MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Disusun Oleh:
Endah Humaidah 102032124625
Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah J A K A R T A 2008
MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok) SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
Endah Himaidah 102032124625
Diperiksa dan Disetujui, Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408
Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah J A K A R T A 2008
PENGESA HAN Skripsi yang berjudul: MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Perbandingan Agama. Jakarta, 20 Februari 2008 Sidang Munaqasah,
(Dr. Hamid Nasuhi, M.A.) NIP. 150 241 817
(Maulana, M.A.) NIP. 150 293 221 A n g g ot a,
(Drs. H. Roswen Dja’far) M.A) NIP. 150 022 782
(Dra. Siti Nadroh, NIP. 150 282 310 Pemb imbin g,
Dra. Hj. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408
i
KATA PENGANTAR Dengan penuh rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materil selama menempuh perkuliahan pada jenjang Strata Satu ( S1 ) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis yakin tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat pribadi maupun kolektif, tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M. A dan Bapak Drs. Maulana, M. A. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan banyak pengarahan dan motivasi hingga akhir studi penulis. 3. Ibu Dra. Hj. Hermawati, M. A. selaku Dosen Pembimbing atas kesediaan
waktunya untuk membimbing penulis dalam merampungkan skripsi ini; 4. Ayahanda dan ibunda tercinta: Bapak H. Bunyamin dan Ibu Hj. Marhamah, orang tua penulis yang sangat banyak memberikan bantuan, doa dan fasilitas, baik moril maupun materil. 5. “B.U” tersayang yang selalu ada saat ku butuhkan.
ii
6. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya pengajar Jurusan Perbandingan Agama yang dengan ikhlas mentransfer ilmu pengetahuannya yang tiada ternilai harganya. 7. Kepada Bapak Drs. Anak Agung Gede Raka Mas sebagai dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) yang telah banyak meluangkan waktunya untuk wawancara. 8. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam melengkapi referensi penulis. 10. Pimpinan dan pegawai Akademik Pusat dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Keluarga besar, Kakak-kakak dan adik-adikku tersayang, yang telah memberikan motivasi dan kehaangatan dalam keluarga. 12. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2002” terutama sahabat-sahabat terdekatku, Inna Muthi’ah R, Ida Farida, M. Sahal, Helmi, Abew, Dini, dan Phei, Eha, teman berbagi suka dan duka, tempat mencurahkan isi hati dan motivator terbaik. 13. Serta segenap pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas segala bantuannya.
iii
Mudah-mudahan semua amal baik mereka diterima oleh Allah swt. dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari-Nya. Selain itu, melalui kajian yang sederhana ini penulis tentunya juga berharap dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi umat Hindu dan para mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama yang memerlukannya. Demikian pula melalui ajaran Yadnya Sesa itu penulis juga berharap agar kekuatan moral yang ada didalamnya bisa membentuk generasi bangsa yang baik serta bertanggung jawab. Akhirul kalam, ibarat tiada gading yang tak retak, mudah-mudahan skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.
Jakarta, 3 Desember 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 6 C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7 D. Metode Penelitian .............................................................. 7 E. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
BAB II
KORBAN SUCI A. Sekilas tentang Yadnya ...................................................... 12 1. Pengertian Yadnya ....................................................... 12 2. Bentuk Yadnya ............................................................. 15 a. Panca Yadnya ......................................................... 15 b. Sarana Yadnya ....................................................... 16 3. Pelaksanaan Yadnya ..................................................... 16 a. Nitya Karma ........................................................... 16 b. Naimitika Karma .................................................... 16 B. Yadnya Sesa ..................................................................... 17 a. Pengertian Yadnya Sesa ......................................... 17 b. Fungsi dan Tujuan Yadnya Sesa ............................ 19 c. Tata Letak Pelaksanaan Yadnya Sesa ..................... 23 d. Tata Cara Pelaksanaan Yadnya Sesa ....................... 24
v
e. Doa Yadnya Sesa ................................................... 25 C. Makanan Persembahan (Banten) ........................................ 31 D. Filsafat Bhuta Kala ............................................................ 34
BAB III
KEHIDUPAN UMAT HINDU A. Grhasta Asrama ................................................................. 37 B. Sraddha (Keimanan) .......................................................... 41 C. Bhakti Marga (Cinta Kasih) ............................................... 43 D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa ....................... 45
BAB IV
MAKNA YADNYA SESA A. Nilai Filosofis Yadnya Sesa ............................................... 49 B. Makna Agamis Yadnya Sesa .............................................. 54 C. Peranan Yadnya Sesa dalam Pertumbuhan Moral Spiritual ................................................................... 58 D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan Persembahannya ................................................................ 61 1. Segehan Kepel ........................................................... 61 2. Segehan Sasah ........................................................... 63 3. Segehan Agung .......................................................... 64 4. Segehan Siban ............................................................ 65 5. Segehan Wong-wongan ............................................. 66
vi
E. Analisa Kritis ..................................................................... 67
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 75 B. Saran-saran ........................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam ajaran Hindu, manusia selalu menginginkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian. Untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kedamaian, antara kehidupan rohani dan jasmani harus selalu seimbang. Tetapi kenyataannya, sering dialami sekarang ini manusia selalu merasa tidak bahagia, sebagian besar hidupnya selalu digunakan untuk mengejar materi semata. Padahal ajaran Hindu sudah berulang kali menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hidup setiap perbuatan harus dilandaskan moral agama, salah satunya adalah melalui upacara Yadnya. Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan sebenarnya telah diciptakan melalui proses Yadnya. Karena itu semua yang ada di alam semesta ini juga ditopang oleh Yadnya. Artinya tanpa Yadnya tidak akan pernah ada kehidupan, demikian pula tanpa Yadnya alam semesta ini pasti mengalami kehancuran. Pengertian Yadnya itu sendiri adalah pengorbanan yang tulus dan suci. Umat Hindu diajarkan percaya dengan Panca Yadnya, yaitu: Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya serta Pitra Yadnya. Melalui Panca Yadnya tersebut, umat Hindu diharuskan selalu mengingat kelima unsur yang telah menyebabkan keberadaan manusia di dunia. Hal-hal yang berkaitan dengan Panca Yadnya tersebut antara lain: melalui ajaran Dewa Yadnya, sebagai manusia mereka selalu diingatkan untuk percaya serta berkewajiban untuk
2
memuja Tuhan, melalui upacara serta perenungan Japa mantra sesuai dengan yang diajarkan oleh agama. Kemudian melalui upacara Butha Yadnya mereka juga selalu diingatkan untuk senantiasa sadar terhadap alam dan lingkungan tempat manusia berpijak. Mereka juga diajarkan untuk saling menghormati umat lainnya, sebab manusia tidak hidup sendirian di tengah-tengah alam semesta ini. Melalui ajaran Rsi Yadnya, mereka juga disadarkan serta diajarkan untuk 1
selalu ingat serta menghormati para Rsi dan para guru, karena dengan keberadaan
beliau-beliau itulah mereka akhirnya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga pikiran manusia yang biasanya selalu diliputi oleh kegelapan berubah menjadi terang. Kemudian melalui upacara Manusa Yadnya, umat Hindu senantiasa diingatkan agar mulai sedini mungkin diajarkan patuh terhadap agamanya dengan pelaksanaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan. Bahkan semenjak bayi semasa dalam kandungan, kemudian lahir, dewasa, sampai meninggal dunia semuanya diwujudkan dengan upacara. Demikian pula makna yang terkandung di dalamnya, yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan terhadap sesamanya, hidup tolong-menolong dalam bermasyarakat. Terakhir, melalui upacara Pitra Yadnya, manusia juga diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidak ada yang kekal. Segala sesuatu yang pernah lahir semuanya akan meninggal dan kembali ke asalnya. Sebagai manusia yang sempurna, mereka diwajibkan untuk menjaga kehormatan serta melindungi orang 1
iii.
I.G.A. Mas Mt. Putra, Panca Yadnya, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1988), hlm. ii-
3
tuanya. Salah satu wujud bakti si anak terhadap orang tuanya adalah melaksanakan upacara Ngaben, untuk membantu mengembalikan jasad orang tuanya ke asalnya, agar jiwanya menjadi tenang. Oleh sebab itu, salah satu kegiatan umat Hindu di dalam menghayati agamanya adalah melalui pelaksanaan Yadnya Sesa. Jika di Bali kita mengenal istilah Yadnya Sesa, maka di India dikenal istilah Prasadam, yaitu menikmati makanan hasil atau setelah dipersembahkan ke hadapan-Nya.2 Di beberapa tempat di Bali, Yadnya Sesa diterjemahkan juga dengan Meseiban atau Mejotan.3 Yadnya Sesa adalah satu Yadnya dari sekian banyak Yadnya yang ada dalam agama Hindu, Yadnya Sesa merupakan Yadnya sehari-hari yang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Sehabis memasak para ibu keluarga Hindustani mempersembahkan makanan yang tersaji dalam sebuah bokor atau nampan di altarnya kemudian barulah mereka menikmati hidangan bersama keluarganya. Ada semacam keyakinan dari para keluarga Hindu di India bahwa menikmati prasadam akan mendapat berkah dari-Nya. 4 Yadnya Sesa menjadi ritual sederhana namun sangat penting. Hal ini diterangkan di dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III. sloka 69 dan 75 yang mengatakan: “Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa
2
Niken Tambang Raras, Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 1. 3 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm.40. 4 Niken Tambang Raras, Yajna Sesa, (Surabaya: Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 2.
4
5
dihapus dengan melakukan Yadnya Sesa.” Dan diterangkan pula di dalam kitab suci Bhagavat-gita III.12-13 yang memuat sloka berikut: Istan bhoan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah Yadnya sishtasinsah santo mucnyante sarva kilbishail bhunjate te tv agham papa ye pacanty atma karamat Artinya: “Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena Yadnya-mu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi Yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa Yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.” 6 Karena itu, penting sekali melakukan Yadnya Sesa meski nampaknya sederhana. Sepintas umat Hindu tampak sangat patuh untuk melaksanakan segala bentuk upacara sesuai dengan yang diajarkan agamanya. Tetapi apabila kita bercermin lebih dalam, upacara yang mereka laksanakan itu terkesan sangat semu. Contohnya: mereka pada umumnya merasa bangga karena telah dapat melaksanakan upacara yang telah dibentuk oleh tradisi melalui peninggalan para leluhurnya. Tetapi sangat disayangkan karena mereka pada umumnya tidak mengerti makna yang tersirat di dalam upacara tersebut. Sehingga timbul kesan arogan yang hanya mementingkan kulit luarnya saja. Mereka kebanyakan hanya mementingkan nilai kemegahan dari upacara tersebut, bukan dari nilai spiritualnya. Mereka lebih menekankan besarnya biaya yang harus dikeluarkan 5
G. Pudja dan Sudharta, Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 151. 6 Pudja G, Bhagavad-gita, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), Bab III. 13.
5
sehingga upacara yang di laksanakan kelihatan lebih besar dan megah, dan tidak ada orang lain yang dapat menandinginya. Padahal ajaran agama Hindu selalu menekankan untuk mencari makna yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara itu sendiri, rasa ketulusan serta wujud bakti persembahannya, bukan kemegahannya. Perlu juga dimaklumi bahwa Yadnya itu bukan sistem barter (pertukaran barang atau bisnis), maksudnya adalah jika seseorang beryadnya besar-besaran dengan nilai mata uang sekian, maka Tuhan memberikan imbalan materi dengan nilai mata uang dua kali lipat dari itu. Bukan itu tujuan dari Yadnya. Yadnya Sesa yang
dilakukan setiap hari secara
menumbuhkan
rasa kasih terhadap
perlahan-lahan
mendidik
alam lingkungannya,
seseorang
kasih terhadap
penciptanya dan juga kasih terhadap sesamanya. Secara tidak disadari seseorang ,melangkah perlahan-lahan menuju landasan hidup spiritualitas. Seandainya saja langkah pertama ini diimbangi dengan ilmu pengetahuan rohani pada diri setiap individu, tentu Yadnya sederhana yang berupa Banten Jotan tersebut tidak membuat seseorang merasa terpaksa menghaturkannya karena tradisi turun menurun. Di samping itu pula upacara Yadnya Sesa kelihatannya sangat rumit dan mengandung makna yang sangat mendalam serta masih banyaknya orang-orang yang belum mengetahui dan memahami tentang upacara Yadnya Sesa tersebut, maka penulis menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh dan membahasnya. Di samping itu, karena upacaranya mengandung makna yang sangat sakral, maka alangkah baiknya bila tata cara pelaksanaannya dipelajari secarta mendalam
6
sehingga dengan demikian penulis yakin ada sesuatu yang akan ditemukan sehingga sesuatu itu bisa dituangkan ke dalam nilai-nilai pendidikan Agama Hindu. Penulis juga menyadari sulitnya mempelajari moral apa yang terkandung di dalam Yadnya Sesa itu.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Makna Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok). Penulis memilih mengadakan penelitian di wilayah Cinere, Depok, berkaitan dengan makanan persembahan (Banten) Yadnya Sesa yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Cinere yang digolongkan dalam jenis Segehan Saiban. Namun penulis perlu untuk merumuskan penulisan skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana umat Hindu khususnya umat Hindu Cinere, memaknai Yadnya Sesa dalam kehidupan kesehariannya? 2. Bagaimana pelaksanaan Yadnya Sesa dapat dijadikan sarana pendidikan untuk menumbuhkan moral yang baik? 3. Masih relevankah upacara Yadnya Sesa itu dilaksanakan, bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari pada zaman millennium yang serba modern ini?
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan ujian Munaqosah dalam rangka mencapai gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas
Ushuluddin
dan
Filsafat
Jurusan
Perbandingan
Agama
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus
penelitian
ini adalah
untuk
menambah
wawasan
pengetahuan penulis mengenai tema yang berkaitan yakni makna Yadnya Sesa, untuk mengenal serta memahami kehidupan beragama umat Hindu, serta
untuk
memberikan
sumbangan
pengetahuan
bagi
yang
membutuhkan.
D. Metode Penelitian Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu: Buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran 2006/2007. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis mengunakan metode-metode sebagai berikut:
8
1. Metode dan Alat dalam Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan (Library Research), yakni penulis berusaha membaca, menelaah, dan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian ini dari literatur-literatur yang menunjang. b. Penelitian lapangan (Field Research), yakni penelitian yang penulis lakukan lebih mendalam dalam penulisan skripsi ini, tujuannya adalah mencari data-data yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan metode ini, penulis mendapatkan informasi dan pemahaman secara langsung yang signifikan. c. Teknik Observasi (Pengamatan) Kelurahan Cinere terletak di Kecamatan Limo kota Depok dengan luas wilayah seluruhnya 6 ha/m2. Batas-batas kelurahan ini sebagai berikut: Sebelah utara
: Kelurahan Pangkalan Jati, Limo
Sebelah selatan
: Kelurahan Limo, Limo
Sebelah timur
: Kelurahan Gandul, Limo
Sebelah barat
: Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Pamulang
Populasi masyarakat Cinere berjumlah 22. 748 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 12. 231 jiwa dan perempuan sebanyak 10. 517 jiwa. Jumlah ini meliputi masyarakat yang menganut agama Islam sebanyak 16. 985 jiwa, beragama Kristen sebanyak 2. 587 jiwa, beragama Katholik sebanyak 1. 740 jiwa, beragama Hindu sebanyak 768 jiwa dan beragama Budha sebanyak 668 jiwa. Dari keseluruhan jumlah Kepala
9
Keluarga di Cinere yang berjumlah 9. 627 Kepala Keluarga, masyarakat yang beragama Hindu terdiri dari 55 Kepala Keluarga.7 Bentuk topografi tanah yang berupa dataran rendah menjadikan kelurahan Cinere sesuai untuk kawasan perkantoran dan pertokoan/bisnis. Kegiatan sosial keagamaan masyarakat Hindu tidak berpaling dari kegiatan-kegiatan di Pura setempat yakni di Pura Amrta Jati yang berlokasi di Jalan Punak no. 33 Pangkalan Jati. Namun mengingat Yadnya Sesa merupakan ritual harian yang dilaksanakan di rumah masing-masing, maka observasi dilakukan penulis dengan mengunjungi rumah-rumah masyarakat Hindu di Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Depok untuk mendapatkan informasi secara langsung yang signifikan. 8 d. Teknik Wawancara Melalui teknik ini, penulis mengunakan komunikasi langsung atau wawancara (interview), wawancara ini dilakukan secara mendalam (in depth interview) dengan para informan tentang data-data yang diperlukan yang sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara ini, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan judul skripsi, dan di samping itu ada pula pertanyaan-pertanyaan yang tidak tertulis. 2. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk disesuaikan dengan masalah yang sedang dibahas. Adapun metode yang digunakan dalam 7
Data diambil dari salinan dokumen kantor Kelurahan Cinere, Depok, Lampiran II, hlm.
