1
KEBIASAAN SARAPAN, STATUS GIZI, STATUS KESEHATAN DAN DAYA TAHAN JANTUNG PARU LANSIA PESERTA SENAM TERPADU LANSIA DI KOTA BOGOR
NILAM BETARINA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRACT NILAM BETARINA. Breakfast Habits, Nutritional Status, Health Status and Heart and Lung Endurance of The Participants of Elderly Exercises Activity in Bogor. Supervised by CLARA M KUSHARTO Elderly is the last phase of human life cycle, in this phase occurred many changes physically and mentally (Soejono et al. 2000). Breakfast and exercise can contribute energy to increase heart and lung endurance. The study aimed to identify breakfast habits, nutritional status, health status and heart and lung endurance of the participants of elderly exercises activity in Bogor. Cross sectional study was applied in this study. A total number of 30 elderly exercises activity in Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI), Bogor was actively participated in this study. The study showed that 66.7% elderly always do breakfast. In terms of nutritional status of both groups (male and female), 60.0% belongs to normal category, obese 36.7% and underweight 3.3%. The health status between male and female elderly are considered high but the female’s medium heart and lung endurance status is much higher than the male respondents. Statistical analysis by Spearman correlation test showed that there was no significant relationship exist between breakfast habits with nutritional status, breakfast habits with heart and lung endurance, and health status with heart and lung endurance (p>0.05), but nutritional status with heart and lung endurance showed significant relationship (p<0.05). Keywords : elderly, breakfast habits, heart and lung endurance, exercise
3
RINGKASAN NILAM BETARINA. Kebiasaan Sarapan, Status Gizi, Status Kesehatan dan Daya Tahan Jantung-Paru Lansia Peserta Senam Terpadu Lansia di Kota Bogor. Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta senam terpadu lansia di Kota Bogor. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakteristik lansia peserta senam terpadu, (2) mempelajari kebiasaan sarapan lansia peserta senam terpadu, (3) mengukur status gizi lansia peserta senam terpadu, (4) mengidentifikasi status kesehatan lansia peserta senam terpadu, (5) mengukur daya tahan jantung paru lansia peserta senam terpadu, (6) menganalisis hubungan kebiasaan sarapan dengan status gizi lansia, dan (7) menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan, status gizi, dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru lansia. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Lansia dalam penelitian ini adalah lanjut usia yang berusia ≥60 tahun yang merupakan peserta senam terpadu lansia. Teknik penarikan contoh menggunakan kriteria inklusi yaitu berusia ≥60 tahun, sehat, dapat diukur tinggi badan dan berat badannya, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara sebagai responden dan merupakan peserta Senam Terpadu Lansia, sedangkan kriteria ekslusinya adalah bungkuk dan mengalami gangguan pendengaran kemudian diperoleh lansia sebanyak 30 orang. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari dua data, yaitu data primer dan data sekunder. Jenis data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, besar keluarga, status pernikahan dan living arrangement), kebiasaan sarapan, konsumsi pangan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data keadaaan umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI). Tahapan pengolahan data dimulai dari pemasukan data (entry), pengkodean (coding), pengeditan data (editing), pengecekan ulang (cleaning) dan selanjutnya dilakukan analisis. Data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 16,0 for Windows. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan uji beda menggunakan Independent Sample t-Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (83.3%) berada pada kisaran usia usia 60-74 tahun, sedangkan (16.7%) lansia berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Dari 30 orang lansia, diperoleh lansia laki-laki sebanyak 14 orang dan lansia perempuan sebanyak 16 orang. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh lansia adalah perguruan tinggi, baik lansia laki-laki maupun perempuan sebagian besar sudah pensiun dari pekerjaannya dan sumber pendapatan terbesar diperoleh dari dana pensiunan. Sebanyak 70,0% lansia termasuk dalam keluarga kecil (≤4 orang) dan memiliki status pernikahan menikah dengan persentase tertinggi (80.0%). Untuk living arrangement, lansia lebih banyak memilih untuk tinggal bersama baik dengan suami, anak, cucu, ataupun keluarga lain. Berdasarkan hasil wawancara, lansia dengan status menikah memilih tinggal dengan suami/istri mereka dalam satu rumah. Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat,
4
mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002) motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Berdasarkan hasil penelitian, (71.8%) lansia melakukan senam dengan alasan kesehatan. Kebiasaan sarapan lansia tergolong baik karena sebagian besar lansia (66.7%) selalu melakukan kegiatan sarapan pagi dengan waktu sarapan 07.0008.00 WIB. Lansia memilih jenis makanan nasi+lauk pauk sebagai menu sarapan sehari-hari. Uji beda Independent Sample t-Test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37,7%), vitamin A (17.2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total. Sedangkan pada lansia perempuan makanan sarapan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%), protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin C (1.5%). Uji beda Independent Sample t-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Status gizi pada peserta senam terpadu lansia sebagian besar termasuk dalam kategori status gizi normal (60.0%) dan sisanya termasuk dalam kategori obese (36.7%). Uji beda Independent Sample t-Test menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Sebagian besar lansia (66.7%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Keluhan kesehatan yang ditanyakan pada penelitian ini antara lain sering buang air besar, susah buang air kecil, pegal-pegal, pusing, sering buang air kecil, tangan/kaki kesemutan dan gatal/alergi. Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia adalah influenza dengan persentase pada lansia laki-laki 30.0% dan 18.2% pada lansia perempuan sedangkan penyakit non infeksi yang paling banyak diderita oleh lansia adalah hipertensi dan diabetes. Lama sakit lansia (33.3%) adalah 1-3 hari dengan frekuensi sakit 1 kali/bulan. Uji beda Independent Sample t-Test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama sakit, frekuensi sakit, dan status kesehatan pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Tindakan pengobatan yang dipilih lansia yaitu melalui rumah sakit (58.3%) merupakan persentase tertinggi. Nilai VO2 max lansia (56.7%) termasuk dalam kategori sedang. Lansia perempuan dengan nilai VO2 max sedang (68.8%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (42.9%). Uji beda Independent Sample t-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai VO2 max lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Hasil uji korelasi Spearman antara kebiasaan sarapan dengan status gizi, kebiasaan sarapan dengan daya tahan jantung paru, dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Terdapat hubungan yang signifikan pada uji korelasi Spearman status gizi dengan daya tahan jantung paru (p<0.05).
5
KEBIASAAN SARAPAN, STATUS GIZI, STATUS KESEHATAN DAN DAYA TAHAN JANTUNG PARU LANSIA PESERTA SENAM TERPADU LANSIA DI KOTA BOGOR
NILAM BETARINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
6
Judul Skripsi
: Kebiasan Sarapan, Status Gizi, Status Kesehatan dan Daya Tahan Jantung Paru Lansia Peserta Senam Terpadu Lansia di Kota Bogor
Nama
: Nilam Betarina
NIM
: I14080096
Menyetujui : Dosen Pembimbing
(Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M. Sc) NIP 19510719 198403 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
(Dr. Ir. Budi Setiawan, MS) NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
7
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kebiasaan Sarapan, Status Gizi, Status Kesehatan dan Daya Tahan Jantung Paru Lansia Peserta Senam Lansia di Kota Bogor”. Skripsi ini merupakan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Keluarga tercinta Papa, Mama, Ami dan Hasya
yang senantiasa
memberikan do’a, dukungan moril dan materil, cinta serta kasih sayangnya. 2.
Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan saran, masukan, dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik kepada penulis
4.
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pembimbing akademik
5.
Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI), Ibu Aisyah, Bapak Dadang, serta para Ibu dan Bapak peserta Senam Lanjut Usia tercinta atas kesediaan, kerja sama dan bantuannya selama penelitian.
6.
Komisi Pendidikan Departemen Gizi Masyarakat IPB yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan S1.
7.
Sahabat-sahabat dan orang tersayang Raden Dibi Irnawan, Ade Ayu Rahmawati, Junaida Astina, Diana Mardhiah, Lina Aminah, Ratna Mutu Manikam, Aprilia Pitriani, Ana Khovifah, Desi Setianingsih, teman-teman satu bimbingan skripsi Azni Ratnarosada, A Nur Rahmah, Rahman Setiawan, Mely Khoirul, Ai Kustiani dan teman-teman kosan Triregina atas dukungan semangat dan kebersamaannya
8.
Teman-teman Gizi Masyarakat 45 dan teman-teman yang selama ini telah mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, Januari 2013
Nilam Betarina
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 7 Mei 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Agus Nurmansyah dan Ibu Abnaenah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Perumnas V Tangerang pada tahun 2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 9 Tangerang dan lulus tahun 2005. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di Sekolah Indonesia Bangkok, Thailand dan lulus pada tahun 2008. Penulis diterima di Jurusan Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota divisi Exchange Program di International Association of Agricultural Students and Related Sciences (IAAS) pada tahun 2008-2010, bendahara umum di EcoAgrifarma, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2010, anggota divisi pendidikan anak usia dini (PAUD) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manuisa (BEM FEMA) pada tahun 2010, anggota klub kulinari, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2009-2010 dan anggota di UKM Gentra Kaheman pada tahun 2009. Penulis mendapatkan kesempatan melakukan kuliah kerja profesi (KKP) di Desa Pododadi, Kabupaten Pekalongan pada bulan Juli-Agustus 2011, dan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Bogor pada bulan Februari-Maret 2012. Penulis juga tercatat sebagai penerima beasiswa penelitian BNI pada tahun 2012.
9
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR........................... ............................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xii
PENDAHULUAN........................................................................................... Latar Belakang....................................................................................... Tujuan................................................................................. .................... Hipotesis................................................................................................ .. Kegunaan Penelitian.................. ............................................................
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA.............. ..................................................................... Proses Menua dan Lanjut Usia........................... .................................... Sarapan Pagi... .................................................................................... .. Makanan Sarapan... ..................................................................... Status Gizi ............................................................................................. Penilaian Status Gizi ..................................................................... Konsumsi Pangan.................................................................................... Metode Food Recall 24 jam .......................................................... Metode Food Record .................................................................... Kecukupan Zat Gizi................................................................................ Energi.......... ................................................................................. Protein..................................... ...................................................... Vitamin................. ......................................................................... Mineral....... ................................................................................... Status Kesehatan..................... .............................................................. Daya Tahan Jantung Paru ..................................................................... VO2 Maksimum ...................................................................................... Denyut Jantung ...................................................................................... Senam Lansia ........................................................................................ Manfaat Senam Lansia .................................................................
4 4 4 5 6 6 8 9 10 10 11 11 12 12 13 14 15 16 16 17
KERANGKA PEMIKIRAN........ .....................................................................
19
METODE PENELITIAN............................................................................ ...... Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian......... ......................................... Jumlah dan Cara Penarikan Contoh........ .............................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data............ ............................................ Pengolahan dan Analisis Data.................................................................. Definisi Operasional................................................................................
21 21 21 21 22 27
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................... Gambaran Umum Lokasi......................................................................... Karakteristik Lansia................................................................................ . Usia dan Jenis Kelamin............................................................ ...... Pendidikan......................................................................................
29 29 30 30 31
10
Pekerjaan ..................................................................................... Sumber Pendapatan ..................................................................... Besar Keluarga ............................................................................. Status Pernikahan ........................................................................ Living Arrangement ....................................................................... Motivasi Mengikuti Senam ............................................................ Kebiasaan Sarapan.............................................................................. ... Frekuensi Sarapan............................................................... .......... Waktu Sarapan................................................................ .............. Jenis Makanan Sarapan............................................... ................. Asupan dan Kontribusi Sarapan..................................................... Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi.............................................. Status Gizi ............................................................................................. Status Kesehatan.......................................... ......................................... Jenis Penyakit Infeksi dan Non Infeksi........................................... Lama dan Frekuensi Sakit.............................................................. Skor Morbiditas ............................................................................. Tindakan Pengobatan............................................................... ..... Daya Tahan Jantung Paru....................................................................... Hubungan Antar Variabel............................................................... ......... Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Status Gizi....................... Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Daya Tahan Jantung Paru............................................................................................... Hubungan Status Gizi dengan Daya Tahan Jantung Paru...................................................... ......................................... Hubungan Status Kesehatan dengan Daya Tahan Jantung Paru...............................................................................................
32 32 33 33 34 34 35 35 37 38 40 41 44 46 47 48 49 50 51 53 53 53 54 54
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... .... Kesimpulan............................................................................................. . Saran...................................................................................................... .
55 55 56
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ......
57
LAMPIRAN............................................................................................... ......
62
11
DAFTAR TABEL Halaman 1
Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks massa tubuh menurut International Obesity Task Force (IOTF) ................................................
7
2
Kriteria IMT menurut WHO (2005) .........................................................
8
3
Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari......................
10
4
Variabel dan indikator penelitian........................... ..................................
22
5
Kategori daya tahan jantung paru berdasarkan nilai VO2 max ...............
25
6
Variabel dan indikator data yang dianalisis ............................................
26
7
Sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin...............................
31
8
Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan.................. ...................
31
9
Sebaran lansia berdasarkan pekerjaan........ ..........................................
32
10 Sebaran lansia berdasarkan sumber pendapatan..................... .............
33
11 Sebaran lansia berdasarkan besar keluarga........... ...............................
33
12 Sebaran lansia berdasarkan status pernikahan .....................................
33
13 Sebaran lansia berdasarkan living arrangement ....................................
34
14 Motivasi lansia mengikuti senam............................................................
35
15 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan .....................................
35
16 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan ..........................................
37
17 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan .............................
38
18 Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap Asupan dan kecukupan lansia.......................................................... ......
40
19 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia...... .
42
20 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan status gizi............. .........
45
21 Sebaran lansia berdasarkan keluhan kesehatan... .................................
46
22 Sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi......... ........
47
23 Sebaran lansia berdasarkan lama dan frekuensi sakit.. .........................
48
24 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan.......................................
49
25 Sebaran lansia berdasarkan tindakan pengobatan ................................
51
26 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan VO2 max .......................
51
27 Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max .....................................
52
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan, status gizi, kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta Senam Terpadu Lansia di Kota Bogor................................... ...................................................................
20
2
Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia ......................
36
3
Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia ...........................
37
4
Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia .............
39
5
Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia ..................................
45
6
Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia .......................
50
13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Nilai p hasil uji beda kebiasaan sarapan ................................................
63
2
Nilai p hasil uji beda tingkat kecukupan energi dan zat gizi ....................
63
3
Nilai p hasil uji beda status gizi, lama dan frekuensi sakit, status kesehatan dan daya tahan jantung paru......................................... ........
63
Nilai p hasil uji korelasi status gizi dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru .................................................................................
