1
RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) ------------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: 2016-2017. : IV : : Terbuka. : Rapat Dengar Pendapat : Senin, 17 April 2017. : Pkl. 10.37 s/d. 22.40 WIB. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI. : Penjelasan Ketua KPK, terhadap hal-hal sebagai berikut : ➢ Laporan Kinerja KPK di Bidang Penindakan dan strategi di Tahun 2017 dalam meningkatkan kinerja atau pelaksanaan tugas dan fungsi KPK, khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus yang telah lama penanganannya. Hambatan serta Dukungan yang masih dibutuhkan. ➢ Laporan KPK terkait dengan upaya realisasi strategi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui penguatan dan sistem yang terintegrasi dalam meningkatkan Fungsi Supervisi dan Koordinasi serta Kerja sama dengan berbagai pihak, instansi terkait, maupun Apgakum lainnya. ➢ Evaluasi terhadap tindak lanjut Pengaduan Masyarakat dari Rapat Dengar Pendapat sebelumnya. KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN Rapat dengar pendapat dibuka pukul 10.37 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR.Benny K Harman, SH, dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBAHASAN 1. Pimpinan rapat meminta penjelasan, mengapa Ketua KPK tidak hadir dalam rapat dengar pendapat hari ini. 2. Pimpinan Rapat meminta Ketua KPK dapat hadir sore hari ini atau malam untuk melanjutkan rapat dengar pendapat. Selama Ketua KPK belum hadir, rapat diskors sambil menunggu kehadiran Ketua KPK. 3. Pimpinan KPK menjelaskan bahwa Ketua KPK ada agenda acara di Lembang Bandung yang tidak bisa ditinggalkan. Saat ini Ketua KPK tidak bisa dihubungi
karena permasalahan sinyal handphone dilokasi acara. Bahwa Pimpinan KPK akan menyampaikan kepada Ketua KPK perihal kehadiran Ketua KPK dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. 4. Rapat diskors pukul.10.50 dan dilanjutkan kembali pukul.19.30 WIB 5. Rapat dengar pendapat dibuka kembali pukul.20.00 WIB 6. Beberapa hal yang disampaikan Komisi III DPR RI kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, diantaranya adalah sebagai berikut: ➢ Meminta penjelasan terkait tindak lanjut Putusan MK yang berkaitan dengan Undang-Undang Tipikor berserta upaya KPK dalam menciptakan kepatuhan hukum dari SDM di KPK terhadap peraturan perundang-undangan maupun Standard Operational Procedure (SOP). ➢ Meminta penjelasan Pimpinan KPK terkait penanganan kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat berserta perkembangan, hambatan, dan dukungan yang dibutuhkan. ➢ Meminta penjelasan terkait upaya realisasi strategi pencegahan dan pemberantasan Tipikor melalui penguatan sistem yang terintegrasi serta kerjasama dengan apgakum lainnya sesuai dengan kesimpulan RDP sebelumnya. ➢ Meminta penjelasan atas laporan pengaduan masyarakat yang telah diserahkan kepada Pimpinan KPK dalam RDP tertanggal 18 Januari 2017. ➢ Meminta penjelasan atas terkait MOU dengan penegak hukum lainnya seperti antara Kejaksaan dan Kepolisan. Apa yang melatar belakangi diadakannya MoU tersebut. Bahwa dengan adanya MoU terkesan saling melindungi, sebagai contoh ketika akan melakukan penggeledahan di instansi penegak hukum tertentu, harus se ijin kepala lembaga/kementeriannya. Mengapa KPK tidak melakukan MoU dengan TNI. ➢ Terkait dengan penanganan kasus e-KTP, mampukah KPK menyelesaikan perkara tersebut secara tuntas. ➢ Meminta penjelasan KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi di Sumatera Utara. Bahwa KPK dianggap memilih orang untuk memproses suatu perkara tindak pidana korupsi. ➢ Bahwa Komisi III telah melakukan kunjungan kerja spesifik ke Batam dan disana terlihat banyaknya dugaan tindak pidana korupsi skala besar yang belum tertangani. Mengapa sampai saat ini KPK belum turun ke Kepri untuk memproses hal tersebut. ➢ Meminta penjelasan terkait dengan adanya konflik internal penyidik KPK, apakah benar adanya “ gesekan “ antara penyidik yang berasal dari kepolisian dengan penyidik yang bukan dari kepolisian. Apakah benar ada friksi antara penyidik senior dengan penyidik yang baru masuk KPK. ➢ Meminta penjelasan terkait dengan penyebutan nama-nama Anggota Komisi III oleh Sdri.Miryam S Haryani sebagaimana yang diungkap oleh Sdr.Novel Baswedan. ➢ Meminta penjelasan terkait dengan mengapa KPK meminta bantuan biaya pengobatan kepada Presiden dan tidak terlebih dahulu mengajukan biaya tersebut kepada DPR. ➢ Meminta penjelasan atas peristiwa penyiraman air keras kepada Sdr. Novel Baswedan. Apakah ada kaitannya dengan penanganan kasus E-KTP. Apakah Pimpinan KPK telah melakukan pemeriksaan internal. Langkah-langkah apa 2
