KECERNAAN ZAT MAKANAN KELINCI JANTAN LOKAL YANG DIBERI RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT DENGAN JENIS HIJAUAN BERBEDA
SKRIPSI ELGA NUR FUTIHA
\
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Elga Nur Futiha. D24050453. 2010. Kecernaan Zat Makanan Kelinci Jantan Lokal yang Diberi Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit dengan Jenis Hijauan Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing anggota
: Ir. Lilis Khotijah, M. Si. : Dr. Ir. Nahrowi, M. Sc.
Kelinci mempunyai potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit dan bulu. Pemeliharaan kelinci sebagai sumber protein hewani belum dilakukan secara optimal karena ransum kelinci yang ada pada saat ini masih terbatas, sehingga harga ransum komplit tersebut lebih mahal dibandingkan ransum untuk ayam broiler. Pemakaian ransum ayam broiler kurang efisien karena selain harganya mahal juga kandungan nutrisinya tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi kelinci. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibuatlah ransum komplit dengan menggunakan bahan lokal seperti bungkil inti sawit (BIS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), kecernaan protein kasar (KCPK) dan kecernaan serat kasar (KCSK) ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dengan sumber hijauan berbeda pada kelinci. Penelitian ini menggunakan kelinci jantan lokal sebanyak 20 ekor dengan rataan bobot badan sebesar 1461,65 + 140,8 g. Penelitian dilaksanakan selama enam minggu dari bulan Maret-Juni 2009 bertempat di peternakan kelinci Komplek Laladon Indah, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31 Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan tersebut yaitu (R1) ransum komplit mengandung 5% bungkil kelapa + 30% rumput lapang, (R2) ransum komplit mengandung 5% bungkil kelapa + 25% rumput lapang + 5% lamtoro, (R3) ransum komplit mengandung 5% bungkil kelapa + 25% rumput lapang + 5% daun ubi jalar, (R4) ransum komplit mengandung 5% bungkil inti sawit (BIS) + 25% rumput lapang + 5% lamtoro, dan (R5) ransum komplit mengandung 5% BIS + 25% rumput lapang + 5% daun ubi jalar. Data yang diperolah dianalisis ragam (ANOVA) dan dilakukan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kecernaan zat makanan pada kelinci. KCBK, KCBO, dan KCPK pada kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil kelapa dengan kombinasi lamtoro maupun daun ubi jalar tidak berbeda dengan KCBK, KCBO, dan KCPK ransum komplit mengandung BIS dan lamtoro. Akan tetapi KCSK pada kelinci yang mendapat ransum komplit mengandung bungkil kelapa dengan hijauan lamtoro lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ransum komplit mengandung BIS dengan hijauan yang sama. KCBK, KCBO, dan KCPK pada kelinci yang diberi ransum komplit mengandung BIS dengan hijauan lamtoro yaitu berturut-turut sebesar 78,76;79,97 dan 79,16%, sedangkan untuk ransum komplit mengandung bungkil kelapa dengan hijauan lamtoro berturut-turut sebesar 78,88;80,53 dan 8,94%. KCSK pada kelinci yang mendapat ransum komplit mengandung BIS dengan hijauan lamtoro yaitu sebesar 48,82%, sedangkan ransum komplit yang mengandung
bungkil kelapa dengan hijauan yang sama sebesar 40,59%. Dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar kelinci yang mendapat ransum mengandung bungkil inti sawit dengan hijauan lamtoro sama baikknya dengan kecernaan kelinci yang mendapat ransum mengandung bungkil kelapa dengan hijauan lamtoro atau daun ubi jalar. Kata kunci : Bungkil inti sawit (BIS), kecernaan, kelinci, ransum komplit.
ABSTRACT Digestibility of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages in Local Male Rabbits E. Nurfutiha., L. Khotijah, Nahrowi The objective of this study was to evaluate dry matter, organic matter, crude protein and fiber digestibilities of complete rations containing palm kernel meal with different sources of forages in 20 local bucks with average body weight 1461,65 + 140,8 g. The study used Completely Randomize Design with five treatments and four replications. The treatments were (R1) complete ration containing 5% copra meal + 30% field grass, (R2) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves, (R3) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves, (R4) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves and (R5) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were determined by Duncan test. The results showed that treatments influenced nutrient digestibility (P<0.05). Dry matter, organic matter and crude protein digestibilities of complete rations containing copra meal and lamtoro leaves or sweet potato leaves were similar to that of complete ration containing BIS and lamtoro leaves. However, crude fiber digestibility in bucks receiving complete rations containing copra meal with lamtoro leaves was significantly higher (P<0.05) compared with that of bucks eating complete rations containing BIS with the same forages. Dry matter, organic matter and crude protein digestibilities in bucks fed complete rations containing BIS with lamtoro leaves were of 78.76; 79.97 and 79.16% respectively, while complete rations containing copra meal with lamtoro leaves were 78.88; 80.53 and 8.94% respectively. Crude fiber digestibility in rabbits receiving complete rations containing BIS with lamtoro leaves was 48.82%, whereas the complete ration containing copra meal with the same forages was 40.59%. It is concluded that dry matter, organic matter, crude protein digestibility of rabbits fed complete diet containing palm kernel meal with lamtoro leaves were similiar to there of rabbit fed diet containing copra meal with lamtoro or sweet potato leaves. Key words: Complete ration, digestion, palm kernel meal, rabbit,.
KECERNAAN ZAT MAKANAN KELINCI JANTAN LOKAL YANG DIBERI RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT DENGAN JENIS HIJAUAN BERBEDA
ELGA NUR FUTIHA D24050453
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul
: Kecernaan Zat Makanan Kelinci Jantan Lokal yang Diberi Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit dengan Jenis Hijauan Berbeda
Nama
: Elga Nur Futiha
NIM
: D24050453
Menyetujui :
Pembimbing Utama:
Pembimbing Anggota:
Ir. Lilis Khotijah, M.Si. NIP. 196607031992032003
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. NIP. 196204251986031002
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr NIP. 196705061991031001
Tanggal Ujian: 10 Mei 2010
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 November 1986 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dengan dua orang kakak dari pasangan bapak Drs. H. Achmad Ismail, MM. dan ibu Hj. Anis Nur Aini. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1999 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Palmerah 11 Jakarta, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 88 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 78 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa strata satu (S1) pada Program Mayor, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalani pendidikan di IPB penulis mengikuti beberapa kepanitian dalam acara yang diselenggarakan dilingkungan kampus IPB seperti “Dekan Cup”. Penulis juga pernah mengikuti magang di BET (Balai Embrio Ternak) Bogor pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Kecernaan Zat Makanan Kelinci Jantan Lokal yang Diberi Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit dengan Jenis Hijauan Berbeda”. Penelitian ini dilakukan di peternakan kelinci Komplek Laladon Indah, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31 Bogor selama 4 bulan dari awal Maret hingga Juni 2009. Kelinci merupakan hewan herbivor non ruminan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil daging. Namun saat ini keberadaan ransum komplit untuk kelinci masih sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibuatlah ransum komplit untuk memenuhi kebutuhan kelinci sesuai kebutuhan dan tujuan pemeliharaannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecernaan zat makanan pada kelinci jantan lokal yang diberi ransum komplit mengandung bungkil inti sawit (BIS) dengan hijauan berbeda. Selain itu, untuk membandingkan dan mengetahui ransum komplit dengan kombinasi terbaik antara rumput lapang, lamtoro, daun ubi jalar, bungkil kelapa, dan BIS. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan langsung oleh para peternak kelinci.
Bogor, April 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Tujuan ................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Kelinci . ............................................................................................... Potensi Ternak Kelinci ............................................................ Sistem Pencernaan Kelinci ..................................................... Kecernaan Zat Makanan .......................................................... Kebutuhan Zat Makanan Kelinci ............................................ Ransum Komplit ................................................................................ Bungkil Kelapa ......................................................................... Bungkil Inti Sawit .................................................................... Rumput Lapang ....................................................................... Lamtoro ................................................................................... Daun Ubi Jalar .........................................................................
3 3 4 5 6 9 9 10 11 11 12
MATERI DAN METODE .............................................................................
13
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................ Ternak ...................................................................................... Kandang dan Peralatan ...................................................................... Ransum .............................................................................................. Prosedur ............................................................................................ Pembuatan Pelet ....................................................................... Pemeliharaan dan Percobaan Pemberian Pakan pada Kelinci ............ Pengambilan Contoh untuk Analisis ......................................... Ransum ..................................................................................... Feses ......................................................................................... Peubah ....................................................................................... Rancangan ........................................................................................ Model ........................................................................................
13 13 13 13 14 15 15 16 16 16 17 18 18 18
Perlakuan ...................................................................................
18
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
19
Kecernaan Bahan Kering.................................................................... Kecernaan Bahan Organik.................................................................. Kecernaan Protein Kasar .................................................................... Kecernaan Serat Kasar .......................................................................
19 21 23 25
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
28
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
28 28
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
30
LAMPIRAN....................................................................................................
33
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci dalam Berbagai Status Fisiologis .....
7
2. Kebutuhan Bahan Kering Pakan Berdasarkan Periode Pemeliharaan .......................................................................................
9
3. Komposisi Zat Makanan Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit .......
10
4. Komposisi Zat Makanan Rumput Lapang, Lamtoro dan Daun Ubi Jalar ..............................................................................................
12
5. Komposisi Bahan Makanan dalam Ransum Perlakuan ........................
16
6. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering .........................................................................................
16
7. Rataan Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan Kering .....................................................................
19
8. Rataan Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses dan Kecernaan Bahan Organik ....................................................................
22
9. Rataan Konsumsi Protein, Protein Feses, Kecernaan dan Kecernaan Protein ...............................................................................
23
10. Rataan Konsumsi Serat, Serat Feses, Kecernaan dan Kecernaan Serat Kasar .........................................................................
26
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Sistem Pencernaan pada Kelinci .......................................................... 2.
Halaman 4
Kelinci ................................................................................................
13
3. Bentuk Kandang Kelinci selama Penelitian .........................................
14
4. Komposisi Ransum Komplit ................................................................
14
5. Tahapan Pembuatan Ransum Komplit .................................................
15
6. Skema Pengambilan Contoh Feses untuk Analisis ...............................
17
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering ..................................................
34
2. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Bahan Kering ........................................
34
3. Sidik Ragam Bahan Kering Feses .........................................................
34
4. Uji Lanjut Duncan Bahan Kering Feses ................................................
34
5. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering .................................................
34
6. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Bahan kering.........................................
35
7. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik ................................................
35
8. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Bahan Organik.......................................
35
9. Sidik Ragam Bahan Organik Feses ......................................................
35
10. Uji Lanjut Duncan Bahan Organik Feses ..............................................
35
11. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik ..............................................
36
12. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Bahan Organik ......................................
36
13. Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar .................................................
36
14. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Protein Kasar .........................................
36
15. Sidik Ragam Protein Kasar Feses..........................................................
36
16. Uji Lanjut Duncan Protein Kasar Feses ................................................
37
17. Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar .................................................
37
18. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Protein Kasar ........................................
37
19. Sidik Ragam Konsumsi Serat Kasar......................................................
37
20. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Serat Kasar ............................................
37
21. Sidik Ragam Serat Kasar Feses .............................................................
38
22. Uji Lanjut Duncan Serat Kasar Feses ....................................................
38
23. Sidik Ragam Kecernaan Serat Kasar .....................................................
38
24. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Serat Kasar ...........................................
38
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelinci merupakan salah satu ternak yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit dan bulu. Kelinci memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan ternak lainnya seperti kemampuan pertumbuhan yang pesat dan tingkat reproduksi yang tinggi, selain itu, pemeliharaannya lebih mudah, tidak membutuhkan lahan yang luas dan efisien dalam memanfaatkan hijauan sebagai pakan. Kelinci dapat dijadikan sebagai ternak alternatif penyedia sumber protein hewani yang sehat dan berkualitas tinggi. Daging kelinci memiliki kadar protein tinggi, sedangkan kandungan lemak dan kolesterol lebih rendah dibandingkan ternak lain. Kelinci juga dapat dijadikan sebagai peluang usaha yang prospeknya sangat menjanjikan karena harga daging kelinci dapat bersaing dengan harga daging ternak lain seperti sapi, domba, kambing dan ayam. Sistem pemeliharaan kelinci yang ada pada saat ini umumnya masih dalam skala kecil dengan pakan utama berupa hijauan. Pemberian pakan dengan cara tersebut kurang mencukupi pemenuhan kebutuhan nutrien, sehingga produktivitas kelinci menjadi kurang optimal. Untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan ternak, sangat diperlukan pakan dengan kualitas baik. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan nutrien kelinci secara optimal, baik untuk produksi maupun reproduksi sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Ransum kelinci yang ada di pasaran sampai saat ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelinci kesayangan. Pabrik pakan yang memproduksi ransum kelinci dalam jumlah besar masih sangat sedikit, sehingga harga ransum (komplit) untuk kelinci tersebut menjadi lebih mahal dibandingkan ransum ayam broiler. Penggunaan ransum ayam broiler pada pemeliharaan kelinci yang sering dilakukan oleh peternak kecil dirasa kurang efisien, hal ini dikarenakan harga yang mahal dan juga komposisi nutriennya tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi kelinci. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan memproduksi satu jenis ransum (komplit) yang disesuaikan dengan kebutuhan kelinci. Hal ini menjadi sangat essensial karena pakan yang dibuat lebih spesifik berdasarkan tujuan pemeliharaanya. Pada penelitian ini ransum komplit yang dibuat terdiri dari konsentrat dan hijauan. Pakan disusun menggunakan bahan pakan lokal seperti
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Sedangkan untuk hijauannya menggunakan rumput lapang, lamtoro dan daun ubi jalar. Kombinasi dari bahan-bahan pakan tersebut diharapkan menjadi pakan berkualitas baik yang dapat menunjang produktivitas kelinci secara optimal. Pengujian terhadap kualitas ransum komplit pada penelitian ini dilakukan melalui uji biologis, dengan cara mengevaluasi kecernaan zat makanan pada kelinci. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh pemberian ransum komplit yang mengandung BIS dengan hijauan berbeda terhadap kecernaan zat makanan pada kelinci jantan lokal.
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci mula-mula dijinakan di Afrika dan pertama kali dimanfaatkan sebagai makanan di Asia 300 tahun yang lalu (Blakely dan Bade, 1991). Kelinci merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berada disekitar laut Mediterania dan dibawa ke Inggris sekitar awal abad 12 (NRC, 1977). Klasifikasi Kelinci secara ilmiah adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal (hewan)
Phylum
: Chordata (mempunyai notochord)
Sub phylum
: Vertebrata (bertulang belakang)
Kelas
: Mammalia (memiliki kelenjar air susu)
Ordo
: Logomorpha (memiliki dua pasang gigi seri rahang atas)
Famili
: Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah)
Genus
: Oryctolagus (morfologi yang sama)
Spesies
: Oryctolagus cuniculus. (Damron, 2003)
Potensi Ternak Kelinci Kelinci mempunyai ukuran, kegunaan, warna dan panjang yang berbedabeda. Berat kelinci saat dewasa bervariasi mulai dari 1,5 kg sampai 7 kg (Blakely dan Bade, 1991). Bangsa kelinci yang dijadikan sebagai pengahasil daging diantaranya Californian, Flemish giant, Satin dan New Zealand, sedangkan bangsa kelinci yang dipelihara untuk menghasilkan kulit dan bulu yaitu bangsa Rex dan Angora (Blakely dan Bade, 1991). Selain itu, kelinci juga dimanfaatkan sebagai hewan laboratorium yang biasanya digunakan adalah New Zealand White karena sifat produksinya yang tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, mudah beradapatasi dengan lingkungan yang baru dan tidak memerlukan tempat yang luas (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik karena kelinci sangat cepat berkembangbiak, seekor induk misalnya dapat beranak 4 kali dalam setahun dengan sekali beranak dapat menghasilkan anak sebanyak 4-8 ekor anak kelinci (Hendra, 2010). Selain karena tingkat reproduksi yang tinggi, kelinci
juga dapat menggunakan protein nabati secara efisien, makanan relatif tidak bersaing dengan manusia, dapat dipelihara dalam skala kecil dengan menggunakan lahan yang tidak luas dan kandungan nutrisi pada dagingnya cukup tinggi (Cheeke, 1987). Menurut Chan et al. (1995) daging kelinci merupakan daging yang sehat karena memiliki kandungan protein (21,9%) lebih tinggi daripada daging ayam (20,9%) dan domba (20,2%) sedangkan lemak kelinci hanya 5,5% lebih rendah dibandingkan sapi (8,3%). Selain itu, daging kelinci memiliki kandungan kolesterol (0,053%) dan natrium (0,067%) lebih rendah dibandingkan daging ayam yang memiliki kolesterol (0,105%) dan natrium (0,09%). Kelinci juga merupakan suatu peluang usaha yang sangat menjanjikan. Harga daging kelinci bobot hidup saat ini berkisar antara Rp 11.000 - Rp 15.000/kg, karkas Rp 24.000 - Rp 25.000/kg sedangkan untuk daging kelinci berkisar Rp 42.500-Rp 45.000/kg (Widodo, 2009). Sistem Pencernaan Kelinci Sistem pencernaan kelinci menurut Cheeke et al. (2000) bahwa alat pencernaan kelinci dibagi dua bagian yaitu perut depan (foregut) terdiri dari lambung, pankreas dan usus kecil (duodenum, jejenum, ileum) dan perut belakang (hindgut) yang terdiri dari sekum, appendix dan kolon (Gambar 1).
Lambung
Esofagus
Pankreas Usus Buntu
Usus Kecil
Sekum
Kolon Rektum Gambar 1. Sistem Pencernaan pada Kelinci (Cheeke et al., 2000)
Perut belakang memegang peranan penting dalam sistem pencernaan kelinci, karena merupakan tempat terjadinya fermentasi pakan didalam sekum, pemisahan dan pencernaan kembali isi sekum (Cheeke, et al .2000). Kelinci merupakan hewan herbivora non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana (tunggal) dengan pembesaran dibagian sekum dan kolon (hindgut) seperti alat pencernaan pada kuda dan babi (Cheeke et al., 2000). Kolon merupakan tempat pertumbuhan bakteri yang memiliki fungsi yang sama dengan rumen pada sapi yaitu sebagai tempat terjadinya proses pencernaan makanan (Cheeke et al., 2000). Menurut Herman (2000) kelinci merupakan ternak herbivora yang bukan ruminansia, kurang mampu untuk mencerna serat kasar, tetapi dapat mencerna protein dari tanaman berserat dan memanfaatkannya dengan efektif. Hal ini memungkinkan kelinci dapat makan dan memanfaatkan bahan-bahan hijauan, rumput dan sejenisnya. Kelinci mempunyai kebiasaan yang tidak dilakukan pada ternak ruminansia yaitu kebiasaannya memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut dengan coprophagy (Blakely dan Bade, 1991). Sifat coprophagy biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri disaluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecahkan selulose atau serat menjadi energi yang berguna (Blakely dan Bade, 1991). Kecernaan Zat Makanan Kecernaan pakan sering didefinisikan sebagai bagian yang tidak diekresikan dalam feses dimana bagian–bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh ternak (McDonald et al., 1995). Menurut Anggorodi (1994) ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum yaitu suhu, laju, perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Kecernaan bahan kering dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum (Hakim, 2002). Selain itu, Sutardi (1980) juga menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan organik juga dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum berbentuk pelet yaitu sebesar 47% (Cheeke, 1987). Amrinawati (2004) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil
kedelai dan tepung ikan sebesar 54,66-66,66%, sedangkan kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum biomassa ubi jalar sebesar 46,83% (Khotijah, 2006). Cheeke (1987) menyatakan bahwa fraksi serat kasar yang berpengaruh terhadap kecernaan pakan adalah ADF. Hal ini sejalan dengan pernyataan Khotijah (2006) yaitu kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kadar ADF dalam ransum yang merupakan komponen tanaman yang sulit dicerna oleh ternak. Kandungan ADF normal untuk kelinci menurut Cheeke (1987) berkisar antara 13%-25%. Salah satu unsur yang terpenting dalam ransum kelinci adalah protein (NRC, 1977). Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein kasar dalam ransum (Garcia et al., 1993). Kecernaan zat-zat makanan akan cenderung meningkat apabila kadar protein bahan makanan meningkat, serta kualitas protein sangat penting untuk kelinci karena konsumsi akan meningkat jika dalam ransum mengandung protein yang berkualitas tinggi (Lang, 1981). Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan protein adalah ADF (Acid Detergent Fiber). Pakan yang mengandung ADF tinggi kemungkinan kandungan selulosa dan ligninnya tinggi, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan protein (Cheeke, 1987). Amrinawati (2004) melaporkan bahwa kecernaan protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino yang terdapat pada bahan pakan penyusunnya dan bagaimana asam amio tersebut digunakan dalam tubuh ternak. Kecernaan protein kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil kedelai dan tepung ikan berkisar antara 67, 79%-78,78% (Amrinawati, 2004), sedangkan kecernaan protein kelinci yang diberi ransum biomassa ubi jalar sebesar 70,75% (Khotijah, 2006). Krisnanto (2007) melaporkan bahwa kecernaan serat kasar kelinci yang diberi ransum mengandung tepung ubi jalar (Manihot esculenta) yaitu sebesar 92,57% sedangkan menurut Nicodema et al. (2007) kecernaan serat kasar kelinci yang diberi ransum mengandung kulit kedelai dan tepung biji anggur sebesar 21,6%. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci Kelinci membutuhkan zat makanan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin (Cheeke at al., 2000). Jumlah zat makanan yang dibutuhkan tergantung pada umur, tujuan produksi serta laju atau kecepatan pertumbuhannya (Blakely dan Bade, 1991). Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan minimal yang harus dipenuhi, jika nutrisi yang dibutuhkan tidak tersedia dalam ransum, tubuh
ternak akan membongkar cadangan energi (glikogen, lemak dan protein) tubuh untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Tillman et al., 1997). Kebutuhan zat makanan untuk kelinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci dalam Berbagai Status Fisiologis Zat Makanan DE (MJ/Kg) TDN Serat Kasar Protein Kasar Lemak Kalsium Phospor Potasium Lysine Arginine Threonine Tryptophan Histidine Isoleucine Valin Leucine Vitamin A (IU) Vitamin E (mg) Cholin (g)
Status Fisiologi Kelinci Pertumbuhan Pemeliharaan Bunting Laktasi ---------------------------------- % ------------------------------2500 2100 2500 2500 65 55 58 70 10-12 14 10-12 10-12 16 12 15 17 2 2 2 2 0,4 0,45 0,75 0,2 0,37 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 0,65 0,6 0,6 0,2 0,3 0,6 0,7 1.1 580 1160 40 40 1,2 -
Sumber : NRC (1977)
Protein adalah senyawa organik yang komplek karena mengandung unsurunsur karbon, hidrogen, oksigen, sulphur, phosphor dan nitrogen (Anggordi, 1994). Kelinci membutuhkan protein dalam ransum untuk pertumbuhan, hidup pokok dan produksi bulu. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa kebutuhan protein pada fase pertumbuhan lebih tinggi daripada fase dewasa, karena protein tersebut selain digunakan untuk hidup pokok juga untuk pertumbuhan jaringan. Protein merupakan komponen yang sangat pentig untuk membentuk jaringan otot, membran sel, hormon dan enzim (Cheeke et al., 2000). Protein dibentuk dari unit dasar yang disebut asam amino. Ternak monogastrik seperti babi, unggas dan hewan herbivora non ruminan seperti kelinci membutuhkan asam amino dalam pakannya. Lain halnya pada ternak ruminan seperti sapi dan kambing yang tidak membutuhkan asam amino dalam pakannya. Hal tersebut dikarenakan bakteri dalam
rumen dapat menghasilkan asam amino (Cheeke et al., 2000). Asam amino yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh ternak dan dapat dipenuhi lewat pakan disebut asam amino esensial. Menurut NRC (1977) protein yang dibutuhkan kelinci untuk pertumbuhan sebesar 16%. Kelinci kurang mampu mencerna serat kasar secara efisien, akan tetapi untuk pertumbuhan dan kesehatan normal tetap dibutuhkan dalam ransum (Khalil, 1986). Menurut Khalil (1986) kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan kerja saluran alat pencernaan tertekan. Hal ini menunjukkan bahwa kelinci memiliki batas toleransi terhadap kandungan serat kasar ransum. Serat kasar yang direkomendasikan untuk pertumbuhan kelinci sebesar 10 - 12% serta untuk hidup pokok 14% (NRC, 1977). Menurut NRC (1977), kelinci membutuhkan lemak dalam ransum sebesar 2%. Lemak dapat meningkatkan palatabilitas dan sebagai perekat dalam pembuatan pelet (Cheeke et al., 2000). Selain itu, mineral juga dibutuhkan dalm ransum kelinci. Kekurangan dan kelebihan mineral pada kelinci dapat menyebabkan keracunan. Kelinci membutuhkan mineral untuk pertumbuhan terutama Ca (0,4) dan P (0,22%) (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987) kebutuhan mineral kelinci lebih tinggi daripada ternak lain. Ternak akan dapat mencapai tingkat penampilan produksi tertinggi sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkannya. Zat makanan tersebut diperoleh ternak dengan jalan mengkonsumsi sejumlah makanan (Sutardi, 1980). Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan (Sutardi, 1980). Selain itu aroma dari pakan yang digunakan juga dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995). Menurut Okmal (1993), protein kasar ransum yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering yang tinggi menghasilkan konsumsi protein kasar yang tinggi pula. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) untuk hidup pokok yaitu 3%-4% dari bobot badan dan 5-8 % dari bobot badan untuk pertumbuhan normal. Kebutuhan bahan kering pakan berdasarkan periode pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering (BK) Pakan Berdasarkan Periode Pemeliharaan Status
Bobot (kg)
Bahan Kering (%)
Muda
1,8-3,2
5,4-6,2
Kebutuhan BK (g/ekor/hari) 112-173
Dewasa
2,3-6,8
3,0-4,0
92-204
Bunting
2,3-6,8
3,7-5,0
115-251
4,5
11,5
520
Menyusui dengan anak 7 ekor Sumber : NRC (1977)
Ransum Komplit Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemeliharaan ternak, selain faktor pemilihan bibit dan tata laksana pemeliharaan yang baik. Pemberian pakan perlu memperhatikan pemilihan bahan pakan sebagai penyusun ransum yang sesuai dengan kemampuan fisiologis pencernaan ternak tersebut. Ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologi, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997). Bungkil Kelapa Bungkil kelapa merupakan limbah yang diambil dari daging kelapa setelah diekstrak atau dikeringkan. Bungkil kelapa dapat digunakan untuk mensuplai sebagian protein yang diperlukan untuk ternak (Pond et al., 1995). Tillman et al. (1997) menyatakan bahwa bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan nutrisi yang utama adalah protein kasar sebesar 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasar dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15% dan ini merupakan sifat dari bungkil atau ampas bahan makanan yang berasal dari tumbuhan.
Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pembuatan minyak inti sawit yang dihasilkan setelah beberapa kali mengalami proses ekstraksi minyak dari inti buah kelapa sawit. Menurut Adeniji (2004), BIS memiliki potensi yang besar sebagai bahan pakan kelinci untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Komposisi zat makanan dari bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit Berdasarkan Bahan Kering Komponen Zat Makanan
Bungkil Kelapa1
Bungkil Inti Sawit2
------------------------ % ------------------------
Bahan Kering
86
91
Abu
6,4
6
Protein Kasar
21,60
14,80
Lemak Kasar
10,20
14
Serat Kasar
15,10
23
BETN
46,70
42,20
Sumber : 1. Tillman et al. (1997) 2. Sue (2005)
Menurut Adeniji (2004), ransum yang mengandung BIS tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, serta konversi ransum. Persentase penggunaan BIS sebagai pengganti bungkil kacang tanah dalam ransum yang optimal dan direkomendasikan sebagai pakan untuk kelinci lepas sapih adalah sebesar 37,5% dari total ransum (Adeniji, 2004). Menurut Rahayu (2002) pemberian 25% BIS sangat nyata mempengaruhi konversi ransum pada ayam broiler (2,11%) serta tidak menyebabkan perbedaan konsumsi ransum dan tampilan bobot badanya. Kiswara (2007) melaporkan bahwa pemberian BIS dalam ransum puyuh menunjukkan konsumsi paling tinggi sedangkan pemberian BIS pada domba dapat memperbaiki pertumbuhan dengan tingkat pemberian 1,5% bobot badan (Silitonga, 1993).
Rumput Lapang Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas rendah. Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah, pegunungan, tepi jalan, dan semak-semak. Rumput ini tumbuh liar sehingga memiliki mutu yang kurang baik untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Kualitas rumput lapang di Indonesia sangat rendah, oleh sebab itu campur tangan manusia terhadap rumput lapang maupun ternak harus dilakukan secara semi intensif (Anggorodi, 1994). Rumput lapang mempunyai kadar Neutral Detergent Fiber (NDF) > 60% dan kadar Acid Detergent Fiber (ADF) sekitar 40% yang menunjukkan rumput lapang berkualitas rendah (Van Soest, 1982). Pemberian rumput secara tuggal sebagai sumber hijauan belum dapat mencukupi kebutuhan ternak kelinci. Penggunaan rumput dalam ransum belum mencukupi kebutuhan kelinci, sehingga perlu ditambahkan leguminosa yang mengandung kadar protein cukup tinggi (Hidayat, 2002). Lamtoro Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman legum pohon serba guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase, dan pellet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno, 1992). Menurut Mtenga (1994) lamtoro memiliki kandungan protein yang tinggi (21%), kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam aminonya cukup tinggi dan juga memilki antinutrisi seperti mimosin dan tanin.. Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibanding daun gamal. Namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna cokelat) pada kelinci. Wood et al. (2003) menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar mimosine daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu 60°C dan 145°C yaitu sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosine akibat proses pelleting. Tidore (2010) melaporkan bahwa konsumsi kelinci betina yang diberi 10% lamtoro dalam ransum
komplit nyata lebih rendah dibandingkan konsumsi kelinci yang diberi ransum mengandung 10% daun ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa kelinci toleran terhadap penggunaan lamtoro sebesar 5% dalam ransum. Menurut Onwudike (1995) penggunaan lamtoro sebesar 50% dalam pakan kelinci akan menurunkan pertumbuhan sedangkan pada babi pemberian lamtoro lebih dari 10% dalam pakan babi dapat menurunkan pertumbuhan dikarenakan adanya mimosin dalam lamtoro (Mtenga et al. 1994). Daun Ubi Jalar Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar (Ipomea batatas L. ) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji. Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, daun ubi jalar menunjukkan konsumsi yang paling tinggi yaitu sebesar 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan 389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar, baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina (Sudaryanto et al., 1984). Komposisi zat makanan rumput lapang, lamtoro dan daun ubi jalar tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Zat Makanan Rumput Lapang, Lamtoro dan Daun Ubi Jalar Berdasarkan Bahan Kering Komponen Zat Makanan Bahan Kering
Rumut lapang Lamtoro Daun Ubi Jalar ---------------------------- % ----------------------------89,16 89,46 88,46
Abu
15,68
9,61
14,33
Protein Kasar
11,33
26,07
25,51
Serat Kasar
41,67
17,86
24,29
Lemak Kasar
1,04
5,00
1,15
BETN
30,28
41,46
34,7
Ca
0,51
1,86
0,79
P
0,33
0,25
0,38
Energi Bruto (Kkal/kg)
3460
4393
3552
Sumber : Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama enam minggu dari bulan Maret - Juni 2009. Lokasi penelitian bertempat di peternakan kelinci Komplek Laladon Indah, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No.31 Bogor. Pembuatan ransum kelinci dilakukan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jantan lokal sebanyak 20 ekor berumur 4 bulan dengan rataan bobot badan 1.461,65±140,83 g. Pakan kelinci yang diberikan berupa ransum komplit berbentuk pelet dengan ukuran 3 mm yang terdiri atas konsentrat, hijauan, premix dan mineral. Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Kelinci Percobaan
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan sebanyak 20 buah kandang individu yang terbuat dari bambu dilengkapi ram kawat berukuran 75 x 60 x 50 cm dengan sistem baterai. Pada setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum dan penampungan feses yang diletakkan dibawah alas kandang. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital. Kandang yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Kandang Kelinci Penelitian Ransum Ransum komplit penelitian tersusun atas jagung, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, bungkil kedelai, tepung ikan serta rumput lapang dan lamtoro atau daun ubi jalar sebagai hijauan, premix, NaCl, Dicalsium Phospat dan Crude Palm Oil. Komposisi ransum perlakuan disajikan pada Gambar 4.
R1 R5 R. Lapang25% D. Ubi Jala 5% BIS 5%
R4 R. Lapang 25% lamtoro 5% BIS 5%
R. Lapang 30% B. Kelapa 5%
R2 R. Lapang 5% Lamtoro 5% B. Kelapa 5%
Jagung Dedak padi Bungkil kedelai Tepung Jagung Dedak padi Bungkil kedelai Tepung ikan Premix
R3 R. Lapang 5% D. Ubi Jalar 5% B. Kelapa 5%
Gambar 4. Komposisi Ransum Perlakuan Prosedur Pembuatan Pelet Ransum komplit terlebih dahulu diformulasikan menggunakan program WinFeed 2.8. Untuk tahapan pembuatan ransum komplit berbentuk pelet dapat dilihat pada Gambar 5.
Hijauan segar
Konsentrat
Hijauan Kering
Tepung Konsentrat
Penggilingan Pencampuran
Pencetakan Pelet Gambar 5. Tahapan Pembuatan Ransum Komplit Bahan-bahan pakan hijauan seperti rumput lapang, lamtoro dan daun ubi jalar terlebih dahulu dijemur dibawah sinar matahari sampai kering. Hijauan yang telah kering kemudian digiling. Hijauan yang telah berbentuk mash dicampur dengan bahan lain sesuai dengan formula dan dimasukkan ke dalam mixer sampai homogen. Bahan yang telah tercampur kemudian dimasukkan ke dalam mesin pelet untuk menghasilkan pelet yang berukuran panjang 3 mm. Pelet yang dihasilkan kemudian diangin-anginkan sampai kering dan dimasukkan ke dalam karung terpisah untuk disimpan. Pemeliharaan dan Pemberian Pakan pada Kelinci Pemeliharaan kelinci dilakukan selama 6 minggu dengan 1 minggu masa adaptasi dan 5 minggu pemeliharaan. Pemberian ransum dan air minum dilakukan ad libitum dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pagi pukul 07.00 WIB dan sore pukul 15.00 WIB. Pengambilan Contoh untuk Analisis Ransum Formula ransum yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan kelinci pada masa pertumbuhan seperti yang direkomendasikan oleh NRC (1977), yaitu 16 % protein kasar, 2 % lemak kasar, 12 % serat kasar, 55-65 % TDN dan 2100-2500 kkal/kg DE. Terdiri dari lima macam jenis ransum penelitian yang disusun masing-
masing dengan hijauan yang berbeda. Formulasi bahan makanan dalam ransum penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Bahan Makanan dalam Ransum Perlakuan Perlakuan Bahan Makanan
R1
R2
R3
R4
R5
--------------------------------- (%) -------------------------------Jagung
31,5
31,5
31,5
31,5
31,5
Dedak Padi
15
15
15
15
15
Bungkil Kelapa
5
5
5
-
-
Bungkil Inti Sawit
-
-
-
5
5
Bungkil Kedelai
15
15
15
15
15
Tepung Ikan
1
1
1
1
1
Rumput Lapang
30
25
25
25
25
Lamtoro
-
5
-
5
-
Daun Ubi Jalar
-
-
5
-
5
DCP
1
1
1
1
1
NaCl
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Premix
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Setiap ransum diambil contoh sebanyak ±100 g untuk dianalisis kandungan nutrisinya pada saat sebelum penelitian dimulai. Komposisi zat makanan dalam ransum penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering Perlakuan Zat Makanan
R1
R2
R3
R4
R5
---------------------------------- % ------------------------------BK
87,07
86,86
87,6
87,35
89,86
Abu
8,34
9,37
9,24
8,83
8,35
Protein Kasar
18,81
19,28
18,23
17,45
16,46
Lemak Kasar
5,6
5,89
6,23
5,48
7,43
Serat Kasar
13,94
14,64
14,45
12,93
14,36
Beta-N
53,3
50,81
51,85
55,32
53,41
Feses Pengambilan contoh feses dilakukan pada tiga hari terakhir penelitian selama 3x24 jam dengan metode koleksi total. Seluruh feses yang tertampung (tiap perlakuan) ditimbang sebagai berat feses total, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 24 jam. Feses yang telah kering kemudian digiling dan dicampur pada masing-masing perlakuan. feses yang telah tercampur kemudian diambil + 5 g untuk analisis bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar. Skema pengambilan contoh feses untuk analisis dapat dilihat pada Gambar 6.
Feses diambil pada tiga hari terakhir penelitian Analisis bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar
Timbang sebagai berat feses (g)
Pengambilan feses + 3-5 g untuk sampel
Kering udara
Penggilingan feses
Gambar 6. Skema Pengambilan Contoh Feses untuk Analisis Peubah Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein dan kecernaan serat kasar pada kelinci jantan lokal dengan rumus : •
Kecernaan BK (%) =
Konsumsi BK Ransum (g)- BK Feses (g) × 100 % Konsumsi BK Ransum (g)
•
Kecernaan BO (%) =
Konsumsi BO Ransum (g)- BO Feses (g) Konsumsi BO Ransum (g)
•
Kecernaan PK (%) =
Konsumsi PK Ransum (g)- PK Feses (g) Konsumsi PK Ransum (g)
•
Kecernaan SK (%) =
Konsumsi SK Ransum (g)- SK Feses (g) Konsumsi SK Ransum (g)
Keterangan : Konsumsi BK (g) = Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) x % BK Ransum BK Feses (g) = Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % BK Feses Konsumsi BO (g) = Konsumsi Ransum (g) x % BO Ransum BO Feses (g) = Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % BO Feses Konsumsi PK (g) = Konsumsi Ransum (g) x % Protein Ransum
× 100 % × 100 % × 100 %
PKFeses (g) = Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % PK Feses Konsumsi SK (g) = Konsumsi Ransum (g) x % Serat Ransum SK Feses (g) = Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % SK Feses
Rancangan Percobaan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu : R1
= Ransum komplit mengandung 5% B. Kelapa + 30% R. Lapang
R2
= Ransum komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% Lamtoro
R3
= Ransum komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% D. Ubi Jalar
R4
= Ransum komplit mengandung 5% Bungkil Inti Sawit (BIS) + 25% R. Lapang + 5% Lamtoro
R5
= Ransum komplit mengandung 5% BIS + 25% R. Lapang + 5% D. Ubi Jalar
Model Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Yij = µ + i + εij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ransum komplit ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rataan umum
i
= Pengaruh perlakuan ransum komplit ke-i
εij
= Error (gallat) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
= Perlakuan Ransum Komplit (R1,R2,R3, R4 dan R5)
j
= Ulangan ke-j : j= 1,2,3 dan 4 Data hasil penelitian dianalisis Ragam (ANOVA) berdasarkan Steel dan
Torrie (1993), jika terjadi perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecernaan Bahan Kering Perlakuan pakan nyata (p<0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering, bahan kering feses dan kecernaan bahan kering. Rataan konsumsi bahan kering, bahan kering feses dan kecernaan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan Kering (KCBK) pada Kelinci Jantan Lokal Perlakuan n
Peubah BK Feses (g/e/h)
KCBK(%)
29,46+6,85bc
65,88+5,20a
R1
Konsumsi BK (g/e/h) 85,98+9,96ab
R2
73,68+9,47a
16,00+6,25a
78,76+6,34b
R3
88,47+5,77ab
21,82+7,33ab
74,97+9,77ab
R4
98,19+10,75bc
20,74+5,03ab
78,88+4,76b
R5
105,05+13,82c
34,31+7,44c
67,62+3,60a
Keterangan :
Nilai dengan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata (p<0,05). (R1) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 30% R. Lapang (R2) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R3) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar (R4) Ransum Komplit mengandung 5% Bungkil Inti Sawit (BIS) + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R5) Ransum Komplit mengandung 5% BIS + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar.
Konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata akan tetapi ketiga perlakuan tersebut nyata lebih rendah (p<0,05) dibandingkan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R5, sedangkan konsumsi bahan kering kelinci yang diberi perlakuan R5 tidak berbeda nyata dengan kelinci yang mendapat perlakuan R4. Hal ini menunjukkan bahwa ransum komplit yang mengandung BIS dengan kombinasi daun ubi jalar menghasilkan konsumsi bahan kering kelinci yang lebih baik dibandingkan dengan ransum komplit mengandung bungkil kelapa. Perbedaan konsumsi bahan kering ransum tersebut diduga karena adanya perbedaan palatabilitas dimana ransum komplit mengandung BIS lebih palatabel dibandingkan ransum komplit yang mengandung bungkil kelapa. Sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980) bahwa faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan, selain itu juga didukung oleh pernyataan Pond et al. (1995) bahwa palatabilitas ransum dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, tekstur serta aroma makanan yang diberikan. Tingginya konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R5 juga disebabkan oleh kombinasi hijauan daun ubi jalar dalam formula ransum. Hal ini didukung oleh Sudaryanto et al. (1984) yang melaporkan bahwa daun ubi jalar paling banyak dikonsumsi pada kelinci jantan (379,50 g/ekor/hari) dan pada kelinci betina (389,85 g/ekor/hari). Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Mulya (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan bungkil kelapa di dalam ransum komplit untuk kelinci mampu menghasilkan konsumsi yang optimal dengan penambahan hijauan rumput lapang saja di dalam ransum. Adanya penambahan hijauan lain seperti daun lamtoro dan daun ubi jalar akan memberikan efek yang negative terhadap jumlah konsumsi ransum. Hasil dari semua perlakuan terhadap konsumsi bahan kering dapat diartikan bahwa penggunaan BIS pada taraf 5% dalam ransum cukup palatabel. Konsumsi bahan kering kelinci dalam penelitian ini (5-6% bobot badan) sudah memenuhi standar yang direkomendasikan oleh NRC (1977) yaitu sebesar 5,4-6,2% dari bobot badan. Bahan kering feses kelinci yang mendapat perlakuan R5 nyata lebih tinggi dibandingkan kelinci yang mendapat perlakuan R2, R3 dan R4 namun tidak berbeda dibandingkan dengan bahan kering feses kelinci yang mendapat perlakuan R1. Hal ini diduga dipengaruhi oleh sifat fisik bahan pakan tersebut sehingga zat makanan (bahan kering) tidak tercerna dengan baik/rendah didalam tubuh dan terbuang melalui feses. Semakin sedikit bahan kering yang ditemukan pada feses mengindikasikan tingginya kecernaan bahan kering tersebut. Kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R2 dan R4 tidak berbeda nyata namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R5, sedangkan kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R3 menunjukkan tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Tingginya kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R2 maupun R4 dikarenakan penggunaan lamtoro dalam formula ransum. Hal ini diduga karena lamtoro memiliki kualitas protein yang baik dengan kandungan
asam amino yang seimbang, sehingga kecernaan bahan kering kelinci tinggi. Menurut Mtenga (1994), selain mengandung zat inhibitir seperti mimosin dan tanin, lamtoro juga memiliki kandungan asam amino yang cukup tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan kelinci. Penggunaan 5% lamtoro dalam ransum komplit dengan kombinasi bungkil kelapa maupun BIS dapat meningkatkan kecernaan bahan kering kelinci. Rendahnya kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakauan R1 disebabkan oleh penggunaan rumput lapang sebagai satu-satunya hijauan dalam ransum komplit. Hal ini didukung oleh pernyataan Hidayat (2002) bahwa pemberian rumput lapang secara tunggal sebagai sumber hijauan belum dapat mencukupi kebutuhan ternak kelinci. Sedangkan rendahnya kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R5 disebabkan oleh kombinasi BIS dan daun ubi jalar yang diduga memiliki kandungan ADF yang tinggi. Menurut Herawati (2005) kadar ADF yang terkandung didalam ransum biomassa ubi jalar cukup tinggi (31,13%). Sesuai pernyataan Khotijah (2006) bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kadar ADF, dimana fraksi tersebut merupakan komponen tanaman yang sulit dicerna oleh ternak. Kecernaan bahan kering kelinci pada penelitian sebesar 65,88-78,88% yaitu lebih tinggi dibandingkan pernyataan Cheeke (1987), bahwa kecernaan bahan kering pada kelinci yang diberi ransum berbentuk pelet yaitu sebesar 47%. Sedangkan kelinci yang diberikan ransum komplit biomassa ubi jalar sebesar 66,03% yaitu lebih rendah dibandingkan ransum pada penelitian. Hal tersebut membuktikan bahwa ransum perlakuan memiliki kualitas pakan yang baik, karena tingkat kecernaan bahan kering tinggi. Kecernaan Bahan Organik Perlakuan pakan nyata (p<0,05) mempengaruhi konsumsi bahan organik, bahan organik feses dan kecernaan bahan organik. Rataan konsumsi bahan organik, bahan organik feses dan kecernaan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 9. Konsumsi bahan organik kelinci menunjukkan pengaruh yang sama dengan konsumsi bahan kering kelinci. Konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R5 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi bahan organik
kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2 dan R3 namun tidak berbeda dengan konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R4. Bahan organik feses kelinci juga memberikan pengaruh yang sama dengan bahan kering feses kelinci. Bahan organik feses kelinci yang mendapat perlakuan R1 memberikan pengaruh yang sama dengan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R3, R4 dan R5 namun nyata lebih tinggi dibandingkan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R2. Sedangkan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R2, R3 dan R4 menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda namun nyata lebih rendah dibandingkan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R5. Tabel 9. Rataan Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses dan Kecernaan Bahan Organik pada Kelinci Jantan Lokal Perlakuan n
Peubah BO Feses (g/e/h)
KCBO (%)
24,83+5,78bc
68,21+4,85a
R1
Konsumsi BO (g/e/h) 77,75+9ab
R2
65,74+8,45a
13,46+5,25a
79,97+5,89b
R3
79,15+5,16ab
18,59+6,24ab
76,17+9,30ab
R4
88,27+9,66bc
17,18+4,17ab
80,53+4,39b
R5
95,30+12,54c
29,11+6,31c
69,72+3,37a
Keterangan :
Nilai dengan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata (p<0,05). (R1) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 30% R. Lapang (R2) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R3) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar (R4) Ransum Komplit mengandung 5% Bungkil Inti Sawit (BIS) + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R5) Ransum Komplit mengandung 5% BIS + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar.
