Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang Oleh: Mudasir Abstract This research aimend at finding out if regional regulations, especially tax and original contribution related to original real income have fulfilled the criteria for creating proper regional regulation. By looking at the requirements of creating a regional regulation starting from the preparation of regional regulation up to the legitimating and regulating the regional paper of Palembang City. Method used in thus thesis writing was normative study with the stressing on normative juridical approach, that was an approach based on the regulations. The result of this research shaw that the regional regulations of Palembang City was regenerally arranged based on the community vision and mission without preceded by the arrangement of academic text and the community did not involve directly in the making of the draft of regional regulations, especially those related to tax or retribution in which the community became the subject-object of it. As the result, the arranged regional regulations have not reffered fully to requirements of making Palembang City that have been cancelled by the central government. Keywords: Regional regulation, governement, autonomy, community
Pendahuluan Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sumatera Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya “perolehan” PAD. Terkait dengan itu, Nuralam Abdullah (2001:3), menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya. Ketergantungan daerah pada subsidi pemerintah pusat juga diungkapkan oleh Bagir Manan (1994:207), bahwa PAD baik propinsi maupun kabupaten/kota, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) barasal dari bantuan pemerintah pusat. Bantuan keuangan yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada masyarakat, tetapi ketergantungan keuangan ini menimbulkan akibat penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya dapat berjalan, dan dilain pihak
Widyaiswara Bandiklat Propinsi Sumatera Selatan
31
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
mengundang kuatnya campur tangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah. Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah daerah pada masa lalu, akhirnya mengkondisikan daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada akhirnya menjadi salah satu argumentasi yang mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, hingga ditandai dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi menjadi UU No.32/2004) dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi menjadi UU No.33/2004). Kehadiran UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 tidak hanya bermaksud mengatasi permasalahan keuangan daerah melalui pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan yaitu adanya kewenangan daerah yang mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69% PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah (www.djpk.depkeu.go.id).
Rumusan Masalah Berkenaan dengan penerapan asas-asas peraturan daerah Kota Palembang yang berorientasi pada PAD dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah peraturan daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palembang? 2. Apakah peraturan daerah yang mengatur pendapatan asli daerah sudah berorientasi pada kepentingan masyarakat Kota Palembang?
32
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Hasil Penelitian dan Pembahasan Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah yang Baik dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kota Palembang Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum peraturan perundangundangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya, terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif serta diterima oleh masyarakat. Jika kita konsisten berpedoman pada asas-asas perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembuatan peraturan daerah, yaitu : 1. Asas kejelasan tujuan; 2. Asas manfaat; 3. Asas kewenangan; 4. Asas kesesuaian; 5. Asas dapat dilaksanakan; 6. Asas kejelasan rumusan; 7. Asas keterbukaan; 8. Asas efisiensi; 9. dan asas-asas Materi Muatan; Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas untuk apa peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan. Setelah diadakan penelitian terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah Kota Palembang khususnya yang berkaitan dengan retribusi belum memperhatikan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik, karena tujuan pembentukan peraturan daerah semuanya sama adalah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu asas yang pada umumnya tidak mendapat perhatihan oleh perancang peraturan daerah adalah asas keterbukaan karena peran serta masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah dan juga kejelasan rumusan belum terpenuhi karena masih ada isi pasal-pasal yang belum jelas maknanya namum tidak ada penjelasannya baik diketentuan umum maupun dalam penjelasan peraturan tersebut yang pada umumnya tertulis cukup jelas. Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (1) menyatakan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Makna “persetujuan bersama” dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk “setuju”, tetapi bisa juga dimaknakan untuk “tidak setuju”. Ketidaksetujuan bisa saja terjadi manakala antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah tidak sepakat mengenai substansi 33