2 dan 25. 8
Observasi dilaksanakan pada tanggal 22-23 Mei 2007.
10
pengolahan data dan
menganalisa
data
yaitu
menggunakan pendekatan
fenomenologis. Sifat pokok pendekatan fenomenologis ini adalah membiarkan realita (fakta), atau kejadian, atau keadaan, atau benda berbicara sendiri dalam suasana intention. 9 Tujuannya ialah untuk mencari pengertian-pengertian atau untuk memahami konsepsi-konsepsi Yadnya Sesa dari sudut pandang penganut Hindu.
E. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan diuraikan dalam skripsi ini, maka perlu penulis kemukakan susunan atau sistematika penyusunan sebagai berikut: BAB I
Mencakup lima pasal pembahasan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Memuat pembahasan menyeluruh tentang Korban Suci atau Yadnya, Yadnya Sesa meliputi: pengertian, fungsi dan tujuan, tata cara pelaksanaan dan makanan persembahannya (banten), serta membahas tentang Filsafat Bhuta Kala dalam kaitannya dengan Yadnya Sesa.
BAB III
Memuat pembahasan tentang Kehidupan Umat Hindu yang menitikberatkan
9
pada
pembahasan
Grhyasta
Asrama,
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, terj. Djamannuri, ( Jakarta: Raja Grafindo Press, 1994 ), Cet.4, hlm. 35.
11
Sraddha, Bhakti Marga dan Masyarakat Hindu Cinere berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya Sesa. BAB IV
Memuat Telaah Pengorbanan dalam Konsep Hindu dan Perspektif Islam berikut Analisanya.
BAB V
Merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup dengan saran-saran untuk berbagai pihak.
12
BAB II KORBAN SUCI
A. Sekilas tentang Yadnya Yadnya atau upacara merupakan bagian ketiga dari kerangka agama Hindu. Dari sudut filsafatnya, yadnya ialah cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya, Yadnya adalah jalan untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara ini dipergunakan upacara ayat suci tentang Yadnya sebagai alat penolong yang nyata untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Sang Hyang Widhi Wesa dalam bentuk nyata. 1. Pengertian Yadnya Yadnya dalam pengertian secara luasnya adalah suatu pengorbanan yang sangat tulus tanpa pernah mengharapkan imbalan. Kata yadnya (yajna) berasal dari bahasa Sanskerta dengan akar kata “Yaj” yang artinya memuja, menyembah, berdoa atau pengorbanan. 1
Kemudian kata yadnya ini berkembang dan
berkembang sehingga salah satu maknanya kita kenal dengan “korban suci”, yakni korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.2 Adapun pengertian yadnya yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari adalah upacara keagamaan yang sama artinya dengan Samskara atau Sanaskara. Kata Samskara atau Sanaskara diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
1 AA Gede Raka Mas, Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia, (Surabaya; Paramita, 2002), Cet. 1, hlm. 40. 2 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 238.
13
berarti “Upacara”. 3 Namun demikian, yadnya mengandung pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan pengertian upacara atau upakara. Beryadnya berarti memuja Tuhan, juga bermakna menyucikan diri sendiri. Melaksanakan yadnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas spiritual manusia. Tujuan beryadnya adalah agar mendapatkan tuntunan sinar sucinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam mengarungi hidup yang penuh gejolak ini mendapat ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan. 4 Demikian pula di dalam setiap keluarga harus saling mengorbankan diri demi berhasilnya sebuah keluarga. Kemudian dari tingkat keluarga rasa pengorbanan tersebut hendaknya
ditingkatkan pula ke
dalam
kehidupan
bermasyarakat, lalu bernegara dan seterusnya. Sebab Tuhan pun di dalam menciptakan alam semesta ini juga melalui pengorbanan. Tidak ada perjuangan di dunia ini tanpa
melalui pengorbanan. Terutama
sekali
berkorban demi
kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia demi untuk keseimbangan hidup di dunia. Karena itu, pengorbanan yang tulus tanpa menuntut imbalan, itulah yang dinamakan yadnya, pengorbanan yang paling utama sesuai dengan yang dianjurkan oleh ajaran Agama. Di dalam kitab suci Bhagavad-gita III.10, disebutkan: Sahayajnah prajah sristwa puro waca prajapatih anena prasawisya dhiwam esa wo’sstwista kamadhu
3
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 4. 4 AA Gede Raka Mas, Menjadi Orang Tua Mulia dan Berguna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 17.
14
Artinya: “Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan telah menciptakan manusia melalui Yadnya dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya karena keinginanmu (sendiri).”5 Demikian pula dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra Bab. III.75, tertulis sebagai berikut: Swadhyaye nityayuktah syaddaiwe caiweha karmani, daiwakarmani yukto hi bibhar timdam caracaram Artinya: “Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan baik yang bergerak maupun yang tak bergerak.”6 Karena itu alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya, serta dipelihara oleh yadnya. Tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta ini pasti akan mengalami kehancuran. Pelaksanaan yadnya sebenarnya sangat penting untuk menyeimbangkan perputaran siklus di dalam kehidupan ini. Hanya dengan cara seperti itu suatu kehidupan baru bisa dipelihara, serta berkembang sesuai dengan yang semestinya. Selain itu Yadnya juga dipengaruhi adanya filsafat
5
hutang atau Rna
yakni:
Dewa Rna
: adalah
hutang
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III. 10. G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.75, hlm. 152-153 6
15
hidupkehadapan Ida Hyang Widhi. Pitra Rna : adalah hutang suci kepada Rsi. Rsi Rna : adala hutang jasa kepada para Leluhur. 7 Karena itu setiap umat Hindu selalu melaksanakan upacara Yadnya di dalam kehidupannya, terutama umat Hindu yang ada di Bali. Bagi mereka tidak ada hari tanpa upacara. Hal tersebut merupakan cermin kehidupan masyarakat Hindu Bali yang religius. Sebab umat Hindu lebih mengutamakan perbuatan yang baik daripada hanya sekedar teori. Penghayatan agama umat Hindu tercermin dalam setiap aktivitas kesehariannya di mana pelaksanaan Yadnya Sesa termasuk salah satu aktivitas tersebut. 2. Bentuk Yadnya a. Panca Yadnya Ada lima perwujudan yadnya yang dikenal oleh umat Hindu dengan Panca Yadnya, sebagai berikut: 1) Dewa Yadnya; yadnya yang ditujukan ke hadapan Tuhan/Ida Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya; 2) Pitra Yadnya; yadnya yang ditujukan kepada para leluhur dan kepada yang mendahuluinya; 3) Rsi Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada orang-orang suci dari pimpinan agama yang sudah mendwijati; 4) Bhuta Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada para Bhuta dan segala makhluk ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari manusia;
7
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3-4.
16
5) Manusia
Yadnya;
segala
pengorbanan
yang
ditujukan
untuk
pemeliharaan umat manusia mulai dari dalam kandungan sampai akhir hidup manusia itu. 8 b. Sarana Yadnya Menurut Bhagavadgita IV.28, sarana yadnya dapat berupa: 1) Drawya Yadnya, yaitu yadnya dengan sarana benda-benda material dan kekayaannya; 2) Tapa Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan tapa atau latihan batin; 3) Yoga Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan yoga; 4) Swadhyaya Yadnya, yaitu yadnya dengan mempelajari ajaran suci; 5) Jnana
Yadnya,
yaitu
yadnya
dengan
ilmu
pengetahuan
dan
kebijaksanaan.9
3. Pelaksanaan Yadnya Pelaksanaan yadnya terbagi dua, yakni: a. Nitya Karma, disebut juga Nimita Karma yakni pelaksanaan yadnya setiap hari (rutin), termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan upacara Yadnya Sesa dan pembacaan Gayatri Mantra. b. Naimitika Karma, pelaksanaan yadnya pada waktu-waktu tertentu (berkala), seperti upacara Ngaben, dilaksanakan berdasarkan Desa (tempat
8
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69-71, hlm. 151. 9 A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 43-44.
17
di mana yadnya akan dilaksanakan) dan Kala (perhitungan hari baik) dan Patra (keadaan ekonomi). 10
B. Yadnya Sesa 1. Pengertian Yadnya Sesa Semua perbuatan kebajikan dapat diartikan ‘Yadnya’ atau kurban suci atau upakara (banten). Sedangkan ‘Sesa’ berasal dari kata ‘Wisesa’ yang dapat berarti religius dan mengandung sifat-sifat ‘pengeruat’ (penyupatan), maksudnya sebagai simbol dari kekuatan-kekuatan di luar diri manusia yang dilaksanakan untuk memelihara keseimbangan Sarwa Prani (alam semesta beserta isinya). 11 Upacara Yadnya Sesa, atau yang disebut juga Ngejot atau Banten Saiban, adalah pelaksanaan Yadnya yang dilakukan setiap hari (Nimita Karma). 12 Upacara Yadnya seperti ini biasanya dilaksanakan pada saat selesai memasak di dapur. Pelaksanaan upacara seperti ini adalah salah satu bukti di dalam ajaran agama Hindu, bahwa sebelum menyantap makanan, terlebih dahulu seseorang harus mempersembahkannya untuk Tuhan yang telah menciptakan segala yang ada sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada Tuhan. Seseorang juga harus menyisihkan sebagian makanan sebagai permohonan ijin kepada-Nya. Sebab tanpa memohon ijin terlebih dahulu, berarti sama saja dengan mencuri namanya. Sebagaimana tertulis sloka suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 13, sebagai berikut:
10 I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 6. 11 I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 67. 12 I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 69.
18
Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat Artinya: “Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.”13 Itulah sebabnya umat Hindu mempersembahkan sebagian makanannya terlebih dahulu sebelum mereka memakannya. Persembahan itu sebenarnya sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka ke hadapan Tuhan. Di samping itu persembahan itu menandakan sebagai pengakuan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, makanan apapun bentuknya yang mereka makan harus memohon ijin terlebih dahulu. Apalagi mengingat makanan yang dimakan sebelumnya berupa makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan, sehingga jika ingin memakannya tentu harus menghilangkan nyawa dari hewan dan tumbuhan tersebut. Dan dengan menghilangkan nyawa dari sumber makanan tersebut, manusia hendaknya memohon izin terlebih dahulu kepada Sang Kuasa. Dan itu pula sebabnya umat Hindu tidak boleh sembarangan untuk memakan ataupun membunuh makhluk lainnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra, Bab III sloka 68, sebagai berikut: Panca suna grhasthasya culli pesanyu paskarah, kandani codakumbhacca badha yate yastu wahayan Artinya:
13
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm 34.
19
“Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu lesung dan alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.”14 Dengan memberikan sesuatu kapada Tuhan, mereka akan terdidik untuk mambiasakan diri berbuat bagi kepentingan umum tanpa meminta suatu imbalan dan mengakhirkan segala kepentingan pribadi. Sebab apabila seseorang berbuat baik, karma yang baik pun akan senantiasa menyertainya. Dengan demikian, dengan melalui persembahan (banten) Yadnya Sesa umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi agar mencapai kebebasan rohani. Karena itu secara tidak langsung umat Hindu telah menciptakan keharmonisan, hidup berdampingan antara makhluk yang satu dengan yang lain. Sebab, persembahan Yadnya Sesa itu akhirnya akan dinikmati oleh makhluk lainnya.
2. Fungsi dan Tujuan Untuk mengetahui fungsi dan tujuan Yadnya Sesa, sebelumnya kita harus tinjau dahulu fungsi dan tujuan Yadnya secara garis besarnya yakni: a. Sebagai sarana untuk menyeberangkan Atma (jiwa) mencapai Brahman, yang
diumpamakan
sebagai
sebuah
kapal
untuk
membawa
penumpangnya menuju tempat tujuan. Dalam hal ini untuk membawa manusia mencapai tingkat moksa;
14
G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150.
20
b. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan, agar semua harapannya bisa terwujud serta senantiasa dilindungi oleh-Nya; c. Sebagai sarana untuk mencapai suasana yang terang dan penuh dengan kesucian. d. Sebagai sarana pendidikan untuk menumbuhkan perilaku yang sopan.15 Menurut
R. B.
Pandey,
di dalam bukunya,
“Hindu
Samskara:
Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya”, fungsi dan tujuan Yadnya Sesa adalah: a. Membuat atau menjadikan sifat welas asih serta penyayang terhadap sesamanya; b. Pelaksanaan yadnya juga bisa menyebabkan semakin berkurangnya perasaan yang negatif yang telah menguasai diri manusia; c. Juga mampu untuk menumbuhkan sifat-sifat kerohanian, sehingga menyebabkan
orang-orang
menjadi
sabar,
wajar,
serta
tenang
menghadapi segala macam cobaan; d. Menumbuhkan sifat-sifat sosial, suka berdana punia16 serta tidak mempunyai sifat egois (hanya senang mementingkan diri sendiri); e. Mengembangkan
serta
membina
kepribadian,
sehingga
dengan
melaksanakan yadnya akhirnya bisa untuk membudayakan tingkah laku yang sopan, berpikiran suci mulia;
15
G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 28 Dana punia berarti bersedekah harta sebab dalam beryadnya juga membutuhkan biaya, lihat A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 46. 16
21
f. Yadnya juga sebagai sarana pendidikan, yaitu dengan menciptakan tempat pelaksanaan yadnya dari yang tidak suci menjadi suci. 17 Itu pula sebabnya alat-alat yang dipakai untuk upacara harus disucikan terlebih dahulu melalui upacara Prayascita.18 Dengan demikian, seseorang termotivasi untuk berpikir suci serta berperilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama. Di dalam kitab suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 15, disebutkan bahwa alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya dan dipelihara oleh yadnya. Karena itu, tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta ini
pasti
akan
mengalami
kehancuran.
Demikianlah
semua
berjalan
berkesinambungan guna memelihara keseimbangan siklus kehidupan di alam semesta ini. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita Bab III sloka 15, sebagai berikut: Anand bhawanti bhutani prajnyad annasambhawah yadjnad bhawati parjanyo yadjnad karma samadbawah Artinya: “Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, sedangkan adanya yadnya adalah karena perbuatan (karma).”19
17
R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya, (Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11. 18 Upacara Prayascita adalah upacara yang bertujuan untuk membersihkan, alat-alat upacara dibersihkan melalui sesajen Prayascita, lihat Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 96. 19 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.15 hlm. 33.
22
Oleh karena itu, setiap hidangan harus dipersembahkan kepada Tuhan dan didoakan agar menjadi suci untuk dimakan. Tanpa melakukan Yadnya Sesa, makanan itu hanya berupa sampah yang selalu dikotori oleh berbagai unsur klesa (dosa) yang ada di dalam bahan makanan dan termasuk noda dari si pembuat makanan tersebut. Dengan mengucapkan doa (mantra) dan dipersembahkan kepada Tuhan, makanan yang tadinya kotor akan berubah menjadi suci (prasadham)20. Dengan demikian, makanan tersebut akan menjadi suatu kekuatan yang dahsyat sehingga layak untuk dimakan. Tuhan menciptakan segala yang dibutuhkan agar semua makhluk dapat berkembang sebagaimana mestinya. Sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu kepada
Tuhan,
mereka
diharuskan
menyisihkan
sebagian
makanan.
Mempersembahkan makanan ini juga dipandang sebagai permohonan izin kepada-Nya karena mereka bermaksud mengambil apa yang menjadi milik-Nya semata. Tanpa memohon ijin terlebih dahulu, seseorang sama seperti seorang pencuri yang mengambil milik Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita III.13, sebagai berikut: Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat
Artinya: “Orang-orang yang baik yang senantiasa memakan apa yang tersisa dari pelaksanaan yadnya, mereka itu sebenarnya telah terlepas dari papa (dosa). Akan tetapi, bagi mereka yang memakan makanan tanpa 20
Prasadham adalah istilah yang dipakai di India untuk menyebut makanan yang telah diYadnya Sesa-kan, lihat Niken T. R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 1.
