 2012, semakin marak terjadi. yaitu: Nanggroe Aceh Darusalam, Kebijakan diskriminatif juga Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa mengimbas korban kepada para Barat, Nusa Tenggara Timur dan LGBT dari Makassar. Sulawesi Selatan difasilitasi oleh Komnas Perempuan menemui korban dan pendamping korban akibat perda diskriminatif. Solidaritas Perempuan. Kehadiran Masruchah, selaku wakil pimpinan mereka diterima oleh komisioner mengatakan, “Jadi point singkatnya agar Kementerian Hukum, Komnas Perempuan, yaitu Sylvana Maria Apituley, Saur HAM dan Kementerian Dalam Negeri akan mencoba Tumiur Situmorang dan Masruchah (pimpinan). mereview kembali beberapa kebijakan diskriminatif yang ada, termasuk peraturan bersama ataupun SKB 3 Menteri, karena Dalam pertemuan ini, Aliansi Sumut Bersatu (ASB) ini bertentangan dengan hak-hak konstitusi warga.” Beliau menyampaikan terjadi peningkatan kasus cukup signifikan menambahkan, selama ini Komnas Perempuan juga telah di Sumatra Utara. Tahun 2011, ada 62 kasus intoleransi dan memiliki pelapor khusus kebebasan beragama yang melakukan meningkat 75 kasus di tahun 2012. Kecenderungan balas dendam dapat semakin menguat kalau pemerintah pusat dokumentasi dan kajian kritis. Dalam menguatkan advokasi tidak menangani kasus intoleransi dengan baik apalagi nasional yang masih belum berhasil, Komnas Perempuan situasi politik juga akan memanas menjelang pemilu 2014. juga terus menyuarakan persoalan ini melalui berbagai forum Selain di Sumatra Utara, Di Aceh, tepatnya di Singkil dan mekanisme HAM internasional.n (Chrismanto Purba, telah ditutup 17 gereja. Padahal seorang pendeta yang Divisi Partisipasi Masyarakat).
4
| Berita Komnas Perempuan
EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
PENDAPAT PAKAR Eka Purnamasari, SH:
Tak Berdaya Menolak, Pembelaan Diri Terjadi
B
eberapa bulan belakangan ini, sering kita dengar kasus perempuan menjadi tersangka atas tindakannya memotong alat kelamin lakilaki/ suami, salah satunya adalah yang terjadi pada NN. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Christina Yulita dari Redaksi Komnas Perempuan melakukan korespondensi dengan Eka Purnamasari, SH, Advokat pada Klinik Hukum Ultra Petita, yang saat ini sedang menangani kasus NN. Apa yang melatarbelakangi kasus-kasus perempuan/ istri memotong alat kelamin laki-laki/ suami? Dalam kasus NN pemotongan alat kelamin dilatarbelakangi AM (korban pemotongan) yang melakukan tindak pidana perkosaan terhadap NN. Tipu daya dan bujuk rayu dilakukan oleh AM sampai akhirnya NN mau menerima ajakan AM untuk bertemu. Bagaimana posisi perempuan dalam kasus tersebut? Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan merupakan akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Pola superioritas laki-laki ini terlihat dari pola kekerasan yang dilakukan NN terdakwa pemotong kelamin AM. NN merasa sakit hati karena tak berdaya menolak ajakan bersetubuh dengan AM sampai akhirnya melakukan perlawanan atau pembelaan diri dengan memotong kelamin AM. Adakah aturan hukum yang melindungi perempuan ketika mendapatkan kasus tersebut? Aturan hukum mengenai perkosaan telah diatur dalam KUHP pasal 285 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of Discrimination againts Women/ CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai satu-satunya instrumen nasional dalam menghapuskan praktek diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu pasalnya, yaitu Pasal 2 huruf c, menyatakan “menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi”. Majelis hakim dalam perkara ini perlu teliti dan menggali apa motif pemotongan alat kelamin ini jika terbukti untuk pembelaan diri maka NN tidak bisa dipidanakan. Untuk perkosaannya didorong supaya cepat bisa dinaikkan proses hukumnya. Apa saja hambatan yang diterima perempuan ketika menghadapi kasus tersebut? Stigma negatif yang biasanya diterima oleh perempuan seperti dianggap sebagai perempuan tidak benar. Aparat Penegak Hukum (APH) masih kurang memiliki perspektif korban atau perspektif gender terhadap perempuan korban kekerasan sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan yang justru menyudutkan korban dan kesimpulan sepihak dari aparat penegak hukum seperti menganggap jika korban sudah dewasa menjadi pasti bahwa hubungan seksual di dasari mau sama mau sehingga seolaholah perkosaan bagi orang dewasa tidak mungkin terjadi. Sikap semacam ini memojokkan korban yang terkadang berdampak pada ketidakinginan korban untuk melaporkan atau melanjutkan kekerasan yang terjadi pada dirinya. Apa saja hambatan yang diterima perempuan pembela HAM dalam mengadvokasi perempuan yang sedang menghadapi kasus ini? Ketidakmengertian korban bahwa hal yang dialami (tindak perkosaan) merupakan tindak pidana yang
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 5
Bagaimana keluarga dan masyarakat seharusnya bersikap ketika menghadapi kasus ini?
