Vol. 2 No. 1, Oktober 2016
Balai Peneli an dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
cerita dan informasi seputar DAS
Dr. Henry Bastaman, M.ES Kepala Badan Litbang dan Inovasi
“Tingkatkan Kepercayaan Publik”
KARST :
KAWASAN EKOSISTEM ESENSIAL PENYANGGA KEHIDUPAN
KISAH SEPUTAR GUNUNG MERAPI DARI MUSIBAH MENJADI BERKAH MENGENAL SEKILAS JENIS TANAH MARJINAL BERMASALAH DAN CARA PENANGANANNYA AKAR WANGI, TANAMAN AJAIB PENGENDALI EROSI TANAH PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DANGKAL DENGAN TEKNOLOGI AGROSILVOFISHERY KEGIATAN PENANAMAN OLEH GUBERNUR JAWA TENGAH YANG DIHADIRI JUGA OLEH KEPALA BALITEK DAS SOLO
DAFTAR ISI
1
SAPA REDAKSI Dr. Nur Sumedi
SOSOK
Dr. Henry Bastaman, M.ES Kepala Badan Litbang dan Inovasi
“Tingkatkan Kepercayaan Publik”
2
Perpustakaan Balitek DAS Solo:
Sumber Informasi Pengelolaan DAS
7
Pranatasari Dyah Susanti
KARST : KAWASAN EKOSISTEM ESENSIAL PENYANGGA KEHIDUPAN
11
CERITA DAS
Beny Harjadi
KISAH SEPUTAR GUNUNG MERAPI DARI MUSIBAH MENJADI BERKAH
17
CERITA DAS
Beny Harjadi
MENGENAL SEKILAS JENIS TANAH MARJINAL BERMASALAH DAN CARA PENANGANANNYA
22
CERITA DAS
Agung B. Supangat
AKAR WANGI, TANAMAN AJAIB PENGENDALI EROSI TANAH
25
CERITA DAS
Agung Wahyu Nugroho
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DANGKAL DENGAN TEKNOLOGI AGROSILVOFISHERY
31
KEGIATAN PENANAMAN OLEH GUBERNUR JAWA TENGAH YANG DIHADIRI JUGA OLEH KEPALA BALITEK DAS SOLO
36
PROFIL
Amma Naningrum
FOKUS
KILAS
LENSA
Sumber : Agung Wahyu Nugroho
41
SAPA REDAKSI
Dr. Nur Sumedi
“Bi omi ba gbagbe orisun e, gbigbe ni n gbe”
(Sungai yang melupakan mata airnya, lambat laun pas akan mengering ‐ Peribahasa Yoruba, Africa) Peribahasa Yoruba, sebuah kelompok etnis yang banyak nggal di barat daya Nigeria ini, dak hanya ungkapan apresiasi dan penghormatan mereka terhadap sungai, namun juga mengirimkan pesan yang sangat pen ng. Bahwa ke ka air sungai mulai mengalir, meninggalkan mata airnya menjumpai para penggunanya untuk keperluan sehari‐hari, kebutuhan pertanian dan menjadi sumber energi, maka dak boleh dak, mata airnya yang berada di hulu sungai harus tetap dijaga dan dirawat. Penjagaan hulu sungai yang juga melipu daerah tangkapan air, adalah k prioritas awal pengelolaan DAS. Manakala proses‐proses hidrologis berjalan dengan baik, maka kestabilan debit temporal dan kualitas air sungai akan terjaga. Pengelolaan daerah tangkapan air yang baik dengan mewujudkan pemanfaatan lahan yang sejalan dengan kaidah‐kaidah konservasi, adalah bentuk penghormatan dan penghidmatan terhadap sumber‐sumber air. Menjaga dan merawat daerah hulu dengan baik, adalah salah satu cara kita berterimakasih, yang seja nya adalah juga merawat keberlanjutan hidup kita sendiri. Sebaliknya saat kita abai terhadap sumber aliran, mata air sebagai ibu sungai dengan perilaku‐ perilaku eksploita f, maka peringatan‐peringatan alam akan datang silih bergan . Banjir, longsor, erosi, sedimentasi, dan kekeringan adalah utusan yang dikirim untuk menyampaikan pesan dengan cara yang lebih keras. Seberapa keras ngkat peringatan itu, biasanya paralel dengan seberapa masif perilaku eksploita f yang dilakukan. Semakin parah dan luas perilaku eksploita f kita, maka akan semakin luas dan sering peringatan itu dikirimkan. Jadi sesungguhnyalah apa yang kita dapatkan, dak lebih dari balasan dari apa yang kita berikan, alam adalah cermin perilaku manusia itu sendiri. Maka orang Yoruba benar, “ The river that forgets its source, surely will dry up”. Dengan demikian mengelola daerah aliran sungai secara komprehensif dan holis k , hulu‐hilir, antar sektor, menyatu dalam perencanaan hingga pengevaluasiannya adalah bahasa baku yang harus diwujudkan. Pembaca yang berbahagia, Pada edisi Vol.2 No.1 Oktober 2016 kali ini yang menjadi fokus adalah Karst , sebuah ekosistem esensial yang menarik namun masih banyak menyisakan misteri dan menantang kita untuk menggali lebih dalam lagi. Sedangkan dalam lembaran Sosok, kali ini Dr. Henry Bastaman, M.ES, nahkoda sekarang di Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK, berbagi pengalaman hidup. Jangan dilewatkan ar kel menarik yang disajikan: (1). Kisah Seputar Gunung Merapi Dari Musibah Menjadi Berkah; (2). Mengenal Sekilas Jenis Tanah Marginal Be rmasalah dan Cara Penanganannya; (3). Akar Wangi, Tanaman Ajaib Pengendali Erosi Tanah ; dan (4). Pengelolaan Lahan Gambut Dangkal dengan Teknologi Agrosilvofishery. Selain itu ak vitas Balai dapat dilihat di halaman Kilas DAS. Semoga kehadiran majalah ini, terus menambah semangat dan kerja keras mewujudkan paras lingkungan dan DAS yang lebih baik. Insya Allah. Selamat membaca dan salam hangat, Dr. Nur Sumedi Penanggung jawab : Dr. Nur Sumedi
Tim Redaksi :
Redaksi Pelaksana : 1. Ir. Salamah Retnowa , M. Si 2. Agung Kuwadto 3. Upik Pramuningdiyani, S. Kom 4. RM Tomy Kusuma AP Desain Grafis dan Layout : Team Redaksi Majalah CERDAS
Dewan Redaksi : 1. Dr. Agung Budi Supangat, S. Hut, M.T 2. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M. Si 3. Dr. Ngaloken Gin ngs 4. Agung Wahyu Nugroho, S. Hut., M. Sc 5. Nunung Puji Nugroho, S.Hut., M. Sc., Ph. D 6. Dr. S. Andy Cahyono, S. SP, M. Si 7. Nana Haryan , S. Sos., M. Sc. 8. Pranatasari Dyah Susan , S.P., M.S
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Balai Peneli an dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. Jend. A. Yani ‐ Pabelan, Kartasura PO BOX 295 Surakarta 57102 Email :
[email protected] Website : h p://balitekdas.org Facebook.com/cerdas balitekdas. DIPA BPPTPDAS 2016
1
SOSOK HB RS
HB
Dr. Henry Bastaman, M.ES Kepala Badan Litbang dan Inovasi
“Tingkatkan Kepercayaan Publik” Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan dapat menjadi Center of Excellent bagi permasalahn lingkungan hidup dan kehutanan. Peningkatan integritas dan kepercayaan diri menjadi salah satu kuncinya. Selain itu, inovasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian penelitian dan pengembangan. Inovasi yang dihasilkan harus dapat diadopsi oleh banyak pihak, terutama oleh masyarakat. Badan Litbang dan inovasi ini diharapkan terus berinteraksi dan sensitif memperhatikan lingkungan, karena lingkungan adalah sumber inspirasi. Dr. Henry Bastaman, M.ES yang saat ini menjabat Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (FORDA) dalam KLHK RI, memulai karirnya di Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 1985. Memperoleh gelar Masters dan Ph.D di Studi Lingkungan (MES) dari York University, Toronto, Kanada. Dia memimpin pelaksanaan Konsumsi Berkelanjutan dan pengembangan Produksi di seluruh sektor dan kemitraan pemerintah ‐ bisnis ‐ masyarakat sipil, bersinergi dengan pengembangan Green Economy / Rendah Karbon ekonomi di Indonesia. Aktif terlibat dalam Earth Charter Indonesia, co‐promotor untuk mahasiswa PhD di Universitas Negeri Jakarta, IPB dan Unpad, Bandung. Pada edisi kali ini, Tim Redaksi Majalah CerDAS berkesempatan untuk mewawancarai Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Henry Bastaman, M.ES. Berikut petikan wawancaranya:
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Senang bisa bertemu, ini hutang lama untuk majalah CerDAS . Terimakasih Bapak atas waktu yang telah diberikan.Terkait penggabungan 2 Kementerian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bagaimana dampak penggabungan ini menurut Bapak? Ya, jadi sejak dua Kementerian bergabung yakni Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), kita harus mencari mana unit‐unit yang memiliki kesamaan di dalam tugas dan fungsinya. Ternyata setelah kita kaji dan evaluasi di lingkungan hidup, ada satu unit Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan – P3KLL) yang secara substansi maupun ketugasan dekat dengan Lit dan Bang nya Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan seperti kita ketahui sudah memiliki litbang . Saat penggabungan, unit yang ada di Lingkungan Hidup (LH) tersebut sangat tepat untuk dimasukkan di Badan Litbang Kehutanan, yang sekarang menjadi Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kalau saya lihat, secara ke s e l u r u h a n p e n g ga b u n ga n i n i d a p a t memperkuat atau menjadi satu‐kesatuan yang semakin utuh antara Lingkungan dan Kehutanan. Selain itu terdapat 2 istilah popular di lingkungan hidup yaitu issue yang sifatnya Brown (coklat) dan ada issue yang sifatnya Green (hijau). Hijau berkaitan dengan konservasi, perlindungan, proteksi dan sebagainya yang sangat dekat dengan hutan. Jadi kalau di dalam issue lingkungan, orang sudah terbiasa berbicara mengenai Taman Nasional, Hutan Lindung, dan Konservasi baik flora maupun fauna itulah Green Issue. Tetapi kalau berbicara mengenai kota, pencemaran, industri dan perubahan iklim itu adalah permasalahan Brown issue.Termasuk pencemaran sungai. Setelah kita bergabung dalam konteks litbang dan inovasi, kita mejadi lengkap. Mengapa? Karena kita bisa menjadi konvergensi maupun koherensi dari 2 (dua) issue besar itu. Menjadi satu dan kita bisa melihatnya secara utuh. Kita mempunyai 4 empat Puslit yakni Puslit Hutan, Puslit Hasil Hutan, Puslit Kualitas Lingkungan dan Laboratorium dan Puslit Sosekjak dan Perubahan Iklim serta 1 (satu) Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi.
2
SOSOK Ini Kalau kita lihat keseluruhannya menjadi lengkap antara coklat maupun hijau. Jadi, apabila kita melakukan penelitian di hutan misalnya, maka akan semakin lengkap karena pencemarannya pun kita amati juga. Ini kalau kita lihat sekarang di Gelar Teknologi ini misalnya. Ada satu contoh sebetulnya dia adalah penelitian hutan yang berkaitan dengan tanaman‐tanaman hutan yang berpotensi menyerap zat‐zat p e n c e m a r. N a h p o h o n ‐ p o h o n i n i ka l a u diaplikasikan di kawasan urban yang lalu lintas transportasinya tinggi bisa menjadi satu instrumen untuk mereduksi pencemaran. Jadi hutan dan kualitas lingkungan bisa berkolaborasi. Apalagi perubahan iklim itu sangat terkait.
RS
HB
Kemudian kalau ditanya Bagaimana dengan penggabungan ini? Harusnya di dalam tahapan mengkonsolidasikan di tahun 1, dan sekarang di 2016 kita mulai penerapannya. Harusnya basis dasar riset lingkungan hidup dan kehutanan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan semakin kuat menjadi Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kita masih merapikan itu. Ini adalah satu proses yang tidak serta merta tetapi nanti kalau kita melihat apa yang dilakukan di 2016, 2017 dan seterusnya mestinya konvergensi lingkungan hidup dan kehutanan dalam penelitian dan pengembangan itu semakin kelihatan, sehingga semakin bisa berkontribusi di d a l a m ke b i j a ka n m a u p u n a p l i ka s i i l m u pengetahuan dan teknologi. Saya melihat seperti itu di dalam konteks setelah kita bergabung. Sekarang kita telah menjadi Badan Litbang dan Inovasi, penekanannya di inovasi. Apa yang harus kami lakukan sehingga kegiatan‐kegiatan kami di litbang nampak nyata? Jadi begini. Tadinya kan Badan Litbang, lalu ada penekanan nomenklatur inovasi setelah saya pelajari sepertinya inovasinya sendiri bukan sesuatu hal yang baru bagi Litbang. Akan tetapi kalau kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah sekarang, Badan Litbang dan Inovasi muncul di pemerintahan sekarang. Sebelumnya kan Lit dan Bang walaupun di dalamnya sebenarnya sudah ada inovasi,sehingga ada satu penekanan yang dimandatkan khusus untuk kita sebagai Badan Litbang dan Inovasi agar secara jelas dan terukur kita reorientasi ke arah inovasi yang bisa diadopsi oleh banyak pihak. Oleh pengambil kebijakan, oleh regulasi, oleh dunia usaha, oleh masyarakat. Saya melihat itu. Oleh karenanya kami sekarang mencoba. Jangan dilihat mana penting dan mana
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
tidak penting, tapi konteks sekarang adalah tuntutannya Lit itu harus masuk di ranah pengembangan sampai dengan dia diadopsi menjadi inovasi. Jadi mau tidak mau kita harus perhatikan itu. Lit itu penting tapi bukan itu saja, jadi penelitian ini harus kita bedakan dengan penelitian misalnya Ilmu Kehutanan di Perguruan Tinggi atau di LIPI sekalipun. Lit di sini harus mempunyai orientasi pengembangan dan inovasi yang mendukung kebijakan maupun kebutuhan berbagai pihak. Nah jadi saya memakai formula saja kalau begitu Lit harus tetap ada tetapi harus dengan proporsi yang lebih kecil daripada Pengembangan dan Inovasi.
