Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa
ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU INPARA PADA LAHAN RAWA LEBAK DI KABUPATEN MUKOMUKO The Adaptation of New Superior Varieties of Inpara in the Marsh Land in Mukomuko Regency Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 E-mai :
[email protected]
ABSTRACT The marsh land in Mukomuko regency is quite extensive and potentially in increasing rice production. The use ofvarieties that are not specific of location becomes one of the causes of rice swamp’s low productivity in Mukomuko regency. This study aims to determine the VUB of rice swamps that have high productivity and adapt to the marsh land broadly. The assessment was conducted in Mukomuko regency which is at 43 meters of altitude above sea level (m dpl) in the month of June to October 2012. The assessment was conducted using Randomized Block Design (RBD) with seven replications. The treatment consisted of three varieties namely Inpara1, Inpara 3 and Mekongga as comparison varieties. The study showed that Inpara1 adapted well to the swamp land with productivity 6.22 tons milled rice/ha compared to Inpara 3 (4.09 tons milled rice/ha) and Mekongga (2.56 tons milled rice/ha). Inpara 1 variety was potential to be developed on the marsh land in Mukomuko regency. Keywords: adaptation, Inpara, marsh land
ABSTRAK Lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko cukup luas dan berpotensi dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan varietas yang belum spesifik lokasi menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi rawa di Kabupaten Mukomuko. Pengkajian ini bertujuan untuk menentukan VUB padi rawa yang mempunyai produktivitas tinggi dan beradaptasi luas pada lahan rawa lebak. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Mukomuko yang berada pada ketinggian 43 meter di atas permukaan laut (m dpl) pada bulan JuniOktober 2012. Pengkajian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tujuh ulangan. Perlakuan terdiri atas 3 varietas yaitu Inpara 1, Inpara 3 dan Mekongga sebagai varietas pembanding. Hasil pengkajian menunjukkan Inpara 1 beradaptasi baik pada lahan rawa lebak dengan produktivitas 6,22 ton GKG/ha dibandingkan dengan Inpara 3 (4,09 ton GKG/ha) dan Mekongga (2,56 ton GKG/ha). Varietas Inpara 1 berpotensi untuk dikembangkan pada lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko. Kata kunci: adaptasi, inpara, rawa lebak
738
Adaptasi Varietas Unggul Baru Inpara pada Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Mukomuko
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi padi dapat dilakukan melalui pengembangan lahanlahan marjinal. Salah satu lahan marjinal yang mempunyai potensi cukup tinggi adalah lahan rawa. Lahan rawa merupakan lahan marjinal yang mempunyai potensi cukup besar untuk pengembangan padi. Di Indonesia diperkirakan terdapat 33,4 juta ha lahan rawa, 9,5 juta ha diantaranya berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan yang sudah direklamasi sekitar 5,4 juta ha terdiri dari 4,1 juta ha lahan pasang surut dan 1,3 juta ha lahan lebak (Koesrini dan Nursyamsi, 2012). Menurut Djaenudin (2009), agroekosistem lahan rawa dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: rawa gambut pedalaman, rawa lebak dan rawa pasang surut. Dari ketiga jenis lahan rawa tersebut, rawa lebak merupakan rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Hal ini disebabkan rawa lebak merupakan zona ketiga yang terletak semakin ke hulu sungai yaitu mendekati atau berada pada daerah aliran sungai bagian tengah. Dari segi aspek lingkungan, keberadaan rawa lebak sangat penting sebagai pengendali luapan air, baik waktu kejadian banjir maupun pasca banjir. Dari aspek sumber daya lahan, rawa lebak merupakan lahan tercadang untuk pertanian dan perikanan. Usaha pemanfaatan lahan rawa lebak sebagai lahan pertanian terutama untuk perluasan areal tanaman padi semakin banyak dilakukan oleh petani. Akan tetapi