INTERNATIONAL CONFERENCE OF INDONESIAN FORESTRY RESEARCHERS (INAFOR) Invited Paper
Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya
Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo Dekan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Paper prepared for The First International Conference of Indonesian Forestry Researchers (INAFOR) Bogor, 5 – 7 December 2011
INAFOR SECRETARIAT Sub Division of Dissemination, Publication and Library FORESTRY RESEARCH AND DEVELOPMENT AGENCY Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610
Kebijakan Kehutanan: Masalah, Penelitian dan Diseminsinya Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo Dekan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Assalamu‘alaikum Wr. Wb, Salam Sejahtera bagi Kita Semua, Pertama-tama kami sampaikan terimakasih kepada Panitia Penyelenggara Pertemuan Internasional Peneliti Kehutanan Indonesia (INAFOR 2011) yang telah menyelenggarakan kegiatan penting ini. Kami merasa sangat terhormat dapat berpartisipasi dalam memberikan pengantar pertemuan ini dengan thema: ―Kebijakan Kehutanan.‖ Sudah cukup lama, kita, para peneliti, dianggap kurang dapat memberi kontribusi dalam pembangunan kehutanan. Mungkin tidak banyak orang yang menyadari bahwa peran dibalik berbagai hasil pembangunan, kemajuan atau keberhasilan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan diproduksi dari waktu ke waktu dan hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai alat atau kriteria untuk menyeleksi mana pengetahuan yang selayaknya digunakan dan mana pengetahuan yang tidak lagi diperlukan. Demikian pula maju-mundurnya peran sosial-ekonomi kehutanan. Dibaliknya pastilah terdapat ilmu pengetahuan yang dapat menjelaskan mengapa pasang-surut sosial-ekonomi kehutanan itu terjadi. Uraian ringkas berikut ini mengupas persoalan‐persoalan pokok dalam pembangunan kehutanan berdasarkan pendekatan kebijakan dan ekonomi kehutanan, solusi-solusi yang diperlukan, serta kritik penelitian. Para Hadirin Yth, Berdasarkan peta penunjukkan kawasan yang dimutakhirkan dengan perkembangan pengukuhan kawasan dan hasil revisi tata ruang provinsi sampai dengan April 2011, kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia seluas 130,68 juta Ha atau 68,4% dari luas daratan. Kawasan hutan tersebut relatif tidak berubah dalam 30 tahun terakhir, namun secara umum berbagai fungsi hutan telah menurun – baik fungsi ekonomi, sosial dan fungsi lingkungan, dan dalam waktu yang sama, secara ekonomi, peningkatan peran hutan tanaman telah menggantikan hutan alam, termasuk peran ekonomi industri pulp dan kertas yang menggantikan peran ekonomi industri kayu pertukangan. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi pembangunan nasional – termasuk kebijakan kehutanan, tidak mampu mempertahankan keberadaan hutan secara berkelanjutan – kualitas hutannya menurun, meskipun luas kawasan hutan relatif tetap. Terhadap situasi demikian itu, kajian kebijakan kehutanan dalam menentukan masalah biasanya berangkat dari beberapa pendekatan: teknis maupun perilaku semua orang atau lembaga yang secara langsung maupun tidak langsung menjadikan perubahan fungsi hutan tersebut. Di dalam ilmu kebijakan, menentukan masalah penelitian menjadi bagian sangat penting, terutama terkait dengan dua hal. Pertama, masalah penelitian tidak obyektif, melainkan subyektif. Kedua, apabila ada kesalahan dalam menentukan masalah penelitian – terutama untuk penelitian yang dilakukan guna mengetahui solusi apa yang diperlukan – peneliti akan merumuskan solusi keliru. lxxiii
Mengapa masalah penelitian kebijakan subyektif? Seseorang yang menggunakan ilmu teknologi akan menemukan masalah teknologi, misalnya kegagalan membangun tegakan hutan tanaman disebabkan oleh tidak dikembangkannya teknologi benih, sehingga benih yang disemaikan kualitasnya rendah. Seseorang yang menggunakan ilmu ekonomi akan menemukan masalah harga dan pasar, untuk menjawab mengapa di suatu tempat hutan rakyat tidak berkembang. Demikian pula seseorang yang menggunakan ilmu kelembagaan (institusi) akan menemukan masalah hak atas tanah, kontrak, informasi yang asimetris untuk menjawab mengapa hutan rakyat di suatu tempat berkembang dan di tempat lain tidak. Meskipun masalah penelitian subyektif, namun tetap dapat diketahui bahwa masalah yang dirumuskan dalam suatu penelitian, keliru. Misalnya, karena tidak dapat menjawab tujuan penelitian. Sebagai contoh, apabila tujuan penelitian akan mengembangkan hutan rakyat di suatu tempat. Perlu diketahui situasi dan kondisi di tempat itu yang menjadi hambatan, mengapa hutan rakyat di tempat itu tidak berkembang. Misalnya akses pasar lebih penting untuk diperhatikan daripada teknologi. Dengan demikian, penetapan masalah itu kontekstual, artinya sangat tergantung pada situasi dimana masalah itu terjadi. Oleh karena itu masalah bersifat subyektif. Hal‐hal tersebut sangat penting untuk difahami. Pada prinsipnya, masalah penelitian – terutama penelitian yang menghasilkan pengetahuan untuk membuat atau memperbaiki kebijakan kehutanan – bukan lahir dari pertanyaan peneliti akibat ketidak‐tahuannya. Sebaliknya, peneliti bertanya karena pengetahuannya mengenai ―keadaan sesungguhnya di lapangan‖ serta telah membaca berbagai publikasi dan jurnal di bidangnya, sehingga mengetahui pertanyaan‐pertanyaan yang belum terjawab oleh para peneliti lainnya, pertanyaan‐ pertanyaan masyarakat yang segera memerlukan jawaban, atau pertanyaan para pembuat kebijakan. Pertanyaan bagi peneliti: Apa yang sesungguhnya dapat dilihat peneliti di lapangan? Jawaban peneliti akan sangat tergantung seberapa banyak jenis kerangka‐pikir yang dimilikinya. Seberapa tahu peneliti tentang konsep ekonomi, politik, kelembagaan, sosial sebagai suatu alat atau ―kaca‐mata‖ untuk menafsirkan apa dibalik terjadinya rendahnya kualitas bibit di lapangan, misalnya. Apabila tidak ada upaya untuk memperkaya teori dan konsep di dalam pikiran peneliti, yang dilihatnya akan selalu sama. Terkait dengan hal ini ada pepatah: ―When the only tool you have is a hammer, everythings looks like a nail‖. Para Hadirin Yth, Dalam menjalankan penelitian kebijakan kehutanan perlu diperhatikan setidaknya dua hal. Pertama, masalah kebijakan itu abstrak atau berada di balik peristiwa. Masalah itu ada di dalam perilaku orang‐orang dan bukan menempel pada benda‐benda. Misalnya – dalam ilmu kebijakan – bukan kualitas bibit rendah yang kita sebut sebagai masalah, masalah adalah perilaku orang yang menyebabkan produksi bibit berkualitas rendah. Kalau bibit kualitas rendah ditentukan sebagai masalah, solusinya adalah memproduksi bibit berkualitas tinggi. Dan hal ini tidak pernah bisa dilakukan tanpa ada jawaban atas pertanyaan: mengapa orang‐ orang memproduksi bibit berkualitas rendah? Kedua, tujuan penelitian kebijakan kehutanan untuk menjawab pertanyaan ―what shoud be done‖. Pertanyaan ini bisa dijawab melalui pengenalan subyek atau pihak yang terlibat langsung, misalnya petani hutan, pengusaha, penentu kebijakan, dll. Dalam hal ini, yang perlu diteliti adalah aliran informasi, interpretasi, pengetahuan‐pengalaman dan kapasitas para subyek penelitian tersebut. Seseorang pengambil keputusan setelah mendapat informasi akan menginterpretasikan informasi itu dan mengambil keputusan. Pengambilan keputusannya akan lxxiv
sangat tergantung pada pengetahuan‐pengalaman yang ia miliki, tingkat kepercayaan informasi yang ia terima, dan pertimbangan manfaat‐pengorbanan yang ia buat dan oleh karena itu sangat tergantung pada sumberdaya yang ia miliki seperti kewenangan, waktu maupun anggaran. Untuk memahami lebih jauh bagaimana menjawab tujuan penelitian kebijakan kehutanan, peneliti perlu mempelajari ilmu‐ilmu sosial, seperti ekonomi, kelembagaan, kebijakan, (ekologi) politik, dengan berbagai metoda analisis seperti teori kontrak, principal‐agent, analisis diskursus (wacana), analisis aktor, dll. Ketika kita memasuki ranah penelitian ini, dengan menggabungkannya dengan pendekatan‐pendekatan teknologi, kita akan