KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Oleh
RUMIDA SIANTURI 077005105/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUMIDA SIANTURI 077005105/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI : Rumida Sianturi : 077005105 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 10 Agustus 2009
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Telah diuji pada Tanggal 10 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
ABSTRAK Upaya yang dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana Korupsi diantaranya membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna menjerat koruptor dari jeratan hukum. Keberhasilan menjerat pelaku Tindak Pidana sangat bergantung pada aparat penegak hukum. Polri berwenang melakukan tugas Penyidikan kasus-kasus Korupsi Selain Polri, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang menyidik kasus Tindak pidana Korupsi.. Polri melakukan tugas Penyidikan kasuskasus Korupsi senantiasa berkordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum, untuk menghindari bolak-balik perkara secara berulang. untuk percepatan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Penelitian tesis ini bersifat Deskriptif-analitis, maksudnya menggambarkan/menelaah permasalahan Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi dan hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumatera Utara, khususnya Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara di Medan. Kemudian dianalisis dan diuraikan secara cermat Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu yang menganalisis hukum secara tertulis, bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara dijadikan data pendukung/pelengkap. Analisis Data, setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), serta data pendukung dari hasil wawancara, dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data sejenis. Data kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis menggunakan metode deduktif dan induktif. Induktif maksudnya dari generalisasi berkembang dalam Kewenangan Polri sebagai penyidik Tindak Pidana Korupsi. Metode deduktif maksudnya peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum penyelesaian kasus Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya Kewenangan Polri sebagai penyidik Tindak Pidana Korupsi Hasil penelitian menunjukan Wewenang Polri sebagai Penyidik memberantas Tindak Pidana korupsi diberi tugas dan wewenang oleh undang-undang melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangan lainnya. Dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan Polri mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangka Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 5 dan Pasal 7 undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, dan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sedangkan Wewenang Jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum, Penyidik terhadap Tindak Pidana tertentu berdasarkan undang-undang sesuai Pasal 30 Undang undang nomor 16 tahun 2004. Dibandingkan dengan KPK wewenangnya sangat luas melakukan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi dan kasuskasus yang ditangani menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1000.000.000,(satu milyar rupiah). Polda Sumut dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut membuat kesepakatan atas Peraturan Bersama Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor Pol: PB/99/III/2007, Nomor : B64/N.2/FD.1/03/2007 dan KEP-019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, untuk meminimalisir tumpang tindih (overlapping) Tindak Pidana Korupsi. Hambatan-hambatan yuridis yang dihadapi Polri melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut, adanya peraturan perundang-undangan tentang ijin/persetujuan yang harus dimohonkan oleh Polri dan Kejaksaan terhadap Pejabat/Instansi tertentu dalam pemanggilan/pemeriksaan saksi/tersangka tertentu dan keterangan ahli dimaksudkan Pasal 184 KUHAP. Penggeledahan atau penyitaan barang bukti, serta dalam perhitungan kerugian keuangan negara, sehingga terjadi keterlambatan dalam proses penyidikan dan juga alat bukti dapat dihilangkan pelaku/atau tersangka.
Kata Kunci : Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
ABSTRACT The effort made to confirm the eradication of corruption crime such as legislating, correcting and revising the regulations of eradication of corruption crime is to trap the corruptors by statutory rules. The success of trapping the criminal actors is significantly relied on the apparatus of the legal practitioners. The Police has authority to make investigations of corruption cases. In spite of the Police, the Prosecutor and Corruption Controlling Commission also make investigations related to the corruption criminal cases. The Police makes investigation of the corruption cases always coordinates with the Prosecutor to avoid the repeated return of the uncompleted documents of corruption and to accelerate the investigation of the corruption criminal cases. The present study of thesis is a descriptive analysis intended to describe /assess the problem of authority of the Police, Prosecutor and KPK (Corruption Controlling Commission) in eradicating any corruption criminal case and juridical challenges faced by the Police in making an investigation of any corruption criminal cases in the juridical territory of Provincial Police of North Sumatra especially the Criminal Detective Directorate of North Sumatra in Medan. And the authority of the Police in eradicating the corruption criminal cases is then analyzed and described accurately. The approach included normative juridical method intended to analysis the law in written, library research and documentary study were used as the temporarily materials and the field data through interview were used to be supplemental one. The data either the secondary collected by library research and the supportive data collected by interview were then analyzed to test and evaluate the validity and then the data were classified in terms of the types. The qualitative data were interpreted juridically, logically and systematically using deductive and inductive methods. The inductive method means the generalization of the authority of the Police as the investigator of the corruption criminal cases. The deductive method means the regulations prevailing generally although they are not absolutely but used as the legal principles of resolution of the corruption criminal cases. Using both deductive and inductive methods, an agreement is found of how actually the authority of the Police as the investigator of corruption criminal cases. The result of the study showed that the police as the investigator of the corruption criminal cases is provided with the duty and authority by the Laws to make investigation of all the criminal cases according to the Criminal Procedure Law and other regulations. In making any investigation, the Police collects the evidence and find the indicted of any corruption criminal case according to the Article 5 and 7 of the Laws No. 8 of 1981 regarding the Criminal Law, the Laws No. 2 of 2002 regarding the Police, and the Inpres (Presidential instruction) No. 5 of 2004 regarding the Acceleration in Eradicating the Corruption. Whereas the authority of the Prosecutor is to act as the prosecutor and investigator of a certain criminal case based on the Laws in compliance with the Article 30 off the Laws No.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
16 of 2004. Compared to the KPK, the authority is more comprehensive in investigation, and prosecution of any corruption case and other criminal cases related to the imposition of the nation at least of p. 10000.000.000 ( one billion rupiah). The Provincial Police of North Sumatra and The Head of Provincial Prosecutor of North Sumatra made an agreement pm the Joint Regulation of the Provincial Police of North Sumatra and the Provincial Prosecutor of North Sumatra No. Pol. PB/99/III/2007, No. B.64 / N. 2 / FD. 1 / 03/2007 and KEP019/A/JA/03/2006 regarding the Optimalization in coordination of Eradicating the Criminal Cases between The Provincial Police of North Sumatra and the Provincial Prosecutor of North Sumatra to minimize a possible overlapping in eradicating the corruption criminal cases. The juridical challenges faced by the Police in investigating the corruption criminal cases in the juridical territory of Provincial Police of North Sumatra included the existence of the regulation for application of acceptance that should be applied by the Police and the Prosecutor to certain authority /institution to subpoena /investigate the indicted / witness and statement of an expert as stipulated in the Article 184 of the Criminal Code. Seizure of the evidences, and calculation of financial lost of the nation that inhibit the investigation process and even the possibility of disposing the evidences by the actor / the indicted.
Key words : Authority of Police, in Eradicating Corruption Criminal Cases
.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk dan masukan kepada penulis. 5. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan kepada penulis. 6. Bapak
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku penguji yang telah banyak
memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini. 7. Bapak, Syafruddin S, Hasibuan, SH, M.H, selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini. Kepada seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti Studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
semoga
ilmu
yang
diberikan
bermanfaat
bagi
penulis
di
dalam
mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari, Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan jajaran, yang telah memberikan izin mengikuti studi pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan staf yang telah memberikan izin penelitian, baik wawancara maupun diskusi yang telah memberikan dukungan untuk penyelesaian tesis ini. Kepada Ibu ku Theodora Simanjuntak dan mertua G. Siahaan dan R Br. Manurung, yang saya hormati, mengucapkan terima kasih atas dukungannya dan do’a penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikankebaikannya dan memberikan umur yang panjang. Khusus
kepada suamiku J. Siahaan, SE dan anak-anakku tercinta dan
tersayang Josua Eprandi Siahaan dan Grace Mandasari Siahaan, yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan Studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan tesis ini. Dan beserta seluruh staf Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Hormat Penulis,
Rumida Sianturi Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rumida Sianturi.
Tempat/Tanggal Lahir
: Bah Jambi/ 03 Maret 1959.
Jenis Kelamin
: Perempuan.
Agama
: Kristen Protestan.
Instansi
: Polda Sumatera Utara.
Pendidikan Sekolah : - SD Negeri I di Pekan Kerasaan Kab. Simalungun Tahun 1970. - SMP YPUPB di Bah Jambi Kab. Simalungun Tahun 1973 - SMA Negeri Perdagangan Kab.Simalungun Tahun 1976. - Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1984 Pendidikan Polri : - SEPA MILSUKWAN III Tahun 1985-1986. Riwayat Jabatan : - Kasubsi Anevluh Silukum Diskum Polda Sumut Tahun 1986-1991 - Kaurbin Set Diskum Polda Sumut Tahun 1991-1996. - Kanit Perda Dit.Reskrim polda Sumut Tahun 1996-1999. - Kasubbag Bin Polwan Dit Pers Polda Sumut Tahun 1999 -2000. - Ses Diskum Polda Sumut Tahun 2000-2002. - Anggota DPRD Kota Tebing Tinggi Tahun 2002-2004. - Kasubbid Rapluhkum Bid Binkum Polda Sumut Tahun 2005-2006.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
- Kasat Tipikor Dit.Reskrim Polda Sumut Tahun 2007. - Kasubbid Dokliput Bid Humas Polda Sumut Tahun 2007-2009. - Irbid Bin Itwasda Polda Sumut (Februari 2009 sampai Sekarang).
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT ...........................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang ...……………………………………………………
1
B. Permasalahan ..……………………………………………………...
8
C. Tujuan Penelitian ..………………………………………………….
8
D. Manfaat Penelitian ..………………………………..……………….
9
E. Keaslian Penelitian ..………………..……………………………....
9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...........................................................
9
1. Kerangka Teori …………………………………………….......
9
2. Konsepsi …………………………………………………….…. 16 G. Metode Penelitian ..…………………………………………….......
18
BAB II WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA .................................................. 23 A. Susunan dan Kedudukan Polri ..……………………………..……..
23
B. Tugas dan Wewenang Aparat Penegak Hukum di Indonesia ........... 37
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Tugas dan Wewenang Polri ....………………………………..... 37 2. Tugas dan Wewenang Polri dengan Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi ..………………….……
56
3. Tugas dan Wewenang Polri dengan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi ...…………………….… 61 C. Kewenangan Polri Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ...…………………………………………......................... 77 BAB III HAMBATAN YURIDIS YANG DIHADAPI POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI JAJARAN POLDA SUMUT ....................................... 84 A. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi ....………………… 84 B. Hambatan-hambatan Yuridis yang Dihadapi Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi .................................................... 99 1. Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dalam Penyidikan .…. 99 2. Faktor-faktor penghambat dalam penyidikan yang Dihadapi Polri dan Jaksa .……………………………………………….... 105 C. Kasus Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara .………………….. 107 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 113 A. Kesimpulan………………………………………………………….. 113 B. Saran………………………………………………………………… 114 DAFTAR PUSTAKA .…………………………………………………………... 116
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1
Perbandingan kewenangan dan tugas Polri, Jaksa dan KPK .............
80
2
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2004........................................................................... ………..
107
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2005 ...............................................................................……..
108
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2006 ............................................................................……….
109
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2007 ………………………………………………………….
110
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polisi Daerah (Polda) Sumatera Utara Tahun 2008 ..……………………………………….
111
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara dari Tahun 2004-2008 secara Kumulatif …........................................
