KEKUATAN HUKUM KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENERBITKAN KEPUTUSAN (BESCHIKKING) DIHUBUNGKAN DENGAN PENERAPAN ASAS PRAESUMPTIO IUSTAE CAUSA” Oleh : Pery Rehendra Sucipta1 Abstract Executant of local governmentin carrying out their duties, authorities, obligations and responsibilities and because of higher legislation authority can establish regional policy which is defined in local regulation, regional regulation and other local conditions. The publishing of regional head decreerelated to arrangement the cost of Land and Building Tax as arulein terms of implementation for using the Land and Building Tax isunder the authority of Subang district Government. Accordingly, this study focused on the problem: (1)How is the power of Subang district decreeNo. 973/Kep.604-Dipenda/2005 about BP-PBB in Subang district associated with the praesumptio iustae causa. This research obtained through normative juridical approach. The nature of study for this research is descriptive analysis. Based on this research we can conclude that: first, Subang District Decree No.973/Kep.604Dipenda/2005 About BP-PBB in Subang district eligible formal andmaterial requirements for making a decision, so the decision is validaccording to the lawandit can produce the principle of praesumptio iustae causa. Keywords: Policy, Government, Regions, Decision
A. Latar Belakang Berdirinya sebuah Negara merupakan kehendak para pendiri Negara dan atau masyarakatnya untuk secara bersama-sama mencapai target mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya, bahkan lebih jauh dari itu terpancang cita-cita bersama mencapai ketentraman dan kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Demikian juga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai tujuan konkrit dalam alinea Ke-IV Pembukaan UUD 1945yaitu : “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” 2 1 2
Rumusan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Negara Indonesia mempunyai tujuan dalam dua kategori yaitu tujuan intern dan tujuan ekstern. Sebagai tujuan Negara dalam kategori ekstern yaitu tujuan yang menyangkut hubungan dunia luar dalam rangka meningkatkan relasi dengan Negara-negara lain, antara lain turut serta di dalam perdamaian dunia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai tujuan dalam kategori intern yaitu tujuan yang menyangkut hubungan segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan pada tujuan negara tersebut dan untuk mewujudkannya, maka dalam menggerakkan roda penyelenggaraan pemerintah diperlukan organ atau perangkat yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Pemberian kewenangan
Dosen Progam Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
201
kepada organ Negara tadi termasuk dalam ruang lingkup Hukum Tata Negara, sedangkan pembatasan kewenangan organ tersebut termasuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi Negara.3 Sarana untuk mencapai tujuan Negara tersebut adalah dengan dilaksanakannya program pembangunan nasional. Sarana yang penting dalam kerangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur ini, adanya sarana atau alat yang salah satunya adalah Hukum Administrasi.4 Hakikatnya negara dijalankan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana yang dikatakan S.Prajudi Atmosudirjo bahwa : “Pemerintah adalah pengurus harian Negara”, pemerintah adalah keseluruhan daripada jabatan-jabatan (pejabat-pejabat di dalam suatu Negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik Negara serta Pemerintahan)”5. Hukum Administrasi mengatur cara-cara organorgan bertindak melakukan kewenangannya. Oleh karena itu yang penting bukan hukumnya, akan tetapi administrasinya, karena hukum itu alat saja untuk melakukan administrasi. Administrasi itu adalah keseluruhan aktivitas dari pejabat-pejabat Negara untuk mencapai tujuan Negara menyelenggarakan kepentingan umum. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diatur dengan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di rubah menjadi UndangUndang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan terminologi “Kebijakan Daerah”, dimana dalam Penjelasan Umum butir 7 ditentukan: “Penyelenggara pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan Kebijakan Daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan Daerah tidak 3
4 5 6
7 8 9 10
