KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : NURDIANSYAH 1111048000049
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
i
ii
iii
ABSTRAK
Nurdiansyah, NIM 1111048000049, KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. Masalah yang akan diteliti dalam penetian ini adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang dengan menelaah peraturan perundanganundangan yang terkait serta melihat dissenting opinion hakim tindak pidana korupsi dalam menafsirkan tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bahan pertimbangan analisis atas permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Adapun data yang digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan), baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif. Dalam menganalisis data menggunakan metode penalaran (logika) deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukan bahwa mengacu kepada peraturan perundangundangan yang terkait tindak pidana pencucian uang tidak dijelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Kata Kunci
: Kewenangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Penuntutan, Tindak Pidana Pencucian Uang
Pembimbing I
: Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA
Pembimbing II
: Arip Purkon, MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1981 s.d. Tahun 2014
iv
KATA PENGANTAR ِحيْم ِ َبِسْمِ اللّهِ الّرَحْ َمنِ الّر
Alhamdulillah, segala piji bagi Allah S.W.T., Tuhan semesta alam. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-Nya. Karena rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”. Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidaklah mudah. Namun, segala hambatan akan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA periode 2014-2015 dan Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA yang telah mengayomi kami. 2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MH dan Bapak Arip Purkon, MA yang telah membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan Program Studi Ilmu Hukum.
v
3. Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA dan Bapak Arip Purkon, MA yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberi arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Penguji Skripsi Penulis Bapak Dr. Alfitra, SH. MA dan Bapak Nur Rohim Yunus L. LM yang telah menguji skripsi penulis dan memberikan arahan dalam penulisan skripsi. 5. Pembimbing Akademik, Bapak Ahmad Bachtiar, M. Hum dan Bapak Nur Rohim Yunus, L. LM yang sudah banyak membantu penulis selama ini. 6. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Bapak Wawan Yunarwanto,SH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi ini. 7. Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Bapak Boby Mokosugianta, SH dan Ibu Dhiyah Ferawati, SH yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi ini. 8. Segenap dosen yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik perputakaan Fakultas maupun Perpustakaan Utama yang telah member fasilitas untuk melakukan studi kepustakaan, Karyawan serta petugas umum Fakultas Syariah dan Hukum pada khususnya dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya.
vi
9. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Ayahanda Khaerul Saleh, MH dan Ibunda Siti Syamsiati, SH dengan segala pengorbanannya baik materiil maupun formil dan yang terutama doanya serta motivasi yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu, juga adik-adikku tercinta dan segenap keluargaku yang telah memberikan dorongan dan doa selama kuliah sampai selesainya skripsi ini. Serta teman special penuli, 10. Teman spesial yaitu Verina pradita Agusti yang selalu menemani, memberi motivasi serta semangat untuk terus percaya diri dan memberikan sumbangsih pemikiran kepada penulis sampai selesainya skripsi ini. 11. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 dan semua pihak yang belum tersebut, terima kasih telah memberikan dan inspirasi, motivasi dan bantuan serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah S.W.T. memberikan pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak. Jakarta, 18 Maret 2015 M
Nurdiansyah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..............................
iii
ABSTRAK .........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ......................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................................
8
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ..............................................................
10
E. Kerangka Konseptual ....................................................................................
11
F. Metode Penelitian..........................................................................................
13
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................
18
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA A. Teori Tentang Kewenangan ..........................................................................
20
1. Pengertian Kewenangan ..........................................................................
20
2. Jenis-jenis Kewenangan .........................................................................
24
B. Teori Tentang Lembaga Negara....................................................................
27
1. Pengertian Lembaga Negara ...................................................................
27
2. Jenis-jenis Lembaga Negara ...................................................................
29
3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs) ...........................
30
viii
BAB III KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG A. Komisi Pemberantasan Korupsi ....................................................................
33
1. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ...................................................................................................
33
2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi ......
35
3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi .......................................
37
4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi.................................
38
B. Pencucian Uang ............................................................................................
39
1. Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ............................
39
2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi ...................................................................................................
42
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Konstruksi Hukum Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ......................................
46
B. Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ...................................................................
59
C. Prospek Pengaturan Kewenangan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Terkait Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Masa Mendatang .....................................................................................................
68
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................
71
B. Saran ..............................................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjamin semua warga negara dengan kedudukan yang sama dimata hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya termasuk di Negara Indonesia. Secara umum, pengertian tindak tidana korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.1 Menurut Adnan Buyung Nasution, korupsi yang sudah terjadi secara sistematis dan meluas ini bukan hanya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara melainkan juga merupakan satu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).2 Munurut Andi Hamzah, korupsi secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang dalam bahasa Eropa seperti Inggris yaitu “coruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” yang selanjutnya muncul pula dalam
1
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 15. Adnan Buyung Nasution, Pentingnya Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti, 2002), h. 2- 5. 2
1
2
perbendaharaan bahasa Indonesia: korupsi, yang dapat berarti suka di suap.3 Lalu bila dilihat di dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.4Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.5 Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata „korupsi‟ diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang , penerimaan uang sogok dan sebagainya.6 Seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya. Hal tersebut dikarenakan di dalam tindak pidana pencucian uang, korupsi dapat menjadi predicate crime (tindak pidana asal) dalam tindak pidana pencucian uang. Pada hakikatnya pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaanhasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari
3
Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), h. 135. 4 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi (Pena Multi Media, 2008), h. 2. 5 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 4-5. 6 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, h. 6.
3
kegiatan yang sah/legal.7 Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat fundamental. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi, b. Penyuapan, c. Narkotika, d. Psikotropika, e. Penyelundupan tenaga kerja, f. Penyelundupan migrant, g. Di bidang perbankan, h. Di bidang pasar modal, i. Di bidang perasuransian, j. Kepabeanan, k. Cukai, l. Perdagangan orang, m. Perdagangan senjata gelap, n. Terorisme, o. Penculikan, p. Pencurian, q. Penggelapan, r. Penipuan, s. Pemalsuan, t. Perjudian, u. Prostitusi, v. Di bidang perpajakan, w. Di bidang kehutanan, x. Di bidang lingkungan hidup, y. z. Di bidang kelautan dan perikanan dan Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pada
umumnya
pelaku
tindak
pidana
Pencucian
Uang
berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil 7
Wikipedia, “Pencucian Uang”, artikel diakses pada http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang.
1 November 2014 dari
4
dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8 Dalam
pemberantasan
korupsi,
lembaga
yang
khusus
menangani
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.Kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang, KPK mempunyai wewenang dalam menangani kasus tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime) Korupsi. Hal tersebut telah Diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu: “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-undang ini.”
8
Wikipedia, “Pencucian Uang”.
5
Penjelasan Pasal 74, yaitu yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” dalam Undang-undang No. 8 tahun 2008 adalah pejabat dari instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dalam melakukan upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk pertama kalinya, KPK menjerat M. Nazaruddin dalam kasus tindak pidana pencucian uang saham Garuda pada Februari 2012. KPK mulai sering menggunakan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat tersangka korupsi. Mereka antara lain Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini, M. Akil Mochtar, dan Anas Urbaningrum.9 Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah cara efektif untuk membuka peluang lebih besar terhadap pengembalian keuangan negara. Hampir semua kasus yang ditangani KPK menggunakan Undang-undangTindak Pidana Pencucian Uang. Penggabungan kasus korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan keuntungan tersendiri bagi KPK dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi. Pertama, lebih banyak aktor yang terjerat, termasuk korporasi. Kedua, hukuman lebih maksimal. Ketiga,
9
HukumOnline.com, “Grey Area Penanganan TPPU”, artikel diakses pada 1 November 2014 dari http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt52f0d3968ed1f/grey-area-penanganan-tppubagian-1.
