KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan berkatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Laporan ini merupakan laporan tertulis dari kelompok Etika Profesi Akuntansi Code of Conduct Jurusan Akuntansi 2011 Universitas Negeri Jakarta. Laporan ini ditujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. sebagai Dosen Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi. Makalah ini membahas tentang teori-teori mengenai etika profesi akuntansi dan menjelaskan tenteng kasus yang terjadi yang berhubungan dengan teori etika profesi akuntansi. Pada kesempatan ini kami selaku mahasiswa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku Dosen Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyempurnakan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan penulis di masa yang akan datang. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 26 Februari 2014
Penulis
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Manfaat Penulisan 1.5 Metode Penelitian 1.6 Sistematika Penulisan BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Etika Absolut Versus Etika Relatif 2.2. Teori-teori Etika Utama 2.2.1. Teleologi: Utilitarianisme dan Konsekuensialisme –Analisis Dampak 2.2.2. Etika Deontologi – Motivasi untuk Perilaku 2.2.3. Keadilan dan Kewajaran – Memeriksa Saldo 2.2.4. Etika Kebajikan – Meneliti Kebajikan yang Diharapkan 2.2.5. Imajinasi Moral 2.2.6. Teori Etika Teonom 2.2.7. Egoisme 2.3. Etika Abad ke-20 2.3.1. Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore 2.3.2. Tatanan Nilai Max Scheller 2.3.3. Etika Situasi Joseph Fletcher 2.3.4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch 2.3.5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederick Skinner 2.3.6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas 2.4. Praktik Pengambilan Keputusan Etis
2.4.1. Pemaparan Kasus 2.4.2. Analisa Kasus
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran Daftar Pustaka
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Suatu pengetahuan tentang sebuah objek baru dianggap sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan seperangkat teori tentang objek yang dikaji. Jadi teori merupakan tulang punggung suatu ilmu. Imu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala alam dan sosial yang memungkinkan manusia melakukan serangkaina tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. (Suriasumantri, 2000). Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berbagai teori etika meuncul karena adanya perbedaan perspektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup umat manusia. Sifat teori dalam ilmu etika masih lebih banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap untuk meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan atau perilaku.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan tujuan instruksi khusus Mata Kuliah Etika Profesi Akuntan, masalah yang dibahas adalah mengenai Teori-teori Etika. Adapun pokok bahasan lebih spesifik sebagai berikut: a) Kontribusi Filsuf dalam Bidang Etika b) Etika Abad ke-20 c) Praktik Pengambilan Keputusan Etis
1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan khusus:
1.3.1.
Tujuan Umum a) Menjelaskan ketidaksamaan pandangan mengenai apakah etika bersifat absolut atau relatif. b) Menjelaskan berbagai teori etika yang berkembang c) Menjelaskan perbedaan antarteori etika yang ada d) Menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan teori-teori etika dalam lingkungan bisnis
1.3.2.
Tujuan Khusus
Memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Akuntan sesuai silabus BAB 3: “Etika Perilaku”
1.4. Manfaat Penulisan a) Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa. b) Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya. c) Sebagai literatur untuk lebih memahami kegiatan akuntansi, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kewirausahaan
1.5. Sistematika Penulisan Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah : BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan, dan metodologi penelitian. BAB II PEMBAHASAN Berisi tentang : Pembahasan mengenai Teori-teori Etika dan perbedaan yang ada di dalamnya BAB III PENUTUP Berisi tentang : kesimpulan dan saran.
1.6. Metodologi Penelitian Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah : a) Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini b) Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari
yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Etika Absolut Versus Etika Relatif Sampai saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara para etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relatif. Para penganut paham etika absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk akal meyakini bahw ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapan pun dan di mana pun. Sementara itu para penganut etika relatif dengan berbagai argumentasi juga membantah hal ini. Mereka justru mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Prinsip atau nilai moral yang ada dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda dan untuk situasi yang berbeda pula. Untuk memulai diksusi, Rachels (2004) memberikan contoh menarik mengenai keyakinan dua suku yang sangat berbeda yaitu suku Callatia di India dan orang-orang Yunani tentang perlakuan terhadap orang tua mereka saat meninggal dunia. Sebagai wujud rasa hormat kepada orang tua yang telah meninggal dunia, suku Callatia akan memakan jenazah orang tua mereka sedangkan orang-orang Yunani akan membakar jenazah orang tua mereka. Ini sekadar salah satu ilustrasi yang barangkali dapat dipakai untuk mendukung argumentasi para penganut etika realtif di mana kebudayaan yang berbeda kan menghasilkan kode moral yang berbeda pula. Di antara tokoh-tookoh berpengaruh yang mendukung paham etika relatif ini adalah Joseph Fletcher (dalam Suseno 2006) yang terkenal dengan teori etika situasionalnya. Ia menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret dan situasi konkret ini dalam kesehariannya tidak pernah sama. Tokoh berpengaruh pendukung paham etika absolut antara lain Immanuel Kant dan James Rachel. Rachel sendiri yang walaupun membuka pemikirannya dengan memberikan argumentasi bagi pendukung etika relatif melalu contoh ilustrasi perlakuan berbeda terhadap jenazah orang tua dari dua suku/bangsa berbeda, sebenarnya merupakan
pendukung etika absolut. Ia mengataka bahwa ada pokok teoritis yang umum di mana ada aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat karena aturan-aturan itu penting untuk kelestarian masyarakat. Misalnya aturan melawan kebohongan dan pembunuhan hanyalah dua contoh yang masih berlaku dalam semua kebudayaan yang tetap hidup walaupun juga diakui bahwa dalam setiap aturan umum tentu saja ada pengecualiannya.
2.2. Teori-teori Etika Utama 2.2.1. Teleologi: Utilitarianisme dan Konsekuensialisme –Analisis Dampak Teleologi memiliki sejarah panjang di antara filsafat empiris Inggris. John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748- 1832), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873) semua melihat etika dari perspektif teleologi. Teleologi berasal dari kata Yunani telos, yang berarti akhir, konsekuensi, hasil; sehingga, teori-teori teleologi yang mempelajari etika perilaku dalam hal akibat atau konsekuensi dari keputusan etis. Teleologi cocok untuk banyak pelaku bisnis yang berorientasi hasil karena berfokus pada dampak dari pengambilan keputusan. Teleologi mengevaluasi keputusan sebaga baik atau buruk, diterima atau tidak diterima, dalam hal konsekuensi dari keputusan tersebut. Investor menilai investasi sebgai baik atau buruk, bermanfaat atau tidak, berdasarkan hasil yang diharapkan. Jika tingkat pengembalian aktualnya (actual return) berada di bawah harapan investor, maka investasi tersebut dianggap sebagai keputusan investasi yang buruk; jika tingkat pengembaliannya lebih besar daripada yang diharapkan, investasi tersebut dianggap sebagai keputusan investasi yang baik atau berharga. Pengambilan keputusan etis mengikuti pola yang serupa. Dengan cara yang sama dengan kebaikan atau keburukan, sebuah investasi dinilai berdasarkan hasil keputusan keuangan, etika kebaikan dan keburukan didasarkan pada konsekuensi dari keputusan etis. Keputusan etis adalah benar atau salah ketika keputusan tersebut menghasilkan hasil keputusan yang positif atau negatif. Keputusan yang baik secara etika memberikan hasil yang positif, sedangkan keputusan yang buruk secara etika memberikan hasil yang kurang positif atau
konsekuensi negatif. Namun demikian, konsekuensi dari suatu keputusan etis tidak akan beretika dengan sendirinya. Konsekuensinya adalah apa yang terjadi. Etikalitas dari pembuat keputusan dan keputusan tersebut telah ditetapkan berdasarkan nilai komparatif non-etika dari suatu tindakan atau konsekuensi. Jika keputusan mendatangkan hasil positif, seperti membantu seorang individu untuk mencapai realisasi diri, maka keputusan dikatakan benar secara etika. Hasil positif nilai non-etika lain termasuk kebahagiaan, kesenangan, kesehatan, kecantikan, dan pengetahuan. Sedangkan hasil negatif non-etika termasuk ketidakbahagiaan, kesengsaraan, penyakit, keburukan, dan kebodohan. Dengan kata lain, penilaian tentang benar dan salah, atau kebenaran etika hanya didasarkan pada apakah hal baik atau buruk terjadi atau tidak. Teleologi memiliki artikulasi yang jelas dalam utilitarianisme, yang paling nyata adalah dalam tulisan-tulisan Bentham dan J.S. Mill. Dalam utilitarianism, Mill menulis: “Kredo yang diterima seperti landasan moral, utilitas, atau Prinsip Kebahagiaan Terbesar (greatest Happines Principle), menyatakan bahwa tindakan merupakan hal yang benar sesuai proporsinya jika cenderung untuk meningkatkan kebahagiaan, salah jika tindakan tersebut cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Kebahagiaan diharapkan mendatangkan kesenangan, dan ketiadaan rasa sakit; ketidakbahagiaan akan menimbulkan rasa sakit dan kesengsaraan. Utilitarianisme mendefinisikan kebaikan dan kejahatan dalam hal konsekuensi nonetika dari kesenangan dan rasa sakit. Tindakan yang benar secara etika adalah salah satu yang akan menghasilkan jumlah kesenangan terbesar atau jumlah rasa sakit terkecil. Hal ini adalah teori yang sangat sederhana. Tujuan hidup adalah untuk menjadi bahagia dan semua hal yang meningkatkan kebahagiaan baik secara etika karena cenderung menghasilkan kesenangan atau meirngankan rasa sakit dan penderitaan. Bagi utilitarian (penganut utilitarianisme), kesenangan dan rasa sakit dapat berupa fisik ataupun mental. Penanggulangan stres, kesedihan, dan penderitaan mental sama pentingnya dengan dengan mengurangi rasa sakit fisik dan ketidaknyamanan. Sebagai contoh, tingkat stres seorang karyawan
mungkin
meningkatbila
penyelianya
(supervisor)
memintanya
untuk
menyelesaikan sebuah tugas, tetapi kmeudian menyediakan informasi yang sangat sedikit, waktu yang tidak cukup untuk menghasilkan laporan, dan tuntutan yang tidak realistis dalam hal kualitas laporan. Ketegangan yang meningkat tidak berkontribusi untuk kebahagiaannya secara umum atau kenyamanannya dalam menyelsaikan tugas. Bagi
seorang utilitarian, hal-hal yang berharga bagi mereka adalah pengalaman yang menyenangkan, dan pengalaman-pengalaman ini merupakan pengalaman yang baik hanya karena pengalaman tersebut menyenangkan. Akan tetapi, dalam kasus ini, menyelesaikan tugas bukan merupakan hal yang menyenangkan maupun baik jika dilihat dari sudut pandang karyawan. Hal itu tidak memberikan kontribusi pada utilitasnya atau kebhagiaannya secara umum. Mill dengan cepat menunjukkan bahwa kesenangan dan rasa sakit memiliki aspek kuantitatif dan kualitatif. Bentham mengambangkan kalkulus kesenangan dan rasa sakit berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, keakraban, fekunditas, kemurnian, dan keluasan. Mill menambahkan bahwa sifat dari kesenangan atau penderitaan juga penting. Beberapa kesenangan lebih diinginkan daripada yang lain dan memerlukan usaha untuk mencapainya. Seorang atlet, misalnya, berlatih setiap hari untuk bertanding dalam Olimpiade. Pelatihannya mungkin sangat menyakitkan, tetapi atlet memfokuskan dirinya pada hadiah, yaitu memenangkan medali emas. Kesenangan kualitatif berdiri di podium melebihi jalan yang secara kuantitatif melelahkan dmei menjadi juara Olimpiade. Hedonisme berfokus pada individu, dan mencari jumlah terbesar kesenangan pribadi atau kebahagiaan pribadi. Epicurus (341-270 SM) menyatakan bahwa tujuan hidup adalah keamanan dan kesenangan abadi, sebuah kehidupan di mana rasa sakit diterima hanya jika rasa sakit itu menyebabkan kesenangan yang lebih besar, dan kesenangan akan ditolak jika kesenangan itu menyebabkan rasa sakit yang lebih besar. Utilitarianisme, sebaliknya, mengukur kesenangan dan rasa sakit bukan pada tingkat individu melainkan pada tingkat masyarakat. Rasa senang dari pembuat keputusan seperti semua orang yang mungkin dapat terpengaruh oleh keputusan tersebut, perlu dipertimbangkan. Namun, beban tambhan tidak harus diberikan kepada pengambil keputusan. “kebahagiaan yang membentuk standar utilitarian tentang apa yang benar dalam perbuatan, bukan kebahagiaan pribadi si agen, tetapi kebahagiaan semua pihak. Seperti antara kebahagiaan sendiri dan kemudian kebahagiaan orang lain, utilitarianisme memgharuskan si agen untuk tidak memihak, menjadi penonton yang tidak berkepentingan dan murah hati.” Seorang CEO yang membujuk dewan direksi agar memberinya bonus sebesar $100 juta dapat memperoleh kebahagiaan yang besar dari bonus, tetapi kalau ia tidak memperhitungkan dampak bonus tersebut pada semua karyawan lain di perusahaannya, rekan kelompok eksekutif lainnya, dan masyarakat secara keseluruhan, maka ia mengabaikan aspek etika dari keputusannya.