112
3
4
5
6
7
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis multi dimensi yang melanda Negara Republik Indonesia dipenghujung tahun 1998, ditandai dengan kebangkrutan perekonomian negara seiring dengan lengsernya Presiden Soeharto. Krisis mental termasuk kejujuran 1 dan juga salah satunya Korupsi. Apabila Korupsi itu dilakukan berjamaah dalam skala besar dan dibiarkan berlarut-larut, seperti yang terjadi selama ini, negaralah yang secara langsung menanggung akibatnya. Terbukti hingga saat ini
bila diamati bahwa
pemberantasan Korupsi belum menunjukkan arah perubahaan dan hasil seperti yang diinginkan. 2 Keuangan yang digerogoti terus menerus dan perekonomian yang tidak di kelola menurut prinsip-prinsip ekonomi yang benar, pasti akan goyah juga. Konon pula fundamen dari perekonomian negara Indonesia yang rapuh. 3 Era baru, era Reformasi, ditandai bangkrutnya hampir seluruh Bank yang ada. Untuk mengatasi keadaan ini, Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Melalui badan ini, Pemerintah menyalurkan dana Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang amat besar yakni lebih dari Rp. 165 triliun dengan maksud untuk merekapitalisasi bank-bank tersebut sehingga kekurangan modal (car 1
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 11. 2 Bismar Nasution (selanjut disingkat Bismar Nasution I), Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace and Library, 2007), hal. 251. 3 www.hukumonline.com, Transparasi Internasional: Indonesia Masih Menjadi Salah Satu Negara Terkorup, diakses pada tanggal 8 Maret 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
capital adequasi Ratio). Siapa yang membayar bunga dana yang dipakai oleh para pemilik bank ini?, ternyata pemerintah membebankannya kepada (Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 4 Gerakan reformasi yang menumbangkan pemerintahan Soeharto dimasa Orde Baru menuntut, antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disingkat dengan KKN). Masalah Korupsi adalah masalah yang paling aktual dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya. 5
Salah satu
penyebab sulitnya pemberantasan Korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. 6 Banyak upaya yang dilakukan guna memperteguh pemberantasan tindak pidana Korupsi dengan cara membuat, memperbaiki dan merevisi peraturan-peraturan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga seolah-olah tidak ada celah untuk terbebasnya koruptor dari jeratan hukum. Namun keberhasilan dari suatu Undang-undang untuk menjerat pelaku Tindak Pidana juga sangat bergantung pada aparat penegak hukum sebagai pelaksananya. 7 Perkembangan sejarah Pemberantasan KKN telah berlangsung sejak tahun 1950, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
4
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung, (Bandung: Grafitri, 2006 ),
hal. 59. 5
Leden Marpaung, Loc. Cit, hal. 11. www.hukumonline.com, Transparansi International: Indonesia masih negara terkorup,diakses tanggal 11 Maret 2009. 7 www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009. 6
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat Perppu No. 24 Tahun 1960). Beberapa upaya untuk pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-undang tersebut dilakukan antara lain : a. Operasi Budhi. b. Pembentukan tim pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967, yang dipimpin oleh Jaksa Agung. 8 Meskipun pada kenyataannya kurang berhasil dengan mempergunakan Perppu No. 24 Tahun 1960, dijumpai hal-hal yang tidak sesuai, antara lain sebagai berikut : 1. Adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian negara menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, tidak dapat dipidana karena rumusan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan. 2. Pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya ditujukan kepada Pegawai Negeri sedang kenyataan, orang-orang yang bukan Pegawai Negeri yang menerima tugas/bantuan tercela seperti yang dilakukan Pegawai Negeri. 3. Perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang mempermudah pembuktian dan mempercepat proses dari hukum acara yang berlaku tanpa tidak memperhatikan hak asasi tersangka/terdakwa. 9
8 9
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 3. Ibid. hal. 4.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Ternyata keberadaan Perppu No. 24Tahun 1960 tidak berhasil membendung merajalelanya Korupsi, sehingga Pemerintah pada tanggal 29 Maret 1971 menganggap perlu mengganti Perppu No. 24 Tahun 1960 dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yang dapat mempercepat upaya pemberantasan Korupsi, antara lain : a. Korupsi ditetapkan sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri, tidak lagi sebagai salah satu jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). b. Diperkenalkannya peradilan koneksitas yang dapat mengadili anggota Tentara Nasional Indonesia dan Sipil sekaligus dalam Peradilan Umum atau Militer. 10 Kemudian diubah dengan
Undang-undang
Nomor
31 Tahun 1999
(selanjutnya disingkat UU Tipikor), mengatur hukum pidana materiil (seperti perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), dan hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan), dan disempurnakan kembali dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan maksud menambahkan ketentuan tentang pembalikkan beban pembuktian. 11 Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Untuk itu 10
Ibid. hal. 13 Andi Hamzah (Selanjutnya disebut Andi Hamzah I), Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 73. 11
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
diperlukan upaya penegakan hukum secara sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Mengingat Peran Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom masyarakat, penegak hukum dan pelayanan masyarakat menjalankan perannya agar mempunyai tanggung jawab khusus menjalankan peranannya agar terpelihara ketertiban masyarakat. 12 Sehingga dalam menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun dalam bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup sejahtera, aman dan tenteram. Polri sebagai salah satu sub sistem dari sistem Peradilan Pidana (criminal justice system), berwenang melakukan tugas Penyelidikan, Penyidikan
terhadap
semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya termasuk kasus Korupsi, 13 selain lembaga-lembaga hukum seperti Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Dalam hal Polri melakukan tugas penyidikan, 14 terhadap kasus-kasus Korupsi, sejak awal penyidikan kasus senantiasa berkordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (Selanjutnya disingkat JPU), untuk menghindari bolak-balik perkara secara berulang. 12
Lihat Pasal 2 dan Pasal 4 UU Polri. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI, bahwa Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk Tindak Pidana Korupsi; dan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 14 Pasal 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Untuk dapat menjalankan tugasnya Penyidik mempunyai wewenang untuk : a. Menerima laporan atau pengaduan adanya tindakan pidana. b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal badan. c. Mengambil sidik jari dan identitas orang. d. Menggeledah badan. 13
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Jaksa sebagai penuntut saling kordinasi dengan Polri untuk memberantas Korupsi, Pasal 30, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UUKJ). Tugas dan wewenang jaksa dalam bidang pidana adalah: melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pidana bersyarat, putusan Pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum
dilimpahkan
kepengadilan
yang
dalam
pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik Polri. 15 Kejaksaan, sebagai instansi/lembaga peradilan yang juga berperan dalam menanggulangi Korupsi, merupakan salah satu lembaga yang menjadi tulang punggung untuk menanggulangi Korupsi yang selanjutnya disebut core unit. 16 Sebagai instansi/lembaga yang menanggulangi Korupsi, dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan tugas-tugas pokok yang dilaksanakan, yaitu: Menangani Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional; Memantau Kekayaan Pemegang Jabatan dan Fungsi Publik; Melaksanakan Fungsi Intelejen & e. Menangkap orang. f. Menahan orang sementara. g. Memanggil orang untuk didengan dan diperiksa. h. Mendatangkan ahli. i. Menggeledahkan halaman rumah, gedung, alat pengangkutan darat, laut dan udara. 15 www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009. 16 Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Mengembangkan Sistem Pengamanan Transaksi Nasional; Melaksanakan Sebagian dari Fungsi Penegakkan Hukum (Sistem Peradilan Pidana); Memantau dan mengevaluasi. 17 Peranan KPK tidak terlepas juga dengan Polri dan Kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
18
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sekarang ini belum dapat dilaksanakan secara optimal, oleh karena itu pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Asumsinya, meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. 19 Polri dalam menyidik kasus terkesan sangat lambat, mengingat kewenangan Polri sebagai Penyidik, untuk menyelidiki pelaku/tersangka tindak pidana korupsi, dimana masyarakat sebagai penilai/monitoring kurang percayanya kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi. 17
www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009. 18 Pasal 6, Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat UUKPK) mempunyai tugas : a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana Korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana Korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana Korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana Korupsi ; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelegaraan pemerintahan negara. 19 www.antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 Maret 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Dalam hal ini masih diperlukan untuk penguatan sistem manajemen di Polri sendiri, sehingga penilaian masyarakat terhadap Polri dapat berkurang. Terutama dalam kewenangan dan tugas Polri dilapangan kerja. Berdasarkan
uraian-uraian
diatas,
penulis
tertarik
untuk
membahas
kewenangan Polri dalam menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ”Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. B. Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Polda Sumut. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran dibidang hukum pidana mengenai kewenangan Polri, serta penyelesaian pembuktian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam pemahaman pengaturan dan mekanisme, Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK sebagai Penyidik dan hambatan yuridis apa sajakah yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jajaran Polda Sumut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. 20 Menurut Lawrence M. Fridman, yang dikutip oleh Ahmad Ali, “Pemberantasan korupsi dapat berjalan, manakala terdapat 3 (tiga) unsur yang merupakan sistem hukum sudah berfungsi. 21 Tiga unsur hukum tersebut adalah : a. Subtansi yang mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan pengadilan. b. Struktur, yang mencakup instansi penegak hukum. c. Kultur hukum, yang mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat biasa. Penyelenggaraan fungsi kepolisian secara universal yang
di Indonesia
menganut 3 unsur hukum menurut Lawrence M.Fridman, yang secara keseluruhan dapat dilihat dalam bentuk sistem kepolisian yang dianut, sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam konsitusi dan konvensi yang dikembangkan oleh suatu Negara, mencakup segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polri, yang terdiri dari: landasan ideal/filsafati, fungsi kepolisian, tujuan kepolisian, tugas kepolisian, susunan dan kedudukan kepolisian, asas-asas kepolisian, wewenang dan tanggung jawab kepolisian, pembinaan fungsi kepolisian dan hubunganhubungan kepolisian. 20
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghali, 1982), hal. 37. Ahmad Ali tentang Trend Baru Pemberantasan Korupsi, Kompas Tanggal 13 September
21
2001.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Untuk menjalankan suatu pemerintahan yang bebas dari Korupsi, 22 Kolusi dan Nepotisme, Polri mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan menciptakan suatu ketertiban didalam masyarakat, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi manusia, masyarakat dan hukum yang tidak akan mungkin dipisah-pisahkan. 23 Selanjutnya ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret dan adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 24 Dalam mengimbangi perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat keberhasilan pembangunan nasional yang telah direncanakan dalam rangka meniadakan atau mengurangi kesenjangan-kesenjangan peraturan perundang-undangan yang belum dapat mengimbangi perubahaan sosial yang sangat pesat. Untuk dapat mewujudkan terciptanya ketertiban dan perasaan aman dalam masyarakat, maka dalam menegakkan hukum dilapangan, selain tindakan upaya
paksa menurut prosedur
hukum yang ditetapkan dalam KUHAP, juga diperlukan wewenang tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan perlu didayagunakan oleh Polri.
22
Krisna Harahap, Op.Cit, hal. 6. Dari definisinya dapat diketahui bahwa yang dinamakan Korupsi adalah sesuatu yang buruk, rusak dan busuk. Keadaan tersebut lahir dari tindakan seseorang yang menguasai sesuatu tanpa hak dan melawan hukum dengan atau tanpa menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang ada padanya 23 Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), Penguasa Penegakkan Hukum, (Jakarta : Binacipta, 1983), hal.42. 24 Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Selain KUHAP diperlukan Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara 25 yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya 26 sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. 27
25
Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang penting, yaitu istilah: 1. Tindak Pidana Korupsi. 2. Keuangan Negara. 3. Perekonomian Negara. Ad. 1. Tindak Pidana Korupsi adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ad. 2. Keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah. 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Ad. 3. Perekonomian Negara adalah : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 26 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3S, 1983), hal. 20. Ciri-ciri Korupsi adalah sebagai berikut: a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang Korupsi sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, disini seringkali ada pengertian diamdiam diantara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuendi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat. b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali Korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam, sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Mengenai kebijakan Hukum Pidana atas Tindak Pidana Korupsi, Barda Nawawi Arief menyatakan: bahwa usaha pergaulan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy). 28 Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum, yaitu: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila ; dan 4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
29
lingkungannnya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif Korupsi tetap dijaga kerahasiannya. c. Korupsi mengakibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktekan cara-cara Korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e. Mereka yang terlibat Korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. f. Setiap perbuatan Korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum. g. Setiap bentuk Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 27 www. Ketentuan%20tindak%20pidana%20korupsi.htm, Perihal Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 31 Maret 2009. 28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), haL 29. 29 Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Lebih lanjut pendapat Donald Black tersebut dikembangkan oleh Ediwarman dengan mengemukakan: Prilaku yang menyimpang adalah suatu tingkah laku yang tunduk kepada kontrol sosial. Dengan kata lain kontrol sosial mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang menyimpang, dan semangkin banyak kontrol sosial kemana tingkah laku itu harus tunduk, semangkin banyak tingkah laku itu. Dalam pengertian ini. Keseriusan dari prilaku yang menyimpang itu dibatasi oleh kuantitas kontrol sosial kemana tingkah laku itu tunduk. Kuantitas dari kontrol sosial juga mendefinisikan kadar dari prilaku yang menyimpang itu. Gaya dari kontrol sosial bahkan mendefinisikan gaya dari prilaku yang menyimpang, apakah itu suatu kejahatan yang harus dihukum, suatu hutang yang harus dibayar, suatu keadaan yang membutuhkan perlakuan, atau suatu perselisishan yang memerlukan penyesuaian. Dengan singkat, perilaku yang menyimpang adalah suatu segi dari kontrol sosial. 30 Adanya
peranan
pengawasan
didalam masyarakat
dapat dilihat dari
Pasal 8 UUKKN yang mengatur: 1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggara negara yang bersih. 2. Hubungan antara Penyelenggara Negara
dan masyarakat dilaksanakan
dengan berpegang pada asas-asas penyelenggaraan negara yang baik. Dengan adanya hak dan tanggung jawab yang dimiliki masyarakat sebagai pengawas publik, diharapkan akan dapat terciptanya suatu kontrol sosial secara optimal terhadap para pengguna uang negara dengan tetap menanti rambu-rambu hukum yang berlaku. Namun, peran masyarakat tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu, masyarakat juga harus tetap melakukan pengawasan terhadap jalannya proses
30
Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection For The Victim of Land Cases), (Pustaka Bina Bangsa,2003), hal.9.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
penyidikan sampai pada saat persidangan di pengadilan agar proses hukum tersebut dapat di tegakkan secara objektif. 31 Pembentuk Undang-undang telah memberikan pada masyarakat guna berpartisipasi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk dan peran serta masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Hak, mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
