URL: https://www.facebook.com/notes/rimawan-pradiptyo/ketika-hukuman-tak-memberiefek-jera/10150325563216426
Ketika Hukuman Tak Memberi Efek Jera October 25, 2011 at 3:30pm
Jurnal Nasional, Selasa, 25 Oktober 2011 http://www.jurnas.com/halaman/7/2011-10-25/186639
Di suatu senja di musim panas tahun 2002, di tepian sungai Ouse yang membelah kota York, Inggris, yang tua namun indah, saya membaca UU No 5/1999 tentang persaingan usaha. Dokumen tersebut baru saya terima via email dari guru saya Prof. Dr. AR Karseno (alm). Sejenak membaca di bagian awal, saya merasa senang dengan pasal-pasal yang mengatur masalah persaingan usaha secara rinci. Namun saya terperanjat ketika membaca pasal tentang besarnya denda maksimum yang bisa dibebankan kepada perusahaan yang terbukti melanggar UU tersebut. Disebutkan di sana bahwa untuk setiap tuduhan yang terbukti bersalah, perusahaan yang melanggar undang-undang tersebut bisa dikenai denda sebesar Rp 25 miliar.
Beberapa pertanyaan langsung memenuhi benak saya ketika itu. Apakah nilai Rp 25 miliar cukup tinggi untuk membuat sebuah perusahaan, apalagi perusahaan multinasional, untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku? Dengan kata lain, jika ada perusahaan besar yang dijatuhi denda sebesar itu akibat melanggar peraturan persaingan usaha, berapa kemungkinan perusahaan tersebut akan mengulangi pelanggaran lagi? Jika denda maksimum adalah Rp 25 miliar, perlu berapa tahun lagi bagi bangsa kita untuk menyesuaikan nilai denda itu karena setiap tahun nilai riil dari denda tersebut digerogoti oleh laju inflasi yang relatif tinggi?
Enam tahun kemudian pertanyaan yang sama muncul di benak saya ketika saya pulang ke Indonesia di akhir 2007 dan kemudian mulai menggeluti penelitian mengenai korupsi di Indonesia sejak tahun 2008. Sulit bagi saya memahami bahwa UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya mencantumkan denda maksimal Rp1 miliar kepada para koruptor. Dalam UU Tipikor, batas bawah nilai korupsi minimum adalah Rp 5 juta, namun
demikian tidak terdapat batas atas untuk korupsi. Benar bahwa hukuman finansial di UU Tipikor tidak sebatas pada denda, namun ada perampasan barang bukti dan pembayaran uang pengganti. Namun demikian, saya membuktikan secara statistik bahwa nilai hukuman finansial (penjumlahan antara nilai denda, biaya pengganti dan perampasan barang bukti) tidak ada kaitannya sama sekali dengan nilai korupsi yang dilakukan seorang koruptor.
Implikasi dari temuan di atas adalah munculnya pertanyaan nakal di benak saya. Jika ada orang yang bisa menilep seluruh APBN kita yang senilai Rp1200 triliun, berapa kira-kira yang bersangkutan akan didenda? Jelas, yang bersangkutan hanya akan didenda maksimal Rp1 miliar saja, karena hakim tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang diatur oleh UU. Apakah yang bersangkutan pasti akan dikenai hukuman perampasan barang bukti dan juga pembayaran uang pengganti? Cilakanya tidak ada kepastian tentang hal ini, didasarkan pada analisis statistik dari putusan MA mengenai korupsi dari tahun 2001-2009. Artinya, tidak ada bukti statistik yang menunjukkan bahwa koruptor kelas kakap akan menghadapi kemungkinan dihukum maupun menerima intensitas hukuman yang lebih tinggi daripada koruptor kelas gurem.