Jika menggunakan utilitarianisme, pembuat keputusan harus mengambil perspektif yang luas tentang siapa pun, dalam masyarakat, yang mungkin akan terpengaruh oleh pengambilan keputusan itu. kegagalan dalam pengambilan keputusan akan sangat mahal bagi perusahaan. Pertimbangkan kasus Shell Inggris dan pembongkaran terhadap kecurangan minyak Brent Spar. Brent Spar adalah platform penyimpanan dan pengisian tangki minyak yang terletak di Laut Utara. Dibangun pada tahun 1976, platform tersebut telah usang pada tahun 1991. Shell memutuskan bahwa alternatif terbaik untuk alasan ekonomi dan lingkungan adalah membiarkan platform tersebut tenggelam di Samudera Atlantik. Mereka mengajukan hal ini dan mendapat izin dari pemerintah Inggris untuk melakukannya. Namun, Shell
gagal untuk mempertimbangkan dampak keputusan ini
terhadap pemangku pentingan lainnya, termasuk masyarakat secara keseluruhan. Berawal pada Februari 1995, Green peace meluncurkan kampanye bersama untuk menghentikan penenggelaman platform tersebut. Meskipun Green peace melebih-lebihkan dampak lngkungan yang diakibatkan oleh tenggelamnya platform, kampanye mereka menyebabkan biaya yang sangat mahal untuk Shell; terjadi pemboikotan produk Shell di Eropa, dan kerusakan bebearapa stasiun di Jerman. Pada bulan Juni 1995, Shell menyetujui untuk tidak menenggelamkan platform tersebut, dan platform itu ditambatkan di Norwegia sampai dibangun kembali sebagai bagian dari terminal feri pada tahun 1999. Seluruh episode tersebut sangat mahal untuk Shell dan hal ini terjadi sebagaian karena perusahaan gagal untuk menyadari bahwa keputusan pembongkaran memberikan konsekuensi penting bagi pemangku kepentingan lain, di luar Shell Inggris dan pemerintah Inggris. Aspek kunci utilitarianisme adalah, pertama, etikalitas dinilai berdasarkan konsekuensi non-etika. Selanjutnya, keputusan etis harus berorientasi pada peningkatan kebahagiaan dan/atau mengurangi rasa sakit, di mana kebahagiaan dan rasa sakit berhubungan dengan seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk kebahagiaan atau rasa sakit pribadi pembuat keputusan. Akhirnya, para pengambil keputusan etis harus tidak memihak dan tidak memberi beban ekstra terhadap perasaan pribadi ketika menghitung keseluruhan kemungkinan bersih konsekuensi dari sebuah keputusan. Undang- Undang dan Peraturan Utilitarianisme Seiring waktu, utilitarianisme telah berkembang di sepanjang dua jalur utama, yaitu undang-undang utilitarianisme dan peraturan utilitarianisme. Jalur pertama, kadang-kadang
disebut sebagai konsekuensialisme, menganggap sebuah tindakan baik atau benar secara etika jika tindakan tersebut mungkin menghasilkan keseimbangan kebaikan yang lebih besar atas kejahatan. Suatu tindakan dianggap buruk atau salah secara etika jika tindakan tersebut mungkin menghasilkan hal yang sebaliknya. Peraturan utlitarianisme, di sisi lain, mengatakan bahwa kita harus mengikuti aturan yang mungkin akan menghasilkan keseimbangan kebaikan yang lebih besar atas kejahatan dan menghindari aturan yang mungkin akan menghasilkan sebaliknya. Anggapannya adalah terdapat kemungkinan, secara prinsip, untuk menghitung kesenangan atau rasa sakit bersih yang dihubungkan dengan keputusan. Bagi Mill, “kebenaran aritmatika dapat diterapkan dalam penilaian kebahagiaan, seperti pada kuantits terukur lainnya.” Pengembalian investasi dapat diukur; begitu pula kebahagiaan. Hal ini berarti bahwa pembuat keputusan harus menghitung, untuk setiap program alternatif tndakan , jumlah kesenangan yang sesuai untuk setiap orang yang mungkin akan terpengaruh
oleh
keputusan
yang dibuat. Dengan
cara
yang serupa,
jumlah
ketidaksenangan atau sakit untuk setiap orang berdasarkan masing-masing alternatif juga perlu diukur. Kedua jumlah yang didapatkan kemudian dikurangkan dan tindakan yang benar secara etika adalah yang menghasilkan nilai bersih positif terbesar atau nilai negatif terkecil untuk kesenangan terhadap rasa sakit. Selanjutnya, menggunakan cara yang sama dengan investor yang bersikap acuh tak acuh terhadap dua investasi yang masing-masing mempunyai tingkat risiko dan hasil yang sama, masing-masing alternatif menjadi benar secara etika jika keduanya mempunyai skor aritmatika bersih yang sama dan masing-masing nilai lebih tinggi daripada skor alternatif lain manapun yang tersedia untuk pengambil keputusan. Peraturan utilitarianisme bagaimanapun lebih sederhana. Peraturan tersebut mengakui bajhwa pengambilan keputusan oleh manusia sering dipandu oleh aturan-aturan. Sebagai contoh, kebanyakan orang percaya bahwa lebih baik mengatakan hal yang sebenarnya (terus terang atau jujur) daripada berbohong. Meskipun terdapat pengecualian, mengatakan kebenaran adalah standar normal etika perilaku manusia. Jadi, penuntun untuk aturan utilitarian adalah: mengikuti aturan yang cenderung menghasilkanjumlah terbesar kesenangan terhadap rasa sakit untuk sejumlah besar prang yang mungkin akan terpengaruh oleh tindakan. Mengatakan kebenaran biasanya menghasilkan kesenangan terbesar bagi kebanyakan orang hampir di sepanjang waktu. Demikian pula, laporan
keuangan yang akurat, dapat dipercaya, sangat berguna bagi investor dan kreditor dalam pengambilan keputusan investasi dan kredit. Laporan keungan palsu tidak berguna karena menyababkan keputusan keuangan yang tidak benar. Aturan, “laporan keuangan secara adil harus mencerminkan posisi keuangan perusahaan” seharusnya menghasilkan jumlah lebih besar kebahagiaan bagi investor daripada alternatif “laporan keuangan harus dipalsukan.” Mengatakan kebenaran dan keterusterangan biasanya menghasilkan konsekuensi terbaik sehingga prinsip-prinsip ini harus diikuti. Sarana dan Tujuan Akhir Sebelum mengidentifikasikan beberapa masalah dengan utilitarianisme, kita harus memahami apa yang tidak termasuk dalam teori ini. Prinsip ini –mempromosikan jumlah terbesar kebahagiaan untuk sejumlah besar orang – tidak berarti bahwa akhirnya membenarkan sarana. Hal yang terakhir adalah teori politik bukan merupakan prinsip etika. Para pendukung utama dari filsafat politik ini adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang menulis
Prince
untuk
Lorenzo
Medici
sebagai
pedoman
tentang
bagaimana
mempertahankan kekuasaan politik. Di dalamnya, ia menyarankan bahwa “dalam tindakan manusia, dan terutama para pangeran, di mana tidak ada perbandingannya, tujuan akhir menghalalkan cara.” Negara, sebagai kekuasaan yang berdaulat dapat melakukan keinginan apa pun, dan pangeran, sebagai pemimpin negara, dapat menggunakan strategi politik apa pun untk mempertahankan kekuasaan. Machiavelli sangat jelas menyatakan bahwa sikap bermuka dua, menggunakan dalih dan tipu daya merupakan cara yang dapat diterima bagi seorang pangeran untuk mempertahankan kontrol atas rakyat dan saingannya. “Seorang pangeran, dan teutama seorang pangeran baru, tidak dapat mengamati semua hal-hal yang dianggap baik pada pria, karena sering diwajibkan, dalam rangka mempertahankan negara, untuk bertindak melawan keyakinan, terhadap kedermawanan, terhadap kemanusiaan, dan terhadap agama.” Jelas, ini adalah teori politik dan yang yang dipertanyakan, tetapi bukan merupakan teori etika. Sayangnya, “tujuan akhr menghalalkan cara” sering dibawa ke luar konteks, dan digunakan secara tidak tepat sebagai teori etika. Dalam film swordfish, Gabriel, diperankan oleh John Travolta, menanyakan hal berikut kepada Stanley, dimainkan Hugh Jackman: “Ini skenarionya. Kau memiliki kekuatan untuk menyembuhkan seluruh penyakit di dunia, tetapi harga untuk ini adalah bahwa kau harus membunuh seorang anak yang tidak bersalah,
bisakah kau membunuh anak itu, Stanley?” Keputusan yang disebut itu tidak beretika karena itu menyinggung hak signifikan satu atau lebih individu; tetapi dengan menyusun pertanyaan seperti ini, Gabriel berusaha untuk memberikan pembenaran secara etika untuk sebuah pernyataan politik. Ia berusaha mengarahkan Stanley untuk mengatakan bahwa tindakan itu dibenarkan karena lebih banyak orang akan diselamatkan dengan mengorbankan satu orang. Hal ini merupakan merupakan contoh ekstrem, tetapi keputusan CEO sering memiliki dampak yang mendalam terhadap kehidupan orang lain. Limbah beracun, produk berbahaya dan kondisi kerja, polusi, serta masalah lingkungan lainnya sering dipertahankan atas dasar tujuan menghalalkan cara. Prinsip ini juga digunakan untuk membela kecurangan oleh mahasiswa, penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa CEO, dan pengkhianatan terhadap tanggung jawab perusahaan oleh beberapa dewan direksi. Namun demikian, aturan utilitarian akan mengatakan bahwa ada beberapa tingkatan tindakan yang secara nyata benar dan salah, tidak peduli konsekuensi tindakan tersebut baik atau buruk. Polusi dan produk berbahaya tidak meningkatkan kesejahteraan jangka panjang keseluruhan masyarakat. Pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah, ekstraksi keuntungan berle bihan oeleh CEO yang oportunis, dan dewan yang mengabaikan kode etik perusahaan mereka bukan merupakan perilaku yang benar secara etika, apa pun konsekuensinya. Masing-masing itndakan ini salah karena jenis-jenis tindakan ini memiliki efek negatig yang jelas pada kebahagiaan umum masyarakat secara keseluruhan. Prinsip politik – tujuan akhir menghalalkan cara – bukan merupakan teori etika. Pertama, prinsip tersebut salah mengasumsikan bahwa cara dan tujuan setara secara etika, dan kedua, prinsip tersebut salah mengasumsikan bahwa hanya ada satu cara untuk mencapai tujuan akhir. Ambil kasus dua eksekutif yang berkolusiuntuk memalsukan serangkaian laporan keuangan. Salah satu eksekutif akan menerima bonus berdasarkan laporan laba bersih perusahaan. Eksekutif lainnya melakukan kecurangan untuk mencegah isu kebangkrutan bahwa jka perusahaan terus berjaya dalamm bisnis, maka staf akan memiliki pekerjaan, pelanggan akan dapat membeli produk perusahaan, dan pemasok masih dapat membuat penjualan bagi perusahaan. Cara yang dilakukan mereka berdua sama, mereka melakukan kecurangan laporan keuangan. Namun tujuan akhirnya berbeda: yang pertama adalah dari keegoisan ekonomi semata; yang lain adalah dari rasa kesetiaan yang sesat kepada berbagai pemangku kepentingan perusahaan. Sebagian besar akan melihat kedua individu ini berbeda meskipun melakukan cara yang sama untuk
