ANTARA MEMBINA DAN MEMPERBANYAK UMAT: POLA PENYIARAN AGAMA HINDU DAN ISLAM DI KOTA MATARAM* Fawaizul Umam** Abstrak Potensi konflik dari aktivitas penyiaran agama dapat ditelusuri melalui pengarifan kritis atas dua aspek pola penyiaran itu sendiri, teknis dan substantif. Aspek teknis menunjuk pada (1) strategi, (2) metode, (3) materi, dan (4) model forum, sedangkan aspek substantif menegaskan pada (1) rumusan pengertian penyiaran menurut para pegiatnya, (2) motivasi mereka menjadi juru siar agama, dan (3) tujuan atau target penyiaran agama yang mereka lakukan. Berdasar penyisiran atas persepsi dan praktik penyiaran para juru siar Hindu (dharma duta) dan Islam (da’i) di kota Mataram terjumpai fakta bahwa terdapat persamaan terutama pada aspek teknis dan juga perbedaan teristimewa pada sisi substantif. Karena pada aspek substantif, perbedaan itu mendasar, yakni menyangkut paradigma penyiaran. Islam menumpukan paradigmanya pada trend eksklusivisme, yang mana dalam batas-batas tertentu juga inklusivisme. Sementara, paradigma penyiaran Hindu berkecenderungan pluralism, yang mana dalam beberapa hal mengarah pada trend paralelisme dan bahkan partikularisme. Diferensi tersebut cukup untuk menyimpulkan bahwa penyiaran agama berpotensi memicu benturan antarumat. Oleh sebab itu, dalam kerangka early warning system, studi ini merekomendasikan perlunya revitalisasi dialog dan kerjasama antaragama, guna sekurangnyakurangnya, meminimalisasi kesalahpahaman yang bisa menyebabkan disintegrasi sosial antarumat, khususnya Hindu dan Muslim di kota Mataram. Dengan demikian, penelitian ini tentu penting, terutama sebagai pertimbangan informatif bagi penyusunan peta penyiaran agama sekaligus penciptaan hubungan produktif antarkedua umat. Juga, bagi berbagai pihak yang concern pada agenda pluralisme agama, termasuk para penentu kebijakan dalam merumuskan aneka kebijakan publik yang tidak diskriminatif dan berempati pada pluralitas.
Kata Kunci: penyiaran agama, tipologi, paradigma, pembinaan umat, penyebaran agama, Hindu, Islam. Versi artikel dari hasil penelitian individual berjudul sama yang dilakukan penulis pada 2004. Sejumlah perubahan dan penyempurnaan data dilakukan untuk menyesuaikan dengan konteks Kota Mataram hari ini. Hasil penelitian ini pernah dipresen\]asikan pada Temu Riset Keagamaan Tingkat Nasional V Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Jakarta di Mataram, 26-29 Juni 2007. ** Dosen Filsafat Agama pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram. *
79
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
A. Pendahuluan Agama sebagai suatu sistem keyakinan, dalam banyak hal cenderung berpotensi menciptakan dan memperbesar konflik sosial antarumat beragama. Tesis ini bukan tanpa alasan: betapa sepanjang sejarah manusia agama kerap terlibat, langsung maupun tidak dalam berbagai konflik di seantero belahan dunia. Dalam banyak kasus pertikaian, kendati agama bukan kausa tunggal, tapi jelas pertimbangan keagamaan selalu ada dan eskalasinya teramat signifikan sehingga sebagian kalangan menganggap agama kini kian kehilangan relevansi sosialnya. Bila dirunut, sebenarnya ironi sosiologis dari agama-agama (tak terkecuali Islam) terutama berhulu pada soal ketidakmampuan umat untuk “menahan diri dalam beragama”, termasuk dalam menghayati idea “penyiaran agama” beserta beragam bentuk eksternalisasiaktualisasinya. Kendati bentuk eksternalisasinya pada masing-masing agama tampil dengan kadar yang berbeda-beda, itu sudah cukup reasonable untuk bersimpulan bahwa pola penghayatan atasnya potensial melahirkan benturan antarumat beragama di level praksis. Demikian pula halnya di Kota Mataram, potensi benturan antarumat tidaklah kecil. Terlebih preseden historisnya ada.1 Mungkin tak ada yang secara langsung akibat dari polapola penyiaran agama,2 tapi meningkatnya kebutuhan untuk saling mengidentifikasi diri ke dalam identitas sosial, termasuk agama tertentu telah memperbesar eskalasi konflik atas dasar sentimen agama. Itulah mengapa kegiatan penyiaran agama dan probabilitas eksesnya penting diarifi. Salah satu langkah terpenting di level paling awal adalah memahami polapolanya, menyangkut paradigma dan strategi penyiaran yang dikembangkan kedua agama, Hindu dan Islam, di tengah masyarakat Kota Mataram yang heterogen secara agama. Penyandingan komparatif Hindu dan Islam sendiri menarik, teristimewa bila mendudukkan pola strategis penyiaran agama keduanya sebagai unit of analysis, mengingat postulat umum (sesuatu yang sebenarnya masih debatable) bahwa Islam itu agama dakwah dalam pengertian misiologis, sedangkan Hindu tidak. Selain itu, untuk konteks Kota Mataram, membandingkan Hindu dengan Islam lebih memiliki koherensi logis terutama 1Sekadar menunjuk, pertikaian antara etnis Samawa (Muslim) dan Bali (Hindu) tahun 1980 yang berlanjut menjadi perselisihan historis keduanya di kampung Taliwang Cakranegara, konflik masyarakat Muslim Sasak (desa Kediri) dengan Hindu Bali (desa Jagerage) pada 1990-an, rusuh yang berujung pembakaran rumah ibadah di Mataram pada 17 Januari 2000, dan pertikaian antarkampung, Karang Tapen (Muslim) dengan Karang Lelede (Hindu) yang terus berulang. 2Terma ‘penyiaran agama’ adalah istilah formal yang galib digunakan dengan makna “penyebaran agama keluar umat agama bersangkutan” oleh hampir seluruh aturan terkait, seperti SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 01/Ber/Mdn-Mag/1969, Keputusan Menteri Agama Nomor 70/1978, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1979, Surat Edaran Menteri Agama No. 432/MA/1981, dan Undang-Undang Nomor 1/1985. Dalam penelitian ini, ia dimaknai juga sebagai “penyebaran agama di kalangan internal umat bersangkutan” seperti pengajaran, pengajian, dan sejenisnya.