Didasarkan pada data putusan MA selama periode 2001-2009, koruptor dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu gurem (maksimum korupsi kurang dari Rp10 juta), kecil (antara Rpjuta hingga kurang dari Rp100 juta), sedang (antara Rp100juta hingga kurang dari Rp1 miliar), besar (antara Rp 1 M hingga kurang dari Rp25 M) dan koruptor kelas kakap (mengkorupsi Rp25 miliar ke atas). Hukuman finansial kami definisikan sebagai penjumlahan dari denda, barang bukti yang dirampas dan uang pengganti. Hukuman lain-lain dan biaya perkara tidak dimasukkan dalam hukuman finansial karena angkanya sangat kecil sekali.
Tabel 1: Perbandingan antara hukuman finansial dan nilai korupsi
Tabel 1 menunjukkan bahwa koruptor kelas gurem dan kecil cenderung menerima hukuman finansial jauh diatas nilai yang berhasil mereka tilep. Koruptor gurem dijatuhi hukuman finansial hampir 11,5 kali lipat dari apa yang mereka korupsi. Sementara koruptor kecil diganjar hukuman finansial 4 kali lipat dari uang negara yang mereka tilep. Bandingkan angka-angka tersebut dengan koruptor besar dan kakap. Tercatat 122 koruptor besar, yang merugikan negara senilai Rp735,5 miliar, namun mereka hanya dikenai hukuman finansial sekitar 50% saja dari apa yang mereka berhasil tilep. Lebih ironis lagi, 30 orang koruptor kakap, merugikan negara senilai Rp72.2 triliun, namun hanya diganjar hukuman finansial 6,7% dari apa yang mereka tilep.
Tabel 2 menunjukkan intensitas hukuman penjara yang dituntut dan dijatuhkan kepada berbagai kelompok koruptor. Rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan MA terhadap koruptor gurem dan kecil, berturut-turut adalah 13.7 bulan dan 15.2 bulan, atau satu tahun lebih. Sementara rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan MA terhadap koruptor besar dan kakap berturut-turut adalah 43,5 bulan dan 58.0 bulan, atau antara kurang dari 4 tahun hingga
kurang dari 6 tahun. Patut dicatat, angka ini adalah lama rata-rata penjara yang diputus MA, sementara realisasi lama penjara masih dikurangi dengan remisi, abolisi dll, sehingga realisasi lama penjara lebih pendek dari apa yang dijatuhkan oleh MA.
Tabel 2: Perbandingan Lama Penjara Antar Kelompok Koruptor
Pertanyaan yang muncul berikutnya dari temuan di atas adalah, implikasi apa yang muncul jika hukuman yang diberikan kepada para koruptor besar dan kakap cenderung lebih ringan dibandingkan dengan hukuman kepada koruptor gurem dan kecil? Minimal terdapat dua implikasi dari temuan di atas. Pertama, putusan pengadilan memberikan sinyal bahwa koruptor kelas besar dan kakap justru mendapat hukuman yang relatif lebih ringan daripada koruptor kelas gurem dan kecil. Kedua, UU Tipikor seolah-olah mengirimkan sinyal kepada calon koruptor bahwa, secara perhitungan ekonomis, korupsi adalah kegiatan yang menguntungkan selama si pelaku mampu menilep uang rakyat sebesar-besarnya.
Bagi para ekonom, semua angka yang muncul dari sebuah analisis selalu dikritisi dan ditelaah darimana asalnya. Satu hal yang para ekonom tidak mampu memahami rasionalitas dari para pembuat hukum adalah, dari mana angka Rp 1 miliar untuk maksimum denda di UU Tipikor atau denda Rp 25 miliar di UU persaingan usaha berasal? Atas dasar apa dan dengan metodologi bagaimana kedua angka tersebut muncul di kedua UU tersebut? Satu hal yang pasti, kedua angka tersebut justru digunakan oleh para pelanggar hukum sebagai benchmark
atau reference point, bahwa korupsi (atau persaingan usaha tidak sehat) akan menguntungkan si pelaku jika mampu menilep (menghasilkan keuntungan) lebih dari Rp 1 miliar (Rp 25 miliar). Ketika persepsi ini yang muncul dibenak para calon pelaku kejahatan/pelanggar hukum, apakah masih rasional mempertahankan besarnya hukuman seperti di kedua UU tersebut?
Rimawan Pradiptyo Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.