penggunaan teknologi yang digunakan masih sederhana, sehingga produktivitas padi yang diusahakan pada lahan-lahan tersebut masih rendah. Selain itu, penyebab rendahnya produktivitas padi pada lahan rawa lebak juga dipengaruhi oleh fisiko-kimia lahan dan juga dinamika genangan air (Fadjry, et al., 2012). Menurut Suwignyo (2007), selain permasalahan genangan air, rawa lebak juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan yang bereaksi sangat masam sehingga dapat menyebabkan ketersediaan Al dan Fe tinggi. Sebaliknya unsur-unsur hara makro seperti nitrogen, phosphor dan kalium yang sangat diperlukan tanaman menjadi kurang tersedia. Kabupaten Mukomuko yang berada pada ketinggian antara 5 – 70 m dpl merupakan wilayah yang memiliki lahan rawa lebak yang cukup luas. Menurut BPS Kabupaten Mukomuko (2011), lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko seluas 688 ha. Luasnya lahan rawa terutama lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko berpotensi untuk peningkatan produksi padi. Produktivitas padi rawa lebak di Kabupaten Mukomuko saat ini masih rendah, salah satu penyebabnya adalah penggunaan varietas yang belum spesifik lokasi. Varietas padi yang banyak digunakan oleh petani di Kabupaten Mukomuko adalah padi lokal. Menurut Koesrini dan Nursyamsi (2012), masih banyaknya petani yang menggunakan padi lokal terutama jenis siam karena padi tersebut cukup adaptif pada kondisi lahan tersebut, akan tetapi umumnya hasilnya rendah. Selain itu, varietas padi yang banyak ditanam oleh petani pada lahan rawa lebak adalah padi sawah irigasi, salah satu contohnya adalah varietas Mekongga. Menurut Suprihatno, et al., (2010), varietas Mekongga merupakan varietas padi sawah irigasi yang baik ditanam pada lahan sawah dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. Sehingga 739
Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa
penggunaan varietas Mekongga sebagai padi rawa tidak sesuai dengan kondisi lahan rawa lebak. Rendahnya produktivitas padi merupakan salah satu indikator varietas tersebut tidak cocok ditanam pada lahan rawa lebak. Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) baik pada padi sawah irigasi maupun sawah rawa lebak menjadi salah satu komponen paket teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. VUB Inhibrida Padi Rawa atau yang dikenal sebagai VUB Inpara merupakan varietas padi yang dilepas untuk adaptasi di lahan rawa. Produktivitas rata-rata VUB Inpara berkisar antara 4,1-5,1 ton GKG/ha (Koesrini dan Nursyamsi, 2012). Masih banyaknya penggunaan padi irigasi untuk lahan rawa lebak menyebabkan produktivitas rendah. Tujuan pengkajian ini untuk menentukan VUB padi rawa yang mempunyai produktivitas tinggi dan beradaptasi luas pada lahan rawa lebak.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengkajian dilakukan di Desa Sungai Ipuh Kecamatan Selagan Raya Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, pada bulan Juni sampai Oktober 2012. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan ulangan 7 kali. Perlakuan 3 varietas yaitu Inpara 1, Inpara 3 dan Mekongga sebagai varietas pembanding. Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah rawa lebak milik petani seluas 3,5 ha. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit yang berumur kurang 21 Hari Setelah Semai (HSS) sebanyak 1-3 batang/lubang tanam. Sistem tanam menggunakan legowo 4:1 dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, pemupukan pertama pada 7 Hari Setelah Tanam (HST) dengan menggunakan NPK 100 kg/ha, pemupukan kedua pada 21-25 HST dengan NPK 100 kg/ha dan Urea 50 kg/ha, dan pemupukan ketiga pada 45 HST menggunakan Urea dengan dosis 100 kg/ha. Pengamatan dilakukan saat panen yang terdiri dari tinggi tanaman (cm), anakan aktif/rumpun, panjang malai (cm), gabah isi/malai (butir),total gabah/malai, persentase gabah hampa/malai (%), bobot 1.000 butir (gram) serta produktivitas/ha (GKG/ton/ha). Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan untuk mengetahui perbedaan antar varietas, dilakukan dengan menggunakan uji BNT pada taraf nyata 5 persen (Gomes dan Gomes, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Unsur Hara Tanah Lokasi pengkajian berada pada dataran rendah dengan ketinggian 43 m dpl dengan jenis tanah gambut. Jumlah curah hujan rata-rata pada saat pengkajian dilaksanakan adalah 201,5 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 14 hari/bulan. 740