Kecernaan bahan organik memperlihatkan pengaruh yang sama dengan kecernaan bahan kering kelinci. Kecernaan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R5 nyata lebih rendah (p<0,05) dibandingkan kecernaan bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan R2 dan R4, sedangkan kecernaan bahan organik yang mendapat perlakuan R3 tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Tingginya kecernaan bahan organik sejalan dengan tingginya kecernaan bahan kering. Hal ini sesuai dengan prinsip perhitungan bahan organik dari analisis
proksimat, dimana semakin tinggi persentase bahan kering maka akan diikuti oleh peningkatan persentase bahan organiknya (Tillman,et al. 1997). Penggantian BIS oleh bungkil kelapa dalam formula ransum menghasilkan pengaruh yang sama terhadap kecernaan bahan organik, namun kombinasi hijauan yang digunakan akan memberikan pengaruh yang nyata berbeda (p<0,05). Perbedaan kecernaan bahan organik ini diduga karena adanya perbedaan kualitas serat kasar pada masing-masing bahan pakan yang digunakan. Kualitas hijauan seperti rumput lapang, lamtoro dan ubi jalar memiliki kualitas serat kasar (ADF) yang berbeda sehingga tingkat kecernaan bahan organik juga berbeda. Kecernaan Protein Perlakuan pakan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap konsumsi protein kasar, protein kasar feses dan kecernaan protein kasar. Rataan konsumsi protein kasar, protein kasar feses dan kecernaan protein kasar kelinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses dan Kecernaan Protein Kasar pada Kelinci Jantan Lokal
R1
Konsumsi Protein Kasar (g/e/h) 15,56+1,80ab
Peubah Protein Kasar Feses (g/e/h) 5,21+1,21b
Kecernaan Protein Kasar (%) 66,68+5,08a
R2
14,33+1,84a
3,05+1,19a
79,16+6,22b
R3
15,53+1,01ab
3,81+1,28ab
75,10+9,72ab
R4
18,00+1,97b
3,79+0,92ab
78,94+4,74b
R5
16,94+2,23ab
5,60+1,21b
67,23+3,64a
Perlakuan n
Keterangan :
Nilai dengan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata (p<0,05). (R1) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 30% R. Lapang (R2) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R3) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar (R4) Ransum Komplit mengandung 5% Bungkil Inti Sawit (BIS) + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R5) Ransum Komplit mengandung 5% BIS + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar.
Konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan
R2 namun konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R4 maupun R2 tidak berbeda dengan perlakuan lainya. Perbedaan konsumsi protein kasar diduga karena adanya perbedaan kualitas protein ransum dimana pada R4 kualitas proteinnya lebih tinggi daripada R2. Sesuai dengan pernyataan Lang (1981) bahwa kualitas protein sangat penting untuk kelinci karena konsumsi akan meningkat jika dalam ransum mengandung protein yang berkualitas tinggi. Tingginya konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R4 disebabkan oleh penggunaan BIS dalam formula ransum akan tetapi tidak dipengaruhi oleh hijauan (lamtoro) yang digunakan . Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas protein BIS lebih baik daripada kualitas protein bungkil kelapa, sesuai dengan pernyataan Kim et al., (2001) bahwa kandungan asam amino pada BIS lebih tinggi daripada asam amino yang terkandung dalam bungkil kelapa. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Mulya (2010) yang melaporkan bahwa kelinci yang diberi ransum komplit mengandung BIS menghasilkan konsumsi dan PBB nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci yang diberi ransum komplit mengandung bungkil kelapa. Rendahnya konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R2 disebabkan oleh penggunaan bungkil kelapa yang memiliki kualitas protein yang rendah, sesuai dengan pernyataan (Herawati, 2005) bahwa bungkil kelapa memiliki kualitas yang bervariasi tergantung pada cara pengolahan dan mutu bahan baku. Selain itu, rendahnya konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R2 dikarenakan konsumsi bahan kering dan konsumsi bahan organik yang juga rendah. Protein kasar merupakan salah satu bahan organik dalam ransum, selain itu konsumsi protein kasar sangat dipengaruhi oleh kadar protein ransum. Sesuai dengan pernyataan Okmal (1993), kadar protein kasar dalam ransum yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering yang tinggi menghasilkan konsumsi protein kasar yang tinggi pula dan sebaliknya. Kecernaan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R5 nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kelinci yang mendapat perlakuan R2 dan R4, sedangkan kecernaan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R3 memberikan pengaruh yang tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Tingginya kecernaan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R2 dan R4 diduga oleh
penggunaan lamtoro dalam formula ransum. Sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980), kelompok leguminosa memiliki daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis rerumputan karena kandungan NDF/ADF nya lebih rendah. Selain itu kecernaan protein kasar juga dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi protein kasar. Penggunaan BIS dan daun ubi jalar dalam formula ransum menurunkan kecernaan protein kasar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas protein ransum R5 lebih rendah dibandingkan dengan kualitas protein R2 dan R4. Rendahnya kecernaan protein kasar kelinci yang diberi perlakuan R5 dapat dilihat dari nilai rataan protein fesesnya yang tinggi. Rendahnya protein feses kelinci yang diberi perlakuan R5 diduga karena BIS yang digunakan masih tercampur oleh cangkang yang sulit dicerna, sehingga banyak protein kasar dari bahan makanan tersebut yang ikut keluar melalui feses. Sedangkan rendahnya kecernaan protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1 disebabkan oleh penggunaan rumput lapang sebagai satu-satunya hijauan dalam formula ransum. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan kecernaan protein kasar sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan yang digunakan dalam ransum tersebut. Sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa salah faktor yang mempengaruh daya cerna ransum adalah komposisi ransum tersebut. Kecernaan protein kasar kelinci pada penelitian sebesar 66,68-79,16% yaitu lebih besar dibandingkan kecernaan protein kelinci yang mendapat ransum komplit biomasaa ubi jalar yang dilaporkan oleh Khotijah (2006) yaitu sebesar 70,75%. Kecernaan Serat Kasar Perlakuan pakan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap konsumsi serat kasar, serat kasar feses dan kecernaan serat kasar. Rataan konsumsi serat kasar, serat kasar feses dan kecernaan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 11. Konsumsi serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R5 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2, R3 dan R4 sedangkan konsumsi serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2, R3 dan R4 tidak berbeda nyata. Serat kasar feses kelinci yang mendapat perlakuan R1 tidak berbeda nyata dengan kelinci yang mendapat perlakuan R3, R4 dan R5 namun nyata lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan kelinci yang mendapat perlakuan R2. Serat kasar feses kelinci yang mendapat perlakuan R2, R3 dan R4 tidak berbeda
nyata akan tetapi nyata lebih rendah dibandingkan kelinci yang mendapat perlakuan R5. Table 11. Rataan Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses dan Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Jantan Lokal
R1
Konsumsi Serat Kasar (g/e/h) 11,99+1,39a
Peubah Serat Kasar Feses (g/e/h) 10,73+2,5bc
Kecernaan Serat Kasar (%) 15,87+9,30a
R2
10,79+1,39a
5,64+2,2a
48,82+15,27c
R3
12,78+0,83a
7,12+2,39ab
43,44+22,09bc
R4
12,69+1,39a
7,54+1,83ab
40,59+13,38bc
R5
15,08+1,98b
12,03+2,61c
Perlakuan
Keterangan :
20,90+8,8ab
Nilai dengan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata (p<0,05). (R1) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 30% R. Lapang (R2) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R3) Ransum Komplit mengandung 5% B. Kelapa + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar (R4) Ransum Komplit mengandung 5% Bungkil Inti Sawit (BIS) + 5% Lamtoro + 25% R. Lapang (R5) Ransum Komplit mengandung 5% BIS + 25% R. Lapang + 5% Daun Ubi Jalar.
Kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R2 nyata lebih tinggi daripada kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R5 namun tidak berbeda dengan kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R3 dan R4. Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum komplit yang mengandung bungkil kelapa maupun BIS dengan kombinasi legum berupa lamtoro menghasilkan kecernaan serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan ransum komplit mengandung bungkil kelapa dengan kombinasi hijauan hanya rumput lapang dan ransum komplit mengandung BIS dengan kombinasi daun ubi jalar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980), kelompok leguminosa memiliki daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis rerumputan karena kandungan NDF/ADF nya lebih rendah. Kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1 nyata lebih rendah daripada kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R3 dan R4 namun tidak berbeda dengan kecernaan serat kasar kelinci yang mendapat perlakuan R5. Rendahnya kecernaan serat kasar kelinci yang diberi perlakuan R1 disebabkan
oleh sumbangan serat yang berasal dari rumput lapang sebagai satu-satunya hijauan dalam formula ransum tersebut. Hal ini diduga karena komponen serat (ADF) yang terdapat pada rumput lapang tinggi. Sesuai dengan pernyataan Cheeke (1987) faktor yang mempengaruhi kecernaan serat kasar salah satunya adalah perbedaan kadar ADF dalam ransum perlakuan. ADF yang tinggi dalam pakan dapat menyebabkan kelinci sulit untuk mencerna pakan sehingga kecernaannya rendah. Kecernaan serat kasar dapat dilihat juga dari tinggi rendah konsumsi serat kasar kelinci. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsumsi serat kasar tinggi menghasilkan kecernaan serat kasar yang rendah dan sebaliknya. Hal ini didukung oleh pernyataan Khalil et al., (1986) bahwa kemampuan mikroba mencerna serat kasar tergantung pada jumlah serat kasar yang masuk. Semakin banyak jumlah serat kasar yang masuk, kemampuan mencerna semakin menurun dan sebaliknya. Kecernaan serat kasar kelinci pada penelitian sebesar 20,92 - 48,82 %. Hal ini terjadi karena kualitas serat kasar yang dimiliki tiap-tiap bahan pakan berbeda.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan bungkil kelapa dalam formula ransum komplit memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan bungkil inti sawit terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar pada kelinci. Kombinasi hijauan rumput lapang dengan lamtoro maupun daun ubi jalar sebanyak 5% dalam ransum komplit dapat meningkatkan kecernaan zat makanan pada kelinci. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai taraf penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum kelinci dengan memperhatikan komposisi zat makanan lain. Formulasi ransum mengandung bungkil kelapa atau bungkil inti sawit dengan hijauan lamtoro atau ubi jalar dapat dipakai untuk kelinci pedaging.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Maha suci Allah atas segala sesuatu ciptaanNya, atas berkah dan karunia-Nya sehingga penulis telah menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Lilis Khotijah, M.Si dan Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan, saran dan nasihat yang telah diberikan, terutama dalam proses tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. selaku dosen pembahas seminar, Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr, Ir. Hotnida, C. H.S.,M.Si. selaku dosen penguji sidang atas saran-saran yang telah diberikan. Penulis ucapkan juga terimakasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. atas bimbingan dan saran yang diberikan. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terkira penulis haturkan kepada keluarga penulis yakni Ayah H. Achmad Ismail, Ibu Hj. Anis Nuraini, kedua kakak yucan dan yupa, dan keluarga besar yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa, kesabaran, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Kepada rekan sepenelitian (Franco, Siena, Chandra dan Roy) dan juga Dimiyati, Hasan Basri, Muhammad Toha atas bantuan dan kerjasama selama penelitian ini berlangsung. Kepada keluarga Bapak Nahrowi yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian. Kepada Teman-teman (Putri, Pipit, Yeni, Dita, Fani, Fita, Maya, Rani dan “arsida crew”) dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan yang telah tercipta semoga tali silaturahmi kita akan tetap terjalin. Penulis ingin menyampaikan terima kasih juga kepada keluarga besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), teman-teman angkatan 42, para dosen dan staf yang banyak membantu, memfasilitasi selama penelitian, dan rasa kebersamaan yang telah dibangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan dan menggunakannya. Bogor, Mei 2010 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total digestible nutrient (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adeniji, A. A. 2004. The replacement value of palmkernel cake for groundnut cake in the diets of weaner rabbits. Journal of Livestock Production Sci. 85 : 287– 291. Amrinawati, A. 2004. Kombinasi bungkil kedelai dan tepung ikan dalam ransum kelinci jantan muda yang mengandung ampas teh terhadap kecernaan dan retensi nitrogen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta. Blakely, J. dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Ed. Ke-4. Gajdah Mada University Press. Yogyakarta. Chan, W., J. Brown, S. M. Lee and D. H. Buss. 1995. Meat and Poultry. The Royal Society of Chemistry, London. Cheeke, P. R. 1987. Rabbit Feeding and Nutrition. Academic Press, INC. Florida. Cheeke,P. R., McNitt, J. I., and Patton, N.M. 2000. Rabbit Production. 8th Edition. Interstate Publishers Inc, Danville, Illinois. Damron, M. 2003. Klasifikasi Makhluk Hidup Mamalia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ensminger, M. E., J. G. Oldfield and W.W. Heireman. 1990. Feed and Nutrition. Ensminger Publishing Co, California. Farrel, D. J. and Y. C. Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research Institute for Animal Science. Bogor. Gracia, J., J. F. Galvec and J.C. De blas. 1993. Effect of substitution of sugarbeet pulp for barley in diet for finishing rabbits on growth performance and on energy and nitrogen efficiency. J. Anim. Sci. 71: 1823-1830. Gracia, J., R. Carabano and J. C. de Blas. 1999. Effect of fiber source on cell wall digestibility and rate of passage in rabbits. J. Anim. Sci. 77:898-905. Hakim, R. S. 2002. Evaluasi in vitro respon mikroba rumen ternak ruminansia terhadap penambahan asam amino daba (2.4-diamino butyric acid) dan Acacia vilosa dalam ransum. Skripsi. Fakultas peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hendra, S. B. B. 2009. Perbedaan performans anak kelinci lokal periode pra-sapih yang induknya diberi pakan komplit mengandung bungkil inti sawit dan bungkil kelapa. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Herawati, U. A. 2002. Kecernaan bahan kering, protein dan retensi nitrogen kelinci jantan persilangan lepas sapih yang diberi ransum pelet ubi jalar (Ipomea batatas). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Herman, R. 2000. Produksi Kelinci dan Marmot. Anatomi dan Fisiologi Alat Pencernaan serta Kebutuhan Pakan. Edisi Ketiga. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayat, R. 2002. Penggunaan berbagai tingkat daun belendung (Erythrina litrosperma) yang dicampur dengan rumput lapangan untuk ransum kelinci New zealand white yang sedang tumbuh. J. Ilmu Ternak. 2(2) : 70-74. Khalil, L. A. S., R. Herman dan D. Aritonang. 1986. Pengaruh kandungan serat kasar ransum terhadap performans kelinci lepas sapih. J. Ilmu Peternakan. 2(4) : 141-144. Khotijah, L. 2006. Penambahan urea atau DL-Methionin ke dalam ransum komplit biomassa ubi jalar pada kelinci. Med. Pet. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 29(2):89-95. Kim, B. G., J. H. Lee, H. J. Jung, Y.K. Han, K. M. Park and K. H. In. 2001. Effect of partial replacement of soybean meal with palm kernel meal and copra meal growth performance, nutrient digestibility and carcass characteristics of finishing pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14(6):821-830. Kiswara, G. 2007. Nilai retensi protein bungkil inti sawit hasil ekstraksi fisik dan kimia (BIS-PRO) pada puyuh (Coturnix ecturnix japonica). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krisnanto, D. 2007. Evaluasi penggunaan tepung ubi kayu ( Manihot esculenta ) sebagai campuran pollard dan ampas tahu dalam ransum terhadap kecernaan serat kasar dan protein kasar pada ternak kelinci peranakan New zealand white. Departrmen of Animal Husbandry. Lang, J.1981. The Nutrition of the Commercial Rabbit. I. Physiology, Digestibility and Reviews Series B51 (A). Common Wealth, Bureau of Nutrition. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food, Wolverhamton. England. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrotion. 5th Ed. John Wiley and Sons Inc., New York. Mtenga, L.A. and Laswai, G. D. 1994. Leucaena leucocephala as feed for rabbits and pigs ; detailed chemical composition and effect of level of inclusion on performance. J. Forest Ecology and Management 64:249-257. Mulya, C. D. 2010. Kualitas ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dengan kombinasi hijauan berbeda pada kelinci. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Research Councill (NRC). 1977. Nutrient Requirements of Rabbits. National Academy of Sciences. Washington D. C. Nicodemus, N., J. Garcia, R. Carbano and J. C. De Blas. 2007. Effect of substitution of a soybean and grape seed meal mixture for traditional fiber sources on digestion and performance of growing rabbits and lactating does. J. Anim. Sci. 85: 181-187 Okmal. 1993. Manfaat leguminosa pohon sebagai suplemen protein dan minyak kelapa sebagai agensia defaunasi dalam ransum pertumbuha domba. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Onwudike, O. C. 1995. Use of the legume tree crops Gliricidia sepium and Leucaena leucocephala as green feeds for growing rabbits. J. of Appl. An. Feed Science and Technology 51: 153-163. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press: jakarta. Pond, W.G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc, Canada. Rahayu, I. H. S. 2002. Upaya pemanfaatan bungkil inti sawit (Palm kernel cake) pada pakan ayam. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hal: 268-270. Rukmana R. 1997. Ubi jalar : budidaya dan pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. Silitonga, S. 1993. Penggunaan bungkil inti kelapa sawit dalam ransum domba. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. J. Ilmu Peternakan. 7(1) : 4-6. Simanjuntak S. D. D. 1998. Penggunaan Aspergillus niger untuk meningkatkan nilai gizi bungkil inti sawit dalam ransum broiler. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soeseno, O. H dan Soedaharoedjian. 1992. Sifat-sifat silvika dan agronomi/ silvikultur Leucaena leucochepala. Prosiding Seminar Nasional Lamtoro I, Jakarta. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometri. Terjemahan: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudaryanto, B., Y. C. Rahardjo dan M. Rangkuti. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performan kelincidi pedesaan. Ilmu dan Peternakan. Puslitbangnak. Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosukodjo. 1997. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Tiodore, F. R. 2010. Pemberian ransum komplit mengadung bungkil inti sawit sebagai pengganti bungkil kelapa dengan hijauan berbeda terhadap penampilan reproduksi induk kelinci lokal. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Van Soest, P. J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant. Cornel University. Durham and Doweney, Inc. Porthland. Widodo. 2009. Harga Daging Kelinci. http : com/harian/0612/15/ked 16. [1 Desember 2009].
//www.
suaramerdeka.
Wood, J. F. Carter, P. M dan R. Savory. Investigations into the effects of processing on the retention of the carotenoid fractions of Leucaena leucocephala during storage, and the effects of processing on mimosine concentration [terhubung berkala].http://www.sciencedirect.com[13Desember2009].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
Jumlah Kuadrat 2312,87 1586,05 3898,92
db 4 15 19
Kuadrat tengah 578,22 105,74 205,21
Fhit. 5,47
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Bahan kering Perlakuan
N
2 1 3 4 5 Signifikansi
Subset 2
1 73.6875 85.9825 88.4750
4 4 4 4 4
3
85.9825 88.4750 98.1975
.072
98.1975 105.0600 .360
.131
Lampiran 3. Sidik Ragam Bahan Kering Feses Sumber Kergaman Perlakuan Eror Total
Jumlah Kuadrat 857,86 660,92 1518,78145
db 4 15 19
Kuadrat Tengah 214,47 44,06 79,94
Fhit. 4,87
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Bahan kering Feses Perlakuan
N
2 4 3 1 5 Signifikansi
4 4 4 4 4
1 15.9950 20.7375 21.8250
.257
Subset 2 20.7375 21.8250 29.4675 .097
3
29.4675 34.3075 .319
Lampiran 5. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering Feses Sumber Keragamn Perlakuan Eror Total
Db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 603,48 595,089691 1198,56503
Kuadrat Tengah 150,87 39,67 63,08
Fhit. 3,80
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Bahan kering Perlakuan
N
1 5 3 2 4 Signifikansi
Subset 1 65.8825 67.6275 74.9700
4 4 4 4 4
2
74.9700 78.7550 78.8825 .418
.071
Lampiran 7. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
Jumlah Kuadrat 2016,65 1288,92 3305,57
Db 4 15 19
Kuadrat Tengah 504,16 85,93 173,98
Fhit. 5,87
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Bahan Organik Perlakuan
N
2 1 3 4 5 Signifikansi
1 65.7350 77.7500 79.1525
4 4 4 4 4
.070
Subset 2
3
77.7500 79.1525 88.2725
88.2725 95.3025 .300
.148
Lampiran 9. Sidik Ragam Bahan Organik Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
Jumlah Kuadarat 628,08 37041,02 37669,11
db 4 15 19
Kuadrat Tengah 157,02 2469,40 1982,58
Fhit. 0,06
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan Bahan Organik Feses Perlakuan 2 4 3 1 5 Signifikansi
N 4 4 4 4 4
1 13.4550 17.1850 18.5875
.238
Subset 2 17.1850 18.5875 24.8300 .086
3
24.8300 29.1075 .298
Lampiran 11. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 1051,53 522,409887 529,120047
Kuadrat Tengah 262,88 34,83 27,85
Fhit. 7,55
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 12. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Bahan Organik Perlakuan
N
Subset 1
1 5 3 2 4 Signifikansi
4 4 4 4 4
2 68.2125 69.7175 76.1725
76.1725 79.9675 80.5300 .341
.091
Lampiran 13. Sidik Ragam Konsumsi Protein Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 32,22 49,54049 81,75608
Kuadrat Tengah 8,05 3,30 4,30
Fhit. 2,44
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Protein Kasar Perlakuan
N
2 3 1 5 4 Signifikansi
4 4 4 4 4
Subset 1 14.3275 15.5325 15.5625 16.9400 .079
2 15.5325 15.5625 16.9400 17.9975 .096
Lampiran 15. Sidik Ragam Protein Kasar Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 18,28 20,53382 38,81675
Kuadrat Tengah 4,57 1,37 2,04
Fhit. 3,34
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan Protein Kasar Feses Perlakuan
N
2 4 3 1 5 Signifikansi
4 4 4 4 4
Subset 1 3.0525 3.7900 3.8100
2 3.7900 3.8100 5.2075 5.5975 .061
.399
Lampiran 17. Sidik Ragam Kecernaan Protein Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
Db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 599,70 584,4785 1184,181
Kuadrat Tengah 149,93 38,97 62,33
Fhit. 3,85
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Protein Kasar Perlakuan
N
1 5 3 4 2 Signifikansi
4 4 4 4 4
Subset 1 66.6875 67.2300 75.0975
2
75.0975 78.9400 79.1625 .397
.090
Lampiran 19. Sidik Ragam Serat kasar Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 145,96 39,71109 185,6729
Kuadrat Tengah 36,49 2,65 9,77
Fhit. 13,78
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan Konsumsi Serat Kasar Perlakuan 2 1 4 3 5 Signifikansi
N 4 4 4 4 4
Subset 1 10.7900 11.9875 12.6925 12.7775 .092
2
15.0825 1.000
Lampiran 21. Sidik Ragam Serat Kasar Feses Sumber Keragaman Perlakuan Eror Total
Jumlah Kuadrat 113,46 80,85583 194,3122
Db 4 15 19
Kuadrat Tengah 28,36 5,39 10,23
Fhit. 5,26
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 22. Uji Lanjut Duncan Serat Kasar Feses Perlakuan
N
1 5 4 3 2 Signifikansi
1 15.8725 20.8950
4 4 4 4 4
Subset 2
3
20.8950 40.5850 43.4425
.633
.055
40.5850 43.4425 48.8200 .461
Lampiran 23. Sidik Ragam Kecernaan Serat Kasar Sumber Keragaman perlakuan Eror Total
Db 4 15 19
Jumlah Kuadrat 4013,98 2893,586 6907,565
Kuadrat Tengah 1003,49 192,91 363,56
Fhit. 5,20
F.05 3,06
F.01 4,89
Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Serat Kasar Perlakuan 2 3 4 1 5 Signifikansi
N 4 4 4 4 4
1 5.6425 7.1225 7.5400
.290
Subset 2 7.1225 7.5400 10.7275 .054
3
10.7275 12.0325 .439