80
mengingat keduanya adalah agama mayoritas, paling banyak dianut masyarakat.3 Seluruh kuriositas komparatif itu selanjutnya diarahkan pada pada upaya menjawab tiga masalah pokok, yakni menyangkut (1) pola penyiaran agama yang dikembangkan Hindu dan Islam di Kota Mataram; (2) seputar persamaan dan perbedaan antarpola penyiaran keduanya; (3) pemaknaan tipologi penyiaran keduanya dalam perspektif paradigma keagamaan. Di keseluruhan konteks itulah penelitian ini meletakkan relevansi dan siginifikansi ilmiahnya dalam domain dakwah dan hubungan antarumat beragama, khususnya di kota ini. Sejauh ini memang sudah cukup banyak studi komparatif antaragama (the comparative study of religions), baik menyangkut teks ajaran maupun konteks sosio-historisnya, tak terkecuali antara Hindu dan Islam―meski tak sesemarak studi banding Kristen dengan Islam. Namun, nyaris tak ada yang mencoba membandingkan keduanya dengan fokus pola penyiaran. Beberapa karya terkait lebih banyak fokus pada hubungan antarkeduanya dan kemungkinan mempertemukannya pada satu titik empatik di ranah sosial-budaya,4 misalnya melalui dialog antarkedua agama.5 Beberapa studi bersifat teoretis (library studies), dalam bentuk kajian teks dan kritik konteks kesejarahan.6 Apa yang muncul sejauh ini kebanyakan masih berkutat pada pemetaan potensi konflik dan rekomendasi-rekomendasi untuk mengantisipasi atau meredamnya, baik yang
3Hingga tahun 2012, jumlah penduduk Kota Mataram terhitung total 413.210 jiwa. Dari total jumlah penduduk itu, Islam mencatatkan diri sebagai agama dengan kepemelukan mayoritas, yakni 88 % (388,898 orang pemeluk), diikuti agama Hindu dengan tingkat keterpelukan mencapai 10 % (68,242 orang pemeluk), dan disusul berturut-turut Kristen dan Katholik dengan total pemeluk 18,017 jiwa dengan prosentase masing-masing 1 % dari total penduduk, sedangkan Buddha dan juga Khonghucu yang diyakini oleh 7,653 orang berada di urutan minoritas dari sisi prosentase kepemelukan, yakni tidak sampai 1 % dari total penduduk. Konsentrasi tertinggi tingkat kepemelukan Islam berada di Kecamatan Mataram dengan jumlah pemeluk 75.293 orang, sedangkan konsentrasi terendah berada di Kecamatan Sekarbela, yakni 49,629 pemeluk. Adapun Hindu, sebagai agama mayoritas kedua, konsentrasi kepemelukannya terbanyak berpusat di Kecamatan Cakranegara, yakni tercatat 20,020 orang, sedangkan tingkat kepemelukan terendahnya—sebagaimana Islam—juga berada di Kecamatan Sekarbela, yaitu hanya 2,570 pemeluk. Lihat Tabel 4.3.4: “Penduduk Dirinci Menurut Agama dan Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2012”, dalam BPS Kota Mataram, Mataram Dalam Angka 2013 (Mataram: BPS Kota Mataram, 2013), 200. Posisi faktual Islam sebagai agama anutan mayoritas itu berbanding lurus dengan jumlah total rumah ibadah di Kota Mataram. Hingga tahun 2012, tercatat total ada 1177 buah tempat ibadah kaum Muslim di kota ini, terdiri dari 244 mesjid dan 933 buah musala. Berbeda jauh dengan jumlah tempat ibadah umat Hindu yang notabene kelompok pemeluk agama mayoritas kedua, tercatat hanya ada 183 buah pura yang mereka miliki. Lebih sedikit lagi tempat ibadah yang dimiliki umat Kristiani, Kristen dan Katholik, yakni hanya memiliki total 16 gereja. Demikian juga umat Buddha dan Khonghucu. Sebagai kelompok pemeluk agama minoritas, mereka hanya memiliki total 10 buah wihara atau kelenteng di seantero kota. Lihat Tabel 4.3.1: “Jumlah Sarana Peribadatan Dirinci per Kecamatan Tahun 2012”, dalam ibid., 197. Berdasar ajuan data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua agama yang berpengaruh besar dalam dinamika kehidupan sosial-keberagamaan di kota Mataram, yakni Islam dan Hindu. Kenyataan faktual tersebut meneguhkan koherensi logis mengapa studi ini memperhadapkan Islam vis-à-vis Hindu. 4Lihat A.A. Bagus Wirawan, “Akulturasi Islam-Hindu di Bali: Tinjauan Historis,” dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa.Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996. 5Misalnya, Ngakan Made Madrasuta, Hindu di Antara Agama-agama.Denpasar: Upada Sastra, 1998. 6Tunjuk misal, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro.Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
ilmiah-sistematis maupun yang terjatuh pada gaya sloganistik-propagandistik.7 Nyaris tak ada yang secara serius menyorot akar kausal dari kenyatan-kenyataan destruktif atau konstruktif dari relasi keagamaan antarumat, termasuk Hindu dan Muslim8―yang dalam penelitian di sini justru diasumsikan menunjuk antara lain pada pola strategis penyiaran yang dikembangkan kedua agama. Dengan begitu jelas di mana state of affairs penelitian ini di antara kajian-kajian terdahulu (prior researches on topic). Terlebih dengan pilihan kota Mataram sebagai setting dan pola penyiaran sebagai fokus, penelitian ini bisa dibilang sebagai penelitian eksploratif. Penelitian ini sendiri dijalankan dengan suatu prasangka teoretik bahwa agama sebagai bagian dari anasir budaya yang amat determinan dalam proses-proses sosial membuat apa yang disebut konflik agama selalu me-latent.9 Salah satu kausa utamanya adalah strategi penyiaran agama. Besaran konflik yang ditimbulkan berkait erat dengan paradigma sekaligus strategi dari penyiaran agama itu sendiri. Paradigma mengerangkai pola penyiaran sekaligus menuntun penentuan strateginya di tingkat praksis.10 Sedang strategi bermakna upaya sistematis untuk mencapai tujuan―senafas dengan paradigma yang dikembangkan. Dalam konteks penyiaran agama, ia berlandas-tumpu pada konsistensi dalam memperhitungkan empat aspek,11 yakni
(1)
kekuatan (strength) yang potensial mewujudkan tujuan; (2) kelemahan (weakness) yang berpotensi menghambat; (3) peluang (opportunity) yang dapat dimanfaatkan demi pencapaian tujuan; (4) ancaman (threats) dari sisi eksternal yang harus disikapi agar tak menghalangi
7Misalnya,
Mustain, Hubungan Muslim-Hindu di Kota Mataram (Kajian terhadap Potensi Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antaragama), Laporan Penelitian (P3M STAIN Mataram, 2003); juga Djalaluddin Arzaki, et. al., Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal: Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat (Sebuah Kajian Anthropologis-Sosiologis-Agamis)Mataram: Pokja Redam NTB, 2001. 8Satu karya yang bisa dibilang relatif serius melakukannya adalah karya Suprapto, Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Integrasi, Kontestasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim.Jakarta: Prenada Kencana, 2013. Namun, Suprapto sama sekali abai terhadap probabilitas pola penyiara agama sebagai salah satu akar kausal konflik antar umat yang paling potensial. 9Lihat Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization?” dalam Foreign Affairs (Summer, 1993): hlm.22-49. 10Makna operasional paradigma (paradigm) di sini mengutip pemerian Kuhn yang mendefinsikannya sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang digunakan oleh suatu nilai atau tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial guna memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma, kata Kuhn, terletak pada kemampuannya membentuk apa yang dilihat, bagaimana cara melihat, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang bermanfaat untuk dipecahkan, dan apa metode yang sepatutnya dipakai dalam meneliti dan berbuat. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions – Internatonal Encyclopedia of Unified Science, Vol. 2, Nr. 2 Chicago: the University of Chicago Press, 1970, hlm. 43-51. 11Rafiuddin dan Maman Abdul Djalil, Prinsip dan Strategi Dakwah.Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm.77.
