P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
POLITIK DAN DINAMIKA PENGEMBANGAN PARIWISATA DI TANAH I LA GALIGO (SAWERIGADING) Oleh: ILHAM JUNAID Politeknik Pariwisata Makassar, Jl. Gunung Rinjani, Tanjung Bunga, Makassar Email:
[email protected] HAMSU HANAFI Politeknik Pariwisata Makassar, Jl. Gunung Rinjani, Tanjung Bunga, Makassar Email:
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan dinamika pengembangan pariwisata daerah sebagai akibat dari faktor politik yang terjadi di sektor pemerintahan. Dari kondisi faktual ini, langkah atau upaya strategis direkomendasikan untuk mengantisipasi persoalan pengembangan pariwisata daerah. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan atau metodologi kualitatif yang terjadi di dua kabupaten, Luwu Utara dan Luwu Timur dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) ke staf Dinas Pariwisata dan observasi partisipatif (participant observation) yang dilaksanakan pada bulan September 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah (bupati) sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program pengembangan pariwisata daerah. Kekuasaan (power) pada level pimpinan nampaknya turut memberi andil terhadap kemajuan dan kemunduran pariwisata daerah. Komitmen menjadi salah satu penentu kesuksesan pariwisata daera. Karena itu, tulisan ini merekomendasikan agar institusi pendidikan tinggi pariwisata dan Dinas Pariwisata daerah menjalin kerjasama dan kemitraan khususnya dalam meningkatkan sumber daya manusia pengelola aset pariwisata daerah. Kemitraan ini diharapkan dapat menjadi jembatan terhadap penyelesaian persoalan atau isu politik yang muncul di daerah.
Kata kunci: Politik, Luwu Timur dan Luwu Utara, kemitraan, Abstract This research aims at investigating how politics affect the conduct of tourism development in two regencies, North Luwu and East Luwu as well as proposing strategies to overcome issues of politics that may arise in the areas. A qualitative approach has guided the researchers in understanding the issues by interviewing staff at the regional board of tourism and doing participant observation. The research reveals that the local government policy on tourism development affects the way tourism activities are organized by the local board of tourism. Power seems to affect the success of tourism development, and thus, commitment or concern for tourism development by the local government is required. The research recommends that partnership or cooperation between the local board of tourism with the higher tourism educational institution is essential to overcome the challenges of tourism development. Partnership can provide the opportunity for staff to improve their competencies. Hence, whatever political issues occur in the local area, tourism development as targeted by the staff can be achieved by qualified human resources.
Keywords: Politics, North Luwu and East Luwu, partnership Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 39
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
PENDAHULUAN Daerah-daerah di Indonesia mengharapkan mampu mendatangkan wisatawan ke destinasi wisata sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakatnya. Mayoritas pemerintah daerah di Indonesia menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor yang penting untuk mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakatnya. Provinsi Sulawesi Selatan misalnya, termasuk wilayah yang memanfaatkan pariwisata sebagai bagian penting dalam agenda pembangunan. Hal ini juga diikuti oleh pemerintah kabupaten dan kota di wilayah Sulawesi Selatan dengan mengagendakan pariwisata sebagai sektor pengembangan daerah. Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur secara khusus, juga menyadari bahwa aset pariwisata harus dikelola secara optimal untuk kepentingan pembangunan daerah dan masyarakat. Namun, seiring dengan keinginan dan harapan pemerintah daerah (kabupaten dan kota) dalam mengembangkan pariwisata, terdapat hambatan, kendala ataupun tantangan yang nampaknya dihadapi oleh masyarakat, penggiat dan praktisi pariwisata serta pemerintah daerah sebagai pelaksana di tingkat daerah. Meskipun pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah menyadari bahwa pariwisata memberikan dampak positif dan negatif terhadap daerah, mereka meyakini bahwa daerah harus siap menerapkan strategi dalam mendorong optimalisasi dampak
ISSN 1979 - 7168
positif dan meminimalkan dampak negatif. Dengan tantangan dan kendala pengembangan pariwisata tersebut, maka daerah diharapkan memikirkan dan mengusahakan pendekatan yang tepat agar tujuan pengembangan pariwisata daerah tercapai. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan dinamika pengembangan pariwisatanya, berbagai isu yang berhubungan dengan sosial, budaya maupun politik muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pariwisata. Menurut Burns (2004), fenomena sosial budaya dan politik di suatu destinasi memiliki andil dalam pengelolaan aset dan sumber-sumber pariwisata. Karena itu, isu-isu tersebut perlu diperhatikan agar pengelola destinasi wisata di daerah dapat menemukenali dan mengidentifikasi bagaimana persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi atau diselesaikan. Sebagai aktifitas global, pariwisata juga terkait dengan aspek kebijakan dan perencanaan yang dijalankan oleh pemerintah suatu daerah. Ketika kebijakan dan perencanaan (berkaitan dengan politik) menjadi penentu keberhasilan pariwisata suatu daerah, maka unsur politik menjadi hal yang menarik untuk dikaji dan membutuhkan eksplanasi tentang bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber pariwisata. Namun kenyataannya, kajian mengenai pemerintah sebagai penentu keberhasilan pariwisata khususnya yang berkaitan dengan kebijakan (politik) masih sangat terbatas. Studi
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 40
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
pariwisata dalam konteks kebijakan pemerintah daerah sebagai pendorong keberhasilan pariwisata khususnya di kawasan Timur Indonesia masih membutuhkan penjabaran secara menyeluruh. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah 1) untuk melihat bagaimana keterkaitan antara aspek politik yang terjadi di daerah (pemerintahan) dengan pengembangan pariwisata daerah; 2) untuk mengusulkan atau merekomendasikan langkah-langkah atau upaya strategis dalam mengantisipasi persoalan yang mungkin muncul dari persoalan politik tersebut. KAJIAN TEORETIS Pariwisata dan Pengembangan Masyarakat Pariwisata diakui sebagai salah satu alat untuk mempromosikan pengembangan. Pengembangan dapat dipahami sebagai konsep yang multidimensi (holistic) karena pengembangan tidak hanya berkaitan dengan pariwisata, tetapi banyak (multi) sektor yang saling terkait. Negara-negara maju telah mendorong industri pariwisata sebagai strategi memperkuat pariwisata yang kemudian diikuti oleh kecenderungan negara-negara berkembang untuk mendukung pariwisata sebagai sektor pendorong pembangunan nasional (Britton, 1982; Giampiccoli, 2007; Morgan, 2005; Nyaupane dan Budruk, 2009). Politik dan Pariwisata: Hubungan yang Tak Terpisahkan Giampiccoli (2007) berpendapat bahwa konsep
ISSN 1979 - 7168