23
melalui yadnya atau yang selalu mengutamakan makanan untuk kepuasan dirinya sendiri, mereka itu tidak ubahnya seperti seorang pencuri yang penuh dengan papa klesa.”21
3. Tata letak Pelaksanaan Tempat pelaksanaan upacara Yadnya Sesa adalah di tempat-tempat yang dianggap penting oleh umat Hindu, dasarnya adalah kitab Manawa Dharma Sastra Bab III.68. 22 Di tempat-tempat itu pula persembahan Yadnya Sesa diletakkan, yakni di lima tempat berikut: a. Di altar perapian atau di dapur. Persembahan diletakkan di dekat api atau kompor. Persembahan ditujukan kepada Dewa Brahma (Dewa yang menguasai api). Melalui persaksian api inilah persembahan Yadnya Sesa diterima, sebab api dipandang sebagai saksi dan manifestasi dari Tuhan dan api juga merupakan mulutnya para dewa di dalam fungsinya sebagai pelebur segala yang ada (pralina); b. Di tempat penyimpanan air. Persembahan diletakkan di dekat sumur ataupun di kamar mandi atau tempat penyimpanan (guci/jambangan) air. Persembahan ditujukan kepada Dewa Baruna (Dewa yang menguasai air), yaitu lambang sebagai penyucian segala kotoran. Di samping itu air adalah lambang dari sumber kehidupan, merupakan salah satu unsur dari Panca Maha Bhuta, salah satu sarana yang sangat penting dalam ajaran agama Hindu;
21
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm. 34. G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 150. 22
24
c. Di atas genteng/atap rumah, persembahan ditujukan kepada Dewa Bayu (Dewa Udara). Dengan melakukan persembahan ini, manusia diingatkan untuk selalu menghormati udara dan tidak boleh mencemarinya, sebab tanpa udara mustahil bagi manusia untuk hidup dan bernafas; d. Di pekarangan rumah, persembahan diletakkan di atas tanah dan ditujukan kepada Dewi Pratiwi atau Bumi sebagai simbol kebijaksanaan dan kasih sayang yang selalu memberikan makanan (hasil bumi) kepada seluruh makhluk; e. Di tugu penunggu karang, ditujukan kepada Dewa Akasa atau Kehampaan, yang merupakan simbol Tuhan yang tiada akhirnya, asal mula dari segala yang ada. Karena itulah persembahan Yadnya Sesa diletakkan di tugu yang diyakini sebagai simbol Tuhan yang senantiasa mengawasi perjalanan kehidupan seluruh umat manusia. 23 Upacara Yadnya Sesa seperti ini sebenarnya adalah salah satu wujud persembahan yang ditujukan kepada Tuhan yang tidak pernah bisa kita lihat melalui mata yang serba terbatas (niskhala).
4. Tata Cara Pelaksanaan Berdasarkan penuturan dari Bapak A. A. Gede Raka Mas, tata cara pelaksanaan Yadnya Sesa adalah sebagai berikut: Setiap pagi sehabis memasak di dapur, dianjurkan untuk mengambil selembar daun pisang. Jika tidak tersedia diperbolehkan juga menggunakan selembar kertas yang bersih, atau piring kecil dari plastik ataupun dari bahan 23
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. vii.
25
lainnya asalkan bersih. Kemudian daun pisang atau kertas tersebut dipotongpotong. Pembagiannya berdasarkan besar kecilnya luas bangunan tempat tinggal keluarga yang melakukan persembahan Yadnya Sesa. Semakin luas bangunan, maka semakin banyak potongan persembahan Yadnya Sesa tersebut. Jumlah persembahannya tergantung banyaknya tempat-tempat yang dianggap penting oleh umat Hindu. Jika rumah tangganya sangat besar dan bangunannya sangat luas, seperti yang terdapat di Bali, maka potongan persembahan Yadnya Sesa-nya dapat mencapai 150 potong persembahan. Contoh ukuran potongan daun atau kertas tersebut adalah 4x4 cm. Setelah siap, daun pisang atau kertas tersebut diisi dengan nasi, yang ukuran minimalnya 2 cm, lalu ditambahkan dengan garam dan lauk-pauk. Semua makanan hanya diisikan sedikit-sedikit karena sifatnya sebagai simbol belaka. Hal yang patut diperhatikan pada waktu membuat persembahan adalah keikhlasan sebagai kesadaran bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah diisi, persembahan Yadnya Sesa ini lalu diletakkan di tempat-tempat seperti di dekat kompor, di dekat penyimpanan makanan, di tempat penyimpanan air, di halaman, di tempat bersembahyang (Pura) dan lain-lain yang tujuannya dipersembahkan ke hadapan Dewa Akasa, Dewa Bayu, Dewa Agni, Dewa Air, dan Dewa Pertiwi. Oleh karena itu Yadnya yang akan dipersembahkan setiap harinya sebanyak lima tangkih (lima macam sesuai dengan urutan Panca Maha Bhuta), dan jika dipersembahkan satupersatu maka tempat pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan dewa-dewa yang dituju. 24 Setelah sampai di tempat yang dituju, doa (mantra) dihaturkan untuk memusatkan pikiran sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan hidup. Setelah melaksanakan Yadnya Sesa seperti itu, berarti makanan yang dihidangkan telah suci dan menjadi prasadham. 25 Dengan demikian, makanan tersebut dianggap sah dan layak untuk dimakan.
5. Doa Sebelum dan Sesudah Menghaturkan Yadnya Sesa Berdasarkan kutipan dari Gede Pudja dalam buku Pengantar Agama Hindu II, sebagai berikut: 24 25
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat note Bab II no. 19
26
“Pemujaan atau doa dapat dilakukan oleh setiap orang, di mana saja, kapan saja, sendiri atau berjemaah. Di samping itu dikemukakan pula bahwa doa dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata atau dapat dilakukan dengan bahasa lain misalnya dengan menggunakan symbol atau alat-alat sebagai pengganti bahasa. Dengan demikian dapat dibedakan: a. Doa yang dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata, misalnya dengan pengucapan mantra-mantra menurut bahasa yang terdapat dalam Weda, maupun menurut bahasa dan kalimat yang disusun terlebih dahulu menurut tujuannya; b. Dengan mempergunakan alat-alat yang merupakan bahasa simbol; c. Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol misalnya sesajen, yang juga disebut yadnya.”26
Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan pemujaan, karena itu mantra dinamakan doa. Kata lain yang sering dipergunakan yang sama artinya ialah stuti/stava. Jadi stuti atau stava adalah ayat-ayat Veda yang dipergunakan untuk melakukan puji-pujian kepada Tuhan. 27 Dalam kehidupan beragama, unsur kepercayaan akan doa merupakan bagian yang sangat penting sekali. Dalam setiap kejadian, doa selalu disampaikan untuk segala tujuan, ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa itu. Oleh karena itu telah disadari bahwa doa itu penting, karena doa merupakan bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu. 28 Ada berbagai jenis doa yang dipergunakan oleh seluruh umat Hindu di dunia dengan berbagai versi dan bahasa. Keberagaman itu tidak membatasi umatNya, entah cara dan sarana apapun yang mereka pakai. Istilah apapun dalam mengucapkan mantra itu tidak ada patokan yang baku. Entah mereka itu
26
Gede Pudja, Pengantar Agama Hindu II, (Surabaya: Paramita, 1976), hlm. 28. I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), hlm. 11-13. 28 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 33. 27
27
mempergunakan bahasa Sansekerta, bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat dan sebagainya. Telah dikemukakan bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan dalam agama Hindu, dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur Sraddha dalam agama Hindu, menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat penting sekali artinya. Dan telah menjadi kebiasaan bahwa dalam setiap doa selalu dikemukakan berbagai pengharapan agar Tuhan selalu memberikan rahmat kepada yang berdoa. Dengan demikian maka kedudukan doa dapat dikatakan sangat luas. Fungsi dan tujuannya tidak selalu sama, tergantung darimana orang melihatnya. Yang penting bahwa adapun fungsinya dan tujuannya, doa itu mempunyai arti dalam kehidupan mereka yang beriman. Karena itu dasarnya adalah keimanan (sraddha) atau percaya atas kebenaran isi dari pada doa itu. Umumnya umat Hindu di Bali dan di luar Bali mempergunakan keduaduanya, yaitu bahasa setempat dan bahasa Indonesia serta bahasa Sanskerta. Ketika menghaturkan Yadnya Sesa ke hadapan Sarwa Prani, yakni kepada simbol-simbol Sang Hyang Widhi yang bersifat bhuta, yang bantennya diletakkan di tanah, mantranya adalah sebagai berikut: Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa bhuta, kala, durgha, sukha pradhana ya namah swaha Artinya: “Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu
28
yang berwujud Bhuta, kala, dan durgha.”29 Kemudian ketika menghanturkan persembahan untuk para Dewa dan leluhur, mantranya sebagai berikut: b. Untuk para Dewata Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa dewa, sukha pradhana ya namah swaha Artinya: “Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.”30
c.Untuk Leluhur Om buktyantu pitara dewam Bukti mukti waras wadah, Ang Ah31 Setelah selesai menghaturkan Banten Jotan, tibalah saatnya menghadapi hidangan baik di atas meja maupun di lantai beralas tikar. Di beberapa daerah pemanggilan empat orang saudara untuk diajak makan bersama sudah lumrah dilakukan. Versi Bali jika tidak mempergunakan bahasa Sanskerta, maka doanya sebagai berikut: a. Pada Pagi Hari
29
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43. 30 Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 42. 31 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 8.
29
Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin semeng, I Ratu meraga Sang Hyang Surya Ditya tumurun iriki ring sarwa ajengan, raris munggah ring sariran kusan titiang, ngamertanin sane sarwa maurip, dumadi jatma muah sesanak itiang kabeh, mepageh urip titiang, Om sawa Amerta ya Namah. Artinya: “Oh Ratu Sang Hyang Sunya Amertha, saat ini pagi hari, Engkau bergelar Sang Hyang Surya Ditya, Engkaulah yang memberkati semua, hidangan ini, kemudian semua makanan ini, akan pindah ke dalam tubuh saya, menghidupkan semua makhluk, apakah itu manusia atau makhluk jelmaan lainnya, sehingga teguh dan panjang umurlah hamba dan makhluk ciptaan-Mu Om Sarwa Amerta Ya Namah!”32 b. Pada Siang Hari Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin tajeg surya, I Ratu meraga Sang Hyang Baskar Amerta, temurun iriki ring sarwa ajengan sane nenten diriki, raris munggah ring sariran kusan titiang, nemertanin sane sarwa maurip, dumadi jatma muah sesanak titiang kabeh, mapageh urip titiang. Om Sarwa Amerta ya Namah. Doa yang dilakukan pada sore hari dan malam hari, sama dengan yang kita lakukan saat pagi hari, hanya saja gelar beliau berganti menjadi: Sang Hyang Panca Amerta. 33
32 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 9. 33 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 10.
30
Berikut ini, marilah kita simak bersama beberapa bait doa dalam bahasa Sansekerta dalam hal menghadapi makanan: Om hirangagarbah samawartatagre bhutasya jatah patireka asit sadadhara pritiwim dyam uteman kasmai dewaya hawisa widhema Om Purnam adah purnamidam purnat purnama daya purnamewawasyate. Artinya: “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal, Engkau yang memelihara semua makhluk, seluruh bumi dan langit, hamba memuja Engkau. Ya Tuhan Yang Maha Sempurna dan yang membuat alam sempurna, alam ini akan lenyap dalam kesempurnaan-Mu, Engkau Maha Kekal. hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugerah-Mu. hamba menghaturkan terima kasih.”34 Om annapate annasya no dehyanmiwasya susminah pra-pra dataram taris urjam nho dhehi dwipade catuspade. Artinya: “Ya Tuhan, Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi kekuatan dan menjauhkan dari penyakit.”35
c. Doa mulai mencicipi makanan
34 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 11. 35 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 11.
31
Om anugraha amtadi sanjiwani ya namah swaha. Artinya: “Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir dan batin yang suci.”36 d. Doa Selesai Makan Om Dhirgayur astu, awighnamastu, subham astu Om Sriyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam bhawantu, ksama sampurnaya namah swaha. Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Artinya: “Ya Tuhan semoga makanan yang telah masuk ke dalam tubuh hamba memberikan kekuatan dan kesehatan, panjang umur dan tidak mendapat sesuatu halangan apapun. Ya Tuhan, semoga damai, damai di hati, damai di dunia, damai selama-lamanya.”37
C. Makanan Persembahan (Banten) Tujuan makan adalah untuk memelihara badan, kesehatan dan kehidupan. Di samping untuk memelihara badan (jasmani), makanan juga berfungsi untuk kesehatan rohani. Semua orang mendambakan dan mencari kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan kebahagiaan tersebut hanya dapat dicapai jika seseorang
36
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 44. 37 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 12.
32
dalam keadaan yang sehat jasmani dan rohaninya. Kitab suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 8-10 membedakan makanan menjadi tiga, sebagai berikut: 1. Sattvika (vegetarian), yaitu makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, termasuk air murni dan susu segar; 2. Rajasa, yaitu makanan dan minuman yang berasal dari hewani, yang memabukkan (seperti minuman keras), termasuk pula makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, terlalu pedas, terlalu berbumbu serta makanan yang membuat badan menjadi panas; 3. Tamasa, yaitu makanan basi, busuk, atau sisa orang lain serta jenis makanan yang diawetkan atau yang sudah dimasak berulang-ulang. 38 Dengan demikian, umat Hindu meyakini bahwa makanan yang dapat memberi energi hidup, energi kesehatan dan kebahagiaan digolongkan ke dalam makanan sattvika, sedangkan rajasa adalah makan yang menyebabkan penyakit dan kesedihan. Sementara makanan tamasa adalah makanan yang menyebabkan kebodohan dan kegelapan. 39 Makanan yang tergolong utama dan memenuhi syarat kesehatan adalah makanan vegetarian. para pakar ilmu gizi, para tokoh agama, orang-orang suci, senantiasa menganjurkan kepada umat manusia agar menjadi seorang vegetaris, karena begitu besar manfaatnya menjadi seorang vegetarian (tidak makan daging), maka makanan jenis inilah yang tergolong sattvika. Ada suatu ungkapan yang mengatakan “Kamu adalah seperti apa yang kamu makan”. Mengkonsumsi daging berarti memindahkan sifat-sifat hewan ke dalam tubuh manusia, maka dari itu 38
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XVII.8-10, hlm 99. Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 24-25. 39
33
sangat dianjurkan untuk menjadi seorang vegetarian, atau mengkonsumsi makanan nabati (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan). Makanan sattvika inilah makan yang terbaik untuk dipersembahkan kepada Tuhan dalam berbagai upacara termasuk dalam upacara Yadnya Sesa. Karena persembahan dalam Yadnya Sesa bersifat Bhakti, tentulah makanan tersebut harus berdasarkan kasih sayang. Bahkan kitab suci menganjurkan agar seseorang
hendaknya
mengusahakan
untuk
memperoleh
makanan
itu
berlandaskan dharma. Hal ini tersirat dalam kitab suci Reg Veda Bab XII.1.17, yang berbunyi “Bumi ditegakkan oleh Dharma”40, maksudnya adalah jika adharma (kejahatan) merajalela maka peradaban di muka bumi ini akan hancur karena perbuatan demikian akan merusak keseimbangan kehidupan. Jika makanan yang akan dipersembahkan kepada Tuhan merupakan hasil dari adharma, maka yadnya orang yang mempersembahkannya akan menjadi sia-sia. Sebagaimana bunyi sloka Sarasamuccaya 184, yang isinya sebagai berikut: Pranasantapanirwistahkakinyo ‘pi Mahapalah, anyayopajita data na pararthe sahasracah, Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya, agong phalanika, yadyapin akwqha tuwi, mangke welkang tuwi, yan antukning aniaya, nisphala ika, kalinganya, ta si kweh, ta si kedik, amuhara kweh kedik ning danaphala keneng paramarthanya, nyayangyay ning dana juga. Artinya: 40
hlm. 102.
