PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA,
Menimbang : a.
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Rumah Potong Hewan merupakan jenis Retribusi Daerah yang dapat dipungut;
b. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 18 Tahun 2000 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, yang diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 18 Tahun 2000 tidak sesuai lagi dengan perkembangan dewasa ini sehingga perlu ditinjau dan dilakukan penyesuaian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara tentang Retribusi Rumah Potong Hewan. Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824); 2. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
1
3. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3826); 5. Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 6. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 7. Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tamabahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4386); 8.
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
2
9.
Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253) ; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1997 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3101); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 14. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara Tahun 2006 Nomor 5).
3
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA dan BUPATI LUWU UTARA
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.
Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2.
Pemerintah Daerah adalah Bupati Luwu Utara dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
3.
Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
4.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
5.
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Utara.
6.
Petugas Pemeriksa adalah Dokter Hewan yang bekerja pada Dinas yang membidangi Peternakan di Kabupaten Luwu Utara atau Keur Master yang ditunjuk oleh Kepala Dinas membidangi Peternakan.
7.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau komplek bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.
8.
Pemotongan Hewan adalah kegiatan yang menghasilkan daging yang terdiri dari pemeriksaan Antemortem, penyembelihan, penyelesaian Penyembelihan dan pemeriksaan Postmortem.
4
9.
Pemeriksaan Antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih.
10.
Pemeriksaan Postmortem adalah pemeriksaan daging dan bagianbagiannya setelah selesai penyelesaian penyembelihan.
11.
Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain dari pada pendinginan.
12.
Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.
13.
Ternak adalah hewan peliharaan yang kehidupannya yakni mengenai tempat, perkembang-biakannya serta manfaatnya diatur dan diawasi manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasajasa yang bermanfaat bagi kepentingan manusia.
14.
Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah.
15.
Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
16.
Hewan potong adalah Sapi, Kerbau, Kuda, Kambing, Domba dan Babi.
17.
Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi atas jasa yang disediakan Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh pihak swasta.
18.
Surat Pendaftaran Obyek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SPdORD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melaporkan data obyek retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang terutang menurut Peraturan PerundangUndangan yang berlaku.
19.
Surat pemberitahuan retribusi yang selanjutnya disingkat SPTRD adalah Surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran yang terhutang menurut Peraturan PerundangUndangan yang berlaku.
20.
Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah surat setoran yang digunakan oleh Wajib Retribusi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat lain yang ditetapkan Bupati.
5
21.
Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang.
22.
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDKB adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang, jumlah kredit retribusi, jumlah kekurangan pokok retribusi, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
23.
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKRDKBT adalah Surat Keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang telah ditetapkan.
24.
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah Surat Keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
25.
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKRDN adalah Surat Keputusan yang menetukan jumlah retribusi yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit retribusi atau retribusi tidak terutang dan tidak ada kredit retribusi.
26.
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah Surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
27.
Masa Retribusi adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu wajib retribusi untuk pemanfaatan jasa retribusi.
28.
Retribusi Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan ternak termasuk pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong dan daging, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
29.
Pelayanan Rumah Potong Hewan adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan termasuk pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
30.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengelola data dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Retibusi Daerah.
6
31.
Penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32.
Swasta adalah badan yang dikelola di luar dari pemerintah.
33.
Kesehatan daging adalah daging yang tidak mengandung penyakit dan residu, tidak tercampur dengan bagian lainnya serta unsur lain yang atau dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia.
34.
Karantina adalah tempat dan/atau tindakan untuk mengasingkan hewan/ternak, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang terkena atau diduga terkena penyakit hewan agar supaya tidak menular kepada hewan/ternak yang sehat.
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Retribusi atas penyediaan fasilitas Rumah Potong Hewan dimaksudkan sebagai pedoman pembinaan dan pengawasan terhadap proses produksi, peredaran daging hewan dalam daerah.
Pasal 3 Pedoman dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ini bertujuan untuk dapat menjamin keselamatan konsumen mulai dari proses produksi, penyimpanan sampai dengan pendistribusiannya.