RS
HB
Lit yang kita lakukan sudah banyak, tetapi bagaimana mengaplikasikan itu sehingga bisa digunakan oleh Pengguna? Bagaimana dia mempunyai penetrasi untuk perbaikan kualitas kebijakan? Bagaimana dia bisa menjadi inovasi yang memberikan nilai keekonomian bagi masyarakat? Untuk itu masih ada mata rantai panjang. Dengan konteks kebijakan pemerintah sekarang sepertinya porsi pengembangan dan inovasi harus cukup besar. Sekali lagi saya bukan mengecilkan arti penelitian tapi kita harus melihat konteksnya Badan Litbang dan Inovasi. Sekarang kita coba Lit nya itu 30‐40 % sedangkan 60‐70 % nya untuk pengembangan dan inovasi, dengan harapan dengan formula seperti itu memberikan ruang lebih besar bagi Badan Litbang dan Inovasi untuk menindaklanjuti hasil‐hasil penelitian yang ada. Sehingga bisa dipakai‐diadopsi, dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas. Jadi saya kira itu yang saya tekankan dari adanya nomenklatur inovasi. Badan Litbang diharapkan menjadi Center of Excellent, sebagai penentu kebijakan di tingkat pemerintah. Untuk mewujudkan hal ini strateginya bagaimana Pak? Pertama kita harus bisa betul‐betul meningkatkan tingkat kepercayaan publik atas Badan Litbang. Jadi kita harus bisa meyakinkan bahwa 500 an peneliti yang ada di Badan Litbang itu adalah peneliti‐peneliti yang mempunyai integritas, mempunyai kemampuan yang lebih dari pada entitas institusi penelitian yang lain. Jadi kita harus betul‐betul tahu persis core kompetensi dari lingkungan hidup dan kehutanan serta litbang dan inovasi. Nah itu salah satu strategi yang harus kita terjemahkan betul‐betul. Apa yang dikeluarkan oleh Badan Litbang dan Inovasi didukung oleh suatu proses penelitian yang bisa d ij amin keabs ah an nya d an kemu d ian dikembangkan menjadi satu IPTEK yang bisa
3
SOSOK digunakan, memperhatikan berbagai aspek dalam penerapannya, sehingga litbang menjadi tidak terbantahkan. Tahapan itu harus kita lakukan, kalau tidak kita sulit untuk bisa Center of Excellent. Karena Center of Excellent itu ya dari 10 yang ada, ada 1 yang menjadi Center of Excellent. Menjadi rujukan, menjadi acuan yang bisa dipakai. Nah strateginya adalah integritas kita tingkatkan. Itu ke internal. Ke eksternal kita harus bisa tunjukkan bahwa kita mempunyai modalitas itu dan mempunyai kemampuan itu. Nah ini strategi kedua, saya tidak mau melihat ke belakang. Banyak orang yang bilang bahwa selama ini hasil‐hasil badan litbang itu kurang terekspose , kurang diketahui publik ya mungkin benar mungkin tidak. Tetapi sekarang saya kira menjadi penting karena kita harus berani memberi tahu kita harus mempunyai integritas kepercayaan yang tinggi. Jadi ibaratnya kalau saya mau tampilkan diri saya kalau saya tidak punya kepercayaan diri yang tinggi mana berani. Kalau ingin bisa memiliki kepercayaan diri yang tinggi harus yakin bahwa saya memiliki kemampuan dan saya memang layak untuk ditampilkan. Ini yang harus kita munculkan, sehingga kita harus melihat skala prioritas mana yang masuk ke ranah itu. Jadi sekali lagi bukan mau menapis, mengatakan yang ini baik dan buruk tetapi kita harus lihat. Satu contoh kenapa kita pilih 10 materi di geltek ini. Terpilihnya 10 materi ini melewati satu proses seleksi yang sangat ketat dan kemudian masuk ke dalam 10 aspek itu yang kita lihat kita anggap konteksnya pas untuk sekarang untuk kebutuhan kebijakan, kebutuhan publik, kebutuhan masyarakat luas terkait dengan badan litbang. Nah ini yang menjadi strategi, harus kita ekspose. Tidak bisa hanya ada di Gunung Batu, hanya ada di BP2TPDAS Solo saja. Kalau ada seminar hanya untuk antar peneliti, tidak bisa. Kita harus membuka diri kita karena banyak pihak melakukan hal yang sama sekarang, kalau kita tidak keluar dengan seperti itu kita semakin tidak terdengar. Hal ini menjadi strategi yang penting bagi kita untuk bisa menunjukkan kehadiran Badan Litbang dan Inovasi pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehutanan. Kita mau tidak mau harus menerapkan strategi‐ strategi kecil. Pertama kita harus membuka diri. Saya sudah sampaikan pada seluruh kunjungan UPT, kecuali Manokwari, karena belum sempat saya kunjungi. Setiap kali saya ketemu saya selalu sampaikan dari UPT sampai dengan di Gunung Batu Bogor, bahwa kita harus mengubah tempat
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
RS
HB
kita ini harus menjadi tempat yang terbuka, bisa diakses dengan mudah, dan orang bisa datang kesana melihat apa yang telah kita lakukan. Sederhananya itu, kita harus seperti memiliki toko. Karena kita meneliti sebetulnya bukan untuk BLI tetapi untuk dikembangkan dan kemudian dipakai oleh masyarakat. Untuk kita cukup di jurnal saja, masuk jurnal, peneliti nya dapat penilaian baik, cum nya bagus naik pangkat. Tapi bukan itu, itu masih koma. Bagi kita bagaimana masuk jurnal, diadopsi di kebijakan, diadopsi di kebutuhan‐kebutuhan praktis di masyarakat. Nah ini saya kira menjadi strategi saya, yaitu mencoba menampilkan Badan Litbang dan Inovasi dalam konteks tadi. Intinya itu percaya diri ya Pak, kita yakin dan mampu. Kadang‐kadang kita kurang percaya diri walaupun kita mampu. Persis seperti itu. Saya bukan peneliti tapi saya selalu bilang kepada peneliti, seorang peneliti harus yakin bahwa yang dilakukan itu eksklusif, unik dan tidak dilakukan oleh orang lain. Iya kan? Jadi kalau kita meneliti satu tema atau bagian tertentu yang paling tahu adalah si peneliti itu sendiri. Maka harusnya kepercayaan dirinya tinggi, karena orang‐orang tidak melakukan apa yang dia lakukan. Masalah kemudian mutu, kualitas, kedalaman itu masalah lain. Karena masalah keilmuan, disitulah kita lakukan penelitian. Apa yang kita lakukan itu adalah sesuatu yang unik dan tidak dilakukan oleh orang lain. Jadi tidak usah rendah diri, bukan rendah diri tetapi tidak perlu tidak percaya diri. Ini saya coba dan beberapa saya test waktu kebakaran hutan kemarin dan kita masuk di ranah energi alternatif terbarukan, EBT (Energi Baru dan Terbarukan). Dari sektor kehutanan kita tampilkan saja. Dan saya melihat sebetulnya Badan Litbang dan Inovasi itu mempunya kemampuan hasil yang kompetitif lah kalau dibanding dengan pihak yang lain yang melakukan hal yang sama. Ini contoh waktu gambut terbakar di 2015 lalu, kemudian semua orang ribut bagaimana menjaga gambut agar tidak terbakar dan kalau sudah rusak bagaimana cara merestorasi. Banyak pihak muncul waktu itu ributlah, dadakan hampir semua orang jadi ahli gambut. Ahli apapun ngomong gambut. Tetapi waktu masuk di litbang, kita tampilkan para peneliti kita, kita tampilkan demplot kita, bisa kelihatan bahwa yang betul‐ betul konsisten melihat gambut dari waktu ke waktu adalah di litbang, yang lain hanya sporadis saja. Kita punya demplot dari 2006 sampai
4
SOSOK
RS
sekarang yang kita ikuti terus suksesi secara alami bagaimana tanaman‐tanaman adaptif di gambut bisa survive di situ tanpa perlakuan‐perlakuan yang terlalu istimewa. Litbang punya itu, kita punya yang di OKI dan Tumbang Nusa. Modalitas nya tidak dilakukan oleh orang lain. Kelebihan kita, kita punya sendiri. Penelitinya mengamati itu. Terus 54 hasil penelitian DAS itu, kemarin dengan Pak Emil Salim kemudian dikompilasi. Itu Pak Emil sendiri yang bilang, beliau tidak baca secara keseluruhan tetapi baca abstraknya semua. Beliau sebagai ketua Dewan DAS, beliau menyampaikan belum pernah melihat se‐ komprehensif ini. Jadi beliau beranikan diri datang dan bilang ke litbang bahwa hal ini bisa dijadikan bahan untuk pengambilan keputusan. Jadi kalau saya lihat tidak ada alasan kalau Badan Litbang, terutama para penelitinya untuk tidak mengekspose dirinya. Kita harus bisa yakinkan dan keluarkan. Kalau bisa itu luar biasa. Menurut saya, kita tidak perlu terganggu dengan jumlah alokasi dana Badan Litbang. Itu bukan faktor utama, meskipun tidak bisa juga kalau nol, kita punya syarat minimum. Akan tetapi kita tidak perlu tergantung sekian baru bisa ini, jadi jangan jadi faktor pre‐requisite lah atau syarat. Misal saya nanti bisa meneliti kalau ada segini. Kalau kita butuh 10 kita punya 2 yang 8 itu kan ada dimana‐ mana untuk riset. Ada di dunia usaha, ada di masyarakat sendiri, ada di mitra kita, ada di sektor terkait. Jadi sebetulnya yang 2 itu kita jadikan modal untuk menarik yang lain. Karena ekspertis nya ada di kita. Nah itu saya kira yang menjadi faktor penentu untuk litbang bisa berkiprah, jadi jangan takut lah. Orang butuh kok, orang butuh jaminan yang dikeluarkan oleh Badan Litbang untuk meyakinkan yang dia lakukan itu betul. Dunia usaha datang ke kita, tadi APHI ke saya juga. Dia menyampaikan, kalau bisa Litbang jangan ke Acasia mangium dan Eukaliptus terus itu sudah 10 tahun yang lalu. Sekarang sudah lama, ini sekarang ada persoalan lain. Coba kita cari lagi dimana simpul‐simpulnya. Dia pasti punya dana, kita punya keahliannya, tinggal dipertemukan. Saya kira saya sangat optimis di sini tapi tentunya butuh waktu untuk kita rubah mindset kita. Mungkin harus sesuai dengan judul majalahnya harus cerdas jadi pinter saja tidak cukup. Terkait DAS Pak. Permasalahan DAS merupakan permasalahan yang cukup strategis, karena itu menya ng ku t h aj at h id up o ran g b a nya k . Bagaimana permasalahan DAS di Indonesia dan bagaimana pula kami sebagai Litbang yang khusus menangani IPTEK Pengelolaan DAS ini harus
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
HB
bersikap? Saya memperhatikan khusus DAS ini karena saya k i ra i n i i s u ya n g s u d a h l a m a ke m u d i a n berkembang. Selain itu sepertinya persoalan DAS ini tidak selesai‐selesai. Kita tahu di depan mata dan sangat mudah menyebutkan DAS. Tapi di dalam penyelesaian masalahnya kita tidak mudah ketemu gambar besarnya. Apalagi kita tahu, di D A S itu pemain dan pelakunya lengkap, semuanya ada. Jadi kalau kita coba introspeksi diri kadang‐kadang kita berada di hamparan yang luas tapi kita hanya bermain di satu titik kecil. Tidak memberikan arti yang cukup yang kita sebut DAS itu. Nah ini kita dimana posisinya. Saya baca yang 54 penelitian itu sebenarnya kalau itu diserap dan dicari benang merahnya dari seluruh persoalan dari hulu sampai ke hilir gambarnya ketemu. Persoalannya dimana sih?. Kalau koordinasi ya sudah seperti itu. Kemudian perbedaan perlakuan sesuai dengan peruntukan sektor kita semua sudah tahu , ada pertanian , ada PU , ada Kehutanan atau kita sendiri ada Pemerintah Daerah dan lain sebagainya. Nah yang belum kita b i s a a d a l a h b et u l ‐ b et u l m e re kat u nt u k menyelesaikan permasalahan DAS yang kita anggap hulu‐hilir di hampir semua hamparan sebagai satu‐kesatuan hidrologi itu. Ini yang saya lihat sepertinya kita di litbang harus bisa menurunkan sedikit level kita. Supaya bisa terjangkau. Betul kajiannya tetapi selanjutnya bagaimana? Jadi harus diturunkan sedikit, dari researcher kita sehingga bisa memberikan, paling tidak satu rujukan. Kalau hulu ngomongnya seperti ini, tengah seperti ini, hilir seperti ini. Jadi kita lihat satu gambar besarnya. Saya berfikirnya begitu. Karena DAS ini bisa menjadi integrator. Kita punya basis pengetahuan yang jelas meskipun agak sulit menyampaikannya. Kita punya Dirjen DAS dan Hutan Lindung yang menunggu referensi dari Litbang. Tanamannya apa, jenisnya apa dan menanamnya dimana terkadang kita masih belum bisa menjawabnya. Itu internal kita, apalagi eksternal, seperti PU atau Pertanian. Saya berharap besar di BP2TPDAS ini bisa juga mereorientasi. Pakailah dasar yang 54 riset itu. Itulah sebagai banchmarknya saja untuk kita terjemahkan yang lebih konkrit. Ini PR kita ke Pak Emil waktu itu kan, kita akan menerjemahkan itu, jadi saya lihat itu di persoalannya. Satu lagi, ini pendapat saya, kalau dilihat dari sisi kehutanan DAS itu sangat green, karena hanya
5
SOSOK
RS
HB
melihat fungsi hidrologis hulu sehingga perlakuannya di hulu vegetatif. Sekarang ada lingkungan, tidak hanya itu persoalannya. Sungainya mungkin memiliki debit air tinggi tetapi mungkin sedimentasinya membaik, hal ini bisa disebabkan oleh perlakuan di hulu oleh DAS‐HL. Tapi kalau dia masih jadi tempat pembuangan limbah kualitasi airnya buruk itu masih persoalan kita. Nah bagaimana kita memasukkan unsur brown nya dalam DAS. Jadi, perlakuan‐perlakuan itu tidak hanya green tetapi juga brown. Nah kita lihat DAS‐HL masih lebih vegetatif. Itu satu persoalan untuk green nya, tetapi bagaimana pabrik membuang limbah sembarangan masyarakat juga membuang limbah domestiknya. Itulah persoalan kita. Jadi kita semakin utuh melihat persoalan DAS agar bisa mempunyai gambaran yang LHK. Saya kira itu. Modal sekali lagi sudah ada, pakailah 54 hasil penelitian pada seminar tahun 2015 kemarin.Itu bagus kok, saya berkali‐kali membaca 54 kompilasi itu bagus. Ya pak jadi yang 54 naskah tulisan dalam Prosiding Semnas Restorasi DAS yang diselenggarakan Agustus 2015 di Solo bisa menjadi pijakan untuk mengurai persoalan DAS ya? Kemudian ini Pak, bagaimana pesan‐kesan Bapak sebagai Rimbawan setelah masuk di Litbang dan Inovasi ? Saya tidak terfikirkan bahwa saya akan ditugaskan di Litbang. Sehingga saya betul‐betul memperoleh pekerjaan yang di dalam perjalanan karir saya baru berhadapan dengan peneliti seluruh unsur yang berada di litbang. Saya melihatnya menjadi satu tantangan dengan kekayaan yang luar biasa. Pasti tentu saja menjadi pengetahuan yang baru. Hal yang paling menarik di litbang ini adalah orang per orang itu bisa menjadi sumber dari berbagai pengetahuan. Kalau kita lihat di Dirjen kan kita bekerja karena strukturnya unit kerja mengikat, maka saya melihat seseorang itu adalah sosok dimana anda duduk dan strukturnya dan apa yang mereka kerjakan. Kalau dia ada di unit
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
RS HB
maka saya akan berkomunikasi sekitar unit A saja. Selesai di situ. Tetapi di Litbang saya lihat saya berhadapan dengan kurang lebih 500 an orang yang mempunyai kapasitas sesuai dengan individunya. Ini yang sangat‐sangat menarik bagi saya dan sangat kaya dan rasanya tidak cukup waktu untuk dapat mendalami 500 an orang ini. Menemui satu UPT saja sekitar 2‐3 jam belum cukup. Seperti baru berkenalan belum bisa mendalami. Nah ini kesan yang saya dapat. Seharusnya Litbang ini betul‐betul bisa menjadi barometer dari seluruh kebijakan yang ada. Arah ambisiusnya harus ke sana. Kita dapat 20‐30 % saja itu sudah cukup. Ini bukan pekerjaan mudah karena mengekstraksi pengetahuan itu tidak mudah. Tidak hanya dari wujud tulisan tetapi masih harus ada tahapan‐tahapan yang perlu kita terjemahkan lagi. Itu kesan saya. Tantangan yang sangat menarik dan harus bisa. Litbang ini paling tidak lebih terartikulasi dan lebih mudah diakses. Kesan saya itu. Kita jangan sibuk sendiri di dalam, lalu merasa yang kita lakukan sudah cukup tapi kita harus membuka diri, mau tidak mau. Pertanyaan terakhir apa motto hidup Bapak? sehingga bisa menjadi panutan bagi kami‐kami. Kalau saya terus belajar, terus membaca, terus sensitif memperhatikan lingkungan sekitar kita karena mereka adalah sumber inspirasi. Kita harus terus berinteraksi. Waktu kita kerja di lingkungan birokrasi, struktur itu hanya untuk memudahkan bekerja, tetapi dalam keseharian itu ya Bapak‐Ibu semua kita tidak dipisahkan dari sekat. Begitu kita membatasi diri dengan sekat‐sekat struktur itu maka kepekaan kita untuk belajar akan berkurang.
Semoga harapan kita terkabul, untuk menjadikan Badan Litbang dan Inovasi lebih bermanfaat bagi masyarakat. Bravo Badan Litbang dan Inovasi !!!!
