KESENIAN SAKRAL
Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara
LISTIBIYA PROPINSI BALI TH. 2015
KESENIAN SAKRAL
Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara
LISTIBIYA PROPINSI BALI TH. 2015
KESENIAN SAKRAL
Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara Listibiya Provinsi Bali 104 halaman Tinggi 21 cm; Lebar 15 cm
Sampul Depan: Tari Wali Joged Pingitan dan Baris Upacara Penerbit: LISTIBIYA PROVINSI BALI Jl. Ir. Juanda No. 1, Niti Mandala Renon, Denpasar Telp. (0361) 228593 Percetakan:
DEVA Communications Jl. Gandapura No. 40 Denpasar Tel. (62-361) 46 0990, 46 5085 Fax. (62-361) 46 6565 email:
[email protected] ISBN: 978-602-72366-0-8
Isi diluar tanggungjawab percetakan.
Hak cipta ada pada Listibiya Provinsi Bali dan dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini, namun dengan menyebutkan sumbernya, para pembaca dapat mengutip isi dari buku ini untuk kepentingan ilmiah, pencerahan, seminar, aplikasi, diskusi atau kegiatan ilmiah lainnya.
DAFTAR ISI
Sambutan Ketua Listibiya Provinsi Bali
5
Laporan Ketua Panitia Workshop/Lokakarya 7 Melestarikan Kesenian Tradisi 11 oleh: I Nyoman Astita Tinjauan Aspek Sastra dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara 17 oleh: I Nyoman Suarka Tinjauan Aspek Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara 27 oleh: I Nyoman Catra Nilai Sakral dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara 47 Oleh Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang Tari Wali Baris Ketekok Jago 81 oleh: I Made Artana Rumusan Hasil Workshop/Lokakarya 91 Lampiran Surat Keputusan Listibiya Provinsi Bali
96
Lampiran Susunan Panitia Workshop/Lokakarya 99 Lampiran Foto-Foto 101
Drs. I Gusti Putu Rai Andayana.
SAMBUTAN KETUA LISTIBIYA PROVINSI BALI
Om Swastyastu Sesanti angayu bagia, atas asung wara lugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, Listibiya Propinsi Bali kembali dapat mempersembahkan buku Kesenian Sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara. Seni Sakral sebagai satu bentuk kesenian daerah Bali memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali mengingat kesenian ini fungsinya terkait sangat erat dengan kegiatan ritual keagamaan. Peranan seni sakral seperti ini oleh masyarakat Bali diterima dan diakui sebagai satu kekayaan budaya yang perlu dipertahankan dan dijaga kelestariannya. Tetapi di sisi lain dalam beberapa hal dijumpai adanya kasus dengan memanfaatkan seni sakral sebagai media hiburan yang dipertunjukkan untuk tujuan-tujuan ekonomis. Dalam workshop/lokakarya ini peran dan fungsi seni sakral dalam kehidupan kebudayaan Bali dibahas secara mendalam, tidak terbatas hanya dari aspek seni sebagai satu produk budaya, tetapi juga dari aspek keagamaan dan kemasyarakatan. Kami sangat mengapresiasi bahwa masyarakat Bali masih mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisi, khususnya persembahan seni-seni sakral pada upacara-upacara keagamaan. Kami juga prihatin karena keberadaan seni-seni sakral kini mengalami tantangan modernisasi dan globalisasi yang dikhawatirkan akan menggerus nilai-nilai religius kesenian sakral tersebut. Sehubungan dengan itu Listibiya mengajak berbagai kalangan untuk bersama-sama menjaga keberlangsungan tradisi kesenian sakral masyarakat Bali.
Salah satu kegiatan terkait dengan upaya pelestarian kesenian sakral adalah menyelenggarakan workshop/lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara yang melibatkan para seniman, akademisi dan budayawan. Kami bersyukur kegiatan Workshop/Lokakarya telah berjalan dengan baik sesuai rencana. Sehubungan dengan itu kami menghaturkan terimakasih kepada Bapak Gubernur atas segala bantuan yang telah diberikan untuk penyelenggaraan workshop/Lokakarya ini. Terima kasih juga kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan ini, khususnya kepada Panitia Penyelenggara, kepada para Nara Sumber dan Pelatih seni Joged Pingitan dan Baris Upacara atas kerjasama dan partisipasinya sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Akhirnya, semoga buku Seni Sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara ini dapat menginspirasi berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan ajeg dan lestarinya seni-seni sakral untuk terus berupaya mempertahankan dan merevitalisasi seni-seni sakral tersebut agar dapat diwariskan kepada generasi penerusnya. Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om Denpasar, 3 Februari 2015
Drs. I Gusti Putu Rai Andayana.
LAPORAN KETUA PANITIA WORSHOP/LOKAKARYA JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA ISTIBIYA PROVINSI BALI TH. 2014 Yth: Bapak Gubernur Bali Bapak Rektor (ISI, UNHI, IHDN) Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ketua Listibiya Provinsi Bali Ketua Parisadha Provinsi Bali Ketua Listibiya Kabupaten/Kota se-Bali Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten/Kota se Bali Para Seniman, Akademisi dan Budayawan Peserta Workshop/ Lokakarya
Om Swastyastu
Pembacaan Sloka mengawali pembukaan Workshop / Lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara. Doc. Listibiya
Puja dan puji syukur kami haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugrahaNya kepada kita semua pada hari ini Buda Wage, Warigadean, Sasih Kanem, Listibiya Provinsi Bali dapat menyelenggarakan Workshop/Lokakarya Joged Pingitan dan Baris Upacara bersama-sama dengan masyarakat seniman, akademisi dan para budayawan. Workshop/Lokakarya dengan tema “Revitalisasi Tari
Joged Pingitan dan Baris Upacara Memperkuat Kesenian Tradisi” ini akan berlangsung dari tanggal 26 s/d 28 Nopember 2014. Perkembangan modernisasi dan pragmatisme masyarakat global kini semakin massif mempengaruhi masyarakat sampai ke plosok desa. Tak terhindarkan masyarakat pedesaan (desa pakraman di Bali) yang dahulu semarak dengan keragaman tradisi seni-budaya juga mengalami stigma modernisasi dan globalisasi. Adanya pertimbangan-pertimbangan permisif pada kesenian tertentu, khususnya tari Joged Bumbung yang telah ditampilkan sebagai seni vulgar jauh dari nilai-nilai etik dan estetika patut menjadi keperihatinan kita bersama. Kekhawatiran akan punahnya kesenian tradisi juga akan beimbas pada hilangnya nilai-nilai agama yang menjadi roh kebudayaan Bali. Kini keberadaan seni-seni tradisi yang hidup di masyarakatpun mengalami kemunduran dan cendrung semakin dilupakan. Kesenian ritual tersebut pada umumnya terkait dengan penyungsungan di pura-pura dan memiliki makna sakral. Joged Pingitan dan Baris Upacara yang merupakan bagian dari seniseni sakral tersebut perlu mendapat perhatian para pengampu kebijakan untuk mengembalikan roh dan nilai-nilai sakral yang dimiliki kepada keyakinan masyarakat penyungsungnya. Hasil Rumusan Semiloka Seni Sakral yang digelar Listibiya Provinsi Bali perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Dalam rangka melestarikan, memperkuat dan mengembangkan kesenian tradisi tersebut Listibiya Provinsi Bali memandang perlu dilaksanakan Workshop/Lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara. Bapak Gubernur dan Para Peserta Workshop yang terhormat, Dapat kami laporkan bahwa penyelenggaran Workshop/Lokakarya ini diikuti oleh 80 peserta yang terdiri dari perwakilan seniman dari Kabupaten/ Kota se-Bali, para akademisi dan budayawan akan membahas Tari Joged Pingingitan dan Baris Upacara dari tinjauan aspek Sastra, Estetika dan Ritual. Materi workshop dengan metode serasehan akan disampaikan oleh tiga narasumber yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Pendalaman pada hari kedua akan dilakukan dengan metode peragaan dan diskusi, disertai dengan penayangan film dokumentasi kesenian ritual Bali tahun 30-an.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran serasehan dan lokakarya tersebut akan diterapkan strategi pemahaman yang didasarkan kepada dua hal yaitu: pertama, para peserta diharapkan dapat mengembangkan rasa keingintahuan tentang keberadaan seni-seni sakral yang hidup di masyarakat dengan menyimak pengalaman, ingatan dan kesaksian para sesepuh dan pelaku-pelaku seni; kedua, para peserta dapat mengembangkan sikap kritis terhadap praktek-praktek seni sakral yang ada dimasyarakat dengan menyimak logika, ketersediaan teks/sastra terkait dengan seni-seni sakral, termasuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat terhadap adanya seni-seni sakral tersebut Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Gubernur yang telah memberikan dukungan terselenggaranya kegiatan Listibiya Provinsi Bali tahun 2014. Penghargaan dan terima kasih juga kami sampaikan kepada para Undangan yang telah memenuhi permohonan kami. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak ketiga, Hotel Nusa Indah, yang telah bekerjasama dalam kegiatan ini. Kepada Para Peserta Workshop/ Lokakarya kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya semoga melalui Workshop/Lokakarya ini kita akan mendapatkan pecerahan untuk memaknai keberadaan seni-seni sakral yang hidup di masyarakat. Akhirnya tak lupa kami atas panitia menyampaikan permohonan maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan di dalam melaksanakan kegiatan ini. Kepada Bapak Gubernur kami mohon berkenan membuka Worshop/ Lokakarya Joged Pingtan dan Baris Upacara Listibiya Provinsi Bali Tahun 2014 secara resmi yang ditandai dengan pemukulan gong. Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om. Denpasar, 26 Nopember 2014
Ketua Panitia Penyelenggara
Dr. I Nyoman Astita, M.A.
MELESTARIKAN TRADISI JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA Oleh: I Nyoman Astita
Di penghujung tahun 2014, Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali menyelenggarakan Worshop/Lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara dengan melibatkan masyarakat, seniman, akademisi dan para budayawan. Workshop/Lokakarya dengan tema “Revitalisasi Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara Memperkuat Kesenian Tradisi” ini berlangsung dari tanggal 26 s/d 28 Nopember 2014 di Hotel Puri Nusa Indah, Denpasar. Workshop/Lokakarya tersebut memiliki makna strategis untuk memberikan pencerahan dan diharapkan dapat memperkuat pemahaman masyarakat terhadap upaya-upaya mempertahankan nilai-nilai tradisi di dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi. Murdha Cita Listibiya yang dirumuskan sebagai pedoman awal pembinaan kesenian di daerah Bali mengatakan sebagai berikut: ”Kehidupan Seni Budaya Bali yang pada mulanya hanya diabadikan demi ke Agungan Agama dan dinikmati olah masyarakat Bali sendiri, dengan kemajuan tehnologi dan hubungan antar bangsa-bangsa, maka terbukalah Bali bagi Dunia Luar; dan Seni Budayanya tidak lagi hanya dinikmati oleh masyarakat Bali sendiri, tapi juga oleh Dunia Luar. Terjadinya hubungan dengan Dunia Luar membawa pengaruh-pengaruh bernilai positip maupun negatif terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Untuk menghadapi akibat-akibat negatif dengan ditetapkannya Bali sebagai Pusat Pengembangan Pariwisata Budaya Indonesia Bagian Tengah, kewaspadaan dan sikap tanggungjawab budaya harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat” (Pola Dasar Kebijaksanaan Pembinaan Kebudayaan Daerah Bali: 1973).
Berdasarkan pemikiran tersebut Listibiya turun ke desa-desa dan berperan aktif di dalam mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan nilainilai budaya dan kesenian daerah Bali. Keterlibatan Listibiya di dalam membina organisasi-organisai kesenian di masyarakat mendorong berdirinya Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang kini menjadi Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dalam upaya pelestarian seni dan budaya Listibiya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah menyelenggarakan berbagai Seminar dan Workshop seperti: Seminar Seni Sakral-Profan (1971), Seminar dan workshop Gambuh (1972), Seminar dan Workshop Topeng se Bali (1984), menyelenggarakan Workshop Seni Sakral (2006). Mempersiapkan kontingen Bali untuk mengikuti Festival Ramayana Nasional di Yogyakarta (1970), Festival Ramayana Internasional di Pandaan Jawa Timur (1971) menghimpun Dalang seBali (1976). Sejak tahun 1968 Listibiya menyelenggarakan Merdangga Utsawa yang sampai sekarang berlangsung sebagai Lomba/Parade Gong Kebyar dalam Pesta Kesenian Bali. Disamping itu Listibiya juga mengemban tugas sebagai lembaga pertimbangan dan pembinaan kesenian yang mengeluarkan sertifikat Pramana Patram Budaya atas nama Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali. Strategi pembinaan Listibiya merupakan upaya konprehensip untuk menggali, mempertahankan dan mengembangkan kesenian yang hidup di masyarakat. Pembinaan ini penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat di dalam mempertahan nilai-nilai tradisi karena punahnya kesenian tradisi juga akan beimbas pada hilangnya nilai-nilai agama yang menjadi roh kebudayaan Bali. Pertimbangan pragmatis terhadap keberadaan kesenian tradisi yang pada saat ini semakin mengemuka dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap nilai-nilai sakral kesenian tradisi. Untuk itulah diperlukan adanya gagasan kreatif, upaya-upaya pencegahan, sekaligus memperkuat kesenian tradisi untuk mengantisipasi pengaruh modernisasi dan globalisasi. Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan kesenian tradisi yang keberadaannya semakin langka. Joged Pingitan dan Baris Upacara tergolong seni sakral yang dipersembahkan pada saat upacara keagamaan. Tradisi ini mengintegrasikan kehidupan masyarakatnya di dalam melaksanakan kewajiban adat maupun agama. Upaya mempertahankan tradisi Tari Joged
Pingitan dan Baris Upacara perlu dilakukan secara periodik agar nilai-nilai religius, sakral serta keragaman tradisi yang ada dapat dipertahankan. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kesenian tradisi dirarapkan dapat memberi pencerahan tentang nilai-nilai warisan tradisi kepada masyarakat, khususnya bagi kalangan generasi muda. Makalah yang disajikan dalam Workshop/Lokakarya Tari Joged Pingingitan dan Baris Upacara membahas aspek Sastra, Estetika dan Ritual yang dilanjutkan dengan diskusi. Pendalaman materi workshop/lokakarya dilakukan dengan metode peragaan dan penayangan film dokumentasi tahun 30-an sebagai perbandingan. Pemaparan makalah dan diskusi berlangsung sangat menarik tampak dari intensitas dialog antara narasumber dengan para peserta di dalam menyimak logika, ketersediaan teks/sastra terkait dengan seni-seni sakral, termasuk memcermati nilai-nilai seni-seni sakral tersebut. Dialog juga mengkritisi keberadaan seni-seni sakral dengan menyimak pengalaman, ingatan dan kesaksian para sesepuh dan pelakupelaku seni. I Nyoman Suarka dalam makalah “Tinjauan Aspek Sastra dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara” memformulasikan konsep agama dalam kehidupan masyarakat Bali (Hindu) terintegrasi dalam persembahan kesenian sehingga senantiasa mencerminkan perpaduan dua dimensi sekaligus, yakni dimensi immanen dan transendental. Menurut Suarka, pengalaman keagamaan dan pengalaman estetis menunggal dalam Tari Joged Pingtan dan Baris Upacara sehingga merupakan bagian integral dalam upacara agama Hindu yang menuntun umatnya dengan kaidah-kaidah Satyam (Kebaikan), Siwam (Kebenaran) dan Sundaram (Keindahan). I Nyoman Catra dalam makalahnya mengutarakan perbedaan antara Tari Joged Pingitan atau Tari Gandrung dengan Tari Joged Bumbung. Sekalipun masih berada dalam satu rumpun, ketiga jenis kesenian tersebut menampilkan keunikannya masing-masing dalam kontek sakral dan profan (sekuler). Dengan cukup rinci Catra memaparkan struktur pertunjukan Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara mulai dari proses pementasan, pentokohan, tatarias-busana dan gambaran tentang musik iringannya.
Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogatha Karang mencermati nilai-nilai religius di dalam memaknai kesucian Bali sebagai satu kesatuan wilayah kultural sarat dengan persembahan kesenian. Di dalam makalahnya Ida Rsi menekankan pentingnya nilai-nilai religius dalam berkesenian. Menurut Ida Rsi tidak ada satu kesenianpun di Bali yang tidak memakai sarana upakara dan upacara setidak-tidaknya pada tatanan yang paling sederhana dipersembahkan asebit canang sari. Dengan mengobservasi kehidupan Joged di Desa Tegenungan maupun Baris Upacara yang ada di Desa Batur, Desa Bayung Gede dan Desa Pangelipuran ditemukan bahwa tradisi yang sudah berlangsung dari jaman Bali Kuno ini masih diyakini oleh masyarakatnya sebagai persembahan kepada Ida Bethara untuk memohon kesejahtraan. Peragaan dan demo pelatihan pada hari kedua tidak kalah menariknya. I Made Jimat dan Ni Wayan Sekar memperagakan gerak-gerak tari Joged Pingitan dengan penuh ekspresi disertai penjelasan tentang pengalaman bertahun-bertahun mengembangkan seni Joged Pigitan di desa Tegenungan, Kemenuh, Gianyar. Gerak-gerak tari Baris Upacara dari Desa Batur Kintamani, Kabupaten Bangli diperagakan oleh I Wayan Ruma dan I Made Satyajaya menggambarkan ciri khas tari Baris Upacara disertai penjelasan tentang tradisi masyarakat Desa Batur di dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyungsung Baris Upacara di Pura Batur. Peserta workshop juga mendapat gambaran kehidupan berkesenian di tahun 30an melalui pemutaran Film documenter yang disiapkan oleh Edward Herb seorang peneliti seni dan budaya Bali yang berasal dari Amerika Serikat. Dari dokumen visual ini para peserta workshop/lokakarya dapat menyimak betapa indahnya dan seriusnya seni-seni tradisi tersebut dipersembahkan dalam berbagai rangkaian upacara-upacara. Workshop/Lokakarya akhirnya ditutup dengan pementasan Tari Baris Ketekok Jago dari Desa Tanggun Titi, Denpasar Utara dan pementasan Tari Joged Pingitan dari Desa Tegenungan, Kabupaten Gianyar. Kegiatan Workshop/Lokakarya Tari Joged Pingian dan Baris Upacara diikuti oleh 80 peserta, terdiri dari perwakilan seniman dari Kabupaten/Kota seBali, para akademisi dan budayawan diharapkan dapat menarasikan nilai-
nilai religius (sakral) serta merevitalisasi bentuk dan fungsi kesenian Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara sesuai dengan etika, estetika masyarakat pendukungnya. Akhirnya dengan segala kekurangannya buku “Kesenian Sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara” kami persembahkan kepada para pembaca semoga bermanfaat adanya serta dapat digunakan sebagai bahan renungan di dalam melestarikan kesenian tradisi di Bali.
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum
Tinjauan Aspek Sastra dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara Oleh: I Nyoman Suarka
I. Pendahuluan Bali merupakan sebuah pulau yang sangat kaya dengan seni dan budaya. Kesenian Bali memiliki karakter tersendiri disebabkan integrasi seni dan agama Hindu yang sangat kuat. Ajaran agama Hindu menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni Bali dan senantiasa menopang kedalaman nilai-nilai kerohanian dalam kesenian Bali. Kehadiran agama Hindu dan kesenian yang mengintegrasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Adat Bali mampu membangun kesenian Bali yang khas dan unik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa segala kesenian Bali pada awalnya adalah religius. Berbagai karya seni Bali bersifat religius karena diciptakan berdasarkan cita rasa yang mencakup totalitas (rasa dan rasio), di dalam lubuk hati yang paling suci, di tengah-tengah riak getaran nurani pribadi seniman Bali yang dijiwai agama Hindu. Karena itu, karya cipta seni Bali senantiasa mencerminkan perpaduan dua dimensi sekaligus, yakni dimensi immanen dan transendental. Hal ini sulit ditemukan di daerahdaerah lain di muka bumi ini. Diasumsikan bahwa pertunjukan kesenian Bali merupakan drama ritual yang menjadi sarana untuk memperkuat kepercayaan dan memformulasikan konsepsi agama mengenai kehidupan yang dianut masyarakat Bali. Hal ini penting didiskusikan pada kesempatan ini dengan mendalami Joged Pingitan dan Baris Upacara. Joged Pingitan merupakan tarian joged yang ditarikan oleh wanita yang dipingit (Supartha dkk., 1997) diiringi gamelan Smara Palinggian yang umumnya terbuat dari bilah bambu dengan menggunakan nada berlaras pelog atau pelog lima nada. Joged Pingitan dapat ditemukan di Gianyar,
Badung, dan Denpasar (Tim Survey ASTI dalam www.babadbali.com). Baris Upacara adalah tarian Baris yang digelar sebagai bagian integral pada upacara agama Hindu di Bali. Jenis-jenis Baris Upacara, antara lain Baris Katekok Jago, Baris Dadap, Baris Pendet, Baris Tamiang, Baris Bedil, Baris Cendekan, Baris Jangkang, Baris Demang, Baris Memedi, Baris Goak, Baris Jojor, Baris Tengklong, Baris Tumbak, Baris Presi, Baris Bajra, Baris Kupu-kupu, Baris Cina, Baris Panah, Baris Gayung, Baris Katujeng, Baris Cerekuak, Baris Omang, Baris Kuning, Baris Kelemet (Team Survey ASTI dalam www.babadbali.com)
II. Pembahasan Istilah Joged Pingitan dapat ditemukan dalam Lontar Catur Muni-muni. Joged Pingitan (Papingitan) diiringi gamelan Smara Palinggihan atau Smara Alungguh yang ditiru atau berasal dari Kweraloka (alam Dewa Kuwera). Ada empat jenis gamelan disebutkan dalam Lontar Catur Muni-muni, yaitu (1) gamelan Smara Pagulingan atau Smara Aturu diturunkan dari alam Dewa Indra (Indraloka) dengan gending Pagambuhan untuk mengiringi Barong Singa; (2) gamelan Smara Patangian atau Smara Awungu diturunkan dari alam Dewa Yama (Yamaloka) dengan gending Pasesendon digunakan untuk mengiringi Legong Kraton; (3) gamelan Smara Palinggihan atau Smara Alungguh diturunkan dari alam Dewa Kuwera (Kuweraloka), dipakai mengiringi Joged Papingitan; dan (4) Smara Pandirian atau Smara Ngadeg diturunkan dari alam Dewa Baruna (Barunaloka) dengan gending Pakakintungan dipakai mengiringi Barong Ket. Keempat jenis gamelan tersebut wajib ditabuh mengiringi berbagai jenis upacara, baik upacara persembahan kepada dewa (dewa yadnya) maupun upacara untuk keselamatan manusia (manusa yadnya), baik dilakukan di tempat suci keluarga (kabuyutan) maupun di tempat suci umum atau Pura. Hal ini lebih jelas dapat disimak pada kutipan berikut.