Adaptasi Varietas Unggul Baru Inpara pada Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Mukomuko
Jumlah curah hujan selama pengkajian termasuk bulan basah, hal ini berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidth-Ferguson bahwa curah hujan > 100 mm/bulan termasuk bulan basah (Koesmaryono dan Handoko, 1993). Curah hujan yang terjadi selama kegiatan pengkajian berlangsung secara merata, hal ini menjadi salah satu faktor penunjang bagi pertumbuhan tanaman. Kekurangan air pada tanaman padi akan menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. Proses fisiologis, biokimia, anatomi dan morfologi menjadi terganggu pada saat tanaman mengalami kekurangan air. Pada saat kekurangan air, sebagian stomata daun menutup sehingga menghambat masuknya CO2 dan menurunkan aktivitas fotosintesis. Selain itu, kekuranga air juga akan menghambat sintesis protein dan dinding sel (Salisbury dan Ross, 1992). Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu, tekstur tanah pada lokasi pengkajian adalah lempung liat berdebu dengan kandungan liat 35,36 persen, debu 46,07 persen dan pasir 18,57 persen. Kandungan unsur hara N sedang, P rendah, K sangat rendah, C/N sedang, pH sangat masam, dan KTK rendah (Tabel 1). Unsur N, P, dan K merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil analisis tanah tersebut, diketahui bahwa kandungan unsur hara cukup sesuai untuk penanaman padi. Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Lokasi Pengkajian Adaptasi VUB Inpara Sifat fisik dan kimia
Nilai*)
Keterangan**)
N (%) P (ppm) K (me/100 g) C-organik (%) C/N pH KTK (me/100 g) Tekstur Liat (%) Debu (%) Pasir (%)
0,27 4,46 0,01 3,91 14,48 5,45 12,69
Sedang Rendah Sangat Rendah Tinggi Sedang Masam Rendah
35,36 46,07 18,57
Lempung liat berdebu
*) Hasil analisis Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu **) Balai Penelitian Tanah, 2009
Sebagian besar unsur hara berasal dari tanah serta terbagi menjadi unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah banyak, sedangkan unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit (Hardjowigeno, 2003). Menurut Djamhari (2010), unsur N berfungsi di dalam pembentukan/pertumbuhan bagian vegetatif tanaman seperti daun atau klorofil, batang dan akar. Unsur K berperan di dalam mengaktifkan sejumlah besar enzim yang berfungsi untuk proses fotosintesis, transpirasi, pembentukan pati dan protein.
741
Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa
Komponen Hasil Hasil pengujian dengan menggunakan BNT pada taraf 5 persen terhadap tinggi tanaman akhir, anakan aktif , gabah isi/malai, total gabah/malai, bobot 1.000 butir, dan produktivitas GKG menunjukkan perbedaan nyata antara varietas VUB Inpara terhadap varietas Mekongga. Komponen panjang malai dan persentase gabah hampa/malai (%) menunjukkan tidak berbeda nyata antara VUB Inpara terhadap Mekongga (Tabel 2). Tabel 2. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Anakan Aktif, dan Panjang Malai Komponen hasil
Varietas Inpara 1
Inpara 3
Mekongga
Tinggi tanaman akhir (cm)
96,43 a
101,14 a
78,57 b
Anakan produktif (batang/rumpun)
18,71 a
12,14 b
12,86 b
Panjang malai (cm)
19,29 a
19,71 a
19,00 a
Gabah isi (butir/malai)
51,86 a
62,14 a
30,86 b
Total gabah (butir/malai)
98,71 a
86,71 a
51,14 b
Persentase gabah hampa (%/malai)
39,57 ab
30,57 b
42,86 a
Bobot 1.000 butir (gram)
25,57 b
27,86 a
25,86 b
Produktivitas GKG (t/ha)
6,22 a
4,09 b
2,56 c
Keterangan
: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut BNT taraf 5 persen.
