KERAGAAN VARIETAS PADI RAWA ADAPTIF PADA LAHAN RAWA LEBAK DI PROVINSI BENGKULU Nurmegawati dan Wahyu Wibawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK Lahan rawa lebak di Provinsi Bengkulu memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung swasembada beras, namun mempunyai kendala dan hambatan yang harus diatasi. Salah satunya diperlukan paket teknologi dan varietas padi yang adaptif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan varietas padi rawa yang adaptif pada lahan rawa lebak, yang dilaksanakan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa Dusun Baru Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan pemberian fungsida dan zpt yang terdiri atas yaitu: 1) tanpa pemberian fungisida dan zpt dan 2) pemberian fungsida dan zpt sesuai dengan dosis. Anak petak adalah 5 varietas padi yang terdiri dari atas 4 VUB padi rawa ( Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas) serta 1 varietas pembanding (Cigeulis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman varietas Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan, Kapuas dan Cigeulis berturut-turut adalah 79,60 cm, 77,28 cm, 75,37 cm, 85,32 cm dan 75,17 cm, berbeda tidak nyata pada inpara, banyuasin, sei lalan dan cigelis tetapi berbeda nyata terhadap varietas Kapuas. Umur tanaman berbunga varietas Inpara 2 61,67 hari, varietas Banyuasin 67,50 hari, varietas Sei lalan 63,33 hari, varietas Kapuas 53,33 hari dan varietas Cigelis 60,83 hari. Umur panen varietas Inpara 2 88,00 hari, varietas Banyuasin 90,00 hari, varietas Sei lalan 91,50 hari, varietas Kapuas 88,83 hari dan varietas Cigeulis 89,33 hari. Hasil gabah kelima varietas tersebut berturut-turut adalah 2,82 t/ha GKP, 2,76 t/ha GKP, 2,32 t/ha GKP, 1,98 t/ha GKP dan 1,54 t/ha GKP. Pemberian fungsida dan zpt tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga, umur panen dan hasil gabahnya. Kata kunci: varietas, padi rawa, adaptif, rawa lebak, Bengkulu
PENDAHULUAN Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan sistem perairan (Subagyo, 1997) yang merupakan lahan sub optimal yang sangat potensi dalam mendukung kelestarian swasembada beras. Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (12.411 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2010) Jika dilihat dari luasannya maka lahan rawa lebak di Provinsi Bengkulu memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung swasembada beras khususnya untuk provinsi ini. Namun rawa lebak mempunyai kendala dan hambatan yang harus diatasi. Umumnya lahan ini mempunyai rejim air yang fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan lahan rawa lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal. Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan lebak adalah tanah mineral dan gambut.Kedua jenis tanah tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada lokasi penelitian termasuk lahan rawa lebak bergambut. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah gambut, yaitu tanah yang terbentuk dari bahan organik atau sisa-sisa pepohonan, yang dapat berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 12-18% atau bahan tidak jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 20%. Berdasarkan ketebalannya, lahan gambut yang dijumpai di lahan lebak bisa berupa lahan bergambut, gambut dangkal, gambut sedang, dan gambut dalam. Lahan gambut biasanya memiliki tingkat kemasaman yang tinggi karena adanya asam-asam organik, mengandung zat beracun H2S, ketersediaan unsur hara makro dan mikro terutama P, K, Zn, Cu dan Bo yang rendah, serta daya sangga tanah yang rendah. Lahan gambut dengan karakteristik tanah yang demikian memerlukan teknologi pengelolaan dan pemilihan jenis tanaman atau varietas tertentu agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang memadai.