“…Catur ngaran patpat, muni-muni ngaran gagambelan. Nyata gagambelan Smar Pagulingan ngaran Smara Aturu, gendingnya Pagambuhan, maka gagambelan Barong Singa; gagambelan Smar Patangian ngaran Smara Awungu, gendingnya Paseseondon maka gagambelan Legong Kraton, gambelan Smar Palinggyan ngaran Smara
Alungguh gendingnya maka gagambelan Joged Pingitan; gambelan Smar Pandiriyan ngaran Smara Ngadeg gendingnya Pakakintungan maka gagambelan Barong Ket… …Mwah yan hana swakarya yan ageng wenang gambelan iki tinabuh, kala Sang Hyang Catur Weda inucaraken dening sang wiku sang amuput karya. Kunang yan karya ayu ring sanggar atawa ring kabuyutan, ring parhyangan agung alit, gambelan iki kang uttama pinalu ring kana. Mwah ring pangambilan, pabuncingan muang pangupa-pali wang, angelaraken sopakaraning babanten, mwang papendetan katur ring dewa…” (Bandem, 1986). Terjemahannya: “…Catur artinya empat, muni-muni maksudnya gamelan, yaitu gamelan Smara Pagulingan atau Smara Aturu dengan gending Pagambuhan, sebagai pengiring Barong Singa; gamelan Smar Patangian atau Smara Awungu dengan gending Pasesendon sebagai pengiring Legong Kraton; gamelan Smar Palinggyan atau Smara Alungguh digunakan mengiringi Joged Papingitan; serta gamelan Smar Pandirian atau Smara Ngadeg dengan gending Pakakintungan digunakan mengiringi Barong Ket.
Tari Gegandrangan dalam pemetasan Joged Pingitan Desa Tegenungan Kemenuh Gianyar. Doc. Listibiya Bali
…Apabila ada upacara besar, gamelan ini wajib ditabuh ketika mantra doa dari kitab suci Weda dirapalkan oleh pendeta pemimpin upacara. Begitu pula pada saat pelaksanaan upacara di sanggar atau tempat suci pemujaan keluarga, maupun di Pura besar dan kecil, gamelan ini wajib ditabuh di sana. Demikian halnya pada saat upacara pernikahan, atau upacara manusa yadnya lainnya, ataupun ketika menggelar sesajen upacara persembahan dalam rangka memuja kebesaran para dewa…” Sementara itu, dalam Raja Purana Pura Ulundanu Batur disebutkan bahwa ada seorang pejabat adat bergelar Jro Made Tengah. Tugas pokok (gegaduhan) Jro Made Tengah adalah memilih dan menobatkan para pemuda-pemudi menjadi juru baris, baik juru tumbak, juru dadap, juru presi, maupun juru bedil atas perintah Jro Wayah, ketika dilaksanakan upacara persembahan kepada Ida Bhatara yang bersemayam di Pura Ulundanu Batur. Hal ini lebih jelas dapat disimak pada kutipan berikut.
“…yan wenten acin-acin ida bhatara…, Jro Made Tengah mabisekayang tarunan i ratune tur mamilih juru baris, wantah dane amreceka, dane wantah mabukti mwah wunen-wunen i ratune sakatah karya…yen juru tumbak, …juru dadap, juru presi, juru bedil, sane manyambut unen-unen ida i ratune…” (Pangeling-eling Wong Batur, hlm. 8). Terjemahannya: “…jika dilaksanakan upacara persembahan kepada Ida Bhatara…, Jro Made Tengah memilih dan menobatkan pemuda-pemudi di Desa Adat Batur untuk diangkat menjadi juru baris. Hanya Jro Made Tengah yang berhak menangani dan mengatur kesenian pada semua jenis upacara, …entah juru tumbak (Baris Tombak), juru dadap (Baris Dadap), juru presi (Baris Presi), maupun juru bedil (Baris Bedil), yang bertugas menyambut atau menjadi kaki tangan Ida Bhatara…” Kutipan Raja Purana Pura Ulundanu Batur di atas memberikan petunjuk bahwa ada berbagai jenis tarian Baris Upacara yang dipentaskan pada saat upacara (pujawali) di Pura Ulundanu Batur, seperti Baris Tombak, Baris Dadap, Baris
Presi, dan Baris Bedil. Baris Upacara tampak merupakan bagian integral pada upacara agama Hindu Bali. Kehadiran Baris Upacara diupayakan untuk menyambut kedatangan Ida Bhatara, terutama para pengiring Ida Bhatara (unen-unen ida i ratune). Demikian halnya Joged Pingitan yang dijelaskan dalam Lontar Catur Muni-muni juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ritual keagamaan yang dilaksanakan masyarakat pendukungnya. Söderblom (dalam Koentjaraningrat, 1987) mengatakan bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan terjadinya religi dalam masyarakat adalah keyakinan akan adanya kekuatan sakti dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib, yang ada dalam benda-benda ataupun tumbuhtumbuhan. Keyakinan manusia semakin berkembang pada keyakinan akan adanya berbagai macam roh yang seolah-olah mempunyai identitas serta kepribadian. Selanjutnya, perkembangan keyakinan manusia sampai pada keyakinan akan adanya dewa-dewa yang juga memiliki identitas dan kepribadian masing-masing, seperti halnya roh, tetapi mempunyai wujud lebih nyata dan mantap dalam pikiran manusia. Kenyataan dan kemantapan wujud keyakinan itu disebabkan pengalaman dan tingkah laku dewadewa yang kerapkali muncul dalam pikiran pendukungnya. Kemantapan keyakinan tersebut menimbulkan kesadaran akan tokoh dewa yang menjadi penyebab dari segala adat-istiadat dan kepandaian yang dimiliki masyarakat pendukung Baris Upacara dan Joged Pingitan tersebut. Jika demikian halnya, maka Joged Pingitan dan Baris Upacara dapat ditempatkan pada sistem religi masyarakat Bali. Danesi (2012) menyebutkan bahwa salah satu fungsi tarian adalah sebagai bentuk komunikasi estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, gagasan, dan mengisahkan suatu cerita. Dalam fungsi-fungsi semacam ini dapat dijelaskan bahwa Baris Upacara dan Joged Pingitan merupakan bentuk komunikasi para pendukung Baris Upacara dan Joged Pingitan dengan roh atau dewa-dewa yang diyakini bersemayam di sebuah tempat suci. Baris Upacara dan Joged Pingitan mengekspresikan emosi keagamaan dan sistem keyakinan sebagai wujud pikiran dan gagasan para pendukungnya tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh-roh, ataupun dewa-dewa yang disebutnya Ida Bhatara. Karena itu, Baris Upacara dan Joged Pingitan memiliki sifat keramat yang
mendalam yang ditandai oleh pementasannya tidak dapat dilaksanakan di sembarang tempat atau tidak dapat dipentaskan pada setiap saat, melainkan hanya dipentaskan di tempat-tempat tertentu dan pada hari-hari tertentu, seperti pada saat dilaksanakan upacara (pujawali) di Pura bersangkutan. Demikian pula pementasan Joged Pingitan dan Baris Upacara menggunakan sesajen khusus. Di sisi lain, Joged Pengitan dan Baris Upacara dapat dipahami sebagai bagian ritual dan berfungsi komunal, sebagai bagian dari kehidupan pedesaan. Joged Pingitan dan Baris Upacara diadakan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, kebutuhan untuk mencari makna hidup (cf. Danesi, 2012). Joged Pingitan dan Baris Upacara mengindikasikan pengalaman keagamaan dan pengalaman estetis. Karena itu, konsep menari dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara dapat dipahami sebagai upaya melibatkan seluruh tubuh dalam pencarian makna hidup serta dalam usaha berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya.
Pementasan Tari Baris Ketekok Jago Banjar Tanggun Titi Denpasar Utara. Doc. Listibiya Bali
Pelibatan tubuh dalam tindak keagamaan masyarakat Hindu Bali tampak ketika tubuh dimaknai sebagai sékar. Kata sékar dapat berarti bunga, tembang, dan badan (Sugriwa, 1977). Di dalam lontar Aji Prakempa dijelaskan bahwa tembang dibentuk oleh nada-nada yang disebut ding-dung, baik dalam bentuk laras pelog maupun slendro, yang diyakini sebagai simbol Dewa Kama dan Dewi Ratih. Pada hakikatnya, ketiga jenis sékar tersebut merupakan lingga Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Kama dan Dewi Ratih. Dewa Kama dan Dewi Ratih merupakan Dewa/Dewi Cinta Kasih. Dalam lontar Yajñaprakréti dijelaskan bahwa bunga itu merupakan simbol pikiran dan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi (Arwati, 1999). Dengan demikian, Joged Pingitan dan Baris Upacara menjadi jalan menuju Tuhan atau ibadat keindahan dan sekaligus sarana penemuan serta pengenalan kembali hakikat diri manusia.
III. Penutup Hakikat Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan usaha masyarakat pendukungnya untuk mencapai kesatuan dengan dewa atau Ida Bhatara yang dipuja sebagai istadewata. Dalam rangka mencapai kesatuan dengan dewa tersebut, Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan wadah yang membentuk dan menjelmakan keindahan sebagai tempat dewa (Ida Bhatara) itu turun dalam penjelmaan sebagai objek pemujaan, sebagaimana diindikasikan oleh penari yang kesurupan. Pengalaman keagamaan dan pengalaman estetis menunggal dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara. Lebih jauh, Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir kehidupan masyarakat pendukungnya (moksartham jagadhitam). Karena itu, Joged Pingitan dan Baris Upacara menjadi bagian integral dalam upacara agama Hindu Bali, yang didasarkan pada integrasi trilogi kaidah estetika Hindu, yaitu Satyam (Kebaikan), Siwam (Kebenaran), Sundaram (Keindahan).
Daftar Pustaka Arwati, Ni Made Sri. 1999. Upacara Upakara. Denpasar: Upada Sastra. Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia. Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan kedua. Jakarta: UI Press. Sugriwa, I G.B. 1977. “Penuntun Pelajaran Kakawin”. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Supartha, I Gusti Ngurah Oka, dkk. 1997. Pesta Kesenian Bali. Cetakan kedua. Denpasar: Percetakan Bali. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.
Tanggapan: 1. Geriya: Revitalisasi = sastra, seni, agama, filosofi= dunia ekspresif Nyatanya: dunia ideal dan dunia nyata = soft power tidak mampu memberikan energy lagi. Sinergikan sakala-niskala = sinergi ekspresif-progresif? Bukan sekadar pelestarian tetapi menjadi sumber kesejahteraan; siapa leading sector (eksekutif, legeslatif)? (seken, saja, bani) 2. Nala: Perlu deskripsi pragina dalam joged pingitan dan baris upacara? (pragina kabiseka antuk Jro Made Tengah) Inventarisasi seni sacral? Tarian Sumbu di Seraya, penarinya memejamkan mata, ditandai dengan trance? Populasi joged pingitan dan atau gandrung ring Sesetan, Suwung Batan Kendal? Perlu diperjelas perbedaan antara gandrung dgn joged pingitan? 3. Made Ngurah: lembaga2 terkait dg seni dan budaya (seni sacral dan tradisi) memberikan ruang secara terjadwal berupa forum wadah berdiskusi? Apa yang dimaksud dengan Agama Purusa dan Pradana? Yg ada di desa-desa dapatkah dikatakan tradisi (tradisi lisan)? Baris idih-idih di Tegallalang? Pemberitahuan/pangarah? Perlu melibatkan IHD, UNHI, ISI dalam inventarisasi data seni? Sastra miring? Tari sacral merupakan bagian integral bukan pelengkap? 4. Kadek Suartaya: tema revitalisasi kearifan lokal belum terjabarkan? Kearifan lokal yg mana? Etika, estetika, sacral? Seni tradisi (konservatisme?)/seni menara gading? Dalam dunia global seni tradisi dalam hegemoni budaya global? Konotasi joged? Bgm dgn joged pingitan? Joged pingitan hanya joged saja? Ada cerita abad 18 Raja I Dewa Manggis berkunjung ke Sukawati, meminang penari joged? Benarkah joged pingitan memang disakralkan sejak awal? (Catur Munimuni?) Pingitan raja? 5. Kodi: tari sacral membina hub vertical dan sederhana untuk membangun mahaprana? Misalnya konsep Bali Mandara (Bali Yang Agung? Tari sacral (wali) juga hiburan (sarining lango, kalangen, kasalimur)? Tari = lila? Bermula dari profan bergeser ke sacral atau sebaliknya? Teori mitos (konotasi, denotasi, mitos?) Sakral bersifat relative?
Dr. I Nyoman Catra, M.A.
Tinjauan Aspek Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara Oleh: I Nyoman Catra Makalah disampaikan dalam rangka pelaksanaan Workshop dan Lokakarya Joged Pingitan dan Baris Upacara Diselenggarakan oleh LISTIBIYA Prov. Bali Denpasar tanggal 26 s/d 28 Nopember 2014
I. Pendahuluan Pulau Bali yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, dimana ekpresi upaya mendekatkan diri kehadapan Tuhan dalam berbagai manifestasinya, dalam praktik beragama dilakukan melalui jalan “karma sandyasin” dan “yoga sandyasin”. Kedua ekpresi tersebut melahirkan kekayaan budaya yang hidup dan berkembang secara dinamis. Praktik beragama dengan mempersembahan hasil bumi yang bersifat materialistis, melahirkan tradisi dengan tatanan budaya merujuk pada aturan-aturan yang secara tatwa, susila dan upacara dengan upakaranya, mesti diindahkan tata saji persembahannya. Kendati fleksibilitas dalam beragama dengan mengusung konsep nista, madya, utama, ditambah keluwesan varian pelaksanaan tradisinya dengan mengedepankan kearifan lokal; desa mawa cara, menjadikan ritual dalam beragama penuh varian, walau sesungguhnya memiliki esensi dan tujuan yang sama. Upakara yang berupa sesaji berbentuk (bebanten) dari tingkatan yang paling esensial “canangsari” sampai pada tingkatan kemasan bebanten yang lebih besar dan kompleks seperti; tetandingan taman pregembal, bebangkit, caru, dan tetandingan yang lainnya, merupakan persembahan sebagai niyasa dan simbol-simbol Kemaha Kuasaan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa) dalam berbagai personifikasi Beliau.
Persembahan sesaji dalam budaya tradisi Hindu dibungkus dengan penataan yang bersifat seni. Persembahan kesenirupaan berupa perwujudan Tuhan dalam bentuk arca, asesories piranti upacara berupa payung, tombak, umbulumbul, kober, ulap-ulap, dan busana pelinggih dan bedogol menjadikan suatu ritual keagamaan menjadi semarak, dari tatanan warna, desain dan peruntukannya yang dengan penuh kesadaran tetap dijaga kesuciannya. Mebat sebagai penyediaan ‘tetandingan ben banten’, sangat kental dengan perayaan ritual keagamaan Hindu. Demikian juga halnya dengan persembahan seni pertunjukan berupa seni suara vokal/tembang/kidung; seni tari, seni tabuh, menyatu luluh menjadi satu kesatuan dramatik ritual sebagai ekpresi budaya, didorong rasa ngayah – rasa hormat dengan menyerahkan diri, mensyukuri karunia Tuhan yang Maha Pengasih serta senantiasa memohon perlindungan dan tuntunanNya. Dari persembahan seperti inilah muncul seni pertunjukan yang bersifat wali dan bebali dalam ritual keagamaan. Dalam tradisi tertentu kesenian seperti halnya sanghyang, bahkan diyakini adalah merupakan wahana manifestasi Tuhan yang melalui senimannya dijadikan medium untuk berkomunikasi secara langsung dengan masyarakatnya. Dalam keputusan Seni Sakral dan Profan Bidang Tari yang diselenggarakan oleh Listibiya Propinsi Bali di Tahun 1971 dalam kesimpulannya menetapkan kembali penggolongan Seni Tari Bali dalam: 1. Seni Tari Wali (sacred, religious dance); 2. Seni Tari Bebali (ceremonial dance); 3. Seni Tari Balih-balihan (secular dance). Demikian kenyataannya bahwa pulau Bali yang kecil ini menyimpan kekayaan seni tradisi yang keberlangsungannya sangat ditentukan oleh kondisi lokal masyarakat pangemongnya. Pada kenyataannya ada jenis kesenian yang memiliki nilai suci dalam konteks pertunjukannya seperti rejang, basis gede, yang dewasa ini menjadi sangat umum sifatnya. Tidak sedikit jenis kesenian yang dimiliki oleh masyarakat dengan kekhasan dan keunikannya sangat lokal sifatnya, ragam dan jenisnya, tumbuh dan berkembang dimasyarakat tertentu saja.
Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara yang dibahas pada kesempatan kali ini, merupakan sebagian kecil dari tradisi besar kekayaan masyarakat Bali yang dirasakan sudah mengalami degradasi dari terpaan era kesejagatan masyarakat pemiliknya yang lebih dituntut sebagai masyarakat konsumtif. Kekhawatiran seperti ini sudah sepantasnya dicarikan jalan keluar pemecahannya, sehingga keberlangsungan seni sakral di Bali dapat dipertahankan fungsinya dalam menuntun masyarakat menuju tercapainya kesejahteraan lahir batin. Tari Joged Pingitan Kata joged berasal dari kata nusantara joget yang berarti menari. Pertunjukan tari joged dikenal sebagai tarian sosial dimana penari dapat mengundang penonton untuk diajak menari bersama (ngibing) dengan sentuhan sensual sebagai ungkapan dorongan birahi dua insan berlawanan jenis. Joged sempat dihebohkan dengan sebutan joged porno dimana ada penari secara fulgar membuka auratnya yang semestinya tidak dilakukan di depan umum; dijadikan ajang pamer kegilaan diluar batas logika, etika moral, dan nilai-nilai kepantasan dan kepatutan yang mestinya dijunjung oleh seseorang yang berprofesi sebagai “seniman”. Junjungan utama sebagai seorang seniman
Tari Pengugal dalam pementasan Joged Pingitan Desa Tegenungan Kemenuh Gianyar. Doc. Listibiya Bali
adalah mengedepan tiga sifat ataupun pilar utama suara suksma sakatiga bajradnyana yang berunsurkan: satyam, siwam dan sundaram. Sundaram sebagai keindahan sajian seyogyanya dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran dan menjunjung tinggi sifat kesucian. Kendati dalam konteks jenis pertunjukan tari yang bersifat sosial sekalipun, seyogyanya seorang penari penuh kesadaran memposisikan sajian estetika (keindahan) penuh perhitungan secara logika, mengedepankan etika, menjadikan model panutan pemenuhan nutrisi kejiwaan yang sekaligus juga sifatnya menghibur. Berbeda dengan Tari Joged Pingitan dinama genre tarian joged ini sudah dilable lagi dengan kata “pingitan” yang sudah tentu memiliki etika dan estetika dengan sentuhan religiusitas dalam sajiannya. Sebelumnya jenis tari pergaulan seperti ini lebih dikenal dengan nama gandrung. Kata gandrung yang memiliki konotasi “kegilaan” dalam artian pemenuhan keinginan dalam sentuhan sensual, menjadikan tarian ini sebagai tari pergaulan yang jauh dari unsur magis. Dalam Joged Pingitan erotisme dan sesualitas menjadi berkurang, dimana tampilannya berubah menjadi seni yang berkualitas tinggi, dituntut hadirnya seniman penyaji yang memiliki kemampuan menari mengekpresikan tokoh-tokoh dalam penyalonarangan, menjadikan sajiannya sebagai kesenian yang bersifat serius. Kata pingit (Warna, 1990: 528 ) dapat berarti; angker, mempunyai kekuatran gaib, rahasia, terlarang. Mengedepankan unsur magis dan adanya usaha menghormati larangan untuk tidak dilanggar dari sesuatu yang dipingit, kesenian ini tumbuh dengan keseriusan penampilan dalam sajiannya. Hal ikhwal tentang munculnya Joged Pingitan seperti yang dideskripsikan oleh Dibia and Rucina (2004: 87), mengatakan: Beberapa orang mengatakan bahwa genre pertunjukan ini bermula pada permulaan abad ke dua puluh, saat mana salah satu dari grup pertunjukan Joged Gandrangan mengadakan pementasan di daerah Lebih Gianyar, sebuah desa yang memiliki mata pencaharian pencari ikan, yang juga dikenal dengan praktek ilmu hitamnya. Ketika mempertunjukkan ceritera Calonarang, salah seorang penarinya dihantam oleh ilmu hitam sehingga jatuh kebelakang kesakitan. Para juru gamel menjadi panik, sementara pimpinan rombongan berkata: “Mohon tenang. Bagaimana kalau bunga dari gelungannya dicabut dan dilemparkan
ke penarinya? Bila dia bisa siuman kita akan perlakukan gelungan tersebut sebagai sungsungan keramat dan disucikan. Bilamana dia mati, kita buang saja gelungan tersebut di laut dan kita bubarkan grup ini.” Setelah penarinya dilempari bunga, kupu-kupu kuning terbang mengitari kepalanya dan membawanya dia siuman kembali. Grup ini kemudian menjadi terkenal dan setelah itu dikenal dengan sebutan Joged Pingitan. Tidak disebutkan secara inflisit apakah grup yang dimaksud adalah grup Joged Pingitan dari Desa Tegenungan Sukawati, sebuah desa yang memiliki pertunjukan Joged Pingitan. Dalam ajang Pesta Kesenian Bali tahun 2014, tepatnya pada tanggal 2 Juli; grup dari Desa Pengosekan Ubud Gianyar menampilkan sajian Joged Pingitan dengan mengambil tempat di Stage Ratna Kanda Taman Budaya Denpasar. Populasi Joged Pingitan disamping dari dua Desa tersebut diatas sangat jarang didengar intensitas tampilannya. Disadari kesenian ini memiliki historis kemunculannya sangat lokal sifatnya; berkaitan erat dengan hadirnya kekuatan niskala yang mendorong dan menguatkan keberadaannya. Demikian dari dua sekaa yang disebutkan di atas, keduanya menyajikan reperoar Joged Pingitan dengan menampilkan kisah calonarang lewat untaian gerak tari dengan tabuh pengiring gending-gending panyalonarangan dimainkan dalam gamelan gandrangan manakala mengiringi tokoh-tokoh seperti Prabu, Sisya, Matah Gede, Madri dengan Rarung, Pandung, Rangda dan Barong. Sebagai ciri utama Tarian Joged Pingitan adalah adanya dominasi seorang penari yang memerankan multi tokoh dalam tarian penyalonarangan. Struktur Pertunjukannya Sebelum memulai pertunjukan diawali dengan penyajian tabuh pategak kemudian dilanjutkan dengan prosesi menstanakan (ngelinggihang) sesuwunan berupa pekuluh, hiasan kepala (gelungan), rangda, pada altar yang sudah disediakan. Disertai dengan piranti upacara berupa pasepan dan upakara disyaratkan semua gelungan ditaruh dalam posisi tinggi penuh penghormatan. Dengan demikian pola ini memiliki kemiripan dengan memposisikan “pelawatan Rangda” yang ditaruh disebuah altar tinggi ataupun trajangan pada pementasan Calonarang, dimana pada penghujung akhir pementasan Rangda ini akan mengambil peran sebagai
bagian dari alur pementasan. Dalam konteks pailen-ilen seakan-akan rangda ini menyaksikan pementasan yang berlangsung sebelum akhirnya terlibat langsung untuk menyudahinya. Hal senada kita jumpai dalam pementasan Topeng Pajegan. Topeng yang disakralkan berupa Topeng Sidakarya diletakkan diatas banten yang diposisikan diatas meja dengan katung yang penuh berisi topeng-topeng lain yang digunakan dalam pentas. Disini dari pengambilan benda sakral dengan kalangan tempat menarinya seakan tidak ada pembatas yang jelas seperti langse pemisah yang pada umumnya dipasang untuk mengindikasikan keluar masuknya penari dari natah kalangan ke rangki dimana penari mempersiapkan diri. Seluruh penari duduk diatas tikar didepan altar (nikeh), menunggu gilirannya untuk menunaikan tugas yang akan diperankan. Proses pemasangan gelungan diambilnya dari atas altar dan kekenakan kepada penari merupakan bagian dari pertunjukan dan dipertontonkan. Merujuk pada pementasan Joged Pingitan yang ditampilkan oleh Grup Pengosekan sebagai penampilan kesenian khas Kabupaten Gianyar, dapat digambarkan struktur pertunjukannya seperti berikut: • Diawali dengan menampilkan tari Joged Pingitan dengan gelungan khususnya. Tariannya merepresentasikan tokoh Prabu Erlangga sebagai raja penguasa Kediri dengan karakter tari gagah berwibawa. Tarian ini disudahi dengan tarian ibing-ibingan yang ditarikan oleh seorang dari anggota sekaa menggunakan busana adat sesaputan nyerapah tanpa menggunakan baju (payas madya), dengan iringan gending gegandrangan. Ini satu-satunya ibing-ibingan yang ditampilkan sebagai ciri pertunjukan jogednya. Selanjutnya alur penampilannya dibingkai dengan plot lakon Calonarang diekspresikan lewat tari, dengan narasi dalang yang memberi aksentuasi penegasan ceritera disamping melantunkan tandak guna memperhalus alur pertunjukan. • Lima orang penari masal berperan sebagai tarian sisya bunga mengenakan gelungan legong keraton sebagai hiasan kepalanya. Dimulai dengan gending papeson gegaboran, kemudian ngetog, dilanjutkan dengan pengawak tabuh pisan, dan ditutup pengecet, pekaad menghakhiri tarian ini seperti halnya pada tarian sisya penyalonarangan pada umumnya.
• Tari Condong abdi si Calonarang yang dalam narasi dikatakan sebagai Ni Rarung. Tarian ini dilakukan dengan singkat tanpa adanya gerakgerak maknawi yang mengindikasikan keterkaitannya dengan lakon. • Tarian Matah Gede dengan iringan Bapang Durga ditarikan oleh penari utama dengan memegang tongkat sebagai ekspresi mendukung gerakgerak tari representasi ketuaan. Manakala gending mengalih ke bagian pengecet perong condong penari mencari posisi tempat beristirahat (nikeh) sehingga memberi jeda dengan sajian musik diperdengarkan mengisi kekosongan. • Dua orang penari kembar tampil seperti layaknya tampilnya tari legong, baru kemudian memerankan tokoh Patih Madri yang tengah memadu kasih dengan Ni Rarung, sampai mereka akhirnya berperang. Ni Rarung berubah wujud menjadi Burung Garuda diperankan oleh penari yang tadinya berperan sebagai penari Condong. Perkelahian Burung Garuda dengan Patih Madri diakhiri dengan mematuk matanya Patih Madri sehingga membuat dia buta dengan tarian tangisnya sampai kemudian menemui ajalnya. • Matah Gede ngereh diikuti oleh sisya dengan iringan gending tunjang sari. Sisya kepalanya ditutup dengan kudung bergambar (rerajahan) leak-leakan; menari tanpa memakai gelungan. Pada bagian ini tokoh Calonarang digambarkan menggali kuburan rare, dengan suka citanya bermain-main mempermainkan bayi-bayian; secara gemes diciumi, dan kemudian dirangkul diberikan susu. Pada puncak adegan ini para sisya berebut untuk mendapatkan mayat bayi tersebut; namun akhirnya si Calonarang yang tetap menguasainya, kemudian dimangsanya. • Patih Taskara Maguna diperankan oleh salah seorang penari legong dengan iringan tabuh biakalang, pengadeng, serta batel pengrancab. Menggunakan keris yang diselipkan di pinggang penari ini ngerancab rangda. • Igel Rangda; setelah dirancab oleh Patih Taskara Maguna, Calonarang yang sudah mentransformasi diri menjadi Rangda menari dengan iringan tabuh Tunjang Rangda yang dimainkan oleh penari legong satunya lagi. • Penari masal menyusul menari beriringan berperan sebagai Barong berperang melawan Rangda. Karena kekuatan Rangda, mereka
kemudian pecah sebagai penari Onying; dan pada bagian ini merupakan akhir dari struktur pertunjukan dimana seorang pemangku memerciki tirta kepada penari onying. Mereka kemudian sadar dan bangun dengan melakukan tarian pekaad format palegongan; secara keseluruhan pertunjukan Joged Pingitan selesai sampai disini. Penari Penari Joged Pingitan dibutuhkan seorang master yang menguasai dan mampu mengekspresikan berbagai tokoh dalam penyalonarangan. Tidak terlalu berlebihan bila dikatakan dalam Joged Pingitan merupakan pertunjukan Calonarang Pajegan. Pertunjukan Joged Pingitan dari Desa Tegenungan Blahbatuh menampilkan Ibu Cenik dari Desa Batuan sebagai penari utamanya. Demikian halnya pada pertunjukan Joged Pingitan Pengosekan di ajang Pesta Kesenian Bali yang lalu menampilkan Ni Wayan Sekar (cucunya Ibu Cenik) sebagai penari utamanya. Tergambar pada pertunjukan Joged Pingitan grup dari Pengosekan penari dikelompokkan ke dalam: • Satu orang sebagai penari utama, dengan mengenakan gelungan Joged Pingitan; • Tiga orang penari legong; satu berperan sebagai penari condong dan Garuda, dua orang lagi memerankan tarian Patih Madri, Pandung dengan pasangannya memerankan tokoh Ni Rarung dan merangkap sebagai Penari Rangda. Mereka dibedakan dengan mengenakan kain berwarna merah tua. • Lima orang penari kelompok yang memainkan tokoh sisya bunga, sisya ngereh, penari barong dan onying, berbusna ala palegongan dengan warna kainnya hijau. • Satu orang berperan sebagai penari juru ibing berbusana adat bali madya. Rias dan Busana Berbeda dengan tari joged pada umumnya, dimana busananya lebih menunjukkan tataan busana kerakyatan dengan ataupun tanpa baju kebaya; Tari Joged Pingitan mengenakan busana Legong Keraton sebagai busana dasar. Yang membedakannya adalah; digunakannya baju putih
dengan badong beludru berhiaskan permata manik-manikan, ketimbang menggunakan baju prada dengan simpingnya. Ada satu gelungan Joged Pingitan seperti juga sering digunakan dalam pertunjukan tari gandrung (adanya kemiripan bentuk gelungan gandrung Bali, Lombok, Banyuwangi) dengan ciri khas adanya tataan rambut pada bagian belakangnya dengan ditutupi serpihan kain putih berlapis-lapis mengindikasikan tataan helai bunga jepun yang yang terpasang rapi seakan menutupi pusung lungguh tataan rambut. Sajian Joged Pingitan oleh Grup Pengosekan dilengkapi dengan satu buah gelungan Condong Legong dan lima buah gelungan Legong Keraton. Sedangkan rias muka (make-up) lebih bersifat natural seperti hal rias putri cantik. Ekspresi ketuaan, serem, magis, agung dll lebih diekpresikan dengan pancaran air muka (encah cerengu) penarinya. Rangda sebagai simbol tranformasi kekuatan ilmu hitam Calonarang, juga melengkapi dalam sajian ini. Musik Iringannya Genre seni pertunjukan Bali memiliki partner musikal instrumen yang sejajar dengan jenis tarinya. Gamelan pegambuhan dipakai mengiringi dramatari Gambuh. Gamelan Geguntangan digunakan untuk mengiringi dramatari Arja. Gamelan Bebarongan dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan yang berkaitan dengan bebarongan. Gamelan Palegongan dipakai untuk mengiringi tari Legong. Demikian juga halnya dengan iringan tari Joged Pingitan memakai iringan gamelan “Rindik Gandrangan” sebagai iringannya. Gamelan ini lebih dikenal sebagai iringan gamelan gandrung, yang juga merupakan tari pergaulan, dimana dahulunya penari gandrung kebanyakan dilakukan atau diperankan oleh penari laki berbusana perempuan (travesti). Ada tujuh instrumen berbilah dalam barungan ini; sepasang dipakai sebagai ugal pengalihan gending, ditambah sepasang rambat pemade dan sepasang lagi rambat barangan, dilengkapi satu tungguh lagi sebagai instrumen jegogan. Instrumen bilah pada gamelan gandrung menggunakan serpihan bambu. Instrumen Rambatnya berbilah 15, berlaras pelog lima nada, tersusun tiga oktaf, dari ‘deng’ rendah sampai ‘dong’ kecil; dimainkan menggunakan dua buah panggul. Mengingat vibrasi (reng) bilah bambu sangat pendek, menjadikan teknik permainannya dengan pola pukulan bergetar (norot ngejer) pada nada panjang lagu, untuk melahirkan ombak;
sehingga menjadikan ciri khas teknik permainan gegandrangan. Kekilitan kotekan telu, ngempat, imbal, terjalin cepat dalam denting bilah yang dipukul dengan panggul kayu seperti halnya panggul gender wayang menjadikan nuansa khas lagu/gending gegandrangan. Instrumen jegogan memiliki nada yang sama dipukul imbal bergantian dari pukulan tangan kiri dengan tangan kanan, sehingga memperoleh ombak suara rendah jegogan. Menggunakan gong pulu yang ditabuh ngoncang bergantian dipukul juga menggunakan dua buah panggul, guna mendapatkan reng suara gong yang panjang. Dua instrumen timbung (klentit berbilah) yang berfungsi sebagai kajar dan komong negak. Satu pangkon kecek; dan kendang gupekan tunggal; ditambah sejumlah suling (6 buah). Kebanyakan gending yang dimainkan untuk iringan tari adalah mengadopsi dari gending-gending penyalonarangan. Dimulai dengan tabuh pategak yang memainkan gending serangsang pengipuk, yang ukuran lagunya layaknya dipakai dalam pengecek iringan tari Telek. Pada pengawaknya dikombinasikan dengan lantunan pupuh tembang ginanti, serta ditutup dengan gerongan. Sedangkan pemilihan reperoar iringan tarinya seperti halnya: gending bapang gede untuk iringan prabu; gending ngalap base/ ampin lukun untuk iringan tarian sisya; gending bapang durga dilanjutkan dengan perong untuk iringan Matah Gede; gending pengipuk untuk roman Madri dengan Rarung; gending tunjang sari untuk ngereh sisya; gending biakalang sebagai iringan tari Patih Taskara Maguna, dan Omang, Tunjang Rangda sebagai iringan peseteruan Rangda dan Barong; ditutup dengan gending pekaad motif palegong untuk menyudahi keseluruhan rangkaian repertoar tabuh yang dimainkan. Pengibing Salah satu ciri dari pertunjukan joged adalah adanya pengibing. Seseorang yang tampil dari penonton menari sebagai pasangan tarian pergaulan dengan cumburayu tariannya. Dalam tarian joged bumbung yang dewasa ini penarinya adalah dihadirkan dari kaum perempuan yang memiliki kemampuan sensual mengundang pasangan lawan menarinya dengan penuh romantis. Bahkan perkembangan dewasa ini terkadang penari menunjukkan kebolehannya dalam memamerkan goyangannya tidak saja ngegol kesamping, namun terkadang dengan liukan putaran pinggul eksotik
(nguyeg) dan bahkan ditambah gerakan goyang kemuka-kebelakang “angkukan” menjadikan pertunjukan joged ramai dibicarakan. Terlebih gila lagi bila penari sampai menyingkap kainnya melewati batas kewajaran etika, menjadikan pertunjukan Joged dicap sebagai sajian porno. Berbeda dengan pengibing pada Joged Pingitan, posisinya berjauhan tanpa harus bersentuhan anggota badan dengan penari jogednya. Mereka lebih memamerkan kemampuan menarinya, ketimbang menghadirkan gerakangerakan sensual erotis pasangan laki perempuan. Joged Pingitan lebih mengedepankan nilai-nilai sajian estetika tinggi, magis, kesucian dan rasa hormat. Tari Baris Upacara Kata baris berasal dari kata bebarisan yang secacara harafiah berarti garis atau formasi berbaris (Bandem 1976: 1). Tari Baris, utamanya tari Baris upacara adalah tarian masal ditarikan oleh setidaknya 4 orang atau lebih, membentuk formasi berderet dan berjajar dalam membawakan tariannya. Tarian ini juga dicirikan dari pola pakaiannya yang memiliki susunan tata busana berlapis-lapis. Kebanyakan memiliki kemiripan pada hiasan kepala, dengan format desain segitiga pada bagian belakang udeng-udengan. Tari Baris mengusung tema kepahlawanan. Sebagai tarian kelompok yang sifatnya masal tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan dalam membela negara. Mereka tampil dengan membawa senjata atau perlengkapan upacara. Penamaan Tari Baris Upacara sering diidentifikasi dari senjata, alat upacara yang dibawa, atau warna yang digunakan, ataupun kekhasan dari repertoar tari tersebut. Kendati demikian banyak juga tari Baris muncul sebagai ekpresi tari tunggal seperti dalam tarian baris tunggal/ melampahan, tari baris keraras; merupakan pengecualian kekhususan dari kebiasan umum jenis tari Baris upacara yang kebanyakan berbentuk tari masal. Berbagai macam jenis Tari Baris Upacara yang populasinya cukup banyak dimiliki oleh berbagai organisasi adat / keagamaan yang tersebar diseluruh pelosok desa di pulau Bali ini. Bandem (1976: 1) menyitir pendapat Claire Holt menyebutkan: Kidung Sunda puisi semi sejarah yang diketemukan di Jawa Timur berangka tahun 1550, menyebutkan tujuh jenis bebarisan (jenis tarian bela diri) dipertunjukkan
saat perayaan upacara pemakaman jenasah yang berlangsung selama lima minggu yang diselenggarakan oleh Raja Hayam Wuruk, raja hebat di era kebesaran tahta kerajaan Majapahit. Sekarang ini bekas dari tarian bela diri ini di priservasi di Bali. Jenis Tari Baris Upacara Dewasa ini tidak kurang dari empat puluhan jenis tarian Baris upacara menyebar di berbagai daerah desa dipulau dewata ini. Sebagian besar sudah dideskripsikan secara singkat dari berbagai sumber, diantaranya:
Baris Bajra Bedil Cekuntil Cendekan Cerekuak Cina Dadap Demang Derma Gayung Gede Guwak Ireng Jangkang Jojor Juntal Katekok Jago Ketujeng Kelemat Keraras Klempa Kuning Kupu-kupu Layah Lantang Lutung Mamedi Melampahan Midergita Nuri Nawasanga Omang Panah Pendet Poleng Presi Tamiang Taruna Tanglungleng Tengklong Tumbak [Periksa lebih lanjut deskripsi tentang tari Baris upacara tersebut diatas seperti yang dimuat dalam buku: Bandem (1976), The Baris Dance; Dibia (2000), Tari Wali: Rejang Sanghyang Baris; dan Dibia (2012), Ilen-ilen Seni Pertunjukan Bali]. Diyakini masih ada kahasanah Tari Baris upacara yang belum terungkap, akan menambah deretan kekayaan jenis tari baris upacara khasanah pulau Bali ini. Seperti halnya tarian Sraman yang tersebar luas di daerah Karangasem,
bila ditilik dari tata saji dan fungsinya di dalam upacara nampaknya akan masih menambah repertoar tari Baris upacara. Tari Baris upacara penamaan tarinya kebanyakan didasari dari property yang pada umumnya berupa senjata seperti tombak, tamyang, bajra, panah bedil dst, sebagai nama tarian dimaksud. Disamping itu domain warna seperti warna kuning, atau poleng, juga sebagai indikasi penamaan tarian Baris upacara. Tari Baris merupakan tarian maskulin yang umumnya didampingi oleh tarian Rejang/Pendet sebagai representasi feminimnya. Purusa – Pradana, Bawa – Prakerti, Wahya – Dyatmika, Sekala – Niskala, dst adalah sifat dualistis yang selalu saling melengkapi sebagai ekpresi keseimbangan dalam hidup ini. Tari Baris merepresentasikan kekuatan maskulin dengan power energi penuh ketahanan sebagai sifat pususa.