terjadi delik Korupsi. 2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam butir 1 diatas kepada penegak hukum yang menangani perkara delik Korupsi. 3. Hak untuk menyampaikan saran, pendapat, serta tanggung jawab kepada penegak hukum pada butir 2. 4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan pada penegak hukum pada laporannya yang diberikan kepada penegak hukum pada butir 2 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. 5. Hak dalam perlindungan hukum, antara lain dalam hal: a. Melaksanakan haknya sebagaimana diuraikan dalam butir 1) dan 2); b. Diminta hadir dalam proses penyidikan-penyidikan dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi dan ahli. 32
31
Edi Yunara, Op.Cit, hal. 63. Martiman Prodjohanidjojo, Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 97. 32
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
2. Konsepsi Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini antara lain : a. Polri merupakan salah satu pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai Penyidik 33 untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti suatu tindak kejahatan untuk menemukan tersangka pelaku tindak pidana. b. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 34 c. Wewenang merupakan hak dan atau kekuasaan dan mempunyai tanggungjawab, yang terletak dibidang publik Polri. Untuk bertindak dan menentukan keabsahan dari tindakan yang diberikan oleh hukum dalam bentuk undang-undang No.2 tahun 2002 mengenai UUPolri . d. Keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya
33
Lihat Pasal 1 ayat 1 UUTipikor jouncto Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penyidik adalah Pejabat Polri atau Pejabat Pegawai Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan cara menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat tentang Tindak Pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 34 Lihat Pasal 2 UUTipikor
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 35 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah. 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. e. Perekonomian Negara adalah : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 36 f. Jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
35 36
Penjelasan atas UU No.31 Tahun 1991 tentang Tipikor. Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. 37 g. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. 38 G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soerjono Soekanto mengenai Penelitian hukum, sebagai berikut: Penelitian hukum padanya dasar merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan dalam gejala yang bersangkutan. 39
37
Lihat Pasal Pasal 1 ayat 1 tentang UUKejaksaan. Lihat Pasal 3 jouncto Pasal 9. Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan : a. Laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindak lanjuti; b. Proses penanganan Tindak Pidana Korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Korupsi; d. Hambatan penangan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legeslatif; e. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau Kejaksaan penanganan Tindak Pidana Korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 39 Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1981), hal. 43. 38
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Spesifikasi Penelitian Sifat
penelitian
ini
adalah
Deskriptif-analitis,
deskritif
maksudnya
menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap Kewenangan Polri, Jaksa dan KPK dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi dan
hambatan yuridis yang
dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Jajaran Polda Sumatera Utara, khususnya Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara di Medan. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai Kewenangan Polri dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, serta hubungan fenomena yang diselidiki. 40 Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research), 41 yaitu penelitian yang menganalisis hukum dan yang tertulis didalam buku (law as it is writen in the book). 42 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan
40
Soerjono Soekanto (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), Metedologi Reserarch, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998) hal.3. 41 Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data skunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Juri Mentri, (Jakarta: Ghalia indonesia, 1988).hal.10. 42 Bismar Nasution. Metode penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan: Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 februari 2003), hal.1.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. 2. Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data skunder, yang meliputi: 43 a. Bahan hukum primer, yaitu: 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. 4. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder,
43
Penelitian Normatif dan sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek , (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.14.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah /jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian.44
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui: b. Studi kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian. c. Wawancara. Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Pejabat Ditrektorat Reskrim Polda Sumatera utara dan Kasi. Penyidikan pada AS PIDSUS KEJATISU. 4. Analisis Data Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hal.23.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak Pidana Korupsi. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya Kewenangan Polri dalam bertugas sebagai penyidik untuk memberantas Tidak Pidana Korupsi Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
BAB II WEWENANG POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. Susunan dan Kedudukan Polri Susunan dan kedudukan Kepolisian diberbagai negara di dunia selalu berkaitan dengan sistem pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan sistem administrasi Kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem pemerintahan
negara
atau
sistem
administrasi
negara
berkaiatan
dengan
penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran Preventif dan Preemptif, sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang meliputi : fungsi pengaturan, perijinan, pelaksaan sendiri tugas pokok, pengolahan, pengawasan dan fungsi penyelesaian perselisihan. 45 Sistem peradilan pidana berkait dengan penyelenggaraan fungsi Kepolisian pada tataran represif sehingga akan mempunyai ciri-ciri dari sistem peradilan pidana (Criminal justice system) antara lain mengenai asas yang dianutnya. Richard J. Terrill dalam bukunya “World criminal justice system" memperbandingkan criminal justice system diberbagai negara antara lain Inggeris, Perancis, Swedia, Jepang, dan Uni Soviet hanya berdasarkan komponen-komponen yang terdiri dari : The government, The police, The judiciary, The law, Corrections and juvenilie justice dan tidak mengkaitkannya dengan komponen Angkatan Perang atau Militer oleh karena secara universal memang diakui
tidak menunjukan adanya kaitan. Selanjutnya dapat
45
Momo Kelana, Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, (Jakarta: PTIK Press, 2007),
hal. 130.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
disimpulkan bahwa susunan dan kedudukan Kepolisian tidak ada dengan institusi Militer atau Angkatan Perang. 46 Pada dasarnya susunan dan kedudukan Polri ditiap negara menggambarkan konsepsi kepolisian yang dianut oleh negara yang bersangkutan dapat dikembalikan kepada dua aliran besar yaitu konsepsi Anglo Saxon dan konsepsi Eropa Kontinental. 47 Konsepsi Anglo Saxon ditemukan dalam sistem kepolisian di Inggris dan negara-negara persemakmurannya termasuk juga Amerika Serikat yang mempunyai sejarah perkembangan kepolisian yang disusun dari bawah berdasarkan keluarga (kinpolice) sejalan dengan perkembangan “local autonomy system” yang berakar dari sejarah dimana rakyat membentuk kota kecil dan mengangkat ”mayor” dan ”sheriff” nya sendiri. Hal tersebut kemudian berkembang keatas menjadi negara bagian sampai kepada negara federal dan mengakibatkan susunan organisasi kepolisian di Amerika Serikat sangat banyak dan beragam yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000. Di Amerika Serikat selain Sheriff, terdapat City Police, Cauntry Police, State Police dan diangkat federal terdapat Federal Bureau of Investigation (FBI), Norcotic dan Secret Service. 48 Pengaruh dari Amerika Serikat dengan local autonomy system diterapkan pula dinegara jajahannya Filipina yang ternyata setelah kemerdekaan membawa banyak 46
Ibid. Adam Thomas F, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, (Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968), hal. 71. 48 Djamin Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, (Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001), hal. 57-58. 47
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
masalah. Maka pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an diciptakan “Intergrated National Police” dipimpin oleh Jendral Ramos, kemudian pada masa kepresidenan Cory Aquino dengan konstitusi baru dibentuk Philippine National Police. Demikian pula halnya di Jepang, sebelum perang dunia memiliki kepolisian nasional model Kepolisian yang diterapkan di Prancis dan Rusia tahun 1874 sebagai bagian dari Program Restorasi pemerintahan Meiji yang memperkenalkan budaya dan teknologi Eropa ke Jepang. Setelah Jepang kalah perang, dipaksa Amerika Serikat menganut “local police system” yang ternyata tidak cocok buat Jepang sehingga Jepang kembali menganut “National Police System”. Semenjak tahun 1960-an kepolisian dunia mengarah ke National Police System atau National coordinated police system. Malaysia, negara federal menganut national police system, Jerman, Australia, negara-negara federal memiliki kepolisian yang koordinir baik secara nasional. 49 Konsepsi Eropa Kontinental ditemukan di negara Perancis, Belanda dan Jerman yang lebih memperlihatkan ciri-ciri pengembangan kepolisian yang di susun dari atas (Ruler appointed police) dan tersusun sebagai Kepolisian Nasional. Sistem peradilan
pidana yang dominan di Indonesia adalah sistem Eropa
Kontinental sebagai pengaruh dari sejarah penjajahan Belanda walaupun sempat pula menerima pengaruh Inggris melalui “Regulation” dari Raffles yang meletakan dasar dan peraturan tentang tata usaha Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha Keplisian. 49
Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Susunan dan kedudukan Polri sepanjang sejarah Indonesia selalu mengikuti kebijaksaan pemerintah kolonial (colonial police) sejak tahun V.O.C (1602) sampai kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800 sampai 1942, dengan penerapan “indirect rule system” yang membedakan jabatan bagi bangsa Eropa dan pribumi serta membagi wewenang antara Hoofd van den diens algemene politie yang berkantor di Departemen Dalam Negeri, Rechts politie pada procureur general pada hooggrechtsshof (Mahkamah Agung Hindia Belanda) dan Resident atau Asistant Resident yang memiliki wewenang operasional agar lebih mudah untuk meminta bantuan KNIL untuk menumpas kerusuhan dan lain-lain. Istilah “politie” baru di kenal pada jaman Hindia Belanda setelah berkembangnya “modern police” di Inggris pada tahun 1829. Bentuk-bentuk kepolisian pada jaman Hindia Belanda adalah : Algemene politie, stadspolitie, gewapende politie, veld politie, cultuur politie dan bestuurs politie. 50 Pada jaman penduduk Jepang pada tahun 1942 sampai dengan 1945, hanya ada satu bentuk kepolisian yaitu “Keisatsutan” yang susun dan kedudukan disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer guna pembagian daerah pertahanan militer Jepang. Kepolisian dibagi dalam empat regional : a. Jawa dan Madura, dengan pusat di Jakarta dibawah Rikugun (Angkatan Darat). b. Sumatera, dengan pusat di Bukit tinggi di bawah Rikugun.
50
Awaloedin Djamin, Op. Cit, hal .60-61
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Timur Barat (Sulawesi, Maluku, Irian Barat) berpusat di Makasar dibawah Kaigun (Angkatan Laut). d. Kalimantan berpusat di Banjarmasin dibawah Kaigun. Pada jaman kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 secara spontan kepolisian di daerah menyatakan diri sebagai Kepolisian Republik Indonesia dan pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sesuai dengan jaman Hindia Belanda menetapkan organisasi kepolisian dalam lingkungan Departemen
Dalam Negeri, namun dalam kenyataan tidak pernah
terlaksana. 51 Pada tanggal 1 Juli 1946, dengan penetapan pemerintah No. 11/SD dibentuk di Jawatan Kepolisian Negara dan bertanggung jawab langsung kepada Perdana Mentri. Maka secara resmi lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia (Indonesian National Police) yang melaksanakan seluruh tugas kepolisian dan mencakupi seluruh wilayah Republik Indonesia. Mulai saat itu struktur organisasi Kepolisian ditingkat pusat berada dibawah perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan Negara membawahi secara hierarkhis Penilik Kepolisian, Kepala Kepolisian karesidenan, Kepala Kepolisian Kabupaten, Kepala Kepolisian Distrik (kawadanan) dan Kepala Kepolisian Onder Distrik (Kecamatan). Penilik Kepolisian yang berada ditingkat Provinsi mengkoordinir kepolisian di daerah.
51
Ibid
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pada tahun 1946, organisasi kepolisian disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 sehingga secara hirarkis kewenangan kepolisian berada pada Perdana Menteri, Kepala Kepolisian Karesidenan, Kepala Polisi Kabupaten, Kepala Polisi Wilayah, dan Kepala Polisi Sub wilayah. Susunan dan kedudukan kepolisian terus disesuaikan dengan dinamika dan tututan perjuangan pada revolusi fisik. Karena keadaan Ibu Kota Jakarta yang tidak memungkinkan, maka bulan Juni 1946 Kantor Pusat Kepolisian dipindahkan ke Purwokerto. Konsolidasi Kepolisian menghasilkan dibentuknya Mobile Brigade (Mobbrig) pada tanggal 14 Nopember 1946 dan tanggal 17 Juni 1946 didirikan Akademi Polisi yang kemudian pada tahun 1950 ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Pada periode 1946 sampai Agustus 1950 Kepolisian Negara berada dibawah Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Kepala Kepolisian Negara berada dibawah Perdana Menteri, namun keadaan itu berlangsung hanya selama 7 (tujuh) bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan tetapi dengan Undang-Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 Pasal 130 dinyatakan bahwa : “untuk memelihara ketertiban dan keamanan yang diatur dengan undang-undang”. Kepala Kepolisian Negara tetap membawah kepada perdana Menteri dan bertanggung jawab atas kepolisian diseluruh tanah air dengan organisasi yang utuh dari pusat sampai kedaerah. Perdana Menteri dibantu oleh satu Biro Keamanan dikantor (Kabinet) Perdana Menteri yang dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi R Soeprapto.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Konsolidasi Kepolisian Negara terus dilaksanakan dan membangun secara sistematis menjadi kepolisian yang modern dan profesional. Berbagai keberhasilan operasional dan fungsi represif dan preventif seperti mengungkap kasus spionase Juengslager dan Schmidt peristiwa Cikini, dan lain-lain ditanda tangani Kepolisian Negara RI dengan berhasil tanpa campur tangan dari instansi lain. Ditingkat internasional, Kepala Kepolisian Negara Indonesia ditunjuk sebagai Kepala National Central Bureu Interpol, mewakili Pemerintah RI dalam International Criminal Police Commission (ICPC) yang kemudian menjadi ICPO (Intemational Criminal Police Organization). Susunan dan kedudukan kepolisian di Indonesia selanjutnya lebih diharapkan dinyatakan dalam Undang-Undang. Panitia Wongsonegoro bekerja cukup lama untuk membuat Undang-Undang, namun tidak membawa hasil. Di samping itu, Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) pada tahun 1957 mengadakan kongres yang menghasilkan sebuah keputusan agar kepolisian memiliki Kementerian tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri (Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Pada tahun 1961 lahirlah Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara yang mengatur tentang pimpinan dan Susunan Negara dimana dinyatakan bahwa: a. Pasal 5 (1) Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara dilakukan oleh Departemen Kepolisian. b. Pasal 6 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara. c. Pasal
7 angka :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Menteri yang menguasai Kepolisian Negara, selanjutnya disebut Menteri, memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara, baik pencegahan (prefentif) maupun pemberantasan (represip). 2. Menteri
menetapkan
kebijakan
Kepolisian,
sesuai
dengan
politik
Pemerintah umumnya dan politik keamanan nasional khususnya, serta bertanggung jawab atas pelaksaan tugas memelihara keamanan didalam negeri. 3. Menteri memegang pimpinan Departemen Kepolisian. 4. Menteri memegang pimpinan dan penguasaan umum Kepolisian Negara. d. Pasal 8 Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan tehnis dan Komando Angkatan Kepolisian Negara. Dengan demikian menurut Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 pengembanan kekuasan kepolisian secara hirarki terdiri dari Presiden, Menteri Kepolisian Negara, dan Kepala Kepolisian Negara serta disamping itu terdapat Kepala Daerah yang memegang pimpinan kebijakan politik polisionil dan koordinasi dinas vertikal di daerahnya. Oleh karena itu Kepala Daerah dapat mempergunakan Kepolisian Negara yang ada dalam daerahnya untuk melaksakan wewenangnya dengan memperhatikan hirarki dalam Kepolisian Negara. (Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 1961). Mengenai
susunan
kepolisian,
Undang-Undang
Kepolisian
menganut
Kepolisian Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (1) “Kepolisian Negara merupakan satu kesatuan”. Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