63
Nilai p hasil uji korelasi kebiasaan sarapan dengan status gizi dan daya tahan jantung paru .................................................................................
64
4 5
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Angka harapan hidup manusia Indonesia semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. Keadaan ini membuat populasi orang berlansia di Indonesia semakin tinggi. Menurut laporan WHO (World Health Organization) pada tahun 1998, angka harapan hidup orang Indonesia meningkat dari 65 tahun (1997) menjadi 73 tahun (2025). Kondisi ini akan menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 yang memiliki populasi lansia terbanyak di dunia pada tahun 2020 (Bangun 2005). Menurut Bapenas (2008) jumlah lansia pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai angka 62,4 juta jiwa. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia pada 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih. Jumlah lansia yang semakin meningkat ini memerlukan perhatian lebih terutama dalam hal kesehatan. Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh
(Soedjono
et
al.
2000).
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) 60 -74 tahun, usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Komnas Lansia 2008). Perubahan secara mental banyak terjadi pada saat seseorang memasuki masa lansia seperti pikun, depresi, kesedihan, dan merasa dikucilkan. Keadaan jiwa yang bersifat negatif dapat mempercepat memburuknya keadaan fisiologis tubuh. Secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan ini akan menurunkan selera makan dan frekuensi makan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesehatan gizi dan status kesehatan tubuh (Astawan & Wahyuni 1988). Sarapan pagi adalah suatu kegiatan penting sebelum melakukan aktivitas fisik. Sarapan pagi menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Hal ini berdampak positif pada peningkatan produktivitas. Selain itu sarapan pagi juga akan memberikan kontribusi penting
2
akan beberapa zat gizi yang diperlukan seperti protein, vitamin, lemak dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya fisiologis dalam tubuh
dan
efektif
dalam
peningkatan
kebugaran.
Sarapan
pagi
akan
menyumbangkan sekitar 25% energi untuk beraktivitas. Jumlah ini signifikan untuk mempengaruhi kebutuhan energi dan zat gizi (Khomsan 2005). Kebugaran merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan individu. Menurut Hoeger dan Hoeger (2005) kebugaran tubuh adalah kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah, tanpa merasa kelelahan dan masih mempunyai cadangan energi untuk melakukan aktivitas lain. Kebugaran dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan (health related fitness) dan kebugaran yang berhubungan dengan keterampilan (skill related fitness). Salah satu komponen kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan (health related fitness) yaitu daya tahan jantung paru (cardiorespiratory endurance) (Haskell & Kierman 2000). Daya tahan jantung paru adalah kemampuan jantung, paru, dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada waktu kerja dalam mengambil O2 secara maksimal (VO2 maksimal) dan menyalurkannya ke seluruh tubuh terutama jaringan aktif, sehingga dapat digunakan untk proses metabolisme tubuh (Fatmah 2010). Untuk menjaga kondisi lansia tetap bugar salah satu cara yang dapat dilakukan adalah olahraga. Jenis olahraga yang bisa dilakukan pada lansia antara lain adalah senam lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu menghilangkan radikal bebas di dalam tubuh (Sukartini & Nursalam 2009). Dapat dikatakan bugar dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh seluruhnya dapat menjalankan fungsinya dalam waktu yang cukup lama (Sumosardjuno 1998). Sarapan dan olahraga merupakan hal penting dilakukan berkaitan dengan tingkat kebugaran khususnya daya tahan jantung paru bagi lanjut usia. Sarapan pagi tidak hanya mampu menyediakan karbohidrat sebagai sumber energi, namun juga meningkatkan kebugaran. Selain sarapan, konsumsi pangan yang bergizi, beragam, dan berimbang akan membantu seseorang untuk dapat memperbaiki
status
gizi
sehingga
juga
dapat
mempengaruhi
status
kesehatannya. Penelitian ini ingin melihat kebiasaan sarapan, status gizi, status
3
kesehatan dan hubungannya dengan tingkat kebugaran lansia, terutama daya tahan jantung paru lansia peserta senam terpadu lansia di kota Bogor. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta senam terpadu lansia di kota bogor. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi karakteristik lansia peserta senam terpadu 2. Mempelajari kebiasaan sarapan lansia peserta senam terpadu 3. Mengukur status gizi lansia peserta senam terpadu 4. Mengidentifikasi status kesehatan lansia peserta senam terpadu 5. Mengukur daya tahan jantung paru lansia peserta senam terpadu 6. Menganalisis hubungan kebiasaan sarapan dengan status gizi lansia 7. Menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan, status gizi dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru lansia Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan status gizi lansia 2. Terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan, status gizi dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru lansia Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi mengenai kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta Senam Terpadu Lansia di Kota Bogor. Selain itu, hasil penelitin ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak/lembaga baik pemerintah maupun swasta sebagai untuk program peningkatan pelayanan dan perawatan bagi lanjut usia, serta memberikan motivasi bagi lansia untuk mengikuti kegiatan yang dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani.
4
TINJAUAN PUSTAKA Proses Menua dan Lanjut Usia Proses menua merupakan proses normal yang dimulai sejak pembuahan dan berakhir pada kematian. Sepanjang hidup tubuh berada dalam keadaan dinamis, ada pembangunan dan ada perusakan. Pada saat pertumbuhan, proses pembangunan lebih banyak daripada proses perusakan. Setelah tubuh secara faali mencapai tingkat kedewasaan, proses perusakan secara berangsur akan melebihi proses pembangunan. Inilah saatnya terjadi proses menua atau aging. Proses menua ditandai dengan peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh yang disertai dengan perubahan dalam fungsi organ tubuh seperti jantung, otak, ginjal dan hati (Almatsier et al. 2011) Pengertian lansia dibedakan menjadi dua macam, yaitu lansia kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansa biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya. Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Fatmah 2011). World Health Organization (WHO) diacu dalam Komnas Lansia (2008) mengelompokkan usia lanjut ke dalam kelompok berikut: 45-59 tahun sebagai kelompok usia menengah (middle age), 60-74 tahun sebagai usia lanjut (elderly), 75-90 tahun sebagai usia tua (old) dan 90 tahun ke atas sebagai kelompok usia sangat tua (very old). Sarapan Pagi Sarapan merupakan salah satu waktu makan yang paling penting, namun seringkali dilewatkan. Aktivitas yang tinggi dan terbatasnya waktu selalu menjadi alasan utama untuk mengorbankan sarapan pagi. Sarapan mempunyai banyak manfaat positif, yaitu dapat memulihkan cadangan energi dan kadar gula darah, sehingga bisa beraktivitas dengan baik. Selain memberikan energi, sarapan juga dpat mencegah terjadinya penyakit maag. Sebab saat malam hari sekitar 8 hingga 10 jam lambung itu kosong dan harus segera diisi lagi pada pagi hari agar asam lambung tidak merusak dinding lambung (Fauzi 2009).
5
Khomsan (2005) menegaskan bahwa dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini bukan acuan keharusan. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi. Terdapat dua manfaat sarapan. Pertama, sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang normal, gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Sedangkan menurut Martianto (2006), sarapan dilakukan teratur setiap hari pukul 06.00-09.00. Idealnya sarapan memenuhi seperempat
hingga setengah
kebutuhan energi dan zat gizi sehari. Makanan sarapan Sarapan
sebaiknya
mengonsumsi
makanan
lengkap
yakni
yang
mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Adapun jenis makanan yang dapat dijadikan sebagai menu sarapan antara lain (Sianturi 2002). 1. Susu. Susu dapat dijadikan sebagai menur sarapan karena susu mengandung zat gizi dan kalori yang cukup lengkap. Namun, untuk mencukupi 25 persen dari total kalori per hari makan susu harus dikombinasikan dengan makanan lainnya seperti biskuit, sandwich, roti dan sebagainya. 2. Biskuit. Biskuit dapat digunakan sebagai alternatif makanan sarapan. Untuk memenuhi 25 persen dari total kalori, biskuit dapat dikombinasikan dengan telur rebus dan jus buah. 3. Sereal. Umumnya sereal mengandung zat gizi yang cukup lengkap. Sereal dapat pula dikombinasikan dengan roti, biskuit dan sandwich. 4. Buah-buahan. Buah-buahan adalah sumber vitamin, mineral, dan serat yang baik. Buah-buahan dapat dikonsumsi secara langsung atau dibuat jus sebagai pelengkap sarapan. Selain itu, buah dapat pula dimakan saat di perjalanan atau ketika tiba di sekolah atau tempat kerja.
6
5. Roti. Roti dapat disajikan dalam bentuk sandwich atau roti isi selai ataupun keju sebagai menu sarapan. Roti memiliki nilai kalori yang cukup tinggi serta dapat pula dikombinasikan dengan jus buah. 6. Telur. Telur adalah sumber protein yang baik. Telur mengandung zat gizi lengkap, antara lain kolin, vitamin E, A, B6, asam folat, B12, dan kolesterol. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi, keadaan kesehatan yang dipengaruhi oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran akibat penggunaannya oleh tubuh. Jika tubuh mendapatkan asupan makanan dalam kualitas dan kuantitas yang terpenuhi, maka orang tersebut akan mendapatkan status gizi yang optimal (Sediaoetama 2008). Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kebiasaan makan yang salah, gigi-geligi yang tidak baik, dan kelainan struktur saluran cerna (Almatsier 2006). Menurut Gibson (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan keadaan kesehatan. Konsumsi pangan dan keadaan kesehatan dipengaruhi oleh faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Faktor pertanian meliputi lahan, sarana produksi, tenaga kerja, teknik budidaya, pola pertanaman, perangsang berproduksi dan pascapanen. Faktor ekonomi meliputi pendapatan, pengeluaran pangan, pengeluaran bukan pangan, dan lapangan kerja. Faktor sosial budaya meliputi pendidikan, pengetahuan gizi, pengetahuan kesehatan dan kebiasaan makan. Faktor lingkungan meliputi biologis, kimia dan fisik. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, biokimia, klinis dan dietetik (Fatmah 2010). Salah satu metode yang umum digunakan pada masyarakat adalah metode antropometri. Metode ini sering digunakan karena prosedurnya yang sederhana, aman, mudah dan relatif
7
murah. Pengukuran metode antropometri merupakan metode yang tepat dan akurat karena dapat dibakukan. Antropometri merupakan indikator yang cukup sensitif dalam mengidentifikasi status gizi karena sudah ada ambang batas yang jelas (Supariasa et al. 2002). Pengukuran antropometri secara luas digunakan untuk menilai status gizi yang berfokus pada berbagai dimensi dan berbagai aspek komposisi tubuh manusia pada berbagai umur dan derajat gizi yang berbeda. Keuntungan dari pengukuran antropometri adalah dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang, dan buruk, sederhana, aman, cocok untuk sampel yang besar, dan memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau yang tidak dapat diperoleh (dengan tingkat kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2003) Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat
badan,
maka
mempertahankan
berat
badan
normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, aitesis dan hepatomegalia (Supariasa et al. 2002). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Berikut klasifikasi status gizi menurut International Obesity Task Force (IOTF) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks massa tubuh menurut International Obesity Task Force (IOTF) IMT (Kg/m2) <18.5 18.5-22.9 ≥ 23.0 23.0-24.9 25.0-29.9 >30.0 Sumber : WHO (2000)
Status Underweight Normal Overweight At Risk Obese I Obese II
Hasil studi baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak populasi Asia memiliki proporsi lemak tubuh yang lebih tinggi dibanding ras Kaukasoid pada usia, jenis kelamin, dan IMT yang sama. WHO telah merevisi cut off point IMT pada tahun 2005 dengan menekankan pada resiko kesehatan yang dapat ditimbulkan. Tabel 2 berikut disajikan klasifikasi IMT menurut WHO (2005).
8
Tabel 2 Kriteria IMT menurut WHO (2005) IMT (Kg/m2) <14.9 15.0-18.4 18.5-22.9 23.0-27.5 27.6-40.0 >40.0
Status Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obese I Obese II
Resiko Kesehatan Resiko penyakit defisiensi gizi Resiko rendah Resiko sedang Resiko tinggi
Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Menurut Kusharto dan Sa’adiyah (2008) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan ditentukan oleh produksi pangan, daya beli dan kebiasaan makan sedangkan kemampuan menggunakan zat gizi ditentukan oleh kondisi tubuh. Sedangkan menurut Harper et.al. (1986) dalam Sukandar (2008) konsumsi pangan seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan tersedianya pangan. Hardinsyah dan Briawan (1994) diacu dalam Imanuddin (2012) menyatakan bahwa banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu diantaranya faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio budaya dan religi yang ada di suatu daerah. Selain itu faktor kesehatan individu juga berpengaruh dalam konsumsi pangan, serta faktor fisiologis individu juga sangat menentukan jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi oleh individu. Survei konsumsi pangan adalah kegiatan survei yang dilakukan untuk mengumpulkan data konsumsi pangan individu/keluarga. Tujuan melakukan survei konsumsi pangan antara lain untuk mengetahui jumlah konsumsi pangan dan asupan gizi dan untuk mengetahui konsumsi pangan-pangan tertentu seperti daging, garam, gula, alkohol, dan zat non gizi. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, dalam survei konsumsi pangan terdapat dua metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif (Nasoetion & Damayanthi 2008).
9
Menurut Supariasa et al. (2002) metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode-metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, metode pendaftaran makanan (food list). Metode secara kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi pangan terdiri jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang (Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Metode Food Recall 24 Jam Metode Food Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu. Pengukuran konsumsi biasanya diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat. Metode recall ini murah, dan tidak memakan waktu banyak (Kusharto & Sa’adiyyah 2008). Pengukuran pangan jika hanya dilakukan sebanyak satu kali (1x24 jam) maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Pengukuran recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Pengukuran sebaiknya dilakukan minimal dua kali (2x24 jam) tanpa berturut-turut sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian indvidu (Gibson 2005). Menurut Fatmah (2010) keunggulan dari metode food recall 24 jam meliputi keandalan cukup tinggi, sehingga dapat diterapkan pada populasi dengan etnik yang berbeda-beda, tidak harus bisa membaca dan menulis, penolakan responden kemungkinannya kecil dan teknik wawancara tidak mengubah atau menambah pada konsumsi makanan. Sedangkan kekurangan metode ini adalah memerlukan keterampilan pewawancara yang tinggi dan ukuran porsi sulit untuk diestimasi secara akurat atau tepat.