6
Amma Naningrum
PROFIL
Perpustakaan Balitek DAS Solo: 1. Pendahuluan Perpustakaan Balitek DAS merupakan sebuah perpustakaan khusus yaitu perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, atau organisasi lain (Republik Indonesia, 2007). Perpustakaan ini berada di bawah naungan Balitek DAS Solo, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya yang bergerak dalam penelitian, pengembangan dan inovasi pengelolaan DAS. Gedung perpustakaan berada di komplek kantor Balitek DAS tepatnya Jalan Jend. A. Yani, Pabelan, Kartasura Po Box 265, Surakarta/57102, telepon : 0274‐716709, faksimilie : 0274‐716959. Perpustakaan menempati ruangan sebelah timur di lantai 1 kantor Balitek DAS Solo dengan luas sekitar (10 x 16 m)= 160m22. Fasilitas yang dimiliki Perpustakaan Balitek DAS Solo berupa koleksi, ruang baca, ruang diskusi, scanner, wifi dan komputer untuk menelusur informasi bagi pengguna. 2. Tujuan dan Fungsi Perpustakaan Tujuan perpustakaan Balitek DAS Solo adalah menjadi sumber informasi terlengkap dan terakurat mengenai informasi pengelolaan DAS. Perpustakaan Balitek DAS melayani kebutuhan pendidikan, pelayanan, dan informasi bagi pengguna. Sedangkan fungsinya sebagai tempat membaca dan menelusur informasi mengenai pengelolaan DAS. Membaca adalah sebuah proses belajar tanpa guru. Dengan membaca kita bisa mengetahui segala sesuatu secara detail. Membaca yang paling mudah dan murah adalah membaca buku di perpustakaan. Kita tidak perlu membeli dan membayar untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Membaca di perpustakaan merupakan suatu kegiatan yang bisa memberi banyak manfaat dan jalan keluar atas permasalahan yang ada. Di samping itu, membaca di perpustakaan juga merupakan hobi. Membaca di sini tidak harus
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Sumber Informasi Pengelolaan DAS
Gambar 1. Ruang koleksi, baca dan diskusi perpustakaan Balitek DAS
membaca buku teks, jurnal, buku pedoman, dan laporan, tetapi juga bisa membaca koleksi yang bersifat populer dan up to date, seperti: koran dan majalah. Menelusur informasi di perpustakaan merupakan bagian dari kegiatan temu balik informasi di perpustakaan. Kegiatan menelusur informasi ini merupakan kegiatan mencari dan menemukan kembali data, informasi, koleksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna akan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan berbagai fasilitas dan layanan yang dimiliki perpustakaan. Perpustakaan ini memiliki berbagai jenis koleksi, pengguna dan layanan. 3. Koleksi Perpustakaan Koleksi perpustakaan Balitek DAS memberikan kontribusi nyata dan jelas terhadap penelitian di lingkup pengelolaan DAS. Karena koleksi perpustakaan memberikan jawaban keingintahuan pengguna perpustakaan. Perpustakaan juga menjadi sarana yang selalu berusaha menyediakan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan oleh p e n g g u n a nya , te r u ta m a p e n e l i t i d a l a m melaksanakan tugas‐tugasnya. Koleksi perpustakaan diklasifikasi berdasarkan sistem UDC (Universal Decimal Classification). Terhitung sampai Desember 2015 koleksi perpustakaan berjumlah 12.053 dengan rincian seperti Gambar 2.
7
PROFIL
Amma Naningrum
Gambar 2. Koleksi perpustakaan Baliktek DAS sampai Desember 2015
Koleksi Buku Teks Koleksi buku teks perpustakaan Balitek DAS terbilang cukup lengkap khususnya untuk buku subyek: pengelolaan DAS, banjir, longsor, hidrologi, kehutanan, geografi, penginderaan jauh, ilmu tanah, lahan, metode penelitian, lingkungan hidup, pertanian, dan iklim. Subyek lainnya juga tersedia di perpustakaan ini.
Gambar 3. Koleksi buku teksGambar
4. Koleksi referensi
Gambar 5. Koleksi Bulletin, Jurnal, majalah ilmiah
Gambar 6. Koleksi MajalahGambar
7. Koleksi LHP dan Foto
Koleksi Referensi Koleksi referensi merupakan koleksi yang memberikan deskripsi tentang informasi tertentu dan bersifat menyeluruh, seperti: kamus, ensiklopedia, almanak, indeks, abstrak, bibliografi, biografi, indeks, kumpulan peraturan dan undang‐undang khususnya mengenai kehutanan dan pengelolaan DAS. Koleksi Skripsi, Tesis dan disertasi Koleksi ini merupakan koleksi hasil penelitian berupa skripsi , tesis dan di sertasi dari para
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
peneliti lingkup Balitek DAS, pegawai Balitek DAS, siswa magang, mahasiswa magang ataupun mahasiswa yang melakukan penelitian mengenai DAS dari berbagai universitas di Indonesia. Koleksi Buletin, Jurnal, Majalah dan Surat kabar Perpustakaan menyediakan buletin, jurnal dan majalah ilmiah, dengan subyek utama pengelolaan DAS, kehutanan, pertanian, dan geografi. Selain itu, perpustakaan juga menyediaka beragam majalah populer. Surat kabar yang disedikan di sini adalah surat kabar nasional dan lokal. Koleksi Laporan Hasil Penelitian (LHP) Koleksi ini merupakan koleksi andalan dan terlengkap perpustakaan karena koleksi ini merupakan hasil karya para peneliti di lingkup Balitek DAS dari tahun 1970an sampai sekarang. Koleksi Audio Visual Perpustakaan menyediakan koleksi CD dan DVD mengenai kehutanan, kegiatan penelitian, buku, dan film penelitian. Koleksie‐Resources Koleksi ini meliputi koleksi buku teks, jurnal, laporan hasil penelitian yang dibuat dalam bentuk soft file berformat pdf (portable document format). Koleksi ini masih dalam tahap pengembangan. Koleksi Foto dan Dokumentasi Kegiatan Koleksi foto dan dokumentasi kegiatan merupakan koleksi hasil dokumentasi berupa foto, baik itu hasil penelitian maupun hasil kegiatan kantor Balitek DAS dari tahun 1970an. Koleksi tersebut masih tersimpan dengan baik di perpustakaan.
4. Pengguna Perpustakaan Pengguna Perpustakaan Balitek DAS Solo dikategorikan dalam dua golongan yaitu: pengguna internal dan pengguna eksternal. Pengguna internal yaitu para peneliti dan pegawai Balitek DAS. Sedangkan, pengguna eksternal adalah siswa, mahasiswa dari berbagai sekolah dan universitas di Indonesia serta masyarakat umum. Rata‐rata pengguna perbulan tahun 2015 sekitar 187 orang. Gambar 8 menunjukkan data jumlah pengguna perpustakaan tahun 2015 dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2015:
8
Amma Naningrum
PROFIL
Gambar 8. Jumlah Pengguna Perpustakaan Balitek DAS Tahun 2015
5. Testimoni Pengguna Nining R (13/10/2015), mahasiswa Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, UNS yang sedang mulai menyusun skripsi ini mulai mendatangi perpustakaan dan merasa senang karena koleksi yang dia butuhkan tersedia cukup lengkap di perpustakaan Balitek DAS. Dia menambahkan bahwa dia bisa berbicara dan mengobrol lanngsung dengan para pakar yang tak lain adalah para peneliti di Lingkup Balitek DAS mengenai topik yang akan dia teliti. Abi Seto W (15/10/2015), salah satu mahasiswa UGM yang suka datang ke perpustakaan Balitek DAS mengaku senang dengan fasilitas dan layanan yang diberikan perpustakaan. Menurutnya, di sini informasi mengenai subyek yang dibutuhkan lengkap dibandingkan perpustakaan lain, misalnya mengenai pengelolaan DAS, terasering dan degradasi lahan.
6. Sistem Layanan Perpustakaan Balitek DAS Solo menggunakan sistem pelayanan terbuka. Para pengguna dipersilahkan langsung memasuki ruang koleksi untuk mencari, membaca dan menelusur informasi yang dibutuhkan. Pencarian koleksi dapat dilakukan secara manual, elektronik maupun digital. Software Perpustakaanku dan Mysipisis pro merupakan software sistem manajemen perpustakaan yang digunakan. Para petugas akan siap melayani dan
Gambar 10. Software Mysipisis Pro
membantu dengan ramah dan cepat. Pengguna perpustakaan dapat memanfaatkan jasa layanan yang ada di Perpustakaan Balitek DAS. 1) Jenis Layanan ∙ Layanan Sirkulasi Layanan sirkulasi merupakan layanan peminjaman dan pengembalian koleksi yang dimiliki perpustakaan. Pengguna internal bisa menggunakan fasilitas ini untuk meminjam seluruh jenis koleksi. Pengguna eksternal tidak bisa memanfaatkan fasilitas layanan ini. Layanan Referensi Layanan ini berupa bantuan yang diberikan pustakawan untuk mengidentifikasi koleksi yang tepat kepada pengguna sesuai dengan kebutuhannya dan kepemilikan koleksi perpustakaan, sumber‐sumber online dan lainnya. ∙ Layanan Bimbingan Pengguna Layanan ini berupa bantuan yang diberikan pustakawan dengan bimbingan atau petunjuk kepada pengguna agar mampu memanfaatkan perpustakaan dan koleksi dengan cepat, tepat dan optimal. ∙
∙
∙
Layanan Fotocopi Layanan ini dikhususkan bagi pengguna eksternal yaitu yang berasal dari luar lingkup Balitek DAS, karena pengguna umum tidak bisa menggunakan layanan sirkulasi. Layanan Penelusuran Informasi dan Koleksi Layanan ini membantu pengguna memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan topik tertentu dari berbagai sumber yang dimiliki perpustakaan secara tepat dan akurat. Layanan Scanning Merupakan layanan untuk membantu
Gambar 9. Software Perpustakaanku
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
9
Amma Naningrum
PROFIL
2) Waktu Layanan Buka : Senin sd. Jum’at, Jam 07.30 – 16.00 WIB Tutup : Sabtu, Minggu & Hari Libur Nasional Alamat website perpustakaan : http://bpk‐solo.litbang.dephut.go.id/fasilitas/ perpustakaan.
lingkup pengelolaan DAS melalui koleksi dan layanan yang diberikan. Selain itu, berbagai fasilitas lain yang tersedia juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai alasan berbeda. Hal yang lebih utama adalah bagaimana Perpustakaan Balitek DAS selalu bisa melayani kebutuhan informasi penggunanya secara cepat, tepat dan optimal. Pengembangan koleksi dan pengembangan layanan untuk pengguna baik pengguna internal maupun eksternal diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan pemenuhan kebutuhan informasi pengguna. Sehingga perpustakaan mampu menjadi sumber informasi terlengkap dan terakurat mengenai informasi pengelolaan DAS dan topik terkait pada skala yang lebih luas.
7. Penutup Perpustakaan Balitek DAS Solo telah banyak memberikan kontribusi jelas dan nyata berupa data dan informasi guna mendukung penelitian di
Daftar Pustaka Republik Indonesia. 2007. Undang‐Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Gambar 11. Ruang Mambaca
Gambar 12. Tempat Mambaca Koran
pengguna men‐scan dokumen, berkas maupun koleksi perpustakaan yang dibutuhkan. Layanan Internet Layanan ini memungkinkan perpustakaan Balitek DAS untuk melayani pengguna untuk menggunakan fasillitas internet yang dimiliki guna mencari informasi yang berasal dari sumber internet. Fasilitas ini terbuka untuk semua pengguna perpustakaan.
Gambar 13. Lemari Katalog Koleksi
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Gambar 14. Tempat Layanan Sirkulasi, Scanning dan Penelusuran Informasi
10
Pranatasari Dyah Susanti
FOKUS
KARST : KAWASAN EKOSISTEM ESENSIAL PENYANGGA KEHIDUPAN Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl. Ahmad Yani ‐ Pabelan, Po.Box.295, Solo, Jawa Tengah.
Apakah kawasan karst ? Kawasan karst merupakan salah satu kawasan esensial yang tersebar di wilayah Indonesia, diantaranya: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 disebutkan bahwa kawasan ekosistem esensial karst merupakan kawasan fungsi lindung yang berada di luar kawasan suaka alam atau pelestarian alam. Kawasan ini adalah kawasan yang sangat rentan atau rapuh terhadap perubahan ekosistem, namun memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta merupakan sumber air bawah tanah yang melimpah. Luas kawasan karst di Indonesia mencapai 15,4 juta ha (Sukandarrurumidi dan Maulana, 2014). Kawasan ini merupakan komponen geologi dengan karakteristik yang unik dan khas, serta berfungsi sebagai pengatur tata air. Selain itu, kawasan karst juga mengandung nilai‐nilai ilmu pengetahuan yang harus dijaga dan dilestarikan. Karst berasal dari bahasa Slovenia yang berarti gersang berbatu. Beberapa ahli mendefinisikan karst sebagai suatu bentang alam dengan kondisi hidrologi yang khas yang berasal dari pelarutan batuan yang mudah larut serta memiliki porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Batuan tersebut‐ terdiri dari beberapa mineral utama seperti kalsit (CaCO3), aragonit (CaCO3), serta dolomit (CaMg(CO3). Selain mineral utama tersebut, terdapat juga beberapa mineral yang mudah larut lainnya seperti anhidrit (CaSo4), halit (NaCl),
gypsum (Ca2SO4.2H2O) serta kalsit (CaCO3). Dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, dikemukakan bahwa karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan atau dolomit. Dalam peraturan tersebut, disampaikan pula bahwa bentang alam kawasan karst meliputi eksokarst (karst pada bagian permukaan) dan endokarst (karst di bawah permukaan). Topografi karst yang unik, dimulai dari pengendapan batu gamping di dasar laut yang kemudian terangkat ke atas pemukaan air laut, yang selanjutnya oleh air hujan, batu gamping tersebut terlarutkan menjadi bentuk kubah serta cekungan. Menurut Haryono (2001), perkembangan karst dimulai dari proses pelarutan yang terkonsentrasi pada satu titik atau memanjang sesuai kelurusan sesar yang akan membentuk cekungan‐ cekungan dan tertutup oleh lembah kering, dimana cekungan tersebut akan berkembang dan melebar yang nantinya akan bergabung satu dengan yang lain membentuk bukit‐bukit karst dengan bentuk bervariasi. Sistem hidrologi kawasan karst sebagai sumber air tanah yang melimpah ini, didominasi oleh drainase bawah permukaan. Hal ini disebabkan karena air permukaan yang ada, sebagian besar akan masuk ke jaringan sungai bawah tanah melalui ponor, rekahan atau luweng. Kondisi ini menyebabkan air hujan yang jatuh di daerah karst ini tidak dapat tertahan di permukaan tanah, tetapi akan langsung masuk ke jaringan sungai bawah tanah (Suryatmoko, 2002). Penampang kawasan karst dan contoh perbukitan karst dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Penampang kawasan karst Sumber: https://www.uky.edu/KGS/water/general/karst/karst_landscape.htm
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
11
FOKUS
Pranatasari Dyah Susanti
Gambar 2. Perbukitan karst di Gunungkidul Foto: Pranatasari Dyah Susanti (2013) Karakteristik Kawasan Karst Sebagai kawasan esensial, kawasan karst memiliki karakteristik yang unik diantaranya: 1. Terdapat cekungan‐cekungan atau lembah.
beberapa jenis tanaman yang mampu tumbuh dengan baik di perbukitan karst. Salah satunya adalah tanaman jati. 3. Sungai di permukaan tanah banyak terputus masuk ke bawah tanah. Akibat minimnya air yang tertahan di permukaan tanah, menyebabkan sungai‐sungai yang
Gambar 3. Telaga di kawasan karst Gunungkidul Foto: Pranatasari Dyah Susanti (2014) Cekungan‐cekungan atau lembah yang berada di kawasan karst ini, sangat menguntungkan bagi masyarakat karena lembah dan cekungan tersebut dapat menampung air hujan dan berfungsi sebagai telaga (Gambar 3). 2. Banyak ditemui bukit‐bukit dengan solum tanah yang dangkal.Bukit‐bukit yang terbentuk di kawasan karst umumnya terlihat kasar dengan bebatuan yang tajam atau runcing. Pada bukit‐bukit ini, biasanya memiliki solum tanah yang sangat tipis, sehingga hanya
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
berada di permukaan tanah, sebagian besar hanya mengalir pada musim hujan, dan akan mengering pada musim kemarau. Air hujan akan lebih banyak masuk ke dalam rongga‐rongga atau celah yang langsung menuju ke sungai bawah tanah. 4. Banyak ditemukan gua di bawah tanah Gua merupakan salah satu ciri endokarst yang banyak dijumpai di kawasan karst. Gua ini terbentuk karena proses pelarutan. Ciri utama pada gua karst adalah banyak ditemukannya stalaktit (batuan menggantung di langit‐langit gua), stalagmit ( batuan
12
Pranatasari Dyah Susanti
FOKUS
yang terbentuk di dasar gua ), column (tiang yang terbentuk karena pertemuan stalagtit dan stalagmit), drapery (endapan yang berbentuk lembaran tipis secara vertikal) serta travertine (kolam air di dasar goa). 5. Adanya aliran sungai bawah tanah Air hujan yang masuk melalui rekahan, celah atau luweng akan terakumulasi dan membentuk suatu pola aliran sungai dan menyusuri gua di bawah tanah (Gambar 4). Kekayaan Kawasan Karst Kawasan karst memiliki kekayaan alam yang berpotensi untuk dapat dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Kekayaan tersebut diantaranya: 1. Sumber air Sungai yang mengalir di bawah tanah, dapat digunakan sebagai sumber air bersih. Debit sungai bawah tanah yang melimpah sangat dimungkinkan untuk diambil ke permukaan dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Selama ini, kebutuhan air masyarakat di kawasan karst sangat tergantung kepada air hujan, air telaga atau air bersih yang harus dibeli pada musim kemarau. MacDonalds dan Partners (1984) dalam Adji et Al. (2006)
.
