POLA PERKAWINAN UMAT HINDU DENGAN UMAT BERAGAMA LAIN DI KOTA PALU I Gede Made Suarnada * Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah
ABSTRAK Perkawinan merupakan momentum awal dari kehidupan berumah tangga. Mengingat Negara Indonesia mengakui banyak agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan jika banyak terjadi perkawinan antar umat beragama. Perkawinan beda agama cenderung menimbulkan banyak masalah dibanding perkawinan biasa pada umumnya, mulai dari tidak direstuinya perkawinan tersebut oleh orang tua. Begitu pula yang terjadi di Kota Palu. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian tentang perkawinan umat Hindu dengan umat beragama lain di Kota Palu. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka masalah penelitian dapat dijabarkan dalam tujuan penelitian, yaitu: 1) Mengetahui pola perkawinan umat Hindu dengan umat beragama lain di Kota Palu, dan 2) Mengetahui kendala dan upaya dalam perkawinan umat Hindu dengan umat beragama lain di Kota Palu. Menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan Teori Religi untuk membedah permasalahan pola perkawinan dan Teori Fungsionalisme Struktural untuk membedah kendala dan upaya dalam mengatasi permasalahan perkawinan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, study kepustakaan, dan dokumentasi. Kemudian digunakan metode analisis Miles dan Huberman untuk mengolah dan menyajikan data. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa pola perkawinan antara umat Hindu dengan umat beragama lain di Kota Palu telah mengikuti tata cara perkawinan menurut Hindu. Secara umum peminangan biasa dilakukan satu atau dua kali. Sebelum melaksanakan sudhiwadani, maka calon mempelai yang akan memeluk agama Hindu harus membuat surat pernyataan untuk disudhi wadani. Setelah itu baru dilaksanakan upacara perkawinan. Untuk perkawinan yang tidak disetujui, maka tidak ada peminangan, melainkan langsung ke sudhiwadani dan upacara perkawinan. Kendala yang ditemui pada awal perkawinan adalah permasalahan perbedaan ideologi, perbedaan budaya, dan konflik dengan orang tua. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi perbedaan ideologi adalah dengan kesungguhan hati mempelajari agama Hindu, peran suami dalam membimbing, dan aktif dalam kegiatan keagamaan. Upaya dalam mengatasi perbedaan budaya dan adat istiadat adalah dengan beradaptasi dan berintegrasi dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Upaya dalam mengatasi konflik dengan orang tua adalah dengan memberikan pandangan bahwa semua agama adalah sama-sama mengajarkan kebaikan dan melalui pendekatan cucu. Kata Kunci: Perkawinan, Umat Hindu, Umat Beragama Lain
1.
mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis
78
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Pendahuluan Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, sehingga
kelamin, yaitu pria dan wanita yang masingmasing telah menyadari perannya masingmasing. Telah menjadi kodratnya sebagai makhluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan momentum awal dari Grahasta Ashrama yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. Grahasta Ashrama adalah tahapan kehidupan kedua setelah Brahmacari Ashrama. Grahasta Ashrama secara sah dimulai pada saat seorang lelaki dan seorang wanita mengangkat sumpah untuk hidup bersama dengan direstui dan disaksikan oleh kedua orang tua/wali, diberkati dengan mantra suci Veda oleh pinandita, dan dicatat oleh PHDI. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu dalam Manava Dharmasastra IX. 96 dijelaskan sebagai berikut: Prnjan arthastriyahsrstahsamtarnarthamcaman avah Tasmatsadahranodharmahcrutampatnya sahaditah Artinya: Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551). Sampai sekarang umat Hindu di Kota Palu masih menjaga tradisi Hindu Bali dalam berbagai segi kehidupan masyarakat termasuk dalam upacara perkawinan. Permasalahan muncul ketika terjadi perkawinan antara umat Hindu dengan umat beragama lainnya. Jika dalam perkawinan tersebut umat beragama lain yang pindah agama ke agama Hindu, WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
maka upacara perkawinan dilakukan sesuai tradisi Hindu Bali. Perbedaan budaya menyebabkan terjadi perbedaan-perbedaan mulai dari proses peminangan, sudhiwadani dan perkawinan. Bahkan, pada perkawinan yang tidak mendapat restu dari pihak keluarga maka tidak dilakukan peminangan melainkan langsung ke perkawinan. Umat beragama lain yang telah memeluk agama Hindu harus mengikuti berbagai tradisi Hindu Bali yang baginya cukup rumit, sehingga tidak jarang di antaranya merasa tertekan dengan keadaan tersebut. Kendalakendala mulai muncul seperti kurangnya pemahaman tentang ajaran baru dan tradisitradisi Hindu yang mereka sama sekali belum pernah ketahui sebelumnya. Permasalahan lain yaitu konflik dengan orang tua karena secara umum orang tua kurang merestui perkawinan yang berdampak pada anaknya pindah agama memeluk agama Hindu. Berdasarkan permasalahanpermasalahan di atas, peneliti ingin meneliti tentang pola perkawinan antar agama, dan kendala serta upaya untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Oleh karena itu penelitian ini peneliti beri judul Pola Perkawinan Umat Hindu dengan Umat Beragama Lain di Kota Palu. 2.
Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan Teori Religi untuk membedah permasalahan pola perkawinan dan Teori Fungsionalisme Struktural untuk membedah kendala dan upaya dalam mengatasi permasalahan perkawinan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, study kepustakaan, dan dokumentasi. Kemudian digunakan metode analisis Miles dan Huberman untuk mengolah dan menyajikan data.
79
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pola Perkawinan Umat Hindu dengan Umat Beragama Lain di Kota Palu a. Proses Peminangan Proses peminangan pasangan yang berbeda agama pada umumnya berjalan seperti peminangan pada umumnya, hanya saja ada beberapa hal yang mengikuti adat istiadat keluarga yang dipinang dan tidak menggunakan adat Bali Hindu. Dharma (wawancara tanggal 24 Oktober 2013) menyatakan bahwa untuk peminangan pasangan yang berbeda agama ada peminangan hanya melibatkan keluarga, kemudian peminangan kedua melibatkan krama atau klian banjar. Ada juga yang hanya sekali didampingi pihak keluarga saja atau keluarga dan pihak adat. Terlebih dahulu ditanyakan adat di daerah asal mempelai. Jika diperbolehkan memakai adat Bali yang biasanya dilaksanakan yaitu membawa upakara pejati, canang pengrawos dan base pinang maka dilaksanakan peminangan seperti biasanya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketersinggungan dari keluarga calon mempelai yang dipinang karena tata cara peminangan tidak sesuai dengan adat di daerah mereka. Proses peminangan perkawinan antar umat beragama di Kota Palu biasanya terjadi antar keluarga kedua belah pihak saja, walau ada juga yang yang didampingi oleh majelis dan krama. Hal ini diungkapkan oleh Dwinda (wawancara tanggal 8 November 2013) sebagai berikut. “Peminangan itu pun hanya dilakukan keluarga tertentu saja adapula hanya orang tua laki-laki bahkan ada juga yang hanya lelaki yang hendak melamar. Begitu pula pihak wanita hanya didampingi orang tua dan jika sangat diperlukan maka ditambah dengan keluarga terdekat. Apabila yang dipinang berbeda agama, tetapi telah mendapat persetujuan dari keluarga maka wanita 80
yang akan mengikuti calon suaminya (sistem patrilineal) dengan meminta surat pernyataan kesediaan mengikuti agama calon suaminya, selanjutnya diminta membuat surat permohonan kepada kami sebagai pengurus parisada agar disudhiwadani” Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Supartha (wawancara tanggal 18 Oktober 2013) salah satu umat Hindu yang menikahi seorang wanita etnis Manado beragama Kristen (Advent) bernama Gladys sebagai berikut. “Peminangannya di Pendolo waktu saya tugas di sana. Keluarga saya jauh di Bangli maka tidak ada keluarga yang menghadiri. Yang menjadi wali saya adalah atasan saya waktu itu yaitu Kapolsek Pendolo. Sedangkan dari pihak istri saya adalah kakaknya yang merupakan teman saya sama-sama tugas di kepolisian sektor Pendolo. Pada awalnya kakak istri saya setuju karena kami menyatakan bahwa kami akan tetap memeluk agama kami masing-masing setelah menikah nanti. Setelah ditahu istri saya pindah ke agama Hindu, dia agak marah pada kami” Pernyataan di atas menunjukkan bahwa walaupun tidak didampingi oleh keluarga dari masing-masing baik pihak yang meminang maupun yang dipinang, tetapi proses peminangan tetap dilaksanakan. Secara umum, kendala yang dihadapi orang tua sehingga tidak semuanya bisa mendampingi anaknya dalam proses peminangan adalah kendala jarak tempuh yang cukup jauh antara tempat tinggal orang tua dan tempat dilangsungkannya peminangan. Sehingga kemudian ditunjuklah orang terdekat yang bisa dijadikan wali dalam proses peminangan tersebut. Ada juga yang orang tuanya tidak bisa datang pada peminangan pertama, kemudian WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
menyempatkan diri pada peminangan kedua meskipun jarak yang ditempuh cukup jauh. Di sisi lain, ada juga perkawinan antar umat beragama Hindu dengan umat beragama lain yang tidak mendapat restu dari salah satu pihak keluarga. Karena tidak disetujui, maka orang tua atau keluarga tidak bersedia menghadiri proses peminangan itu. Bahkan, ada juga yang tidak melalui proses peminangan, seperti yang diungkapkan olah Arianto (wawancara tanggal 27 Oktober 2013) yang menikahi wanita etnis Toraja beragama Kristen berikut ini. “Tidak ada proses peminangan karena awalnya pernikahan saya tidak disetujui oleh keluarga istri saya. Sehingga kemudian dimediasi oleh polisi untuk menghubungkan keluarga saya dengan keluarga calon istri saya. Setelah mendapat surat dari kakaknya yang mewakili keluarga itu baru dilangsungkan perkawinan. Surat itu diturunkan di kantor polisi, kemudian pihak kepolisian yang memanggil saya bahwa sudah ada surat persetujuan dari pihak keluarga istri saya. Setelah pernikahan secara adat sekaligus sudhiwadani, baru dilaporkan ke pencatatan sipil” Berdasarkan perbandingan beberapa proses peminangan yang dilakukan oleh calon mempelai kepada keluarga yang dipinang yang berbeda agama, terdapat beberapa perbedaan. Ada yang hanya melakukan satu kali saja peminangan dengan telah melibatkan pihak keluarga dan pengurus parisada, ketua adat dan kepala dusun. Ada juga yang dilakukan dua kali yaitu pada tahap awal dilakukan peminangan keluarga kemudian pada tahap kedua dilakukan peminangan yang melibatkan pengurus parisada, ketua adat dan kepala dusun. Sedangkan untuk hubungan yang tidak disetujui oleh keluarga salah satu atau kedua belah pihak maka proses peminangan ini WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
berlangsung agak berbeda bahkan tidak melalui proses peminangan melainkan langsung ke upacara perkawinan. b. Pelaksanaan Sudhiwadani Dwinda (wawancara tanggal 8 November 2013) mengatakan bahwa jika ada yang mau meminang, maka beliau akan menanyakan berbagai hal sesuai persyaratan perkawinan seperti umur dan agama yang mau dipinang. Jika agamanya bukan agama Hindu tetapi bersedia masuk agama Hindu dan umurnya sudah di atas 21 tahun maka akan disuruh membuat surat pernyataan masuk Hindu. Setelah itu diminta membuat surat permohonan sudhiwadani, baru kemudian bisa dipinang. Biasanya ada orang tua yang tidak setuju jika anaknya masuk agama Hindu, maka surat pernyataan itu yang dijadikan bukti bahwa memang anaknya yang benar-benar datang ke PHDI untuk dinikahkan dan konsekuensinya bersedia untuk ikut agama calon suaminya dengan upacara sudhiwadani. Secara etimologi, sudhiwadani terdiri dari kata sudhi dan wadani. Sudhi berarti bersih, cerah, suci tanpa cacat/cela. Wadani, secara gramatikal berarti perkataan. Wadana artinya muka, mulut, perilaku. Seperti apa yang tersurat dalam Nitisatra V.3 berikut ini. Wasitanimitantamanemulaksmi Wasitanimitantamanemuduhka Wasitanimitantapatikapangguh Wasitanimitantamanemumitra Artinya: Karena perkataanlah orang itu disebut satya wacana, memperoleh rasa bahagia, memperoleh kesusahan, menemui ajal, dan juga karena perkataan pula engkau bisa memperoleh sahabat. Jadi, secara keseluruhan sudhiwadani adalah suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu, sebagai pengukuhan atau pengesahan ucapan atau janji seseorang, yang telah datang dengan cara tulus ikhlas, hati suci, 81
dengan tanpa adanya unsur paksaan, telah menyatakan diri untuk memeluk agama Hindu yang disaksikan oleh Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Setiap upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu selalu ditunjang dengan sarana yang disebut dengan upakara yang umumnya dalam bentuk materi yang sudah lazim digunakan adalah pattram puspham phalam toyamyo me bhakta prayachchati tad aham ahtyu pahri tamasnami prayatat manah. Sesuai dengan sastra tersebut, sangat diusahakan agar dilengkapi dengan bija/wija. Karena wija berarti perlambang dari putra Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang disimbolkan dalam wija adalah merupakan kumara, benih ke-Siwaan diharapkan akan jadi tumbuh subur dari sang sudhiwadani setelah dibersihkan secara jasmani maupun rohani. Pelaksanaan pembersihan akan lebih mantap lagi kalau dilengkapi dengan banten beyakaon dan prayascita. c. Pelaksanaan Perkawinan Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat materil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada hukum agama masing-masing pihak. Dalam hukum Hindu (Arthayasa dkk, 1996: 10) menyatakan bahwa sahnya perkawinan adalah sebagai berikut: pertama, jika 82
dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu; kedua, untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta/pinandita; ketiga, suatu perkawinan dianggap sah menurut hukum Hindu jika kedua mempelai telah menganut agama Hindu. Ini berarti kalau kedua mempelai atau salah satunya belum beragama Hindu maka perkawinan tidak dapat disahkan. Untuk mengesahkan seseorang masuk agama Hindu harus disudhiwadani terlebih dahulu. Pelaksanaan perkawinan menurut Hindu dari segi ritual dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu kecil (nista), sedang (madya), dan besar (utama). Pinandita I Nengah Karmayasa (wawancara tanggal 4 November 2013) menyebutkan bahwa tata cara upacara perkawinan antar pasangan yang seagama maupun yang berasal dari agama yang berbeda sama saja. Hanya saja sebelum wiwaha samskara terlebih dahulu dilaksanakan upacara sudhiwadani sebagai pengesahan bahwa mempelai tersebut telah memeluk agama Hindu sehingga bisa diupacarai dengan tata cara perkawinan Hindu. Wiwaha samskara dimulai dari penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara. Ketika kedua mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan. Sebelum upacara mabyakala dimulai dengan puja astuti oleh pemimpin upacara. Pelaksanaan tetimpug dibakar sampai berbunyi sebagai simbol pemberitahuan kepada Bhuta Kala yang akan menerima pekala-kalaan. Kedua mempelai berdiri melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pabyakalan. Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan segau (tepung tawar), kemudian natab pabyakalan. Selanjutnya masing-masing ibu jari kaki dari kedua WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
mempelai dengan telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan tirtha penglukatan. Upacara selanjutnya berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut murwa daksina. Saat berjalan, mempelai wanita berada di depan sambil menggendong sok dagangan sebagai simbol menggendong anak, diiringi mempelai pria memikul tegentegenan sebagai simbol kerja keras untuk memperoleh nafkah penghidupan. Setiap mempelai melewati kala sepetan maka kakinya yaitu ibu jari kanan disentuhkan pada bakullambang kala sepetan. Mempelai wanita saat berjalan dicemeti (dipukuli) dengan tiga batang lidi oleh mempelai pria sebagai simbol telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Kemudian yang terakhir, kedua mempelai memutuskan benang papegatan sebagai tanda kedua mempelai telah memasuki hidup grehasta. Dalam upacara persaksian kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali. Setelah itu, kedua mempelai diperciki tirtha pembersih oleh pinandita, kemudian natab banten widhi widana dan mejaya-jaya. Dengan demikian maka selesailah pelaksanaan wiwaha samskara dan dilakukanlah penandatanganan surat perkawinan oleh kedua belah pihak dihadapan pengurus PHDI. Berdasarkan pola perkawinan di atas, jika dihubungkan dengan lima unsur dalam dimensi-dimensi religiusitas menurut Sartono Kartodiro, yaitu: pertama, dimensi pengalaman mencakup semua perasaan persepsi dan sensasi yang dialami waktu berkomunikasi dengan realitas spiritual. Dalam hal ini, umat Hindu yang dipimpin oleh pinandita selalu mengutamakan komunikasi dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa mulai dari proses peminangan, sudhiwadani dan proses perkawinan. Pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai bentuk syukur atas karunia-Nya dan memohon keselamatan bagi WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
semua umat manusia khususnya mempelai baru yang akan menempuh hidup baru. Kedua, dimensi ideologis mencakup serangkaian kepercayaan. Dimensi ini seperti dengan adanya unsur persaksian meliputi Manusa Saksi (kerabat yang menyaksikan), Dewa Saksi (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), dan Bhuta Saksi (leluhur). Ketiga, dimensi ritual yang mencakup semua aktivitas seperti upacara berdoa, dan partisipasi dalam berbagai kewajiban agama. Dalam hal perkawinan Hindu, ada beberapa rangkaian upacara yang dilaksanakan karena kepercayaan akan makna di baliknya. Misalnya, ketika mempelai pria memikul tegen-tegenan maka dipercaya sebagai simbol kerja keras untuk memperoleh nafkah penghidupan. Keempat, dimensi intelektual ideal yang berhubungan dengan pengetahuan tentang ajaran agama. Pengurus PHDI Kota Palu dan Krama Adat Kertha Winangun Kota Palu memberikan wejanganwejangan tentang ajaran agama Hindu kepada mempelai yang baru melangsungkan perkawinan khususnya kepada yang baru saja disudhiwadani memeluk agama Hindu. Kelima, dimensi konsekuential yang mencakup semua efek dari kepercayaan, praktik, pengetahuan dari orang yang menjalankan agama, dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama. Dalam hal ini, diharapkan pemeluk agama Hindu yang baru disudhiwadanikan agar mulai mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari. 4.
Kesimpulan Berdasarkan uraian dari hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola perkawinan antara umat Hindu dengan umat beragama lain di Kota Palu telah mengikuti tata cara perkawinan menurut Hindu. Secara umum, peminangan biasa dilakukan satu atau dua kali. Sebelum melaksanakan sudhiwadani, maka calon mempelai yang akan memeluk 83
agama Hindu harus membuat surat pernyataan untuk disudhiwadani. Setelah itu baru dilaksanakan upacara perkawinan. Untuk perkawinan yang tidak disetujui, maka tidak ada peminangan, melainkan langsung ke sudhiwadani dan upacara perkawinan.
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Denpasar : Proyek Pengadaan Prasarana Dan Sarana kehidupan Beragama. Http:///www.investasipalu.com/index,diakses tanggal 20 Oktober 2013.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.
Http://id.wikipedia.org/ wiki/Pola, tanggal 4 November 2013.
diakses
Artadi, I Ketut. 1987. Hukum Adat Bali. Denpasar: Setia Kawan. Arthayasa, I Nyoman dkk. 1995. Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif-Pemahaman Filisofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. . 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Burke, Peter. 2003. Sejarah Dan Teori Sosial. Alih Bahasa: Mestika Zed dan Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Candra, I Ketut Adi. 2009. Makna, Tujuan, dan Jenis Perkawinan. (Online).http://iketutadicandra.com. Diakses 8 Oktober 2013). Cudamani.1990. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi. Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Dwiloka, Bambang dan Rati Diana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
84
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014