KECERNAAN, FERMENTASI, PROFIL DARAH DAN PERFORMA PRODUKSI SAPI POTONG LOKAL YANG DIBERI EKSTRAK LERAK PADA RANSUM HIJAUAN TINGGI ABSTRACT This research was aimed to investigate the utilization of whole lerak extract to improve the fermentation, nitrogen retention and performance of beef cattle fed with high forage based ration. Experimental diet composed of forage (70%) and concentrate (30%). The in vivo study was conducted using 12 local beef cattle. Three different levels of lerak extract of 0, 100 and 200 mg/kg body weight (BW) were added to the diet. Parameter measured were nutrient digestibility, volatile fatty acid (VFA) profile, NH3 concentration, blood profile, lipid cholesterol level, feed intake and daily gain of beef cattle during 90 days of feeding trial. The addition of lerak extract up to level 200 mg/Kg BW did not affect nutrients digestibilities. Total VFA and propionate proportion increased (P<0.05) and ratio of acetate:propionate decreased (P<0.05) with the addition of extract lerak. Concentration of rumen NH3 tended to decrease. There was no significant difference on feed intake and daily gain of local beef cattle fed high forage ration with addition of lerak extract at level up to 200 mg/kg BW. Keywords : Digestibility, rumen fermentation, sapindus rarak, blood profile, daily gain
PENDAHULUAN Performa produksi ternak sapi potong lokal di Indonesia masih relatif rendah.
Salah satunya dikarenakan para peternak rakyat masih memberikan
ransum yang berbasis hijauan tinggi. Hal ini berbeda dengan kondisi peternakan sapi potong komersial yang memberikan pakan berbasis konsentrat (50%-90%). Penggunaan hijauan tinggi yang rendah kualitasnya dapat menyebabkan kekurangan nutrien terutama protein/nitrogen.
Teknologi defaunasi dapat
dilakukan untuk menekan pertumbuhan protozoa dan meningkatkan suplai protein mikroba bagi ternak. Esktrak lerak (Sapindus rarak) mengandung senyawa aktif saponin yang dapat digunakan sebagai agen defaunasi (Cheeke 2000). Dalam rangka mengevaluasi efektivitas saponin ekstrak lerak dalam memodifikasi fermentasi mikroba rumen, maka perlu penelitian yang lebih komprehensif baik secara in vitro maupun in vivo. Pada kajian in vitro, telah dievaluasi pengaruh saponin ekstrak lerak dengan konsentrasi berbeda terhadap parameter kecernaan yang
67
meliputi kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), volatile fatty acid (VFA) total dan parsial, amonia (NH3), produksi gas dan dinamika populasi bakteri rumen secara kuantitatif dengan real time PCR. Berdasarkan gambaran dari proporsi molar VFA, penambahan ekstrak lerak
dapat
meningkatkan
proporsi
propionat
dan
menurunkan
rasio
asetat:propionat. Populasi protozoa menurun dengan penambahan ekstrak lerak. Penggunaan ekstrak lerak dapat meningkatkan populasi bakteri P. ruminicola yang merupakan bakteri penghasil suksinat dan propionat dalam sistem rumen.. Hasil penelitian in vitro tersebut perlu dilanjutkan dengan penelitian in vivo untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan ekstrak lerak pada performa sapi potong lokal. Evaluasi lerak dalam bentuk tepung cenderung menurunkan konsumsi dan mengganggu profil darah putih yang diduga karena senyawa-senyawa lain dalam tepung lerak. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi penggunaan keseluruhan buah lerak yang diekstraksi dengan metanol terhadap kecernaan, fermentasi dan performa sapi potong yang mendapat ransum hijauan tingi. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengevaluasi performa sapi potong yang mendapat ekstrak lerak dalam ransum yang rasio hijauannya tinggi (70%), (2) menganalisis kecernaan, karakteristik fermentasi dan retensi nitrogen pada sapi potong lokal yang mendapat ekstrak lerak BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Analisis hematologi darah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB.
Ternak dan Perlakuan Penelitian menggunakan 12 ekor sapi potong PO dengan bobot badan awal 187.5±13 kg yang siap digemukkan dan dipelihara dalam kandang individu. Hijauan yang digunakan adalah rumput lapang di sekitar lokasi kandang Fakultas Peternakan IPB, sedangkan konsentrat merupakan hasil formula dan produksi
68
sendiri (self mixing). Bahan pakan penyusun pakan konsentrat terdiri dari bungkil kedelai (6%), bungkil kelapa (30%), onggok (18.5%), pollard (35%), molases (5%), CaCO3 (3%), DCP (0.5%), NaCl (0.5%), premix (0.5%) dan urea (1%). Komposisi nutrien ransum perlakuan disajikan pada Tabel 17. Rasio hijauan dan konsentrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 70:30 (BK).