Tinggi tanaman VUB Inpara tertinggi pada varietas Inpara 3 lebih tinggi jika dibandingkan dengan Inpara 1 (96,43 cm). Dibandingkan dengan varietas pembanding, VUB Inpara menunjukkan tinggi tanaman paling baik. Dibandingkan dengan tinggi tanaman berdasarkan deskripsi, tinggi tanaman varietas Inpara 3 masih lebih rendah. Tinggi tanaman varietas Inpara 1 dan Inpara 3 yaitu masingmasing 111 cm dan 108 cm (Suprihatno, et.al., 2010). Menurut Siregar (1981) dalam Hermawati (2012), penampilan genotipe tinggi rumpun tanaman dapat ditentukan oleh faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, penyediaan air dan intensitas cahaya yang optimal. Adanya perbedaan tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh suatu pengaruh keadaan lingkungan. Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi tanaman padi biasanya mencapai 80-120 cm (Norsalis, 2011). Menurut Suprapto dan Drajat (2005) dalam Fadjry, et al., (2012), tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, namun pertumbuhan tinggi tanaman yang tinggi belum menjamin hasil yang diperoleh tinggi. Jumlah anakan aktif berpengaruh secara langsung terhadap jumlah malai yang dihasilkan. Semakin banyak anakan aktif yang tinggi, makin tinggi gabah yang akan diperoleh. Rata-rata anakan aktif menunjukkan perbedaan nyata antar VUB Inpara dengan Mekongga. Anakan aktif varietas Inpara 1 menunjukkan hasil lebih tinggi (19 batang/rumpun) dibandingkan dengan Inpara 3 (12 742
Adaptasi Varietas Unggul Baru Inpara pada Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Mukomuko
batang/rumpun). Anakan aktif Inpara 3 (12 batang/rumpun) menunjukkan hasil lebih rendah dibandingkan dengan Mekongga (13 batang/rumpun). Hasil tersebut menunjukkan ketiga varietas mampu beradaptasi pada lahan rawa lebak Kabupaten Mukomuko. Jumlah anakan aktif masing-masing varietas dipengaruhi oleh sifat genetik varietas dan kondisi lingkungan tumbuh. Varietas Inpara 1 menunjukkan rata-rata anakan aktif tertinggi (19 batang) dibandingkan dengan varietas lain. Hal ini sesuai dengan deskripsi, dimana varietas Inpara 1 mempunyai anakan aktif 18 batang/rumpun, lebih tinggi dibandingkan Inpara 3 dan Mekongga yaitu masing-masing 17 batang/rumpun dan 13-16 batang/rumpun (Suprihatno, et al., 2010). Hal tersebut juga sesuai menurut Kaihatu dan Pesireron (2011), jumlah anakan produktif/rumpun sangat berkaitan erat dengan karakteristik dari masingmasing varietas dan jumlah bibit yang ditanam. Selain dipengaruhi oleh karakteristik varietas, jumlah anakan produktif juga dipengaruhi oleh unsur N. Berdasarkan hasil penelitian Siregar dan Marzuki (2011), kekurangan N pada petak tanpa hara eksternal dan petak perlakuan PK mempengaruhi tinggi tanaman, berkurangnya anakan, jumlah malai per satuan luas dan juga jumlah gabah per malai berkurang. Status unsur hara N sedang, P rendah, dan K sangat rendah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif. Berdasarkan hasil penelitian Londong (2009), status NPK tanah yang sangat rendah dengan pemberian NPK majemuk menyebabkan peningkatan pertumbuhan tanaman sehingga tanaman padi memberikan respon baik pada peningkatan biomassa. Unsur hara yang memberikan kontribusi besar pada fase vegetatif adalah N dan K. Dimana unsur N mendorong pertumbuhan anakan dan K memperkuat jaringan batang dan daun. Panjang malai tidak menunjukkan perbedaan antara VUB dengan varietas pembanding. Rata-rata panjang malai tertinggi pada varietas Inpara 3 (19,71 cm) menunjukkan panjang malai lebih tinggi jika dibandingkan dengan Inpara 1 (19,29 cm) dan varietas pembanding (19,00 cm). Panjang malai VUB Inpara berada pada kriteria panjang malai pendek. Menurut Norsalis (2011) panjang malai beraneka ragam, pendek 20 cm, sedang 20-30 cm dan panjang >30 cm. Panjang malai bersifat baka atau keturunan dari varietas dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh. Gabah isi/malai, menunjukkan tidak berbeda nyata antar VUB dan menunjukkan perbedaan nyata antara VUB dengan varietas Mekongga. Rata-rata gabah isi/malai tertinggi pada varietas Inpara 3 (62 butir/malai) lebih tinggi jika dibandingkan dengan Inpara 1 (52 butir/malai). Jumlah gabah isi/malai pada varietas pembanding masih lebih rendah jika dibandingkan dengan varietas Inpara 1 yaitu 31 butir/malai. Total gabah/malai dihitung berdasarkan jumlah gabah isi dan gabah hampa/malai. Tujuan penghitungan total gabah hampa adalah untuk mengetahui jumlah gabah/malai. Berdasarkan hasil perhitungan, total gabah/malai menunjukkan perbedaan nyata antara VUB Inpara dengan varietas pembanding. Total gabah/malai pada varietas Inpara 1 (99butir/malai) dan Inpara 3 (87 butir/malai), masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas pembanding (51 butir/malai).