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lainnya.”6 Kebijakan daerah diantaranya dapat berwujud dua bentuk tindakan, yaitu kebijakan daerah dalam bentuk Pembuatan Peraturan Daerah dan kebijakan daerah dalam bentuk Pembuatan Keputusan Daerah. Keputusan yang dimaksud adalah tindakan penguasa yang berwenang yang menimbulkan ketentuan – ketentuan hukum. Keputusan dari penguasa yang berwenang berbentuk “peraturan” dan “keputusan”. Dinamakan peraturan (regeling), apabila isi keputusan tersebut dimaksudkan untuk mengatur hal – hal jamak yang umumnya sama. Dinamakan keputusan (beschikkings) apabila isi keputusan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan hukumnya atau menetapkan hukumnya terhadap sesuatu hal yang kongkrit tertentu. Istilah beschikking pertama kali diperkenalkan oleh WF. Prins. Ada yang menerjemahkan istilah beschikking ini dengan “ketetapan” seperti E.Utrecht,7 Bagir Manan8. Sedangkan penggunaan istilah “keputusan” digunakan oleh WF. Prins,9 Phillipus M.Hadjon,10 SF. Marbun, dan lain-lain. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan PTUN, kata yang digunakan adalah Keputusan, bukan Ketetapan. Namun dari segi pendefenisian antara unsur KTUN (keputusan tata usaha negara) yang terdapat dalam UU PTUN sekiranya memiliki makna sama dengan ketetapan (beschikking) yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam beberapa kajian hukum administrasi. Ketetapan merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan. Hampir semua organ pemerintah berwenang untuk mengeluarkan ketetapan. Ketetapan (beschikking) termasuk ke dalam perbuatan hukum publik bersegi satu, artinya hanya satu pihak saja yang (dengan sukarela) dapat menentukan kehendaknya yaitu pihak pemerintah. Perbuatan yang mengadakan suatu ketetapan dapat disebut perbuatan penetapan
Didi Nursidi, Citra Penegak Hukum Melalui Peradilan TUN “Jurnal Ilmu Hukum Litigasi”, Volume 8, No.2, ISSN. FH UNPAS. Bandung. 2007. Hal. 229. Ibid S.Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalian, Jakarta, 1994, hal.11. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah yang kemudian di rubah menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indnesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962. hlm.97. Bagir Manan, Sistem dan Tehnik Pembuata Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, LLPM Unisba, Bandung, 1985 hlm.30. WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op. cit., hlm.42. Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. hlm.124.
202
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
(beschikkingshandeling). Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, suatu ketetapan didefenisikan sebagai : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”11 Kebijakan Daerah dalam bentuk Keputusan merupakan perbuatan administratif, yang apabila timbul suatu permasalahan dari Surat Keputusan tersebut, maka penyelesaian yang ditempuh adalah melalui penyelesaian administrasi bukan penyelesaian pidana, akan tetapi pada kenyataannya pada saat ini pada pelaksanaannya banyak perbuatan administrasi yang merupakan kompetensi peradilan administrasi yang justru dijerat dengan tindak pidana korupsi. Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif yang berlindung dibalik kebijakan. Pada dasarnya suatu perbuatan yang mengadakan suatu ketetapan dapat disebut perbuatan penetapan (beschikkingshandeling) adalah bukan perbuatan “orang” tetapi perbuatan “pejabat” yang melakukan “bestuur”. Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 3, menyatakan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling 11 12
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).12 Rumusan pasal ini menekankan pada pelaku dalam kapasitas pejabat publik yang berhubungan dengan pelaksanaan kesejahteraan masyarakat sebagai subjek delik tindak pidana korupsi, karena terdapat rumusan delik yang berbunyi “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan dicantumkannya unsur “menyalahgunakan kewewenangan” dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan suatu “grey area” dimana kebijakan pejabat dapat mempunyai dimensi Hukum Pidana. Perkembangan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana memasuki “grey area” dengan segala teknikalitas kesulitan dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana, praktisi maupun akademisi hukum. Perbedaan yang paling mendasar ialah pemaknaan kata detournement de povour (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang) dalam Hukum Administrasi Negara dan istilah menyalahgunakan kewenangan dalam Hukum Pidana, maka permasalahan yang akan timbul adalah ketika pejabat negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum maka perbuatan yang dimaksud masuk ke ranah Hukum Administrasi Negara atau Hukum Pidana khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi. Selain itu juga penyelenggaraan kewenangan Pejabat Adminstrasi Negara berupa implementasi dari freies Ermessen, dimana kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan konkret yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif, yang pada akhirnya berujung pada tuntutan hukum secara pidana. Keadaan ini membawa implikasi pada timbulnya ketidakpastian hukum di bidang tindakan administrasi negara, yang pada gilirannya mengganggu kinerja Pejabat Administrasi Negara dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