harus dilaporkan bukan sebagai aib yang harus disembunyikan dan ditutupi. Sikap APH yang masih kurang memiliki empati dan keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan sehingga analisa dan kesimpulan yang dibuat justru merugikan dan memojokkan perempuan korban kekerasan.
Dukungan keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan korban terutama bagi korban yang kemudian menjadi pelaku. Dukungan agar korban bisa kuat dalam menjalani proses hukum.*) n
AKTIVITAS Kampanye Simponi Sister In Danger di Sebelas Kota
Dok. Komnas Perempuan
Kerjasama Komnas Perempuan dan Simponi dalam Roadshow Sister in Danger.
S
ejak 31 Mei 2013, Simponi telah selesai mengadakan roadshow bertajuk Sister In Danger (SID) di 11 kota, yaitu Bali, Jember, Malang, Surabaya, Solo, Klaten, Yogyakarta, Semarang, Batang, Cirebon serta Bandung. Kegiatan yang telah dimulai sejak tanggal 29 April 2013 ini dilakukan dengan mengunjungi sekolah dan kampus dengan menyanyi sembari diskusi musikal. Simponi adalah “Sindikat Musik Penghuni Bumi”, band indie terdiri dari 2 vokalis, 3 pemain musik serta 2 crew. Dalam setiap penampilannya grup ini sering membawakan tema-tema sosial yang berkembang
6
| Berita Komnas Perempuan
di keseharian kita. Khusus untuk roadshow Sister In Danger, mereka juga memainkan lagu-lagu dengan tema Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan Kekerasan Seksual (KS). Saat berlangsungya roadshow, Simponi tidak sendiri mereka ditemani kawan-kawan dari lembaga pengadalayanan di setiap kota yang disinggahi. Komnas Perempuan ikut menemani kegiatan Simponi, seperti Desti Murdijana yang turut menemani diskusi di Solo, Klaten dan Yogyakarta. Andy Yentriyani menemani di Solo. Biasanya, di awal diskusi musikal, Simponi memaparkan fakta- fakta tentang KtP yang kerap terjadi dengan data dari Komnas Perempuan dan KPAI. Selanjutnya, Simponi menyanyikan lagu-lagunya, baik itu karya mereka sendiri maupun karya musisi lain namun temanya masih dekat dengan KtP dan KS. Setiap sekolah menghadirkan siswa mencapai 100 orang bahkan lebih. Para siswa sangat antusias mendengarkan fakta-fakta yang disampaikan. Tidak hanya siswa yang melontarkan pertanyaan, guru pun tak mau kalah dalam melemparkan pertanyaan saat diskusi. Misalnya saja di SMK Kanisius Solo, seorang guru memunculkan pertanyaan tentang murid yang hamil, dan bagaimana sebaiknya sekolah menyikapinya. Diskusi seperti ini mengingatkan pentingnya memastikan pemenuhan hak anak untuk pendidikan, tanpa kecuali. Kerjasama Komnas Perempuan dengan Simponi tidak berhenti hanya di 11 kota, akan ada roadshow di luar Pulau Jawa. n (Theresia Yuliwati, Divisi Partisipasi Masyarakat)
EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
INFO HUKUM Mendorong RKUHP yang Melindungi Perempuan Korban Oleh Emma Mukarramah Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan
P
enyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan ikhtiar Pemerintah mewujudkan upaya dekolonialisasi hukum. Merespon rencana perubahan atas KUHP ini, tidaklah salah apabila RKUHP menjadi tumpuan untuk menghadirkan substansi hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi perempuan korban kekerasan, utamanya kekerasan yang menyasar secara khusus pada perempuan. Sayangnya, naskah RKUHP yang saat ini tersedia justru masih melanggengkan sejumlah persoalan yang menjadi kritik atas KUHP yang hendak diubah itu. Membaca RKUHP tidak akan menghapuskan kesan ternyata apa yang diwariskan oleh KUHP berabad-abad lamanya, masih tetap dipertahankan. Sehingga kritik atas KUHP juga menjadi catatan dalam mengkritisi RKUHP.
tentang Perkosaan. Ancaman pidana maksimalnya juga harus dinaikkan dari semula 12 tahun menjadi 15 tahun penjara. Harmonisasi RKUHP dengan UU Perlindungan Anak juga harus dilakukan terkait batasan usia anak dari 14 (empat belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun.