743
Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa
Persentase gabah hampa dihitung berdasarkan jumlah gabah hampa dibagi dengan total jumlah gabah/malai. Berdasarkan persentase gabah hampa, tidak terdapat perbedaan nyata antara VUB Inpara dengan varietas pembanding. Persentase gabah hampa/malai VUB Inpara tertinggi pada Inpara 1 (39,57%) dan masih lebih rendah dibandingkan dengan varietas pembanding (42,86%). Menurut Suparwoto et al. (2004), tanaman berpotensi hasil tinggi mempunyai persentase gabah hampa yang rendah. Semakin rendah persentase gabah hampa berarti persentase gabah isi semakin tinggi. Masih tingginya persentase gabah hampa varietas Inpara 1 disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor biotik maupun abiotik. Menurut Abdullah (2009), salah satu penyebab kehampaan pada gabah adalah tidak seimbangnya antara sink (limbung) dan source (sumber). Salah satu contohnya adalah varietas Fatmawati. Varietas ini mempunyai sink yang besar berupa jumlah gabah/malai tinggi (300 butir), tetapi source yang kurang mendukung seperti daun yang panjang dan terkulai, cepat menua (senesen) dan berumur genjah. Bila varietas Fatmawati ditanam di lahan yang kurang subur, maka asimilasi yang dihasilkan rendah dan kurang mencukupi untuk pengisian gabah, akibatnya sebagian gabah tidak terisi penuh, gabah menjadi ringan dan akan banyak terbuang dalam penampian atau apabila digiling gabah akan hancur mengakibatkan rendemen beras kepala rendah dan beras pecah menjadi tinggi. Bobot 1.000 butir tertinggi pada Inpara 3 (27,86 gram), masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Inpara 1 (25,57 gram) dan varietas pembanding (25,86 gram). Berdasarkan deskripsi, bobot 1.000 butir Inpara 1 (23,25 gram) dan Inpara 3 (25,70 gram), sehingga bobot 1.000 butir kedua varietas pada lokasi pengkajian tersebut lebih tinggi (Suprihatno, et al., 2010). Menurut Manurung dan Ismunadji (1989) dalam Hermawati (2012), bobot 1.000 butir gabah tergantung kepada ukuran lemma dan pallea. Tingginya bobot 1.000 butir pada Inpara 3 diduga karena kebutuhan unsur P yang dibutuhkan oleh tanaman tercukupi sehingga translokasi nutrisi lebih lancar dan cadangan makanan yang disimpan lebih banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparwoto, et al., (2004), dimana tanaman yang dipupuk P dan K melalui daun 2 persen memberikan bobot 1.000 butir gabah lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Diduga pada tanaman yang diberi fospor maka kebutuhan tanaman akan fosfor lebih terpenuhi sehingga translokasi nutrisi lebih lancar dan cadangan zat makanan yang disimpan lebih banyak. Menurut Gardner, et al., (1991), fosfor merupakan komponen struktural dari sejumlah senyawa penting, molekul pentransfer energi Adenosin Difosfat (ADP) dan Adenosin Trifosfat (ATP), NAD, NADHP dan senyawa sistem informasi genetik DNA dan RNA. Berdasarkan hasil GKG, produktivitas tertinggi pada varietas Inpara 1 (6,22 ton/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan Inpara 3 (4,09 ton/ha) dan Mekongga (2,56 ton/ha). Berdasarkan deskripsi, rata-rata hasil Inpara 1, Inpara 3 dan Mekongga masing-masing 5,65 ton/ha, 4,6 ton/ha dan 6 ton/ha (Suprihatno, et al., 2010). Produktivitas rata-rata Inpara 1 di lokasi pengkajian lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil berdasarkan deskripsi. Hal ini menunjukkan Inpara 1 sesuai untuk dikembangkan pada lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko.
744
Adaptasi Varietas Unggul Baru Inpara pada Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Mukomuko
KESIMPULAN
Varietas Inpara 1 dan Inpara 3 adaptif pada lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko, dengan produktivitas masing-masing 6,22 ton GKG/ha dan 4,09 ton GKG/ha. Varietas Inpara 1 berpotensi untuk dikembangkan pada rawa lebak di Kabupaten Mukomuko.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B. 2009. Perakitan dan Pengembangan Varietas Padi Tipe Baru. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. hal 67-89. Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisa Kimia Tanah, Tanaman, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. BPS Kabupaten Mukomuko. 2012. Mukomuko Dalam Angka 2011. BPS Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Djamhari, S. 2010. Perairan Sebagai Lahan Bantu dalam Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Lebak. Jurnal Hidrosfir Indonesia Volume 5 No. 3. hal 1-11. Djaenudin, U.D. 2009. Prospek Penelitian Potensi Sumber Daya Lahan di Wilayah Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (4) : 243-257. Fadjry, D., Arifudin, K., Syafruddin, K., dan Nicholas. 2012. Pengkajian Varietas Unggul Baru Padi yang Adaptif pada Lahan Sawah Bukaan Baru untuk Meningkatkan Produksi >4 ton/ha GKP di Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Prosiding Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional : 29-36. Gardner, F.P., R.B. Perace dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo dan Subiyanto (pendamping). UI Press. Halaman 153. Gomes, K.A. dan Gomes, A.A. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (edisi revisi). UI Press. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hermawati, T. 2013. Respon Enam Varietas Padi (Oryza sativa L.) pada Perbedaan Umur Bibit di Lahan Rawa. Jurnal Bioplante Volume 1 No. 4 April-Juni 2013. hal 57-64. Hermawati, T. 2012. Pertumbuhan dan hasil Enam Varietas Padi Sawah Dataran Rendah pada Perbedaan Jarak Tanam. Jurnal Bioplantae Volume 1 No. 2 April-Juni : 108116. Kaihatu, S.S. dan M. Pasireron. 2011. Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah di Morokai. Jurnal Agrivigor 11 (2) : 178-184. Koesmaryono, J. dan Handoko. 1993. Klasifikasi Iklim. Dalam Handoko (editor). Klimatologi Dasar : Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Halaman 161-162. Pustaka Jaya. Jakarta.
745
Jhon Firison, Siti Rosmanah, dan Wahyu Wibawa
Koesrini dan D. Nursyamsi. 2012. Inpara : Varietas Padi Adaptif Rawa. http://balittra. litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=230&Itemid=10 [7 Oktober] 2013. Londong, P. 2009. Hubungan Pupuk NPK dengan Pertumbuhan dan Hasil Padi Mira 1 pada Lahan Pasang Surut. Jurnal Agroscientiae nomor 2 volume 16 hal : 112-115. Norsalis, E. 2011. Padi Gogo dan Padi Sawah. http://skp.unair.ac.id/repository/GuruIndonesia/Padigogodansawah_ekonorsalis_17170.pdf [23 September) 2013. Siregar, A. dan I. Marzuki. 2011. Efisiensi Pemupukan Urea terhadap Serapan N dan Peningkatan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L.). Jurnal Budidaya Pertanian Volume 7 No. 2 : 107-112. Salisbury, F. B. dan C.W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Terjemahan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono, 1992. ITB. Bandung Suparwoto, Waluyo, dan Jumakir. 2004. Pengaruh Varietas dan Metode Pemupukan terhadap Hasil Padi di Rawa Lebak. Jurnal Agronomi 8 (1) : 21-25. Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Suwignyo, R. A. 2007. Ketahanan Tanaman Padi terhadap Kondisi Terendam : Pemahaman terhadap Karakter Fisiologis untuk Mendapatkan Kultivar Padi yang Toleran di Lahan Rawa Lebak. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia Bagian Barat. Palembang 3-5 Juni 2007. Hal : 71-77.
746