I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006),
34
“Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya. Meski banyak apabila menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu. Tegasnya bukan yang banyak atau bukan yang sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.”41
D. Filsafat Bhuta Kala Yadnya Sesa muncul sebagai akibat dari filsafat Samkya di mana pada masa itu terjadi perubahan pemikiran di kalangan umat Hindu. Dari sanalah bermula filsafat Bhuta Kala. Kata Bhuta berasal dari suku kata bahasa Sanskerta “Bhu” yang artinya menjadi, ada, gelap, berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “Bhuta” yang artinya telah diwujudkan. Sedangkan kata “Kala” berarti energi. Bhuta kala artinya, energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan.42 Menurut filsafat agama, Bhuta Kala adalah suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya suatu kekuatan kerja di alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat positif maupun negatif, tergantung dari penyerasian Panca Maha Bhuta yang bersemayam pada alam semesta (bhuwana agung) dengan Panca Maha Bhuta yang bersemayam pada badan manusia (bhuwana alit). 43
41 42
hlm. 19.
43
I Nyoman Kadjeng, Sarasamuccaya, (Denpasar: Dharma Nusantara, 1998), hlm. 33. Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967),
I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-24. Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967), hlm. 22-25.
35
Mengenai filsafat Bhuta Kala umat Hindu mempergunakan landasan sastra agama “Prakerti Tattwa” antara lain: Sang Hyang Widhi memiliki dua kekuasaan yaitu kekuatan “Purusa” (Cetana) dan kekuatan “Prakerti” (Acetana). Dari kekuatan prakerti-Nya memiliki mutu Daiwi Sampad (sifat kebaikan) dan Asuri Sampad (sifat keburukan), tetapi yang paling dominan adalah mutu Asuri Sampad-Nya. Dari sinilah terjadi proses manifestasi (melalui 25 tattwa) untuk diciptakan badan materiilnya agar dapat dilihat secara nyata seperti terciptanya alam semesta beserta isinya. Sang Hyang Prakerti bermanifestasi menjadi unsur-unsur alam pikiran yang masih bersifat murni dan suci yang disebut “Mahat”. Dari adanya unsur alam pikiran ini, mahat bermanifestasi lagi menjadi unsur-unsur kepribadian yang disebut “Bhudi”. Dari bhudi bermanifestasi lagi dan lahirlah “Ahamkara”, yaitu berupa unsur-unsur Triguna. Unsur-unsur Triguna tersebut yakni: Waikerta Ahamkara (Sattvam), Taijasa Ahamkara (Rajah), dan Bhutadi Ahamkara (Tamas). 44 Dari Waikerta Ahamkara lahirlah Manah dan Dasendriya yaitu Panca Bhudindrya dan Panca Karmendriya, sedangkan dari Bhutadi Ahamkara lahirlah Panca Tan Matra yaitu: sabda tan matra, sparsa tan matra, rupa tan matra, rasa tan matra dan ganda tan matra. Sedangkan Waikerta dan Taijasa Ahamkara bergabung mendukung Bhutadi Ahamkara. 45 Kemudian Panca tan matra bermanifestasi menjadi Panca Maha Bhuta yaitu: Teja, Bayu, Akasa, Apah dan Pertiwi. Panca Maha Bhuta inilah yang 44 45
I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 34. I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 35.
36
memiliki kekuatan kegaiban berinfiltrasi (wiapiwyapaka nirwikara) sebagai kekuatan alam semesta beserta isinya baik bersifat nyata maupun tidak nyata. Kelima unsur tadi memberikan kekuatan pada masing-masing titik hypocentrum seperti arah mata angin Timur, Selatan, Barat, dan Utara, sedangkan yang di tengah-tengah merupakan sumber pengendali memberi kekuatan pada titik epicentrum agar perputaran bumi pada sumbunya tetap harmonis, dalam keadaan keseimbangan, demikian juga terhadap isi alam semesta. 46 Dari Panca Maha Bhuta lahirlah banyak tattwa lagi seperti bhuta tattwa, kala tattwa, durga tattwa dan lain-lain. Semuanya itu disebut Prakerti Tattwa atau Pertiwi Tattwa. Dari pengaruh prakerti tersebut akan ada pengaruh-pengaruh yang bersifat kebajikan atau keburukan terhadap alam semesta. Dua pengaruh ini akan selalu ada pada setiap insan sebagai alat bagi Sang Hyang Widhi untuk menguji keteguhan imannya. Manusia dipacu kemampuannya dalam menciptakan keseimbangan antara dirinya dan Sang Hyang dengan usaha menyadarkan diri pribadi (Atman) agar senantiasa terhindar dari papa/dosa dan menetralisir kekuatan Bhuta Kala melalui subha karma (kebajikan) seperti mengadakan upacara Yadnya. 47
46
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 14-16. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 54. 47 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-20. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 55.
37
BAB III KEHIDUPAN UMAT HINDU
A. Grhasta Asrama Umat Hindu mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang harus dilalui manusia untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan
beragamanya.
Tahapan atau tingkatan kehidupan ini adalah Catur Asrama. Catur berarti “empat” dan Asrama berarti “usaha orang”. Secara seumantik, Catur Asrama diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia. 1 Susunan tingkatan Catur Asrama adalah sebagai berikut: 1. Brahmacarin Asrama Pada tingkatan hidup Brahmacarin, seorang dwija2 akan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Pada tingkatan ini, yang mendapat prioritas utama adalah dharma. Walaupun demikian, masalah artha (mencari kebendaan), kama (kesenangan/hawa nafsu), dan moksa tetap menjadi tujuan hidup. 2. Grhasta Asrama Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Menurut persepsi Hindu, yang disebut sebagai keluarga ialah seorang pria dan seorang wanita yang
1
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 393-394. 2 Dwija adalah umat Hindu yang telah ditahbiskan melalui upacara Upanayana, di mana seorang anak resmi sebagai anggota kasta dan untuk pertama kali diterima masuk berguru pada seorang guru spiritual/ lembaga pendidikan asrama, dilaksanakan sekitar usia 7-8 tahun. Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia, ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 71-72. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), hlm 17 dan 71.
38
telah melaksanakan upacara perkawinan yang selanjutnya hidup bersama dan umumnya mereka kemudian tinggal di dalam sebuah rumah. Di dalam rumah itulah mereka bersama-sama membina rumah tangga dalam rangka mencapai tujuan
hidupnya
meliputi:
dharmasampatti
(bersama-sama
mewujudkan
pelaksanaan Dharma), praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). 3 Pada tingkatan ini dimulailah pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap keluarga, masyarakat dan kewajiban terhadap para dewa. Dalam tahapan ini, yang menjadi prioritas utama adalah Dharma namun pelaksanaan dharma tersebut disalurkan melalui artha dan kama. Menurut ajaran Hindu, kebahagiaan hidup tidak mungkin tercapai bila artha dan kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-baiknya. 4 3. Vanaprastha Vanaprastha adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan keduniawian dengan menjalani hidup di hutan. Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya diserahkan kepada anak laki-laki. Pada tingkatan ini yang menjadi prioritas utama adalah mengabdikan diri secara keagamaan guna mencapai moksa. 4. Sanyasa Sanyasa adalah tingkatan tertinggi di mana seseorang telah mencapai moksa, yakni bersatunya Atma dan Brahman. 5 Moksa ini dapat dicapai pula di
3 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 394. 4 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 5 Moksa disebut juga mukti, tujuan terahir umat Hindu, di mana terputusnya siklus kelahiran dan kematian, juga hilangnya ke-aku-an (ahamkara). I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 198-199.
39
waktu seseorang masih hidup, di mana ia telah melapaskan diri dari segala keterikatan duniawi. 6 Menurut A. A. Gede Raka Mas, Yadnya Sesa tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Gryhasta Asrama karena di tingkatan hidup Gryhasta Asrama-lah Yadnya Sesa mulai dilaksanakan. 7 Sebagaimana tertulis dalam kitab Manawa Dharma Sastra Bab III.67, yang berbunyi: Waiwahike gnau kurwita grhyam karma yathawidhi panca yajna widhanam ca paktim canwahikim grhi Artinya: “Dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan seorang kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum yang ada upacara keluarga dan upacara Panca Yadnya dan dengan demikian ia memasak nasinya sendiri.”8
A. A. Gede Raka Mas menafsirkan sloka di atas bahwa seseorang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Yadnya Sesa dikarenakan ia memasak nasinya sendiri. Jika tidak memasak, misalnya memakan makanan hasil masakan orang lain, maka ia tidak bertanggung
terhadap pelaksanaan Yadnya Sesa
tersebut. Adapun wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada siapa saja anggota yang tinggal dalam satu atap. Baik ibu, ayah, anak, keponakan ataupun pembantu, kewajibannya adalah sama. Intinya, makanan yang di masak di suatu
6
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007 8 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.67, hlm.150. 7
40
rumah keluarga Hindu tidak boleh dimakan atau dihidangkan kepada siapa pun sebelum di-Yadnya Sesa-kan. 9 Dituturkan dari pengalaman pribadi A. A. Gede Raka Mas, bahwa dahulu semasa duduk di tingkat Sekolah Dasar, ia pulang ke rumah pukul 12.30 dan sebelum makan siang ia membantu ibunya mempersiapkan Yadnya Sesa. Namun berbeda dengan kejadian esok harinya, di mana ia sudah sampai di rumah pukul 10 pagi dan merasa lapar. Ibunya sudah selesai memasak tetapi karena merasa letih maka masakan yang sudah jadi belum sempat di-Yadnya Sesa-kan. Melihat anaknya lapar maka si ibu pun menyuruhnya melaksanakan Yadnya Sesa itu sendirian. Demikianlah anak-anak dalam keluarga Hindu belajar mengenai Yadnya Sesa dari pengalaman pribadinya masing-masing. Adapun saat ini, A. A. G. Raka Mas mengakui bahwa Yadnya Sesa di rumahnya justru tidak lagi menjadi tanggung jawab ia maupun istrinya karena wewenangnya telah ia limpahkan kepada pembantu yang sudah lebih dahulu diajarkan mengenai tata cara pelaksanaan Yadnya Sesa tersebut. Mengapa demikian? Karena meskipun biaya keperluan dapur dan hak tuan rumah ada padanya, baik ia maupun istrinya jarang ada di rumah. Maka mustahil anak-anaknya menunggu dengan perut lapar sampai orang tua mereka tiba di rumah dan melaksanakan ritual tersebut. Dengan demikian, masalah siapa yang akan melaksanakan Yadnya Sesa tersebut kembali kepada kesadaran nurani masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.
9
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
41
Yang lebih utama lagi, pelaksanan Yadnya Sesa tersebut tidak boleh dilepaskan dari sraddha (keimanan) dan ketulusan bhakti (cinta kasih). 10
B. Sraddha (Keimanan) Kata sraddha berasal dari akar kata “srat” yang berarti keimanan atau kebenaran (satyamani). 11 Sraddha adalah keimanan atau kepercayaan yang tulus yang menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri manusia. Sraddha juga merupakan suatu keyakinan tentang tujuan hidup sebagai manusia
yakni,
suatu
disiplin yang
harus dipraktekkan untuk
mencapainya, kemudian ajaran yang melandasi tujuan hidup itu sendiri serta disiplin yang harus dilakukan. 12 Di dalam ajaran kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan pokok-pokok ajaran Hindu, dikembangkan ajaran Panca Sraddha. Panca Sraddha ini mencakup lima pokok masalah yang menjadi landasan ajaran Hindu. 13 Lima kepercayaan atau keyakinan dalam Panca Sraddha, sebagai tujuan untuk mendapatkan hidup yang sempurna (moksa) meliputi: 1. Sraddha tentang adanya Brahman atau Atman 2. Sraddha tentang adanya Avatara, kitab suci dan para Rsi 3. Sraddha tentang adanya hukum karma 4. Sraddha tentang adanya samsara (punarbhava)
10
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 165. 12 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. vii. 13 I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 41. 11
42
5. Sraddha tentang adanya moksa.14 Sraddha sebagai pokok ajaran bagi umat Hindu mempunyai fungsi dan kedudukan yang khas dalam ajaran keagamaan Hindu. Fungsi-fungsi sraddha sebagai berikut: 1. Sraddha sebagai kerangka dharma merupakan kerangka bentuk isi dari pada agama Hindu. Laksana sebuah rumah, kerangka dari agama Hindu adalah sraddha itu sendiri. Sraddha-lah yang mewujudkan bentuk lahir dan berfungsi sebagai penyangga yang mendasari agama Hindu. 2. Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan. Pengertian ini dapat kita lihat dalam Yajur Weda XIX. 30 dan 77 yang mengatakan: Sraddhaya satyam apyati sraddham satye prajapatih Artinya: “Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan. Tuhan menetapkan, dengan sraddha menuju kepada Satya”15 3. Sraddha sebagai syarat utama dalam persembahan (korban). Pengertian ini dapat kita lihat dalam Reg Veda X. 151.5, sebagai berikut: Sraddhaya agnih samidhyate sraddhaya huyate havih sraddham bhagasya murdhani vacasa vedayamasi
14
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 54-55. I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 168. 15
43
Artinya: “Api pengorbanan (persembahan) dinyalakan dengan keyakinan yang mantap (sraddha). Persembahan (korban) dihaturkan dengan sraddha. Kami memohon sraddha, yang memiliki nilai tertinggi di dalam kemakmuran.” 16 Dari uraian di atas jelas bahwa sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi yang mendasar yang membentuk ajaran agama Hindu yang perlu diyakini bagi para penganutnya. Sebab, setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap, akan sia-sia belaka. “Sraddha apnoti brahma apnoti,” mereka yang memiliki iman yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam melaksanakan yadnya, mutlak dilandasi sraddha yang mantap.17
C. Bhakti Marga (Cinta Kasih) Dari beberapa jalan (marga) yang diyakini umat Hindu dapat menjadi sarana untuk mencapai Tuhan, Bhakti marga termasuk salah satunya. Bhakti artinya “cinta kasih”. 18 Istilah bhakti ini digunakan untuk pernyataan cinta kasih kepada sesuatu yang lebih dihormati. Bhakti dibagi atas dua tingkat yaitu Aparabhkti dan Parabhakti. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih rendah dan dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat
16
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 166-167. 17 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 243. 18 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 18.
44
kerohanian yang tinggi. Sedangkan parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat.19 Ajaran tentang bhakti adalah ajaran yang mencari Tuhan dengan penyerahan diri dan pencurahan rasa, di mana cinta sebagai alat dan cinta juga sebagai tujuan. Seorang bhakta (penganut bhakti) adalah orang yang penuh cinta kasih, cinta kepada Tuhan, cinta kepada manusia dan cinta kepada alam semesta (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Seorang bhakta mencintai Tuhan bukan karena ingin mendapat imbalan surga atau neraka ataupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah bercinta dengan Tuhan. Bhakti inilah yang menimbulkan rasa rindu untuk bertemu dan melahirkan keikhlasan untuk berkorban. Ide tentang persembahan (bantenan) dalam upacara-upacara pun lahir dari bhakti. 20 Adapun landasan yang dipakai dalam Bhakti marga ini antara lain sloka Bhagavad-gita XI.54, sebagai berikut: Bhaktya tv ananyaya sakya aham evam-vidho ‘rjuna jnatum drastum ca tattwena pravestum ca pramtapa Artinya: “Hanya dengan sujud bhakti Arjuna, aku dapat dijumpai berwujud sebagai ini, setelah benar-benar mengenal dan melihat (wujudku) akan kembali bersatu (dengan Aku), Parantapa.”21
19 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 18. 20 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 19, 21, 26. 21 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XI.54 hlm 102.