82
pencapaiannya. Lalu, strategi itu dikonkretkan dalam bentuk perencanaan operasional agar semua kebijaksanaan, prosedur, dan program mendukung pencapaian tujuan.12 Secara teoretik, strategi penyiaran agama secara umum dapat diidentifikasi minimal pada dua,13 yakni pertama, strategi persuasif (persuasive strategy). Dijalankan untuk membentu opini masyarakat dengan cara lisan maupun tulisan, yang dalam perspektif komunikasi massa tak beda jauh dengan propaganda; dan kedua, strategi normatif-reedukatif (normativereeducative strategy). Seluruh norma sosial dipahami sebagai hasil elaboratif dari ajaran agama yang termasyarakatkan via pendidikan. Karena itu, strategi ini lazim disandingkan dengan upaya pendidikan-ulang (reeducating) untuk mengganti norma dan paradigma berpikir masyarakat dari yang lama ke yang baru. Kemudian, berdasar rangka pikir itu dilakukan tipefikasi, penentuan tipologi, atas strategi penyiaran agama Hindu dan Islam berdasar lima trend penghayatan dan ekspresi religius yang berkembang dalam studi-studi keagamaan (study of religions) mutakhir, yakni eksklusivisme, inklusivisme, paralelisme, pluralisme, dan partikularisme.14 Penetapan kelimanya secara paradigmatik disandarkan pada tiga fenomena kontemporer prilaku keberagamaan, yaitu fundamentalisme, relativisme, dan rasionalisme.15 Tipologisasi ini dikenakan sebagai perspektif teoretik untuk mengidentifikasi pola-pola penyiaran agama yang dilangsungkan Hindu dan Islam di Kota Mataram. Dengan mendudukkan “strategi penyiaran agama Hindu dan Islam” sebagai subject matter,
penelitian
kancah
ini
mematok
penghampiran
kualitatif
dengan
spirit
fenomenologis.16 Data utamanya adalah aneka persepsi seputar strategi penyiaran yang dipikirkan, dikembangkan, dan diterapkan oleh kedua agama di Kota Mataram. Digali lewat wawancara semi-terstruktur dari informan yang dipilih secara purposif. Terutama untuk
12Lihat seutuhnya Harold Koontz dan Heinz Weihwrich, Essentials of Management .Singapore: McGrawHillbook C, 1990. 13Dihimpun dan dielaborasi lebih lanjut dari ajuan beberapa sumber, seperti J.A.C. Brown, “Propaganda and Communications,” dalam Creating Social Change (?, ?): 360-70; dan Torgny T. Segerstedt, The Nature of Social Reality.Stockholm: Svenska Bokforlaget, 1966, hlm.105. 14Pemerian ini disandarkan pada dua sumber. Tiga pertama pada Raimundo Panikkar, Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo.Jogjakarta: Kanisius, 1994, hlm. 18-24; dua yang terakhir pada Terrence W. Tilley, Postmodern Theologies and Religious Diversity.Maryknoll, New York: Orbis Book, 1996, hlm. 158. 15Ernest Gellner, Postmodernism, Reason, and Religion.London: Routledge, 1993, hlm. viii. 16Inspirasi ditimba dari Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis,” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Jogjakarta: LKíS, 2002): 105-46; Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, terj. Kelompok Studi Agama “Driyarkara”.Jogjakarta: Kanisius, 1995, hlm.21-43.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
kepentingan rujuk silang, data terkait juga dihimpun dari teks keagamaan, termasuk data statistik, via metode dokumentasi. Data terhimpun lalu dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan logika induktifabstraktif. Secara khusus, constant comparative analysis diterapkan saat membandingkan strategi penyiaran kedua agama yang hasilnya dijadikan dasar menentukan tipologi masingmasing. Sedangkan untuk memvalidasi data dilakukan tiga cara, yakni triangulasi, kecukupan referensial, dan pengayaan dengan sejawat. B. Relasi Antarumat Kerusuhan 17 Januari 2000 di kota Mataram tempo dulu menegaskan betapa agama tak melulu berwajah protagonistik, tapi juga antagonistik. Jadi, potensi benturan antaragama, terkhusus Hindu dan Islam, sangat mungkin hanya masalah waktu, soal momentum. Ini tak berlebihan demi mengingat sejarah panjang relasi keduanya yang penuh kontradiksi di era Mataram tempo dulu. Agama Hindu merambah Mataram seiring kehadiran para imigran Bali (terutama dari Karangasem) sejak awal abad XVII ke wilayah barat pulau Lombok yang secara geografis terletak jauh dari dua pusat kerajaan Sasak Islam, yaitu Kerajaan Pejanggik di pedalaman Lombok Tengah dan Kerajaan Selaparang di Kayangan Lombok Timur. Mula-mula mereka datang guna membuka lahan untuk pertanian dan permukiman,17 lalu, beralih untuk penguasaan, terutama sejak 1720 ketika mereka kian memantapkan posisi menjadi kerajaankerajaan kecil di wilayah barat Lombok, tepatnya di Mataram.18 Kekuasaan mereka kian kuat terlebih setelah kerajaan Hindu Karangasem Bali berhasil menamatkan kerajaankerajaan Islam Lombok, terutama Pejanggik dan Selaparang. Pengaruh Hindu pun semakin mengokoh di Mataram saat mana Islam masih terkonsentrasi di wilayah kerajaan Selaparang (Lombok Timur) dan Pejanggik (Lombok Tengah). Itulah mengapa pengaruh terbesar dari kehadiran Hindu Bali terhadap budaya dan keberagamaan orang Sasak terjadi terutama di kawasan Lombok belahan barat, termasuk Mataram.19 Itu membuat Islam, sebagai agama yang masuk belakangan, sedikit-banyak tak bisa melepas diri dari anasir Hindu yang lebih dulu mengurat-akar dalam kesadaran masyarakat. Dakwah islâmiyah yang lebih intensif ke Mataram baru berlangsung abad 17Fath.
Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Sumur Mas Al-Hamidy, 1998), 17. Anak Agung Ktut Agung, Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) (t.tp.: Upada sastra, 1991), 93, 95-6. 19Bdk. John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyidi (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 96, termasuk di note 10 halaman yang sama. 18Lihat
84
XVIII, empat abad setelah Islam masuk Lombok. Pengaruh Hindu pun perlahan melemah―meski bukan berarti habis. Hari ini, relasi kedua umat di kota Mataram relatif protagonistik, tapi bukan berarti potensi antagonistik tak ada, apalagi konflik antarkeduanya bukan tidak pernah ada. Secara umum, relasi keduanya berlangsung “lazim”; tidak konfrontatif, tapi tak juga sangat rukuninteraktif. Hal ini diakui para informan dengan pembacaan yang variatif. Soal strategi penyiaran yang aktif dilangsungkan keduanya secara umum tidak mereka lihat sebagai pemantik potensial konflik meski secara eksplisit, terutama informan Hindu, cenderung mencemaskannya. C. Strategi Penyiaran dalam Bandingan Pengertian. Mengutip Keputusan Menteri Agama RI No. 84/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat, penyiaran agama adalah penyiaran yang dilakukan secara lisan maupun tulisan, melalui media cetak maupun elektronik dan media lain sejenisnya. Bagi pemerintah, ia berpotensi memicu kerawanan di bidang kerukunan umat beragama, lebih-lebih penyiaran yang ditujukan kepada penganut agama lain. Karena itu, pemerintah menganggapnya perlu diatur. Definisi semacam itu relatif senafas dengan pemaknaan para pelaku penyiaran agama Hindu dan Islam di kota Mataram,20 tentu dengan nomenklatur berbeda. Dalam Islam, aktivitas penyiaran galib disebut da‘wah, atau tabligh dalam pengetian lebih teknis, dan pelakunya disebut da’i (al-dâ‘îy, dâ‘i) atau muballigh. Terma da‘wah21 dilekati dengan makna yang cenderung kenyal terutama ketika dibawa ke tingkat praksis. Umumnya dipahami sebagai ajakan moral untuk mencintai kebaikan dan membenci keburukan yang secara sloganistik kerap diringkas dengan slogan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
20Jumlah juru siar di kota Mataram cukup banyak. Sebagai agama mayoritas, tentu lebih banyak di Islam, terlebih persyaratan “formal” untuk jadi juru siar di Islam cenderung lebih longgar tinimbang di Hindu. Merujuk data emis Kemenag Provinsi NTB 2009, tercatat total 1220 orang pegiat dakwah, terdiri dari 732 khatib dan 488 da‘i atau da‘iyah (muballigh atau muballighah), yang beroperasi di Kota Mataram. Aktivitas dakwah mereka disokong penuh, langsung maupun tak langsung, oleh keberadaan para tokoh agama yang dalam identifikasi Kemenag Provinsi NTB terdapat lebih dari seribuan di kota ini. Sementara di Hindu tercatat 34 pedanda (pendeta) untuk seluruh NTB, sebelas di antaranya terpilih duduk di Paruman atau Sabha Pandita―semacam forum musyawarah para pedanda terkemuka. Itu pun tak semuanya berlaku sebagai dharma duta; kebanyakan hanya muput upacara. Data dihimpun dari seorang penyuluh Hindu Departemen Agama Kota Mataram. Wawancara, 10 September 2004. 21Secara etimologis, kata da‘wah berasal dari bahasa Arab, ism mashdar, yang berarti ajakan, seruan, atau panggilan. Berakar-kata da‘â (fi‘il madlî), yang berarti nâdâh (menyeru atau memanggil). Penyandaran katanya bisa berpangkal pada da‘â – yad‘û – du‘â-an – wa da‘wâ; atau da‘â – yad‘û – da‘watan.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
‘menganjurkan kebaikan dan mencegah keburukan’. Hanya, dalam pengenaan lebih teknis, ia acapkali mengalami penyempitan makna, sebatas aktivitas formal berbentuk ceramah bergaya “tawshiyah” di forum-forum keagamaan semisal tabligh akbar, pengajian umum, dan semacamnya. Sementara dalam Hindu, dharma adalah sebutan yang kurang lebih semakna dengan pengertian dakwah secara umum, yakni suatu permakluman moral untuk mencintai kebaikan atau kebenaran. Para informan Hindu bertutur, dharma secara etimologis mengandung arti kebenaran, kebajikan, hukum, dan kewajiban. Dalam konteks pembinaan umat, ia diejawantahkan secara sistematis ke dalam berbagai cara guna mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) dan moksa (kebahagiaan rohani), yakni kebahagiaan sejati di mana atman dan paramatman menyatu.22 Secara metodis, dharma mewujud ke dalam beberapa bentuk dengan pola, tujuan, dan materi yang berbeda.23 Pertama, dharma gita atau nyanyian keagamaan yang bila dirangkai sebagai pengiring dalam upacara disebut dharma gita anjali atau gitanjali. Materinya dinukil dari kitab suci maupun sastra keagamaan. Kedua, dharma tula, berdiskusi atau temu wicara tentang seluk-beluk ajaran Hindu. Lazim dilakukan terkait dharma gita. Ketiga, dharma yatra, yakni upaya meningkatkan pemahaman dan pegamalan ajaran melalui persembahyangan ke tempat-tempat suci (patirthan). Keempat, dharma sadhana, yaitu realisasi ajaran dalam diri seseorang. Dilaksanakan lewat catur marga yoga, yaitu bhakti, karma, jnana, dan raja atau yoga marga. Kelima, dharma santi, yakni pertemuan untuk saling memaafkan antarsesama. Umumnya berlangsung saat menyambut Tahun Baru Saka (hari raya Nyepi) di Bulan Chaitra setiap tahun sekali. Kemudian, terakhir, keenam, dharma wacana. Suatu cara metodis penerangan ajaran Hindu di hadapan umat yang dilangsungkan pada setiap kesempatan dalam kegiatan keagamaan. Dulu akrab disebut upanisada atau upanisad yang mengandung arti dan isi yang bersifat rahasyapadesadan dan merupakan bagian dari kitab Sruti. Kini, istilah dharma wacana dimaknai sebagai metode penerangan Hindu (semacam khutbah atau ceramah agama di Islam) yang diberikan kepada umat sesuai dengan sifat, tema, dan jenis acara keagamaan yang diselenggarakan menurut desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan). Tujuannya 22Lihat I.B. Suandha Wesnawa, dkk, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia (Denpasar: Upada Sastra, 1988 [?]), 4. 23Ibid., 16-23.