Tabel 17. Komposisi nutrien ransum perlakuan in vivo Nutrien
Rumput (R)
Konsentrat (K)
Ransum total (R:K=70:30) ----------------------------% Bahan Kering --------------------------Abu 11.11 13.09 11.70 Protein kasar (PK) 10.20 20.05 13.16 Serat kasar (SK) 40.12 21.42 34.51 Lemak kasar (LK) 0.45 3.14 1.26 BETN 38.12 42.50 39.43 Kalsium 0.38 1.88 0.83 Fosfor 0.14 0.84 0.35 TDN 46.64 65.38 51.96 Keterangan : Berdasarkan analisis yang dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2009). TDN=Total digestible nutrien = 92.64-3.338( SK)-0.945(LK) - 0.762(BETN) + 1.115(PK) + 0.031(SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+ 0.207(LK)(BETN) + 0.100(LK)(PK)0.022(LK)2(PK) (Hartadi et al., 1980)
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuan yang digunakan adalah: P1 = Ransum + ekstrak lerak 0 mg (kontrol negatif) P2 = Ransum + ekstrak lerak 100 mg/kg bobot badan (setara 80 mg saponin) P3 = Ransum + ekstrak lerak 200 mg/kg bobot badan (setara 160 mg saponin) Penggunaan ekstrak lerak sebesar 100 mg/kg bobot badan berdasarkan hasil uji terbaik in vitro sebelumnya yang berpengaruh positif terhadap produksi propionat dan populasi bakteri rumen. Hasil serangkaian uji in vitro (tahap 2) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada level 0.8 mg/ml ekstrak lerak paling efektif memperbaiki fermentasi rumen pada rasio hijauan:konsentrat =70:30. Apabila diasumsikan volume rumen sebesar 10-15% (rataan 12.5%) dari bobot badan, maka level 0.8 mg/ml volume rumen setara dengan 100 mg/Kg bobot badan.
Level 200 mg/kg merupakan taraf 2 kali lipatnya dengan
pertimbangan laju alir pakan pada sistem metabolisme hidup.
69
Penyusunan formula ransum didasarkan pada standar kebutuhan ternak sapi lokal (Kearl 1984) dengan kebutuhan nutrien protein kasar (PK) = 13%. Total bahan kering ransum yang diberikan sebesar 2.8-2.9% bobot badan. Pemberian pakan dilakukan selama 90 hari. Parameter yang akan diukur adalah karakteristik fermentasi (profil VFA, NH3), kecernaan nutrien, profil hematologi dan kolesterol darah, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.
Pengambilan Sampel dan Analisis Pengambilan sampel cairan rumen dilakukan melalui mulut menggunakan stomach tube yang dihubungkan dengan pompa vakum. Cairan rumen diambil 4 jam setelah makan pada hari ke-30,60 dan 90 perlakuan. Sampel cairan rumen kemudian disaring menggunakan kain berlapis dan supernatan yang diperoleh digunakan untuk analisis protozoa, profil VFA dan konsentrasi NH3. Analisis profil VFA menggunakan Gas Chromatografi (GC) yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, Bogor, sedangkan analisis konsentrasi NH3 menggunakan metode difusi conway. Analisis protozoa dihitung menggunakan counting chamber dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 40 x. Kecernaan nutrien pakan dilakukan mengunakan teknik koleksi total feses selama 5 hari berturut-turut di pertengahan penelitian. Sampel feses sebanyak 10% dari total feses diambil dari setiap perlakuan untuk dianalisis kadar nutriennya yang meliputi bahan kering, bahan organik, serat kasar, protein kasar, dan lemak kasar. Analisis retensi nitrogen dilakukan dengan mengukur konsentrasi nitrogen feses dan urin. Koleksi urin dilakukan selama 5 hari berturut-turut bersamaan dengan koleksi feses menggunakan hernet. Urin hasil koleksi ditampung dalam jerigen yang sebelumnya diberi H2SO4 10% sebanyak 250 ml/10L urin. Selanjutnya, konsentrasi N sampel urin dianalis untuk pengukuran retensi N. Selain itu, juga dilakukan analisis alantoin untuk menduga nilai total derivative purin (DP) yang diekskresikan ternak. Nilai DP diestimasi dengan asumsi bahwa alantoin merupakan 82.5% dari total DP (IAEA 1997). Sehingga Nilai total DP =
70
100/82.5 x Alantoin.
Nilai DP selanjutnya digunakan untuk menduga absorpsi
purin untuk sapi Ongole (Makkar & Chen 2009) dengan rumus sebagai berikut : Y = 0.85X + (0.132BB0.75) 0.085 = proporsi DP melalui plasma dan diekskresikan lewat urin 0.132 = derivat purin endogen yang diekskresikan dalam urin (mmol/kg BB0.75) Y
= ekskresi DP (mmol/hari)
X
= absorpsi purin (mmol/hari)
Sintesis N mikroba diestimasi berdasarkan absorpsi purin (X) dan dihitung dengan rumus berikut : N mikroba (g/hari) =
X x 70 = 0.727 X 0.116 x 0.83x1000
70
= kandungan N purin (mg/mmol)
0.83
= koefisien cerna untuk N mikroba
0.116 = rasio N purin:total N pada biomasa mikroba pada sapi Ongole Performa produksi ternak percobaan dianalisis dengan mengukur konsumsi pakan harian, pertambahan bobot badan dengan menimbang pada hari ke-30, 60 dan 90 hari perlakuan.