pengembangan harus dikaitkan dengan hubungan kekuasaan (power relations). Hal ini berarti bahwa pengembangan pariwisata suatu destinasi senantiasa takterpisahkan dari faktor politik. Kekuatan suatu kelompok atau individu berpengaruh terhadap bagaimana pariwisata dikelola di suatu daerah. Mayo (1999:35) menggunakan istilah hegemony yang berkaitan bagaimana kebijakan dijalankan. Menurut Mayo (1999:35), hegemoni adalah “a social condition in which all aspects ofsocial reality are dominated by or supportive of a single class”. Hegemoni dipahami sebagai kondisi sosial dimana keseluruhan aspek dari realitas sosial didominasi oleh kelompok tertentu atau kalangan individu. Suatu realitas sosial dimana kekuatan yang dimiliki akan memberikan pengaruh bagaimana suatu kebijakan dibuat dan dijalankan. Politik dan Kemitraan Bidang Pariwisata Kegiatan pariwisata melibatkan banyak industri yang saling terkait misalnya, akomodasi, transportasi, restoran, fasilitas berbelanja, daya tarik wisata, hiburan, infrastruktur hingga aktifitas yang berkaitan dengan atau melibatkan manusia. Mengingat banyaknya industri atau jenis usaha yang terlibat, maka kesuksesan pengembangan pariwisata suatu daerah sangat ditentukan oleh bagaimana kerjasama atau kemitraan yang dibangun diantara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) (Wanhill, 2005). Tujuan dari kemitraan ini adalah untuk memastikan bahwa
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 41
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
harapan wisatawan (tourists’ demand) dapat terpenuhi sehingga kedatangan wisatawan dapat berlanjut dan memberikan dampak terhadap keberlanjutan aktifitas pariwisata di suatu destinasi. Wanhill (2005) berpendapat bahwa untuk menjalankan fungsi kemitraan ini dibutuhkan peran pemerintah sebagai perencana pengembangan pariwisata di suatu destinasi. Ketika pemerintah menjadi aktor utama dalam membuat perencanaan, membuat regulasi dan menjalankan program, maka saat itulah politik menjadi salah satu faktor peran pemerintah tersebut. Karena itu, tulisan ini mengadopsi pendekatan kolaborasi dan atau kemitraan sebagai strategi menjalankan peran pemerintah (Aas, dkk., 2005; Bramwell dan Lane, 2000; Jamal dan Stronza, 2009; Wong, dkk., 2010; Fyall dan Garrod, 2005) khususnya dalam menjawab problematika pengembangan pariwisata daerah khususnya yang menyangkut politik. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, destinasi wisata yang dikenal sebagai lokasi awal terbentuknya cerita atau kisah I Lagaligo dalam perspektif sejarah tulis di Sulawesi Selatan.Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan pada pertimbangan 1) lokasi yang sangat jauh dari kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan tetapi cukup dikenal sebagai wilayah penting pengembangan pariwisata Sulawesi Selatan; 2) kedua daerah ini dapat menjadi representasi kondisi
ISSN 1979 - 7168
faktual kepariwisataan daerah utara Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan kualitatif, strategi yang digunakan untuk mengkaji secara mendalam fenomena pariwisata sebagai konteks sosial. Penelitian kualitatif tepat dalam menelaah kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah khususnya yang menyangkut aspek-aspek politik (Alasuutari, 2010; D’Hauteserre, 2010; Richards dan Munsters, 2010). Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara ke staf Dinas Pariwisata di dua kabupaten tersebut serta melakukan pengamatan partisipatif (participant observation) untuk melihat secara langsung kondisi faktual aktifitas di kantor Dinas Pariwisata di kedua kabupaten tersebut. Empat staf bidang pariwisata Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Pemudadan Pariwisata Kabupaten LuwuTimur dan tiga orang staf Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Luwu Utara sebagai informan kunci (key informant) berpartisipasi dalam wawancara yang dilakukan oleh Tim Peneliti pada bulan September 2016. Selanjutnya, data wawancara dan catatan participant observation tersebut dianalisis dengan berdasarkan prinsip metode kualitatif melalui langkah kategorisasi, coding dan interpretasi (Dey, 1993; Liamputtong, 2009; Sarantakos, 2013).