Karena keterbatasan pengetahuan petani akan varietas yang cocok ditanam di lahan rawa, menyebabkan petani menggunakan varietas-varietas lokal bahkan ada yang menggunakan varietas yang diperuntukan untuk lahan sawah irigasi seperti Cigeulis. Oleh karena itu dalam pengelolaan lahan rawa diperlukan paket teknologi dan varietas padi yang adaptif pada lahan rawa lebak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keragaan varietas padi rawa yang adaptif pada lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa Dusun Baru Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan pemberian fungisida yang terdiri atas yaitu: 1) tanpa pemberian fungisida dan 2) pemberian fungisida sesuai dengan dosis. Anak petak adalah 5 varietas padi yang terdiri dari atas 4 VUB padi rawa ( Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas) serta 1 varietas pembanding (Cigeulis). Dalam setiap unit penelitian terdiri dari 30 plot. Penyemaian dilakukan di lahan petani pada tanggal 19 Mei 2012 untuk 5 varietas masingmasing seberat 2 kg. Sebelum benih disemai dilakukan perlakuan benih dengan memberi karbofuran sebanyak 1 kg. Pengolahan lahan dilakukan secara manual yaitu dengan cara penebasan gulma dan pencangkulan tanah, selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan herbisida untuk membunuh biji-biji gulma yang tersisa. Penanaman padi dilakukan dengan sistem tanam legowo 2 : 1, dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm. Umur bibit yang digunakan yaitu 20 hari setelah semai (hss) dengan jumlah bibit per lubang sebanyak 3 batang. Pemberian pupuk dengan dosis 200 kg urea/ha, 100 kg SP-36 kg/ha, 100 kg KCl/ha. Perhitungan pemberian pupuk disesuaikan dengan luas dari masing-masing plot. Jumlah pupuk yang diberikan tiap plot diperoleh dari luas plot dibagi luas lahan satu ha dikali dosis pupuk per ha. Pemberian pupuk urea rencananya dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada umur tanaman 7 hst, 21 hst dan 45 hst sedangkan pemupukan SP-36 dan KCl diberikan pada pemupukan pertama saja. Fungisida yang digunakan mengandung bahan aktif difenokonazol, dosis pemberian fungisida 200-400 ml/ha yang dilakukan pada saat padi bunting (45 hst). Pengajiran tanaman dilakukan pada setiap plot dimana pada masing-masing plot diberi ajir untuk 5 sampel tanaman, untuk pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan. Untuk pelaksanaan budidaya/pemeliharaan padi mengacu pada PTT padi rawa (Badan Litbang Pertanian, 2007). Keragaan tanaman dievaluasi berdasarkan peubah-peubah: Tinggi tanaman, Umur tanaman berbunga 50 % (hari), Umur tanaman panen (hari) dan hasil. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Tanah Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian rawa lebak termasuk lempung; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd tergolong tinggi; Na-dd tergolong rendah; Al3+ tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong rendah; sedangkan kandungan Fe tergolong tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis contoh tanah rawa lebak yang dilaksanakan MK 2012. No
Sifat Kimia dan Fisika
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tekstur pH (H2O) C-organik (%) N-total (%) P-Bray.I (ppm) K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g) Al (me/100g) Fe (%) KA (%)
Nilai lempung 4,78 6,91 0,32 8,04 0,02 0,20 4,95 0,10 0,10 0,09 0,85 4,00
Keterangan: Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu 2012.
Pada lahan pengkajian ini termasuk lahan rawa lebak bergambut dengan kandungan Corgnik tergolong sangat tinggi dan kandungan N tergolong sedang sehingga C/N masih sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukannya masih sangat rendah. Kandungan Fe tergolong sangat tinggi akan mempengaruhi tingkat keasaman tanah. Kandungan basa-basa tergolong rendah akan mempengaruhi serapan Fe. Menurut Tan (2007) tingginya kadar Fe salah satu penyebab terjadinya kemasaman tanah. Basa-basa tukar (Ca, Mg, Na dan K) yang berfungsi untuk menetralisir keasaman tanah ketersediaannya pada tanah yang digunakan sangat rendah akibatnya Fe dan Mn akan mudah terserap oleh tanaman dan pada kosentrasi tertentu berpotensi terjadi keracunan. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Besi yang berlebihan dapat membentuk lapisan oksida ferri pada permukaan akar, sehingga akan memperlambat penyerapan hara lainnya oleh tanaman. Dalam jangka panjang, kalau lahan tidak dikelola dengan baik akan selalu berpotensi menjadi lahan yang masam dan miskin terhadap unsur hara tertentu. Komponen Hasil dan Hasil Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan varietas menunjukkan berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50 %, umur tanaman panen dan hasil (Tabel 2). Tinggi tanaman varietas Kapuas menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding keempat varietas lainnya. Tinggi tanaman varietas kapuas hanya 85,33 cm merupakan yang tertinggi dibanding varietas lainnya. Tinggi tanaman varietas Cigeulis sebagai kontrol hampir sama dengan varietas Sei lalan. Jika dilihat dari deskripsinya maka tinggi tanaman kelima varietas tersebut lebih rendah dibanding pada deskripsinya. Hal ini diduga karena kondisi kering yang dialami pertanaman. Dari Deskripsi varietas (Suprihatno,. Dkk, 2010) menyatakan bahwa tinggi tanaman. Inpara 2 103 cm, tinggi tanaman Banyuasin berkisar 98 - 105 cm dan tinggi tanaman Cigeulis berkisar 100 - 110 cm. Badan Litbang Pertanian (2007) menyatakan bahwa tinggi tanaman varietas Kapuas dan Sei lalan adalah 100 cm.