6
mengefektifkan pengembalian aset negara. Dan keempat, bisa memiskinkan koruptor.10 Permasalahan yang dihadapi KPK dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu dalam hal penuntutan. Hal tersebut dikarenakan tidak diaturnya secara jelas kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uangkewenangan KPK dalam hal penuntutan. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) para hakim TIPIKOR yang dapat dilihat terjadi pada perkara Lutfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah dimana ada 2 majelis hakim yaitu menyatakan setuju bila KPK dapat melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang,yaitu Hakim I Made Hendra dan Joko Subagyo ,dimana kedua hakim tersebut menyatakan bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang.11
Perbedaan pendapat ini
menjadi tidak terhindarkan karena Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya jaksa KPK dapat melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.12 Berdasarkan uraian tersebut di atas,
10
HukumOnline.com, “Grey Area Penanganan TPPU”. HukumOnline.com, KPK “Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002”, artikel diakses pada 2 November 2014 darihttp:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt52267e44e3133/kpk-berwenangtangani-tppu-sejak-2002. 12 Muhammad Fadli, “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Legislasi Indonesia, no. 1 Vol 11 (2014): h. 15. 11
7
penulis merasa perlu untuk membahas dan meneliti secara lebih mendalam atas berbagai fenomena tersebut serta penelitian ini dapat dijadikan sebagai skripsi dengan tema atau judul tentang “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini penulis membatasi penelitian ini yaitu membahas tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penututan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dihubungkan dengan Undang-undang, teori-teori, kasus-kasus dan wawancara pihak-pihak yang terkait, serta Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Perumusan Masalah Berdasar dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, menurut peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melalukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Rumusan tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan yaitu sebagai berikut:
8
1. Bagaimana Konstruksi Hukum/Argumentasi Yuridis sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi merasa berwenang dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang? 2. Bagaimana Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang? 3. Bagaimana prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Penelitian
tentang
Kewenangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki tujuan yaitu sebagai berikut: a. Tujuan secara Umum 1) Untuk mengetahui Konstruksi Hukum/ Argumentasi Yuridis kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2) Untuk mengetahui Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.
9
3) Untuk mengetahui prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang. b. Tujuan secara khusus yaitu untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)
pada Konsentrasi Kelembagaan
Negara, Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dan dihasilkan dalam penelitian ini antara lain: a. Manfaat Teoritis 1) Memberikan manfaat terhadap khasanah perkembangan ilmu hukum, khususnya lembaga negara yang bertugas melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang . 2) Menambah dan memperkaya referensi dan literature kepustakaan hukum tata negara yang kaitannya tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. b. Manfaat Praktis
10
1) Menjadi kesempatan bagi penulis untuk membentuk dan mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah serta dapat menguji dan mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh. 2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau lembaga yang terkait langsung terhadap penelitian ini. 3) Dapat menjadi jawaban atas masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini, penulis melihat kajian atau review terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian atau review terdahulu yang menjadi acuan antara lain: 1. Skripsi mengenai “Eksistensi State Auxiliary Organs Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance”
oleh Angga Martandy Prihantoro,
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2010, skripsi ini membahas tentang keberadaan dan kedudukan State Auxiliary Organs yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta dalam mewujudkan Good Governance di Indonesia, sedangkan penelitian ini membahas tentang kewenangan Komisi Pemberantasan korupsi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam hal penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Skripsi
mengenai
“Tugas
dan
Wewenang
kejaksaan
dan
Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
11
(Kajian Perbandingan)” oleh Evi Yuliani, Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009, Skripsi ini membahas tentang membandingkan tugas dan wewenang Kejaksaan dengan Komisi Pemberansan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Korupsi dalam hal penuntutan, sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang membahas kewenangan Komisi Pemberansan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang . 3. Skripsi mengenai “Indepedensi Yuridis KPK: Telaah Teoritis dan Praktis” oleh Benu Pangestu, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, Skripsi ini membahas tentang urgensi dan tantangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengkaji lebih tentang peran dan kedudukan KPK di dalam struktur kelembagaan Negara berdasarkan undang-undang yang terkait, sedangkan penelitian ini khusus membahas tentang kewenangan Komisi Pemberansan Korupsi dalam pentuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.
E. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitanantara konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang inginditeliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk menghubungkan ataumenjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka konseptual menjelaskan pengertian-
12
pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain: 1. Menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan dibentuk dengan Tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh subjek hukum dalam suatu kelompok tertentu. 3. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Penuntut Umum adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 4. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5. Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jaksa KPK adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 6. Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
13
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan. 7. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.13 8. Pencucian Uang
adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.14 9. Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara.15 10. Dissenting Opinion adalah suatu pendapat berbeda yang dilakukan oleh seorang anggota/beberapa majelis hakim minoritas, yang wajib dimuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
F. Metode Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya adalah suatu proses sistematis dan terencana untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin
13
Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia (Bandung, C.V.Mandar Maju, 2012),
h. 160. 14 15
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 9.
14
guna menjawab isu hukum yang dihadapi secara kontekstual.16 Adapun Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan penulis sebagai berikut: 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.17 Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, dan kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian uang. 2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach).Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.Selain itu, penulis juga menggunakan Pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan 16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Prenada Media: Jakarta, 2005), h. 35. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet XI, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13–14. 17
15
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang telah menjadi putusan pengadilan serta melihat dissenting opinion
hakim Tindak Pidana Korupsi dalam menafsirkan
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang. 3. Sumber Data Dalam penelitian normatif ini jenis data yang digunakan adalah data hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, data hukum sekunder dibagi menjadi:18 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuanketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangundangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundangundangan, dan putusan-putusan hakim.19Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana; 2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; 18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet XI, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 59. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 141.
16
3) Undang-Undang
No.
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah bukubuku, skripsi, tesis, majalah, jurnal hukum, wawancara ahli, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
dan
Tindak Pidana Pencucian Uang serta artikel ilmiah dan tulisan di internet. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Dalam hal ini penulis membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilah-istilah yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) serta wawancara ahli/seseorang yang berwenang atau berkompeten, baik bahan hukum
primer dan bahan
17
hukumsekunder dan bahan hukum tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif.20 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Penelitian ini mendeskripiskan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.21 Data kualitatif adalah fokus dari penelitian ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi berbagai fenomena yang ingin diteliti, yaitu seputar permasalahan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada akhirnya memberikan simpulan yang solutif untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dengan memberikan rekomendasi seperlunya.Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran (logika) deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 6. Metode Penulisan Dalam penulisan penelitian ini mulai dari awal hingga akhir mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
20
Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2013), h.
123. 21
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 52.
18
G. Sistematika Penelitian Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian.Pada penelitian ini yang berjudul “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang” penulis merasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat. Sesuai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penulis menyusun sistematika yang terbagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun rinciannya yaitu sebagai berikut: BAB Pertama, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian. BAB Kedua, LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA yang berisi teori tentang kewenangan dan teori tentang lembaga Negara. Dimana teori tentang kewenangan menjelaskan pengertian kewenangan dan jenis-jenis kewenangan, sedangkan teori tentang lembaga Negara menjelaskan tentang pengertian lembaga Negara, jenis-jenis lembaga Negara, dan lembaga negara penunjang (auxiliary state organs). BAB Ketiga, KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG yang berisi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian uang, dimana Komisi pemberantasan Korupsi menjelasakan latar belakang dan tujuan
19
pembentukan komisi pemberantasan korupsi, Tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, Visi danmisiKomisi Pemberantasan Korupsi, dan Landasan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan Pencucian Uang menjelaskan tentang Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi. BAB Keempat, ANALISA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG yang berisi tentang deskripsi hasil penelitian atas permasalahan yang telah dirumuskan oleh penulis yaitu Pertama, Konstruksi Hukum/Argumentasi Yuridis kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua, Dissenting Opinion para hakim tindak pidana korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan komisi pemberantasan korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.Ketiga, Prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang. BAB Kelima, PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta memberi saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.
