Laporan Hasil Penelitian BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA JAKARTA Tahun 2006
KEHIDUPAN UMAT HINDU DI JAKARTA (Studi tentang Persepsi Umat Hindu Terhadap Kekerasan) Oleh: Afif, HM PENDAHULUAN Pokok-pokok pikiran Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama. Oleh karena itu dikenal dengan “kebinekaan”nya. Dengan demikian, Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai potensi yang dimiliki oleh penduduknya. Sekaligus hal tersebut menjadi aset dan potensi bagi keberlangsungan dan “kemajuan” dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Agama sebagai salah satu ciri dari keanekaragaman yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia memiliki fungsi yang tidak kalah penting bagi pendorong kemajuan hidup berbangsa dan bernegara. Namun di satu sisi agama juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya “konflik” baik laten maupun manifest dalam kehidupan berbangsa. Sebagai faktor dan potensi untuk menunjang kemajuan hidup berbangsa, “agama” dapat menjadi faktor menumbuhkan solidaritas sosial sesama pemeluk agama yang sama. Ikatan-ikatan antar pemeluk agama yang sama dapat terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat dan bagi tujuan yang lebih bersifat sosial kemasyarakatan. Sebaliknya, dalam hubungan antar pemeluk beragama (sebut satu agama dengan yang lain di Indonesia) sering terjadi gesekan yang pada momen tertentu mencuat kepermukaan menjadi konflik manifest, walaupun wujudnya konflik sosial. Oleh karena itu, pakar sosial sering menyatakan bahwa “agama” menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya solidaritas sosial, dan sekaligus menjadi faktor pemicu konflik sosial. Penelitian terhadap kehidupan beragama yang dianut oleh para pemeluknya mejadi penting dilakukan. Alasan yang mendasari adalah bahwa dengan melihat keadaan yang terjadi dalam realitas sosial umat peluk agama, dapat dilakukan berbagai upaya pelayanan dalam meningkatkan praktik pelaksanaan implementasi ajaran agama dalam kehidupan riil (nyata). Dengan berbagai hal yang dapat diketahui melalui studi terhadap kehidupan agama oleh para pemeluknya, akan sangat berharga dalam rangka melakukan perekaman dini terhadap hal-hal yang kemungkinan dapat ditimbulkan dari pengamalan ajaran agama yang dapat menimbulkan konflik sosial. Sebab dalam kehidupan sosial bila konflik terjadi sudah barang tentu “agama” akan terseret ke dalam permasalahan tersebut. Sering terjadi kemudian “agama” menjadi tertuduh sebagai faktor utama penyebab konflik sosial.
Penelitian yang dilakukan terhadap umat penganut Hindu di Jakarta di dasari bahwa betapapun dalam hiruk pikuknya kota Jakarta, peranan umat beragama masih cukup penting dalam andil bagi perwujudan kehidupan yang saling menghargai antar penduduk Jakarta. Karena agama memiliki nilai-nilai yang menghantarkan pemeluknya untuk meperlakukan sesama manusia secara sama dan berkeadilan. Dalam ajaran Hindu banyak nilai-nilai yang menjadi dasar bagi para pemeluknya berperilaku yang memberi manfaat bagi diri dan juga kepada orang lain, baik sesama manusia maupun terhadap alam semesta. Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia dikenal sebagai kota megapolitan. Sebutan tersebut mengandung makna bahwa kehidupan di Jakarta menggambarkan sangat kompleks. Berbagai hal, jenis, macam suku bangsa, budaya, bahasa, agama, ada di dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Dapat dikatakan bahwa kehidupan Jakarta merupakan miniatur kehidupan bangsa Indonesia. Yaitu, dapat ditemui berbagai suku bangsa, dengan adat dan budaya serta agama yang dianutnya. Kebinekaan dalam kehidupan bangsa Indonesia dapat diketahui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat penduduk Jakarta. Dari sisi agama yang dipeluk oleh masyarakat Jakarta, semua agama ada. Seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan berbagai (sebut agama) selain yang sudah di sebutkan itu. Ada yang disebut Nicheren Shoshu Indonesia (NSI) yang berkantor pusat di jalan Padang Manggarai, Jakarta selatan. Sebagai agama Budha Jepang yang ada di Indonesia dengan pengikut yang cukup banyak dan berbagai aktivitas sosial keagamaan yang memberikan makna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Juga para pengikut Konghucu yang juga mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Belum lagi berbagai aliran dari agama-agama yang ada tersebut. Seperti dalam Islam ada berbagai kelompok yang muncul dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Antara lain: kelompok Salamullah, kelompok Jamaah Ahmadiyah, yang sempat menjadi pembicaraan dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Masih banyak lagi kelompok-kelompok keagamaan dalam kehidupan pemeluk agama yang ada di Jakarta dari pengikut agama lain. Juga penganut “kebatinan” yang menurut informasi awal dapat diikuti dari berbagai pengikut agama yang ada. Hal tersebut menarik untuk dilakukan kajian terhadap kehidupan beragama dalam masyarakat Jakarta. Alasan yang mendasari adalah bahwa agama – apapun namanya- merupakan pegangan hidup dan kehidupan. Artinya, nilai-nilai ajaran agama menjadi acuan dalam kehidupan individual maupun sosial. Tidak jarang dalam suatu permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, ajaran agama dijadikan aturan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Bahkan pada hal tertentu, masyarakat merasa lebih “puas” bila permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat diselesaikan berdasarkan ajaran agama. Karena, agama memiliki konsekuwensi tidak terbatas dalam kehidupan nyata di dunia saja. Yaitu, saat manusia memasuki kehidupan yang kekal abadi (sebut akhirat) dalam konsep Islam. Masyarakat Jakarta dari sisi agama yang dianut memang sangat beragam. Oleh karena itu, dalam studi ini akan memfokuskan kepada penganut agama Hindu sebagai bagian dari masyarakat Jakarta. Sebagai pemeluk Hindu, para penganut menerapkan ajaran sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari. Dengan demikian manakala berinteraksi dengan anggota masyarakat Jakarta yang lainnya, sudah barang tentu sudah dapat dipastikan ajaran Hindu menjadi acuannya. Pola pikir, sikap dan prilaku yang mendasarkan agama yang dianut oleh seseorang akan mencerminkan pengamalan ajaran agama yang diyakini. Dengan demikian, penelitian tentang bagaimana umat Hindu mengaplikasikan ajaran agama yang dianut (dipeluk) dalam kehidupan sangat menarik. Karena akan bersentuhan dengan berbagai hal yang juga dianut oleh orang lain sebagai pemeluk agama yang berbeda. Persentuhan antara nilai yang satu dengan nilai lain dari agama yang berbeda menarik untuk diketahui dalam kaitan interaksi sosial. Dapat diduga, akan terjadi benturan atau sekedar bersinggungan, dan bisa jadi adaptasi (penyesuaian). 2