Tabel 2. Pengaruh tunggal varietas dan pemberian fungsida dan zpt terhadap tinggi tanaman berbunga 50%, umur tanaman panen dan hasil. Peubah yang diamati Tinggi Umur tanaman Umur Perlakuan tanaman berbunga 50 % tanaman (cm) (hr) panen (hari) Inpara 2 79,60 b 61,67 b 88,00 c Banyuasin 77,28 b 67,50 a 90,00 b Sei lalan 75,37 b 63.33 ab 91,50 a Kapuas 85,33 a 53,33 c 88.83 c Cigelis 75,17 b 60,83 b 89,33 b Pemakaian fungisida dan zpt Tanpa pemberian fungisida dan zpt 77,63 p 60,67 p 89,20 p Diberi fungisida dan zpt 79,47 p 62,00 p 89,89 p
tanaman, umur
Hasil (t/ha) GKP 2,82 a 2,76 a 2,32 ab 1,98 ab 1,54 b 2,24 p 2,33 p
Keterangan : Angka-angka diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Umur tanaman berbunga 50 % berbeda nyata pada masing-masing perlakuan varietas, umur tanaman berbunga 50 % berkisar pada 53,33 - 66,67 hari. Umur tanaman panen berbeda nyata terhadap perlakuan varietas. Varietas Inpara 2 dan Kapuas memiliki umur tanaman panen yang sama yaitu 88 hari, Banyuasin 90 hari, Sei lalan 91,50 hari dan cigeulis 89,33 hari. Jika dilihat dari deskripsinya (umur tanaman. Inpara 2 yaitu 128 hari, Banyuasin berkisar 118 – 122 hari dan umur tanaman Cigeulis berkisar 115 - 125 hari (Suprihatno et all., 2010). Badan Litbang Pertanian (2007) menyatakan bahwa umur tanaman varietas Kapuas dan Sei lalan adalah 125 hari, dan kelima varietas tersebut memilki umur panen yang lebih cepat. Hal ini diduga karena faktor kekeringan yang membuat tanaman lebih cepat proses pemasakannya, menurut Goldsworthy and Fisher (1996) waktu antara penyebaran benih dan pemasakan dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung pada intensitas dan waktu terjadinya kekurangan air. Seperti halnya tanaman kacang tunggak berbunga dan masak lebih awal di bawah tingkat kekurangan air sedang, tetapi kekurangan air yang berat menunda aktivitas reproduktif. Hasil tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara varietas: Inpara 2; Banyuasin; Sei lalan dan Kapuas, akan tetapi hasil tanaman varietas Inpara 2 dan Banyuasin menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Cigeulis. Sementara antara varietas Sei lalan dan Kapuas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Cigeulis (Tabel 2). Hasil gabah tertinggi pada Inpara 2 diikuti oleh Varietas Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas masing-masing dengan hasil sebagai berikut 2,82 t/ha GKP, 2,76 t/ha GKP, 2, 32 t/ha GKP dan 1,98 t/ha GKP. Sedangkan varietas Cigelis sebagai kontrol hasilnya 1,54 t/ha. Hasil gabah varietas cigelis merupakan hasil yang terendah dibanding varietas lainnya, hal ini karena varietas cigelis memang dianjurkan untuk ditanam pada sawah irigasi.