20
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA
A. Teori Tentang Kewenangan 1. Pengertian Kewenangan Dalam Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara dikenal istilah kewenangan, dimana istilah kewenangan diberikan kepada suatu organ Negara/lembaga Negara. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in het staats-en administratief recht”.22 Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) sebagaimana dikutip oleh Kamal Hidjaz, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada
22
E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht (Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985), h. 26.
20
21
orang/badan lain.23 Kewenangan biasa disebut dalam bahasa Inggris dengan sebutan Authority yang dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties”.24 Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. Dalam mendefinisikan kewenangan terdapat banyak definisi yang dijelaskan oleh pakar/ahli yaitu antara lain: a. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.25 b. Menurut F.P.C.L. Tonner berpendapat sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het
vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”. Dari kalimat tersebut dapat diterjemahkan bahwa kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan 23
Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Makasar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 35. 24 Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary ( West Publishing, 1990), h. 133. 25 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember, 1997 , h.1.
22
hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan warga Negara.26 c. Menurut Ferrazi kewenangan yaitu sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.27 d. Ateng
syafrudin
berpendapat
ada
perbedaan
antara
pengertian
kewenangan dan wewenang.28 Atas hal tersebut harus dibedakan antara kewenangan
(authority,
gezag)
dengan
wewenang
(competence,
bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undangundang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. e. Menurut S. F. Marbun, Kewenangan dan wewenang harus dibedakan. Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenal bidang tertentu saja. Dengan demikian, kewenangan 26
berarti
kumpulan
dari
wewenang-wewenang
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 100. Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 93. 28 Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22. 27
23
(rechsbevoegdheden). Jadi, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan peraturan perundang-undangan untuk melakukan hubungan hukum.29 Dari definisi yang dijelaskan oleh para ahli, bila dilihat dari sisi tata Negara dan administrasi Negara, penulis berpendapat bahwa kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ Negara/lembaga Negara. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu organ Negara/lembaga Negara adalah kewenangan yang memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya
agar
tidak
berlaku
sewenang-wenang.
Dalam
mengaplikasikan suatu kewenangan yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga
Negara,
penulis
memberi
contoh
yaitu
mengenai
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dalam pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu member wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
29
Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Pustaka Refleksi, Makasar, 2010), h. 35.
24
2. Jenis-Jenis Kewenangan Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.30 Dalam memperoleh kewenangan ada tiga cara untuk memperoleh kewenangan yaitu antara lain: a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali.31 Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut. b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain.32 Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk
30
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 65. 31 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104. 32 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105.
25
selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. c. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk gungmembuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.33 Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.34 Jika melihat cara-cara memperoleh suatu kewenangan organ pemerintahan/lembaga Negara, penulis menghubungkan teori kewenangan ini dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dengan cara atribusi kewenangan dimana dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan 33
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, Pro Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90. 34 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, h. 94.
26
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Disitu ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-Undang no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan KPK kewenangan penuntutan. Kedua, dengan cara Delegasi dimana dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK ada indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75 UndangUndang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian setelah
penyidikan
selesai,
maka
penyidik
KPK
melaporkan
atau
berkoordinasi dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke tahap penuntutan oleh jaksa KPK. Ketiga, dengan cara Mandat dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
27
B. Teori Tentang Lembaga Negara 1. Pengertian Lembaga Negara Di dalam suatu Negara, tentunya memiliki organ-organ Negara yang biasa disebut dengan istilah Lembaga Negara. Istilah lembaga Negara dalam kepustakaan Inggris, biasa disebut dengan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ Negara.35 Dalam memahami istilah organ atau lembaga Negara secara dalam, dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengenai “The concept of state organ” dalam bukunya “General Theory of Law and State”, dimana dalam bukunya tersebut Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”.36 Dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ Negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ Negara yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat juga disebut sebagai organ,
35
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 88. 36 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 36-38.
28
asalkan fungsi-fungsinya bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau menjalankan norma (norm applying). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh Firmansyah Arifin, dkk, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).37 Seiring dengan perkembangannya, pemahaman tentang lembaga Negara muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU1/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa “dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga Negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga Negara yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan ada lembaga Negara yang dibentuk atas dasar keputusan presiden”.
37
Firmansyah Arifin dkk.,Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 30.
29
Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dari pengertian-pengertian mengenai istilah lembaga Negara, penulis sependapat dengan pendapat mahkamah konstitusi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 dan menarik kesimpulan bahwa lembaga Negara adalah suatu organ Negara yang dibentuk oleh Negara baik melalui UUD 1945, Undang-undang maupun Keputusan Presiden yang memiliki tugas dan fungsinya serta wewenang yang diatur oleh peraturan yang terkait sebagai penyelenggara Negara. 2. Jenis-jenis Lembaga Negara Ketentuan UUD 1945 tidak mengklasifikasikan jenis-jenis lembaga Negara. dalam memahami jenis-jenis Lembaga Negara secara teori ada 3 jenis lembaga Negara yaitu antara lain: Lembaga Negara Utama, Lembaga Negara Kedua, Lembaga Negara Ketiga. Sebagaimana penjelasan sebagai berikut: a. Lembaga Negara Utama Lembaga Negara utama adalah lembaga tinggi Negara yang tugas dan wewenangnya diatur oleh Undang-undang dasar 1945. Lembaga tinggi Negara ini terbagi atas Lembaga Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara utama antara lain: DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan BPK.
30
b. Lembaga Negara Kedua Lembaga Negara kedua adalah Lembaga Negara yang kewenangannya disebutkan di dalam UUD 1945 dan Undang-undang. Lembaga Negara kedua ini disebutkan secara eksplisit ataupun Implisit di dalam Undang-undang dasar 1945 selain lembaga Negara Utama/lembaga tinggi Negara.38 Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara kedua antara lain: Kementerian, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, TNI, Bank Sentral, dan lain sebagainya. c. Lembaga Negara Ketiga Lembaga Negara ketiga adalah lembaga Negara dalam lingkup pemerintahan daerah. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara ketiga antara lain: Gubernur/Bupati/Walikota Pemerintahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. 3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs) Dalam memahami istilah Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs), ada beberapa istilah-istilah yang disamakan dengan Auxiliary State Organs, ada yang menyebutkan komisi Negara, ada yang menyebutkan Auxiliary State bodies, Auxiliary State Agencies dan adapula yang menyebutkan sebagai lembaga Negara Independen.
38
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 179.
31
Menurut Jimly Asshidiqie yang menyebutkan lembaga Negara penunjang sebagai komisi Negara memberikan definisi yaitu komisi Negara adalah organ Negara (state organ) yang diedealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.39 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Lembaga Negara penunjang ini bebas dari pengaruh dan intervensi manapun. Lembaga Negara penunjang (Auxiliary State Organs) dibagi menjadi 2 yaitu:40 a. Komisi Negara Eksekutif (Executive Branches Agencies) Komisi Negara Eksekutif adalah Komisi Negara yang tugas dan fungsinya dimaksudkan untuk membantu kinerja dari lembaga eksekutif. Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional, ,Komite Akreditasi Nasional, dan lain sebagainya. b. Komisi Negara Independen (Independent Regulatory Agencies) Komisi Negara Independen adalah Suatu organ Negara/komisi yang independen, karena berada diluar dari kekuasaan manapun (kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui DPR sebagai representatif dari rakyat, namun mempunyai fungsi dari ketiga lembaga tersebut (legislatif,
39
Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 265-266. 40 Sri Sumantri, Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945 (Surabaya, Airlangga University Press, 2002), h. 204.