86
untuk meningkatkan pengetahuan dan pengamalan keagamaan umat. Materi yang disampaikan umumnya meliputi seluruh aspek ajaran, yang terklasifikasi pada empat, yaitu weda, sradha, susila, dan acara agama. Adapun pegiatnya dalam tradisi Hindu biasa disebut dharma duta atau dharma pracaraka. Para dharma duta (informan) umumnya mengajukan pengertian dharma wacana sedemikian untuk menunjuk apa yang dalam studi ini dikategorikan sebagai penyiaran agama. Selanjutnya, pemaknaan dharma wacana sedemikian dipilih sebagai terma teknis yang semau dengan istilah penyiaran agama atau “dakwah” (baca: ceramah atau pengajian agama) dalam Islam. Motivasi, Tujuan. Nyaris senafas, begitulah motivasi para informan menjalani peran sebagai “juru pemberi kabar gembira dan peringatan”. Umumnya bertolak dari keprihatian atas kenyataan sosial yang kian menepikan kemanusiaan. Bagi mereka, sebagaimana galibnya semua agamawan, agama adalah solusi niscaya nan abadi bagi carutmarut peradaban manusia. Bagi para da’i, keprihatinan akan merosotnya akhlâq al-karîmah di masyarakat adalah alasan utama mengapa berdakwah; bukan semata karena hal itu problem dasar kemanusiaan, tetapi lebih karena tema itu secara eksplisit menjadi agenda utama risâlah Nabi Muhammad saw. Ini berbeda dengan motivasi dasar para dharma pracaraka di Hindu. Ditegaskan, terwujudnya manusia Hindu yang “berkualitas”24 sebagai motivasi utama mengapa sebagai pedanda mereka tak mau sekadar berfungsi muput upacara, tapi juga memberikan dharma wacana. Namun, urgensi moralitas25 tetap dihiraukan dalam setiap dharma wacana yang mereka lakukan. Motivasi informan Hindu itu mendasari tujuan penyiaran mereka yang fokus “ke dalam”, pada penguatan kesadaran atau keimanan umat, dan bukan menghimpun umat sebanyak mungkin. Tak ada tersirat atau tersurat kehendak “menghindukan” umat lain
24“Berkualitas”,
mengutip tutur seorang informan, adalah terpenuhinya kriteria 10 sehat sehingga berhasil meraih Moksartham Jagadhita Ca Iti Dharmah, mencapai kebahagiaan di dunia sini dan di dunia sana (niskala atau akhirat di Islam). “Sepuluh sehat” tersebut mencakup (1) sehat sradha (iman yang kuat); (2) sehat intelektual, cerdas; (3) sehat raga, jasmani; (4) sehat moral, berprilaku baik; (5) sehat kerja; (6) sehat ekonomi; (7) sehat rumah tangga, keluarga; (8) sehat martabat anak, suputra (anak shaleh); (9) sehat pikiran; dan (10) sehat harga diri, terhormat. 25Lazim menunjuk trikayaparisudha atau tiga fundamen dasar, yakni (1) berpikir yang baik (manahcika), (2) berkata yang baik (wacika), dan (3) berbuat yang baik (kayika). Lihat I Kade Ngurah Sumerdana, “Motivasi Agama Hindu terhadap Kerukunan Hidup Beragama, Kependudukan, dan Kelestarian Lingkungan Hidup,” dalam Kerjasama Sosial kemasyarakatan 1981-1982, Jakarta: Proyek Binruhia Depag RI, 1982, hlm. 136.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
melalui dharma wacana mereka. Mereka menolak tegas pemaknaan siar agama sebagai penyebaran. Bagi mereka, inti penyiaran adalah memperkuat ke dalam, membina umat sendiri, dan bukan ke luar. Hal tersebut diametral berseberangan dengan tujuan dakwah beberapa informan Islam yang justru berupaya agar mereka yang sudah Muslim kian kuat iman dan yang belum menjadi sadar dan ikhlas beralih menjadi Muslim. Sebagian (kecil) informan bahkan menganggap “mengislamkan” non-Muslim itulah yang terpenting. Namun, sebagian lain berpandangan lebih moderat―meski tetap saja tersimpan hasrat malu-malu untuk meng“islamisasi”. Walau tidak setegas kelompok pertama, mereka membolehkan dakwah dalam arti penyebaran agama. Strategi. Untuk soal strategi, para informan mengembangkan sekaligus meyakini pola penyiaran yang sama, persuasif. Pola komunikasinya secara umum konvensional, bersifat massif, langsung, dan bermediakan lisan. Sementara pemanfaatan media tulis, masih merupakan hal yang tak biasa. Pola komunikasi yang dikembangkan umumnya bersifat monolog-ceramah. Proses komunikasi dialogis cenderung terabaikan. Maka, praktis proses reproduksi dan transmisi pengetahuan keagamaan berlangsung searah, sedangkan umat tak punya pilihan kecuali menjadi sekumpulan pendengar “yang baik”. Thus, alih-alih pengayaan kritis ajaran, yang berlangsung dalam banyak forum tabligh atau dharma wacana kurang-lebih hanyalah transmisi pengetahuan keagamaan satu arah secara tanpa reserve. Namun, boleh jadi itu pilihan “strategis-metodis” yang tak terhindarkan mengingat audien, umat, yang paling sering mereka hadapi adalah kalangan awam. Hal itu sedikit-banyak berkait dengan model forum keagamaan yang sering mereka libati. Forum para informan Muslim umumnya berbentuk pengajian umum yang bersifat massal dan karena itu transmisi pengetahuan pun klasikal. Forum keagamaan sedemikian juga lazim dihadapi para informan Hindu. Umumnya dapat dikategorisasi pada dua, yaitu saat puja wali (ulang tahun pura) dan upacara keagamaan regular. Sebagian yang lain mengaku kerap pula melakukan dharma wacana di luar momen persembahyangan, misalnya di forum-forum ilmiah yang diadakan sekolah, instansi pemerintah, organsiasi sosial, dan semacamnya. Di situ, metode komunikasinya tak melulu ceramah-monolog, tapi juga dialog. Hal serupa juga dilakukan sebagian informan Muslim. Menyangkut materi penyiaran, para informan Muslim cenderung mengikuti varian klasik keilmuan Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Pengetengahuannya biasanya 88
dihubungkan dengan hal-hal kasuistik keseharian. Boleh dibilang kontekstual, meski nuansa normativitas tetap dominan. Sedangkan di kalangan informan Hindu, cenderung berlainan. Beberapa lebih menekankan urgensi penguatan hubungan dengan Tuhan terutama melalui rutinitas seremoni ritual. Sementara yang lain cenderung memilih materi terkait konteks sosial, tentu tetap menghiraukan urgensi ritus seremonial. ‘Alâ kulli hâl, posisi mereka selaku juru siar atau tokoh agama teramat determinan. Dalam kadar berbeda, mereka aktor penentu dalam hampir setiap proses reproduksi dan transmisi pengetahuan yang membentuk mentalitas keagamaan umat. Melalui aktivitas penyiaran, mereka mempengaruhi struktur dan dinamika sosial masyarakat. Logis, mengingat masyarakat Kota Mataram, juga Lombok umumnya, adalah masyarakat religius di mana agama menjadi penggerak utama setiap dinamika perubahan sosial. “Persoalan” agaknya bisa bermula dari situ. Sebab, mereka tak hanya memainkan peran sebagai “makelar budaya” (cultural broker),26 tetapi juga sebagai kreator aktif bagi perubahan sosial, yakni memperkenalkan anasir sistem luar dan menggerakkan perubahan dalam masyarakat.27 Sebagai makelar budaya, mereka berupaya mengaitkan dunia kecil komunitasnya atau dirinya dengan dunia di luarnya.28 Mereka mengawasi proses parochialization nilai-nilai universal yang memasuki dunia kecilnya dan melakukan universalisasi atas nilai-nilai lokal ke dunia luar,29 sehingga sebagai patron masyarakat mereka berpeluang mengambil peran sebagai “pressure group” bahkan “rulling class” dalam struktur sosial di Kota Mataram.30 Maka, dapatlah dibayangkan alangkah besar impact eksistensi mereka di tengah dinamika masyarakat Kota Mataram yang heterogen, khususnya secara agama. Tegasnya, betapa menggiriskan bila kerangka epistemologis keagamaan yang mereka desakkan ke kesadaran publik adalah epistemologi yang mereduksi nilai-nilai pluralisme! D. Pemetaan Tipologis Bertumpu pada pemerian paradigma sekaligus menyimak strategi penyiaran kedua agama seperti diungkap di atas, terkhusus dengan menilik tiga unsur yang mendasari 26Terma ini dipinjam dari Geertz. Mula-mula diintrodusir oleh Eric Wolf dan digunakan sebagai konsep utama oleh Clifford Geertz dalam “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies on Society and History, vol. II, no. 2, January, 1960, hlm 229. 27Bdk., Horiko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987, hlm, 242. 28Lihat Geertz, “The Javanese...,” hlm, 229. 29Ibid., hlm, 228. 30Bdk., M. Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm, 148.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
paradigma penyiaran masing-masing, maka pola penyiaran Islam dapat dikategorikan ke dalam tipe eksklusivisme, yang dalam batas-batas tertentu juga memainkan kecenderungan inklusivisme. Tipe eksklusif menegaskan pandangan-sikap yang mengklaim bahwa keselamatan/kebenaran hanya ada pada agama anutan diri. Hal itu terutama tampak pada formulasi tujuan penyiaran yang tak cuma “mengislamkan” umat Islam tapi juga umat nonmuslim. Tak heran, bila “penyiaran” juga dimaknai “penyebaran” agama oleh para informan Islam. Pandangan-sikap yang demikian memang cenderung mendominasi benak para da’i. Namun, bukan berarti anasir inklusivisme tak ada sama sekali. Hingga level tertentu, nilainilai inklusif turut pula mewarnai paradigma penyiaran satu-dua da’i. Tipe inklusif juga kuat memegang klaim “kebenaran tunggal”, cuma lebih “santun”. Islam tetap diyakini punya kebenaran yang lebih sempurna daripada agama lain. Agama lain boleh jadi benar asalkan kebenaran dan keselamatan yang diusungnya memiliki sejumlah kriteria sebagaimana yang dimiliki Islam. Jadi, menghadirkan Islam kurang-lebih sebagai tolok ukur kebenaran bagi agama lain. Hal itu berbeda dengan para informan Hindu yang pola penyiarannya secara paradigmatik, lebih cenderung bertipologi pluralism, beberapa bagian juga mengarah pada paralelisme. Paradigma pluralistik bertumpu pada keyakinan bahwa terdapat begitu banyak jalan (agama) menuju Yang Satu. Tak ada yang tahu pasti jalan mana yang terbaik dan terbenar, kendati tak salah meyakini bahwa jalan terpilih adalah yang terbaik dan terbenar tanpa harus menegasikan jalan yang lain. Pandangan pluralistik terungkap dalam ajuan pengertian dan tujuan penyiaran mereka yang berorientasi “ke dalam”, membina umat dan bukan memperbanyak. Juga anggapan mereka bahwa setiap agama sama-sama baik, samasama menyimpan kebenaran betapapun berbeda corak, mengesankan tipe paradigma partikularisme. Tipe ini menganggap setiap agama memiliki substansi kebenaran berbeda; cenderung bersikap apresiatif terhadap klaim teologis lain. Bagi mereka, sikap yang memastikan agama mana yang benar dan selamat adalah tindakan pongah nan lancang karena berarti sok tahu tentang bagaimana Tuhan pada akhirnya memperlakukan segala sesuatu. Bagi para dharma duta Hindu, yang terpenting bukanlah apakah seseorang itu Hindu atau Islam atau Katholik, tapi apakah mereka telah menjalankan agamanya itu secara benar dan sungguh-sungguh atau tidak. Mereka sepakat, setiap agama pada prinsipnya mempunyai sistem atau cara masing-masing untuk mencapai Tuhan dan menjadi baik 90
sehingga tak beralasan untuk saling menjelekkan. Juga diyakini bahwa setiap agama adalah sama-sama mengandung kebenaran dan mengajarkan kebaikan. Ini berarti paradigma penyiaran mereka tak hanya bertumpu pada kesadaran pluralisme, tapi juga paralelisme. Bagi mereka, berbagai agama pada dasarnya memiliki kesejajaran dan kemungkinan sama untuk bertemu pada satu titik kebenaran. Itulah mengapa mereka tidak berniat untuk menujukkan penyiarannya ke umat lain, tapi khusus untuk umat Hindu saja. Tentu saja itu diametral berbeda dengan niat informan Islam yang justru memperuntukkan dakwah tak cuma buat umat Islam, tapi juga untuk umat agama lain. Merujuk pada tiga fenomena prilaku keberagamaan di atas, Islam dengan pola penyiaran yang cenderung eksklusif dapat dikategorikan mendorong eskalasi fenomena fundamentalisme di kalangan umatnya. Sementara Hindu dengan pola penyiaran yang cenderung menampilkan trend pluralisme-paralelisme dan bahkan partikularisme dapat dikategorikan sebagai pola yang mendorong pada prilaku fundamentalisme pula, tapi dengan pengenaan anasir rasionalisme pada saat berbarengan. Bila fundamentalisme yang dikembangkan Islam melalui aneka penyiaran semata-mata bersandarkan keyakinan bahwa kebenaran hanya berada di pihaknya, maka fundamentalisme yang diwujudkan Hindu lewat berbagai penyiarannya juga bersemangat serupa, tapi di level yang sama menolak bahwa kebenaran itu bisa dimiliki secara utuh, pasti, dan final. Lalu, apakah pola penyiaran keduanya yang secara paradigmatik berbeda itu merupakan refleksi langsung dari ajaran agama masing-masing? Ataukah, jangan-jangan, hanya semacam refleksi belaka dari konsekuensi logis relasi mayoritas–minoritas? Jika yang terakhir yang betul, tentu ironis. Sebab, itu berarti (para juru siar) kedua agama sebenarnya sama-sama mengidap penyakit klise: Islam arogan karena mayoritas, sedang Hindu menampilkan diri pluralis karena ia memang “berkepentingan” mengingat dirinya adalah kelompok minoritas di Kota Mataram. E. Hindu dan Islam: Berebut Umat? Seluruh persepsi para informan Muslim tentang dakwah bisa dibilang tak ada yang baru. Secara umum merepresentasikan pandangan klasik yang juga memaknainya sebagai “penyebaran”; suatu proses yang tak cuma propagation, tapi juga mission. Ini setali tiga uang dengan Kristen. Itulah mengapa, “perebutan” umat dan karena itu juga konflik kerap terjadi antara Kristen dan Islam; suatu hal yang amat jarang terjadi antara Islam atau Kristen dan Hindu, khususnya di Indoensia. Disinyalir kuat itu lantaran Hindu bukan agama mission