203
Terkait kasus Bupati Subang Eep Hidayat yang didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 14,29 miliar. Kerugian negara terjadi akibat terdakwa korupsi biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan/perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan pada tahun 2005 hingga 2008. Kasus ini memperlihatkan praktek penegakan hukum yang melibatkan pejabat publik atau mempunyai wewenang publik karena kewenangannya. Kasus tersebut diatas menunjukkan bahwa birokrat yang menjalankan fungsi administrasi kepemerintahan bisa dijerat dalam ranah ikut serta atau penyertaan dalam tindak pidana. Padahal perumusan kebijakan telah melibatkan stakeholder serta diproses secara yuridis tetapi dalam perjalanan bisa terjadi justru “kriminalisasi atas suatu kebijakan”. Dampak yang ditimbulkan adalah banyak pejabat atau Pengambil Kebijakan yang terjerat pidana, padahal kebijakan itu belum tentu atas inisiatif sendiri karena biasanya berdasarkan rapat. Saat ini telah terjadi penjarahan dan kriminalisasi fungsi administrasi, kasus-kasus yang harusnya masuk domain hukum administrasi dibawa ke wilayah hukum pidana dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Kata kriminalisasi berasal dari kata dasar kriminal, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana”. Kata kriminalisasi diartikan sebagai “proses yg memperlihatkan perilaku yg semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat” Defenisi kriminalisasi dalam Black’s Law dictionary sebagai berikut: The act or an instance of making a previously lawful act criminal. Dari beberapa definisi di atas, maka inti-inti dari kata kriminalisasi, adalah: a. ada perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan biasa yang sah/legal/tidak melanggar hukum; b. adanya proses berupa kebijakan hukum/pemerintah; c. kebijakan tersebut menetapkan perbuatan yang sebelumnya sah/legal/tidak melanggar hukum menjadi sebuah perbuatan hukum yang melanggar hukum/perbuatan pidana/tindak pidana. Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi memang telah terjadi suatu upaya kriminalisasi 13
14
terhadap perbuatan administrasi di mana apabila terjadi suatu penyalahgunaan wewenang yang pada awalnya bukan merupakan tindak pidana pada saat ini penyalahgunaan wewenang dalam administrasi dipandang sebagai suatu perbuatan pidana. Suatu keputusan dianggap salah dan pelakunya dapat dipidana, maka ini berarti kesalahan dari pengambil keputusan dan merupakan suatu perbuatan jahat (tindak pidana) adalah suatu hal yang kekeliruan. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, kemudian dirubah dengan UndangUndang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa : 1. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.13 Berdasarkan pasal tersebut maka apabila seorang badan atau pejabat Tata Usaha Negara telah menyalahgunakan wewenang ataupun kesalahan dalam membuat ataupun mengeluarkan suatu keputusan dapat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara dan tentunya hukum yang diterapkan adalah suatu hukum administrasi. Dalam teori hukum administrasi, dikenal jenis keputusan yang tidak sah (niet rechtsgelding beshickking), antara lain : keputusan yang batal (nietig), keputusan yang batal karena hukum (van rechtswege nietig-nietigheid van rechtswege) dan keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar). Keputusan Kepala Daerah sebagai ketetapan organ pemerintah termasuk sesuatu yang dapat dibatalkan (vetnietigbaar), sehingga perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah yang kompeten.14 Kriminalisasi atas suatu kebijakan, dewasa ini sangat marak dalam pemberitaan baik media elektronik maupun media cetak. Tidak sedikit kepala daerah yang terkena dampak dari kebijakan yang
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 kemudian dirubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Suparto Wijoyo, karakteriktik hukum acara peradilan administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 58-60.
