KARYA ILMIAH
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Disusun Oleh :
MARIANO FREITAS SOARES 12113017
FAKULTAS HUKUM MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................
i
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalaha...................................................
1
1.1. Rumusan Masalah..............................................................
10
1.2. Tujuan Penelitian ...............................................................
10
1.3. Manfaat Penelitian .............................................................
11
1.3.1. Manfaat Teoritis.....................................................
11
1.3.2. Manfaat Praktis ......................................................
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................
12
2.1. Kajian Pustaka ...................................................................
12
2.1.1. Instrumen Hukum (Hak Anak) ..............................
12
2.1.2. Pengertian Perlindungan Hukum, Korban Kejahatan dan Perdagangan Manusia .....................................
17
2.1.3. Pengertian Korban Kejahatan ................................
21
2.1.4. Pengertian Perdagangan Manusia ..........................
25
2.1.5. Modus Operandi Perdagangan Manusia ................
31
BAB III METODE PENELITIAN..........................................................
35
3.1. Metode Penelitian ..............................................................
35
3.1.1. Pendekatan Masalah...............................................
35
3.1.2. Sumber Bahan Hukum ...........................................
35
3.1.3. Pengumpulan Bahan Hukum .................................
36
i
2
3.1.4. Analisis Bahan Hukum ..........................................
36
BAB IV SISTEMATIKA PENELITIAN ...............................................
37
4.1. Sistematika Penulisan ........................................................
37
DAFTAR PUSTAKA
ii3
BAB I PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang Permasalahan Istilah trafficking merupakan istilah yang menarik banyak pihak. Sampai saat ini ada beberapa rumusan mengenai istilah Trafficking. Menurut Konvensi Internasional yang dikeluarkan pada bulan12 tahun 2000 yang ditandai lebih 150 negara termasuk Indonesia, Trafficking adalah salah satu bentuk perbudakan modern yang disertai dengan proses perekrutan atau pengangkutan atau penindasan atau penampungan atau penerimaan dengan cara acaman atau paksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan prostitusi atau kekerasan atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau praktek lain serupa perbudakan.1 Indonesia menggunakan istilah perdagangan orang. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekuasaan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat 1
Suyanto, 2008. Modul Pendidikan Untuk Pencegahan Trafficking. Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional.
1
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.2 Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai rekruitmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau
penerimaan seseorang dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan/posisi
rentan atau memberi
bayaran/
manfaat
sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut. Trafficking digunakan untuk kepentingan eksploitasi; bahkan prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya. Selain itu, trafficking dapat dikatakan sebagai kerja atau pelayananan paksa, perbudakan atau praktek- lain yang sama dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.3 Di Indonesia, korban-korban trafficking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran dan pedophilia, bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti perkebunan, di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain berperan sebagai pelacur. Korban trafficking biasanya anak dan perempuan yang berusia muda dan belum menikah, anak perempuan perceraian, serta mereka yang pernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya 2 3
Suyanto, 2007. UU RI Nomor 21 Tahun 2007 Suyanto, 2007. Kementerian Negara Pembedayaan Perempuan RI
2
sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Anak korban trafficking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga.4 Menurut data Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri), TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) di Indonesia yang dilimpahkan ke Kejaksaan mulai tahun 1999 adalah 77,46% dari 173 kasus; 66,67% dari 24 kasus (2000); 72,07% dari 179 kasus (2001); 58,06% dari 155 kasus (2002); 53,60% dari 125 kasus (2003); dan 53,48% dari 43 kasus pada tahun 2004. Diungkapkan bahwa korban perdagangan manusia untuk pengantin pesanan atau disebut mail order bride banyak terjadi di Kalimatan Barat. Dari tahun 1987 sampai dengan 2001 telah terjadi lebih dari 20.000 perkawinan pria Taiwan dengan pengantin pesanannya dari Kalimantan Barat. Di antara mereka ada yang berbahagia, tetapi ada sejumlah istri yang melaporkan bahwa mereka dipekerjakan sebagai budak di rumah suami, rumah mertua, dengan jam kerja yang panjang, tanpa gaji, dan tidak diperlakukan sebagai anggota keluarga, bahkan ada yang dipaksa suaminya masuk industri seks atau di(Koalisi Perempuan Indonesia, Direktorat Pendidikan Masyarakat, 2008)jual di rumah bordil.5 Dari data lain, yang bersumber korban perdagangan orang sebanyak 3.127 orang, sebagian besar korbannya adalah perempuan dewasa (69 %), sebanyak 25 % korban adalah anak, dan sisanya 7 % adalah laki4 5
www.rahima.or.id, dimuat Tanggal 29 Juni 2009. Dalam Perempuan Indonesia, 2005/2006 www.bkkbn.go.id, dimuat Tanggal 22 Februari 2005
3
laki dewasa. Data korban perdagangan orang berdasarkan daerah asal yang bersumber dari IOM per Mei 2005- April 2008, terbanyak berasal dari Kalimantan Barat. Akhir-akhir ini, korban perdagangan orang bertujuan untuk adopsi baik bayi maupun anak-anak semakin bertambah. Menurut Polda Kalimantan Barat sudah puluhan; bahkan ratusan bayi di bawah umur satu tahun dari Pontianak yang telah dijual di Malaysia Timur. Bayi tersebut dijual jutaan rupiah harganya; bahkan ada yang dijual dengan harga 30 juta rupiah. Trafficking juga marak terjadi di Batam dengan kasus perdagangan bayi yang dijual ke Malaysia dan Singapura. Menurut Terre des Hommes (TDH) tercatat sekitar 210 bayi Indonesia diperdagangkan selama 5 tahun terakhir ini. Di Jakarta terungkap kelompok Rusdiana mengaku menjual 60 sampai 80 bayi, yang dijual di Amerika, Finlandia, dan Irlandia. Bayi-bayi yang diperjualbelikan umumnya diperoleh dari kehamilan para TKW yang mendapat penistaan seksual dari majikan, perselingkuhan, kekerasaan seksual, atau kehamilan yang tidak diinginkan. Kelompok rentan yang perlu diperhatikan untuk pencegahan trafficking adalah anak terlantar, anak jalanan, pengemis, pemulung, pengedar narkoba, dan sebagainya.6 Ada sebuah Penelitian tentang perdagangan perempuan juga pernah dilakukan oleh Devi Rahayu7 dengan judul“Tindakan Perdagangan Perempuan dalam Proses Pengiriman Buruh Migran di Madura. Dari hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa dalam proses pengiriman buruh migran di Bangkalan dan Sampang terdapat kasus yang timbul, 6
Suyanto, 2002. Perdagangan Perempuan Devi Rahayu dalam Women in Public Sector (Perempuan Sektor Publik), Yogyakarta, Tiara Wacasia, Pusat Studi UGM 7
4
terdapat unsur-unsur perdagangan perempuan yang berupa: (1) tindakan melintasi batas, yang merupakan proses pengiriman buruh migran dan dilakukan dengan melintasi perbatasan wilayah Indonesia, (2) adanya tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, tindakan yang terjadi selama di lokasi penampungan, (3) Adanya penipuan, berupa pemberian janji untuk diberangkatkan bekerja ke luar negeri (telah membayar sejumlah uang), tetapi tidak terlaksana, (4) lilitan hutang, buruh migran berangkat ke luar negeri dengan tanggungan hutang yang nantinya dibayar dengan uang upahnya, (5) kekerasan dengan penyalahgunaan kekuasaan, tindakan majikan untuk menyimpan dokumen dan sebagai pihak yang berkuasa, (6) kerja paksa atau kondisi seperti perbudakan, yang dialami buruh migran di tempat kerja. Perdagangan bayi sebagai salah satu modus operandi trafficking dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain: penculikan bayi, penculikan ibu yang tengah hamil, mengikat orang tua si bayi dengan utang piutang sehingga harus menyerahkan anaknya secara terpaksa. Ada banyak alasan mengapa anak di bawah umur menjadi subyek perdagangan orang dari dan ke seluruh Indonesia, seperti dijadikan sebagai pembantu rumah tangga, jermal, pekerja seks komersial, pengemis, buruh perkebunan, buruh pabrik, pengedar narkoba, adopsi dan pernikahan.8 Dalam lokakarya "Bali Process mengenai Dukungan bagi Korban Perdagangan