32
eksekutif, dan yudikatif). Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia, PPATK, Komnas HAM, dan lain sebagainya.41 Dalam hal ini, penulis menghubungkan teori tentang Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs) dengan penelitian ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu dari Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs). KPK merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian, meskipun dalam banyak pihak memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang.
41
208.
Sri Sumantri, Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945, h.
33
BAB III KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG
A. Komisi Pemberatasan Korupsi 1. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam penanganan tindak pidana korupsi, harus diakui bahwa eksistensi lembaga pemerintahan yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan effesien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal demikian diperparah oleh indikasi adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Paling tidak terdapat 3 alasan yang membuat hal demikian terjadi yaitu: Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya pengeluaran SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun bukti awal secara yuridis dalam kasus tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali public dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.42 Selain itu, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami 42
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.169.
33
34
berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, propesional serta berkesinambungan.43 Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam bagian konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, bahwa debentuknya Komisi tersebuat karena di satu sisi realitas korupsi di Indonesia dinilai semakin memperihatinkan dan menimbulkan kerugian besar terhadap keuangan
maupun
perekonomian
Negara
sehingga
menghambat
pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena aparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan effesien.44 Mengenai Pemberantasan 43
latar
belakang
Korupsi,
penulis
dan
tujuan
sependapat
terbentuknya dengan
pendapat
Komisi yang
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional (Bandung: Mandar Maju, 2004), h. 26-29. 44 Artidjo Alkostar,Korupsi Politik Di Negara Modern (Yogyakarta: UII Press, 2008), h. 377.
35
dikemukakan oleh Ryaas Rasyid sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda yang menyatakan “Fenomena menjamurnya komisi Negara memberi kesan bahwa Indonesia berada dalam darurat karena pelbagai institusi yang ada selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai dengan ketatanegaraan dan konstitusi. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga Negara yang berada di bawah lembaga eksekutif. Di sisi lain, lembaga
kuasi
Negara
adalah
terobosan
sekaligus
perwujudan
ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan Negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada”.45 Atas dasar itulah, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diwujudkan jika masih mengandalkan lembaga penegak hukum yang telah ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya aparat penegak hukum itu sendiri seringkali terlibat dalam praktik korupsi atas perkara yang mereka tangani. 2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa terdapat lima tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang harus dilaksanakan yaitu Pertama, Koordinasi dengan dengan instansi yang berwenang
45
Ni‟matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 207.
36
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan suvervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi,
dan
Kelima,
Melakukan
monitor
terhadap
penyelenggara
pemerintahan Negara. Dalam hal agar tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.46 Dalam hal tugas koordinasi dengan instansi lain, Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi diberikan kewenangan hukum berdasarkan ketentuan pasal 7 yaitu Pertama, Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait. Keempat, Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
46
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 170-176.
37
pidana korupsi. Kelima, Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan undang-undang
kepada
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
agar
tidak
disalahgunakan, maka ketentuan pasal 15 di undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Pertama, Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya. Ketiga, Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keempat, Menegakkan sumpah jabatan. Kelima, Menjalankan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya berdasarkan asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas. 3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi Sebuah lembaga Negara memiliki Visi dan Misi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki Visi dan Misi yang diharapkan dan hendak dicapai. Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi”. Visi ini
38
menunjukan suatu tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat segera menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi dan nepotisme.Lalu adapun misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Antikorupsi”. Dengan misi tersebut diharapkan nantinya komisi ini dapat menjadi sebuah lembaga yang mampu membudayakan antikorupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta. 4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Adapun Landasan/Dasar hukum KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi, dan Nepotisme; 3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
39
B. Pencucian Uang 1. Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebelum mengemukakan pengertian tindak pidana pencucian uang (money laudering) terlebih dahulu dikemukakan perkembagan kejahatan pencucian uang dan kaitannya dengan kejahatan pencucian uang sebagai salah satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan populer di kalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang inggris. Menurut Howard Abadinsky sebagaimana yang dikutip oleh Arief Amrullah yaitu, kejahatan dipandang sebagai mala in se atau mala in prohibita. Mala in se menunjuk kepada perbuatan yang pada hakikatnya adalah kejahatan, seperti pembunuhan. Sedangkan mala in prohibita menunjuk kepada perbuatan yang oleh Negara ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang (unlawful).47 Dari pengertian kejahatan dapat dihubungkan dengan pengertian tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang
adalah
suatu
proses
atau
perbuatan
yang
bertujuan
untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.48 Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah
hasil
dari
penjualan
obat-obatan
terlarang/narkotika
dan
47
Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang(Malang: Bayumedia Publishing, 2003),
48
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19.
h. 2.
40
penyelundupan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana maraknya terjadi korupsi menjadi objek utama dalam tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang. Di dalam undangundang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan beberapa tindak pidana asal (predicate crime) yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, dan lain sebagainya serta Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Praktik tindak pidana pencucian uang (money laundering) tidak mudah dalam pemberantasannya. Faktor penyebab timbulnya money laundering yaitu,49 Pertama, Globalisasi sistem perputaran secara internasional. Kedua, Kemajuan teknologi di bidang perbankan yang menciptakan electronic banking dan e-money sehingga pelayanan bank dapat dilakukan dengan internet. Ketiga, Kerahasian bank untuk setiap rekening para nasabahnya sehingga memungkinkan para nasabahnya menggunakan nama samara
49
Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Di Era Globalisasi (Yogyakarta: Total Media, 2013), h. 34-37.
41
(anonym) dalam proses penyimpanan dananya, serta dimungkinkan terjadinya layering (pelapisan), dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya tidak diketahui jelas karena deposan yang terakhir hanyalan sekedar ditugaskan untuk mendepositkan di suatu bank. Keempat, Ketentuan hukum dimana hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan. Kelima, Belum adanya peraturan money laundering di dalam suatu Negara tertentu. Dalam membuktikan suatu tindak pidana pencucian uang, tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya sangat komplek sekali, namun para pakar berhasil menggolongkan proses money laundering kedalam tiga tahap, yaitu: a. Tahap Penempatan Uang (Placement) Pada tahap ini, pelaku menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan melalui perbankan dengan menyimpan dananya pada suatu bank. Kemudian, pelaku memindahkan dananya ke bank lain yang berada diluar negera tempat ia menempatkan dananya pertama kali. Pada saat itulah, dana haram milik pelaku kegiatan pencucian uang tersebut masuk dalam suatu jaringan keuangan global. Dengan demikian, bank merupakan pintu utama dari tahap pertama kegiatan pencucian uang.50 b. Tahap Pelapisan Uang (Layering)
50
Alfitra, Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), h. 57.
42
Pada tahap ini, pelaku telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening atas nama beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain dalam jumlah nominal yang tidak mencurigakan otoritas moneter dan dilakukan antarnegara. Kegiatan pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan asal-usul dana tersebut. Dengan demikian dilakukan layering, akan semakin sulit bagi aparat penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul dana tersebut.51 c. Tahap Penyatuan Uang (Integration) Pada tahap ini, pelaku menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil dari kejahatan. 2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi Kejahatan merupakan suatu perilaku yang menyimpang, selalu melekat pada tiap bentuk masyarakat yang tidak pernah sepi dari kejahatan. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata, serta dapat menimbulkan ketegangan social yang mengancam berlangsungnya ketertiban sosial. Salah satu kejahatan yang memiliki dimensi yang menimbulkan berbagai kejahatan lanjutan dengan kejahatan tipologi lainnya adalah tindak 51
Alfitra, Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP, h. 58.
