KATA PENGANTAR DEPUTI BIDANG HUBUNGAN KELEMBAGAAN DAN KEMASYARAKATAN
Bismillahirahmaanirahiim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kita masih
bisa
diberikan kesempatan untuk tetap berkarya dan melaksanakan tugas pengabdian kepada Bangsa dan Negara tercinta ini. Penyusunan buku ini merupakan lanjutan dari buku Profil Lembaga Negara Rumpun Legislatif yang telah terbit pada tahun 2011 dan buku Profil Lembaga Negara Rumpun Yudikatif yang terbit tahun 2012. Rencana kedepan juga akan disusun kompilasi Buku Profil Lembaga Negara pada tahun mendatang sebagai bentuk pelaksanaan tugas pokok Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural.
i
Sesuai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, penyusunan Buku Profil Lembaga Negara Rumpun Keuangan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai sejarah, dasar hukum, tugas dan fungsi serta kewenangan lembaga negara rumpun keuangan. Akhirnya, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh jajaran Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural yang telah berusaha menyajikan buah pikirannya dalam penerbitan buku ini dengan sangat baik. Semoga buku ini dapat berguna bagi para pembacanya secara umum dan pejabat serta pegawai Kementerian Sekretariat Negara RI pada khususnya. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum wr wb.
Jakarta,
November 2013
Deputi Bidang Hubungan kelembagaan dan Kemasyarakatan,
Taufik Sukasah
ii
DAFTAR ISI
hal Pengantar Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan …………………………………………..
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...
iii
BAB I PENDAHULUAN …….………………………………………………………………..
1
1. Latar Belakang ……………………………………………………………….…...
1
A. Sekilas Mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .........
2
B. Sekilas Mengenai Bank Sentral ................................................
7
2. Tujuan Penulisan ……………………………………………………………...…
10
3. Sistematika Penyajian ..............................................................................
11
BAB II LANDASAN TEORITIS LEMBAGA NEGARA RUMPUN KEUANGAN ….....…..................................................................................
13
A. Teori tentang Pemeriksaan …………………………….....…..……...…….
13
B. Teori tentang Keberadaan Bank Sentral .......................................
19
C. Gambaran Umum Organisasi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral .…..………..….……….................................................................
31
BAB III BADAN PEMERIKSA KEUANGAN ..…………………………………….…….
iii
41
1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan ………………..............................
41
2. Dasar Hukum ……………………….…………………………………….……....
60
3. Susunan dan Kedudukan BPK …………………………………….……….
61
4. Tugas dan Kewenangan BPK …………………………………..…….……
69
5. Keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan ….…………….....……..
73
6. Peran Serta BPK Dalam Tataran Internasional …………….….…..
75
BAB IV BANK INDONESIA ……………………….........………………………………..…
83
1. Sejarah Pembentukan Bank Sentral (Bank Indonesia) di Indonesia ........................................................................................…
83
2. Dasar Hukum Bank Indonesia …...……………………………….………
105
3. Susunan dan Kedudukan BI ............................….……………….……….
107
4. Tujuan, Tugas dan Kewenangan BI …..…………………………….…..
119
5. Keanggotaan Bank Indonesia ...............……..………………….……….
122
6. Peran Serta BI dalam Kancah Internasional ..................................
126
BAB V PENUTUP ..............…………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA
iv
139
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka dibentuklah suatu pemerintahan yang memiliki cita-cita luhur antara lain yaitu memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara dibagi habis kekuasaannya berdasarkan trias politica. Namun dalam kenyataannya, Negara Indonesia tidak menganut trias politica murni sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu (1748) yang membagi kekuasaan negara menjadi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pada Batang Tubuh UUD 1945 yang telah diamandemen, selain kekuasaan
Eksekutif
untuk
menjalankan
pemerintahan
(Presiden/Wakil Presiden), Legislatif yang membuat UndangUndang (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), dan Yudikatif untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (MA, MK, dan KY), juga diatur mengenai wewenang pemeriksaan atas keuangan (Inspektif)
1
yang dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga moneter yang dijalankan oleh bank sentral. Kedua lembaga tersebut yaitu BPK dan bank sentral (yang saat ini wewenangnya berada pada Bank Indonesia) dalam buku ini kami kelompokan menjadi Lembaga Negara Rumpun Keuangan, meskipun dalam tugas dan fungsinya berbeda namun memiliki kesamaan ranah yakni keuangan. A. Sekilas mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dewasa ini, seiring dengan tuntutan publik atas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah, maka kebutuhan akan
laporan
pertanggungjawaban
pengelolaan
keuangan
pemerintah yang menyajikan fakta apa adanya makin meningkat. Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, pemerintah dengan persetujuan DPR-RI telah menetapkan undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mewajibkan Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota
untuk
menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan
2
Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) berupa Laporan Keuangan. Laporan keuangan tersebut meliputi Laporan Realisasi Anggaran APBN/APBD, Neraca dan Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan, dan telah diperbaharui dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 menjadi Laporan Pelaksanaan Anggaran
(budgetary
reports)
berupa
Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL), Laporan financial (keuangan) yang terdiri dari Neraca, LO (Laporan Operasonal), LPE (Laporan Perubahan Ekuitas), dan LAK (Laporan Arus Kas), dan CaLK (Catatan atas Laporan Keuangan). Pemerintah sebagai pihak yang ditugasi menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan untuk dinilai apakah pemerintah berhasil menjalankan tugas dengan baik atau tidak.
Pemerintah dituntut agar pengelolaan keuangan
dilakukan secara baik demi terwujudnya tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel. Dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut
3
juga menetapkan bahwa Laporan Keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh BPK. Tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah melaksanakan pemeriksaan keuangan, kemudian hasil dari pemeriksaan BPK akan dikeluarkan pendapat atau opini yang merupakan pernyataan profesional pemeriksa atas pemeriksaan laporan keuangan. Pemeriksaan Laporan Keuangan yang bertujuan untuk menilai kewajaran penyajian informasi keuangan yang disusun dan disajikan oleh Pemerintah. penilaian
tersebut
dituangkan
dalam
bentuk
Hasil
pernyataan
pendapat/opini auditor BPK RI tentang kewajaran penyajian informasi
keuangan.
Pemeriksaan
dimaksud
adalah
untuk
meningkatkan bobot pertanggungjawaban pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemberian opini atas Laporan Keuangan Pemerintah didasarkan pada pertimbangan atas: a. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
b. Efektivitas Pengendalian Intern; c. Kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan; dan d. Pengungkapan yang Lengkap (Full Disclosure). Sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. BPK RI memberikan empat jenis opini, yaitu :
4
1) Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) adalah pendapat yang menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, Laporan Realisasi APBN, Laporan Arus Kas, Neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan. 2) Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion) adalah pendapat yang menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, Laporan Realisasi APBN, Laporan Arus Kas, Neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Sebagian pemeriksa memberikan julukan little adverse (ketidakwajaran yang kecil) terhadap opini jenis ini, untuk menunjukan adanya ketidakwajaran dalam item tertentu,
5
namun demikian ketidakwajaran tersebut tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. 3) Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion) adalah pendapat yang menyatakan
bahwa
laporan
keuangan
pemerintah
yang
diperiksa tidak menyajikan secara wajar Laporan Realisasi APBN, Laporan Arus Kas, Neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Jika laporan keuangan mendapatkan opini jenis ini, berarti auditor meyakini laporan keuangan pemerintah daerah diragukan kebenarannya, sehingga bisa menyesatkan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. 4) Pernyataan
Menolak
Memberikan
Pendapat
(Disclaimer
Opinion) adalah pendapat yang menyatakan bahwa Auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan, jika bukti pemeriksaan/audit tidak cukup untuk membuat kesimpulan. Opini ini bisa diterbitkan jika auditor menganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi oleh pemerintah yang diaudit, misalnya karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan laporan sudah disajikan dengan wajar.
Kemudian didukung oleh salah
satu kriteria pemeriksaan atas laporan keuangan, yang dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan, yang disajikan dalam laporan
6
keuangan salah satunya berdasarkan pada pengungkapan yang lengkap (full disclosure). Oleh karena itu pengungkapan (disclosure) merupakan hal yang sangat penting dalam pemeriksaan untuk mengeluarkan opini atas laporan keuangan tersebut. Begitu pentingnya peran pengungkapan (disclosure) dalam laporan keuangan, pemeriksaan laporan keuangan dilakukan oleh pihak yang independen dikarenakan informasi pengungkapan dalam laporan keuangan memiliki konsekuensi ekonomis yang substansial dalam pengambilan keputusan. Selain itu para pengguna laporan keuangan memerlukan pihak yang independen, untuk mendapatkan penjelasan tentang informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
B. Sekilas Mengenai Bank Sentral Menurut Hossain (2010) uang adalah darah bagi perekonomian modern. Sebuah perekonomian yang telah termonetisasi (sudah mengenal dan menggunakan uang) jauh lebih efisien daripada perekonomian barter, khususnya berkenaan dengan urusan transaksi, tabungan, dan investasi. Penyebab utamanya adalah karena biaya-biaya transaksi dalam perekonomian yang telah termonetisasi akan jauh lebih rendah ketimbang yang ada dalam perekonomian
barter.
Setiap
7
perekonomian
barter
terlalu
mengandalkan “kecocokan kebutuhan yang kebetulan sama” yang dalam kenyataan sehari-hari sangat jarang terjadi. Dengan jauh lebih efisiennya produksi, distribus, dan perdagangan dalam perekonomian yang termonetisasi, maka tingkat kesejahteraan yang dapat diraih penduduknya pun jauh lebih tinggi. Peran pokok uang adalah sebagai alat memudahkan transaksi berbagai barang, jasa dan aset. Jika nilai uang dibuat stabil, maka uang juga dapat dimanfaatkan sebagai alat penyimpan nilai (Lewis dan Mizen, 2000). Para tokoh aliran ekonomi moneter menegaskan bahwa saldo-saldo riil memudahkan proses produksi, dan dalam kaitan ini uang dapat pula dipandang sebagai faktor produksi komplementer.
Namun
manajemen
moneter
dalam
setiap
perekonomian modern tidaklah sesederhana itu. Salah satu masalah yang selalu menghadang adalah terbatasnya kontrol terhadap tingkat penawaran uang sehingga hal ini sangat mudah “lepas kendali”. Pengalaman dibanyak negara yang begitu sering mengalami lonjakan inflasi mengisyarakatkan bahwa otoritas moneter karena berbagai alasan acapkali kehilangan kontrol terhadap penawaran uang sehingga justru merugikan laju pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakatnya (Easterly dan Fishcer, 2001).
8
Bank sentral pada lazimnya memegang monopoli pemasokan uang. Oleh karena itu, bank sentral memikul tanggung jawab untuk menentukan dan mengendalikan tingkat peredaran uang. Namun dalam praktiknya tidak ada konsensus tentang bagaimana bank sentral harus menjalankan tanggung jawab tersebut. Peran bank sentral yang terus meningkat dalam manajemen moneter bertolak dari pandangan klasik bahwa uang bisa lepas kendali, sebagaimana dikemukakan oleh J.S. Mill (1848). Pada pokoknya sebuah bank sentral dipandang bertanggung jawab memelihara stabilitas moneter
(atau
harga)
melalui
penyesuaian
tingkat-tingkat
penawaran uang. Stabilitas harga, biasanya ditandai oleh inflasi yang rendah dan terkendali, memiliki karakteristik sebagai sebuah barang publik. Namun ada
hal lain yang menjadikan manajemen moneter
sedemikian penting. Seperti diisyaratkan di atas, meskipun uang tidak mempengaruhi variabel-variabel riil dalam jangka panjang, kebanyakan ekonom sepakat bahwa uang memberikan pengaruh terhadap perekonomian dalam jangka pendek. Pengaruh-pengaruh tersebut acap kali sulit diprediksikan sehingga banyak kalangan berpendapat bahwa pengaruh-pengaruh itu sebaiknya tidak dieksploitasi oleh otoritas moneter (Friedman, 1961). Lebih jauh lagi, sejauh mana kebijakan moneter harus digunakan untuk mempromosikan pertumbuhan atau stabilisasi ekonomi, masih
9
diperdebatkan. Teori dan kebijakan moneter modern sesungguhnya berkisar
pada
tema
tersebut,
terutama
di
negara-negara
berkembang. Dalam kaitan itulah, bank-bank sentral sebagai otoritas penerbit dan pengendali cadangan uang menjadi agen utama dalam keseluruhan manajemen moneter demi terciptanya stabilitas harga. Peran penting bank sentral pada masa sebelumnya belum terlalu diperhatikan sehingga di banyak negara bank sentral seolah-olah merupakan cabang dari kementerian keuangan (Fry, 1992). 2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, buku profil ini akan melihat lembaga negara rumpun keuangan dari beragam perspektif mulai dari sejarah berdiri hingga fungsi dan kewenangannya. Semua materi sengaja disajikan dalam kemasan yang sederhana baik dari segi pemilihan kata maupun pemaparan data grafis pendukung seperti tabel atau diagram demi tercapainya pesan informasi yang dapat dipahami semua kalangan pembaca. Bagi pembaca yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang disinggung dalam buku ini, dapat membaca langsung literatur jurnal atau buku teks referensi yang terdaftar di bagian daftar pustaka. Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan penerbitan buku profil lembaga negara rumpun keuangan ini adalah memberikan
10
penjelasan yang lengkap dan menyeluruh mengenai Badan Pemeriksa Keuangan dan Bank Indonesia sebagai bank sentral secara utuh kepada masyarakat luas dengan bahasa komunikasi yang lebih sederhana dan mudah dicerna. Buku ini akan berusaha membawa wawasan informasi mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Pemaparan konsep dasar mengenai teori-teori terkait lembaga negara rumpun keuangan seperti teori pemeriksaan dan teori bank sentral. 2. Pendeskripsian sejarah berdirinya lembaga negara rumpun keuangan serta dasar hukumnya. 3. Gambaran negara
komprehensif mengenai
rumpun
keuangan
dalam
keberadaan sistem
lembaga
pemerintahan
Indonesia seperti dasar hukum, susunan dan kedudukan, dan kantor perwakilannya. 4. Penjelasan
tentang
fungsi
utama,
kewenangan
dan
keanggotaannya, serta peran dari lembaga negara rumpun keuangan dalam tataran dunia internasional. 3. Sistematika Penyajian
Buku ini disajikan dari lima bab. Bab I sebagai bab pendahuluan memberikan latar belakang penulisan buku, sasaran yang ingin dicapai dan kemanfaatan buku ini, serta sistematika penyajian. Bab II menjelaskan landasan teoritis mengenai pemeriksaan keuangan
11
terkait keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lebih lanjut pada bab ini dipaparkan mengenai teori bank sentral di dunia dan mengerucut kepada keberadaan kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia. Pada Bab III mengulas secara rinci sejarah berdirinya tugas Badan Pemeriksa Keuangan, landasan hukumnya, susunan dan kedudukan BPK, kantor perwakilan, tugas dan kewenangannya, keanggotaannya, serta peran BPK dalam tataran dunia internasional. Bab IV memberikan uraian lengkap mengenai Bank Indonesia mulai dari sejarah berdirinya, dasar hukumnya, susunan dan kedudukan BI,
kantor
perwakilan,
tujuan,
tugas
dan
kewenangannya,
keanggotaannya, serta peran BPK dalam kancah
internasional.
Buku ini akan diakhiri dengan bab penutup yakni bab V yang akan merangkum paparan wawasan dari bab-bab sebelumnya.
12
BAB II LANDASAN TEORITIS LEMBAGA NEGARA RUMPUN KEUANGAN
A. Teori tentang Pemeriksaan
Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara seperti yang diamanatkan dalam ketentuan yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan udang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara diperlukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan tersebut oleh suatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Negara
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia
Tahun
1945
Pasal
23E
yang
menyebutkan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan atau auditing menurut Sukrisno Agoes (2004), adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatancatatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 pemeriksaan BPK meliputi semua Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan Anggaran
Perusahaan-Perusahaan
Milik
Negara
/
Daerah
(BUMN/D), yang pada hakekatnya seluruh kekayaan negara. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Badan Pemeriksa Keuangan merupakan suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Dalam buku Rencana Strategis BPK 2011-2015 Ketua BPK Hadi Poernomo menyebutkan bahwa “BPK telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam dasawarsa terakhir ini. Sejak diterbitkannya paket undang-undang tentang keuangan negara pada tahun 2003-2004 dan dengan dikeluarkannya UU Nomor 15/2006 tentang BPK sebagai pengganti UU Nomor 5/1973, peran dan posisi BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara diperkuat dari segi pemeriksaan, organisasi, pegawai, dan anggaran”. a. Berdasarkan SK BPK-RI NOMOR 39/K/I-VIII.3/7/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK, Inspektorat Utama (ITAMA) merupakan salah satu unsur pelaksana tugas BPK yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada BPK. Itama
14
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh unsur Pelaksana BPK. b. BPK telah menerbitkan Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Kode Etik BPK dan Keputusan Sekjen BPK Nomor 21/K/X-XIII.2/1/2009
tentang
Petunjuk
Pelaksanaan
Pemeriksaan Dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pada Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan. c. BPK juga telah melakukan kerja sama pengembangan dan peningkatan kualitas SDM di bidang pemeriksaan maupun non pemeriksaan dengan berbagai pihak, baik nasional maupun internasional, antara lain : 1) Bidang metodologi pemeriksaan kinerja dan keuangan dengan BPK Australia 2) Bidang pemeriksaan investigatif dengan instansi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) dan Pusat Pelaporan Akuntansi dan Transaksi Keuangan (PPATK) 3) Bidang pemeriksaan lingkungan dan bencana alam, serta penggunaan teknologi Geographic Information System dan Remote Sensing dengan BRR, LAPAN, ITB, beberapa BPK negara lain, dan INTOSAI. 1.