8
Manusia"
di
Hotel
Ibid
5
Intercontinental,
Jimbaran,
Bali,
(7/11/2006), Menteri Pemberdayaan Perempuan menyinggung banyaknya perdagangan perempuan yang dijadikan sebagai buruh migran. Berdasarkan catatan Kedutaan Indonesia untuk Malaysia, pada 2005 terdapat 1.606 orang dipenjara karena tertangkap sebagai korban perdagangan. Banyak korban trafficking diseberangkan melalui transportasi laut. Hal ini mengingat kepulauan Indonesia masih sangat terbuka dengan pelabuhan-pelabuhan yang terbuka pula. Karena itu, tidak jarang perdagangan dapat lolos ke negara tetangga. Perlu ditingkatkan sensitifitas para aparat penjaga di lokasi atau gerbang lintas batas baik darat udara maupun laut untuk waspada dan mencurigai seseorang dengan membawa beberapa rombongan perempuan atau anak-anak.9 Perdagangan perempuan kini semakin marak, beberapa kasus di antaranya "di Kudus, 6 Penjual Perempuan Diringkus Sindikat Trafficking di Yogya Dibongkar". Dalam hal ini, Poltabes Yogyakarta menangkap pelaku perdagangan manusia. Adapun tersangka berasal dari Temanggung Jateng, sedangkan korban dua orang yang mawar dan Melati (bukan nama sebenarnya) hendak dibawa ke Belanda. Petugas juga mengamankan barang bukti, misalnya: satu unit mobil yang digunakan oleh pelaku untuk mencari beberapa wanita dari sejumlah daerah, kamera, fotofoto bugil sejumlah wanita dan dokumen perjalanan ke luar negeri.10 Kasus yang lain yaitu sindikat perdagangan perempuan juga berhasil diungkap oleh jajaran Polres Kudus. Enam tersangka berhasil diringkus, sedangkan lima korban yang salah satunya masih berusia 16 tahun, selama dua minggu 9
www.detik.com Dimuat Pada Tanggal 18 Januari 2006 Suka Hadinah Kaca Sungkana, Kita Bisa Mendampingi Korban Kekeresan, Surabaya 2004, Hal
10
8
6
dipaksa menjadi pekerja seks komersial di kalimantan. Semula mereka dijanjikan akan dipekerjakan di toko swalayan di Pangkalanbun Kalimantan dan dijanjikan gaji sebulan Rp 10 juta-Rp 15 juta. Kasus yang serupa juga terjadi dalam hal ini, di Solo Jawa Tengah sedikitnya 100 anak menjadi korban perdagangan anak (trafficking) sepanjang tahun 2007. Jumlah itu mungkin bertambah lagi sebab data tersebut hanya didasarkan pada data kasus perdagangan anak yang ditangani oleh beberapa LSM yang peduli terhadap anak. Kenyataan di lapangan selama ini menunjukkan, banyak korban perdagangan anak yang enggan melapor, baik kepada pihak berwajib ataupun LSM untuk mendapat pendampingan, dengan berbagai sebab seperti pelaku merupakan keluarga dekat, tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai, mendapat ancaman dari pelaku dan lain sebagainya. Sebagian besar anak-anak ditujukan untuk seks komersial, selain dipekerjakan ke luar negeri secara ilegal. Dalam menjalankan aksinya, pelaku perdagangan anak umumnya berkedok sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri. Anak-anak yang berasal dari Solo dikirim ke berbagai daerah atau negara baik untuk dipekerjakan sebagai pekerja Seks komersial (PSK) ataupun tega migran ke luar negeri, melalui Batam dan Surabaya.11 Sementara itu, dengan melihat semakin maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, telah menjadi perhatian masyarakat internasional dan organisasi internasional terutama perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta
11
Surat Kabar, Kedaulatan Rakyat, Selera Legi, 13 Januari 2009
7
belum jelasnya kapan rancangan Undang-undang tentang pemberantasan Pindak Pidana Perdagangan Orang disahkan oleh DPR menjadi Undangundang, Dengan segala keikhlasan dan rasa kepedulian terhadap masalah perdagangan orang. Indonesia sebagai masyarakat internasional dan anggota PBB telah meratifikasi dekalarasi PBB mengesahkan convention om the right of the child (konvensi tentang hak-hak anak) yang di tandatangani oleh pemerintah Indonesia di NewYork
Amerika Serikat pada tanggal 26 januari 1990
sebagai hasil sidang majelis untuk PBB dengan mengeluarkan keputusan President nomor 36 Tahun 1990 serta berupaya merumuskan peraturan yang berhubungan dengan masalah anak di samping berbagai peraturan yang telah ada sebagai dasar bagi pelaksanaan perlindungan anak secara khusus yaitu di antaranya yaitu mengesahkan undang-uandang RI No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pertimbangan di sahkan UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di karenakan berbagai UU yang ada hanya mengatur hal-hal tertentu
mengenai anak dan secara khusus belum
mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak, sedangkan tujuannya adalah untuk menjamin dan melindungi anak-anak dan haknya agar dapat hidup tumbuh berkembang dan berprestasi secara oprimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat
perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi,hal tersebut dapat dilihat di isi Pasal 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2002 yang berbunyi: Adanya
8
perluasan pengertian anak yaitu seorang yang belum berusia (18) delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pemberatan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana terhadap anak. Mengatur perbuatan tindak pidana yang di lakukan oleh suatu. Namun dalam pelaksanaannya apakah undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap anak sebagaimana yang di harapkan, karna hingga saat ini masih banyak pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat rendahnya pemahaman akan anak selaku korban tindak pidana yang di persamakan dengan korban orang dewasa denagan memberikan penafsiran hukum yang tidak sesuai dengan kaidah perlindungan anak, yaitu dengan memposisikan korban ikut serta secara aktif dalam suatu perbuatan yang meyimpang yang tujuan untuk mencapai sesuatu demi kepentingan diri sendirri sehingga menyebabkan dirinya menjadi korban misalya : seorang anak yang belum dewasa berkenalan dengan orang dewasa secara intim yang berlanjut kepada suatu akibat yang timbulnya perbuatan persetubuhan. Dalam hal ini penafsiran yang memposisikan anak selaku korban yang terlibat aktif dalam timbulnya suatu perbuatan pidana adalah tidak dapat di benarkan tetapi hendaknya di tafsirkan anak yang belum matan fisik dan mentalnya sehingga membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak semenjak ada di dalam kandungan hingga berumur 18 tahun.
9
Sehubungan hal tersebut di atas anak baik secara rohani maupun jasmani belum mempunya kemampuan untuk berdiri sendiri, maka bagi orang tua atau walinya mempunya kewajiban dan dan memberikan untuk menjamin,memelihara agar anak dapat melakukan apa yang di kehendaki orang tuanya, masyarakat dan Negara dan tidak melawan atutan-aturan yang telah di tetapkan oleh Negara dalam undang-undang.
1.4. Rumusan Masalah Adapun permasalahan dalam penulisan ini proposal tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Mengapa hak anak korban perdagangan manusia perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang ? dan apakah UU No.23 Tahun 2002 jo UU Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah memadai mengatur hak-hak anak korban perdagangan manusia? 2. Bagaimanakah upaya hukum pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya perdagangan anak?
1.5. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalis mengapa anak korban perdagangan manusia perlu di berikan perlindungan hukum dan apakah Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah memadai memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan manusia.
10
2. Untuk menganalisis upaya hukum pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya perdagangan anak.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Berguna untuk sarana menerapkan teori dalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang telah di pelajari, terutama perlindungan hak korban trafficking, sesuaikah hak-haknya yang di atur dalam UndangUndang No.23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
1.6.2. Manfaat Praktis Berguna sebagai sumbangan pemikiran yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rangka mengadakan perlindungan hukum anak korban trafficking khususnya anak di bawah 18 tahun.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Kajian Pustaka Perlindungan anak menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah : “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkermbang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak perlu mendapatkan perlindungan, karena anak merupakn bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang mempunya potensi sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa, sehingga memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, menta social secara wajar tampa adanya penekanan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak.