Pementasan Tari Baris Ketekok Jago Banjar Tanggun Titi Denpasar Utara. Doc. Listibiya Bali
Sebagai tarian lepas Tari Baris Upacara berdurasi pendek sekitar 15 menit. Secara umum keoreografinya tersusun dalam struktur tarinya dengan tetap berpedoman pada triangga. Ada tari/gending gilak papeson, pengawak, kemudian pengecet/pekaad. Sebagai tarian yang bersifat sakral tarian ini tidak terlepas dari konteksnya dalam persembahan yadnya yang tengah berlangsung. Disamping itu senjata-senjata yang digunakan adalah molemole pura yang disakralkan oleh masyarakatnya. Ciri khas koreografi tarian Baris Upacara menunjukkan kesederhanaan dan adanya pengulanganpengulangan siquen gerak, dalam formasi polos. Sebagian beasar dari jumlah jenis tari Baris tersebut diatas peruntukannya sesuai dengan tradisi yang berlangsung berkesinambungan pada tradisi desa, adalah untuk upacara Dewa Yadnya. Tari Baris Upacara, yang sering disebut sebagai Baris Gede (tari Baris dengan jumlah besar), biasa ditarikan oleh antara 8 (delapan) sampai 40 (empat puluh) orang bahkan lebih (Dibia 2012: 14). Tarian ini berkembang dari sentra tradisi besar tari Baris upacara seperti yang terdapat di Pura Hulun Danu Batur Kintamani; Tejakula Buleleng; Sebatu Tegalalang dan di tempat lainnya di Bali. Musik Iringangan Kebanyakan tarian Baris upacara format komposisinya didominasi oleh permainan Gamelan Gong Gede. Dengan sifat tari yang gagah dan keperkasaannya, diperkuat oleh pola gedig kaklenyongan menjadi ciri khas pada komposisi tabuhnya; dengan struktur tabuh setidaknya terdiri dari: gilak papeson, pengawak, dan gilak pekaad. Dewasa ini Gamelan Gong Kebyar sebuah barungan gamelan multi fungsi sangat mudah mengadopsi tabuh-tabuh untuk iringan tarian Baris Upacara. Tari Baris Poleng yang sering difungsikan sebagai tarian untuk upacara pitra yadnya dalam upacara pembakaran jenazah pada tingkatan mapranawa, adalah berfungsi sebagai pasukan yang mengawal/pengater keberangkatan jenasah kaum bangsawan/pendeta kekuburan. Ketika mayat sudah disulut api pembakaran tarian baris ini menari. Tari Baris Dadap difungsikan sebagai tari untuk upacara Dewa Yadnya, kecuali di daerah tabanan diperuntukkan pada upacara pitra yadnya. Sering diiringi
dengan gamelan angklung berlaras slendro empat nada, membuat tarian ini lebih bernuansa melodramatis diselimuti rasa kesedihan dan kepasrahan. Dengan memegang miniatur jukung sebagai senjata/perisai yang berafiliasi dengan perjalanan mengarungi samudra lepas, simbol perjalanan panjang tanpa ujung sanghyang atma sebelum mencapai moksah. Tari Baris Keraras sebuah baris yang memiliki keunikan dengan berbusana dasar kain poleng, ditutupi dengan awiran terbuat dari daun pisang kering (keraras); berfungsi sebagai tarian “pamagpag yeh” dipentaskan pada sebuah bendungan (temuku) yang berhubungan dengan dunia persubakan untuk kesuburan; terdapat di daerah Mengwi. Memakai gelungan yang hiasan bunganya terbuat dari kulit dan muluk babi. Memakai badong (kalung) terbuat dari urutan babi. Memegang senjata berbilah terbuat dari adonan sate yang dipanggang diatas bara api. Rias muka hanya dicoleki pamor pada pipi dan gecek putih pada pelipis dan disela alis, memberi kesan tokoh ini sebagai mahluk misteri seperti wong samar. Menggunakan iringan dari peniruan bunyi gamelan dinyanyikan dengan mulut, sebagai iringannya. Proses Sakralisasi Dalam dunia kesenian sakralisasi merupakan hal yang sangat penting utamanya kepada pelaku seni (seniman). Disamping benda-benda properti tari dalam tarian upacara (gelungan, tombak, dan properti lainnya) yang diperlakukan dengan penuh rasa syujud dan hormat, diyakini memiliki kekuatan magis; menuntut seniman pelakunya juga mengutamakan kesucian diri dengan upacara-upacara tertentu. Upacara pawintenan baik yang berupa pawintenan saraswati, pawintenan wiguna, maupun pawintenan gede, adalah bentuk upacara penyucian diri yang sepatutnya tidak diabaikan ketika diberikan kesempatan untuk ngayah “nyolahang” benda-benda sakral yang dihormati masyarakat pangemongnya. Lain lagi halnya pada penari yang memang dipilih secara niskala (kecatri) sebagai penari sakral (seperti Sanghyang). Ada beberapa unsur yang menjadikan suatu dalam berkesenian bisa dikatakan sakral:
• Terwujudnya suatu benda atribut kesenian sakral adalah melalui proses sakralisasi. Ketika akan dibuat Barong dan Rangda sesungsungan; sejak pengambilan kayu (ngepel) dari pohon pule hidup, sampai dikerjakannya pembentukan rupa/wujud barong/rangda, jiwa dan roh dari kehidupan kayu dijaga dengan cara melakukan ritual. Selanjutnya dilakukan upacara pemlaspas, memakuh, ngeratep, dan upacara mapasupati adalah juga bertujuan untuk menyatukan unsur-unsur yang membentuk figur yang baru dibuat, menjadi satu kesatuan yang hidup. Upacara “ngereh” juga sering disebut masucian dilakukan di kuburan pada tengah malam sebagai sebuah upacara papintonan guna mendapatkan kekuatan gaib yang berstana dalam figur barong/rangda tersebut. • Adanya kekuatan magis yang sulit untuk dideskripsikan melalui akal sehat, tentang adanya benda-benda yang memiliki kekuatan supra natural, gaib, berupa kekuatan yang dimiliki sacara natural dari kemunculan sebuah benda (keris bertuah, permata, dan benda-benda lainnya). • Adanya upacara “pasupati” permohonan kekuatan dari Sanghyang Siwa Pasupati untuk dianugrahkan kekuatan energi positif, sehingga tampilan penari mampu memukau masyarakat pemirsanya. • Pembentukan kesenian untuk tujuan persembahan di desa yang dirancang untuk ditampilkan pada upacara penting di sebuah pura misalnya: sejak dimulainya latihan (paurukan) dilakukan sembahyang bersama dengan memilih hari baik (dewasa ayu). Dilanjutkan dengan latihan-latihan (makalin, nelesin). Jelang waktu untuk pentas, dilakukan upacara masakapan, mejaya-jaya, memohon kekuatan karisma penampilan yang memukau (taksu); baru kemudian dilakukan pentas perdana (ngebah). Demikian kehidupan berkesenian di Bali, tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan olah fisik keterampilan menari ataupun menabuh; namun unsur kekuatan niskala baik dari permohonan kekuatan sinar suci tuhan termasuk juga dari kekutan gaib dari alam bhuta, patut disinergikan oleh si seniman saat tampilnya. Oleh karenanya dalam puja saa menghaturkan bebanten dewa yang di-stawa-kan adalah Sanghyang Wisnu Murti dan Sanghyang Kala Edan; karena keseimbangan diantara alam Dewa dengan alam Bhuta
dengan manusia (seniman) yang berposisi di tengah sebagai penyeimbang; dengan mengahaturkan sesaji dan segehan manakala setiap pertunjukan dilaksanakan. Simpulan Kendatipun dalam berkesenian domain sebuah pertunjukan dikelompokkan ke dalam dikotomi sakral profan, yang dalam keputusan seni Sakral dan Profan Bidang Tari dikelompokkan ke dalam Tari Wali, Bebali dan Balih-balihan; namun di Bali sesungguhnya kedua unsur tersebut tidak bisa absen dari keberadaanya. Dalam genre seni pertunjukan sakral unsur profan pasti ada, demikian juga sebaliknya. Hal ini tidak bisa dipungkiri dari keadaan natural kehidupan manusia dalam dirinya unsur rua-bineda melekat tidak dapat dipisahkan. Dalam berserah diri dengan mempersembahkan kemampuan diri lewat tari “ngayah memendet” dalam upacara pemendak ataupun persembahan tari pakenak di pura; gerakan goyang pinggul (ngegol) penari pendet menjadi bagian ekpresinya. Demikian juga sebaliknya betapapun karya-karya kontemporer dengan nuansa kebaharuan kekiniannya menjadi ekpresi karyanya, seniman Bali memulai dalam mengkonstruksi karyanya dengan pemilihan dewasa ayu dengan menghaturkan sesaji sepatutnya; demikian juga halnya pada saat pentasnya, ritual dengan menghaturkan upakara baik kepada kekuatan pancaran tuhan dalam memberikan karisma tampilan (taksu), demikian juga pada tempat dimana karya tersebut dipentaskan, tidak luput dari sentuhan religiusitas. Demikian kedua unsur ini saling melengkapi, walau patut disadari bahwa domain utama peruntukannya akan lebih menonjol pada salah satu diantara keduanya. Dalam konsepsi rua bineda, bahwa sifat yang bertentangan tersebut, salah satunya tidak bakalan ada tanpa kehadiran dari lawan lainnya. Kedua sifat ini akan hadir berdampingan, namun dengan penuh kesadaran mempertimbangkan secara logika, etika, dan estetikanya, mutlak menjadi kepedulian dan perhatian bersama. Dengan demikian kesenian sakral seyogyanya didudukkan pada proforsinya, sehingga srada bakti dalam pendakian pencapaian puncak petitis beragama menjadi lebih mantap dan memuaskan adanya.
Saran Mengingat pertunjukan seperti Joged Pingitan dan Baris upacara yang berkaitan erat dengan keberadaan benda-benda sakral yang menjadi bagiannya dari kearifan lokalnya, menjadi penting bila usaha pelestarian dengan memberi kesempatan pembinaan untuk tujuan kualitas tampilan secara estetik lebih mendapat perhatian dari seluruh komponen masyarakat, utamanya masyarakat setempat yang memiliki tradisi dimaksud. Memberikan pelatihan berupa workshop/pembinaan kepada generasi penerus yang memiliki tarian sakral sangat penting dilakukan, secara berkelanjutan. Menyerap kemampuan teknis dari maestro tua kesenian langka, sehingga kehilangan nara sumber dari seniman sepuh dapat dihindari. Mengingat usia sesorang sangat misteri, terutama pada para tokoh yang sudah semakin usur karena perjalanan waktu, seyogyanya menjadi skala prioritas untuk segera diadakan pencatatan dan pelatihan langsung dari sumber ahlinya; sebelum terlambat. Pendokumentasian secara lengkap dan utuh dalam bentuk archive digital (video falsh disk format, dvd, audio rekording) sangat urgen dilaksanakan. Penyebaran luasan copynya, seyogyanya dimiliki oleh sekaa yang berkompeten, lembaga pendidikan formal kesenian dan kantor-kantor pemerintah terkait, sehingga memudahkan dalam merevitalisasi bila regenerasi kesenian sakral seperti itu perlu direkonstruksi kembali nantinya. Pemberdayaan kegiatan pesraman desa untuk mencetak generasi pelanjut dengan tradisi yang menjadi kelebihan dari satu desa, seyogyanya mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten/Kota, termasuk juga menjadi tanggung jawab pemerintah Provinsi, akan pengembangan potensi desa pelanjut tradisi bersangkutan, bekerjasama dengan seniman akademis, yang kiranya mampu menjembatani pembinaan seperti itu. Denpasar, 25 Nopember 2014
Referensi Bandem, I Made. 1976. The Baris Dance. Denpasar: Serbaguna Press. ______________, 1996. Evolusi Tari Bali. Denpasar: Pustaka Budaya Bandem, I Made and Fredrick Eugene deBoer. 1981. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Catra, I Nyoman. Imba Penopengan Sidakarya. Denpasar: UPTD Taman Budaya Denpasar, Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Bali. Dibia, I Wayan dkk. Tari Wali: Sanghyang, Rejang, Baris. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Dibia, I Wayan and Rucina Ballinger. 2004. Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali. Tokyo: Periplus. Dibia, I Wayan. 2012. Ilen-ilen Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Bali Mangsi/ Yayasan Wayan Geria. Djelantik. A.A.M. 1992. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I: Estetika Instrumental. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Panitia Seminar Seni Sakral dan Seni Provan Bidang Tari. 1971. “Seminar Seni Sacral dan Provan Bidang Tari”. Denpasar: Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudajaan Daerah Bali. Sutrisno, Muji. 2005. Teks-teks Kunci Estetika Filsafat Seni.Yogyakarta: Galangpress. Warna, I Wayan ( Ketua Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia). 1990. Kamus Bali – Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali.
Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang
NILAI SAKRAL DALAM JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA Oleh: Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang OM SWASTYASTU, OM AWIGHNAMASTU NAMO SIDDHAM,
I. PENGANTAR Penulisan makalah ini sangatlah terbatas, karena obyek yang diobservasi juga sangat terbatas, sehingga tentu memiliki banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan. Keterbatasan itu disebabkan karena demikian banyaknya obyek yang harus dikaji dan terbatasnya waktu yang ada. Penambahan oleh para pihak termasuk peserta Sarasehan dan Loka Karya Joged Pingitan dan Baris Upacara, tentu akan menyempurnakan bahan ini, guna dipergunakan sebagai bahan pengetahuan dan acuan di masa yang akan datang. Penulisan ini, bertujuan untuk mengungkapkan aspek kesakralan tari Joged Pingitan dan Baris Upacara guna merevitalisasi untuk selanjutnya melestarikannya. Observasi hanya di beberapa desa bermakna untuk menunjukkan bukti bukti kesakralan yang ada.
II. BALI YANG HINDU NAN SUCI Bahwa sesungguhnyalah Bali ini dibangun, dikembangkan dan dipelihara atas dasar KESUCIAN. Dasar-dasar kesucian itu ditanamkan oleh para Maharesi – para pendeta di masa lalu, bahkan sebelum kedatangan Maharesi Rsi Markandeya, diikuti Sang Kulputih, Sang Panca Titha : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah, selanjutnya Danghyang Siddhimantra, Danghyang Bang Manik Angkeran, diikuti pula oleh Danghyang Dwijendra dan Danghyang Astapaka. Tiga di antara beliau yakni Rsi Markandeya, Mpu Kuturan dan Danghyang Dwijendra merupakan mahapandita yang tercatat dalam tinta emasnya peradaban Bali menuntun masyarakat menuju kesejahteraan kehidupannya dari masa yang lalu sampai sekarang ini.
Bali sendiri dipagari oleh ribuan pura nan suci yang tersebar di seluruh penjuru – pelosok pulau. DESA ADATlah yang menjadi benteng kesucian ini, yang menjaga identitas Ke-Bali-an yang Hindu ini sejak berabad-abad yang lalu. Desa adat ( desa pakraman ) yang memiliki khasanah kearifan lokal ala Hindu - Bali ( termasuk Seni Budayanya) inilah yang membuat Pulau Bali kokoh seperti sekarang. Pengalaman PORAK PORANDANYA dan dibumi-hanguskannya Ke-Hinduan di Pulau Jawa membuat para leluhur orang Bali menerapkan suatu sistem sosial kemasyarakatan yang religius, kukuh kuat dengan sari-patinya Hindu di dalam desa-desa yang dikenal sekarang dengan desa adat ( desa pakraman ). Puja para pandita / pendeta dan para pinandita setiap waktu di desa-desa adat ( pakraman ) di dalam berbagai yadnya, sekarang ini menjaga kesucian Bali. Demikian juga puja Surya Sewana yang dilakukan oleh ratusan pendeta setiap hari saat sang mentari di ufuk timur di desa - desa adat ( desa pakraman ) ini, senantiasa memelihara kesucian Bali yang SANTI – Bali yang damai dengan kesejahteraan masyarakatnya. Tidak bisa dipungkiri, desa adat ( desa pakraman ) telah dibentuk, dikembangkan dan dipelihara didasari Satyam, Siwam, Sundaram (kebenaran, kesucian dan keindahan). Bilamana kembali mengkaji KESUCIAN BALI, akan didapati sejumlah tonggak Kesucian Bali yang dipancangkan oleh para Mahapandita terdahulu, antara lain : • Penanaman Panca Datu di Basukian, Besakih oleh Rsi Markandeya • Pemakaian TIRTHA – air suci sebagai sarana utama kesucian sehingga agama Hindu di Bali pernah dikenal juga sebagai Agama Tirta • Pemakaian sarana bebali / banten/ wali / upakara dalam Panca Maha Yadnya, besar ataupun yang berskala kecil, • Khusus CARU (terlebih menjelang Hari Raya Nyepi ) untuk menyeimbangkan kehidupan dan menjaga kesucian wilayah desa adat ( desa pakraman ) • Ribuan Pura di Bali dengan Mandalanya : Utama Mandala ( Jeroan), Madya Mandala ( Jaba Tengah dan Nista Mandala ( Jabaan). • Ulu x teben, suci x leteh, nirmala x mala, sukla x ten sukla, pura dan paumahan x setra, bresih x cuntaka
• Tri Kaya Parisuddha (sikap bersuci perbuatan, perkataan dan pikiran). • Welaka – Dwijati; Welaka - Pamangku • Puja para pandita tatkala Nyurya Sewana, puja-puja para pandita dalam berbagai kumpulan Puja Stawa seperti Weda Parikrama, Argha Patra, Puja Siwa, Wedha Budha, Purwa Bumi Kemulan, Kusumadewa dll • Puja Tri Sandhya yang dilakukan setiap hari oleh umat Hindu • Adanya seni sakral yang mencakup berbagai macam cabang kesenian KESUCIAN BALI adalah menyangkut kebenaran dan hal itu menjadi PRINSIP bagi ajegnya Bali, seperti dinyatakan dalam beberapa sloka seperti di bawah ini : SLOKANTARA SLOKA 1 (1) Brahmano wa manusyanam adityo wapi tejasam, Siro wa sarwagatresu dharmesu satyam uttanam, ARTINYA Pada manusia, brahmanalah yang tertinggi, Seperti halnya matahari di kalangan sumber cahaya, Demikian pulalah kebenaran ( satya ) merupakan Dharma (kewajiban ) yang paling utama Hal yang sama tertuang dalam SARASAMUSCHAYA, sloka 130 Yan ring janma manusa, brahmana sira lewih Kunang yan ring teja, Sanghyang Aditya sira lewih; Yan ring awajawa nang pani padadi, hulu ikang wisesa; Yapwan ring dharma nghing kasatyan wisesa SLOKA 9 (83) Apadgato pi dosajno dharmakastram na warjayet, Saroruham yatha bhrngaschjinnpakso pi jnatibhih
ARTINYA Seorang teguh iman walaupun ia berada dalam kesusahan atau bencana besar, ia tidak akan mau melanggar ketentuan ketentuan dan nasihat-nasihat kitab suci Sama dengan kumbang yang tidak akan mau meninggalkan bunga seroja walaupun sayapnya dicabut ULASAN Orang yang teguh iman adalah orang yang mempertahankan apa yang menjadi PRINSIP seperti ditentukan oleh kitab suci, walaupun apa yang terjadi. (Dikutip dari Pokok - pokok Pikiran SABHA PUROHITA BALI berkenaan dengan wacana UU RI Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa tahun 2014 ). Sekali lagi, bahwa aspek KESUCIAN atau KESAKRALAN BALI harus dijaga dan dipelihara dengan sepenuh hati dari masa ke masa, dari generasi ke generasi karena itu menyangkut masalah PRINSIP dan KEBENARAN SEJATI termasuk di antaranya menjaga kesakralan berbagai cabang seni-budaya Hindu Bali.. (dipetik dari “ Pokok-pokok Pikiran Sabha Purohita Bali mengenai UU nomor 6 tahun 20014, tentang Desa)
III. KESENIAN SAKRAL A. ARTI KATA SAKRAL Dalam Bahasa Inggris kata sakral adalah sacred. 1. Kamus Inggris – Indonesia ( John M Echols dan Hassan Shadily) : mengungkapkan : sacred = keramat, suci, kudus 2. The Concise Oxford Dictionary (Sixth Edition, edited by JB Sykes ) : sacred : s - poetry, s- music = on religious theme
Kata sakral dilawankan biasanya dengan kata profan. Kedua istilah ini timbul dalam khasanah Kebudayaan Bali pada permulaan tahun 1970, ketika masyarakat Bali berupaya mencari dan mengklasifikasikan kesenian yang dimilikinya. Dalam Agama Hindu Bali unsur unsur sakral meliputi : 1. Kepercayaan / agama 2. Peristiwa berkaitan dengan alam spiritual ( bertanya, mohon petunjuk alam niskala ) 3. Sarana upacara – upakara dengan pelaksanaannya 4. Ritual dengan mantra-japa –mudra 5. Mitos yang memberi landasan rasional bagi pelaksanaan ritual. Potensi naratif mitosnya banyak berperan sebagai bibit unggul bagi timbulnya seni pertunjukan 6. Lebih menekankan pada motivasi ngayah dari motivasi lainnya (ekonomi) 7. Fungsi ritual lebih penting dari pada fungsi hiburan Sementara itu ada tiga konteks yang terkait dengan kesakralan dalam kegiatan Agama Hindu Bali : 1. Dalam konteks ruang, potensi kesakralannya cenderung mengarah dan berada sekitar ruang suci, keramat, tenget / angker, dalam waktu waktu transisisi 2. Dalam konteks waktu, potensi saktral biasanya mengikuti sirkulasi sasih, wewaran 3. Dalam, konteks peristiwa atau proses kegiatan yang sarat nilai ritual seperti dalam pembuatan barong, gamelan, juga menari. Nama barong swari, telek, topeng bang, dalang samirana terdapat dalam lontar Purwagama / Siwagama dan Cudamani. Juga dalam plutuk bebanten dalam kaitan dengan upakara tertentu untuk seni tertentu.