mendapatkan hasil yang berbeda. Kedua motivasi atau tujuan akhir – keegoisan ekonomi dan altruisme sesaat –dan caranya – yaitu penipuan – tidak setara secara etika. Sebagaian besar akan melihat caranya salah, telah bersikap antipati untuk eksekutif yang satu dan mungkin beberapa simpati untuk eksekutif kedua. Hal yang lebih penting, tujuan menghalalkan cara sering menyiratkan bahwa hanya ada satu cara untuk mencapai tujuan akhir atau bahwa jika ada berbagai cara untuk mencapai akhir, maka semua sarana yang ada setara secara etika. Akan tetapi, bukan ini permasalahannya. Ada banyak cara untuk bepergian ke seluruh negeri tetapi biayanya bervariasi sesuai dengan moda transportasi. Cara-cara tersebut tidak setara. Serupa dengan hal itu, ada berbagai cara mencegah kebangkrutan untuk sementara, salah satunya adalah dengan melakukan kecurangan laporan keuangan. Namun, terdapat alternatif lainnya, termasuk pendanaan kembali. Meskipun pendanaan kembali dan kecurangan dapat memberikan tujuan akhir yang sama, kedua cara tersebut berbeda secara etika. Cara yang satu benar secara etika dan yang lain tidak. tugas manajerlah untuk dapat melihat perbedaan ini kemudian menggunakan imajinasi moralnya untuk mengidentifikasi cara alternatif agar mencapai tujuan akhir yang sama. Beberapa orang menyalahgunakan utilitarianisme dengan mengatakan tujuan menghalalkan cara. Namun ini adalah sebuah aplikasi yang tidak tepat dari teori etika. Bagi para utilitarian, tujuan akhir tidak pernah membenarkan sarana. Sebalimnya, agen moral harus mempertimbangkan konsekuensi sebuah keputusan dalam menciptakan kebahagiaan atau dalam hal peraturan bahwa jika diikuti mungkin akan menghasilkan kebahagiaan yang paling banyak untuk semua. Daya tarik keseluruhan utilitarianisme adalah bahwa hal ini tampak cukup sederhana sedangkan peetimbangan penuh dari semua konsekuensi merupakan hal jika menginginkan hasil yang komprehensif. Utilitarianisme menggunakan standar yang sederhana: sasaran etika perilaku adalah untuk mempromosikan kebahagiaan. Hal ini juga melihat ke depan; berkonsentrasi pada kebahagiaan masa depan mereka yang akan terpengaruh oleh keputusan. Utilitarianisme juga mengakui ketidak pastian masa depan sehingga berfokus pada kemungkinan konsekuensi. Akhirnya, teori ini sangat luas dan tidak mementingkan diri sendiri; alternatif etika yang terbaik adalah yang memberikan kesenangan terbesar bagi semua pihak. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa teori ini sesuai bagi pelaku bisnis. Manajer dibiasakan untuk membuat keputusan dalam kondisi yang tidak pasti, menilai kemungkinan konsekuensi untuk pemangku kepentingan
yang diidentifikasi dan kemudian memilih alternatif yang mungkin akan memiliki hasil bersih terbaik bagi semua pihak, namun demikian, teori ini bukannya tanpa masalah. Kelemahan dalam Utilitarianisme Utilitarianisme mengandaikan bahwa hal-hal sperti kebahgiaan, utilitas, kesenangan, sakit, dan penderitaan bisa diukur. Akuntan sangat pandai mengukur transaksi ekonomi, karena uang merupakan standar pengukuran yang sragam. Hampir semua transaksi eknomi dapat diukur dalam mata uang, misalnya, euro, dan semua orang tahu apa yang dapat dibeli dengan satuan euro. Namun tidak ada unit pengukuran umum untuk kebahagiaan, tidak pula kebahagiaan sesorang setara setara dengan kebahagiaan orang lain, sedangkan satu euro berarti sama untuk keduanya. Selain itu, uang adalah sebuah perwakilan yang tidak tepat untuk kebahagiaan. Uang tidak hanya tidak dapat membeli kebahagiaan, uang juga tidak dapat menangkap tingkat kebhagiaan yang dirasakan ketika duduk di tepi tepi danau favorit menyaksikan matahari terbenam pada malam
musim panas yang hangat dan
kesenangan dalam melihat senyum di wajah ibu yang menggendong bayinya yang baru lahir. Masalah lainnya meyangkut distribusi dan intensitas dari kebahagiaan. Prnsip utilitarian adlaah untuk menghasilkan sebanyak mungkin kebhagiaan dan untuk mendistribusikan kebahagiaan itu kepada sebanyak mungkin orang. Raphael menggunakan contoh pemberian sedekah. Anda dapat memebrikan masing-masing $50 kepada dua orang pensiunan yang kemudian adapat memebli dua baju hangat. Tau, anada dapat memberikan sedikit uang kepada 100 pensiunan untuk menikmati secangkir kopi atau teh. Intensitas kebahagiaan itu jelas lebih besar untuk dua pensiunan yang enerima sweater hangat. Namun banyak orang yang nyata terpengaruh oleh pendistribusian $1 sehingga semua pensiunan bisa membeli secangkir kopi. Alternatif mana yang harus anda pilih? Prinsip utilitarian terlalu samar untuk digunakan dalam hal ini. Haruskan CEO menaikkan upah sebesar 0,05 persen di seluruh bagian yang akan membuat semua akryawan sedikit lebih baikkk dan mungkin sedikit lebih bahagia, atau haruskah CEO menggandakan gaju dari tim manajemen puncak sehingga
sangat meningkatkan kebahagiaan umum tujuh wakil
presiden? Dengan asumsi aritmatika bersih kebhagiaan kedua pilihan adalah sama (terlepas dari bagaimana kebahagiaan dan ketidakbahagiaan karyawan diukur), apakah keduanya merupakan pilihan yang setara? Apakah tidak ada persepsi ketidakadilan pada pilihan
kedua? Utilitarianisme sering dapat terlihat dingin dan tidak berperasaaan seperti nasihat Machiavelli terhadap penggunaan kekuasaan politik. Masalah pengukuran lainnya adalah tentang ruang lingkup. Berapa banyak orang yang harus disertakan? Apakah hanya mereka yang masih hidup? Jika tidak, maka untuk berapa generasi yang kan datang? Pertimbangkan masalah pemanasan global dan polusi. Kebahagiaan jangka pendek generasi sekarang bisa berimbas pada penderitaan generasi mendatang. Apabila generasi mendatang harus disertakan, maka jumlah keseluruhan kebahagiaan harus meningkat sangat banyak untuk menjamin kebahagiaan menjadi tersedia untuk dialokasikan pada generasi sekarang dan generasi berikuntya. Selanjuntya adalah apakah wajtu kebahagiaan penting? Dengan asumsi ini bahwa nilai bersihnya sama terlepas dari urutan, apakah kebahagiaan hari ini dan rasa sakit hari esok sama dengan rasa sakit hari ini dan kebahagiaan hari esok? Apakah kita bersedia untuk membayar biaya bahan bakar yang sangat tinggi hari ini dan penderitaan yang terkait ekonomi sehingga akan terdapat cukup pasokan bahan bakar untuk generasi mendatang? Hal ini digambarkan dengan jelas oleh Al-Gore dalam buku dan videonya, An Inconvenient Truth, di mana ia menunjukkan bagaimana polusi menyebabkan pemanasan global, dan bahwa kita mencapai titik di mana peremajaan lingkungan kita mungkin tidak dapat dilakukan. Kesimpulan ini sama dengan yang dikembangkan oleh sebuah studi PBB pada akhir 1980-1n. Hak minoritas dapat dilanggar di bawah utilitarianisme. Dalam demokrasi, kehendak mayoritas berlaku pada Hari Pemilihan. Orang merasa nyaman dengan ini karena mereka yang kalah dalam satu pemilu selalu memiiliki kesempatan untuk partai mereka merebut kekuasaan di pemilu berikutnya. Hal ini tidak sesederhana pengambilan keputusan etis. Pertimbnagkan contoh berikut. Ada dua pilihan yang tersedia yang hanya akan memengaruhi empat orang. Tindakan yang satu akan menciptakan dua unit kebahagiaan untuk masing-masing empat orang. Alternatif lain akan membuat tigas unit kebahagiaan untuk tiga orang dan tidak ada kebahagiaan maupun ketidakbahagiaan bagi orang keempat. Alternatif kedua menghasilkan lebih banyak kebahagiaan (sembilan unit) dibandingkan dengan delapan unit pada pilihan pertama. Namun pada alternatif kedua, ada satu individu yang tidak menerima kebahagiaan. Dalam hal ini, tidak seperti dalam pemilihan, tidak ada menunggu kesempatan berikutnya untuk distribusi kebahagiaan yang dibagi oleh orang yang sama. Apakah adil bahwa satu individu tidak mendapatkan kesempatan untuk berbagi