2.1.1. Instrumen Hukum (Hak Anak) Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) th 19893 , telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum
12
Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Konvensi HakHak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.12 Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi: 1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights) Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bias dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khusuSnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24). Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1)
12
Convention On The Rights of The Child, Unicef, 1990
13
melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan. Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat
14
(disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights) Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan,
pendidikan
dan
perkembangan
anak,
(3)
perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
15
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights) Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma,
(2)
mendorong
pengembangan
macam-macam
bentuk
pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian, (6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights) Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk
16
bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat. Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.13
2.1.2. Pengertian Perlindungan Hukum, Korban Kejahatan dan Perdagangan Manusia. Ruang lingkup “perlindungan hukum” yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti Peraturan Perundang-undangan (UndangUndang perlindungan saksi dan korban, dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang), mulai
dari
seseorang dapat
diidentifikasikan sebagai korban perdagangan manusia, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korban perdagangan orang dan reintegrasi sosial. Selain hal tersebut juga akan dibahas masalah pemberian restitusi / ganti rugi yang dapat diberikan kepada korban.14 Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pelaku 13
Perlindungan Hukum Hak-hak Anak IOM Indonesia, Combathing Human Trafficking Trough Law Enforcement, Jakarta, November, 2006 14
17
kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban. Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana juga dikemukakan oleh Prassell yang menyatakan: “Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators”.15 Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya. Perbedaan antar kompensasi dan restitusi adalah “kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (The responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana.”16 Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). 15
Frank R. Prassell, Criminal Law, Justice and Society, Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc, 1979, Hal. 65 16 Stephen Schafer, The Victim and Criminal, New York: Random House, 1968, Hal. 112
18
Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu: a. Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang). b. Dapat
diartikan
sebagai
“perlindungan
untuk
memperoleh
jaminan/santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan),
pemberian
ganti
rugi
(restitusi,
kompensasi,
jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.17
17
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kesehatan, Jakarta: Kencana 2007, Hal. 61
19
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.18 Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut: 1. Asas manfaat. Artinya
perlindungan
korban
tidak
hanya
ditujukan
bagi
tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas keadilan. Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan. Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
18
Alif Gosita, Masalah Korban Kesehatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, Hal. 50
20
4. Asas kepastian hukum. Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.19 2.1.3. Pengertian Korban Kejahatan Banyak sarjana dan ahli yang memberikan definisi tentang korban kejahatan. Munculnya berbagai pengertian tentang korban kejahatan sangat dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan (kajian) pemberi definisi. Pengertian korban kejahatan dalam tindak pidana terorisme tentunya akan berlainan dengan pengertian korban kejahatan dalam tindak pidana perbankan, hal yang sama akan terjadi pula pada saat memberikan definisi korban kejahatan dalam lingkup tindak pidana perdagangan manusia (trafficking in persons). Secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Menurut Black’s Law Dictionary, Victims adalah The person who is the object of a crime or tort, as the victim of robbery is the person robbed, sedangkan menurut Muladi, sebagaimana dikutip oleh Suryono Ekatama, et al, yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya
19
Dikdik, M. Arief Mansyur, Op.Cit, Hal. 164
21
secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran kejahatan.20 Bagi negara-negara yang akan menyusun suatu perundangundangan tertentu yang didalamnya akan diatur pula tentang masalah korban kejahatan, maka untuk menentukan apakah yang dimaksud dengan korban kejahatan umumnya mengacu pada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/34 Tahun 1985 angka 1 yang menyebutkan: Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss, or substansial impairment of their fundamental rights, throught acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.21 Secara sederhana definisi di atas dapat diterjemahkan, korban kejahatan adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif, menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Batasan tentang korban kejahatan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan kolektif. Korban individual karena dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata, akan tetapi korban kolektif lebih sulit 20
Henry Campbell Black, Black’s Law West Publishing Company, St. Paul Minn, 1979 Suryono Ekatama, et.al, Abortus Provocator Bagi Korban Perkosaan, UAS, Yogyakarta, 2000, Hal. 176 21
22
diidentifikasi. Walau demikian Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan jalan keluar berupa menuntut ganti kerugian melalui class action. b. Ditinjau dari jenisnya. Menurut Sellin dan Wolfgang, jenis korban dapat berupa: 1.
Primary Victimization adalah korban individual. Jadi korbannya orang perorangan, bukan kelompok.
2.
Secondary Victimization dimana yang menjadi korban adalah kelompok seperti badan hukum.
3.
Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas.
4.
Mutual Victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, contohnya pelacuran, perzinahan, narkotika.
5.
No Victimization, bukan berarti tidak ada korban, melainkan korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
2.1.4. Pengertian Perdagangan Manusia Pengertian perdagangan manusia (trafficking) mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan manusia meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau. Pada masa lalu, masyarakat biasanya berfikir bahwa perdagangan manusia adalah memindahkan perempuan melewati perbatasan, di luar keinginan mereka dan memaksa mereka
23
memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu masyarakat lebih memahami mengenai isu perdagangan manusia yang kompleks dan sekarang melihat bahwa pada kenyataannya perdagangan manusia melibatkan berbagai macam situasi. Perluasan definisi perdagangan sebagaimana dikutip dari Wijers dan Lap-Chew yaitu perdagangan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage).22 Definisi yang luas ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang Indonesia yang telah mengalami kekerasan yang berkaitan dengan perdagangan manusia daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kepada suatu konsepsi baru mengenai perdagangan. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi dibawah ini yang didasari atas poin-poin yang diberikan Wijers dan Lap-Chew.23 1. Dari “Perekrutan” menjadi “Eksploitasi” Kerangka
tersebut
berkembang
dari
mengkonseptualisasi
perdagangan sebagai sekedar perekrutan menjadi kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya. Pada tahun 1904 dibuat konvensi internasional pertama anti perdagangan, yaitu International 22 23
Ruth Rosenberg, Loc.Cit Ibid
24
Agreement for the Suppression of The White Slave Trade (Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan Budak Berkulit Putih). Sasaran konvensi ini adalah perekrutan internasional yang dilakukan terhadap perempuan, di luar kemauan mereka, untuk tujuan eksploitasi seksual. Kemudian pada tahun 1910 dibuat konvensi yang bersifat memperluas konvensi tahun 1904 dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam negeri. Kedua konvensi ini membahas proses perekrutan yang dilakukan secara paksa atau dengan kekerasan terhadap perempuandewasa untuk tujuan eksploitasi seksual. 2. Dari “Pemaksaan” menjadi “dengan atau tanpa persetujuan”. Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ketempat lain. 3. Dari “prostitusi” menjadi “perburuhan yang informal dan tidak diatur oleh hukum” Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan
25
dan anak perempuan masuk kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual” 4. Dari “kekerasan terhadap perempuan” menjadi “pelanggaran hak asasi manusia” Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara menjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar. 5. Dari “Perdagangan Perempuan” menjadi “Migrasi Ilegal” Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi Negara-negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan, yaitu pertama, ada banyak kasus perdagangan dimana perempuan masuk ke negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal dimana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Protokol Perserikatan BangsaBangsa untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak, tambahan Konvensi Perserikatan
26
Bangsa-Bangsa untuk Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas tahun 2000, mendefinisikan Perdagangan Manusia sebagai: “(a) perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penerimaan seseorang dengan cara: Ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan Penculikan Penipuan Kebohongan Penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau Memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi Eksploitasi termasuk paling tidak: Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual Kerja atau layanan paksa Perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan Penghambaan Pengambilan organ tubuh (b) Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud dalam subalinea (a) ini tidak akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan;
27
(c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seoranganak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai “perdagangan manusia” sekalipun tindakan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) Pasal ini; (d) “Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun.” Kedua definisi ini sangat penting karena menyoroti tidak hanya pada proses perekrutan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga kondisi eksploitatif terkait kedalam mana orang diperdagangkan.24 Definisi yang luas memang diperlukan karena definisi tersebut akan menyentuh semua jenis kekerasan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami perdagangan manusia. Lampiran Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak menyatakan bahwa “trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang
24
Ibid
28
dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.25
2.1.5. Modus Operandi Perdagangan Manusia Pola kejadian perdagangan manusia (yaitu, apa yang terjadi, bagaimana terjadinya dan terhadap siapa terjadi) sangat bervarariasi dari satu tempat tertentu dengan tempat lainnya. Ada beberapa karakteristik pokok pola perdagangan manusia yang terjadi sekarang.
Perdagangan manusia terjadi untuk berbagai tujuan akhir termasuk layanan rumah tangga, kawin paksa dan tenaga kerja yang diperas tenaganya dengan bayaran rendah. Pekerjaan seksual paksa merupakan hasi akhir yang paling jelas dari perdagangan manusia, tetapi sulit dibuktikan bahwa hal ini merupakan yang paling lazim.
Perdagangan manusia terjadi di dalam maupun antar negara.
Pelaku perdagangan manusia memakai berbagai cara rekrutmen. Penculikan secara langsung merupakan cara yang jarang dilaporkan dan seringkali sulit diperiksa secara obyektif. Perdagangan manusia pada
25
Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Pasal 1
29
anak-anak pada umumnya meliputi tindakan pembayaran yang dilakukan kepada orang tua atau wali untuk bekerjasama dan sering hal ini disertai dengan tindak penipuan berkaitan dengan pekerjaan atau posisi di masa yang akan datang.
Stereotip “coerced innocent” (dugaan telah terjadi penyekapan) terlalu sederhana untukmencerminkan kenyataan dari kebanyakan situasi perdagangan manusia yang diketahui. Kebanyakan pelaku perdagangan manusia memakai berbagai derajat kecurangan atau penipuan, daripada kekerasan langsung, guna menjalin kerjasama awal dengan orang yang mengalami trafiking manusia. Keadaan yang lazim dilaporkan mencakup anak perempuan atau perempuan muda yang ditipu mengenai biaya (dan kondisi pengembalian) jasa migrasi yang ditawarkan kepadanya, jenis pekerjaan yang hendak dilakukannya di luar negeri dan /atau kondisi pekerjaan yang diharapkannya. Banyak orang yang mengalami trafiking manusia, lelaki maupun
perempuan, mengawali perjalanan mereka sebagai migran gelap – yang telah mengadakan perjanjian dengan seorang individu atau kelompok membantu tindakan tidak sah mereka pulang demi keuntungan finansial. Dalam suatu keadaan penyelundupan migran yang klasik, hubungan antara migran dan penyelundup bersifat sukarela, berjangka pendek– dan berakhir sampai tibanya migran di negara tujuan. Kendati demikian, sejumlah migran gelap dipaksa melanjutkan hubungan ini untuk melunasi hutang ongkos angkutan yang besar. Pada tahap akhir ini lah tampak tujuan akhir trafiking
30
manusia (jeratan hutang, pemerasan, pemakaian kekerasan, kerja paksa, tindak pidana paksa, pelacuran paksa). Hubungan antara perdagangan manusia dengan penyelundupan migran menyoroti salah satu kendala utama upaya identifikasi orang-orang yang mengalami perdagangan manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas, perdagangan manusia mencakup maksud untuk melakukan eksploitasi. Maksud tersebut sering tidak akan terwujud dengan sendirinya sampai tahap “tindakan” berakhir, sehingga mustahil untuk mengidentifikasi orang yang mengalami perdagangan manusia sampai tindakan awal yang dilakukannya selesai dan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat eksploitatif yang ‘membuktikan’ dirinya bukan hanya sekedar seorang migran gelap.
31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.
Metode Penelitian
3.1.1. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan pendekatan (Statue Approach) dan tipe penelitian “yuridis Normatif” dalam arti melaksanakan penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan obyek penelitian.
3.1.2. Sumber Bahan Hukum Bahan-bahan penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan RI Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai masalah perlindungan anak, Bahan hukum sekunder sebagai penunjang bahan hukum primer berupa kepustakaan dan materi hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak serta hasil penelitian yang sebelumnya yang terkait dengan permasalahan kepastian hukum dan hak asasi manusia sehingga segala bahan pustaka yang berkaitan dengan hukum atau bahan hukum yang terkumpul dan terkualifikasi di jadikan bahan acuan dalam mengambil suatu kesimpulan. Bahan hukum penelitian ini di peroleh dari perpustakaan Universitas dan buku-buku hukum milik penulis, karena penulis tidak banyak cukup waktu
32
untuk melakukan penelitian hukum sehingga di lakukan penelitian kepustakaan dianggap lebih cukup waktu dan telah tersedia bagi penulis untuk melakukan penulisan tesis ini.