Pasal 4 (1)
Petugas pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 mempunyai tugas : a.
melakukan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum pemotongan atau melaksanakan pemeriksaan antemortem;
b.
mengawasi proses pemotongan hewan yang bersih (higienis), baik dan benar; 7
(2)
c.
melakukan pemeriksaan daging, isi perut dan isi dada atau melaksanakan pemeriksaan postmortem.
d.
memberi cap daging yang telah lulus pemeriksaan yang menandakan bahwa daging lulus pemeriksaan serta menjamin bahwa daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal;
e.
memberikan laporan tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan kepada SKPD yang membidangi peternakan.
Petugas pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi adalah : a.
menjamin daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal;
b.
melindungi kesehatan manusia sebagai konsumen;
c.
mengawasi kejadian penyakit hewan dan melindungi kesehatan hewan lainnya.
BAB III PEMERIKSAAN ANTEMORTEM Pasal 5 (1)
Hewan yang akan dipotong, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan antemortem.
(2)
Pemeriksaan antemortem sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh dokter hewan atau keurmaster.
(3)
Petugas pemeriksa mempunyai kewenangan sebagai berikut :
pada
ayat
(1)
a.
mengizinkan untuk melakukan penyembelihan tanpa syarat apabila ternyata hewan tersebut dinyatakan sehat;
b.
Ditolak untuk dilakukan penyembelihan, apabila hewan tersebut dinyatakan sakit atau menunjukkan gejala penyakit tertentu.
8
BAB IV PEMOTONGAN HEWAN Pasal 6 (1)
Setiap pemontongan hewan meliputi sapi, kerbau, kuda, domba, kambing dan babi harus dilaksanakan pada Rumah Potong Hewan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau swasta.
(2)
Rumah Potong Hewan khusus babi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 7 (1)
Pelaksanaan pemotongan hewan untuk usaha harus dilakukan di Rumah Potong Hewan dengan pengawasan dokter hewan atau keurmaster.
(2)
Syarat-syarat pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a.
pemotong hewan harus memiliki izin dari Pejabat yang berwenang;
b.
pemotongan hewan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan yang telah ditunjuk;
c.
hewan yang akan dipotong harus diistirahatkan paling singkat 12 jam sebelum penyembelihan;
d.
telah dilakukan pemeriksaan antemortem oleh dokter hewan atau keurmaster paling lama 24 jam sebelum penyembelihan;
e.
dilengkapi bukti membayar retribusi pemotongan hewan;
f.
pemotongan hewan dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan atau keurmaster;
g.
ternak betina tidak dalam keadaan bunting atau tidak produktif lagi sesuai pemeriksaan petugas;
h.
penyembelihan dilakukan menurut tata cara Agama Islam.
9
Pasal 8 Tahapan proses pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan adalah sebagai berikut : a.
hewan diistirahatkan di kandang peristirahatan paling singkat 12 jam sebelum penyembelihan;
b.
dilakukan pemeriksaan antemortem;
c.
penyembelihan dan penyelesaian penyembelihan;
d.
dilakukan pemeriksaan postmortem sampai keluarnya karkas atau daging dari Rumah Potong Hewan.
Pasal 9 (1)
Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan pemotongan hewan untuk kepentingan usaha, harus memliki izin usaha.
(2)
Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati melalui SKPD yang membidangi peternakan.
(3)
Tata cara pemberian izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 10 (1)
Pemotongan hewan untuk kegiatan agama atau adat dapat dilakukan di luar Rumah Potong Hewan.
(2)
Persyaratan pemotongan hewan untuk kegiatan agama atau adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a.
hewan yang akan disembelih harus diistirahatkan dikandang peristirahatan paling singkat 12 jam sebelum dipotong;
b.
pemotongan hewan dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan atau keurmaster;
c.
penyembelihan dilakukan menurut tata cara agama masing-masing.
10
Pasal 11 Pemotongan hewan darurat hanya dapat dilakukan apabila hewan tersebut : a.
menderita kecelakaan yang membahayakan jiwa hewan;
b.
membahayakan keselamatan manusia.
Pasal 12 (1)
Pelaksanaan pemotongan hewan darurat dapat dilakukan di dalam dan luar Rumah Potong Hewan.
(2)
Persyaratan pemotongan hewan darurat di Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a.
pemotong hewan harus memiliki izin dari Pejabat yang berwenang;
b.
pemotongan hewan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan yang telah ditunjuk;
c.
pemotongan hewan dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan atau keur master;
d.
penyembelihan dilakukan menurut tata cara Agama Islam.