wewenang Kepolisian disusun menurut keperluan pelaksaan tugas Kepolisian Negara dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pimpinan Kepolisian di daerah bertanggung jawab atas pimpinan serta pelaksaan kebijaksaan keamanan dan lain-lain tugas Kepolisian di daerahnya masing-masing dan langsung bertanggung jawab kepada pejabat Kepolisian yang menurut hirarki ada diatasnya. Di bidang proses pidana kedudukan Kepolisian di atur dalam Het herziene inlandsche reglemen (HIR) sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat) sampai keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 juga dinyatakan kedudukan Kepolisian Negara sebagai Angkatan Bersenjata, namun demikian tidak ada pengintegrasian Kepolisian Negara kedalam Angkatan Bersenjata. Polri tetap dipimpin oleh Menteri atau Kepala Staf Angkatan Polri, kemudian Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian. Kepolisian tetap membawa pada Presiden. Dengan demikian dalam kenyataannya semenjak 1 juli 1946 sampai dengan tahun 1969, Polri tetap mandiri, otonom dibidang operasional dan pembinaan, langsung dibawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara. Pada tahun 1969 dilaksanakan integrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dengan demikian kemandirian dan kedudukan Polri semenjak 1 Juli 1946 berada dibawah Perdana Menteri dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara menjadi terhenti. Awaloedin Djamin menyatakan bahwa: “Dalam pelaksaan integrasi yang keliru inilah, kemandirian Polri dibidang operasional dan pembinaan merosot. Dengan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
adanya lembaga Kopkamtib yang dalam praktek mempunyai kekuasaan yang luas, juga dalam penegakan hukum dan penyidikan, maka intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian tidak dapat dihindarkan. 52 Pada Tahun 1981 keluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat perubahan kebijakan proses pidana serta merubah kedudukan Polisi sebagai penyidik dalam proses pidana yang setara dengan Jaksa selaku penuntut umum. Kedudukan Polisi tidak lagi sebagai hulp magistraat. Perubahan tersebut dengan sendirinya membawa implikasi perubahan pula dalam penyelenggaraan fungi Polri / pemolisian. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 45 ayat (3) mengamanatkan perlunya disusun Undangundang tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undangundang No. 28 Tahun 1997 tidak profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal tersebut dapat disimak dalam rumusan berbagai Pasal antara lain dalan rumusan tujuan kepolisian dalam Pasal 2 masih terkait dengan terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal-pasal lainya juga dapat disimak susunan dan kedudukan kepolisian sebagaimana ditemukan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1982 antara lain:
52
Ibid, hal. 69.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Pasal 5 angka : 1. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri. 2. Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
merupakan
satu
kesatuan dalam melaksanakan fungsi kepolisian. b. Pasal 6 (1) Kepolisian Negara Indonesia dalam melaksanakan fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Dari rumusan Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepolisian Negara Indonesia sebagai satu kesatuan berada dibawah komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena merupakan unsur ABRI. Selanjutnya dari rumusan Pasal 6 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa model yang dianut adalah Kepolisian Nasional, walaupun tidak secara eksplisit ditegaskan dalam pasal. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 masih ditemukan berbagai bentuk intervensi antara lain dalam menyelenggarakan fungsi Kepolisian Presiden dibantu oleh Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pasal 16 ayat (1) dan (2)). Terdapat juga ketentuan tentang pertanggung jawaban pelaksaan tugas Kepala Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang penyelenggaraan operasional Kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polri yang mesti dipertanggung jawabkan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepada Menteri Pertahanan Keamanan maupun dibidang penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Indonesia, Indonesia yang harus dipertanggung jawabkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia seperti dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 yaitu: “Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada. a. ayat (2) huruf a bertanggung jawab kepada Menteri. b. ayat 2 huruf b bertanggung jawab kepada Panglima”. Mengenai kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hubungan dan kerjasama dengan instansi lain, dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1997. Pada dasarnya hubungan dan kerjasama Kepolisian Negara Indonesia, dengan badan, lembaga, serta instansi didalam dan diluar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hirarki dengan mengembangkan asas partisipasi dan asas subsidiaritas. Hubungan dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Tentang Pemerintah Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan mengikat bahwa Kepala Daerah tidak lagi secara tegas dinyatakan memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya. Selain itu kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku Koordinator, pengawas dan pembina teknis kepolisian. Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa tetap
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
melakukan “melakukan koordinasi pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap alatalat Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas”. 53 Bergulirnya era reformasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam ketatanegaraan dan pemerintahan antara lain pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dan berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden BJ.Habibie menggantikan Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Perubahan tersebut telah menimbulkan pula perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Beberapa perubahan paradigma ketatanegaraan tersebut antaralain Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratanan Rakyat No. VI/MPR/2000 dan No. VII/MPR/2000 serta UndangUndang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 dan undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002, Pasal 5 ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
53
Pasal 14 ayat (1) huruf I, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Kedudukan Polri berada dibawah Presiden dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undang (pasal 8 ayat (1) dan (2). Namun demikian dalam rangka mewujudkan balance of power dalam negara demokrasi terdapat ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 11 ayat (1)). Selain itu kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, masih dibatasi oleh Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden yang tugasnya sebagaiberikut : a. Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan. b. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. 54 Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 selain diatur tentang kedudukan 55 instansi Polri, diatur pula kedudukan Anggota Polri dalam rangka administrasi
54
Pasal 38, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
55
Susunan dan kedudukan Polri dapat dilihat pada Pasal 6 : (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peranan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 7 :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kepegawaian yang dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri disamping Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Polri. Sebelumnya mengenai personil atau kepegawaian, Polri mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, karena Polri merupakan bagian integral ABRI. B. Tugas dan Wewenang Aparat Penegak Hukum di Indonesia 1. Tugas dan Wewenang Polri Dalam rumusan wewenang yang diberikan oleh undang-undang melekat pula pertanggung jawaban sehingga bila wewenang tersebut digunakan secara salah satu melampaui kewenangan yang diberikan, maka ada prosedur pemberian sanksi-sanksi dan pertanggung jawabannya. wewenang juga menunjuk kepada sumber serta latar belakang pemberian wewenang dimaksud. Sebagai contoh asas legalitas menunjuk kepada Undang-undang sebagai sumber wewenang, sedangkan asas kewajiban menunjukan kepada kewajiban umum Polri untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum sebagai sumber wewenang. 56
Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 8 : (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundangundangan. 56
Awaloedin Djamin, Op. Cit, hal. 161.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sehingga wewenang Polri dibatasi oleh lingkungan kuasa yang terdiri dari lingkungan kuasa soal-soal (zaken gebied), lingkungan kuasa orang (personen gebien), lingkungan kuasa tempat atau ruangan (ruemte gebied/territoir gebied) dan lingkungan kuasa waktu (tijds gebied). Dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam Pasal 13 disebutkan ada 3 (tiga) tugas Pokok Polri yaitu : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 57 Bentuk-bentuk wewenang Polri dalam proses pidana dinyatakan lebih rinci dalam Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002 Pasal 16 ayat (1) dan (2). Sedangkan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, bentuk-bentuk wewenang Polri tersebut dinyatakan dalam wewenang Penyidikan Pasal 5 ayat (1) dan wewenang Penyidik Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Dalam KUHAP Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa: Penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam 57
Pasal 13 Undang-undang Polri No. 2 Tahun 2002.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pelaksanaan tugasnya berada di bahwa koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a. Kelompok wewenang kepolisian dapat dikenali berdasarkan pengelompokan tugas-tugasnya yang bersumber dari kewajiban umum kepolisian, perundangundangan lainnya dan dalam proses pidana. Oleh karena itu dapat ditemukan pengelompokan wewenang Polri. Wewenang Kepolisian dapat dibagi menjadi 4 (empat) yakni : 1. Wewenang Kepolisian Secara Umum Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan
peraturan
kepolisian
dalam
lingkup
administratif kepolisian;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kewenangan
Peraturan kepolisian adalah segala
peraturan yang dikeluarkan oleh
kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 58 Jadi jelas bahwa “Peraturan Kepolisian” tetap bersifat mengikat warga masyarakat karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk kepentingan warga masyarakat dalam kaitannya dengan tugas kepolisian. f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; Kewenangan ini merupakan legitimasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Polri ditempat kejadian perkara (TKP) guna pengamanan tempat kejadian dan barang bukti. Rumusan kewenangan ini memberikan dasar dan kekuatan hukum bagi “tanda garis polisi” (police line) yang dipasang pada tempat kejadian sehingga terhadap mereka yang melewatinya tanpa ijin dari Kepolisian dapat dikenakan sanksi hukum dan tindakan kepolisian. h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; Bagi pelaksana tugas Polri, identitas merupakan faktor yang sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan terhadap seseorang. Selain itu,
58
Pasal 15 ayat (1) huruf e Juncto Pasal 13 UU No.2 tahun 2002 tentang UUPolri, menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban dan keamanan umum, khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan. Kewenangan umum untuk bantuan pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat. Namun demikian penggunaan kewenangan ini hanya atas permintaan masyarakat.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
identitas akan terkait dengan hak kedudukan hukum dari seseorang secara pribadi sehingga untuk penentuan diperlukan pula dasar hukum. Melalui Undang-undang ini, Polri dalam rangka pelaksanaan tugas Polri diberikan kewenangan umum untuk melakukan tindakan pengenalan identitas seseorang, yaitu mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang. 59 i. mencari keterangan dan barang bukti; Rumusan dari Pasal 15 ayat (1) huruf i, memberikan legitimasi bagi kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mencari keterangan dan barang bukti, baik untuk kepentingan proses pidana. Dengan demikian, keterangan dan barang bukti yang berhasil dikumpulkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia secara hukum mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangkapelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. 60
59 60
Momo Kelana I, Op.Cit, hal. 91. Pasal 15 ayat 1, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
2. Wewenang Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan tentang kewenangan kepolisian tersebar diberbagai Undang-undang dan Peraturan Perundang-undang dan kemudian dikelompokkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dalam Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi : Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang undangan lainnya berwenang: a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegitan masyarakat lainnya. Rumusan kewenangan ini diadopsi dari substansi kewenangan yang diatur dalam Pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Rumusan kewenangan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, merupakan penegasan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pendaftaran kendaraan bermotor untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan yang dioperasikan, mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1992, yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Pasal 180 yang berbunyi : Pendaftaran kendaraan bermotor sebagai bagian yang tidak terpisah dari lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Indonesia, yang selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintahan ini disebut pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor. c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor. Kewenangan yang dirumuskan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c, merupakan pemantapan kewenangan Kepolisian Negara dalam memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1992 yang dalam pelaksanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, Pasal 216 yang berbunyi : Pemberian surat izin mengemudi sebagai bagian yang tidak terpisah dari lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh unit pelaksana penerbitan surat izin mengemudi kendaraan bermotor satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah ini disebut pelaksana penerbitan surat izin mengemudi. d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik. Rumusan kewenangan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d, berkait dengan pengaturan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-undang No. 8 Tahun 1985 Tentang
Oranisasi kemasyarakatan serta
peraturan pelaksanaan dalam peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1986. Kewenangan tersebut mencakup pula kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengatur kegiatan politik sebagaimana diatur dalam Peraturan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang dapat berbentuk unjuk rasa, demontrasi, pawai dan rapat umum serta pemaparan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tersebut kemudian diganti Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum. e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam. Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e, merupakan penegasan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12/Drt Tahun 1951, Lembaga Negara Tahun 1951 No. 78 Tentang Senjata Api, ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No. 12/Drt Tahun 1951, tidak ditemukan adanya istilah “senjata tajam”. Akhirnya disepakati untuk mencantumkan penjelasan istilah Pasal 15 ayat (2) huruf e yang pengertiannya menunjuk kepada Undang-undang No. 12/Drt Tahun 1951. f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan. Pesatnya perkembangan usaha di bidang jasa pengamanan telah menimbulkan urgensi pengawasan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berbagai perusahan, badan usaha tidak saja menyediakan personil pengamanan terlatih untuk pengamanan berbagai kegiatan dan industri, tetapi juga menawarkan berbagai produk alat dan teknologi pengamanan pribadi. Operasional dari badan usaha tersebut
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
memerlukan izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar tidak timbul ekses yang justru menimbulkan kerawanan keamanan. g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Secara substansi, kewenangan ini berkait dengan rumusan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dan ketentuan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 7 ayat (2) karena setiap penyidik pegawai negeri sipil dengan sendinya dari segi fungsi kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian yang wajib menguasai kemampuan teknis kepolisian yang meliputi tataran preemptif, preventif dan represif-yustisial. h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasioanal. Rumusan kewenangan ini memberikan peluang bagi kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan negara lain berdasarkan traktat atau perjanjian internasional dalam menyidik dan memberantas kejahatan masa depan yang mengarah kepada trend lintas batas negara dan memerlukan kerja sama dalam memeranginya. Pelaksanaan dari kewenangan ini memerlukan perjanjian antar negara secara khusus, baik bilateral maupun multilateral seperti halnya “Perjanjian timbal balik dalam masalah pidana (Mutual assistance in criminal matter) antara Indonesia dan Australia Tahun 1995 yang disahkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1999,
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
tentang pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual in Criminal Matters) i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi berkait. Pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pengawasan fungsional yang terkait dengan kewajiban umum kepolisian dan tujuan kepolisian dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Pasal 15 ayat (2) huruf I memberikan dasar hukumbagi tugas-tugas dan kegiatan fungsi teknis Intelijen dan Pengamanan Kepolisian yang meliputi intelijen kriminal, pengamanan serta pengawasan orang asing. Mengenai Pengawasan Orang asing diatur dengan Undang-undang No. 9/Drt Tahun 1953, Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1954, Lembaga Negara Tahun 1954 Nomor 83. j.