B. KESENIAN SAKRAL PADA UMUMNYA Dalam Agama Hindu dikenal adanya Catur Marga : Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Marga. Dua yang pertama yakni Bhakti dan Karma Marga yang dalam pelaksanaanya disebut sebagai Karma Skandha inilah yang paling gampang dilaksanakan. Sedangkan Jnana Marga dan Raja Marga yang disatukan menjadi Jnana Skandha tergolong pelik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena memerlukan kematangan jiwa seseorang. Para seniman di Bali melakukan kedua marga : Bhakti dan Karma Marga ini dengan caranya sendiri. Seraya melakukan Bhakti Marga dia juga sekaligus melakukan Karma Marga yakni dengan bekerja atau berkarya. Dan Karyanya itu diperuntukkan bagi Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Bhatara-i Sungsungannya. Mereka itu berkarya dengan sungguh-sungguh dan segenap hati yang di masa yang baru lewat senantiasa dilakukan diawali dengan doa – puja dan puji dan / atau diimbuhi dengan upakara. Hal ini dilakukan dengan ketat, termasuk memilih waktu atau dewasa ayu yang tepat. Sehingga apa yang terjadi ? Timbullah atau terciptalah karya karya yang bagus bahkan extraordinary sebagai masterpiece – karya unggulan, dan karena itu diterima dan dipergunakan serta menjadi kebanggaan oleh masyarakat, walau sang pencipta tidak akan pernah disebut namanya alias anonim. Dari hal inilah kemudian dikenal bahwa seni itu bisa diartikan pula sebagai persembahan. Dengan melakoni pengkaryaan kesenian maka sang pelakon sekaligus ,melakukan persembahan kepadaNya. Dari sini jugalah timbul istilah taksu. Karena ada dua hal yang berperan yakni keahlian atau ketrampilan diri serta bhaktinya kepada Sanghyang Widhi. Antara kesenian dan upacara sangat tebal garis merahnya. Seyogyanya tiada satu kesenianpun di Bali yang tidak memakai sarana upakara dalam upacara, walaupun upakara itu hanyalah sebuah sesajen canang sari yang dikenal dengan sebutan asebit sari. Namun yang sangat diperlukan adalah nilai naluri bhaktinya kehadapan Sang Pencipta. Biasanya seorang seniman akan bersuserah kepadaNya seraya mengeluarkan segala kemahirannya dalam mencipta.
Para seniman bahkan sangat percaya bahwa dengan penciptaan yang tinggi sebagai persembahan yang juga bernilai tinggi akan membawanya kelak – bilamana sudah waktunya ke alam Nirwana, ke alam para Dewa, karena para Dewa di Sorga memang membutuhkan berbagai macam kesenian yang bernilai tinggi. Dalam Pustaka Sanghyang Kamahayanikan dikatakan bahwa setiap manusia hendaknya jangan sampai lalai atau tidak menaruh perhatian kepada karya jasa ( Kusala Karma) dan prilaku bijak : “ …. matangnyan haywa tatan sorambhaka ta ring kusala karma, mwang angingking parartha“ (SH Kamahayanikan IV,22). Kalau ditelurusi dengan baik, maka banyak dari seniman kita yang kemudian mencipta dengan baik setelah mencapai tingkatan yogiswara atau pendeta. Atau paling tidak, banyak pendeta yang memberikan bimbingan kepada para seniman dalam berkarya. Karena pendeta seperti itu telah memasuki moksha skandha atau moksha karma, telah sarat dengan ilmu kebhatinan ke-nissreyasa-an, sehingga dari pemikiran jnana beliau mengalir deras nan suci : ciptaan-ciptaan termasuk ciptaan dalam hal kesenian. Simak misalnya para Mpu dengan ciptaan Kekawinnya yang tersohor: Mpu Kanwa (Arjuna Wiwaha ), Mpu Tantular (Sutasoma), Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (Bharatayudha). Tidak mustahil, banyak para pendeta yang menciptakan tari-tarian, namun tidak tercatat dalam sejarah tari kita. Sebenarnyalah kalau ditilik, pemisahan Seni Sakral dan Seni Profan itu senyatanya sulit, untuk kasus di Bali. Kalau kita melihat ke belakang, sangat mungkin berbagai kesenian itu muncul karena kreativitas masyarakat senimannya. Berbagai macam kesenian ada terlebih dahulu. Namun ketika berbagai macam kesenian itu diselaraskan dengan teori yang ada seperti sakral dan profan, tentu terjadi kesulitan. Karena kenyataan ada kesenian yang bisa dikategorikan sebagai sakral di satu tempat namun di tempat lain justru profan. Hal lain, sebuah kesenian dengan nama yang sama, bisa jadi merupakan kesenian sakral di satu tempat, tapi di tempat lain dia berbau profan. Lain lagi yang terakhir, di satu tempat bisa jadi kesenian sakral dan profan bendanya sama.
Sebagai contoih dapat diungkapkan tari Joged di satu desa dipentaskan sakral, namun di tempat lain menjadi tari hiburan semata. Demikian juga dengan tari Rejang. Kasus yang cukup menggelitik untuk diingat adalah ketika munculnya kesenian barong untuk wisata, padahal sebelumnya pementasan barong (dan rangda ) sangatlah sakral. Hal sama terjadi dalam hal tari Sanghyang ( Jaran) dan Tektekan. Adalah Listibiya yang memberikan uluran tangan, bagaimana memisahkan seni sakral dengan seni profan sebagai pertunjukan wisata. Dengan adanya pertemuan dan diskusi mencermati klasifikasi Seni Sakral dan Profan ini dalam suatu Seminar di tahun 1971, maka budayawan Bali kemudian memilah atas 3 macam kesenian : Wali, Bebali dan Balih-balihan. Hal ini tentu sangat cerdas. Sebelum masuk ke masalah Kesenian Sakral, ada baiknya - sebagai pengetahuan perlu disimak klasifikasi kesenian, guna memperjelas peta posisi seni sakral, khususnya seni pertunjukan dan lebih khusus lagi Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara. 1. Menurut Jenisnya : a. Seni Rupa : seni lukis, seni ukir, seni patung, seni grafis, seni dekoratif b. Seni Pertunjukan : seni tari, seni karawitan, seni padalangan / pawayangan, seni teater / drama, seni musik c. Seni sastra : ceritera, prosa, puisi ( termasuk di dalamnya : kekawin, kidung, geguritan dls) d. Seni Kerajinan : keramik, logam, songket, batik, kulit, anyamanyaman dls 2. Menurut Wujud / Bentuk : a. Seni Murni b. Seni Terapan 3. Menurut Sifat Fungsinya : a. Seni Sakral b. Seni Non Sakral / Profan / Sekuler
4. Menurut ruang lingkupnya a. Seni Universal (( Seni Murni, Seni Serius, Seni Santai, Seni Garapan Sesaat / Kontemporer, Seni Pergaulan ) b. Seni khas / khusus 5. Menurut Isinya : a. Tema perkembangan kejiwaan manusia b. Tema drama kehidupan mahluk Tuhan c. Tema mengenai alam Berbicara mengenai sakral dan tidak sakral sangatlah kompleks. Ia bisa terkait ke sana ke mari di satu pihak, sementara di lain pihak dia saling bertolak satu sama lainnya. Sangat-sangat kompleks dan sering membingungkan complicated. Namun yang paling sering yang memberikan dampak langsung adalah keterkaitan seni dengan masalah upacara keagamaan yang bernilai suci dan magis dan karenanya sekaligus sakral. Kesakralan seni itu bisa terlihat dalam aspek aspek berikut, yang satu sama lainnya terpadu satu dan dua atau sekaligus semuanya : 1. Fungsi (wali, bebali, balih-balihan) 2. Bentuk (pralinga, pratima, patung bentuk dewa atau palawat) 3. Isi / tema ( tentang Dewa-dewa, tentang mahluk, tentang manusia, tentang alam) 4. Proses (upacara dan upakara pamlaspas, pasupati dls) 5. Tempat ( berada di pura atau tempat suci lainnya) 6. Waktu ( sandikala, saat rerahinan ( purnama tilem, anggara kasih, tumpek, buda cemeng dls, hari baik / dewasa penyucian) 7. Gerak ( mudra ) 8. Busana (poleng, poleng sudamala) 9. Alat / aksesori / properti ( panawasangaan, pangawin dls ) Namun bila dicermati, maka kebanyakan cabang seni di Bali terkait erat dengan kesucian atau kesakralan. Sekalipun dia misalnya terkelompok dalam balih-balihan. Pasti kelompok ini “harus berurusan jua dengan upacara dan upakara sekecil apapun”. Kesemuanya cabang seni itu memiliki keterkaitan dengan aspek sakralisasi, sekali lagi mengingat Bali adalah pulau atau kawasan yang suci.
Misal kesenian sakral di masing-masing cabang : 1. Seni Sastra : berbagai lontar terkait dengan hal-hal yang suci. Klasifikasi lontar : a. Weda ( weda, mantra, kalpasastra ); b. Agama (palakreta, sasana dan agama ); c. Wariga ( wariga, tutur, kanda dan usada ); d. Itihasa ( parwa, kakawin, kidung, geguritan ); babad ( pamancangah, usana, uwug / rereg/ rusak ); Tantri ( tantri, satua). 2. Seni Rupa : a. Seni Lukis : parba di pura / pamerajan b. Seni Patung : patung-patung di pura 3. Seni Bangunan : bade / wadah untuk pitra yadnya 4. Seni Arsitektur : berbagai bangunan di pura, 5. Seni Suara : pelantunan kakawin, kidung Yadnya 6. Seni Pertunjukan : a. Seni Karawitan : tabuh-tabuh sakral b. Seni Tari : Tari Wali dan Bebali ( dari klasifikasi : wali, bebali dan balih-balihan) PROSES SAKRALISASI Proses ritual atau sakralisasi kesenian di Bali wajib dilaksanakan, agar kesenian itu memberi tuah. Namun proses ini dari desa ke desa lainnya acap kali berbeda baik kronologi upacaranya ataupun bentuk upakaranya. Hal ini lajim berlaku mengingat adanya peristilahan : desa mawa cara. Di lain pihak juga ada peristilahan 4 tradisi Catur Dresta : Sastra Dresta, Kuna Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta. Sangat bervariatif bisa jadi. Namun pada pokoknya, sakralisasi itu meliputi : 1. Tujuannya : adalah agar benda yang bersangkutan mendapatkan kesucian utamanya secara niskala dan karena itu bisa dipergunakan dalam rangka kebutuhan berKetuhanan. Berikutnya agar benda tersebut memiliki “jiwa”. 2. Sarana : upakara seperti Byakaonan, Prayascita – Durmanggala, Pamlaspas, Pamasupati, Sambutan Pangulapan, Pasakapan ( kepada bendanya ) dan Pawintenan (bagi manusianya – penarinya atau pelaku seni yang lainnya) 3. Pelaksanaannya : Pajati (kpd Ida Bhatara Sungsungan), Nuwasen (bilamana berlangsung lama dan besar), Pamlaspasan , Sambutan dls
C. SENI PERTUNJUKAN TARI YANG SAKRAL Sementara itu Seni Tari sendiri menurut Soedarsono terdiri dari : 1. Menurut pola garapan : a. Tradisional ( berdasar pola tradisi ) terdiri dari : • Tari Sederhana / Primitif • Tari Rakyat • Tari Klasik b. Kreasi Baru ( bertumpu pada pola kekebasan) 2. Menurut Fungsinya : a. Tari Upacara Agama dan Adat b. Tari Pergaulan / bergembira c. Tari Pertunjukan Menurut hasil Seminar Seni Sakral dan Profan, 1971 : 1. Tari Wali ( merupakan bagian dari upacara agama) (foto bawah : Tari Siddhakarya) 2. Tari Bebali ( pendukung upacara) 3. Tari Balih-balihan ( tontonan / hiburan)
Tari Wali Topeng Siddhakarya, salah satu bentuk Tari Sakral.
Aspek yang terkandung dalam Seni Tari khususnya yang bersifat sakral adalah unsur fisiknya dan unsur spiritualnya. Kedua hal inilah yang seyogyanya mendapatkan perhatian untuk dilakukan pembinaan dalam rangka pelestariannya. D. NILAI SAKRAL DALAM JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA Berbicara mengenai Joged Pingitan dan Baris Upacara demikian kompleksnya. Mesti ada penelitian dan observasi khusus. Untuk Joged Pingitan, dilihat dari bentuk tariannya ada yang sama seperti Joged Udegan dls, Gandrung. Dari status dan fungsinya ada yang berbeda beda. Ada yang Wali atau merupakan bagian dari pertunjukan dan ada yang Bebali atau pendukung upacara, dan mungkin saja ada yang hanya balih-balihan. Untuk Baris juga demikian dari bentuknya, dari namanya dan statusnya. Sangat beragam. Tapi ada yang bisa ditarik benang merahnya. E. JOGED PINGITAN (Observasi di Desa Pakraman Tegenungan, Kemenuh, Gianyar) Joged Pingitan, seyogyanya merupakan tari wali seperti yang ada di Desa Pakraman Tegenungan, Kemenuh, Gianyar. Karena pingit itu sendiri berarti angker, ( Kamus Bali – Indonesia oleh Sri Reshi Ananda Kusuma). Namun dari observasi yang dilakukan oleh I Wayan Suarya ( Makalah dalam Diskusi Eksperimentasi Gelar Komponis Muda dan Joged Pingitan, 19 Desember 1995) disimpulkan bahwa Joged Pingitan adalah salah satu tari Bali tradisional yang berfungsi sebagai tari pergaulan dan juga sebagai penunjang upacara. Suarya juga mengatakan bahwa dengan bentuk yang sama ada perbedaan nama untuk Joged Pingitan di Sukawati, Joged Udegan di Tegalalang, Gandrung di daerah Denpasar, Joged Tongkokan di Mengwi dls. Bahkan kemudian ada bermunculan nama-nama seperti Tari Leko di desa Tunjuk, Tabanan, Gandrung di Ungasan, Joged Gudegan di Sibang Gede dan Joged Bisama di Banjar Bongan Jawa, Tabanan. 1. NILAI SAKRAL Nilai sakral Joged Pingitan di desa Tegenungan telah terbukti dari masa ke
masa . Karena peragaan tari ini merupakan representasi dari Ida Bhatara Ratu Mas Magelung. Ida Bhatari yang disungsung seluruh masyarakat desa pakraman tersebut dipercaya telah memberikan kesejahteraan. Bukti-bukti anugrah yang diberikan oleh Ida Bhatari melalui pementasan Joged Pingitan itu sangatlah nyata. Menurut Dewa Putu Yasa – Bendesa Desa Pakraman Tegenungan, sejauh ini keadaan desanya cukup sejahtera. Ketika ditanya apakah Joged Pingitan itu pernah digelar atau dipentaskan saat ada bencana, sang Bendesa dengan lugas menjawab : “ Gumi deriki landuh” ( Keadaan desa ini makmur ). Tidak pernah terkena bencana. Karena kami senantiasa nedunang Ida pada waktunya, sehingga desa kami tidak pernah kena bencana. Namun, mereka yang menentang atau maboya terkena bencana.“ Suatu saat, sekaa Joged Pingitan di desa itu ditunjuk untuk mengadakan pementasan di Taman Budaya, Denpasar. Tukang kendang dan anaknya sebagai penabuh - pangugal tidak mau ikut dan mengatakan : “ Saya akan sakit saat itu”. Yang terjadi kemudian satu keluarga itu memang sakit beneran. Sehingga saat ini tidak seorangpun anggota masyarakat di sana pariboya atau ingkar. Simbol Ida Bhatara adalah gelungan yang dipakai penari saat pentas. Gelungan ini disimpan di dalam kotak yang kemudian ditempatkan di Bale Pangaruman, Pura Dalem Desa Pakraman Tegenungan. Ida Bhatara masolah dalam bentuk Joged pingitan dimulai Kajeng Kliwon pada Sasih Kalima (bulan Nopember) , sampai dengan Tilem Kaulu (Pebruari), dan diselenggarakan setiap Kajeng Kliwon. Di samping tiu diselenggarakan saat ada upacara-upacara Piodalan atau wali di Kahyangan Tiga dan Kahyangan sungsungan desa seperti Pura Merta Jiwa di Air Terjun Tegenungan dan di Pura Crangcang Kawat. 2. UPAKARA Saat nedunang Ida untuk masolah ke tempat pertunjukan, Ida katuran Labaan saja sementara di tempat masolah berupa upakara kalangan. Jadi upakara tidaklah terlalu besar. Upacara sedikit besar saat ada perbaikan. Tahun 2012 gelungan dimaksud dicat oleh seorang yang sudah biasa mengerjakan yang melakukannya tanpa minta bayaran. Setelah itu
dipelaspas oleh Ida Pedanda Gede Putra Manuaba dari Desa Blangsinga. Upakara yang diperlukan hanyalah upakara pabersihan seperti Pabyakaonan, Prayascita Durmanggala, Pamlaspas, Pamasupatian dan sambutan, seperti disampaikan oleh Ida Pedanda. 3. BUSANA Busana yang dikenakan adalah busana seperti legong keraton dengan baju berwarna putih. Gelungan yang dikenakan sangatlah sakral karena merupakan representasi Ida Bhatari. Kapan gelungan itu ada ? Tidak ada yang tahu. “ Napet, gelungan itu sudah ada. Demikian juga orang tua., kakek saya juga demikian. Sudah ada secara turun temurun”, kata Dewa Putu Yasa, Bendesa Tegenungan. Gelungan dihiasi dengan bunga. 4. PENARI Tiap kali pertunjukan ada 2 penari secara bergantian. Mereka ditunjuk dari 10 orang remaja putri daa bunga yang dipilih dari 83 KK penduduk Desa Pakraman tersebut. Penunjukan masolah atau ngayah ditentukan oleh Bendesa Adat, dan tidak ada yang menolak kecuali ybs ada berada dalam keadaan halangan misalnya datang bulan. 5. TARIAN Tarian diiringi oleh Rindik. Penari dilatih oleh seniornya. Sebelumnya dilatih oleh Ibu Ketut Cenik (almarhum) dari Batuan selama beberapa bulan setiap libur selama kurang lebih 2 jam setiap kali latihan. 6. TEMA PERTUNJUKAN Bisa mengambil tari tertentu atau kemudian dengan lakon Calonarang. Saat nyalonarang ada sandaran 7. NGIBING : Para pengibing bebas, siapa saja. Yang jelas mereka harus bisa menari. 8. GAMELAN Gamelan pengiring adalah rindik, yang semuanya dari bambu. Tidak ada upakara khusus untuk gamelan ini. Tabuh,yang dimiliki lumayan banyak.
9. TIDAK BOLEH BAWA “BEKEL” Kemungkinan ada kekawatiran dari orang tua sang penari saat penari Joged Pingitan pentas di luar Desa Pakraman Tegenungan. Untuk itu, bisa jadi si orang tua memberi bekal kepada si penari saat pertunjukan seperti penolak bala. Apa yang terjadi kemudian ? Sang penari pingsan di kalangan. Kekawatiran si orang tua, tentu perwujudan dari kesangsian akan kekuatan Ida Bhatari yang malingga pada sang penari. Itu sebabnya yang bersangkutan mendapatkan hukumannya. Pengalaman itu memberikan pelajaran kepada semua orang, bahwa Joged ini memang pingit, lingga Ida Bhatara, sehingga memang tidak perlu mempergunakan bekel penolak bala. Serahkan kepada Ida Bhatari. Ida Bhatari yang akan melindungi, karena Ida Bhatari sendiri yang masolah. Ketika ada barang asing pada diri si penari, tentu Ida Bhatari tidak berkenan. 10. SARANA PENYEMBUHAN Yang unik, adalah adanya kepercayaan, bahwa anggota masyarakat sangat percaya kalau Ida Bhatari melalui penari ini bisa menyembuhkan penyakit. Penyakit apa saja. Untuk itu sang sakit atau keluarganya bisa ber“obat” hanya dengan memohon bunga kamboja yang ada di gelungan sang penari. Yang unik lagi, bunga itu tidak boleh diambil dengan tangan, namun hanya dengan bibir, karena menjamah dengan tangan tentu dianggap kotor, mengingat gelungan itu sangat di sakralkan, sangat disucikan. Kalau sudah sembuh, tentu, si sakit atau keluarga menyampaikan terimakasih dengan maturan ke Pura Dalem, diantarkan oleh Pamangku atau Jan Bangul Pura Dalem. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Joged Pingitan merupakan tari Wali dan pingitan disini berarti angker, yang tidak boleh dianggap remeh oleh masyarakat pengemponnya karena merupakan representasi dari Ida Bhatara sungsungan mereka.
F. BARIS UPACARA Dalam pergelarannya, masyarakat Bali mengenal 3 jenis baris yakni : Baris Tunggal (kemudian juga Baris Bandana Yudha), Baris Malampahan dan Baris Upacara. Ada lebih dari 30 jenis baris upacara diluar Baris Tunggal dan Baris Bandana Yudha yang merupakan baris non upacara. Baris Upacara itu terdiri dari : Baris Bajra, Baris Bandrangan, Baris Bedil, Baris Bedug, Baris Cekuntil, Baris Cendek, Baris Cerekuak, Baris Cina, Baris Dapdap, Baris Demang, Baris Derma, Baris Gayung, Baris Gede, Baris Goak, Baris Ireng, Baris Jangkang, Baris Jojor, Baris Juntal, Baris Katekok Jago, Baris Klempa, Baris Kuning, Baris Kupu-kupu, Baris Kupu-kupu Atarung, Baris Lutung, Baris Memedi, Baris Nuri,Baris Omang, Baris Panah, Baris Pendet, Baris Poleng, Baris Presi, Baris Tamiang, Baris Taruna, Baris Tumbak. Kemudian, Agama Hindu mengajarkan agar manusia senantiasa memelihara keseimbangan dan keselarasan di Jagat Raya ini guna meraih kesejahteraan. Dan jangan lupa bentuk-bentuk keselarasan yang dibuat manusia Bali Hindu juga tertuang dalam konsep upacara korban suci yang lima atau Panca Mahayadnya: Dewa, Rsi, Pitra, Manusia dan Bhuta Yadnya, sebagai perwujudan dari Tri Rna ( hutang yang tiga: Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna). Khususnya dalam, Bhuta Yadnya manusia Bali Hindu melakukan upacara guna mencapai tujuan kesejahteraan semesta atau Bhuta Hita. Bhuta Hita ini akan tercapai bilamana manusia perduli akan Sad Kertih : persembahan kepada Hyang Parama Kawi dalam pensucian dan pelestarian enam hal : Atma Kertih, Samudra Kertih, Wana Kertih, Danu Kertih, Jagat Kertih, dan Jana Kertih (Lontar Purana Bali). Wujud penyelenggaraan upacara Panca Mahayadnya beragam jenisnya dilengkapi dengan upakaranya. Dalam penyelenggaraan Panca Yadnya inilah digelar Baris Upacara.