Masukan Terhadap RKUHP
Menuju Perubahan
RKUHP, seperti juga KUHP meletakkan perkosaan dan pencabulan dalam Bab Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Artinya, cara pandang RKUHP masih mendudukkan tindak pidana perkosaan dan pencabulan sebagai perbuatan yang mengganggu rasa kesusilaan masyarakat dibandingkan sebagai gangguan terhadap integritas tubuh, serangan pada diri dan jiwa seseorang. Padahal tindak pidana ini berdampak sangat serius kepada korban secara fisik, psikis, maupun seksual. Sudah seharusnya kedua tindak pidana ini dipindahkan ke bab lain yang mengatur tentang tindak pidana yang mengganggu integritas tubuh.
Kemajuan dalam RKUHP adalah perluasan bentuk-bentuk perkosaan yang sebelumnya tidak dikenal oleh KUHP. Menurut RKUHP, pemaksaan oral dan anal seks termasuk perkosaan. Kemajuan ini perlu diperkuat agar RKUHP juga memidanakan perbuatan pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan bagian tubuh lain disamping alat kelamin atau benda ke dalam alat kelamin dan anus.
Selain itu, penggabungan “persetubuhan” dengan “perbuatan cabul” sebagai satu perbuatan tindak pidana juga berpotensi mengaburkan batasan antara persetubuhan yang merupakan perkosaan dengan perbuatan cabul itu sendiri. Ketika perkosaan direduksi menjadi perbuatan cabul, maka ancaman pidananya menjadi lebih rendah. Sebagai koreksi atas KUHP, RKUHP harus menegaskan persetubuhan dengan paksaan perkosaan, bukan mempertahankannya digabungkan dengan perbuatan cabul. Melalui peletakan pidana persetubuhan dengan anakanak pada Paragraf tentang Zina dan Perbuatan Cabul, RKUHP juga masih mengkategorikan tindak pidana ini sebagai perbuatan zina. Ancaman pidananya juga lebih rendah dari ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ini tentu saja tidak tepat karena persetubuhan dengan anak-anak harus dinyatakan sebagai perkosaan, termasuk yang dilakukan atas nama perkawinan. pasal itu harus dipindahkan ke Paragraf
Selain itu, RKUHP masih mengecualikan perkawinan paksa melalui modus melarikan perempuan, bukan sebagai tindak pidana, jika perkawinan tersebut dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pelaku akan dipidana, maka Pasal 573 ayat (4) RKUHP1 mensyaratkan perkawinan itu terlebih dahulu harus dinyatakan batal. Pengecualian itu seolah memberi jalan bagi pelaku perkawinan tersebut dapat terlepas dari tindak pidana yang telah dilakukannya. Untuk memutus rantai impunitas, ayat ini seharusnya dihapuskan.
Selain itu, RKUHP menyerap berbagai UU lex specialist, tak terkecuali UU PKDRT. Misalnya dari empat bentuk kekerasan dalam UU PKDRT, tiga di antaranya kini termaktub dalam RKUHP, yaitu kekerasan fisik, psikis dan seksual. Walaupun hal ini selanjutnya meninggalkan pertanyaan: mengapa RKUHP tidak mengintegrasikan pula penelantaran ekonomi? Belum lagi muncul pertanyaan lainnya: sejauh mana RKUHP relevan mengadopsi berbagai ketentuan pidana dari UU lex specialist? Bukankah RKUHP seharusnya hanya mengatur tindak pidana umum? Catatan di atas hanyalah sebagian kecil respon terhadap RKUHP yang dapat dituangkan di sini. Tentu diperlukan upaya bersama agar perubahan substansi hukum melalui RKUHP dapat memampukan negara untuk memenuhi tanggung jawabnya mewujudkan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan.*) n 1 Pasal 573 ayat (4) bunyi: Jika yang membawa lari mengawini perempuan yang dibawa pergi dan perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan tentang perkawinan, maka pembuat tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana sebelum perkawinan tersebut dinyatakan batal.