dalam kebhagiaan manapun? Pembuatan keputusan etis berdasarkan utilitarianisme dapat dianggap sebagai tidak adil karena menguntungkan beberapa kelompkk pemangku kepentingan dengan mengorbankan kelompok pemangku kepentingan lainnya. Utilitarianisme mengabaikan motivasi dan berfokus hanya pada konsekuensi. Hal ini membuat banyak orang tidak puas. Pertimbangkan contoh sebelumnya dari dua eksekutif yang melakukan kecurangan atas serangkaian laporan keuangan. Motivasi kedua eksekutif sangat berbeda. Banyak orang akan menganggap bahwa mereka memiliki derajat yang berbeda dalam hal kesalahan etika, di mana eksekutif berbasis bonus bertindak lebih buruk dari yang berpaham altruis sesat. Namun demikian, utilitarianisme akan menilai keduanya lalai secara etika akrena konsekuensi dari keputusan mereka adalah sama, kecurangan dalam laporan leuangan. Hal ini adalah contoh dari mengatakan: “Jalan menuju neraka ditaburi dengan niat baik.” Utilitarianisme dengan sendirinya tidak cukup untuk menghasilkan keputusan etis yang komprehensif. Untuk mengatasi masalah ini, sebuah teori etika alternatif, deontologi, menilai etikalitas pada motivasi pembuat keputusan bukan pada konsekuensi dari keputusan tersebut.
2.2.2. Etika Deontologi – Motivasi untuk Perilaku Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang artinya tugas atau kewajiban. Deontologi berkaitan dengan tugas etika dan tanggung jawab seseorang. Deontologi mengevaluasi etikalitas perilaku berdasarkan motivasi pembuat keputusan, dan menurut prinsip deontologi, tindakan dapat dibenarkan secara etika meskipun tidak menghasilkan keuntungan bersih atas kebaikan terhadap kejahatan bagi para pengambil keputusan atau bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini membuatnya menjadi pelengkap untuk utilitarianisme karena tindakan yang memenuhi kedua teori dapat dikatakan memiliki sebuah kesempatan untuk menjadi beretika. Immanuel Kant (1724-1804) memberikan artikulasi yang jelas dari teori ini dalam risalahnya Groundwork of the Metaphysics of Moral. Bagi Kant, satu-satunya baik yang tanpa pengecualian hanyalah iktikad baik, iktikad untuk mengikuti alasan apa yang menentukan tanpa memedulikan konsekuensiinya pada diri sendiri. Ia juga berargumen bahwa konsep-konsep moral kita berasal dari alasan bukan dari pengalaman. Kebaikan akan termanifestasikan dengan sendirinya ketika bertindak untuk kepentingan tugas, di mana tugas menyiratkan pengakuan dan ketaatan pada hukum atau ajaran. Ia mengatakan “dalam
situasi ini saya harus melakukan ini dan itu,” atau “dalam hal ini, akau harus menahan diri dari melakukan ini dan itu.” Pernyataa bahwa saya harus melakukan ini atau bahwa hal ini tidak boleh saya lakukan merupakan hal yang benar-benar mengikat dan tidak ada pengecualian. Keinginan untuk melakukan hal di luar tugas merupakan suatu keunikan manusia. Segala sesuatu di alam bertindak menurut hukum alam tetapi hanya manusia yang dapat bertindak sesuai dengan gagasan tentang hukum, yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip rasional. Bagi Kant, tugas adalah standar yang menilai etika perilaku. Nilai moral hanya ada ketika sesorang bertindak berdasarkan rasa kewajiban. Anda akan bertindak dengan benar saat Anda mengikuti tugas dan kewajiban etika Anda, bukan karena tugas dan kewajiban tersebut menimbulkan konsekuensi yang baik, dan bukan karena hal-hal tersebut dapat meningkatkan kenikmatan atau kesenangan tetapi anda melakukannya demi tugas tersebut. Motif dari sebuah tugaslah yang memberikan nilai moral untuk tindakan. Tindakan lain yang mungkin didasarkan pada kepentingan pribadi atau pada pertimbangan untuk orang lain. Ketika Anda menghadapi pelanggan anda secara jujur karena anda ingin berbisnis dengan mereka lagi, anda bertindak di luar kepentingan pribadi bukan di luar tugas. Bertindak dengan cara ini mungkin patut dipuji tetapi tidak memiliki nilai moral. Menurut ahli deontologi, hanya saat anda bertindak melebihi tugas maka anda bertindak secara etis. Kami mengembangkan dua hukum untuk mengembangkan etikalitas. Pertama adalah Imperatif Kategoris (Categorical Imperative). “Saya seharusnya tidak pernah bertindak kecuali saya juga bisa membuat maksim (maxim – pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia, ed.) saya menjadi hukum universal. Hal tersebut merupakan prinsip tertinggi moralitas. Prinsip tersebut menuntut bahwa anda seharusnya hanya bertindak dengan cara sebagaimana orang lain yang berada dalam situasi yang sama akan bertindak dengan cara yang sama. Hal ini merupakan perintah yang dipatuhi dan merupakan kategoris karena merupakan tak bersyarat dan mutlak. Prinip ini harus diikuti bahkan jika ketaatan bertentangan dengan apa yang anda pilih untuk dilakukan. Sebuah prinsip rasional atau hukum moral sedang ditetapkan untuk diikuti semua orang, termasuk Anda. Ada dua aspek dari imperatif kategoris. Pertama Kant menganggap bahwa hukum memerlukan suatu kewajiban dan ini berarti bahwa hukum etika memerlukan suatu kewajiban etika. Jadi setiap tindakan etika yang wajibdlakukan oleh seseorang harus sesuai
dengan hukum atau maksim etika. Hal ini berarti semua keputusan etika dan etika perilaku dapat dijelaskan dalam bentuk maksim etika yaitu dalam hal hukum yang harus ditaati. Bagian kedua dari imperatif ini adalah suatu tindakan benar secara etika jika dan hanya jika pepatah tersebut dapat diuniversalkan secara konsisten. Anda harus berekeinginan agar maksim anda diikuti oleh orang lain yang berada dalam situasi serupa bahkan jika anda akan terpengaruh secara personal karena individu lain mengikuti dan mematuhi maksim anda. Anda tidak boleh menjadikan diri anda sebagai pengecualian. Kant menggunakan contoh melanggar janji. Asumsikan anda ingin mengingkari janji. Apabila anda melakukannya, maka anda menjadikan maksim anda dapat diikuti oleh orang lain. Namun demikian apabila orang lain mengikuti maksim ini maka anda akan dapat dimanfaatkan ketika melanggar janji-janjinya kepada anda. Jadi tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa semua orang harus menepati janji mereka kecuali Anda. Anda tidak dapat mengatakan bahwa anda diperbolehkan berbohong kepada investor anda tentang kualitas laporan keuangan perusahaan anda sementara pada saat yang sama juga mengatakan bahwa orang lain tidak diperbolehkan memalsukan laporan keuangan mereka karena anda mungkin kehilangan investasi anda jika anda tanpa sengaja bergantung pada laporan keuangan palsu mereka. Aturan kedua Kant adalah Imperatif Praktis (Practical Imperative) untuk berhubungan dengan orang lain. “berlakulah dengan cara yang sama anda memperlakukan kemanusiaan baik dalam diri anda sendiri atau pada pribadi lainnya, tidak sesederhana cara tetapi selalu pada saat yang sama sebagai tujuan akhir.” Bagi Kant, hukum memiliki aplikasi universal dan hukum moral berlaku untuk semua orang tanpa membedakan. Hal ini berarti bahwa setiap orang harus diberlakukan sama di bawah hukum moral. Dengan cara yang sama dengan anda sebagai tujuan akhirnya, seorang individu dengan nilai moral, begitu juga dengan orang lain. Mereka juga harus diperlakukan sebagai tujuan akhir dalam diri mereka sendiri sebagai individu dengan nilai moral. Oleh karena itu anda tidak dapat memanfaatkan mereka dengan cara yang mengabaikan nilai moral mereka, sama seperti anda tidak bisa mengabaikan kelayakan moral personal anda. Imperatif praktis tidak menyatakan bahwa anda tidak dapat memanfaatkan orang tetapi jika anda memperlakukan mereka sebagai sarana maka anda harus memperlakukan secara bersamaan sebagai tujuan akhir. Sebagai contoh, seorang akuntan profesioinal mepekerjakan mahasiswa akuntansi. Tarif per jam yang dibebankan kepada klien untuk
pekerjaan siswa lebih besar daripada tarif yang dibayarkan kepada siswa. Akuntan profesional menuai manfaat dari kerja siswa tersebut dan merupakan sarana untuk kesejahteraan keuangan akuntan. Apakah ini sebuah hubungan yang tidak etis? Sebuah hubungan majikan-budak
pada zaman dahulu memperlakukan budak
sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan akhir. Budak ini dianggap tidakmemiliki nilai moral, tidak memiiliki keinginan, dan tidak mampu membuat pilihan. Di sisi lain, hubungan majikan-karyawan yang sehat memperlakukan karyawan dengan rasa hormat dan martabat, baik sebagai sarana maupun tujuan akhir. Hubungan ini memgakui bahwa karyawan memiliki kekuatan untuk membuat pilihan dan keputusan, termasuk yang beretika, dan bahwa keputusan ini memiliki potensi untuk memngaruhi karyawan dan juga yang lainnya seperti klien, personel klien, dan majikan. Setiap orang berhak untuk mencapai tujuan pribadi mereka sendiri sepanjang mereka tidak melanggar imperatif praktis. Prinsip ini adalah Prinsip Kantian (Kantian Principle). Memperlakukan orang lain sebagai tujuan akhir mengakui bahwa kita semua bagian dari masyarakat, bagian dari komunitas moral. Dengan cara yang sama, jika saya bertindak positif terhadap tujuan saya sendiri, saya juga memiliki kewajiban untuk bertindak positif terhadap tujuan mereka. Jadi saya memperlakukan karyawan saya sebagai tujuan ketika saya membantu mereka memenuhi keinginan mereka (untuk belajar akuntansi dan mendapatkan pekerjaan) seraya menerima bahwa mereka juga mampu seperti saya dalam membuat keputusan etis yang mungkin berdampak pada masyarakat, pada komunitas moral kita. Kelemahan dalam Deontologi Sama seperti teori etika lainnya, deontologi memiliki masalah dan kelemahan. Masalah mendasar adalah bahwa imperatif kategoris tidak memberikan panduan yang jelas untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah jika dua atau lebih hukum moral mengalami konflik dan hanya satu yang dapat diikuti. Hukum moral mana yang diikuti? Dalam hal ini