204
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
dilakukan, hal ini membawa dampak apakah kebijakan yang dilakukan tersebut masuk dalam ranah hukum administrasi Negara atau hukum pidana. Perlindungan hukum terhadap pengambil dan pelaksana kebijakan, sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum. Banyaknya perbuatan administrasi yang dilakukan pejabat dalam penyelenggaraan Negara yang pada prinsipnya merupakan ranah hukum administrasi tapi justru dijerat dengan penyalahgunaan kewenangan atas dasar suatu peraturan perundang-undangan dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan penyelenggaraan yang tidak sehat karena dengan mudah seorang pejabat dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana hanya atas dasar telah melakukan penyalahgunaan kewenangan, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada pada awalnya dibuat untuk suatu keteraturan justru menciptakan keadaan yang sebaliknya justru menimbulkan fleksibelitas dan ketidakjelasan dalam hal penegakan hukum yang semrawut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Otje Salman : “bahwa hukum kita tengah memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh”.15 Hukum yang semrawut tersebut berawal dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada menyebabkan saat sekarang ini banyak masyarakat bahkan pejabat administrasi sebagai penyelenggara negara dapat dihukum karena undang-undang dan dalam kenyataannya aparat penegak hukum semakin mudah untuk melakukan kualifikasi pelanggaran atau perbuatan hukum administrasi dan keperdataan masuk kedalam ranah pidana. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis akan mengkaji lebih lanjut permasalahan terkait bagaimanakah Kekuatan Hukum Keputusan Bupati Subang Nomor 973/Kep.604-Dipenda/2005 Tentang BP PBB di Kabupaten Subang dihubungkan dengan asas praesumptio iustae causa? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan Hukum Keputusan Bupati Subang Nomor 973/ Kep.604-Dipenda/2005 Tentang BP PBB di Kabupaten 15
Subang dihubungkan dengan asas praesumptio iustae causa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan dan pertimbangan untuk mengambil keputusan bagi para penegak hukum dalam hal pemaknaan atas fungsi, tugas dan wewenang pejabat aparatur Negara dalam konteks penyelenggaraan negara serta memberikan pemahaman bagi Pejabat Aparatur Negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya luas dalam hal penyelenggaraan negara. D. Metode Penelitian Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukubuku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Deskriptif karena penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai permasalahan antara aspek Hukum Pidana yang memiliki korelasi dengan fungsi administrasi (ataupun fungsi keperdataannya), sehingga seringkali penegak hukum memahami pemaknaan keliru atas fungsi, tugas dan wewenang pejabat aparatur negara. Analitis karena menganalisis ketentuan peraturan perundangundangan yang tercatat dalam menganalisis pelaksanaan atas fungsi, tugas dan wewenang pejabat aparatur negara maupun pejabat BUMN. E. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kekuatan Hukum Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menerbitkan Keputusan (beschikking) dihubungkan dengan penerapan Asas Praesumptio Iustae Causa Bupati Subang Eep Hidayat didakwa telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan merugikan negara sebesar Rp 14,29 miliar. Kasus ini memperlihatkan praktek penegakan hukum yang melibatkan pejabat publik atau mempunyai wewenang publik karena kewenangannya. Berdasarkan dakwaan Jaksa penuntut umum yang dibacakan jaksa Bambang Sutrisna Senin 18 April 2011 atas Eep di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bandung, bahwa Terdakwa telah membagi-bagikan
Otje Salman, Anthon F. Susanto. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 149.