BAB V PEMERIKSAAN POSTMORTEM Pasal 13 (1)
Pemeriksaan postmortem segera setelah hewan selesai disembelih dengan tujuan untuk mengenali kelainan pada daging, isi dada dan isi perut serta menjamin kualitas dan keamanan daging.
(2)
Pemeriksaan postmortem harus dilakukan oleh dokter hewan atau keur master dibawah penerangan yang cukup untuk dapat mengenali warna yang berubah pada daging dalam Rumah Potong Hewan.
(3)
Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap daging dan bagian-bagian hewan secara utuh, dengan menggunakan pisau tajam dan alat-alat lain yang bersih serta tidak berkarat, kemudian setelah dipergunakan alat-alat tersebut harus disucihamakan. 11
(4)
Pelaksanaan pemeriksaan postmortem dimulai dengan pemeriksaan sederhana dan apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan lanjutan.
(5)
Pemeriksaan postmortem sederhana maupun lanjutan harus dilaksanakan di Rumah Potong Hewan sesuai standar yang berlaku.
Pasal 14 Petugas pemeriksa memiliki kewenangan sebagai berikut : a.
mengiris dan membuang seperlunya bagian-bagian hewan yang tidak layak untuk dikonsumsi;
b.
mengambil bagian-bagian hewan sebagai sampel untuk keperluan pemeriksaan lanjutan;
c.
memerintahkan dilakukan pemusnahan daging, isi dada, isi perut dan isi dalam yang dilarang diedarkan dan dikonsumsi.
Pasal 15 Dari hasil pemeriksaan postmortem, petugas pemeriksa mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa daging dan bagian-bagiannya tersebut : a.
dapat diedarkan untuk dikonsumsi, dengan syarat daging dan bagianbagiannya dinyatakan Aman, Sehat, Utuh dan Halal;
b.
dapat diedarkan untuk dikonsumsi dengan syarat selama didistrubusikan, mendapat perlakukan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.
melarang peredaran untuk konsumsi karena dinyatakan tidak Aman, Sehat, Utuh dan Halal.
Pasal 16 Daging yang berasal dari pemotongan tanpa izin dari Pejabat yang berwenang harus dilakukan penyitaan dan disertai Berita Acara Pemusnahan.
12
BAB VI RUMAH POTONG HEWAN Pasal 17 Pengawasan dan pembinaan Rumah Potong Hewan dilaksanakan oleh Bupati melalui Kepala SKPD yang membidangi peternakan.
Pasal 18 (1)
Pengelolaan Rumah Potong Hewan dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Badan dan Perorangan.
(2)
Pengelolaan Rumah Potong Hewan milik Perorangan atau Badan, wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha pemotongan hewan secara berkala setiap bulan kepada Kepala SKPD yang membidangi peternakan.
BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN DAGING Pasal 19 (1)
Sebelum daging dan bagian-bagiannya didistribusikan dalam Daerah, penyelenggaraan pengurusan daging di Rumah Potong Hewan harus berpedoman ketentuan Peraturan Daerah ini.
(2)
Daging dan bagian-bagiannya yang dilarang didistribusikan untuk konsumsi harus ditempatkan ditempat khusus dan selanjutnya dibuat Berita Acara pemusnahan oleh Pejabat yang berwenang bersama-sama PPNS.
Pasal 20 (1)
Daging hasil pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan yang akan didistribusikan ke luar Daerah, harus terlebih dahulu dilengkapi Surat Keterangan Kesehatan daging dari Pejabat yang berwenang.
13
(2)
Tata cara pemberian Surat Keterangan Kesehatan daging, sebagai berikut : a. pemilik daging harus memiliki Surat Izin Usaha Pemotongan Hewan di Rumah Potong Hewan b.
c.
pemilik daging memiliki surat keterangan yang menyatakan bahwa pendistribusian daging untuk keperluan : 1)
antar Kabupaten/Kota
2)
untuk keperluan dalam Daerah
pemilik daging dapat menunjukkan Surat Keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa daging yang akan didistribusikan ke luar daerah tersebut di sembelih di Rumah Potong Hewan.
Pasal 21 (1)
Daging yang akan didistribusikan ke luar dari Rumah Potong Hewan atau ke luar Daerah, harus diangkut dengan kendaraan khusus daging sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Terhadap daging yang diperdagangkan, dilarang menambah bahan atau zat yang dapat mengubah warna asli daging
Pasal 22 (1)
Penjualan daging di pasar-pasar dalam Daerah, harus dilakukan pada tempat penjualan daging yang tersedia dan terpisah dari penjualan komoditas lainnya.