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 42
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
PEMBAHASAN Sekilas tentang Pariwisata Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur Sejak dimekarkan sebagai dua kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Luwu (sekarang menjadi tiga kabupaten, Kabupaten Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur; dan satu kota administratif, kota Palopo), kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur telah mengidentifikasi potensi alam dan budaya yang dapat dipromosikan sebagai daya tarik wisata. Bagi Luwu Utara (dengan ibukota Masamba), potensi pariwisata seharusnya dikelola dan dikembangkan. Sementara itu, Luwu Timur (dengan ibukota Malili), memanfaatkan pantai sebagai ikon pariwisata daerah. Dalam hal kondisi geografis dan budaya, kedua daerah ini dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama, misalnya suasana alam pegunungan dan hamparan pemandangan persawahan, pohon, bukit dan jalan serta bahasa dan karakterisitik budaya yang hampir sama. Kedua daerah (khususnya Luwu Timur) ini sering disebut dengan tanah Sawerigading atau La Galigo (terkadang menggunakan merujuk pada I La Galigo). Dalam perspektif epik naskah lontarak, daerah ini disebut sebagai tanah atau lokasi awal dari munculnya kisah epik Sawerigading, seorang kapten kapal yang meninggalkan kampung halamannya, tanah Luwu (Luwu Timur) dan kemudian merantau ke tanah atau daerah Tiongkok dan beberapa wilayah di dunia. Dalam
ISSN 1979 - 7168
naskah lontarak tersebut disebutkan, wilayah Luwu timur adalah tempat turunnya Batara Guru, raja pertama di Bumi (di tanah Bugis). Selanjutnya, kisah I La Galigo, anak dari Sawerigading, semakin terkenal di dunia internasional dengan dipentaskannya cerita I La Galigo, cerita epik yang memiliki naskah dengan tebal sekitar 6000 halaman tersebar di beberapa tempat di dunia (Abidin, 1974; Mappong, 2011; Ningsih, dkk., 2012). Karena itu, tanah Luwu Utara dan Luwu Timur dapat menjadi representasi ketika menyebutkan kisah epik I La Galigo. Penelitian ini menggunakan istilah tanah La Galigo (Sawerigading) yang merujuk pada tanah Luwu Utara dan Luwu Timur dalam perspektif pariwisata sebagai pendorong peningkatan pembangunan. Dalam menjalankan fungsi pengelolaan dan pengembangan pariwisata daerah, pemerintah Kabupaten Luwu Utara memberikan amanah kepada Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata. Selanjutnya, pengembangan pariwisata di Kabupaten Luwu Timur dikelola langsung oleh Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Kedua daerah ini nampaknya memiliki perbedaan dalam hal nomenklatur dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan aset pariwisata daerah. Namun, keduanya menempatkan pariwisata bukan pada posisi awal dari nama nomenklatur dinas tersebut. Ini dapat menjadi indikasi bahwa pariwisata belum dijadikan sebagai sektor
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 43
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
prioritas, hanya mengikut sektor atau bidang lainnya.
ISSN 1979 - 7168
dengan
Politik, Pariwisata dan Pemerintahan Daerah: Perspektif Tantangan Pariwisata Daerah Bagi staf di Dinas Pariwisata di kedua daerah ini, pariwisata disadari masih merupakan sektor yang mengikut, bukan menjadi prioritas utama. Sebagai sektor yang mengikut, maka kegiatan dinas lebih mengarah pada kegiatan bidang lainnya. Kegiatan pariwisata lebih difokuskan pada keikutsertaan pada event-event di luar daerah seperti festival kraton, dll. Kegiatan utama daerah dalam hal pembenahan destinasi dan daya tarik wisata belum menjadi prioritas karena berkaitan dengan jumlah dana yang tersedia. Meskipun Dinas Pariwisata daerah tersebut menyadari bahwa pariwisata merupakan sektor penting, mereka harus berbagi dengan bagian lain (misalnya kegiatan pemuda, olahraga, pendidikan) dalam hal pemanfaatan anggaran. Bagi Kabupaten Luwu Timur secara khusus, kegiatan lebih difokuskan pada bidang pendidikan. Meskipun ada rencana pembentukan Dinas Pariwisata secara mandiri, namun bidang pendidikan masih menjadi skala prioritas. Politik nampaknya menjadi isu utama lambatnya pengembangan pariwisata di daerah tersebut. Berbagai kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah daerah (dalam hal ini bupati) menjadi salah satu indikator mengapa unsur politik berpengaruh terhadap upaya pengembangan
pariwisata daerah. Sebagai contoh, ketika tim peneliti melakukan kunjungan langsung ke kantor Dinas Pariwisata di Kabupaten Luwu Utara, terjadi pelantikan dalam rangka penempatan pegawai di berbagai lini di kantor tersebut. Hal yang menarik adalah bahwa staf yang sudah lama memahami pariwisata dan berpeluang mengembangkan pariwisata daerah dengan pengalaman dan pengetahuannya harus menerima penempatan dan posisi yang baru di luar bidang atau Dinas Pariwisata. Sebaliknya, penempatan pegawai atau staf lain ke bidang strategis penentu kebijakan pariwisata harus memulai untuk belajar mengenai artidan makna pariwisata. Dalam konteks profesionalisme pekerjaan dan tujuan pengembangan pariwisata daerah, kebijakan seperti ini mungkin tidak tepat dan cenderung kurang memberikan nilai positifbagi pengembangan pariwisata daerah. Jika staf yang baru tidak menerapkan strategi inovatif dan ditunjang dengan pemerintah daerah yang tidak atau kurang mendukung dengan pengembangan pariwisata, maka kemungkinan kemunduran pariwisata daerah akan terjadi. Persoalan seperti ini dapat dikategorikan sebagai persoalan politik dan kekuasaan (power) nampaknya sangat berpengaruh terhadap penempatan staf bidang pariwisata. Idealnya, sektor pariwisata harus dikelola oleh staf atau pegawai dengan pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan pariwisata (the right man on the right place). Akan tetapi, hak pemerintah daerah (bupati) dalam
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 44
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
menempatkan orang-orang menjadi realita dan tidak dapat dihindari. Dari hasil wawancara dengan staf di salah satu kantor dinas, pernyataan seperti “hanya Tuhan dan Bupati yang tahu penempatan pegawai” menjadi catatan tim peneliti bagaimana pariwisata mendapat pengaruh dengan sistem kebijakan tersebut. Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dari para staf bahwa penempatan staf yang tidak profesional berdampak pada maju mundurnya pariwisata suatu daerah. Tantangan lain yang muncul dan berkaitan dengan isu politik adalah ketika kepala Dinas bidang pariwisata tidak memiliki kekuatan (power) dalam mengembangkan pariwisata daerah. Ketika kepala dinas bidang pariwisata tidak mampu meyakinkan bupati mengenai dampak penting dari pariwisata, maka saat itulah pariwisata mengalami kemunduran. Salah satu konsekuensi dari persoalan seperti ini adalah minimnya dana yang dianggarkan oleh bupati untuk bidang pariwisata. Akibatnya, pariwisata tidak mengalami kemajuan dan cenderung dijalankan apa adanya, mengikuti sistem administrasi sesuai dengan tuntutan fungsi dan perannya. Dalam beberapa hal, dinas (pariwisata) dapat dikatakan hanya sebagai boneka dan menutupi tuntutan jabatan di kantor dinas pariwisata. Kemunduran pariwisata daerah akan semakin terjadi jika bupati tidak atau kurang perhatian (concern) dengan kepariwisataan. Sebaliknya, para staf dinas pariwisata di daerah akan memikirkan upaya kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pariwisata daerah jika bupati (pemerintah daerah)
ISSN 1979 - 7168
memiliki visi dan misi yang kuat dalam mengembangkan pariwisata daerah. Staf di Dinas Pariwisata akan bekerja keras memenuhi harapan dan target bupati khususnya yang berkaitan dengan pariwisata sebagai agenda mencapai tujuan pembangunan. Persoalan politik dan pariwisata juga ditunjukkan dengan mekanisme penentuan anggaran antara eksekutif dan legislatif. Isu ini masih merupakan persoalan klasik bagi kebanyakan daerah di Indonesia. Dalam beberapa hal, minimnya anggaran untuk kegiatan pengembangan pariwisata tidak terlepas dari peran anggota dewan (legislatif) dalam menentukan besar kecilnya dana untuk promosi dan aktifitas pariwisata. Jika eksekutif (bupati dan jajarannya) tidak mampu meyakinkan tujuan, target serta manfaat dari pengembangan pariwisata, maka keputusan legislatif akan sangat berpengaruh. Sebaliknya, kemampuan negosiasi dan atau meyakinkan legislatif oleh kepala dinas Pariwisata dan jajarannya akan memberikan perubahan cara berfikir anggota dewan mengenai perlunya menyiapkan anggaran bagi pengembangan pariwisata daerah. Dari gambaran ini, peneliti berargumen bahwa kesuksesan pariwisata daerah khususnya di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur tidak terlepas dari hubungan atau penguatan sinergi antara legislatif dan eksekutif.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 45
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Membangun Mitra: Strategi Membangun Pariwisata Daerah Persoalan politik seharusnya tidak menjadi beban daerah dalam mengembangkan pariwisata. Namun, mengingat persoalan di atas tidak dapat dihindari di kedua daerah tersebut, upaya atau kegiatan pariwisata tetap harus dijalankan. Strategi mengatasi isu politik perlu dipikirkan dan diimplementasikan demi mencapai tujuan pengembangan pariwisata daerah. Menurut Church (2004), dalam penentuan strategi menjalankan kebijakan bidang pariwisata, tiga aspek penting perlu diperhatikan agar pariwisata daerah mampu menjalankan upaya kreatif dan inovatif yakni pentingnya mengembangkan kemitraan, menjalin kerjasama dalam berbagai bentuk kegiatan dan pelibatan masyarakat. Pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata harus memastikan bahwa strategi pengembangan pariwisata yang dijalankan betul-betul berdasarkan kebutuhan dan kesiapan daerah dalam melakukan aktifitas tersebut. Mengingat hampir setiap pemerintah kabupaten dan kota di provinsi mempromosikan aset pariwisata mereka, maka Dinas Pariwisata harus menemukan langkah inovatif yang berbeda dengan strategi pemerintah daerah lainnya dalam mengembangkan pariwisata daerah. Dalam konteks penelitian ini, kemitraan dan kerjasama menjadi rekomendasi utama dalam menunjang upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kunjungan wisatawan. Tim peneliti memandang bahwa kemitraan dengan institusi pendidikan
ISSN 1979 - 7168
merupakan langkah strategis agar Dinas Pariwisata daerah selain kerjasama dengan sektor swasta baik dalam hal promosi maupun upayaupaya lainnya. Kemitraan dapat dimulai dengan peran Institusi Pendidikan Pariwisata dalam mengidentifikasi daya tarik wisata, kelemahan dan kekuatan daerah serta evaluasi program kerja yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dinas Pariwisata Kabupaten Luwu Timur telah mencoba menjajaki peluang kerjasama dan kemitraan dengan Universitas Udayana, Bali dalam membuat grand design pengembangan pariwisata daerah. Namun, kerjasama akan semakin kuat ketika kedua pihak betul-betul memiliki komitmen bersama dan kesamaan persepsi mengenai potensi pariwisata daerah yang dimiliki. Sementara itu, Dinas Pariwisata Kabupaten Luwu Utara belum menjajaki kerjasama dengan institusi pendidikan. Sesungguhnya, institusikan pendidikan tinggi pariwisata di Sulawesi Selatan dapat menjalin kemitraan dalam membantu daerah dalam mengelola aset pariwisata daerah. Pendidikan tinggi pariwisata di Sulawesi Selatan memiliki pemahaman mendalam kondisi politik, sosial budaya di daerah. Karena alasan ini, kemitraan antara Dinas Pariwisata dapat dengan mudah terimplementasikan. Daerah sangat membutuhkan pendampingan dari lembaga pendidikan khususnya bidang pariwisata dalam mengawal program kerjadaerah. Kesediaan Dinas Pariwisata mengusulkan anggaran
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 46
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
untuk program kemitraan dan kerjasama ini merupakan peluang yang harus ditangkap oleh Institusi Pendidikan Tinggi Pariwisata. Tim peneliti yang merupakan representasi Politeknik Pariwisata Makassar memandang bahwa Politeknik Pariwisata Makassar perlu segera menindaklanjuti peluang tersebut. Aktifitas atau program kerja yang dapat dijalankan daari hasil kemitraan tersebut antara lain pemberian pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang kepariwisataan bagi pegawai Dinas Pariwisata daerah, pembuatan rencana induk pengembangan pariwisata daerah (RIPPDA), pembuatan dan pengusulan design pengembangan pariwisata termasuk promosi dan branding, dll. Sesungguhnya, persoalan politik justru akan menjadi motivator bagi daerah untuk semakin memperkuat kerjasama. Meyakinkan pemerintah daerah dengan program kemitraan tersebut dapat berhasil dengan peran kedua institusi yakni Dinas Pariwisata dan Institusi Pendidikan Pariwisata dan Hospitaliti di tingkat provinsi. KESIMPULAN Idealnya, pariwisata daerah berkembang seiring dengan komitmen pemerintah daerah untuk mengelola aset pariwisata yang berdampak pada optimalisasi dampak positif pariwisata bagi masyarakat. Namun, Dinas Pariwisata Daerah sebagai stakeholder utama pencapaian harapan tersebut harus menyadari bahwa unsur politik menjadi tantangan dalam memajukan pariwisata daerah. Penelitian ini memberikan eksplanasi mengenai
ISSN 1979 - 7168
bagaimana dinamika pengembangan pariwisata daerah terpengaruh karena kebijakan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan ekspektasi staf khususnya dalam aspek profesionalisme pekerjaan. Di satu sisi, pemerintah daerah menempatkan pegawai yang dilandaskan pada kemampuan bekerja bersama-sama (kesamaan mencapai visi misi). Namun di sisi lain, otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah menentukan posisi dan strategi pengembangan daerah nampaknya berdampak pada kurang diterapkannya profesionalisme dalam mengelola pariwisata daerah. Prinsip pengelolaan pariwisata berkelanjutan nampaknya mengalami kesulitan mengingat kekuasaan (power) berpengaruh dalam membuat kebijakan pariwisata. Penelitian ini juga memandang bahwa mekanisme penentuan anggaran pengembangan pariwisata daerah tidak terlepas dari unsur politik. Karenanya, dibutuhkan strategi atau pendekatan yang tepat dalam mengantisipasi kelemahan yang terjadi di daerah khususnya yang berkaitan dengan politik. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya menjalin kerjasama atau kemitraan antara Dinas Pariwisata Daerah dengan Institusi Pendidikan Pariwisata khususnya di kawasan Timur Indonesia. Politeknik Pariwisata Makassar dapat menjemput peluang ini dengan mengajukan diri sebagai fasilitator pengembangan pariwisata daerah. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara sangat merespon strategi ini dengan harapan
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 47
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
bahwa persoalan politik dapat teratasi dengan kemampuan meyakinkan pemerintah daerah (bupati) bahwa peningkatan sumber daya manusia sangat dibutuhkan dengan implementasi kerjasama dan kemitraan tersebut. Eksistensi alumni Politeknik Pariwisata Makassar yang bekerja di Dinas Pariwisata memberikan bukti bahwa pemerintah daerah memberikan harapan yang besar kepada lembaga pendidikan untuk membantu daerah dalam mengelola sumber-sumber pariwisata. Ucapan Terima Kasih: Ucapan terima kasih disampaikan ke Politeknik Pariwisata Makassar atas bantuan dana penelitian tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA Aas, Christina, dkk. 2005. Stakeholder collaboration and heritage management. Managing heritage and cultural tourism resources: critical essays. Dalam Timothy, D.J. (Editor). Farnham, Ashgate, Hal.1-22. Abidin, A. Z. dan Macknight, C.C. 1974.The I La Galigo epic cycle of South Celebes and its diffusion. Southeast Asia Program Publications at Cornell University.Vol. (17).Hal.160169. Alasuutari, Pertti. 2010. The rise and relevance of qualitative research. International Journal of Social Research Methodology.Vol. 13(2), Hal.139-155. Bramwell, Bill., dan Lane, Bernard. 2000. Collaboration and
ISSN 1979 - 7168
partnerships in tourism planning. Dalam Bramwell, B. dan B. Lane, B. (Editor), Tourism collaboration and partnerships: Politics, practice and sustainability. Sydney: Channel View Publications. Hal.1-19. Britton, Stephen. G. 1982. The political economy of tourism in the third world. Annals of Tourism Research.Vol. 9(3).Hal.331-358. Burns, Peter. M. 2005. From competition to collaboration in the tourism industry. Dalam Theobald, W.F. (Editor). Global tourism. Amsterdam, Elsevier, Hal. 52-74. Church, A. 2004. Local and regional tourism policy and power. Dalam Lew, A.A. dan Hall, C.M., dan Williams, A.M. (Editor.), A companion to tourism. Malden: Blackwell. Hal.555-568. Dey, Ian. 1993. Qualitative data analysis: a user-friendly guide for social scientists. London, Routledge. D'Hauteserre, Anne-Marie. 2010. Government policies and indigenous tourism in New Caledonia. Asia Pacific Journal of Tourism Research.Vol. 15(3), Hal.285-303. Fyall, Alan. dan Garrod, Brian. 2005. From competition to collaboration in the tourism industry. Dalam Theobald, W.F. Global tourism. Amsterdam, Elsevier, Hal.52-74. Giampiccoli, A. 2007. Hegemony, Globalisation and Tourism Policies in Developing
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 48
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Countries. Dalam Burns, P. M., dan Novelli, M. (Editor). Tourism and politics: global frameworks and local realities. Oxford: Elsevier. Hal.175-192. Jamal, Tazim. dan Stronza, Amanda. 2009. Collaboration theory and tourism practice in protected areas: stakeholders, structuring and sustainability. Journal of Sustainable Tourism, Vol.17(2), Hal.169-189. Mappong, Suriani. 2011. Mimpi I La Galigo di Makassar. Diunduh pada tanggal 12 August 2013 melalui http://oase.kompas.com/read/201 1/04/29/00521946/Mimpi.I.La.G aligo.di.Makassar. Morgan, Michael. 2005. Quality and sustainability in established destinations: who pays?. Dalam Theobald, W.F. (Editor). Global tourism. Amsterdam, Elsevier. Hal.346-362. Nyaupane, Gyan. P. dan Budruk, Megha. 2009. South Asian heritage tourism: conflict, colonialism, and cooperation. Dalam Timothy, D.J. dan Nyaupane, G.P. Cultural heritage and tourism in the developing world: a regional perspective. London, Routledge: 127-145. Ningsih, Yosepin. S., dkk. 2012. I La Galigo folklore illustration on textile media.ITB Journal of Art and Design.Vol. 6(1). Hal.1-8. Richards, Greg. dan Munsters, W. 2010. Developments and perspectives in cultural tourism research.Cultural tourism research methods. Dalam
ISSN 1979 - 7168
Richards, G. dan Munsters, W. (Editor). Wallingford, CABI. Hal.1-12. Sarantakos, Sotirios. 2013. Social research. New York, Palgrave Macmillan. Wong, Emma. P. Y., dkk. 2010. Understanding ASEAN tourism collaboration-the preconditions and policy framework formulation.International Journal of Tourism Research.Vol. 12, Hal.291-302. Wanhill, Stephen. 2005. From competition to collaboration in the tourism industry. Dalam Theobald, W.F. (Editor).Global tourism. Amsterdam: Elsevier, Hal. 52-74.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 39-49 49