45
D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa Ajaran mengenai Yadnya Sesa pada dasarnya memuat bahwa setiap umat Hindu wajib melakukan Yadnya Sesa karena jika seseorang memakan makanan yang belum di-Yadnya Sesa-kan, maka orang itu dianggap berdosa. Namun demikian, ada pula rumah-rumah yang tidak melaksanakan Yadnya Sesa. Menurut A. A. Gede Raka Mas, hal ini terkait pada tingkat kesadaran beragama yang dimiliki oleh masing-masing individu sebagai umat beragama. 22 Umumnya setiap rumah terdiri dari satu kepala keluarga Hindu yang memasak sendiri makanannya. Meskipun kewajiban ber-Yadnya Sesa dimulai pada tingkatan hidup Grhasta Asrama (terhitung setelah upacara perkawinan di mana seseorang memulai kewajibannya beryadnya sebagai kepala rumah tangga), 23 pada kenyataannya perhitungan pelimpahan tanggung jawab dalam melaksanakan Yadnya Sesa didasarkan pada adanya bangunan rumah. Oleh karena itu, meski terdapat dua kepala keluarga dalam satu rumah, tetap pelaksanaan Yadnya Sesa dihitung dari siapa yang memasak makanannya pada hari itu. Misalkan dalam satu rumah terdapat ayah, ibu, anak, kakek-nenek, dan keponakan. Kepala keluarga adalah kakek dan ayah. Maka siapa pun yang memasak pada hari itu, baik nenek maupun ibu, maka kewajiban berYadnya Sesa jatuh pada seluruh penghuni rumah. Selama ada salah satu dari penghuni rumah yang telah meyadnya-sesakan hasil masakan maka hasil masakan tersebut dapat dimakan oleh seluruh penghuni rumah. Jika tidak ada satu orang pun yang
22
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.67, hlm.150. 23
46
meyadnya-sesakan masakan tersebut, maka masakan itu terlarang bagi setiap penghuni rumah dan mereka dianggap berdosa jika memakannya. 24 Lain halnya jika pada suatu hari tiba masanya mereka tidak sempat memasak maka mereka membeli makanan di rumah-rumah makan kemudian menyantapnya tanpa meyadnya-sesakannya terlebih dahulu. Maka tiada dari mereka yang bersalah. 25 Kemudian
jika
mereka
memasak
makanannya
sendiri,
mereka
meletakkannya di lima tempat persembahan sesuai yang diperintahkan dalam kitab Manawa Dharma Sastra yaitu di dapur, di tempat penyimpanan air, di atas genteng rumah, di pekarangan dan di Tugu Penunggu Karang (Karang berarti halaman atau pekarangan). 26 Namun untuk tempat persembahan yang ke-lima terdapat perbedaan. Pasalnya, tidak setiap rumah memiliki bangunan Tugu Penunggu Karang yang biasanya didirikan di pekarangan rumah. Karena adanya sifat Veda yang tidak mengikat maka mereka tidak diharuskan memiliki bangunan tugu tersebut. Beberapa orang merasa tidak adanya Tugu Penunggu Karang di halaman rumahnya tidak menjadi masalah sebab dengan adanya bangunan tugu tersebut maka mereka harus ingat untuk meletakkan banten Yadnya Sesa di sana dan itu berarti porsi Yadnya Sesa yang mereka buat setiap hari menjadi bertambah satu porsi. Lagipula mereka merasa telah meletakkan banten Yadnya Sesa di pekarangan rumah yang ditujukan kepada Dewa Pertiwi. Hal ini sudah mereka
24
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 26 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150. 25
47
anggap mencakup kepedulian mereka terhadap pekarangan rumah masingmasing. 27 Mengenai jumlah porsi Yadnya Sesa terdapat perbedaan di tiap-tiap rumah tergantung dari besarnya bangunan di rumah tersebut dan besarnya keikhlasan berkorban setiap penghuni rumah. Ada rumah yang hanya melaksanakan Yadnya Sesa sebatas di lima tempat persembahan utama dan ada pula rumah-rumah yang meletakkan banten Yadnya Sesa melebihi dari lima tempat yang diperintahkan. Sebagai contoh, ada rumah yang memiliki halaman sangat luas dan ditanami pepohonan. Di mana terdapat sebuah pohon besar yang dianggap keramat maka banten Yadnya Sesa turut dipersembahkan. Selain itu, mereka meletakkan banten Yadnya Sesa di muka pintu rumah, di tempat mencuci, di sumur dan pompa air, di loteng ataupun ruangan-ruangan di lingkungan rumah, baik pada bangunan yang terpisah maupun pada bangunan yang menyatu dengan bangunan utama yang mereka anggap keramat, di tempat-tempat pemujaan dan sembahyang, bahkan di tempat pelimbahan air. 28 Bentuk Yadnya Sesa-nya pun telah disempurnakan dengan pembakaran dupa pada setiap banten dan penyucian dengan air suci. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda besarnya rasa syukur mereka terhadap segala kesenangan dan kecukupan rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka dan hal ini diperbolehkan oleh agama selama mereka melaksanakannya dengan ikhlas dan diiringi semangat kepedulian dan kasih sayangnya terhadap makhluk-makhluk Tuhan di alam semesta ini. Meletakkan banten Yadnya Sesa pada tempat-tempat yang dianggap penting sebagaimana tersebut di atas juga disusul oleh kegiatan 27 28
Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007. Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007.
48
membersihkan tempat-tempat tersebut sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan29 Berkaitan dengan doa atau mantra pengiring Yadnya Sesa, ada yang dilantunkan secara sederhana dan ada pula yang dilantunkan dengan doa yang panjang. Ada yang menggunakan bahasa setempat, namun ada pula yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Sanskerta maupun bahasa asing seperti bahasa Inggris. Lirik doanya pun ada yang berdasarkan sloka-sloka kitab suci Veda atau sloka-sloka sastra dan ada pula yang berdasarkan bahasa hati, yakni menggunakan kata-kata sendiri yang mungkin singkat tapi tulus tercetus dari lubuk hatinya. Bahkan ada yang berdoa tidak melalui pengucapan mantra. Mereka mempersembahkan Yadnya Sesa lalu menghaturkan Ngayab (gerakan merapatkan kedua telapak tangan dan diangkat sejajar dengan dahi sebagai simbol penghormatan). 30 Menurut mereka, rasa syukur yang diungkapkan dengan katakata mempunyai batasan sehingga mereka menganggap penghormatan dengan ngayab atau dengan sikap diam (hening cipta) tersebut nilainya lebih tinggi untuk mengungkapkan makna rasa syukur yang terdalam. 31
29
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007 dan wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat juga Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 44. 31 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 30
49
BAB IV MAKNA YADNYA SESA
A. Nilai Filosofis Pelaksanaan Yadnya Sesa Umat Hindu mengenal tentang Keberadaan Universal, yakni suatu Zat Tunggal, suatu Pribadi Tunggal di alam semesta raya ini. Jumlah ciptaan-Nya banyak,
tetapi pada
dasarnya
bersumber
pada
yang satu,
Yang
Esa
memanifestasikan dirinya pada Sarwa Prani yakni Panca Maha Bhuta. 1 Seorang margi (penyembah/bhakta) atau umat-Nya akan selalu berusaha menyatukan jiwanya dengan wujud-wujud kosmik alam semesta, atau melalui kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Yadnya Sesa yang dilakukan oleh seluruh umat Hindu di dunia boleh dikatakan merupakan suatu bentuk keterikatan, tapi keterikatan yang mengarah kepada kekuasaan kosmis dalam sebuah Keluarga Universal, seperti telah diketahui bahwa Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) terbebas dari segala ikatan. Sedangkan manusia dibelenggu oleh berbagai macam ikatan, terikat oleh badan jasmani yang menuntut berbagai macam kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, pakaian, perumahan, perhiasan dan sebagainya. Keinginan yang lebih halus adalah keinginan untuk disanjung, dipuji, ketenaran nama, kemasyhuran dan sebagainya. Umat yang lebih cerdas tentunya akan berusaha mengarahkan segala keterikatan tersebut kepada Keberadaan Universal (Penciptanya). Keinginannya
1 Sarwa Prani ditujukan pada unsur-unsur Panca Maha Bhuta; merupakan manifestasi Tuhan yang bersifat Bhuta; dipahami juga sebagai alam semesta atau “lingkungan sekitar manusia”. Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43. Lihat juga Bab II.D mengenai Prakerti Tattwa.
50
adalah untuk menyenangkan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Keterikatan akan benda-benda materi itu diarahkan pada keterikatan sebuah persembahan. Misalnya jika dia seorang penyanyi, maka nyanyiannya itu adalah tentang Tuhan (mengagungkan nama-Nya). Jika dia seorang penulis (sastrawan) maka tulisannya pun akan senantiasa tentang pendakian spiritual. Jika suatu saat nanti Sang Bhakta (pembhakti) mampu mengadopsi dan mengembangkan sifat-sifat Sang Keberadaan Universal, melalui sadhana (sarana bhakti), maka suatu saat nanti Sang Bhakta tersebut akan menyatu (manunggal) dengan Sang Penciptanya. Berdasarkan sastra dan tradisi dalam ajaran agama Hindu, ditemukan petunjuk yang kuat mengenai sarana upacara Yadnya, yang merupakan ciri khas yang kuat di dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa, antara lain: a. Lima Tempat Persembahan Persembahan Yadnya Sesa ini diletakkan di lima tempat utama sebagaimana diperintahkan dalam kitab Manawa Dharma Sastra, yakni di tempat memasak, di tempat penyimpanan air, di atas genteng, di halaman dan di tugu/tempat suci. 2 Sesungguhnya lima tempat peletakan banten Yadnya Sesa tersebut ditujukan kepada wujud Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa, Udara, Api, Air dan Bumi. Kelima aspek tersebut merupakan produk dari Panca Tan Matra, yakni: Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa, dan Bau. Semuanya ini merupakan Tattwa Prakerti (tattwa adalah filsafat sebagai kerangka pertama agama Hindu). 3 Tattwa Prakerti
2 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150. 3 A. A. G. Raka Mas, Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian pada Tata Susila dan Budhi Pekerti Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), hlm. 1.
51
merupakan satu dari sekian banyak tattwa yang membentuk alam semesta sebagai unmesa atau perkembangan dan perluasan Sang Hyang Widhi dan diyakini oleh seluruh umat Hindu sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi itu sendiri.
4
b. Sarana Api (Agni) Salah satu unsur yang sangat penting di dalam upacara agama Hindu adalah Api. Dalam pelaksanaan Yadnya Sesa yang sempurna, makanan persembahan (banten) dipersembahkan beserta dupa yang menyala. Lambang api pada dupa dianggap sangat penting didasarkan pada sloka kitab Manawa Dharma Sastra Bab III.76, 5 sehingga api mempunyai peranan sebagai berikut: 1) Berfungsi sebagai saksi (grahapati) yang dianggap sebagai tanda hadirnya Tuhan di tengah-tengah upacara yang dilaksanakan; 2) Berfungsi sebagai duta yang bisa menghubungkan antara kehadiran manusia dengan Tuhannya; 3) Berfungsi sebagai Pandita yang dianggap sebagai pemimpin upacara (Purohita); 4) Berfungsi sebagai sarana untuk menyucikan segala pikiran; 5) Berfungsi sebagai kekuatan untuk melindungi dari segala kekuatan yang jahat; 6) Berfungsi sebagai mulutnya para dewa untuk mempralina segala yang sudah dianggap usang (mulut tempat mempersembahkan segala bentuk yadnya); 4
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 16. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-20. 5 G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.76, hlm 153.
52
7) Berfungsi sebagai pemberi untuk memenuhi segala keinginan, serta rahmat. 8) Berfungsi untuk meleburkan dosa.6 c. Sarana Air Air adalah simbol untuk menyucikan atau membersihkan segala sesuatu kotoran. Air juga merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan. Oleh karena itu air menjadi salah satu sarana yang sangat penting di dalam pelaksanaan upacara Yadnya. Umumnya, setiap makanan yang akan dipersembahkan disajikan bersama air terlebih dahulu sebagai lambang penyucian makanan tersebut. 7 d. Doa atau Mantra Doa adalah salah satu cara yang paling mudah, tepat dan alamiah dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Doa adalah cetusan hati. Doa yang mujarab adalah doa yang mengandung tiga unsur: 1) Pengakuan akan kelemahan diri dan ketidakmampuan Doa yang mengandung unsur pengakuan akan kelemahan diri dan ketidakmampuan kemudian diiringi sikap penyerahan diri adalah alat yang paling ampuh untuk meredakan kobaran kesombongan manusia. Dengan pengakuan seperti ini, manusia menyadari bahwa ada kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya yang mengendalikan setiap hal. Adanya pengakuan bahwa Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah penting sebab orang yang egonya tinggi tidak mampu melihat dan tidak
6
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Lihat juga Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 40-43. 7 Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
53
mau menerima kebenaran yang datang dari Tuhan sehingga sulit baginya untuk melihat hakikat segala sesuatu; 2) Pengharapan dan permohonan Setiap ajaran suci mengarahkan penganutnya untuk berdoa mengajukan pengharapan dan permohonan. Apapun bentuk permohonan yang diajukan, baik permohonan yang berisi sekedar pemuasan indrawi atau duniawi maupun permohonan yang lebih bijaksana, selama mengharap hanya kepada Tuhan maka permohonan itu boleh-boleh saja. Dengan bersandar pada Tuhan melalui doa-doanya, seseorang menjadi berani menghadapi segala rintangan di dunia karena percaya bahwa ada kekuatan Tuhan yang senantiasa melindungi-Nya. Dengan bermohon akan sesuatu, seseorang menyatakan diri melalui ucapan dan akan menyatakan diri melalui perbuatan demi mewujudkan dan menjaga terkabulnya permohonan tersebut. 3) Puji dan syukur. Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Hakikat pujian adalah bagi yang memuji. Ada yang memuji karena ingin sesuatu, ada pula yang memuji karena rasa terima kasihnya atas permohonan yang terkabul dan nikmat yang ia dapatkan. Rasa syukur pun ditunjukkan dengan kesadaran berbuat bermacam kebajikan. Dengan memuji Tuhan,
54
manusia kembali menyadari bahwa bukan dirinyalah yang hebat. Dari sini ia belajar mengikis ego dan mengakui kebesaran-Nya. 8 Demikianlah doa yang dimaknai sungguh-sungguh dan dihayati oleh yang berdoa diyakini akan membuahkan pertolongan bagi orang yang berdoa tersebut. Dalam pelaksanaan Yadnya Sesa juga diiringi doa. Akan tetapi di dalam Reg Veda IV.25 dinyatakan bahwa doa tanpa banten dapat pula dilakukan. 9
B. Makna Agamis Yadnya Sesa Yadnya Sesa merupakan bahasa isyarat terhadap kekuatan di luar kekuatan manusia dan merupakan mediator untuk membuat terintegrasinya kekuatan di luar manusia dengan kekuatan manusia sehingga tercipta keseimbangan, keserasian dan keselarasan manusia dengan lingkungannya, hal itulah yang dikatakan “Mosrtham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah”. 10 Sebaliknya, apabila kekuatan diluar manusia tidak bisa berintegrasi dengan kekuatan manusia
maka tidak ada lagi keseimbangan
manusia
dengan
lingkungannya dan akan terjadi suatu gejolak penyimpangan kekuatan-kekuatan Bhuta Kala dengan ciri-ciri seperti timbulnya sakit, pertengkaran, kecelakaan, kesusahan, kesedihan dan lain-lain. 11
8 Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm.37-42. 9 I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 240. 10 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 68. 11 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 13-15 dan 68
55
Dengan demikian Yadnya Sesa adalah salah satu bentuk yadnya yang memiliki makna dan fungsi sebagai pembangkit kekuatan religius agar terjadi integrasi antara kekuatan di luar manusia dengan kekuatan manusia agar terciptanya kembali keseimbangan tersebut, sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana. 12 Yadnya Sesa juga merupakan sarana pengeruat (penyupatan) terhadap makhluk lainnya di luar manusia karena makhluk tersebut dikatakan papa (lemah). Oleh karena itu manusialah yang harus menolong makhluk lainnya karena manusia dilahirkan ke dunia adalah menjadi makhluk utama (makhluk berpikir) yang memiliki kemampuan cipta, rasa, karsa dan karya. Melalui pengorbanan suci (yadnya) inilah manusia bisa menolong makhluk lainnya untuk nantinya kalau makhluk tersebut bereinkarnasi menjadi makhluk manusia.13 Di samping itu memiliki nilai tinggi terhadap karmanya manusia karena ia menyadari bahwa segalanya yang ia makan adalah berkat ciptaan Sang Hyang Widhi, maka dari itu segala yang dimakan dihaturkan terlebih dahulu kehadapanNya agar tidak menjadi seorang pencuri yang mencuri milik-Nya karena mencuri adalah perbuatan dosa. Pada sudut pandang ini, korban suci Yadnya Sesa merupakan sarana peleburan dosanya manusia sendiri
karena manusia juga
memiliki perbuatan himsa (kekerasan) secara disadari maupun tidak disadari. Sebagai contoh: pada suatu saat sedang berjalan atau duduk, pada saat itu kebetulan ada seekor semut mati terinjak atau mati karena tertindih akibat duduk,
12
Tri Hita Karana mengajarkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari mengadakan tiga hubungan yakni: hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya/lingkungan. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 13 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 69.