Rendahnya hasil gabah yang diperoleh pada masing-masing varietas diduga karena tanaman mengalami kekeringan sehingga pemberian pupuk kurang optimum, khusus pemberian pupuk urea hanya 2/3 dosis karena pemberian hanya dilakukan pada umur tanaman 7 hari setelah tanam. Nyakpa, dkk (1988) menyatakan bahwa peningkatan suplai air ke dalam tanah menghasilkan serapan hara cenderung meningkat oleh tanaman. Jika penyedian air cukup dalam tanah, maka pupuk yang diberikan terpakai secara optimal. Hakim dkk (1987) menambahkan bahwa daya tahan terhadap kekeringan suatu tanaman akan mempengaruhi hasil. 2.82a
2.76 a 2.32 ab 1.98 ab
hasil (ton/ha)
1.54 b
varietas Gambar 1. Hasil rata-rata padi rawa pada lahan rawa lebak (t/ha) GKP
Perlakuan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50%, umur tanaman panen dan hasil gabah (Tabel 2). Tinggi tanaman antara tanpa pemberian dan dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh secara statistik tidak berbeda nyata tetapi secara angka-angka maka relatif berbeda. Tinggi tanaman dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh lebih tinggi daripada tanpa pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Perlakuan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh juga tidak berbeda nyata terhadap umur tanaman berbunga 50 %, dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh umur tanaman berbunga lebih lambat dari tanpa pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Umur tanaman panen relatif sama pada tanpa maupun dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Demikian juga perlakuan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh tidak berbeda nyata terhadap hasil gabah. Hasil yang diperoleh tidak ada pengaruhnya terhadap pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Berbeda tidak nyatanya antara perlakuan tidak diberinya fungisida dan zat pengatur tumbuh dan dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh, hal ini diduga karena belum optimum pemberian yang mengandungi fungsida dan bahan aktif difenokonazol. Hal ini didukung oleh Krisnamorthy (1989) konsentrasi bahan aktif 2,4 D yang optimum dapat mendorong pertumbuhan tanaman, tetapi memiliki respon yang berbeda-beda pada masing-masing varietas.
KESIMPULAN 1. Tinggi tanaman varietas Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan, Kapuas dan Cigeulis berturut-turut adalah 79,60 cm, 77,28 cm, 75,37 cm, 85,32 cm dan 75,17 cm, berbeda tidak nyata pada inpara, banyuasin, sei lalan dan cigelis tetapi berbeda nyata terhadap varietas Kapuas. 2. Umur tanaman berbunga varietas Inpara 2 61,67 hari, varietas Banyuasin 67,50 hari, varietas Sei lalan 63,33 hari, varietas Kapuas 53,33 hari dan varietas Cigelis 60,83 hari. 3. Umur panen varietas Inpara 2 88,00 hari, varietas Banyuasin 90,00 hari; varietas Sei lalan 91,50 hari; varietas Kapuas 88,83 hari dan varietas Cigeulis 89,33 hari. 4. Hasil gabah kelima varietas tersebut berturut-turut adalah 2,82 t/ha GKP; 2,76 t/ha GKP; 2,32 t/ha GKP; 1,98 t/ha GKP dan 1,54 t/ha GKP. 5. Pemberian fungsida dan zpt tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga, umur panen dan hasil gabahnya
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Lebak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 42 p. BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Bappeda dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu 402 p. Goldsworthy.P.R and Fisher, N.M .1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung Krishnamorthy, H.N. 1989. Plant Growth Substance. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company United. New Delhi. Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Subagyo H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa Untuk Pertanian. Prosd. Simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta 25- 27 Juni 1996 Tan, K. H. 2007. Tanah Tanah Daerah Bermusim dan Tropis Basah Dari Indonesia. Pembentukan Sifat-Sifat dan Pengolahan. Dept of Crops and Soil Science. University of Georgia, Athens, GA, USA. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institut. Philipinnes. ;269p.