Mewakili
pemerintah
Republik
Indonesia
dalam
organisasi
Kepolisian
Internasional. Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf j memberikan dasar hukum bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional antara lain International Criminal Police Organization (ICPO-Inteppol). Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
sejak tahun 1954 berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 245/PM Tahun 1954 tanggal 15 Oktober 1954. k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf k, dimaksud untuk menampung berbagai ketentuan tentang kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tersebar diberbagai undang-undang. Dengan semakin terjadinya spesialisasi pengaturan bidang-bidang teknis dalam bentuk undang-undang yang memuat kewenangan kepolisian, maka Pasal 15 ayat (2) huruf k inipun merupakan penegasan bahwa hal tersebut termasuk dalam kriteria “kewenangan lain”. 3. Wewenang “Diskresi Kepolisian”. Diskresi kepolisian (police dicretion) dalam Davis (1969) dan dalam Ensiklopedia Ilmu Polri didenfinisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk memelihara diantara sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menunaikan tugas. 61 Diskresi merupakan wewenang dari pejabat publik, demi kepentingan umum, untuk bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut penilaiannya sendiri. Demikian juga halnya dengan Pejabat kepolisian Negara, memiliki kewenangan “diskresi”. 62 Diskresi Kepolisian merupakan kewenangan
yang
bersumber
dari
asas
kewajiban
umum
kepolisian
(plichtmatigheidsbeginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada
61 62
Momo Kelana. Op.Cit, hal.193. Ibid, hal. 194.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum.
Keabsahannya
didasarkan
pada
kelayakan
pertimbangan
keperluannya untuk tugas kewajiban, di Jerman disebut “pflichtmassiges Ermessen” atau penilaian bebas (freies Ermessen). Di Prancis dengan Decret du president Tahun 1968 disebut sebagai “swakarsa yang tepat”(propre initiative) di Negara anglo saxon, 63
menyambut “diskresi” sebagai asas kewajiban dan mengutif pengertian diskresi
menurut new standart dictionary funk & wagnall sebagai “a cautions and correct judgement” (suatu penilaian yang berhati-hati dan tepat) sedangkan kata pokoknya “discrete” artinya “disconnected from others” (tidak terkait dengan lain-lain). Dengan demikian “discresi” yaitu penilaian mandiri, tidak terpengaruh oleh orang lain. 64 UENO (1994) dalam Dilip. K. Das, police practices an international review menyebutkan : “the police are expected to act for the good of the public and use discretion which is regarded as” a product of wisdom and skill”. 65 Dalam Undangundang Kepolisian No. 28 Tahun 1997 kewenangan diskresi kepolisian dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi : Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Repblik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
63
Brotodiretjo Soebroto, Pengantar Hukum Kepolisian Umum Di Indonesia, (Bandung, tahun 1997), hal.187 64 Ibid, hal. 38. 65 Dilip Das, police practices an Internationaal Review, The Scarrecrow Press, (London: Mefuchen N.J, 1994), hal 422.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Setelah Undang-undang No. 28 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, subtansinya diadopsi dalam Pasal 18 ayat (1) dengan bunyi redaksi yang sama. Sesorang petugas Polri yang bertugas di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperhatikan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga dia harus memutuskan sendiri tindakannya. Terdapat kekhawatiran bahwa sipetugas tersebut akan bertindak sewenangwenang dan sangat tergantung kepada kemampuan subyektif dari sipetugas tersebut. Untuk itu, dalam hukum kepolisian dikenal berupa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas Polri akan melakukan “diskresi” yaitu: 1. Tindakan harus benar-benar diperlukan (noodzakelijk, notwending)atau asas keperluan. 2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich). 3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya sesuatu atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhwatirkan dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig). 4. Asas keseimbangan (evereding).
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Dalam mengambil tindakan, harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak. Dalam mengambil tindakan berdasarkan penilaian sendiri, yang paling menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam Pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33 Undang-undang No. 2 Tahun 2002, sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Polri akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan profesional. Berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 4. Wewenang Kepolisian di bidang Proses Pidana. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian terdiri dari tugas-tugas yang berada pada tataran tugas pencegahan (preventive), preemptif dan represif. Tataran tugas repsesif terdiri atas bentuk-bentuk Pertama: tindakan kepolisian yang bersifat represif non-yustisial (sekedar memulihkan keadaan tertib yang terganggu berdasarkan kewajiban umum kepolisian) dan Kedua: tindakan yang bersifat represif yustisial yaitu tindakan kepolisian di bidang proses pidana 66 (criminal justice system)
66
UU No. 2 Tahun 2002, tentang Polri, Pasal 16 angka (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
berdasarkan asas legalitas sesuai ketentuan hukum acara pidana (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana). Dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU No. 2 Tahun 2002, tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang proses pidana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat 1, dan Pasal 7 ayat 1 KUHAP. Pasal 14 ayat huruf g berbunyi : dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang untuk:
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya denganpemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidik. c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan. d. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan. e. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan penghentian penyidikan. j. Menyerahkan berkas perkara kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana. k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum. l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pasal 7 ayat 1 KUHAP : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret orang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Rebuplik Indonesia. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam prakteknya kewenangan Polri dilapangan mengalami tumpang tindih (overlapping) dengan kewenangan Kejaksaan. Meskipun ada MOU 67 antara Kajati
67
Hasil wawancara Kom.Pol. Albert Sianipar. Dengan adanya Peraturan Bersama Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara No. Pol.: PB/99/III/2007, Nomor : B-
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sumut dan Kapolda Sumut pelaksanaannya belum optimal, mengenai penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang belum dilakukan secara rutin untuk pertukaran informasi antara Polri, Jaksa dan KPK, hal ini dikarenakan masyarakat (LSM) melaporkan kasus korupsi secara bersamaan kepada ketiga lembaga tersebut yaitu Polri, Kejaksaan dan KPK. 68 Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa tugas-tugas Pokok Polri adalah : a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 69 sehingga dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
64/N.2/FD.1/03/2007 dan KEP-019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara, maka tumpang tindih (overlapping) Tindak Pidana Korupsi dapat diminimalisir, sedangkan dengan KPK tidak ditemukan tumpang tindih penanganan perkara. 68 Wawancara dengan Kom.Pol. Albert Sianipar, Kasat. Tipikor Dit. Reskrim Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009. 69 Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penegasan kewenangan Polri dalam melakukan Penyidikan terhadap kasus korupsi lebih ditegaskan lagi dalam Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi. Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi sesuai point kesebelas angka 10 Presiden menginstruksikan kepada Kapolri untuk :
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum. c. Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan
dan
Pembangunan, Pusat
Pelaporan
dan
Analisis
Transaksi
Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 ini, memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian
informasi yang berkaitan dengan
perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka. 2. Tugas dan Wewenang Polri dengan Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Sebagai lembaga penuntutan, Kejaksaan juga dapat dipandang sebagai lembaga yang mengendalikan pola-pola kehidupan sosial serta menjamin nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut pertamatama warga masyarakat harus mempunyai keinginan untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga kejaksaan ini.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Untuk itu menurut Djoko Prakoso adalah bermacam-macam alasan yang dapat menjadi pendorong sehingga warga masyarakat bersedia untuk membawa kesulitankesulitan tersebut. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah : 1. Kepercayaan, bahwa ditepati itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki. 2. Kepercayaan bahwa kejaksaan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran dan nilai-nilai utama lainnya lagi. 3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia. 4. Bahwa kejaksaan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. 70 Dalam mengemban tugas-tugas penegakan hukum, adanya kemampuan profesional saja belum cukup, sehingga perlu dibarengi sikap mental yang terpuji sebagai insan kejaksaan. Landasan dan ciri hakiki aparat kejaksaan di dalam melaksanakan sarana baktinya adalah Tri Krama Adhyaksa. Doktrin kejaksaan Tri Krama Adhyaksa merupakan pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan yang terwujud dalam sikap mental yang terpuji tersebut yaitu yang mengandung pengertian 71 :
70
Djoko Prakoso, “Tugas dan Peranan Dalam Pembangunan Indonesia” (Jakarta: Ghalia 1983), hal 10. 71 Sutadi, “Pola Membina Rasa Keadilan Masyarakat”, (Jakarta, Pusdiklat Kejaksaan Agung RI, 1991), hal 54.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Satya
: berarti setia dan taat serta melaksanakan sepenuhnya perwujudan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan perundang-undang negara sebagai warga negara kesatuan RI.
2. Adhi
: berarti jujur, berdisiplin dan bertanggung jawab.
3. Wicaksana
:
berarti bijaksana dan berperilaku terpuji.
Bahwa tugas jaksa terbagi dalam beberapa tingkatan penyelesaian perkara pidana, yang bergerak dalam fase pemeriksaan permulaan hingga pelaksanaan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang sehingga dalam tingkatan manapun, jaksa tidak melepaskan diri dari pandangan masyarakat, sedangkan Pasal 2 angka 1, UU No. 16 Tahun 2004 : Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, kedudukan jaksa sebagai pihak dalam proses perkara pidana adalah tidak dapat diabaikan begitu saja. Dedikasi dan kemampuannya dapat meninggikan atau merendahkan bahwa mungkin dapat menlenyapkan atau merendahkan martabat penuntut umum dimata masyarakat. Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
penuntutan ini merupakan tugas pokok kejaksaan Dikatakan Tugas Pokok, sebab selain penuntut itu, masih ada tugas-tugas lain yang diemban kejaksaan yaitu, tugastugas yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undang serta turut menyelenggarakan sebagaian tugas umum pemerintahan dan pembangunan dibidang hukum. Dalam Pasal 30 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, disebutkan bahwa dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : (1). Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Awaloedin Djamin, Sistem hukum yang terpadu, tidak diartikan sebuah institusi bisa menjalankan 2 fungsi sekaligus. pembagian tugas antara Polri dan Jaksa dapat membuat hubungan keduanya efisien, dimana Polri profesional dalam penyidikan, Jaksa profesional dalam penuntutan dan Hakim profesional dalam pengadilan. 72 Meski pun juga diatur dalam Pasal 30 huruf d, Jaksa dapat menyelidiki terhadap tindak pidana tertentu. Pada saat Penyidik Polri telah mulai melakukan Penyidikan, Penydik Polri wajib memberitahukan hal itu kepada Jaksa Penuntut Umum. Polri sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi, saling kordinasi sejak dimulainya Penyidikan sampai kepada pelimpahan berkas perkara dan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan Polri, mempelajari dan meneliti berkas perkara dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada Penyidik, apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Bila belum lengkap, Jaksa Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan dan Penyidik wajib segera melakukan Penyidikan tambahan sesuai 72
www.detikhot.com, Eks Kapolri: Berikan Wewenang Sidik Korupsi Hanya pada Polri, diakses pada tanggal 21 Juni 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
petunjuk Penuntut Umum, untuk dilengkapi dalam waktu 14 (empat) hari, sejak tanggal penerimaan perkara itu kepada Jaksa Penuntut Umum. 73 Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara, maka Penyidikan dianggap telah lengkap dan selesai. Dalam Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004, Presiden menginstruksikan kepada Kapolri agar dalam hal upaya penegakan hukum dalam pengembalian kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi agar meningkatkan
kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi
negara yang terkait. 3. Tugas dan Wewenang Polri dengan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:
lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun . Pemberantasan tindak pidana Korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana Korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
73
Pasal 138 KUHAP.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembahasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-Undang. Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2.
Ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan
tugas
penyelidikan,
penyidikan,dan
penuntutan
terhadap
penyelenggaraan Negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku Pejabat Negara;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
3.
Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4.
Ketentuan mengenai pemberantasan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan Korupsi ; dan
5.
Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana Korupsi. Dalam proses Pembentukan KPK, tidak kalah pentingnya adalah sumberdaya
manusia yang akan memimpin dan mengelola KPK. Undang-Undang
ini
memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Negara yang bersifat independent, melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah ketentuan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihakpihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana Korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apa pun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah Pejabat Negara. Pimpinan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana Korupsi melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tugas dan wewenang KPK adalah sebagai berikut : a. Tugas. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut : 1. Melakukan
koordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melakukan tugas koordinasi ini, instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan , penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
2. Melakukan
supervisi
terhadap
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. b. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Polri atau Kejaksaan. 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. b. Memerintahkan kepada instansi yang berkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait. e. Memerintahkan
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang berkait. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri. i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas pencegahan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara. b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi. c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjangan pendidikan. d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisi pemberantasan tindak pidana korupsi. e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam melaksanakan tugas monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengolahan administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintahan. b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga Negara dan pemerintahan untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengolahan administrasi tersebut berpotensi korupsi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Melapor kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
b. Wewenang. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : 74 1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 7, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang berkait. c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi instansi yang terkait. d. Melaksanakan dengar
pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
74
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002,
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
f. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. 2. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. 3. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. 4. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara berserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan ini bukan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat dapat ditetapkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. 75 5. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 6. Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan : a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti. b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau bertundatunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penangan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung jawabkan.
75
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) jo. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1)
huruf 1.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
7. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana di maksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 8. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal c, Komisi Pemberantasan Korupsi, berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara. Dalam penjelasan Pasal 11 huruf a dijelaskan bahwa, yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
Daerah. b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah) 9. Dalam
melaksanakan
tugas
penyelidikan,
penyidikan,
dam
penuntutan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negari.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait. e. Memerintahkan
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang berkait. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf f dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Dalam penjelasan pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa : Ketentuan
ini
dimaksudkan
untuk
menghindari
penghilangan
atau
penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian Negara yang lebih besar. 76
76
Momo Kelana, Op.Cit, hal 168.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. i.
Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I dijelaskan bahwa: Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.
10. Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan, sebagai berikut : 77 a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara; b. Menerima laporan dan menetapkan gratifikasi; c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
77
Pasal 13, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum; f. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 11. Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sebagaimana dimaksud dengan Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran dan Komisi Pemberantasan
Korupsi
mengenai
usulan
perubahan
tersebut
tidak
diindahkan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi pemberantasan Korupsi: b. Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tugas dan fungsinya: c. Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
kegiatan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; e. Proposionalitas, adalah asas yang mengutamakan kesseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. 78 Selain wewenang dan tugas sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002, KPK berkewajiban: 1. Memberikan Perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; Dalam penjelasan pasal 15 huruf a dijelaskan bahwa yang
78
Evi Hartandi, Op.Cit, hal. 70.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
dimaksudkan dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum. 2. Memberikan
informasi
kepada
masyarakat
yang
memerlukan
atau
memberikan bantuan untuk memperoleh dan lain yang berkaitan dengan hasil penututan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; 3. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; 4. Menegakkan sumpah jabatan; 5. Menjalan tugas, tanggungjawab, 79 dan wewenangnya berdasaran asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Bila dibandingkan KPK dengan Polri, atas kedua lembaga penegak hukum jelas terlihat perbedaannya. Pada kewenangan KPK Penyidikan, penuntutan dan proses Pengadilan diselenggarakan KPK dan hanya terhadap kasus Tindak Pidana
79
Tanggung Jawab Komisi Pemberantasan Korupsi di tentukan sebagaimana di atur dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002, sebagai berikut: 1. Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa keuangan ; 2. Pertanggung jawaban komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan dengan cara: a. Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. Memberikan laporan tahunan; dan c. Membuka akses informasi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Korupsi. 80 KPK juga dapat mengambil alih Penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh Polri dan/atau Kejaksaan. 81 Sedangkan Polri tidak hanya sebagai Penyidik kasus korupsi, tetapi Penyidik terhadap semua tindak pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, tanpa membedakan kasus Tindak tertentu seperti halnya kewenangan KPK . C. Kewenangan Polri Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pelayanan dan perlindungan sebagai jiwa dari Pasal 13 Undang-undang No.2 tahun 2002 merupakan konsep dasar/landasan setiap tindakan dan pengggunaan kekuatan sehingga dalam aksinya seorang pejabat profesi Kepolisian selalu bersikap dan berperilaku berdasarkan hal tersebut. 82 Pelayanan disini adalah konsep dimana bertitik tolak dari kepedulian kepada masyarakat, sehingga pelayanan ini menjadi alat utama dalam strategi pencitraan Polri. Upaya Polri dalam memberikan pelayanan terbaik ini adalah dengan menonjolkan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, tanggung jawab yang baik serta koordinasi. 83 Penonjolan kemampuan inilah yang menjadi indikator untuk mencapai keberhasilan melaksanakan dan membudayakan pelayanan prima, tidak terlepas dari 80
Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 38, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 81 Pasal 8, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 82
www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman Seorang Polisi Indonesia, diakses tanggal 16 Juni 2009. 83 Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan layanan secara optimal dengan menggabungkan konsep kemampuan, sikap, penampilan, tindakan , dan tanggung jawab dalam proses pemberian pelayanan. Yang terpenting dalam definisi pelayanan prima ini minimal harus mempunyai tiga hal pokok, yaitu adanya pendekatan sikap yang berkaitan dengan kepedulian kepada masyarakat, upaya melayani dengan tindakan terbaik, dan ada tujuan untuk memuaskan msyarakat dengan berorientasi pada standard pelayanan untuk melaksanakan penegakan hukum. 84 Pelaksanaan penegakan hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan Polri sebagai proses penegakan hukum dalam satu kesatuan yang menyeluruh dalam penyelidikan dan penyidikan dalam menangani kasus perkara Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 jouncto Pasal 108 KUHAP, Polri dalam menangani kasus perkara menerima aduan atau pun pelaporan. Pelaporan disampaikan atau ditujukan kepada : 1. Penyelidik. 2. Penyidik. 3. Penyidik Pembantu. Bentuk laporan dapat dilakukan dengan: a. Cara mengajukan atau menyampaikan laporan berbentuk lisan, laporan lisan dicatat dan ditandatangani oleh pelapor dan si penerima laporan (Penyelidik, Penyidik atau Penyidik Pembantu). 84
Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
b. Cara mengajukan laporan berbentuk tertulis. Dalam hal Polri menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Melakukan Penyelidikan/Penyidik dengan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Apabila sudah ditemukan bukti pendukung, maka Polri sebagai penyidik melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi yang dilaporkan. Kewenangan Polri dalam melakukan Penyelidikan/Penyidikan terhadap tindak pidana korupsi didasarkan kepada undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 14 ayat 1 huruf g, Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya Polri bertugas melakukan Penyelidikan dan Penyidikan semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana
dan
peraturan perundang-undang lainnya. Pada tataran inilah tugas dan kewenangan Polri sebagai penegak hukum melakukan penyelidikan/penyidikan kasus korupsi atas laporan atau pun pengaduan yang dilakukan masyarakat, lembaga Swadaya Masyarakat atau pun dari laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam hal penghitungan jumlah kerugian keuangan negara Penyidik Polri meminta bantuan dari BPKP untuk melakukan penghitungan jumlah kerugian keuangan negara. Sebab dalam praktek dilapangan bila Penyidik Polri mengirimkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Umum harus jelas terinci jumlah kerugian keuangan negara, apabila tidak dilakukan penghitungan kerugian keuangan negara Jaksa Penuntut Umum tidak akan menerima berkas perkara dari Penyidik Polri. Dalam kenyataanya terdapat batasan-batasan
tugas dan wewenang Polri
dalam menangani kasus perkara Korupsi terhadap kerugian negara yang lebih dari Rp. 1000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditangani oleh KPK. 85 Dapat dilihat perbandingan kewenangan dan tugas Polri, Jaksa dan KPK, melalui tabel berikut ini : Tabel 1 Perbandingan kewenangan dan tugas Polri, Jaksa dan KPK No
Penegak Hukum
1
Polri
Wewenang 1.
2.
85
Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. Tahun 2002, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana ddan peraturan perundangundangan lainnya. Pasal 16 angka 1 Undang-undang No 2 Thn 2002. a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. b. Melarang setiap orang yang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidika. c. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. d. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; e. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; f. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
Tugas 1. Pasal 13, UU No. 2 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
Lihat Pasal 11 Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Lanjutan Tabel 1 No
Penegak Hukum
Wewenang pemeriksaan perkara; g. mengadakan penghentian penyidikan; h. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; i. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; j. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan k. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 3.
Pasal 7 ayat (1) a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakkan pertama pada saat ditempat kejadian; c. Menyuruh berehenti seorang tersanka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret orang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksa perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Tugas
Lanjutan Tabel 1 No
Penegak Hukum
Wewenang bertanggung jawab. 4. Pasal 16 KUHAP : (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. (2) Untuk kepentingan penyidikan , penyidik dan pembantu berwenang melakukan penangkapan.
2
Jaksa
1. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30, (1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Pasal 32 Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undangundang. 3. Pasal 33 Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Tugas
Lanjutan Tabel 1 No 3
Penegak Hukum KPK
Wewenang Pasal 7, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 hurup a, Komosi pemberantasan korupsi berwenang; a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana Korupsi ; c. Meminta inpormasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada intansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; e. Meminta laporan intansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi;
Tugas Pasal 6, UU No. 30 Tahun 2002 Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap intansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
BAB III HAMBATAN YURIDIS YANG DIHADAPI POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI JAJARAN POLDA SUMUT
A. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi Karakteristik tindak pidana korupsi yang multi dimensi terkait dengan kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah sikap mental/moral, pola/sikap hidup dan budaya sosial, kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, lingkungan hidup/sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, struktur/budaya politik, peluang
yang
ada
di
dalam
mekanisme
pembangunan
atau
kelemahan
birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik 86 . Jadi kuasa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi) yaitu dapat dibidang moral, sosial, ekonomi,
politik,
budaya,
kesenjangan
sosial
ekonomi,
kelemahan
birokrasi/administrasi dan sebagainya. Penyebab terjadinya korupsi, tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatan/kekuasaan sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut akan cendrung menyalahgunakan kesempatan untuk memperkaya diri, dengan asumsi sifat “Mumpungisme” seperti dikemukakan oleh ilmuwan Inggris, Lord Acton yang menyatakan : power tends to corrupt, absolute
86
Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pemembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1980), hal 72.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
power tend to corrupt absolutely 87 dan lemahnya intergritas moral yang turut melemahkan disiplin nasional. Disamping itu lemahnya sistem juga merupakan salah satu penyebab. Tidak dapat disangkal lemahnya mekanisme di berbagai sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan oleh pengusaha nasional termasuk pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui untuk memperoleh sesuatu ijin atau fasilitas kredit. Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi namun kelemahan sistem tersebut tidak berdiri sendiri. Ia adalah produk dari intregitas moral, dan untuk memperbaiki sistem tersebut tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berpikir perlunya diperbaiki sistem ialah orang yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun berilmu tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukan untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum dan sulit diberantas, karena korupsi dan kolusi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasan sering menghadapi hambatan.
87
Abdul Fickar Hadjar, Pengadilan Asongan : Realitas Sosial Dalam Perspektif hukum, (Jakarta: Mitra Kerya, 2001), hal 127.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Disamping itu pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol merupakan faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah karena korupsi dianggap sudah “membudaya” dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dari praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. 88 Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa cikal bakal korupsi adalah memberi kekuasaan kepada seseorang, tetapi pendapatan yang diberikan kepadanya hanya cukup untuk 1 (satu) sampai 2 (dua) minggu, jelas kekuasaannya dijual untuk hidup. Mengingat ciri-ciri tindak pidana korupsi yang multi terkait dengan kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah lingkungan hidup/sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah stuktur/budaya politik, masalah peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan dan kelemahan birokrasi/produser administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik. 89 Faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada masyarakat yang bersangkutan seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah di anggap
88
Komisi Hukum Nasional RI, “Rekkomendasi Untuk Reformasi Hukum”, Draft Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hal 82. 89 Arief Barda Nawawi, Loc. Cit, hal. 72.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
sebagai sebab korupsi yang lain. 90 Jadi kuasa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu baik di bidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, kesenjangan sosial ekonomi, kelemahan birokrasi/administrasi dan sebagainya. Perkembangan pembangunan khususnya di sektor bidang ekonomi dan keuangan telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan terjadinya perubahan dan berbagai peningkatan kesejahteraan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan nilai di masyarakat yang sementara orang digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan penyimpangan dan manipulasi data dan korupsi. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekspor, peningkatan investasi melalui penanaman modal, kemudian di bidang perbankan merupakan sasaran tindak pidana korupsi. Korupsi dapat terjadi karena di sebabkan beberapa faktor, antara lain : a. Korupsi dapat terjadi karena faktor kurangnya gaji atau pendapatkan pegawai negeri. Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa cikal bakal korupsi adalah memberi kekuasaan kepada seorang, tetapi pendapatan yang diberikan kepadanya hanya cukup untuk hidup 1 (satu) atau 2 (dua) minggu, jelaskan kekuasaannya dijual untuk mempertahankan hidup. Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab paling gampang dihubungkan, misalnya
90
Syed Hussain Alastas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, ( Jakarta, Penerbit :LP3ES, 1987,)
Hal.126.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
kurangnya gaji, buruknya perekonomian, mental pejabat yang kurang baik, administarasi dan managemen yang kacau. b. Korupsi dapat terjadi karena kultur (budaya). Korupsi karena kultur adalah dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia. Budaya pemberian hadiah, ucapan terima kasih yang sudah menjadi budaya rakyat Indonesia mengakibatkan semakin suburnya budaya korupsi di Indonesia. c. Korupsi dapat terjadi karena kurangnya manajemen. Manajemen yang kurang baik dapat menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat mempermudah orang melakukan korupsi. d. Korupsi juga dapat terjadi karena arus modernisasi. Korupsi terdapat lebih banyak di jumpai dalam masyarakat yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan : 1. Modernisasi social. 91 2. Ekonomiyang cepat. 92
91
Modernisasi dapat menyuburkan korupsi, dibagi dalam tiga katagori : a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat. b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi, karena modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekayaan baru, hubungan sumber ini dengan kehidupan politik tidak di atur norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat. c. Modernisasi merangsang korupsi, karena perubahan-perubahan yang dilibatkan dalam bidang kegiatan sistem politik yang berpangkal memperbesar kekuasan pemerintah dalam melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah. 92 Korupsi dapat terjadi karena faktor-faktor ekonomi. Kondisi ekonomi yang buruk dan tidak stabil menyebabkan timbulnya kejahatan-kejahatan terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda. Lebih jauh bahwa kondisi ekonomi yang buruk dapat berakibatkan fatal menimbulkan faktor kemiskinan, kemiskinan disini dalam artian suatu faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan sering menetralisir pengaruh penting dari pendidikan yang tidak mempunyai moral dan tanggung jawab melakukan perbuatanperbuatan kriminal atau delik demi kepentingan pribadi atau kelompok. Selain faktor
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sebenarnya, penyebab terjadi korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatan/kekuasaan” sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua hal tersebut akan menyalahgunakan jabatan dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, dengan asumsi sifat “Mumpungsime/aji mumpung”, seperti di temukan oleh ilmuwan Inggris, Lord Acton “Power tends to corrupt, absolute power tends to corrup absolutely “. 93 Di samping itu pemusatan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol merupakan faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah karena korupsi di anggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak dapat di pisahkan dari praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut Kom.Pol Alberd Sianipar, Faktor-faktor penyebab pelaku/tersangka melakukan perbuatan korupsi, sebagaiberikut : a. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum peraturan perundang-undangan. b. Kurangnya keteladanan dan kepemimpinan elit bangsa. c. Lemahnya Menejemen kepemerintahan . d. Rendahnya gaji pegawai negeri sipil kemiskinan, faktor kesenjangan ekonomi juga menjadi sumber kejahatan yang dimotivasi oleh ketamakan. Pada masa ini orang melakukan korupsi bukan karena mempertahanan kehidupan akan tetapi untuk mencakupi keinginan materi dan kemewahan. 93 Abdul Fickar Hadjar, Pengadilan Asongan : Realitas Sosial Dalam Perspektif Hukum. (Jakarta : Mitra Karya, 2001), hal. 127.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
e. Rendahnya integritas dan propesionalisme f. Mekanisme pengawasan internal dan semua lembaga perbankan keuangan dan birokrasi belum mapan. g. Korupsi lingkungan kerja, tugas jabatan dan lingkungan masyarakat yang merangsang timbulnya korupsi. h. Lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu. i. Hilangnya
nilai-nilai etika dan moral bangsa dalam mendukung
pemberantasan korupsi. 94 Sementara itu menurut M. Simanuruk, faktor-faktor
yang penyebab
pelaku/tersangka melakukan perbuatan korupsi sebagaiberikut: 1. Adanya kesempatan, karena lemahnya sistem. 2. Pola Hidup konsumtif. 3. Faktor Kebiasaan. 95
Sedangkan menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) factor penyebab korupsi, yang diutarakan buku berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain : 96
94
Wawancara dengan Kom.Pol. Alberd Sianipar. Kasat Tipikor. Dit. Reskrim. Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009. 95 Wawancara dengan M. Simanuruk, Kasi.Penyidikan pada ASPIDSUS KEJATISU, pada tanggal 14 Mei 2009. 96 www.transparansi.or.id, Sebab-sebab Korupsi, diakses tanggal 18 Mei 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
d. Kebutuhan hidup yang mendesak.