(2)
Daging beku yang dijual di toko dan pasar swalayan di Daerah harus ditempatkan pada tempat khusus.
Pasal 23 Persyaratan tempat penjualan daging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
14
BAB VIII OBYEK DAN SUBJEK Pasal 24 (1)
Obyek pembinaan dan pengawasan pemotongan hewan adalah pelayanan penyelenggaraan pemotongan hewan yang meliputi :
(2)
a.
pembinaan dan pengawasan pelayanan pemotongan hewan;
b.
pembinaan dan pengawasan peredaran daging dan bagianbagiannya yang dibawa masuk dan keluar Daerah untuk diperdagangkan atau dikonsumsi.
Subyek pembinaan dan pengawasan pemotongan hewan adalah perorangan atau badan yang menyelenggarakan usaha pemotongan hewan.
BAB IX KETENTUAN RETRIBUSI Pasal 25 (1)
Setiap pelayanan pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan yang disediakan Pemerintah Daerah dikenakan retribusi.
(2)
Struktur dan besarnya tarif Retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, adalah sebagai berikut :
No.
Jenis Pelayanan
Jenis Ternak
Besarnya Tarif (Rp.)
1
2
3
4
1.
Pemeriksaan sebelum dipotong (Antemortem) (Ternak Besar & Kecil)
Sapi dan Kerbau Kambing dan domba
20.000,-/Ekor 5.000,-/Ekor
2.
Pemeriksaan kesehatan daging (postmortem)
Sapi dan Kerbau Kambing dan domba
20.000,-/Ekor 5.000,- /Ekor
3.
Pemeriksaan Produktif
Ternak
Betina Sapi dan Kerbau
25.000,- /Ekor
15
4.
Pemakaian Rumah Hewan, meliputi : - Pemotongan Usaha
Potong
Sapi dan Kerbau Kambing dan domba
10.000,-/Ekor 5.000,-/Ekor
5.
Pemakaian kandang karantina
Sapi dan Kerbau Kambing dan domba
5.000,-/Ekor 3.000,-/Ekor
6
Pemakaian Kandang/Penampungan
Sapi dan Kerbau
5.000,-/Ekor
Kambing Domba
dan
2.500,-/Ekor
BAB X GOLONGAN RETRIBUSI Pasal 26 Retribusi penyelenggaraan pelayanan di Rumah potong hewan termasuk termasuk Jenis Retribusi Jasa Usaha
BAB XI WILAYAH PEMUNGUTAN Pasal 27 Retribusi yang terutang dipungut atas penyediaan fasilitas Rumah Potong Hewan sebagai tempat pelayanan jasa yang diberikan.
BAB XII TATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI Pasal 28 (1)
Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
16
(2)
Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan (SKRDKBT).
BAB XIII TATA CARA PENYETORAN RETRIBUSI Pasal 29 (1)
Pembayaran retribusi yang terutang harus dilunasi.
(2)
Retribusi yang diterima oleh Kolektor harus disetor ke Kas Daerah paling lambat 1 x 24 jam.
(3)
Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur dengan Keputusan Bupati.
BAB XIV TATA CARA PENAGIHAN Pasal 30 (1)
Pengeluaran surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pembayaran.
(2)
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterima surat teguran/ peringatan/surat lain yang sejenis, Wajib Retribusi harus melunasi retribusinya yang terutang.
(3)
Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
17
BAB XV KEBERATAN Pasal 31 (1)
Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2)
Keberatan diajukan secara tertulis dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3)
Dalam hal wajib retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan retribusi, wajib retribusi harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi tersebut.
(4)
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal SKRD dan SKRDKBT diterbitkan, kecuali apabila wajib retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
(5)
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6)
Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
Pasal 32 (1)
Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2)
Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
(3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), telah lewat dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
18
BAB XVI SANKSI ADMINISTRASI Pasal 33 Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang pembayarannya, dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
BAB XVII PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI Pasal 34 (1)
Pengembalian dapat pembebasan Retribusi.
memberikan
pengurangan,
keringanan
dan
(2)
Pengurangan, keringanan dan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk kepentingan keagamaan.