10
Metode Food Record Pencatatan pangan (food record) dilakukan dengan mencatat segala makanan dan minuman serta suplemen vitamin dan mineral maupun suplemen makanan lainnya yang dikonsumsi dari pagi sampai menjelang pagi (24 jam) dengan porsi atau ukuran rumah tangga yang dikonsumsi. Pencatatan pangan dilakukan dengan cara responden mencatat makanan, minuman dan suplemen yang dikonsumsi termasuk ukuran secara berurutan atau tidak (Widjajanti 2009) Metode food record merupakan metode yang paling akurat untuk metode survei konsumsi pangan tingkat keluarga. Namun demikian metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu: mahal, perlu partisipasi yang tinggi dari responden, pola konsumsi pangan rumah tangga bisa berubah (Kusharto & Sa’adiyyah 2008). Kecukupan Zat Gizi Kecukupan gizi merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh, dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Sandjaja et al. 2009). Kecukupan gizi yang dianjurkan pada lansia dapat bertambah atau berkurang, beradaptasi dengan individu yang tergantung pada berat badan, umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis, dan tingkat kegiatan kerja. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) mengelompokkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan diatas 65 tahun adalah sebagai berikut : Tabel 3 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Angka Kecukupan Gizi Pria Wanita 50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun 2250 2050 1750 1600 60 60 50 45 800 800 800 800 600 600 600 600 600 600 500 500 9 9 75 75
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
Kecukupan gizi usia lanjut berbeda dengan usia muda karena pada usia lanjut terjadi perubahan fisiologis dan psikososial sebagai akibat dari proses menua (Depkes 2003). Pada dasarnya tidak ada jenis makanan yang spesifik untuk lansia. Namun untuk menentukan jenis diet pada lansia harus
11
memperhatikan kondisi kesehatan, penurunan kemampuan mencerna makanan, serta perubahan selera makan (Wirakusumah 2000). Energi Manusia memerlukan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan yang menentukan nilai energinya. Keseimbangan energi dicapai apabila energi yang masuk kedalam tubuh melalui makanan
sama
dengan
energi
yang
dikeluarkan.
Kekurangan
energi
menyebabkan berat badan kurang dan berat badan seharusnya (ideal), sedangkan kelebihan energi akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga terjadi kegemukan. Satuan energi dinyatakan dalam unit panas atau kalori (Almatsier 2006). Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010). Protein Protein adalah substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim dan sel darah merah. Bagi lansia asupan protein total yang dibutuhkan manusia akan menurun sesuai dengan perubahan usia seseorang. Hal ini terkait dengan penurunan fungsi sel-sel tubuh manusia. Akan tetapi ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa kebutuhan asupan protein cenderung tetap karena proses regenarasi tubuh akan terus berlajan sesuai laju regenerasi sel yang terjadi (Fatmah 2010). Bahan makanan hewan merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2006).
12
Vitamin Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Usia tidak meningkatkan kebutuhan vitamin A dan tidak menurunkan absopsinya. Bahkan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa absorpsi dan penyimpanan vitamin A pada usia lanjut lebih efisien daripada usia muda (Whitney & Rolfes 1999 diacu dalam Almatsier et al. 2011). Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia yang berpengaruh dalam pencegahan kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kantung kemih serta berperan dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit jantung. Selain itu, vitamin A berperan dalam pertumbuhan sel, perkembangan tulang dan sel epitel dalam pertumbuhan gigi (Almatsier 2006). Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran terutama berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung karetenoid provitamin A (Gibson 2005). Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi pada usia lanjut, sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010). Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Kekurangan vitamin C dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu pemulihan luka yang lambat, kulit kasar, iritasi dan gigi mudah lepas. Sumber – sumber vitamin C dapat diperoleh dari sayur-sayuran dan buahbuahan (Hoeger & Hoeger 2005). Mineral Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada
13
lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2000). Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu sekitar 1,5-2% atau 1 kg dari berat badan orang dewasa. Densitas tulang berbeda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Kemampuan absorpsi kalsium juga lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan akan menurun saat sudah tua (Almatsier 2006). Kalsium penting untuk pembentukan tulang dan menjaga agar tulang tetap kuat. Asupan kalsium yang cukup setiap hari dapat mencegah terjadinya osteoporosis di kemudian hari. Makanan kaya kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yogurt, ikan teri dan ikan yang dimakan dengan tulangnya misalnya ikan duri lunak (Almatsier et al. 2011). Fosfor mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa (Almatsier 2006). Kekurangan fosfor dapat menyebabkan nyeri pada tulang bahkan dapat menyebabkan patah tulang, kehilangan berat badan dan mudah lelah (Hoeger & Hoeger 2005). Status Kesehatan Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas) (Depkes 2008). Penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran pernapas bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi kulit (Rahardjo et al. 2009). Menurut Bloem (1979) diacu dalam Notoatmojo (2003) bahwa kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu faktor keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut disamping berpengaruh langsung kepada kesehatan juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Sukarni
14
(1994) diacu dalam Masturoh (2012) berpendapat bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara dinamis dan berhubungan dengan faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi sumberdaya alam dan ekonomi. Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada lansia mengidap penyakit kronis. Disamping itu sebagian lansia masih mampu mengurus diri sendiri. Sementara sebagian lain masih sangat tergantung pada belas kasihan orang lain. Kebutuhan zat gizi mereka tergolong aktif biasanya berbeda dengan orang dewasa sehat. Penuaan tidak begitu berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Hal tersebut memunculkan istilah Lansia Risiko Tinggi (High Risk Elderly) dengan kriteria (a) usia diatas 80 tahun, (b) hidup sendiri, (c) depresi, (d) gangguan intelektual, (e) jatuh beberapa kali, (f) inkontinensia urin, dan (g) di masa lalu tidak dapat menyesuaikan diri (Arisman 2007). Daya Tahan Jantung Paru Kebugaran fisik (physical fitness) adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kerja sehari-hari secara efisien tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan sehingga masih dapat melakukan aktivitas fisik lainnya. Seseorang yang merasa sehat belum tentu bugar sebab untuk dapat mengerjakan tugas sehari-hari seseorang tidak hanya bebas dari penyakit saja tetapi juga dituntut memiliki kebugaran (Irianto 2000). Daya tahan jantung paru adalah kemampuan jantung, paru, dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada waktu kerja dalam mengambil O2 secara maksimal (VO2 maksimal) dan menyalurkannya ke seluruh tubuh terutama jaringan aktif, sehingga dapat digunakan untuk proses metabolisme tubuh (Fatmah 2010). Kondisi kebugaran seseorang merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatannya. Pada seorang yang mempunyai kebugaran jantung paru yang baik, berbagai sistem dalam tubuhnya mampu mengambil oksigen dari udara secara optimal, mendistribusikannya ke seluruh tubuh dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh pada saat tersebut (Departmen of Health and Human Service 2006).
15
Agar aktivitas fisik yang dilakukan bermanfaat bagi kebugaran tubuh periu memperhatikan takaran yang tercakup dalam konsep FIT (FrequencyIntensity- Time) (Irianto 2004). 1. Frequency adalah banyaknya sesi latihan persatuan waktu, untuk memperoleh kebugaran seseorang perIu berlatih 3-5 kali/minggu, sebaiknya dikerjakan secara berselang, misalnya hari ini berlatih, besok istirahat, lusa berlatih dan seterusnya. Bagi mereka yang diam saja mengikuti program latihan cukup berlatih 3 kali/minggu, sedangkan bagi mereka yang sudah terbiasa berolahraga berlatihlah 5 kali/ minggu. 2. Intensity adalah kualitas latihan yang ditandai dengan berbagai indikator antara lain kenaikan detak jantung. Detak jantung pada saat berlatih untuk meningkatkan kebugaran harus memasuki training-zone yakni antara 60 s.d 85% detak jantung maksimal. Misalnya seorang berusia 20 tahun berlatih untuk memperbaiki tingkat kebugarannya maka pada saat berlatih detak jantungnya harus mencapai 60% (220-20) s.d 90% (22020) = 120 hingga 180 detak/ menit. 3. Time disebut juga durasi yakni waktu yang diperlukan untuk setiap sesi latihan. VO2 Maksimum Kemampuan menggunakan oksigen oleh tubuh merupakan kunci yang menentukan penggunaan bahan bakar tubuh dan keberhasilan berprestasi. VO2 maximum adalah volume maksimal O2 yang diproses oleh tubuh pada saat melakukan
latihan
yang
intensif.
Peningkatan
intensitas
latihan
dapat
meningkatkan kecepatan bernapas sehingga membuat konsumsi oksigen juga meningkat (Mackenzie 1997). VO2 max umumnya digunakan sebagai indikator untuk menentukan kemampuan aerobik, dimana kemampuan aerobik akan berkaitan erat dengan sistem kardiorespirasi dalam usaha penyediaan oksigen dan kemampuan untuk menggunakan oksigen tersebut dalam tubuh, sehingga dalam hal ini peran fisioterapi sangat penting dalam memberikan latihan terhadap kebugaran untuk peningkatan VO2 max (Susanto 2010). Sewaktu olahraga, otot harus menghasilkan energi dan oksigen memegang peranan penting. Semakin banyak oksigen yang digunakan berarti semakin besar kapasita untuk menghasilkan energi dan kerja yang berarti daya tahan tubuh lebih besar. Orang yang mempunyai VO2 max yang tinggi dapat
16
melakukan lebih banyak pekerjaan sebelum menjadi lelah dibandingkan dengan orang yang mempunyai VO2 max yang rendah (Nurcahyo 2008). Denyut jantung Denyut jantung adalah jumlah jantung berdetak setiap satu menit. Denyut akan meningkat pada saat orang berolahraga dan menurun pada saat orang istirahat. Denyut jantung adalah gerak yang tidak sadar dan orang tidak dapat mengontrolnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung antara lain umur, jenis kelamin, makanan yang dikonsumsi, emosi, suhu tubuh, faktor lingkungan dan kebiasaan merokok (Hoeger & Hoeger 2005) Denyut nadi diukur dengan menghitung jumlah denyut pada pergelangan tangan selama satu menit. Kecepatan normal denyut nadi (dalam setiap menit) pada orang dewasa yaitu 600 sampai 80 kali per menit (Pearce 2006). Orang dengan jantung yang bugar akan memompa lebih banyak darah tiap denyutnya sehingga jumlah denyut menjadi dibawah normal. Orang yang tidak bugar dan memulai program latihan, denyut jantung istirahat akan menurun sekitar 10 sampai 15 kali per menit. Kebutuhan oksigen saat latihan intensif membuat jantung bekerja lebih keras sehingga akan mempercepat denyut jantung. Denyut jantung maksimum setiap orang berbeda-beda dan akan menurun seiring dengan bertambahnya umur. Denyut jantung maksimum dapat diperkirakan dengan rumus (220 – umur). Ambang yang aman adalah bila aktivitas olahraga hanya mencapai 70% 85% dari denyut jantung maksimal yang disebut sebagai target zone. Seseorang dengan umur 70 tahun denyut jantung maksimalnya adalah 220 - 70 = 150/menit, maka hanya boleh berolahraga sampai denyut jantung sub maksimal, dengan perhitungan (220 - 70) x 70 - 85% = 105 - 127 kali permenit (Susanto 2010). Senam Lansia Senam lansia merupakan olahraga yang cocok bagi lansia karena gerakan di dalamnya menghindari gerakan loncat-loncat (low impact), melompat, kaki menyilang, maju mundur, menyentak-sentak namun masih dapat memacu kerja jantung paru dengan intensitas ringan-sedang, bersifat menyeluruh dengan gerakan yang melibatkan sebagian besar otot tubuh, serasi sesuai gerak seharihari dan mengandung gerakan-gerakan melawan beban badan dengan pemberian beban antara bagian kanan dan kiri tubuh secara seimbang dan berimbang. Gerakan dalam senam lansia mengandung gerakan-gerakan yang diharapkan dapat meningkatkan komponen kebugaran kardiorespirasi, kekuatan
17
dan ketahanan otot, kelenturan dan komposisi badan yang seimbang (Suhardo 2004). Sehingga mengikuti olahraga ini efek minimalnya adalah lansia merasa berbahagia senantiasa bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, pikiran tetap segar (Widianti & Proverawati 2010). Manfaat Senam Lansia Menurut Brick (2001) diacu dalam Senja (2010) manfaat dari senam lansia bagi kesehatan fisik antara lain: 1. Mengenai Jantung. Ketika beban kerja otot meningkat, tubuh akan menanggapi dengan meningkatkan jumlah oksigen yang dikirim ke otot dan jantung. Sebagai akibatnya, detak jantung dan frekuensi pernafasan meningkat sampai memenuhi kebutuhannya. Tubuh akan berkeringat dan membakar kalori dan lemak. Saat melakukan latihan jantung akan memompa lebih bamyak darah pada setiap detakan sehingga membantu mengirim oksigen pada otot yang bekerja. Jaringan-jaringan yang ada didalam tubuh bekerja sama untuk membantu meningkatkan kondisi kesegaran tubuh. 2. Kekuatan Otot. Agar menjadi lebih kuat, otot-otot harus dilatih melebihi normalnya. Intensitas latihan beragam dari latihan berintensitas rendah sampai berintensitas tinggi. Dengan latihan ini akan mempertahankan kekuatan otot. 3. Daya Tahan Otot. Senam membantu meningkatkan daya tahan otot dengan cara melakukan gerakan-gerakan ringan, seperti: melompatlompat, mengangkat lutut, dan menendang, sehingga tubuh menjadi kuat. Tubuh yang seimbang akan mengurangi risiko terluka. 4. Kelenturan. Kelenturan adalah gerakan yang berada disekeliling sendi. Setelah
menyelesaiakan
latihan,
peregangan
akan
membantu
meningkatkan kelenturan dan membantu sirkulasi darah kembali ke jantung. 5. Komposisi Tubuh. Bagian ini menunjukkan perbandingan kumpulan otot, tulang, dan cairan-cairan penting di dalam tubuh dibandingkan dengan lemak. Senam lansia sangat baik untuk peregangan dan kelenturan otot juga pernafasan, dapat juga meningkatkan sistem kardiorespirasi.
18
Manfaat lain mengenai senam lansia menurut Widianti dan Proverawati (2010) adalah sebagai berikut: 1. Membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap
kuat,
mendorong
jantung
bekerja
optimal
dan
membantu
menghilangkan radikal bebas yang berkeluaran di dalam tubuh 2. Menghambat proses degeneratif/penuaan 3. Meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia 4. Lansia merasa bahagia, senantaisa bergembira, bisa tidur lebih neyenyak dan pikiran tetap segar.
19
KERANGKA PEMIKIRAN Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental,khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Kondisi ini membuat konsumsi pangan terganggu sehingga dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan
seseorang
atau
kelompok
dengan
tujuan
tertentu.
Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Faktor karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, besar keluarga, status pernikahan dan living arrangement) merupakan hal-hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu. Asupan gizi yang cukup sangat dibutuhkan untuk mencapai ketahanan fisik dan kondisi tubuh yang prima. Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang. Konsumsi pangan dan status kesehatan merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Sarapan memberikan beberapa manfaat penting yang dapat diperoleh oleh lansia. Pertama, sarapan pagi menyumbangkan karbohidrat yang berguna untuk meningkatkan kadar gula darah. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi dapat memberikan konstribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologis dalam tubuh. Daya tahan jantung paru adalah kemampuan fungsional paru jantung mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama. Selain sarapan, faktor lain yang dapat mempengaruhi daya tahan jantung paru adalah status gizi dan status kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta Senam Terpadu Lansia di kota Bogor.
20
Karakteristik Lansia Peserta Senam Lansia:
Usia Jenis Kelamin Tingkat pendidikan Pekerjaan Sumber Pendapatan Besar keluarga Status pernikahan Living arrangement
Kebiasaan Sarapan : Frekuensi Waktu Jenis makanan sarapan Sumbangan energi dan zat gizi lain
Konsumsi Pangan : Tingkat konsumsi E, P, vitamin A, vitamin C, kalsium dan fosfor
Status Kesehatan : Jenis Penyakit Frekuensi sakit Lama sakit Tindakan pengobatan
Status Gizi BB dan TB
Daya Tahan Jantung Paru
Gambar 1
Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru lansia peserta Senam Terpadu Lansia di Kota Bogor
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
21
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu seluruh variabel diamati pada saat yang bersamaan pada waktu penelitian berlangsung. Pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara purposive, yaitu lansia dari enam kecamatan di Bogor. Lansia tersebut adalah peserta Senam Terpadu Lansia yang tergabung dalam Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2012. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penentuan populasi yang akan dijadikan contoh dalam penelitian atas dasar pertimbangan: (1) Dapat memberikan gambaran tentang karakteristik lanjut usia, (2) Kemudahan dalam akses pengambilan data dan (3) Kegiatan Senam Terpadu Lansia ini dilakukan pada hari sabtu setiap minggu di Plaza Balaikota Bogor. Total contoh dalam penelitian adalah 54 orang, dengan masing-masing 15 orang lansia laki-laki dan 39 orang lansia perempuan. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah contoh berusia ≥60 tahun, sehat, dapat diukur tinggi badan dan berat badannya, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara sebagai responden dan merupakan peserta Senam Terpadu Lansia, sedangkan kriteria ekslusinya adalah bungkuk dan mengalami gangguan pendengaran. Lansia yang tidak termasuk dalam kriteria inklusi sebanyak 14 orang dan 10 orang lansia tidak melengkapi data yang dibutuhkan sehingga didapatkan 30 orang lansia yang dijadikan contoh yaitu 14 orang lansia laki-laki dan 16 orang lansia perempuan. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, besar keluarga, status pernikahan, dan living arrangement), kebiasaan sarapan, konsumsi pangan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh lansia. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keadaaan umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI) Kota Bogor. Tabel 4 menunjukan jenis dan cara pengumpulan data primer.
22
Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data primer No 1
Variabel Karakteristik Lansia
2
Kebiasaan sarapan pagi
3
Status gizi
-
4
Konsumsi pangan lansia
-
5
Status Kesehatan
6
Daya tahan jantung paru
-
Indikator Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Pekerjaan Sumber Pendapatan Besar keluarga Status pernikahan Living arrangement Frekuensi sarapan Waktu sarapan Jenis sarapan Sumbangan terhadap energi dan zat gizi lainnya Berat badan Tinggi badan
Sumbangan energi dan zat gizi lainnya - Tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya - Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi - Keluhan kesehatan/jenis penyakit - Lama sakit - Frekuensi sakit - Tindakan pengobatan Pengukuran VO2 max
Cara pengumpulan data Wawancara menggunakan kuesioner
Wawancara menggunakan kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan seputar kebiasaan sarapan dan mengisi food record Berat badan ditimbang menggunakan timbangan badan digital merek Camry dengan kapasitas maksimum 200 kg dan ketelitian 0.1 kg. Sedangkan, tinggi badan diukur menggunakan microtoise dengan kapasitas maksimum 200 cm dan ketelitian 0.1 cm Wawancara menggunakan food recall 2x24 jam
Wawancara menggunakan kuesioner
Melakukan tes jalan sejauh 1 mil (1,609 km)
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah secara deskriptif dan statistik dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0 for windows. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning dan analisis. Analisis statistik yang dilakukan adalan uji beda Independent Sample t-Test dan uji korelasi Spearman. Uji beda Independent Sample t-Test digunakan untuk mengetahui perbedaan kebiasaan sarapan, asupan zat gizi sarapan, tingkat
23
kecukupan zat gizi, status gizi, status kesehatan dan daya tahan jantung paru antara lansia laki-laki dan perempuan. Sedangkan uji korelasi Spearman digunakan untuk mencari hubungan kebiasaan sarapan dan status gizi, kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dengan daya tahan jantung paru. Konsumsi pangan lansia diketahui melalui metode food recall 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan yang diperoleh dikonversikan untuk menentukan energi dan zat gizi lansia yang terdiri atas protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan pangan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994): KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij
= Kandungan zat gizi –i dalam bahan pangan –j
Bj
= Berat makan –j yang dikonsumsi (g)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan pangan ke-j
BDDj = Bagian bahan pangan -j yang dapat dimakan Untuk menghitung tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok umur) digunakan rumus sebagai berikut : AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan : AKGI = Angka kecukupan gizi lansia Ba
= Berat badan aktual sehat (kg)
Bs
= Berat badan patokan (kg)
AKG
= Angka kecukupan gizi yang dianjurkan WNPG (2004)
Perhitungan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menggunakan rumus di bawah ini : TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan : TKG
= Tingkat kecukupan konsumsi gizi
K
= Konsumsi gizi (food recall 2 x 24 jam)
AKGI = Angka kecukupan gizi lansia Vitamin dan mineral dihitung langsung dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG (2004), tanpa menggunakan angka kecukupan gizi lansia (AKGI). Perhitungan untuk tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan
24
mineral menggunakan rumus seperti pada tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dikelompokan menjadi lima kategori, yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (7079% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral dikelompokan menjadi dua, yaitu defisit (<77% AKG) dan cukup (≥77% AKG) (Gibson 2005). Status gizi ditentukan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT dihitung dengan membandingkan berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m 2), IMT diklasifikasikan berdasarkan kategori WHO (2005) yaitu underweight (<18.5), normal (18.5-22.9), overweight (23.0-27.5) dan obese (>27.5). Status kesehatan dilihat berdasarkan ada tidaknya lansia yang sakit dalam satu bulan terakhir meliputi keluhan kesehatan, jenis penyakit, lama sakit, dan frekuensi sakit serta tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan dibagi menjadi tiga kategori yaitu tidak ada, terdapat 1 jenis keluhan, terdapat lebih dari 1 jenis keluhan. Keluhan kesehatan yang ditanyakan antara lain sering buang air besar, susah buang air kecil, pegal-pegal, pusing, sering buang air kecil, tangan/kaki kesemutan dan gatal/alergi. Jenis penyakit yang diteliti mencakup penyakit infeksi dan non infeksi. Lama sakit dikategorikan berdasarkan BPS (2000) yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Frekuensi sakit dikelompokan menjadi 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Skor mobiditas diperoleh dengan mengalikan lama hari sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis penyakit, seperti rumus berikut (Dijaissyah 2011): Skor Morbiditas = Lama hari sakit x Frekuensi sakit Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Tindakan pengobatan yang ditanyakan pada penelitian ini adalah tindakan pengobatan melalui puskesmas, rumah sakit, obat warung dan obat tradisional/jamu. Daya tahan jantung paru diukur dengan menggunakan metode tes jalan 1 mil (1.609 km). Lansia yang akan dites diminta untuk menempuh jarak sejauh 1.609 km dengan berjalan kaki. Persiapan sebelum tes atau sehari sebelum tes yaitu lansia tidak boleh melakukan aktivitas fisik yang melelahkan dan makan teratur. Prosedur tes jalan 1 mil (1.609 km) yaitu: 1. Gunakan lintasan sejauh 1 mil (1.609 km)
25
2. Lakukan pengukuran berat badan sebelum tes 3. Gunakan stopwatch untuk menentukan total waktu tempuh jalan kaki dan denyut jantung pada saat latihan 4. Lakukan tes jalan kaki pada lintasan 1 mil (1.609 km) 5. Setelah selesai melakukan tes, cek waktu yang ditempuh dan hitung denyut nadi selama 10 detik, kemudian hasil tersebut dikalikan dengan 6 untuk mengetahui denyut jantung saat latihan. 6. Waktu tempuh dikonversikan dari menit dan detik menjadi detik. 7. Untuk menghitung VO2 maksimum dalam ml/kg/min digunakan rumus sebagai berikut (Hoeger & Hoeger 2005): VO2 Maksimum = 88.786 – (0.0957 x BB dalam pounds) + (8.892 x JK) – (1.4537 x waktu tempuh dalam menit) – (0.1194 x denyut nadi setelah tes) Hasil dari penjumlahan masing-masing data yang dimasukkan kedalam rumus untuk VO2 maksimum kemudian dikategorikan kedalam tingkat daya tahan jantung paru sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan sangat baik yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori daya tahan jantung paru berdasarkan nilai VO2 max Sangat kurang 50-59 <17.9 Laki-laki 60-69 <15.9 ≥70 ≤12.9 50-59 <14.9 Perempuan 60-69 <12.9 ≥70 ≤11.9 Sumber : Hoeger & Hoeger (2005) JK
Usia
Kurang
Sedang
Baik
18-24.9 16-22.9 13-20.9 15-21.9 13-20.9 12-19.9
25-37.9 23-35.9 21-32.9 22-33.9 21-32.9 20-30.9
38-42.9 36-40.9 33-37.9 34-39.9 33-36.9 31-34.9
Sangat Baik >43 >41 ≥38 >40 >37 ≥35
26
Pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Variabel dan indikator data yang dianalisis Variabel Usia (WHO diacu dalam Komnas Lansia 2008)
Kategori Variabel Usia lanjut (elderly) : ≥ 60- 74 tahun Usia tua (old) : 75-90 tahun
Jenis kelamin
1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD/sederajat 4. Tamat SMP/sederajat 5. Tamat SMA/sederajat 6. Tamat Perguruan Tinggi 1. Tidak bekerja 2. Buruh bangunan, angkut 3. Pedagang keliling 4. Supir angkut, ojek 5. PNS 6. Pegawai swasta 7. IRT 8. Lainnya 1. Sosial 2. Anak 3. Cucu 4. Sendiri 5. Pensiunan 6. Lainnya 1. Kecil (≤ 4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar ( ≥ 7 orang) 1. Tidak menikah 2. Menikah 3. Cerai hidup 4. Cerai mati 1. Tinggal sendiri 2. Tinggal bersama (suami, anak, cucu atau keluarga lain)
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Sumber pendapatan
Besar keluarga (Hurlock 1999) Status pernikahan
Living arrangement
Kebiasaan sarapan lansia a. Frekuensi sarapan
b. Jenis sarapan
c. Waktu sarapan
1. Tidak pernah 2. Jarang (< 4 kali/minggu) 3. Sering (≥ 4-6 kali/minggu) 4. Selalu (7 kali/minggu) 1. Roti/kue 2. Gorengan (bakwan, tahu, tempe) 3. Susu atau teh manis 4. Bubur ayam 5. Nasi+lauk pauk 6. Nasi+lauk pauk+susu 7. Nasi uduk 8. Nasi goreng 9. Bihun goreng 10. Mie goreng 1. Pukul 05.00-06.00 2. Pukul 06.00-07.00 3. Pukul 07.00-10.00
27
Variabel Status Gizi (WHO 2005)
Kategori Variabel 1. IMT<18.5 (underweight) 2. IMT 18.5-22.9 (normal) 3. IMT 23.0-27.5 (overweight)
4. IMT >27.5 (obese) Konsumsi pangan lansia a. Tingkat konsumsi energi dan protein (Depkes 1996) 1. 2. 3. 4. 5. b. Tingkat konsumsi vitamin dan mineral (Gibson 2005) Status Kesehatan a. Keluhan kesehatan
b. Jenis penyakit c. Lama sakit (BPS 2000)
d. Frekuensi sakit
e. Tindakan pengobatan
Defisit tingkat berat (<70%) Defisit tingkat sedang (70-79%) Defisit tingkat ringan (80-89%) Normal (90-119%) Kelebihan (≥120%)
1. Kurang (<77%AKG) 2. Cukup (≥ 77%AKG) 1. Tidak ada 2. Terdapat 1 jenis keluhan 3. Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan 1. Infeksi 2. Non infeksi 1. 1-3 hari 2. 4-7 hari 3. 8-14 hari 4. >14 hari 1. 1 kali 2. 2 kali 3. ≥ 3 kali 1. Puskesmas 2. Dokter 3. Obat warung 4. Obat tradisional / jamu
Definisi Operasional Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia ≥ 60 tahun baik pria maupun wanita yang memenuhi kriteria sebagai contoh yaitu sehat, tidak bungkuk, tidak mengalami gangguan pendengaran, dapat diukur tinggi dan berat badannya, dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia diwawancara Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dijalani oleh lansia, yang diukur dari lamanya pendidikan atau jenjang pendidikan. Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan lansia untuk mendapatkan uang Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Status pernikahan adalah status hubungan lansia dengan lawan jenisnya yang sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya).