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
yang diatur dalam rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Makna “tidak setuju” secara tersirat terdapat ketentuan Pasal 20 Ayat (3) Undang Undang Dasar Tahun 1945, yang menentukan : “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Salah satu tujuan pembentukan peraturan daerah adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus di daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah sebagai penjabaran atau pelaksanaan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi bertujuan untuk memberi pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya di daerah. Substansi materinya telah diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mengatur substansi materi muatan yang sesuai dengan kondisi daerah. Jadi tidak harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi dapat juga membuat aturan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di dalam peraturan daerah yang dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah obyek pengaturannya meliputi baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat teknis tata cara pelaksanaannya. Di Kota Palembang setiap produk hukum peraturan daerah tujuan pembentukan peraturan daerahnya pada umumnya dapat dilihat dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari peraturan daerah tersebut. Hasil penelitian penulis menunjukan bahwa di dalam produk hukum peraturan daerah di Kota Palembang, terungkap bahwa beberapa rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palembang untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah di dalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umumnya, tujuan dibentuknya peraturan daerah adalah: 1. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang berdaya guna dan berhasil guna; 2. Mengatur kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota; 3. Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan kewenangan yang telah menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota; 4. Peningkatan pendapat asli daerah. Bilamana dilihat dari aspek penerapan “asas kejelasan tujuan” di dalam pembentukan perundang-undangan, maka pembuatan peraturan daerah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai itu sangat beragam. Dalam konteks demikian, tujuan pembuatan peraturan daerah kembali menjadi tidak jelas apakah dalam rangka peningkatan pelayanan, pengaturan kewenangan, pembinaan dan pengawasan atau peningkatan pendapatan asli daerah. Setelah dikaji nampaknya perancang peraturan daerah tersebut hendak mengakumulasi berbagai tujuan secara bersamaan, akan tetapi dibalik itu semua dalam pelaksanaannya yang paling menonjol tujuannya adalah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah peraturan daerah yang dibuat dengan tujuan yang beragam atau tidak jelas dapat bermanfaat bagi masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting dalam kaitannya dengan penerapan “asas manfaat” dalam pembuatan 34
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
peraturan daerah. Asas manfaat disini dimaksudkan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah harus benar-benar dapat memberi manfaat yang jelas bagi kehidupan masyarakat. Tidak perlu ada peraturan daerah, apabila tidak bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa peraturan daerah tentang retribusi tidak memberi manfaat langsung kepada peningkatan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi peraturan daerah lebih diorientasikan pada peningkatan pendapatan asli daerah. Selain asas kejelasan tujuan dan asas manfaat yang dikemukakan di atas, hal yang lebih penting lagi adalah penerapan Asas Kewenangan dalam pembuatan peraturan daerah. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal ini peraturan daerah harus dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang berwenang. Peraturan daerah yang dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang tidak berwenang akan berimplikasi peraturan daerah tersebut menjadi batal demi hukum. Secara teoritis lembaga atau organ yang mempunyai kewenangan membuat peraturan perundang-undangan adalah eksekutif atau legislatif (DPR, DPRD). Hanya dalam prakteknya diberbagai negara ada penyimpangan dari prinsip itu, tergantung bagaimana konstitusi negara itu mengatur mengenai pembentukan perundang-undangannya sebagai sumber kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian terungkap bahwa masih terjadi materi muatan peraturan tentang retribusi yang seharusnya merupakan kewenangan pemerintah pusat tetapi telah diatur juga oleh pemerintah Kota Palembang dalam peraturan daerahnya. Hal ini terungkap setelah dilakukan pengkajian antar Departemen (Kementerian) oleh Menteri Dalam Negeri terhadap peraturan daerah Kota Palembang, telah membatalkan 6 (enam) buah peraturan daerah. Adapun alasan pembatalan ke 3 peraturan daerah tersebut karena: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pungutan tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus suber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor/impor serta pengaturan ekspor merupakan kewenangan pemerintah pusat sehingga atas penerbitan Surat Keterangan Asal Barang tidak dapat dikenakan retribusi. 