Jenis-jenis audit Menurut (Sukrisno Agoes, 2004), ditinjau dari luasnya pemeriksaan, maka jenis-jenis audit dapat dibedakan atas:
15
a. Pemeriksaan
Umum
(General
Audit),
yaitu
suatu
pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen dengan maksud untuk memberikan opini mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. b. Pemeriksaan Khusus (Special Audit), yaitu suatu bentuk pemeriksaan yang hanya terbatas pada permintaan auditee yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan memberikan opini terhadap bagian dari laporan keuangan yang diaudit, misalnya pemeriksaan terhadap penerimaan kas perusahaan. Ditinjau dari jenis pemeriksaan maka audit dapat dibedakan atas: a. Audit Operasional (Management Audit), yaitu suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditetapkan oleh manajemen dengan maksud untuk mengetahui apakah kegiatan operasi telah dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomis. b. Pemeriksaan Ketaatan (Complience Audit), yaitu suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan
telah
mentaati
16
peraturan-peraturan
dan
kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan maupun pihak ekstern perusahaan. c. Pemeriksaan Intern (Internal Audit), yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan yang mencakup
laporan
keuangan
dan
catatan
akuntansi
perusahaan yang bersangkutan serta ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan. d. Audit Komputer (Computer Audit), yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap perusahaan yang melakukan proses data akuntansi dengan menggunakan sistem Elektronic Data Processing (EDP). 2.
Jenis Pendapat Auditor Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA 29 SA Seksi 508) ada 5 jenis pendapat akuntan, yaitu: a. Pendapat
Wajar
Tanpa
Pengecualian
(Unqualified
Opinion), akan diberikan oleh akuntan publik jika auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan oleh IAI (Standar Profesional Akuntan Publik), dan telah mengumpulkan bahan-bahan pembuktian yang cukup untuk mendukung opininya, serta tidak
menemukan
adanya
kesalahan
material
atau
penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum (SAK). Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan bahasa
17
penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku
(Unqualified
Opinion
with
Explanatory
Language), diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan seorang auditor menambahkan penjelasan (bahasa penjelasan lain) dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh auditor. b. Pendapat
Wajar
dengan
Pengecualian
(Qualified
Opinion), Pendapat ini dinyatakan bilamana ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup audit, dan ia berkesimpulan bahwa ia tidak dapat menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian, dan ia berkesimpulan tidak menyatakan untuk tidak memberikan pendapat. Auditor yakin, atas dasar auditnya, bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari SAK, yang berdampak material, dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar. c. Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion), pendapat ini diberikan bila menurut pertimbangan auditor, laporan keuangan secara keseluruhan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
18
d. Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion). Suatu pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Auditor tidak menyatakan pendapat bila ia tidak dapat merumuskan suatu pendapat bilamana ia tidak dapat merumuskan atau tidak merumuskan suatu pendapat tentang kewajaran laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Jika auditor tidak melaksanakan audit yang lingkupnya memadai untuk memungkinkannya memberikan pendapat atas laporan keuangan.
B. Teori tentang Keberadaan Bank Sentral
1. Organisasi Bank Sentral pada Umumnya Bank Sentral sebagai sebuah organisasi umumnya dibentuk dan didirikan berdasarkan undang-undang. Pembentukan organisasi bank sentral dalam undang-undang menunjukkan adanya peran penting dan pengaruh yang cukup besar dari bank sentral bagi perekonomian suatu negara. Dalam undang-undang tersebut pada umumnya diatur berbagai faktor yang mempengaruhi susunan unit-unit dan bentuk koordinasi dari unit-unit dalam organisasi bank sentral seperti tujuan, tugas, wewenang bank sentral, serta hal-hal lain yang menyangkut hubungan bank
19
sentral dengan lembaga negara lainnya, seperti bagaimana hubungannya dengan pemerintah dan dengan parlemen. Dalam suatu negara kedudukan dan keberadaan bank sentral memiliki peran yang penting dan strategis dalam kegiatan dan sistem perekonomiannya, yang tercermin dari pelaksanaan tugasnya, termasuk dalam melaksanakan fungsinya sebagai bank sirkulasi di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran (Suryana, 2008) Pada umumnya, penetapan tujuan, tugas, dan wewenang bank sentral dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh struktur sosial, politik, dan ekonomi dari masing-masing negara. Hal tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi seberapa banyak tujuan yang harus dicapai, bagaimana tugas dan wewenang yang diberikan pada bank sentral, dan kesemuanya itu pada akhirnya akan berpengaruh pada bagaimana tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas dari suatu bank sentral. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi susunan unit dan bentuk koordinasi dari organisasi sebuah bank sentral adalah tujuan, tugas, wewenang, serta faktor-faktor lain, seperti hubungan bank sentral dengan pemerintah dan dengan parlemen. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi berbagai aspek lainnya dalam
20
organisasi seperti tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas dari masing-masing bank sentral. Selanjutnya, secara keseluruhan
faktor-faktor tersebut di atas akan
mempengaruhi susunan dan bentuk koordinasi unit dalam organisasi sebuah bank sentral atau dikenal dengan sebutan struktur
organisasi.
Secara
umum,
struktur
organisasi
setidaknya menggambarkan empat sisi dasar dari sebuah organisasi, yaitu hirarki kewenangan, departemenisasi, rentang kendali, serta posisi staf dan lini. Untuk mengetahui bagaimana struktur organisasi dari suatu bank sentral dapat dilihat pada bagan organisasi dari bank sentral tersebut. Bagan organisasi adalah suatu diagram yang menggambarkan bagaimana bentuk kewenangan formal dan hubungan pembagian kerja dari suatu organisasi (Kreitner dan Kinicki, 2001). Agar diperoleh gambaran mengenai organisasi bank sentral, berikut ini diuraikan beberapa implikasi dari tujuan, tugas, dan wewenang terhadap susunan unit dan bentuk koordinasi dari organisasi bank sentral. 2. Implikasi Tujuan, Tugas, dan Wewenang pada Organisasi Bank Sentral. Tingkat kompleksitas organisasi suatu bank sentral dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tujuan, tugas, dan wewenangnya.
21
Pada umumnya, semakin banyak tujuan yang harus dicapai, semakin
banyak
tugas-tugasnya
dan
semakin
besar
wewenangnya maka, semakin kompleks susunan dan bentuk koordinasi unit-unit dalam organisasinya. Misalnya, bank sentral yang memiliki tugas sebagai pengendali moneter, pengawas bank, dan sistem pembayaran, struktur organisasinya akan lebih kompleks dibandingkan dengan struktur organisasi bank sentral yang hanya mempunyai tugas sebagai pengendali moneter dan sistem pembayaran. Demikian pula halnya dengan wewenang yang
diberikan.
Wewenang
itu
akan
mempengaruhi
kompleksitas susunan unit dan bentuk koordinasi dari unit-unit dalam organisasi bank sentral. Bank sentral yang diberi wewenang
penuh
untuk
menetapkan
dan
menjalankan
kebijakannya akan berbeda struktur organisasinya dengan bank sentral yang hanya diberi wewenang sebagai pelaksana kebijakan dari pemerintah. 3. Tujuan dan Tugas Bank Sentral serta Implikasinya pada Organisasi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penetapan tujuan bank sentral pada umumnya diatur dalam undang-undang. Tujuan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dapat bermacam-macam seperti kestabilan harga, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tingkat pengangguran yang rendah,
22
nilai tukar yang wajar, dan kesejahteraan umum (Chandavarkar, 1996). Dalam praktek, terdapat bank sentral yang hanya memiliki satu tujuan dan ada Bank Sentral yang memiliki lebih dari satu tujuan. Kompleksitas organisasi bank sentral yang memiliki satu tujuan berbeda dengan bank sentral yang memiliki banyak tujuan. Hal ini disebabkan pada bank sentral yang memiliki banyak tujuan harus dapat meminimalkan conflict of interest “perbedaan kepentingan” antara tujuan yang satu dengan yang lain dan lebih dituntut untuk dapat melakukan sinkronisasi strategi yang akan diterapkan dalam mencapai salah satu tujuannya tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan yang lain. Selanjutnya, sebagai pedoman operasional untuk mencapai tujuan tersebut, pada umumnya bank sentral diberi tugas-tugas tertentu. Tugas-tugas tersebut bervariasi antara bank sentral di dunia. Ada tugas bank sentral yang dalam undang-undang ditetapkan sangat rinci, ada yang tugasnya hanya ditetapkan garis besarnya saja. Namun demikian, secara umum tugas-tugas tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat bidang, yaitu bidang moneter, bidang pengawasan perbankan, bidang sistem pembayaran, dan bidang manajemen internal.
23
Tujuan
dan
wewenang
serta
pilihan
strategi
untuk
melaksanakan tugas bank sentral akan mempengaruhi struktur organisasi bank sentral. Struktur organisasi bank sentral yang memiliki tugas di bidang pengendalian moneter dan sistem pembayaran (tanpa pengawasan bank) akan lebih sederhana dibandingkan dengan struktur organisasi bank sentral yang memiliki tugas di bidang pengendalian moneter, pengawasan bank, dan pengaturan sistem pembayaran. Contoh organisasi bank sentral yang memiliki bidang tugas pengendalian moneter dan sistem pembayaran dapat dibaca pada bagan organisasi Reserve Bank of Australia, sedangkan yang memiliki bidang tugas pengendalian moneter, pengawasan perbankan, dan pengaturan sistem pembayaran dapat dibaca pada bagan organisasi Bank Negara Malaysia. 4. Wewenang Bank Sentral dan Implikasinya pada Organisasi Di samping tujuan dan tugas sebagaimana diuraikan di atas, wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada bank sentral juga akan mempengaruhi struktur organisasi bank sentral. Berdasar wewenangnya, menurut Chen Yuan (1990) organisasi bank sentral terdiri dari dua tingkatan, yaitu unit yang mempunyai kewenangan tertinggi (the highest authority) dan unit-unit di bawahnya (the second level). Unit dengan kewenangan tinggi tersebut dapat terdiri dari satu, dua, atau tiga
24
badan yang mempunyai kewenangan sebagai badan pembuat kebijakan (policy making body), badan pelaksana kebijakan (executing body), dan badan pengawas (supervisory body). Sementara itu, di tingkat kedua terdapat unit-unit yang melaksanakan kegiatan operasional dari unit yang memiliki kewenangan tertinggi di bidang pembuatan kebijakan. Unit operasional ini umumnya berada di bawah badan pelaksana kebijakan. Jumlah badan yang ada di suatu bank sentral tergantung pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada bank sentral, khususnya pada organisasi di tingkat kewenangan tertinggi. Dalam hal ini, Chen Yuan (1990) mengklasifikasikan bank sentral ke dalam 3 kelompok. Pertama, bank sentral yang wewenang membuat kebijakan dan wewenang melaksanakan kebijakan berada pada satu badan, misalnya, Federal Reserve System of the United States dan Bank of England. Kedua, bank sentral yang wewenang membuat kebijakan dan wewenang melaksanakan kebijakan berada pada dua badan yang terpisah, misalnya, Bank of Japan, Deutshce Bundesbank, dan Bank of Italy. Ketiga, bank sentral yang wewenang membuat kebijakan, wewenang melaksanakan kebijakan, dan wewenang mengawasi kebijakan berada pada tiga badan terpisah, misalnya, Bank of
25
France, the National Bank of Belgium, dan the National Bank of Switzerland. Bo-Yung Chung (1992) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tiga badan yang memiliki kewenangan tertinggi di organisasi bank sentral. a.
Badan Pembuat Kebijakan. Badan Pembuat Kebijakan adalah unit dalam organisasi bank sentral yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk memformulasikan dan menetapkan kebijakan yang akan ditempuh dalam melaksanakan tugas guna
mencapai
tujuannya,
termasuk
kebijakan
yang
menyangkut manajemen internal dalam bank sentral tersebut; b. Badan Pelaksana Kebijakan. Badan Pelaksana Kebijakan adalah unit dalam organisasi bank sentral yang diberi wewenang untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat kebijakan; c.
Badan Pengawas. Badan Pengawas adalah lembaga atau unit organisasi
yang
diberi
wewenang
untuk
mengawasi
pelaksanaan kebijakan oleh badan pelaksana kebijakan. Selanjutnya, dalam menguraikan mengenai organisasi bank sentral pada umumnya, akan dikemukakan ketiga badan
26
tertinggi pada organisasi bank sentral, yaitu badan pembuat kebijakan, badan pelaksana kebijakan, dan badan pengawas. Badan Pembuat Kebijakan Badan pembuat kebijakan pada organisasi bank sentral umumnya berbentuk dewan (council) dan dalam merumuskan kebijakan,
keputusan
diambil
berdasarkan
pada
suara
mayoritas. Jumlah anggota dewan bervariasi antara satu bank sentral dengan bank sentral yang lain. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota badan pembuat kebijakan yang paling sedikit terdiri dari lima anggota seperti di Belanda, sampai yang banyak, yaitu terdiri dari 40 orang anggota seperti di Swiss (Chandavarkar, 1996). Dalam praktek nama badan pembuat kebijakan di beberapa negara juga berbeda-beda, sebagaimana contoh di bawah ini. Negara
Nama Badan
Jumlah
USA
(Board of Governors) Dewan Gubernur
7 orang
Jerman Perancis Jepang
(Executive Board) Dewan Eksekutif (General Council) Dewan Umum (Policy Board) Dewan Kebijakan
8 orang 13 orang 9 orang
Sumber : The Morgan Stanley Central Bank Directory, 2003.
Penunjukan ketua dan anggota badan pembuat kebijakan pada organisasi bank sentral tidak sama antara satu negara dengan
27
negara lain. Pada negara yang bank sentralnya independen, umumnya penunjukan/pengangkatan ketua dan anggota badan pembuat kebijakan dilakukan oleh kepala pemerintahan, dan harus mendapat persetujuan dari parlemen. Sementara pada bank sentral yang kurang independen, penunjukan dan pengangkatan ketua dan anggota dilakukan oleh kepala pemerintahan tanpa harus mendapat persetujuan parlemen. Ketua Badan Pembuat Kebijakan dapat berasal dari bank sentral sendiri maupun berasal dari luar. Umumnya, apabila ketua badan pembuat kebijakan berasal dari bank sentral, maka bank sentral tersebut lebih independen, dan Ketua Badan Pembuat Kebijakan biasanya gubernur/chairman/president, misalnya di Amerika Serikat, Jerman, dan Selandia Baru (Hossain, 2010) . Sebaliknya, apabila ketua badan pembuat kebijakan berasal dari luar bank sentral, bank sentral tersebut umumnya kurang independen, dan Ketua Badan Pembuat Kebijakan biasanya adalah menteri keuangan, misalnya di Brunei Darussalam. Badan Pelaksana Kebijakan Badan pelaksana kebijakan adalah unit/badan dalam organisasi bank sentral yang diberi kewenangan untuk melaksanakan dan merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat kebijakan. Selain itu, badan pelaksana kebijakan juga
28
bertugas melakukan tindakan-tindakan administratif serta bertindak sebagai wakil resmi dari organisasi bank sentral sebagai badan hukum dalam berhubungan dengan pihak luar. Dalam melaksanakan tugasnya, sistem yang digunakan oleh badan pelaksana kebijakan dapat dibedakan atas sistem dewan (council system) dan sistem unilateral (unilateral system). Masing-masing sistem memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam sistem dewan, tanggung jawab keputusan merupakan tanggung jawab bersama. Sementara dalam sistem unilateral, tanggung jawab keputusan berada pada pengambil keputusan tertinggi, yang umumnya adalah gubernur. Selain itu, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, badan pelaksana kebijakan umumnya dilengkapi dengan berbagai unit organisasi di bawahnya, seperti departemen/direktorat, kantorkantor cabang, dan kantor perwakilan. Sub unit-sub unit dari badan pelaksana kebijakan tersebut merupakan unit-unit yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari dari kebijakan yang diputuskan badan pelaksana kebijakan dalam
merealisasikan
keputusan/kebijakan
ditetapkan oleh badan pembuat kebijakan.
29
yang
telah
Badan Pengawas Badan pengawas adalah lembaga atau unit yang dapat berada di luar atau di dalam organisasi bank sentral yang mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan pada bank sentral. Umumnya badan pengawas bertugas untuk memastikan bahwa pelaksanaan tugas-tugas bank sentral telah dilakukan secara wajar (fairness) dan rasional. Ruang lingkup pengawasan dan pemeriksaan umumnya meliputi seluruh kegiatan operasional bank sentral termasuk pembukuan dan administrasi. Dengan demikian, pada dasarnya pelaksanaan dari pengawasan dan pemeriksaan oleh badan pengawas dimaksudkan
untuk
menguji
tingkat
akuntabilitas
dan
transparansi dari pelaksanaan tugas bank sentral. Dalam praktek, cakupan ruang lingkup tugas dari badan pengawas bervariasi antara bank sentral yang satu dengan bank sentral yang lain. Ada badan pengawas dari bank sentral yang diberi wewenang dan memiliki tugas meneliti dengan seksama kebijakan yang diambil oleh badan pembuat kebijakan, seperti yang terjadi di Federal Reserve Bank of New Zealand, dan ada pula yang tugasnya hanya melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap aset dan kewajiban serta mengaudit rekening bank sentral, seperti yang terjadi di Bank of China.
30
Nama dari badan pengawas juga bervariasi. Di Bank of China badan pengawas disebut dengan The Supervisory Board, sedangkan di Selandia Baru dan Kanada disebut Board of Directors. C. Gambaran Umum Organisasi Bank Indonesia Sebagai Bank
Sentral Seperti organisasi bank sentral pada umumnya, susunan unit dan bentuk koordinasi dalam organisasi Bank Indonesia juga terkait erat dengan undang-undang yang melandasinya, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
3 Tahun 2004. Di dalam undang-undang
tersebut telah diatur secara jelas tujuan, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia, termasuk hubungannya dengan lembaga negara lainnya khususnya DPR. Pengaturan dalam undang-undang ini mendasari bidang-bidang utama dalam organisasi sesuai tujuan dan tugas-tugas yang telah ditetapkan, tingkat kewenangan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan, visi dan misi, serta struktur organisasi Bank Indonesia secara keseluruhan.