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
yang mengkhidmati ide “penghinduan” sebagai salah satu agenda ajaran―sesuatu yang juga diamini para informan Hindu. Tegas kata, Hindu tak punya nafsu teologis untuk merekrut umat sebanyak mungkin sebagaimana Islam dan Kristen. Benarkah
Hindu
memang
bukan
agama
“dakwah”
yang
memanggul
misi
“penghinduan”? Rasanya tidak juga. Itu lebih soal penafsiran. Sama halnya dengan dinamika pemaknaan “dakwah” di Islam yang memunculkan beragam kontroversi, semata karena problem disparitas penafsiran atas ajaran. Selalu saja ada sebagian umat Islam yang memahami dakwah tidak dalam pengertian “menghimpun umat sebanyak-banyaknya.” Cuma saja hampir semua da’i informan di kota Mataram memang cenderung mengartikan dakwah juga sebagai “upaya memperbanyak umat”, meski dengan kadar nafsu berbeda-beda. Dalam konteks Hindu, soal penafsiran juga mengemuka. Selalu ada sebagian umat yang berpandangan bahwa Hindu adalah agama misi sebagaimana Islam atau Kristen, kendati memang tak jadi mainstream dalam khazanah intelektual Hindu. Hal itu juga diakui oleh beberapa informan. Namun, mereka kompak menepis anggapan Hindu adalah agama misi. Karena itu, penyiaran mereka lakukan tidak dengan spirit untuk merekrut umat lain, tapi untuk semata pembinaan internal umat sendiri. Problem interpretasi itu, dalam kasus Hindu, telah memunculkan dua pandangan berbeda, yakni (1) pandangan yang tegas menggariskan bahwa Hindu bukanlah agama misi dan (2) pandangan yang justru menegaskan sebaliknya. Pandangan pertama antara lain diwakili Mahatma Gandhi. Proselitasi (misi mengalihagamakan orang yang telah beragama), katanya, akan meniadakan kedamaian di dunia.31 Sementara pandangan kedua diperjuangkan, antara lain, oleh Swami Vivekananda32 dan juga Swami Dayananda Saraswati.33 Untuk konteks Mataram (termasuk Lombok dan Indonesia pada umumnya), gerakan keagamaan Hindu fundamentalis relatif tak terjumpai.34 Setidaknya, para tokoh Hindu
31Arvind
Sharma, Hinduism for Our Times.Bombay: Oxford University Press, 1996, hlm. 2-3. 2. Vivekananda adalah pengkhutbah muda dari India. Lihat Arvind Sharma, “Hinduism,” dalam Our Religions.New York: HarperSanFrancisco, 1993, hlm. 9-10. Melalui dua lembaganya, Vedanta Society dan Ramakrishna, ia aktif menyebarkan Hindu di Amerika dan Eropa yang membuatnya dijuluki “Rasul Hindu untuk Dunia Barat”. Lihat Harvey de Witt Griswold, Insights into Modern Hinduism .New Delhi: Aryan Books International, 1996, hlm.59-72. 33Ia mendirikan Arya Samaj (Masyarakat Arya) pada tahun 1875 di Bombay yang berupaya men-sudhikan kembali orang-orang Hindu yang telah beralih agama. Baginya, itu harus dilakukan karena Hindu adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi umat manusia. Ibid., hlm, 111-30. 34Sejauh ini gerakan fundamentalisme dan neo-revivalisme Hindu hanya di India. Muncul lebih dilatari faktor sosiologis, seperti meluasnya pengaruh ekonomi minoritas Kristen dan muslim, daripada terinspirasi oleh ajaran Weda. Juga pengaruh legenda kejayaan Hindu di India tempo dulu, misalnya legenda Shivaji, 32Ibid.,
92
(terutama pedanda, terkhusus yang jadi informan) menepis keyakinan bahwa Hindu adalah agama misi dan karena itu bersepakat memperuntukkan seluruh upaya penyiaran terbatas kepada umat Hindu saja. Sementara di Islam, kendati potensi munculnya fundamentalisme di level umat relatif tak mengemuka, para juru dakwah mereka justru cenderung berparadigma eksklusif. Karena itu, tak berlebihan bila disimpulkan bahwa potensi konflik akibat penyiaran agama cenderung mengendap dan berhulu di Islam ketimbang di Hindu. Dan keyakinan eksklusif sebagian dâ‘i itu sudah cukup sebagai alasan untuk mengancang suatu sistem siaga dini (early warning system), minimal mengarifi lebih dini probabilitasnya di level umat kedua agama. “Sistem siaga dini” tersebut penting, apalagi semua informan memang bersepakat bahwa aktivitas penyiaran berpeluang menjadi salah satu penyebab kerawanan dalam relasi antarumat. Mereka pun bersepakat bahwa soal penyiaran tetap perlu diatur oleh pemerintah. Dalam pada itu, beberapa informan memandang penting penguatan dialog atau kerja sama guna kian melempangkan jalan bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama di Kota Mataram. F. Penutup Sembari merujuk rumusan masalah, ada beberapa hal menarik yang bisa disimpulkan. Pertama, para juru siar (informan) Hindu dan Islam di kota Mataram umumnya mengembangkan strategi penyiaran yang sama, persuasif. Ini berkait dengan sikap mereka yang cenderung mendudukkan diri sebagai pusat transmisi pengetahuan, sehingga nyaris tak terjadi pengayaan kritis atas ajaran. Kedua, terdapat sejumlah persamaan pola penyiaran antarkeduanya terutama di aspek teknis penyiaran, yakni (1) strategi, (2) metode, (3) materi, dan (4) forum yang lazim digunakan. Sedangkan perbedaan mendasar mencakup sisi substantifnya, yaitu (1) pengertian penyiaran agama, (2) motivasi menjadi juru siar agama, dan (3) tujuan penyiaran. Kemudian, ketiga, menyangkut tipologi penyiaran, Islam cenderung bertipe eksklusif yang hingga tingkat tertentu juga inklusif. Sedangkan pola Hindu secara paradigmatik lebih pada pluralisme yang untuk beberapa hal juga mengarah pada paralelisme bahkan partikularisme. seorang pahlawan Maharashtrian yang sukses memimpin revolusi melawan kekuasaan Mongol di abad XVII dan keyakinan bahwa Hindu hanya memiliki dirinya sendiri. Lihat Martin E. Marty and Scott Appleby, “Conclussion: An Interim Report on a Hypothetical Family,” dalam Martin E. Marty and Scott Appleby (eds.), Fundamentalism Observed, Vol. I (Chicago and London: The University of Chicago press, 1991), 827; dan Jose Thedavanai, “Religious Fundamentalism: Psychological Factors,” dalam Journal of Dharma, Vol. XV, No. 2: hlm, 153.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