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 7
PANTAU Perjuangan Tiada Henti Meniti Keadilan (Catatan Dua Tahunan: Menjelujur Pengalaman Kekerasan Perempuan di Aceh) Oleh Virlian Nurkristi Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional
M
enjelujur Pengalaman Kekerasan Perempuan di Aceh adalah judul dari laporan dua tahunan yang telah dibuat oleh Jaringan Pemantauan Aceh (JPA) 231 bekerjasama dengan Komnas Perempuan. JPA 231 adalah sebuah jaringan pemantauan yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan bersama-sama dengan berbagai organisasi perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang ada di Aceh. Penamaan JPA 231 ini terinspirasi dari Pasal 231 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Tujuan pembentukan jaringan pemantauan ini memiliki kesamaan dengan isi Pasal 231 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat. Kekerasan dalam Rumah Tangga Dua tahun terakhir (2011-2012), JPA 231 mencatat perempuan Aceh menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik di dalam rumah, di ranah publik, dalam relasi privatnya termasuk kekerasan yang terjadi secara langsung dan tak langsung oleh negara. JPA 231 mencatat setidaknya terjadi 561 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam Rumah Tangga yang paling dominan (413 kasus atau 74%), selebihnya adalah kekerasan di komunitas (148 kasus atau 26%). Tercatat pula setidaknya 319 perempuan korban kekerasan seksual pada masa konflik bersenjata yang hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Pada tahun 2011 terdapat 189 kasus KDRT dan 74 kasus kekerasan di komunitas, sementara pada tahun 2012 tercatat ada 224 kasus KDRT dan 74 kasus kekerasan di komunitas. Sebanyak 98 dari 413 kasus KDRT adalah kekerasan seksual. Perkosaan oleh anggota keluarga yang masih memiliki hubungan darah (incest) juga tercatat sebanyak 27 kasus. Hal ini perlu mendapat perhatian serius terutama kompleksitas dampak traumatik yang dihadapi oleh korban dan keluarga.
8
| Berita Komnas Perempuan
Praktek Intoleransi Berbasis Agama Persoalan lain yang juga dialami oleh perempuan Aceh adalah terkait dengan pemberlakuan Syariat Islam. JPA 231 mencatat selama tahun 2011-2012, terdapat 96 kasus kekerasan yang terjadi dalam konteks penerapan Syariat Islam, khususnya penerapan Qanun Pelaksanaan Syariat Islam dan Qanun tentang larangan Khalwat (Mesum). Sebanyak 96 kasus yang terjadi, 83 diantaranya dialami oleh perempuan. Tercatat ada 234 perempuan usia 14-55 tahun yang mengalami kekerasan dengan adanya razia-razia jilbab dan penerapan Qanun Khalwat. Kekerasan yang dialami dalam penerapan Qanun Khalwat berupa intimidasi, pemukulan, pengarakan, pelecehan seksual, direndam dan dimandikan dengan air parit sampai dinikahkan paksa. Kekerasan terhadap perempuan yang dialami dengan cara dimandikan/ disiram pakai air parit ternyata cukup tinggi (dialami oleh 35 perempuan) selanjutnya kekerasan lainnya yang juga cukup tinggi adalah dipukul (dialami oleh 25 perempuan). Tindakan memandikan dengan air parit ini khas terjadi dalam penegakan Qanun Khalwat, dan biasanya akan diikuti dengan tindakan ‘memaksa’ pihak perempuan menikah dengan laki-laki teman Khalwatnya. Praktek intoleransi berbasis agama meningkat bahkan melibatkan aparatur pemerintah, baik secara langsung maupun melalui pembiaran. Hasil pemantauan media yang dilakukan oleh JPA 231, dari 3 kasus pada tahun 2011, meningkat menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Terkait dengan wilayah terjadinya kasus-kasus di atas maka jumlah terbesar terdapat di Bireun (4 kasus), di Aceh Barat (2 kasus), di Aceh Besar (2 kasus), di Singkil (1 kasus) dan di Banda Aceh (3 kasus). Kasus intoleransi yang terjadi selalu dikaitkan dengan dugaan masyarakat atas adanya aliran sesat, dukun santet, izin pendirian rumah ibadah umat non muslim sampai pemurtadan atau pendangkalan aqidah. Tahun 2012, bentuk kekerasan yang terjadi semakin beragam, mulai dari intimidasi (1 kasus), penyerangan (1 kasus), penghentian aktivitas dan penutupan kantor (2 kasus), penyegelan/penutupan rumah ibadah (3 kasus), hingga penganiayaan dan pembakaran (3 kasus). Seluruh kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, merupakan pengadilan massa yang dilakukan tanpa proses investigasi dan
EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
peradilan secara resmi oleh pihak yang berwenang. Untuk kasus pendirian rumah ibadah, diakui oleh jemaah, bahwa persyaratan seperti yang tertulis di dalam Peraturan Gubernur Aceh No. 25 tahun 2007, sangat memberatkan dan sulit untuk dipenuhi oleh kelompok non muslim yang merupakan minoritas di masyarakat Aceh, yang hanya terdiri dari 1,18% Protestan, 0.87 %, Katolik, dan umat Budha sebanyak 0.15 %.1
Catatan Tahunan yang pertama ini menyimpulkan bahwa penanganan dan advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan pendokumentasian atau pendataan yang sistematis dan berkelanjutan untuk menemukan bentuk intervensi yang diperlukan dalam mengadvokasi pemenuhan hak-hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.*) n
1 Sumber: Data BPS Aceh Tahun 2011
AKTIVITAS Kunjungan Citizens’ Alliance for North Korean Human Rights ke Komnas Perempuan
K
omnas Perempuan menerima kunjungan dua orang perempuan korban kekerasan seksual dalam konflik Korea Utara dan Korea Selatan (22/05/2013). Kehadiran korban yang didampingi oleh Citizens’ Alliance for North Korean Human Rights (NKHR) disambut oleh Komisioner Andy Yentriyani.