mengemukakan bahwa debit minimum terukur pada musim kemarau di sungai bawah tanah Bribin Gunung Sewu berkisar 1.500 liter/ detik dan lebih dari 2.000 liter/detik pada musim hujan. Debit tersebut sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar Bribin, bahkan dapat berpotensi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (Gambar 5). 2. Habitat hewan pemakan hama, endemik dan langka Gua‐gua di kawasan karst banyak dihuni oleh kelelawar‐kelelawar yang sangat bermanfaat dalam pengendalian hama tanaman serta nyamuk penyebab malaria. National Geographic Indonesia (2013) mengabarkan bahwa terdapat hewan endemik gua karst yang ditemukan di kawasan karst Maros diantaranya: kumbang air (Speonoterus bedosae), kepiting gua (Karstarma microphthalmus), udang gua (Marosina brevirostris) dan (Marosina longirostris). 3. Laboratorium alam Kawasan karst yang khas dengan endokarst dan eksokarst yang unik merupakan sumber daya alam hayati yang sangat menarik untuk dipelajari sehingga dapat digunakan sebagai laboratorium alam. Banyaknya flora dan fauna yang hidup di kawasan ini
Gambar 4. Gua dan sungai bawah tanah Sumber: http://www.wego.co.id/berita/5‐air‐terjun‐bawah‐tanah‐di‐jawa/
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
13
FOKUS
Pranatasari Dyah Susanti
juga menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti dan akademisi untuk menggali lebih dalam kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya (Gambar 5). 4. Budidaya pertanian Lembah‐lembah yang terbentuk di kawasan ini, memiliki endapan sedimen hasil erosi dari bukit‐bukit diatasnya maupun yang keluar dari mulut gua/luweng. Lembah‐lembah tersebut, dapat digunakan sebagai lahan pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan karst.
membentuk telaga. Air yang tertampung dalam telaga ini, dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik untuk pertanian, perkebunan, maupun peternakan. 6. Ekowisata Adanya gua dan sungai bawah tanah di kawasan karst dapat digunakan sebagai kawasan ekowisata. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan gua dan sungai bawah tanah merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk
Gambar 5. Bendungan serta penelitian di gua karst Sumber: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1055509
Gambar 6.Pemanfaatan telaga dan wisata Gua Pindul Foto: Pranatasari Dyah Susanti (2012) 5. Telaga Cekungan‐cekungan yang terbentuk pada daerah karst, dapat menampung air pada musim hujan
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
berkunjung. Wisata alam yang sangat digemari di kawasan karst Gunung Sewu di Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta salah satunya
14
Pranatasari Dyah Susanti
FOKUS
Gambar 7. Pertambangan di kawasan karst Sumber: Pranatasari Dyah Susanti (2013)
Gambar 8. Bukit karst yang telah berubah menjadi pemukiman Foto: Pranatasari Dyah Susanti (2013) adalah wisata alam Gua Pindul. Kawasan wisata ini berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian kawasan karst dengan mengurangi aktivitas penambangan dan lebih mengedepankan potensi ekowisata (Gambar 6). Kerawanan Kawasan Karst Sebagai kawasan ekosistem esensial, kawasan karst sangat rawan terhadap berbagai aktivitas yang dapat menganggu kelestariannya, diantaranya: 1. Pertambangan Kawasan karst sangat kaya akan bahan tambang seperti gamping, kalsit, semen, marmer, dolomit dan bahan tambang lainnya. Maraknya proses penambangan pada kawasan karst akan menganggu
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
keseimbangan sistem hidrologi karst. 2. Alih fungsi kawasan Alih fungsi kawasan karst menjadi pemukiman, atau fungsi lain merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem ini. Untuk mengantisipasi hal ini memang tidak mudah, pemerintah harus ikut turut tangan. Tidak hanya pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat harus memberi perhatian serius terhadap alih fungsi kawasan ini. 3. Pencemaran air bawah tanah Penggunaan bahan‐bahan kimia, baik pupuk, pestisida dan herbisida yang berbahaya pada penggunaan lahan pertanian, perkebunan maupun kehutanan dapat menimbulkan pencemaran air tanah. Hal ini dapat terjadi apabila bahan ‐ bahan
15
Pranatasari Dyah Susanti
FOKUS
tersebut tercuci dan ikut mengalir bersama air hujan atau air permukaan yang masuk ke dalam luweng atau ponor menuju ke sungai bawah tanah, sehingga akan mencemari air tanah.
Pelestarian Kawasan Karst Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan kawasan ini. Tetapi pelestarian kawasan ekosistem esensial ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Bukan hanya pemerintah pusat maupun daerah, tetapi masyarakat juga harus bahu membahu bersama sama melestarikan kawasan yang bernilai tinggi ini. Pengakuan kawasan karst Indonesia di dunia internasional harus mampu meningkatkan kesadaran kita terhadap pentingnya pelestarian kawasan ini. Selain kawasan karst Maros di Sulawesi Selatan sebagai warisan budaya dunia, pada tahun 2015 kawasan Gunung Sewu diakui sebagai Global Geopark Network oleh UNESCO. Kawasan ini meliputi 3 (tiga) provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY dengan panjang 85 km dan memiliki lebih dari 40.000 bukit karst. Pe n ga ku a n te rs e b u t , h a r u s d i s i ka p i d a n ditindaklanjuti dengan pelestarian kawasan ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Tidak melakukan penambangan secara eksploitatif semata, tetapi harus berwawasan lingkungan. Hal ini dapat didukung dengan adanya regulasi baru terkait ketentuan wilayah yang diperbolehkan untuk dilakukan penambangan, dengan terlebih dahulu melakukan kajian lokasi yang tidak berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem karst. 2. Alternatif mata pencaharian baru bagi masyarakat yang selama ini tergantung pada penambangan karst. Hal ini sangat penting dilakukan karena masyarakat memerlukan sumber pendapatan lain apabila keputusan untuk menghentikan penambangan dilakukan. 3. Peningkatan potensi ekowisata secara bijaksana. Kawasan karst sebagai tempat wisata alam yang eksotik memerlukan penanganan yang serius agar tidak terjadi kerusakan. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan wisata adalah sampah, baik organik maupun anorganik. Pengelola, pengunjung dan masyarakat yang berada dalam kawasan wisata di darah karst harus teliti dan berhati hati agar sampah‐sampah yang dihasilkan tidak merusak dan mencemari air bawah tanah.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
4. Melakukan rehabilitasi bagi lahan‐lahan yang terdegradasi baik oleh manusia maupun oleh alam. Tindakan ini diperlukan agar keanekaragaman hayati di kawasan karst beserta ekosistemnya dapat terjaga dengan baik. Penutup Kawasan karst dengan berbagai macam kekayaan dan kerawanannya sangat memerlukan perhatian bagi kita semua. Kesadaran seluruh elemen masyarakat untuk memanfaatkan kawasan karst secara lestari diharapkan dapat mempertahankan kawasan ini sebagai warisan dunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Kawasan karst sebagai penyangga kehidupan harus terus dilestarikan agar terbangun ekosistem yang baik bagi kehidupan seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Referensi Adji. T. N., Sudarmadji, Suratman W, Hendrayana. H, dan Hariadi. B. 2006. The Distribution of flood Hydrograph Recession Constant Of Bribin River For Gunung Sewu Karst Aquifer Characterization. Publikasi Ulang dari Gunung Sewu‐Indonesian Cave and Karst Journal 2(2): 1‐12. Haryono. E. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Seminar Nasional, Eko‐Hidrolik, 28‐29 Maret 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, tanggal 19 Mei 2011. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, tanggal 20 Juni 2012. Sukandarrurumidi dan Maulana. 2104. Ada Apa Dengan Wilayah Bentang Alam Karst. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014. Yogyakarta, 15 November 2014: 347‐354. Suryatmoko. H. 2002. Konservasi Tanah di Kawasan Karst Gunung Kidul. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta. National Geographic Indonesia . 2013. Karst Maros, Rumah bagi Hewan Endemik Langka. Website: http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/11/ karst‐maros‐rumah‐bagi‐hewan‐endemik‐ langka. Diakses pada tanggal 9 April 2016.
16
CERITA DAS
Beny Harjadi
KISAH SEPUTAR GUNUNG MERAPI DARI MUSIBAH MENJADI BERKAH Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl. Ahmad Yani ‐ Pabelan, Po.Box.295, Solo, Jawa Tengah.
tremor scalemassa
over‐ kiloton
a. Alm.Mbah Maridjan juri kunci Merapi diganti Mas Lurah Suraksosihono (Asih)
b. Rumah korban Merapi pada radius 5 kmtidak boleh dihuni lagi
c. Menyelamatkan barang perkakas rumah
d. Hewan ternak sapi jadi korban Merapi
e. Aliran lahar panas melewati pekarangan
f. Lahar panas melewati sungai Gendol
Gambar 2. Kerusakan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010
Gambar 1. Arah Posisi Endapan Lahar Panas dan Dingin saat Erupsi Merapi dari Tahun 1911 sampai 2006 (BPPTKG, 2014).
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
BPPTKG (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi) pada bulan November 2010 menetapkan radius aman adalah > 20 km dari Puncak G. Merapi, setelah erupsi mereda pada tanggal 13 November 2010, dan radius aman tersebut dirubah sesuai administrasi dan jarak dari puncak Merapi. Radius aman tersebut diantaranya: untuk Sleman 20 km, Magelang 15 km, Boyolali 10 km, Klaten 10 km. Radius tersebut terus diturunkan setelah erupsi semakin mereda pada tanggal 19 November 2010, yaitu: Sleman sebelah barat K. Boyong 10 km, Sleman sebelah Timur K. Boyong 15 km, Magelang 10 km, Boyolali 5 km, dan Klaten 10 km. Peta wilayah aman Gunung Merapi dari radius 5 km, 10 km, 15 km dan 20 km dan masuk wilayah Kabupaten Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali dapat dilihat pada Gambar 3.
17
Beny Harjadi
CERITA DAS
Gambar 3. Peta Zonasi Radius 5 km, 10 km, 15 km, dan 20 km di Kabupaten Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali (PVMBG, 2010)
Kepala PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) Surono, yang selalu berteguh‐prinsip zerotolerance for a safe life menghimbau agar masyarakat dan aparat pemerintah di empat kabupaten, yaitu Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman, meningkatkan kesiapsiagaan. Beliau menghimbau warga di lereng Merapi untuk tidak beraktivitas diradius 8 km dari badan sungai. Terkait penetapan Kepala PVMBG, maka sekitar 40.000 warga di kawasan rawan be ncana III sekeliling Merapi pun mulai diungsikan, terutama anak‐anak dan orang lanjut usia. Mereka berasal dari 12 Desa yang tersebar di Sleman (7 Desa), Magelang (2 Desa), dan Klaten (3 Desa). Barak pengungsian yang disediakan oleh pemerintah Provinsi DIY tersebar di 7 lokasi diantaranya: Glagahharjo, Kepuhharjo, Umbulharjo (Kecamatan Cangkringan); Hargobinangun dan Purwobinangun (Kecamatan Pakem); serta Girikerto dan Wonokerto (Kecamatan Turi). Akibat erupsi G.Merapi bulan November 2014 tersebut menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebabkan korban jiwa sebanyak 337orang dengan rincian: Kabupaten Sleman 246 jiwa, Magelang 52 jiwa, Klaten 29 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang mengungsi mencapai 410.388 orang.Disamping korban jiwa, erupsi ini juga menghancurkan 2.300 unit rumah, infrastruktur, seperti sabo dam, jembatan, jalan, dan lainnya. Total kerusakan dan kerugian bencana erupsi Gunung Merapi diperkirakan sekitar Rp 3,5 triliun (Bappenas dan BNPB, 2011). Berdasarkan hasil evaluasi data pemantauan Gunung Merapi secara instrumental dan visual, disimpulkan bahwa aktivitas Merapi menunjukkan penurunan. Menurunnya aktivitas tersebut, maka terhitung mulai tanggal 3 Desember 2010 pukul 09.00 WIB, status aktivitas Gunung Merapi diturunkan dari tingkat "AWAS" menjadi "SIAGA". Selanjutnya secara bertahap warga Merapi menempati HunSem (Hunian Sementara dengan bahan dari Kayu dan Bambu).
Majalah Cerdas Vol. 2 no. 1
Meskipun demikian, terdapat ancaman lain yang menghadang warga. Salah satunya adalah banjir lahar dingin karena material yang dihasilkan oleh Merapi mencapai 150 juta m33, dan sekitar 35% produk letusan Gunung Merapi tersebut masuk ke Kali Gendol berupa aliran piroklastik dan sisanya tersebar di sungai‐sungai lain yang berhulu di lereng Gunung Merapi, seperti Kali Woro, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog, Kali Krasak, Kali Bebeng, Kali Sat, Kali Lamat, Kali Senowo, Kali Trising dan Kali Apu. Setelah erupsi pertama tanggal 26 Oktober hingga kini apabila terjadi hujan di puncak gunung akan terjadi banjir lahar dingin. Untuk mengantisipasi ancaman erupsi dan pasca erupsi, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi ( BPPTKG), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi melakukan pemantauan aktivitas Gunungapi Merapi dari 12 titik CCTV (Gambar 4 dan 5).
Gambar 4. Sebaran Pemantauan 12 Titik Erupsi Merapi dengan CCTV pada Bulan Desember 2014 dari BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi) dapat Dipantau lewat Internet http://202.173.18.45/
Gambar 5. Salah satu contoh kondisi aktual lereng Merapi hasil pantauan CCTV
B. Berkah Pascaerupsi 1. Material Erupsi Adanya erupsi Gunung Merapi yang mengeluarkan material piroklastik sebesar 7,5 juta m3 3 yang terdiri dari batu besar, kerakal, kerikil sampai
18
CERITA DAS
Beny Harjadi
pasir yang semula dianggap musibah akan berubah menjadi berkah. Beberapa batu dimanfaatkan untuk fondasi bangunan dan pasir untuk campuran semen pada tembok dan pengecoran tiang cakar ayam. Pasir diambil dari lahan masyarakat yang tertimbun pasir dan di sungai yang tertutup oleh material batu dan pasir (Gambar 6). Penambangan pasir selama 24 jam/hari tanpa istirahat, yang semula melewati jalan evakuasi sekarang truk‐truk pengangkut pasir, saat ini sudah memiliki jalur khusus.
a. Penambangan Pasir di Lahan Masyarakat
2. Wisata Bencana dan Perbaikan Sarana Prasarana Setelah erupsi Merapi, kunjungan wisata semakin meningkat, karena rasa ingin tahunya masyarakat tentang cerita Legendaris juru kunci Mbah Maridjan dan lingkungannya (Gambar 6). Bantuan dari Pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), CSR (Corporate Social Responsibility) BUMN‐BUMD, Universitas, TNI dan intansi lainnya, sehingga kondisi lereng Merapi segera pulih kembali (Gambar 7).
b. Tambang Pasir di Sungai Gendol
Gambar 1. Penambangan Pasir dari Musibah Merapi Menjadi Berkah
Untuk mengurangi pendangkalan sungai akibat erupsi, maka para penambang juga diminta mengambil pasirnya di sungai. Pengerukan pasir dari sungai tersebut juga menghindari bahaya lahar dingin saat hujan turun, sehingga dengan timbunan material yang sangat tebal bisa mencapai lebih dari 10 m, maka yang semula dianggap musibah berubah menjadi berkah. Lahan masyarakat yang tertimbun pasir pun dapat dijual kepada para penambang pasir, begitu juga pasir‐pasir di dalam sungai. Disamping juga tenaga kerja untuk menaikkan pasir ke bak truk, pos retribusi dan tenaga keamanan.
a.Pendopo untuk Wayangan saat mau Labuhan
b.Pembuatan Jembatan yang rusak kena hantaman Lahar panas
c.Menyiapkan Sekolah Tanggap Bencana
d.Memfasilitasi Hunsem sampai Huntap (Hunian Tetap)
e.Th. 2012 Rekompak membangun Talud, Drainase, Plat Dekker, Jalan
f.Kantor Desa Kepuh Harjo, Kec. Cangkringan, Sleman.
Gambar . Bantuan dari Pemerintah dan Para Pihak untuk Sarana Prasarana, Sehingga Perekonomian Menggeliat Kembali.
C. Peran BPTKPDAS Pascaerupsi Merapi
a. Bunker Buatan Jepang Rusak Kena Erupsi Merapi Tahun 2006
c.Labuhan Merapi Setiap Bulan Juli,Wayang Kulit dan Kirim Do’a
e.Kinahrejo bekas Kampung Mbah Marijan yang Jadi Wisata Bencana
b.Batu Gajah bekas Lokasi Wisata yang Masih Bertahan
d.Bersama Mbah Surono Ahli Gunung Berapi
f.Bekas Rumah Mbah Marijan Menjadi Situs Sejarah
Gambar 2. Wisata Bencana di Merapi dengan Mempertahankan Kondisi Seperti pada saat Selesai Terjadinya Erupsi merapi Menjadi Berkah
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Setelah erupsi Merapi berakhir bantuan silih berganti berdatangan dari berbagai Kelompok Organisasi, Instansi, Lembaga swasta dll. Bantuan ada yang berupa kebutuhan primer untuk makan, minum, dan istirahat. Disamping itu juga ada bantuan psikologis pemulihan kejiwaan dan gerakan penghijauan dan reboisasi oleh instansi, lembaga swasta maupun instansi pemerintah berbondong‐bondong pada tahun pertama 2010. Kegiatan tersebut banyak yang sifatnya hanya Gerakan, Seremonial, mengabadikan dengan foto‐foto untuk sekedar memenuhi laporan dan ekspos, namun setelah gema suara bencana erupsi Merapi menghilang di media massa maka saat itu pula mereka satu per satu pada menghilang. Pada lahan hutan rakyat yang tertinggal hanya plang yang miring dan petani warga Merapi pun tidak mau merawatnya, karena tidak merasa memilikinya (Gambar 7).
19
CERITA DAS
Beny Harjadi
a. Cargill Indonesia Kerjasama dengan Instiper Yogyakarta
b. Corporate social responsibility(CSR) dari BRI
Gambar 7. Gerakan Penghijauan Pascaerupsi Tinggal Kenangan dari Cargill Indonesia Kerjasama dengan Instiper Yogyakarta.dan dari BRI
Pada tahun 2012 BPTKPDAS (Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Solo, datang paling akhir setelah beberapa instansi, lembaga swasta dll meninggalkan lereng Merapi. Tugas dari BPTKPDAS diantaranya membimbing masyarakat yang mengalami trauma erupsi Merapi serta melakukan penghijauan dan rehabilitasi lahan. Hal tersebut dilakukan dengan reboisasi, yaitu menanam tanaman yang masyarakat sukai, dan cocok dengan lahan lereng Merapi serta mudah pemasarannya. Beberapa tanaman yang dikembangkan antara lain : Sengon, Kelapa, Pisang, Petai, dll, yang diawali dengan pemasangan ajir (Gambar 8). dengan jarak 5 m x 5m. Kegiatan penanaman tersebut dibantu oleh Para Pemuda FPL PALEM (Forum Peduli Lingkungan – Pecinta Alam Lereng Merapi).
a.Pertemuan di Balai Desa bersama Para Pemuda dan Kepala Desa
b.Mengawali Demplot Kegiatan di Lapangan dengan Ajir dan Lubang Tanam
c.Tanaman Sengon dengan Grass Barrier (Gamal, Rumput, dan Akar Wangi)
d.Persiapan Pembuatan Rorak dengan Para Pemuda FPL PALEM
Gambar 8. Kerjasama BPTKPDAS Solo dengan Para Pemuda FPL PALEM dengan Kegiatan Pertemuan Kelompok dan Kegiatan di Lapangan
Sebelum melakukan kegiatan di lapangan para pemuda FPL PALEM dilakukan pertemuan setiap bulan sekali. Pertemuan rutin dilakukan di Balai Desa, di Gedung TK, Masjid, dan juga Rumah warga. Pertemuan bulanan disamping menjalin silaturahmi juga transfer teknologi bagaimana mengelola lahan miring agar tidak mudah tandus karena mengalami erosi (degradasi lahan).Dalam rangka menghindari korban karena pengunjung Wisata Bencana Merapi dari hari ke hari semakin meningkat, terutama bekas tempat tinggalnya Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, maka dipasang beberapa papan peringatan (Gambar 9). Walaupun semua penduduk sudah pindah dan tinggal pada radius aman 10‐15 km dari hunsem (Hunian Sementara) ke huntap (Hunian Tetap). Peduli Lingkungan – Pecinta Alam Lereng Merapi).
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
a.Plang Bahaya Lahar dingin & panas
b.Plang Demplot RLKT di Merapi
c.Plot Penelitian di Lahan Masyarakat
d.Pengukuran Pertumbuhan Tanaman
Gambar 9..Plang Peringatan Bahaya Lahar Panas dan Dingin berdampingan dengan Plang Demplot RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) di Merapi
Waktu Tim BPTKPDAS masuk dan ingin mendampingi mereka dalam mengelola lahan untuk meningkatkan tingkat kesejahterannya, semula agak ragu. Mereka trauma dengan kegiatan berbagai macam proyek bantuan yang sifatnya hanya sesaat dan seremonial saja dan setelah itu ditinggalkan. Tapi setelah mengetahui bahwa Tim BPTKPDAS datang setiap bulan maka para pemuda Merapi secara bertahap bisa menerima kehadiran para Teknisi dan Peneliti BPTKPDAS Solo. Kerjasama yang baik antara BPTKPDAS Solo dengan Pemuda FPL PALEM menyepakati lahan masyarakat dijadikan Demplot RLKT (Reboisasi Lahan dan Konservasi Tanah) dan sekarang sudah berubah menjadi hijau dan rapat dengan tanaman. Upaya konservasi tanah di lahan Merapi dengan teknik konservasi vegetatif (tanaman tampingan teras : akar wangi, gamal, dan rumput gajah) dan biologis (pupuk organik). Tanaman konservasi seperti akar wangi, gamal dan rumput gajah ditanam diantara bidang olah atau di tampingan dimaksudkan untuk menahan erosi (Gambar 10). Dengan adanya sekat atau filter dari tanaman tersebut maka pada lahan yang miring tanah yang lepas seperti berpasir tidak terbawa air ke bawah saat hujan. Butiran pasir yang tertahan pada tanaman tampingan tersebut lama‐lama menjadi seperti teras gulud, dan lama kelamaan lahan olah menjadi datar seperti teras kredit.
a. Akar Wangi (Vetiveria zizanioides)
b. Tanaman Gamal(Gliricideae sepium)
c. Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)n
Gambar 10.Konservasi Vegetatif dengan Akar Wangi, Tanaman Gamal dan Rumput Gajah di Kembangkan di Lereng Merapi
Upaya konservasi tanah di lahan Merapi dengan teknik konservasi biologis (pupuk organik) dengan mencampurkan antara kotoran sapi dengan jerami dan cairan untuk mempercepat proses dekomposisi. Pemberian pupuk organik ini akan membantu perkembangan struktur tanah sehingga dari
20
CERITA DAS
Beny Harjadi
a. Merapi dari Demplot BPTKPDAS Solo, di Dk. Pager Jurang, Ds Kepuh Harjo Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, Prov. DIY.
b. Merapi dari Rumah Mbah Marijan, Dk. Kinah Rejo, Desa Umbul Harjo, Kec.Cangkringan, Kab. Sleman, DIY
Gambar 11. Puncak Merapi Dukuh Kinah Rejo dan Dukuh Pager Jurang yang semula tekstur lepas akan berubah menjadi remah dan lama kelamaan menjadi granular. Teknik ini diajarkan juga kepada para pemuda dan petani di Desa Kepuh Harjo, Kecamatan Cangkringan.Dengan teknik RLKT yang melibatkan peran serta masyarakat, dengan mengandalkan konservasi vegetatif dan biologis, maka kegiatan penghijauan di lereng Merapi telah berjalan dengan baik sampai sekarang (Gambar 11).
DAFTAR PUSTAKA Bappenas and BNPB, 2011. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 ‐ 2013. Bappenas dan BNPB, Jakarta. BPPTKG, 2010. Aktivitas Merapi Masih Tinggi. Republika.co.id. Kamis 1 Mei 2014 jam 14.10.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi). Yogyakarta. BPTKPDAS, 2012. Demplot RLKT Pascaerupsi Merapi, Badan Litbang Kehutanan , Kementerian Kehutanan. Solo. Dinas Kesehatan Kab. Sleman, 2010. Jumlah Korban Meninggal Bencana Erupsi Merapi per Tanggal 2 Desember 2010 mencapai 277 Orang. Berita Update sekitar Gunung Merapi. Sleman. PVBMG, 2010. Erupsi Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Antara News.com. Kamis, 4 November 2010 Jam 19:56. Jakarta. Republika.co.id., 2010. Letusan Merapi Bisa Muntahkan 7,5 Juta Meter Kubik Material. http://www.republika.co.id/berita/breaking‐ news/nusantara/10/10/27/142524‐letusan‐ merapi‐bisa‐muntahkan‐7‐5‐juta‐meter‐kubik‐ material.
21
Beny Harjadi
CERITA DAS
MENGENAL SEKILAS JENIS TANAH MARJINAL BERMASALAH DAN CARA PENANGANANNYA Lahan Perhutani di Jawa atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di luar Jawa sering terkendala pada lahan‐lahan marjinal, sehingga sering mengalami kegagalan pada saat mau menanam kembali setelah dilakukan penebangan tanaman hutan. Lahan Marjinal disini maksudnya adalah suatu lahan dengan banyak faktor pembatas karena sesuatu sebab oleh buruknya sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Lahan Marjinal biasa terjadi karena rendahnya produktivitas lahan secara alami yang ditunjukkan oleh buruknya kondisi lahan, miskin unsur hara, dan ditunjang oleh iklim yang tidak mendukung bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Dalam melakukan tindakan Reboisasi atau Penghijauan pada lahan hutan yang rusak maupun marjinal perlu penanganan secara khusus. Pada lahan yang marjinal (tandus atau tidak subur) perlu perlakuan khusus dengan rehabilitasi, sedangkan pada daerah yang rusak bekas pertambangan perlu ada tindakan reklamasi. Lahan bermasalah (marjinal) di Jawa antara lain tanah : Vertisols (Grumusols), Entisols (Regosols), dan Ultisols (Mediteran/Podsolik Merah Kuning), sedangkan tanah
1. Ultisols– ULT
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
bermasalah di luar Jawa (Kalimantan dan Sumatra) antara lain : Oxisols (Ferralsols) dan Histosols (Gambut/ Organosols). Masing‐masing ciri‐ciri tanah marjinal tersebut diatas akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini. Dengan menambahkan beberapa faktor yang menjadi penghambat tanah dari yang semula tingkat kesesuaian tanaman Marjinal (N) dapat meningkat menjadi tingkat kesesuaian lahan Sesuai (S1) bahkan bisa sampai menjadi kelas Sangat Sesuai (S2).Permasalahan ini sebenarnya sudah berlangsung lama di Perum Perhutani yang sering menelantarkan lahan setelah dilakukan penebangan pohon. Sebagai contoh pada lahan vertisols bekas tanaman jati, setelah diremajakan dengan tanaman bibit jati selalu gagal dan tidak bisa tumbuh kembali, akhirnya tanahnya ditelantarkan jadi lapangan yang ditumbuhi rumput‐rumputan. Sehingga perlu difahami dan dimengerti setiap lahan marjinal memiliki karakter dan permasalahan yang berbeda, sehingga perlu penanganan yang tepat dari kasus per kasus. Beberapa permasalahan tanah marjinal dengan solusi penanganan khusus dapat dipelajari dan dicermati berikut ini : Ultisol (U) atau (ULT) dengan nama lain Podsolik Merah Kuning, Latosol, Hidromorf Kelabu (ultimus = akhir) adalah merupakan tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah dan bersifat masam yang ditunjukkan nilai kejenuhan basa (KB) kurang dari 35 % pada kedalaman 180 cm.Tanah ini memiliki sifat buruk yaitu pH kemasaman tanah yang rendah 4‐6, sehingga banyak unsur hara yang tidak tersedia.Tekstur tanah liat (SiC = Silty Clay atau SC= Sandy Clay), sehingga tanah agak berat dilakukan pengolahan.Regolit tanah yang dalam pada tanah Ultisols menjadi lahan yang berpotensi terjadinya longsor. Permasalahan tanah Ultisols yang masam terutama lahan bekas tanaman Pinus, bisa juga terjadi di daerah Pekarangan dan Tegal dengan tanaman Agroforestry yang biasa terjadi pada tanah berpotensi longsor. Khusus untuk lahan Perum Perhutani yang biasa ada tanaman Pinusnya, maka, semakin tua tanaman Pinu s ma ka p H s ema kin menin gkat t in gkat kemasamannya, sehingga tanah‐tanah bekas tanaman Pinus sulit untuk ditumbuhi kembali. Solusi pemecahan masalah tanah Ultisols yaitu perlu penamabahan kapur Kalsit (CacO3) atau Dolomit (CaMgCO3) dan mengurangi sifat liat dilapisan bawah dengan penambahan pupuk kandang. Dihindari penambahan pupuk kimia NPK yang akan menyebabkan tanah semakin masam, sebaiknya dengan pupuk organic (pupuk kandang).
22
Beny Harjadi 2. Oxisols ‐ OX
CERITA DAS Oxisol (O) atau (OX) atau nama lain tanah Latosol Merah, Latosol Merah Kekuningan, Laterit, Podzolik MK. Tanah ini merupakan tanah tua yang hanya meninggalkan sedikit sisa mineral yang mudah lapuk yang ditunjukkan nilai KTK rendah ( < 16 me/100 g liat) dengan kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif, sehingga ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat rendah Di lapangan tanah Oxisols menunjukkan batas lapisan yang tidak jelas yang banyak mengandung oksida Fe dan oksida Al. Ciri‐ciri yang mudah dilihat di lapangan adalah tanah berwarna pucat terang dari kuning sampai putih, karena kandungan kwarsa (SiO2) yang tinggi. Permasalahan tanah Oxisols dengan ciri‐ciri tanah tua masam dengan unsur hara rendah dan mineral lapuk yang nyaris tidak ada. Tanaman bisa mati seperti terserang sundep atau beluk pada padi. Bedanya kalau diserang penyakit hanya tanaman tertentu saja, tetapi kalau diserang oleh tanah yang sakit/marjinal semua tanaman jadi menguning. Solusi penanganan tanah Oxisols antara lain perlu penambahan unsur hara yang cukup banyak dengan pemberian dosis pupuk kandang yang tinggi dan pemberian kapur kalsit (CaCO3) atau dolomit (CaMg CO3). Dihindari penambahan pupuk kimia NPK yang akan menyebabkan tanah semakin rusak dan menjadi masam.
3. Vertisols ‐ ERT
Vertisol (V) atau (ERT) atau nama lain tanah Grumusol, Margalit (ERT= verto = berubah). Tanah dengan kandungan liat yang tinggi lebih dari 30 % pada seluruh horison, yaitu tekstur liat Clay berat (C) atau Silty Clay (SiC), yang menyebabkan tanah lengket dan sangat berat diolah.Sifat tanah mengembang dan mengkerut yaitu pada saat kering tanah mengkerut menjadi pecah‐pecah, dan sebaliknya saat basah tanah mengembang dan lengket. Kondisi mengembang dan mengkerut tanah menyebabkan tanah retak yang dapat menyebabkan perakaran tanah putus dan retakan tersebut dapat mematahkan kaki hewan seperti kambing dll. Permasalahan tanah Vertisols adalah tanah retakan dengan kandungan liat sangat tinggi sehingga perakaran tanaman sering putus, yang menyebabkan tanaman mati dan tidak dapat tumbuh kembali. Tanah mengembang saat basah dan mengkerut saat musim kemarau/kering. S o l u s i p e n a n ga n a n ta n a h Ve r t i s o l s mengurangi kandungan liat dengan menambahkan partikel kasar seperti pasir dalam setiap lubang yang berbentuk pot tanaman minimal ukuran 1m x 1m x 1m, sehingga tanaman bisa membesar dan perakaran tidak sampai putus akarnya.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
23
Beny Harjadi 4. Histosols ‐ IST
CERITA DAS Histosol (H) atau (IST) atau nama lain tanah Gambut, Organosol, Tanah Organik (histos = jaringan). Dimana tanah ini memiliki kandungan bahan organik > 20% pada tekstur pasir atau kandungan bahan organik > 30% untuk tekstur liat. Kandungan organik yang tinggi perlu perkembangan dari tingkat febrist, hemist dan saprist dengan cara melakukan pergantian kondisi aerob (dikeringkan) dan kondisi an‐aerob (digenangi). Lapisan bahan organik tersebut tebalnya lebih dari 40 cm, sehingga menyulitkan perakaran tanaman untuk tegak berdiri pada tanah gambut. Tanah gambut, mengandung Cat‐clay FeS2 = pirit yang menyebabkan pH sangat masam sehingga tidak ada kehidupan biota air yang mampu hidup, seperti ikan, katak dan hewan air lainnya. Solusi penanganan masalah tanah gambut dengan cara mengurangi cat‐clay dengan cara harus sering dilakukan proses pencucian air lewat saluran, sehingga system pencucian harus berlangsung berulang‐ ulang terus menerus antara penggenangan dengan pengeringan.
5. Entisols ‐ ENT
Entisol (E) atau (ENT) atau nama lain tanah Alluvial, Regosol (ENT = recent = baru). Sebenarnya tanah ini masih muda, baru tingkat permulaan perkembangan tanah. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon Okrik, Albik atau Histik. Sifat okrik dengan warna terang (value dan kroma lembab > 3) yang mengandung unsur hara yang rendah, walaupun kandungan batuannya kaya akan hara. Sifat albik yang merupakan warna pucat karena rendahnya kandungan bahan organic, sehingga produktivitas lahan rendah. Sifat penciri Histik mengandung bahan organik tinggi (>75%)dengan ketebalan20 sampai 40 cm. Permasalahan tanah Entisols merupakan tanah dangkal, dengan unsur hara rendah, bahan organik rendah dan terdapat batuan permukaan (Ro=Rock Outcrop) dan batuan singkapan (BR=Bare Rock). Solusi penanganan tanah Entisols dengan melakukan peningkatan kedalaman tanah dengan membuat pot‐pot pada batuan yang mendominasi daerah tanah Entisols dengan penambahan pupuk organik (pupuk kandang dan kompos).
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
24
CERITA DAS
Agung B. Supangat
AKAR WANGI, TANAMAN AJAIB PENGENDALI EROSI TANAH Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl. Ahmad Yani ‐ Pabelan, Po.Box.295, Solo, Jawa Tengah. Tingginya populasi penduduk di Indonesia menyebabkan kebutuhan lahan budidaya semakin luas, dan berujung pada meningkatnya tekanan terhadap lahan. Di satu sisi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 248 juta jiwa, dengan lajur pertumbuhan sebesar 1,4% (BPS, 2014). Disisi lain, luas lahan budidaya yang ada hanya sekitar 25,1 juta hektar, yang terdiri dari lahan sawah, tegalan/kebun serta ladang/huma(Statistik Lahan Pertanian, 2014). Sebuah perbandingan angka yang sangat tidak berimbang antara jumlah manusia dengan lahan budidayanya. Kondisi tersebut membawa konsekuensi pada tingginya laju konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya, sedangkan lahan budidaya yang telah ada terus‐menerus dipaksa untuk berproduksi, sehingga kian lama kian menurun produtivitasnya. Pemanfaatan lahan yang berlebih (overuse) untuk kegiatan budidaya sering tidak dibarengi dengan aplikasi teknik konservasi tanah dan air (KTA) secara tepat dan memadai. Hal ini diperparah dengan meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukannya serta tingginya laju deforestasi yang kian memicu kerentanan lahan. Dampak yang kemudian timbul adalah erosi tanah, dan jika tidak dikendalikan akan berujung pada degradasi lahan dan akan menurunan kritis, dan dapat menurunkan daya dukung DAS. Perlunya Praktek Konservasi Tanah dan Air (KTA) Erosi tanah dianggap sebagai salah satu sumber masalah utama dalam pengelolaan DAS di Indonesia. Dampak lebih lanjut dari erosi tanah adalah sedimentasi yang terjadi baik disungai maupun di badan air lainnya seperti waduk/bendungan dan muara sungai. Salah satu solusi untuk mengendalikan erosi terutama dilahan budidaya adalah dengan melakukan praktek konservasi tanah dan air. Teknik KTA secara praktis dibedakan menjadi: 1) mekanik atau sipil‐teknis, 2) kimia, dan 3) vegetativ. Cara mekanik ditujukan untuk mengurangi erosi dan aliran permukaan dengan cara pembuatan bangunan yang dapat mengendalikan laju, serta menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan aman. Cara kimia ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tanah resisten terhadap erosi. Cara vegetatif ditujukan untuk menekan laju erosi dan aliran permukaan dengan cara pengurangan pukulan butiran hujan terhadap tanah dan mengurangi kecepatan aliran permukaan. Salah satu teknik untuk mengkonservasi tanah
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
secara vegetatif adalah dengan memanfaatkan jenis tanaman rumput. Namun demikian, pemanfaatan rumput dalam kegiatan konservasi sebenarnya dapat dilakukan baik secara mekanik maupun vegetatif.Tanaman rumput bisa digunakan pada pembuatan teras,guludan,cek dam, ataupun waduk sebagai penguat maupun untuk meningkatkan produktivitas lahannya dalam bentuk sekat rumput. Sekat rumput (grass barrier) adalah salah satu teknik konservasi tanah metode vegetatif, dengan cara menanam rumput dalam strip‐strip memotong lereng dengan berselang‐seling dengan tanaman pokok. Dalam kegiatan agroforestry, kombinasi tanaman keras, tanaman semusim dan penanaman jalur rumput sangat bermanfaat dalam mengurangi laju erosi dan sedimentasi serta penyediaan cadangan makanan ternak. Jenis rumput yang digunakan untuk kegiatan konservasi tanah bukan jenis rumput pengganggu atau gulma, melainkan jenis rumput yang berfungsi ganda, yaitu untuk mengendalikan erosi dan dapat pula berfungsi sebagai makanan ternak. Beberapa jenis rumput yang biasa digunakan dalam kegiatan konservasi antara lain : Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), Rumput Raja (Pennisetum purpupoides), Rumput Setaria(Setaria Spacellata) serta Rumput Akar Wangi atau Vetiver (Vetivera zizanoides). Mengenal Akar Wangi Akar Wangi (Vetivera zizanoides) merupakan salah satu jenis tanaman rumput‐rumputan. Sekilas memiliki bentuk seperti sereh (serai) wangi, tetapi daunnya tidak mengeluarkan aroma wangi seperti wereh wangi. Tanaman penutup tanah ini telah lama dikenal sebagai tanaman penghasil minyak atsiri dari keluarga rumput‐rumputan (Gramineae). Bagian tanaman yang di ekstrak menjadi minyak adalah akarnya. Di Indonesia tanaman ini telah dikenal sejak sebelum perang dunia II, bahkan pada tahun 1981 telah tercatat sebagai komoditas ekspor walaupun masih dalam bentuk akar (Heyne,1987). Minyak akar wangi Indonesia dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama “Java Vetiver Oil”. Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus, yang disebabkan oleh “Ester” dari asam vetivenat dan adanya senyawa Vetiverone serta vetivenol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintetis. Minyak akar wangi secara luas digunakan dalam pembuatan parfum, bahan kosmetika, pewangi sabun dan obat‐obatan, pembasmi dan pencegah serangga.
25
Agung B. Supangat
CERITA DAS
Tutupan tanaman Akar Wangi (Sumber foto: Agung bs)
Morfologi tanaman Akar Wangi (Sumber foto: bibitbunga.com)
Gambar 1.Tanaman rumput akar wangi (vetiver) Akar wangi termasuk tanaman tahunan, tidak berimpang dan tidak berstolon. Dibandingkan sereh wangi, daun tanaman akar wangi lebih kecil, tegak dan kaku serta tidak berbau seperti akarnya, dengan tinggi tanaman dapat mencapai 1,5 – 2 meter. Akar wangi dapat diperbanyak dengan cara vegetatif melalui pecahan bonggol‐bonggol bergaris tengah 10 cm dengan lima mata tunas yang diambil dari tanaman berumur 12 bulan atau lebih. Cara penanaman yang lain adalah dengan mengambil rumpun‐rumpun dari lokasi p e m b i b i ta n , ke m u d i a n d i b e l a h ‐ b e l a h u nt u k ditanam/diperbanyak. Sebelum ditanam, daunnya dipotong sehingga tersisa kurang lebih 20 cm dengan maksud untuk mengurangi penguapan pada saat tanam. Tanaman akar wangi dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi di atas 1.000 m dpl. Tanaman ini akan menghasilkan minyak yang baik bila ditanam pada daerah dengan ketinggian lebih dari 700 m dpl, dengan iklim sedang dan kurang menghendaki naungan. Curah hujan optimum untuk pertumbuhan tanaman ini adalah 2000 – 3000 mm tiap tahun, dengan suhu udara maksimum 17 – 27 0o C , dan akan tetap tumbuh meskipun dalam dua bulan tidak ada hujan (Grimshaw & Helfer, 1989). Akar wangi dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Khusus untuk produksi akar, tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman ini adalah tanah yang berpasir atau tanah abu vulkanik. Pada tanah tersebut pencabutan akar menjadi lebih mudah tanpa ada yang tertinggal. Namun, apabila ditanam pada tanah yang padat, keras dan berliat berat akarnya akan sulit dicabut dan akan menghasilkan akar dengan rendemen minyak yang rendah.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
yang rendah. Jenis tanah Regosol dan Andosol dengan drainase baik merupakan media tumbuh yang sesuai bagi tanaman akar wangi. Akar Wangi sebagai Tanaman Konservasi Akar wangi telah lama dikenal di Indonesia yakni sejak jaman penjajahan Belanda, baik sebagai tanaman konservasi tanah dan air maupun sebagai tanaman budidaya. Pada tahun 1988, tim dari Bank Dunia juga ikut menyebarluaskan informasi tentang akar wangi sebagai tanaman konservasi melalui berbagai kegiatan seminar dan pertemuan ilmiah lainnya. Kini, rumput ini telah banyak dimanfaatkan sebagai tanaman KTA, yang terbukti efektif dalam mengendalikan erosi, limpasan maupun sedimen. Banyak hasil‐hasil penelitian baik dalam maupun luar negeri yang menyatakan efektifitas rumput vetiver sebagai tanaman konservasi. Sebagai tanaman konservasi, akar wangi dapat diterapkan pada beberapa kondisi sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1. Sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi permukaan, dapat berupa: ‐ Strip rumput (Grass barrier) pada lahan olah pertanian ‐ Rumput penguat teras yang ditanam pada bibir teras 2. Sebagai pengendali erosi atau longsoran pada lahan miring ‐ Rumput penahan longsoran tebing jalan (Road side erosion) ‐ Rumput penahan longsoran tebing sungai (Stream bank erosion)
26
CERITA DAS
Agung B. Supangat
Sebagai strip rumput di lahan olah (sumber foto: jualo.com)
Sebagai rumput penguat teras (Sumber foto: pu.bantulkab.go.id)
Penahan longsor/erosi tebing sungai (Sumber foto: vetiver.org)
Penahan longsor/erosi tebing jalan (Sumber foto: chirpstory.com)
Gambar 2.Akar wangi sebagai tanaman konservasi Secara ilmiah, akar wangi telah terbukti efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Grimshaw & Helfer (1988) melaporkan pengalamannya di India dan Tenesse,bahwa tanaman akar wangi sangat baik digunakan sebagai perlakuan konservasi tanah dan air secara vegetatif karena akarnya relatif dalam, kuat dan lebat. Akar wangi banyak ditanam di perbukitan dengan
mengikuti pagar hidup (jarak tanam 20 cm atau kurang) dengan tujuan untuk mengurangi laju erosi. Tanah yang terkikis dan terbawa aliran permukaan pada waktu hujan akan terakumulasi pada barisan pagar hidup akar wangi. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Beberapa hasil penelitian efektivitas akar wangi sebagai tanaman KTA di Indonesia
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
27
Agung B. Supangat
CERITA DAS
Penanaman akar wangi juga diyakini mampu mengendalikan kehilangan hara tanah akibat erosi. Keerati, et al. (1996) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa strip rumput vetiver pada lahan dengan kemiringan 3% mampu menurunkan kehilangan unsur N dan P sampai 50 % dibandingkan kontrol berupa tanah terbuka. Akar wangi sebagai tanaman KTA memiliki beberapa keunggulan, antara lain: Mempunyai daya tumbuh dan daya adaptasi yang sangat luas pada berbagai kondisi tanah, seperti : o Pada tanah masam (mengandung mangan dan aluminium). o Pada tanah bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium. o Pada tanah yang mengandung logam berat, seperti : Ar, Cd, Co, Cr, Pb, Hg, Ni, Se dan Zn. o Tahan terhadap rentang pH tanah : 3 – 10,5. Tahan terhadap variasi cuaca, seperti : kekeringan panjang, banjir, genangan dan temperatur (‐)14º C
Namun demikian, akar wangi juga memiliki kelemahan, yakni pola pertumbuhan yang tegak lurus atau vertikal terhadap tanah.Oleh karenanya disarankan penanamannya dikombinasikan dengan jenis tanaman penutup tanah, seperti rumput bahia, rumput pahit (carpet grass) atau jenis kacang‐kacangan (legume), agar tanaman penutup tanah tersebut dapat mengurangi percikan dan aliran permukaan terutama pada awal pertumbuhan akar wangi(sumber: diadaptasi dari http://litbang.pu.go.id/. Multifungsi si Tanaman Ajaib Berdasarkan uraian di atas, pantaslah jika akar w a n g i d i ka t a ka n s e b a ga i “ t a n a m a n a j a i b ”. Alasannya,akar wangi memiliki banyak fungsi, yakni sebagai tanaman konservasi tanah dan air yang efektif, pangkasan daunnya dapat dijadikan bahan hijauan ternak atau sebagai mulsa penutup tanah, akarnya dapat diekstrak menjadi bahan baku minyak atsiri dan berbagai kerajinan tangan dan hiasan. Keunggulan akar wangi telah diketahui di
Gambar 3. Akar vetiver bisa mencapai 5 meter (Sumber foto: vetiverindonesia.wordpress.com)
sampai 55º C. Akarnya mampu menembus lapisan keras hingga kedalaman 5 m. Dengan kemampuan tersebut, dapat bekerja sebagai paku tanah atau pasak yang hidup. Tanaman sangat praktis ditanam, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan. Pada tanaman dewasa memiliki tutupan tajuk daun yang sangat lebat hingga 100%, serta tinggi hingga 2 m.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
banyak Negara. Di Karibia, Fiji, India, Afrika, Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia dan Queensland contohnya, akar wangi telah banyak digunakan sebagai tanaman konservasi untuk menahan aliran permukaan, untuk stabilisasi lereng curam dan rehabilitasi lahan terdegradasi dan terganggu/rusak, serta pengendali erosi tanah. Saking ajaibnya rumput ini, di Thailand pernah diangkat sebagai tema seminar internasional dalam rangka ulang tahun penobatan raja Thailand ke‐50, pada tahun 1996. Dengan mengambil tema “Vetiver: a Miracle Grass”, Raja King Bhumibol Adulyadej menyatakan
28
Agung B. Supangat
CERITA DAS
bahwa penanaman rumput vetiver sebagai metode konservasi tanah dan air yang sangat praktis, efektif dan tidak mahal. Rumusan seminar juga menyimpulkan bahwa selain efektif dan low‐cost, vetiver juga mudah diterima petani sebagai tanaman pengendali limpasan permukaan, penurun erosi dan peningkat kelengasan tanah yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Di Indonesia, saat ini akar wangi masih lebih banyak diketahui sebagai tanaman penghasil akar bahan baku minyak atsiri dan kerajinan, dibandingkan sebagai tanaman konservasi. Salah satu sentra tanaman akar wangi sebagai bahan baku minyak akar wangi adalah kabupaten Garut, Jawa Barat. Pengusahaan akar wangi oleh masyarakat di Garut telah berjalan sejak lama, yaitu sejak zaman penjajahan Belanda, yang hasilnya di ekspor ke negeri Belanda. Sampai saat ini kebiasaan menanam akar wangi masih berlanjut dan tampaknya salah satu sumber penghasilan utama bagi masyarakat setempat.
Sumber foto: soloraya.com
Penanaman akar wangi ditujukan sebagai bahan baku minyak atsiri, maka tanaman akan dipanen akarnya.Kondisi ini dapat berdampak negatif terhadap kelestarian lahan karena dalam proses pengambilan akarnya dilakukan dengan cara dibongkar agar akar tidak rusak. Pada saat itu, bukannya pengendalian erosi yang terjadi, tetapi justru potensi erosi tanah yang cukup besar terjadi. Oleh karenanya, diperlukan kriteria teknis penanaman akar wangi sebagai tanaman budidaya, antara lain: Dilakukan pada lahan yang relatif datar (tidak potensial terjadi erosi); Cara pemanenan akar dilakukan dengan cara rotasi (tidak bersamaan secara hamparan) untuk mengurangi potensi erosi, dan sebisa mungkin dilakukan pada musim kemarau; Perlu aplikasi konservasi tanah secara memadai, seperti pembuatan teras, strip rumput yang tidak
Sumber foto: indonesiakaya.com
Sumber foto: akarwangigarut.com
Gambar4. Aneka kerajinan tangan dari bahan akar wangi dipanen, dan lain‐lain. Sebaliknya, ketika tanaman akar Sebagai bahan baku minyak atsiri, akar wangi wangi diperuntukkan sebagai tanaman konservasi tidak memilik aroma yang khas dan disukai banyak orang. boleh diambil akarnya untuk bahan kerajinan atau Bahkan, aroma wangi dari akar wangi dalam jangka minyak atsiri. waktu yang panjang masih terjaga aromanya. Hasil analisis yang dilakukan Ballitro (1991) terhadap contoh akar menunjukkan kandungan kadar minyak atsiri sebesar 2,8 persen, dengan kadar air akar mencapai 30 persen. Secara khusus senyawa‐senyawaan yang terdapat pada minyak akar wangi yaitu ; vetiverone, vetiverone, vetivenol, t trisiklovetivenol, vetivene, trisiklovetivene, vetiveril ester, asam benzoat dan asam palmitat. Produk kerajinan yang dapat dihasilkan dari akar wangi diantaranya: karpet, tas, tempat tisu serta berbagai handicraft lainnya dengan omset mencapai puluhan juta rupiah. Beberapa pusat kerajinan tangan dari akar wangi antara lain Garut, Solo, serta Gunung Kidul. Yang perlu menjadi perhatian adalah, ketika
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Penutup Demikian beragamnya fungsi dari tanaman akar wangi, menjadi suatu kewajaran jika disebut sebagai “tanaman ajaib”. Sudah semestinya negara Indonesia juga menjadikan tanaman ini sebagai tanaman unggulan. Apalagi didukung kondisi tanah Indonesia yang begitu subur namun rawan terjadi erosi jika kondisinya terbuka. Multifungsi tanaman akar wangi tersebut, di satu sisi dapat mendukung program pemerintah dalam pengendalian degradasi lahan melalui kegiatan konservasi tanah secara vegetatif, dan di sisi lain dapatmeningkatkan penghasilan masyarakat melalui pengembangan usaha kecil dan menengah berbagai kerajinan tangan.
29
Agung B. Supangat
CERITA DAS
Da ar Pustaka Badan Pusat Sta s k. 2014. Data sta s k kependudukan Indonesia tahun 2014. Badan Pusat Sta s k. 2014. Data sta s k lahan pertanian Indonesia tahun 2014. Donie, S. and Sudradjat. 1996. Ve ver grass as erosion and land produc vity control. Proceeding of Interna onal Conference of Ve ver: A Miracle Grass. Chiang Rai, Thailand: 4‐8 February 1996. Grimshaw, R.G. and Larisa Helfer. 1989. Ve ver grass for soil and water conserva on, land rehabilita on and embankment stabiliza on. World Bank Technical Paper Number 273. Washington DC. Hermawan, A. 1996. Status of ve ver grass in upland farming development in Indonesia. Proceeding of Interna onal Conference of Ve ver: A Miracle Grass. Chiang Rai, Thailand: 4‐8 February 1996. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Indonesia, Jilid I. Diterjemahkan oleh Badan Peneli an dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Keera , K., P. Kaewrahun, S. and Trelo ‐ges, V. 1996. The Effect of Ve ver, Ruzi and Verano Stylo on Water Runoff and Loss of Applied Nitrogen, Phosphorus and Potasium on Sandy Soil. Proceeding of Interna onal Conference of Ve ver: A Miracle Grass. Chiang Rai, Thailand: 4‐8 February 1996. Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Cimanuk. 1998. Laporan Tahunan BRLKT V Garut. Ditjen RRL. Departemen Kehutanan. Supangat, A.B., S. Donie, B. Harjadi dan N. A. Jariyah. 2002. Kajian Adaptasi Teknik Konservasi Tanah dan Air pada Budidaya Akar Wangi. Laporan Proyek Pengkajian dan Penerapan Hasil Peneli an Kehutanan BTP DAS Surakarta.
30
Agung Wahyu Nugroho
CERITA DAS
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DANGKAL DENGAN TEKNOLOGI AGROSILVOFISHERY Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl. Ahmad Yani ‐ Pabelan, Po.Box.295, Solo, Jawa Tengah.
Proses Pembentukan Gambut Pengertian tanah gambut sangat bervariasi, tergantung pada keperluannya. Noor (2010) mengartikan gambut sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau
hanya sebagian yang mengalami perombakan (decomposed). Gambut merupakan lapisan bahan organik mati yang mempunyai tebal sekurang‐kurangnya 40 cm, kebanyakan mempunyai tebal satu meter atau lebih, tidak teroksidasi karena berada di bawah air (Buringh, 1993).
Gambar 1. Proses pembentukan gambut: (a). Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, (b). Pembentukan gambut topogen, (c). Pembentukan gambut ombrogen (Van de Meene, 1984 dalam Noor, 2001)
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
31
Agung Wahyu Nugroho
CERITA DAS
Gambut terbentuk dari timbunan sisa‐sisa tumbuhan yang telah mati. Timbunan tersebut terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan mikroorganisme pengurai. Secara bertahap dengan waktu yang lama, timbunan tersebut menjadi lantai hutan gambut (Gambar 1a). Pada awal perkembangannya, akar tumbuh‐tumbuhan yang hidup di atas timbunan (gambut tipis) ini masih dapat mengambil hara mineral dari lapisan di bawahnya (substratum) dan sebagian berasal dari luapan air sungai. Hasil timbunan berupa bahan organik yang relatif kaya mineral (eutrofik) membentuk gambut topogen (Gambar 1b). Selanjutnya, begitu lapisan bahan organik bertambah tebal sehingga akar tumbuhan yang hidup di atasnya tidak dapat lagi mengambil hara dari lapisan mineral maka gambut yang terbentuk menjadi miskin hara. Lapisan gambut yang miskin hara (oligotrofik) tersebut disebut gambut ombrogen (Gambar 1 c) (Noor, 2001). Gambut dapat diklasifikasikan berdasarkan pada berbagai sudut pandang yang berbeda; ada yang berdasarkan tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: (1) gambut dangkal (50‐100 cm), (2) gambut sedang (100‐200 cm), (3) gambut dalam (200‐300 cm), dan (4) gambut sangat dalam (>300 cm) (Agus dan Subiksa, 2008). Kendala Pengelolaan Gambut Lahan gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, ekonomi dan sosial yang potensial untuk dikembangkan sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting system) (Suwondo et al., 2010). Namun demikian, saat ini kondisi hutan dan lahan gambut sebagian besar telah rusak, tidak produktif dan terlantar, sehingga mengganggu fungsinya. Salah satu penyebabnya adalah adanya konversi lahan gambut untuk pertanian yang kurang mempertimbangkan sifat inheren dan karakteristik rawa gambut. Karakteristik rawa gambut adalah lahan marjinal dan fragile dalam artian bahwa lahan ini mempunyai beberapa kendala biofisik yang sulit diatasi, sangat mudah terganggu/ rusak dan sangat sulit untuk dapat kembali lagi seperti kondisi awalnya (Najiyati et al., 2005). Produktivitas lahan gambut untuk pengembangan pertanian adalah sangat rendah dan pengelolaannya dihadapkan pada persoalan yang kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan tata air, misalnya, akan menimbulkan persoalan fisik, kimia maupun biologi. Kendala fisik adalah terjadinya proses kering tidak balik (irreversible drying) yang dapat membentuk debu ‐ debu gambut (pseudosand) dan
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
penurunan muka lahan gambut (subsidence). Selain itu, gambut mempunyai kesuburan tanah yang rendah serta terjadinya degradasi lignin pada lahan gambut menghasilkan asam‐asam organik beracun bagi tanaman terutama asam‐asam fenolat. Keadaan ini dicirikan dengan reaksi tanah gambut yang masam hingga sangat masam, ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, ketersediaan kation‐kation basa dan kejenuhan basa yang rendah, dan adanya lapisan pirit (FeS2) (Barchia, 2006). Ketika lahan gambut didrainase, maka ancaman yang dihadapi adalah terjadinya percepatan dekomposisi bahan gambut yang dapat menyebabkan subsidensi dan meningkatkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer (Widyati, 2011). Ekosistem rawa merupakan tempat pemendaman bahan organik. Estimasi jumlah bahan organik yang terpendam dalam rawa di Indonesia diperkirakan sebesar 60,5 milyar m 3 (Rosmarkam, 1988 dalam Barchia, 2006). Bahan‐bahan organik ini melalui proses biokimianya banyak menghasilkan asam‐asam organik beracun, terutama asam‐asam fenolat, gas metan (CH4), dan karbondioksida (CO2). Pelepasan dua bentuk karbon ini sangat menentukan efek rumah kaca yang dapat meningkatkan pemanasan global (global warming).
Pengelolaan Gambut Dangkal dengan Agrosilvofishery Memilih lahan gambut yang sesuai fungsinya, kemudian menatanya secara tepat merupakan kunci sukses dalam mengelola lahan gambut. Ada 2 (dua) fungsi ekosistem gambut, yaitu fungsi lindung dan fungsi budidaya (Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014). Lahan gambut pada kawasan budidaya mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai usaha budidaya pertanian. Namun demikian, pengelolaan lahan ini juga menghadapi kendala yang cukup banyak yang dapat menyebabkan produktivitasnya rendah. Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa usaha budidaya pertanian tidak dapat dilakukan pada semua lahan gambut yang ada. Ada beberapa penciri utama lahan gambut yang tidak sesuai secara permanen (permanently unsuitable) untuk dikembangkan sebagai usaha budidaya pertanian, antara lain adalah: (1) ketebalan gambut >150 cm, (2) gambut teronggok di atas tanah pasir, dan (3) adanya lapisan pirit (FeS2) (Barchia, 2006). Oleh karena itu, dengan mengetahui karakter lahan gambut, maka dapat ditentukan cara pengelolaan yang bijak dan tepat, sehingga usaha tani yang dikembangkan dapat menguntungkan tanpa membahayakan lingkungan. Najiyati et al. (2005) mengemukakan bahwa pemanfaatan lahan gambut di kawasan budidaya harus
32
Agung Wahyu Nugroho
CERITA DAS
disesuaikan dengan tipologinya, misalnya: (a) lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, gambut dangkal dapat ditata menjadi lahan sawah atau untuk sistem usahatani padi sawah, (b) gambut dengan kedalaman 75‐150 cm dapat dimanfaatkan untuk usahatani hortikultura semusim, padi gogo, palawija, dan tanaman tahunan, (c) gambut dengan kedalaman 150‐ 250 cm dapat ditata untuk usahatani tanaman perkebunan, seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit, dan (d) gambut dengan kedalaman lebih dari 250 cm dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman kehutanan, seperti sengon, sungkai, jelutung, meranti, pulai, dan ramin. Sementara itu, Suriadikarta dan Sutriadi (2007) menyebutkan bahwa jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian adalah lahan potensial, lahan sulfat masam potensial, lahan gambut dangkal, dan lahan gambut sedang. Lahan potensial adalah lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit, atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman >50 cm. Lahan dengan ketebalan/ kedalaman tanah gambut <50 cm disebut sebagai lahan bergambut. Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya <50 cm disebut sebagai lahan alluvial bersulfida dangkal. Sedangkan gambut dangkal adalah lahan rawa dengan ketebalan tanah gambut 50‐100 cm dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Selanjutnya, Najiyati et al. (2005) memberikan beberapa petunjuk untuk melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan gambut yang produktif, yaitu: 1. Melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan hanya di kawasan budidaya dan bukan di kawasan lindung, karena selain melanggar hukum juga akan mempengaruhi fungsi dari ekosistem tersebut. 2. Jangan melakukan budidaya di lahan gambut pada kedalaman gambut lebih dari 3 meter. 3. Tidak melakukan budidaya di kawasan gambut yang membentang di atas lapisan pasir dan lapisan yang
mengandung pirit, walaupun pirit bisa dicuci dengan irigasi, dampaknya akan tetap dirasakan organisme di bagian hilir. 4. Melakukan pengaturan air yang baik. 5. Mencegah pemakaian teknik bakar dan segala potensi yang memperbesar resiko kebakaran. 6. Memilih varietas tanaman sesuai dengan kondisi tanah setempat yang telah diuji terlebih dahulu secara cermat. 7. Mengetahui karakteristik gambut di lokasi, terutama mengenai kematangan dan tingkat kesuburannya. 8. Menggunakan amelioran untuk memperbaiki sifat fisik dan kesuburan gambut, misalnya dengan pupuk kandang, kompos, kapur, tanah mineral, lumpur dan abu. Agrosilvofishery merupakan teknologi alternatif pemanfaatan lahan gambut dangkal (tebal gambut <100 cm) yang memadukan antara sumberdaya pertanian, kehutanan, dan perikanan dalam satu hamparan lahan. Bastoni (2006) memaparkan bahwa tahapan‐tahapan pembuatan agrosilvofishery terdiri dari: (1) identifikasi karakteristik lahan, meliputi: identifikasi jenis vegetasi, pengukuran tinggi dan durasi genangan air pada puncak musim hujan dan akhir musim kemarau, pengukuran ketebalan gambut, pengukuran kedalaman lapisan pirit (FeS2), (2) pembuatan desain, (3) pembuatan kolam dan pematang, (4) penetralan pH tanah dan air, dan (5) budidaya ikan, pertanian dan kehutanan. Lebih lanjut Bastoni (2006) menyebutkan bahwa unsur utama dalam pembuatan desain ini adalah: (1) kolam untuk budidaya ikan dan (2) pematang untuk budidaya pertanian dan kehutanan. Pembuatan pematang tidak perlu mendatangkan tanah timbunan, tetapi cukup dari tanah hasil galian kolam, sehingga teknologi ini sangat ramah lingkungan. Dalam hal ini, pematang harus dibuat lebih tinggi (minimal 0,5 meter) dari tinggi genangan air pada puncak musim hujan (Gambar 2).
Gambar 2. Desain agrosilvofishery semi intensif pada lahan gambut seluas 2 hektar (Bastoni, 2006)
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
33
Agung Wahyu Nugroho
CERITA DAS
Komoditas pertanian yang dapat dikembangkan pada lahan gambut dengan teknologi agrosilvofishery adalah padi sawah, kelapa, dan sayuran (misalnya: cabai, tomat, bawang merah, sawi, kangkung dan bayam). Zahrah (2010) mengungkapkan bahwa penanaman varietas padi sawah (PB‐42, IR‐64, Ciherang, Cisantana) pada lahan gambut dapat menghasilkan jumlah serapan hara dan produksi padi yang cukup tinggi apabila diberikan amelioran (Cu2+, Zn2+, Fe3+). Sementara itu, pengembangan kelapa di lahan gambut pasang surut secara tumpangsari dengan tanaman semusim dapat menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering (Abdurachman dan Mulyani, 2003). Namun demikian, usaha ini memerlukan investasi yang cukup besar. Untuk tanaman sayuran, tanaman cabai varietas Prabu dan tomat varietas Ratna dan Mirah memiliki potensi untuk dikembangkan dilahan gambut dangkal jika kemasaman tanah dan ketersediaan unsur hara K, Ca, dan Mg diperbaiki melalui pemberian kapur dolomit, pupuk kandang, pupuk Urea, SP36, dan KCl (Alwi dan Hairani, 2007). Sebagaimana halnya kelapa, Purbiati (2012) menjelaskan bahwa hasil bawang merah (varietas Sumenep, Moujung, dan Bali Karet) yang ditanam di lahan gambut juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang diusahakan di lahan kering, yaitu berkisar antara 11‐12 t/ha umbi kering. Untuk komoditas kehutanan, jenis tanaman yang dikembangkan adalah tanaman hutan yang bernilai ekonomi tinggi, memiliki hasil ganda (kayu dan non kayu), dan merupakan penciri lahan gambut, seperti jelutung (Dyera lowii), punak (Tetramerista glabra), geronggang (Cratoxylum glaucum), pulai (Alstonia pnematophora), meranti (Shorea sp.), dan perepat (Combretocarpus rotundatus) (Daryono, 2006). Sedangkan jenis ikan yang dapat dibudidayakan adalah ikan‐ikan lokal perairan gambut. Pada umumnya ikan lokal tersebut didominasi oleh jenis ikan yang mampu mengambil/bernafas menggunakan oksigen dari udara (air breathing), seperti i ka n b e t o k / p a p u y u ( A n a b a s t e s t u d i n e u s ) , tambakan/biawan (Helostoma temminckii), sepat siam (Trichogaster pectolaris), gurame/kalui (Osphronemus gouramy), gabus/haruan (Channa striata), dan toman (Channa micropeltes) (Huwoyon dan Gustiano, 2013). Penutup Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup telah mendorong dibukanya lahan‐ lahan baru dan usaha‐usaha untuk meningkatkan hasil/pendapatan. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Kegiatan pertanian dan perkebunan dilahan gambut masih memungkinkan
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
untuk dikembangkan dengan memperhatikan peraturan yang berlaku, direncanakan dengan matang, dan dengan menerapkan kaidah‐kaidah konser vasi serta pemanfaatan teknologi yang tepat. Teknologi agrosilvofishery memberi pilihan pengelolaan lahan gambut berbasis masyarakat yang lebih terpadu dan lebih ramah lingkungan. Teknologi agrosilvofishery yang ditawarkan diharapkan akan menjadi pilihan untuk perbaikan pola pemanfaatan lahan gambut yang telah dipraktikkan oleh masyarakat.
Daftar Pustaka Abdurachman, A. dan A. Mulyani, 2003. Pemanfaatan lahan berpotensi untuk pengembangan produksi kelapa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 22(1): 24‐32. Agus, F. dan I.G.M. Subiksa, 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor. Alwi, M. dan A. Hairani, 2007. Karakteristik kimia lahan gambut dangkal dan potensinya untuk pertanaman cabai dan tomat. Buletin Agronomi, 35(1): 36‐43. Barchia, M.F., 2006. Gambut: Agroekosistem dan transformasi karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bastoni, 2006. Pemanfaatan lahan rawa terpadu dengan pola agrosilvofishery. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang. pp. 112‐ 124. Buringh, P., 1993. Pengantar pengajian tanah‐tanah wilayah tropika dan subtropika. D i t e r j e m a h k a n o l e h Te j o y u w o n o Notohadiprawiro. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Daryono, H., 2006. Pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dalam rangka menjaga ke l e s t a r i a n n y a . P r o s i d i n g S e m i n a r Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang. pp. 46‐66. Hardjowigeno, S., 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. pp. 86‐94. Huwoyon, G.H. dan R. Gustiano, 2013. Peningkatan produktivitas budidaya ikan di lahan gambut. Media Akuakultur, 8(1): 13‐21. Najiyati, S., L. Muslihat dan I.N.N. Suryadiputra, 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan.
34
Agung Wahyu Nugroho
CERITA DAS
Proyek Climate Change, Forests and peatlands in Indonesia. Wetlands international‐Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Noor, M.,2001 Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Noor, M., 2010. Lahan gambut: pengembangan, konservasi dan perubahan iklim. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tanggal 15 September 2014. Purbiati, T., 2012. Potensi pengembangan bawang merah di lahan gambut. Jurnal penelitian dan pengembangan pertanian, 31(3): 113‐118. Rosmarkam, A. 1988. Klasifikasi tanah. Fakultas Pertanian,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Suriadikarta, D.A dan M.T. Sutriadi, 2007. Jenis‐jenis lahan berpotensi untuk pengembangan pertanian d i l a h a n ra w a . J u r n a l Pe n e l i t i a n d a n Pengembangan Pertanian, 26(3): 115‐122. Suwondo,S. Sabiham, Sumardjo dan B. Paramudya, 2010. Analisis lingkungan biofisik lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Hidrolitan,1(3): 20‐28. Van de Meene, E.A.,1984. Geological aspects of peat formation in the indonesia‐Malaysian Lowlands. Bulletin of the Geological Research and Development Centre, 9:20‐31. Widyati, E.,2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman, 4(2):57‐68. Zahrah, S., 2010. Serapan hara N, P, K dan hasil berbagai varietas tanaman padi sawah dengan pemberian amelioran ion Cu, Zn, Fe pada tanah gambut. Jurnal Natur Indonesia, 12(2): 102‐108.
35
KILAS Kegiatan Penanaman oleh Gubernur Jawa Tengah yang dihadiri juga oleh Kepala Balitek DAS Solo Untuk memeriahkan Hari Hutan Internasional 2016, yang jatuh pada Hari Senin (21/03), Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS) Solo menyumbang bibit pohon jenis langka sebanyak 66 buah dalam kegiatan penanaman oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, SH dan diikuti peserta dari berbagai dinas/instansi yang membawahi bidang pertanian dan kehutanan lingkup provinsi Jawa Tengah serta UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jawa Tengah dan DIY. Acara tersebut dilaksanakan di Telaga Merdada yang terletak di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Adapun jumlah bibit yang ditanam sebanyak 26.066 buah, yang terdiri dari 10.000 bibit
Gb. 1. Gubernur Jawa Tengah melakukan penanaman bibit pohon jirek (symplocos fasciculate)
Gb. 3. Tanaman bibit pohon jirek (syplocos fasciculate)
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
terong dieng, 2.000 bibit puspa, 2.000 bibit ekaliptus, 2.000 bibit bambu, 8.500 bibit kopi arabica, 1.500 bibi cemethi dan 66 bibit pohon langka sumbangan dari Balitek DAS Solo. Bibit tersebut merupakan hasil eksplorasi Balitek DAS di Kawasan Dieng dan Kebun Raya Cibodas. Adapun jenis tanaman tersebut adalah walik putih (Acer laurinum Hassk), Malela (Podocarpus neriifolitus D. Don), Sowo/Mersawa/Mesawa (Engelhardia sp), Waru gringging (Vaccanicum laur ifolium Miq.), Waru ireng (Rapanea hasselti (Blum ex Scheff) Mez Syn Myrsine hasselti Blume ex Scheff), Jirek (Symplocos fasciculata (Kuntze) Zoll), Lotrok (Wendlandia dasythyrsa Miq), Aroh/Cemara gunung/Melur (Dacrycarpus imbricatus) dan Medang (Cryptocarya ferrea).
Gb. 2. pemberian ajir pada tanaman bibit pohon jirek (symplocos fasciculate)
Gb. 4. Kepala Balitek DAS melakukan penanaman bibit cemara gunung (dacrycarpus imbricatus)
36
KILAS
Gb. 7 Penaburan benih ikan di Telaga Merdada
Gb. 8 Gubernur Jateng beramah tamah dengan masyarakat sekitar
Konferensi Pers Banjir dan Longsor Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS) Solo mengadakan konferensi pers “Temu Media: Ekspose Hasil Penelitian tentang Banjir dan Longsor” pada tanggal 19 Januri 2016 bertempat di ruang Rapat I Balitek DAS. Konferensi pers ini diadakan untuk mengekspose hasil-hasil penelitian Balitek DAS mengenai banjir Bengawan Solo dan longsor di Provinsi Jawa Tengah. Dalam konferensi pers tersebut, Ir Syahrul Donie, M.Si, ketua tim penelitian tentang longsor menyebutkan Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah paling rawan terjadi longsor di Indonesia. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh BNPB tahun 2014, sedikitnya ada 327 titik potensi longsor yang tersebar di 27 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Selain itu, BNPB juga menyatakan banyaknya kejadian longsor di Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 194 kejadian pada rentang waktu tahun 2011 sampai dengan 2015 (BNPB, 2015). Terkait itu, tim peneliti longsor Balitek DAS menemukan bahwa faktor penyebab utama dari kejadian tanah longsor di enam kabupaten tersebut adalah kemiringan lereng dan bentuk lerengnya, kemudian adanya patahan (geologi), regolit tanah dalam, dan tekstur tanah. Hal ini dipicu oleh kondisi curah hujan yang tinggi (> 200 mm/ 3 hari kumulatif berturut-turut) Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
dan perilaku masyarakat, seperti melakukan pemotongan lereng, menambah beban lereng dan kurang memelihara saluran/ drainase dengan baik. Upaya penanganan longsor yang paling bijak yang dilakukan oleh tim peneliti longsor Balitek DAS adalah dengan hidup secara harmoni dengan bencana. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara edukasi mengenal tanda-tanda longsor, melakukan pengamanan secara vegetatif, serta mengaktifkan lembaga tanggap bencana longsor. Hasil penelitian lainnya yang diekspose pada konferensi pers tersebut adalah penelitian mengenai banjir di DAS Bengawan Solo. Melalui konferansi pers ini, tim peneliti banjir Balitek DAS sekaligus ingin mengedukasi mengenai istilah-istilah banjir yang selama ini dipahami oleh masyarakat. Menurut Dr. Ir. Endang Savitri, M.Sc, ketua tim penelitian mengenai banjir, masyarakat maupun media sering keliru dalam penyebutan banjir genangan dan banjir bandang. "Banjir genangan adalah banjir yang disebabkan oleh besarnya volume air sungai yang melebihi daya tampung sungainya sehingga meluap ke luar badan sungai. Banjir ini sifat alirannya lambat, dan cenderung menjadi genangan setelah keluar dari badan sungai. Kecepatan surutnya air banjir ini juga relatif lambat.
37
KILAS Sifat-sifat ini yang membedakan dengan kejadian banjir bandang yang memiliki sifat sebaliknya, aliran yang sangat cepat datang dan perginya. Banjir bandang terjadi karena aliran yang terbendung jebol, terjadi di wilayah hulu DAS dengan topografi berlereng, dan alirannya membawa debris (bahan rombakan seperti batu, lumpur dan kayu-kayuan)," kata Endang menjelaskan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tim peneliti banjir Balitek DAS menemukan bahwa banjir di Bengawan Solo terjadi salah satunya karena kurang berfungsinya wilayah resapan (recharge area) terutama di hulu DAS, yang juga merupakan wilayah pemasok air banjir. Selain curah hujan tinggi yang sifatnya alami, penurunan fungsi wilayah resapan juga disebabkan oleh keberadaan lahan hutan (tanaman keras) yang kurang dari segi kecukupan luasnya maupun penyebarannya, sehingga kurang mampu mengendalikan banjir. Berdasarkan hasil analisis, saat ini luas tutupan hutan di DAS Bengawan Solo hanya sekitar 24%, angka yang sangat kecil untuk bisa menjaga fungsi hidrologis DAS. Kondisi tersebut diperparah dengan distribusi tutupan hutan yang lebih banyak tersebar di daerah hilir (Ngawi ke hilir), dimana daerah tersebut merupakan daerah yang letaknya di dataran yang sering
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
kebanjiran, dan bukan di wilayah hulu DAS (wilayah resapan). Solusi yang bisa dilakukan untuk menanggulangi banjir menurut tim peneliti banjir Balitek DAS adalah dengan memperbaiki tutupan lahan di hulu-hulu DAS/Sub DAS dengan cara mengintroduksi pola agroforestri karena memiliki fungsi ekonomis sekaligus fungsi ekologis. Penanganan banjir dengan merubah pola penutupan lahan tegal menjadi agroforestri merupakan penanganan jangka panjang dan lebih efektif karena menangani pada sumber pasokan air banjir atau area resapan. Penanganan jangka pendek dengan mengeruk sungai atau membuat tanggul tidak akan efektif jika masalah utama di daerah hulu tidak ditangani secara terpadu. Jadi, penanganan banjir DAS Bengawan Solo harus dilakukan secara simultan dari hulu sampai hilir. Anggota tim penelitian mengenai banjir adalah Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc, Drs Rahardyan Nugroho Adi,M.Sc, Dr Agung Budi Supangat, S.Hut, M.T, Faiqotul Falah, S.Hut, M.Si, dan Ir Dewi Retna Indrawati, M.P. Sedangkan anggota tim penelitian tentang longsor adalah Nur Ainun Jariyah, S.Hut, M.Sc, Ir Purwanto, M.Si, Pranatasari Dyah Susanti, S.P, M.S, dan Ir Beny Harjadi, M.Sc.
38
KILAS Alih Teknologi Dalam Rangka Mendukung Monev Kinerja DAS Kepala Balai Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (Balitek DAS), Dr. Nur Sumedi, S.Pi, MP mengharapkan kepada para peserta Alih Teknologi (AT) agar dapat memanfaatkan sebaik-baiknya transfer ilmu dan teknologi yang diberikan oleh para peneliti Balitek DAS, sehingga ilmu yang didapat bisa diaplikasikan dengan baik di lokasi kerja masing-masing. Hal tersebut disampaikan Nur Sumedi dalam sambutannya pada kegiatan Alih Teknologi Dalam Rangka Mendukung Monev Kinerja DAS pada tanggal 30 November- 1 Desember 2015 di Syariah Hotel, Solo. Sementara itu, sebagai nara sumber Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc., menyampaikan tentang dasar monitoring dan evaluasi kinerja daerah aliran sungai yang mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 61/Menhut-II/2014. Terdapat 3 aspek yang disampaikan dalam Alih
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
Teknologi kali ini, yaitu: aspek sosial dan ekonomi, aspek hidrologi, dan aspek lahan. Pada materi sosial dan ekonomi disampaikan oleh Ir. Purwanto, M.Si dan Ir. C. Yudilastiantoro, MP., materi hidrologi disampaikan oleh Dr. Agung Budi Supangat, S.Hut, MT dan Drs. Rahardyan Nugroho Adi, M.Sc., dan materi lahan disampaikan oleh Ir. Beny Harjadi, M.Sc.Alih Teknologi ini difokuskan bagi para penyuluh, dan PEH yang berkecimpung dalam pengelolaan DAS. Institusi yang mengirimkan peserta diantaranya BPDAS dan HL baik di Jawa maupun luar Jawa, diantaranya: BPDAS dan HL Solo, BPDAS dan HL Brantas, BPDAS dan HL Pemali Jratun, BPDAS dan HL Bone Bolango, BPDAS dan HL Dodokan Moyosari Mataram, BPDAS dan HL Kahayan,BPDAS dan HL Pematang Siantar, BPDAS dan HL Unda Anyar, BPDAS dan HL Wampu Sei Ular, BPDAS dan HL Batanghari, BPDAS dan HL Musi dan BPDAS dan HL Agam Kuantan.
39
KILAS Family Gahering Balitek DAS, Memelihara Indahnya Kekeluargaan Untuk menjalin keakraban keluarga besar Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (Balitek DAS), maka Balitek DAS melaksanakan acara Family Gathering dengan tema “Memelihara Indahnya Kekeluargaan di Area Outbond Wisata Kopeng Kabupaten Salatiga, pada hari Minggu (28/02).Acara yang dihadiri oleh 123 peserta, terdiri dari karyawan/karyawati Balitek DAS beserta anggota keluarganya masing-masing yang dipandu langsung oleh Pranatasari Dyah Susanti. Dr. Nur Sumedi, Kepala Balitek DAS berharap adanya acara tersebut maka karyawan/karyawati Balitek DAS bisa saling mengenal antar anggota keluarga karyawan/karyawati merupakan hal yang perlu untuk lebih mendekatkan hubungan
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
antar karyawan dan karyawati.“Diharapkan Family Gathering yang dilaksanakan menjelang awal pelaksanaan kegiatan ini bisa menjadi pemacu semangat untuk terus berkarya sekaligus memperat tali silaturahmi diantara karyawan/karyawati bersama anggota keluarga,”kata Sumedi. Fasilitas yang disediakan oleh tempat wisata kopeng tersebut antara lain: permainan outbond, flying fox, pinball, waterboom, ATV serta mengelilingi area wisata dengan naik kuda dan wisata kuliner. Dan tidak ketingggalan menikmati hawa udara sejuk kawasan wisata Kopeng. Acara Family Gathering diakhiri tepat pukul 14.00 WIB dengan ditutup pesan dan kesan.
40
Sumber : Agung Wahyu Nugroho
LENSA
Pengelolaan tanah pada lahan berbatu
Sungaiku bersih hidupku sehat_ Sungai Gajah Wong GL Zoo
Majalah Cerdas Vol. 2 No. 1
41
Kanal SBA 13
Balai Peneli an dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. Jend. A. Yani ‐ Pabelan, Kartasura PO BOX 295 Surakarta 57102 Email :
[email protected] Website : h p://balitekdas.org Facebook.com/cerdas balitekdas.