31
1. Implikasi
Tujuan,
Tugas,
dan
Wewenang
terhadap
Organisasi Bank Indonesia Sesuai undang-undang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, baik dalam arti kestabilan harga (inflasi) maupun kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, sesuai undangundang
Bank
Indonesia
mempunyai
tiga
tugas,
yaitu
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi bank, serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam pelaksanaannya, ketiga tugas tersebut mempunyai keterkaitan yang erat satu dengan yang lain. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan Bank Indonesia antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga. Efektivitas pelaksanaan
tugas
ini
memerlukan
dukungan
sistem
pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal. Keberhasilan tugas
sistem
pembayaran
tersebut
memerlukan
sistem
perbankan yang sehat yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pelaksanaan tugas di bidang pengendalian moneter, mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap inflasi dan aktivitas ekonomi riil transmisinya dilakukan melalui sistem perbankan.
32
Sejalan dengan tugas-tugas tersebut, organisasi Bank Indonesia dikelompokkan ke dalam tiga sektor utama, yaitu sektor moneter, sektor perbankan, dan sektor sistem pembayaran, ditambah
dengan
satu
sektor
pendukung,
manajemen intern. Organisasi sektor moneter
yaitu
sektor
terdiri dari
sejumlah direktorat dan biro yang melaksanakan tugas-tugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter yang diberikan oleh Dewan Gubernur. Direktorat dan biro yang berada dalam organisasi sektor perbankan melaksanakan tugastugas untuk perumusan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, pengenaan sanksi hingga investigasi di bidang perbankan. Organisasi sektor pembayaran mencakup direktorat dan biro yang bertugas melaksanakan pengedaran uang dan sistem pembayaran nontunai. Sementara itu, direktorat dan biro yang berada
dalam
organisasi
sektor
manajemen
intern
melaksanakan tugas-tugas dukungan internal organisasi seperti sumber daya manusia, hukum, keuangan intern, pengawasan intern,
kehumasan,
dan
teknologi
informasi.
Dalam
pelaksanaannya, keempat sektor tersebut berkaitan erat dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas untuk pencapaian tujuan Bank Indonesia. Di samping untuk mendukung tujuan dan tugasnya, struktur organisasi Bank Indonesia juga dipengaruhi oleh kewenangan
33
dari unit-unit yang ada dalam organisasinya. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bahasan organisasi bank-bank sentral pada umumnya, struktur organisasi Bank Indonesia juga terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat kewenangan tertinggi dan tingkat di bawahnya. Wewenang pada tingkat tertinggi yang diberikan oleh undang-undang Bank Indonesia akan menentukan pertama, apakah wewenang membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan berada pada satu badan, atau berada pada dua badan yang terpisah, kedua, apakah ada badan yang berfungsi sebagai badan pengawas, dan ketiga, bagaimana hubungan dan mekanisme kerja antar badan tersebut. Dengan demikian, wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Bank Indonesia akan mempengaruhi susunan dan bentuk koordinasi unit organisasi di Bank Indonesia pada kedua tingkat tersebut. Susunan dan bentuk koordinasi unit organisasi pada tingkat tertinggi akan diuraikan di bawah ini, sedangkan unit organisasi di tingkat kedua akan dikemukakan dalam uraian mengenai visi dan misi serta struktur organisasi Bank Indonesia. Sesuai dengan undang-undang, dalam melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya empat orang atau sebanyakbanyaknya tujuh orang Deputi Gubernur. Hal ini sejalan dengan
34
pengaturan pelaksanaan tugas sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 pasal 38 ayat 1 yang menerangkan bahwa Dewan Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur. Apabila karena sesuatu hal penunjukan ini tidak dapat dilaksanakan, maka salah seorang Deputi Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan Gubernur. Ketentuan mengenai kewenangan tertinggi dalam membuat kebijakan telah pula diatur dalam penjelasan pasal 43 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa
“Rapat
Dewan
Gubernur
(RDG)
adalah
forum
pengambilan keputusan tertinggi dalam menetapkan kebijakankebijakan Bank Indonesia yang bersifat prinsipil dan strategis”. Kebijakan prinsipiil dan strategis adalah kebijakan-kebijakan yang mempunyai dampak luas baik ke dalam maupun ke luar Bank Indonesia, misalnya, kebijakan umum moneter, kebijakan di bidang pengaturan dan kelancaran sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan bank. Rapat Dewan Gubernur (RDG) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya
35
lebih dari separuh anggota Dewan Gubernur. Adapun cara pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir. Dari uraian di atas, secara organisatoris dapat dipahami bahwa badan pembuat kebijakan di Bank Indonesia menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 adalah Dewan Gubernur sebagai satu kesatuan badan yang berwenang menetapkan kebijakan yang bersifat prinsipil dan strategis melalui mekanisme RDG. Sementara itu, badan pelaksana kebijakan adalah masing-masing anggota Dewan Gubernur untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur dan atau menetapkan kebijakan yang tidak bersifat prinsipiil dan strategis sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui mekanisme rapat bidang atau rapat antar bidang terbatas. Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, tiap-tiap anggota Dewan Gubernur dibantu oleh satuan-satuan kerja di bawahnya. Dalam pelaksanaan tugas sebagai badan pelaksana kebijakan dilakukan pembagian kerja di antara anggota Dewan Gubernur sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dalam kaitan ini, Gubernur selaku ketua badan pelaksana kebijakan melakukan pembagian tugas di antara anggotanya. Pembagian kerja di
36
antara anggota Dewan Gubernur didasarkan pada bidang-bidang yang menjadi tugas Bank Indonesia. Secara umum masingmasing anggota Dewan Gubernur membidangi antara tiga sampai dengan empat satuan kerja yang berada di Kantor Pusat, termasuk satuan kerja di daerah (Kantor Bank Indonesia) dan satuan kerja di luar negeri (Kantor Perwakilan Bank Indonesia). Pada prinsipnya pembidangan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan anggota
Dewan
bidang
Gubernur
keahlian dan
dari
dengan
masing-masing memperhatikan
keseimbangan pembagian beban kerja. Selanjutnya, dalam rangka pengkoordinasian pelaksanaan tugasnya, dapat dilakukan melalui rapat bidang yang dipimpin oleh Deputi Gubernur yang membawahi satuan kerja dalam satu bidang tugas Bank Indonesia ataupun dapat pula melalui rapatrapat antarbidang. Ketentuan mengenai hal ini telah diatur dalam penjelasan pasal 43 ayat (1) huruf a dan huruf b yang menegaskan bahwa “ ….Untuk hal-hal lain tidak perlu dibahas dalam rapat Dewan Gubernur, tetapi cukup ditetapkan dalam rapat bidang yang dipimpin oleh tiap-tiap Deputi Gubernur sesuai dengan kewenangannya atau rapat antarbidang terbatas yang dapat dihadiri oleh anggota Dewan Gubernur yang terkait, dengan catatan keputusan tersebut dilaporkan kepada rapat mingguan Dewan Gubernur untuk diketahui”.
37
Sebagaimana praktek mengenai organisasi bank sentral di dunia yang tidak secara tegas menyebut suatu badan pengawas, maka dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga tidak dicantumkan secara tegas adanya suatu badan pengawas dalam struktur organisasinya. Namun demikian, pada prinsipnya pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia dilakukan oleh DPR. Hal ini dapat dibaca pada pasal 58 UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Bank Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan secara tertulis tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR. Laporan tahunan dan triwulanan tersebut dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia. Untuk membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia, sesuai dengan pasal 58A amandemen UU Nomor 3 Tahun 2004 dibentuk Badan Supervisi
dalam
upaya
meningkatkan
akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia. Dalam penjelasan pasal 58A ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan di bidang tertentu adalah melakukan tugas: (a) telaahan atas laporan keuangan tahunan
38
Bank Indonesia, (b) telaahan atas anggaran operasional dan investasi Bank Indonesia, dan (c) telaahan atas prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan aset Bank Indonesia. Hasil telaahan atas laporan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia di bidang tertentu tersebut disampaikan oleh Badan Supervisi kepada DPR. Badan
supervisi
dalam
menjalankan
tugas
sebagaimana
dimaksud di atas tidak melakukan penilaian terhadap kinerja Dewan Gubernur dan tidak ikut mengambil keputusan serta tidak ikut memberikan penilaian terhadap kebijakan di bidang sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasan bank, serta bidang-bidang yang merupakan penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Badan Supervisi tidak dapat: (a) menghadiri Rapat Dewan Gubenur, (b) mencampuri dan menilai kebijakan Bank Indonesia, (c) mengevaluasi kinerja Dewan Gubernur, (d) menyatakan pendapat untuk mewakili Bank Indonesia, dan (e) menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya langsung kepada publik. Sesuai undang-undang, Bank Indonesia sebagai lembaga negara juga diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan Bank Indonesia setelah berakhirnya setiap tahun anggaran, yang
39
berupa neraca, laporan penerimaan dan penerimaan beserta lampiran-lampirannya. Laporan keuangan tahunan dimaksud disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan. Selanjutnya, laporan hasil pemeriksaan oleh BPK disampaikan kepada DPR sebagai salah satu alat pengawasannya. Demikian sekilas mengenai Bank Indonesia sebagai suatu bank sentral yang berkedudukan di negara Indonesia, pembahasan lebih lanjut secara komprehensif dapat dilihat pada BAB IV mengenai Bank Indonesia.
40
BAB III BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Keberadaan BPK ditetapkan dengan Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 23 ayat (5) UUD memuat amanat: “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang”. Kehadiran pasal tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, para pendiri Republik Indonesia sudah menyadari bahwa dalam rangka menegakkan pemerintahan yang bertanggungjawab, diperlukan sebuah Badan Pemeriksa Keuangan. Karena itu di dalam UUD tersebut tercantum ketetapan yang mewajibkan pembentukan BPK sebagai lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Peran dan tugas pokoknya yang pertama, BPK adalah pemeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara, dari manapun sumbernya. Kedua, BPK harus mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk apa uang negara itu digunakan. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
41
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
A. Pandangan Ir. Soekarno Dalam Rapat Panitia Hukum Dasar pada 11 Juli 1945, Ir. Soekarno menegaskan pendapatnya bahwa Trias Politika saja tidak cukup. Maksud dari pernyataan Ir. Soekarno, yang hendak diwujudkan
adalah
Masyarakat),
bukan
Sociate sekedar
rechtsvaardigheid Politieke
(Keadilan
rechtsvaardigheid
(Keadilan Politik), bahkan, Ir. Soekarno kemudian juga menegaskan: “Sekarang Rusia menolak Trias Politika sudah 22 tahun yang lalu, Sun Yat Sen juga menolak Trias Politika 30 tahun yang lalu. Jadi ada aliran yang menyatakan bahwa Trias Politika kolot”. Jadi,
suatu
sistem
pemerintahan
negara
harus
mampu
mewujudkan tugas dan kewajiban pokok pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana yang kemudian ditetapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (kemudian lazim disebut UUD 1945). Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
42
abadi dan keadilan sosial.
Keempat tugas dan kewajiban
tersebut menjadi ciri pokok dan melekat pada setiap rezim pemerintah Negara Indonesia, yang kemudian disebut juga sebagai tujuan nasional bangsa dan negara Indonesia. Dalam praktek penyelenggaraan negara, penyebutan sebagai tujuan nasional pada gilirannya telah menimbulkan salah persepsi. 4 (empat) tugas dan kewajiban pemerintah negara yang seharusnya diimplementasikan, kenyataaannya hanya digunakan sebagai arah yang hendak dicapai yang seolah hanya merupakan tujuan dan cita-cita. Tujuan sebagai cita-cita bangsa yang sesungguhnya, secara tegas dimuat dalam Alinea II Pembukaan UUD 1945 yaitu bahwa: “....Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Konsepsi tentang 4 (empat) tugas Pemerintah Negara Indonesia dan cita-cita bangsa tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mencita-citakan “negara kesejahteraan” (Welfare state) yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan paham negara hukum. Sebagaimana diungkapkan di atas, Ir. Soekarno menyatakan bahwa pemisahan kekuasaan pemerintah negara, yaitu antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dinilai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonsia.
43
Pemikiran Ir. Soekarno bahwa “Trias Politika saja tidak cukup” dibenarkan oleh sejarah.
Dari aspek “insfrastruktur politik”
muncul kekuatan media massa dan “unjuk rasa masyarakat sebagai
kekuasaan
yang
pemerintahan Negara.
ikut
menentukan
kebijakan
Dari aspek “supra struktur politik”
muncul pula satu kekuasaan baru yaitu “kekuasaan auditif” yang sangat
menentukan
pemerintahan dimanifestasikan
negara. dalam
dalam
proses
Kekuasaan lembaga
penyelengggaraan auditif
negara,
yaitu
tersebut Badan
Pemeriksa Keuangan, yang merupakan bagian dari Hal Keuangan Negara. B. Masa Pra Kemerdekaan Badan Pemeriksa Keuangan pada masa pra kemerdekaan hanya berperan sebagai “pencatat keuangan negara” yang merupakan bagian dari alat pemerintahan Negara Belanda yang disebut sebagai Algemene Rekenkamer. Algemene Rekenkamer tersebut dibentuk dalam masa Gubernur Jenderal Daendels pada 19 Desember 1908.
Badan baru tersebut dibentuk guna
memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai pendapatan dan pengeluaran Negara Hindia Belanda. Raja Belanda ketika itu adalah Charles Louis Napoleon Bonaparte yang bergelar Koning Loudewijk I atau Koning van Holland. Belanda pada masa itu masih berada di bawah jajahan Perancis sehingga peraturan
44
perundang-undangannya berasal dari hukum perdata Perancis yang pada awalnya bersumber dari hukum Romawi, Corpus Juris Civilis. Keanggotaan Algemene Rekenkamer meliputi seorang Ketua, seorang Sekretaris dan 6 (enam) orang anggota. Ketua dan para anggota diangkat dan diberhentikan oleh Raja Belanda. Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pelaksanaan tugas dan tata kerja Algemene Rekenkamer tersebut didasarkan atas Indische Comptabilitets Wet (ICW) dan Indische Bedrijven Wet (IBW) yang merupakan peraturan perundangundangan pemerintahan Negara Belanda. Setelah bala tentang Jepang masuk ke Indonesia, dan dalam rangka menggalang dukungan dari rakyat Indonesia, pimpinan tentara
pendudukan
Jepang
menjanjikan
kemerdekaan
Indonesia sesegera mungkin setelah seluruh penjajah Belanda dapat diusir dari Indonesia. Serbuan bala tentara Jepang ke Asia mereka dengungkan sebagai “Perang Asia Timur Raya” (Dai Toa Sensoo) dengan maksud untuk mengesankan bahwa perang tersebut merupakan bagian dari perjuangan bangsa-bangsa Asia Timur untuk memerdekakan diri dari para penjajahnya. Para pejuang kemerdekaan Indonesia, antara lain Mr. Soepomo, Mr. Subardjo, dan Mr. Maramis segera mempersiapkan beberapa
45
naskah undang-undang dan peraturan sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Pada 4 April 1942 Mr. Soepomo, Mr. Subardjo, dan Mr. Maramis menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang
Indonesia
Merdeka,
Peraturan
Tentang
Pemerintah Sementara Dari Indonesia, dan Rencana Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia. Naskah Undang-Undang Indonesia Merdeka memuat pokok pikiran tentang Pemerintah Indonesia Sementara dan UndangUndang Dasar untuk Negeri Indonesia yang merdeka, serta tata hubungan dengan Pemerintah Nippon (Jepang). Naskah tersebut terdiri atas 12 pasal, salah satu pasal menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar juga memuat dasar-dasar aturan tentang hal keuangan. Peraturan Tentang Pemerintah Sementara Dari Indonesia merupakan naskah yang memuat ketentuan mengenai sistem kekuasaan dan sistem pemerintahan sementara serta hal pemindahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda. Naskah tersebut terdiri atas 16 pasal dan belum memuat tentang hal pengawasan keuangan negara. Rencana
permulaan
dari
“Undang-Undang
Dasar
Negeri
Indonesia” meliputi 11 Bab dan 74 Pasal serta memuat sistem kedaulatan, sistem kekuasaan pemerintahan negara, yang
46
meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta tentang hak-hak dan kewajiban penduduk, hal keuangan dan aturan-aturan umum.
Dalam Pasal 67 dinyatakan bahwa,
“Perhitungan yang paling akhir tentang pengeluaran uang dan pemasukan uang dari negeri harus diperiksa dan disahkan oleh Badan Pemeriksaan Uang Negeri, dan harus diserahkan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan berita tentang pemeriksaan dari Badan Pemeriksaan Uang Negeri tersebut di atas.” Dalam proses pembentukan Undang-Undang Dasar di BPUPK, mengenai perlunya pemeriksaan keuangan negara diusulkan oleh Drs. Moh. Hatta, yang dalam Rapat Besar BPUPK pada 11 Juli 1945 ditunjuk selaku Ketua Panitia Urusan Keuangan dan Perekonomian. Selain hasil kesepakatan Panitia, Drs. Moh. Hatta juga menambahkan 6 (enam) poin tentang Hal Keuangan, yaitu: 1. Tahun keuangan berjalan dari tanggal 1 April setiap tahun sampai tanggal 31 Maret tahun yang berikut. Rancangan anggaran belanja negara untuk tahun yang akan datang dimajukan kepada Dewan Rakyat paling lambat sebulan sebelum tahun keuangan yang akan datang bermula. Anggaran belanja ditetapkan dengan undang-undang. 2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang. 47
3. Pinjaman pajak untuk keperluan negara hanya boleh dilakukan dengan permufakatan Dewan Rakyat. Segala perjanjian negara terhadap si Pemimpin akan ditanggung oleh Negara. 4. Macam dan harga mata uang ditentukan dengan undangundang. Pemerintah berhak membuat uang logam. 5. Pimpinan peredaran uang diserahkan kepada sebuah Bank Negara, yang pendiriannya berdasarkan kepada undangundang. 6. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu
Badan
Pemeriksa
Keuangan,
yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
C. Masa Awal UUD 1945 Pada masa Pasca Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, dalam UUD 1945 tersebut dimuat pada BAB VIII tentang HAL KEUANGAN, Pasal 23 yang meliputi 5 (lima) ayat, sebagai berikut: (1) Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
48
tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang, (3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang; (4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undangundang, (5) Untuk
memeriksa
diadakan
suatu
tanggung
Badan
jawab
Pemeriksa
keuangan Keuangan,
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
negara yang Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam Penjelasan UUD 1945 Pasal 23 Ayat 1,2,3,4. Ayat (1) memuat hak begrooting Dewan Perwakilan Rakyat. Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat pemerintahan negara.