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Sebagimana diamati Phylis Dinino dan Sahr Jon Kpundeh, korupsi dapat menimbulkan kerugian yang besar di berbagai sektor. Dalam bidang politik, korupsi mengikis demokrat dan good governance dengan menghancurkan proses formal. Korupsi dalam pemilihan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan representasi sebuah pembuatan kebijakan. Korupsi di pengadilan menghambat kepastian hukum dan korupsi di dalam administrasi pemerintahan mengakibatkan timbulnya pelayanan yang berbeda dan cendrung tidak adil. Secara umum korupsi mengikis kapasitas institusi pemerintahan karena prosuder tidak di pedulikan, sumber daya yang ada dimanipulasi, dan pejabat atau dipromosikan tidak berdasarkan kemampuannya. Sehingga korupsi mengikis legitimasi pemerintahan, menghambat pembangunan infrastruktur, menimbulkan tekanan keuangan pemerintah dan menghancurkan nilainilai demokratis kepercayaan dan toleransi.97 Tindak pidana korupsi sudah menggerogoti mental, moral aparat pemerintah maupun masyarakat. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah besar yang selalu menjadi sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat. Tidak hanya menjadi keprihatinan nasional, tetapi juga keprihatinan dunia internasional. Dalam Resolusi tentang “Corruption of Government” yang diterima Kongres PBB ke-8 mengenai “ The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Havana (Cuba) Tahun 1990, antara lain dinyatakan, bahwa :
97
Bismar Nasution, Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan, Forum No. 36, 9 Januari 2005.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1. Korupsi di kalangan pejabat publik (corrupt activities of public official). a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (Can destroy the potenial effectiveness of all types of governmental programmes). b. Dapat mengganggu/menghambat pembangunan (Hinder development). c. Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (Victimize individuals and groups). 2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang (Money laundering). Dengan
mengingat
berbagai
pertimbangan
lainnya,
resolusi
tersebut
menghimbau kepada negara-negara anggota PBB untuk menetapkan strategi antikorupsi sebagai prioritas utama dalam perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi (the designationon of anti-corruption strategies as high priorities in economic and social devolopment plans). Di dalam Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 di Kairo, masalah korupsi ini pun masih menjadi salah satu pembicaraan. Hasil kongres di Kairo ini kemudian dibahas oleh “Commission on crime prevention and criminal justice” di Wina yang menghasilkan rancangan resolusi tentang “action against corruption”. Dalam pertimbangan rancangan resolusi itu antara lain ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius, kerena : 1. Dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat (may endangers the stability and security of societies).
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
2. Merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas (undermined the values of democracy and morality). 3. Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik (jeopardizes social, economic and political development). 98 Bahwa dalam kenyataannya, tidak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yang pada gilirannya dapat berdampak pada tumbuhnya krisis di berbagai bidang. Soemitro pernah mengatakan bahwa kebocoran keuangan negara mencapai sebesar 30 % dari anggaran pembangunan. Kwik Kian Gie pernah mengatakan : “Corruption is the root of the evil” (korupsi adalah akar dari semua masalah). Selain itu, Syafii Maarif pernah mengatakan negara kita tidak akan pernah maju karena Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Depatemen Kesehatan, ketiga departemen yang mengurusi pendidikan hati, pendidikan otak dan pendidikan fisik justru 3 (tiga) departemen paling korup kinerjanya. Oleh karena itu nasib bangsa Indonesia ke depan amat tergantung pada tingkat keseriusan kita dalam memerangi korupsi. 99
98
Barda Nawawi Arief, Op. Cit. Hal. 69-70. Denny Indrayana, Negara Dalam Darurat Korupsi, Surat Kabar harian Kompas, 23 Nopember 2004, hal. 5. 99
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
B. Hambatan-hambatan Yuridis yang Dihadapi Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi 1. Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dalam penyidikan Menurut Kom. Pol. Alberd Sianipar, hambatan-hambatan yuridis dan non yuridis yang dihadapi Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Polda Sumut, adalah sebagaiberikut : a. Hambatan Yuridis, sebagai berikut: 1) Sulitnya pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana diketahui, bahwa unsur pokok tindak pidana korupsi (sesuai uraian Pasal 2 dan 3, UU No 31 Tahun 1999) adalah barang siapa, perbuatan melanggar hukum, tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan Negara, keempat unsur tersebut seringkali sulit
ditemukan
secara keseluruhan untuk membuktikan bahwa perbuatan korupsi telah selesai dilakukan dan ada pelakunya.100 2) Proses perizinan
yang memperlukan waktu yang lama dengan cara
berjenjang khususnya untuk izin memeriksa anggota Dewan/Legislatif yang diduga terlibat tindak pidana korupsi memeriksa anggota dewan/Legislatif yang terlibat tindak pidana Korupsi. Pasal 43, UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (Susduk) mengatur bahwa setiap anggota dewan yang akan diperiksa atau
100
Wawancara dengan Kom.Pol. Alberd Sianipar. Kasat Tipikor. Dit. Reskrim. Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
dimintai keterangan, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Presiden, Menteri dalam Negeri (Mendagri), maupun Gubernur. 101 b. Hambatan Non Yuridis, sebagaiberikut: 1) Penyidik/Penyidik pembantu kurang memahami permasalahan terkait perkembangan peraturan perundang-undangan. 2) Sikap Jaksa atau Hakim yang sering belum sepersepsi dengan penyidik, sehingga adakalanya berkas bolak balik dengan petunjuk yang berbedabeda, tersangka diputus sangat ringan atau bahkan dibebaskan. 3) Perbuatan korupsi selalu diiringi dengan perbuatan/justifikasi atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya perbuatan korupsi yang dilakukan di Pemda ditutupi dengan disahkannya Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) atau dengan dikeluarkannya Perda. 4) Banyaknya pengacara, maupun keluarga tersangka memanfaatkan institusi-institusi yang memiliki otoritas supervisi maupun pengawasan internal untuk mempengaruhi proses penyidikan dengan cara melemahkan penyidik atau memberikan petunjuk dan arahan dengan pandangan yang berbeda.
101
Pasal 43, UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Dalam hal seorang Anggota MPR, DPR, dan DPRD. Patut disangka telah melakukan perbuatan pidana, maka pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis Presiden bagi Anggota MPR dan DPR, persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi Anggota DPRD I, dan persetujuan tertulis Gubernur bagi Anggota DPRD II sesuai dengan peratutan perundang-undangan yang berlaku.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
5) Adanya celah-celah hukum dalam perundang-undangan di Indonesia yang sering dimanfaatkan oleh pengacara bahkan oleh aparat penegak hukum di dalam proses pemeriksaan di pengadilan untuk membebaskan para tersangka. 6) Hasil audit BPKP atas kerugian
Negara masih diperdebatkan oleh
tersangka sehingga akibatnya penyidikan yang didasarkan oleh BPKP pada kerugian Negara belum satu bahasa/final. 7) Pelaku yang umumnya mempunyai otoritas dan koneksitas di bidang keuangan, sehingga mereka akan menutupi perbuatan korupsi yang dilakukan
dengan
cara
membuat/memalsukan
administrasi
dalam
pertanggungjawaban keuangan, sehingga sepintas dari luar tidak terlihat ada tindak pidana korupsi. 102 8) Kurangnya sarana/prasarana untuk melakukan penyelidikan
dan
penyidikan. 9) Minimnya anggota untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi. 10) Sesuai DIPA Polri tahun 2006, dan anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi khususnya di daerah masiH dipatok dengan pembagian yaitu untuk kasus berat Rp.2.500.000, dan kasus
102
sedang
Wawancara dengan Kom.Pol. Alberd Sianipar. Kasat Tipikor. Dit. Reskrim. Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
1.500.000,-. Dengan demikian tidak ada anggaran khusus untuk penyelidikan awal, biaya saksi ahli, biaya auditor. Sedangkan hambatan Penyidikan yang dilakukan dihadapi Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi di Kejati Sumut, sebagaiberikut : Menurut M. Simanuruk adalah sebagaiberikut : 103 1. Hambatan Yuridis a. Adanya
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
ijin/persetujuan yang harus dimohonkan/diajukan oleh Kejaksaan terlebih dahulu
kepada
Pejabat/Instansi
tertentu
dalam
tindakan
pemanggilan/pemeriksaan saksi/tersangka tertentu, penggeledahan atau penyitaan barang bukti, serta dalam perhitungan kerugian keuangan negara b. Adanya
atauran
Menteri/pimpinan
lembaga
yang
mewajibkan
pegawainya/stafnya harus dengan ijin terlebih dahulu dari pimpinan atau harus dengan surat perintah tugas pimpinan terlebih dahulu pada saat dipanggil oleh Kejaksaan untuk memberikan keterangan. Kemudian mewajibkan pula untuk setiap penyerahan dokumen / surat harus dengan ijin terlebih dahulu dari pimpinan dengan alasan pertimbangan kerahasiaan negara.
103
Wawancara dengan M. Simanuruk, Kasi.Penyidikan pada ASPIDSUS KEJATISU, pada tanggal 14 Mei 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
c. Adanya aturan-aturan yang baru menyangkut bidang keahlian yang baru yang serta merta diharuskan mendapat penjelasan dalam penyidikan yang sedang berjalan. d. Adanya penyidikan yang semi overlapping diantara institusi penegak hukum (yang namanya overlapping, seharusnya tidak mungkin terjadi sebab melalui SKB-SKB sudah dikembangkan pola koordinasi). Semi overlapping dimungkinkan ketika ada dua kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh dua institusi penegak hukum atas dua kegiatan proyek bermasalah yang dikelola oleh satu kantor tertentu. Dua-duanya penyidikan sah menurut hukum dijalan, tetapi secara teknis tentu pasti ada hambatan. 2. Hambatan Non Yuridis a. Dana yang dibutuhkan dalam proses penyidikan sangat besar, sementara anggaran yang tersedia sangat terbatas (misalnya pada 1 tahun Kasus Korupsi yang ditangani 20 kasus, sementara dana yang tersedia hanya untuk 5 kasus). b. Sumber Daya Manusia (SDM). c. Distribusi surat disetiap instansi yang terlalu birokratis dan bertele-tele sehingga memakan waktu pemanggilan para saksi. Upaya-upaya yang dilakukan Polri sebagai penyidik untuk mengurangi hambatan-hambatan yuridis dan non yuridis dalam penyidikan kasus korupsi di Polda Sumut, sebagaiberikut:
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Mengikut sertakan Penyidik/Penyidik pembantu mengikuti pendidikan kejuruan Tindak Pidana Korupsi baik yang dilakukan di Polda maupun di Mabes Polri. b. Menempatkan penyidik/penyidik pembantu yang memiliki latar belakang pendidikan minimal Sarjana Hukum. c. Memberikan bimbingan teknis dan arahan kepada Penyidik/Penyidik Pembantu dalam memahami satu perkara. d. Memberdayakan peran fungsi pengawasan
internal yang ada di setiap
Instansi. e. Memberdayakan
peran
masyarakat,
LSM,
NGO
untuk
membantu
memberikan informasi tentang korupsi baik instansi swasta maupun pemerintah, sekaligus berperan sebagai kontrol terhadap kinerja dari aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi. f. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi (membuat progress report). g. Melakukan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penuh rasa keadilan dan sesuai dengan hak asasi manusia serta bebas dari pengaruh politik dan interest-interst tetentu (proporsional dan professional).