terkecuali (perempuan, anak dan laki-laki) memindahkan batu bara untuk pembangkit listrik tanpa istirahat yang cukup, bahkan dipukuli jika tidak melakukan pekerjaan dengan benar.
Orang-orang yang ditahan di Gwalliso tidak pernah tahu mengapa mereka dipenjarakan bahkan jika mereka mempertanyakan akan mendapat hukuman mati. Sehari-harinya para tahanan tanpa
Dok. Komnas Perempuan
NKHR merupakan lembaga non-pemerintah yang didirikan aktivis HAM dan sejumlah Korban membentangkan peta Kamp Gwalliso. akademisi pada bulan Mei 1996 untuk memperjuangkan isu-isu HAM di Korea Utara. Kedua korban yang hadir dalam kunjungan ini merupakan korban yang melarikan diri dari Kamp Tahanan Politik (Gwalliso) No.18 Pyongyang Selatan, Korea Utara. Gwalliso merupakan sebuah pertambangan, lokasinya dibelah oleh Sungai Taedong. Salah satu ibu bercerita selama di kamp tersebut ada sekitar 20.000 orang yang tinggal dan diperkirakan 3.000 diantaranya adalah para penjaga kamp beserta keluarganya.
Di kamp tersebut banyak perempuan mengalami kekerasan seksual seperti diperkosa oleh penjaga kamp. Salah seorang ibu (Hye Sook) menjalani penderitaan penuh luka hingga 28 tahun lamanya. Dia berhasil melarikan diri dari Pyongyang melalui China, Laos dan Thailand sampai akhirnya ke Korea Selatan pada 2009. Dalam kunjungan ini mereka membawa peta Kamp Gwalliso berukuran besar yang digambar sendiri oleh para korban. NKHR menilai Komnas Perempuan mempunyai posisi yang cukup strategis di tingkat Internasional sehingga dapat memberi dukungan bagi korban dalam melakukan advokasi terkait dengan pelanggaran HAM di Korea Utara. n (Theresia Yuliwati, Divisi Partisipasi Masyarakat)
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 9
PROFIL Shuaib Chalken, Pelapor Khusus PBB untuk Disabilitas:
Oleh Siti Maesaroh Divisi Partisipasi Masyarakat
M
intalah para penyandang disabilitas bercerita keseharian mereka, katakanlah ketika mereka melakukan perjalanan, diskriminasi dan tidak adanya penghormatan, bisa jadi kesimpulan. Tak terkecuali bagi Shuaib Chalken, Special Rapporteur on Disability of the Commission for Social Development atau Pelapor Khusus PBB untuk Disabilitas.
Dalam tiga tahun terakhir, saat Shuaib Chalken menjalankan tugasnya sebagai Pelapor Khusus (PK), setidaknya terjadi tiga insiden yang ia alami. Tahun 2011, karena ia tidak ditemani pendamping, Chalken ditolak naik ke pesawat Swiss Airlines, semestinya pesawat tersebut menerbangkannya dari London ke Geneva. Kemudian 2012, terjadi insiden ketika ia menumpang pesawat IndiGo Airlines dari Mumbai menuju New Delhi. Ia diangkat dan dipindahkan ke kursi roda milik maskapai yang tak layak karena kursi roda miliknya tidak bisa melewati pintu pemeriksaan keamanan. Shuaib Chalken ditempatkan di kursi yang sebenarnya telah dipesan oleh penumpang lainnya, ia dikomplain pemilik kursi tersebut. Tahun 2013 ini, ia kembali mengalami perjalanan tidak aksesibel di Indonesia. Ketika ia terbang dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan pesawat Garuda, tidak adanya kursi roda kabin membuatnya digendong ke toilet. Bahkan pada perjalanan kembali ke Jakarta, kursi roda miliknya rusak. Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Kehadiran pria berkebangsaan Afrika Selatan ini, ke Indonesia secara informal dalam kapasitasnya sebagai ahli untuk bertemu dan berbagi pengalaman dengan DPO (Disabled People Organizations/ Organisasi para penyandang disabilitas) di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia menghadiri Lokakarya Nasional Para Pemangku Kepentingan dalam Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia, tepatnya tanggal 1112 Juli 2013 di Jakarta. Chalken ingin melihat perkembangan penerapan konvensi hak penyandang disabilitas (Convention on the Rights of People with Disabilities/ UNCRPD) yang sudah diratifikasi Indonesia pada 18 Oktober 2011.