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
205
dana biaya pemungutan pajak senilai total Rp 14,29 miliar tanpa berdasarkan pertimbangan yang objektif dan tanpa persetujuan DPRD. Pembagian upah pungut tersebut, hanya dilandasi Surat Keputusan Bupati yaitu Keputusan Bupati Subang Nomor 973/ Kep.604-Dipenda/2005 tentang Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kabupaten Subang. “Padahal seharusnya didasari Peraturan Daerah.”16 Jaksa menyebutkan, untuk realisasi Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan/perkotaan, perkebunan, perhutanan dan pertambangan selama tahun 2005 hingga 2008 senilai lebih dari Rp 300 miliar, Kabupaten Subang beroleh alokasi biaya pemungutan pajak senilai Rp 14,29 miliar. Biaya pemungutan atau upah pungut tersebut lalu dicairkan dan dibagikan berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 973. Rinciannya, pada tahun 2005 senilai Rp 1,9 miliar, pada 2006 senilai Rp 4,7 miliar. Lalu pada 2007 sebesar Rp 4,6 miliar dan pada 2008, Rp 3,1 miliar. Total Rp 14,29 miliar dana tersebut lalu dibagikan kepada terdakwa sendiri selaku Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Pendapatan Daerah, serta para aparat penunjang operasional di tingkat kecamatan dan kelurahan.17 Rinciannya, Eep Hidayat mendapat bagian Rp 2,8 miliar, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Agus Muharam Rp 1,3 miliar, Wakil Bupati Maman Yudia Rp 912,8 juta dan Sekretaris Daerah Bambang H Rp 912,8 juta. Adapun sisanya dibagikan kepada para aparat penunjang operasional di tingkat kecamatan dan kelurahan. Jaksa mendakwa pembagian upah pungut tersebut menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.04/2000. Jaksa menjerat Eep dengan Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Juga subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terkait dengan latarbelakang kasus tersebut di atas, penulis melakukan analisis tentang keabsahan Surat Ketetapan Pembagian upah pungut tersebut dalam perspektif Hukum Adminsitrasi Negara, yang dilandasi Surat Keputusan Bupati yaitu Keputusan Bupati Subang Nomor 973/Kep.604-Dipenda/2005 tentang Pemba16 17 18
gian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kabupaten Subang dengan mendasarkan kepada syarat – syarat sah nya pembuatan keputusan menurut Ridwan HR yang membagi syarat tersebut menjadi dua golongan, yaitu:18 1) Syarat Materiil : 1. alat negara yang membuat ketetapan harus berkuasa. 2. kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada kekuarangan. 3. ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu. 4. ketetapan tidak melanggar peraturan lain, isi dan tujuan sesuai dengan peraturan dasar. 2) Syarat Formil : 1. harus memenuhi syarat dan cara yang dilakukan untuk membuat ketetapan. 2. ketetapan harus diberi bentuk. 3. ketetapan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. 4. jangka waktu yang ditentukan. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, bahwa Surat Keputusan Bupati yaitu Keputusan Bupati Subang Nomor 973/Kep.604-Dipenda/2005 tentang Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kabupaten Subang telah memenuhi syarat material dan syarat formal, maka Keputusan Bupati Subang Nomor : 973/Kep.604-Dipenda/2005 tanggal 12 September 2005 tentang Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai keputusan (beschikking) adalah sah menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang baik secara prosedural formal maupun material. Suatu keputusan yang mengandung kekurangan yuridis dapat berlaku sah sampai waktu pembatalannya atau sampai waktu penarikannya. “Pembatalan” suatu perbuatan pemerintah diadakan oleh suatu alat negara yang lebih tinggi, sedangkan “penarikan kembali” diadakan oleh alat negara yang membuatnya. “pembatalan” dapat juga diadakan oleh hakim. Setelah pembatalan atau penarikan kembali, maka ketetapan itu tidak lagi mempunyai akibat, karena tidak ada lagi. Keputusan yang sah memiliki kekuatan hukum. Suatu perbuatan pemerintah adalah sah, bilamana
Sidang Kasus Korupsi: Bupati Subang Didakwa Rugikan Negara Rp 14,29 Miliar, tempointeraktif, Senin, 18 April 2011. Ibid Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. hal.169
206
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
dapat diterima sebagai suatu bagian ketertiban hukum; suatu perbuatan pemerintah mempunyai kekuasaan hukum, bilamana dapat mempengaruhi pergaulan hukum. Perbedaan ini sungguh-sungguh terang dalam hal suatu perbuatan pemerintah harus disetujui atau dibandingkan (oleh suatu alat negara yang lebih tinggi) sebelum dapat berlaku (sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum). Bilamana perbuatan pemerintah di setujui atau diteguhkan (dikuatkan) dalam bandingan – oleh karena dapat diterima sebagai suatu perbuatan sah – maka sudah tentu bahwa sahnya perbuatan tersebut telah ada sejak permulaan. Hanyalah sahnya itu masih perlu dinyatakan dengan tegas. Baru setelah dinyatakan dengan tegas (oleh persetujuan suatu alat pemerintah yang lebih tinggi atau dalam suatu bandingan.19 Pendapat Stellinga, “sah” itu berarti tidak lain daripada : perbuatan pemerintah yang bersangkutan dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum umum (als een onderdeel van de algemene rechtsorde). “Sah” itu tidak mengatakan sesuatu tentang isi atau kekurangan dalam sesuatu perbuatan pemerintah, melainkan hanya berarti diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti. Oleh karena “diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti” (diterima sebagai bagian dari ketertiban hukum umum) maka perbuatan pemerintah itu mempunyai “kekuasaan hukum”, yaitu “dapat mempengaruhi ketertiban hukum itu”. 20 Keputusan yang sah dan telah dapat berlaku dengan sendirinya akan memiliki kekuatan hukum formal (formeel rechtskracht) dan kekuatan hukum material (materiele rechtskracht). Kekuatan hukum formal suatu ketetapan ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formal bila ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum (rechsmiddel).21 Dengan kata lain, ketetapan yang telah memiliki kekuatan hukum formal itu tidak dapat dibantah baik oleh pihak yang berkepentingan, oleh hakim, organ pemerintahan yang lebih tinggi, maupun organ yang membuat yang membuat ketetapan itu sendiri. Ketetapan tata usaha negara itu memiliki kekuatan hukum formal dalam dua hal, yaitu :22 19
20 21 22 23 24
a) ketetapan tersebut telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut; b) suatu ketetapan di mana permohonan untuk banding terhadap ketetapan itu ditolak atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materiil adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari ketetapan itu. E.Utrecht menyebutkan bahwa suatu ketetapan memunyai kekuatan hukum materiil bila ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya, 23 kecuali peraturan perundang-undangan memberikan kemungkinan kepada pemerintah atau administrasi negara untuk meniadakan ketetapan itu. Keputusan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, disamping mempunyai kekuatan hukum formal dan material, juga akan melahirkan asas presumtio justea causa). Prinsip ini mengandung arti bahwa “setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau adminsitrasi negara itu dianggap sah menurut hukum.”24 Asas praesumptio iustae causa membawa konse-kuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. Lebih lanjut, konsekuensi Asas praesumptio iustae causa ini adalah bahwa pada dasarnya ketetapan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah itu tidak dapat ditunda pelaksanaannya, meskipun terdapat keberatan (bezwaar), banding (beroep), perlawanan (bestreden) atau gugatan terhadap suatu ketetapan oleh pihak yang dikenai ketetapan tersebut. Asas praesumptio iustae causa ini dianut pula oleh Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentang PTUN jo Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (1) : “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.” Dalam penjelasan antara lain disebutkan, “Akan tetapi, selama hal itu belum diputus
E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, SH, Pengantar Hukum Administrasi negara Indonesia. Cetaka kesembilan, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, Hlm.102 Ibid E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya 1988. hlm. 165 Bachsan Mustafa. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Hlm.127. E.Utrecht, Op.Cit, hlm.175-176 Ridwan HR. Op.Cit. 2011. Hal 174
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
207
oleh Pengadilan, keputusan tata usaha negara harus dianggap menurut hukum. Dalam proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara tata usaha negara yang bertolak dari anggapan bahwa keputusan tata usaha negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh pengadilan, keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, keputusan tata usaha negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaannya.”25 Asas praesumptio iustae causa tersebut berkaitan erat dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang terdapat dalam asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), yang menurut SF. Marbun asas kepastian hukum ini menghendaki sebagai berikut : “dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan/ pejabat administrasi negara dan keputusan itu tidak akan dicabut kembali oleh badan/pejabat administrasi negara, meskipun surat keputusan itu mengandung kekurangan. Jika pejabat administrasi negara dapat sewaktu-waktu mencabut atau membatalkan surat keputusan yang telah dikeluarkan, tindakan demikian kecuali dapat merugikan penerima keputusan, juga dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh baadan/pejabat administrasi negara. Karena ketiadaan kepastian hukum, masyarakat akan selalu meragukan setiap tindakan yang dilakukan oleh pejabat/badan administrasi. Masyarakat akan selalu dibayangi keraguan terhadap hak yang telah diperolehnya karena hak ersebut sewaktu-sewaktu dapat saja dicabut atau dibatalkan kembali oleh badan/ pejabat administrasi negara yang mengeluarkannya maupun oleh atasannya...”.26 Asas praesumptio iustae causa ini demikian penting dalam melandasi setiap ketetapan dengan beberapa 25 26
konsekuensi yang lahir darinya, asas ini tidak berarti meniadakan sama sekali kemungkinan perubahan, pencabutan, atau penundaan ketetapan tata usaha negara. Pencabutan (intrekking), perubahan (wijziging), dan penundaan (schorsing) ketetapan tata usaha negara dapat dilakukan dengan beberapa alasan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan. Seluruh ketetapan yang pernah dikeluarkan lalu dihapuskan, pada prinsipnya masih terus berlaku kecuali apabila ketetapan tersebut telah dicabut berlakunya, diganti atau dirubah dengan ketetapan lain menurut prosedur yang berlaku. Dari pemaparan tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap Keputusan Bupati Subang yang berkaitan dengan Pembagiaan dan Penggunaan Biaya Pemungutan PBB sampai dengan tahun 2008 masih tetap berlaku dan selama tidak ada keputusan hukum yang membatalkan, dan sebagaimana dimaklumi untuk menilai sah tidaknya sebuah Surat Keputusan bukan dalam Pengadilan Tipikor melainkan dalam pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang memutuskan syah tidaknya sebuah Surat Keputusan Kepala Daerah/Bupati Kabupaten Subang. Beberapa kasus menunjukkan bahwa birokrat yang menjalankan fungsi administrasi kepemerintahan bisa dijerat dalam ranah ikut serta atau penyertaan dalam tindak pidana. Padahal perumusan kebijakan telah melibatkan stakeholder serta diproses secara yuridis tetapi dalam perjalanan bisa terjadi justru “kriminalisasi atas suatu kebijakan”. Dampak yang ditimbulkan adalah banyak pejabat atau Pengambil Kebijakan yang terjerat pidana, padahal kebijakan itu belum tentu atas inisiatif sendiri karena biasanya berdasarkan rapat. Saat ini telah terjadi penjarahan dan kriminalisasi fungsi administrasi, kasus-kasus yang harusnya masuk domain hukum administrasi dibawa ke wilayah hukum pidana dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif yang berlindung dibalik kebijakan.
Penjelasan Pasal 67 Atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN SF.Marbun. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,Yogyakarta , 1997. hlm 364
208
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
Suatu kebijakan publik tidak dapat dikriminalkan, karena dibuat untuk kepentingan publik. Jika ada pihak yang ingin menyalahkan atau membatalkan sebuah kebijakan publik, harus melalui mekanisme yang berlaku dan diputuskan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyalahkan dan membatalkan. Kebijakan (beschiking) yang diambil oleh Pejabat Administrasi Negara berada dalam ruang lingkup Hukum Administarsi Negara / Tata Usaha Negara (Pasal 1 huruf c dan Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004), sehingga kalupun atas kebijakan yang diambil oleh Eep Hidayat selaku Bupati Subang dianggap salah, quod non, hal tersebut merupakan kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara dan Bukan Kompetensi dari Peradilan Umum, termasuk juga hukum pidana, sehingga terhadap kebijakan tidak dapat dipidanakan. Dalam harian Media Indonesia (tanggal 22 Mei 2006 halaman 8), dengan tegas Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan : Pejabat publik akan dilindungi. Mereka tidak akan di bui karena salah mengambil kebijakan. Kita ingin membedakan yang mana kebijakan, yang mana kejahatan. Kalau kebijakan (salah) harus masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak pidana. Keputusan BP PBB yang di tanda tangai oleh Eep Hidatat Selaku Bupati Subang dalam perkara yang didakwakan kepadanya adalah kebijakan yang diambil sesuai prosedur. Kalaupun suatu kebijakan dianggap tidak sesuai dengan prosedur dan menimbulkan kerugian negara, terhadap hal tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (wederrechte-lijkheid) dan/ atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir) dalam area Hukum Administrasi. Untuk dapat menilai apakah kebijakan tersebut termasuk sebagai kebijakan yang melawan hukum ataupun yang menyalahgunakan wewenang, kebijakan tersebut perlu dikaji dengan indikator dari Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur). Kalau kebijakan tersebut tidak menyimpang dari asas kecermatan substansif yang memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan yang lebih luas, kebijakan tersebut tentu dikategorikan sebagai kebijakan yang benar dan tidak bertentangan dengan hukum. Indikator lainnya adalah dengan melihat apakah maksud kebijakan yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan akhir diterbitkannya kebijakan tersebut (asas deolgerichte). Sepanjang dalam batas-batas, JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