Efisiensi ransum diukur dengan menghitung
rasio pertambahan bobot badan ternak dibagi dengan pakan yang dikonsumsi. Analisis profil darah dilakukan dengan mengmabil darah pada hari ke-90 sebanyak 10 ml dengan syringe berukuran 10 ml dari bagian vena coccigen dan langsung dimasukkan ke dalam tabung berheparin untuk mendapatkan plasma darah.
Kemudian tabung-tabung tersebut dimasukkan ke dalam termos yang
berisi es untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis nutrien darah seperti trigliserida, kolesterol dan total protein dilakukan dengan menggunakan KIT dengan alat autoanalyzer.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA (analysis of variance). Apabila dari hasil pengamatan parameter yang di ukur terjadi perbedaan rataan antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik & Sumertajaya 2002).
71
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstrak Lerak Terhadap Populasi Protozoa Rumen Pemberian ekstrak lerak sampai dengan level 200 mg/kg BB yang dicampur dalam pakan konsentrat tidak mempengaruhi populasi protozoa rumen (Tabel 18). Hasil ini berbeda dengan uji in vitro sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak pada level tersebut menurunkan (P<0.01) populasi protozoa. Perbedaan hasil antara uji in vitro dengan uji in vivo diduga adanya flow pada rumen dan adaptasi protozoa terhadap saponin pada sistem tubuh ternak sehingga tingkat penghambatan populasi protozoa menurun.
Tabel 18. Populasi protozoa rumen sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum Lama pemberian 30 hari 60 hari 90 hari
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) SEM 0 100 200 4 Populasi Protozoa ( x 10 /ml) 1.22 9.7 8.5 8.2 1.53 6.8 5.5 4.3 0.74 7.0 5.1 4.3
Pada 30 hari perlakuan ekstrak lerak, tidak terjadi penurunan populasi protozoa dibandingkan perlakuan kontrol. Namun pada 60 dan 90 hari perlakuan, populasi protozoa rumen semakin menurun sebesar 38% dengan pemberian ekstrak lerak dibanding perlakuan kontrol. Hasil penelitian ini berbeda dengan Abreu et al. (2004) yang melaporkan adanya peningkatan populasi protozoa rumen domba dengan pemberian saponin dari S. saponaria.
Variasi pengaruh saponin asal
tanaman terhadap populasi protozoa juga telah banyak dilaporkan. Newbold et al. (1997) melaporkan bahwa saponin dari S. sesban dapat menekan protozoa pada rumen domba. Sementara itu, Odenyo et al. (1997) menyatakan bahwa saponin S. sesban dapat menekan protozoa ketika diberikan langsung ke dalam rumen, namun tidak berpengaruh pada protozoa ketika diberikan secara oral pada domba. Wallace et al. (2002) juga menyatakan bahwa adaptasi mikroba rumen terhadap saponin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bervariasinya aktivitas antiprotozoa oleh saponin.
Namun demikian, Makkar & Becker (1997)
72
menyatakan bahwa saponin Quilaja cukup stabil dalam rumen sampai 6 jam setelah pemberian dan dalam waktu tersebut saponin masih mempunyai aktivitas sebagai antiprotozoa. Pengaruh Ekstrak Lerak Terhadap Aktivitas Fermentasi Rumen Pemberian ekstrak lerak sampai dengan level 200 mg/kg BB pada sapi potong lokal yang mendapat ransum berbasis rumput tinggi secara keseluruhan tidak mempengaruhi kecernaan nutrien
dibandingkan perlakuan kontrol (Tabel 19).
Namun, produksi VFA total dan proporsi propionat meningkat (P<0.05) serta menurunkan (P<0.05) rasio asetat:propionat dengan pemberian ekstrak lerak 200 mg/kg BB.
Tabel 19. Kecernaan nutrien, konsentrasi NH3, serta profil VFA rumen sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum Parameter Kecernaan (%) Bahan Kering (BK) Bahan Organik (BO) Protein Kasar (PK) Serat Kasar (SK) Lemak Kasar (LK) N-NH3 (mM) Total VFA(mM) Proporsional VFA(% total VFA) Asetat Propionat Isobutirat Butirat Isovalerat Valerat Rasio Asetat:Propionat (A:P)
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) 0 100 200 SEM 58.2 62.9 73.4 75.9 44.1 7.47ab 84.87b
53.5 59.4 71.4 74.0 53.6 8.09a 123.54a
54.9 59.7 71.1 74.6 40.1 4.28b 111.57a
1.88 1.05 0.84 1.08 3.99 0.80 5.87
66.77 16.83b 2.29 11.92 1.53 0.67 3.97b
64.88 18.83a 2.38 11.45 1.48 0.98 3.45a
65.14 19.07a 2.58 10.87 1.38 0.96 3.41a
0.46 0.35 0.13 0.29 0.06 0.09 0.09
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.05)
Perubahan kecernaan yang cenderung menurun setelah pemberian ekstrak lerak mungkin dikarenakan kandungan saponin. Pemberian bahan mengandung saponin pada ternak ruminansia dapat menurunkan jumlah maupun aktivitas beberapa bakteri selulolitik. Hal tersebut diduga dapat menyebabkan kecernaan serat pakan menurun, terutama pada ransum berbasis hijauan tinggi. Abreu et al.