3. Pengaturan ekspor merupakan kewenangan pemerintah sehingga atas penerbitan Angka pengenalan impor dan barang impor tidak dapat dikenakan retribusi dan terhadap barang impor telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Dengan melihat kenyataan di atas di mana Menteri Dalam Negeri telah membatalkan beberapa Peraturan Daerah Kota Palembang, seyogianya hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah daerah Kota Palembang agar setiap pembuatan peraturan daerah mengikuti asasasas pembuatan peraturan perundang-undangan, khususnya asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Sehingga materi muatan peraturan daerah tidak tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi dan sesusai dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota, dan apabila bermaksud membentuk suatu peraturan perundang-undangan harus benar-benar diperhitungkan apakah efektif artinya hasil yang diperoleh lebih besar dari biaya operasional yang digunakan dan apakah dampaknya jika diberlakukan pada masyarakat. Sehubungan dengan itu untuk menyiapkan suatu peraturan perundang-undangan harus memperhatikan beberapai segi yaitu: asas filosofis, asas sosiologis, asas politis, dan asas yuridis. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus jelas rumusannya, jangan sampai rumusan pasal-pasal menimbulkan banyak penafsiran. 35
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Urgensi Peraturan Daerah Kota Palembang Pembentukan peraturan daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, materi hukum peraturan daerah akan meliputi kedua bagian elemen itu dan secara jelas apa yang dimaksud penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh suatu pemerintahan yang dibawahnya dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan atau dekonsentrasi, sementara kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan tingkat atasnya. Oleh karena itu, peraturan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut semestinya hanya mungkin terjadi dalam tugas pembantuan. Materi muatan peraturan daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas pembantuan hanya mengatur mengenai tata cara pelaksanaan urusan, bukan menyangkut isi urusan atau kewenangan yang diperbantukan itu. Oleh karena sebab itulah peraturan daerah yang mengatur tata cara pelaksanaan urusan yang diperbantukan itu tidak boleh bertentangan dengan substansi peraturan yang mengatur urusan atau kewenangan dalam peraturan yang lebih tinggi. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan membentuk peraturan daerah sebagai instrumen pelaksanaan kewenangan atau urusan rumah tangga daerah. Materi hukumnya akan berkaitan dengan kewenangan dan urusan yang diserahkan kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya oleh pemerintah pusat. Sehubungan dengan itu, maka obyek peraturan daerah akan berkisar mengenai pengaturan substansi dan tata cara pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, meliputi; Pekerjaan umum, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan, Industri dan Perdagangan, Penanaman modal, Lingkungan hidup, Pertanahan, Koperasi dan Tenaga Kerja. Akan tetapi, urusan-urusan tersebut diatas, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 selain yang telah disebutkan adalah juga merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Dengan demikian timbul pertanyaan dimanakah letak materi hukum peraturan daerah yang mengatur urusan rumah tangganya sendiri? Sebagai pengantar untuk mejawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu harus diketahui bentuk-bentuk produk hukum. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk produk hukum adalah penamaan dari suatu wadah yang memuat aturan-aturan hukum yang secara sistematika terdiri dari bab, bagian, pasal atau paragraf, atau dengan susunan yang lain. Bentuk produk hukum itu dapat terdiri atas Undang Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan bemtuk-bentuk lainnya. Bentuk produk hukum yang dikenal di dalam UUD 1945, adalah UUD, UU / Perpu, PP, untuk menjalankan undang-undang. Dalam Tap MPR dikenal UUD, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Dalam praktek, selain yang disebut di atas dikenal adanya Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Petunjuk Pelaksanaan, Petunjuk Teknis, Peraturan Desa dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah Indikator apakah yang dapat digunakan untuk menentukan bentuk produk hukum dari suatu aturan yang akan dibuat/diterbitkan? Secara yuridis tidak ada ketentuan yang jelas untuk itu, namun secara Akademis dapat 36
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