mungkin utilitarianisme menjadi teori yang lebih baik karena dapat mengevaluasi alternatif berdasarkan konsekuendinya. Sayangnya, dengan deontologi, konsekuensi menjadi tidak relevan. Satu-satunya hal yang penting adalah niat dari pembuat keputusan dan kepatuhan para pengambil keputusan untuk mematuhi imperatif kategoris seraya memperlakukan orang sebagai tujuan bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Imperatif kategoris menetapkan standar yang sangat tinggi. Bagi banyak orang, itu adalah etika yang sangat sulit diikuti. Ada banyak contoh di mana orang tidak diperlakukan dengan hormat dan martabat di mana mereka hanya dilihat sebagai alat dalam siklus produki dan akan digunakan kemudian dibuang setelah kegunaannya hilang. Perusahaan telah diboikot pelanggan karena mempekerjakan tenaga kerja dengan upah yang rendah (sweatshop), pekerja di bawah umur (anak-anak), gagal untuk memberikan upah hidup , atau untuk mengalihdayakan (outsourcing) menuju rezim represif. Merek pakaian Kathie Lee Gifford yang dijual oleh Wal-Mart mengalami konsekuensi serius pada tahun 1996 ketika diketahui bahwa produk-produknya diproduksi oleh tenaga kerja yang dibayar dengan upah yang rendah. Begitu juga dengan Nike. Untuk hidup sesuai dengan ideal, Kantian berarti mengakui bahwa kita semua adalah bagian dari suatu komuntas moral yang menempatkan tugas di atas kebahagiaan dan kesejahteraan ekonomi. Bisnis mungkin sangat baik jika lebih banyak manajer mau mengikuti tugas etika mereka dn mengikutinya hanya karena tugas-tugas itu merupakan tugas etika mereka. Namun demikian, mengikuti tugas seseorang dapat mengakibatkan kosekuensi yang merugikan seperti alokasi sumber daya yang tidak adil. Dengan demikian banyak yang berpendapat bahwa bukan berfokus pada konsekuens dan niat atau motivasi, etika harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kewajaran.
2.2.3. Keadilan dan Kewajaran – Memeriksa Saldo Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) berpendapat bahwa kebutuhan akan keadilan terjadi karena dua alasan: orang tidak selalu bermanfaat dan terdapat sumber daya yang langka. Sesuai dengan tradisi empiris Inggris, Hume percaya bahwa masyarakat terbentuk melalui kepentingan pribadi. Oleh karena kita tidak mandiri, kita perlu bekerja asama dengan orang lain untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama (yaitu untuk mendapatkan dukungan para pemangku kepentingan). Namun demikian mengingat adanya keterbatasan sumber daya dan fakta bahwa beberapa (orang) bisa mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain, perlu ada mekanisme untuk pembagian manfaat dan beban masyarakat dengan adil. Keadilan adalah mekanismenya. Hal tersebut mengandaikan bahwa orang memiliki klaim yang sah pada sumber daya yang langka dan mereka bisa menjelaskan atau membenarkan klaim mereka. Kemudian, ini adalah makna keadilan, untuk memberikan atau mengalokasikan manfaat dan beban berdasarkan alasan
rasional. Ada juga dua aspek keadilan yatu keadilan prosedural (proses untuk menentukan alokasi) dan keadilan distributif (alokasi yang sebenarnya). Keadilan Prosedural Keadilan prosedural berfokus pada bagaimana keadilan diberikan. Aspek utama dari sistem hukum yang adil adalah bahwa prosedurnya adil dan transparan. Hal ini berrarti bahwa setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan bahwa aturan-aturan yang memihak diterapkan secara sama. Preferensi tidak diberikan kepada satu orang berdasarkan karakteristik fisik (etnis, jenis kelamin, tinggi badan, atau warna rambut) maupun status sosial atau ekonomi (hukum diterapkan dengan cara yang sama untuk orang kaya dan miskin). Harus ada aplikasi yang konsisten dari hukum di dalam yurisdiksi hukum sepanjang waktu. Juga, keadilan harus dinilai berdasarkan fakta-fakta kasus ini. Hal ini berarti bahwa informasi yang digunakan untuk menilai berbagai klaim harus relevan, dapat dipercaya, dan diperoleh secara sah. Akhirnya ahrus ada hak untuk naik banding; dan orang yang kehilangan klaim harus mampu meminta otoritas yang lebih tinggi untuk meninjau kasus tersebut agar setiap potensi kekeliruan dikoreksi. Baik penilaian informasi yang digunakan untuk alokasi dan kemampuan untuk banding, bergantung pada transparansi dari proses. Hal ini merupakan karakteristik blind justice (keadilan yang tidak pandang bulu), di mana semua diperlakukan secara adil di hadapan hukum. Kedua belah pihak mengajukan klaim dan alasan mereka dan hakim memutuskan. Bagaimana hal ini berlaku untuk etika bisnis? Dalam lingkungan bisnis, keadilan prosedural biasanya tidak menjadi masalah penting. Sebagian besar organisasi memiliki prosedur operasi standar yang jelas dipahami oleh semua karyawan. Prosedur mungkin benar atau salah, tetapi karena prosedur tersebut merupakan standar, biasanya diterapkan secara konsisten. Dengan demikian, sebagian karyawan bersedia untuk membawa kasus mereka ke ombudsman atau pejabat senior atau bahkan subkomite dewan direksi dan membiarkan orang atau komite mengatur masalah ini. Begitu keputusan diambil, atau kebijakan baru dibuat, sebagian besar karyawan bersedia mematuhinya karena mereka merasa bahwa posisi alternatif mereka telah mendapat pemeriksaan yang adil. Keadilan Distributif Aristoteles (384-322 SM) mungkin menjadi orang pertama yang berpendapat bahwa suatu hal yang setara harus diperlakukan sama dan suatu hal yang tidak setara harus
diperlakukan berbeda sesuai dengan proporsi perbedaan relevan di antara mereka. “Kemudian hal inilah yang merupakan keadilan – yang proporsional; yang tidak adil adalah yang melanggar proporsi itu.” Anggapannya adalah bahwa semua orang adalah sama. Namun demikian apabila seseorang ingin mengatakan bahwa dua orang tidak sama maka beban pembuktiannya adalah menunjukkan bahwa, dalam situasi ini, mereka tidak setara yang didasarkan pada kriteria yang relevan. Sebagai contoh, calon karyawan memakai kursi roda tetapi dinyatakan mampu melaksanakan tugas normal. Apakah tidak etis (adil) jika tidak mempekerjakan calon karywan itu apakah lebih etis untuk memberikan akses kursi roda ke tempat kerja/ contoh lain adlaah upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Setelah bertahun-tahun berlakunya diskriminasi secara terang-terangan, undang-undang upah setara kini telah menjamin bahwa pria maupun wanita dibayar dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Sebaliknya, apabila mereka tidak benar-benar sama maka mereka tidak harus diperlakukan sama. Perbedaan upah hanya diperbolehkan jika mereka didasarkan pada perbedaan nyata seperti pelatihan dan pengalaman, pendidikan, serta tingkat tanggung jawab yang berbeda. Seorang pengacara baru tidak dibayar sebanyak partner senior yang lebih berpengalaman dalam perusahaan. Meskipun mereka memiliki pelatihan formal sekolah hukum yang sama, mitra yang lebih tua memiliki pengalaman yang lebih baik untuk dijadikan bekal serta seharusnya mampu membuat keputusan lebih cepat, lebih baik, dan yang lebih akurat daripada junior yang kurang berpengalaman. Dalam keadaan distribusi terdapat kriteria utama untuk menentukan distribusi yang adil yaitu kebutuhan, kesetaraan aritmatika, dan prestasi. Sistem pajak di negara maju sebagian besar didasarkan pada kebutuhan. Keadilan distributif berbasis kebutuhan tidaklah umum dalam lingkungan bisnis. Namun demikian, hal itu akan menjadi logis untuk proses anggaran sebuah perusahaan, dimana harus didasarkan pada alokasi wajar sumber daya langka agar tidak ada risiko penghambat motivasidari para eksekutif dan karyawan pada disenfranchised unit. Dalam lingkungan bisnis kesetaraan aritmatika dapat dianggap dilanggar ketika sebuah perusahaan memiliki dua kelas saham yang mempunyai hak sama dengan dividen, tetapi hak suara tidak sama, sehingga terjadi ketidaksetaraan hak untuk mengendalikan hak aliran kas dua kelas saham tersebut. Banyak perusahaan di Jerman, kanada, Italia, Korea, dan Brasil memiliki saham kelas ganda, dimana hak aliran kas tidak memilki hak control yang
sama. Di Kanada, misalnya, saham kelas A biasanya memiliki sepuluh suara dan saham kelas B hanya memiliki satu suara. Dengan cara ini, pemegang saham dapat memiliki katakanlah 54% dari hak kontorl melalui kepemilikan saham kelas A, sementara hanya 14% hak arus kas berdasarkan jumlah saham kelas A dan B yang beredar. Pemegang saham sejenis kelas A tersebut disebut pemegang saham pengendali minoritas, dan secara tidak adil mengambil keuntungan dari para pemegang saham lainnya. Pemegang saham minoritas selau bisa mengalahkan suara keberatan dari pemegang saham mayoritas. Metode lain dalam distribusi adalah berdasarkan prestasi. Hal ini berarti bahwa apabila salah satu individu berkontribusi lebih banyak pada proyek, maka individu tersebut harus menerima sebagian besar manfaat dari individu tersebut. Contohnya antara lain adalah upah berdasarkan prestasi dan pemegang saham preferen. Dalam contoh upah berdasarkan prestasi, karyawan yang berkontribusi lebih banyak untuk kesejahteraan perusahaan harus mendapat bagian dalam kemakmuran itu, seringkali dalam bentuk bonus. Sayangnya, rencana berdasarkan prestasi tersebut mendorong direktur, para eksekutif, dan karyawan untuk memalsukan peningkatan laba bersih agar mendapatkan bonus.