56
hal itu sudah perbuatan himsa karma karena semut itu pun perlu hidup. Oleh karena itu, Sang Hyang Widhi telah memberikan petunjuk melalui ajaran Veda dan terciptalah sarana berupa Yadnya sesa, salah satu jalan sebagai peleburan dosa manusia. Sebagaimana bunyi sloka Manawa Dharma Sastra Bab III.69 berikut: Tasam kramena sarwasam niskrtyastham maharsibhih panca klrpta mahayajnah pratyaham grhamedhinam Artinya: “Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.”14 Pada dasarnya, umat Hindu meyakini bahwa Tuhan tidak pernah membutuhkan segala yang dipersembahkan kepada-Nya. Tuhan juga tidak mungkin marah jika manusia tidak memberikan sesuatu kepada-Nya. Tetapi manusia mempunyai perasaan puas kalau segala sesuatunya bisa diungkapkan melalui sarana yang mungkin tidak ada artinya bagi Tuhan, tetapi Tuhan juga Maha Mengetahui, sehingga melalui keinginan serta perbuatan yang tulus itu manusia merasa yakin kekuatan yang baik itu akan berbalik kepada diri mereka kita sendiri. Sebab, pada dasarnya setiap manusia tidak memiliki apa-apa ketika lahir ke dunia ini. Semua ciptaan adalah milik Tuhan. Maka sudah sepatutnya apa yang hendak dinikmati manusia terlebih dahulu dipersembahkan ke hadapan-Nya sebagai wujud Bhakti kepada-Nya. Dan tentu akan lebih mulia itu jika apa yang
14
G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.69, hlm. 151. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
57
dipersembahkan berasal dari lubuk hati yang paling dalam disertai dengan keimanan (sraddha). 15 Adapun doa atau mantra yang mengiringi persembahan (banten) Yadnya Sesa adalah sebagaimana halnya pengucapan Gayatri Mantra (nama mantram), yaitu dilakukan pada pagi, siang dan sore hari setiap menghadapi makanan. Di dalam makna doa tersebut umat Hindu tidak pernah mengharapkan kebaikan hanya untuk diri sendiri, tetapi semua makhluk yang tercakup di dalam alam Bhur (tempat manusia hidup), Bwah (luar angkasa), dan Swaha (surga; alam para dewa), semuanya didoakan agar sejahtera. Manfaat berdoa sebelum makan juga diyakini akan menumbuhkan benih-benih pikiran yang sattvika dalam diri seseorang. 16 Oleh karena itu, persembahan Yadnya Sesa itu sebenarnya merupakan salah satu persembahan yang ditujukan kepada Tuhan sebagai “korban suci”. 17 Tuhan tidak pernah membutuhkan segala yang dipersembahkan kepada-Nya. Tuhan juga tidak mungkin marah jika manusia tidak memberikan sesuatu kepadaNya. Tetapi manusia mempunyai perasaan puas kalau segala sesuatunya bisa diungkapkan melalui sarana yang mungkin tidak ada artinya bagi Tuhan. Tuhan juga Maha Mengetahui, sehingga melalui keinginan serta perbuatan yang tulus itu
15
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 8-10. Sattvika berkaitan dengan ajaran Triguna bahwa terdapat tiga karakter pada setiap manusia yakni: Sattva, Rajas dan Tamas. Benih sattvika lahir dari sifat sattva, yakni sifat cerdas, terang, bersih, bahagia dan tenang. Melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan merupakan indikasi adanya potensi sifat sattva pada diri seseorang yang kemudian akan memperkuat sifat tersebut dan menjaganya agar senantiasa berada pada jalan subha karma (karma baik). Lihat juga A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm 34-37. 17 I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 17-18 dan 73. 16
58
manusia merasa yakin kekuatan yang baik itu akan berbalik kepada diri mereka kita sendiri. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita, IX.26, sebagai berikut: Patram pushpam mphalam to yam yo me bhaktya prayachchhat tad aham bhaktyu pahritam asnami prayatat manah Artinya: “Barang siapa yang sujud Bhakti kepada-Ku, walaupun hanya dengan setangkai daun, sekuntum bunga, sebutir buah-buahan dan seteguk air, jika disertai dengan perasaan tulus, pasti Aku akan menerimanya dengan perasaan penuh cinta kasih”. 18
C. Peranan Yadnya Sesa Bagi Pertumbuhan Moral Berbhakti kepada Sarwa Prani (alam semesta ciptaan Tuhan) berarti seluruh kegiatan dan usaha ditujukan untuk mencapai Parama Purusa (Brahman). Pendidikan moral seperti ini membuat seseorang dalam pergaulan di masyarakat menjadi lebih berhati-hati. Dia akan berusaha untuk selalu menghindari lingkungan yang tidak mendukung dirinya pada tahap kemajuan ilmu pengetahuan rohani. Ada dua pilihan di dalam melakukan sadhana spiritual dengan berbhakti kepada Sarwa Prani. Pertama, apakah seseorang diarahkan kepada benda-benda ciptaan-Nya, kemudian yang kedua, apakah jiwa mereka diarahkan menuju pada Penciptanya? Hal ini adalah sangat rahasia dan pribadi, hanya bisa diketahui oleh individu itu sendiri. Jika ritual semacam itu terasa jenuh dan membosankan berarti seseorang masih terikat pada benda-benda ciptaan-Nya. Sebaliknya, jika ritual 18
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab IX.26 hlm 59.
59
tersebut menimbulkan rasa damai dan bahagia (anandam) berarti jiwanya sudah mengarah ke Parama Purusa (Tuhan Yang Maha Esa).19 Sebenarnya berbhakti kepada Sarwa Prani, berarti mengarahkan perhatian kepada ciptaan-Nya, sebab alam semesta tempat para makhluk bersemayam adalah sebuah Keluarga Yang Universal. Umat manusia berlomba-lomba berusaha mendapatkan kasih sayang dan berkah-Nya, dan berkah-Nya tidak membedabedakan, Beliau Maha Tahu apakah umat-Nya beryadnya dengan tulus atau tidak tulus (ego). Bagaimana Yadnya Sesa menjadi sarana bagi pertumbuhan moral Hindu adalah sebagaimana tertulis di bawah ini: a. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seluruh tubuh akan senantiasa bergerak melakukan perbuatan yang terpuji setiap harinya, dengan penuh hormat menghadap Dewa yang berkedudukan di berbagai penjuru sebagai manifestasi Tuhan itu sendiri; b. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seseorang setiap harinya harus selalu berkonsentrasi
dan
berupaya
melalui
pikirannya
untuk
mempersembahkan sebagian makanan yang baru saja habis dimasak kepada Tuhan yang selalu dihormatinya. Pada saat seperti itu, pikiran yang selalu melenceng akan senantiasa disibukkan dengan memikirkan Tuhan yang Maha segala-galanya. Dari mulai memasak makanan, pikiran sudah tertuju kepada Brahman atau Sang Keberadaan yang Universal. Setelah matang, nasi, sayur, lauk pauk diambil sejumput demi sejumput diletakkan di atas daun pisang atau daun apapun boleh, untuk 19
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 16.
60
dibuat Banten Jotan. Yadnya semacam ini sebenarnya sudah mengarah kepada sadhana (sarana bhakti secara terus-menerus) spiritual, karena seseorang tidak cukup hanya menguasai ilmu pengetahuan rohani saja, tanpa praktek. Hal ini memerlukan rasa kesungguhan hati, memerlukan latihan-latihan spiritual. Maksudnya umat
manusia
dituntun dan
diarahkan menempuh jalan yang jelas bahwa tujuannya adalah Keberadaan Universal atau Brahman. Jika sadhana yang kecil dan sederhana seperti tersebut di atas sudah dihayati, maka secara otomatis pikirannya akan senantiasa diisi oleh pengetahuan Madu Widya (manisnya ilmu pengetahuan rohani itu) meresap ke dalam jiwa dan lubuk hati yang terdalam. c. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, seseorang selalu diharuskan untuk mengucapkan mantra atau doa suci kepada Tuhan dengan mulut dan kata-katanya. d. Melalui pelaksanaan Yadnya Sesa, secara bertahap akan menyebabkan tumbuhnya karakter pada diri seseorang untuk selalu menghargai, menghormati, juga menumbuhkan perasaan toleransi yang tinggi terhadap sesama makhluk hidup serta lingkungan sehingga dapat tercipta keharmonisan hidup antara makhluk yang satu dengan makhluk lainnya. Sebab, melalui bentuk banten Yadnya Sesa itulah (yang terdiri dari nasi, sayur lengkap dengan lauk pauknya) akhirnya akan dinikmati oleh
61
makhluk lain seperti semut, cecak, burung, kucing, tikus, anjing dan lain sebagainya. 20 Inilah bentuk bhakti seseorang kepada Tuhan-Nya. Dengan menyisihkan sebagian yang dimiliki, umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi untuk mencapai kebebasan rohani (moksa) sesuai dengan tujuan agama yang dianutnya. Dengan mengupayakan jalan kerohanian, sudah tentu aplikasinya akan memberi manfaat kepada sekitarnya seperti halnya mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan diri sendiri, dan ini juga berarti untuk melayani kepentingan umum tanpa pamrih, tanpa menuntut imbalan. Sebab, jika seseorang berbuat baik maka karma baik (subha karma) pasti akan menyertainya. Dengan demikian, segala yang diupayakan seseorang, baik atau buruk, akibatnya akan kembali kepada pelakunya.
D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan Persembahannya 1. Segehan Kepel Segehan ini terdiri dari: a. Bawang, yang mengandung makna dan simbol (niyasa) sebagai kekuatan tamah, karena bawang tersebut memiliki sifat dingin atau adem disimbolkan sebagai sifat apatis atau kebodohan, kalau memiliki kebodohan dapat diartikan memiliki kegelapan, orang yang memiliki kegelapan dalam hatinya akan lebih mudah kena pengaruh-pengaruh sampingan yang cenderung negatif.
20
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
62
b. Jahe, mengandung makna dan simbol sebagai kekuatan rajah, dilihat dari sifat jahe adalah panas, sifat panas menjadi sifat keras atau sifat kroda. Dengan memiliki sifat keras akan bermanifestasi menjadi egoistis, bagi orang yang egois biasanya memiliki pergaulan atau sering dijauhi orang. c. Garam Hitam (Uyah Arang), memiliki makna dan simbol sebagai kekuatan penetralisir atau Penyomia, yaitu Sattwam. d. Porosan dan Bunga memiliki makna dan simbol sebagai kekuatan silih asih.
Mengenai warna dan arah sebagai patokannya adalah berdasarkan ajaran “Jnana Kanda dan Karma Kanda” antara lain: a. Segehan warna putih, adalah sebagai simbol “akasa”, pada arah wetan atau Timur. b. Segehan warna merah (abang), adalah simbol “teja”, pada arah daksina atau Selatan. c. Segehan warna kuning adalah sebagai simbol “apah”, pada arah pascima atau Barat. d. Segehan warna hitam adalah sebagai simbol “bayu”, pada arah Utara. e. Segehan Brumbun adalah sebagai simbol “pertiwi”, pada arah tengah madya. f. Segehan kepel Poleng, segehan ini dibuat dari nasi kepel yang berwarna putih dan hitam menjadi satu kepel, kemudian membuat dua kepel. Segehan poleng merupakan niyasanya Bhuta Poleng, di mana kekuatan
63
bhuta ini dapat mempengaruhi manusia, sehingga manusia memiliki sifatsifat licik, senanh mengandu domba, senang mencuri, dan lain-lain. g. Segehan Seliwah, segehan ini dibuat dari nasi kepel putih satu kepel dan nasi kepel hitam satu kepel yang diletakkan pada satu tempat atau ceper dengan perlengkapannya yang sama. Segehan ini menyimbolkan kekuatan Bhuta Seliwah, dan kekuatan Bhuta Seliwah dapat mempengaruhi jiwa manuisia sehingga manusia sering mengalami salah paham sehingga mengaundang pertenmgakaran. Maka dari itu perlu dinetralisir dengan membuat Segehan Seliwah. h. Segehan Putih Kuning, segehan ini dibuat sama seperti di atas hanya bedanya, warna putih satu kepel dan kuning satu kepel menjadi satu wadah dengan perlengkapannya sama. Segehan ini menimbulkan kekuatan Bhuta Nareswari, yang dapat mempengaruhi jiwa manusia sehingga manusia memiliki perilaku malas dan pemboros. Maka dengan demikian harus dinetlarisir dengan pembuatan segehan tersebut. 2. Segehan Sasah. Segahan ini juga dibuat dari nasi putih tetapi bedanya nasinya tidak dikepel, melainkan ditaruh terurai alasnya sebuah tangkih atau daun, berisi porosan, bunga dan kacang saur, bukan bawang jahe. Segehan ini mengandung makna dan simbol sebagai kekuatan durga karena dilihat dari bentuk rambut terurai kedepan muka (seperti orang yang akan ngelekas menjadi leak) dan bentuk rambut yang demikian disebut sikap memurti atau durga sedang mengeluarkan kesaktian untuk mencari sasaran dengan menyakiti. Sedangkan saur merupakan
64
simbol pengeruat (penyupatan) karena kata saur dapat diartikan kedamaian. Kacang mengandung simbol menyatu atau tidak menyakiti (bermusuhan) karena dilihat dari bentuknya bulat. Durga adalah suatu kekuatan yang mengakibatkan penderitaan sakit dan kematian (bersifat pralina), oleh karena itu perlu membuat Segehan sasah sebagai sarana penetralisir kekuatan durga agar menjadi kekuatan Durga Hita atau Durga yang mensejahterakan alam semesta dan kehidupan manusia. 3. Segahan Agung. Segehan ini dibuat serdemikian rupa dengan tatanan sebagai berikut: Sebuah alas (tempeh) berisi beras, diatas beras pada bagian tengah tempeh dipasangkan tri kona besar sebagai alas sebuah kelapa yang telah terkupas kulitnya. Disamping tri kona disusun sebuah : telur, kemiri, pangi, gegantusan, pepeselan, semuanya diatas alas dengan kojong. Diluarnya disusun dengan nasi putih berisi kacang saur dengan alas tangkih sejumlah sebelas tanding dengan penataan secara melingkar dalam perhitungan arah mata angin yaitu : arah timur, arah tenggara, arah selatan, arah barat daya, arah barat, arah barat laut, arah utara, arah timur laut, dan ditengah dipasangkan tiga buah Segehan tadi sehingga semuanya berjumlah menjadi sebelas tanding dxan di atasnya diisi canang sari. Pada waktu menghaturkan Segehan ini disertai dengan pemotongan ayam kecil. Pemotongan ayam ini dilakukan sambil mencipratkan darahnya karena darah menjadi simbol “kala”. Darah merupakan simbol penetralisir kekuatan kala, agar menjadi kala hita. -
Tempeh sebagai simbol alam semesta.
65
-
Beras sebagai simbol udara (amerta).
-
Tri kona sebagai simbol kekuatan Tri Guna.
-
Kelapa sebagai simbol matahari / sumber panas.
-
Telur sebagai simbol bulan.
-
Tingkih sebagai simbol bintang.
-
Pangi sebagai simbol Samudra / Danau.
-
Gegantusan sebagai simbol roh-roh (jiwatma).
-
Pepesalan sebagai simbol hutan.
-
Canang Sari sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
-
Brem sebagai simbol Sang Hyang Prakerti.
-
Arak sebagai simbol Sang Hyang Purusa.
4. Segehan Saiban. Segahan ini dibuat dengan alas tangkih berisi nasi, sayur, ikan, atau daging dan garam atau ap saja yang dimasak itulah dipakai bahannya. Sehubungan dengan segahan saiban ini, bagi yang telah selesai memasak, dan kalau mau makan terlebih dahulu sebelum menghaturkan sesajen maka sisihkanlah dulu sedikit nasi dan lauk pauknya agar jangan menghaturkan sesajen bekas atau sisa makanan yang sudah dimakan. Isi Segehan Saiban mengandung makna dan simbol antara lain : a. Nasi adalah sebagai simbol amertha (dharma), memiliki sifst Sattwam. b. Sayur sebagai simbol sarwa mentik, memiliki sifat tamas. c. Ikan/ Daging sebagai simbol sarwa perani, memiliki sifat Rajas. d. Garam sebagai simnol kekuatan pengelebur/penertralisir.