disebutkan beberapa kriteria sebagai pegangan dasar yaitu kriteria normatif suatu bentuk produk hukum yang secara kongkrit ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai wadah yang memuat aturan yang diperintahkan untuk dibuat misalnya; Pasal 26 ayat (2) UUD 1945: Syarat-syarat yang berkaitan dengan kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang Undang. Pasal 86 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan Pasal 181 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, dalam Pasal 72 Ayat (1) peraturan yang sama menetapkan bahwa untuk melaksanakan Peraturan Daerah Kepala Daerah menetapkan Keputusan Kepala Daerah yang pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebut Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota. Selain itu secara teoritis dengan melihat sifat, urgensi dari peraturan yang dibuat, maka bentuk hukumnya dapat berupa: a) materi muatan hukum itu bersifat fundamental, asasi dan atau menyangkut identitas negara (hal-hal pokok bagi eksistensi negara) maka seharusnya dimuat dalam bentuk UUD; b) materi muatan hukum itu bersifat suplementer untuk kesempurnaan UUD, atau menyangkut kepentingan masayarakat pada umumnya, maka seharusnya dimuat dalam suatu Undang Undang; c) jika materi muatan hukum itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari suatu aturan pokok dalam Undang Undang, maka seharusnya dalam bentuk hukum yang disebut dengan Peraturan Pemerintah (PP), dan; d) materi muatan hukum itu berkenaan dengan hal-hal pokok dalam penyelenggaraan otonomi daerah, seharusnya dimuat dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA). Bentuk produk hukum yang memuat suatu aturan hukum sangat erat kaitannya dengan fungsi peraturan perundang-undangan, yaitu: 1. Fungsi Undang Undang dan PERPU: a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD yang secara tegas menyebutkannya. b. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang tubuh UUD. c. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam TAP MPR yang secara tegas diperintahkan dan atau karena dianggap perlu. d. Peraturan dibidang konstitusi seperti struktur dan susunan organisasi lembaga tertinggi dan tinggi negara, tata hubungan antara negara dan warga negara/ penduduk. 2. Fungsi Peraturan Pemerintah (PP): a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang Undang yang secara tegas diperintahkan. b. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu Undang Undang meskipun tidak tegas dperintahkan (berdasarkan inisiatif sendiri). 3. Fungsi Keputusan Presiden (KEPRES). a. Pengaturan secara umum dalam ragka penyelengaraan kekuasaan pemerintah (Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945). b. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah baik yang secara tegas diperintahkan maupun yang tersamar. 4. Fungsi Keputusan Menteri a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang Undang yang diperintahkan sesuai bidang tugasnya. b. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang diperintahkan sesuai dengan tugasnya. c. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden (KEPRES) d. Pengaturan secara umum dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah sesuai bidang tugasnya. 37
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
5. Fungsi Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen: a. Mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Kepres. b. Mengatur secara umum dalam rangka penyelenggaraan bidang tugasnya. 6. Fungsi keputusan Dirjen Departemen: a. Perumusan Kebijaksanaan Teknis dari Keputusan Menteri. b. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri 7. Fungsi Peraturan Daerah (PERDA); Menyelenggarakan pengaturan hal-hal pokok kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah (otonomi daerah) sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang lebih tinggi, belum diatur dalam peraturan perundangundangan dan peraturan daerah yang lebih tinggi dan tidak mengatur rumah tangga daerah. 8. Fungsi Peraturan Kepala Daerah: Mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah dan atau tugas penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan kata lain, pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah yang dianggap perlu meskipun tidak diperintahkan oleh Peraturan Daerah. Dengan memperhatikan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa jika dilihat materi muatan aturan hukum itu berkenaan dengan hal-hal pokok dalam penyelenggaraan otonomi daerah, seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan daerah (PERDA). Sedangkan dari segi fungsi hukum diketahui bahwa jika materi muatan hukumnya diperuntukan dalam penyelenggaraan pengaturan hal-hal pokok kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah seharusnya diatur juga dalam peraturan daerah, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang lebih tinggi, belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang lebih tinggi dan tidak mengatur rumah tangga daerah lain. Dengan demikian, maka Obyek materi peraturan daerah akan berkisar mengenai pengaturan urusan-urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, meliputi