Dalam negara yang
berdasarkan fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan undangundang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
49
Betapa cara rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Pasal 23 menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lainlainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-udang. Ini penting karena kedudukan uang itu sangat besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan
pertukaran
jual-beli
dalam
masyarakat.
Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak
50
teratur. Oleh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang. Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian
dalam
penjelasan
ayat
5.
Cara
pemerintah
mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, harus sepadan dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya badan itu bukanlah badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undangundang. Atas dasar Penjelasan UUD 1945 tersebut dapat ditegaskan bahwa keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan adalah wujud kedaulatan rakyat dalam menjaga agar anggaran pendapatan dan belanja negara yang ditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diselenggarakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pertama-tama bukanlah dari sisi
51
aspek akuntansi, melainkan kesepadanan dengan kebijakan pengelolaan keuangan negara sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan kata lain, pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK pertama-tama menyangkut politik anggaran dari pemerintah
dalam
melaksanakan
APBN.
BPK
memiliki
kewenangan auditif dalam hal kebijakan keuangan negara agar tetap sesuai dengan politik anggaran sebagaimana ditetapkan dalam APBN. BPK pertama kali dibentuk pada 1 Januari 1947 berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah Nomor
11/OEM, tertanggal 28
Desember 1946 tentang Pembentukan BPK. BPK yang pertama ini untuk sementara berkedudukan di Kota Magelang Untuk mengawali tugasnya, pada 12 April 1947 BPK mengeluarkan surat Nomor 94 yang berisi pengumuman pada semua instansi pemerintah di wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajiban BPK dalam memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini”, maka pelaksanaan tugas BPK didasarkan
52
pada Indische Comptabilitets Wet (ICW) dan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR). Pada 6 November 1948 dikeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1948 tentang pemindahan kedudukan BPK dari Magelang ke Yogyakarta.
Gedung BPK Magelang pada tahun 1948 (sumber: www.bpk.go.id)
D. Masa Berlakunya Konstitusi RIS 1949 Dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, BPK tetap berperan di wilayah Republik Indonesia Yogyakarta. Di wilayah Republik Indonesia Serikat lainnya dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (DPK) yang berkedudukan di Bogor.
DPK RIS berkantor di bekas kantor Algemene
53
Rekenkamer yang ada pada masa pemerintahan Netherland Indische Civil Administration (NICA).
DPK tersebut dibentuk
berdasarkan Pasal 115 dan Pasal 116 Konstitusi RIS, yang selengkapnya sebagai berikut: Pasal 115, Maka adalah suatu Dewan Pengawas Keuangan yang susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal. Pasal 116, (1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua dan anggotaanggota Dewan Pengawasan Keuangan diangkat oleh Presiden adalah mendengarkan Senat. (2) Undang-undang federal dapat menetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan anggota-anggota diperhentikan apabila mentjapai usia tertentu. (3) Mereka dapat dipetjat atau diperhentikan menurut tjara dan dalam hal yang ditentukan dengan undang-undang federal. (4) Mereka dapat diperhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.
54
E. Masa Berlakunya UUDS 1950 Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) pada tanggal 17 Agustus 1950, DPK RIS diubah sesuai UUDS 1950 dengan nama tetap Dewan Pengawas Keuangan (DPK) yang berkedudukan di Bogor. Dalam UUDS 1950 ketentuan tentang DPK dimuat dalam Pasal 80 dan Pasal 81, sebagai berikut: Pasal 80, Susunan dan kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dengan undang-undang. Pasal 81, (5) Ketua,
Wakil
Ketua
dan
Anggota-anggota
Dewan
Pengawasan Keuangan diangkat menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. (6) Undang-undang dapat menetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua
dan
Anggota-anggota
diberhentikan
apabila
mentjapai usia tertentu. (7) Mereka dapat dipetjat atau diberhentikan menurut tjara dan dalam hal yang ditentukan dengan undang-undang. (8) Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.
55
F. Masa Pasca Dekrit Presiden 1959 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali.
Dekrit Presiden tersebut dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 beserta Naskah Undang-Undang Dasar 1945 diberi judul Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Atas dasar UUD NRI Tahun 1945 tersebut DPK diubah menjadi BPK agar sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (5).
Untuk
menyempurnakan BPK agar menjadi alat kontrol yang efektif, pada 12 Oktober 1963 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 7 Tahun 1963 (LN Nomor 195 Tahun 1963) tentang BPK Gaya Baru. Perpu tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964. Pada tahun 1965 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi memegang kekuasaaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Melalui undang-undang tersebut Ketua BPK ditetapkan sebagai Menteri Koordinator dan Wakil Ketua BPK sebagai Menteri.
56
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dikeluarkan Undang-Undang Nomor
5
Tahun 1973 tentang BPK yang mengembalikan kedudukan dan fungsi BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (5) UUD NRI 1945. Dalam praktek penyelenggaraan negara kemudian, khususnya selama pemerintahan Presiden Soeharto, kebijakan pemerintah, khsususnya juga yang menyangkut politik anggaran, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah karena selalu ditegaskan bahwa Presiden
adalah
“Mandataris
MPR”,
Presiden
adalah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dalam Penjelasan UUD NRI 1945 bahkan ditegaskan bahwa “Dalam menjalankan pemerintahan negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden” (concentration of power and responsibility upon the President). Dengan demikian dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara, wibawa dan kedudukan Presiden berada di atas 4 (empat) Lembaga Tinggi Negara lainnya. Oleh karena itu, BPK tidak pernah memeriksa kesepadanan politik anggaran yang dijalankan pemerintah dengan politik anggarannya yang dimaksud dalam APBN. BPK lebih berperan
57
hanya sebagai “akuntan negara” yang sering bahkan tunduk pada kepentingan pemerintah atau bahkan kepentingan pribadi Presiden. G. Masa Perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945 Era
Reformasi
mendorong
lahirnya
kehendak
untuk
menerapkan mekanisme checks and balances dengan tetap mempertahankan sistem presiensiil. Oleh karena itu melalui perubahan UUD 1945 kekuasaan lembaga-lembaga negara sebagai perwujudan kedaulatan rakyat ditata sesuai fungsi dan peran masing-masing dan tanpa menempatkannya secara hirarki struktural. Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sehubungan dengan itu, BPK selaku pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ditegaskan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri. Agar BPK benar-benar bebas dan mandiri, keanggotaannya dipilih oleh Dewan Perwakilan rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Selanjutnya, pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota BPK sendiri. Selain itu, kedudukan dan peran BPK juga diperluas sehingga memiliki perwakilan di setiap provinsi.
58
Guna menjaga
kebebasan dan kemandirian BPK, maka ketentuan lebih lanjut tentang BPK diatur dengan undang-undang. Kedudukan dan peran BPK tersebut dituangkan tersendiri dalam BAB VIIIA tentang BADAN PEMERIKSA KEUANGAN yang meliputi Pasal 23E dengan 3 (tiga) ayat, Pasal 23F dengan 2 (dua) ayat, dan Pasal 23G dengan 2 (dua) ayat. Perubahan hal BPK tersebut ditetapkan dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 pada 9 November 2001 dan dinyatakan sebagai bagian dari Perubahan Ketiga. Melalui Perubahan UUD NRI 1945, kedudukan dan peran BPK diperkuat dan dipertegas sebagai pemegang kekuasaan auditif dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pertama-tama bukanlah dari sisi aspek akuntansi
semata,
melainkan
seharusnya
juga
menjaga
kesepadanan dengan kebijakan pengelolaan keuangan negara sebagimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan negara tidak hanya meliputi aspek kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, melainkan juga meliputi aspek kekuasaan auditif.
59
2. Dasar Hukum
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Bab VIIIA UUD 1945 yang berjudul “Badan Pemeriksa Keuangan.” Bab VIIIA ini berisi 3 (tiga) pasal, pasal-pasal yang menyebutkan secara jelas mengenai Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pasal 23E ayat (1) yang berbunyi, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 23F ayat (1) menyatakan, “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
dipilih
oleh
Dewan
Perwakilan
Rakyat
dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.” Kemudian Pasal 23F ayat (2) yang isinya, “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota” Pasal 23G ayat (1)
menyatakan, “Badan Pemeriksa Keuangan
berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi” Pengaturan lebih lanjut mengenai BPK terdapat pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
60
Selanjutnya BPK juga disebut pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yaitu pada Pasal 14 ayat (5), Pasal 15 ayat (4), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2). Kemudian BPK disebut pula pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yaitu pada Pasal 1 ayat (2) , ayat (3), dan ayat (8), lalu Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8, Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 11, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (7), Pasal 20 ayat (2) ayat (3), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (2). BPK disebut juga pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2). 3. Susunan dan Kedudukan BPK
Susunan dan Kedudukan BPK tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23F ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 23G ayat (1) yang kemudian diatur lebih lanjut pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2006 yang intinya menyatakan bahwa:
61
a.
BPK berkedudukan di Ibukota negara.
b. BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi. c.
BPK
mempunyai
9
(sembilan)
orang
anggota,
yang
keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. d. Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. e.
Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan Negara, BPK dibantu oleh Pelaksana BPK yang terdiri atas satu Sekretariat Jenderal, satu Inspektorat Utama, dua Direktorat Utama, tujuh Auditorat Keuangan Negara, 4 staf Ahli, dan 33 Perwakilan BPK yang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Wilayah I (Barat) dan Wilayah II (Timur). Masing-masing wilayah tersebut berada di bawah Auditorat Keuangan Negara V dan Auditorat Keuangan Negara VI. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Struktur Organisasi BPK dapat dilihat pada gambar berikut :
62
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Ketua, Wakil Ketua dan 7 Anggota
Staf Ahli
Direktorat Utama, Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama Binbangkum)
Inspektorat Utama
Sekretariat Jenderal
Direktorat Utama, Perencanaan, Evaluasi, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuanan Negara (Ditama Revbang) (Ditama Binbangkum)
Auditorat Utama Keuangan Negara I (AUDITAMA I)
Auditorat Utama Keuangan Negara II (AUDITAMA II)
Auditorat Utama Keuangan Negara III (AUDITAMA III)
Auditorat Utama Keuangan Negara IV (AUDITAMA IV)
Auditorat Utama Keuangan Negara V (AUDITAMA V)
PerwakilanPerwakilan BPK di Wilayah Barat
63
Auditorat Utama Keuangan Negara VI (AUDITAMA VI)
PerwakilanPerwakilan BPK di Wilayah Timur
Auditorat Utama Keuangan Negara VII (AUDITAMA VII)
Kantor Perwakilan BPK RI Seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, BPK memiliki kantor perwakilan di setiap provinsi yang dibagi menjadi 2 wilayah yaitu: a.
Kantor Perwakilan Wilayah I (Barat) terdiri atas 16 Kantor yang terletak pada: 1)
BPK RI Perwakilan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan Panglima Nyak Makam Nomor 38 Banda Aceh Telp. 0651 32627
2)
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara. Jalan Imam Bonjol Nomor 22 Medan 20152 Telp. 061-4519039
3)
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat. Jalan Khatib Sulaiman Nomor 54 Padang Telp. (0751) 40818, Faks (0751) 40811
4)
BPK RI Perwakilan Provinsi Riau. Jalan Jendral Sudirman Nomor 721, Pekanbaru - Riau Telp.(0761) 856464, Fax.(0761) 858787
5)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau. Jalan Kartini I Nomor 29-30 Sekupang 29421 Telp. 0778-327600
64
6)
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan. Jl. Demang Lebar Daun Nomor 2 Palembang Telp. 0711-410549, Fax. 0711-358948
7)
BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi. Jl. P. Hidayat KM 6,5 Nomor 65 Kel. Sukakarya, Kota Baru, Jambi. Telp. 0741 445386,
8)
BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung. Jalan Pangeran Emir M. Noor Nomor
11B Kelurahan
Sumur Putri Kecamatan Teluk Betung Utara Telp. 0721 472872, Fax. 0721 472872 9)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jalan Pulau Bangka, Kompleks Perkantoran Terpadu, Air Itam, Pangkalpinang 33148 Telp. 0717-439365
10) BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu. Jalan Adam Malik Km. 8 Kota Bengkulu 38225 Telp. 0736-343233, Fax. 0736-349348 11) BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta. JL. MT. Haryono Kav.34 Pancoran, Jakarta Selatan 12270 Telp. 021-79180560 Fax. 021-7902574 12) BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Jalan Moch. Toha Nomor 164, Bandung - Jawa Barat Telp. 022-5207294, Fax. 022-5207898
65
13) BPK RI Perwakilan Provinsi Banten. Jalan Palka Nomor 1, Palima, Serang, Banten, 42163 Telepon 0254-250025 Faksimili 0254-250037 14) BPK RI Perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalan HOS Cokroaminoto Nomor 52 Yogyakarta Telp. 563635 15) BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Jl.Perintis Kemerdekaan Nomor 175, Semarang Propinsi Jawa Tengah Telp. 024 - 8660883, Fax. 024 – 8660884 16) BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur. Jalan Raya Juanda Sidoarjo Propinsi Jawa Timur Telp. (031) 8669244, Fax. (031) 8669206 b. Kantor Perwakilan Wilayah II (Timur) terdiri atas 17 Kantor yang terletak pada: 1)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah. Jalan Yos Sudarso Nomor 16 Palangka Raya Telp. 0536 3241118
2)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan Jalan Ahmad Yani Km 32,5 - Banjarbaru Telp./Fax. (0511)4784295/6
66
3)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur Jl. M. Yamin Nomor 19, Samarinda 75123, Kalimantan Timur Telp (0541) 765029, 765048, 765041, 765079 Fax. (0541) 735757, 744680
4)
BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat Jalan Ahmad Yani, Pontianak 78124 Telp. 0561-585349
5)
BPK RI Perwakilan Provinsi Bali Jl. D. I. Panjaitan Renon Denpasar Bali Indonesia Telp. (0361)229193, Fax. (0361)229184
6)
BPK RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Barat Jalan Udayana Nomor 22 Mataram Nusa Tenggara Barat 83126 Telp. 0370-6163333, Faks. 0370-6162999
7)
BPK RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur Jalan W.J. Lalamentik Nomor 91 Oebobo, Kupang Telp.(0380) 840600, Fax.(0380) 840601
8)
BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan Jalan Andi Pangerang Pettarani - Makassar 90222 Telp. (0411) 854977, Fax. 854995
67
9)
BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah Jalan Prof. M. Yamin Nomor 35 PALU 94121 Telp. 0451-486622
10) BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara Jalan Sao-Sao Nomor 10 Kendari 93100 Telp. 0401-3129403, Fax. 0401-3129441 11) BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara Jalan 17 Agustus Nomor 04 Manado Telp./Faks. 0431-8880205/04 12) BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Barat Jalan H. Abdul Malik Pattana Endeng, Kec. Simboro, Mamuju - 91512 Telp. (0426) 2325276/2325277 , Fax. (0426) 2325279 13) BPK RI Perwakilan Provinsi Gorontalo Jalan Tinaloga Nomor 3, Kota Utara Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo 96123, Telp./Fax. 0435-822208 14) BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku Utara Jalan Jati Lurus , Kelurahan Jati, Kecamatan Kota Ternate Selatan- Maluku Utara 97713 Telp. 0921 3127300 - 3121896, Fax. 0921 3126602 15) BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku Jl. Laksdya Leo Wattimena, Negeri Lama, Ambon, 97232 Telp. (0911)361293, 361294, Fax. (0911)361295
68
16) BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Jalan Balaikota Nomor 2, Entrop Telp. (0967)536098 17) BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Barat Jalan Sowi Gunung No 4, Manokwari - Papua Barat Telp.0986 213656, Fax.0986 215751
4. Tugas dan Kewenangan BPK
Tugas BPK Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, tugas dan wewenang BPK adalah sebagai berikut: (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan
berdasarkan
undang-undang
tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan
BPK
mencakup
pemeriksaan
keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
69
Selanjutnya dari pasal-pasal di atas dapat dijabarkan sebagai berikut: BPK RI bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan usaha Milik Negara. Badan Layanan Umum, Badan Usaha milik daerah dan lembaga atau Badan lain yang mengelola keuangan negara. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang. yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara. Kegiatan tersebut sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban Pemerintah. Untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pemeriksaan yang dilakukan BPK RI diartikan sebagai proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen.
objektif,
dan
profesional
berdasarkan
standar
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas,
70
dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK RI menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. DPR. DPD, dan DPRD kemudian menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK RI, sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan. Hasil pemeriksaan BPK RI yang telah diserahkan kepada DPR. DPD. dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan. BPK RI juga menyerahkan Presiden.
hasil
pemeriksaannya
Gubernur,
secara
Bupati/Walikota
tertulis sesuai
kepada dengan
kewenangannya. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK RI melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan pemndang-undangan, paling lama I (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana. BPK RI memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.
Wewenang BPK Untuk
dapat
melaksanakan
tugasnya.
BPK
RI
berwenang
menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
71
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang. Unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Selain itu, BPK RI juga berwenang melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan. Pembukuan dan tata usaha keuangan negara. serta pemeriksaan terhadap perhitunganperhitungan,
surat-surat,
bukti-bukti,
rekening
koran,
pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Wewenang juga diberikan kepada BPK RI untuk menetapkan jenis dokumen. data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK RI; menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Daerah; menetapkan kode etik pemeriksaan; menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK RI yang bekerja untuk dan atas nama BPK RI; membina jabatan fungsional pemeriksa; memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi rancangan
Pemerintahan; sistem
dan
memberi
pengendalian
72
pertimbangan
internal
atas
Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Berkaitan dengan kerugian negara, BPK RI berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian ditetapkan dengan keputusan BPK RI. BPK RI juga dapat memberi pertimbangan atas penyelesaian kerugian
negara/daerah
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah
Pusat/Daerah; dan/atau memberi keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. 5. Keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan
Berikut ini adalah daftar nama-nama yang pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2012 yaitu: (1)
R. Soerasno (1947-1957)
(2)
A. Karim Pringgodigdo (1957-1961)
(3)
I Gusti Ketut Pudja (1961-1964)
(4)
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1964-1966)
73
(5)
Dadang Suprayogi (1966-1973)
(6)
Umar Wirahadikusumah(1973-1983)
(7)
M. Jusuf (1983-1993)
(8)
JB. Sumarlin (1993-1998)
(9)
Satrio Boedihardjo (1998-2004)
(10) Anwar Nasution (2004-2009) (11) Hadi Poernomo (2009-sekarang) Adapun unsur Pimpinan dan Anggota BPK tahun 2009-2014 adalah sebagai berikut: a.
Ketua
: Hadi Poernomo
b. Wakil Ketua
: Hasan Bisri
c.
: Moermahadi Sorja Djanegara
Anggota I
d. Anggota II
: Taufiequrachman Ruki
e.
Anggota III
: Agung Firman Sampurna
f.
Anggota IV
: Ali Masykur Musa
g.
Anggota V
: Sapto Amal Damandari
h. Anggota VI
: Rizal Djalil
i.
: Bahrullah Akbar
Anggota VII
Sehubungan
dengan
masa
pensiun
Anggota
II
BPK,
Taufiequrachman Ruki, pada bulan Juni 2013. Maka Sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, proses pemilihan pergantian antar waktu
74
(PAW) Anggota BPK dilakukan oleh DPR setelah nama-nama calon anggota BPK telah lulus uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan secara voting tertutup oleh 56 (lima puluh enam) anggota Komisi XI DPR dengan hasil yaitu terpilihnya Agus joko Pramono menjadi Anggota BPK menggantikan Taufiqurrahman Ruki hingga Oktober 2014. Kemudian, hasil ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan, lalu akan diresmikan oleh Presiden.
6. Peran Serta BPK dalam Tataran Internasional
Kegiatan BPK dalam INTOSAI BPK RI adalah anggota INTOSAI (International Organization of the Supreme Audit Institutions) dan ASOSAI (Asian Organization of Supreme Audit Institutions). INTOSAI merupakan organisasi Lembaga Pemeriksa Tertinggi seluruh dunia. BPK RI menjadi anggota INTOSAI sejak tahun 1968 dalam sidang Badan Pengurus INTOSAI di Tokyo. Kegiatan dan peran BPK RI dalam INTOSAI terdapat dalam bidang-bidang kerja INTOSAI yang berbentuk Commitee, Working Group, Task Force serta dalam kerangka IDI (INTOSAI Developmet Initiative). Komitmen BPK RI pada kegiatan INTOSAI sampai dengan tahun 2010 antara Iain:
75
a. Professional Standard Comittee-Financial Audit Guidelines Subcommittee b. Working Group on Environmental Audit (WGEA) c. Working Group on Accountability For and Audit of Disaster Related Aid (WGAADA) d. Working Group on Fight Against Corruption and Money laundering (WGFACML) e. Working Group on Key National Indicators (WGKNI) f. Working Group on Public Debt (WGPD) g. Working Group on IT Audit (WGITA) h. Task Force on Global Financial Crisis (TFGFC) i. Task Force on SAI's Information Database (TFSID) BPK telah berperan serta dalam berbagai kegiatan Working Group (Kelompok Kerja) dan Task Force (Gugus Tugas) INTOSAI. Dalam keterlibatannya tersebut, BPK berupaya untuk meningkatkan peran dan kontribusinya bagi kelompok apabila memungkinkan. Pada acara The International Congress of Supreme Audit Institutions (INCOSAI) tahun 2010, pedoman pemeriksaan tentang kehutanan yang pengembangannya telah dipimpin oleh BPK, secara resmi diadopsi sebagai dokumen INTOSAI. Masih terkait dengan peranannya dalam pemeriksaan lingkungan, BPK terpilih sebagai Ketua Working Group on Environmental Audit periode 2013-2016 dalam acara the 11th Steering Committee di Buenos Aires tanggal 11
76
November 2011. BPK akan mengambil alih keketuaan WGEA setelah keketuaan the National Audit Office of Estonia berakhir pada tahun 2013. Hidup di negara yang terletak di daerah rawan bencana, BPK juga menaruh perhatian pada pemeriksaan bencana. BPK sedang dalam proses pengembangan pedoman pemeriksaan atas bantuan bencana untuk WGAADA yang selesai pada pertengahan 2012. Selain itu, BPK juga berpartisipasi dalam pengembangan pedoman pemeriksaan untuk WGFACML. BPK juga memimpin Sub Grup 2b dari TFGFC dan telah menyelesaikan pengembangan makalah tentang "Pengaruh Ekonomi Riil pada Krisis Keuangan". Kegiatan BPK dalam ASOSAI (Asian Organization of Supreme Audit Institutions) Kegiatan dalam ASOSAI yang diikuti oleh BPK secara aktif diantaranya : ASOSAI Governing Board 2009-2012 BPK RI terpilih sebagai salah satu anggota Governing Board ASOSAI untuk periode tahun 2009-2012. Sebagai anggota, BPK RI memiliki peran strategis dalam menentukan arah kebijakan ASOSAI, khususnya pada periode tahun 2009-2012. BPK RI secara aktif dapat mendorong peningkatan kapasitas sebagai auditor eksternal
77
pemerintah, baik melalui pengembangan kapasitas kelembagaan maupun kapasitas auditornya. The 9th ASOSAI Research Project BPK RI berpartisipasi dalam kegiatan the 9th ASOSAI Research Project periode 2010-2012 dan merupakan kegiatan reguler ASOSAI yang dilaksanakan setiap tiga tahun. Kegiatan ini diikuti oleh 12 negara anggota ASOSAI, yaitu: Cina, India, Indonesia, Iran, Irak, Kuwait, Korea, Malaysia, Pakistan, Rusia, Saudi Arabia, dan Vietnam. IDI-ASOSAI QAPA BPK RI ikut berpartisipasi dalam program Quality Assurance Program in Performance Audit (QAPA) tahun 2010-2011. Program ini merupakan kerjasama antara ASOSAI dan IDI. Guideline QAPA yang dihasilkan akan diadopsi oleh masing-masing SAI untuk dijadikan panduan penerapan Quality Assurance dalam bidang Performance Audit. ASOSAI Sponsored Workshop Program ASOSAI Sponsored Workshop diselenggarakan setiap tahun. BPK selalu mengirimkan pegawai-pegawainya untuk berpartisipasi dalam workshop tersebut. Workshop tahun 2010 temanya adalah “Environment Audit” dan pada tahun 2011, kegiatan workshop diselenggarakan di China dengan mengambil tema Audit of Public Debt.
78
Kegiatan BPK dalam ASEANSAI (ASEAN Supreme Audit Institutions) ASEANSAI didirikan pada 16 November 2011 di Bali, Indonesia. Semua Ketua dari sepuluh lembaga pemeriksa tertinggi negaranegara anggota ASEAN menandatangani persetujuan pendirian ASEANSAI. BPK telah memimpin pendirian ASEANSAI dan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Lembaga Pemeriksa Tertinggi Negara-Negara Anggota ASEAN. Ketua BPK ditetapkan menjadi Ketua ASEANSAI pertama dan Ketua SAI Brunei ditunjuk menjadi Wakil Ketua pertama. ASEANSAI adalah organisasi profesional, yang independen, otonom dan non politik. ASEANSAI adalah forum untuk meningkatkan kapasitas dan kolaborasi dalam bidang pemeriksaan sektor publik di kawasan ASEAN. Salah satu tujuan pendirian ASEANSAI adalah untuk membangun kapasitas dan mempromosikan kerja sama dan pengertian diantara anggota-anggota ASEANSAI melalui pertukaran dan berbagi pengetahuan dan pengalaman di bidang pemeriksaan sektor publik untuk memperkuat lembaga-lembaga pemeriksa. Selain itu, ASEANSAI diharapkan untuk memberikan kontribusi secara positif dan konstruktif kepada komunitas ASEAN di masa yang akan datang.
79
Kerjasama Bilateral dengan BPK RI negara lain Selain berperan aktif dalam INTOSAI dan ASOSAI, BPK RI juga menjalin kerja sama dengan BPK negara lain. a. Kerjasama dengan ANAO (Australia National Audit Office) b. Kerjasama dengan Jabatan Audit Negara Malaysia c. Kerjasama dengan Swedish National Audit Office (SNAO) d. Kerjasama dengan SAI China e. Kerjasama dengan CSAO (Supreme Audit Office of the Czech Republic) f. Kerjasama dengan BPK Polandia g. Kerjasama dengan SAC IRAN (Supreme Audit Court of The Islamic Republic of Iran) h. Kerjasama dengan ACH (Account Chamber of Russian) i. Kerjasama dengan Office of the Auditor General of Norway (Riksrevisjonen) j. Kerjasama dengan BPK Aljazair k. Kerjasama dengan (ACCAM) the Court Account of the Kingdom of Morocco l. Kerjasama dengan BPK Tunisia m. Kerjasama dengan NAA (National Audit Authority) Cambodia n. Kerja sama dengan State Audit Office of the Socialist Republic of Vietnam.
80
Kerjasama BPK dengan I.embaga Donor Kerjasama dengan lembaga donor dilakukan BPK dengan Bank Dunia. Asian Development Bank (ADB), USAID, AusAlD, Europe Union, dan UNODC. Kerjasama ini merupakan bagian dari peningkatan
dan
pengembangan
kapasitas
BPK
dalam
mempersiapkan pelaksanaan mandat pemeriksaan. Kerjasama yang telah dilakukan BPK dengan Bank Dunia meliputi Proyek Modernisasi Audit BPK (PMAB) untuk peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan BPK, Strengthening Investigative Audit Capacity (SIAC) untuk mendukung peningkatan audit investigatif, dan Strengthening the Accountability for and Audit of Disaster-Related Aid (SAADRA) untuk mendukung audit atas pengelolaan dana bantuan bencana, sedangkan kerjasama yang masih berjalan adalah IDF Grant for Support to BPK for Preparation of New Strategic plan Project untuk penyusunan renstra BPK 2011 2015 beserta rencana implementasinya dan Scholarship Program for Strengthening Reforming Institutions (SPIRIT) untuk peningkatan SDM BPK melalui program beasiswa dan pelatihan. Adapun kerjasama yang telah dilakukan BPK dengan ADB meliputi State Audit Reform Sector Development Project (STAR-SDP) bagi peningkatan kemampuan dan kapasitas BPK untuk memenuhi mandat BPK yang baru, Earthquake and Tsunami Emergency Sector
81
Project (ETESP) untuk dukungan BPK dalam melakukan tugas pemeriksaan penggunaan dana bantuan bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Project Procurement Related Audit (PPRA) dalam melakukan joint audit proyek ADB. Semua kegiatan ini telah berakhir namun ADB tetap mengharapkan keterlibatan BPK dalam proyek ADB yang baru sebagai kelanjutan proyek STAR SDP yaitu State Audit Revitalization and Procurement Reform Professional Development Project (STARPRO). Selain kegiatan kerjasama dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan BPK, kedua lembaga donor ini (Bank Dunia dan ADB) telah meminta BPK melalui Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan atas beberapa proyek yang dilaksanakan di Indonesia. Untuk pemeriksaan TA 2011 ADB mengajukan 4 proyek, sementara untuk TA 2011 Bank Dunia mengajukan 5 proyek untuk diperiksa oleh BPK. Lembaga donor lain yang aktif bekerja sama dengan BPK adalah USAID melalui tiga kegiatan yaitu: Aceh Technical Assistance Recovery Project (A-TARP) untuk mendukung penyusunan renstra BPK 2006-2010 beserta rencana implementasinya, Kegiatan Financial Crime Prevention.
82
BAB IV BANK INDONESIA
1. Sejarah Pembentukan Bank Sentral (Bank Indonesia) di Indonesia Gagasan pembentukan bank sentral telah muncul sejak pembahasan materi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Gagasan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang Hal Keuangan. Langkah pembentukan bank sentral dimulai dengan Surat Kuasa Soekarno-Hatta tanggal 16 September 1945 kepada R.M. Margono Djojohadikoesoemo untuk mempersiapkan Bank Negara Indonesia (BNI). Tidak lama kemudian, didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang berikutnya dilebur ke dalam BNI. Sebagai bank sentral dalam masa revolusi, BNI tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara itu, De Javasche Bank (DJB) yang pernah menjadi bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kembali membuka cabang-cabangnya di wilayah yang dikuasai oleh NICA sejak awal 1946. Pada 1949 Konferensi Meja
83
Bundar (KMB) telah menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan BNI berfungsi sebagai bank umum. Setelah bubarnya RIS pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) berkeinginan untuk memiliki bank sentral yang independen dan bebas dari kepemilikan asing. Keinginan tersebut difokuskan pada nasionalisasi DJB yang selama ini telah berfungsi sebagai bank sirkulasi meski masih berstatus bank swasta dan didominasi oleh Belanda. Pada 1951, DJB dinasionalisasi dan kepemilikan sahamnya berhasil diselesaikan oleh Panitia Nasionalisasi. Maka dengan berlakunya UU Nomor
11/1953 tentang penetapan Undang-
Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, DJB dirubah namanya menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk RI. Sejarah mencatat bahwa aktivitas perekonomian dan keuangan menjadi tulang punggung dalam perjalanan suatu bangsa. Dalam hal ini peran bank sentral sangat dibutuhkan sebagai sebuah lembaga yang memang diserahi tugas mengontrol sistem moneter dan perbankan suatu negara yang kebijakannya akan berdampak pada perekonomian. Dalam menjalankan tugas tersebut, umumnya bank sentral memiliki wewenang mengedarkan uang, di samping memiliki
fungsi
dan
wewenang
mengatur,
membina,
dan
mengawasi kegiatan perbankan. Seperti diketahui, bank merupakan
84
lembaga perantara keuangan. Selain itu, bank sentral berperan pula sebagai sumber terakhir pinjaman bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, atau dikenal dengan istilah lender of the last resort. Lebih jauh lagi, bank sentral juga mempunyai peran pengendali sistem moneter. Dari fungsi ini, menjadi lebih jelas lagi bahwa bank sentral juga berperan dalam pengembangan sistem perkreditan yang sehat. Sebagai negara yang sedang berusaha bangkit dari kehancuran selama masa penjajahan, para pendiri negara ini pun menyadari bahwa Indonesia memerlukan suatu bank sentral. Pemikiran ini muncul sejak pembahasan materi UndangUndang Dasar (UUD) 1945 dalam sidang BPUPKI dan PPKI. Pada tanggal 5 Juli 1946, lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Prp. 1946 mengenai pendirian Bank Negara Indonesia (BNI), dilanjutkan dengan meleburkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" ke dalam bank tersebut yang berkantor pusat di gedung eks. bank milik Belanda, De Javasche Bank Yogyakarta. Walau status BNI sebagai bank sentral tidak tercantum secara tegas dalam Undang- Undang Nomor 2 Prp. 1946, namun beberapa pasalnya mengamanatkan tugas kebanksentralan, antara lain dinyatakan dalam pasal 1, pasal 6, pasal 7, dan pasal 10. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini mengejutkan Belanda dengan NICA-nya ketika mereka datang kembali ke
85
nusantara dan membuat situasi menjadi memanas. Belanda yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia mencoba merebut kembali wilayah Indonesia satu per satu. Seiring dengan itu, mereka juga membuka kembali beberapa kantor De Javasche Bank (DJB) di wilayah-wilayah yang berhasil didudukinya. Peta perebutan wilayah ditandai dengan berdirinya DJB Jakarta, Semarang, Manado, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Bandung, Medan, dan Makassar. Tanggal 21 Juli 1946, Belanda berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan melakukan aksi militer yang terkenal dengan istilah Clash I. Bersamaan dengan itu, empat buah kantor DJB pun ikut dibuka yaitu DJB Palembang, Cirebon, Malang, dan Padang. Pada Clash II, tanggal 19 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, sehingga tiga kantor DJB pun ikut dibuka yaitu Yogyakarta, Solo, dan Kediri. Gambaran keadaan negara Republik Indonesia (RI) yang terpecah-pecah seperti yang diuraikan di atas menjadikan embrio bank sentral Indonesia yang akan tumbuh menjadi tersendat. Di samping itu, kondisi tersebut berimbas dan berpengaruh pada kinerja dan pelaksanaan tugas-tugas BNI. Kantor-kantor BNI yang lazimnya menggunakan gedung kantor DJB ikut menyingkir bersamaan dengan didudukinya kota bersangkutan, dan DJB ternyata dibuka kembali. Akhirnya BNI tidak bisa menjalankan fungsi bank sentralnya.
86
Dengan prakarsa Dewan Keamanan PBB, diselenggarakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan keputusan pengakuan kedaulatan penuh atas RI pada tanggal 27 September 1949, dengan bentuk negara RIS. KMB juga menetapkan bahwa yang bertindak sebagai bank sirkulasi adalah DJB. Keputusan KMB ini juga mengakibatkan berubahnya status dan fungsi BNI menjadi bank umum. Belanda mengingkari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang Irian Barat. Akibatnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi, termasuk keinginan menasionalisasi De Javasche Bank (DJB). Pada tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan RI, Mr. Jusuf Wibisono,
dalam
wawancara
persnya
mengumumkan
niat
pemerintah Indonesia untuk menasionalisasi DJB menjadi bank sirkulasi. Pernyataan yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak DJB ini menyebabkan Presiden DJB, Dr. A. Houwink memutuskan untuk mengundurkan diri. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 123 tanggal 12 Juli 1951, diangkatlah Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden DJB. Keterangan resmi mengenai nasionalisasi ini disampaikan Perdana Menteri, dr. Sukiman Wirjosandjojo kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 118 tanggal 2 Juli 1951, yang berlaku surut sejak
87
tanggal 19 Juni 1951, dibentuklah "Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank", dengan ketua Mohamad Sediono dan anggota-anggota yang terdiri
atas
Mr.
Soetikno
Slamet,
Dr.
R.M.
Soemitro
Djojohadikoesoemo, T.R.B Sabarudin, serta Drs. Khouw Bian Tie. Panitia ini bertugas menasionalisasi DJB dan merencanakan status baru bagi bank sentral Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, langkah pertama yang dilakukan oleh panitia adalah dengan membeli saham kepemilikan DJB oleh pemerintah dengan kurs 120% dalam valuta uang Belanda atau valuta lain sesuai tempat tinggal pemilik saham dengan kurs sebanding, dan kurs 360% untuk pemilik saham WNI atau penduduk dalam rupiah. Dengan cara ini kepemilikan DJB bisa diambil alih sebesar 99,4%. Sisanya 0,6% dianggap hilang karena tidak jelas pemiliknya Dan tanggal 15 Desember 1951, DJB resmi dinasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun
1951. Tugas Panitia Nasionalisasi DJB selanjutnya adalah menyusun rancangan undang-undang tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral, yang disahkan DPR tanggal 10 April 1953 dengan sebutan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Dengan demikian Bank Indonesia resmi menjadi bank sentral Indonesia.
88
Bank
Indonesia
mempunyai
beberapa
perbedaan
dengan
pendahulunya, De Javasche Bank. Jika unsur pimpinan DJB adalah direksi, penasehat, komisaris pemerintah, dan dewan komisaris, maka unsur pimpinan Bank Indonesia adalah dewan moneter, direksi, dan dewan penasehat. Selain itu, jika direksi DJB terdiri atas presiden, wakil presiden I dan II, direktur, serta direktur I dan II, maka di lain pihak direksi Bank Indonesia terdiri atas gubernur dan beberapa anggota direksi. Bentuk badan hukum antara DJB dan Bank Indonesia juga berbeda. Bila badan hukum DJB berbentuk Naamlooze Vennootschap (NV), maka bentuk badan hukum Bank Indonesia adalah berdasarkan undang-undang. Ditinjau dari tugasnya, kedua institusi ini pun berbeda. Bila DJB tidak diberikan tugas lain di bidang moneter dan perbankan selain mengedarkan uang dan menerima laporan bankbank secara berkala, maka Bank Indonesia menurut UU Nomor 11/1953 bertugas memajukan perkembangan perbankan yang sehat berkaitan dengan urusan kredit dan urusan bank di Indonesia. Di samping itu, dalam hal campur tangan pemerintah, DJB cukup independen, meskipun dalam beberapa hal harus mendapat persetujuan dari pemerintah c.q gubernur jenderal. Lain halnya dengan Bank Indonesia yang mengakomodir unsur pemerintah di dalam struktur organisasinya yaitu menteri keuangan dan menteri perekonomian sebagai ketua dan anggota Dewan Moneter.
89
Kekuasaan Dewan Moneter ini sangat kuat karena selain menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, juga dalam hal-hal lain yang dianggap terkait dengan kepentingan umum, termasuk penetapan tarif-tarif bank. Sebuah tonggak sejarah mengenai pendirian bank sentral di Indonesia telah dipancangkan. Meskipun kehadiran Dewan Moneter sebagai unsur pimpinan Bank Indonesia menjadikan struktur organisasi lembaga ini tidak dapat sepenuhnya independen dari pemerintah, namun kehadiran Bank Indonesia sebagai bank sentral telah memberikam andil besar dalam perjalanan perekonomian dan moneter di Indonesia pada masa mendatang. Kelembagaan Bank Indonesia Periode 1953 - 1959 Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, dijelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) didirikan untuk menggantikan De Javasche Bank. sekaligus bertindak sebagai bank sentral Indonesia. Sebagai badan hukum milik negara, BI berhak melakukan tugas-tugas berdasarkan Undang-Undang Bank Sentral. Berkedudukan di Jakarta, BI mengemban
tugas,
antara
lain:
menjaga
stabilitas
rupiah,
menyelenggarakan peredaran uang di Indonesia, memajukan perkembangan urusan kredit, dan melakukan pengawasan pada urusan kredit tersebut. Dengan modal bank sebesar Rp 25 juta, BI
90
memiliki usaha-usaha bank antara lain: memindahkan uang (melalui surat atau pemberitahuan dengan telegram, wesel tunjuk, dan lain-lain), menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, mendiskonto surat wesel, surat order, dan suratsurat utang, serta beberapa usaha lainnya. Berkaitan dengan hubungan BI dan pemerintah, telah ditetapkan dalam UU tersebut, bahwa BI wajib menyelenggarakan kas umum negara dan bertindak sebagai pemegang kas pemerintah Republik Indonesia (RI). BI juga memberi uang muka dalam rekening koran kepada pemerintah RI. Pada awal berdirinya, struktur organisasi BI meliputi 12 bagian di kantor pusat Jakarta, 15 kantor cabang di dalam negeri, dan 2 (dua) kantor perwakilan di luar negeri. Bagian-bagian yang terdapat di kantor pusat adalah: bagian pembukuan, bagian kas dan uang kertas bank, bagian urusan efek, bagian pemberian kredit Jakarta, bagian sekretaris dan urusan pegawai, bagian urusan wesel, bagian pemberian kredit pusat, dana devisa, bagian statistik ekonomi, urusan umum, bagian luar negeri, dan bagian administrasi pusat. 15 kantor cabang yang terdapat di dalam negeri adalah Manado, Pontianak, Kediri, Yogyakarta, Palembang, Medan, Makassar, Banjarmasin, Malang, Solo, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang, dan Cirebon. Sedangkan dua kantor di luar negeri adalah bank cabang Amsterdam dan New York.
91
Direksi bank pada periode ini terdiri atas seorang gubernur (pimpinan), seorang gubernur pengganti I, seorang gubernur pengganti II, dan beberapa orang direktur. Gubernur yang menjabat pada periode 1953-1959 adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Loekman Hakim. Susunan personalia di kantor pusat antara lain Ong Sian Tjong yang menjabat sebagai Kepala Bagian Pembukuan, R.H. Djajakoesoema sebagai Kepala Bagian Pembantu Sekretarie, dan Go Wie Kie sebagai Kepala Bagian Pembantu Wesel. Di kantor cabang antara lain adalah Tan Liang Oen, Agoes Gelar Datoek Radjo Nan Gadang, M. Rifai, D.D Ranti, dan beberapa orang lainnya. Selama periode 1953-1959, dilakukan peresmian dan penutupan beberapa kantor cabang dan kantor perwakilan. Pembukaan kantor cabang dilakukan di Ambon (17 Maret 1956), Ampenan (15 Agustus 1957), dan Jember (8 Februari 1958). Dewan Moneter Menurut UU Nomor 11 Tahun 1953 Pimpinan Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1953 adalah Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat. Pada saat itu Dewan Moneter terdiri atas Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur BI. Dewan tersebut bertugas menetapkan kebijakan moneter secara umum dari BI dan memberi
92
petunjuk kepada direksi berkaitan dengan kebijakan bank. Ketetapan tentang Dewan Moneter dalam UU Nomor 11 Tahun 1953 tersebut tidak sesuai dengan pemikiran Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Presiden DJB terakhir dan juga Gubernur BI pertama. Sjafruddin berpendapat bahwa keberadaan Dewan Moneter dalam jajaran pimpinan BI menjadikan batas organisatoris antara pemerintah dan BI menjadi tidak jelas. Menurutnya, untuk menjembatani antara kepentingan pemerintah dan bank sentral harus dibentuk suatu Dewan Koordinasi yang beranggotakan wakil pemerintah dan wakil direksi bank dan berada di luar struktur kepemimpinan bank sentral. Dengan demikian, pemerintah tidak dapat terlalu jauh mengintervensi bank sentral dan sebaliknya bank sentral juga tidak terlalu independen dari pemerintah. Tetapi nyatanya format semacam itu tidak pernah terwujud. Hingga 1968, secara formal keberadaan Dewan Moneter tetap dibertahankan sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 11 Tahun 1953. Tidak setiap bank sentral di setiap negara memiliki dewan moneter. Namun dalam sejarah perkembangannya, Bank Indonesia sebagai bank sentral di Republik Indonesia selama beberapa periode memiliki dewan moneter sebagai dewan yang mengatur kebijakan moneter.
93
Dapat dipastikan bahwa hampir setiap negara di berbagai belahan dunia mempunyai bank sentral, namun tidak semua bank sentral tersebut mempunyai dewan moneter, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai dewan yang mengatur kebijakan moneter, yaitu kebijakan yang mempengaruhi atau berkaitan dengan pengendalian jumlah uang yang beredar (money supply) agar seimbang dengan jumlah uang yang diperlukan (money demand). Meskipun secara spesifik fungsi dewan moneter bank sentral di setiap negara tidak selalu sama, tetapi secara umum peranan dewan moneter ini dapat dibagi ke dalam dua fungsi, yaitu sebagai executing body dan coordinating body. Executing body adalah peran di mana dewan moneter mengeluarkan keputusan-keputusan yang mengikat
atas
pertanggungjawaban
akhir
dari
pemerintah.
Sedangkan coordinating body adalah peran dewan moneter dalam mengkoordinir fungsi-fungsi yang mempengaruhi kondisi moneter untuk membantu pemerintah dalam hal kebijakan yang berbentuk peraturan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mendukung tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan tingkat inflasi yang masih dapat diterima oleh negara yang bersangkutan. Sebelum kelahiran Bank Indonesia, kebijakan moneter secara terbatas telah dilaksanakan oleh bank sirkulasi pada saat itu, yaitu De Javasche Bank. Hal ini terbukti melalui
94
cuplikan risalah rapat De Javasche Bank, Laporan Tahunan De Javasche Bank, serta Freezing Ordonance 1945. Agar pengelolaan bank sentral dapat dilakukan menurut kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perekonomian, maka pada tahun 1951 De Javasche Bank dinasionalisasikan. Setelah itu didirikan Bank Indonesia milik negara, dengan badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1953 tentang Penetapan UndangUndang Pokok Bank Indonesia. Pada saat undang-undang tersebut dirumuskan,
Presiden
De
Javasche
Bank,
Mr.
Sjafruddin
Prawiranegara, dalam laporan tahunan De Javasche Bank tahun 1951/1952, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa hak bank sirkulasi
untuk
mencetak
dan
mengedarkan
uang,
dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber keuangan. Untuk mengantisipasi
hal
tersebut,
maka
perlu
dibentuk
Dewan
Koordinasi sebagai jembatan antara kepentingan pemerintah sebagai pemilik dengan pihak bank sentral yang memerlukan independensi dalam hal penetapan dan/atau pelaksanaan kebijakan moneter. Kekhawatiran Mr. Sjafruddin Prawiranegara memang beralasan karena Dewan Moneter yang dibentuk berbeda dengan pemikiran idealnya. Sjafruddin menuangkannya dalam laporan tahunan De Javasche Bank tahun 1952/1953, yang isinya menjelaskan bahwa
95
sebelumnya De Javasche Bank dan pemerintah berdiri secara terpisah, meskipun dalam beberapa hal tertentu terdapat campur tangan pemerintah. Namun pada periode Bank Indonesia, garis organisatoris
itu
menjadi
kabur
karena
Dewan
Moneter
ditempatkan di atas direksi Bank Indonesia. Menurutnya, susunan dan tugas Dewan Moneter diatur dalam undang-undang tersendiri. Menurut UU Nomor 11 Tahun 1953, Dewan Moneter terdiri atas 3 orang anggota yang mempunyai hak suara yakni Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dewan ini diketuai oleh Menteri Keuangan yang dapat digantikan oleh Gubernur Bank Indonesia jika ia sedang berhalangan. Apabila anggota Dewan Moneter berhalangan hadir pada sidang, maka anggota Dewan Moneter tersebut wajib menunjuk wakilnya dengan surat kuasa, sehingga wakil tersebut dapat memberikan suara. Dewan Moneter bersidang sekurangkurangnya 14 hari sekali atau lebih apabila anggota yang mempunyai hak suara menginginkannya. Dewan
Moneter
mengangkat
sendiri
sekretaris
maupun
mengangkat dan memberhentikan pegawainya. Tugas dari Dewan Moneter ini adalah menetapkan kebijakan moneter umum yang akan dilaksanakan oleh Bank Indonesia; memberi petunjuk kepada direksi tentang kebijakan Bank Indonesia dalam urusan lainnya, sepanjang kepentingan umum memerlukannya, seperti penetapan
96
tarif bunga bank yang dianggap sebagai kebijakan moneter umum atau urusan Bank Indonesia mengenai kepentingan umum, begitu pula dengan pekerjaan-pekerjaan Bank Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal dan ayat yang mengaturnya. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Moneter dibantu oleh Dewan Penasehat yang mempunyai tugas untuk memberikan nasehat kepada Dewan Moneter baik diminta ataupun tidak, dan membahas segala permasalahan Dewan Moneter dengan maksud agar dewan ini dapat menetapkan kebijakan secara optimal berdasarkan perkembangan yang ada di masyarakat. Adapun tugas direksi Bank Indonesia yaitu. a. Menyelenggarakan kebijaksanaan moneter umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter. b. Menyelenggarakan pemberian kredit oleh Bank Indonesia, terutama untuk pemberian dan perpanjangan kredit dengan syarat-syarat yang berhubungan dengan kredit-kredit tersebut, begitu pula untuk menghentikan kredit yang sedang berjalan, dan menolak pemberian kredit. c. Menyelenggarakan segala pekerjaan Bank Indonesia yang lain, dengan memperhatikan petunjuk Dewan Moneter.
97
Seiring
dengan
perkembangan
sistem
parlementer
dengan
perubahan-perubahan kabinetnya, maka keanggotaan Dewan Moneter pun silih berganti sesuai dengan kabinet pada masanya. a. Pada kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Keuangan dijabat oleh Ong Eng Die dan Menteri Perekonomian dijabat oleh Iskaq Tjokrohadisurjo. b. Pada kabinet berikutnya, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, Menteri Keuangan dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo dan Menteri Perekonomian dijabat oleh I.J. Kasimo. c. Pada kabinet berikutnya, yaitu kabinet Ali Sastroamidjojo II, Menteri Keuangan dijabat oleh Jusuf Wibisono dan Menteri Perekonomian dijabat oleh Burhanuddin. d. Pada kabinet Djuanda, Menteri Keuangan dijabat oleh Soetikno Slamet, Menteri Perdagangan dijabat oleh Rachmat Muljomiseno, Menteri Perindustrian dijabat oleh F.J. Inkiriwang, yang di dalam Dewan Moneter menjabat sebagai anggota pengganti. Susunan Dewan Moneter kembali berubah setelah Dekrit Presiden 1959. Jabatan ketua dipegang oleh Ir. Djuanda (Menteri Keuangan), sedangkan Mr. Loekman Hakim (Gubernur Bank Indonesia) menjadi anggota yang dapat menggantikan ketua jika berhalangan. Para anggota lainnya adalah Dr. J. Leimena (Menteri Distribusi), Kol. Suprajogi
(Menteri
Produksi),
98
Chaerul
Saleh
(Menteri
Pembangunan),
dan
R.M.
Notohamiprodjo
(Menteri
Muda
Keuangan) sebagai anggota pengganti. Selain mengatur masalah keanggotaan Dewan Moneter, Undang-Undang (UU) Nomor
11
Tahun 1953 juga mengatur tatacara pengambilan keputusan, seperti. a.
Keputusan Dewan Moneter diambil dengan suara terbanyak.
b. Anggota Dewan Moneter yang kalah suara, dalam waktu satu minggu berhak meminta agar pokok pertikaian itu diajukan kepada Dewan Menteri untuk diputuskan. Sambil menunggu keputusan Dewan Menteri maka seorang anggota dapat meminta, supaya keputusan yang diambil oleh Dewan Moneter itu ditunda pelaksanaannya dan permintaan penundaan itu dikabulkan, kecuali Dewan Moneter dalam hal yang sangat mendesak
berbeda
keputusannya.
Jika
pendapatnya
tidak
dibenarkan, maka Gubernur berhak mengumumkan pendiriannya dalam Berita Negara dengan syarat menurut anggapan Dewan Menteri hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan negara. Notulen Dewan Moneter adalah rahasia, namun jika pemerintah menghendakinya, maka pemerintah dapat melihatnya. Dalam
kurun
waktu
1953-1959,
Dewan
menghasilkan ketentuan-ketentuan, antara lain.
99
Moneter
telah
a) Keputusan Dewan Moneter tentang Tambahan Pembayaran Impor (TPI) untuk pemasukan barang impor golongan III, yaitu barang-barang mewah, dan golongan IV, yaitu barang-barang mewah sekali sebesar 200% untuk golongan III dan 400% untuk golongan IV. b) Keputusan Dewan Moneter yang memberikan pengaturan umum tentang pembatasan kredit oleh badan kredit partikelir. Semua badan kredit partikelir yang mencatat jumlah uang giro dan deposito sekurang-kurangnya Rp 75 juta wajib menyimpan sebagian
dari
Perbendaharaan
uang Negara
tunainya (KPN)
dalam dan
bentuk
mengadakan
kertas dasar
perbandingan minimum antara jumlah uang tunai dengan giro dan deposito. Bagian uang tunai yang disimpan sebagai KPN dan dasar perbandingan minimum tersebut ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan persetujuan Dewan Moneter. c) Keputusan Dewan Moneter yang mengatur bahwa pendirian cabang bank wajib melalui persetujuan Bank Indonesia dengan syarat. i) Pendirian cabang bank umum harus tersedia modal dibayar atau cadangan bebas sekurang-kurangnya Rp500.000 di atas jumlah modal dibayar minimum sebesar Rp2.500.000.
100
ii) Pendirian cabang bank tabungan harus tersedia modal dibayar
atau
cadangan
bebas
sekurang-kurangnya
Rp100.000 di atas jumlah modal dibayar minimum sebesar Rp500.000. d) Selain itu, Dewan Moneter menetapkan pula syarat-syarat umum mengenai penutupan cabang badan kredit, yaitu: i) Penutupan cabang badan kredit wajib mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. ii) Surat permohonan penutupan wajib disampaikan selambatlambatnya sebulan sebelum tanggal penutupan. iii) Permohonan penutupan cabang badan kredit wajib dilampiri dengan keterangan tentang keadaan terakhir cabang yang akan ditutup. Hal lain yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 adalah bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan moneter. Realisasinya dapat dilihat pada saat pemerintah mengumumkan persetujuan keputusan rapat Dewan Moneter pada tanggal 18 Juni 1957, yaitu mengadakan perimbangan ekspor dan impor, memperbaiki persediaan devisa dengan meningkatkan ekspor, serta menyederhanakan peraturan devisa guna mengatasi kesulitan-kesulitan
di
bidang
perekonomian.
101
moneter,
keuangan,
dan
Dewan Moneter berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dewan ini bertugas untuk menetapkan kebijakan moneter umum yang akan dilaksanakan oleh Bank Indonesia serta memberi petunjuk kepada direksi tentang kebijakan Bank Indonesia dalam urusan lainnya yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Moneter dibantu oleh Dewan Penasehat. Selama periode 19531959, Dewan Moneter telah menghasilkan beberapa ketentuan mengenai Tambahan Pembayaran Impor (TPI), pembatasan kredit oleh badan-badan kredit swasta, pendirian cabang bank, serta syarat-syarat penutupan cabang badan kredit. Sejarah Kelembagaan BI Setelah nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB melanjutkan tugasnya dengan merumuskan RUU Pokok Bank Indonesia yang merupakan undang-undang bagi bank sentral Indonesia. Dalam konsiderans undang-undang nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral.
102
Setelah nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tahun 1951, Panitia nasionalisasi DJB melanjutkan tugasnya dengan merumuskan RUU Pokok Bank Indonesia yang merupakan undang-undang bagi bank sentral Indonesia. Dalam konsiderans undang-undang nasionalisasi DJB disebutkan bahwa negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat harus memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Nasionalisasi DJB merupakan proses awal pembentukan bank sentral. RUU tersebut disampaikan Pemerintah kepada Parlemen pada bulan September 1952. Tanggal 10 April 1953 Parlemen telah memberikan persetujuan atas RUU tersebut. Tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut disahkan Presiden dan diumumkan pada tanggal 2 Juni 1953 (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang UndangUndang Pokok BI, Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 40) dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1953. BI berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 (Lembaran Negara RI Tahun 1953 Nomor 40). Dalam Bab I pasal 1 undang-undang tersebut ditetapkan bahwa dengan nama BI didirikan suatu bank untuk menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953, BI memiliki 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fungsi yang terkait dengan
kebijakan
moneter,
kebijakan
perbankan
serta
memperlancar lalu lintas pembayaran. Sesuai dengan berlakunya
103
Undang-Undang Pokok BI tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 dicatat dan diperingati sebagai hari lahir atau hari jadi BI. Tugas BI diatur dalam Bab II pasal 7 sampai dengan pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang UU Pokok BI disebutkan bahwa tanggung jawab atas kebijakan moneter berada pada pemerintah. Kebijakan moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter
sedangkan
Direksi
BI
bertugas
menyelenggarakan
kebijakan moneter umum yang ditetapkan oleh Dewan Moneter. Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa BI melakukan pengawasan terhadap urusan kredit, menyelenggarakan peredaran uang, mempermudah jalannya uang giral di Indonesia dan memajukan jalannya pembayaran dengan luar negeri. Berdasarkan pasal 7 ayat (5) Undang-Undang pokok BI 1953, pada bulan Januari 1955 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang pengawasan urusan kredit. Sejak saat itu BI mulai mempersiapkan organisasi dan tenaga di bidang pengawasan bank yang secara formal terbentuk tahun 1957. Dalam bidang moneter BI mulai melakukan pengendalian uang beredar dengan menggunakan reserves requirement dan pembatasan kredit bank.
104
2. Dasar Hukum Bank Indonesia Bank Indonesia diatur dalam Bab VIII UUD 1945 yang berjudul “Hal Keuangan”yang terdiri atas 5 (lima) pasal. Bank Indonesia tidak secara jelas disebutkan (tersirat bukan tersurat) yaitu hanya pada Pasal 23D yang berbunyi, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan,
kewenangan,
tanggung
jawab,
dan
independensinya diatur dengan undang-undang.” Pada awal kemerdekaan dasar hukum dan pengaturan lebih lanjut mengenai Bank Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, hal tersebut merupakan awal berdirinya Bank Indonesia. Kemudian diatur juga pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Pada tahun 1999 Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Sebagai salah satu langkah penguatan kelembagaan
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia, dilakukan beberapa
penyempurnaan
terhadap
landasan
keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor tentang
Perubahan
Indonesia Nomor 23
Atas Tahun
1999
105
3 Tahun 2004
Undang-Undang Tentang
hukum
Bank
Republik Indonesia.
Beberapa aspek penting perubahan undang-undang dimaksud meliputi: (1) penetapan sasaran inflasi oleh Pemerintah; (2) penundaan pengalihan tugas pengawasan bank; (3) pengaturan fasilitas pembiayaan darurat bagi perbankan; (4) penyempurnaan mekanisme pencalonan Dewan Gubernur; (5) penguatan akuntabilitas dan transparansi; (6) pembentukan Badan Supervisi, dan; (7) persetujuan anggaran operasional oleh DPR. Selain pada undang-undang di atas, BI juga disebut dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan pada Pasal 1 ayat (20), ayat (21), ayat (22) huruf d, Pasal 6 huruf m, Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 huruf c, Pasal 16 ayat (1), ayat (3), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 27 huruf b, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 31, Pasal 33 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, ayat (3), Pasal 37A ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 41A ayat (1), Pasal 42 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat (2) huruf f dan ayat (3).
106
Selain disebut dalam undang-undang, Bank Indonesia juga disebut dalam keputusan presiden (Keppres) yaitu pada Keppres Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Pemberian Kewenangan Kepada Bank Indonesia di Bidang Pengendalian Moneter. 3. Susunan dan Kedudukan BI Susunan dan kedudukan Bank Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Bank Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. b. Bank Indonesia dapat mempunyai kantor-kantor di dalam dan di luar wilayah negara Republik Indonesia. c. Susunan Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. d. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur.
107
e. Dalam hal penunjukan sebagaimana pada poin di atas karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan Gubernur. Kantor Pusat Bank Indonesia terletak di Jalan MH Thamrin Nomor 2 Jakarta, menangani secara langsung sektor: 1. Moneter, yang terdiri atas : a. Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter b. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter c. Departemen Pengelolaan Moneter d. Departemen Pengelolaan Devisa e. Departemen Internasional 2. Perbankan, yang terdiri atas: a. Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan b. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan c. Departemen Pengawasan Bank 1 d. Departemen Pengawasan Bank 2 e. Departemen Pengawasan Bank 3 f. Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan g. Departemen Perbankan Syariah h. Departemen Kredit, BPR dan UMKM
108
3. Sistem Pembayaran, yang terdiri atas: a. Departemen Pengedaran Uang b. Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran 4. Manajemen Intern, yang terdiri atas: a. Departemen Logistik dan Pengamanan b. Departemen Pengelolaan Sistem Informasi c. Departemen Sumber Daya Manusia d. Departemen Keuangan Intern e. Departemen Hukum f. Direktorat Audit Intern g. Departemen
Perencanaan
Strategis
dan
Hubungan
Masyarakat h. Grup Sekretariat i. Departemen Museum Bank Indonesia j. Departemen Penyelesaian Aset k. Departemen Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Kantor perwakilan Bank Indonesia dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
109
KANTOR PERWAKILAN DALAM NEGERI BANK INDONESIA
Nomor
Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN)
Alamat
Kota
Kodepos
Telpon
Fax
A.
Wilayah I
Jl. Jend. Sudirman Nomor 3
Makassar
90133
(0411) 3615188
(0411) 3615170
1.
Provinsi Sulawesi Utara
Jl. 17 Agustus Nomor 56
Manado
95117
(0431) 868102
(0431) 866933
2.
Provinsi Sulawesi Tengah
Jl. Sam Ratulangi Nomor 23
Palu
(0451) 421181
(0451) 421180
3.
Provinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Sultan Hasanuddin Nomor 150
Kendari
93122
(0401) 312655
(0401) 3122718
4.
Provinsi Maluku
Jl. Raya Pattimura Nomor 7
Ambon
97124
(0911) 352761
(0911) 356517
5.
Provinsi Papua dan Papua Barat
Jl. Dr. Sam Ratulangi Nomor 9
Jayapura
99111
(0957) 534581
(0967) 535201
6.
Jl. H. Nani Provinsi Gorontalo Wartabone Nomor 35
Gorontalo
96115
(0435) 824444
(0435) 827993
7.
Provinsi Maluku Utara
Ternate
97711
(0921) 3121217
(0921) 3124017
Jl. Yos Sudarso Nomor 1
110
B.
Wilayah II
Jl. Lambung Mangkurat Nomor 15
Banjarmasin
70111
(0511) 4368179
(0511) 3354678
1.
Provinsi Kalimantan Timur
Jl. Gajah Mada Nomor 1
Samarinda
75122
(0541) 741022
(0541) 732644
2.
Provinsi Kalimantan Tengah
Jl. Diponegoro Nomor 11
Palangkaraya
73111
(0536) 3222500
(0536) 3223855
3.
Provinsi Kalimantan Barat
Jl. Ahmad Yani Nomor 2
Pontianak
78124
(0561) 734134
(0561) 732033
4.
Balikpapan
Jl. Jend. Sudirman Nomor 20
Balikpapan
76111
(0542) 411355
(0542) 411354
C.
Wilayah III
Jl. Letda Tantular Nomor Denpasar 4 Renon
80234
(0361) 248982
(0361) 222988
1.
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jl. Pejanggik Nomor 2
Mataram
83126
(0370) 623600
(0370) 631793
2.
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Jl. Tom Pello Nomor 2
Kupang
85000
(0380) 832047
(0380) 822103
D.
Wilayah IV
Jl. Pahlawan Nomor 105
Surabaya
60174
(031) 3520011
(031) 3520025
1.
Malang
Jl. Merdeka Utara Nomor 7
Malang
65119
(0341) 366054
(0341) 324820
111
2.
Kediri
Jl. Brawijaya Nomor 2
Kediri
64123
(0354) 682112
(0354) 696655
3.
Jember
Jl. Gajah Mada Nomor 224
Jember
62133
(0331) 485478
(0331) 484467
E.
Wilayah V
Jl. Imam Bardjo Semarang SH Nomor 4
50241
(024) 8310246
(024) 8310339
1.
D.I. Yogyakarta
Jl. Panembahan Senopati Nomor Yogyakarta 4-6
55121
(0274) 377755
(0274) 371706
2.
Solo
Jl. Jend. Sudirman Nomor 4
Solo
57111
(0271) 647755
(0271) 647132
3.
Purwokerto
Jl. Jend. Gatot Subroto Nomor 98
Purwokerto
53116
(0281) 631632
(0281) 632601
4.
Tegal
Jl. Dr. Sutomo Nomor 55
Tegal
52113
(0283) 350500
(0283) 356560
F.
Wilayah VI
Jl. Braga Nomor 108
Bandung
40111
(022) 4230223
(022) 4237787
1.
Banten
Jl. Yusuf Martadilaga Nomor 12
Serang
(0254) 223788
(0254) 223875
2.
Cirebon
Jl. Yos Sudarso Nomor 5 - 7
Cirebon
(0231) 202684
(0231) 209135
3.
Tasikmalaya
Jl. Sutisna Senjaya Nomor 19
Tasikmalaya
(0265) 331813
(0265) 333528
112
46112
G.
Wilayah VII
Jl. Jend. Sudirman Nomor 510
1.
Provinsi Bengkulu
2.
30126
(0711) 354188
(0711) 312013
Jl. Jend. Ahmad Bengkulu Yani Nomor 1
38116
(0736) 21735
(0736) 21736
Lampung
Jl. Hasanuddin Nomor 38
Bandar Lampung
35211
(0721) 486355
(0721) 481131
H.
Wilayah VIII
Jl. Jend. Sudirman Nomor 22
Padang
25128
(0751) 31700
(0751) 27313
1.
Provinsi Riau
Jl. Jend. Sudirman Nomor 464
Pekanbaru
28126
(0761) 31055
(0761) 31046
2.
Provinsi Jambi
Jl. Jend. Ahmad Yani 14, Jambi Telanaipura
36122
(0741) 62277
(0741) 62112
3.
Provinsi Kepulauan Riau
Jl. Engku Putri Nomor 1 Batam Batam Centre
29432
(0778) 462280
(0778) 462254
I.
Wilayah IX
Jl. Balai Kota Nomor 4
Medan
20111
(061) 4150500
(061) 4152777
1.
Provinsi Aceh
Jl. Cut Meutia Nomor 15
Banda Aceh
(0651) 33200
(0651) 34116
2.
Lhokseumawe
Jl. Merdeka Nomor 1
Lhokseumawe
24312
(0645) 44000
(0645) 43581
3.
Pematang Siantar
Jl. H. Adam Malik Nomor 1
Pematang Siantar
21116
(0622) 26999
(0622) 21555
4.
Sibolga
Jl. Kapten Maruli Sitorus Nomor Sibolga 8
22513
(0631) 22033
(0631) 22383
Palembang
113
Sedangkan kantor perwakilan Bank Indonesia yang terdapat di luar wilayah Negara Republik Indonesia terdapat di: 1. LONDON 10 City Road, London EC 1Y 2EH (44-20) 7638-9043 2. NEW YORK One Liberty Plaza 165 Broadway, 31st floor New York N.Y. 10006 (212) 732-1958/59, 732-4011, 732-0467 3. SINGAPORE 11 Collyer Quay 08-01 The Arcade Singapore 049317 (065) 6223-2700, 6223-2701, 6224-5806 4. TOKYO New Kokusai Building Room 906 Nomor 4 - 1, Marunouchi 3 Chome Chiyoda-ku, Tokyo, 100-0005 Japan (03) 3271-3415, 3271-3416, 3271-3417
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa secara umum Struktur Organisasi Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
114
115
116
Status dan kedudukan hukum Bank Indonesia Sebagai lembaga negara yang mempunyai otonomi dan mandiri disebutkan secara tegas pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang berbunyi “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, bebas dari campur tangan dari pemerintah dan/atau pihak-pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur oleh undangundang ini.” Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen, kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia
juga tidak sama dengan Departemen/Kementerian,
117
karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah. Status dan
kedudukan
yang
khusus
tersebut
diperlukan
agar
Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien. Dilhat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan BI juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan BI berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI harus membina hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya. Bank Indonesia
juga
berwenang
mengeluarkan
peraturan
Bank Indonesia yang materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundang-undangan. Ni’matul Huda dalam bukunya Hukum Tata Negara Indonesia mengatakan “peraturan-peraturan Bank Indonesia yang materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundang-undangan namun kedudukannya masuk
118
dalam fungsi Administrasi Negara. Jadi untuk menguji peraturan Bank Indonesia tidak menggunakan prinsip tata urutan, tetapi pada ukuran
kewenangan.
Sepanjang
peraturan
tersebut
dalam
wewenang Bank Indonesia maka semua peraturan administrasi lainnya harus dikalahkan.” 4. Tujuan, Tugas dan Kewenangan BI Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan dimaksud BI memiliki tugas yang diatur pada Pasal 8 UU a quo (dimaksud) yaitu: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk: a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya; b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan caracara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
119
2) penetapan tingkat diskonto; 3) penetapan cadangan wajib minimum; 4) pengaturan kredit atau pembiayaan. Dalam
rangka
mengatur
dan
menjaga
kelancaran
sistem
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, Bank Indonesia berwenang: a. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; b. mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; c. menetapkan penggunaan alat pembayaran. Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehubungan dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999,
terdapat pula perubahan kewenangan Bank Indonesia, yaitu ketentuan pada Pasal 7 diubah dan ditambah satu ayat sehingga berbunyi:
120
(1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten,
transparan,
dan
harus
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Diubahnya ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a pada UU Nomor 23 Tahun 2004, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang: a. menetapkan
sasaran-sasaran
moneter
dengan
memperhatikan sasaran laju inflasi; b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; 2) penetapan tingkat diskonto; 3) penetapan cadangan wajib minimum; dan 4) pengaturan kredit atau pembiayaan.
121
Gedung Bank Indonesia, Jakarta (sumber:www.bi.go.id)
5. Keanggotaan Bank Indonesia Secara umum, pimpinan suatu lembaga merupakan elemen penting dalam suatu kelembagaan. Untuk lembaga bank sentral, kendali kepemimpinan berada pada suatu dewan yang disebut Dewan Gubernur atau Executive Board, Policy Board, atau sebutan lainnya. Dewan tersebut umumnya dipimpin oleh seorang gubernur, presiden, chairman, atau sebutan lainnya. Dengan mengetahui tugas, wewenang, hak, dan tanggung jawab pimpinan suatu bank sentral, dapat diketahui beberapa hal, antara lain seberapa besar wewenang dan bagaimana proses perumusan kebijakan yang dilakukan Dewan Gubernur dalam melaksanakan tugasnya secara
122
Independen dalam rangka pencapaian tujuan bank sentral yang telah ditetapkan. Jumlah anggota Dewan Gubernur atau Executive Board atau Policy Board pada umumnya bervariasi dari satu bank sentral ke bank sentral lain. Sebagai contoh, Bank of Japan (BoJ) memiliki seorang Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan enam anggota Policy Board. The Bundesbank memiliki seorang presiden, seorang wakil, dan enam anggota Executive Board. The Federal Reserve System (FedRes) memiliki seorang Chairman, seorang wakil, dan lima anggota Dewan Gubernur. Sementara itu, European Central Bank (ECB) memiliki seorang Presiden, seorang wakil, dan empat anggota Executive Board. Menurut Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Berdasarkan ketentuan Pada Pasal 37 yang menjelaskan bahwa: 1. Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. 2. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil.
123
3. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur. 4. Dalam hal penunjukan sebagaimana ditetapkan pada ayat (3) karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan Gubernur. Dewan Gubernur mempunyai masa jabatan maksimum lima tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Untuk menjaga kesinambungan kebijakan bank sentral, penggantian Dewan Gubernur diatur secara berkala, yaitu setiap tahun paling banyak dua orang yang diganti. Dewan Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Khusus Deputi Gubernur, usul Presiden dilakukan dengan rekomendasi dari Gubernur dengan bakal calon dari internal maupun eksternal Bank Indonesia. Untuk menjadi anggota Dewan Gubernur, calon yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan antara lain: 1) warga negara Indonesia; 2) memiliki akhlak dan moral yang tinggi; dan 3) memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang berkaitan dengan tugas bank sentral.