Balai Litbang Agama Jakarta banyak melakukan penelitian kehidupan beragama di Jakarta. Seperti, kehidupan beragama di kalangan remaja yang menggambarkan berbagai bentuk kegiatan keagamaan para remaja yang bergabung dalam kelompok “remaja mesjid”. Juga tentang kehidupan sosial keagamaan anak-anak jalanan, di mana di gambarkan tentang arti agama dalam kehidupan anak-anak jalanan. Pengentasan kemiskinan melalui jalur agama, melihat peranan lembaga amil zakat infaq dan shodaqoh. Dan masih banyak lagi hasil-hasil penelitian yang mengungkap kehidupan agama masyarakat Jakarta, yang dilakukan baik oleh institusi pemerintah maupun swasta. Namun demikian belum disetuh mengenai berbagai kekerasan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jakarta yang sering dilakukan oleh orang-orang dengan legitimasi “agama”. Padahal menurut berbagai ajaran agama yang ada di Indonesia, bahwa kekerasan apapun bentuknya merupakan hal yang dilarang (tidak boleh dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama). Apalagi dari tindak kekerasan tersebut menimbulkan hilangnya nyawa orang. Hal tersebut menarik untuk dikaji, karena berbagai fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat Jakarta sering muncul hal serupa itu. Untuk itu, studi ini bertolak dari pertanyaan penelitian: Bagaimana pandangan pemeluk Hindu terhadap fenomena kekerasan yang terjadi dalam ke hidupan masyarakat ? Karena, para pemeluk Hindu adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jakarta yang megapolitan tersebut. Masalah penelitian Kekerasan apapun bentuknya tidak dibenarkan oleh agama yang ada di dunia. Tetapi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang yang menganut suatu agama (sebut umat beragama). Dengan demikian patut untuk dipertanyakan, apakah saat seseorang beagama melakukan tindak kekerasan berarti telah melepaskan agama yang dianutnya ? Kekerasan dapat ditemui dalam kehidupan, baik pada tingkat kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia. Tetapi manakala diusut lebih jauh, bahwa semuanya dilakukan oleh orang yang mengaku beragama. Memang agama oleh pakar ilmu sosial sering disebut berwajah ganda. Laksana dua sisi dari satu mata uang, yang satu berwajah positif dan yang sebelah negatif. Tetapi apakah benar, bahwa agama memberikan jastifikasi terhadap tindak kekerasan. Sehinga ada yang menyebutkan dengan istilah “kekerasan agama”. Untuk menjawab semua hal tersebut , karena penganut Hindu adalah menggunakan ajaran agama sebagai acuan dalam berperilaku, perlu untuk dikaji apakah kekerasan dibenarkan menurut ajaran agamanya? Dan mengapa orang beragama melakukan tindak kekerasan? Bagaimana pandangan tentang kekerasan yang dilakukan dengan pembenaran agama? Metode penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan sifat studi kasus (case study). Sasaran studi adalah kelompok penganut agama Hindu yang dilayani oleh Pure Mustika Dharma, Cijantung, Jakarta Timur. Alasan pemilihan sasaran penelitian tersebut didasari berbagai pertimbangan a.l: Keberadaan Pure Mustika Dharma Cijantung sebagai tempat pelayanan idadat bagi umat Hindu sudah cukup tua di Jakarta. Jumlah anggota ayang dilayani cukup besar meliputi wilayah: Kramat Jati, Ciracas, Suka Tani, Tanjung Barat, dan Cicantung sendiri, dengan anggota 245 kepala keluarga. Di samping kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Pura dalam memenuhi kebutuhan para pendukungnya cukup berpariasi, disesuaikan dengan usia, dan juga kemampuan kreativitas yang dimiliki oleh penganut Hindu yang dilayani. Di sisi lain, Pure tersebut di pimpin oleh Ketua Parisade Hindu Darma, bapak I Ketut Bantas, SAg. 3
Data dikumpulkan melalui teknik, wawancara mendalam (indepth interview) dengan tokoh agama yang memberikan pelayanan di Pure, juga para penganut Hindu yang dating ke Pure. Di samping data dokumentasi yang tersimpan, serta pengamatan langsung terhadapberbagai kegiatanyang dilakukan di Pure. Analisa data lebih bersifat deskriptif kualitatif, dengan mencarai hubungan dari berbagai informasi yang diperoleh serta diinterpretasi secara logis (tata nalar/logical order) dan digambarkan kembali secara utuh. Beberapa hal yang cukup memberi kemudahan dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan a.l: Para informaan sangat responsif terhadap proses penggalian informasi oleh peneliti. Jadwal kegiatan pengumpulan data disusun berdasarkan kesepakatan dan dapat berjalan sesuai yang direncanakan. Bahkan menurut I Ketut Bantas, bahwa penelitian semacam ini sangat diperlukan untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya dari lapangan tentang “keberagamaan” dari penganut agama tertentu (dalam hal ini umat Hindu). Sebagai tokoh agama Hindu I Ketut Bantas sangat mengharapkan bahwa upaya kerja sama lintas pemeluk agama dapat dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama yang lebih bersifat sosial kemasyarakatan. Melalui hal tersebut diharapkan akan sering ketemu dan bergaul antar pemeluk agama yang ada di masyarakat, bersama-sama melakukan kerja sama bagi kepentingan masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Kekerasan yang berasal dari kata dasar keras memperoleh awalan “ke” dan akhiran “kan” mempunyai pengertian perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa orang lain atau menjadikan rusak atau hilangnya anggota badan/pisik atau barang, dengan cara paksa (Moeliono, 1997:484). Agama adalah suatu yang memberikan dasar ajaran bagi manusia yang secara nature melarang terhadap bentuk kekerasan yang mempunyai pengertian sebagaimana tersebut di atas. Azumardi Azra (2000) dalam tulisan yang mengantarkan buku “Merajut damai di Maluku” menyatakan bahwa agama tidak hanya mengajarkan kepada para penganutnya tentang keimanan dan ibadah saja. Tetapi lebih dari itu memberikan banyak kesempatan dan keleluasaan bagi para pemeluknya untuk memperoleh kedamaian, kenyamanan rohani, mengikat sesama pemeluk agama dengan ikatan solidaritas sosial. Dengan kata lain, bahwa manusia yang berbeda suku bangsa, bahasa, adat istiadat, budaya, dan sosial, akan dapat diikat dengan soslidaritas sosial melalui “iman” yang sama. Dalam kehidupan sosial , kekerasan dapat terjadi karena interes (kepentingan) yang berbeda-beda baik bersifat profane maupun sacral. Akibat dari kekerasan yang muncul dipermukaan sebagai suatu bentuk konflik membawa krisis ekonomi, sosial, budaya dan politik yang merupakan sumber utama dari ketidak puasan sosial (socialdiscontent). Dan pada giliran selanjutnya akan menimbulkan keresahan sosial (social unrest). Selanjutnya berkembang dengan munculnya semacam riak-riak kejadian kecil yang mencuat dan kemudian menjadi penyulut kerusuhan dan kekerasan sosial. Pada setiap kali terjadi bentuk kekeraan sosial – baik dalam skala kecil maupun besar – yang pelakunya adalah manusia sudah barang tentu “agama” akan ikut terbawa dalam momen tersebut. Bahkan dalam satu sisi, agama menjadi alat bagi kepentingan untuk memperoleh dukungan melalui solidaritas sosial yang diikat dengan “agama”. Menurut sebagian para ahli sosial, saat agama menjadi alat untuk mencari dukungan massa, maka tidak terbatas pada perolehan dukungan massa, namun juga legitimasi 4
terhadap perilaku yang dibuat/lakukan. Sekali legitimasi agama telah diberikan terhadap suatu perilaku atau kegiatan, maka berdampak tidak hanya bernilai profan, tetapi mengandung nilai sacral. Dengan kata lain, jika saat seseorang melakukan tindakan yang memperoleh legitimasi agama, maka akibat yang akan diterima adalah “kebaikan”. Pada ajaran Hindu, tujuan beragama adalah mencapai kelepasan dari samsara. Yaitu penjelmaan berkali-kali (reinkarnasi), yang dipandang sebagai suatu penderitaan (tidak baik) serta menyedihkan. Oleh karena itu perjalanan hidup manusia harus selalu mengupayakan lepas dari samsara agar dapat memperoleh moksa (tidak menjelma). Dengan kata lain, bagi yang telah pada tahapan moksa itulah seseorang telah mencapai Nirwana (kebahagiaan abadi), sebagaimana dikatakan dalam kitab Veda, bahwa:Dharma atau agama adalah jalan mencapai moksa dan kesejahteraan hidup (Arifin, 1997). Manusia secara konseptual menurut ajaran Hindu dapat terus mengupayakan agar dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam kehidupan, dan tidak terlahirkan kembali (menjelma) dengan 4 (empat) tahapan, yaitu: 1) Melalui jalan ilmu pengetahuan, 2) Melalui jalan cinta kasih, 3) Melalui bekerja keras, dan 4) Melalui latihan-latihan kejiwaan. Keempat tahapan tersebut harus dilakukan dengan disertai Yoga. Yaitu: Jnana Yoga , untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagai upaya memerangi kebodohan. Bhakti Yoga, untuk memperoleh cinta kasih Tuhan. Karma Yoga, sebagai bentuk amalan ajaran agama dengan sungguh-sungguh dalam setiap aspek kehidupan. Dan terkahir adalah Raja Yoga dengan melalui latihan-latihan psikologis, sebagai cara menuju reintegrasi dengan Tuhan. Melalui latihan-latihan tersebut manusia mampu mengarahkan kecenderungan untuk meraih kebahagiaan dengan bersatu dengan Sang Maha Kuasa Pencipta alam semesta. Ajaran Hindu Dharma, mempunyai tujuan sebagaimana digambarkan di atas adalah disebut dengan moksa. Sebagai keadaan terbebas dari ikatan duniawi, bebas dari karma dan samsara. Moksa dapat dicapai dalam kehidupan di dunia. Yaitu saat sesseorang masih hidup, namun bebas dari segala ikatan duniawi (jiwanmukti), dan moksa juga dapat diperoleh saat manusia setelah meninggal dunia (Hadiwijono, 1990:130). Oleh karena itu moksa harus diupayakan oleh seseorang pemeluk Hindu Dharma melalui 4 tahapan yoga sebagaimana dikemukakan di atas (Jnana Yoga, Bhakti Yoga, KarmaYoga dan Raja Yoga). Mengamalkan ajaran Hindu adalah mengamalkan dharma sebagai landasan hidup manusia. Kewajiban melaksanakan dharma bertujuan untuk memperoleh jagaditha dan moksa. Tujuan hidup dijabarkan dalam Catur Purusartha, yaitu dharma (kebenaran/kebijaksanaan) artha (materi), kama (keinginan) dan moksa (kebahagiaan/kebebasan abadi) (Sura, 2002: 11). Penganut Hindu dalam kehidupan seharihari mengupayakan melalui karma yang dapat mengantarkan kepada kehidupan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Karma terdiri dari dua, yaitu: Subha Karma dan Asubha Karma (Astawa, 2003:42) Kedua karma tersebut sebagai suatu yang berpasangan, di mana Subha Karma adalah perbuatan baik dan sebaliknya Asubha Karma adalah perbuatan buruk. Manusia memiliki sifat dasar yang lekat dalam setiap aspek kehidupan, yang disebut dengan Tri Guna. Yaitu, Sattwa yang bersifat terang dan bersinar; Rajas yang selalu berubah-ubah, dan Tamah yang mengandung arti berat dan kabur. Ketiga hal tersebut yang mewarnai pikiran manusia. Ketiga sifat dasar tersebut akan membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seperti: Kejujuran, kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan, ketangkasan, kehalusan, keindahan adalah sifat-sifat dari pikiran sattwika. Sementara kekejaman, kekerasan, kegarangan, keserakahan, ketidakadilan, kebengisan dan kecerobohan, adalah sifat-sifat rajas. Dan kemalasan, pengecut, culas, perusakan, pencurian, adalah sifat-sifat tamasa. 5
Dalam kaitan dengan karma manusia, komposisi yang benar dan serasi/seimbang merupakan sinergi yang sangat tangguh dalam nilai kehidupan manusia. Saat unsur Tri Guna bersentuhan dengan obyek (baik yang nyata maupun abstrak) akan mengalami penyelarasan dan membias ke dalam bentuk karma keseimbangan maupun kegoncangan, tergantung bobot dari penonjolan unsur Tri Guna tersebut . Agar karma manusia menjadi suatu yang memberi manfaat kepada diri si pelaku dan juga alam semesta perlu diberi muatan kandungan Panca Pilar. Yaitu: Pilar pertama yang disebut Satya yaitu kejujuran. Pilar kedua Dharma yang memuat kebenaran. Pilar ke tiga Prema yaitu kasih sayang yang menjadikan mausia mampu menjadi penebar cinta kasih dan sayang. Pilar ke empat Santi, yaitu kedamaian yang mampu menjadikan mausia hidup dengan harmoni sesama manusia dan alam. Pilar ke lima adalah Ahimsa, yaitu tidak melakukan sesuatu yang menjadikan sakit (menyakiti). Pada inti dari semua karma yang dilandasi dengan panca pilar tersebut akan memberikan gambaran karma yang memberikan kesejahteraan, kebenaran yang didasarkan pada cinta kasih (Ibid:59). Atas dasar urian di atas dapat dipahami bahwa ajaran Hindu menghantar dan membimbing para penganutnya untuk hidup yang seimbang dari ketiga unsur dasar yang dimiliki setiap manusia dengan muatan kandungan panca pilar. Dengan demikian, kehidupan seseorang dengan mangacu kepada ajaran agama, yang bersangkutan akan memperoleh kabahagiaan. Illustrasi dari kehidupan yang diajarkan secara konseptual menurut ajaran Hindu sebagai berikut: Ajaran Agama Hindu
Manusia
Panca Sradha
Triguna
Karma
Manusia dan Alam Semesta Samsara dan Moksa
Gambar tersebut menunjukkan betapa ajaran Hindu memberikan bimbingan kepada para penganutnya agar dalam hidup dan kehidupan dapat menentukan pilihan untuk memperoleh moksa atau samsara. Bagi yang melaksanakan kehidupan dengan mengupayakan agar tri guna dibimbing dengan panca pilar, akan melahirkan keseimbangan dalam bentuk karma, baik terhadap sesama manusia maupun alam semesta. Sehingga akan memperoleh akhir kehidupan moksa. Tapi sebaliknya jika kehidupan tanpa bimbingan terhadap tri guna dengan melalui panca pilar, akan terjadi ketidak seimbangan hidup yang akan membawa kepada akhir samsara.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pura Mustika Dharma Jumlah umat Hindu di Jakarta, 96.701 jiwa, tersebar di dalam wilayah, Jakarta Pusat 17.192 jiwa, Jakarta Utara, 17.452 jiwa, Jakarta Timur 18.824 jiwa, Jakarta Selatan 22.715, Jakarta Barat 20.518 jiwa (data Pembimas Hindu, Kanwil Depag DKI, 2006). Wilayah Jakarta Selatan umat Hindu terbanyak untuk wilayah DKI Jakarta, Jakarta barat pada urutan ke dua dan Jakarta Timur urutan ke tiga. Namun hal tersebut bukan berarti menggambarkan jumlah yang dilayani oleh Pura sebagai tempat ibadat banyak. Karena wilayah pelayanan satu pura tidak menggambarkan wilayah teritorial. Seperti, Pura Mustika Dharma, yang berada di Cijantung sebagai sasaran penelitian memiliki wilayah pelayanan cukup luas menjangkau sampai wilayah Cimanggis, Depok, Jakarta selatan, dan Jakarta Timur bagian Selatan . Karena sebagian wilayah Jakarta Timur yang dilayani oleh Pura Agung Taman Sari, di Halim Perdana Kusumah, juga Pura Adityajaya, Rawamangun Jakarta Timur, dan Pura Penatran Agung, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Pura Mustika Dharma, di jalan Tirta Yuda, No. 1 Cijantung, Jakarta Timur, berada dalam komplek Tentara. Tepatnya adalah komplek KOPASUS Angkatan Darat (AD) dahulu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Pura tersebut menempati arel seluas 2.500 M2, yang digunakan sebagai tempat pemujaan (ritual), bangunan sekolah Minggu, bangunan untuk pembinaan seni budaya, bangunan untuk tempat gamelan dan bangunan kantor pengurus Pura. Pada awal mula, pura tersebut diperuntukan bagi para prajurit RPKAD yang beragama Hindu, sebagai tempat untuk melakukan ritual keagamaan serta pembinaan rohani. Pendirian Pura diilhami oleh Kopasanda sebagai pasukan inti prajurit terbaik Angkatan Darat (AD) yang harus memperoleh pembekalan yang lengkap, baik material maupun spiritual. Pembinaan yang dilakukan dalam bidang spiritual salah satunya adalah melalui inti ajaran Dharma (agama). Inti ajaran Dharma adalah menegagkan kebenaran. Sebagai prajurit yang berkualifikasi pilihan menjadi pasukan elite AD, harus berani berjuang berdasarkan kebenaran. Sehingga, saat gugur di medan perjuangan, kelak akan mendapat penghargaan tidak hanya sebagai “pejuang bangsa” tetapi sebagai seorang yang berada di jalan Dharma. Keterangan bapak I Ketut Bantas, bahwa pelayanan yang diberikan oleh Pura sebagai tempat ibadat umat Hindu, tidak mengenal batas wilayah teritorial sebagaimana batas wilayah pemerintahan. Tetapi lebih menekankan dari aspek sejarah. Seperti umat Hindu yang dilayani oleh Pura Mustika Dharma, Cijantung yang meliputi 245 KK, tersebar di wilayah “tempek” Kramat Jati, Ciracas, Suka Tani, Depok, Tanjung Barat, Cijantung, Kampung Makasar, sampai Pondok Gede. Aspek sejarah yang dimaksud sebagai dasar pelayanan dari sebuah Pura adalah, umat Hindu yang dilayami oleh Pura Mustika Dharma misalnya, pindah tempat tinggal ke suatu wilayah, kemudian tetap menjadi anggota dari Pura tesebut. Walaupun di wilayah tempat tinggal yang baru ada Pura. Demikian seterusnya, dan dengan keindahan umat hindu juga ada umat Hindu lain yang ikut pindah tempat tinggal, sehingga menjadi suatu kelompok anngota “Tempek” Pura Mustika Dharma. Kemudian kelompok umat Hindu di wilayah tersebut menjadi binaan pelayanan dari Pura dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan dan sosial keagamaan. Data yang ada menunjukan bahwa pelayanan terhadap umat Hindu dalam kehidupan beragama yang dilakukan oleh tempat ibadat di DKI Jakarta realtif “memadai”. Yaitu, terdapat 14 buah Pura dan 7 buah Kuil. Di samping para tokoh agama, baik 7
Sulinggih/Pandita/RSI/Mpu berjumlah 10 orang, dan Pinandita/Pandita berjumlah 80 orang yang tersebar di lima wilayah DKI Jakarta dan Depok, Pondok Gede, Bekasi dan Tanggerang. 2. Pelayanan Pura Pelayanan yang diberikan kepada umat Hindu oleh Pura tidak sebatas pelaksanaan ritual keagamaan (purnama dan tilem) saja. Tetapi pembinaan kehidupan keagamaan yang lebih bersifat penanaman nilai ajaran dan bimbingan untuk menjadikan umat Hindu yang sesuai dengan ajaran Dharma. Karena tujuan dari pembinaan kehidupan beragama terhadap umat Hindu adalah agar kehidupan sesuai dengan pelaksanaan ajaran agama secara nyata. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan kepada umat Hindu oleh Pura selalu dilakukan secara simultan antara pengajaran dan paktik. Justeru praktiklah yang banyak menolong umat Hindu secara mudah menangkap makna ajaran secara nyata. Terutama sekali bagi kelompok anak-anak dan remaja. Sementara bagi kelompok dewasa, memang telah banyak bentuk-bentuk bimbingan praktik pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sosial. Bebrbagai bentuk kegiatan pelayanan yang diberikan pura Mustika Dharma kepada umat Hindu yaitu: Kepada anak-anak diberikan pelayanan dan bimbingan keagamaan oleh para guru agama Hindu, petugas Dep. Agama dari Bimas Hindu, dan Bina Mental (Bintal). Dalam kegiatan yang diberi nama Pasraman Mustika Dharma adalah tentang etika, tata susila, budipekerti dan keterampilan membaca kitab suci. Kitab suci yang dibaca antara lain: Bagawat Gita, Ramayana, Mahabarat, dan Sara Samuicaya. Titik tekan yang sangat dipentingkan dalam proses ini adalah anak-anak lebih dikenalkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mengenali, memahami serta dapat melakukan dalam hidup sehari-hari berdasarkan etika, tata susial, dan berbudipekerti luhur. Sementara keterampilan membaca kitab suci ditujukan untuk memberikan kebiasaan kepada anak-anak membaca kitab suci dan mencoba untuk memahami kandungannya. Pelayanan kepada para remaja, di samping pengajaran ajaran Hindu, juga dibuat kelompok paguyuban seni Mustika Budaya. Para remaja di samping mempelajarai ajaran agama juga diberikan bimbingan praktik pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari-hari, serta kegiatan yang bersifat seni budaya. Tujuannya adalah untuk lebih menanamkan rasa estetika dalam kehidupan. Karena orang yang menjiwai seni akan memiliki estetika tinggi dalam kehidupan. Tari-tari Bali diajarkan dalam kelompok remaja untuk dipelajari dan dipentaskan pada acara-acara tertentu. Begitu juga mengenai alat-alat kesenian seperti gamelan dan perangkat alat kesenian lainnya. Yang tak kalah pentingnya adalah pembinaan jasmani remaja yang dilakukan melalui kelompok Olah Raga. Hal tersebut penting, karena olah raga merupakan sarana untuk menjadikan jasmani yang kuat dan sehat. Dengan kesehatan dan badan yang kuat para remaja akan mampu memberikan andil bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Sementara untuk orang dewasa, pelayanan dan pembinaan kehidupan beragama dilakukan melalui berbagai kegiatan yang dikemas dalam Pesantian Mustika Dharma, yang diadakan setiap hari sabtu. Bentuk kegiatan adalah pendalaman agama yang dibimbing oleh Panandita secara bergantian. Di sisi lain , dilakukan pembinaan sosial kemasyarakatan yang bersifat arisan yang diikut oleh anggota Pura Mustika Dharma. Bahkan pembinaan rohani bagi umat Hindu dilakukan di luar Pura, yaitu dengan mendatangi kelompok-kelompok umat Hindu yang ada di masyarakat, untuk mengadakan pertemuan sambil arisan dan dilakukan pembinaan rohani. Satu hal yang juga penting untuk diketahui, bahwa hubungan antar umat Hindu yang ada di Jakarta dapat digambarkan sebagai satu ikatan antar anggota pura yang diwujudkan 8
dalam suatu bentuk pelaksanaan kegiatan kegamaan bersama. Seperti, kegiatan ritual “puja” kepada Brahmana di suatu Pura, yang diikuti oleh para umat Hindu yang ada di wilayah Jakarta, tanpa diundang. Umat Hindu datang dengan kesadaran masing-masing. Dari keterangan yang diperoleh, melalui kegiatan keagamaan seperti itu, para umat Hindu dapat saling mempererat hubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan dalam hal tertentu, dapat dijadikan sarana untuk saling mengenal lebih jauh, menyangkut yang privat, dan juga menyangkut masalah domestik. Juga sering dari kegiatan keagamaan seperti itu, terjadi akulturasi budaya dan asimilasi melalui perkawinan antar etnis sesama umat Hindu. Di sisi lain, ada yang mengembangkan hubungan melalui kegiatan kegamaan di pura untuk mengembangkan usaha di bidang ekonomi. Banyak hal yang dapat dilakukan sebagai dampak dari pertemuan keagamaan yang diselenggarakan di Pura yang diikuti oleh umat Hindu yang ada di wilayah Jakarta. Kegiatan yang juga dilakukan pura bagi pelayanan umum adalah pengajaran seni budaya Bali, seperti tari-tarian Bali. Kegiatan tersebut diadakan pihak Pura karena memenuhi permintaan umat Hindu, pada awalnya. Tetapi perkembangan selanjutnya hingga saat penelitian, para peserta dari kelompok tari Bali yang diadakan oleh Pura Mustika Dharma, tidak terbatas kepada umat Hindu saja, tetapi sudah meluas kepada masyarakat umum dari kelompok penganut agama yang ada di Jakarta (Islam, Kristen,Budha, dan Hindu sendiri). Dari pengamatan dalam beberapa kali pelaksanaan tari Bali yang diajarkan di Pura, para orang tua yang mengantar anak-anaknya untuk belajar tari saling bercengkerama, bercanda, dan bertukar pikiran, tanpa melihat agama, suku, dan asal daerah. Dari kostum pakaian yang dipakai, dapat diketahui antara lain penganut Islam, dengan mengenakan jilbab di kepala, dan pemeluk Kristen/Katholik dengan tanda salib pada liontin di kalung yang dipakai. Tetapi saat menanti anak-anaknya berlatih menari, mereka saling bercanda, dan berbicara tanpa ada suatu beban. Para ibu duduk diberanda sambil menyaksikan anakanaknya menari. Keterangan yang diperoleh dari para ibu bahwa anak-anak belajar menari karena keinginan sendiri. Bagitu juga tentang tarian yang dipilih,yaitu tari Bali. Orang tua sekedar menurutkan kemauan anak-anak, dengan harapan kelak anak-anak akan dapat mengembangkan bakatnya sendiri setelah dewasa. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh ibu dari etnis Sunda dan Jawa. Padahal di tempat lain ada yang menyelenggarakan bimbingan tari Jawa dan Sunda. Seperti di anjungan daerah yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tapi, karena anak-anak memilih tari Bali, maka diikutkan dalam kegiatan tari yang ada di Pura Mustika Dharma. Untuk dapat dikethui secara rinci pelayanan yang diberikan Pura terhadap para umat Hindu sebagai berikut: a. Tujuan pelayanan Pura sebagai institusi keagamaan diberikan tugas mengemban pelayanan kepada umat Hindu dalam berbagai aspek kehidupan terutama sekali yang berkaitan dengan keagamaan. Tujuan utama dari pelayanan yang dilakukan pura adalah menanamkan “Saddha dan Bhakti” yaitu iman dan takwa. Artinya, pokok ajaran adalah menyangkut 5 hal, yaitu: 1) Yakin kepada Tuhan (Brahman), 2) Yakin kepada Atman (diri) atau roh, 3) Yakin kepada Karma, yang diikuti pahala, 4) Yakin kepada Samsara, yakni penderitaan dengan kelahiran kembali (reingkarnasi), dan 5) Yakin kepada Moksa, yaitu kebahagiaan abadi. Bimbingan dan pelayanan kepada umat Hindu diberikan melalui berbagai kegiatan, baik yang bersifat ritual keagamaan, maupun serimonial dan juga pengajaran Dharma. Ritual keagamaan secara individual maupun bersama-sama, pada saat-saat tertentu (purname dan tilem). Dalam ajaran Hindu penganut dituntun untuk melaksanakan ritual 9
keagamaan (puja) pada tiga masa, yaitu: pagi, siang dan sore hari. Tiga masa itulah umat Hindu dituntun untuk melaksanakan ritual keagamaan pemujaan terhadap Tuhan Brahman. Dasar yang melandasi adalah bahwa Atman yang ada dalam setiap individu adalah dari Brahman. Oleh karena itu agar Atman terbimbing kepada jalan yang benar harus selalua memohon kepada Brahman untuk dibimbing. Ritual yang dilakukan oleh penganut Hindu harus dilaksanakan atas dasar kesadaran dan ketulusan. Kesadaran disini menurut para penganut Hindu adalah dipahami benar bahwa Atman adalah berasal dari Tuhan Brahman yang tidak mungkin berbuat tidak baik (benar). Sementara ketulusan adalah bahwa diri pelaku puja harus tidak dalam keadaan keterpaksaan. Semata-mata karena keinginan untuk memperoleh bimbingan dari Tuhan dalam melaksanaan kehidupan. Karena kehidupan pada dasarnya terwujud dalam karma yang akan selalu diikuti dengan pahla. Bagi karma yang baik akan diikuti dengan balasan kebaikan dan sebaliknya karma yang tidak baik akan diikuti dengan balasan yang sama pula. Para umat Hindu melalui berbagai aktivitas yang diselenggarakan oleh Pura Mustika Dharma dan pura-pura lainnya, diberikan pelayanan dan bimbingan kepada berbagai upaya melakukan bentuk-bentuk karma melalui “Bhakti Marga” yang dilaksanakan pada setiap hari (pagi, siang dan sore) dengan puja kepada Tuhan Brahman dilaksanakan secara sadar dan penuh ketulusan. Juga berbagai bentuk Karma Marga atau Karma Yoga, yaitu berbagai aktivitas dalam hidup dan kehidupan yang mendasarkan ajaran Dharma karena bakti kepada Tuhan. Seperti perbuatan memberi pertolongan kepada sesama manusia dan berbuat kebajikan kepada alam semesta. b. Bntuk-bentuk pelayanan Pelayanan yang diberikan dapat diklasifikasi kepada dua hal, yaitu, bagi umat Hindu dan bagi masyarakat umum. Bagi umat Hindu dapat dibagi kepada: 1) Pelayanan dan bimbingan ritual keagamaan (puja). Pelayanan dan bimbingan ritual keagamaan (puja) diberikan kepada umat Hindu baik yang diselenggarakan di pura maupun di rumah. Ritual keagamaan menjangkut hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dengan bimbingan para Rsi, Panandhita, atau Pandhita. Pada saat kelahiran dilakukan ritual yang dibimbing oleh Phandita, Panadhita, Rsi, agar kakek anak yang baru lahir atau bapaknya membacakan mantera di telingan kanan bayi yang baru lahir tersebut. Harapan dengan ritual tersebut kelak anak yang baru lahir selamat dan selalu memperoleh bimbingan dari Sang Brahman. Begitu juga saat perkawinan, seorang pria mengucapkan ikrar dengan disaksikan oleh kedua orang tua mempelai (putra dan putri) serta tokoh agama dengan mengucapkan: “Aku pegang tanganmu sebagai pembawa keberuntungan anugerah dari Sang Hyang Widhi Wase (Tuhan) kepadaku sebagai isteriku yang akan mengatur rumah tangga, semoga Sang Hyang Whidi Wase mempersatukan hati kita”, kemudian perempuan mengucapkan doa “semoga sang suami panjang umur, ratusan tahun”. Dan saat kematian , umat Hindu melakukan ritual untuk menghantarkan arwah mendiang yang meninggal sampai kepada tujuan akahir. Upacara keagamaan dilaksanakandi rumah dan dibimbing oleh tokoh agama dari pura yang terdekat. Dalam ajaran Hindu yang terdapat pada kitab Weda, tidak ada ajaran tentang perceraian sebagai suatu institusi untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan antar suami dan isteri dalam rumah tangga. Tetapi kenyataan dalamkehidupan umat Hindu terjadi hal tersebut. Oleh karena, saat terjadi perceraian dilakukan dihadapan pejabat yang dipandang kompeten dalam hal tersebut. 2) Pengajaran dam bimbingan keagamaan 10
Pengajaran dan bimbingan keagamaan diberikan bagi umat Hindu dengan melihat usia. Yaitu untuk kelompok anak-anak, remaja, dan dewasa. Kegiatan yang diadakan berupa bimbingan dan pengajaran keterapilan keagamaan dalam membaca lagu-lagu rohani. Juga dalam memahami ajaran Dharma dari sumbernya (kitab Weda, Baghawat Ghita) dan 3) Kesenian dan olah raga Kesenian dan olah raga adalah suatu hal yang tidak kalah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pula dalam kehidupan umat Hindu, kesenian suatu yang penting dalam kehidupan seseorang, baik menyangkut kehidupan duniawi maupun keagamaan. Karena seni banyak memiliki keterkaitan dengan kehidupan keagamaan maupun daerah. Sementara olah raga tidak kalah penting bagi kehidupan manusia, karena apada tubuh/jasmani yang sehat itulah terdapat jiwa dan akal yang sehat pula. Bagaimana bangsa akan kuat jika para pemuda dan remajanya loyo, tidak sehat jasmani. Maka olah raga perlu digiatkan mulai dari anak-anak, para remaja, pemuda dan dewasa. Pelayanan bagi msyarakat umum lebih bersifat penyelenggaraan kesenian, baik untuk kalangan aak-anak maupun remaja yang menghendaki untuk belajar seni tari Bali khususnya, dan seni tabuh, serta seni lainnya yang diadakan di Pura. Hal tersebut didorong oleh kebutuhan dari masyarakat yang menghendaki untuk belajar seni melalui pura. Pada dasarnya, pura tidak membatasi para peserta kegiatan seni yang diselenggarakan untuk msyarakat umum. Jika ada keinginan untuk belajar suatu seni tertentu, maka pura akan mencoba mengakomodasikan untuk mencarikan tenaga pemandu/pengajar. Seperti seni tari Bali, yang sudah cukup lama diselenggarakan d Pura dan memperoleh respon dari masyarakat umum, dengan mengikutsertakan anak-anaknya pada kegiatan tersebut. Juga seni tabuh, yaitu untuk mempelajari alat tabuh (gamelan) yang ada di Pura. 3. Persepsi terhadap kekerasan Kekerasan yang dipahamai sebagai suatu yang menjadikan orang tidak tenteram, ketakutan, bahkan mengalami sakit dan cedera sampai kepada kematian, dalam pandangan umat Hindu tidak dibenarkan. Namun kenyataannya dalam kehidupan sampai kapanpun akan terjadi hal seperti itu. Mengapa hal itu terjadi ? Untuk memberikan jawaban perlu waktu yang sangat panjang dan hati-hati, bila harus dikaitkan dengan ajaran Dharma. Sebab, kekerasan dalam artian yang khusus, seperti saat mempertahankan hak dari pengambilan secara paksa melalui pertengkaran, misalnya, hal tersebut tidak dilarang oleh ajaran Dharma. Namun, cara yang terbaik dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam kehidupan adalah melalui jalan “damai”. Jadi mempertahankan hak-pun jika memungkinkan hendaknya dilakukan secara damai. Tidak melalui pertengkaran, atau adu kekuatan pisik. Saat seorang yang mengaku menganut suatu agama melakukan suatu tindak kekerasan kepada manusia yang lain, atau kepada alam semesta, padahal ajaran agama yang dianutnya melarangnya, perlu dipertanyakan pemahaman agamanya. Artinya, pemahaman terhadap ajaran agama yang dianut oleh seseorang akan memberi andil dalam perilaku. Seperti dalam ajaran Hindu ada ajaran yang disebut Jnana Marga, yang inti ajaran tersebut memberikan bimbingan kepada umat Hindu untuk mampu membina kehidupan spiritual dalam diri sendiri. Dari ajaran tersebut, seseorang akan mampu menumbuh kembangkan kesadaran diri, bahwa diri (Atman) adalah dari Brahman. Oleh karena itu, kehidupan Atman harus selalu dalam bimbingan Brahman. Pengendalian diri menjadi sangat penting dan urgen dalam kehidupan seseorang manusia.
11
Mausia diberikan oleh Tuhan kelebihan dari jenis ciptaan yang lainnya. Yaitu dengan diberinya akal pikiran. Dalam kehidupan sesehari, akal pikran menjadi acuan dalam berperilaku. Oleh karena itu perlu dikendalikan dengan bimbingan Dharma. Pikiran (Raja Indria) harus dikendalikan. Cara pengendalian Raja Indria adalah dengan berbagai cara. a.l: Perlu penyadaran terhadap pikiran. Kesadaran pikiran ini akan memberikan kepada manusia untuk menjadikan pikiran sebagai pendorong karma kebajikan yang kelak akan menjadi alat pencapaian kehidupan yang kahiki dan abadi (moksa). Juga dalam setia aspek kehidupan selalu mempertimbangkan akibat yang akan diterima dari kehidupan tersebut. Melalui puja yang dilakukan pagi, siang dan sore hari seorang umat Hindu dibimbing untuk mencapai tingkat penyadaran diri, dengan mohon kepada Brahman agar diterangi hati nuraninya. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pengendalian diri —pengendalaian pemikiran ke arah yang positif untuk melakukan karma— akan terjebak pada kehidupan samsara, di mana seseorang kelak akan dilahirkan kembali (mengalami reinkarnasi) untuk memperbaiki kehidupan dengan karmanya. Sesungguhnya ajaran “karma pala” memberi acuan kepada umat manusia Hindu untuk berlaku hati-hati dalam setiap aspek kehidupan. Karena setiap apa yang dilakukan oleh seseorang akan memberi akibat sesuai dengan yang dilakukan. Baik akan diganjar/balas dengan kebaikan, begitu pula sebaliknya. Namun terkadang ajaran dharma tersebut terlupakan saat seseorang lupa, yaitu tidak lagi menyadari bahwa dirinya adalah berasal dari Brahman yang tidak berlaku salah, jahat, dan tidak baik. Untuk itulah perlu bimbingan dan latihan yang dilakukan melalui pelayanan pura untuk melaksanakan puja atau pemujaan kepada Brahman. Puja dapat dilakukan di mana saja. Yaitu di tempat-tempat yang khusus, seperti di pura, kuil, atau tempat pemujaan yang ada di setiap rumah, atau di tempat manapun yang dipandang tepat untuk melakukan puja. Karena khakekatnya puja itu sendiri adalah mantera suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Maha Kuasa. Jadi, melalui kegiatan puja seorang umat Hindu selalu di arahkan kepada kebajikan dengan matera suci terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga akan mampu melakukan pengendalian diri dari karma yang tidak baik. Di sisi lain, puja sendiri adalah sebagai suatu upaya seorang manusia untuk melakukan pendekatan dengan Tuhannya. Dengan semakin dekat seseoranag dengan Sang Penciptanya, di mana manusia berasal dari-NYA (Brahman) diharapkan akan memunculkan kesadaran bahwa semua manusia (Atman) asalnya sama yaitu dari Brahman. Sehingga haruslah saling mencintai sesamanya. Secara filosofi, bahwa asal manusia adalah sama yaitu Brahman. Oleh karena itu, sesama manusia adalah bersaudara tidak dibatasi oleh suku bangsa, budaya, bahasa, ras, golongan, maupun agama. Perlu diperhatikan tentang “Tat Tuwam Asi” yang artinya saya adalah kamu, dan kamu adalah saya. Ajaran Dharma tersebut harus disadari dan diamalkan dalam kehidupan mausia tanpa memandang asal daerah, suku bangsa, budaya, sosial, dan agama yang dianutnya. Semuanya menuju kepada kebenaran yang datang dari Tuhan. Hanya cara yang ditempuh masing-masing orang sesuai dengan keyakinan agama yang dianut. Hal tersebut perlu terus ditumbuhkan dalam kesadaran diri setiap manusia yang hidup dengan agama yang di anut, terutama dalam kalangan umat Hindu dilakukan melalui puja kepada Tuhan yang maha kuasa, melakasanakan karma yang baik, dan mengupayakan untuk memperoleh moksa. Oleh karena itu, bagi umat Hindu tindakan kekerasan apapun bentuknya tidak dibenarkan oleh agama. Oleh karenanya, saat menghadapi bentuk kekerasan sedapat mungkin untuk menghindar. Jika dalam keadaan yang mamaksa, langkah pertama melakukan upaya pendekatan dengan secara baik-baik. Jika hal terseut tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka dilakukan melalui jalur hukum. Hal tersebut dipandang 12
sebagai jalan terakhir manakala semua jalan yang ditempuh, buntu (tidak dapat menyelesaikan). Jelas sudah bahwa umat Hindu memandang kekerasan tidak dibenarkan oleh Dharma. Tetapi realita menunjukan bahwa banyak kekerasan yang sering terjadi dalam kehidupan dilakukan oleh orang yang mengaku beragama. Di atas telah dipaparkan perlunya dipertanyakan pemahaman agama pelaku kekerasan . Dengan kata lain, manusia beragama yang melakukan kekerasan perlu dipertanyakan kembali keberagamannya. Apakah agama yang diyakini hanya sekedar pada pengakuan saja?. Atau sudah sampai pada tingkatan pemahaman ajaran, tetapi tidak dilaksanakan dalam perikehidupan. Barangkali pertanyan-pertanyaan tersebut masih perlu dicarikan jawabannya. Mengingat penelitian ini membatasi pada pandangan umat Hindu terhadap kekerasan, maka jawaban terhadap hal tersebut dari sisi umat Hindu dengan persepsi terhadap hal tersebut. Dan persepsi tersebut bukan dari pelaku kekerasan. Saat seorang melakukan tindakan kekerasan—baik perkataan maupun perbuatan – saat itu pula sudah dipengaruhi oleh “raja indria” sehingga tidak mampu mengendalikan diri. Sebagai suatu potensi, raja indria atau nafsu suatu yang dibutuhkan dalam kehidupan. Namun saat nafsu tersebut tak terkendali/diumbar dan dibimbing oleh dorongan yang tidak baik, akan mejadikan hidup manusia dalam keadaan “samsara”. Oleh karena itu, manusia selalu dituntun untuk melakukan puja kepada Brahmana. Puja dapat dilakukan di mana dan kapan saja. Sehingga melalui puja tersebut seorang mampu mengendalikan nafsu untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak Brahmana. Mengenai kekerasan yang terkadang dikait-kaitkan dengan agama, bahkan ada kecenderungan memperoleh pembenaran dari sekelompok penganut agama mendasarkan kepada ajaran yang dinyakini, hal tersebut dipandang pemahaman agama yang dimiliki oleh yang bersangkutan perlu untuk dikaji ulang. Karena, ajaran agama manapun tidak membenarkan terhadap suatu tindak kekerasan terhadap sesama manusia. Apalagi sampai kepada tindak pengrusakan, pembakaran dan pengusiran terhadap seseorang atau kelompok keagamaan karena perbedaan pahamam keagamaanya. Hal tersebut dipandang tidak tepat dan tidak benar dari sisi pandang agama manapun. Artinya, kekerasan tidak benar memperoleh pembenaran agama. Dengan kata lain, tidak ada istilah kekerasan agama. Istilah tersebut harus diluruskan, dan tidak pas untuk dipakai dalam bahasa apapun juga (lisan maupun tulisan). Dari sisi ajaran Dharma umat hindu dibimbing untuk selalu mengupayakan karma phala yang baik melalui berbagai puja. Karena tujuan hidup manusia adalah selalu berupaya untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Brahman . Perwujudan dalam kehidupan sehari-hari manusia harus mengupayakan peningkatan hidup, baik fisik, mental dan spiritualnya. Sebaliknya, manusia hindu harus menjaga dari hal-hal yang akan menjerumuskan, yang dikenal dengan 6 (enam) sifat yang harus dihindari (jauhi), yaitu: Lobha (rakus, tamak, ambisius, serakah, dll.), moha (bingung atau mabuk), krodha (emosional atau pemarah), kasmala (pikiran kotor, jahat, buruk, cemar), kama (dorongan nafsu) dan matsyarya (irihati dan dendam). Keenam sifat tersebut dikenal dalam ajaran Dharma disebut enam musuh (sad ripu) yang terdapat dalam diri setiap insan (manusia). Kesadaran akan Atman yang merupakan pwerwujudan dari Brahman, ke enam sifat yang akan menyeret manusia kepada kesengsaraan hidup dihindarkan dan manusia selalu berupaya melakukan dalam kehidupan karma yang baik, karena phalanya (balasan) baik pula. Dalam Dharma ada ajaran yang disebut dengan Asucilaksana, yakni mensucikan diri lahir batih sebagaimana disebutkan dalam Manavadharma sastra, sebagaimana dikutip oleh I Made Titib (2004): “ Badan hendaknya dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan spiritual “. Ajaran tersebut sarat dengan muatan nilai yang 13
mengandung makna yang sangat dalam tentang moralitas. Inti dari ajaran moraalitas tersebut adalah menuntun manusia untuk mencapai tujuan yang tinggi, yaitu moksa, dan kesejahteraan hidup (jagadhita) dalam hidup di dunia. Dengan demikian, penjelmaan manusia di dunia sebagai wujud pelaksanaan pengabdian kepada Sang Brahman.
PENUTUP Kesimpulan Gambaran di atas memberikan pemahaman bahwa, pura sebagai institusi keagamaan dalam melaksanakan pelayanan pada umat hindu tidak terbatas dalam wilayah teritorial di mana pura berada. Pelayanan kepada umat hindu yang dilakukan oleh pura Mustika Dharma menjangkau berbagai wilayah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Hal tersebut lebih dikarenakan faktor historis. Yaitu, di mana umat hindu yang mejadi anggota pura Mustika Dharma berpindah tempat tinggal (domisili) dari Cijantung ke tempat yang baru (seperti Cimanggis, Sukatani,dll) setelah pensiun dari tentara. Begitu juga bagi anggota tentara (RPKAD) yang domisili di luar komplek, tetapi menjadi anggota pura Mustika Dharma, karena saat masih aktif menjadi anggota tentara dan tinggal di dalam komplek menjadi anaggota pura. Demikian selanjutnya, terus berkembang hingga saat sekarang. Di sisi lain, terdapat tradisi dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang diadakan oleh pura yang ada di DKI Jakarta selalu melibatkan umat hindu yang ada di wilayah Jabotabek. Karena jadwal ritual keagamaan yang diadakan oleh pura yang ada di DKI Jakarta diketahui oleh semua umat hindu melalui pura di mana mereka memperoleh pelayanan dan bimbingan keagamaan. Pura sebagai institusi keagamaan, tidak terbatas menyelenggarakan kegiatan yang bersifat keagamaan saja. Tetapi berbagai kegiatan yang dibutuhkan oleh umat hindu yang menjadi anggota pura selalu diupayakan untuk diadakan. Berbagai kegiatan dilakukan dalam rangka membina kehidupan umat dalam mengamalkan ajaran Dharma yang sesuai dengan kehendak Brahman. Upaya yang dilakukan bimbingan dan pelayanan keagamaan, mulai dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bagi para umat hindu yang dilayani pura Mustika Dharma, memandang bahwa pihak pura telah berupaya melakukan berbagai kegiatan tidak terbatas masalah keagamaan saja. Bahkan peruntukan pelayanan tidak juga dibatasi pada kelompok umat Hindu. Dengan demikian, pura telah ikut memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, yaitu di luar umat hindu. Melalui berbagai kegiatan yang bersifat non keagamaan, masyarakat di luar umat hindu memperoleh pelayanan pura. Seperti kegiatan kesenian yang dapat diikuti oleh semua pemeluk agama apapun. Dari interaksi sosial dalam kegiatan kesenian yang diadakan bagi masyarakat umum, para pemeluk agama yang berbed-beda mulai terbiasa dalam bergaul. Hal tersebut mempunyai makna yang sangat dalam bagi upaya menumbuhkembangkan saling menghargai dan menghormati sesama mereka yang berbeda agama yang dianutnya. Inti pelayanan dan bimbingan keagamaan yang dilaksanakan pura bagi umat hindu adalah untuk menghantarkan manusia memperoleh kehidupan yang sejahtera dan bahagia yang abadi (moksa). Ajaran moksa tersebut yang dijadikan alat pembinaan bagi kehidupan umat hindu melalui pura Mustika Dharma. Begitu juga ajaran tentang samsara, yang merupakan penjelmaan kembali (reinkarnasi) karena karma yang tidak baik selama hidup 14
yang bersangkutan. Melalui ajaran smsara inilah umat hindu diberikan bimbingan agar terhindar dari 6 (enam) sifat yang cenderung akan menyeret manusia kepada kehidupan samsara. Pandangan umat hindu terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang yang beragama dipandang sebagai bentuk pemahaman keagamaan yang perlu dikaji. Artinya , siapapun orang yang beragama dapat berbuat kekerasan. Karena ajaran agama yang dipahami tidak diaplikasikan dalam perilaku kehidupan. Sebab, agama apapun tidak mengajarkan perbuatan atau tindakkan kekerasan terhadap sesama manusia. Dengan demikian, istilah kekerasan agama, perlu dilihat kembali. Yaitu penggunaan istilah tersebut tidak tepat. Agama secara normatif memberikan tuntunan kepada para penganutnya untuk memperoleh kehidupan yang baik, bagi diri sendiri, dan juga orang lain (termasuk alam semesta). Saat tuntunan tersebut tidak fungsional dalam kehidupan manusia yang beragama, dikarenakan “kesadaran” dari penganut agama bersanagkutan belum tumbuh dan mendasari perilaku dalam kehidupan. Oleh karena itu dibutuhkan pelayanan dan bimbingan terhadap para penganut agama oleh para tokoh agama yang berorientasi kepada penyadaran dan menumbuhkembangkan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik. Umat hindu melalui pelayanan dan bimbingan dari pura bahwa kebenaran agama yang diyakini harus dipahami untuk mendorong upaya yang sungguh-sungguh dalam mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, bahwa keyakinan akan kebenaran ajaran agama yang dianut harus menjadi dasar konsekuwensi melaksanakannya dalam kehidupan. Bukan berarti lalu menyalahkan ajaran agama lain. Karena dalam perjalan kehidupan manusia sebagai penganut agama apapun, lahir dari proses pewarisan ultimate velue dari generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, masalah agama dan keberagamaan adalah sebagai suatu hal yang sensitif dan peka. Bagi masyarakat yang majemuk seperti bangsa Indonesia ini perlu terus upaya menumbuhkembangkan kesediaan untuk saling memahami, menghormati, sesama umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Manakala hal tersebut selalu saja menjadi orentasi pembinaan dan pelayanan kehidupan agama yang dilakukan melalui institusi keagamaan yang ada (pura, kuil, vihara, masjid, gereja, dll.) dan yang dilakukan oleh para tokoh agama di masyarakat, hidup damai antar umat beragama akan dapat terwujud. Agama Hindu memberi penjelasan bahwa yang mendasari kehidupan adalah Atman yang merupakan penjelmaan dari Brahman. Manusia belum lengkapsebagai manusia tatkala tiga unsur belum menyatu, yaitu: badan, keperibadian, dan atman (penjelmaan dari Brahman). Tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu adalah menerobos ketidak sempurnaan. Jika membuat daftar ketidak sempurnaan hidup kita sendiri, pastilah tidak ada habis-habisnya. Oleh karena itu tidak ada kesempatan untuk mencari ketidak sempurnaan orang lain. Inilah salah satu cara untuk terus mengupayakan agar melakukan puja dan karma yang baik dalam hidup dan kehidupan. Kehidupan yang terus diupayakan adalah sebagai wujud pengabdian kepada Brahman melalui puja dan karma phala yang baik untuk mencapai moksa. Saran 1. Pelayanan dan pembinaan kehidupan beragama oleh institusi keagamaan dan para tokoh agama secara umum hendaknya dapat diarahkan kepada kesadaran terhadap ajaran agama. Yaitu melalui bimbingan dan praktik dalam kehidupan nyata. 2. Pengembangan solidaritas sosial antar umat beragama melalui kegaiatan sosial dan budaya yang dilakukan oleh institusi keagamaan perlu dikembangkan. Seperti kegiatan 15
kesenian yang dapat diikuti oleh semua umat beragama. Kerja sosial yang dilakukan dengan melibatkan unsur pemeluk agama yang beragam. 3. Pengumpulan dana untuk bantuan sosial oleh institusi keagamaan dengan melibatkan semua unsur pemeluk agama perlu ditingkatkan. DAFTAR BACAAN
Astawa, I Wayan Mitra 2003 Panca Sradha (sebuah pengantar), Dep. Agama RI, Direktorat Bimas Hindu dan Budha, Jakarta. Azra, Azumardi 2000 Pengantar tulisan dalam buku “Merajut dama di Maluku”, cet I, Yayasan Pustaka Umat, Jakarta. Arifin, HM 1997
Menguak Misteri Ajaran Agama-agama besar, cet. ke VI, Golden Terayon Press, Jakarta.
Hadiwijono, Harun 1990 Agama Hindu dan Budha, cet .ke V, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Moeliono,Anton, M dkk 1997 Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Maswinara, W 2000 Prahara dan manusia, Paramita, Surabaya. Rahman, Budi Munawar 2001 Pluralisme teologi Agama-agama Islam –Kristen, dalam Pluralisme, konflik dan pendidikan Agama di Indonesia, Interfidei, Yagyakarta. Smith, Hutson 2001 Agama-agama Manusia, edisi Indonesia oleh Saafroedin Bahar, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sura, I Gede dkk. 2002 Agama Hindu, CV Pelita Nusantara Lestari, Jakarta. Titib, I Made 2004 Agama dan budaya perdamaian dalam masyarakat Hindu, dalam Damai di Dunia damai untuk semua, ed. Muhamaimin AG, Puslitbang Kehidupan beragama, Balitbang dan Diklat Keagamaan, Jakarta.
16