Atas semua itu, perlu diajukan beberapa saran. Saran-saran berikut berpijak pada kesadaran pluralisme di satu sisi dan kepentingan membangun semacam early warning system menyikapi potensi benturan akibat aktivitas penyiaran di sisi lain. Pertama, terus mewaspadai setiap potensi konflik, termasuk yang mungkin dipantik aktivitas penyiaran. Dalam hal ini, pemerintah dituntut konsisten memainkan peran “primordial”-nya, yaitu memediasi dan memfasilitasi kepentingan warga, dan bukan mengintervensi area privat mereka. Kedua, semua pihak harus menyadari pentingnya kesadaran pluralisme di tengah heterogenitas agama di kota ini. At least, bagi para tokoh agama ini niscaya mengingat posisi determinan mereka dalam membentuk kesadaran publik. Untuk itu, setiap program pengayaan dan penguatan diskursus pluralisme perlu melibatkan mereka. Upaya revitalisasi harus pula membidik sektor pendidikan di mana pembenihan kesadaran pluralistik semestinya dimulai. Ketiga, forum-forum dialog dan kerja sama antaragama juga perlu terus digalakkan guna memediasi diversitas kepentingan, termasuk kepentingan teologis. Terakhir, khusus untuk studi-studi selanjutnya yang membidik para dâ‘i dan dharma duta sebagai unit analisis, perlu memperluas cakupan (bukan cuma memperbanyak) informan. Pilihan penghampiran metodisnya dapat saja kualitatif atau kuantitatif. Ke depan, perlu pula dilakukan studi yang khusus menelusuri adakah korelasi positif prilaku eksklusif atau inklusif umat dengan asumsi-asumsi keagamaan yang dibangun para juru siar agama―sebagaimana secara implisit ditesiskan ada oleh penelitian ini. Kaitan itu, penting pula dilakukan analisis isi (content analysis) atas teks ajaran agama-agama. Sebab, dari sana para dā‘ī atau pedanda banyak menyandarkan asumsi-asumsi seputar penyiaran agama dan lalu merepropduksi serta menyebarkannya ke ruang publik. Wa Allâh al-musta‘ân.
94
DAFTAR PUSTAKA A.A. Bagus Wirawan. “Akulturasi Islam-Hindu di Bali: Tinjauan Historis, dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa”. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996. Anak Agung Ktut Agung. “Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem”. (1661-1950) t.tp.: Upada sastra, 1991. Arvind Sharma. “Hinduism, dalam Our Religions” New York: HarperSanFrancisco, 1993. ---------. “Hinduism for Our Times”. (Bombay: Oxford University Press, 1996). Asghar Ali Engineer. “Islam dan Teologi Pembebasan”. terj. Agung Prihantoro Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Badan Pusat Statistik Kota Mataram. “Mataram Dalam Angka”. 2013, Mataram: BPS Kota Mataram, 2013. Clifford Geertz. “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, Comparative Studies on Society and History”. vol. II, no. 2, January, 1960. Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), “Aneka Pendekatan Studi Agama”. terj. Imam Khoiri, Jogjakarta: LKíS, 2002. Djalaluddin Arzaki, dkk. “Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal: Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat (Sebuah Kajian Anthropologis-SosiologisAgamis)”. Mataram: Pokja Redam NTB, 2001. Ernest Gellner. “Postmodernism, Reason, and Religion”. London: Routledge, 1993. Fath, Zakaria. “Mozaik Budaya Orang Mataram”. Mataram: Sumur Mas Al-Hamidy, 1998. Harold Koontz dan Heinz Weihwrich. “Essentials of Management”. Singapore: McGrawHillbook C, 1990. Harvey de Witt Griswold. “Insights into Modern Hinduism”. New Delhi: Aryan Books International, 1996. Horiko Horikoshi. “Kyai dan Perubahan Sosial”. Jakarta: P3M, 1987. I.B. Suandha Wesnawa, dkk. “Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia”. Denpasar: Upada Sastra, 1988. I Kade Ngurah Sumerdana, “Motivasi Agama Hindu terhadap Kerukunan Hidup Beragama, Kependudukan, dan Kelestarian Lingkungan Hidup, dalam Kerjasama Sosial kemasyarakatan 1981-1982”. Jakarta: Proyek Binruhia Depag RI, 1982. J.A.C. Brown, “Propaganda and Communications, dalam Creating Social Change”. John Ryan Bartholomew. “Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak”. terj. Imron Rosyidi, Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 2, Desember 2014 : 79-96
Jose Thedavanai, “Religious Fundamentalism: Psychological Factors,” dalam Journal of Dharma, Vol. XV, No. 2. Mariasusai Dhavamony. “Fenomenologi Agama”. terj. Kelompok Studi Agama Driyarkara, Jogjakarta: Kanisius, 1995. Martin E. Marty and Scott Appleby, “Conclussion: An Interim Report on a Hypothetical Family,” dalam Martin E. Marty and Scott Appleby (eds.), Fundamentalism Observed, Vol. I (Chicago and London: The University of Chicago press, 1991. M. Munandar Soelaiman. ”Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan”. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Mustain. “Hubungan Muslim–Hindu di Kota Mataram (Kajian terhadap Potensi Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antaragama)”. Laporan Penelitian, P3M STAIN Mataram, 2003. Ngakan Made Madrasuta. “Hindu di Antara Agama-agama”. Denpasar: Upada Sastra, 1998. Rafiuddin dan Maman Abdul Djalil. “Prinsip dan Strategi Dakwah”. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Raimundo Panikkar. “Dialog Intrareligius”. terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, Jogjakarta: Kanisius, 1994. Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization?” dalam Foreign Affairs, Summer, 1993. Suprapto. “Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Integrasi, Kontestasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim”. Jakarta: Prenada Kencana, 2013. Thomas S. Kuhn. “The Structure of Scientific Revolutions – Internatonal Encyclopedia of Unified Science”. Vol. 2, Nr. 2, Chicago: the University of Chicago Press, 1970. Terrence W. Tilley. “Postmodern Theologies and Religious Diversity”. Maryknoll, New York: Orbis Book, 1996. Torgny T. Segerstedt. “The Nature of Social Reality”. Stockholm: Svenska Bokforlaget, 1966. Data Emis Kemenag Provinsi NTB 2009.
96