66
Dari simbol-simbol diatas maka Segehan Saiban memiliki makna sebagai sarana pengeruat atau penyupatan terhadap makhluk-makhluk diluar manusia karena makhluk tersebut adalah dikatakan makhluk papa. Hanya manusialah yang diharapkan melakukan penyupatan agar nantinya kalau reinkarnasi supaya menjadi manusia. Di samping itu memiliki nilai tinggi terhadap karmanya manusia karena ia menyadaribahwa segalanya yang dia makan adalah berkat ciptaan Sang Hyang Widhi, maka dari itu segala yang dimakan dihaturkan terlebih dahulu kehadapanNya agar tidak menjadi seorang pencuri yang mencuri miliknya karena mencuri itu adalh perbuatan dosa. Dari sudut pandang yang lain makna dari segehan saiban ini adalah sebagai sarana peleburan dosa manusia akibat dari perbuatan himsa karma baik secara sadar maupun tidak sadar. Perbuatan himsa karma ini adalah perbuatan dosa, oleh karena itulah perlunya melaksanakan korban suci berupa Segehan Saiban sebagai sarana melaksanakan kebajikan yang mengandung nilai penebusan dosa. 5. Segahan Wong-wongan. Segehan ini biasanya dibuat bentuk (pawongan) sesuai dengan kebutuhan dan mengandung makna sebagai niyasa (simbol) menurut fungsinya sebagai penetralisir kekuatan Bhuta Bucari, Durga Bucari, Kala Bucari untuk menjadi Bhuta Hita, Durga Hita dan Kala Hita. Contoh: a. Segehan berupa/menyerupai bentuk Rangda adalah sebagai sarana penetralisir kekuatan Durga Bucari.
67
b. Segehan berupa/menyerupai bentuk Naga adalah untuk menetralisir kekuatan berupa Bhuta Bucari. c. Segehan berupa/menyerupai bentuk Manusia (Wong) adalah sarana penetralisir kekuatan Kala Bucari. Semua bentuk diatas hanya dipergunakan pada saat-saat tertentu sesuai dengan kebijakan umat Hindu. 21
E. Analisa Kritis Tujuan Yadnya (upacara pengorbanan) adalah untuk memperhalus jiwa manusia, hanya manusia yang bisa memperbaiki dirinya sendiri, apakah martabatnya akan menjadi lebih rendah atau lebih tinggi. Jika jiwanya serta pikirannya kotor maka dia akan dikendalikan oleh badan jasmani, sebaliknya jiwanya halus maka jasad atau raganya dikendalikan oleh jiwanya. Yadnya yang dilakukan dengan tulus ikhlas, hati yang suci, pikiran yang hening, akan membangkitkan unit-unit kesadaran. Unit kesadaran inilah nantinya yang akan mengendalikan jiwa dan raga manusia menuju pada Kesadaran Kosmis (Tuhan). 22 Umat Hindu mengenal adanya Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Upacara Yadnya Sesa yang dipersembahkan kepada Sarwa Prani (Panca Maha Bhuta) dapat digolongkan sebagai Bhuta Yadnya yang digunakan untuk menyeimbangkan kekuatan Bhuta Kala. Meskipun kelima yadnya (Panca Yadnya) yang ada mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, perlu juga diketahui bahwa yadnya manapun yang dilakukan oleh 21
I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 75-88. 22 Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 18.
68
umat manusia, semua itu akan mengarah kepada-Nya. Sebab, semua yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari Yang Tunggal. Hal mengenai keberadaan Ida Sang Hyang Widhi adalah tak terbatas. Namun karena keterbatasan manusia, maka umat manusia menggambarkan sesuai dengan kemampuannya. Tuhan adalah sangat abstrak, tidak dapat dilukiskan, tidak dapat diberikan batasan, tidak dapat diterka-terka, manusia bisa diidentifikasikan sedangkan Tuhan tidak. Untuk kepentingan pendidikan dan pemujaan, maka umat Hindu mendefinisikan sifatsifat Tuhan dalam bentuk Yadnya upacara dan upakara. Walaupun demikian, makna dari Yadnya Sesa tersebut intinya adalah untuk mencari kebahagiaan yang abadi, tujuan hidup tertinggi dari setiap umat Hindu, yakni bersatunya Sang Diri dengan Diri Tertinggi, Atman dan Brahman, atau yang biasa disebut moksa. Melalui pelaksanaannya, Yadnya Sesa diadakan sebagai sarana bhakti (sadhana) yang mengajarkan atau mendidik agar membiasakan setiap orang untuk mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan diri sendiri, untuk membangun karakter saling menghargai sesama, serta untuk menumbuhkan perasaan toleransi terhadap alam dan makhluk di sekitarnya. Dari toleransi ini diharapkan seseorang terus menanjak, dari apara bhakti ke tingkat para bhakti, menuju tahap mencintai alam semesta dengan semangat berkorban sebagai wujud cintanya kepada Yang Menciptakan alam semesta tersebut yang kemudian akan menciptakan keserasian dan keseimbangan siklus kehidupan. 23 Yadnya sesa timbul dari adanya filsafat hutang (Rna). Filsafat hutang ini menerangkan bahwa manusia mempunyai hutang kepada : Dewa Rna : adalah hutang hidup kepada Ida Hyang 23
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 14. lihat juga A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm 43.
69
Widhi. Rsi Rna : adalah hutang suci kepada Rsi. Pitra Rna : adalah hutang jasa kepada para Leluhur. Selain itu, pada dasarnya semua ritual pengorbanan dalam perspektif agama-agama adalah sama-sama berusaha untuk mengadakan hubungan dengan Yang Maha Tinggi, yakni Tuhan. Karena Tuhan terasa begitu jauh dari jangkauan, maka
melalui
bentuk-bentuk
pengorbanan
itulah
manusia
bermaksud
menghadirkan Tuhan dan berhubungan dengan-Nya dalam bentuk yang lebih nyata. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengingatkan diri manusia itu sendiri sebagai pelaksana korban, bahwa apa pun yang mereka nikmati dari alam sekitarnya adalah milik Tuhan. Dari adanya bentuk pengorbanan sebagai ritual atau ibadah tersebut, umat beragama melatih diri secara bertahap untuk sampai ke tujuan akhir rohaniah yang mereka yakini. Maka dalam hal ini ritual pengorbanan tersebut hadir sebagai sarana berhubungan dengan Tuhan. Adapun tingkatan ibadah/ritual pengorbanan seseorang dapat dibagi sebagai berikut: 1. Pertumbuhan Kesadaran dan Rasa Syukur Setiap ritual pengorbanan datang dari perintah Tuhan dalam kitab suci. Dari perintah tersebut, manusia diangkat sebagai makhluk bermartabat tertinggi jika dibandingkan dengan makhluk lain karena ia berpikir. Dengan kelebihannya tersebut, manusia diperintahkan untuk memikirkan betapa banyak nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada-Nya. Setelah adanya kegiatan berpikir, manusia pun tercetus untuk melihat ke dalam dan ke luar dirinya. Dari hasil perenungannya, manusia beranjak ke kesadaran tahap awal di mana ia bersyukur dan menyikapi
70
nikmat dari Tuhan dengan mematuhi perintah-Nya, dalam hal ini ia tergerak untuk melakukan bentuk pengorbanan sebagai ritual atau ibadah. 2. Permohonan Sederhana Dalam setiap bentuk ritual kerap diiringi doa, baik yang diucapkan dengan kata-kata, pernyataan sikap atau sekedar simbol. Doa ini adalah curahan hati dari yang melaksanakan pengorbanan. Permohonan sederhana adalah permohonan yang masih mementingkan keinginan-keinginan duniawi. Umumnya, permohonan seperti ini datang dari pelaksana korban yang takut pada kemurkaan Tuhan atau sekedar menginginkan harta, kedudukan, dan kesenangan yang bersifat sementara atau fana. Perilaku moral yang ada pada tahapan ini tidak lain melaksanakan pengorbanan hanya karena khawatir atau takut jika sampai keinginannya tidak terpenuhi. Jadi dapat dikatakan tingkat keyakinan/iman pada tahapan ini masih tergolong rendah.
Ia beriman pada kemahakuasaan Tuhan tetapi masih lebih
cenderung kepada keinginan-keinginannya. Karena kemelekatannya dengan apa yang diinginkan, pada tahapan ini seseorang masih cenderung pada keinginan berbuat dosa. Pada tingkat ini umat Hindu menyebutnya dengan istilah Apara bhakti. 3. Permohonan Bijaksana Pada tahapan ini, tingkat keimanan seseorang sudah meningkat. Ia tidak lagi melihat pada kesenangan duniawi melainkan menanjak kepada permohonan ukhrawi, yakni kesenangan yang bersifat abadi, atau yang lebih sering disebut surga. Perilaku moral yang ada pada tahapan ini bertolak dari menjaga diri dengan berhati-hati atas perintah dan larangan Tuhan. Pada tahapan ini, seseorang rela
71
kehilangan apapun karena ia berharap dan meyakini bahwa ia akan mendapatkan apa yang Tuhan janjikan kepadanya berupa kenikmatan abadi atau keselamatan akhirat. 4. Mencintai Tuhan Pada tahapan ini tiada lagi kesenangan yang dipikirkan seseorang untuk dirinya sendiri melainkan hanya untuk Tuhannya. Bahkan surga pun bukan yang menjadi keinginan terakhirnya. Satu-satunya yang diharapkan adalah bertemu dengan Tuhan. Dari kerinduan bertemu itulah, ia rela mengorbankan apa saja yang ada pada dirinya baik yang bersifat materi atau immateri. Jiwa dan raga tercurah hanya untuk Tuhannya. Tiada yang lebih membahagiakannya selain berkorban untuk Tuhan yang ia cintai melebihi dirinya dan melebihi alam semesta ciptaanNya. Jika ia berbuat sesungguhnya perbuatannya itu hanya berharap kepada ridha Tuhannya. Ia tidak lagi menginginkan dan berharap apapun selain-Nya. Pada tahapan ini, seseorang tidak merasa kehilangan apapun jua karena ia menyadari bahwa dirinya dan seluruh yang ada seutuhnya berasal dari Tuhan, hanya milik Tuhan. Sehingga apapun yang ia lakukan hanya untuk Tuhan dan dilakukan di jalan yang diridhai Tuhannya. Bercinta dengan Tuhan menjadi kebahagiaan tertinggi; dikenal juga dengan tingkat Para bhakti. Dengan menyadari bahwa Tuhan adalah Yang Maha Penyayang, maka manusia akan berusaha meneladani bagaimana Tuhan membagi kasih sayangnya terhadap alam semesta sehingga dari
72
latihan pengorbanan secara bertahap manusia akan menyayangi semua ciptaanNya. 24 Demikianlah Yadnya Sesa hadir sebagai sarana yang memberikan manfaat pendidikan moral dan spiritual. 25 Di dalam kitab Acara Agama Hindu tulisan Gede Pudja disebutkan: Pada umumnya di dalam melaksanakan upacara di dalamnya merupakan perpaduan yang sangat harmonis dari berbagai alat-alat upacara, di antaranya sebagai unsur yang bersifat kompleks, karena hakekatnya telah terpendam di dalam keyakinan, perasaan, pandangan hidup umat Hindu yang sangat bersifat pribadi. Juga di dalamnya menyangkut gejolak alam yang serba fenomena serta mempunyai pengalaman empirisis dari pihak umatnya. Oleh karena itu semua yang ada di dalamnya sebenarnya tergantung dari tingkat perkembangan kebijakan dari pola pemikiran para umatnya, yaitu tercermin dari alam pikiran serta budhi di dalam menghayati berbagai macam benda-benda duniawi yang digunakan sebagai sarananya, dan juga di dalamnya tergantung dari berbagai macam pengertian yang mendalam mulai dari bahasa, warna, benda, gambar, arca, serta diagram tertentu yang akan digunakan. 26 Semua sarana yang dimanfaatkan oleh umat Hindu mengandung suatu rahasia seni yang mengandung kekuatan batin yang mendalam. Itulah sebabnya hal-hal yang berkaitan dengan upacara dan persembahan sering disalahtafsirkan
24
Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm.37-49. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. 25 R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya, (Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11. 26 G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 45.
73
bagi orang yang tidak memahami maknanya. Pemahaman seseorang sering diartikan mengandung mistik yang sifatnya mempunyai muatan negatif, padahal belum tentu demikian. Setiap hal tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. Contoh: sudut pandang seseorang dalam melihat matahari. Matahari bersinar terang menyilaukan mata. Jika seseorang memandang matahari tersebut melalui kacamata hitam (sunglasses), tentu sinar matahari tersebut tampak gelap. Tetapi bukan berarti matahari yang sesungguhnya berwarna demikian. Dalam ajaran Hindu mengenai Raja Yoga juga ditemukan bahwa arti kata mistik itu sebenarnya adalah suatu ajaran untuk memahami rahasia alam yang penuh dengan kegaiban, penuh dengan rahasia. Dengan mendalami rahasia Tuhan yang serba misteri atau gaib itu, barulah seseorang menjadi yakin terhadap Tuhan itu sendiri. Tanpa mengetahui rahasia kekuatan itu, sangat dikhawatirkan seseorang akan menjadi verbalisme atau menjadi seorang penghayat Tuhan yang hanya baru sampai pada tingkatan slogan-slogan saja.27 Pada dasarnya tiada hambatan yang berarti dalam pelaksanaan Yadnya Sesa sehingga dengan melihat menfaat pendidikan moral spiritualnya, Yadnya Sesa masih relevan dengan perkembangan zaman untuk dijadikan sarana pendidikan
umat Hindu.
Adapun mengenai
beraneka
ragam tata
cara
pelaksanaannya tergantung dari bagaimana umat Hindu memaknai Yadnya Sesa tersebut dan bergantung dari segi pengetahuan mereka terhadap ajaran-ajaran agama serta tingkat kesadaran beragama masing-masing individu. 28 Yadnya sesa pada dasarnya merupakan perwujudan dari Bhuta yadnya, artinya pengorbanan 27 28
G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 46-47. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
74
dalam yadnya sesa ini ditujikkan kepada Bhuta (yang termasuk jenis bhuta ialah Genderuwo dan makhluk-makhluk halus lainnya). Hal inilah yang mem bedakan pemgorbanan dalam Hindu dengan perspektif pengorbanan dalan Islam. Karena meskipun umat Hindu mengatakan ritual pengorbanannya ditujukkan kepada satu Tuhan, tetapi harus difahami juga Tuhan dalam perspektif Hindu diarahkan di arahkan pada simbol-simbol yang bisa diterima oleh indra-indra. Mengapa demikian? Karena kehidupan Hindu terkait denga alam sekitarnya sehingga Tuhan diwujudkan dalam simbol-simbol berupa api, air, arca, upacara dan lain-lain. Sehingga tidak heran umayt Hindu dikenal sebagai agama Polyteisma atau non Monoteisme sementara dalam perspektif Islam setiap amal perbuatan ditujukkan kepada satu Tuhan (Monoteisme/Tauhid). Inilah yang membedakan antara agama Hindu dan Islam.