43
pidana pencucian uang (money laundering). Tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah suatu proses yang dengan cara itu asset, terutama asset tunai yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa sehingga asset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan terorganisasi yang pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keperihatinan internal nasional dan eksternal internasional. Tindak pidana pencucian uang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi. Di dalam dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, dan lain sebagainya serta Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah
44
Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.52 Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal/tindak pidana lanjutan/predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengingat semakin canggihnya cara atau modus yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana korupsi yaitu salah satunya adalah dengan melakukan pencucian uang. Peneggakan tindak pidana korupsi oleh komisi pemberantasan korupsi dapat memperluas makna pembuktiannya dengan dukungan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni salah satunya adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang.53 Dimana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang mengatur sebuah lembaga yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang setiap tahunnya melaporkan adanya indikasi kuat terjadinya tindak pidana pencucian uang kepada para penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ada indikasi terjadinya tindak pidana
52
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Bandung: PT. Citra Adhitya Bakti, 2010), h. 213. 53 NLRP, Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Jakarta: Netherlads Reform Program, 2011), h. 470.
45
pencucian
yang
berkaitan
dengan
tindak
pidana
korupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi mendapatkan dukungan publik yang baik dan diharapkan terus dapat meningkatkan kinerja dalam memberantas segala bentuk korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi. Menurut penulis, pada dasarnya tindak pidana pencucian uang adalah suatu tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri, dimana setiap ada tindak pidana pencucian pastilah ada tindak pidana asal/unsure tindak pidana lain seperti korupsi.
46
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Konstruksi Hukum KewenanganKomisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Sebelum menguraikan tentang kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, Terlebih dahulu penulis akan menguraikan yaitu, Pertama tentang subjek yang melakukan penuntutan yang di dalamnya juga akan membahas mengkaji tentang jaksa KPK dan jaksa pada Kejaksaan, Kedua, akan diuraikan tentang kewenangan, Ketiga, akan menguraikan sedikit tentang pencucian uang. Setelah itu Penulis akan mengkaitkan ketiga hal tersebut sebagaimana telah dirinci dalam penelitian ini yaitu kewenangan KPK (jaksa KPK) dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian. Pertama, penulis akan menguraikan tentang subjek yang melakukan penuntutan atas suatu tindak pidana yang dalam hal ini disebut jaksa. Dalam hal ini ada istilah jaksa dan kejaksaan. Dapat dibedakan antara jaksa dengan kejaksaan yaitu, Jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan utama sedangkan Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti surat
46
47
dakwaan dan surat tuntutan.54 Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut Umum sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP, adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kejaksaan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah satu dan tidak terpisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain.55 Jadi dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa dimanapun jaksa berada, fungsi jaksa sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan tindak pidana tetap melakat. Lalu kaitannya dengan KPK, Dalam hal ini KPK memiliki Jaksa penuntut umum yang berasal dari KPK yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 bahwa “Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dalam hal ini maka timbul suatu pemikiran tentang bagaimana kedudukan Jaksa KPK dengan Jaksa pada kejaksaan.
54
Suradji, Mudiyati, dan Sutriya (Editor), Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), h. 8. 55 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet. V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 66.
48
Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan Yunarwanto pada tanggal 10 maret 2015 yang menjelaskan kedudukan jaksa KPK dan jaksa pada kejaksaan agung bahwa:56 “Dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejakasaan Republik Indonesia bahwa jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan. Seluruh jaksa yang ada di KPK adalah berasal dari Kejaksaan Agung. Jadi dalam hal ini jaksa yang ada di KPK hanya diberhentikan sementara oleh kejaksaan agung dan kemudian diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan secara fungsi antara jaksa yang ada di KPK dengan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung. Perihal pengangkatan dan pemberhentian, sebagaimana jaksa KPK diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sedangkan jaksa diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung itu hanya perbedaan dalam segi administratif.” Penyataan yang sama terkait kedudukan jaksa KPK dan jaksa pada kejaksaan agung juga diutarakan oleh Boby Mokosugianta selaku spesialis Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK yang menjelaskan bahwa: “Sebenarnya tidak ada perbedaan antara jaksa yang di KPK dengan jaksa yang di kejaksaan agung, karena jika dilihat dari sisi penegakan hukum sama saja karena fungsinya sama, lalu jika dilihat dari lembaga negaranya sama-sama lembaga Negara non kementerian. Perihal pengangkatan seperti halnya jaksa KPK diangkat oleh KPK dan jaksa di kejaksaan agung diangkat oleh jaksa agung itu perbedaan dalam hal kepegawaian bukan dalam hal kedudukan.”57 Dari penyataan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa tidak ada perbedaan dalam hal kedudukan antara jaksa KPK dengan jaksa dari kejaksaan 56
Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 57 Boby Mokosugianta, Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015.
49
dalam hal fungsi melakukan penuntutan. Hanya saja berbeda dari segi pengangkatan dan pemberhentiannya. Kedua, penulis akan menguraikan tentang Kewenangan. Secara Hukum Administrasi Negara, Kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ Negara/lembaga Negara. Adapun tujuan dari kewenangan yaitu memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah untuk membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Menurut teori kewenangan ada 3 cara dalam memperoleh kewenangan yaitu sebagai berikut: 1. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali.58Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut. 2. Delegasi adalah penyerahan/pelimpahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain.59 Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya
58 59
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105.
50
menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. 3. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.60 Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.61 Ketiga, penulis akan menguraikan tentang tindak pidana pencucian uang. pengertian dari Tindak pidana pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.62 Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang/narkotika dan penyelundupan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana maraknya terjadi korupsi menjadi objek utama dalam tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian
60
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, Pro Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90. 61 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, h. 94. 62 Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19.
51
uang. Di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan beberapa tindak pidana asal (predicate crime) yaitu Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari Tindak pidana pencucian uang adalah “korupsi”. Dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah termasuk dari tugas dan kewenangan KPK. Setelah ketiga hal yang telah disebutkan diatas, dapat dikaitkan dengan penelitian ini yang akan mengkaji secara luas tentang Kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Menurut teori kewenangan ada 3 cara dalam memperoleh kewenangan yaitu, Atribusi, Delegasi dan Mandat.63 Kewenangan dengan cara Atribusi, Kewenangan secara Atribusi ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana dalam Pasal 68 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Dari pasal tersebut ada kata-kata
63
Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cet. IV, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2014), h. 138-139.
52
“dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undangundang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan KPK kewenangan penuntutan. Lalu KPK dalam menjalankan kewenangannya bisa dengan cara Delegasi. Kewenangan secara Delegasi ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK ada indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian setelah penyidikan selesai, maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke tahap penuntutan oleh jaksa KPK. Kemudian KPK juga dalam menggunakan kewenangannya bisa dengan cara Mandat. Kewenangan secara Mandat ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang
53
tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memang tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa KPK berwenang dalam penututan tindak pidana pencucian, sehingga dalam beberapa perkara muncul dissenting opinion hakim tipikor yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam menuntut tindak pidana pencucian uang karena menurut beberapa hakim tipikor yang dissenting opinion menggangap tidak ada satupun pasal yang menyatakan kewenangan KPK dapat menuntut tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut yang seringkali menjadi kendala KPK khususnya jaksa penuntut umum KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan Yunarwanto yang mengemukakan Konstruksi hukum/alasan yuridis sehingga KPK merasa berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang menjelasakan:64 “Alasan yuridis sehingga KPK merasa berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yaitu: Pada umumnya pemberantasan korupsi ada berbagai macam cara, secara universal bahwa salah satu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Jadi bila KPK menemukan tindak pidana pencucian maka disitu juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Pertama berdasarkan undang-undang yang terkait yaitu Undang64
Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
54
Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undangundang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu berdasarkan Yurisprudensi dari perkara-perkara tindak pidana pencucian uang yang ditangani KPK. Kemudian yang terbaru adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 12 februari 2015 Dalam hal ini MK menolak seluruh permohonan Akil mochtar sehingga tidak ada satupun putusan MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam penuntutan TPPU.” Hampir sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Boby Mokosugianta selaku speseialis Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK yang menjelaskan: “Konstruksi hukum sehingga KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yaitu, Pertama, Yurisprudensi bahwa ternyata selama ini pengadilan menerima, Jadi apabila penyidik KPK telah selesai melakukan penyidikan maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi dengan penuntut umum KPK. Jadi tidak dapat dipisahkan antara penyidikan di KPK dengan penuntutan di KPK karena secara struktural keduanya terikat dan secara sah undang-undang KPK mengatur hal tersebut. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi yang setara dengan undang-undang. Namanya tetap putusan juga tetapi dapat merubah undang-undang, maka dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi dapat memperkuat kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU”.65 Dalam hal ini penulis sependapat dengan kedua narasumber tersebut bahwa KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Pertama, secara filosofi pada umumnya pemberantasan korupsi ada berbagai macam cara, secara universal salah satu cara dalam pemberantasan tindak pidana
65
Boby Mokosugianta, Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015.
55
korupsi adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Hal itulah yang harus menjadi dasar filosofi yang harus dipegang oleh KPK. Jadi bila KPK menemukan tindak pidana pencucian yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka disitu juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK sebagai lembaga Independen (Auxiliary State Organ) merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan
tindak
pidana
pencucian,
meskipun
dalam
banyak
pihak
memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang. Kedua, menganilisis dari aturan Perundang-Undangan yang berlaku. Jika melihat Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini”. Dari ketentuan tersebut ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ada ketentuan lain dalam undang-undang ini” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak
56
menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang memberikan KPK kewenangan penuntutan. KPK sebagaimana Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
menyebutkan
bahwa
“Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Mengacu pada dasar hukum tersebut maka dapat dipahami bahwa KPK memiliki kewewenang dalam hal penuntutan. Dalam hal melakukan penuntutan, KPK mempunyai jaksa sendiri yang berasal dari internal KPK sebagaimana dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait dengan kedudukan jaksa KPK dengan jaksa pada Kejaksaan sebagaimana Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam menjalankan fungsi penuntutan terhadap tindak pidana. Pada kenyataannya seluruh jaksa di KPK adalah berasal dari Kejaksaan Agung dan KPK tidak merekrut penuntut umum yang berasal dari luar kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di KPK dan penuntut umum di kejaksaan adalah satu kesatuan dan memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai penuntut umum. Pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, menyebutkan “dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak
57
pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK”. Dari Pasal 75 tersebut maka KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini apabila penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kemudian memisahkan antara penyidikan tindak pidana pencucian uang penuntutan tindak pidana pencucian, dimana penyidikan tindak pidana korupsinya ditangani KPK sedangkan penuntutan tindak pidana pencucian uangnya ditangani Kejaksaan maka hal tersebut tidak akan efisien. Apabila tidak efisien maka akan bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang penyebutkan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Dasar hukum tersebut telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap peradilan itu harus mengacu pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Jadi pada intinya penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penuntut umum KPK akan lebih baik dilakukan dibandingkan bila harus diserahkan penuntutan kepada penuntut umum kejaksaan karena prosesnya akan lebih sederhana, cepat dan biaya ringan serta prosesnya akan berjalan efisien dengan adanya koordinasi intern antara penyidik KPK dengan penuntut umum KPK dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, sehingga penunututan tindak pidana pencucian uang akan berjalan efesien.
58
Ketiga,Yurisprudensi atau putusan-putusan hakim terdahulu. Jika melihat kasus-kasus yang ditangani oleh KPK terkait tindak pidana pencucian uang, ada beberapa perkara-perkara KPK yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang tidak ada satupun amar dari tingkat Pengadilan Negeri/Tipikor, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang. Ada beberapa perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap diantaranya yaitu: Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Lutfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah dan terakhir Akil Mochtar.66 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa selama ini pengadilan menerima penunutan tindak pidana pencucian uang yang ditangani KPK. Keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 12 februari 2015 yang menolak seluruh permohanan uji materi yang dimohonkan oleh Akil Mochtar yang salah satunya menguji tentang kewenangan KPK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu Pasal 76 ayat (1) yang menyebutkan “penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap”. Hal tersebut menurut pemohon yaitu Akil Mochtar hanya penuntut umum pada kejaksaan RI bukan penuntut umum dari KPK. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penuntut umum adalah satu kesatuan, baik yang bertugas di 66
Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
59
kejaksaan RI ataupun di KPK. Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tidak ada satupun putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
B. Dissenting Opinion Para Hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Dalam Menafsirkan
Kewenangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Dalam
Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam putusan No.38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. dalam perkara Lutfhi Hasan Ishaq dan putusan No. 39/ PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Dalam perkara Lutfhi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah ini terdapat ada 2 hakim yang sama yang memberikan dissenting opinion mengenai kewenangan penuntut umum KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. yaitu majelis hakim I made Hendra Kusuma dan Joko Subagyo. Pada dasarnya dissenting opinion merupakan pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.67 Adapun pertimbangan hakim dalam dissenting opinion kedua hakim tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penuntut umum yang mempunyai wewenang melakukuan penuntutan atas semua tindak pidana yang tidak dikecualikan dalam suatu ketentuan khusus 67
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 111.
60
adalah jaksa. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak diatur ketentuan khusus (lex specialist) siapa yang berwenang melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang, maka yang berlaku adalah ketentuan umum sebagaimana Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 KUHAP, bahwa yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang adalah jaksa. Hal mana memperoleh penegasan dalam penjelasan pasal 71 Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
Tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menjelaskan bahwa surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia jasa keuangan tersebut harus ditandatangani oleh: a. Kordinator penyidik/ketua tim penyidik untuk tingkat penyidikan. b. Kepala kejaksaan negeri untuk tingkat penuntutan. c. Hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan. Dari penjelasan pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat diketahui bahwa pada tingkat penuntutan surat permintaan pemblokiran kepada penyedia jasa keuangan harus ditandatangani oleh kepala kejasaan, itu artinya dalam tingkat penuntutan tindak pidana pencucian uang hanya ada jaksa dan tidak ada KPK, karena apabila pada tingkat penuntutan tindak pidana pencucian uang diperlukan pemblokiran rekening, itu hanya dapat dilakukan oleh jaksa sebab surat permintaan pemblokiran dimaksud harus ditandatangani oleh kepala kejaksaan. Tidak ada disebut KPK atau pimpinan
61
KPK, hanya satu-satunya “kepala kejaksaan”. Sehingga hanya jaksa lah penuntut umum untuk tindak pidana pencucian uang. 2. Dalam Pasal 72 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur bahwa surat permintaan kepada pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan tersangka atau terdakwa harus ditandatangani oleh jaksa agung atau kepala kejaksaan agung dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum. Ini berarti bahwa penuntut umum yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut adalah hanya penuntut umum dibawah jaksa agung atau dibawah kepala kejaksaan tinggi, sehingga tidak termasuk penuntut umum pada KPK karena penuntut umum pada KPK tidaklah berada dibawah jaksa agung atau kepala kejaksaan tinggi melainkan berada dibawah KPK sendiri. 3. Menurut teori kewenangan, setiap penyelenggaraan Negara dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang. Kemudian P.de Haan, menyatakan bahwa wewenang pemerintah tidak jatuh dari langit, tetapi ditentukan oleh hukum. Bahwa dengan demikian kewenangan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang oleh KPK tidak lah dapat didasarkan pada anggapan KPK sendiri bahwa kewenangan itu dimilikinya karena KPK mempunyai kewenangan penyidikan atas tindak pidana pencucian uang melainkan harus ditentukan secara eksplisit dalam undang-undang, karena kewenangan tersebut tidak jatuh dari langit akan tetapi ditentukan oleh hukum.
62
4. Dalih-dalih KPK menggunakan alasan sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah, sehingga efisien maka pemikiran tersebut sangat berbahaya oleh karena dapat mengarah kepada menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dari dissenting opinion hakim TIPIKOR tersebut, menurut penulis sahsah saja asalkan tidak melewati koridor hukum atau aturan perundang-undangan yang ada. Jika melihat suatu hadist yaitu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya; “dari 'Amru bin 'ash ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya satu pahala.” (HR. Bukhari).68 Dissenting Opinion adalah suatu pendapat berbeda yang dilakukan oleh seorang anggota/beberapa majelis hakim minoritas, yang wajib dimuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.69 Dissenting Opinion hakim dianggap sah sebagaimana dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Hal tersebut dapat dipahami bahwa hakim
68
HR. Bukhari no 6805, Software kutub at-tis’ah. Bagir Manan, “Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia”, Varia Peradilan Tahun XXI No. 253, 2006, h. 13. 69
63
dalam memutus tidak boleh menyembunyikan keyakinannya, dalam arti karena sebagai hakim minoritas lalu menyembunyikan keyakinannya bahwa ia tidak sependapat dengan keputusan hakim yang lain. Dissenting opinion hakim TIPIKOR berimplikasi pada tidak bulatnya musyawarah hakim dalam menjatuhkan putusan tetapi hal ini bukan berarti bahwa putusan tersebut tidak sah karena keputusan akhir adalah berdasarkan hakim mayoritas. Dissenting opinion hakim tersebut juga dapat membuat ketidakpastian hukum karena tentu banyak pihak yang mempertanyakan tentang kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang karena memang pada dasarnya tidak disebutkan secara eksplisit kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terkait Dissenting Opinion hakim TIPIKOR diatas, penulis berpendapat bahwa dissenting opinion hakim tersebut hanya melihat dari segi kepastian hukum dalam arti hanya melihat dari konteks Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Marwan Mas mengemukakan bahwa “dalam hukum ada tiga tujuan hukum yang harus dicapai yaitu, pertama-tama wajib memprioritaskan keadilan, lalu disusul kemanfaatan dan yang terakhir kepastian hukum sehingga idealnya, tiga tujuan hukum itu seyogianya diusahakan
64
dalam setiap putusan”.70 Dimana kepastian hukum bertujuan untuk mewujudkan prinsip persamaan setiap warga negara dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi, Keadilan hukum beretujuan untuk menciptakan suatu keadilan dalam suatu hukum, dan kemanfaatan hukum bertujuan untuk menciptakan manfaat bagi masyarakat sehingga fungsi hukum dapat tercapai dengan baik.71 Sebagaimana dissenting opinion hakim TIPIKOR di atas, penulis berpendapat, hakim TIPIKOR tersebut hanya melihat secara konteks UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010. Sebenarnya dalam hal mencari kepastian hukum, hakim seharusnya tidak hanya melihat dari satu aturan hukum saja karena suatu peraturan perundang-undangan dapat berhubungan dengan peraturan perundangundang lain. Memang secara eksplisit tidak dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi sebenarnya Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Dari kata-kata “dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
70 71
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 82. Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h. 83.
65
ditentukan lain dalam undang-undang ini” dapat dipahami bahwa Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 memberi ruang untuk masuknya undang-undang lain seperti halnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sehingga atas dasar-dasar tersebut KPK dapat berwenang dalam penunutan tindak pidana pencucian Uang. Penuntut umum KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang juga memakai dasar hukum KUHAP sebagaimana dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “segala kewenangan berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penunututan yang diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal pemblokiran dan surat permintaan kepada pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan tersangka atau terdakwa juga telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga KPK memiliki kewenangan tersebut. Selain kepastian hukum, tujuan hukum juga harus mencapai keadilan dan kemanfaatan. Dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan
66
oleh KPK, apabila hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK terkait tindak pidana pencucian uang diserahkan kepada jaksa pada kejaksaan maka tidak akan efesien karena akan memakan waktu dan biaya yang cukup banyak sehingga tidak menciptakan keadilan dan kemanfaatan. Jika hal tersebut terjadi maka tidak akan efiesien. Apabila tidak efesien maka akan bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang penyebutkan “pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Hal tersebut telah dijadikan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap peradilan harus memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.72 Dalam hal terjadi ketidakefesien baik waktu maupun biaya serta proses yang rumit, maka hal tersebut akan merugikan banyak pihak serperti misalnya tersangka atau terdakwa dalam mencari keadilan. Kemudian kemanfaatan juga dapat dilihat apabila dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana pencucian uang adanya sinergitas antara penyidik KPK dan penuntut umum KPK maka dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang prosesnya akan lebih cepat karena tidak memakan waktu lama, lalu prosesnya sederhana karena dilakukan antar intern KPK yaitu koordinasi antara penyidik KPK dengan penuntut umum KPK, kemudian juga akan ringan biayanya.
72
Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
67
Dari ketiga tujuan hukum tersebut yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan menurut penulis sangat penting bagi setiap keputusan yang dikeluarkan oleh hakim agar hukum dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. Al-Nisa (4): 58
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. Dalam QS. Al-Nisa (4): 135 juga dijelaskan
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah”. Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dapat dipahami tujuan dari penegakkan hukum yang utama yaitu keadilan dengan seadil-adilnya, sehingga ayat-ayat Al-Quran tersebut wajib dipegang teguh oleh para hakim dalam memberikan suatu putusan atas suatu perkara agar terciptanya penegakkan hukum yang seadil-adilnya.
68
C. Prospek Pengaturan Kewenangan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Terkait Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Masa Mendatang Secara filosofis, KPK lahir karena ketidakefesiennya para penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Sehingga pemberantasan korupsi adalah tugas utama dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).73 Seiring dengan perkembangan zaman, para koruptor menggunakan berbagai cara dalam melakukan korupsi yaitu salah satunya dengan pencucian uang.74 Penyidikan tindak pidana korupsi jika ada indikasi ada tindak pidana pencucian uang maka sebagaimana pasal 75 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010, dapat diartikan bahwa penyidik KPK dapat menggabungkan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi. setelah penyidikan dari penyidik KPK selesai maka diserahkan kepada penunut umum KPK untuk selanjutnya dilakukan penuntutan. Dalam hal penunutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh KPK terdapat kendala-kendala yang salah satunya adalah tidak diaturnya secara eksplisit kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang selalu diperdebatkan baik oleh para praktisi hukum seperti para panasehat hukum 73
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet. V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 69. Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 74
69
terdakwa tindak pidana pencucian uang, hakim TIPIKOR maupun para akademisi/pakar hukum. Pada awalnya KPK dapat melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang yaitu pertama kali pada kasus Wa Ode Nurhayati yang kemudian putusan tersebut menjadi Yurisprudensi oleh hakim-hakim selanjutnya dalam memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang penunutut umumnya berasal dari KPK.75 Seiring dengan berjalannya waktu munculah gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh mantan hakim Mahkamah Konstitusi sekaligus terpidana kasus pencucian uang yaitu Akil Mochtar yang melakukan uji materi Undang-undang Nomor 8 tahun 2010. Dalam permohonan uji materi tersebut juga menguji kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian, dimana pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa dalam penunutan tindak pidana pencucian uang adalah kewenangan penuntut umum pada Kejaksaan Agung bukan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian dalam putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kejaksaan adalah satu kesatuan dan tidak terpisahkan, sehingga tidak ada perbedaan antara penuntut umum di KPK maupun di Kejaksaan Agung. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi, maka akan lebih cepat bila penuntutannya ditangani oleh KPK dibandingkan harus dikirim ke kejaksaan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tidak ada satupun yang
75
Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015.
70
menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tersebut karena pada dasarnya penuntut umum di KPK maupun di kejaksaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dimanapun jaksa atau penuntut umum berada maka fungsinya sebagai penunut umum tetap ada selama ada surat perintah untuk melakukan penunutan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut penulis, maka KPK tidak perlu ragu lagi dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014, untuk prospek pengaturan kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan kasus tindak Pidana korupsi di masa mendatang menurut penulis perlu diadakan revisi Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan memasukan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut juga dapat menguatkan bahwa tindak pidana pencucian uang ini sebagai salah satu cara melakukan korupsi yang harus diberantas.
71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya dengan mengacu pada rumusan masalah yang telah penulis rinci, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Konstuksi Hukum/Argumentasi Yurudis kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam
penuntutan
tindak
pidana
pencucian
uang,
penulis
menyimpulkan bahwa KPK berwenang melakukan penuntutan dengan dasardasar yaitu: Pertama, Yurisprudensi bahwa selama ini pengadilan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang penuntut umumnya berasal dari KPK. Kedua, pasal 68 dan 69Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang yang memberi ruang kepada undang-undang lain untuk masuk yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menjadi dasar KPK untuk menggabungkan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian sehingga KPK berwenang dalam menuntut tindak pidana pencucian uang. Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014
71
72
terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 yang di dalamnya tidak ada satupun pernyataan yang menyebutkan bahwa KPK tidak berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang. 2. Dissenting Opinion Para Hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, penulis menyimpulkan bahwa sah-sah saja dalam suatu putusan hakim mengeluarkan dissenting opinion. Hal tersebut dapat dipahami bahwa hakim dalam memutus tidak boleh menyembunyikan keyakinannya,
dalam
arti
karena
sebagai
hakim
minoritas
lalu
menyembunyikan keyakinannya bahwa ia tidak sependapat dengan keputusan hakim yang lain. Tetapi yang terpenting dalam suatu putusan, hakim dalam memutus suatu perkara hendaknya harus mencapai 3 tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. 3. Berkaitan dengan rumusan masalah ketiga yaitu Prospek pengaturan kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi di masa mendatang, penulis menyimpulkan dengan adanya Yurisprudensi dari putusan-putusan hakim terdahulu dan yang terbaru adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 maka perlu perlu diadakan revisi Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan memasukan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
73
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya serta kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada KPK, untuk terus melakukan pemberantasan Korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang yang pidana asalnya adalah korupsi. Dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan korupsi, KPK tidak perlu ragu lagi dalam menjalankan kewenangannya dalam penuntutan
tindak
pidana
pencucian
uang
karena
dengan
adanya
Yurisprudensi, Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014, maka hal tersebut adalah dasar-dasar yang menguatkan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. 2. Kepada para Hakim TIPIKOR yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang, dalam memberikan putusan hendaknya harus mencapai 3 tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaat sehingga hukum dapat diteggakan dengan seadil-adilnya. 3. Kepada para pembuat undang-undang, perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan memasukan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, pasca Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUUXII/2014.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Alfitra. Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014. Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2011. Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik Di Negara Modern. Yogyakarta: UII Press, 2008. Amrullah, M. Arief. Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang: Bayumedia Publishing, 2003. Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Adhitya Bakti, 2010. Arifin, Firmansyah, dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005. Asshidiqie, Jimly. Perkembangandan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2004. Black, Henry Campbell. Black’S Law Dictionary.West Publishing, 1990. Ganjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007. Halim, Pathorang. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Total Media, 2013. Hamzah, Andi. Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. __________. Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007 Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi.Jakarta: Sinar Grafik, 2008.
74
75
Hidjaz,
Kamal. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Makasar: Pustaka Refleksi, 2010.
HR. Bukhari no 6805, Software kutub at-tis’ah. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. __________. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Huda, Ni‟matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, 2007. Indrayana, Denny. Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008. Indroharto. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. II. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Marzuki, Peter Mahmud.
Penelitian
Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Moerad, Pontang. Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Alumni, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004. Nasution, Adnan Buyung.Pentingnya Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti, 2002. NLRP. KetentuanPencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Netherlads Reform Program, 2011. Pangestu, Benu. Indepedensi Yuridis KPK: Telaah Teoritis dan Praktis. Skripsi S1 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Prihantoro, Angga Martandy. Eksistensi State Auxiliary Organs Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance Di Indonesia (Studi Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi). Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Rohim. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Pena Multi Media, 2008.
76
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. cet. XI. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009. Suradji, Mudiyati, dan Sutriya (Editor). Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008. Stroink, E.A.M. dan J.G. Steenbeek. Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht.Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985. Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013. Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus.Jakarta: Sinar Grafika, 2014. Sumantri,Sri. Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945. Surabaya: Airlangga University Press, 2002. Tutik,TitikTriwulan.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010. Wiyanto, Roni. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: C.V.Mandar Maju, 2012. Yuliani, Evi. Tugas Dan Wewenang Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Skripsi S1 Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011. Jurnal: Fadli, Muhammad. “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntututan Tindak Pidana Pencucian Uang”.Jurnal Legislasi Indonesia, No. 1 Vol 11. 2014. M. Hadjon, Philipus.“Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”. Pro Justitia Tahun XVI No. I (Januari 1998). __________. “Tentang Wewenang”. YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII. (SeptemberDesember 1997).
77
Manan, Bagir. “Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia”. Varia Peradilan Tahun XXI No. 253, 2006. Syafrudin, Ateng. “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab”. Jurnal Pro Justisia Edisi IV.Bandung: Universitas Parahyangan, 2000. Internet: HukumOnline.com. “Grey Area Penanganan TPPU”. Artikel diakses pada 1 November 2014 dari http:// www.hukumonline.com /berita/baca /lt52f0d3968ed1f /grey-area- penanganan-tppu-bagian-1. HukumOnline.com, “KPK Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002”.Artikel diakses pada 2 November 2014 dari http:// www.hukumonline.com /berita/baca/lt52267e44e3133/kpk-berwenang-tangani-tppu-sejak-2002. Wikipedia. “Pencucian Uang”. Artikel diakses pada 1 November 2014 pada 1 November 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang. Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia.Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3209. Republik Indonesia.Undang-undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Republik Indonesia.Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 122.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164. Wawancara: Wawancara Pribadi dengan Boby Mokosugianta selaku Spesialist dan Kerjasama Humas PPATK. Jakarta. 09 Maret 2015. Wawancara Pribadi dengan Wawan Yunarwanto selaku Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta. 10 Maret 2015.