124
Adapun tugas dan wewenang Dewan Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 pada Pasal 38 adalah sebagai berikut: 1. Dewan Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini. 2. Pembagian tugas dan wewenang Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. 3. Tata tertib dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan
Gubernur
ditetapkan
dengan
Peraturan
Dewan
Gubernur. 4. Kinerja Dewan Gubernur dan Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dinilai oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Gubernur sebagai pimpinan Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam melaksanakan tugas-tugasnya di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, di samping kebijakan di bidang manajemen internal. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Gubernur menyelenggarakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai suatu forum pengambilan keputusan tertinggi di Bank Indonesia. RDG diselenggarakan sekurangkurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, dan sekurang-kurangnya sekali dalam
125
seminggu melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter atau menetapkan kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan keputusan dalam RDG dilakukan atas dasar prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir. 6. Peran Serta BI dalam Kancah Internasional Bank Indonesia selaku Bank Sentral Negara Republik Indonesia seperti halnya lembaga negara lainnya juga memiliki hubungan internasional baik yang dilakukan atas nama sendiri maupun atas nama Pemerintah. Berikut ini adalah hubungan internasional yang dilakukan oleh Bank Indonesia. A. Peran Serta BI Atas Nama Sendiri Sebagai Anggota 1. South East Asian Central Banks (SEACEN), pada tahun 1982, terdiri atas 12 bank sentral SEACEN Centre merupakan pusat penelitian dan pelatihan di bidang keuangan, moneter, perbankan, kebanksentralan, dan ekonomi pembangunan bagi pegawai bank sentral yang menjadi anggotanya dari kawasan Asia Tenggara. Termasuk juga memprakarsai dan memfasilitasi kerja sama dalam bidang penelitian dan pelatihan yang berhubungan dengan aspek kebijakan dan operasional bank sentral, survei
126
ekonomi dan prakiraan (outlook) tahunan, dan publikasi hasil survey, analisis dan telaah ulang. 2. South East Asean, New Zealand and Australia Forum Of Banking Supervisor)/SEANZA, pada tahun 1957, terdiri atas 20 bank sentral SEANZA dibentuk terutama untuk membantu mengatasi masalah keterbatasan sumber daya manusia yang ahli dan berpengalaman,
khususnya
pada
tingkat
manajerial
menengah ke atas, yang dihadapi bank sentral negara-negara di kawasan Asia Pasifik. 3. The Executives' Meeting of East Asia-Pacific Central Banks (EMEAP), pada tahun 1991, terdiri atas 11 bank sentral EMEAP merupakan organisasi kerja sama bank sentral dan otoritas moneter di kawasan Asia dan Pasifik yang bertujuan untuk
mempererat
hubungan
kerja
sama
sesama
anggotanya. Kerja sama ini dilakukan dalam bentuk Governors’ Meeting, Deputies’ Meeting dan Working Group. Bentuk lainnya antara lain pembentukan jejaring regional untuk pertukaran informasi.
127
4. ASEAN Central Bank Forum (ACBF), pada tahun 2002, terdiri atas 10 bank sentral ACBF
dibentuk
dengan
tujuan
untuk
mengevaluasi
perekonomian dan risiko keuangan yang mungkin timbul dengan menekankan pada policy option dan implikasinya, serta
mendorong
dilakukannya
langkah
awal
untuk
meminimalisasi risiko tersebut dengan bantuan dari beberapa lembaga multilateral baik di tingkat regional maupun internasional. 5. Bank for International Settlement (BIS), pada bulan Mei tahun 1930, terdiri atas 49 bank sentral BIS merupakan forum kerja sama keuangan dan moneter internasional, sebagai lembaga yang memainkan peran penting
dalam
menyediakan
jasa
keuangan
dalam
pengelolaan devisa, menjadi pusat riset ekonomi dan moneter, memberikan kontribusi dalam memahami pasar keuangan internasional, dan menjadi forum pembahasan hasil riset moneter dan perbankan B. Peran Serta BI Atas Nama Pemerintah, Sebagai Anggota 1. Association of South East Asian Nations (ASEAN), pada bulan Agustus tahun 1967, terdiri atas 10 negara
128
ASEAN merupakan asosiasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial, dan pembangunan kultural di kawasan ini. Selain itu, juga untuk mendorong stabilitas ekonomi dan politik dikawasan ini dan memecahkan berbagai isu yang ada dalam kawasan ini. Kesemuanya itu untuk mencapai masyarakat yang damai dan sejahtera di kawasan Asia tenggara. 2. ASEAN+3, pada tahun 1997, terdiri atas 13 negara ASEAN+3 merupakan forum kerja sama di bidang ekonomi dari negara-negara ASEAN ditambah Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Kerja sama ini di masa yang akan datang terus ditingkatkan sehingga meliputi juga bidang politik dan keamanan untuk mendorong perdamaian, kestabilan, dan kesejahteraan di kawasan ini. Forum yang digelar antara lain berbentuk Pertemuan Puncak dan Pertemuan tingkat Menteri. 3. Asian Development Bank (ADB), pada tahun 1966, terdiri atas 61 negara ADB
adalah
lembaga
pembangunan
keuangan
yang
ditujukan untuk memberantas kemiskinan melalui strategi
129
pengurangan kemiskinan di kawasan Asia dan Pasifik. Untuk itu,
ADB
terus
mendorong
pertumbuhan
ekonomi,
pembangunan sumber daya manusia, peningkatan status wanita, dan pelestarian lingkungan. Selain itu, kerja sama regional, pembangunan sektor swasta, dan pembangunan sosial juga menjadi perhatian dalam rangka mencapai tujuan utama. 4. Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), pada tahun 1989, terdiri 21 negara APEC adalah forum utama untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan kerja sama perdagangan dan investasi di kawasan sekitar Asia dan Pasifik. Anggotanya meliputi 47% perdagangan
dunia.
Tiga
aspek
prioritasnya
adalah
liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitas kegiatan usaha, dan kerja sama ekonomi dan teknis. 5. Manila Framework, Nopember 1997, 14 negara (bank sentral & DepKeu) Manila Framework dibentuk setelah terjadinya krisis di beberapa negara Asia pertengahan 1997 lalu. Tujuannya adalah menyediakan forum untuk mendiskusikan isu-isu yang mempengaruhi stabilitas keuangan di kawasan ini.
130
Grup ini bertemu dua kali setahun, yang dihadiri oleh pejabat departemen keuangan dan bank sentral negara anggotanya, ditambah wakil dari IMF, WB, BIS, dan ADB. 6. Asia-Europe Meeting (ASEM), pada tahun 1996, terdiri atas 25 negara ASEM merupakan forum kerja sama negara Asia dan Eropa untuk memelihara perdamaian secara global, stabilitas, dan kemakmuran yang bertujuan untuk memajukan kegiatan perdagangan dan investasi yang lebih besar antara dua kawasan melalui liberalisasi perdagangan, dan investasi serta fasilitasi di antara negara anggota. 7. Islamic Development Bank (IDB), pada bulan Juli tahun 1975, terdiri atas 54 negara anggota Organization of Islamic Conference (OIC/OKI) IDB merupakan agen pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan perkembangan sosial negara anggotanya dan komunitas muslim, baik secara individu maupun kelompok, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
islam.
Dalam
rangka
mencapai
tujuan,
IDB
berpartisipasi dalam equity capital ‘modal ekuitas’ dan pemberian pinjaman untuk proyek-proyek produktif dan
131
perusahaan-perusahaan, selain juga menyediakan bantuan keuangan kepada negara-negara anggotanya dalam bentuk lain untuk pembangunan ekonomi dan sosial. 8. Consultative Group on Indonesia (CGI), pada tahun 1991, terdiri atas 30 negara & organisasi multilateral CGI merupakan kelompok donor yang memberi bantuan dana kepada Indonesia untuk kepentingan dana taktis pembangunan. penanggulangan
Sektor
utama
masalah
pendanaan
kemiskinan,
adalah
pembangunan
infrastruktur, penanganan masalah-masalah pemerintahan yang bersih (good governance), restrukturisasi perbankan, dan
penanganan
masalah-masalah
kesejahteraan
masyarakat. CGI terbentuk menggantikan IGGI (Inter Governmental
Group
on
Indonesia).
CGI
melakukan
pertemuan dialog setiap tahun antara negara/organisasi multilateral
donor
dan
pemerintah
Indonesia
untuk
mengevaluasi kegiatan sebelumnya, rencana selanjutnya, dan biasanya diakhiri dengan komitmen/persetujuan untuk memberikan bantuan.
132
9. International Monetary Fund (IMF), pada bulan Desember 1945, terdiri atas 184 negara IMF merupakan organisasi internasional yang dibentuk sesuai dengan kesepakatan konferensi Bretton Woods tahun 1944 yang ditujukan untuk mendorong kerja sama moneter internasional
untuk
menghindari
terjadinya
kembali
economic disaster seperti great depression tahun 1930-an. Indonesia bergabung Februari 1967 (setelah pernah bergabung sebelumnya dan keluar). Dalam rangka mencapai tujuan, IMF memfasilitasi perluasan dan pertumbuhan yang seimbang dari perdagangan internasional; mendorong stabilitas nilai tukar; membantu pembentukan sistem pembayaran multilateral; dan membantu pendanaan bagi negara-negara
yang
mengalami
kesulitas
neraca
pembayaran. Secara lebih umum IMF bertanggung jawab untuk memastikan stabilitas sistem keuangan internasional. 10. World Bank/IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) pada bulan Juli tahun 1944, terdiri atas 184 negara World Bank atau Bank Dunia merupakan organisasi internasional yang juga dibentuk sesuai kesepakatan Bretton Woods tahun 1944 yang merupakan sumber terbesar di
133
dunia untuk bantuan pembangunan. Indonesia bergabung pada April 1967. Bank Dunia bukanlah sebuah bank seperti pada umumnya, melainkan sebuah agen pembangunan khusus dari PBB yang terdiri dari lima organisasi yaitu IBRD (International Bank for Reconstruction and Development), IDA
(International
Development
Association),
IFC
(International Finance Corporation), MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency) dan ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes). Pada perkembangannya,
Bank
Dunia
menjadi
nama
yang
digunakan untuk IBRD dan IDA. 11. International Development Association (IDA), pada tahun 1960, terdiri atas 164 negara anggota IBRD IDA merupakan bagian dari World Bank yang membantu negara-negara termiskin di dunia untuk mengurangi kemiskinan dengan memberikan kredit dengan bunga nol persen, dengan grace period 10 tahun dan jangka waktu 35 sampai 40 tahun. IDA membantu membangun human capital, kebijakan-kebijakan, institusi-institusi, dan infrastruktur fisik yang dibutuhkan negara-negara ini untuk mempercepat pertumbuhan yang environmentally sustainable. Tujuan IDA adalah mengurangi kesenjangan antarnegara dan dalam
134
negara. Terutama dalam hal akses terhadap pendidikan dasar, kesehatan pokok dan air bersih, dan sanitasi, dan untuk mendorong meningkatkan produktivitas masyarakat. Indonesia bergabung pada tahun 1968. 12. International Finance Corporation (IFC), pada tahun 1956, terdiri atas 175 negara anggota IBRD IFC merupakan bagian dari World Bank yang bertujuan untuk mendorong investasi/petumbuhan sektor swasta yang sustainable di negara-negara berkembang sebagai salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari the World Bank Group, IFC juga mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di negara-negara berkembang anggotanya. Indonesia bergabung pada tahun 1968. Aktivitas IFC termasuk pembiayaan proyek-proyek sektor swasta di negara-negara berkembang, membantu perusahaan swasta untuk mencari dana di pasar keuangan internasional, dan memberikan saran dan bantuan teknis untuk dunia usaha dan pemerintah.
135
13. Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), pada tahun 1988, terdiri atas 157 negara anggota IBRD MIGA merupakan bagian dari World Bank yang bertujuan untuk mendorong investasi asing langsung (foreign direct investment)
di
meningkatkan
negara-negara tingkat
kehidupan
berkembang masyarakat
untuk dan
mengurangkan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, MIGA menawarkan political risk insurance/guarantees kepada para investor dan pemberi pinjaman, dan juga membantu negara-negara berkembang untuk menarik dan menjaga investasi swasta. 14. World Trade Organization (WTO), pada tahun 1995, terdiri atas 146 negara WTO merupakan forum negosiasi kebijakan/peraturanperaturan perdagangan internasional yang antara lain bertujuan untuk menangani perselisihan perdagangan, memonitor kebijakan perdagangan nasional negara anggota, memberikan bantuan berupa pelatihan dan bantuan teknis bagi negara-negara yang sedang berkembang, dan menjalin kerja sama dengan organisasi internasional lainnya.
136
15. Intergovernmental Group of 20 (G20), pada bulan September 1999, terdiri atas 19 negara, EU (uni eropa), IMF dan IBRD G20 merupakan forum internasional menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara industri dan berkembang untuk mendorong stabilitas keuangan dan ekonomi setelah terjadinya krisis keuangan dan perbankan di Asia pada pertengahan 1997. G20 dibentuk atas prakarsa G7. Agenda group kemudian meluas sampai kepada masalahmasalah dan tantangan-tantangan globalisasi dan cara-cara untuk memerangi kejahatan terorisme keuangan. G20 tidak memiliki sekretariat permanen, tetapi dirancang untuk mendorong pertukaran pandangan secara informal dan pembentukan konsensus mengenai isu-isu internasional. C. Peran Serta BI Atas nama Pemerintah, Sebagai Pengamat 1. Intergovernmental Group of 15 (G15), pada bulan Februari 1999, terdiri atas 17 negara berkembang dari Asia, Afrika, dan Amerika Selatan G15 merupakan kelompok dari 17 negara berkembang dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan memberikan input untuk kelompok internasional lain seperti WTO (the World Trade Organization) dan G7 (kelompok tujuh negara industri kaya).
137
2. Intergovernmental Group of 24 (G24), pada tahun 1971, terdiri atas 24 negara G24 merupakan kelompok dari 24 negara berkembang dari Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Asia, dan Eropa, yang tujuan utamanya adalah menggalang persatuan posisi dari negara-negara berkembang dalam isu-isu moneter dan pembangunan keuangan. Negara anggota G77 boleh hadir sebagai pengamat. G24 beroperasi melalui dua level yaitu level, politis di tingkat menteri keuangan/gubernur bank sentral dan official level di tingkat deputi.
138
BAB V PENUTUP
Indonesia merupakan negara penganut trias politika yang membagi habis kekuasaan negara dalam rangka menjalankan fungsi kenegaraan dan pemerintahan. Namun trias politika tersebut dalam kenyataannya tidak secara murni diterapkan karena selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga terdapat lembaga inspektif yang bertugas memeriksa pemakaian anggaran keuangan negara, selain itu juga terdapat lembaga yang bertugas sebagai bank sentral dalam menjalankan fungsi moneter di Indonesia sebagaimana ditunjukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen sebanyak 4 kali. Buku ini disusun dengan memuat penjelasan mengenai fungsi dan kewenangan lembaga negara rumpun keuangan, dan juga menjelaskan fungsi khusus mengenai tata cara pemeriksaan keuangan oleh BPK, fungsi-fungsi bank sentral dan lain sebagainya. Dengan demikian, substansi buku ini diharapkan dapat
menunjang
pelaksanaan
tugas
dan
fungsi
dalam
membangun hubungan yang harmonis dan sinergis antara
139
Presiden dan/atau Menteri Sekretaris Negara dengan lembagalembaga dimaksud. Sesuai
dengan
kebutuhan
penyelenggaraan
hubungan
kelembagaan, maka buku ini akan ditinjau dan dibahas kembali secara berkala setiap tahunnya dan kemudian akan digabungkan dengan buku profil lembaga negara rumpun legislatif dan rumpun yudikatif yang telah tersusun pada tahun 2011 dan tahun 2012. Pada tahap selanjutnya, Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural akan menyusun, memutakhirkan, dan mengkompilasi buku tentang Lembaga Negara baik dari rumpun legislatif (MPR, DPR, dan DPD), rumpun yudikatif (MA, MK, dan KY) serta rumpun keuangan (BPK dan BI).
140
DAFTAR PUSTAKA BUKU Agoes, Sukrisno. (2004). Auditing (Pemeriksaan Akuntan) oleh Kantor Akuntan Publik. Edisi Ketiga. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti. Chandavarkar, A. (1996), Central Banking in Developing Countries, MacMillan Press Ltd., London. Chung, B. Y. (1992), Central Bank Organization, makalah yang disampaikan pada 19th SEANZA Central Banking Course, November. Easterly, W. Dan Fischer, S. (2001). ‘Inflation and the poor’, Journal of Money, credit and Banking. Friedman, M. (1961). ‘The Lag in The Effect of Monetary Policy’, Journal of Political Economy. Fry, M. (1992). ‘Central Banking in Developing Countries’, dalam P. Newman, M. Milgate dan J. Eatwell, The New Palgrave Dictionary of Money and Finance. London: Macmillan Press. Hossain, A. A. (2010). Bank Sentral dan Kebijakan Moneter di AsiaPasifik.Jakarta:Rajawali Pers. Kreitner, R. dan Kinicki A. (2001). Organizational Behavior, McGrawHill, Fifth Edition. Lewis, M. K. dan Mizen, P. D. (2000). Monetary Economics, Oxford: Oxford University Press. Mill, J. S. (1848). Principles of Political Economy, London. Montesqiueu. (1748). Del L’esprit des lois. Jenewa. Diambil dari http://fr.wikipedia.org/wiki/De_I’esprit_des_lois Suryana, D. (2008). Indonesia Dalam Transisi Politik (Pencalonan Presiden, Demokratisasi, dan Independensi Bank Sentral). Bandung: Pustaka Sutra.
Yuan, C. (1990), Structure of the Central Banking, makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Bank Central, Beijing, 5-7 Januari 1990. http://daulahalfarisi.blogspot.com/2009/06/kedudukan-bankindonesia-dalam-susunan.html PERATURAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 tentang Bank Indonesia. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003 tentang Keuangan Negara UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 tentang Perbendaharaan Negara UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 15 TAHUN 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan SURAT KEPUTUSAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/K/I-VIII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan SURAT KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 21/K/XVIII.2/1/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan dan
Penjatuhan Hukuman Disiplin Pada Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan
SUMBER LAIN The Morgan Stanley Central Bank Directory, 2003. Bank Indonesia. Bank Sentral Republik Indonesia (Sebuah Pengantar). Penerbit: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, 2004.