(3)
Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan Retribusi ditetapkan oleh Bupati.
BAB XVIII KADALUARSA PENAGIHAN Pasal 35 (1)
Hak untuk melakukan penagihan retribusi Kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak terutangnya retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan tindak pidana di bidang retribusi.
(2)
Kadaluarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila : a. Diterbitkan surat teguran; atau b.
Ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung. 19
BAB XIX PENYIDIKAN Pasal 36 (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2)
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) adalah : a.
Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b.
Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah tersebut;
c.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
d.
Memeriksa buku – buku, catatan – catatan dan dokumen – dokumen berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
e.
Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain, melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
g.
Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa yang dimaksud pada huruf e di atas;
h.
Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah;
i.
Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagaimana tersangka atau saksi;
j.
Menghentikan penyidikan;
bukti serta
20
k.
(3)
Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyelidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polisi Negara sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 37 (1)
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Retribusi yang terutang.
(2)
Tindak Pidana yang dimaksud pada ayat 1 (satu) adalah Pelanggaran.
BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 (1)
Terhadap Retribusi yang terutang sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini maka terhadap retribusinya yang terutang didasarkan retribusi yang terutang didasarkan pada peraturan daerah yang berlaku sebelumnya.
(2)
Terhadap obyek retribusi yang ada setelah berlakunya peraturan daerah ini, retribusi yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan daerah ini.
21
BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 (1)
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknik pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
(2)
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 18 Tahun 2000 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 40 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara. Ditetapkan di Masamba pada tanggal
2008
BUPATI LUWU UTARA,
H. M. LUTHFI A. MUTTY Diundangkan di Masamba pada tanggal 2008 SEKRETARIS DAERAH,
H.A. CHAERUL PANGERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2008 NOMOR 3 22
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN
I.
UMUM Seperti diketahui bahwa retribusi rumah potong hewan, sebelumnya termasuk jenis pajak daerah. Dengan berlakunya Undangundang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka hal itu menjadi Retribusi Jenis Usaha. Penetapan Retribusi Usaha dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, yang dikaitkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu juga bertujuan untuk menyesuaikan materi dan sistem pemungutan sejalan dengan berbagai perkembangan dewasa ini serta untuk menyesuaikan besarnya tarif retribusi yang selalu mengikuti kondisi harga pasar yang berlaku saat itu, serta sebagai upaya untuk meningkatkan dan mengintensifkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi dan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya bagi konsumen hasil produk asal hewan yang sehat, higienis, bermutu sehingga pada akhirnya dapat mencerminkan hubungan timbal balik yang serasi dan jelas antara tarif retribusi yang dikenakan dan ditetapkan dengan kemampuan penyediaan fasilitas dan jasa pelayanan masyarakat yang dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara. Rancangan Peraturan Daerah ini bertitik berat pada aspek pelayanan dan perlindungan masyarakat produsen maupun konsumen hasil peternakan, terhadap berbagai hal yang mungkin dapat menimbulkan kerugian baik materi maupun kesehatan manusia dari penularan sesuatu penyakit hewan yang mungkin saja dapat mengancam kesehatannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah terciptanya kesejahteraan batin masyarakat yang mengkonsumsi produk peternakan yang telah memenuhi persyaratan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) setelah produk asal hewan tersebut lolos dari persyaratan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang dinyatakan
23
oleh Dokter Hewan yang berwenang sebagaimana ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
: Angka 8 : Yang dimaksud dengan penyelesaian penyembelihan adalah kegiatan setelah hewan disembelih, selanjutnya kepala sampai batas tulang leher I dan kaki mulai dari tulang tarsal dan karpal dipisahkan dari badan, hewan digantung, dikuliti, isi perut dan dada dikeluarkan, dan karkas dibelah memanjang dengan ujung leher masih terpaut.
Pasal 2
: Cukup jelas
Pasal 3
: Cukup jelas
Pasal 4
: Yang dimaksud dengan Pemeriksa adalah Dokter Hewan yang berwenang yang bertugas di Dinas yang membidangi Peternakan di Kabupaten Luwu Utara. Yang dimaksud dengan Petugas Pemeriksa/Keurmaster adalah Pegawai Negeri Sipil pada Dinas yang membidangi Peternakan di Kabupaten Luwu Utara yang karena pendidikannya dan atau karena keterampilannya ditugaskan untuk menangani kegiatan pemeriksaan kesehatan daging.