28
Besar keluarga adalah banyaknya orang/jiwa yang tinggal dalam satu keluarga dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga dalam pemenuhan keperluan sehari-hari Living arrangement adalah keberadaan tinggal lansia dalam satu rumah, terbagi dua yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (suami, anak, cucu, atau keluarga lain). Sarapan adalah kegiatan makan yang dilakukan pada pagi hari dengan susunan hidangan terdiri dari makanan pokok, lauk hewani atau nabati, sayuran, buah dan minuman. Status gizi adalah keadaan gizi tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) dan dihitung dengan membandingkan berat badan (kg) dengan tinggi badan (cm). Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi lansia yang dapat dilihat dari kebiasaan mengonsumsi jenis-jenis pangan meliputi pangan pokok, pangan hewani, nabati, sayur, dan buah serta tingkat kecukupan energi, protein, vitamin dan mineral yang dihitung melalui perbandingkan konsumsi diperoleh melalui metode food recall 2 x 24 jam Status kesehatan adalah kondisi kesehatan lansia selama satu bulan terakhir yang diukur berdasarkan keluhan kesehatan, jenis penyakit, frekuensi dan lama sakit serta tindakan pengobatan Skor morbiditas adalah keadaan atau kondisi tubuh lansia yang dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis penyakit kemudian dikategorikan menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Daya tahan jantung paru adalah kemampuan tubuh lansia memakai oksigen untuk memproduksi energi selama proses olahraga tanpa menimbulkan rasa lelah. Peserta senam terpadu lansia adalah lansia yang mengikuti kegiatan senam terpadu yang diselenggarakan oleh LLI yang dilakukan pada hari sabtu setiap minggu secara rutin.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI) Lembaga Lansia Indonesia yang dibentuk pada tanggal 29 Mei 2000 mempunyai visi untuk menjadikan lembaga ini sebagai mitra pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam mewujudkan lanjut usia yang berkualitas, mandiri dan berguna. Dalam mewujudkan visi tersebut, LLI membuat beberapa misi, yaitu: pertama, meningkatkan
kualitas
lansia
secara
berkesinambungan,
yang
meliputi
kesehatan fisik, mental, sosial dan spiritual, pengetahuan dan keterampilan serta jaminan sosial dan kebutuhan hidup. Kedua, mengupayakan kemandirian lansia selama mungkin agar kehidupannya menjadi produktif dan berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketiga, meningkatkan keadaan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan lansia menjadi subyek dalam kehidupan selama mungkin. Keempat, meningkatkan kepedulian masyarakat untuk memberikan pelayanan dan perawatan bagi lansia yang memerlukan, secara manusiawi dan bermartabat. Lembaga Lanjut Usia terdiri dari 7 bidang yaitu: Bidang Pembinaan Kesra, Bidang Pembinaan Kesehatan Lansia, Bidang Peningkatan SDM Lansia, Bidang Kerohanian dan Keagamaan, Bidang Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Bidang Penelitian Pengembangan dan Organisasi dan Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri. Bidang pembinaan kesra, LLI mengembangkan dana dan teknologi guna membantu para lansia untuk memperpanjang kemampuan kemandirian sosial dan ekonomi, termasuk perolehan Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk seluruh lanjut usia yang bergerak dibidang formal, informal maupun non formal serta mempermudah akses bagi para lansia dalam pemanfaatan fasititas umum. Dibidang pembinaan kesehatan, LLI telah mengupayakan pedoman tentang kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta pelayanan terpadu. Bidang ini juga mengupayakan klinik Geriatri, Rehabilitasi Medik Geriatri, mendorong profesionalisme dibidang ilmu dan perawatan Geriatri, mengusahakan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta pelestarian lingkungan hidup dikaitkan dengan kesehatan. Untuk peningkatan SDM Lansia, LLI mengadakan berbagai pelatihan dan keterampilan, mengupayakan terbentuknya kesempatan kerja bagi lansia. Untuk peningkatan peran serta masyarakat, LLI menitikberatkan upaya peningkatan
30
peran keluarga terhadap anggotanya yang lanjut usia, serta membangun serta meluaskan jaringan kerja dengan generasi muda organisasi masyarakat termasuk
melalui
RT/RW.
Dalam
rangka
ini
dilakukan
pilot
proyek
pengembangan POSYANDU Lansia di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Depok, untuk membentuk kelompok lansia dengan peran keluarga dan masyarakat yang peduli pada masalah kesehatan lansia. Lembaga Lanjut Usia (LLI) memiliki berbagai cabang pada tiap daerah, salah satunya di Bogor. LLI Kota Bogor dibentuk berdasarkan surat keputusan walikota Bogor pada tanggal 25 Juni 2004. LLI Bogor memiliki visi mewujudkan lansia Bogor yang berkualitas mandiri berguna, bahagia dengan upaya bersama antar masyarakat dan pemerintah melalui LLI Kota Bogor yang efektif dan efisien. Untuk mewujudkan visi tersebut, LLI Kota Bogor memiliki misi untuk meningkatkan kualitas dan usia harapan hidup seluruh lansia di Kota Bogor secara berkesinambungan. Program kerja yang disusun oleh LLI Kota Bogor ada empat bidang, antara lain: bidang kesehatan, bidang rohani dan agama, bidang informasi dan komunikasi dan bidang umum. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan LLI Kota Bogor antara lain jalan sehat bagi lansia, senam lansia setiap sabtu, pemeriksaan kesehatan bagi lansia, pemberian penghargaan bagi pasangan lansia yang telah berumah tangga lebih dari 50 tahun, pengajian bersama, undian haji dan bakti sosial dengan kunjungan ke panti werdha. Karakteristik Lansia Usia dan Jenis Kelamin Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Fatmah 2011). Lanjut usia adalah manusia yang sudah memasuki usia 60 tahun (Sumintarsih 2006). Menurut WHO diacu dalam Komnas Lansia (2008), lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu 4559 tahun sebagai kelompok usia menengah (middle age), 60-74 tahun sebagai usia lanjut (elderly), 75-89 tahun sebagai usia tua (old) dan 90 tahun ke atas sebagai kelompok usia sangat tua (very old). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui sebanyak 83.3% lansia berada pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan 16.7% berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Pada usia 60-74 tahun, proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki,
31
sedangkan pada usia 75-90 memiliki proporsi sebaliknya. Lansia tertua dalam penelitian ini berusia 82 tahun. Rata-rata usia lansia yaitu sebesar 68.0 6.05. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tabel 7 Sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia (thn)
Laki-laki n 11 3 14
60-74 tahun 75-90 tahun Total
% 78.6 21.4 100
Perempuan n % 14 87.5 2 12.5 16 100
Total n 25 5 30
% 83.3 16.7 100
Pendidikan Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkat pendidikan pada penelitian ini terbagi menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat dan tamat perguruan tinggi. Sebagian besar lansia (40.0%) mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Lansia yang tamat SD/sederajat sebanyak (10.0%), tamat SMP/sederajat (30.0%), dan tamat SMA/sederajat (20.0%). Pada Tabel 8 dapat diketahui pula tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat perguruan tinggi lebih banyak terjadi pada lansia laki-laki (50.0%) daripada perempuan (31.3%). Tabel 8 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/ sederajat Tamat SMP/ sederajat Tamat SMA/ sederajat Tamat Perguruan tinggi Total
Laki-laki n % 0 0.0 0 0.0 1 7.1 4 28.6 2 14.3 7 50.0 14 100
Perempuan n % 0 0.0 0 0.0 2 12.5 5 31.3 4 25.0 5 31.3 16 100
Total n 0 0 3 9 6 12 30
% 0.0 0.0 10.0 30.0 20.0 40.0 100
Lansia peserta senam lanjut usia sebagian besar tinggal di kota, sehingga lebih mengerti akan pentingnya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Sediaoetama (2008) bahwa tingkat pendidikan yang lebih berkaitan dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi yang memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik yang mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Pada penelitian ini tidak ada lansia yang tidak tamat SD maupun tidak bersekolah, tingkat pendidikan yang paling rendah adalah tamat SD/sederajat (10.0%) dengan jumlah lansia yang minimum.
32
Pekerjaan Sebanyak 70.0% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya. Persentase pensiun pada lansia laki-laki (92.9%) lebih besar daripada perempuan (50.0%). Namun masih ada lansia yang bekerja (3.3%). Lansia yang bekerja mencari nafkah lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (7.1%) sedangkan lansia perempuan lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang masih dilakukan adalah pegawai swasta. Sedangkan lansia lain sudah tidak bekerja, pensiun dan ibu rumah tangga. Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Tidak bekerja Buruh bangunan, angkut Pedagang keliling Supir angkut, ojek PNS Pegawai swasta IRT Lainnya Total
n 0 0 0 0 0 1 0 13 14
Laki-laki % 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.1 0.0 92.9 100
Perempuan n % 1 6.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 7 43.8 8 50.0 16 100
Total n 1 0 0 0 0 1 7 21 30
% 3.3 0.0 0.0 0.0 0.0 3.3 23.3 70.0 100
Bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan penurunan kemampuan untuk bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Muningatun (2006) yang menyatakan bahwa sebanyak 55.6% lansia di Kecamatan Ciampea tidak bekerja. Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007) kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Sumber Pendapatan Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dari sumber pendapatan secara total yang diterima oleh lansia, bantuan yang berasal dari pensiunan memiliki persentase paling tinggi yaitu 73.3 persen. Dari Tabel 10 juga dapat diketahui sumber pendapatan lain yang diterima selain dari pensiunan yaitu bantuan dari anak 16.7%, sendiri 3.3% dan lainnya 6.7%. Dari hasil wawancara, bantuan yang diberikan kepada lansia sebagian besar berupa makanan, baik dalam bentuk mentah maupun makanan siap saji namun ada pula yang diberikan bantuan berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sudah tidak berpenghasilan.
33
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan sumber pendapatan Sumber Pendapatan Anak Cucu Sendiri Pensiunan Bantuan Sosial (Paguyuban lansia, Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos) Lainnya Total
Laki-laki n % 1 7.1 0 0.0 0 0.0 13 92.9
Perempuan n % 4 25.0 0 0.0 1 6.3 9 56.3
n 5 0 1 22
Total % 16.7 0.0 3.3 73.3
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0 14
0.0 100
2 16
12.5 100
2 30
6.7 100
Besar Keluarga Menurut Hurlock (1999) berdasarkan jumlah atau besar anggota keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Besarnya keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Menurut Sumawarman (2004) besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan, pola konsumsi dan konsumsi zat gizi seseorang. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi beras, daging, sayuran dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga ≤ 4 orang 5-6 orang ≥ 7 orang Total
Laki-laki n % 11 78.6 3 21.4 0 0.0 14 100
Perempuan n % 10 62.5 5 31.3 1 6.0 16 100
n 21 8 1 30
Total % 70,0 26,7 3.3 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dengan persentase 70.0%. Lansia lainnya termasuk dalam kategori keluarga sedang 26.7% dan keluarga besar 3.3%. Berdasarkan wawancara, lansia yang termasuk dalam keluarga kecil hanya tinggal sendiri atau berdua dengan suami karena anak-anak mereka sudah memiliki keluarga sendiri sehingga tinggal terpisah. Status Pernikahan Berdasarkan Tabel 12, sebagian besar lansia berstatus menikah. Persentase lansia berstatus menikah pada laki-laki (92.9%) lebih tinggi daripada perempuan (68.8%). Sedangkan lansia lainnya berstatus cerai hidup (3.0%) dan cerai mati (16.7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang lansia di tiga kelurahan di kota Bogor oleh Ruslianti dan Kusharto (2006),
34
tidak seperti lansia laki-laki yang cenderung berada dalam status kawin hingga mereka sangat tua dan meninggal, namun lansia wanita cenderung tetap mempertahankan status janda atau cerai. Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan status pernikahan Status Pernikahan Tidak menikah Menikah Cerai hidup Cerai mati Total
Laki-laki n % 0 0.0 13 92.9 0 0.0 1 7.1 14 100
Perempuan n % 0 0.0 11 68.8 1 6.0 4 25.0 16 100
n 0 24 1 5 30
Total % 0.0 80.0 3.0 16.7 100
Living Arrangement Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan pendamping (caregiver). Living arrangement dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (suami, anak, cucu, ataupun keluarga lain). Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan living arrangement Living Arrangement Tinggal sendiri Tinggal bersama Total
Laki-laki n % 0 0.0 14 100 14 100
Perempuan n % 2 12.5 14 87.5 16 100
n 2 28 30
Total % 7.0 93.0 100
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (93.0%) baik lakilaki maupun perempuan berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih banyak tinggal bersama suami jika masih berstatus menikah. Akan tetapi ada pula lansia yang tinggal bersama dengan anak beserta cucu dan suami dalam satu rumah. Sebagian kecil lansia (7.0%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara menyebutkan kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah memiliki keluarga baru sehingga memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Adapun lansia yang tinggal sendiri beralasan tidak ingin membebani anak jika diajak tinggal bersama. Motivasi Mengkuti Senam Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002)
35
motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sebaran motivasi lansia untuk mengikuti senam disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Motivasi lansia mengikuti senam Motivasi mengikuti senam
n
%
Kesehatan
28
71.8
Menjalin silahturahmi sesama lansia
8
20.5
Mencari kegiatan
2
5.1
Senang melakukan senam
1
2.6
Selain dilakukan wawancara mengenai data karakteristik lansia, diajukan pula pertanyaan mengenai motivasi lansia untuk mengikuti senam yang diadakan setiap minggu. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar lansia mengikuti senam dengan alasan kesehatan (71.8%). Menyadari kondisi fisik yang semakin menurun ketika usia lanjut, para lansia melakukan tindak pencegahan dengan melakukan olahraga, salah satunya senam untuk menjaga tubuh tetap sehat. Selain alasan kesehatan, lansia mengikuti senam dengan alasan menjalin tali silahturahmi sesama lansia (20.5%), mencari kegiatan (5.1%) dan senang melakukan senam (2.6%). Kebiasaan Sarapan Frekuensi Sarapan Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari, dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi. (Khomsan 2005). Tabel 15 menyajikan sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan. Sebagian besar lansia (66.7%) selalu melakukan kegiatan sarapan pagi. Persentase kegiatan sarapan pada lansia perempuan (68.8%) lebih besar daripada laki-laki (64.3%). Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan Kebiasaan Sarapan Tidak pernah Jarang (< 4 kali/minggu) Sering (≥ 4-6 kali/minggu) Selalu (7 kali/minggu) Total
Laki-laki n % 0 0.0 3 21.4 2 14.3 9 64.3 14 100
Perempuan n % 1 6.3 0 0.0 4 25.0 11 68.8 16 100
n 1 3 6 20 30
Total % 3.3 10.0 20.0 66.7 100
Sebagian besar lansia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki persentase kebiasaan sarapan yang cukup baik yang dinyatakan dengan hasil
36
frekuensi selalu sarapan secara menyeluruh lebih dari 50% sehingga bersifat homogen atau tidak beragam. Herlina (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pada lansia di perkotaan sebanyak 86.6% melakukan sarapan pagi karena faktor kebiasaan dan menjaga kesehatan. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kesadaran lansia di perkotaan akan pentingnya melakukan sarapan pagi tinggi. Lansia pada penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok usia yaitu usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun). Berikut adalah sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia. Frekuensi sarapan baik pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun) adalah selalu sarapan dengan frekuensi 7 kali/minggu. Hasil ini sesuai dengan Sharkey et al. (2002) yang menyebutkan bahwa frekuensi sarapan meningkat seiring dengan usia (p<0.01) terutama pada kelompok lansia (60-74 tahun, 75-84 tahun dan ≥85 tahun). Namun masih ada pula lansia yang tidak pernah sarapan setiap hari, sebanyak 4.0% pada kelompok usia 60-74 tahun. Alasan lansia tidak melakukan sarapan pagi adalah karena tidak terbiasa. Khomsan (2005) mengemukakan bahwa ada dua manfaat yang bisa diambil jika seseorang melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi menyumbang karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah sehingga gairah dan konsentrasi kerja jadi lebih baik. Kedua, memberikan kontribusi penting beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
37
Waktu Sarapan Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini bukan acuan keharusan (Khomsan 2005). Waktu sarapan dibedakan menjadi empat kategori waktu meliputi pukul 07.00-08.00, pukul 08.00-09.00, pukul 09.00-10.00, dan lainnya. Berikut data waktu sarapan lansia disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan Waktu Sarapan 07.00 - 08.00 08.00 - 09.00 09.00 - 10.00 Lainnya Total
n 11 0 2 1 14
Laki-laki % 78.6 0.0 14.3 7.1 100
Perempuan n % 11 68.8 1 6.0 1 6.0 3 18.8 16 100
Total n 22 1 3 4 30
% 73.3 3.0 10.0 13.3 100
Sebagian besar lansia (73.3%) lebih banyak melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00 WIB. Dengan lansia laki-laki (78.6%) dan lansia perempuan (68.8%). Sebagian kecil lansia (13.3%) melakukan sarapan pada pukul 05.0006.00 WIB yang dilakukan sebelum melakukan aktivitas di pagi hari. Lansia pada penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok usia lanjut dan usia tua, sebagian besar lansia melakukan kegiatan sarapan pada pukul 07.0008.00. Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia disajikan pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia. Seluruh lansia yang termasuk dalam kelompok usia tua (100%) melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00, sedangkan untuk kelompok usia lanjut (68.0%) melakukan sarapan pada jam yang sama. Hal ini mereka lakukan agar memperoleh energi yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-
38
hari. Namun ada pula lansia yang termasuk dalam kategori waktu lainnya, yaitu melakukan kegiatan sarapan sebelum pukul 07.00, berdasarkan hasil wawancara kepada lansia mereka melakukan hal tersebut karena saat bangun pagi sudah terasa lapar dikarenakan tidak makan malam pada hari sebelumnya. Jenis Makanan Sarapan Jenis makanan sarapan pada lansia terbagi menjadi 10 jenis makanan sarapan, yaitu roti/kue, gorengan, susu/teh manis, bubur ayam, nasi+lauk pauk, nasi uduk, nasi goreng, bihun goreng, mie goreng dan lainnya seperti havermout dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan terdapat pada Tabel 17. Persentase jenis makanan yang sering (26.2%) dikonsumsi oleh lansia adalah nasi+lauk pauk. Hasil penelitian ini serupa dengan yang dilakukan oleh Sari (2010) yang menunjukkan bahwa 96.9% lansia pada saat sarapan lebih banyak mengonsumsi makanan pokok (nasi) dan lauk pauk. Selain makanan sarapan tersebut, lansia juga sering mengonsumsi roti/kue (19.7%) yang disertai dengan susu/teh manis (18.0%). Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan Jenis Makanan Sarapan Roti/kue Gorengan Susu atau teh manis Bubur ayam Nasi+lauk pauk Nasi uduk Nasi goreng Bihun goreng Mie goreng Lainnya
n 5 3 4 1 11 1 3 0 0 3
Laki-laki % 16.1 9.7 12.9 3.2 35.5 3.2 9.7 0.0 0.0 9.7
Perempuan n % 7 23.3 2 6.7 7 23.3 3 10.0 5 16.7 0 0.0 3 10.0 0 0.0 0 0.0 3 10.0
Total n 12 5 11 4 16 1 6 0 0 6
% 19.7 8.2 18.0 6.6 26.2 1.6 9.8 0.0 0.0 9.8
Sarapan sebaiknya mengonsumsi makanan lengkap, yakni yang mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Sianturi 2002). Hasil penelitian menunjukkan makanan yang dikonsumsi oleh lansia belum mengandung semua unsur gizi seimbang, lansia hanya mengonsumsi salah satu dari unsur gizi, seperti roti manis yang dikombinasikan dengan kopi, teh manis, atau susu. Sebagian kecil lansia (8.2%) mengonsumsi makanan camilan. Makanan camilan terdiri dari dua jenis yaitu makanan camilan basah seperti pisang goreng dan makanan camilan kering seperti produk ekstruksi (Nuraida et al 2009). Makanan camilan yang sering dikonsumsi oleh lansia adalah pisang goreng, tahu goreng, buras, talas dan singkong. Menurut Khomsan (2005) makanan jajanan
39
atau camilan seringkali lebih banyak mengandung karbohidrat dan hanya sedikit protein, vitamin, dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan sehingga makanan jajanan tidak dapat menggantikan makanan sarapan. Makanan lain yang sering dikonsumsi adalah nasi+lauk pauk dengan nasi sebagai sumber karbohidrat dan ikan, tempe atau tahu sebagai pangan sumber protein nabati, sumber vitamin dan mineral tidak diperhatikan oleh lansia sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan akan sumber tersebut. Khomsan (2005) menyebutkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat (nasi) perlu disertai makanan lain sumber vitamin/mineral dari sayur dan buah sehingga mekanisme proses pencernaan menjadi lancar. Jenis makanan sarapan lansia cukup bervariasi dan umumnya jenis makanan sarapan tersebut dikonsumsi secara bergantian setiap hari. Makanan dengan menu nasi+lauk pauk lebih banyak dikonsumsi oleh lansia (60-74 tahun), sedangkan untuk usia tua (75-95 tahun) memilih menu lainnya seperti havermout dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia.
40
Asupan dan Kontribusi Makanan Sarapan Zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C. Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia terdapat pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia Zat Gizi
Laki-laki
Perempuan
P
Energi Asupan energi makanan sarapan (kkal/hari)
600
431
Kontribusi terhadap asupan total (%)
30.1
29.5
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
28.1
26.0
Asupan protein makanan sarapan (g)
18.1
10.2
Kontribusi terhadap asupan total (%)
27.8
24.6
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
30.1
21.7
1109.9
1330.0
Kontribusi terhadap asupan total (%)
84.9
98.2
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
2.1
3.9
Asupan Fosfor makanan sarapan (mg)
303.3
282.9
Kontribusi terhadap asupan total (%)
37.7
38.3
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
43.9
35.7
Asupan vitamin A makanan sarapan (RE)
410.8
256.6
Kontribusi terhadap asupan total (%)
17.2
16.4
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
50.5
56.6
Asupan vitamin C makanan sarapan (mg)
1.8
0.8
Kontribusi terhadap asupan total (%)
2.6
1.5
4564.8
342.2
0.072
Protein 0.006
Kalsium Asupan Kalsium makanan sarapan (mg)
0.830
Fosfor 0.882
Vitamin A 0.161
Vitamin C
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
0.178
Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37.7%), vitamin A (17,2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total. Sedangkan pada lansia perempuan makanan sarapan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%), protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin C (1.5%). Rata-rata kontribusi energi, protein, vitamin A dan vitamin C pada lansia laki-laki lebih tinggi daripada lansia perempuan. Untuk kontribusi kalsium dan fosfor pada lansia perempuan lebih tinggi. Makanan sarapan yang dikonsumsi oleh lansia cukup banyak mengandung energi seperti roti, nasi uduk,
41
nasi goreng, ketupat tahu, bubur ayam, havermout dan sereal gandum. Sumber protein makanan sarapan pada lansia berasal dari ayam goreng, ikan, telur ayam, daging sapi, tempe dan tahu. Sumber vitamin A dan C diperoleh dari makanan seperti hati, kuning telur, minyak, bayam, wortel, kacang panjang, jagung, tomat, jeruk, pepaya, semangka dan melon. Kontribusi kalsium dan fosfor yang lebih tinggi pada lansia wanita diduga karena pada lansia wanita, konsumsi sumber kalsium seperti susu pada sarapan pagi lebih sering daripada laki-laki yang biasanya mengonsumsi teh atau kopi pada pagi hari. Almatsier et al (2011) menyebutkan bahwa makanan kaya kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yogurt, ikan teri dan ikan yang dimakan dengan tulangnya misalnya ikan duri lunak. Kontribusi terhadap kecukupan gizi diperoleh dari rata-rata konsumsi sarapan selama 7 hari kemudian dibandingkan dengan rata-rata tingkat kecukupan gizi lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui kontribusi energi dari zat gizi terhadap kecukupan gizi makanan sarapan pada lansia laki-laki yaitu energi (28.1%), protein (30.1%), kalsium (2.1%), fosfor (43.9%), vitamin A (50.5%) dan vitamin C (4564.8%) dan pada lansia perempuan makanan sarapan memberikan kontribusi energi (26.0%), protein (21.7%), kalsium (3.9%), fosfor (35.7%), vitamin A (56.5%), vitamin C (342.2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi makanan sarapan lansia baik laki-laki maupun perempuan telah memenuhi kebutuhan energi, protein, vitamin A dan vitamin C sekitar 20-30% yang dibutuhkan dari makanan sarapan. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Menurut Kusharto dan Sa’adiyah (2008) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi zat gizi individu diperoleh dari hasil recall 2 x 24 jam. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan
42
vitamin
C.
Sedangkan
tingkat
kecukupan
gizi
diketahui
dengan
cara
membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupan yang dianjurkan. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia No
Zat Gizi
1
Energi (Kal)
2
Protein (g)
3
Kalsium (mg)
4
Fosfor (mg)
5 6
Asupan Zat Gizi Laki-laki Perempuan
Tingkat Kecukupan Gizi (%) Laki-laki Perempuan
1992.9 ± 565.8
1460.3 ± 322.9
94.4 ± 31.3
83.2 ± 19.2
65.0 ± 28.1
41.3 ± 11.0
219.1 ± 100.2
166.8 ± 46.6
1307.4 ± 1748.8
1354.7 ± 3456.8
176.5 ± 260.9
163.8 ± 426.0
804.4 ± 456.6
739.0 ± 720.1
137.0 ± 85.5
118.0 ± 117.7
Vitamin A (RE)
2387.1 ± 1268.7
1560.8 ± 831.0
392.6 ± 203.3
293.9 ± 154.5
Vitamin C (mg)
70.6 ± 70.1
56.1 ± 24.9
761.5 ± 666.2
69.7 ± 28.2
Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia laki-laki (1992.9 ± 565.8 Kal) lebih tinggi daripada lansia perempuan (1460.3 ± 322.9 Kal). Persentase ratarata tingkat kecukupan energi lansia laki-laki 94.4% juga lebih tinggi daripada lansia
perempuan
83.2%.
Menurut
Depkes
(2003)
umumnya
laki-laki
memerlukan zat gizi lebih banyak (terutama kalori, protein dan lemak) dibandingkan dengan wanita karena postur, otot dan luas permukaan tubuh lebih besar atau lebih luas daripada wanita. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki berada pada kategori normal (90119% AKG), sedangkan pada lansia perempuan rata-rata tingkat kecukupan energinya berada pada kategori defisit tingkat ringan (80-89%). Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Protein. Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim dan sel darah merah (Fatmah 2010). Berdasarkan Tabel 19, ratarata asupan protein pada lansia laki-laki (65.0 ± 28.1 g) lebih tinggi daripada lansia perempuan (41.3 ± 11.0 g). Persentase rata-rata tingkat kecukupan protein lansia laki-laki sebesar 219.1% dan 166.8% pada lansia perempuan. Sehingga rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki dan perempuan termasuk dalam kategori lebih (>120%). Tingkat kecukupan protein yang berlebih ini diduga
43
karena lansia banyak mengonsumsi pangan protein, baik hewani maupun nabati, ditunjukkan dengan menu makan sehari-hari lansia hanya berupa nasi+lauk seperti ayam, tempe maupun tahu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Almatsier (2006) kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Kalsium. Rata-rata asupan kalsium pada lansia perempuan 1354.7 ± 3456.8 mg lebih tinggi daripada lansia laki-laki 1307.4 ± 1748.8 mg. Tingkat kecukupan kalsium lansia laki-laki 176.5% dan lansia perempuan 163.8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukpan kalsium pada kedua kelompok berada dalam kategori cukup (≥ 77%). Menurut Almatsier (2006) sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju dan sumber kalsium baik lainnya adalah ikan dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering. Lansia pada penelitian ini banyak mengonsumsi susu terutama pada sarapan pagi, serta ikan kering yang ditambahkan sebagai lauk pada menu makan siang sehingga asupan kalsium tergolong cukup. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalsium pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Fosfor. Fosfor mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa (Almatsier 2006). Rata-rata asupan fosfor pada lansia laki-laki (804.4 ± 456.6 mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (739.0 ± 720.1 mg). Tingkat kecukupan fosfor lansia termasuk laki-laki mencapai 137% dan 118% pada perempuan. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat kecukupan fosfor lansia berada dalam kategori cukup (≥ 77%) sama halnya dengan tingkat kategori kalsium. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan fosfor pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Vitamin A. Rata-rata asupan vitamin A pada lansia laki-laki (2387.1 ± 1268.7 RE/hari) lebih tinggi daripada lansia perempuan (1560.8 ± 831.0 RE/hari). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok lansia sebesar >100% sehingga termasuk dalam kategori cukup (≥ 77%). Sumber vitamin A yang banyak dikonsumsi lansia antara lain hati ayam, ikan, kuning telur, dan
44
pemakaian minyak goreng ketika memasak. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Vitamin C. Rata-rata asupan vitamin C pada lansia laki-laki (70.6 ± 70.1 mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (56.1 ± 24.9 mg). Tingkat kecukupan vitamin C pada laki-laki sebesar 761.5% yang termasuk dalam kategori cukup (≥ 77%), berbeda pada lansia perempuan yang hanya mencapai 69.7% sehingga dikategorikan kurang (<77%). Rendahnya tingkat kecukupan vitamin C pada lansia perempuan diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya, tomat) dan beberapa sayuran yang mengandung sumber vitamin C masih kurang. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C pada lansia lakilaki dan perempuan (p<0.05). Perbedaan tingkat kecukupan vitamin C pada lansia laki-laki dan perempuan ini diduga karena perbedaan angka kecukupan gizi antara lansia laki-laki dan perempuan. Menurut WNPG (2004) angka kecukupan vitamin C pada laki-laki usia 50-64 tahun dan >65 tahun adalah 9 mg, sedangkan pada lansia perempuan adalah 75 mg. Status Gizi Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Penilaian status gizi seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi (Riyadi 2003). Status gizi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan IMT (kg/m2). Kategori status gizi dibagi menjadi empat yaitu underweight, normal, overweight dan obese. Sebaran status gizi lansia dapat dilihat pada Tabel 20.
45
Tabel 20 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan status gizi Status Gizi Underweight Normal Overweight Obese Total
n 1 9 0 4 14
Laki-laki % 7.0 64.3 0.0 28.6 100
Perempuan n % 0 0.0 56.0 9 0 0.0 43.8 7 16 100
Total n 1 18 0 11 30
% 3.3 60.0 0.0 36.7 100
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia termasuk dalam kategori status gizi normal (60.0%). Sebanyak 36.7% lansia termasuk dalam kategori status gizi obese. Status gizi obese lebih banyak terjadi pada perempuan (43.8%). Menurut WHO (2000) wanita cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak, sehingga memiliki kemungkinan untuk menjadi obesitas. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kebiasaan makan yang salah, gigi-geligi yang tidak baik, dan kelainan struktur saluran cerna (Almatsier 2006). Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (56.0%) dan (80.0%) lansia dari dua kelompok usia yang berbeda termasuk dalam kategori status gizi normal. Status gizi underweight banyak terjadi pada usia tua (75-90 tahun). Berdasarkan hasil wawancara, lansia mengalami penurunan nafsu makan. Ketika usia mulai menua
46
mulai banyak gigi yang tanggal mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut (Depkes 2003). Uji beda independent sample t-test menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Menurut Forbes (1987) diacu dalam Ferro-Luzzi (1996) seseorang yang telah memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan massa otot yang akan berbanding terbalik dengan proporsi lemak didalam tubuhnya sehingga cenderung akan mengalami peningkatan resiko terjadinya obesitas yang lebih lanjut akan mengalami peningkatan resiko terjadinya penyakit degeneratif. Status Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Departemen Sosial RI 2003), sedangkan status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita yang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Astawan & Wahyuni 1988). Dalam penelitian ini, status kesehatan dilihat dari keluhan kesehatan, frekuensi dan lama sakit serta tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir, termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh. Darmojo (2000) menyatakan bahwa penyakit atau keluhan yang umum diderita oleh lansia adalah rematik (arthritis), hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru (bronchitis/dyspnea), diabetes mellitus, jatuh (falls), lumpuh separuh badan, TBC, patah tulang, dan kanker. Tabel 21 Sebaran lansia berdasarkan keluhan kesehatan Keluhan Kesehatan Tidak ada keluhan Terdapat 1 jenis keluhan Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan Total
Laki-laki n % 2 14.3 3 21.4 9 64.3 14 100
Perempuan n % 2 12.5 3 18.8 11 68.8 16 100
n 4 6 20 30
Total % 13.3 20.0 66.7 100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (66.7%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Keluhan kesehatan lebih banyak terjadi pada lansia perempuan (68.8%) dibandingkan dengan lansia lakilaki (64.3%). Keluhan kesehatan yang ditanyakan pada penelitian ini antara lain
47
sering buang air besar, susah buang air kecil, pegal-pegal, pusing, sering buang air kecil, tangan/kaki kesemutan dan gatal/alergi. Jenis Penyakit Infeksi dan Non Infeksi Penyakit adalah suatu keadaan terganggunya fungsi tubuh yang terjadi sebagai respons terhadap infeksi, tekanan, atau kondisi lainnya (Diana 2006). Jenis penyakit pada penelitian ini terbagi dua yaitu penyakit infeksi dan penyakit non infeksi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi. Tabel 22 Sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi Jenis Penyakit Penyakit Infeksi Diare TBC Influenza Tifus Penyakit Non Infeksi Maag Asma Katarak Hipertensi Diabetes Jantung Rematik Asam Urat
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
1 0 3 0
10.0 0.0 30.0 0.0
0 0 2 0
0.0 0.0 18.2 0.0
2 0 3 4 4 1 1 2
20.0 0.0 30.0 40.0 40.0 10.0 10.0 20.0
3 0 0 4 2 2 7 4
27.3 0.0 0.0 36.4 18.2 18.2 63.6 36.4
Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia dalam satu bulan terakhir adalah influenza dengan persentase pada lansia laki-laki sebesar 30.0% dan 18.2% pada lansia perempuan, penyakit infeksi lainnya yang diderita adalah diare (10.0%). Hal ini sejalan dengan pendapat Arisman (2007) yang menyatakan bahwa penyakit yang sering dialami lansia diantaranya adalah gangguan pernapasan dan pencernaan karena adanya penurunan fungsi dari organ tubuh maupun metabolisme tubuh. Selain penyakit infeksi, menurut Rahardjo et al. (2009) penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakitpenyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan
atas
(radang
tenggorokan,
influenza)
atau
infeksi
saluran
48
pernapasan bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Dalam penelitian ini, penyakit non infeksi yang paling banyak diderita oleh lansia adalah hipertensi dengan persentase sebesar 40.0% dan 36.4% masing-masing pada lansia laki-laki dan perempuan. Schlenker (2000) menyatakan bahwa hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita. Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia. Penyakit non infeksi lainnya yang cukup banyak diderita oleh lansia laki-laki adalah diabetes (40.0%), asam urat (20.0%) dan maag (20.0%), sedangkan pada lansia perempuan sebanyak 63.0% menderita penyakit rematik, asam urat (36.4%), maag (27.3%), diabetes dan jantung masing-masing (18.2%). Lama dan Frekuensi Sakit Lama dan frekuensi sakit menunjukkan rata-rata berapa kali dan berapa lama terjadinya sakit dalam 1 bulan terakhir. Lama sakit yang digunakan dalam penelitian ini terbagi empat kategori, yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari (BPS 2000). Jumlah seluruh lansia yang sakit sebanyak 21 orang dari 30 orang. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia (33.3%) berada pada kategori lama sakit 1-3 hari. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama sakit pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Frekuensi sakit dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Tabel 23 menunjukkan bahwa frekuensi sakit sebagian lansia peserta senam (52.4%) adalah 1 kali/bulan. Untuk frekuensi sakit 2 kali/bulan diperoleh persentase 38.1% dan ≥3 kali/bulan sebanyak 9.5%. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sakit pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Berikut disajikan data mengenai lama dan frekuensi sakit lansia peserta senam terpadu. Tabel 23 Sebaran lansia berdasarkan lama dan frekuensi sakit
Lama sakit
Frekuensi sakit
Kategori 1-3 hari 4-7 hari 8-14 hari >14 hari Total 1 kali/bulan 2 kali/bulan ≥3 kali/bulan Total
n 7 6 3 5 21 11 8 2 21
% 33,3 28,6 14,3 23,8 100 52,4 38,1 9,5 100
49
Skor Morbiditas Salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan dapat dilihat dari skor morbiditas. Angka morbiditas merupakan indikator kesehatan yang cukup sensitif (Depkes 2007). Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Skor morbiditas menunjukkan status kesehatan. Skor morbiditas yang rendah menunjukkan status kesehatan yang tinggi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan status kesehatan. Tabel 24 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan Status kesehatan Tinggi Sedang Rendah Total
Laki-laki n % 4 40.0 0 0.0 6 60.0 10 100
Perempuan n % 8 72.7 2 18.2 1 9.1 11 100
Total n 12 2 7 21
% 57.1 9.5 33.3 100
Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar lansia (57.1%) berada kategori status kesehatan tinggi dengan persentase lansia perempuan (72.7%) lebih besar daripada laki-laki (40.0%). Namun masih ada lansia yang termasuk dalam status kesehatan rendah (33.3%) dan (9.5%) termasuk kategori status kesehatan sedang. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas) (Depkes 2008). Sebagian besar lansia baik kelompok usia lanjut dan usia tua, memiliki status kesehatan yang tinggi (56.3% dan 60.0%), namun masih ada pula lansia yang memiliki status kesehatan rendah dengan persentase 40.0% pada usia tua. Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia dapat dilihat pada Gambar 6.
50
Gambar 6 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia. Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada lansia mengidap penyakit kronis (Arisman 2007). Status kesehatan yang rendah dapat disebabkan oleh dua hal yaitu frekuensi sakit yang sering dan lamanya lansia menderita sakit. Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status kesehatan lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Tindakan Pengobatan Tindakan pengobatan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain puskesmas, rumah sakit, obat warung dan obat tradisional/jamu. Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia pergi ke rumah sakit untuk melakukan tindakan pengobatan, persentase jasa pengobatan ke rumah sakit pada lansia laki-laki sebanyak 70.8% dan pada lansia perempuan sebesar 45.8%. Selain pergi ke rumah sakit, pengobatan melalui puskesmas banyak dipilih oleh lansia, terutama pada lansia perempuan (29.2%) dan (16.7%) pada laki-laki. Berdasarkan hasil wawancara, lansia yang memilih berobat ke rumah sakit dikarenakan penyakit yang diderita sudah cukup parah dan obat yang diberikan oleh dokter di rumah sakit lebih menyembuhkan daripada obat warung ataupun jamu. Namun ada beberapa lansia yang memilih puskesmas karena alasan biaya dan akses yang dekat dari rumah.
51
Tabel 25 Sebaran lansia berdasarkan tindakan pengobatan Tindakan Pengobatan Puskesmas Rumah Sakit Obat Warung Obat Tradisional/jamu
n 4 17 2 1
Laki-laki % 16.7 70.8 8.3 4.2
Perempuan n % 29.2 7 45.8 11 8.3 2 17.0 4
Total n 11 28 4 5
% 22.9 58.3 8.3 10.4
Daya Tahan Jantung Paru Daya tahan jantung paru adalah kemampuan fungsional jantung paru mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama (Irianto 2000). Pengukuran daya tahan jantung paru ditentukan oleh kekuatan aerobik maksimal (VO2 max) yang didefinisikan sebagai rata-rata tertinggi oksigen yang dapat dihasilkan selama latihan dan diperlihatkan dalam jumlah millimeter oksigen yang dikonsumsi per kilogram berat badan per menit (Fatmah 2011). Ada beberapa alat ukur untuk mengetahui daya tahan jantung paru seseorang diantaranya adalah pengukuran dengan tes jalan satu mil (1,609 km). Tes ini digunakan untuk mengestimasi VO2 max orang yang berusia 20 tahun keatas dan orang yang mempunyai masalah dengan fisik seperti orang lanjut usia (Kuntaraf & Kuntaraf 1992 diacu dalam Simon 2006). Pengkategorian VO2 max dibagi menjadi lima yaitu sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan sangat baik. Hasil VO2 max dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan VO2 max VO2 Max Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik Total
n 0 0 6 6 2 14
Laki-laki % 0.0 0.0 42.9 42.9 14.3 100
Perempuan n % 1 6.3 1 6.3 11 68.8 3 18.8 0 0.0 16 100
Total n 1 1 17 9 2 30
% 3.3 3.3 56.7 30.0 6.7 100
Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia 56.7% memiliki nilai VO2 max yang termasuk dalam kategori sedang. Lansia perempuan dengan nilai VO2 max sedang (68.8%) lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan lansia laki-laki (42.9%). Nilai VO2 max dengan kategori baik, terdapat lansia perempuan sebanyak 18.8% dan 42.9% lansia laki-laki. Sedangkan untuk kategori VO2 max sangat baik sebanyak 14.3% seluruhnya pada lansia laki-laki. Untuk kategori sangat kurang dan kurang sebanyak 6.3% berada pada lansia perempuan.
52
Lansia berusia 60-74 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 30.1 ± 7.21 sedangkan lansia berusia 75-90 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 34.3 ± 6.65. Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max VO2 Max Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik Total
60-74 tahun n % 1 4.0 1 4.0 16 64.0 6 24.0 1 4.0 25 100
75-90 tahun n % 0 0.0 1 20.0 0 0.0 3 60.0 1 20.0 5 100
Total n 1 2 16 9 2 30
% 3.3 6.7 53.3 30.0 6.7 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa untuk kategori sangat kurang, sebagian besar adalah lansia dengan usia 60-74 tahun (4.0%). Pada kategori kurang, jumlah lansia pada usia 60-74 tahun dan 75-90 tahun masingmasing sebanyak 1 orang dengan persentase 4.0% dan 20.0%, kemudian untuk nilai VO2 max dengan kategori sedang, seluruhnya berada pada tingkatan usia lansia (60-74 tahun) dengan persentase 64.0%. Pada kategori baik, lansia tua (75-90 tahun) memiliki persentase yang lebih tinggi (60.0%) dibandingkan dengan lansia (60-74 tahun) yaitu (24.0%). Untuk kategori sangat baik diperoleh hasil (4.0%) untuk lansia usia 60-74 tahun dan (20.0%) pada lansia 75-90 tahun. Hasil persentase yang tinggi pada lansia tua (75-90 tahun) jika dibandingkan dengan lansia (60-74 tahun) dikarenakan jumlah responden kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan yang sangat besar. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan responden, lansia tua kebiasaan olahraga yang lebih baik dengan rutin melakukan jalan pagi dengan jarak 2-3 km, hal tersebut dilakukan untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Olahraga teratur selain dapat mengurangi stres, juga dapat menurunkan berat badan, membakar lebih banyak lemak di dalam darah, dan memperkuat otot-otot jantung (Vitahealth 2006). Menurut Fatmah (2010) diacu dalam Kesehatan Komunitas (2002) kebugaran meningkat sampai mecapai maksimal pada usia 25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kirakira sebesar 0.8-1 % per tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurang sampai separuhnya. Setelah dilakukan uji beda independent sample ttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai VO2 max lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05).
53
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebugaran salah satunya adalah aktivitas fisik yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu aktivitas fisik terstruktur (kegiatan olahraga) dan aktivitas fisik tidak terstruktur (berjalan, bersepeda dan bekerja) (Fatmah 2010). Pada lansia perempuan, aktivitas fisik terstrukturnya lebih tinggi seperti melakukan pekerjaan di rumah dan mengikuti aktivitas olahraga lainnya setiap minggu, berbeda dengan lansia laki-laki yang menggunakan waktu luangnya untuk santai atau hanya duduk. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Simon (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan VO2 max yang lebih besar pada umumnya adalah terhadap individu yang tidak terlatih, sedangkan pada orang yang latihannya teratur dan pada atlet yang banyak mempergunakan daya tahan, maka peningkatan VO2 max nya kecil. Perolehan nilai VO2 max lansia dihasilkan dengan melakukan tes jalan kaki satu mil (1,609 km). Tes ini dilakukan dengan cara lansia diukur berat badan dan denyut nadi istirahat sebelum melakukan tes, kemudian melakukan jalan kaki sejauh 1,609 km. Setelah jarak selesai ditempuh, dicatat waktu tempuhnya dan dihitung denyut nadi selama 10 detik. Hasil tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai VO2 max lansia Hubungan Antar Variabel Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Status Gizi Hasil uji korelasi Spearman antara kebiasaan sarapan dengan status gizi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Dari hasil ini dapat diketahui bahwa lansia yang memiliki frekuensi sarapan yang baik cenderung memiliki status gizi yang normal, namun karena data yang kurang homogen sehingga apabila dihubungkan dengan frekuensi sarapan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut Riyadi (2003) status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan. Kedua faktor tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Melakukan sarapan secara teratur belum tentu meningkatkan status gizi seseorang karena makanan sarapan hanya mengandung 25% dari kebutuhan total energi harian apabila mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan jantung paru (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa apabila individu memiliki kebiasaan
54
sarapan yang baik, belum tentu mempengaruhi daya tahan jantung paru. Khomsan (2005) sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang normal, gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Hubungan Status Gizi dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan daya tahan jantung paru (p<0.05). Hal ini berarti terdapat kecenderungan lansia yang memiliki status gizi yang baik maka daya tahan jantung paru baik. Menurut Bredbenner et al. (2009) olahraga teratur dapat membantu proses pencernaan, meningkatkan penyimpanan kalsium tulang, serta menguatkan jantung sehingga zat gizi dapat diantarkan ke sel-sel dengan efisien. Hal ini didukung dengan pernyataan Almatsier (2006) status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan
secara
efisien,
sehingga
memungkinkan
pertumbuhan
fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Hubungan Status Kesehatan dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status kesehatan dengan daya tahan jantung paru (p>0.05).
Artinya
lama
atau
tidaknya
lansia
terjangkit
penyakit
tidak
mempengaruhi daya tahan jantung paru lansia tersebut. Menurut Irianto (2000) seseorang yang merasa sehat belum tentu bugar sebab untuk dapat mengerjakan tugas sehari-hari seseorang tidak hanya bebas dari penyakit saja tetapi juga dituntut memiliki kebugaran. Tabel nilai p untuk setiap korelasi dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
55
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia (83.3%) tergolong dalam kisaran usia 60-74 tahun sedangkan sebanyak 16.7% berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Jumlah lansia laki-laki dalam penelitian ini sebanyak 14 orang dan lansia perempuan sebanyak 16 orang. Lansia yang termasuk dalam kategori usia 60-74 tahun memiliki proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki, sedangkan pada kategori usia 75-90 memiliki proporsi sebaliknya. Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta senam terpadu adalah tamat perguruan tinggi. Sebagian besar lansia sudah pensiun dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari dana pensiunan. Besar keluarga lansia termasuk dalam keluarga kecil (≤4 orang). Status pernikahan lansia sebagian besar berstatus menikah sehingga lebih banyak lansia yang tinggal bersama (suami, anak, cucu atau keluarga lain). Berdasarkan hasil wawancara, lansia dengan status menikah memilih tinggal dengan suami/istri mereka dalam satu rumah. Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002) motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 71.8% lansia melakukan senam dengan alasan kesehatan. Sebagian besar lansia (66.7%) memilki kebiasaan sarapan yang baik dengan selalu melakukan kegiatan sarapan pagi setiap hari pada pukul 07.0008.00 WIB. Jenis sarapan yang dikonsumsi adalah nasi+lauk-pauk dengan persentase 26,2%. Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37.7%), vitamin A (17.2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total sedangkan makanan sarapan pada lansia perempuan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%), protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin C (1.5%). Uji beda independent sample t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) kebiasaan sarapan antara lansia laki-laki dan perempuan. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat
56
perbedaan yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Berdasarkan status gizi, Sebagian besar lansia termasuk dalam kategori status gizi normal (60.0%). Uji beda independent sample t-test menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Mayoritas (66.7%) lansia mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia dalam satu bulan terakhir adalah influenza sedangkan untuk penyakit non infeksi adalah hipertensi dan rematik. Lama sakit lansia adalah 1-3 hari dengan frekuensi sakit 1 kali/bulan, sebagian besar lansia (57.1%) berada kategori status kesehatan tinggi. Sebagian besar lansia 56.7% memiliki nilai VO2 maksimum yang termasuk dalam kategori sedang dengan ratarata nilai VO2 max 30.1 ± 7.2 pada usia 60-74 tahun. Hasil uji korelasi Spearman antara kebiasaan sarapan dengan status gizi, kebiasaan sarapan dengan daya tahan jantung paru, dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Terdapat hubungan yang signifikan pada uji korelasi Spearman status gizi dengan daya tahan jantung paru (p<0.05). Saran Bagi pemerintah daerah setempat diperlukan adanya peningkatan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup lansia masa kini. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya ditambahkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kebugaran lansia terutama daya tahan jantung paru.
57
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _________, Soetardjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Bangun AP. 2005. Sehat & Bugar pada Usia Lanjut dengan Jus Buah & Sayuran. Jakarta: Gramedia. [9 Mei 2012] [BAPENAS] Badan Penelitian Nasional. 2008. Forum Jakarta untuk Perlindungan Lansia. http://www.bapenas.go.id [9 Mei 2012] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics). Jakarta : BPS. ______. 2004. Statistik Penduduk Usia Lanjut. Jakarta: CV Nasional Indah Bredbenner CB, Berning J, Beshgetoor D, Moe G. 2009. Wardlaw’s Perspectives in Nutrition (Eighth Edition). New York: McGraw-Hill Companies. Brick L. 2001. Bugar dengan Senam Aerobik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Constantindes. 2004. Geriatri (Ilmu kesehatan Usia Lanjut). Didalam: BoedhiDarmojo R dan Martono H, editor. Geriatri (Ilmu kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Darmojo RB. 2000. Gerontologi Sosial, Masalah Sosial Dan Psikologik Golongan Lanjut Usia. Di dalam Darmojo R dan Martono H, editor. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 35-55. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. ______. 2007. Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI. ______. 2008. Riset Kesehatan 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Republik Indonesia. Departmen of Health and Human Service. 2006. The President's council on physical fitness and sports. Definitions: health, fitness, and physical activity. http://www.fitness.gov/digest_mar2000.htm [9 Mei 2012]. [Depsos] Departemen Sosial RI. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Diana R. 2006. Gaya hidup, konsumsi suplemen, jamu, tanaman obat, dan status kesehatan lansia di kabupaten bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
58
Dijaissyah N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga Medical Series. ______. 2011. Gizi Kebugaran dan Olahraga. Bandung: Lubuk Agung. Fauzi A. 2009. Manfaat positif sarapan. http://jurnalbogor.com [5 Mei 2012] Ferro-Luzzi A, James WPT. 1996. Adult malnutrition: Simple assessment techniques for use in emergencies. Br J Nutr. 75:3-10. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. New York: Oxford University Press. Handoko M. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Jakarta: Kanisius Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian (2nd ed). Jakarta: UI-Press. Harris NG. 2000. Nutrition in Aging. Di dalam: Mhan LK, Stump, editor. Krause’s: Food, Nutrition and Diet Therapy. Ed. Ke-11. USA: Else Haskel, William L, Michaela Kierman. 2000. Methodologic issues in measuring physical activity and physical fitness when evaluating the role of dietary supplements for physically active people. American Journal of Clinical Nutrition 72: 541S-50S Herlina L. 2001. Mempelajari Faktor-faktor yang berhubungan dengan kebiasaan makan dan status gizi lansia pedesaan dan perkotaan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hoeger W, Hoeger SA. 2005. Lifetime Physical Fitness and Wellness A Personalized Program. USA: Wadsworth Thomson Learning, Inc. Hurlock EB. 1999. Perkembangan Anak Edisi ke-6. Tjandrasa M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Imanuddin M. 2012. Hubungan antara karakteristik atlet, tingkat kecukupan gizi, dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo di sma ragunan jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Irianto DP. 2000. Panduan Latihan Kebugaran yang Efektif dan Aman. Jakarta: Lukman Offset. _________. 2004. Evaluasi senam poco-poco sebagai meningkatkan kebugaran. Jurnal Olahraga 10:1-14.
latihan
untuk
Kesehatan Komunitas. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Kesehatan Komunitas. Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan 2. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komnas Lansia.
59
Kuntaraf, Kuntaraf. 1992. Olahraga Sumber Kesehatan. Bandung: Indonesia Publishing House. Kurniadi E 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi lansia mengikuti kegiatan posyandu lansia (senam lansia) [skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan, Program Studi ilmu keperawatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Kusharto CM, Sa’adiyyah NY. 2008. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mackenzie. 1997. VO2 Max. http:/www.brianmac.co.uk [5 Agst 2012] Martianto D. 2006. Kalau Mau Sehat, Jangan Tinggalkan Kebiasaan Sarapan. http:/www.republika.co.id [9 Mei 2012]. Masturoh S. 2012. Hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di kabupaten bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. McKenzie JF, Pinger PR, Kotecki JE. 2008. An Introduction to Community Health 8th ed. USA: Jones and Bartlett Publisher. Muningatun N. 2006. Profil gizi dan sindrom menopause wanita lanjut usia di Kecamatan Ciampea, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nasoetion A, Damayanthi E. Diktat Ilmu Gizi Dasar. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar). Jakarta: Rineka Cipta. Nuraida et al. 2009. Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor: Seafast Center. Nurcahyo. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 2. Jakarta: Depdiknas Oswari. 1997. Menyongsong Usia Lanjut dengan Bugar dan Bahagia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Pearce EC. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Handoyo SY, penerjemah. Jakarta: PT.Gramedia. Rahardjo BW et al. 2009. Panduan Menuju Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI). Riyadi H. 2003. Penilaian Gizi secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robergs RA, Roberts SO. 2000. Fundamental Principles of Exercise Physiology for Fitness, Perfomance, and Health. USA: The Mac Graw-Hill Companies. Ruslianti, Kusharto CM. 2006. Model hubungan aspek psikososial dan aktifitas fisik dengan status gizi lansia. Jurnal Gizi & Pangan 1:29-25 Sandjaja et al. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: Kompas Sari DP. 2010. Keragaan Aktifitas fisik, kondisi gigi, status kesehatan dan pola konsumsi pangan lansia di kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
60
Schlenker ED. 2000. Nutrition and The Aging Adult. Di dalam: WorthingtonRoberts BS, Williams SR, editor. Nutrition Throughout The Life Cycle 3rd Edition. St Louis: Mosby-Year Book. Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Senja L. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kebugaran pada lansia di panti wreda pucang gading Semarang [skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang. Sharkey JR, Branch LG, Zohoori N, Giuliani C, Busby-Whitehead J, Haines PS. 2002. Inadequate nutrient intake among homebound elderly and their correlation with individual characteristic and health-related factors. American Journal of Clinical Nutrition 76: 1435-1445. Sianturi G. 2002. Anda sibuk? Jangan lupa sarapan. http://www.kompas.com [9 Mei 2012] Simon R. 2006. Perbandingan tingkat kebugaran jasmani berdasarkan vo2 max antara anak tunagarahita ringan dengan anak normal tingkat pendidikan SLTP [skripsi]. Bandung: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia Soejono H, Czeresna, Setiati S. 2000. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri Untuk Dokter Dan Perawat. Jakarta: Bag. IPD FKUI. Suhardo M. 2004. Senam Bugar Lansia AWARA 2004. Yogyakarta: Perwosi DIY FK UGM. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi. Aspek Pangan. Gizi. dan Sanitasi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. _______. 2008. Studi Sosial Ekonomi Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Transmigran di Rokan Hulu Propinsi Riau. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sukartini T, Nursalam. 2009. Manfaat senam tera terhadap kebugaran lansia. Jurnal Media Eksakta 8: 153-158 Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sumawarman U. 2004. Perilaku Konsumen. Teori dan Pemasarannya dalam Pemasaran, Bogor: Gramedia Indonesia. Sumintarsih. 2006. Kebugaran jasmani untuk Lanjut usia, Jurnal Olahraga 13:147-160 Sumosardjuno S. 1998. Pengetahuan Praktis Kesehatan dalam Olahraga. Jakarta: PT. Gramedia. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Susanto E. 2010. Manfaat olahraga renang bagi lanjut usia. Medikora Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga 6: 2-13. Vitahealth. 2006. Hipertensi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
61
[WHO] World Health Organization. 2005. Cut off point nutritional status. http://www.euro.who.intnutrtion-20030507_1 [1 Jan 2012] Widianti AT, Proverawati, A. 2010. Senam Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Widjajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Semarang: BP UNDIP. Wirakusumah ES. 2000. Tetap Bugar di Usia Lanjut. Jakarta: Trubus Agriwidya. [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi Di Era Otonomi Daereh dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Nilai p hasil uji beda kebiasaan sarapan Variabel Frekuensi sarapan Konsumsi energi sarapan Konsumsi protein sarapan Konsumsi kalsium sarapan Konsumsi fosfor sarapan Konsumsi vitamin A sarapan Konsumsi vitamin C sarapan
p 0.663 0.072 0.006 0.830 0.882 0.161 0.178
Lampiran 2 Nilai p hasil uji beda tingkat kecukupan energi dan zat gizi Variabel Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan kalsium Tingkat kecukupan fosfor Tingkat kecukupan vitamin A Tingkat kecukupan vitamin C
p 0.116 0.038 0.900 0.621 0.052 0.000
Lampiran 3 Nilai p hasil uji beda status gizi. lama dan frekuensi sakit. status kesehatan dan daya tahan jantung paru Variabel Status gizi Lama sakit Frekuensi sakit Status kesehatan Daya tahan jantung paru
p 0.082 0.277 0.129 0.606 0.000
Lampiran 4 Nilai p hasil uji korelasi kebiasaan sarapan dengan status gizi dan daya tahan jantung paru Variabel Frekuensi sarapan Konsumsi energi sarapan Konsumsi protein sarapan Konsumsi kalsium sarapan Konsumsi fosfor sarapan Konsumsi vitamin A sarapan Konsumsi vitamin C sarapan Tingkat kecukupan energi sarapan Tingkat kecukupan protein sarapan Tingkat kecukupan kalsium sarapan Tingkat kecukupan fosfor sarapan Tingkat kecukupan vitamin A sarapan Tingkat kecukupan vitamin C sarapan
p 0.377 0.891 0.627 0.416 0.900 0.377 0.367 0.391 0.377 0.364 0.693 0.603 0.988
P 0.499 0.925 0.637 0.338 0.718 0.459 0.561 0.398 0.693 0.273 0.638 0.451 0.152
64
Lampiran 5 Nilai p hasil uji korelasi status gizi dan status kesehatan dengan daya tahan jantung paru Variabel Status gizi Status kesehatan
p 0.033 0.601