yang telah diambil oleh Pimpinan KPK. Mengapa harus berobat di Singapura, apakah rumah sakit di Indonesia tidak mampu menanganinya. ➢ Bagaimana peran KPK terhadap proses pencegahan untuk daerah-daerah yang dianggap berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. ➢ Bagaimana dengan asuransi yang diberikan oleh KPK terhadap semua penyidik dan pegawai di KPK. Apa saja yang di cover dari asuransi tersebut. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk keperluan asuransi. ➢ Meminta kepada KPK untuk menyampaikan kepada Komisi III terhadap surat KPK yang disampaikan kepada Menteri Kesehatan terkait dengan biaya pengobatan Sdr.Novel Baswedan. 7. Beberapa hal yang disampaikan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, diantaranya adalah sebagai berikut: ➢ Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara historis MK telah pernah memutus perkara pengujian yang sama, terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK, dan Pasal tersebut telah pernah dimohonkan pengujiannya dan telah dinyatakan ditolak sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 MK tanggal 25 Juli 2006; 2. Perbedaan antara Putusan MK Tahun 2017 dengan putusan MK Tahun 2006 terletak pada uji dasar konstitusionalitasnya. Jika pada tahun 2006, MK menguji Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK berdasarkan Pasal 28 D ayat (1) UUD 19451, sedangkan dalam Putusan MK Tahun 2017 para pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 19452. 3. Dengan adanya Putusan MK Tahun 2017 sesungguhnya menjadikan aspek kepastian hukum dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK semakin tidak jelas dan mengakibatkan dualisme penafsiran, mengingat pada tahun 2006 MK juga telah menafsirkan ketentuan tersebut. Mengapa disebut terjadi dualisme penafsiran, karena sifat Putusan MK harus dimaknai sama, yaitu terakhir dan mengikat (final dan binding). Yang akan terjadi adalah para penegak hukum “dapat” memilih tafsir rezim Putusan MK Tahun 2006 atau rezim Putusan MK Tahun 2017. 4. Berdasarkan Putusan MK Tahun 2006, frasa dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, karena adanya tindak pidana korupsi cukup hanya dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat karena menurut pendapat Mahkamah kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi terutama yang berskala besar sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Terhadap 2 (dua) Putusan MK tersebut, dalam hal implementasi penafsiran frasa ”dapat merugikan keuangan Negara” KPK selalu mengambil langkah yang paling safety, artinya dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara, KPK mengambil sikap bukan sekedar kerugian negara dalam makna potensi tetapi kerugian negara yang terjadi secara materiil. Metode penentuan kerugian negara dalam penanganan perkara-perkara di KPK 3
seperti itu dilakukan baik sebelum maupun setelah adanya kedua putusan MK (tahun 2006 dan 2017). ➢ Upaya KPK dalam menciptakan kepatuhan hukum oleh seluruh sumber daya manusia di KPK terhadap peraturan perundang-undangan maupun Standard Operasional Prosedur (SOP) pada saat pelaksanaan tugas dan fungsi, meliputi: 1. KPK menetapkan dan memberlakukan nilai-nilai dasar pribadi, kode etik dan pedoman perilaku bagi pegawai, Penasihat dan Pimpinan KPK. Nilai-nilai dasar pribadi bagi pegawai, penasihat dan pimpinan KPK adalah religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan (RIKPK). Pada masing-masing nilai dasar tersebut disusun kode etik yang menjadi dasar pedoman perilaku bagi pegawai, penasihat dan pimpinan KPK. Dengan adanya nilai-nilai dasar pribadi, kode etik dan pedoman perilaku ini dapat menjadi panduan dan rambu-rambu bagi pegawai, penasihat dan pimpinan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai insan KPK. 2. KPK menetapkan dan memberlakukan Peraturan Kedisiplinan Pegawai yang mengatur hak, kewajiban dan larangan bagi pegawai dan penasihat KPK dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. 3. KPK mewajibkan setiap unit kerja untuk menetapkan dan memberlakukan Prosedur Operasi Baku (SOP) sebagai petunjuk pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi. Selain itu, dilakukan juga pengkajian ulang serta secara berkala atas SOP-SOP tersebut. 