Pasal 5
: Cukup jelas
Pasal 6
: Cukup jelas
Pasal 7
: Cukup jelas
Pasal 8
: Cukup jelas
Pasal 9
: Cukup jelas
Pasal 10 : Cukup jelas
24
Pasal 11 : Yang dimaksud dengan pemotongan darurat adalah penyembelihan hewan potong secara “terpaksa” misalnya karena kecelakaan sehingga tidak memungkinkan hewan potong tersebut dibawa ke Rumah Potong Hewan dan dalam hal hewan potong tersebut membahayakan untuk umum apabila tidak disembelih di tempat. Pasal 12 : Ayat (2)
: huruf d : Yang dimaksud dengan menurut cara Agama Islam adalah menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penyembelihan hewan, sebagai berikut : a. Membaca “Bismillah” sebelum menyembelih; b. Memutus jalan nafas (huiqum); c. Memutus jalan makanan (mari); d. Memutus dua urat nadi leher (wada jain).
Pasal 13 : Cukup jelas Pasal 14 : Cukup jelas Pasal 15 : Keputusan mengenai pemeriksaan postmortem oleh petugas pemeriksa dinyatakan dengan memberi stempel atau cap pada daging dengan menggunakan zat warna tertentu yang tidak membahayakan kesehatan manusia. Dilaksanakan setelah mendapat perlakuan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. •
Bentuk, model dan ukuran stempel/cap daging dan karkas setiap jenis hewan potong dan babi untuk keperluan usaha adalah sebagai berikut :
25
1.
SAPI
Bulat
Ukuran Stempel/Cap (cm) 3 Diameter = 5
2.
KERBAU
Segi empat sama sisi
Setiap sisi = 8
3.
KUDA
Segi tiga sama sisi
Setiap sisi = 8
4.
KAMBING/ DOMBA BABI
Bulat
Diameter = 3
Segi lima sama sisi
Setiap sisi = 3
No.
Jenis Hewan
Bentuk Stempel/Cap
1
5.
•
2
Bahan dan warna tinta stempel/cap adalah sebagai berikut : 1. Untuk hewan potong (sapi, kerbau dan Kambing/domba) : F Warna tinta : B I R U F Bahan tinta : R/Methylene Blue ...... 40 Gr. F Aquadest ........................................... 100 Ml. F Alcohol 70% ..................................... 400 Ml. F Glycerine ........................................... 500 Ml. 2.
•
Untuk babi : F Warna tinta : M E R A H F Bahan tinta : R/Methylene Red ..... 40 Gr. F Aquadest ............................................ 100Ml. F Alcohol 70% ...................................... 400 Ml. F Glycerine ........................................... 500 Ml.
Tulisan pada stempel/cap adalah sebagai berikut : 1. Bagian atas : Nama Rumah Potong Hewan; 2. Bagian tengah : Untuk daging keperluan lokal/Kabupaten; 3. BAIK; atau 4. BAIK BERSYARAT; atau 5. BAIK DIAWASI 6. Bagian bawah : Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
Pasal 16 : Cukup jelas Pasal 17 : Cukup jelas
26
Pasal 18 : Cukup jelas Pasal 19 : Cukup jelas Pasal 20 : untuk daging yang akan didistribusikan ke luar daerah harus memiliki izin berupa Surat Keterangan Kesehatan Daging yang dikeluarkan oleh Dinas yang membidangi Peternakan. Pasal 21 : Cukup jelas Pasal 22 : Cukup jelas Pasal 23 : Cukup jelas Pasal 24 : Cukup jelas Pasal 25 : yang dimaksud dengan “ternak betina produktif” adalah ternak (sapi/kerbau) yang masih dinyatakan produktif berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan pemerintah. Pasal 26 : Cukup jelas Pasal 27 : Cukup jelas Pasal 28 : Cukup jelas Pasal 29 : Cukup jelas Pasal 30 : Cukup jelas Pasal 31 : Cukup jelas Pasal 32 : Cukup jelas Pasal 33 : Cukup jelas Pasal 34 : Cukup jelas Pasal 35 : Cukup jelas Pasal 36 : Cukup jelas 27
Pasal 37 : Cukup jelas Pasal 38 : Cukup jelas Pasal 39 : Cukup jelas Pasal 40 : Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 174
28