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
h. Menghindari adanya intervensi terhadap penyidik, dari pihak-pihak tertentu dapat menghambat pelaksanaan penyidikan. 104 2. Faktor-faktor penghambat dalam penyidikan yang Dihadapi Polri dan Jaksa Faktor-faktor yang menyebabkan pembuktian kasus korupsi yang disidik Polri sebagai penyidik terhambat, karena: a. Tidak mudah instansi pemerintah atau swasta memberikan dokumen yang dimintakan penyidik dengan alasan harus se izin pemimpin (birokrasi). b. Dokumen yang diminta tidak diberikan secara lengkap dengan alasan dokumen lain tidak ditemukan ataupun sudah hilang. c. Syarat audit oleh BPKP harus lengkap sehingga hasil audit memperoleh legitimasi hukum. d. Keterangan berupa kesaksian atau keterangan ahli dan dokumen harus diberikan oleh instansi yang mempunyai
kompetensi secara konsekuen, sehingga
penyidikan terganggu. e. Kadang kala ada perbedaan persepsi diantara penegak hukum (penyidik dengan JPU) yang berakibat proses penyidikan tersendat. 105
Sementara itu, Faktor-faktor menyebabkan pembuktian kasus korupsi yang disidik JPU sebagai penyidik tersendat, dikarenakan:
104
Wawancara dengan Kom.Pol. Alberd Sianipar. Kasat Tipikor. Dit. Reskrim. Polda Sumut, pada tanggal 11 Mei 2009. 105 Ibid.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
a. Secara hakiki lebih tersendat manakala perkara yang disidik oleh Polri dengan pemahaman bahwa penyidangan perkara yang disidik kejaksaan bersifat meneruskan pekerjaan sendiri, jelas berbeda dengan meneruskan pekerjaan orang lain. Contoh menghadirkan saksi di persidangan dan memahami pribadi para saksi tersebut akan lebih mudah bagi JPU karena semenjak penyidikan sudah diketahui lebih jauh dan mendalam, beda dengan berkas dari Polri karena JPU baru kenal dengan alamat atau pribadi saksi menjelang persidangan. b. Kalaupun ada, mungkin dapat berupa pembuktian terhadap antara para pelaku dan saksi-saksi kasus korupsi saling melindungi c. Dokumen-dokumen yang dihilangkan atau disembunyikan d. Proses perhitungan jumlah Kerugian Negara membutuhkan waktu yang relatif lama. 106 Sehingga upaya-upaya
yang dilakukan Kejaksaan sebagai penyidik untuk
mengurangi hambatan-hambatan yurudis dan non yuridis dalam penyidikan kasus korupsi di Kejati Sumut Untuk hambatan yang yuridis karena sifatnya sudah masuk lingkup legislasi nasional maka Kejati Sumut tidak mungkin akses terhadap hal tersebut hanya bersifat masukan kepada Pimpinan yang lebih tinggi, sedangkan terhadap hambatan yang non yuridis Kejatisu melakukan koordinasi kepada segenap instansi disamping melaporkan kepada pimpinan secara berjenjang.
106
Wawancara dengan M. Simanuruk, Kasi.Penyidikan pada ASPIDSUS KEJATISU, pada tanggal 14 Mei 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
C. Kasus Korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan dengan proses Penyidikan oleh pejabat Penyidik dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Dalam kenyataannya Tindak Pidana Korupsi di Polda Sumut, perkembangannya naik turun dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi atas jumlah kerugian keuangan Negara. Data kasus-kasus yang telah dilakukan Penyelidikan/Penydikan oleh Polri di Polda Sumut dari tahun 2004 sampai dengan 2008, sebagai berikut:
Tabel 2 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2004 No.
Satuan Wilayah Dit. Reskrim Polresta Binjai Polres Tapsel Polres Dairi Polres Nias Polres Simalungun Polres Langkat Polres Tanah Karo Jumlah Sumber : Data Sekunder 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah Tipikor 8 1 2 1 4 5 4 1 26
Dari tabel di atas maka terdapat 26 jumlah kasus Tipikor yang disidik oleh Polri di Polda Sumatera Utara pada tahun 2004, yakni : 8 kasus Tipikor di Dit. Reskrim, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Binjai, 2 kasus Tipikor di
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
daerah satuan wilayah Polres Tapanuli Selatan, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Dairi, 4 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Nias, 5 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Simalungun, 4 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Langkat, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tanah Karo. Tabel 3 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2005 Jumlah No. Satuan Wilayah Tipikor 1 5 Dit. Reskrim 2 3 Polres Asahan 3 2 Polres Labuahan Batu 4 2 Polres Tanjung Balai 5 1 Polres Simalungun 6 3 Polres Tapanili Utara 7 4 Polres Nias 8 2 Polres Tapanuli Selatan 9 Polres Pakpak Bharat 1 23 Jumlah Sumber : Data Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 23 jumlah kasus Tipikor yang disidik Polri di Polda Sumatera Utara pada tahun 2005, yakni : 5 tersangka kasus Dit. Reskrim, 3 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Labuhan Batu, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai, 1 tersangka Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Simalungun, 3 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tapanuli Utara, 4 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Nias, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
PolresTapanuli Selatan, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Pakpak Barat. Tabel 4 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2006
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Satuan Wilayah Dit. Reskrim Polres Asahan Polres Simalungun Polres Tapsel Polres Tapteng Polres Deli Serdang Polres Nias Polres langkat Polres Tanah Karo Polres Tanjung Balai Polres Tebing Tinggi Polres Labuhan Batu Polresta Binjai JUMLAH
Jumlah Tipikor 16 10 3 1 1 2 5 1 3 1 1 1 1 46
Sumber : Data Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 46 jumlah kasus Tipikor yang disidik Polda Sumatera Utara pada tahun 2006, yakni : 16 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 10 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 3 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Simalungun, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tapanuli Selatan, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tapanuli Tengah, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Deli Serdang, 5 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Nias, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Langkat, 3 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Polres Tanah Karo, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah PolresTanjung Balai, 1 tersangka Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tebing Tinggi, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Labuhan
Bara, 1 kasus Tipikor di daerah satuan
wilayah Polres Binjai. Tabel 5 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara Tahun 2007 Jumlah No. Satuan Wilayah Tipikor 1 8 Dit. Reskrim 2 4 Polres Tebing Tinggi 3 3 Polres Tanah Karo 4 5 Polres Simalungun 5 2 Polres Asahan 6 1 Polres Tobasa 7 1 Polres Tapanuli Utara 8 2 Polres Tapanuli Tengah Jumlah 26 Sumber : Data Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 26 jumlah kasus Tipikor yang disidik
di
Polda Sumatera Utara pada tahun 2007, yakni : 8 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 4 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tebing Tinggi, 3 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tnah Karo, 5 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Simalungun, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tobasa, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tapauli Utara, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tapanuli Tengah.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Tabel 6 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polisi Daerah (Polda) Sumatera Utara Tahun 2008 Jumlah No. Satuan Wilayah Tipikor 1 Dit. Reskrim 1 2 Polres Tapanuli Utara 2 3 Polres Madina 1 4 Polres Asahan 4 5 Polres Nias 1 6 Polres Simalungun 2 7 Polresta Pematang Siantar 1 8 Polres Tanjung Balai 2 9 Polres Langkat 1 10 Polres Tebing Tinggi 1 Jumlah 16 Sumber : Data Sekunder
Dari tabel di atas maka terdapat 16 jumlah kasus Tipikor yang disidik
di
Polda Sumatera Utara pada tahun 2008, yakni : 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah PolresTapanuli Utara, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Madina, 4 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Nias, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Simalungun, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Pematang Siantar, 2 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Langkat, 1 kasus Tipikor di daerah satuan wilayah Polres Tebing Tinggi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Tabel 7 Penyidikan Tindak Pidana korupsi Dijajaran Polda Sumatera Utara dari Tahun 2004-2008 secara Kumulatif No. 1 2 3 4 5
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah
Jumlah Tipikor 26 23 46 26 16 137
Persentase 18.9 16,8 33,6 18,9 11,8 100
Sumber : Data Sekunder Dari tabel di atas Penyidikan Tindak Pidana korupsi di jajaran Polda Sumatera Utara, pada tahun 2004 terdapat 18,9 % kasus Tipikor, pada tahun 2005 terdapat 16,8 % kasus Tipikor, pada tahun 2006 terjadi peningkatan 33,6 % kasus Tipikor, pada tahun 2007 terdapat 18,9 % Tipikor dan pada tahun 2008 terdapat 11,8 % kasus Tipikor.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Wewenang Polri dalam memberantas Tindak Pidana korupsi sebagai Penyidik yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, dalam hal mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangka Tindak Pidana Korupsi adalah sesuai Pasal 5 dan Pasal 7 undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Undang undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri Inpres No. 5 Tahun 2004, tentang percepatan pemberantasan korupsi sedangkan wewenang Jaksa adalah bertindak sebagi penuntut umum, Penyidik terhadap Tindak Pidana tertentu berdasarkan undang-undang adalah sesuai dengan Pasal 30 Undang undang nomor 16 tahun 2004 dan Inpres No. 5 Tahun 2004, tentang percepatan pemberantasan korupsi. Bila dibandingkan dengan KPK wewenangnya sangat luas dimana KPK berwenang
melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan
penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi dan kasus-kasus yang ditangani menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1000.000.000,-. Meskipun demikian Polda dan Kejaksaan Tinggi membuat kesepakatan atas Peraturan Bersama Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor Pol.: PB/99/III/2007, Nomor : B-64/N.2/FD.1/03/2007 dan KEP019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan Tindak
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Pidana Antara Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, maka tumpang tindih (overlapping) Tindak Pidana Korupsi dapat diminimalisir, sedangkan dengan KPK tidak ditemukan tumpang tindih penanganan perkara. 2. Hambatan yuridis yang dihadapi Polri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulitnya pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, dan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Demikian pula adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ijin/persetujuan yang harus dimohonkan/diajukan baik oleh Polri maupun oleh Kejaksaan terlebih dahulu kepada Pejabat/Instansi tertentu dalam tindakan pemanggilan/pemeriksaan saksi/tersangka tertentu.
B. Saran 1. Hendaknya Polri dalam menyidik kasus korupsi mempercepat proses penyidikan, mengingat kewenangan yang diberikan oleh undang undang terhadap Polri sebagai Penyidik kasus korupsi sesuai Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Instrusksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, sehingga masyarakat/lembaga swadaya masyarakat sebagai penilai/monitoring dapat yakin dan percaya terhadap kinerja Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di jajaran Polda Sumut. Selain itu juga hendaknya
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Polri, Jaksa dan KPK sejak awak penyelidikan
saling berkoordinasi secara
optimal, sehingga tidak terjadi penanganan perkara yang tumpang tindah (overlapping), atas laporan/pengaduan tindak pidana korupsi oleh masyarakat maupun Lembaga swadaya Masyarakat kepada ketiga lembaga tersebut. 2. Hendaknya dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan khususnya menyangkut masalah pembuktian, karena salah satu tujuan undang-undang korupsi adalah disamping menghukum sipelaku juga untuk menyelamatkan keuangan negara.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3S, 1983. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Djamin, Awaloedin, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, (Jakarta: Yayasana Tenaga Kerja Indonesia, 2001). Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection For The Victim of Land Cases), Pustaka Bina Bangsa, 2003. Hamzah, Andi , Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. ---------------------, Korupsi Di Indonesia : Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hanitijo, Ronny, metode Penelitian Hukum Indonesia, 1988.
dan Juri Mentri, Jakarta: Ghalia
Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi: Jalan Tiada Ujung, Bandung: Grafitri, 2006. Kelana, Momo Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia, (Jakarta: PTIK Press, 2007). Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi : Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta: Djambatan, 2007. Myrdal, Gurnar, Asia Drama, Volume II New York : Pantheon, 1986. Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Books Terrace and Library, 2007. Prodjohanidjojo, Martiman, Penerapan, Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: Mandar Maju, 2001. Soemitro, Ronny.H. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghali, 1982.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Soekanto, Soerjono, Metedologi Reserarch, Yogyakarta: Andi Offset, 1998. -----------------------, Penguasa Penegakan Hukum, Jakarta : Binaciptaa, 1983. ------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1981). Soesilo, Karjadi, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, (Bogor: Politeia, 1997). Sri Mamudji dan, Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985. Thomas F, Adam, Law Enforcement, An Introduction to the Police Role in the Comunnity, (Renice-Hall Inc. Englewood Cliffs N.J, 1968), hal. 71. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek , Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : Berikut Studi Kasus, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. 2. Makalah Bismar Nasution. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang peneltian hukum dan hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 februari 2003. Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi, Semarang, Makalah Seminar Kejahatan Korporasi, 1989. 3. Internet www.antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 Maret 2009. www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman Seorang Polisi Indonesia, diakses tanggal 16 Juni 2009. www.detikhot.com, Eks Kapolri: Berikan Wewenang Sidik Korupsi Hanya pada Polri, diakses pada tanggal 21 Juni 2009. www.digilib.unila.ac.id/go, Kompetensi Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Polisi dan Jaksa, diakses tanggal 8 Maret 2009.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
www.hukumonline.com, Transparasi Internasional: Indonesia Masih Menjadi Salah Satu Negara Terkorup, diakses pada tanggal 8 Maret 2009. www.Ketentuan%20tindak%20pidana%20korupsi.htm, Perihal Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, diakses tanggal 31 Maret 2009. www.transparansi.or.id, Sebab-sebab Korupsi, diakses tanggal 18 Mei 2009.
4. Perundang-undangan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982, Tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. Undang-undang No. 28 Tahun 1997, Tentang kepolisian. Undang-undang Nomor Korupsi.
3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang POLRI, Undang-undang Nomor Pidana Korupsi.
30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, tentang tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Rumida Sianturi : Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2009