Sebagian baris seperti tersebut di atas diselenggarakan pada saat Dewa Yadnya, baik sebagai Wali ataupun Bebali (seperti di desa-desa Bali Aga). Ada baris yang bisa diselenggarakan pada Dewa Yadnya dan Manusa Yadnya sekaligus ( misal Baris Cina di Sanur). Ada yang diperuntukkan bagi Rsi Yadnya ( sebagian besar yang diselenggarakan untuk Dewa Yadnya bisa dipentaskan saat Upacara Madiksa, misalnya). Untuk upacara Pitra Yadnya adalah antara lain : Baris Katekok Jago, Baris Poleng, Baris Jangkang dan Baris Bedug. Sedangkan dapat diketahui bahwa penyelenggaraan Bhuta Yadnya biasanya mengiringi Yadnya yang lain. Tari Baris merupakan tarian yang melambangkan kepahlawanan masyarakat dalam membela kebenaran – Dharma. Keberadaan tari ini antara lain terungkap dalam manuskrip Usana Bali di mana dikatakan bahwa setelah kalahnya Mayadanawa – sebagai sosok Raja Bedahulu nan angkara murka yang anti Tuhan, maka Dewa Indra membangun Kahyangan di Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Kaduhuran. Setelah kahyangan itu berdiri megah, upacara dan keramaian diadakan. Para widyadari menari rejang, para widyadara menari baris dan para gandharwa menabuh gamelan. Sejak itu diceriterakan, di pura-pura diadakan tarian rejang dan baris. Di dalam Kidung Sunda yang didapatkan di Jawa Timur, digelar 7 macam Bebarisan saat upacara Sraddha, pada waktu Raja Hayamwuruk wafat.
Peragaan Tari Baris Upacara oleh I Wayan Ruma dari Desa Batur, Kintamani, Bangli. Doc. Listibiya
1. BARIS BATUR Berbicara mengenai baris upacara, tentu kebanyakan masyarakat teringat akan Baris Batur. Pertama karena Batur memiliki Pura Kahyangan Jagat yang demikian tinggi kedudukannya baik sebagai Tri Kahyangan Jagat : Besakih ( Bhatara Putrajaya / Mahadewa), Batur (Dewi Danuh), Lempuyang (Bhatara Gnijaya), maupun sebagai Tri Guna Pura – Kahyangan Tiganya Jagat Bali : Besakih ( Pura Dalem ), Batur (Pura Desa) dan Kentel Gumi (Pura Puseh). Kedua karena statusnya sebagai Kahyangan Jagat Utama, maka, segala yang terjadi di Batur akan sering dilihat dan karenanya sangat dikenal oleh masyarakat Bali, terutama masyarakat Subak, berikutnya masyarakat Desa Pakraman dan terakhir masyarakat umum yang belakangan ini, dengan transportasi semakin mudah, mereka dengan sradha bhaktinya menghaturkan pemujaan di Pura Batur. Ketiga karena Batur sendiri memiliki Danau Batur, danau terbesar di Bali, yang sangat terkenal. Keempat karena Baris upacara itu sendiri sangat unik, berbeda dengan baris non upacara seperti Baris Tunggal, Baris Bandhana Yudha misalnya. Bisa jadi Batur merupakan pusat baris, karena banyak desa-desa yang belajar tari baris tersebut ke Batur. Sementara asumsi lainnya adalah tari tari di Batur yang dipersembahkan untuk Bhatari Danu ini kemudian menjadi inti atau sari pengembangan tari baris upacara lainnya, saat mana para seniman diilmahi kemudian dengan daya ciptanya membuat jenis tarian baris lainnya. 5 BARIS DAN 1 REJANG Ada 5 baris dan 1 rejang di Desa Batur. Menurut Penuruturan Jro Gde Duuran Desa Batur, maka Baris ini merupakan bagian dari Upacara atau dikenal dengan Tari Wali. Tidak ada satupun upacara Yadnya ke Luhur tidak diikuti dengan yadnya baris, terutama terkait dengan piodalan di Pura Batur sendiri dan Pura pura Pasanakannya seperti Pura Jati , Pura Sila Rupit, Pura Taman Sari, Pura Tirta Mas Mampeh, Pura Jaba Kuta, Pura Gunarali, Pura Padang
Sila, Pura Sampian Wani dan Pura Toya Bungkah. Untuk diketahui, selain memiliki pura pasanakan, Pura Batur juga memiliki pura-pura panyanding yakni : Pura Tulukbiu, Pura Alas Arum, Pura Bukit Mentik, Pura Embah Api, Pura Petak, Pura Cempada dan Pura Panataran Pande. Kelima Baris itu adalah : Baris Jojor, Baris, Gede, Baris Bajra, Baris Presi dan Baris Dapdap. Baris Jojor semula ditarikan oleh para remaja, namun karena keterbatasan SDM, dimana para remaja diberikan tugas yang lain, maka Baris Jojor ditarikan juga oleh mereka yang sudah berkeluarga seperti baris yang lain. Karena keterbatasan orang itu pula, tidak mustahil seorang pragina baris atau Jro Baris akan merangkap menarikan dua tarian baris. Demikian sakralnya Tari Baris ini sehingga memiliki kedudukan istimewa dan untukinya dibuatkan khusus Bale Baris, seperti juga Bale Gong. Barungan gambelan yang mengiringinya adalah bebonangan. JUMLAH PENARI Penari setiap jenis baris di Batur ditentukan jumlahnya yakni : Baris Jojor 12 orang, Baris Gede 20, Baris Presi 8 orang masing masing 4 untuk penari dengan tamiang dan 4 penari dengan panah, Baris Bajra 8 orang, penari baris Dapdap 12 orang dan Rejang 20 orang. Khusus Baris Bajra kemungkinan dihubungkan dengan Ida Bhatara yang malinggih di Pura Jati, sebagai Bhagawanta di niskala yakni Ida Ratu Susunan Sakti Bujangga Lewih. Bujangga berarti pendeta. Beliau inilah yang juga disungsung di berbagai desa-desa seputar Kintamani bahkan ke bawah, di Bangli dan Gianyar, terutama di desa desa yang tidak mempergunakan wiku atau sulinggih, sebagai tempat memohon tirtha kepada beliau dalam penyelesaian upacara yadnya. UPAKARA Menyinggung tentang upakara, maka tarian baris dirangkaikan sepenuhnya dengan pelaksanaan upacara puncak. Bilamana saja upacara sudah
dimulai, pada saatnya, kesinoman akan memberi tahu Kelian Baris untuk menari setelah mendapatkan perintah dari Jero Gde Makalihan. Upakara yang diadakan adalah bhakti ka jaba atau ka lebuh dan di Bale Baris berupa sorohan. BUSANA Kalau dahulu busana baris seperti Jojor, Baris Gede dan Baris Bajra dan Baris Presi memakai gelungan semacam bancangan dengan bunga gumitir. Sementara awiran cukup dengan selendang. Tidak memakai badong tetapi memakai hiasan leher dari kulit. Sementara untuk Baris Dapdap, pakaiannya memakai saput seperti lajimnya penari topeng. GERAKAN / SIKAP MENARI Gerakan penari biasanya sangat sederhana. Bahkan nyaris dapat dikatakan gerakannya penarinya tidak menari, seperti dilihat dan ditulis kemudian dalam buku Dance and Drama in Bali oleh Walter Spies dan Beryl de Zoete (1931). Penulis buku juga mencatat, terkadang penari baris berdiam beberapa saat menatap ke depan, walau tetabuhan gambelan tetap menggema. Yang unik tentu adalah ucapan-ucapan yang keluar dari mulut sang penari mengikuti gerakan tertentu, seperti ucapan Ooooh, atau Aiiiih. Menurut Jero Gde Duuran, ucapan ini mengandung arti niskala. Para penari terdahulu menarikan baris-baris ini dengan sepenuh hati, walaupun tidak seragam benar gerakannya. Dengan gerakan yang jelas dan tegas dan dengan suara yang keras dan lantang. “ Ini membuat diri kami menjadi tergetar. Terasa merinding, bila melihat dan mendengar para penari baris ini berucap keras. Sangat bertaksu”, ucap Jro Gde Duuran dibenarkan sejumlah orang yang mendampinginya. Memang dirasakan beda dengan sekarang, karena penari sekarang terasa malu-malu dan kurang mantap menarikan baris ini, imbuh Jero Gede Duuran. Sementara itu, gerakan tarian baris ini, telah dibuatkan standarisasinya oleh Sekaa Baris di desa Sebatu, Gianyar.
2. BARIS DI BAYUNG GEDE DAN PENGLIPURAN a. SEJARAH BAYUNG GEDE DAN PENGLIPURAN Banyak sekali desa desa Bali Aga yang satu sama lain memiliki keterkaitan, baik keterkaitan sejarah maupun hanya meliputi tradisi seperti upacara. Katakanlah antara Desa Batur, Bayung Gede dan Penglipuran. Sebelum tahun 1926, Desa Batur dengan Pura Ulun Danu Baturnya berada di sebelah barat kaki Gunung Batur. Pada saat meletusnya Gunung Batur di tahun 1926, maka gunung itu memuntahkan lahar yang melanda Desa Batur, maka anggota masyarakat Desa Batur mengungsi ke Desa Bayung Gede yang berada di atas. Selama 2 tahun masyarakat Desa Batur berada di Desa Bayung Gede, selanjutnya setelah diberikan tempat oleh Dewa Agung Klungkung yakni di tempat yang disebut Karanganyar, maka barulah anngota masyarakat Desa Batur memulai hidup baru ditempat yang sekarang dinamai Desa Batur. Yang unik adalah, adanya ceritera bahwa saat pengungsian ke atas, anggota masyarakat Desa Batur tidak sempat menyelamatkan peralatan ritual Pura Batur, bahkan termasuk pratima Ida Bhatari Batur. Pada waktu itu tetua masyarakat Desa Bayung Gede, kemudian memohon kepada Ida Bhatari agar lahar yang mengalir ke bawah menuju desa Batur di bawah dapat berhenti. Hal ajaib memang terjadi, lahar itu berhenti, saat mana masyarakat Desa Bayung Gede secara beramairamai kemudian menyelamatkan peralatan Pura termasuk pralingga dan pratima Ida Bhatari dibawa ke Desa Bayuing Gede. Setelah didirikannya secara sementara Pura di Batur Karanganyar, barulah peralatan itu dibawa ke sana. Dengan demikian, memang secara historis desa Batur dengan Desa Bayung Gede memiliki keterikatan satu sama lainnya. Keterikatan itu juga terjalin dalam penyelenggaraan Upacara di Batur, termasuk pada saat upacara Pangusaban Kadasa, saat mana Baris Bayung Gede juga ikut masolah. Sebagai peninggalan disebutkan bahwa lumbung Desa Batur berada di Bayung Gede, dan antar anggota masyarakat desa Batur dan Bayung Gede
tidak boleh saling ambil mengambil. Secara lahirliah memang terasa sekali bahwa bilamana antara seorang lelaki Batur yang bertemu dengan seorang perempuan Bayung Gede atau sebaliknya, mereka tidak pernah merasakan ketertarikan satu sama alainnya. Ini sangat dirasakan oleh mereka. Selanjutnya, dalam sejarah, sebagian penduduk desa Bayung Gede kemudian berpindah ke areal baru di kawasan Bangli mendekati perkotaan yang kini dikenal dengan Desa Penglipuran. Jadi penduduk desa Penglipuran berasal dari desa Bayung Gede, sehingga tradisi di Desa Penglipuran sebagian besar sama dengan di desa Bayung Gede. Lebih lanjut, ada penduduk desa Panglipuran menuju lokasi yang sekarang bernama Desa Tida Kawan di Bangli. b. BARIS DI BAYUNG GEDE Seperti juga di Batur di desa Bayung Gede terdapat 5 baris : Baris Jojor, Baris Gede / Ageng, Baris Bajra, Baris Presi, Baris Dadap dan Rejang. Dalam urutan tarian, Baris Jojor menari pertama, bilamana para pamangku / Jero Kebayan sudah siap dalam penyelenggaraan Upacara. Bartis Jojor ditarikan oleh remaja putra dengan senjata tombak. Setelah Baris Jojor selesai ditarikan, maka keluarlah Baris Gede, juga dengan senjata tombak yang lebih panjang. Selanjutnya akan menari Baris Bajra. Seusai Baris Bajra menari, maka keluarlah Baris Presi yang terdiri dari 2 kelompok yakni yang membawa perisai atau tamiang dan yang membawa panah. Yang membawa perisai terlebih dahulu keluar, disusul yang membawa panah yang pada akhirnya terjadi perang antar dua kelompok ini. Setelah itu keluar Baris Dadap yang gerakannya jauh lebih lambat diiringi nyanyian. Setelah itu barulah Rejang yang ditarikan oleh penari daa bunga – remaja putri sebagai akhir serial tarian sacral mengiringi upacara. SEKAA / TEMPEKAN BARIS Berbeda dengan di Batur yang memiliki jumlah penari tertentu untuk setiap jenis tari baris, maka di Bayung Gede jumlah penari tidak ditetapkan, namun setiap baris ini ditarikan minimal oleh 4 orang. Sama dengan di Batur,
tiap kelompok tarian ini berada dalam satu sekaa atau tempekan, seperti juga tempekan penabuh Gong, baik Gong Gede maupun Gong Kebyar. Bilamana kelompok bersangkutan tidak bisa menarikan baris atau rejang itu dengan minimal 4 orang, yang berarti acara itu gagal, maka kelompok itu akan dikenakan sanksi, karena sudah berarti merusak upacara. Seperti di Batur, yang unik juga adalah bahwa di kompleks Pura Penataran di Bayung Gede, terdapat satu balai-balai yang disebut Bale Baris. Itu pertanda bahwa tari baris memiliki kedududkan yang istimewa di desa ini. Bilamana rangkaian upacara akan berlangsung dengan tarian baris sebagai tarian walinya, maka upakara juga dihaturkan di Bale Baris itu yakni di langgatan balai dimaksud. Penunjukan penari baris dilakukan oleh kelompok masing-masing. Dan biasanya, seperti dikatakan oleh Jro Kebayan Muncuk, secara turun temurun, ketrampilan ini terwarisi. Misalnya seorang anak atau cucu dari seorang penari Baris Gede, maka anak atau cucunya akan secara lahirlhiah mendalami tarian ini dan ikut di dalam klompok itu. Demikian juga dengan anak atau cucu sang penabuh gamelan Gong Gede. Upacara di Desa Bayung Gede berupa Pangusaban, namun diselenggarakan setelah berlangsungnya upacara Pangusaban Kadasa di Pura Batur. Ida Bhatara di Bayung Gede lunga ke Pura Batur saat upacara Pangusaban Kadasa. Beberapa hari setelah puncak karya di Batur, Baris Bayung Gede ngaturang solah, untuk selanjutnya Ida Bhatara di Bayung Gede mawali ke Bayung Gede, dihaturi pamendak untuk selanjutnya katuran Pangusaban di Pura Panataran Bayung Gede. KEUNIKAN Sejumlah keunikan yang ada di Desa Bayung Gde adalah bangunanbangunan yang ada di Pura Penataran dengan sebutan sebutannya yang khusus. Salah satunya adalah adanya bangunan yang dinamai Cang Apit – sebagai pamedal pura. Bentuk dan kedudukan ini telah diwarisi sejak dahulu dan masyarakat setempat sangat tidak berani merubahnya. Suatu saat di suatu tempat desa Bali Aga lainnya bangunan Cang Apit yang seyogyanya
ada di pura milik desa dipugar dan digantikan dengan Candi Bentar. Apa yang terjadi ? Yang menggagas perubahan itu akhirnya ditemui meninggal tenggelam di suatu waduk buatan. Karena itu, anggota masyarakat sangat takut untuk mengadakan perubahan hal-hal yang sifatnya sakral, walau banyak adanya pengaruh-pengaruh dari dunia luar dengan adanya modernisasi atau upaya penyeragaman se Bali. Dalam mengantarkan doa, para pamangku atau Jero Kebayan mempergunakan bahasa setempat serta tidak mempergunakan wiku atau sulinggih dalam berupacara. Ini tentu sesuai dengan Kuna Dresta. Keunikan lainnya adalah adanya Setra Ari-ari di hilir desa. Setiap ada orang melahirkan, maka ari-ari si bayi tidak ditanam namun dimasukkan ke dalam kelapa kemudian digantung di sebuah pohon Bungkak di setra tersebut. Tentu hal ini juga menarik wisatawan untuk melihatnya. c. BARIS DI PENGLIPURAN Desa Penglipuran, Bangli juga merupakan desa Bali Aga. Yang paling nyata dapat disaksikan adalah rumah-rumah yang berjajar dengan rapi dan seragam. Hal ini membuat desa ini menjadi obyek wisata yang terkenal. Dari keterangan Bendesa Penglipuran I Wayan Supat mengemuka banyak keunikan yang ada di desa ini. Tradisinya sangat berbeda dengan desa lainnya. Kalau di Desa Bayung Gede tidak terdapat Bendesa, maka di Desa Penglipuran ada Bendesa yang bekerja sama dengan penghulu desa yakni Jro Kebayan. Kalau masyarakat Hindu umumnya disarankan berpantang memakan daging sapi, maka hal itu tidak terjadi di Penglipuran. Karena, korban yang dilaksanakan di desa ada kebanyakan sapi (caru magodel). Semula di Penglipuran, sama dengan di Batur dan Bayung Gede ada 5 baris : Jojor, Baris Gede, Baris Bajra, Baris Presi, Baris Dapdap dan Rejang. Namun dalam perkembangannya kemudian tarian Baris Dapdap “diminta” oleh krama desa Alis Bintang, karenanya setiap ada upacara dengan baris,
maka tarian Baris Dapdap didatangkan dari desa tersebut. Memang dalam penyelenggaran upacara tradisi, Desa Penglipuran didukung penuh oleh 23 desa-desa lain yang disebut dengan desa-desa bebanuan. Tahapan berikutnya, untuk Baris Gede yang mempergunakan senjata tombak kemudian diganti dengan bedil, sehingga sekarang yang ada adalah Baris Bedil Hampir sama dengan di Batur dan Bayung Gede, pementasan tarian baris ini juga dilaksanakan pada saat piodalan di Pura-pura sungsungan desa seperti Pura Penataran, Pura Puseh, Pura Pelapuan atau Pura Dalem Gede dan Pura Dalem Pingit sebagai Pura Prajapati, dengan urutan upacara dan bentuk upakara yang sama. Masyarakat yang berjumlah 236 KK, juga memiliki tempeken atau sekaa baris secara khusus, serta adanya Bale Baris di Pura Penataran. Salah satu keunikan di desa ini adalah adanya Pura Prajapati yang disebut dengan Pura Dalem Pingit terletak di barat daya desa. Kuburan desa berada di dekat pura ini, dan posisi penguburan juga berorientasi ke barat daya (kepala di bagian barat daya). Seperti di desa-desa Bali Aga, tidak ada pembakaran mayat. Pangabenan diadakan dengan bea tanem, mengubur mayat namun tetap dengan upakara Pangabenan. Mayat lelaki dikubur menelungkup sedangkan yang wanita menengadah. Kuburan petinggi desa seperti para Jero Kebayan yang meninggal, dikuburkan lebih ke hulu, mendekati pura ini. Kuburan tidak memakai gegumuk seperti di desa lain, namjun rata denghan tanah, karena palinggih Ida Bhatara di Pura Dalem Pingit adalah Mertiwi, rata dengan tanah, hanya ditandai dengan batu. Agar kuburan tidak lebih tinggi dari palinggih Ida Bhatara, maka kuburan rata dengan tanah. Sejumlah upacara Pitra Yadnya disini dari Pangabenan sampai Mamukur sangatlah unik berbeda dengan desa-desa Bali lainnya. .