parameter dan sesuai dengan asas doelgerichte meskupin kebijakan ini menyimpang dari tata cara atau mekanisme prosedural secara umum, perbuatan dan kebijakan aparatur negara tunduk pada lingkup Hukum Administrasi Negara, yang tidak dapat dinilai oleh Peradilan Umum. Meskipun demikian, bila pelaksanaan overheidsbeleid ini menyimpang atau tidak sesuai dengan asas doelgerichte, maka perbuatan pihak pelaksana tunduk pada hukum pidana. Saat ini telah terjadi penjarahan dan kriminalisasi fungsi administrasi, kasus-kasus yang harusnya masuk domain hukum administrasi dibawa ke wilayah hukum pidana dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif yang berlindung dibalik kebijakan. Sebuah kebijakan publik tidak dapat dikriminalkan, karena dibuat untuk kepentingan publik. Jika ada pihak yang ingin menyalahkan atau membatalkan sebuah kebijakan publik, harus melalui mekanisme yang berlaku dan diputuskan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyalahkan dan membatalkan. Kriminalisasi terhadap kebijakan publik pemerintah daerah, sering terjadi di Indonesia. Padahal, tidak selalu kebijakan publik yang dikriminalisasi itu benarbenar melanggar hukum, bahkan kebijakan publik yang sudah mengikuti aturan hukum. F. Kesimpulan Keputusan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, akan melahirkan asas praesumptio iustae causa yang membawa konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan dari pengadilan. Asas praesumptio iustae causa ini dianut pula oleh Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentang PTUN Pasal 67 ayat (1). Terhadap kekuatan hukum atas Keputusan Bupati Subang Nomor 973/Kep.604Dipenda/2005 Tentang BP PBB di Kabupaten Subang yang setelah dianalisis telah memenuhi syarat material dan syarat formal pembuatan suatu Keputusan (beschikking), maka Keputusan Bupati Subang tersebut sebagai keputusan (beschikking) adalah sah menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang baik secara prosedural formal maupun material. 209
G. Saran 1. Penting untuk mengedepankan asas kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dilindungi dan dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah atau keliru. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan. 2. Perlunya merubah pola pikir penegak hukum agar
210
lebih mengedepankan kepentingan, kemanfaatan dan keadilan masyarakat berkaitan dengan freies Ermessen yang memberikan peluang kepada pejabat administrasi negara untuk membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang bersifat mendesak, dengan mempertimbangkan asas keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex) atau mengimlementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan.
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Bagir Manan, Sistem dan Tehnik Pembuata Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, LLPM Unisba, Bandung, 1985. Bachsan Mustafa. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. ____, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, 2001. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indnesia , Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962. Otje Salman, Anthon F. Susanto. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2009. Philipus M.Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, Surabaya, 1987. Philipus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara,Cetakan ke 10, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985. ____, Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan Administrasi, Bunga Rampai HTN dan HAN, UII, Yogyakarta. SF.Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dii Indonesia, tulisan pada Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001. Suparto Wijoyo, Karakteriktik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000. B. Paper/Jurnal/Makalah/Disertasi/Bahan Kuliah dan Hasil Penelitian Didi Nursidi, Citra Penegak Hukum Melalui Peradilan TUN “Jurnal Ilmu Hukum Litigasi”, ISSN, FH UNPAS, Bandung, 2007. Senin, 22 Agustus 2011 | 19:31 WIB “Bupati Subang Non-Aktif Divonis Bebas dalam Dugaan Korupsi” TEMPO.CO, Bandung Sidang Kasus Korupsi: Bupati Subang Didakwa Rugikan Negara Rp 14,29 Miliar, tempointeraktif, Senin, 18 April 2011. C. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU tentang PTUN Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
211