4. KPK menetapkan dan memberlakukan Sistem Pengendalian Internal KPK demi menciptakan lingkungan pengendalian yang andal di KPK dalam rangka meningkatkan ketaatan/kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku. 5. Menekankan pentingnya pengawasan melekat dari atasan kepada bawahan di lingkungan KPK sebagai upaya pengendalian dan optimalisasi peran manajerial. 6. Menguatkan peran Direktorat Pengawasan Internal dalam hal: a. Menegakkan prinsip zero tollerance dengan pelaksanaan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran terhadap kode etik, pedoman perilaku dan peraturan kedisiplinan yang dilakukan oleh pegawai, Penasihat atau Pimpinan KPK tanpa tebang pilih. b. Pelaksanaan kegiatan eksaminasi atas perkara-perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Eksaminasi yang dilakukan dapat berupa eksaminasi atas perkara yang sudah inkracht ataupun perkara yang sedang dalam proses penanganan KPK. c. Pelaksanaan audit/reviu/evaluasi atas pelaksanaan program/kegiatan unit-unit kerja KPK, baik audit atas bidang keuangan, kinerja dan kepatuhan (compliance) atas ketentuan atau peraturan yang berlaku.
4
d. Optimalisasi kegiatan konsultansi sehingga dapat mencegah atau meminimalisir tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku. e. Pengawasan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi sehingga pegawai KPK merasa selalu diawasi oleh karena itu diharapkan pegawai KPK dalam kesehariannya bertindak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. 7. Mengembangkan dan menerapkan manajemen risiko terpadu di lingkungan KPK. Dengan diterapkannya manajemen risiko maka dapat diketahui secara lebih dini risiko-risiko yang terkait dengan ketidakpatuhan terhadap ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dilakukan mitigasi dan upaya pengendalian untuk meminimalisir terjadinya risiko yang telah diidentifikasi tersebut. ➢ Penanganan kasus yang dilakukan oleh KPK terhadap kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat, berdampak luas terhadap masyarakat dan perekonomian negara antara lain: 1. Perkara TPK penerimaan sesuatu hadiah atau janji secara bersama-sama dan berlanjut yang diberikan oleh Soetikno Soedarjo selaku Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd, terkait dengan pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C. pada PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk atas nama tersangka EMIRSYAH SATAR (Dirut PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk), berdasarkan Sprin.Dik01/01/01/2017 Tanggal 16 Januari 2017, sejauh ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan tersangka, penyitaan Barang Bukti, koordinasi dengan Apgakum terkait (CPIB Singapura, SFO Inggris, dan ICAC Hongkong) serta pengiriman MLA ke Singapura. 2. Perkara TPK terkait Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s.d. 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, atas nama tersangka ANDI AGUSTINUS alias ANDI NAROGONG bersamasama dengan Irman selaku mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Ir. Sugiharto, MM selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dkk., berdasarkan Sprin.Dik20/01/03/2017 tanggal 21 Maret 2017. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap kerugian keuangan negara yang ditimbulkan atas pelaksanaan proyek KTP Elektronik (e-KTP) di Kemendagri tahun anggaran 2011-2013 sebesar Rp.2.314.904.234.275,39 (dua trilyun tiga ratus empat belas milyar sembilan ratus empat juta dua ratus tiga puluh empat ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah tiga puluh sembilan sen), serta rincian atas perbuatan melawan hukum yang melatarbelakangi perbuatan korupsi pada pengadaan proyek KTP elektronik (e-KTP) di Kemendagri tersebut. Saat ini masih dilakukan pemeriksaan aliran dana terkait dengan hasil kejahatan yang dilakukan, serta upaya-upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara atas pengadaan proyek KTP Elektronik (e-KTP) di Kemendagri tersebut. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap faktafakta material masing-masing tahapan perbuatan korupsi pengadaan proyek 5