10
| Berita Komnas Perempuan
Menurut Chalken, Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah dalam implementasi CRPD. ”Indonesia harus lebih baik lagi untuk meningkatkan kinerjanya dalam penanganan isu disabilitas, dan (hal ini) berdasarkan kenyataan bahwa keterlibatan yang diberikan pemerintah dalam implementasi CRPD tidak cukup dan punya kontribusi yang sedikit,” katanya. Menurutnya, salah satu alasan karena tidak cukupnya informasi, seperti data statistik tidak dipilah-pilah berdasarkan gender, anak, lingkungan dan lainnya. “CRPD tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada data, dan saya sudah sampaikan ke pemerintah Indonesia mengenai hal ini,” tambahnya. Kepada DPO di Indonesia, Chalken menekankan pentingnya DPO tidak melakukan layanan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. “Memang mudah untuk kita memberikan layanan disabilitas, tetapi jika DPO tetap melakukan layanan maka advokasi akan berhenti, dan terjadi kebingungan peran antara pemerintah dan DPO. Pemerintah menjadi tidak paham apa yang seharusnya dilakukan,”pesannya. Chalken menyerukan agar DPO bersatu, bekerja dan membahas tujuan bersama. Kehadirannya di lokakarya yang diselenggarakan Komnas Perempuan, Aus Aid, Badan PBB & Konas Difabel, Juli lalu, juga untuk mendorong diskusi kelompok DPO untuk rencana aksi 10 tahun ke depan dalam rangka implementasi CRPD. Chalken tidak menyandang disabilitas sejak lahir. Ia menjadi difabel sejak tahun 1976, mulai menggunakan kursi roda, dan baru mengikuti gerakan disabilitas sejak tahun 1990 ketika berjumpa dengan kelompok DPO di Cape Town. Sejak itu, ia terus menempati posisi strategis dalam upayanya memperjuangkan isu dan hak penyandang disabilitas. Diantaranya, Director of the Office on the Status of Disabled Persons in the Presidency of South Africa (1996-2001); Chief Executive Officer of the Secretariat for the African Decade of Disabled Persons (2003-2006); dan Senior Policy Analyst in the Presidency of South Africa (2006-2007). Tahun 2009, Ia menjadi Pelapor Khusus Disabilitas untuk Komisi Pembangunan Sosial, hingga saat ini. Sesuai mandatnya, Shuaib Chalken akan memantau implementasi Peraturan Standar bagi Kesempatan yang Setara untuk Penyandang Disabilitas, adopsi dari Sidang Umum PBB tahun 1993, dan untuk meningkatkan derajat penyandang disabilitas di seluruh dunia.*) n
EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
www.ijudportalen.se
Kesempatan yang Setara bagi Penyandang Disabilitas
RESENSI Mendekatkan Akses Keadilan bagi Perempuan Korban Aparat Penegak Hukum Oleh Asma’ul Khusnaeny Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan
B
ercermin dari pemantauan Komnas Perempuan terhadap situasi kondisi pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan yang masih minim, maka sesuai mandatnya Komnas Perempuan berupaya mendorong perubahan melalui berbagai rancangan peraturan perundang-undangan. Tahun 2010-2012, Komnas Perempuan melalui Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan telah menyusun beberapa kertas posisi antara lain terhadap Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP), Rancangan Undang Undang Bantuan Hukum, Rancangan Undang Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS), perubahan atas Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Sulitnya perempuan mengakses keadilan baik melalui mekanisme formal dan non formal menjadi dasar Komnas Perempuan bersama mitra, baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil, serta lembaga pengadalayanan untuk terus melakukan upaya perubahan kerja maupun bangunan pengetahuan dan pemahaman yang kondusif bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Usulan muatan materi perubahan terhadap R-KUHAP mencakup perluasan korban, di mana korban, termasuk dan tidak terbatas perempuan, anak, dan golongan rentan lainnya adalah seorang yang mengalami penderitaan fisik, psikis, seksual, kerugian nama baik dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Restitusi sebagai ganti kerugian baik materiil maupun immaterial dibayarkan dari pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau ahli warisnya perlu diwujudkan. Pemenuhan hakhak korban seperti memperoleh bantuan hukum menjadi kewajiban aparat penegak hukum untuk disampaikan kepada korban dan saksi dalam setiap proses hukum. Kebutuhan perluasan alat bukti terhadap suatu tindak pidana kekerasan seksual menjadi prioritas. Sementara dalam proses pendampingan korban, peran paralegal menjadi penting agar masuk ke dalam RUU Bantuan Hukum. Mengingat jumlah advokat yang mendampingi korban di pelosok daerah sangat terbatas. Sementara mekanisme pemberian bantuan hukum kepada saksi dan korban perlu diatur dengan lebih jelas agar tidak hanya mengulang persoalan yang sama akibat karena masih mengakarnya perspektif bantuan hukum yang hanya ditujukan kepada tersangka.
Judul Buku: Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban: Himpunan Kertas Posisi atas Berbagai Kebijakan Tahun 2010-2012 Penerbit : Komnas Perempuan Tahun : 2013 Hal : 233
Pengalaman perempuan korban kekerasan di wilayah konflik pun belum menjadi basis pertimbangan dalam bingkai RUU Penanganan Konflik Sosial. Konflik sosial tercermin tidak diselesaikan dengan cara-cara yang mengedepankan perspektif korban dan berbasiskan pada pemenuhan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan. Keterlibatan pranata adat dalam penyelesaian konflik sosial sebaiknya dilandasi dengan cara pandang HAM dan Gender serta melibatkan perempuan. Pemantauan Komnas Perempuan di wilayah konflik menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidaklah tepat terlibat di dalam penanganan konflik sosial karena kewenangannya adalah menjaga keamanan wilayah Republik Indonesia dari serangan negara lain (asing). Sementara fakta mencatat bahwa oknum TNI menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik. Keterwakilan 30% perempuan dalam tahap pencalonan dan penempatan harus diterapkan di setiap daerah pemilihan, baik daerah pemilihan DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRS Kabupaten/ Kota. Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan selayaknya diberi sanksi tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. Ini menjadi jalan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, berkualitas dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan juga masih menyisakan persoalan perempuan belum diakui dan belum terlindungi hak-haknya untuk memperoleh akses pelayanan, pendidikan, pemberdayaan, dalam pengelolaan pangan serta perlindungan hukum dari negara. Komnas Perempuan memberikan sejumlah usulan pada rumusan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) yang diharapkan dapat menjadi payung kebijakan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender. Usulan ini dimaksudkan untuk memastikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender dapat terkandung di berbagai ranah kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, perkawinan dan keluarga, politik dan hukum.*) n
www.komnasperempuan.or.id 2013 EDISI 11 Berita Komnas Perempuan
| 11
Pundi Perempuan Jadilah Sahabat Pundi Perempuan
Pundi Perempuan adalah wadah dana solidaritas dari publik untuk perempuan korban kekerasan. Dana diperuntukkan bagi pendampingan korban dan rumah aman, dukungan pemulihan perempuan korban dan keluarganya, dan dukungan akses untuk kesehatan perempuan pembela HAM. Sejak tahun 2003, Pundi Perempuan telah menyalurkan dukungan bagi 43 lembaga pengada layanan, 3 organisasi komunitas perempuan korban dan keluarganya, dan 1 perempuan pembela HAM. Jadilah Sahabat Pundi Perempuan dan mendukung dengan cara: 1. Berpartisipasi dalam kegiatan publik Pundi Perempuan 2. Membeli alat kampanye Pundi Perempuan berupa, payung, kaos atau mug 3. Menyumbang secara tunai melalui kegiatan publik Pundi Perempuan atau dengan mentransfer ke rekening Pundi Perempuan atas nama Yayasan Sosial Indonesia Untuk Kemanusiaan: a. Bank Niaga Cabang Jatinegara – Jakarta Timur No. Rek: 025-01-00098-00-3 A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan b. Bank. BCA Cab. Matraman No. Rek. 3423059008, A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan c. Bank Mandiri Cab. Salemba Raya No. Rek. 1230005290004, A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan
al Rapporteur), seperti Pelapor Khusus (Speci kelompok kerja, adalah dan juga ahli independen n hak asasi manusia ua nta ma mekanisme pe Khusus” Dewan Hak r dalam lingkup “Prosedu Bangsa-Bangsa. Ada atan Asasi Manusia Perserik kus usus, yaitu yang berfo Kh or lap Pe cam ma dua ra. ga /ne ah pada wilay pada tema dan yang da a Perancis merujuk pa kat h ala ad ” eur ort “Rapp s usu Kh or ndat pelap seorang penyidik. Ma h untuk “memeriksa, ala ad um um ara sec PBB an dan melaporkan” memantau, menyarank di perhatiannya, nja masalah HAM yang me uhan individu, kel pi ga ng na termasuk me tang mberikan nasihat ten me , ian kaj an uk lak me at lib ter n da ra, gkat nega kerjasama teknis di tin sadur (Di M. HA um um si dalam kegiatan promo dari berbagai sumber)
de yang alah meto gatan d a i s a in m wat efor Napak R gkan untuk mera uhan Mei 1998 s n a ru b e K m e dik dari titik stiwa isahkan ada peri publik p men tidak terp . Metode ini ele ia Indones mengunjungi sebagai rmasi di n fo tolak re meliputi kegiata di jembatan a nja e m m ta t a ru te . Napak ng dap a y s Mei 1998 karta dan u i it d e g ra T situs-s a Ja agas di peristiw ingatan pertamakali dig psi di beberapa i s o a d ia Reform de ini telah d n persoala n to s e u k m fo i, n in a k a g u n d e n d a nya ari P kota lain gam. (Diambil d Komnas , si a rm ra yang be pkan Napak Refo ia Mempers n) a u p m re e P
oses i merupakan pr Memorialisas ik/ fis si ta represen pembangunan peringatan an at gi ke m ga ra bangunan atau an tk pa m te lu dan di sejarah masa la unan ng Ba ik. bl pu h ya di wilayah- wila an dirancang untuk at atau ragam kegi si khusus atau ak re an ak ar yu men onal aksi, refleksi pers sekumpulan re ran/ ja la be m pe au atau dukacita, at ang sejarah masa lalu. tent keingintahuan langgaran HAM masa pe s ek nt ko m la Da untuk juga asi dimaksudkan lalu, memorialis hormatan pada korban ng menyatakan pe serupa tidak berulang a tiw ris pe dan agar dirangkum tang. (Rumusan cy: State da en m a as m di ra oc m De d ation an dari Memorializ ) 07 20 n tio Ac Police and Civic
Melalui Putu san Judicial Review atas tentang Adm UU in 2013, Mahka istrasi Kependudukan yang Nomor 23 Tahun 2006 mah Konstitus i menyatakan dibacakan pada 30 April dalam Pasal 32 ba menimbulkan ayat (1) UU Adminduk inko hwa frasa “Persetujuan” ke tid ak pa stian hukum nstitusional karena dapa proses penerb t dan ketidak itan akta kela adilan dalam hi di Instansi Pe laksana. Kare ran karena persetujuan be na rs bahwa penc atatan kelahi itu, Mahkamah Konstitus ifat internal i menetapkan ran yang te dimaksud Pa rla sal m Kepala Instan 32 ayat (1) harus dilakuka bat dilaporkan seperti si n frasa “sampai Pelaksana. Mahkamah Ko melalui keputusan dari de ns keadilan kare ngan 1 (satu) tahun” bert titusi juga menyatakan na keterlamba en tan melaporka tangan dengan prinsip tahun yang harus dengan n masyarakat penetapan pe kelahiran melebihi satu mengingat ngadilan m proses di pe yang mudah ngadilan bu emberatkan bagi masyara kanlah terhambatnya kat, sehingga dapat menga proses kepastian hu hak-hak konstitusional kibatkan kum. warga nega ra terhadap
• Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) • Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKA)
Jl. Kemandoran Raya I, No. 97 Jakarta Selatan 12210 Telp. +62 21 5483918,96649224 Fax. +62 21 5483918 Email:
[email protected], Twitter: sahabatysik website: www.ysik.org Sahabat Ysik
| Berita Komnas Perempuan
Incest adalah aktiv itas sesama anggota ke seksual antar lua yang masih memilik rga, atau mereka i sa pertalian darah. Pada tu hubungan banyak kasus, aktivitas seksual ter sebut dilakukan da lam dominasi relasi kuas a, m kepada anak, saudara isalnya oleh ayah tua ke yang lebih muda, dan paman ke keponakan. (Diam bil dari beberapa sumb er)
TEROBOSAN KEBIJAKAN
Informasi lebih lanjut silakan hubungi:
12
GLOSARIUM
EDISI 11 2013 www.komnasperempuan.or.id
2 -X/201 4/PUU w 6 r o m ie usi No ial Rev Konstit onan Judic rbankan n a m e h a o k an gP n Mah rempu n perm entan Putusa engabulka hun 1992 t um bagi pe ayakan a yang m Nomor 7 T dungan huk ng mengup belumnya, U a atas U atkan perlin n yang sed ngadilan. Se istri a u e g in p n i ihak w e a lu m perk mela erbankan, p g/kekayaan a m y la n a n nin np di d perdataa si reke dapat hasiaa hak ke rinsip kera ses informa san ini, istri p k u akibat apat menga engan put epentingan termasuk k , D tidak d ya di bank. si itu untuk pengadilan ta gono r i a in a d h m m a r t a n a fo su es in rkara perd pembagia s k a g pe men atan riksaan n gug peme kepentinga untuk gini.