73
(2004) melaporkan bahwa suplementasi buah Sapindus saponaria (12% saponin) sebesar 8 g/kg BB0.75 secara intraruminal meningkatkan konsumsi bahan organik sebsar 14%, tetapi tidak berpengaruh pada konsumsi protein kasar dan konsentrasi amonia rumen atau pada kecernaan bahan organik dan nitrogen. Kecernaan ADF menurun 10%, demikian juga rasio asetat:propionat juga menurun. Konsentrasi NH3 menurun dengan ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB. Hal ini diduga terkait dengan aktivitas saponin buah lerak sebagai agen defaunasi. Protozoa merupakan proteolitik aktif, sehingga penghambatan populasi protozoa dapat menurunkan konsentrasi NH3. Laju degradasi protein pakan dan N bukan protein juga menentukan konsentrasi NH3 dalam rumen.
Selain itu, dengan
terhambatnya protozoa diduga penggunaan NH3 untuk oleh bakteri meningkat dan akibatnya konsentrasi dalam rumen akan turun.
Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian Thalib (2004) yang menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menghasilkan konsentrasi NH3 yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun, Wina et al. (2006) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak metanol daging buah lerak dengan taraf 0.42 dan 0.72 g/kg BB dalam ransum domba yang tersusun dari rumput gajah dan pollard (65:35) nyata menurunkan konsentrasi NH3. Peningkatan produksi VFA total dan proporsi propionat pada kondisi kecernaan yang menurun dengan pemberian ekstrak lerak, menunjukkan adanya peningkatan efisiensi fermentasi oleh mikroba rumen. Selain itu, ekstrak lerak juga dapat memodifikasi aktivitas mikroba rumen dengan mengarahkan pembentukan propionat dan mengurangi produksi butirat. Hal ini didukung oleh data in vitro sebelumnya yang menunjukkan bahwa ektrak lerak dapat memodifikasi komposisi bakteri rumen dengan peningkatan bakteri P. ruminicola yang merupakan bakteri penghasil propionat dan suksinat dalam sistem rumen.
Produksi propionat
merupakan jalur metabolisme rumen yang menggunakan H2, sehingga peningkatan produksi propionat dapat mengurangi suplai H2 yang sering digunakan bakteri metanogen untuk membentuk metan. Dengan demikian penggunaan ekstrak lerak berpotensi mengurangi produksi metan dalam sistem rumen ternak sapi potong.
74
Penurunan rasio asetat:propionat dengan penambahan ekstrak lerak diduga tidak dipengaruhi oleh penekanan protozoa rumen. Perubahan profil VFA tersebut lebih dipengaruhi oleh adanya komponen gula pada saponin ekstrak lerak. Komponen gula pada saponin dapat menurunkan proporsi asetat serta meningkatkan proporsi propionat dan butirat (Abreu et al. 2004) Pengaruh Ekstrak Lerak Terhadap Sintesis Protein Mikroba dan Retensi Nitrogen Pemberian ekstrak lerak sampai dengan taraf 200 mg/kg BB tidak mempengaruhi (P>0.05) sintesis protein mikroba rumen (Tabel 20).
Namun
demikian, efisiensi sintesis protein mikroba pada penelitian ini masih dalam kisaran normal yaitu 6.44-11.81 g/100 g BOFR. Karsli & Russel (2001) menyatakan bahwa efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen berkisar antara 7.0-27.9 g/100 g BOFR tergantung pada konsumsi bahan kering, rasio hijauan dan konsentrat, laju degradasi karbohidrat dan N, sinkronisasi pelepasan N dan energi pakan, dan laju alir pakan. Semakin rendah kualitas hijauan yang digunakan, maka nilai sintesis protein mikroba juga akan semakin rendah karena rendahnya tingkat pencernaan karbohidrat dan ketersediaan nutrien lainnya.
Tabel 20. Pendugaan sintesis protein mikroba pada sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum Parameter Alantoin (mmol/h)
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) 0 100 200 SEM 21.96 23.33 29.14 2.35
Derivat Purin/DP (mmol/h)*
26.61
28.27
35.33
2.85
Purin Absorpsi (mmol/h)
23.14
25.00
33.19
3.37
Suplai N Mikroba (g/h)
16.82
18.18
24.13
2.45
105.15
113.61
150.81
15.30
64.36
86.81
96.71
9.94
6.44
9.93
11.81
Sintesis Protein Mikroba/SPM (g/h) Efisiensi SPM (g/kg BOFR) Efisiensi SPM (g/100 g BOFR)
*alantoin urin merupakan 82.5% dari total DP (IAEA, 1997), SPM=6.25 x N mikroba, BOFR=bahan organik terfermentasi dalam rumen =0.65x bahan organik tercerna(IAEA, 1997).
75
Pemberian ekstrak sampai level 200 mg/kg BB belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba pada sapi potong yang mendapat rumput lapang dalam jumlah tinggi.
Walaupun pemberian ekstrak lerak sudah dapat meningkatkan
produksi VFA yang merupakan sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis bakteri, namun konsentrasi NH3 rumen rendah (4 mM). Hal ini dapat menyebabkan kurang seimbangnya rasio protein/energi (P/E) yang sangat menentukan dalam sintesis protien bakteri. Selain itu, proses sintesis protein bakteri juga dipengaruhi oleh konsentrasi trace minerals dan vitamin (Karsli et al. 2010). Mineral sulfur (S) telah diketahui mempengaruhi pertumbuhan bakteri terutama untuk sintesis metionin dan sistein yang berkisar antara 0.11%-0.2% dari total pakan dan tergantung pada status ternak. Selain itu, mineral sulfur juga mengakibatkan lignin pada pakan berserat akan terhidrolisis sehingga kecernaan bahan organik akan meningkat. Mineral fosfor juga sangat diperlukan untuk sintesis ATP dan protein oleh mikroba. Pada penelitian ini, hijauan yang digunakan adalah rumput lapang yang kandungan mineral sulfur dan fosfornya relatif rendah, sehingga defisiensi mineral tersebut juga berpengaruh terhadap sintesis protein bakteri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh saponin terhadap sintesis protein mikroba sangat bervariasi tergantung pada sumber saponin dan level saponin yang digunakan. Santoso et al. (2007) menunjukkan bahwa saponin dari Biophytum petersianum Klotzsch 26 mg/kg BB pada kambing yang mendapat ransum rumput gajah dan konsentrat (70:30) dapat meningkatkan efisiensi sintesis N mikroba 51%. Jouany (1996) juga melaporkan bahwa protozoa berperan penting pada siklus N mikroba pada rumen. Sehingga penurunan populasi protozoa dapat menyebabkan turunnya pemecahan protein bakteri dan mengakibatkan peningkatan aliran protein mikroba ke usus halus. Abreu et al. (2004) melaporkan bahwa aliran N pada bagian duodenum dipengaruhi oleh suplementasi S. saponaria, kecuali aliran N dari mikroba. saponaria.
Efisiensi mikroba meningkat 65% dengan penambahan S.
Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Goetsch & Owen (1985) yang
menyatakan bahwa penggunaan sarsaponin Y. schidigera 44 mg/kg pada sapi perah tidak berpengaruh pada N mikroba yang masuk ke duodenum. Hristov et al. (1999) juga melaporkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap N mikroba ketika tepung Y. schidigera diberikan pada sapi dara dengan level 20 dan 60 g/hari.
76
Pemberian ekstrak lerak sampai level 200 mg/kg BB juga tidak mempengaruhi nilai retensi nitrogen (Tabel 21).
Persentase retensi N dari N
konsumsi cukup tinggi untuk semua perlakuan (±50%) yang menunjukkan bahwa kualitas protein pakan perlakuan cukup baik dan efisien dimanfaatkan oleh ternak sapi potong. Nilai konsumsi N sama untuk semua perlakuan karena nutrien ransum yang diberikan selalu diusahakan iso protein. Hindratiningrum et al. (2009) melaporkan bahwa jumlah N yang diretensi pada sapi potong PO yang diberi pakan jerami padi amoniasi sekitar 65% dari N yang dikonsumsi. Tabel 21. Neraca nitrogen sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum Parameter Konsumsi N (g/e/h) N Feses (g/e/h) N Tercerna (g/e/h) N Urin (g/e/h) Retensi N (g/e/h) % N Retensi dari N konsumsi % N Netensi dari N tercerna
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) 0 100 200 SEM 97.07 92.10 97.13 1.93 25.80 26.13 28.01 0.58 71.25 65.96 69.10 2.03 23.67 19.75 18.25 1.24 47.57 46.20 50.85 2.19 49.03 49.75 52.39 1.65 66.81 69.41 73.67 1.89
Suplai protein mikroba yang sama antar perlakuan pada penelitian ini juga menghasilkan retensi nitrogen yang sama untuk semua perlakuan.
Hal ini
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara sintesis protein bakteri dengan jumlah N yang diretensi dalam tubuh ternak. Semakin tinggi suplai protein asal mikroba, maka N yang diretensi juga meningkat yang menunjukkan bahwa kualitas protein asal mikroba lebih seimbang komposisi asam aminonya.
Pengaruh Ekstrak Lerak Terhadap Profil Hematologi dan Nutrien Plasma Pemberian ekstrak lerak selama 90 hari perlakuan tidak mempengaruhi profil hematologi (Tabel 22). Jumlah BDM, % PCV, Hb maupun jumlah BDP sama antar perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa saponin yang terdapat pada ekstrak lerak sampai dengan level 200 mg/kg BB (setara dengan 160 mg saponin) tidak mengganggu kesehatan ternak yang digambarkan pada profil hematologi tersebut. Olbrich et al. (1971) melaporkan rataan nilai hematologi darah sapi Zebu untuk
77
BDM adalah 9.9 x 106/mm3, PCV adalah 37%, Hb adalah 12.3 g%, BDP adalah 10.3 x 103/mm3 dengan proporsi limfosit sebesar 63.3%.
Tabel 22. Hematologi darah sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum selama 90 hari Parameter Benda darah : BDM, juta/mm3 PCV, % Hb, g% BDP, ribu/mm3 Diferensiasi (% BDP) Netrofil Limfosit Monosit Eusinofil
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) 0 100 200 SEM 7.59 31.33 12.16 12.85
6.87 31.83 11.74 10.01
7.11 29.00 10.67 9.05
0.22 1.56 0.49 1.18
33.67 61.67 3.67 1.50
29.33 66.67 2.67 1.33
40.00 56.75 2.50 1.00
3.51 3.45 0.62 0.16
BDM=butir darah merah, PCV=packed cell volume, Hb=hemoglobin, BDP=butir darah putih
Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengevaluasi pengaruh penggunaan lerak dalam bentuk tepung terhadap profil butir darah putih sapi potong yang dipelihara selama 60 hari dan menunjukkan bahwa pemberian tepung lerak pada taraf 1000 mg/kg BB (40 mg saponin) dalam ransum dapat menurunkan proporsi limfosit. Nampaknya buah lerak yang diberikan dalam bentuk tepung serta dosis yang tidak tepat mempunyai pengaruh yang negatif terhadap sistem kekebalan. Sebaliknya, buah lerak yang diberikan dalam bentuk ekstrak metanol relatif lebih aman pada status kesehatan ternak. Hasil analisis profil lemak darah sapi potong menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB tidak mempengaruhi kadar trigliserida, kolesterol maupun LDL (Tabel 23). Kadar kolesterol pada penelitian ini dalam batas normal yaitu 140-146 mg/dl. Pond et al. (2005) menyatakan bahwa kisaran normal kadar kolesterol pada sapi adalah 50-230 mg/dl. Pada penelitian ini, pemberian saponin dari ekstrak lerak belum dapat menurunkan level trigliserida dan kolesterol darah. Hal ini diduga karena di dalam rumen saponin cepat sekali dirombak oleh bakteri sehingga kehilangan gugus gulanya menjadi senyawa lain seperti sarsapogenin atau episarsapogenin (Flaoyen et
78
al. 2001). Hal ini yang mengakibatkan saponin ekstrak lerak tidak dapat berperan sebagai antikolesterol pada ternak ruminansia karena sudah kehilangan sifat ampifatiknya. Tabel 23. Profil lemak serum darah sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum selama 90 hari Parameter Trigliserida, mg/dl Kolesterol total, mg/dl LDL kolesterol, mg/dl
Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) SEM 0 100 200 2.77 44.67 32.75 34.50 7.56 146.67 143.50 140.00 1.39 28.10 23.98 28.20
LDL=low density lipoprotein
Berbeda dengan percobaan pada ternak ternak monogastrik, pemberian saponin dapat menurunkan kolesterol plasma (Francis et al. 2002). Saponin asal tanaman berpotensi untuk mengganggu absorpsi kolesterol yang berasal dari pakan maupun kolesterol endogenus yang memasuki lumen usus halus melalui empedu atau dari sel-sel usus halus sehingga efektif menurunkan konsentrasi kolesterol dalam darah.
Saponin diduga mengikat garam empedu sehingga tidak bisa
mengemulsi lemak dan turunannya (Sidhu & Oakenfull, 1986). Akibatnya enzim lipase pankreas tidak bisa mencerna lemak menjadi senyawa yang lebih kecil dan akhirnya lemak dikeluarkan melalui feses.
Pengaruh Ekstrak Lerak Terhadap Performa Produksi Pemberian ekstrak lerak sampai dengan level 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi nilai PBBH dan efisiensi ransum sapi potong lokal selama 90 hari perlakuan (Tabel 24).
Nampaknya, walaupun fermentasi rumen sudah nyata
meningkatkan produksi VFA total dan proporsi propionat, namun pada proporsi propionat sebesar 19% dari total VFA (sekitar 21 mM) masih belum dapat meningkatkan PBBH sapi potong secara signifikan. Hal ini diduga pada konsentrasi propionat tersebut, energi yang terbentuk asal propionat masih lebih banyak digunakan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dibandingkan untuk deposisi pertambahan bobot badan.
Produksi VFA memegang peranan penting
sebagai penyedia glukosa pada ternak ruminansia karena glukosa asal pakan
79
hanya dapat menyediakan kurang dari 10% kebutuhan glukosa (Yost et al, 1977). Selanjutnya, sumber glukosa utama ternak ruminansia berasal dari proses glukoneogenesis yang menggunakan propionat sebagai substrat utama dan menyediakan sekitar 27%-59% sumber karbon dalam tubuh.
Asam amino,
gliserol dan laktat juga berkontribusi sebagai sumber karbon (Cerrilla & Martinez, 2003).
Selain itu, rasio asetat:propionat pada penelitian ini masih relatif tinggi
(3.4:1). Pertambahan bobot badan sapi akan optimal apabila rasio asetat:propionat yang diproduksi dalam rumen 3:1 (Yost et al. 1977).
Tabel 24. Performa produksi sapi potong yang mendapat berbagai level ekstrak lerak dalam ransum selama 90 hari Level ekstrak lerak (mg/kg bobot badan) 0 100 200 SEM
Parameter Konsumsi bahan kering (kg/e/h) - Hijauan (kg/e/h) - Konsentrat (kg/e/h) - Total ransum,kg/e/h PBBH, g/e/h Efisiensi ransum
2.95 1.52 4.47 480 0.11
2.92 1.55 4. 46 500 0.12
3.10 1.52 4.62 540 0.13
0.07 0.02 0.08 16.56 0.005
PBB=pertambahan bobot badan, PBBH=pertambahan bobot badan harian
Namun demikian, terjadi perbaikan nilai PBBH dengan pemberian ekstrak lerak dengan semakin lamanya perlakuan (Gambar 9). Pada 30 hari pertama perlakuan, nilai PBBH untuk perlakuan ekstrak lerak 100 mg/kg BB lebih rendah dibanding kontrol.
Sementara itu, perlakuan ekstrak lerak 200 mg/kg BB
mempunyai nilai PBBH yang hampir sama dengan kontrol. Namun pada 30 hari kedua (hari ke 30-60) perlakuan dan selanjutnya, nilai PBBH semakin turun untuk perlakuan kontrol. Sebaliknya, pemberian ekstrak lerak 100 mg/kg BB dapat meningkatkan nilai PBBH dengan semakin lamanya perlakuan bahkan melampaui perlakuan kontrol.
Peningkatan PBBH tertinggi diperoleh dengan pemberian
ekstrak lerak 200 mg/kg BB dan semakin meningkat dengan pemeliharaan yang lebih lama.
80
Gambar 9. Pola peningkatan PBBH sapi perlakuan selama pemeliharaan.985).
90 hari
Berdasarkan data pola peningkatan PBBH selama 90 hari perlakuan tersebut menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak lerak mempunyai pengaruh yang positif dengan perlakuan yang semakin lama. Peningkatan PBBH semakin tinggi apabila perlakuan ekstrak lerak dievaluasi dalam waktu yang lebih lama dengan mengikuti pola grafik yang linier. Hal ini dapat menjelaskan bahwa walaupun produksi VFA total dan propionat meningkat dengan ekstrak lerak namun belum signifikan secara statistik dalam meningkatkan PBB. Apabila lama perlakuan diperpanjang sampai jangka waktu tertentu, ada kemungkinan penggunaan ekstrak lerak efektif dalam meningkatkan produktivitas ternak. Selain itu, keragaman genetik dan jumlah sapi yang digunakan juga mempengaruhi respon sapi terhadap ekstrak lerak. Sapi potong yang digunakan adalah sapi potong bakalan yang diperoleh dari peternakan rakyat yang sangat beragam. Navas-camacho et al. (1993) melaporkan bahwa pemberian tepung daun E. cyclocarpum yang mengandung saponin dengan level 100 g/hari pada domba
81
yang diberi pakan Pennisetum clandestinum dapat meningkatkan kecernaan bahan kering 17% serta memperbaiki bobot badan 53% dibanding kontrol. Namun pemberian E.cyclocarpum pada level yang lebih tinggi (300 g/h) menurunkan kecernaan bahan kering pakan. Thalib et al. (1996) mencekokkan ekstrak lerak setiap 3 hari sekali ke dalam rumen domba yang diberi pakan basal jerami padi dan memperoleh peningkatan bobot hidup harian sebesar 22%, sedangkan Wina et al. (2006) melaporkan bahwa pemberian ekstrak lerak setiap hari meningkatkan pertambahan bobot badan domba sebesar 40%. Pemberian saponin dari teh 3 g/hari pada domba dapat meningkatkan konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan harian dan efisiensi pakan dibandingkan kontrol (Hu et al. 2006)
SIMPULAN Pemberian ekstrak lerak sampai dengan level 200 mg/kg BB secara umum tidak mempengaruhi kecernaan nutrien.
Produksi VFA total dan proporsi
propionat meningkat dengan ekstrak lerak, dan rasio asetat:propionat menurun. Penambahan ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB nyata menurunkan konsentrasi NH3 rumen. Pemberian ekstrak lerak pada level 200 mg/Kg BB tidak mempengaruhi retensi nitrogen, sintesis protein mikroba dan PBBH pada ternak sapi potong yang mendapat hijauan tinggi. DAFTAR PUSTAKA Abreu A, Carulla JE, Lascano CE, Diaz TE, Kreuzer M, Hess HD. 2004. Effects of Sapindus saponaria fruits on ruminal fermentation and duodenal nitrogen flow of sheep fed a tropical grass diet with and without legume. J Anim Sci 82:1392-1400. Cerilla MEO & Martinez GM. 2003. Starch digestion and glucose
metabolism in the ruminant: a review. Interciencia 28:380-387 Cheeke PR. 2000. Actual and potential applications of Yucca schidigera and Quillaja saponaria saponns in human and animal nutrition. Proceedings of the American Society of Animal Science. 10 pages [IAEA] International Atomic Energy Agency. 1997. Estimation of Rumen Microbial Protein Production from Purine Derivatives in Urine. Vienna Austria. Goetsch AL, Owens FN. 1985. Effects of sarsaponin on digestion and passage rates in cattle fed medium to low concentrate. J. Dairy Sci. 68: 2377–2384. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk
82
Indonesia. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah. Hindratiningrum N, Bata M, Suparwi. 2009. Produksi protein mikroba dan neraca nitrogen sapi lokal jantan yang diberi jerami padi amoniasi. Anim. Prod. 11:116-121. Hristov AN, McAllister A, Van Herk FH, Cheng KJ, Newbold CJ, Cheeke PR. 1999. Effect of Yucca schidigera on ruminal fermentation and nutrient digestion in heifers. J. Anim. Sci. 77:2554-2563. Hu W, Liu J, Wu Y, Guo Y, Ye J. 2006. Effect of tea saponins on in vitro ruminal fermentation and growth performance of growing Boer goat. Arch. Anim Nutr. 60: 89-97. Jouany J.P. 1996. Effect of rumen protozoa on nitrogen utilization by ruminants. J. Nutr. 126:1335–1346. Karsli MA, Russel JR. 2001. Effects of some dietary factors on ruminal microbial protein synthesis. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 25:681-686. Kearl LC. 1984. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute, Utah Agricultural Experiment Station, Utah State University, Utah. Makkar H.P.S., Becker K. 1997. Degradation of quillaja saponins by mixed culture of rumen microbes. Let. Appl. Microb. 25:243–245. Makkar HPS, Chen XB. 2004. Estimation of Microbial Protein Supply in Ruminants Using Urinary Purine Derivatives. Kluwer Academic Publishers. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press, Bogor. Navas-Camacho A, Laredo MA, Cuesta A, Anzola H, Leon JC. 1993. Effect of supplementation with a tree legum forage on rumen function. Livest. Res. Rural Develop. 5 (http:www.cipav.org.co/lrrd/lrrd5/navas.htm). Newbold CJ, El Hassan SM, Wang J, Ortega ME, Wallace RJ. 1997. Influence of foliage from African multipurpose trees on activity of rumen protozoa and bacteria. Br. J. Nutr. 78:237–249. Odenyo AA, Osuji PO, Karanfil O. 1997. Effect of multipurpose tree (MPT) supplements on ruminal ciliate protozoa. Anim. Feed Sci. Tech. 67:169– 180. Olbrich SE, Martz FA, Tubleson ME, Johnson HD, Hilderbrand ES. 1971. Serum biochemical and hematological measurements of heat tolerant (Zebu) and cold tolerant (Scotch highland) heifers. J. Anim.Sci. 33:655658. Pond WG, Church DC, Pond KR, Schoknecht PA. 2005. Basic Animal Nutrition and Feeding. 5th revised edition. John Willey and Sons Inc. NewYork. Santoso B., Kilmaskosu A, Sambodo P. 2007. Effects of saponin from Biophytum petersianum Klotzsch on ruminal fermentation, microbial protein synthesis and nitrogen utilization in goats. Anim. Feed Sci. Tech. 137:56-68. Sidhu GS, Oakenfull G. 1986. A mechanism for the hypocholesterolaemic activity of saponins. British J. Nutr. 55:643-649
83
Thalib A, Widiawati Y, Hamid H, Suherman D, Sabrani M. 1996. The effects of saponin from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and performance of sheep. J Ilmu Ternak dan Veteriner 2:17-20. Thalib A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor metanogenesis secara in vitro. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 9: 164-171. Wallace RJ, Mcewan NR, Mcintosh FM, Teferedegne B, Newbold CJ. 2002. Natural products as manipulators of rumen fermentation. Asian-Austr. J. Anim. Sci. 15:1458-1468. Wina E, Muetzel S, Becker K. 2006. Effects of daily and interval feeding of Sapindus rarak saponins on protozoa, rumen fermentation parameters and digestibility in sheep. Asian-Aust.J. Anim.Sci. 19:1580-1587. Yost WM, Young JE, Schmidt SP, McGillard AD. 1977. Gluconeogenesis in ruminants: propionic acid production from a high-grain diet fed to cattle. J. Nutr. 107:2036-2043.