tahu betapa ilmu benar‐benar sedalam dan seluas samudra. Baru dapat dirasakan bahwa banyak hal yang tidak diketahui peneliti tentang latar‐belakang suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Dan hal demikian itu sangat baik. Yang kurang baik adalah: (bahkan) peneliti tidak tahu apa yang tidak diketahuinya. Para Hadirin Yth, Perkembangan hutan rakyat yang terjadi dalam 10 tahun terakhir sebenarnya merupakan fenomena baru, di tengah‐tengah rasa pesimis melihat kegagalan upaya pelestarian hutan alam. Hutan rakyat yang lebih berkembang di P Jawa juga menghadirkan penafsiran – terutama oleh peneliti yang menggunakan pendekatan ekonomi dan kelembagaan, bahwa kepastian hak atas tanah dan tingginya permintaan kayu telah mendorong kenaikan harga kayu dan telah mendorong pasokan kayu oleh rakyat. Dengan adanya kepastian hak‐hak atas tanah, masyarakat dapat secara positif merespon permintaan kayu dengan melakukan penanaman pohon, karena terdapat kepastian hasil yang akan diperoleh. Tafsiran demikian itu memberi kontribusi perbaikan kerangka pikir yang dianut kalangan rimbawan pada umumnya saat ini, bahwa permintaan kayu yang tinggi menjadi penyebab kerusakan hutan. Kerangka pikir rimbawan ini melahirkan program prioritas yaitu restrukturisasi industri perkayuan dengan argumen hutan akan lestari apabila permintaan kayu sama dengan pasokan kayu secara lestari. Perkembangan hutan rakyat di P Jawa menolak argumen itu. Justru permintaan kayu sangat penting untuk dapat menopang harga agar dapat naik, yang menjadi stimulus terjadinya pasokan kayu, sehingga kerusakan hutan bukan akibat permintaan kayu yang tinggi, melainkan akibat hak‐hak atas kawasan hutan yang bermasalah. Persoalannya, mengapa perkembangan hutan rakyat di P Jawa tidak menjadi pembelajaran bagi upaya pelestarian hutan secara nasional? Hal itu disebabkan oleh masih kurangnya digunakan pendekatan ilmu kebijakan dalam menentukan masalah-masalah kehutanan. Persoalan pembelajaran demikian itu juga terjadi dalam pembahasan kebijakan mengenai masalah-masalah seperti: meluasnya konversi hutan, sulitnya upaya untuk mewujudkan kelestarian hutan (kayu) maupun hasil hutan non kayu, rendahnya hasil rehabilitasi hutan dan lahan, tidak berkembangnya perhutanan sosial, hambatan pengelolaan kawasan konservasi, dll. Pada umumnya dalam pembahasan mengenai beberapa persoalan kehutanan di atas tidak digunakan pendekatan sosial-ekonomi dan kebijakan, melainkan pendekatan hukum dan administrasi. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi diselesaikan dengan cara paksa, yang mengandalkan bekerjanya rantai birokrasi, tingginya intensitas pengawasan dan bekerjanya penegakan hukum. Akibat pendekatan ―cara paksa‖ itu diperlukan banyak jenis dan jumlah peraturan untuk memenuhi pedoman pelaksanaan kerja di lapangan. Akibatnya peraturan berisi langkah-langkah manajemen dan metoda, padahal keduanya harus fleksibel sesuai lxxv
kondisi di lapangan. Isi peraturan seperti itu seringkali menjadi apa yang disebut ―policy trap‖. Apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan dan apabila tidak dilaksanakan dianggap melanggar hukum. Intesitas pengawasan sudah dilakukan, tetapi karena sangat banyak lembaga dan unit kerja perlu melakukan pengawasan maka pelaksanaan sangat tidak efisien dan menghasilkan ekonomi biaya tinggi. Laporan Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa dari 20 IUPHHK-HA, berdasarkan data 2009 dan 2010 dilaporkan telah dilakukan pengawasan per tahun oleh rata-rata 58 orang dengan kisaran antara 6 sampai dengan 172 orang per IUPHHK-HA. Waktu rata-rata pemeriksaan per IUPHHK-HA per tahun dilakukan selama 98 hari dengan kisaran antara 15 sampai dengan 270 hari. Jumlah dan lama waktu pengawasan tersebut sama-sekali tidak mencerminkan efektivitas hasil pengawasannya, bahkan menimbulkan terjadinya ekonomi biaya tinggi. Tipe kebijakan demikian itu ditengarai sebagai penyebab mengapa pengembangan perhutanan sosial yang berbasis masyarakat tidak berkembang.
Para Hadirin Yth, Seberapa besar hasil penelitian digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan ataupun praktek‐praktek di lapangan? Sejauh ini belum ada penelitian tentang hal ini. Namun demikian, secara umum pengetahuan baru dari hasil‐hasil penelitian tersebar melalui berbagai bentuk komunikasi, rapat‐rapat, maupun berbagai hubungan informal. Biasanya, para penentu kebijakan mempunyai jaringan tersendiri untuk mendapat informasi yang menjadi dasar keputusan yang di buat. Demikian pula praktek‐praktek di lapangan diubah atau diperbaiki melalui segenap informasi dan interpretasi atas informasi itu oleh para pelaku di lapangan. Dalam kondisi demikian itu, hubungan antara peneliti, hasil penelitian dan pembuatan kebijakan atau para pelaku di lapangan tidaklah linier. Di balik hasil penelitian adalah kerangka pikir bahkan ideologi yang biasa disebut diskursus (discource). Diskursus ini dibawa oleh aktor‐ aktor atau disebut epistemic community dengan jaringannya, kedua unsur itu tidak lepas dari adanya kepentingan atau politik yang menjadi dasar aktor‐aktor bertindak. Dalam kondisi demikian itulah terjadi proses penyaringan informasi dan pengetahuan. Ada informasi dan pengetahuan yang digunakan dan ada yang ditolak. Disadari atau tidak, proses penyaringan itu dilakukan untuk mmpertahankan diskursus beserta aktor dan jaringannya. Realitas demikian itu ada, dan para peneliti perlu memahami bahwa informasi dan pengetahuan adalah bagian dari kekuatan atau (sumber) kekuasaan. Ia sama sekali tidak bersifat netral, karena setiap teori, dalil dan konsep lahir di dalam ruang dan waktu yang tidak bebas dari kepentingan. Penerapan teknologi tertentu bahkan dapat menimbulkan atau meningkatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Dalam kondisi tertentu, teknologi juga menimbulkan ketergantungan petani yang umumnya miskin terhadap sarana produksi, dan dalam kondisi demikian itu upaya meningkatkan produktivitas hutan bahkan upaya melestarikan hutan, patut dipertanyakan. Namun, meskipun begitu, tanpa ada pengembangan teknologi, kapasitas manusia untuk dapat mendayagunakan sumberdaya alam dan kapasitas atau daya dukung sumberdaya alam untuk mendukung kehidupan manusia juga akan terbatas. Di sinilah suatu titik dimana peneliti perlu bertanya dimana ia sedang berdiri, apa yang sebenarnya ia lakukan, dan untuk siapa ia melakukan itu.
lxxvi
Tantangan bagi peneliti bukan hanya menyelesaikan pergulatan untuk menentukan posisi dirinya, tetapi juga melayani tuntutan berbagai pihak yang memerlukan hasil‐hasil penelitian. Untuk menghadapi tantangan yang kedua itu, dalam penetapan topik/tema penelitian sebaiknya dilaksanakan dengan menggali permasalahan dan pandangan dari berbagai pihak seperti masyarakat (lokal), para birokrat, kalangan bisnis, maupun akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendekatan atau kerangka pikir yang digunakan untuk menelaah isu tertentu sejauh mungkin dilakukan secara komprehensif (teknologi, ekonomi, sosial, dan institusi). Dengan demikian, penelitian dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang cukup, baik dari segi pendekatan/substansi maupun representasi aktor yang dilibatkan. Untuk itu pelaksanaan penelitian perlu ditopang oleh manajemen penelitian secara progresif, agar terhindar dari status hasil penelitian dan Lembaga Penelitian saat ini yang dianggap sebagai kadaluarsa atau sulit berkembang. Disamping proses pelaksanaan penelitian, strategi diseminasi hasil penelitian juga sangat penting agar pengetahuan baru hasil penelitian masuk dan menjadi bagian dari diskursus para penentu kebijakan. Strategi diseminasi itu sendiri ditentukan oleh karakter aktor‐aktor yang menjadi sasaran utama hasil penelitian, misalnya cukup dilakukan secara formal dan tertutup atau secara terbuka agar masyarakat ikut memberi pertimbangan pentingnya diadopsi hasil penelitian tersebut. Disamping itu, strategi diseminasi hasil penelitian juga ditentukan oleh kekuatan argumen hasil penelitian apakah didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat atau keberpihakan yang kuat. Pilihan bagi Lembaga Penelitian dalam melakukan diseminasi hasil penelitiannya dapat berupa: pembuatan policy brief, lobby, petisi atau aksi langsung di lapangan.
Para Hadirin Yth, Pada tingkat lanjut, para peneliti dituntut untuk menghasilkan kebaruan (novelty) dalam setiap penelitian yang ia lakukan, artinya, ia harus benar‐benar mampu membuat pertanyaan penelitian yang ―layak‖. Sayangnya, pertanyaan‐pertanyaan yang keliru atau kadaluarsa masih sering dijumpai dalam pelaksanaan penelitian. Para peneliti seringkali menjawab pertanyaan mereka sendiri dan bukan pertanyaan di dunia nyata yang menjadi topik penelitiannya. Mereka seringkali tidak merasa perlu komunikasi dengan pelaku‐pelaku atau bahkan tidak merasa perlu membaca referensi dan langsung merumuskan pertanyaan penelitian sesuai apa yang dipikirkannya. William N Dunn, ahli kebijakan publik, menyatakan kondisi demikian itu sebagai ―pemikiran logis tetapi tidak terpakai‖. Bagi para penentu kebijakan, memecahkan masalah yang salah akan membuat kondisi jauh lebih buruk daripada dibiarkan saja. Sehingga bukan hanya sumberdaya penting digunakan sia‐ sia, tetapi juga dapat menghasilkan kondisi lebih buruk daripada yang terjadi sebelumnya, karena menghasilkan masalah lebih serius – akan timbul komplikasi penyakit – sebagai hasilnya. Lima faktor sebagai penyebab, sehingga para peneliti atau pengambil keputusan senantiasa memecahkan masalah yang salah, yaitu: konsultasi dengan orang‐orang yang tidak tepat, selalu berkaca pada masalah di masa lalu, lebih memperhatikan gejala daripada penyebabnya, terlalu banyak berfikir administratif daripada fungsional, serta hanya terfokus pada bidang atau unit kerja tertentu. Terkait hal ini, rapat – sebagai ajang pengambilan keputusan – biasanya menjadi suatu ritual atau gerakan reflek dengan agenda menjawab pertanyaan‐pertanyaan yang keliru tersebut.
lxxvii
Untuk kasus pengambilan keputusan dalam bentuk pembuatan peraturan, kelima faktor di atas paling banyak terjadi. Biasanya pembahasan lebih banyak kearah kesesuaian koridor hukum, namun secara substansial sangat lemah, bahkan seringkali hasil peraturan yang dibuat tidak mempunyai hubungan dengan penyebab terjadinya persoalan. Peraturan ada dengan membawa logikanya sendiri, tidak terkait dengan peristiwa yang harus diintervensi. Adanya peraturan adalah demi peraturan itu sendiri. Adanya peraturan menjadi tujuan akhir dan biasanya timbul masalah baru, yaitu tambahan birokrasi. Persoalan tetap menjadi persoalan dan bahkan bertambah. Peraturan ada hanya karena dituntut keberadaannya. Demikian itu adalah sejumlah tantangan yang secara umum dihadapi baik oleh peneliti maupun penentu kebijakan. Diharapkan pemaparan singkat ini dapat memberikan inspirasi, betapa penelitian kebijakan kehutanan sangat penting, namun apabila menjawab masalah yang keliru dan hasilnya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan akan menambah masalah baru yang lebih serius. Semua itu dapat dihindari apabila manajemen penelitian memungkinkan para peneliti dapat memahami berbagai kerangka pikir, pendekatan dan konsep, serta pandangan pengguna hasil penelitian (user) agar masalah yang diteliti sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
lxxviii