3. BARIS DI TEMPAT LAIN 1) CATATAN WALTER SPIES DAN BERYL DE ZOETE DALAM DANCE & DRAMA IN BALI Walter Spies dan Beryl de Zoete dalam bukunya Dance & Drama in Bali yang diterbitkan tahun 1931, menyebutkan beberapa hal mengenai tari baris upacara. Hal ini perlu dikutip untuk memberikan gambaran selintas mengenai keberadaan tari baris upacara di masa hampir seabad yang lalu. Catatan yang dibuat : a. Di Sukawana dipentaskan saat piodalan di Pura Bale Agung berturut turut : Baris Tumbak diiringi gamelan Gong, Baris Jojor, Baris Omang diiringi gambelan Kembang Kirang, Baris Presi dan Baris Dapdap diirngi gamelan gong b. Di Sanur, penulis asing ini menyaksikan adanya Baris Tumbak yang demikian impresifnya dan berlangsung cukup lama. Di samping itu juga ada Baris Cina yang sangat spesifik , di samping adanya Baris Kekupu. c. Baris Kekupu juga ada di Tenganan dan Lebah, Denpasar. Baris Kekupu ditarikan oleh remaja putri dengan berpakaian seperti legong. Untuk di Sanur dan Tenganan mempergunakan kepet sebagai “ sayap” sementara di Lebah menggunakan properti berbentuk sayap. d. Di Banjar Tegal, Singaraja, terdapat Baris Demang yang berpakaian “Demang” dan menari bagaikan gerakan tari Gambuh.diiringi tabuh gender. Tari ini digelar saat upacara piodalan khusus di pura setempat. e. Baris Pendet di Klungkung dan Tabanan ditarikan oleh para lelaki yang membawa bokor dan canang, seperti layaknya pendet. Walaupun sang penari membawa canang seperti itu, tak pelak gerak langkahnya bagaikan perwira yang kemudian berperang satu sama lainnya. f. Baris Pendet juga disaksikan oleh penulis asing ini di Tampaksiring pada dini hari. Memang tidak banyak yang menonton, karena saat yang sama digelar pertunjukan Arja di bagian luar pura, sementara
baris digelar di dalam pura. Setelah itu muncul Baris Bedil dengan senjata bedil dengan tarian agresif yang sungguh menawan dengan teriakan-teriakannya yang keras. Terakhir setelah Baris Bedil masuk, orang yang sama menarikan Baris Tumbak. Selesai menari, mereka kemudian menuju depan palinggih untuk selanjutnya diperciki tirta oleh pemangku pura. g. Baris Cerekuak ( foto di atas ) bisa dikatakan sebagai tarian primitif, karena 6 orang lelaki dan 1 lelaki lainnya yang melakoni wanita menari dengan pakaian yang sangat minim, hanya memakai lembaran kain yang dibulet ginting, kepala dan sekitar pinggang dihiasi dengan janur. Sang lelaki membawa tongkat bambu dengan hiasan janur juga. Memang pada akhirnya terdapat perang antar mereka. Itulah selintas gambaran tentang keberadaan tari Baris Upacara di masa lalu, di mana diantaranya mungkin sudah tidak ada lagi, busananya yang berubah, gerak tariannya dan pengiringnya juga berubah pada saat sekarang ini, sementara kebanyakan busananya sudah berganti. 2) PENGALAMAN DI BUNGKULAN, BULELENG DAN SEKITARNYA Secara turun temurun di desa kami Bungkulan memang ada baris upacara yang sangat diperlukan untuk upacara saat piodalan pura. Menurut tempatnya ada dua bentuk tari baris upacara : a. Baris upacara yang dipertunjukkan di tempat piodalan seperti : Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar. Tabuhnya sangat mirip dengan tabuh tari Telek dan bahkan ada penari Jauk – dengan tabuh tari Jauk walau tetap memakai pakaian tari baris. a. Baris upacara yang dipertunjukkan dalam perjalanan Ida Bhatara Melasti atau saat Mamendak Tirtha seperti : Baris Bandrangan, Baris Gede, Baris Bedil, Baris Omang. Tari baris ini sering kali didahului dengan tarian Pendet. Di Pura Agung, pura pamaksan Ida Rsi Agung, di pura mana juga bersthana Ida Bhatara Ratu (Ngurah) Susunan Sakti Bujangga Lewih – yang bersthana
( dengan pusatnya di Pura Jati - Batur, sejak dahulu memang sudah ada baris yakni Baris Gde, Baris Jojor, Baris Bedil untuk upacara Dewa Yadnya dan Baris Bedug untuk upacara Pitra Yadnya. Namun sejak kakek kami I Gusti Nyoman Panji Beloh (perintis Gong Kebyar di Bali Utara) tiada, maka tarian baris itu bagaikan lenyap ditelan masa. Tabuhnyapun, orang sudah tidak tahu, hanya samar-samar. Memang sangat disayangkan,. Sebagai penggantinya, maka dibuatlah tetap baris upacara dengan mengadopsi Baris Tunggal yang dipertunjukkan sewaktu Ida Bhatara Melasti atau saat Mamendak Tirtha, dari desa Bungkulan ke Kubutambahan. Tari Baris ini disebut saja dengan Tari Baris jalan (lihat foto di atas ). Namun, tentu saja hal itu kurang memuaskan, karena taksunya sangat berbeda. Itulah sebabnya sekitar 10 tahun yang lalu, Ida Rsi memohon ke Batur, secara niskala menghaturkan upakara dan secara sekala meminta panguruk untuk datang ke Pura Agung, menjelang Karya Besar. Maka hanya dalam dua hari baik tabuh maupun tarinya sudah dapat dikuasai, maka kini kamipun kembali memiliki Baris Upacara. Salah satu yang patut dicatat di pura kami adalah bahwa setiap ada upacara piodalan atau pujawali di Pura Agung saat Tumpek Kuningan, wajib ada ilen-ilen – tari walaupun sifatnya hiburan. Pernah terjadi karena satu dan lain hal, ilen-ilen ditiadakan. Maka terjadilah kekisruhan dimana saat itu seorang teruna – kebetulan adalah I Gusti Bagus Nyoman Panji (Kepala sekolah Kokar Bali dahulu) saat masih muda tak sadarkan diri – kerauhan dengan memantang – terlentang diam tak bergerak. Para tetua kemudian menghaturkan panglampana – upakara dan hatur permohonan maaf dan menyanggupi untuk mengadakan ilen ilen pada Anggara Kasih Medangsia – beberapa hari sesudah Kuningan. Spontan setelah dipercikkan tirtha Pak Panji tersadar. Hal ini kami ungkapkan untuk menegaskan betapa seni, khususnya seni pertunjukan sangat bernilai sakral. Tari Baris yang sangat terkenal di Bungkulan adalah Baris Bandrangan, karena mempergunakan kacamata hitam.
IV. KILAS BALIK Sebelum menutup tulisan ini, Ida Rsi Agung merasa tergelitik atas beberapa catatan dari Hasil Semi Loka Seni Sakral yang diadakan di Denpasar pada 20 – 21 Desember 2002, yang kami pandang sangat penting untuk diingat kembali berupa Keputusan dan Rekomendasi. Sebagian dari peserta dan Panitia Semi Loka itu sendiri adalah beliau-beliau yang sekarang mengadakan dan menjadi Peserta sarasehan dan Loka Karya ini. Hasil Semiloka 12 tahun lalu itu adalah sebagai berikut : A. KEPUTUSAN 1. Kesenian sakral adalah segala bentuk kesenian ritual yang dalam kebudayaan Bali disejajarkan dengan istilah seni wali yang bersifat suci, pingit dan tenget. Kesenian sakral ini menjadi bagian yang tak terpisahkan (integral) dari kegiatan pelaksanaan upacara keagamaan Hindu (Bali) yang dilaksanakan di pura atau tempat-tempat lain yang ada hubungannya dengan pelaksanaan upacara keagamaan dan dikuatkan dengan simbol-simbol keagamaan seperti banten, mantra dan proses ritual. 2. Kesenian sakral meliputi bentuk, lambang serta peristilahan yang diyakini memiliki nilai sakral (pingit„suci dan tenget) oleh masyarakat pendukungnya. 3. Segala bentuk kesenian yang bernilai dan berujud sakral serta yang melalui proses sakralisasi (inisiasi) hanya dapat dipertontonkan atau ditampilkan dalam konteks ruang, waktu dan tempat yang telah ditetapkan oleh masyarakat pendukungnya. 4. Seni sakral di Bali sangat beragam bentuk, ujud dan jenisnya sesuai dengan - (mengikuti) tradisi dan keyakinan masyarakat pendukungnya sesuai dengan dresta dan desa mawa cara. B. REKOMENDASI Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian serta kesucian seni sakral, semiloka merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah Bali hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerintah Daerah Bali sudah saatnya menyusun Peraturan Daerah tentang kesenian sakral termasuk perangkat yang membina, mengawasi serta sanksi terhadap pelaksanaannya; 2. Pemerintah Daerah diharapkan memprioritaskan penyusunan Ensiklopedi Seni Sakral di Bali; 3. Perlu diadakan inventarisasi secara menyeluruh dan rinci tentang keberadaan seni sakral di Bali; 4. Pemerintah Daerah Bali perlu melibatkan lembaga-lembaga baik formal maupun nonformal seperti Listibiya, PHDI, Lembaga Adat, Widya Sabha Dharrnagita, Badan Pembina Bahasa Aksara dan Sastra Bali, serta semua komponen pariwisata dalam membina dan melestarikan seni sakral di Bali; 5. Listibiya sebagai lembaga Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Bali supaya lebih diberdayakan dengan memberi ruang gerak yang lebih pasti dengan dukungan fasilitas sarana, prasarana dan dana yang memadai.
V. PENUTUP Dengan penyelenggaraan Sarasehan dan Loka Karya ini, tentunya akan ada harapan. Harapan itu antara lain : a. agar Joged Pingitan di banyak desa yang memilikinya bisa tetap lestari b. agar yang memang semula sudah memiliki Baris Upacara kemudian punah bisa merintis kembali dan menghidupkannya, karena sifatnya yang sakral c. agar yang memang sudah memiliki Baris Upacara, mempertahankan dan melestarikannnya, mengalihkan ketrampilan kepada generasi penerusnya secara baik dan kritis d. agar yang memang tidak memiliki khasanah Baris Upacara, bisa membangunnya, karena di masa yang baru nanti terlihat telah banyak sekali pura/banjar yang memiliki barungan gamelan terutama baleganjur atau bebonangan yang cukup untuk mengiringi baris upacara.
Atas perkenannya, kepada segenap pihak, kami menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Semoga Ida Hyang Parama Kawi serta Bhatara-bhatari Sungsungan Jagat Bali, senantiasa memberikan bimbingan dan tuntunanNya, dalam rangka kita semua menggalang dan mengukuhkan ke-Bali-an Nusa Bali ini terutama dalam rangka menggali, mengembangkan, membina dan melestarikan Seni Budaya Bali sebagai bunga rampainya Seni Budaya Nusantara yang adhi luhung. OM SIDDHARASTU, OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.
BAHAN PUSTAKA : Anandakusuma, Sri Reshi, Kamus Bahasa Bali, CV Kayumas, Denpasar1986 Echols, John M, dan Hassan Shadili, Kamus Inggris – Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, cetakan XIX, Agustus 1990 Fowler, HW, and FG Fowler (first edition), JB Sykes ( sixth edition), The Concise Oxford Dictionary,the Clarendon Press, Oxford, 1976 Listibiya Propinsi Bali, Laporan Hasil Semiloka Seni Sakral, Denpasar, 20-21 Desember 2002 Madra Aryasa, I Wayan, Drs, MA, Materi Pokok Seni Sakral, Departemen Agama, 1993 Sabha Purohita Bali, Pokok - pokok Pikiran SABHA PUROHITA BALI berkenaan dengan wacana UU RI Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa tahun 2014 Spies, Walter, and Beryl de Zoete, Dance & Drama in Bali, originally published by Faber and Faber, London, 1938 Suarya, I Wayan, Seni Tradisi Joged Pingitan, Denpasar, 19 Desember 1995 Sudhyatmaka Sugriwa, I Gusti Bagus (Editor), Pesta Kesenian Bali, Biro Humas Pemda Propinsi Bali, Denpasar 1991 Sugriwa, I Gusti Bagus, Sang Hyang Kamahayanikan, (dicetak kembali dari pencetakan oleh Balimas tahun 1971), Udayana University Press, Denpasar, 2012. Surpha, I Wayan, SH, Pura Ulun Danu dan Pura Jati, Denpasar, 1990 WAWANCARA : Dewa Putu Yasa, Bendesa Desa Pakraman Tegenungan, Gianyar Jero Gede Duuran Batur, Bangli Jero Kubayan Muncuk, Desa Pakraman Bayung Gede, Bangli I Wayan Supat, Kelian Desa Pakraman Penglipuran, Bangli
I Made Artana, S.Sos
TARI WALI BARIS KETEKOK JAGO Oleh: I Made Artana
SARASEHAN DAN LOKAKARYA JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA DENPASAR, 26 - 28 NOVEMBER 2014
I. PENDAHULUAN Secara kodrati manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia memerlukan kerjasama dengan manusia lainnya untuk mengetahui kebutuhan hidupnya. Mereka sepakat untuk melakukan kerjasama dengan ikatan tertentu untuk memudahkan kehidupan mereka, pada kehidupan bermasyarakat seperti ini di Bali sudah tumbuh sejak jaman Bali Kuna. Berbagai prasasti menyebutkan adanya sistem kesatuan hidup sebagai suatu masyarakat hukum yang disebut dengan “Telaga” yang berarti kelompok. Sedangkan ketua dari kelompok itu disebut dengan Sanat. Bahkan dalam Prasasti Bwahan yang berangka tahun 916 Caka menyebutkan rasa kraman yang berarti kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Rupanya dari kata kraman ini, muncul “krama” yang berarti anggota dari masyarakat Desa Pakraman. Menurut tradisi sistem kehidupan menetap yang menyerupai desa pakraman dimulai sejak datangnya Rsi Markandya ka Bali yang oleh para ahli diperkirakan pada abad ke 8. Kedatangan beliau ke Bali untuk pertama kali dengan 800 orang pengikutnya dan tidak berhasil membangun daerah Bali, karena pengikutnya banyak yang meninggal dunia. Barulah kedatangannya untuk kedua kali dengan 400 orang pengikut, berhasil menetap di Bali dan selanjutnya menata kehidupan masyarakat Bali. Beliau memberikan pengikutnya tanah, baik untuk tempat tinggal, persawahan, ladang maupun untuk membangun tempat-tempat suci berupa pura, Pada saat itulah muncul nama desa, sebagai tempat persekutuan hidup bagi para pengikutpengikutnya.
Pada kehidupan masyarakat yang disebut pakraman ini kemudian dimantapkan lagi setelah kedatangan Mpu Kuturan ke Bali. Beliau ahli di bidang ketatanegaraan. Sebagai seorang negarawan, beliau menata kehidupan masyarakat desa pakraman dengan adat istiadatnya. Beliau membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan profesinya. Pada masa inilah mulai dikenal kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok masyarakat petani yang menggunakan air yang dikenal dengan Subak. Demikian juga mengenai banjar, sebagai bagian dari desa pakraman dan sekaa-sekaa lainnya. Sekaa-sekaa inilah yang kemudian dalam perjalanannya mengalami pasang surut dengan tekad yang bulat dan dengan munculnya Pesta Kesenian Bali, maka sekaa-sekaa yang ada di Bali bagaikan jamur di musim hujan. Ada berbagai sekaa yang muncul di antaranya: sekaa gong, sekaa tari, sekaa teruna-teruni, sekaa Shanti dan banyak lagi sekaa yang lainnya. Sekaa-sekaa yang ada di Bali kebanyakan bernaung di bawah banjar adat, sehingga sekaa itu dalam keberadaannya amat sangat kuat. Karena dalam kiprahnya sekaasekaa ini, khususnya para anggotanya diikat oleh suatu landasan hukum adat yang disebut dengan awig-awig. Dengan berdasarkan awig-awig ini, maka sekaa-sekaa yang ada di Bali akan tetap lestari dalam menunjang kebudayaan Bali tetap ajeg di masa-masa mendatang. Dan begitu juga halnya peranan “Baris Ketekok Jago” Br. Tanggun Titi, Tonja Denpasar yang bertekad tetap melestarikan kesenian-kesenian langka yang ada di Bali di masa-masa mendatang.
II. INTI SARI PENGERTIAN TARI WALI (BARIS KETEKOK JAGO) Masyarakat Bali memandang seni budaya sebagai sebuah persembahan dan sekaligus sebagai penjaga keseimbangan hidup, sehingga pembinaan seni budaya dilakukan di dalam keluarga sendiri pada masyarakat luas. Di Bali ada berbagai ragam seni budaya antara lain: seni lukis, seni patung, seni drama, seni suara dan seni sastra serta seni tari. Dalam masyarakat Bali seni dimaknai sebagai simbul jati diri, media ekspresivitas, acuan peradaban, kreasi persembahan, sebagai kumulasi nilai tambah, secara sosial ekonomi,
dan mempunyai relasi dengan agama. Karena kesenian dan kebudayaan Bali dijiwai dan diikat oleh Agama Hindu. Kesenian Wali (sakral dan religius) adalah salah satu dari kelompok kesenian yang ada dalam kelompok kebudayaan Hindu Bali, oleh karena itu pembahasan kesenian wali ini tidak dapat dielakkan dari ruang pikir kehinduannya. Orang yang mengerti dan menghayati hakekat hidupnya akan mampu bertahan di segala jaman, sebagaimana yang diajarkan oleh Agama Hindu. Konsep seni dalam cakrawala ruang pikir manusia Hindu Indonesia khususnya Bali tldak bisa dilepaskan dari sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi 3 unsur penting Satyam (kebenaran), Siwam (kebaikan/ kesucian) dan Sundaram (keindahan). Dengan cara pandang berdasarkan rumusan ini akan memperlihatkan bahwa setiap kesenian Bali, khususnya yang berbentuk kesenian ritual, mengandung rasa indah (ketuhanan) yang sejati, mengandung kesucian sekaligus kebenaran. Kemudian sebagai wadah yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi dan masyarakat. Kesenian Bali sebelum dipentaskan harus melalui penyucian (ritual) dan cara seperti ini dapat dipertanggungjawabkan rasa kebenarannya menurut tatanan hukum. Kesemestaan sesuai dengan kondisi tempat, lingkungan, waktu dan peristiwa-peristiwa, desa, kala, patra untuk siapa sebuah kesenian itu diadakan. Kesenian yang berwatak Satyam, Siwam, Sundaram mengandung permaknaan rasa keindahan dan/atau kesemestaan yang sejati. Sedangkan menurut konteksnya hendaklah diartikan bahwa ia mengandung kesucian sekaligus kebenaran maka pada persembahannya didasari oleh landasan etik kesucian yang sekaligus terpancar melalui sinar kekuatan seni itu sendiri. Untuk dapat memancarkan kekuatan yang maksimal dari kesenian tersebut, maka diperlukan penyucian pada atribut-atribut sakral lainnya, seperti pemlaspas, pemasupati, dan seterusnya sampai mendak taksu. Maka untuk pemaknaannya dapat dikembalikan kepada konsep dasar yaitu Satyam, Siwam, Sundaram.
Ada beberapa istilah untuk menyatakan keutuhan konsep tersebut dalam bahasa Weda (sansekerta). Ada beberapa kata “GUHAM HITA, atau GUNA NIHITA, istilah ini sering dipakai dalam Weda yang berarti “kebenaran suci”. “WIBHUATI (yoga) menyiratkan rasa keagamaan yang sangat mendalam bahwa Tuhan ada dalam keindahan dan keagungan alam semesta. Dengan diberlakukannya hukum Rta, semuanya tertib, baik dan indah. Nampaknya yang dimaksudkan itu memiiiki kesamaan arti dengan benar, (tertib juga berarti sistematik - logik), “Suci” (bajik-etik), “Indah” (estetik juga berarti kehalusan jiwa seni). Penggambaran ekspresi imaginasi mantra-mantra Kuna Weda walaupun bercorak simbolis tetapi tetap mendekati kenyataan hidup. Komposisi keindahan yang terlukiskan dalam Weda Kuna terutama Reg Weda yang tergolong tertua, mengandung keterpaduan kekuatan rasa dan kekuatan bunyi yang mengantarkan rasa kesejatian, kemuliaan, gema jiwa yang maha agung. Penghayatan rasa indah termanifestasikan dalam bentuk penghormatan terhadap dewa-dewa Brahma Jnana (Dewi Saraswati) sebagai kebenaran tertinggi pengetahuan Ketuhanan, di mana seniman tari akan lebih memberi arti pada kuasa penciptaan semesta atau daya kreatif Tuhan sebagai CIWANATARAJA (Dewa Penguasa Triani), seniman tabuh (musik) lebih menghayatinya sebagai Sang Hyang Iswara (Dewa Musik). Seperti itulah seorang seniman Bali memprosesi diri untuk menunjukkan peran jati dirinya sebagai perilaku dewa untuk mensejahterakan bumi, menjiwai kesenimanannya untuk suatu proses penciptaan dan kreatifitas seni untuk melahirkan karya-karya yang agung sebagai produk budaya yang bisa dibanggakan oleh “MANUSA BALI”. Setelah karya-karya ini tercipta, hal-hal yang teramat penting dilakukan adalah harus diupayakan secara dinamis dan berkesinambungan dalam suatu tatanan yang positif dalam suatu kinerja yakni proses pembinaan pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali. Beranjak dari pemikiran ini kesenian wali sebagai bagian dari kebudayaan Hindu Bali, pada dasarnya adalah kesenian yang bersifat Satyam, Siwam dan Sundaram, bahwa kesenian wali haruslah senantiasa mengandung keindahan yang didasarkan atas nilai-nilai kebenaran dan kesucian untuk disajikan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Tari Wali, 1977/2000: 6).
Kesenian Wali adalah kesenian Bali yang tertua dan oleh karena itu, bentukbentuk kesenian wali memiliki unsur-unsur keaslian (original) dan nilai-nilai sakral. Kesenian wali yang diwarisi oleh masyarakat Bali, berasal dari masa Pra Hindu. Kesenian itu banyak kaitannya dengan tradisi penyembahan oleh leluhur yang sudah berkembang di Bali sejak beratus-ratus tahun yang lalu sebelum datangnya Agama Hindu maupun Budha. Misalnya “Tari Sang Hyang” dianggap mempunyai kekuatan magis yang dapat menyelamatkan warga masyarakat pemiliknya. Tari Wali merupakan salah satu aspek vital kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali, sehingga kesenian seperti ini sangat disucikan karena dianggap dan dipercaya memiliki kekuatan magis serta mengandung niiai-nilai religious kesenian biasanya dipentaskan sebagai persembahan/suci/kaul (yadnya) untuk kepentingan suatu upacara ritual. Kesenian sakral seperti ini ada di mana-mana, baik di lingkungan budaya Barat maupun Timur yang oleh masyarakatnya dianggap mempunyai suatu kekuatan gaib dan kekuatan lainnya yang dapat menghubungkan mereka dengan Tuhan, agar dapat hidup secara aman dan damai di dunia ini, Oleh sebab itulah kesenian ini sangat dikeramatkan dan mendapat perlakuan khusus dan istimewa dari anggota masyarakat pendukungnya. Kesenian ini sudah mendapat pengakuan sejak jaman lampau. Dengan bentuknya yang beranekaragam dan berusia ratusan tahun, di mana tarian itu tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas keagamaan sesuai dengan tradisi masyarakat masing-masing.
III. BARIS KETEKOK JAGO A. Cikal Bakal Menurut informasi para sesepuh dan penglingsir yang ada di wilayah Br. Tanggun Titi, Tonja, menyebutkan sekitar tahun 1938 masyarakat/karma Br. Tanggun Titi, akan mengadakan upacara mamungkah, pamlaspas dan Padudusan Agung di Pura Kebon Buni, maka pada saat itulah awal terbentuknya Sekaa Baris Ketekok Jago, dan untuk lebih cepatnya para penari memahami tarian Bans Ketekok Jago, maka diadakanlah upacara
ritual keagamaan yaitu mengadakan panuwuran (nuwur) atau memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dilakukan di Pura Peti Tenget Kerobokan Badung. Dengan mengadakan upacara ritual seperti itu maka apa yang diinginkan oleh masyarakat Tanggun Titi untuk memahami Tari Ketekok Jago benarbenar rnenjadi kenyataan. Terbukti sampai saat ini Tari Baris Ketekok Jago yang ada di Br. Tanggun Titi, Tonja tetap bisa lestari. Beberapa tokoh dan para pemuka masyarakat juga menyebutkan keberadaan Sekaa Baris Ketekok Jago sampai saat Ini sudah memasuki 5 generasi. Tentu juga sama dengan kesenian yang lain di mana dalam perkembangannya mengalami suatu pasang surut, begitu jugalah yang terjadi di Sekaa Baris Ketekok Jago. Tetapi dengan tekad yang kuat dari para pendukung/penyungsungnya dan dengan antusiasnya GM untuk melestarikan kesenian sakral itu, maka masyarakat pendukungnya dengan suka rela siap untuk mengadakan latihan secara kontinyu untuk menjalani secara tekun Tarian Baris Ketekok Jago tersebut. Dengan satu tujuan tetap lestarinya Tari Sakral yaitu Tari Baris Ketekok Jago. Dengan perasaan senang dan bangga para penari baris ini tetap melakoni kewajibannya mengadakan suatu persembahan yang suci yang diaktualisasikan dalam suatu pagelaran (sasolahan) yang dilaksanakan setiap enam bulan (6 bulan) sekali tepatnya pada hari Buda Manis Wuku Medangsia yang juga bertepatan dengan Pujawali di Pura Dalem Kebon Buni Br. Tanggun Titi, Tonja Tarian Ini wajib dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Siwa dan Dewi Durga yang bersthana di Pura Dalem Kebon Buni Tonja, karena menurut kepercayaan masyarakat yang ada di wilayah Br. Tanggun Titi Tonja, di Pura Dalem Kebon Buni Tonja juga bersthana “Dewa/Dewi Seni”. Hal ini bisa dibuktikan lewat peninggalan-peninggalan suci berupa bebarapa buah tapel (topeng) yang sangat disucikan oleh masyarakat Br. Tanggun Titi dan memang benar apa yang disampaikan. Jadi suatu kenyataan Tari Baris Tekok Jago bisa lestari sampai sekarang.
Pada suatu ketika Tari Baris Ketekok Jago ini pernah tidak dipentaskan (masuciari) entah apa sebab musababnya sehingga bhatara/bhatari yang bersthana di Pura Dalem Kebon Buni murka dan hal ini dapat dibuktikan dengan datangnya “ancangan Beliau” yang berupa ular. “Ular Poleng” mendatangi rumah salah seorang penari Baris Ketekok Jago itu. Berdasarkan fakta seperti itu maka, bagaimanapun situasi dan kondisi yang ada pada para penari, harus menyiapkan diri dan waktu untuk ngaturang sasolahan Tari Baris Ketekok Jago di Pura Dalem Kebon Buni dan ini wajib dilakukan oleh para penari Baris Ketekok Jago tersebut. Di samping sebagai sarana pokok dalam pujawali di Pura Dalem Kebon Buni, di sisi lain Baris Ketekok Jago juga mempunvai fungsi dan tujuan sebagai sarana yang utama dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya (ngaben) di mana Baris Ketekok Jago posisinya pada saat prosesi upacara tersebut pasti menempati posisi di depan bade (wadah). Sesuai dengan informasi yang diterima dari masyarakat pendukung, Tari Baris Ketekok Jago ini berfungsi untuk “membuka (ngeruak)” jalan supaya orang yang meninggal yang diupacarai itu perjalanannya lebih cepat untuk menuju sorga. B. Komposisi/Pepeson 1. Para penari berbaris dua ke belakang, dan setelah siap, penari itu mengucapkan kata “Kuuuuk”, tombak posisinya berada di pundak. 2. Melakukan gerakan malpal, sampai pada gerakan nanjek. Dan gerakan ini disesuaikan dengan kalangan (tempat dimana kita pentas). 3. Setelah gerakan nanjek, tombak yang ada di pundak diputar ke atas hingga ujung tombak berada pada posisi di depan dan dilanjutkan dengan gerakan ngaed (posisi badan diberatkan ke bawah). 4. Melakukan agem kanan, tengah, kiri, masing-masing 2 kali, dan di masing-masing agem di isi dengan gerakan ngangsel, dan tombak masih tetap di pundak. 5. Gerakan ngengsog (2 kali), ke kanan, ke kiri, berakhir di tengah. 6. Gerakan malpal ke depan, dan gerakan ini meniru gerakan ular yang sedang berjalan. Kemudian nanjek, dan selanjutnya bergerak ke belakang dengan kaki diangkat kanan kiri bergantian hingga pada posisi pertengahan kalangan.
7. Gerakan pinggul dimulai dengan kaki kanan diangkat dan tangan kiri posisinya berada di belakang badan, dan lalu kaki kiri diangkat, posisi tangan kiri berada di depan badan, dan gerakan ini dilakukan sebanyak 2 kali kanan dan kiri sebanyak 5 kali putaran lalu selesai. 8. Gerakan pantat yang mengikuti irama gamelan dengan tabuh kola, dilakukan 2 kali putaran kanan dan kiri, kemudian dilanjutkan dengan menghadap ke kanan, setelah itu mengayunkan tombak ke depan dan ke belakang, dan diikuti dengan gerakan pinggul dilakukan sebanyak 3 kali dan setelah itu tombak ditaruh di posisi masing-masing penari. 9. Adegan ngipuk. Adegan ngepun ini melambangkan suasana romantis antara ayam jantan dan ayam betina, di mana diibaratkan kedua binatang tersebut sedang menjalin asmara. Adegan seperti itu yang dilakukan oleh beberapa pasang ayam yang lainnya. Dalam adegan ini menceritakan ayam betina sudah bertelor dengan penuh siaga, ayam pejantan menjaga telor ayam betina supaya tidak dicuri oleh burung gagak. Pada adegan tersebut sebetulnya cerita Barls Ketekok Jago itu dapat dilihat yaitu “ 10. Setelah itu dilanjutkan dengan gerakan ngindang. gerakan ngindang ini mengibaratkan ayam betina berhamburan karena diganggu oleh pasukan goak (gagak). 11. Di situlah kemudian ayam pejantan dengan sigap melawan musuh dengan adegan penari mengangkat tombak. Kemudian diikuti oleh suara penari menyuarakan “KUUUUK” yang menandakan ayam pejantan telah memenangkan pertempuran pada saat itu. Maka lestarilah Tari Baris Ketekok Jago hingga saat ini. Adegan mengangkat tombak itu dengan diiringi Tabuh Kale Batu-Batu, sebanyak 2 kali putaran. Pementasan Tari Baris Ketekok Jago ini memakan waktu (berdurasi) 23 menit. Pada umumnya Tari Baris Ketekok Jago ini diiringi dengan gambelan gong kebyar yang mempunyai struktur tabuh secara khusus, dan sampai saat ini tari dan tabuh Tari Ketekok Jago ini belum diperjualbelikan (dikomersilkan) karena Tari Baris Ketekok Jago merupakan salah satu yang tergolong Tari Wali/Sakral.
C. Tabuh Adapun struktur tabuh iringan Tari Baris Ketekok Jago adalah sebagai berikut: 1. Pengawit: dengan tabuh bebarisan. 2. Pengadeng: dimainkan sebanyak 2 kali 3. Tabuh Penyelah menuju ke Pengawak sebanyak 5 kali. 4. Pengawak: biasanya dipakai gending. Dengan gending-gending pengepuk tabuh ini disesuaikan dengan penari sampai selesai adegan tersebut. 5. Tabuh Kale: struktur kendangnya memakai pukulan batu-batu sebanyak 2X dan dilanjutkan dengan Tabuh Kale sebagai tabuh penutup. D. Busana Pada umumnya setiap tarian mempunyai ciri khas dalam mempergunakan busana, misalnya Tari Baris Cede, Baris Dapdap, Baris tunggal, dll. Begitu juga halnya dengan Tari Baris Ketekok Jago, adapun busana yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Gelungan. Bentuknya sama dengan gelungan Baris biasa namun tidak dihiasi oleh ornamen-ormamen tetap, lebih banyak memakai warna putih-hitam “poleng”. Pada gelungan ini dihiasi dengan “bunga pucuk arjuna” dihiasi dan daun gegirang, yang ditaruh pada sebelah kanan dan kiri gelungan. 2. Baju dan Celana. Baju dan celana warnya masih dominan dengan kombinasi warna putih dan hitam (poleng) dan biasanya warna poleng itu ditaruh pada ujung-ujung tangan baju kiri kanan dan pada ujung kaki celana kanan kiri. 3. Bedug, Keris, Semayut dan Saput Poleng, kemudian memakai kamen lelancingan dengan warna putih. 4. Oncer, Oncer warna-warni, ditambah dengan busana lamak. 5. Tombak. Tombak ini dihiasi dengan bulu merak di bagian ujungnya dan warna hitam putih tetap mendominasi warna tombak sebagai ciri khas Tari Baris Ketekok Jago.
E. Upakara Pada umumnya di setiap pementasan tari tradisional di Bali tetap menggunakan sarana upakara (bebanten). Upacara sebelum pementasan dimulai dengan tujuan untuk memohon keselamatan pada saat pentas. Lain halnya pada saat pementasan Tari Baris Ketekok Jago, sarana banten yang harus dlsiapkan adalah sebagai berikut: 1. Peras gede dengan daksina 5 2. Peras cenik (pejati) 1 soroh 3. Nasi roangan 5 punjung 4. Be karangan 1 karang 5. Ayam pitik untuk penyamblehan 6. Segehan manca warna 5 tanding 7. Segehan putih kuning 10 tanding 8. Suci 1 soroh 9. Uang tapis 10. Rantasan putih kuning
Tim Perumus Workshop/ Lokakarya Joged Pingitan dan Baris Upacara
RUMUSAN HASIL WORKSHOP/ LOKAKARYA JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA Workshop/Lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara yang diselenggarakan Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Provinsi Bali mengangkat tema Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara untuk Memperkuat Seni Tradisi. Sarasehan dan Lokakarya ini diselenggarakan dari tanggal 26 November sampai dengan tanggal 28 November 2014 di Hotel Puri Nusa Indah, Denpasar. Workshop/Lokakarya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara diikuti oleh 80 peserta terdiri dari : unsur Listibiya kabupaten dan kota seluruh Bali, unsur Dinas Kebudayaan Kabupaten dan Kota seluruh Bali, seniman, budayawan dan akademisi. Dalam sarasehan ini dibahas 3 (tiga) makalah utama yaitu (1) Tinjauan Aspek Sastra Joged Pingitan dan Baris Upacara oleh Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., (2) Tinjauan Aspek Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara oleh Dr. I Nyoman Catra, M.A., (3) Nilai Sakral dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara oleh Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang. Para instruktur yang diundang khusus untuk memberikan workshop Joged Pingitan adalah I Made Jimat dan Ni Wayan Sekarini dari desa Batuan (Gianyar), dan instruktur Baris Upacara I Made Artana, S.Sos.dari Banjar Tanggun Titi Denpasar.
Ewad Herb mempresentasikan film dokumenter bali tahun 30-an
Tujuan Workshop/Lokakarya adalah merevitalisasi Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara yang keberadaannya semakin langka di masyarakat, menggali informasi mengenai Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara sebagai warisan budaya dan nilai tradisi, meneruskan nilai-nilai etika, logika dan estetika sebagai warisan tradisi budaya pada generasi muda, melakukan pelatihan untuk memperkuat basis etika dan estetika Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara, membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga dan mempertahankan nilai religius seni sakral khususnya Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara.
Pokok-pokok rumusan Workshop/Lokakarya: 1. Seni sakral bukan pelengkap upacara agama Hindu tetapi merupakan bagian integral dari upacara untuk mencapai penunggalan para penyembah dengan yang disembah 2. Istilah pingit mengandung nilai-nilai suci, persembahan dan sakral yang disertai dengan keyakinan untuk mencapai berkah ketenangan dan ketentraman serta keharmonisan. 3. Seni sakral dalam berbagai bentuk ekspresinya merupakan media spiritual yang berfungsi mengharmoniskan hubungan skala dan niskala dalam konsep “ sarining lango’’.
Pementasan Tari Penyalonarangan dalam Joged Pingitan, Desa Tegenungan Kemenuh, Gianyar. Doc. Listibiya
4. Nilai-nilai sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara diyakini memiliki kekuatan penolak bala dan diyakini mampu memperkokoh integritas masyarakat pengusungnya. 5. Sejalan dengan pragmatisme dan perkembangan kehidupan masyarakat yang cenderung mengarah ke profanisasi menyebabkan nilai – nilai sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara mengalami pergeseran. 6. Seni sakral Tari Joged Pingitan dan Baris Upacara serta seni-seni sakral lainnya di Bali perlu diinventarisasi dan ditindaklanjuti dengan pembinaan secara periodik. 7. Perlu ada sinergisitas antara soft power dan hard power untuk pembinaan dan pelestarian seni budaya Bali. 8. Perlu adanya peraturan daerah yang mengatur keberadaan seni sakral di Bali. Rekomendasi: 1. Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang telah menetapkan kebudayaan sebagai landasan dasar pembangunan perlu lebih memperhatikan dan memberdayakan lembaga-lembaga kebudayaan seperti: Listibiya, Badan Pembinaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali, dengan memberikan fasilitas dan penganggaran tetap dari APBD.
2. Demi menjaga kelestarian dan ketahanan seni wali (sakral /pingit) di Bali, Pemda Provinsi Bali perlu memiliki road map yang sistimatis dan terarah untuk mengantisipasi perkembangan jaman dengan mengeluarkan peraturan daerah tentang seni wali/sakral tersebut . 3. Peranan Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali masih diperlukan untuk memaksimalkan upaya pembinaan dan pelestarian seni-budaya Daerah Bali. 4. Listibiya Provinsi Bali dan Listibiya Kabupaten Kota perlu mengambil langkah-langkah konsolidasi dengan melengkapi perangkat kelembagaan berupa AD dan ART. 5. Pemerintah Daerah Provinsi Bali perlu mendokumentasikan tari-tari sakral yang ada di Bali untuk dijadikan program prioritas merevitalisasi tari sakral tersebut. Denpasar, 28 November 2014 Tim Perumus: Dr. I Nyoman Astita, M.A. Drs. Nengah Medera, M.Hum. Drs. I Wayan Geriya Drs. I Wayan Madra Aryasa, M.A.
Pementasan Tari Baris Ketekok Jago Desa Tanggun Titi, Denpasar Utara. Doc. Listibiya
Lampiran - Lampiran
97
MAJELIS PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN (LISTIBIYA) PROVINSI BALI KEPUTUSAN KETUA LISTIBIYA PROVINSI BALI NOMOR : LIST.1377/SEKT/2014 TENTANG : PEMBENTUKAN PANITIA WORKSHOP / LOKAKARYA SENI JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA TAHUN 2014 KETUA LISTIBIYA PROVINSI BALI Menimbang : a. Bahwa melihat perkembangan seni budaya khususnya seni tradisi yang sudah semakin punah, serta untuk mengembalikan seni tradisi itu kembali utuh; b. Bahwa dipandang perlu untuk membentuk panitia yang dapat melaksanakan tugas-tugas dan kelancaran acara workshop / lokakarya seni joged pingitan dan baris upacara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah di ubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Sk Gubernur Bali No. 441 Tahun 1999. tentang Susunan Anggota Pengurus Listibiya Bali. MEMUTUSKAN Menetapkan : Keputusan Ketua Listibiya Provinsi Bali, tentang Pembentukan Panitia Workshop / Lokakarya Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara Tahun 2014. PERTAMA : Membentuk Panitia Workshop / Lokakarya Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara dengan Susunan Keanggotaan seperti tercantum dalam lampiran keputusan ini. KEDUA : Panitia Workshop diktum pertama bertugas: a. Menyelenggarakan Workshop / Lokakarya Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara Tahun 2014. b. Mengatur perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan Workshop / Lokakarya Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara Tahun 2014. c. Mepertanggungjawabkan kepada Ketua Listibiya Provinsi Bali segala sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan Workshop / Lokakarya Seni Joged Pingitan dan Baris Upacara Tahun 2014.
KETIGA
: a. Segala biaya yang ditimbulkan sebagai akibat penetapan Keputusan ini dibebankan pada dana bantuan Pemerintah Daerah Propinsi Bali. b. Panitia dinyatakan bubar apabila telah menyelesaikan tugas- tugasnya. KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Denpasar Pada tanggal 31 Oktober 2014 Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan ( Listibiya ) Provinsi Bali Ketua Umum,
Drs. I Gusti Putu Rai Andayana
Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Gubernur Bali di Denpasar. 2. Ketua DPRD Propinsi Bali di Denpasar. 3. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 4. Yang bersangkutan.
LAMPIRAN KEPUTUSAN KETUA LISTIBIYA PROPINSI BALI TANGGAL 31 OKTOBER 2014 NOMOR : LIST.1377/SEKT/2014 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN PANITIA WORKSHOP / LOKAKARYA JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA LISTIBIYA PROPINSI BALI TAHUN 2014 SUSUNAN ANGGOTA PANITIA WORKSHOP / LOKAKARYA JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA A. Tim Pengarah / Steering Committe Ketua : Drs. I Gusti Putu Rai Andayana Anggota : Drs. I Wayan Geriya : Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA : I Gst Bagus Sudhyatmaka Sugriwa : Dr. I Nyoman Catra, M.A : Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. : Drs. I Nengah Medera, M.Hum B. Panitia Pelaksana / Organizing Committe Ketua Pelaksana : Dr. I Nyoman Astita, M.A. Sekretaris : Drs. I Wayan Madra Aryasa, M.A. Bendahara : Ni Made Artini Seksi-Seksi Sie. Workshop/Lokakarya : I Wayan Sudana, SST, M.Hum : I Wayan Suweca, SSKar, M.Mus : Ni Ketut Arini Alit, SST : Dewa Ketut Wicaksana, S.Pd, M.Hum Sie. Dokumentasi : I Bgs. Candra Yana, SSn, M.Sn Sie. Sekretariat : I Gusti Agung Gede Kepakisan ,SH : I Made Adi Widyatmika, M.Si : Drs. I Ketut Jaten, M.Si : Ni Putu Tisna Andayani, S.S., M.Hum. : Ni Putu Sri Dewi Wirawati : I Gede Suardana Putra : I Kadek Agus Sujana
C. Tim Perumus Tim Perumus
: : : :
Dr. I Nyoman Astita, M.A. Drs. I Wayan Madra Aryasa, M.A. Drs. I Wayan Geriya Drs. I Nengah Medera, M.Hum
Ditetapkan di Denpasar Pada tanggal 31 Oktober 2014 Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali Ketua Umum,
Drs. I Gusti Putu Rai Andayana
Kumpulan Foto Kegiatan Workshop / Lokakarya Joged Pingitan dan Baris Upacara Listibiya Propinsi Bali Denpasar, 26 – 28 Nopember 2014
MAJELIS PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN (LISTIBIYA) PROVINSI BALI
ISBN: 978-602-72366-0-8