3.1.3. Prosedur Pengumpulan Pengolahan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian normatif ini yaitu bahan hukum primer berupa perundang-undangan perlindungan anak dan hak asasi manusia yang dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan klasifikasi. Bahan hukum lainnya dikumpulkan mengunakan system kutipan, bahan hukum baik primer maupun sekunder yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan selanjutnya di lakukan analisis dengan pendekatan perundang-undangan untuk memperoleh sinkronisasi dari semua bahan hukum dalam kaitannya dengan isi pokok dalam penelitian yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap anak korban trafficking serta penerapan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
3.1.4. Analisis Bahan Hukum Pada tahap pengkajian bahan hukum, seluruh bahan hukum yang di peroleh lalu di kumpulkan di klasifikasi kemudian di analisis mengunakan analisis kualitatif, dengan langkah-langkah yang di tempuh didasarkan atas logika sehingga permasalahan dapat dipaparkan secara jelas.
33
BAB IV SISTEMATIKA ENULISAN
4.1. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan terdiri dari 4 (empat) bab yang disusun dengan pola pemikiran dalam usaha pemecahan permasalahan, yakni : Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematik penulisan. 1.
Bab II Membahas Mengapa hak anak korban perdagangan manusia perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang ? dan apakah UU No.23 Tahun 2002 jo UU Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah memadai mengatur hak-hak anak korban perdagangan manusia?
2.
Bab III Membahas Bagaimanakah upaya hukum pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya perdagangan anak? Bab IV Sebagai bab penutup, bab ini mengemukakan beberapa kesimpulan serta saran berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta. -------------, Masalah Korban Kesehatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993. Convention On The Rights of The Child, Unicef, 1990 Darwan Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djambatan, Jakarta. Devi Rahayu dalam Women in Public Sector (Perempuan Sektor Publik), Yogyakarta, Tiara Wacasia, Pusat Studi UGM. Dikdik, M. Arief Mansyur Frank R. Prassell, Criminal Law, Justice and Society, Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc, 1979. Henry Campbell Black, Black’s Law West Publishing Company, St. Paul Minn, 1979 Huda, Chairul.,Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kerjasama Regional Asia Dalam Mencegah Traffiking Terhadap Manusia, Modul Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, Juni 2004. IOM Indonesia, Combathing Human Trafficking Trough Law Enforcement, Jakarta, November, 2006 Irma Setyowati Soemitro, 2001, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta. Marjono Reksudi Putro, Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana, Jakarta: Universitas Indonesia, 1994. Barda Nawawi Arief, SH, Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kesehatan, Jakarta: Kencana 2007. Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Pasal 1 -------------, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perundingan Saksi dan Korban Pasal 1
35
Stephen Schafer, The Victim and Criminal, New York: Random House, 1968. Surat Kabar, Kedaulatan Rakyat, Selera Legi, 13 Januari 2009 Suryono Ekatama, et.al, Abortus Provocator Bagi Korban Perkosaan, UAS, Yogyakarta, 2000. Suyanto, 2008. Modul Pendidikan Untuk Pencegahan Trafficking. Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional. -------------, 2007. UU RI Nomor 21 Tahun 2007 -------------, 2007. Kementerian Negara Pembedayaan Perempuan RI -------------, 2002. Perdagangan Perempuan United States Gove, 114 STAT, 1475, Public Law 106. Oct 28, 2000 Victims of Trafficking and Violence Protection Act of 2000 www.rahima.or.id, dimuat Tanggal 29 Juni 2009. Dalam Perempuan Indonesia, 2005/2006 www.bkkbn.go.id, dimuat Tanggal 22 Februari 2005 www.detik.com Dimuat Pada Tanggal 18 Januari 2006 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
36