Pekerjaan umum, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan, Industri dan Perdagangan, Penanaman modal, Lingkungan hidup, Pertanahan, Koperasi dan Tenaga Kerja. yang meliputi pengaturan baik dari isi substansi maupun tata cara pelaksanaan bidang-bidang pemerintahan yang wajb dilaksanakan oleh daerah tersebut. Bilamana bandul-bandul otonomi lebih kuat berayun kepusat, maka peraturan daerah yang mengatur mengenai urusan rumah tangga daerah dapat dimengerti sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tetapi kalau seharusnya bandul otonomi berayun kearah lebih mendaerah, tentu tidak boleh ada klausul bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, justru harus sebaliknya. Jika terjadi demikian harus diberlakukan asas Ultra Vires. peraturan yang lebih tinggi harus dicabut. Mengapa demikian?, karena inti otonomi daerah adalah kemandirian daerah dalam kerangka negara kesatuan. Oleh karena itu, peraturan daerah yang mengatur pelaksanaan urusan rumah tangga daerah harus mencerminkan kehendak-kehendak dari masyarakat. Isinya harus bersifat responsif terhadap tuntutan masyarakat dan fungsi hukumnya harus aspiratif, artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi dan kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukum peraturan daerah itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat, jika terjadi benturan pengaturan kewenangan dalam kerangka penyelenggaraan otonomi daerah antara pusat dan daerah, pemerintah pusat harus lebih bijak untuk tidak menggerogoti aspirasi yang berkembang di daerah. 38
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa selama berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintah daerah Kota Palembang lebih menonjolkan pembentukan peraturan daerah tentang retribusi, perizinan, dan peraturan daerah pembentukan dan penyelenggaraan organisasi perangkat daerah. Harapan dari pembentukan peraturan daerah terungkap dalam tiap bagian konsederan menimbang dari peraturan daerah tesebut, yaitu dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Penekanan manfaat hukum peraturan daerah itu terletak pada peningkatan pendapat asli daerah dalam rangka penyelenggaraan pembangunan, sehingga implementasi peraturan daerah yang telah ada dapat terlaksana dengan baik tanpa terkesan ada keterpaksaan dari masyarakat, tetapi masyarakat dengan sadar turut berpartisipasi pada pembangunan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, dalam proses pembuatan peraturan daerah khususnya peraturan daerah tentang retribusi belum sepenuhnya menerapkan asas-asas perundang undangan yang baik. Hal ini terungkap dalam penelitian dimana mekanisme peran serta masyarakat dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah maupun pembahasan di DPRD belum secara tegas diatur dalam tata tertib DPRD Kota Palembang, dan penerapan asas materi muatan khususnya kewenangan masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat dan propinsi yang berakibat dibatalkannya peraturan daerah tersebut. Kedua, peraturan daerah yang mengatur pendapatan asli daerah belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Hal ini terungkap dalam penelitian bahwa di dalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umum peraturan daerah, harapan pembentukan peraturan daerah adalah peningkatan pendapat asli daerah, sehingga terkesan peraturan daerah tentang retribusi cenderung membebani masyarakat dengan berbagai tarif yang tidak jelas standar pembebanannya. Peraturan daerah dibuat berdasarkan cara berpikir bahwa setiap pelayanan masyarakat harus dibebani sejumlah tarif, yang seharusnya peraturan daerah sebagai sarana regulasi dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengembangkan usahanya. Dari kesimpulan tersebut di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: Pertama, hendaknya dalam proses perancangan pembentukan peraturan daerah lembaga legislatif dan eksekutif dapat benar-benar menerapkan asas-asas perundang-undangan yang baik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004, agar supaya peraturan daerah itu tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat dan dapat dilaksanakan. Kedua, hendaknya dalam pembentukan peraturan daerah harus memperhatikan kepentingan masyarakat sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, jika berdasarkan visi misi pemerintah maka harus merefleksikan kepentingan masyarakat, sehingga produk hukum peraturan daerah itu dapat lebih memihak kepada masyarakat. Ketiga, hendaknya sebelum rancangan peraturan daerah tersebut diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebaiknya diadakan sosialisasi baik melalui media elektronik maupun media cetak dan disiapkan kolom untuk saran/pendapat dari masyarakat terhadap rancangan perda yang diajukan. 39
Mudasir; 31 - 40
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Nuralam. 2001. Jurnal Otonomi Daerah. Jakarta: Departemen Dalam Negeri Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah www.djpk.depkeu.go.id, Diakses Tanggal 20 Februari 2009 ©2008 – Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia
40
Mudasir; 31 - 40