KTP Elektronik (e-KTP) di Kemendagri tahun 2011-2013 dalam rangka mengungkap dan menemukan bukti untuk menjerat pelaku intelektual pada perkara tersebut. 3. Perkara TPK yang diduga dilakukan oleh pejabat pada BAKAMLA, yaitu: a. Perkara TPK penyelenggara negara menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan Proses Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla RI pada APBNP TA 2016 atas nama tersangka Eko Susilo Hadi (Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerjasama Bakamla RI/Kuasa Pengguna Anggaran pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerjasama Bakamla RI). b. Perkara TPK setiap orang yang secara bersama-sama memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan Proses Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla RI pada APBN-P TA 2016 atas nama tersangka Fahmi Darmawansyah (Swasta). c. Perkara TPK setiap orang yang secara bersama-sama memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan Proses Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla RI pada APBD-P TA 2016 atas nama tersangka Hardy Stefanus (Swasta). d. Perkara TPK setiap orang yang secara bersama-sama memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan Proses Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla RI pada APBN-P TA 2016 atas nama tersangka Muhammad Adami Okta (Swasta). e. Perkara TPK Penyelenggara Negara yang bersama-sama menerima hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan Proses Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla RI pada APBN-P TA 2016 atas nama tersangka NOFEL HASAN (Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla RI). Sprin.Dik-22/01/03/2017 Tanggal 30 Maret 2017. Hambatan/Kendala: 1) Maraknya Tindak Pidana Korupsi yang terjadi dan ditangani oleh KPK mengakibatkan perbandingan antara jumlah perkara yang ditangani dibandingkan dengan jumlah SDM di KPK mengalami ketimpangan sehingga terjadi beban kerja yang berlebih dialami oleh para pegawai di lingkup Kedeputian Bidang Penindakan. 2) Meningkatnya jumlah gugatan praperadilan yang diajukan oleh tersangka/penasihat hukum semakin memperbanyak beban kerja pekerjaan yang harus diselesaikan oleh para pegawai KPK. 6
3) Sebagian kasus/perkara yang ditangani bersifat lintas yurisdiksi sehingga membutuhkan kerjasama antar negara dan antar instansi (Mutual Legal Assistance). Dukungan yang dibutuhkan adalah: 1) Dibutuhkan komitmen dan dukungan dari DPR untuk memperkuat sumber daya KPK (dimensi keuangan dan jumlah sumber daya manusia); 2) Perlu dukungan legislasi di antaranya percepatan penyelesaian RUU KUHP dan RUU Perampasan Aset. 3) Perlu dukungan DPR dalam menguatkan kerjasama internasional dengan negara-negara lain dalam penanganan tindak pidana korupsi. ➢ Terkait salah satu kesimpulan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan KPK tanggal 18 Januari 2017, dapat diinformasikan beberapa hal sebagai berikut: KPK mengimplementasikan program pemerintah untuk melakukan penguatan kelembagaan Aparat Penegak Hukum melalui pemanfaatan aset rampasan yang berasal dari penanganan perkara TPK dan TPPU yang ditangani oleh KPK kepada instansi lain termasuk APH – Kepolisian dan Kejaksaan melalui mekanisme PSP (Pengalihan Status Penguasaan). Diharapkan dengan pemanfaatan aset ini dapat memperkuat infrastruktur instansi lain dan APH dalam rangka peningkatan profesionalisme. Dalam kegiatan dimaksud, KPK bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan untuk memfasilitasi. Sebagai contoh, KPK telah melaksanakan hibah barang milik negara yang berasal dari barang rampasan negara kepada Pemerintah Kabupaten Bantul yaitu berupa 6 (enam) unit mobil pemadam kebakaran dan 3 (tiga) unit mobil bus. Hibah ini ditujukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan Kabupaten Bantul. Fungsi Koordinasi dan fungsi Supervisi adalah 2 (dua) fungsi berbeda yang menjadi tugas sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya berdasarkan Peraturan KPK Nomor 01 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, kedua fungsi tersebut dijalankan oleh: (1) Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Bidang Penindakan dan (2) Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan. 1. Koordinasi dan Supervisi Penindakan Fungsi Koordinasi dan Supervisi bidang Penindakan yang dilaksanakan oleh Unit Kerja Koorsup Penindakan adalah melalui kegiatan sebagai berikut: a. Fungsi Koordinasi 1) Menerima laporan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) perkara TPK yang dilaksanakan oleh APH lain (Kepolisian dan Kejaksaan) di seluruh Indonesia dan menginventarisir perkara TPK yang ditangani namun belum pernah dilaporkan kepada KPK. 7
2) Menanyakan dan menerima perkembangan perkara pada umumnya dan khususnya perkembangan penyidikan perkara TPK dari APH yang menangani perkara dimaksud. 3) Menggali dan menginventarisir kendala yang dihadapi oleh APH yang sedang menangani perkara TPK. 4) Melaksanakan cross checking atas penanganan perkara baik di tahap Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih (over lapping) penanganan perkara TPK. b. Fungsi Supervisi 1) Membuat forum komunikasi antara aparat penegak hukum dan instansi terkait (BPK, BPKP dsb.) dalam bentuk gelar perkara atas perkara TPK yang mengalami kendala. 2) Melakukan analisa kendala dan merumuskan solusi atas kendala yang dihadapi dalam bentuk Nota Simpulan dan Rekomendasi Hasil Gelar Perkara. 3) Melaksanakan pemantauan atas pelaksanaan simpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara. 4) Memberikan fasilitasi/bantuan dalam rangka pelaksanaan hasil rekomendasi. 5) Meningkatkan kapasitas Aparat Penegak Hukum melalui pendidikan dan pelatihan bersama, melibatkan juga POM dan ODMIL. Dalam rangka meningkatkan fungsi Koordinasi dan supervisi, sistem yang dibangun atau dikembangkan yaitu aplikasi e-Korsup. Saat ini, e-Korsup dalam tahap uji coba dengan harapan dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia pada alamat http://korsup.kpk.go.id, mempunyai fitur antara lain Pengelolaan perkara (daftar, tambah, dan cari), Verifikasi pelaporan perkara (dilakukan oleh atasan sebelum final untuk dilaporkan) dan Laporan data-data perkara SPDP dan Perkembangan penanganan perkara. Dengan menggunakan e-Korsup: 1. Para APH KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dapat memperoleh informasi secara riil tentang perkara yang sedang ditangani oleh ketiga APH, sehingga dapat dilakukan koordinasi secara mudah yang dilanjutkan dengan gelar perkara. Untuk diberikan rekomendasi tentang tindak lanjut penanganan perkara apakah akan dilimpahkan/ambil alih atau dilakukan supervisi KPK. 2. Pimpinan ketiga APH akan lebih mudah untuk melihat perkembangan penanganan perkara yang disupervisi dan mengetahui secara cepat tentang data statistik seluruh perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh ketiga APH. Kegiatan e-Korsup dilaksanakan sesuai dengan amanat Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 (bahwa salah satu tugas KPK adalah koordinasi dan supervisi) dan Pasal 7 huruf (b) UU Nomor 30 Tahun 2002 bahwa KPK menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
8
Berdasarkan ketentuan di atas dalam rangka efektivitas untuk mendukung kerja sama terkait penanganan perkara korupsi antara aparat penegak hukum (APH) di Indonesia, maka KPK membuat aplikasi berbasis online yang dapat diakses melalui jaringan internet dengan nama Sistem Pelaporan Penanganan Perkara Tipikor atau e-Korsup. Dukungan pemerintah melalui Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017, pada angka 30 menginstruksikan Instansi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI selaku penanggung jawab untuk Aksi Implementasi sistem administrasi penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus secara online, dengan ukuran keberhasilan: a. Tersedianya sistem online SPDP yang meliputi implementasi sistem online penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus pada 18 (delapan belas) lokasi serta adanya database online dan periodik yang dapat diakses oleh aparat penegak hukum b. Terkirimnya tembusan SPDP perkara tindak pidana korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan kepada KPK c. Dimulainya pelaksanaan SPDP online dari Kepolisian dan Kejaksaan kepada KPK d. Tersusunnya laporan periodik hasil pengawasan penanganan perkara di Kepolisian RI i. Tersedianya sistem pelaporan penanganan TPK yang berbasis internet, diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan fungsi kontrol (oleh Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung dan KPK) serta menghindari terjadinya overlapping (tumpang tindih) penyidikan perkara TPK. e. Basis internet yang akan diterapkan diharapkan mempermudah petugas input untuk melaksanakan inputing (pemasukan data baru) dan updating (pembaharuan data yang telah ada), karena dapat terkoneksi di mana saja dan kapan saja. Manfaat sistem e-Korsup: 1. Memberikan informasi yang cepat mengenai perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi. 2. Memudahkan pengawasan dalam hal terjadi hambatan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. 3. Mencegah/meminimalisir konflik kewenangan dalam hal pelaksanaan proses penyidikan terjadi secara bersamaan antara penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Selain membangun aplikasi online, KPK juga melakukan kegiatan Penguatan Aparat Penegak Hukum oleh Unit Koorsup Penindakan KPK melalui pendidikan dan pelatihan bersama yang salah satunya dapat kami jabarkan sebagai berikut: Pada bulan tanggal 27 Februari – 3 Maret 2017, Unit Koordinasi dan Supervisi Bidang Penindakan telah melaksanakan Pelatihan Bersama Peningkatan Kemampuan SDM Apgakum yang dilaksanakan di Tangerang Selatan, Banten. Pelatihan Bersama Peningkatan Kapasitas SDM Aparat Penegak Hukum (APH) yang dilaksanakan di Tangerang Selatan, Banten ini diikuti oleh 175 peserta yakni: 9
a. Jaksa pada Wilayah Kejaksaan Tinggi Banten 41 peserta, b. Penyidik pada Wilayah Kepolisian Daerah Banten 40 peserta, c. Jaksa pada Jampidsus Kejaksaan RI 2 peserta, d. Penyidik pada Bareskrim Polri 12 peserta, e. Penyidik atau Penuntut Umum pada KPK 5 peserta, f. Penyidik pada Puspom TNI 40 Peserta, g. Oditur pada Oditur Militer 10 peserta, h. Auditor pada Perwakilan BPK RI Perwakilan Banten 10 peserta, i. Auditor pada Perwakilan BPKP Perwakilan Banten 11 peserta, j. Kedeputian Bidang Pemberantasan pada PPATK 2 peserta, k. PPNS pada OJK 2 peserta. Materi pelatihan yang telah disampaikan kepada peserta adalah: a. Kuliah Umum Pimpinan lembaga b. Mengurangi Egocentric Thinking, dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dan metode komunikasi antara penyidik dan penuntut umum serta auditor; c. Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, dengan tujuan memberikan pemahaman terhadap mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara; d. Titik Rawan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, dengan tujuan memberikan pemahaman dalam mengidentifikasi titik rawan terjadinya penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah; e. Metode dan Teknik Audit Investigatif, Audit Forensik dan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara; f. Teknik Pembuktian Tindak Pidana Korupsi; g. Tipologi dan Perkembangan Yurisprudensi Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang; h. Asset Tracing; i. Pertanggungjawaban Pidana; j. Tindak Pidana Koneksitas; k. Case Building; l. Peran Koordinasi dan Supervisi KPK dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Sebagai informasi terkait hasil koordinasi penerimaan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang telah dilakukan pada triwulan I tahun 2017 adalah sebagai berikut: INSTANSI Kejaksaan Kepolisian Total
Jan 2017 61 20 81
Feb 2017 33 19 52
Maret 2017 91 66 157
Total 185 105 285
Data Jumlah SPDP Triwulan I 2017. Sebagai data pelengkap, berikut disampaikan data SPDP selama 3 (tiga) tahun terakhir (2014-2016): 10
INSTANSI Kejaksaan Kepolisian Total
2014 911 273 1184
2015 876 196 1072
2016 661 255 916
Total 2448 724 3172
Data Jumlah SPDP Tahun 2014-2016. 2. Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (berdasarkan Pasal 6 UU nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK). 1. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Best Practices) Hampir di semua pemerintahandaerah yang pelaksanaan tata kelola pemerintahannya buruk menimbulkan korupsi yang berulang ataupun berpotensi tinggi terhadap tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, KPK berusaha mencegah terhadap potensi terjadinya tindak pidana korupsi di Pemerintah Daerah melalui: a. Penggunaan e-Planning dalam perencanaan APBD b. Mendorong pendirian ULP yang mandiri dan permanen dalam upaya menghindari intervensi dalam proses pengadaan barang dan jasa, penggunaan e-katalog, dan inovasi pengadaan barang dan jasa. c. Mendorong pelimpahan kewenangan pemberian perizinan oleh Kepala Daerah kepada Kepala PTSP dan penggunaan teknologi informasi dalam pengelolaan PTSP. d. Meningkatkan kapabilitas Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) melalui pelatihan / workshop : Audit Dana Desa menggunakan siskeudes, Probity Audit, dan Audit Investigasi. Selain 4 hal di atas, KPK juga mendorong perbaikan tata kelola maupun sistem yang ada di masing-masing Pemerintahan Daerah misalnya di bidang Sumber Daya Manusia, Penerimaan Asli Daerah, dan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP).
KPK mendorong pemerintah daerah untuk mereplikasi sistem / aplikasi teknologi informasi yang mendukung tata kelola pemerintahan yang baik dari berbagai daerah percontohan. Pemerintah daerah yang menjadi percontohan: 1). Pemkot Surabaya untuk aplikasi e-Planning APBD 2). Pemkot Sidoarjo untuk aplikasi PTSP tingkat Kabupaten/kota 3). Pemprov Jawa Barat untuk : a. Aplikasi PTSP tingkat Provinsi b. Aplikasi SKP Online untuk penerapan TPP c. Aplikasi e-Samsat untuk peningkatan pendapatan daerah. Replikasi aplikasi dari daerah percontohan diikuti dengan workshop penggunaan dan pengembangan aplikasi. Daerah-daerah yang menjadi obyek korsupgah tahun 2016 sebagai berikut: 1. Provinsi Aceh (termasuk 23 kabupaten / kota) 2. Provinsi Sumatra Utara (termasuk 15 kabupaten / kota) 3. Provinsi Riau (termasuk 11 kabupaten / kota) 4. Provinsi Bengkulu (termasuk 5 kabupaten / kota) 11
5. Provinsi Banten (termasuk 8 kabupaten / kota) 6. Provinsi Jawa Barat (termasuk 27 kabupaten / kota) 7. Provinsi Jawa Tengah (termasuk 16 kabupaten / kota) 8. Provinsi Nusa Tenggara Timur (termasuk 23 kabupaten / kota) 9. Provinsi Papua Barat (termasuk 13 kabupaten / kota) 10. Provinsi Papua (termasuk 29 kabupaten / kota) Yang mengikuti workshop e-Planning, dan PTSP di Surabaya sebanyak 5 Provinsi dan 68 Kabupaten / Kota. Sedangkan workshop PTSP Provinsi, TPP, dan e-Samsat di Bandung sebanyak 17 Provinsi. Sebagai tindaklanjut workshop ini maka KPK akan memonitor dan melakukan pendampingan implementasi e-planning, PTSP, e-Samsat, dan TPP di masing-masing daerah. 2. Program Pengawalan Dana Desa a. KPK mendorong tindak-lanjut kajian KPK tahun 2015 tentang pengelolaan sisa dana ex-PNPM sekitar Rp. 10 Trilyun. b. Mengkooordinasikan pelaksanaan dana desa dengan Kemendagri, Kemendes, dan BPKP, Kemenkeu, dan Pemda Kabupaten, antara lain dengan: (1) Sosialisasi Dana Desa bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal, dan BPKP di 9 Provinsi. (2) Pengamatan pelaksanaan Dana Desa di 28 desa mewakili region di Provinsi tersebut. (3) Mendorong penggunaan Sistem Keuangan Desa (siskeudes). 3. Kegiatan Lainnya a. Mendorong pemerintah daerah perbatasan untuk melaksanakan Program Poros Sentra Pelatihan dan Pemberdayaan TKI Daerah Perbatasan untuk memperbaiki sistem pengiriman TKI. Program ini dilaksanakan di Kabupaten Nunukan, Kabupaten Entikong, dan Kota Batam. b. KPK bekerjasama dengan BNP2TKI, Kemenaker, dan Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Daerah asal TKI untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan TKI agar mereka lebih siap untuk bekerja ke LN dan dapat terhindar dari percaloan. c. Membantu kementerian/lembaga/instansi Pemerintah dalam pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Pada tahun 2016 telah dilaksanakan kerjasama dengan Kementerian Kesehatan, PT. KAI, PT. PPI, Pemerintah Daerah (DKI untuk asset peninggalan belanda / P3MB). Adapun data nilai capaian penyelamatan asset lainnya: (1) Penyelamatan Aset PT KAI Pusat : Rp 5,2 Trilyun dan Pengembalian rumah perusahaan senilai Rp.700 Juta (2) Penyelamatan Aset PT KAI DAOP 2 Bandung : tanah seluas 34.362 m2 senilai Rp.51 M (3) Penyelamatan Aset di Perum Bulog : Pengembalian 36 rumah perusahaan senilai Rp. 40 M (4) Penyelamatan Aset di MA : Pengosongan 2 rumah jabatan, pengembalian 7 kendaraan, dan pengembalian rumah jabatan senilai Rp.2,9 M. 12
(5) Penyelamatan Aset di PT. Taspen : Pengosongan rumah senilai Rp.80 M. ➢ Pimpinan KPK menjelaskan penguatan sistem dilakukan melalui mekanisme PSP (Pengalihan Status Penguasaan) antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan terhadap aset rampasan TPK dan TPPU; mengembangkan aplikasi e-Korsup melalui http://korsup.kpk.go.id ; melakukan kerjasama dengan apgakum lain melalui pembuatan berbagai MoU; kerjasama penyusunan PERMA Pertanggungjawaban Pidana Korupsi (Tim KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan MA); dan meningkatkan kerjasama nasional maupun internasional. ➢ KPK sampai saat ini belum mengetahui dengan pasti siapa pelaku penyiraman air keras kepada Sdr. Novel Baswedan, saat ini KPK meningkatkan pengawalan terhadap penyidik dan pegawai KPK. KPK bekerjasama dengan Polri khususnya Polda Metro Jaya sejak hari pertama penyiraman air keras kepada Sdr. Novel Baswedan. ➢ Terkait dengan asuransi terhadap penyidik dan pegawai KPK, bahwa KPK membayar kepada perusahaan asuransi dan premi asuransi tidak semua sama nilainya terhadap Pimpinan, penyidik dan pegawai KPK. ➢ Terkait dengan isu mengenai konflik internal di KPK, perlu dijelaskan bahwa masalah penyidik yang berasal dari Polri dan yang bukan dari Polri telah diselesaikan oleh KPK sendiri. ➢ Terkait dengan egaliter memang tidak diatur dalam UU KPK, namun hal ini yang selama ini dibangun di KPK yang tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum yang lain yaitu Kejaksaan dan Kepolisian, artinya bahwa hal ini perlu dibangun sehingga di KPK tidak asal main perintah antara atasan ke bawahan. ➢ Bahwa Pimpinan KPK bukannya tidak berkuasa, Pimpinan KPK berkuasa namun sangat terbuka sehingga tidak ada sekat antara pimpinan KPK dengan penyidik dalam semangat penyelesaian suatu kasus. Penyidik bekerja atas persetujuan dari Pimpinan KPK, penyidik tidak mungkin bisa bekerja tanpa adanya persetujuan dari Pimpinan KPK. ➢ Bahwa di internal KPK ada Direktorat Pengawasan Internal untuk menyelesaikan konflik internal di KPK. Pimpinan KPK dalam memberikan keputusan selalu melalui musyawarah, sehingga keputusan yang keluar dari Pimpinan KPK tidak menimbulkan adanya perbedaan pendapat. ➢ KPK menegaskan bahwa saat ini tidak terjadi konflik internal di KPK. ➢ Bahwa sebagaimana isu yang berkembang selama ini terkait dengan adanya pembangkangan di KPK, KPK menegaskan bahwa hal tersebut tidak terjadi di KPK. III. PENUTUP Rapat diskors pada pukul 22.40 WIB.
13
14