Keadilan sebagai Kewajaran Salah satu masalah dalam mendistribusikan keadlilan adalah bahwa alokasi mungkin bisa tidak merata. Filsuf Amerika John Rawls (1921-2002) mencoba mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan teori keadilan sebagai kesetaraan. Dalam The Theory of Justice, ia menyajikan sebuah argument didasarkan pada posisi klasik kepentingan pribadi dan kemandirian. Prinsip-prinsip yang menentukan alokasi yang merata di antara para anggota masyarakat adalah prinsip-prinsip keadilan. “Prinsip keadilan yang saya ambil untuk didefinisikan, kemudian, dengan peran prinsip-prinsip tersebut dalam menetapkan hak dan kewajiban dan dalam menentukan pembagian keuntungan sosial yang sesuai”. (John Rawls, 1971) Rawls berpendapat bahwa pada keadaan awal hipotesis orang akan menyetujui dua prinsip, yaitu bakwa harus ada kesetaraan dalam pengalihan hak-hak dasar dan kewajiban serta bahwa kesetaraan sosial dan ekonomi harus bermanfaat bagi anggota masyarakat termiskin (Prinsip perbedaan – Difference Principle) dan bahwa akses ke ketidaksetaraan ini harus terbuka unutk semua orang (fair equality of opportunity).
Dalam hal ini Rawls tidak setuju dengan ulilitarianisme karena prinsip tersebut mungkin menghitung dan menganggap siyuasi tidak adil dapat diterima. Ia memberikan contoh bahwa pemilik budak mungkin berpendapat bahwa mengingat struktur masyarakatnya, perbudakan adalah lembaga penting karena rasa sakit untuk budaj mungkin tidak lebih besar daripada utilitas yang berasal dari pemilik budak karena kenerdaan si budak. Namun, perbudakan adalah salah, bukan karena tidak adil, tetapi karena tidak setara.
2.2.4. Etika Kebajikan – Meneliti Kebajikan yang Diharapkan Dalam The Nicomachean Ethics, Aristoteles (384-322 SM) berpikir bahwa tujuan hidup adalah kebahagian atau kegiatan jiwa. Sekarang, kebajikan adalah karakter dari jiwa yang ditunjukkan hanya dalam tindakan sukarela, yaitu, dalam tindakan-tindakan yang dipilih secara bebas setelah musyawarah. Jadi, kita menjadi mulia karena sering melakukan tindakan kebajikan. Namun, Aristoteles juga merasa bahwa ada kebutuhan untuk pendidikan etika sehingga orang akan tahu tindakan apa yang berbudi luhur. Aristoteles berpikir bahwa kita dapat memahami dan mengidentifikasi kabajikan dengan mengatur karakteristik manusia pada tiga hal, dua hal diantaranya adalah menjadi jahat dan yang tengah menjadi baik. Menurutnya kebajikan adalah golden mean, yaitu jalan di antara posisi ekstrem yang akan bervariasi bergantung pada keadaan. Etika moralitas berfokus pada karakter moral dari pembuat keputusan daripada konsekuensi tindakan (utilitarianisme) atau motivasi dari pembuat keputusan (dentologi). Hal ini mengadopsi pendekatan yang lebih menyeluruh untuk memahami etika perilaku manusia. Hal ini mengakui bahwa ada banyak aspek dari kepribadian kita. Kepribadian kita memiliki banyak segi dan perilaku kita cukup kensisten. Meskipun kita semua memiliki banyak kebajika, dan serinh kali sama, kita menunjukannya dalam derajat yang berbedabeda, meskipun situasinya sama. Dalam lingkungan bisnis, etika kebajikan mengabaikan gagasan bahwa eksekutif mengenakan dua topi, satu topi yang mewakili nilai-nilai pribadi dan yang lainnya mewakili nilai-nilai perusahaan, dan percaya bahwa eksekutif hanya bisa memakai satu topi pada satu waktu. Kelemahan Etika Kebajikan
Ada dua masalah yang berkaitan dengan etika kebajikan. Apa saja kebajikan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis, dan bagaimana kebajikan ditunjukkan dalam tempat kerja? Sebuah kunci kebajikan dalam bisnis adalah integritas. Integritas melibatkan sifat jujur dan terhormat. Hal tersebut berarti perusahaan harus konsisten dengan prinsip-prinsipnya dalam bertindak. Hal ini ditunjukkan dengan tidak mengorbankan nilai-nilai inti bahkan ketika ada tekanan kuat untuk melakukannya. Contohnya adalah pertimbangan kasus pengumpulan dana oleh organisasi nirlaba. Mereka tidak menerima sumbangan dari individu dan organisasi yang memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai inti perusahaan mereka. Ditingkat individu, masalah dengan etika kebajikan adalah bahwa kita tidak dapat menyusun daftar panjang dari kebajikan. Selanjutnya, kebajikan mungkin hanya terjadi pada satu waktu tertentu. Seorang akuntan public mungkin perlu keberanian saat menceritakan pada CEO bahwa kebijakan akuntansinya tidak mengakibatkan penyajian laporan keuangan perusahaannya menjadi wajar. Seorang CEO membutuhan keterusterangan dan kebenaran saat menjelaskan sebuah potensi permapingan pada karyawan perusahaan dan orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang akan terpengaruh oleh penutupan pabrik. Banyak hal dalam daftar yang mungkin saling berkontradiksi dalam keadaan tertentu.
2.2.5. Imajinasi Moral Siswa sekolah bisnis dilatih untuk menjadi manajer bisnis, dan manajer bisnis diharapkan dapat membantu keputusan yang sulit. Manajer harus kreatif dan berinovasi dalam solusi sehingga bisa membantu memecahkan masalah bisnis praktis. Mereka hgarus benar-benar kreatif ketika menyangkut masalah etika. Para manajer harus menggunakan imajinasi moral mereka untuk mementukan alternative etika yang sama-sama menguntungkan. Artinya, keputusan haruslah berdampak baik untuk individu, baik bagi perusahaan maupun bagi masyarakat.
2.2.6. Teori Etika Teonom Pada dasarnya setiap teori etika yang ada memiliki kesamaan, kesamaan tersebut terletak pada kajian aspek moralitas, dimana moralitas hanya dikaji berdasarkan proses
penalaran manusia tanpa ada yang mengakui atau mengaitkannya dengan kekuatan tak terbatas (Tuhan). Dalam teori etikanya, walaupun Kant mencoba mengungkapkan bahwa ada kewajiban yang bersifat mutlak, namun ia mengatakan bahwa manusia harus mengikuto kewajiban moral tersebut demi kewajiban itu sendiri, bukan karena adanya tujuan, terlebih lagi karena hal-hal yang bersifat ilahi. Peschke S.V.D (2003) mengungkapkan keterbatasan akan teori-teori yang telah ada, dimana mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak terbatas yaitu kekuatan Tuhan yang ada dibelakang semua hakikat keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu mereka keliru menafsirkan tujuan hidup manusia bukan hanya untuk memperoleh kebahagiaan yang bersifat duniawi saja. Teori etika otonom merupakan salah satu teori yang dilandasi oleh filsafat Kristen. Teori ini mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan-aturan Allah sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci. Ada empat persamaan fundamental filsafat etika semua agama, yaitu: a.
Semua agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selain tujuan hidup di dunia. Hindu menyebutnya moksa, Budha menyebutnya nirwana, Islam menyebutkan akhirat, dan Kristen menyebutnya surge. Semua mengakui adanya eksistensi nonduniawi yang menjadi tujuan akhir umat manusia.
b. Semua agama mengakui adanya Tuhan dan semua agama mengakui adanya kekuatan tak terbatas yang mengatur alam semesta ini. c.
Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia, tetapi juga sebagi salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir umat manusia.
d. Semua agama memiliki ajaran moral yang bersumber dari kitab suci masing-masing. Ada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan bersifat mutlak yang dijumpai disemua agama, tetapi ada juga yang bersifat spesifik dan hanya ada pada agama tertentu saja. Setiap teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant terletak pada adanya pengabaian tujuan mutlak walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Bila pemikiran etika hanya dikaitkan dengan tujuan manusia yang berorientasi
duniawi yang bersifat terbatas maka akan tampak bahwa ajaran moral etika tersebut akan selalu bersifat relatif. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikaitkan dengan tujuan tertinggi manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia. Terlepas dari manusia mengakui adanya Tuhan atau tidak, setiap manusia telah diberikan Tuhan potensi kecerdasan tak terbatas yang melampaui kecerdasan rasional. Tujuan tertinggi umat manusia hanya dapat dicapai apabila potensi kecerdasan tak terbatas ini dimanfaatkan.
2.2.7. Egoisme Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (selfish). menurut teori ini oreang boleh saja yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada pada kenyataannya setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. jadi menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruism yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Sedangkan egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Perbedaan egoisme psikologis dengan egoisme etis adalah pada akibatnya terhadap orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan cirri mengabaikan atau merugikan kepentingan orabg lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Paham egoisme psikologis dilandasi oleh keutamaan sehingga tidak dapat dikatan tindakan tersebut bersifat etis. Pokok-pokok pandangan egoisme etis diantaranya: a.
Egoisme etis tidak mangatakan bahwa orang harus membela kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain.
b. Egoisme etis hanya nerkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri.
c.
Menurut paham Egoisme etis, tindakan meolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mngkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
d. Inti dari paham Egoisme etis adalah bahwa jika ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar, yang membuat tindakan itu benar adalah
kenyataan bahwa
tindakan itu mrnguntungkan diri sendiri. Alasan yang mendukung teori Egoisme etis, antara lain: a.
Argument bahwa alturisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi diri sendiri.
b. Pandangan tentang kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri. Alasan menentang teori Egoisme etis, diantaranya: a.
Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya seringkali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Misalnya, dalam satu keadaan di mana kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku berbeda dengan kepentingannya, agamanya, sukunya, atau negaranya, maka menurut paham ini tetntu yang diutamakan adalah kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku.
2.3. Etika Abad ke-20 Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai teori etika dan pemikiran moral yang terus berkembang, di bawah ini dijelaskan esensi dari beberapa pemikiran moral yang berpengaruh yang muncul pada abad ke-20 sebagai tambahan atas bebera[a paham/teori etika yang telah diuraikan sebelumnya. Ringkasan ini diambil dari buku Etika Abad Kedua puluh karangan Fransz Magnis-Suseno (2006).
2.3.1. Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore
Kata baik adalah kunci dari moralitas namun Moore merasa heran tidak satu pun etikawan yang berbicara tentang kata baik tersebut, sekan-akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Menurut Moore, di sinilah letak permasalahannya sehingga terdapat kekacauan dalam menafsirkan kata baik tersebut. Ada banyak penafsiran tentang sesuatu yang dianggap bak. Sebagaimana telah diuraikan di depan, ada yang menafsirkan kata baik sebagai nikmat (kaum hedonis), memenuhi keinginan individu (etika egoisme, etika psikologis), memenuhi kepentingan orang banyak (etika utilitarianisme), memenuhi kehendak Allah (etika teonom), dan bahkan ada yang mengatakan kata baik tidak mempunyai arti. Ini tidak mengherankan karena menurut Moore untuk menghindari kekacauan definisi, seharusnya dimulai dengan pertanyaan paling mendasar: apakah kata baik dapat didefinisikan atau tidak? anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak dapat didefinisikan, sama seperti kata kuning yang tidak bisa didefinisikan lagi. Walaupun kita telah mengumpulkan berbagai fakta, benda, atau sesuatu yang berwarna kuning, fakta ini tetap tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan definisi kuning itu sendiri. Alasannya karena kedua istilah itu – kuning, baik, dan seperti banyak istilah lain – mempunyai sifat primer. Suatu kata tidak dapat didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis. Berdasarkan penjelasan ini, menurut Moore kata baik tidak dapat didefinisikan. Baik adalah baik, titik. Setiap usaha untuk mendefinsikannya akan selalu menimbulkan kerancuan.
2.3.2. Tatanan Nilai Max Scheller Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category Immanuel Kant yang mengatakan bahwa hakikat moralitas terdiri atas kehendak untuk memnuhi kewajiban karena kewajiban itu sendiri. Kewajiban bukanlah unsur primer, melainkan mnegikuti apa yang bernilai. Manusia wajib memenuhi sesuatu untuk mencapai sesuatu yang baik dan yang baik itu adalah nilai. Jadi inti dari tindakan moral adalah tujuan merealisasikan nilainilai dan bukan asal memenuhi kewajiban saja. Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material di sini buakn dalam arti ada kaitan dengan materi tetapi sebagai lawan dari kata formal. Kedua istilah ini sering diapakai dalam konteks ilmu hukum. Bersifat apriori artinya kebernilaian suatu nilai tersebut mendahului segala pengalaman. Misalnya untuk mengetahui suatu makanan enak atau tidak memang hanya dicoba dan diperoleh melalui pengalaman memakan langsung makanan tersebut. Akan tetapi jika sesuatu yang enak itu merupakan sesuatu yang sudah positif/pasti maka nilai tersebut dikatakan telah diketahui lebih dahulu tanpa dicoba (apriori).
Menurut Scheller ada empat gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu: (1) nilai-nilai sekitar enak dan tidak enak, (2) nilai-nilai vital, (3) nilai-nilai rohani murni, (4) nilai-nilai sekitar roh kudus.
2.3.3. Etika Situasi Joseph Fletcher Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak. Ia berpendapat bahwa setiap kebijakan moral selalu bergantung pada situasi konkret. Sesuatu ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat tetapi ketika berada dalam situasi yang lain bisa jadi salah dan jelek. Norma-norma umum tidak pernah berlaku begitu saja karena norma-norma itu hanya mengikat apabila tuntutan situasi, hal-hal yang wajib dilakukan tidak dapat diketahui. Itulah sebabnya, moralitas hanya dapat dipahami dalam situasi konkret – padahal, situasi konkret tidak selalu sama – sehingga etika Fletcher sering disebut etika situasi.
2.3.4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch Iris Murdoch mengamati bahwa teori-teori pasca-Kant yang memusatkan perhatiannya kepada kehendak bebas tidak mengenai sasaran. Menurut Murdoch, yang khas dari teoriteori etika pasca-Kant adalah bahwa nila-nilai moral dibuang dari dunia nyata. Teori Murdoch menyatakan bahwa bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai melainkan kemampuan untuk melihat dengan penuh kasiih dan adil. Hanya pandangan yang penuh kasih dan adil yang menghasilkan pengertian yang betul-betul benar.
2.3.5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederick Skinner Teori Skinner mengenai pengelolaan keyakinan dimulai dari pengamatannya bahwa dalam ilmu fisik dan ilmu hayat, manusia telah mencapai kemajuan luar biasa dalam dua ribu terakhir. Akan tetapi anehnya untuk menemukan bagaimana manusia harusnya bertindak, ilmu etika sekarang ini tidak maju jauh dari apa yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ia mengacu pada lmu kelakuan sederhana yang dikembangkan oleh Pavlov. Ide dasar Skinner adalah menemukan teknologi/cara untuk mengubah perilaku. Apabila kita
dapat merekayasa kondisi-kondisi kehidupan seseorang maka kita dapat merekayasa kelakuannya. Mengapa pengaruh lingkungan terhadap kelakuan manusia tidak diperhatikan? Menurut Skinner, hal tersebut karena filsafat dan ilmu-ilmu manusia lainnya hanya memfokuskan perhatiannya pada inner state (keadaaan batin manusia). Yang dimaksud dengan keadaan batin di sini adalah kesadaran manusia, pikiran, kehendak, perasaan, maksud, cita-cita, sasaran, dan tujuan-tujuannya, serta kehendak bebas dari dalam diri manusia itu sendiri. Intinya, inner state saja tidak cukup untuk mengubah tingkah laku. Perlu ada rekayasa atas kondisi-kondisi kehidupan yang berasal dari luar diri manusia itu untuk mengubah kelakuannya.
2.3.6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas Jonas mengamati bahwa walaupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kemajuan, tetapi kemajuan tersebut juga menimbulkan masalah baru berupa ancaman kelanjutan kehidupan umat manusia – bahkan kelanjutan kehidupan di bumi. Etika tradisional hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam lingkungan dekat dan sesaat. Etika macam ini tidak dapat lagi menghadapi ancaman global kehidupan manusia dan smeua kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Jonas menekankan pentingnya dirancang etika baru yang berfokus pada tanggung jawab. Intinya adalah kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa depan.
2.4. Praktik Pengambilan Keputusan Etis 2.4.1. Pemaparan Kasus Pos Indonesia Enggan Kerjasama dengan Banyak Bank
Dalam kerjasama dengan pihak perbankan, PT Pos Indonesia memilih tidak ingin bekerjasama dengan banyak bank. Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi
Setiawan mengatakan, untuk channeling, perseroan mengaku perseroan lebih senang bekerjasama secara optimal dengan satu bank saja. Budi menjelaskan dalam kerjasama dengan perbankan, perseroan mempertimbangkan target pasar yang disasar kedua belah pihak. Ini agar kedua belah pihak dapat bersama-sama mengembangkan segmen pasar tersebut. "Kami kerjasama dengan bank itu lebih ke market yang mau disasar. Market PT Pos hanya C dan D ke bawah. A dan B tidak, sehingga kita hanya bekerjasama dengan satu bank yang segmennya hampir sama dengan kita," kata Budi di Jakarta, Kamis (20/2/2014). Lebih lanjut Budi menjelaskan, Pos Indonesia tak mau bekerjasama dengan banyak bank. Dengan bekerjasama hanya dengan satu bank, pekerjaan dan pelayanan dapat lebih efektif dan optimal. "Tidak mau kerjasama dengan banyak bank. Toh market-nya juga sama Lebih baik satu tapi maksimal. Kalau kebanyakan nanti takut kanibalisme. Dengan satu bank, kita bisa sama-sama mengembangkan market dan apa yang bisa dioptimalkan layanan nasabah," jelasnya. Budi mengungkapkan, channeling merupakan salah satu pos perseroan dalam sektor jasa keuangan. Selain itu, layanan jasa keuangan Pos Indonesia meliputi Pos Pay yang melayani pembayaran tagihan seperti listrik, air, kredit pembiayaan dan sejenis, transfer uang dan remitansi, dan distribusi keuangan seperti misalnya dana pensiun. "Untuk bank channeling kami kerjasama dengan BTN. Salah satunya untuk menyalurkan kredit dan produk tabungan," jelas Budi.1
2.4.2. Analisa Kasus
Analisis PT Pos Indonesia Etikalitas dari keputusan kerja sama perbankan untuk produk keuangan dapat dianalisis menggunakan teori etika yang berbeda dengan kesimpulan yang bisa berbeda antarteori. Teori-teori etika membantu membingkai pertanyaan dan teoriteori tersebut membantu dalam menyoroti aspek kasus yang mungkin diabaikan jika kasus tersebut dianalsisi dalam istilah ekonomi murni. Teori-teori juga dapat membantu dalam menjelaskan dan membela pilihan yang akhirnya Anda pilih.