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Upacara Yadnya Sesa yang di dalam agama Hindu adalah upacara simbolik yang tak mendatangkan hasil apa-apa kalau tidak direalisasikan dengan etika sehari-hari dan tanpa dikerjakan dengan penuh hikmat dan makna. Dan kalaulah umat Hindu mengerjakan apa yang diharapkan dari ajaran agamanya pastilah mereka akan selalu hidup dalam kedamaian, ketentraman kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Maka dari itu untuk mempertegas pemahaman mengenai makna Yadnya Sesa, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bahwa salah satu cara untuk dapat memaknai ajaran agama Hindu adalah dengan
pengorbanan
(Yadnya),
yaitu
pengorbanan
yang
harus
dilaksanakan dengan sangat tulus, dan pengorbanan yang dimaksudkan di sini adalah mengorbankan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki seseorang. Di dalam kitab Veda disebutkan pemberian yang sangat tulus adalah salah satu wujud pelaksanaan dharma. Maka barang siapa yang melaksanakan kewajiban hidup berlandaskan dharma, maka dharma itu akan berbalik menjadi suatu kekuatan subha karma (kebajikan) yang akan melindungi dan dalam upacara Yadnya Sesa-lah semua itu dapat terealisasi. Upacara Yadnya Sesa adalah salah satu bentuk Bhuta Yadnya dan manifestasi dari Panca Yadnya yang dilakukan setiap hari (nitya karma) yaitu sehabis memasak di dapur umat Hindu memberikan atau
76
menghaturkan makanan persembahan (banten) sebagai sebuah perwujudan kasih sayang terhadap semua atau sesama makhluk di alam semesta (sarwa prani) dan manifestasi sadhana (bhakti yang terus menerus) kepada Sang Hyang Widhi Wasa menyikapi rasa syukur atas nikmat dan kemurahan rezeki yang diberikan-Nya setiap hari. Terdapat beraneka tata cara pelaksanaan Yadnya Sesa tergantung dari tingkat kesadaran beragama dan tingkat pengetahuan umat Hindu terhadap Yadnya Sesa itu sendiri. Makna yang umum diterima mengenai Yadnya Sesa ialah hadirnya Yadnya Sesa sebagai sadhana spiritual, sebagai sarana penyupatan, sebagai sarana peleburan dosa, dan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan mencapai moksa. 2. Yadnya Sesa yang banyak mengandung makna bagi kehidupan umat Hindu diyakini dapat membimbing umat kepada tumbuhnya jiwa sosial, harmonis dan toleran dalam hidup berdampingan dengan sesama makhluk serta menanamkan rasa kasih sayang dan rasa terima kasih atas anugerah Tuhan, menjadikan upacara Yadnya Sesa ini selalu dilaksanakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai sarana pendidikan moral spiritual. Sehingga apa yang diharapkan dari umat tua Hindu terhadap umat muda Hindu, yakni secara bertahap menghilangkan keterikatan terhadap duniawi dan dapat menumbuhkan serta memperkuat bhakti dan keimanan (sraddha) kepada Sang Hyang Widhi Wasa, dapat diraih dengan melaksanakan
Yadnya
Sesa
sehari-hari,
Terlebih
lagi
dengan
melaksanakan Yadnya Sesa, seseorang belajar mengikis ego dan
77
menyelaraskan antara pikiran, ucapan dan perbuatannya sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha. 3. Yadnya Sesa yang telah mendarah daging dalam diri setiap umat Hindu tidaklah memberi hambatan yang berarti untuk dilakukan setiap harinya meski dikaitkan dengan perkembangan zaman karena pada hakikatnya Yadnya Sesa hanya mampu dijelaskan dengan bahasa hati dan hanya dapat dipahami oleh orang yang melaksanakannya.
B. Saran-Saran Setelah melakukan penelitian terhadap Yadnya Sesa, penulis mengajak berbagai pihak untuk melakukan hal-hal berikut: 1. Kepada berbagai pihak, penulis mengharapkan penelitian bertema Yadnya Sesa tidak berhenti sampai di sini melainkan terus berlanjut untuk menyempurnakannya; 2. Mempelajari agama lain bukan berarti berpindah agama dan melupakan agama yang dianut. Oleh karena itu, hendaknya keingintahuan yang besar pada
diri
setiap
peneliti
yang
mempelajari
agama
lain
dapat
memotivasinya untuk memperluas kajian dan pemahamannnya terhadap agamanya sendiri serta meningkatkan kualitas keimannya kepada Allah swt. Dengan demikian, potensi yang ada pada dirinya sebagai umat beragama dapat terealisasi dan dimaksimalkan dengan layak. 3.
Penelitian terhadap agama lain hendaknya menjadi perekat antara umat agama yang satu dengan umat agama yang lainnya.
78
4.
Jika setiap umat beragama memelihara dirinya untuk senantiasa berdamai dengan aturan-aturan Tuhan, tentu hakikat kebenaran tidak akan menemui perbedaan dan jurang yang memancing perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah sebagai umat yang beragama yang hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya dapat menjaga kerukunan hidup beragama, agar dapat tercipta jiwa-jiwa yang toleran dan harmonis.
79
DAFTAR PUSTAKA Cudamani. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 2002. Departemen Agama RI, Buletin Dakwah Islam Sabilul Mukminin “Tuntunan Rasulullah saw. Ketika Ber-qurban”, (Jakarta: Depag RI, 2007), No. 44, 14-10 Desember 2007, Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia.
Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Kadjeng, I Nyoman Sarasamuccaya. Denpasar: Dharma Nusantara, 1998. Mas, A. A. G. Raka. Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian pada Tata Susila dan Budhi Pekerti Hindu. Surabaya: Paramita, 2003. Mas, A. A. G. Raka. Menjadi Orang Tua Mulia dan Berguna. Surabaya: Paramita, 2002. Mas, A. A. G. Raka. Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia. Surabaya: Paramita, 2002. Mas, A. A. Gede Raka. Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis. Surabaya: Paramita, 2007. Maswinara, I Wayan. Konsep Panca Sraddha. Surabaya: Paramita, 1996. Observasi ke rumah masyarakat Hindu Cinere, Depok tanggal 22 dan 23 Mei 2007.
80
Pandey, R. B. Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya. Surabaya: Mayasari, 1985. Pedanda, Ida. Lontar Tutur Andhabhuwana. Denpasar: Puja Pepada, 1967. Pudja, G. Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 1985. Pudja, G. dan Sudharta, Tjokorda Rai.
Manawa Dharma Sastra. Jakarta: Nitra
Kencana Buana, 2003. Pudja, G. Pengantar Agama Hindu II. Surabaya: Paramita, 1976. Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007. Putra, I. G. Agung. Wraspati Tattwa. Surabaya: Paramita, 1988. Putra, I.G.A. Mas Mt. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1988. Raras, Niken Tambang. Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani. Surabaya: Paramita, 2005. Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija. Edisi revisi. Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt. Sudarsana, I. B. Putu.
Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya.
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001. Sudarsana, I. B. Putu. Tutur Kandapat. Denpasar: Kencana, 1987. Surayin, Ida Ayu Putu. Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna. Surabaya: Paramita, 2002. Titib, I Made. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita, 2006.
81
Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama, terj. Djam’annuri. Jakarta: Raja Grafindo Press, 1994. Yunus, Mahmud H. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
HASIL WAWANCARA Nara sumber
: Drs. A.A. Gede Raka Mas
Jabatan
: Pembina sekaligus Dosen STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma Nusantara
Tempat
: Tempat kediaman A.A Gede Raka Mas
Tanggal
: Cinere, 10 Agustus 2007
P.
:
Apa yang dimaksud dengan Yadnya Sesa?
J.
:
Yang dimaksud Yadnya Sesa adalah semua makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagian di sajikan kepada yang patut diberi sesajian dalam hal ini kepada para dewa. orang yang menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu diharap bebas dari dosa dan kesalahan hal ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan ngejot dalam bahasa Bali artinya adalah Yadnya Sesa. Juga artinya dapat dikatakan di dalam bahasa agama dia melakukan Tarpana Yadnya. Seorang kepala rumah tangga begitu selesai menanak maka orang itu dianggap tidak dosa atau dipersilahkan karena berbuat dosa, maka itu orang yang menanak nasi untuk dirinya sendiri tanpa melakukan ngejot yadnya sesa itulah yang bersalah. Jadi kesimpulan bagi umat Hindu siapa dia dimanapun dia begitu keluarga itu habis memasak dia menghaturkan Yadnya Sesa maka dia menghaturkan yang namanya Yadnya Sesa atau Ngejot.
P.
:
Apa fungsi dan tujuan dari pada Yadnya Sesa?
J.
: Tujuanya adalah latihan spiritual tahap petama menuju Sadhana atau bakti kepada Tuhan Sang Hyang Widi Wasa. Tujuan berikutnya adalah untuk mencapai moksa. Jadi ini merupakan salah satu yadnya, memang sulit diterjemahkan secara logika dengan kata-kata sebab ia upacara yadnya kaitannya dengan perasaan. Orang yang melaksanakan yadnya dengan tulus ikhlas terbetik perasaan bahagia di hatinya, meskipun ia belum mengerti hakekat makna yadnya tersebut. Kebahagiaan pada waktu mempersembahkan yadnya adalah tujuan utama para bakti atau margi itu. Jadi kesimpulan adalah hakekat yadnya itu hanya bisa diungkapkan dan diterjemahkan dengan bahasa hati.
P.
:
Bagaimana cara pelaksanaannya dan dimana pula tempat pelaksanaannya?
J.
:
Ketika seorang ibu atau kepala rumah tangga maka untuk membuat Yadnya Sesa dipersiapkanlah, sangat sederhana mengambil daun pisang
sekali
dengan
atau pada zaman modern ini sangat sulit
mendapatkan daun pisang maka diambil kertas yang bersih atau kertas yang untuk nasi bungkus, kemudian kertas itu dipotong-potong dibagi menjadi misalnya tergantung pada rumah tangga orang itu kalau rumah tangganya besar jadi bangunannya luas dan sebagainya maka mereka akan membuat Yadnya Sesa itu bisa lima belas, bisa dua puluh bahkan
mungkin lima puluh. Saya pernah dengar ada di Bali itu rumah tangganya luas sekali maka ada sampai Yadnya Sesanya itu seratus lima puluh. Jadi kertas atau daun dipotong kecil-kecil katakanlah ukuran 4 x 4 cm lalu daun atau kertas itu diisi makanan yang di masak ibu rumah tangga itu, unsur yang pertama adalah nasi, jadi diisi nasi sedikit ukuran sedikit minimal 2 cm ditaruh di situ kemudian diisi garam, diisi lauk-pauk yang dimasak oleh ibu, pokoknya semua sedikit-sedikit itu hanya simbol saja. Ini sudah merupakan namanya Yadnya Sesa. Tapi yang jelas jangan dilupakan kalau pada waktu membuat itu dasarnya adalah tulus ikhlas dan kebahagiaan, tidak ada paksaan dan sebagainya semua ini dasarnya adalah kesadaran baik kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah diisi lalu Yadnya Sesa ini ditaruh atau ditempatkan pada tempat-tempat yang menurut umat Hindu itu adalah merupakan komponen-komponen yang sangat penting di dalam rumah tangga itu. Contohnya ditempatkan pertama karena dia masak di dapur maka pasti di dekat kompor. Yang kedua di tempat beras
yang sekarang pada zaman modern disebut sebagai
kosmos, sesudah itu di tempat air, sesudah itu di tempat-tempat yang penting-penting lagi misalnya di sumur atau di pompa air kemudian di tempat persembahyangan bagi umat Hindu bagi yang mempunyai tempat persembahyangan. Kemudian di tempat cucian kemudian pada waktu orang masuk ke rumah itu maka ditaruh di depan rumah itu. Kemudian di tempat-tempat lain bahkan mungkin kurang penting tapi
bagi umat Hindu itu penting, misalnya di got. Jadi kesimpulannya bahwa banyak sedikitnya Yadnya Sesa yang dibuat itu adalah tergantung pada luas tidaknya rumah itu karena itu menyangkut tempat-tempat yang dianggap penting atau perlu dibuat Yadnya Sesa. Jadi dasar pemikiran atau alasan karena tempat-tempat itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Hindu yang ada di rumah tangga itu. Jadi kesimpulannya adalah umat Hindu itu tidak melupakan tempat-tempat yang penting itu, itu secara filosofis. Jadi kegunaan atau manfaat praktis dengan melaksanakan Yadnya Yesa di tempat-tempat yang penting itu kita tahu bahwa pekarangan kita itu apakah sudah bersih, di tempat cucian itu apakah tidak licin, di tempat comberan itu apakah tidak terjadi kemampetan air, di tempat beras itu, apakah berasnya masih ada apa tidak, di tempat air apakah airnya masih bersih apa kotor. Jadi sebetulnya
kegunaan praktis itu
bermanfaat bagi kehidupan manusia yang ada didalam rumah tangga itu dengan adanya Yadnya Sesa itu ada dua tahap yang dicapai pertama tahap filosofis yaitu kepadaTuhan dan yang kedua kepada lingkungan. Lingkungan ini sangat luas sekali karena Yadnya Sesa dapat dimanfaatkan begitu ditaruh Yadnya Sesa itu maka kemungkinan burung yang akan makan atau semut atau ayam atau apa saja, dengan demikian maka sebetulnya filosofis dari Yadnya Sesa ini kaitannya juga lekat dengan namanya Tri Hitakarana ialah manusia tidak bisa
lepas mengadakan hubungan harmonis dengan tuhan, manusia dan lingkungan atau makhluk-makhluk yang menjadi ciptaan Tuhan.
P.
:
Apa yang dimaksud dengan Catur Asrama?
J.
:
Catur Asrama adalah salah satu konsep hidup umat Hindu. Catur berarti empat dan Asrama artinya usaha orang. Jadi secara sistematik kalau kita cari artinya atau maknanya Catur Asrama artinya 4 tahapan hidup
manusia
yaitu
Brahmacaria
Asrama,
Grhasta
Asrama,
Wanaprasta asrama,dan Snyasa Asrama. Pengertiannya adalah sebagai berikut Brahmacaria Asrama pada tingkat ini yang menjadi prioritas utama adalah dharma walaupun demikian masalah artha, kama dan moksa tetap menjadi tujuan hidup. Dharma sebagai prioritas utama karena adanya keterbatasan manusia itu. Yang dimaksud Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Dalam tahapan hidup ini yang menjadi prioritas utama adalah artha dan kama. Karena tanpa artha dan kama maka rumah tangga akan tidak mungkin tercapai jika prioritas artha dan kama tidak mendapat perhatian yang sebaikbaiknya. jadi pada kesempatan inilah yang namanya anggota rumah tangga yang sudah berkeluarga itu hrs melengkapi dirinya dengan artha dan kama. Artha artinya mencari kekayaan atau kebendaan dan kama artinya memenuhi segala kesenangan, kebahagiaan atau yang namanya hawa nafsu
dan sebagainya,
sedangkan
yang ketiga
disebut
Wanaprasta adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan
keduniawian.
Orang
yang
sudah
siap
melepaskan
kehidupan
keduniawian maka dia pergi ke hutan maka itu disebut Wanaprasta. Dalam kehidupan sekarang pengertiannya tidak harus pergi ke hutan tetapi dia berdikit-dikit melepaskan keduniawiannya. Di dalam kedua tingkatan hidup ini terutama yang Snyasa yang sudah merupakan tingkatan yang terakhir prioritas utama adalah mencapai moksa yaitu bersatunya atma dengan Brahman artinya manusia mempunyai tujuan yang tertinggi didalam kehidupan yaitu adalah untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi di akhirat.
P.
:
Kenapa Yadnya Sesa berhubungan dengan Catur Asrama?
J.
:
Jelas sekali Yadnya Sesa ada hubungannya dengan Catur Asrama karena salah satu Catur Asrama itu yang pertama Brahmacaria Asrama di sana mementingkan Dharma jadi kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan oleh adanya kehidupan Dharma jadi kerohanian . Yang kedua adalah Gryhasta asrama adalah hidup berkeluarga jadi didalam berkeluarga walaupun manusia itu diperkenankan untuk menjadi kaya, untuk menjadi senang dan sebagainya tetapi tidak boleh melepaskan diri dari dasar Dharma, jadi dasar
kerohanian yang sangat tinggi
nilainya yaitu secara filosofis tidak melupakan ajaran-ajaran tinggi dari pada tuhan itu. Karena manusia di dunia ini tidak semata-mata memenuhi hawa nafsu, mencari kekayaan, pangkat dan sebagainya tetapi tujuan akhirnya adalah moksa. Dengan demikian maka Yadnya
Sesa yang mempunyai nilai filosofis dan mempunyai nilai praktis maka jelas sekali bahwa Yadnya Sesa itu merupakan bagian kecil dari pada Catur Asrama itu, namun demikian Yadnya Sesa itu tidak bisa dilepaskan dari Catur Asrama, karena dengan mengadakan Yadnya Sesa manusia menjadi puas mengadakan hubungan harmonis dengan tuhan, manusia dan lingkungan dan sebagainya. Jadi secara singkat jelas sekali Yadnya Sesa, bahwa Yadnya Sesa yang merupakan suatu yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah berkaitan erat dengan Catur Asrama, yang merupakan tahap kehidupan manusia.
P
:
Apa makna dari Yadnya Sesa ?
J.
:
Maknanya pertama adalah mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memberikan kita makan dan sebagainya, didalam hal ini maka siapapun dia terutama umat Hindu harus mengucapkan terima kasih terhadap apa yang dia makan, karena kalau kita tidak mengadakan Yadnya Sesa dikatakan didalam Bhagawad Gita itu adalah manusia yang dosa atau sebagai pencuri karena secara logika ini adalah filosofis, tetapi secara logika dan praktis itu benar sekali, karena kalau kita kaji baik secara ilmiah atau spiritual bahwa tidak ada satu manusia yang lahir ke dunia ini membawa air, api, beras dan sebagainya. Semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dan bahkan dalam Weda jelas sekali siapapun dia terutama umat Hindu harus
mengucapkan terima kasih kepada kebaikan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa.