BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Air merupakan materi esensial di dalam kehidupan. Keperluan seharihari terhadap air, berbeda untuk tiap tempat dan untuk tiap tingkatan kehidupan. Yang jelas, semakin tinggi taraf kehidupan, semakin meningkat jumlah keperluan akan air. Sejalan dengan kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan, maka jumlah penyediaan air selalu meningkat untuk setiap saat. Akibatnya kegiatan untuk pengadaan sumber-sumber air baru, setiap saat terus dilakukan antara lain dengan: a. Mencari sumber-sumber air baru, baik berbentuk air tanah, air sungai, air danau. b. Mengolah dan menawarkan air laut. c. Mengolah dan menyehatkan kembali sumber air kotor yang telah tercemar seperti air sungai, air danau. Masalah pelik yang harus dihadapi dalam masalah mengolah air adalah karena semakin meningkat dan tingginya pencemaran yang memasuki badan air. Pencemaran tersebut dapat berasal dari : 1. Sumber domestik, yang terdiri dari rumah tangga. 2. Sumber non-domestik, yang terdiri dari kegiatan pabrik, industri, pertanian. Air tawar bersih yang layak minum, kian langka di perkotaan. Sungaisungai yang menjadi sumbernya sudah tercemar berbagai macam limbah, mulai dari buangan sampah organik, rumah tangga hingga limbah beracun dari industri.
Air tanah sudah tidak aman dijadikan bahan air minum karena telah terkontaminasi rembesan dari tangki septic maupun air permukaan. Itulah salah satu alasan mengapa air minum dalam kemasan (AMDK) yang disebut-sebut menggunakan air pegunungan banyak dikonsumsi. Namun, harga AMDK dari berbagai merek yang terus meningkat membuat konsumen mencari alternatif baru yang murah. Sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakat terhadap air minum yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi serta diiringi dengan perkembangan pasar bebas dan persaingan di dunia usaha, maka banyak para pelaku usaha yang mendirikan depot-depot air minum isi ulang. Air minum yang bisa diperoleh di depot-depot itu harganya bisa sepertiga dari produk air minum dalam kemasan yang bermerek. Karena itu banyak rumah tangga beralih pada layanan ini. Hal inilah yang menyebabkan depot-depot air minum isi ulang bermunculan. Meski lebih murah, tidak semua depot air minum isi ulang terjamin keamanan produknya. Kecenderungan penggunaan air isi ulang oleh masyarakat di perkotaan semakin meningkat. Buruknya kondisi lingkungan membuat mereka khawatir untuk mengonsumsi air tanah, bahkan air leding yang disediakan pemerintah. Sayangnya, tidak semua air minum isi ulang dikelola dengan baik sesuai persyaratan. 1 Industri air minum isi ulang telah meluas hingga ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembahasan dibatasi pada daerah Desa Catur Tunggal, karena di 1
Mencari Air Minum yang Murah dan Aman, terdapat dalam, http://www.kcm.co.id/, 21 Agustus 2008, 09.32.
Desa ini sebagian besar Depot air minum isi ulang di Yogyakarta berada. Kualitas air minum isi ulang mulai dipertanyakan setelah Badan POM melakukan pemeriksaan terhadap beberapa depot air minum isi ulang di 5 kota besar. Hasil pemeriksaan tersebut ditemukan kandungan bakteri Colliform pada air hasil produksi depot air minum isi ulang tersebut. Bakteri Colliform yang terdapat dalam air minum isi ulang tidak menimbulkan reaksi dalam waktu yang singkat. Namun dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan sejumlah penyakit, seperti diare. Terdapatnya kandungan bakteri Colliform dalam air minum isi ulang disebabkan oleh faktor tidak sempurnanya higienitas produksi air minum isi ulang. Konsumen dalam berbagai kondisi sering kali ditempatkan pada posisi yang paling lemah, bila dibandingkan dengan produsen. Hal tersebut menyebabkan hukum perlindungan konsumen dianggap penting keberadaanya, di samping disebabkan faktor-faktor lain seperti semakin beragamnya jumlah produk yang beredar di pasar. Indonesia pun sudah memiliki payung hukum yang menjamin perlindungan hukum bagi konsumen, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun undang-undang ini pun belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, khususnya konsumen air minum isi ulang. Untuk melindungi konsumen air minum isi ulang, pemerintah mengeluarkan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
705/MPP/Kep/II/2003 tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum dalam Kemasan dan Perdagangannya. Berdasarkan Keputusan Menperindag tersebut,
industri air minum isi ulang disamakan dengan industri air minum dalam kemasan (AMDK). Sebagai konsekuensinya, seluruh ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Menperindag No. 705/MPP/Kep/II/2003 juga berlaku bagi industri air minum isi ulang. Salah satu ketentuan yang harus dipatuhi oleh pengusaha air minum isi ulang adalah ketentuan tentang perizinan. Bagi usaha yang bergerak dalam bidang air minum isi ulang, berdasarkan Kep. Menperindag No. 705/MPP/Kep/II/2003, harus memiliki nomor MD dan SNI untuk memperoleh izin usaha. SNI adalah Standar Nasional Indonesia, yang berkaitan dengan kualitas suatu produk. SNI ditetapkan oleh Badan Pengawas obat dan Makanan, setelah melalui serangkaian tes laboratorium. Sedangkan nomor MD adalah nomor registrasi produk makanan dan minuman dalam negeri. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, menerangkan bahwa air yang dikonsumsi oleh masyarakat harus diperiksa terlebih dahulu dengan melakukan sampel air minum untuk diperiksa di tempat atau di lapangan dan/atau dapat di laboratorium. Sesuai standar, air minum (air yang bisa dikonsumsi langsung) harus memenuhi syarat fisik, kimia, dan mikrobiologi. Syarat fisik meliputi, air tidak boleh berasa, berwarna ataupun berbau. Sedangkan syarat kimia mengharuskan air bebas dari kandungan bahan kimia berbahaya. Air juga tidak boleh mengandung bakteri patogen (penyebab penyakit).2
2
Ibid.
Air minum isi ulang yang didistribusikan ke masyarakat harus didaftarkan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan, sedangkan pengawasan mutu air dilakukan Dinas Kesehatan. Pengawasan kualitas air minum dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota secara berkala sekurangkurangnya setiap tiga bulan. Dengan diberikannya izin dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan mempermudah bagi Dinas Kesehatan untuk melakukan uji atau sampel terhadap air minum pada depot air minum isi ulang. Pengawasan kualitas air minum yang dilakukan secara berkala dimaksudkan agar air yang diminum konsumen tidak tercemar dan mengganggu serta merugikan kesehatan yang nantinya berakibat pada tubuh yang terserang penyakit. Akan tetapi hal ini kurang disadari oleh pelaku usaha air minum isi ulang untuk diperiksa ataupun diuji kesehatan air minum tersebut. Keadaan seperti inilah yang dapat menjadikan air minum yang diproduksi tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini terbukti dengan adanya bahan-bahan tambahan ataupun bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan, baik takaran yang berlebihan ataupun yang kurang. Meskipun
pemerintah
sudah
mengeluarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan No. 907/MenKes/SK/VII/2002, masih banyak depo air minum isi ulang yang belum memenuhi standar kesehatan yang ditentukan Dinas Kesehatan tersebut. Oleh karena itu, dampak dari air minum isi ulang tersebut menyebabkan keluhan-keluhan dan berbagai penyakit di masyarakat. Pasal 8 ayat (1) butir a Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan pasal tersebut di atas maka para pelaku usaha yang ingin memproduksi
dan/atau
memperdagangkan
barang
dan/atau
jasa
yang
dihasilkannya harus memenuhi standar yang telah ditentukan oleh Undangundang. Ditinjau dari segi hukum perdata, hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam arti luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang merupakan suatu perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Menurut Subekti, perikatan adalah pelaku usaha dan konsumen dalam pengertian penjual dan pembeli melakukan perjanjian jual beli untuk memenuhi kebutuhan. 3 Pasal 1457 KUH Perdata menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Sedangkan pasal 1458 menyatakan bahwa jual beli telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
3
Subekti, Hukum Perjanjian, ctk. Kesembilanbelas, PT Intermasa, Jakarta, 2002, hlm. 1.
Apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melakukan prestasinya maka dapat dikatakan bahwa penjual dalam keadaan wanprestasi. Konsumen yang mengalami kerugian dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penjual/ produsen/ pelaku usaha. Konsumen menuntut ganti rugi kepada penjual berdasarkan wanprestasi karena ada perikatan yang timbul dari suatu perjanjian. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan kepada pelaku karena ada perikatan yang timbul dari undang-undang berdasarkan perbuatan melawan hukum. Sebenarnya ada hubungan interdepensi antara konsumen dan pelaku usaha. Dari sisi bisnis, pelaku usaha harus mengakui bahwa konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan bisnisnya. Di sisi lain konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya senantiasa bergantung pada keberadaan barang dan/atau jasa yang ada di pasaran sebagai suatu out put dari kegiatan pelaku usaha. Oleh karena itu, produsen selaku pelaku usaha yang kegiatannya memperdagangkan air minum isi ulang harus memperhatikan ketentuan mengenai keamanan minuman itu sendiri yang harus memenuhi syarat-syarat dan pengawasan air minum yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Faktor keamanan dan tidak merugikan kesehatan merupakan hak konsumen yang sangat penting. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap air minum isi ulang. Mengingat pentingnya elemen-elemen perlindungan hukum, peneliti merasa perlu melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Mengkonsumsi Air Minum Isi Ulang Di Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen air minum isi ulang di wilayah Desa Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta? 2. Bagaimana upaya penyelesaian hukum yang dapat dilakukan konsumen apabila air minum isi ulang yang dikonsumsi tidak sesuai dengan standar kesehatan air minum?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen air minum isi ulang di wilayah Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila air minum isi ulang yang dikonsumsi tidak sesuai dengan standar kesehatan air minum.
D. Tinjauan Pustaka Air merupakan kebutuhan pokok manusia. Manusia dapat melakukan kegiatannya sehari-hari dengan adanya air. Air yang bersih merupakan air yang dicari oleh manusia. Untuk mendapatkan air tersebut, manusia melakukan
transaksi jual beli dengan pelaku usaha atau produsen. Dengan adanya jual beli ini, maka menimbulkan perikatan antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini keterikatan antara kedua belah pihak cukup penting dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Dalam pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan lahir karena perjanjian atau karena undang-undang. Menurut subekti, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.4 Apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melakukan prestasinya maka dapat dikatakan bahwa penjual dalam keadaan wanprestasi. Konsumen yang mengalami kerugian dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penjual/produsen/pelaku usaha. Konsumen menuntut ganti rugi kepada penjual berdasarkan wanprestasi karena ada perikatan yang timbul dari suatu perjajian. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan kepada pelaku usaha karena ada perikatan yang timbul dari undang-undang berdasarkan perbuatan melawan hukum. Menurut R. Setiawan, ada 3 bentuk wanprestasi, yaitu:5 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2. Terlambat memenuhi prestasi; dan 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik. Sehubungan dengan adanya wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi berkewajiban mengganti kerugian yang timbul akibat wanprestasi. Menurut 4 5
hlm. 18.
Ibid. R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, ctk. Keenam, Bina Cipta, Bandung, 1999,
ketentuan pasal 1243 KUH Perdata menyatakan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannnya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah: 1. anak yang belum dewasa, 2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan, 3. perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.6 Dari beberapa pengertian tersebut maka penulis mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri dengan adanya kata sepakat.
6
Subekti, loc.cit.
Jual beli adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan (Pasal 1457 KUH Perdata). Perjanjian jual beli sifatnya konsensuil, yaitu terjadi sejak ada kata sepakat mengenai barang dan harga. Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, itu berarti secara terang-terang maupun diam-diam, produsen/penjual sepakat dengan konsumen, bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Pengertian yang diberikan oleh pasal 1457 KUH Perdata, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu sebagai berikut: 1. Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang akan dijual kepada pembeli. 2. Kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang akan dibeli kepada penjual. Pada dasarnya, kewajiban penjual menurut pasal 1473 dan pasal 1474 KUH Perdata terdiri atas dua: 1. kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli; 2. kewajiban penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring); bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik berupa tuntutan maupun pembebasan.
Sedangkan kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan dalam persetujuan (Pasal 1513 KUH Perdata) Risiko merupakan kewajiban menanggung kerugian karena suatu peristiwa tertentu di luar kemampuan para pihak. Risiko dalam perjanjian jual beli secara khusus adalah sebagai berikut: 1. Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya (Pasal 1460 KUH Perdata). 2. Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1461 KUH Perdata). 3. Jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1462 KUH Perdata). Pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan-bahan apa suatu produk dibuat, bagaimana proses pembuatannya, serta stategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka lebih-lebih lagi diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi
menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan. 7 Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian diterapkan dengan sepenuhnya dalam hubungan hukum antara konsumen berada pada posisi yang tidak seimbang dari sisi ekonomi, pendidikan dan daya saing dibandingkan dengan kalangan pengusaha. Oleh karena itu, perlu kiranya asas kebebasan berkontrak diadakan pembatasan. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk melindungi konsumen dari kerugian yang dideritanya. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berbagai pihak berkaitan dengan produk konsumen menunjukkan bahwa pihak-pihak dalam suatu hubungan hukum dan/atau masalah konsumen dapat terjadi tidak saja antara konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat produk konsumen dan pelaku usaha penyedia produk konsumen tersebut, tetapi dapat juga dengan pihak pemerintah. Jadi tegasnya para pihak yang terkait dalam perlindungan konsumen itu terdiri dari Pelaku Usaha-Pemerintah-Konsumen. Ketiganya saling terkait satu sama lainnya.8 Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu dilaksanakan upaya kesehatan termasuk pengawasan kualitas air minum yang 7
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm.31 8 Ibid.hlm 38
dikonsumsi oleh masyarakat. Air minum menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MenKes/SK/VII/2002 adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Dengan adanya kasus mengenai air minum isi ulang yang ada di masyarakat maka diharuskannya uji atau diperiksanya air tersebut sebelum diedarkannya ke masyarakat, yaitu dengan sampel air. Sampel air adalah air yang diambil sebagai contoh yang digunakan untuk keperluan pemeriksaan laboratorium. Persyaratan kualitas air minum yang akan disajikan kepada masyarakat meliputi persyaratan bakteriologis, kimiawi, radioaktif, dan fisik. Dalam pelaksanaan pengawasan kualitas air minum, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menentukan parameter kualitas air yang akan diperiksa, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah tangkapan air, instalasi pengolahan air dan jaringan perpipaan. Pengelolaan persediaan air minum harus: 1. Mejamin air minum yang diproduksinya memenuhi syarat kesehatan, dengan melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kualitas air yang diproduksi mulai dari: a. pemeriksaan instalasi pengolahan air b. pemeriksaan pada jaringan pipa distribusi c. pemeriksaan pada jaringan pipa sambungan ke konsumen d. pemeriksaan pada proses isi ulang dan kemasan
2. Melakukan pengamanan terhadap sumber air baku yang dikelolanya dengan segala bentuk pencemaran berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pengelolaan penyediaan air minum yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan
ketentuan-ketentuan
dalam
keputusan
ini
dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan merugikan kepentingan umum dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang berlaku. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer itu adalah setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.9 Pengertian dari konsumen itu tergantung dalam posisi mana ia berada.10 Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan: 1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
9
Ibid.hlm 21 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 10. 10
3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undangundang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Masalah perlindungan konsumen menjadi suatu permasalahan yang menarik dan mandasar dibahas karena banyak dijumpai pelanggaran dalam hubungannya antara pelaku usaha dan selalu merugikan konsumen tanpa adanya suatu kepastian hukum tentang apa yang menjadi hak atas informasi yang benar, jujur dan bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, 2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, 3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, 4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, 5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen yang sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
Menurut John F. Kennedy mengungkapkan secara umum dikenal empat hak dasar konsumen, yaitu:11 1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), 2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), 3. hak untuk memilih (the right to choose), 4. hak untuk didengar (the right to he heard). Di Indonesia ada delapan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu sebagai berikut: 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, 6. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen,
11
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 19
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya Di samping hak-hak dalam Pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha dan hak-hak konsumen merupakan persyaratan yang memang harus tertuang dalam upaya perlindungan konsumen. Oleh karena itu, kewajiban pelaku usaha harus dilihat sebagai hak-hak konsumen.12 Selain
memiliki
hak,
konsumen
juga
mempunyai
kewajiban.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, kewajiban konsumen adalah sebagai berikut: 1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, 3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, 4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
12
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 51.
Pelaku usaha sebagai penghasil produk memiliki hak dan kewajiban seperti halnya konsumen. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen, hak pelaku usaha adalah sebagai berikut: 1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, 2. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik, 3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, 4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yag diperdagangkan, 5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 7 antara lain sebagai berikut: 1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, 2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, 3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
4. menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, 5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan, 6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, 7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Pasal 8 ayat (1) butir a Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan pasal tersebut di atas maka para pelaku usaha yang ingin memproduksi
dan/atau
memperdagangkan
barang
dan/atau
jasa
yang
dihasilkannya harus memenuhi standar yang telah ditentukan oleh UU. Selama ini pada umumnya kita mengenal pertanggungjawaban seseorang atas segala perbuatan, akibat-akibat dari perbuatannya, tidak berbuat, kelalaian atau kurang hati-hatinya pada orang atau pihak lain. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa: ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” kesimpulan dari pasal itu adalah setiap orang yang dirugikan oleh peristiwa perbuatan/kelalaian, kurang hati-hati, berhak mendapatkan ganti rugi (kompensasi) atas kerugiannya itu. Tetapi untuk mendapatkan hak ganti rugi tersebut undang-undang membebankan pembuktian kesalahan orang lain dalam peristiwa tersebut kepada mereka yang menggugat ganti rugi.13 Tanggung jawab perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum, membebani penggugat kewajiban untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian pihak tergugat atas kerugian yang dideritanya, misalnya karena suatu produk cacat.
Kerugian
yang
diderita
seseorang
pemakai
produk
cacat
atau
membahayakan, bahkan juga bukan pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Tanggung jawab ini dekenal dengan nama tanggung jawab produk (strict liability). Dengan diterapkannya tanggung jawab produk ini, produsen atau pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat bersangkutan, kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya. Perjanjian baku adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen / penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan, yakni menyetujui atau menolak. Di dalam perjanjian baku juga terkandung klausula 13
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 171.
eksonerasi (exemption clause). Klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen / penyalur produk (penjual). Dengan demikian, perjanjian baku menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen / penyalur produk dan konsumen di lain pihak. Demikian juga dalam pasal 1337 KUH Perdata yang telah menegaskan bahwa suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Dalam UUPK telah diatur mengenai keberadaan lembaga konsumen. Dari masing-masing lembaga tersebut melakukan berbagai upaya perlindungan konsumen dan penyelesaiannya. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum pada prinsipnya terbagi dalam dua jenis, yaitu Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Pada penelitian ini akan menggunakan Penelitian Hukum Empiris. Penelitian Hukum Empiris adalah penelitian hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai perilaku ajeg dan/atau hukum sebagai interaksi sosial. 1. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen dalam mengkonsumsi air minum isi ulang di Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini antara lain sebagai berikut: a. Konsumen air minum isi ulang di wilayah Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. b. Depot air minum isi ulang di wilayah Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. c. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) d. Dinas Kesehatan
3. Sumber Data Sumber data penelitian terdiri dari: a. Data Primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subyek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara dan/atau angket (field research). b. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui kepustakaan (library research) dan dokumen.
4. Teknik Pengumpulan Data Data primer dilakukan dengan cara: a. Wawancara, yang dapat berupa wawancara bebas maupun terpimpin. b. Angket, yang dapat berupa angket terbuka, tertutup maupun gabungan. c. Observasi dapat dilakukan terhadap pihak terlibat atau tidak terlibat. Data sekunder dilakukan dengan cara: a. Studi kepustakaan, yakni dengan menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Studi dokumen, yakni dengan mencari, menemukan dan mengkaji berbagai dokumen seperti putusan pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
5. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami dan mendekati obyek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yakni pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat.
6. Analisis Data Pengolahan data adalah kegiatan mengorganisasikan data penelitian sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan. Jenis data yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah data kualitatif sehingga proses pengolahan datanya meliputi kegiatan editing, coding dan penyajian dalam bentuk narasi. Analisis data adalah kegiatan menguraikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan perspektif atau sudut pandang tertentu baik yang disajikan dalam bentuk narasi untuk data kualitatif maupun dalam bentuk tabel-tabel untuk data kuantitatif. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu mengelompokan data yang diperoleh dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian, yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti berdasarkan kualitas serta kebenarannya, kemudian diuraikan sehingga diperoleh gambaran dan penjelasan tentang kenyataan yang sebenarnya, guna menjawab permasalahan.