1
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/20/1521581/Pos.Indonesia.Enggan.Kerjasama.dengan.Bany ak.Bank (diakses hari Rabu, 26 Februari 2014)
Namun pada akhirnya Anda harus memiliki keberanian atas keyakinan Anda dan membuat pilihan itu.
Utilitarianisme Utilitarianisme berpendapat bahwa alternatif etika terbaik adalah salah satu yang akan menghasilkan jumlah kesenangan berrsih terbesar kepada khalayak luas sebagai pemangku kepentingan relevan. Dalam hal ini, kesenangan dapat diukur dalam bentuk kepuasan pelanggan. PT Pos Indonesia sebagai perusahaan yang memiliki pertimbangan bisnis dalam setiap keputusannya memiliki beberapa pilihan dalam menawarkan produk keuangan kepada masyarakat umum sebagai konsumen mereka. Pilihan yang dapat diambil PT Pos Indonesia secara umum ada dua yaitu (1) bekerja sama dengan satu satu bank, (2) bekerja sama dengan banyak bank. Kedua pilihan tentu memiliki kemungkinan konsekuensi yang berbeda dalam hal kepuasan pelanggan. Ini tidak terlepas dari kriteria etis yang melatarbelakangi teori utilitarianisme yaitu memberi manfaat/kegunaan bagi banyak orang. Apabila bekerja sama hanya dengan satu bank, maka kemungkinan masyarakat yang terjangkau sangat terbatas sebab hanya mereka yang memiliki rekening di bank tersebut. Meskipun sekarang sudah ada layanan semacam ATM bersama atau transfer antarbank namun tetap saja akan berbeda apabila memakai bank yang menjadi tempat tabungan kita. Sedangkan bila PT Pos Indonesia mengambil pilihan bekerja sama dengan banyak bank sepertinya akan lebih banyak kalangan masyarakat yang akan terakomodasi. Itu berarti nilai kepuasan mayarakat cenderung meningkat dibandingkan bila hanya menggunakan satu bank. Namun perlu diingat bahwa utilitarianisme mengharuskan Anda memeriksa konsekuensi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang tepengaruh oleh pengambilan keputusan. Selain masyarakat umum selaku pengguna maka terdapat para manajer bank dan seluruh pegawai bank yang akan terpengaruh. Apabila PT Pos Indonesia bekerjasama dengan banyak Bank maka profit dan keuntungan operasional yang muncul tidak hanya diperoleh oleh satu Bank namun seluruh Bank yang melakukan kerjasama dengan PT Pos Indonesia. oleh karena itu
dari perspektif Utilitarian, sebaiknya PT Pos Indonesia bekerja sama dengan banyak bank dalam pelayanan produk keuangannya agar semakin besar kuantitas kepuasan para masyarakat.
Deontologi Deontologi melihat pada motivasi pembuat keputusan dan bukan konsekuensi dari keputusan tersebut. Apakah bagi sebuah perusahaan untuk bekerja dengan optimal maka harus membatasi jumlah pihak yang bekerja sama? PT Pos Indonesia memilih hanya satu bank sebagai partner untuk memberikan pelayanan channeling, salah satu pos perseroan dalam sektor jasa keuangan seperti untuk menyalurkan kredit dan produk tabungan, dengan alasan ingin mengembangkan segmen pasar yang sama. Lebih lanjut, Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan mengatakan, dengan bekerjasama hanya dengan satu bank, pekerjaan dan pelayanan dapat lebih efektif dan optimal. Selain itu plihan ii juga untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antarbank, atau dalam istilah Budi kanibalisme. Dari argumentasi Budi, PT Pos Indonesia telah mengambil keputusan yang terbaik dengan hanya memilih bekerja sama dengan satu bank. Sebab bila perusahaan tetap memilih banyak Bank untuk bekerja sama, dikhawatirkan pelayanan yang dilakukan justru kurang optimal dan merugikan perusahaan karena pendapatan yang menurun. Dari perspektif deontologi, maka memang seharusnya perusahaan hanya bekerja sama dengan satu Bank sembari bersama-sama mengembangkan segmen pasar tertentu sehingga kinerja PT Pos Indonesia dapat optimal. Perspektif deontologis tidak mementingkan konsekuensi. Hal yang penting adalah bahwa keputusan dibuat untuk alasan yang tepat. Fakta bahwa pelanggan mungkin saja merasa keberatan karena harus menggunakan satu Bank tertentu yang dipilih oleh PT Pos Indonesia menjadi tidak relevan.
Keadilan dan Kewajaran Keadilan distributif berpendapat bahwa yang setara harus diperlakukan sama dan yang tidak setara harus diperlakukan tidak sama sesuai dengan ketidaksetaraan dan perbedaan yang relevan. Apakah semua Bank sama? Hal ini akan bergantung pada
dasar apa yang dipakai untuk menentukan perbedaan dan kesamaan antarbank. Apabila melihat dari struktur dan karakteristik operasionalnya maka tidak akan ditemukan perbedaan yang cukup signifikan antara satu bank dengan bank yang lainnya sehingga PT Pos Indonesia mungkin tidak perlu membatasi Bank yang dijadikan partner untuk produk channeling. Dengan kata lain, mereka harus diperlakukan sama. Hal ini berarti bahwa sebuah bisnis tidak ingin mengasingkan salah satu basis pelanggan dalam industri perbankan. Namun apabila dasar yang dipilih oleh PT Pos Indonesia adalah segmen dan target pasar maka sangat mungkin akan terdapat perbedaan antara satu bank dengan bank yang lain. Hal yang sama menjadi pertimbangan Dirut PT Pos Indonesia untuk bekerja sama dengan satu bank yang segmennya hampir sama dengan PT Pos Indonesia.
Etika Kebajikan Etika kebijakan berfokus pada karakter moral dari pembuat keputusan. Nilai-nilai apakah yang diinginkan Direktur Utama Budi Setiawan untuk diproyeksikan oleh perusahaannya, dalam hal ini PT Pos Indonesia? Ditinjau dari keputusan perusahaan yang hanya bekerja sama dengan satu Bank saja, maka masyarakat mungkin saja menginterpretasikan aksi korporasi tersebut sebagai keegoisan dan pragmatisme bisnis PT Pos Indonesia yang sematamata mengejar keuntungan bisnis. Padahal apabila PT Pos Indonesia mau menerima lebih banyak Bank sebagai partner penyaluran kredit dan produk tabungan maka lebih banyak kalangan masyarakat yang terakomodasi untuk mengakses layanan tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak Bank yang bekerja sama dengan PT Pos Indonesia maka akan semakin banyak jumlah masyarakat yang “tertolong” dan semakin banyak pula Bank yang akan memperoleh keuntungan dari produk keuangan tersebut.
Imajinasi Moral atau Taktik Perusahaan? Imajinasi moral berarti datang dengan sebuah solusi konservaif dan inovatif untuk suatu dilema etika. PT Pos Indonesia membutuhkan sebuah perbankan untuk bekerja sama dalam penyediaan produk channeling. Apakah membatasi hanya satu Bank
sebagai partner merupakan sebuah contoh imajinasi moral atau apakah itu hanya taktik pemasaran? Ditinjau dari pernyataan Dirut PT Pos Indonesia Budi Setiawan berikut "Tidak mau kerjasama dengan banyak bank. Toh market-nya juga sama Lebih baik satu tapi maksimal. Kalau kebanyakan nanti takut kanibalisme. Dengan satu bank, kita bisa sama-sama mengembangkan market dan apa yang bisa dioptimalkan layanan nasabah," maka keputusan yang diambil oleh PT Pos Indonesia adalah murni bisnis demi optimalisasi kinerja perusahaan.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Setelah mengulas berbagai filosofi, konsep mengenai nilai-nilai kebaikan, moral, dan etika serta mengupas pokok-pokok pikiran dari berbagai macam teori etika yang berkembang, maka dapat dirangkum beberapa hal sebagai berikut: a) Tampaknya saat ini telah muncul beragam paham/teori etika, di mana masing-masing teori mempunyai pendukung dan penentang yang cukup berpengaruh. Teori satu dipertentangkan dengan teori lainnya. b) Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, atau pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia. c) Hampir semua teori etika yang ada didasarkan atas paradigma tidak utuh tentang hakikat manusia, artinya setiap teori hanya ditinjau dari proses penalaran berdasarkan potongan-potongan terpisah dan terbatas dalam melihat makna atau tujuan hidup manusia. d) Semua teori yang seolah-olah saling bertentangan tersebut sebenarnya tidak lah bertentangan . bila dilihat secara sepotong-potong memang terkesan ada pertentangan antara teori satu dengan yang lain. Namun bila dilihat dari suatu proses evolusi kesadaran diri, semua teori yang ada menjelaskan tahapan-tahapan moralitas sejalan dengan pertumbuhan tingkat kesadaran diri seseorang.
3.2 Saran Dari diskusi yang telah kami lakukan maka ada beberapa hasil yang mampu disarankan mengenai etika dalam bisnis: a) Kita perlu memahami secara komprehensif mengenai berbagai teori etika yang ada untuk melakukan perbandingan sebab tidak ada teori yang paling benar sampai saat ini.
b) Memasukkan dan mempertahankan Mata Kuliah Etika Profesional Akuntan dalam kurikulum program studi akuntansi. c) Perlu bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) selakau organ isasi profesi untuk mengembangkan penerapan etika ini dalam praktik pengambilan keputusan etis perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, S. Dan C. Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi, Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Salemba Empat, Jakarta. Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta