KARAKTERISASI TEPUNG TEMPE DARI EMPAT VARIETAS KEDELAI IMPOR DAN APLIKASINYA MENJADI MINUMAN
SKRIPSI
SRI MULYANI F24070131
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
CHARACTERIZATION OF TEMPEH FLOUR MADE FROM FOUR VARIETIES OF IMPORTED SOYBEAN AND THE APPLICATION IN MAKING BEVERAGE Sri Mulyani, Fahim M Taqi and Made Astawan Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 85643355826, email:
[email protected]
ABSTRACT Tempeh is one of processed soy product obtained by fermenting boiled soybean with Rhizopus oligosporus. Tempeh has been known have many advantages such as good nutritional value and organic compound which contributes to human health. The aim of this research are to make whole tempeh flour from four different varieties of soybean then apply it to be beverage. Four varieties of soybeans result tempeh that have significant difference in physical characteristics but insignificant nutritional composition. Whole tempeh flour made by drying tempeh slice using tray drier at 60 °C for 6 hours. It then compared to commercial soy flour drink. The result showed that four tempeh flour and soy flour drink have insignificant differences in nutritional composition. Meanwhile the process of making whole tempeh flour has some problem and create some weak charateristic of tempeh flour. Some of weakness influenced panelis preference. Organoleptic analysis result showed that F3 was the most prefered composition which contained 10 grams of soybean flour, 15 grams of sugar and 1 gram of sugar. It showed that tempeh flour has some weakness applied to beverages such as precipitation like soy flour. Judging from the proximate composition of tempeh flour can be seen that it has potentials to be developed as a beverage. Keywords: beverage, soybean, tempeh, tempeh flour
Sri Mulyani. F24070131. Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman. Dibawah bimbingan Fahim M Taqi dan Made Astawan. 2013
RINGKASAN Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2010 mencapai 2.6 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 32.6 % totalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah melakukan kebijakan impor kedelai. Salah satu olahan kedelai yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia adalah tempe. Tempe juga dikenal sebagai salah satu pangan fungsional karena memiliki daya cerna protein yang tinggi serta kandungan beberapa senyawa fitokimia yang baik bagi tubuh. Kelemahan tempe adalah umur simpannya yang cenderung singkat. Salah satu upaya memperpanjang umur simpan tempe adalah pengolahan tempe menjadi tepung. Penelitian ini bertujuan untuk membuat tepung tempe dan mengaplikasikannya menjadi minuman. Selain itu tujuan penelitian adalah menganalisis kandungan gizi dan perubahan pada masing-masing tahap pengolahan dari kedelai hingga menjadi minuman serta membandingkannya dengan bubuk minuman kedelai komersial. Salah satu parameter yang berpengaruh terhadap kualitas kedelai adalah varietas. Empat varietas kedelai yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kedelai A yang merupakan kedelai komersial dan tiga varietas kedelai baru B, G2 dan H yang diperoleh dari Forum Tempe Indonesia. Tiga varietas kedelai yang baru memiliki massa per 100 biji yang lebih besar dibandingkan kedelai komersial A. Keempat varietas kedelai termasuk dalam kategori ukuran besar yang biasanya disukai oleh produsen tempe. Sementara analisis proksimat pada protein kedelai diperoleh hasil sebesar 37.5838.85 % dengan daya cerna protein berkisar 70 %. Pembuatan tempe dilakukan di salah satu industri tempe rumah tangga di Leuwiliang Bogor. Keempat varietas kedelai menghasilkan rendemen tempe yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Produsen tempe bersangkutan menyebutkan bahwa tempe dari kedelai B memiliki penampakan yang paling baik karena ukuran bijinya yang besar-besar. Hasil analisis proksimat tempe menunjukkan bahwa komposisi kimia tempe dari keempat varietas hampir tidak berbeda nyata. Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan metode Driyani (2009) dimana proses pengeringan menggunakan pengering rak pada suhu 60 °C selama 6 jam dengan harapan untuk memperoleh keseluruhan bagian tempe. Sayangnya pada proses penggilingan terkendala oleh penyumbatan tepung tempe pada ayakan 80 mesh sehingga tepung tempe yang dihasilkan berukuran maksimal 60 mesh. Tepung tempe yang diperoleh dari keseluruhan bagian tempe memiliki nilai IPA dan IKA yang cenderung rendah. Kedelai merupakan kacang-kacangan yang tinggi serat serta sebagian besar proteinnya berupa globulin yang merupakan komponen tidak larut air. Selain itu proses pengolahan kedelai menjadi tempe ditambah pengeringan menjadi tepung tempe menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Namun dilihat dari komposisi kimianya, keempat tepung tempe yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan bubuk minuman kedelai komersial M. Formulasi minuman tepung tempe dilakukan dengan menambahkan gula dan bubuk coklat dengan pertimbangan preferensi konsumen terhadap minuman. Pemilihan formulasi terpilih dilakukan secara organoleptik pada tepung tempe A sehingga diperoleh formula paling disukai yaitu F3. Komposisi F3 adalah 10 gram tepung tempe, 15 gram gula dan 1 gram bubuk coklat. Komposisi minuman kedelai sebagian besar adalah karbohidrat akibat penambahan gula yang cenderung tidak baik bagi kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan formulasi ulang untuk dapat menghasilkan minuman yang baik dari segi komposisi gizi. Tepung tempe yang dihasilkan memiliki kemungkinan untuk diaplikasikan sebagai minuman seperti halnya bubuk minuman kedelai namun perlu dilakukan perbaikan pada karakteristik fisik. Perbaikan yang mungkin dilakukan adalah pengambilan sari tempe yang dilanjutkan dengan formulasi dan pengeringan semprot sehingga diperoleh minuman yang dapat diterima oleh konsumen.
KARAKTERISASI TEPUNG TEMPE DARI EMPAT VARIETAS KEDELAI IMPOR DAN APLIKASINYA MENJADI MINUMAN
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
SRI MULYANI F24070131
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama
: Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman : Sri Mulyani
NIM
: F24070131
Menyetujui Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. If. Made Astawan, M.S. NIP 19620202 198703 I 004
Tanggallulus:
2 9 OCT 2013
11
Judul Skripsi Nama NIM
: Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman : Sri Mulyani : F24070131
Menyetujui Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Fahim M Taqi, S.TP., DEA. NIP 19700101 199512 1 002
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. NIP 19620202 198703 1 004
Mengetahui Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. NIP 19680526 199303 1 004
Tanggal lulus:
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2013 Yang membuat pernyataan
Sri Mulyani F24070131
iii
© Hak cipta milik Sri Mulyani, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.
iv
BIODATA PENULIS Sri Mulyani lahir di Magelang pada 29 April 1989 dari pasangan Bapak Suparlan dan Ibu Warti. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Pertiwi Candimulyo. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Candimulyo 2 pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 2 Magelang pada tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Magelang pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2007 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai staf UKM Koran Kampus. Selain itu penulis aktif mengikuti kepanitiaan seperti seminar dan pelatihan HACCP VII oleh Himitepa, Tetranology dan Journalistic Fair. Penulis pernah menjabat sebagai sekretaris IKMM (Ikatan Keluarga Mahasiswa Magelang) pada tahun 2010-2011. Penulis juga mendapat Dana Hibah Dikti melalui Program Kreatif Mahasiswa bidang kewirausahaan pada tahun 2010 dan 2011. Sebagai tugas akhir penulis melaksanakan penelitian dengan judul Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman dibawah bimbingan Dr. Fahim M Taqi, S.TP., DEA. dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S..
v
KATA PENGANTAR Tempe merupakan salah satu produk pangan yang diketahui memiliki banyak kelebihan. Penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan untuk menggali pengetahuan mengenai tempe lebih dalam. Skripsi ini disusun dari hasil penelitian penulis yang dilakukan di Laboratorium ITP dan Seafast Center IPB. Meskipun dalam prosesnya masih terdapat beberapa kesalahan, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan tambahan informasi bagi pembaca sekalian. Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah berhenti memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Fahim M Taqi, S.TP DEA dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing atas kesempatan, pembelajaran dan bimbingan yang telah diberikan. Terima kasih kepada Ir. Soetrisno Koswara, M.Si atas kesediaan menjadi dosen penguji sidang, kritik dan sarannya. Terima kasih kepada Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Subarna, M.Si atas kesediaan berdiskusi dan berbagi ilmu diluar jam kuliah; Dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmunya. Staf UPT atas keramahtamahan dan kesabarannya. Staf Laboratorium ITP dan Seafast Center IPB atas bantuan selama kuliah dan penelitian. Staf PITP dan LSI atas pelayanan literaturnya. Bapak Warsori selaku pemilik industri tempe serta para karyawannya atas kesediaan membantu dalam penelitian ini. Keluarga besar ITP terutama angkatan 44 (Ria, Anis, Alm Rina, Puji, Uli, Agy, Hanna, Nurina, Dhina, Tia dan Ratih) atas pertemanannya. Teman-teman Pondok Molekul, Bateng 69 dan Kartika. Rekan-rekan IKMM dan Koran Kampus untuk berbagi pengalamannya. Sahabat-sahabat terdekat: Arin, Lia, Yana, Mbak Nuri, Mbak Tanti, Leni, Nay, Uwen, Uwi, Biah dan Ocha atas persahabatannya. Terima kasih untuk Jelita Naretar atas penjelasan statistiknya. Keluarga Bapak Warsono, Keluarga Tohardjo Buthuk atas kesempatan dan ijin untuk melanjutkan studi, pembiayaan, kepercayaan dan pembelajarannya; Keluarga Bapak Dedy Setiabudi atas kesempatan tinggal di rumah beliau di Yasmin. Arin, Leni dan Mbak Nur atas kesabaran, pengertian dan keceriaan di Kosan Yasmin; Yana, Sinta dan Lia atas kunjungannya. Netbook ‘putih’, Running Man, Slamdunk dan capuholic.blogspot.com yang selalu menemani selama menyelesaikan kuliah dan tugas akhir. Keluarga besar SDN Candimulyo 2, SMPN 2 Magelang, SMAN 1 Magelang dan IPB atas ilmu yang diberikan. Supir angkot, supir bis, satpam, pedagang kaki lima, pengamen jalanan, penumpang, pejalan kaki atas pelajaran hidup dan setidaknya seutas senyum yang membangkitkan semangat bagi penulis. Ucapan terima kasih terbesar penulis ditujukan kepada orang tua penulis, Bapak Suparlan dan Ibu Warti atas segalanya. Terima kasih atas cerita, pelajaran, doa, semangat, kepercayaan dan kesabarannya. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Meskipun penulis tertatih dalam menjadi pribadi yang lebih baik, terima kasih untuk selalu percaya dan mendukung penulis. (Orang tuaku mengatakan aku berubah dan berharap aku seperti dulu, jujur aku juga ingin menjadi pribadi yang tegar dan bersemangat seperti dulu. Meskipun telah mengecewakan, ijinkan aku kembali berusaha menjadi anak yang dapat dibanggakan)
Skripsi ini masih memiliki kekurangan, pembaca agar melakukan cross check terhadap sumber referensi lain. Terima kasih dan semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Bogor, Oktober 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................x PENDAHULUAN ....................................................................................................1 A. Latar Belakang ............................................................................................................1 B. Tujuan Penelitian .........................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................3 A. Kedelai ........................................................................................................................3 B. Tempe .........................................................................................................................7 C. Tepung Tempe ........................................................................................................... 14 D. Minuman Serbuk ....................................................................................................... 16
METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. 19 A. Bahan dan Alat .......................................................................................................... 19 B. Metode Penelitian ...................................................................................................... 19 C. Metode Analisis ......................................................................................................... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 28 A. Karakterisasi Kedelai ................................................................................................. 28 B. Karakterisasi Tempe Kedelai ..................................................................................... 31 C. Karakterisasi Tepung Tempe...................................................................................... 36 D. Penentuan Formulasi Tepung Tempe ......................................................................... 43 E. Karakterisasi Minuman Tepung Tempe ...................................................................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 51 A. Kesimpulan ............................................................................................................... 51 B. Saran ......................................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 52 LAMPIRAN ........................................................................................................... 56
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi gizi kedelai per 100 gram ................................................................................... 4 Tabel 2. Variasi tahap pembuatan tempe kedelai................................................................................ 9 Tabel 3. Komposisi gizi tempe kedelai ............................................................................................ 11 Tabel 4. SNI 3144:2009 tempe kedelai ............................................................................................ 12 Tabel 5. Faktor mutu protein kedelai dibandingkan tempe ............................................................... 12 Tabel 6. SNI 7612-2011 bubuk minuman kedelai ............................................................................ 18 Tabel 7. Formulasi minuman tepung tempe ..................................................................................... 21 Tabel 8. Karakteristik fisik kedelai .................................................................................................. 29 Tabel 9. Komposisi kimia sampel kedelai ........................................................................................ 30 Tabel 10. Karakteristik fisik tempe .................................................................................................. 33 Tabel 11. Komposisi kimia sampel tempe kedelai............................................................................ 34 Tabel 12. Tingkat kesukaan tempe kedelai ...................................................................................... 36 Tabel 13. Karakteristik fisik tepung tempe ...................................................................................... 39 Tabel 14. Komposisi kimia sampel tepung tempe ............................................................................ 40 Tabel 15. Karakteristik fisik pada formulasi minuman tepung tempe................................................ 44 Tabel 16. Tingkat kesukaan formulasi minuman tepung tempe ........................................................ 44 Tabel 17. Karakteristik fisik minuman tepung tempe ....................................................................... 46 Tabel 18. Komposisi kimia minuman tepung tempe......................................................................... 47 Tabel 19. Nilai kalori tepung tempe, minuman tepung tempe dan bubuk minuman kedelai ............... 48
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir penelitian................................................................................................... 20 Gambar 2. Pengukuran panjang biji kedelai ..................................................................................... 21 Gambar 3. Minuman tepung tempe setelah didiamkan beberapa saat................................................ 45
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Analisis panjang biji kedelai ........................................................................................ 57 Lampiran 2. Analisis massa per 100 biji kedelai .............................................................................. 59 Lampiran 3. Analisis kadar air kedelai............................................................................................. 61 Lampiran 4. Analisis kadar abu kedelai ........................................................................................... 62 Lampiran 5. Analisis kadar protein kedelai ...................................................................................... 64 Lampiran 6. Analisis kadar lemak kedelai ....................................................................................... 66 Lampiran 7. Analisis kadar karbohidrat kedelai by difference........................................................... 68 Lampiran 8. Analisis daya cerna protein kedelai .............................................................................. 68 Lampiran 9. Analisis rendemen tempe............................................................................................. 69 Lampiran 10. Analisis panjang biji tempe ........................................................................................ 70 Lampiran 11. Analisis kadar air tempe ............................................................................................ 72 Lampiran 12. Analisis kadar abu tempe ........................................................................................... 73 Lampiran 13. Analisis kadar protein tempe...................................................................................... 74 Lampiran 14. Analisis kadar lemak tempe ....................................................................................... 75 Lampiran 15. Analisis kadar karbohidrat tempe by difference .......................................................... 76 Lampiran 16. Rekapitulasi analisis organoleptik tempe .................................................................... 77 Lampiran 17. Analisis rendemen tepung tempe................................................................................ 81 Lampiran 18. Analisis warna tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ......................... 81 Lampiran 19. Analisis indeks penyerapan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial................. 81 Lampiran 20. Analisis indeks kelarutan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial .................... 82 Lampiran 21. Diagram pengolahan kedelai menjadi tempe dan tempe menjadi tepung tempe ........... 83 Lampiran 22. Analisis kadar air tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ..................... 84 Lampiran 23. Analisis kadar abu tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial .................... 85 Lampiran 24. Analisis kadar protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial............... 86 Lampiran 25. Analisis kadar lemak tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ................ 87 Lampiran 26. Analisis kadar karbohidrat tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial by difference .................................................................................................................. 88 Lampiran 27. Analisis daya cerna protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ....... 88 Lampiran 28. Rekapitulasi analisis organoleptik formulasi tepung tempe ......................................... 90 Lampiran 29. Analisis indeks penyerapan air minuman tepung tempe .............................................. 94 Lampiran 30. Analisis indeks kelarutan air minuman tepung tempe ................................................. 94 Lampiran 31. Analisis warna minuman tepung tempe ...................................................................... 94 Lampiran 32. Analisis kadar air minuman tepung tempe .................................................................. 95 Lampiran 33. Analisis kadar abu minuman tepung tempe ................................................................ 95 Lampiran 34. Analisis kadar protein minuman tepung tempe ........................................................... 95 Lampiran 35. Analisis kadar lemak minuman tepung tempe............................................................. 96 Lampiran 36. Analisis kadar karbohidrat minuman tepung tempe .................................................... 96 Lampiran 37. Analisis daya cerna protein minuman tepung tempe ................................................... 96 Lampiran 38. Perhitungan energi dan AKG minuman tepung tempe ................................................ 98 Lampiran 39. Perhitungan energi dan AKG tepung tempe................................................................ 99
x
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kedelai termasuk salah satu tanaman kacang-kacangan yang biasa digunakan sebagai bahan baku industri makanan, minuman, pupuk hijau serta pakan ternak. Kedelai merupakan komoditi pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2010 sebesar 2.652 juta ton (Kementerian Pertanian 2012). Sebesar 1.8 juta ton kedelai dialokasikan melalui Kopti untuk memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. BPS (2013) menyebutkan produksi kedelai kering tahun 2012 sebesar 843.15 ribu ton. Dengan jumlah tersebut, produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 32.6 %. Untuk mencukupi kekurangan dilakukan impor kedelai dari beberapa negara. Impor kedelai terbesar berasal dari Amerika Serikat yang besarnya mencapai 1.5 juta ton (Kompas 2012). Kedelai dikenal memiliki kadar protein tinggi dan kebanyakan diolah menjadi beberapa produk pangan yang biasa dikonsumsi sebagai pendamping nasi maupun makanan camilan. Produk olahan kedelai dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu produk fermentasi dan produk non-fermentasi. Produk fermentasi kedelai antara lain tempe, kecap dan tauco; sementara produk non-fermentasi kedelai antara lain tahu, sari kedelai dan tepung kedelai. Tempe merupakan salah satu produk pangan hasil fermentasi kedelai yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia sebagai lauk karena harganya yang relatif murah. Tempe memiliki penampakan seperti kue yang diselimuti oleh miselium kapang yang menghasilkan aroma dan tekstur khas tempe. Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe memiliki beberapa keunggulan antara lain produk ini memiliki flavor yang lebih dapat diterima dan zat gizi yang terkandung didalamnya lebih mudah dicerna. Dibanding tahu, tempe lebih kaya serat serta zat gizi lainnya karena produk ini menggunakan hampir seluruh bagian kedelai kecuali kulit. Kandungan protein pada tempe hampir menyamai kandungan protein produk hewani. Selain itu tempe juga memiliki khasiat hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan dan antitrombotik sehingga dapat digolongkan sebagai pangan fungsional (Cahyadi 2009). Tempe memiliki kelemahan yaitu masa simpannya relatif singkat, pada suhu ruang tempe hanya mampu bertahan satu sampai dua hari saja. Pengolahan tempe menjadi tepung tempe menjadi salah satu upaya untuk memperpanjang umur simpan tempe. Tepung tempe telah dimanfaatkan antara lain sebagai substitusi tepung terigu pada biskuit (Murdefi 1992) dan makanan tambahan bagi anak (Mardiah 1992). Minuman berbahan baku kedelai telah banyak beredar di pasaran baik dalam bentuk minuman sari kedelai atau bubuk minuman kedelai. Minuman berbasis kedelai merupakan alternatif pengganti dari susu hewan karena kandungan proteinnya tinggi serta susunan asam amino mirip. Selain itu minuman berbasis kedelai tidak mengandung laktosa atau gula susu sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita lactose intolerance yang tidak dapat mengkonsumsi susu sapi. Ditinjau dari segi kandungan gizi dan sifat daya cerna proteinnya, tempe lebih baik dibandingkan kedelai. Namun demikian penggunaan tempe sebagai minuman masih belum banyak dikembangkan. Hal ini memberikan peluang penggunaan tepung tempe untuk dikembangkan menjadi minuman yang diharapkan memiliki kandungan gizi dan daya cerna yang lebih baik.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah (1) membuat tepung tempe dan mengaplikasikannya menjadi minuman, (2) menganalisis kandungan gizi dan perubahan yang terjadi pada masing-masing tahap proses pengolahan dari kedelai sampai menjadi minuman tepung tempe, (3) membandingkan kandungan gizi dan daya cerna minuman tepung tempe dengan bubuk minuman kedelai komersial.
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedelai Kedelai merupakan tanaman polong yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Catatan awal penggunaan kedelai sudah ada pada tahun 2853 sebelum masehi yang menyebutkan bahwa kedelai merupakan salah satu dari lima tanaman penting dalam peradaban Cina. Penggunaan kedelai menyebar ke seluruh Asia dimana perkembangan produknya disesuaikan dengan tradisi, iklim dan selera daerah masing-masing (Golbitz and Jordan 2006). Pada tahun 2007 area penanaman kedelai dunia seluas 90.1 juta hektar dengan total produksi sebesar 220.5 juta ton atau dapat dikatakan produktivitas lahan penanaman kedelai sebesar 2.44 ton/hektar. Negara utama penghasil kedelai antara lain Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Cina dan India (Singh 2010). Kedelai termasuk dalam famili Leguminoceae, subfamili Papilionaideae dan genus Glycine. Bagian kedelai yang paling banyak dipakai adalah biji. Biji kedelai berbentuk bulat hingga lonjong panjang. Kebanyakan bijinya berwarna kuning; selain itu juga berwarna hijau, coklat gelap, hitam keunguan atau hitam (Liu 2004a). Biji kedelai terdiri dari 8 % kulit, 90 % kotiledon dan 2 % hipokotil (Sugano 2006). Kotiledon merupakan bagian terbesar dari biji kedelai yang berisi zat makanan terutama protein dan lemak (Budisantoso 1994). Kedelai digunakan sebagai tanaman pangan serta pakan ternak. Beberapa makanan tradisional Asia yang berbahan dasar kedelai antara lain tahu, miso dan kecap. Sementara di negara-negara barat, dua produk utama yang berasal dari kedelai adalah minyak dan pakan ternak (Hymowitz 2008). Secara umum produk olahan kedelai tradisional atau dikenal sebagai oriental soyfood dibagi menjadi produk non-fermentasi dan fermentasi. Produk kedelai non-fermentasi antara lain susu kedelai, tahu, kecambah kedelai, yuba (kembang tahu), okara dan tepung kedelai. Sementara produk kedelai fermentasi antara lain kecap, miso (tauco), natto, tempe, soygurt, sufu (tahu fermentasi) dan nugget kedelai. Produk kedelai non-fermentasi biasanya digunakan sebagai bahan utama dalam masakan, sementara produk kedelai fermentasi digunakan sebagai bumbu atau kondimen yang ditambahkan dalam jumlah sedikit dalam masakan. Tempe dan natto merupakan produk kedelai hasil fermentasi namun lebih banyak digunakan sebagai bahan utama dalam masakan. Baik tempe maupun natto berkontribusi sebagai zat gizi disamping fungsinya sebagai penambah flavor pada makanan (Liu 2008).
1. Zat Gizi Kedelai Kedelai merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan gizi terutama protein yang cukup tinggi. Komposisi gizi kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Kedelai memiliki kadar protein yang tinggi yaitu rata-rata 35 %, bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44 %. Bagi seseorang yang tidak dapat mengonsumsi daging atau sumber protein hewani lainnya, kebutuhan protein hariannya sebesar 55 gram dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan yang mengandung 157.14 gram kedelai (Margono et al 2000). Selain kadarnya yang tinggi, protein kedelai juga memiliki daya cerna yang cukup tinggi yaitu 42 % (Cahyadi 2009). Protein kedelai memiliki susunan asam amino yang lengkap serta daya cerna yang sangat baik (Astawan 2009). Asam amino esensial seperti leusin, isoleusin, lisin dan valin merupakan asam amino dengan kandungan tertinggi dalam kedelai. Sementara asam amino pembatasnya adalah metionin dan sistein. Untuk mendapatkan komposisi asam amino yang seimbang,
3
kedelai biasa digunakan sebagai pelengkap dalam menu makanan dimana dikonsumsi maupun ditambahkan dengan jagung, beras maupun terigu (Winarno 1993).
Komposisi gizi
Tabel 1. Komposisi gizi kedelai per 100 gram Berat per 100 gram Berat per 100 gram bahan Satuan bahan basah kering
Air
g
12.7
14.5
Abu
g
5.3
6.1
Protein
g
40.3
46.2
Lemak
g
16.7
19.1
Karbohidrat
g
24.9
28.5
Serat
g
3.2
3.7
Kalsium
mg
221.7
254
Fosfor
mg
681.8
781
Besi
mg
9.6
11
B1
mg
0.42
0.48
B2
mg
0.13
0.15
B3
mg
0.58
0.67
B5
µg
375.4
430
B6
µg
157
180
B12
µg
0.13
0.15
Biotin
µg
30.6
35
AA esensial
mg
15 493
17 743
AA tidak esensial
mg
22 114
26 475
Total AA
mg
37 607
44 218
Mineral
Vitamin
Sumber: Hermana et al (1996)
Kandungan lemak dalam biji kedelai sekitar 18 % dimana 85 % dari jumlah tersebut merupakan asam lemak tak jenuh. Lemak kedelai memiliki kualitas gizi yang tinggi dengan kandungan asam lemak tak jenuhnya seperti asam linoleat (50.11 %), asam oleat (22.72 %) dan asam linolenat (6.54 %); sementara kandungan asam lemak jenuh kedelai cenderung rendah (15.25 %) yang terdiri dari asam palmitat (11.0 %) dan asam stearat (4.1 %). Asam linoleat (omega 6) dan asam linolenat (omega 3) merupakan asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu konsumsi dari makanan (Boye et al 2010). Selain itu dalam lemak kedelai juga terdapat beberapa fosfolipid penting seperti lesitin, sepalin dan lipositol (Koswara 1992). Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 30-35 % dimana 15 % merupakan karbohidrat larut dan sisanya karbohidrat tak larut. Karbohidrat terlarut yang ditemukan dalam kedelai antara lain sukrosa (2.5-8.2 %), stakiosa (1.4-4.1 %), rafinosa (0.1-0.9 %), arabinosa dan glukosa (Boye et al 2010). Stakiosa dan rafinosa tidak dapat dicerna oleh tubuh sehingga dalam sistem pencernaan akan
4
langsung menuju usus besar dan kemudian akan dicerna oleh mikroflora dalam usus. Mikroflora ini akan memecah karbohidrat dengan menghasilkan produk samping berupa gas yang pada beberapa orang dapat menimbulkan gejala flatulensi. Sementara karbohidrat tak larut antara lain selulosa, hemiselulosa dan pektin. Berbeda dengan kacang-kacangan lainnya, kedelai mengandung hanya sedikit pati (Golbitz and Jordan 2006). Kedelai juga mengandung senyawa mikronutrien yaitu mineral dan vitamin. Mineral utama dalam kedelai antara lain kalium, sodium, kalsium, magnesium, sulfur dan fosfor. Kandungan mineral dalam kedelai yang rendah disebabkan oleh senyawa antigizi seperti fitat, oksalat dan tanin yang menghalangi penyerapan mineral oleh tubuh (Boye et al 2010). Meskipun tidak dianggap sebagai sumber vitamin, secara umum kedelai memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Vitamin larut air dalam kedelai antara lain B1, B2, B3, B5, biotin, asam folat, inositol dan kolin. Sementara vitamin larut lemak yaitu vitamin A dan E. Vitamin A terdapat dalam bentuk provitamin beta karoten yang jumlahnya lebih banyak pada kedelai yang masih mentah dibandingkan pada kedelai kering. Sementara vitamin E terdapat dalam bentuk tokoferol berlimpah dalam lemak kedelai (Golbitz and Jordan 2006).
2. Senyawa Antigizi dan Off flavor pada Kedelai Selain kandungan gizinya yang baik, kedelai memiliki kekurangan yaitu adanya senyawa antigizi dan senyawa off flavor. Senyawa antigizi merupakan senyawa-senyawa kimia yang mengganggu penyerapan zat gizi pangan. Senyawa antigizi tidak bersifat toksik namun keberadaannya dapat menurunkan ketersediaan zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Senyawa antigizi dalam kedelai antara lain antitripsin, hemaglutinin atau lektin dan asam fitat. Berbeda dengan senyawa antigizi, senyawa off flavor lebih berpengaruh terhadap sifat organoleptik pada produk olahan kedelai. Senyawa off flavor pada kedelai antara lain lipoksigenase dan saponin. Antitripsin adalah suatu jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin dalam tubuh. Senyawa ini secara alami banyak terdapat pada kacang-kacangan. Berdasarkan uji terhadap tikus, antitripsin menyebabkan pertumbuhan tidak normal pada tikus percobaan yang diberi ransum kedelai mentah. Selain itu tikus juga mengalami hipertrofi (pembengkakan) pankreas (Koswara 1992). Aktivitas antitripsin dalam kedelai dapat dihilangkan dengan perendaman diikuti pemanasan. Pemanasan dapat dilakukan dengan perebusan, pengukusan maupun autoklaf (Santoso 2005). Hemaglutinin atau lektin dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah pada tikus percobaan. Penggumpalan ini bisa terjadi dalam usus halus sehingga penyerapan zat gizi terganggu yang menyebabkan pertumbuhan terhambat. Tepung kedelai mentah mengandung hemaglutinin sekitar 3 %. Hemaglutinin dapat dihilangkan dengan pemanasan. Inaktivasi hemaglutinin dilakukan dengan pengukusan pada suhu 100 °C selama 15-20 menit, sementara pemanasan dengan autoklaf pada suhu 121 °C cukup dengan waktu 5 menit (Santoso 2005). Asam fitat dapat mengkelat atau mengikat elemen mineral seng, kalsium, magnesium dan besi sehingga akan mengurangi ketersediaan mineral tersebut secara biologis. Asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks yang menyebabkan perubahan konfigurasi protein sehingga kecepatan hidrolisis protein oleh enzim proteolitik dalam sistem pencernaan menjadi terhambat. Kandungan fitat yang tinggi (> 1%) dapat menyebabkan defisiensi mineral. Asam fitat dapat dihilangkan dengan fermentasi, perkecambahan dan perendaman air hangat (Santoso 2005). Oligosakarida adalah jenis karbohidrat yang merupakan polimer dua sampai sepuluh monosakarida. Oligosakarida mengandung ikatan α-galaktosida yang menyebabkan timbulnya flatulensi yaitu menumpuknya gas-gas dalam perut. Jenis oligosakarida dalam kacang-kacangan terutama rafinosa, stakiosa dan verbaskosa. Ketiga oligosakarida tersebut tidak dapat dicerna karena
5
sistem pencernaan manusia menghasilkan enzim α-galaktosidase yang sangat rendah (Winarno 1993). Karena tidak dapat diserap tubuh, oligosakarida langsung menuju kolon dan kemudian akan difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan sejumlah gas berupa karbondioksida, hidrogen dan sedikit metana yang juga akan menurunkan pH lingkungannya. Gas ini akan menghasilkan tekanan yang kemudian disebut flatulensi. Upaya untuk menghilangkan oligosakarida dalam kedelai dapat dilakukan dengan perkecambahan dan fermentasi (Santoso 2005). Pengolahan kedelai biasanya terganggu oleh adanya bau langu dan rasa pahit pada produk. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa off flavor dalam kedelai. Enzim lipoksigenase bertanggung jawab terhadap munculnya bau langu dimana enzim tersebut berperan sebagai katalisator terjadinya hidrolisis atau penguraian lemak kedelai menjadi senyawa-senyawa penyebab bau langu berupa senyawa volatil yang mudah menguap. Pada pembuatan susu kedelai, enzim lipoksigenase dapat dihilangkan dengan pemakaian air panas saat penggilingan kedelai dilanjutkan merebus susu kedelai pada suhu 80 °C selama 10-15 menit (Winarno 1996). Enzim lipoksigenase juga dapat dihilangkan dengan perendaman kedelai dalam air maupun larutan Na2CO3 (natrium bikarbonat) 0.5 % semalaman. Sementara rasa pahit dan rasa kapur disebabkan oleh senyawa glikosida seperti soyasaponin dan sapogenol dalam kedelai dan produk non-fermentasi (Santoso 2005). Pada pembuatan sari kedelai, penghilangan rasa pahit dilakukan dengan perendaman kedelai menggunakan larutan natrium fosfat 5 gram, kalium hidroksida 10 gram dan natrium bisulfit 10 gram per 1 kg kedelai (Winarno 1996)
3. Senyawa Fitokimia Kedelai Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan meningkatkan permintaan akan produk pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang memiliki manfaat bagi kesehatan. Salah satu zat yang memberikan efek kesehatan adalah fitokimia. Fitokimia merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang memiliki manfaat bagi tubuh. Dalam kedelai ditemukan pula fitokimia antara lain isoflavon, asam lemak, asam amino, asam fitat, fitoestrogen, glukosida, saponin, lesitin, oligosakarida, tokoferol, sterol, dan tripsin inhibitor (Panthee 2010, Liu 2004b). Beberapa senyawa yang awalnya diketahui sebagai senyawa antigizi ternyata memiliki manfaat tertentu, sebagai contoh oligosakarida. Lesitin kedelai merupakan kelompok fosfolipid yang secara alami terdapat dalam kedelai yang jumlahnya sekitar 1-3 %. Lesitin terbentuk dari fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin, fosfatidillinositol dan asam fosfatidil. Lesitin memiliki beberapa manfaat dalam pangan seperti emulsi, pembasahan, koloid dan antioksidan. Selain itu lesitin juga memiliki manfaat bagi tubuh (Liu 2004b). Lesitin kedelai dapat mencegah penyakit jantung koroner, stroke, dimensia (penurunan daya ingat), membantu menurunkan kadar lemak jenuh dalam darah, membantu regulasi tubuh, mencegah penuaan dan penyakit Parkinson. Isoflavon berada dalam sub kelas flavonoid. Flavonoid sendiri merupakan bagian dari kelompok besar antioksidan polifenol. Isoflavon memiliki struktur sebagai glukosida yaitu senyawa yang berikatan dengan gula. Isoflavon memiliki tiga bentuk glukosida yaitu genistin, daidzin dan glycitin. Sementara itu bentuk aglikon yaitu komponen yang sudah terlepas dari gula disebut genistein, daidzein dan glycitein. Isoflavon dalam kedelai terdapat dalam bentuk aglikon, glukosida, asetil-βglukosida dan malonil-β-glukosida. Jenis isoflavon utama yang ditemukan dalam kedelai adalah genistein dan daidzein. Kandungan isoflavon dalam kedelai mencapai 0.25 % (Astawan 2009). Produk kedelai seperti kedelai masak, kedelai panggang dan tepung kedelai merupakan sumber isoflavon yang unggul dan menyediakan isoflavon total sekitar 5.1-5.5 mg/gram protein kedelai. Isoflavon dapat membantu mengurangi resiko kanker, menurunkan kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida serta meningkatkan HDL. Isoflavon juga membantu meringankan gejala PMS (pre-menstrual syndrome).
6
Fitosterol merupakan komponen yang strukturnya menyerupai kolesterol. Terdapat sekitar 44 jenis fitosterol yang telah ditemukan dalam tanaman, namun tiga jenis fitosterol yang ditemukan dalam kedelai adalah betasitosterol, campesterol dan stigmasterol. Fitosterol dikenal memiliki kemampuan untuk menurunkan kolesterol dan mengurangi resiko kanker (Liu 2004b). Saponin termasuk dalam senyawa glikosida dan dapat menimbulkan rasa pahit dalam kedelai dan produk non-fermetasinya (Santoso 2005). Bagian kulit biji dan lembaga hanya menyumbang 7.2 % berat kedelai tetapi mengandung 27 % dari total saponin A. Oleh karena itu, bagian kulit biasanya tidak diikutkan dalam proses pembuatan makanan olahan kedelai. Meskipun awalnya dianggap sebagai senyawa antigizi, oligosakarida dalam kedelai merupakan serat pangan, salah satu zat yang baik bagi kesehatan. Kandungan serat pangan yang tinggi pada kedelai dikuatkan dengan indeks glikemik kedelai yang rendah Hal ini membuat kedelai direkomendasikan untuk penderita diabetes, untuk menjaga berat badan dan hiperkolesterolamik. Selain itu, keberadaan oligosakarida (stakiosa dan rafinosa) diketahui berperan sebagai prebiotik dan dapat mencegah kanker usus besar (Boye et al 2010).
B. Tempe Tempe merupakan salah satu produk fermentasi berbahan dasar kedelai. Beberapa produk fermentasi berbahan baku kedelai lainnya adalah miso, shoyu, natto, sufu dan soygurt (Raghuvanshi and Bisht 2010). Produk pangan fermentasi dapat didefinisikan sebagai produk pangan yang dihasilkan oleh adanya aktivitas enzim mikroorganisme yang menyebabkan perubahan yang signifikan baik secara fisik maupun biokimia pada bahan makanan. Fermentasi biasanya dilakukan secara langsung pada kedelai yang telah dimasak dengan menambahkan starter mikroorganisme tertentu pada kondisi yang spesifik sesuai dengan produk yang diinginkan. Tempe dipercaya berasal dari Indonesia. Tempe yang paling populer adalah tempe kedelai atau lebih dikenal dengan tempe saja. Sebenarnya terdapat berbagai jenis tempe yang dibuat dengan prinsip yang hampir sama dengan tempe kedelai namun menggunakan bahan baku yang berbeda. Beberapa jenis tempe tersebut antara lain tempe gembus (ampas tahu), tempe bungkil (kacang tanah), tempe bongkrek (kelapa) dan tempe benguk (bungkil kedelai) (Widowati 2004). Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe digunakan starter kapang atau yang lebih dikenal dengan ragi tempe. Starter ini mengandung biakan jamur tempe dimana sebagian besarnya merupakan spesies kapang Rhizopus. Jenis kapang yang biasa terdapat dalam tempe yaitu R oligosporus, R orizae, R stolonifer dan R arrizhus (Syarief et al 1999). Meskipun prinsipnya digunakan kapang R oligosporus dalam proses fermentasi tempe, berbagai bakteri baik dengan maupun tanpa spora terdapat dalam tempe. Selain itu selama proses fermentasi tempe juga ditemukan khamir dan mikroorganisme lain (Liu 2004b). Tempe segar berbentuk seperti kue, yang diselimuti oleh miselium putih dan memiliki aroma khas tempe. Berbeda dengan produk fermentasi kedelai lainnya yang biasa digunakan sebagai bumbu, tempe disajikan sebagai hidangan utama atau pengganti daging. Tempe juga dibuat dengan singkat dan mudah. Karena bentuknya yang seperti daging dan flavor seperti jamur, kini tempe menjadi makanan populer untuk vegetarian (Liu 2004b).
1. Proses Pembuatan Tempe Kedelai Pembuatan tempe awalnya dilakukan dalam skala industri kecil secara tradisional tanpa didasari teori ilmiah, berkembang secara turun temurun dan berubah secara pengalaman (Hermana dan Karmini 1996). Proses pembuatannya bervariasi untuk masing-masing industri, namun prinsipnya
7
sebenarnya hampir sama. Secara garis besar pembuatan tempe dapat dibagi menjadi dua yaitu proses pendahuluan dan proses pemeraman. Variasi tahapan proses pembuatan tempe terjadi pada tahap pendahuluan. Setidaknya terdapat tujuh variasi dalam pembuatan tempe yang terdiri dari 8 hingga 12 tahap. Variasi tahap pembuatan tempe dapat dilihat pada Tabel 2. Proses pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan kedelai masak tanpa kulit dan mempunyai kondisi yang cocok untuk pertumbuhan kapang. Proses pendahuluan biasanya meliputi tiga tahap yaitu pemasakan, perendaman dan pengupasan kulit. Proses pemasakan ada yang dilakukan sekali tetapi ada pula yang dilakukan dua kali. Pada pemasakan yang dilakukan satu kali kedelai dimasukkan dalam air mendidih bersuhu 95 °C selama 1-2 jam. Sementara pemasakan dua kali dilakukan dengan pemanasan pertama selama 30 menit dan pemanasan kedua selama 60-90 menit. Pemasakan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba yang tidak dikehendaki dalam biji kedelai, melunakkan serta memasak biji kedelai. Perendaman biasa dilakukan sekali dalam waktu 10 jam hingga semalaman dengan tujuan mendapatkan hidrasi penuh dan fermentasi asam laktat. Akibat dari proses hidrasi akan mempermudah pengupasan, sementara fermentasi asam laktat ditujukan untuk menyeleksi mikroba yang tumbuh saat proses pemeraman. Pengupasan kulit bertujuan menghilangkan kulit. Kulit perlu dihilangkan untuk memungkinkan penetrasi asam dan miselium kapang ke dalam biji kedelai. Miselium kapang tidak dapat menembus lapisan kulit ari karena mengandung zat tanduk yang keras (Hermana dan Karmini 1996). Pengolahan tempe metode I dilakukan dengan pengupasan kedelai secara kering. Pembuatan tempe ini diawali dengan perlakuan pendahuluan berupa pemanasan biji kedelai utuh sehingga kulitnya kering dan mudah terkelupas. Perlakuan pendahuluan dimaksudkan untuk mengurangi kehilangan zat gizi dari biji kedelai selama perendaman (Syarief et al 1999). Metode kering sulit dilakukan di Indonesia dikarenakan kedelai yang biasanya dipasarkan berupa kedelai berkulit. Namun hal ini memungkinkan jika dilakukan oleh produsen tempe di Amerika dan Eropa (Astuti 1996). Kedelai masak yang telah ditiriskan dan didinginkan ditambahkan dengan ragi, kemudian dibungkus dalam daun pisang maupun plastik yang telah dilubangi. Proses pemeraman atau fermentasi dilakukan dalam suhu kamar. Selama proses pemeraman perlu diperhatikan masalah kelembaban dan kadar oksigen. Kelembaban yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan kapang, sementara kelembaban yang terlalu tinggi akan memungkinkan bakteri tumbuh terlebih dahulu daripada kapang. Kadar oksigen yang terlalu rendah menyebabkan pertumbuhan kapang yang tidak baik, sementara kadar oksigen yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu pesat (Hermana et al 1996).
2. Perubahan yang Terjadi selama Proses Fermentasi Proses fermentasi pada pembuatan tempe sebenarnya terjadi dua kali yaitu saat perendaman dan pemeraman. Proses perendaman semalaman pada suhu ruang memberikan kesempatan untuk tumbuhnya bakteri pembentuk asam organik seperti Lactobacillus sp. Bakteri ini bersifat menguntungkan karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri lain serta memberikan kondisi asam dengan pH 4.5-5.3 yang optimal bagi tumbuhnya kapang saat pemeraman (Pawiroharsono 1996). Proses fermentasi utama terjadi saat pemeraman setelah penambahan inokulum ragi. Waktu pemeraman dapat divariasikan dari 18-36 jam. Selama proses fermentasi akan tumbuh miselia kapang yang akan menyelimuti butir-butir kacang kedelai membentuk kesatuan kompak. Beberapa perubahan terjadi selama proses fermentasi meliputi suhu, pH dan komposisi kimia kedelai.
8
Tabel 2. Variasi tahap pembuatan tempe kedelai Metode
Tahapan
I
II
III
IV
V
VI
VII
1
Penghilangan kulit
Perebusan
Perendaman
Perebusan
Perebusan
Perendaman
Perendaman
2
Pencucian
Perendaman
Penghilangan kulit
Perendaman
Pendinginan
Perebusan
Perebusan
3
Perebusan
Penghilangan kulit
Pencucian
Penghilangan kulit
Penghilangan kulit
Pencucian
Pendinginan
4
Penirisan
Pencucian
Perebusan
Pencucian
Pencucian
Perebusan
Penghilangan kulit
5
Pendinginan
Penirisan
Penirisan
Perebusan
Perendaman
Pendinginan
Pencucian
6
Inokulasi
Inokulasi
Pendinginan
Penirisan
Perebusan
Penghilangan kulit
Perendaman
7
Pembungkusan
Pembungkusan
Inokulasi
Pendinginan
Penirisan
Pencucian
Perebusan
8
Inkubasi
Inkubasi
Pembungkusan
Inokulasi
Pendinginan
Penirisan
Penirisan
Inkubasi
Pembungkusan
Inokulasi
Inokulasi
Pendinginan
Inkubasi
Pembungkusan
Pembungkusan
Inokulasi
Inkubasi
Inkubasi
Pembungkusan
9 10 11 12
Inkubasi
Sumber: Saono (1986)
9
Pengolahan kedelai menjadi tempe mampu mengurangi bahkan menghilangkan senyawa antigizi yang dianggap merugikan. Selama fermentasi tempe, terjadi aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang. Enzim ini dapat mengurai senyawa fitat, zat antigizi yang umum terkandung dalam kedelai menjadi inositol dan fosfat. Fitat dapat membentuk kompleks dengan berbagai senyawa, misalnya mineral sehingga dapat menghambat penyerapannya dalam usus manusia. Dengan terurainya fitat pada kedelai selama fermentasi tempe, penyerapan mineral dalam tubuh manusia menjadi lebih maksimal. Senyawa antigizi tak tahan panas seperti antitripsin dan hemaglutinin juga dapat dihilangkan selama perebusan dan perendaman (Winarno 1996). Kapang menghasilkan berbagai enzim yang memecah komponen gizi dalam kedelai. Aktivitas enzim amilase terutama dihasilkan oleh R oryzae terjadi pada periode pemeraman 0-12 jam dan mencapai puncaknya pada fermentasi 12 jam. Pada fermentasi 12-36 jam akan terjadi aktivitas enzim protease yang dihasilkan terutama oleh R oligosporus dan kapang campuran lainnya, sementara aktivitas enzim protease dari R oryzae cenderung rendah. Aktivitas protease tertinggi terjadi pada pemeraman 36-72 jam. Pada periode ini selain terjadi hidrolisa protein menjadi asam amino juga terjadi pembentukan amonia. Kecepatan hidrolisis protein tertinggi R oligosporus terjadi pada pemeraman 12-24 jam dan jumlah protein hidrolisat tertinggi diproduksi pada fermentasi 24 jam. Aktivitas enzim lipase yang dilakukan oleh R oligosporus mencapai jumlah optimum pada fermentasi 36 jam (Hermana dan Karmini 1996). Proses pemeraman dapat dilanjutkan hingga 72 jam namun peningkatan yang terjadi tidak signifikan dan jumlah amonia yang dihasilkan justru semakin besar. Selama proses fermentasi terjadi penguraian komponen-komponen gizi seperti protein dan lemak oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang sehingga mempermudah penyerapannya dalam usus manusia. Dibandingkan dengan kedelai yang tidak difermentasi, pengolahan tempe dengan fermentasi meningkatan asam amino bebas dan asam lemak bebas. Sementara kadar protein dan kadar abu pada tempe cenderung tidak berubah secara signifikan. Proses fermentasi juga menyebabkan peningkatan beberapa vitamin seperti B2, B6, B3, B5, biotin dan folacin. Selain itu terjadi pembentukan vitamin B12 yang disebabkan oleh bakteri kontaminasi yaitu Klebsiella pnemoniae dan Citrobacter freundii (Liu 2004b). Vitamin B12 disintesis oleh bakteri dan sangat diperlukan oleh tubuh. Kebanyakan orang memperoleh vitamin B12 dari produk susu, telur dan daging. Hewan dapat mensintesis vitamin B12 di sepanjang alat pencernaan, sementara manusia hanya dapat mensintesisnya di usus besar sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh (Shurtleff and Aoyagi 2001).
3. Zat Gizi dan Khasiat Tempe Tempe mempunyai kandungan gizi protein yang merupakan zat gizi potensial bagi penduduk Indonesia karena nilai gizinya sebanding dengan sumber protein hewani seperti daging sapi, susu sapi dan telur ayam (Koswara 1992). Komposisi gizi pada tempe dapat dilihat pada Tabel 3, sementara standar SNI tempe kedelai dapat dilihat pada Tabel 4. Secara kuantitatif nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada nilai gizi kedelai karena sebagian zat gizi dalam kedelai akan mengalami kerusakan selama pengolahan Selain itu zat gizi juga digunakan oleh kapang untuk proses metabolismenya. Namun secara kualitatif nilai gizi tempe lebih besar karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik kapang. Kandungan gizi dalam tempe dalam basis kering terdiri dari 48.1 % protein, 24.7 % lemak dan 23.9 % karbohidrat serta 3.3 % abu. Selain itu selama proses fermentasi, terjadi peningkatan sejumlah vitamin antara lain B2, B3, B5, B6 dan B12 (Imram et al 2003).
10
Komposisi gizi
Tabel 3. Komposisi gizi tempe kedelai Berat per 100 gram Satuan bahan basah
Berat per 100 gram bahan kering
Air
g
55.3
123.7
Abu
g
1.6
3.6
Protein
g
20.7
46.5
Lemak
g
8.8
19.7
Karbohidrat
g
13.5
30.2
Serat
g
3.2
7.2
Kalsium
mg
155.1
347
Fosfor
mg
323.6
724
Besi
mg
4.0
9
B1
mg
0.12
0.28
B2
mg
0.29
0.65
B3
mg
1.13
2.52
B5
µg
232.4
520
B6
µg
44.7
100
B12
µg
1.7
3.9
Biotin
µg
23.7
53
AA esensial
mg
8,428
18,852
AA tidak esensial
mg
11,341
25,369
Total AA
mg
19,769
44,221
Mineral
Vitamin
Sumber: Hermana et al (1996)
Dengan kadar protein yang tinggi sekitar 40-50 % basis kering, tempe biasa disajikan sebagai komponen pelengkap untuk makanan pokok seperti beras dan digunakan sebagai pengganti daging atau ikan. Dari seluruh protein dalam tempe, sebesar 56 % dapat dimanfaatkan oleh manusia. Konsumsi tempe 100 gram per hari, dapat memenuhi 25 % kebutuhan protein pada orang dewasa (Syarief et al 1999). Diperkirakan konsumsi tempe di Indonesia sekitar 19-34 gram per hari per orang. Biasanya tempe tidak disajikan mentah tetapi dengan dipanaskan terlebih dahulu untuk menimbulkan flavor khas dengan cara digoreng, dimasak santan, direbus, dibakar maupun dijadikan sambal (Nout and Kiers 2004). Kualitas protein sangat ditentukan oleh kandungan asam amino baik jumlah, jenis maupun susunan asam aminonya. Mutu protein pada kedelai dibandingkan tempe dapat dilihat pada Tabel 5. Tempe memiliki kadar protein cukup tinggi sekitar 19.5 % dengan asam amino essensial yang lengkap. Protein dalam tempe dapat memberikan umpan balik negatif terhadap perubahan kolesterol menjadi asam empedu serta dapat meningkatkan reseptor LDL. Selama proses fermentasi jumlah nitrogennya tetap, namun jumlah asam amino bebasnya akan meningkat akibat terurainya protein menjadi peptida dan asam amino akibat aktivitas enzim. Proses fermentasi dapat meningkatkan kelarutan protein. Meskipun kadar protein tempe hampir sama dengan kedelai, tempe lebih mudah
11
dicerna dan diserap karena kelarutan proteinnya meningkat (Syarief et al 1999). Daya cerna protein meningkat dari kedelai sebesar 75 % menjadi 83 % setelah menjadi tempe. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi bagi manusia. Tabel 4. SNI 3144:2009 tempe kedelai Kriteria uji Satuan
No
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal, khas
1.2
Warna
-
Normal
1.3
Rasa
-
Normal
2
Kadar air (b/b)
%
Maks 65
3
Kadar abu (b/b)
%
Maks 1.5
4
Kadar lemak (b/b)
%
Min 10
5
Kadar protein (Nx6.25)(b/b)
%
Min 16
6
Kadar serat kasar (b/b)
%
Maks 2.5
7
Cemaran logam
7.1
Kadmium (Cd)
mg/kg
Maks 0.2
7.2
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 0.25
7.3
Timah (Sn)
mg/kg
Maks 40
7.4
Merkuri (Hg)
mg/kg
Maks 0.03
8
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
Maks 0.25
9
Cemaran mikroba
9.1
Bakteri koliform
APM/g
Maks 10
9.2
Salmonella sp
-
Negatif/25 g
Sumber: BSN (2009)
Tabel 5. Faktor mutu protein kedelai dibandingkan tempe Faktor mutu gizi Satuan Kedelai rebus
Tempe
Padatan terlarut
%
14
34
Nitrogen terlarut
%
6.5
39
Asam amino bebas
%
0.5
7.3-12
Asam lemak bebas
%
0.5
21
Nilai cerna
%
75
83
Nilai efisiensi protein
-
1.6
2.12
Skor protein
-
75
78
Sumber: Hermana et al (1996)
Selama proses fermentasi terjadi peningkatan asam lemak tak jenuh. Lemak terhidrolisis menjadi asam lemak bebas yang mudah diserap tubuh. Asam palmitat dan linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan asam oleat dan linolenat mengalami peningkatan. Asam lemak tak jenuh
12
memiliki efek penurunan terhadap kandungan kolesterol pada serum sehingga dapat menurunkan efek negatif sterol dalam tubuh (Astawan 2009). Kandungan serat dalam tempe cukup tinggi, sekitar 8-10 %. Serat akan membentuk ikatan intraluminal dalam usus dengan kolesterol dan asam empedu yang akhirnya akan dikeluarkan melalui feses. Hal ini dapat mengurangi sirkulasi enterohepatik asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu sehingga kolesterol plasma menurun (Arbai 1996). Tempe juga merupakan produk olahan kedelai yang kaya serat pangan selain dari kedelai juga dari miselium yang dihasilkan oleh kapang. Serat pada tempe dapat mencegah penyakit saluran pencernaan seperti diverticulosis, kanker dan hernia. Serat pangan ini juga mampu mencegah penyumbatan pembuluh darah sehingga mengurangi resiko jantung koroner dan hipertensi (Astawan 2009). Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe tidak hanya memiliki flavor yang lebih dapat diterima, tetapi juga kandungan gizi yang lebih mudah dicerna. Proses fermentasi tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi 2010a). Adanya kandungan vitamin B12 pada tempe, dipandang sebagai sesuatu yang unik oleh para ahli. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumonia dan Citrobacter freundii yang sebenarnya merupakan mikroba kontaminasi. Vitamin B12 sangat berguna untuk membentuk sel-sel darah merah dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit anemia (kurang darah). Tempe mengandung vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Kadar vitamin B12 pada tempe bervariasi sekitar 0.07-4.6 mg/100 gram. Aktivitas vitamin B12 meningkat sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelai, vitamin B2 naik sekitar 8-47 kali, vitamin B6 naik 4-14 kali, vitamin B3 naik 2-5 kali, biotin naik 2-3 kali, asam folat naik 4-5 kali dan vitamin B5 naik 2 kali lipat (Astawan 2009). Vitamin B2 merupakan salah satu vitamin B komplek yang dapat menurunkan kadar lemak dalam darah dengan meningkatkan katabolisme VLDL oleh enzim lipoprotein lipase (Astawan 2009). Adanya enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang selama proses fermentasi menguraikan asam fitat dengan berat molekul tinggi (inositol heksa fosfat) dalam kedelai menjadi asam fitat dengan berat molekul lebih rendah. Penguraian zat fitat ini membebaskan fosfat dan biotin yang dapat digunakan oleh tubuh. Hilangnya fitat memberikan penyerapan mineral yang lebih baik. Selama proses fermentasi berlangsung, ketersediaan kalsium, zat besi dan seng meningkat. Kandungan mineral per 100 gram tempe antara lain besi (9.39 mg), tembaga (2.87 mg) dan seng (8.05 mg). Asam fitat merupakan salah satu senyawa dalam kedelai yang mengikat zat besi menjadi senyawa kompleks yang tidak larut. Pengolahan kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan zat besi terlarut dari 24.29 % pada kedelai menjadi 40.52 % setelah fermentasi 48 jam yang baik dalam menanggulangi masalah anemi besi (Astuti 1996b). Kedelai mengandung senyawa isoflavon yang merupakan salah satu antioksidan. Isoflavon yang terdapat dalam tempe mampu membentuk senyawa kompleks dengan zat besi sehingga peran zat besi sebagai katalisator organik menjadi berkurang dan proses oksidasi dapat dihambat (Syarief et al 1999). Selain dalam bentuk daidzein, glisitein dan genistein yang terdapat dalam kedelai, tempe juga megandung antioksidan faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) yang memiliki sifat antioksidan paling kuat diantara bentuk yang lain. Antioksidan ini disintesis oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium pada saat proses fermentasi (Astawan 2009). Proses fermentasi tempe juga mampu meningkatkan aktivitas dan jumlah enzim superoksida dismutase, salah satu enzim antioksidan yang digunakan tubuh untuk menangkal radikal bebas oksida. Salah satu hasil oksidasi lemak dalam tubuh adalah malondialdehid (MDA) yang merusak membran sel, menurunkan fungsi protein dan
13
merangsang mutasi genetik yang menimbulkan pertumbuhan sel tak terkendali yang lebih dikenal dengan sel kanker (Syarief et al 1999). Kandungan dalam tempe yang diduga memiliki sifat hipokolesterolamik atau menurunkan lipid darah adalah protein, asam lemak tak jenuh ganda, serat, niasin, vitamin E, karotenoid isoflavon dan kalsium. Protein tempe menurunkan umpan balik negatif terhadap perubahan kolesterol menjadi asam empedu serta meningkatkan reseptor LDL. Asam lemak tak jenuh ganda menurunkan kadar kolesterol dengan merangsang ekskresi kolesterol menjadi asam empedu, meningkatkan regulasi reseptor LDL sehingga proses katabolisme LDL dipercepat dan kolesterol plasma didistribusikan ke dalam jaringan (Arbai 1996). Tempe juga berperan dalam penanggulangan diare anak. Diare merupakan suatu ketidaknormalan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan pengeluaran tinja yang memiliki konsistensi lembek secara frekuen. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus, sindroma malabsorpsi dan perubahan ekologi isi usus yang diikuti dengan kehilangan cairan tubuh (air dan elektrolit) serta kehilangan gizi. Dalam penyembuhannya perlu dilakukan rehidrasi. Dasar pengobatan rehidrasi oral adalah mengganti cairan tubuh yang hilang, kemampuan penyerapan air dan elektrolit mukosa usus dan komplementasi antara ion natrium dan glukosa untuk memberikan kondisi serapan yang optimal. Penggunaan tempe dan air tajin dalam superoralit memberikan hasil cukup baik. Superoralit dibuat dari 40-50 gram tempe rebus atau 17-20 gram tepung tempe yang dicampurkan dengan satu liter air tajin dengan ditambahkan elektrolit natrum klorida, kalium klorida serta natrium bikarbonat. Secara praktis dapat diberikan 4-5 gram garam dapur. Air tajin diperoleh dari air rebusan nasi atau dengan memasak 2 sendok makan tepung beras (8 gram) tepung beras dalam satu liter air. Sebagian tepung beras dapat diganti dengan gula pasir sehingga diperoleh rasa yang manis. Keuntungan tempe sebagai makanan pasca diare diantaranya tekstur seluler yang unik, daya cerna tempe yang baik serta nilai gizi tempe yang tinggi akan kandungan protein dan asam amino (Sudigbia 1996).
C. Tepung Tempe Tempe segar biasa diambil setelah fermentasi selama 1-2 hari dimana telah terbentuk tekstur padat akibat miselium kapang yang menyelimuti butir kedelai. Namun di pasaran, penjualan tempe biasanya dilakukan dalam empat fase tempe yaitu tempe prematur (4-6 jam fermentasi), mature (1-2 hari fermentasi), sligtly overripe (2-3 hari fermentasi) dan overripe atau tempe busuk (3-5 hari fermentasi) (Shurtleff and Aoyagi 2001). Tempe segar memiliki kandungan air yang sangat besar sekitar 60 % serta mikroorganisme yang terus menerus melakukan perubahan sehingga tempe tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Usaha untuk memperpanjang umur simpan tempe dapat dilakukan dengan cara pengeringan, penggorengan, pasteurisasi, pendinginan, pembekuan maupun kombinasi dari proses tersebut. Produk olahan tempe dapat dibagi menjadi tiga yaitu generasi I, II dan III. Produk generasi I memiliki penampakan dan cita rasa yang masih melekat dengan kekhasan tempe sebagai bahan bakunya, contohnya tempe goreng, keripik tempe dan tempe mendoan. Produk generasi II secara inderawi sudah sulit dikenali akibat proses pengolahan namun masih memiliki cita rasa yang khas tempe. Contoh produk generasi II yaitu kerupuk tempe, tepung tempe dan snack tempe. Sementara produk generasi III tidak memiliki sifat baik fisik maupun indrawi khas tempe sebagai bahan asalnya. Produk generasi III biasa diperoleh dengan cara ekstraksi maupun isolasi untuk memperoleh zat tertentu dalam tempe (Syarief et al 1999). Salah satu upaya untuk mengawetkan tempe adalah dengan pengeringan. Tepung merupakan salah satu bentuk makanan yang dapat meningkatkan masa simpan produk. Tepung memiliki sifat
14
yang kering sehingga pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi kimia dapat dihambat. Kelebihan bentuk tepung dibandingkan bentuk lain adalah mudah dicampurkan dengan bahan lain untuk meningkatkan nilai gizinya, mudah disimpan dan diolah menjadi makanan (Mardiah 1992).
1. Pembuatan Tepung Tempe Tepung tempe dibuat dari tempe yang dihancurkan melalui tahapan proses blansir, penggilingan, pengeringan, penepungan dan pengayakan (Syarief et al 1999). Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat tepung tempe. Berbagai parameter diubah untuk menghasilkan tepung yang berkualitas baik. Proses pemotongan tempe bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan yang berpengaruh terhadap lama pengeringan. Blansir bertujuan untuk menginaktivasi enzim kapang pada tempe. Pengukusan merupakan cara blansir paling efektif karena memiliki berbagai kelebihan seperti tidak melarutkan vitamin B dan zat larut air lainnya. Inayati (1991) menyatakan bahwa proses blansir selama 10 menit dan pengeringan dengan suhu 60 °C selama 24 jam menghasilkan tepung tempe dengan derajat putih yang paling baik. Penggunaan suhu 60 °C diharapkan dapat mengurangi kemungkinan reaksi pencoklatan serta kerusakan gizi yang terkandung dalam tempe. Sementara penambahan antioksidan asam askorbat dan asam eritrobat dalam berbagai konsentrasi saat blansir tidak memberikan perbedaan nyata. Mardiah (1992) melakukan proses pengeringan tempe menggunakan berbagai kombinasi suhu dan waktu pengeringan. Pengeringan dibawah 50 °C menghasilkan tepung yang tidak kering dan justru berbau amonia serta tumbuh kapang hitam. Hal ini diduga karena masih terjadi aktivitas kapang. Pengeringan selama lebih dari 26 jam dan atau di atas suhu 70 °C menghasilkan tempe yang terlalu kering dan berwarna gelap. Perubahan ini terjadi karena reaksi browning non-enzimatis antara asam amino dan gula pereduksi.
2. Penggunaan Tepung Tempe Penggunaan dalam resep oriental maupun western, tempe dapat diproses menjadi serbuk yang lebih mudah digunakan dalam formulasi pangan maupun pakan. Penggunaan tempe sebagai penyembuhan malnutrisi protein di Indonesia memberikan gambaran bahwa tempe memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan makanan yang dilengkapi kedelai tanpa fermentasi. Malnutrisi protein biasanya terjadi pada negara-negara berkembang karena kurangnya asupan ASI, penggunaan makanan pelengkap yang kurang energi dan gizi serta tingginya angka diare dan infeksi. Fermentasi campuran kedelai dan sereal memiliki potensial yang besar sebagai pelengkap makanan (Nout and Kiers 2004). Tepung tempe biasanya digunakan sebagai substitusi tepung terigu pada produk bakeri. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan kadar protein dan kelebihan tempe lainnya. Salah satu penelitian tepung tempe dilakukan Inayati (1991) untuk memproduksi biskuit yang tinggi protein dengan campuran tepung terigu, singkong dan tempe kedelai. Semakin tinggi suplementasi tepung tempe dalam pembuatan biskuit akan meningkatkan kadar air, kadar protein, derajat reaksi pencoklatan non-enzimatis, daya serap air dan daya cerna pati in vitro. Sementara daya cerna protein in vitro dan derajat putih akan mengalami penurunan. Penilaian secara organoleptik skor kesukaan untuk warna, aroma, rasa, kerenyahan dan penerimaan biskuit juga mengalami penurunan. Sementara Mardiah (1992) menggunakan tepung tempe untuk makanan tambahan bagi anak.
15
D. Minuman Serbuk Beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan produk pangan siap saji semakin besar. Hal ini disebabkan keinginan konsumen untuk memperoleh produk sesuai keinginan yang mudah dan cepat disajikan baik dengan persiapan minimal maupun tanpa persiapan dalam penyajiannya (Marabi and Saguy 2009). Kelebihan produk dalam bentuk kering antara lain biaya transportasi yang lebih kecil, menambah umur simpan serta kemudahan dalam penggunaan. Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam pengeringan adalah kemampuan rehidrasi dan rekonstitusi produk seperti semula. Kualitas produk yang direhidrasi maupun direkonstruksi dipengaruhi oleh kondisi pengeringan yang digunakan. Selama proses pengeringan terjadi perubahan fisikokimia seperti perubahan tekstur dan struktur, hilangnya komponen volatil dan gizi. Minuman merupakan salah satu dari komponen yang dikonsumsi oleh manusia. Komponen utama dari minuman adalah air. Klasifikasi minuman secara umum dibagi menjadi dua yaitu minuman alkoholik dan non-alkoholik. Minuman non-alkoholik dapat dibagi menjadi air, minuman berbasis susu, minuman berbasis kedelai, sari buah, kopi, teh, minuman ringan dan minuman berenergi (Beverages Institut 2012). Saat ini masyarakat cenderung memilih mengkonsumsi produk dengan kemasan dan cara penyajiannya yang lebih praktis dan cepat karena tidak memerlukan banyak waktu dalam mempersiapkannya. Hal yang mendasari minuman instan adalah kepraktisan karena hanya menyeduh serbuk dengan air hangat kemudian diminum. Serbuk minuman instan dapat digunakan dalam jangka lama karena berbentuk kering sehingga tahan selama penyimpanan sampai waktu tertentu.
1. Pembuatan Minuman Serbuk Minuman instan merupakan minuman siap saji dimana hanya dengan penambahan air dengan atau tanpa penambahan satu atau lebih bahan tambahan lainnya sehingga minuman lebih disukai oleh konsumennya. Kebanyakan minuman instan memiliki bentuk serbuk. Instanisasi memiliki kelebihan antara lain mempermudah proses pendistribusian serta memperpanjang masa simpan produk. Syarat minuman instan adalah dapat dituang tanpa tersumbat, tidak higroskopis, tidak menggumpal, mudah dibasahi serta mudah larut. Pengeringan produk minuman dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain pengering drum, pengering semprot dan pengering beku. Metode pengeringan drum dilakukan dengan mengontakan bahan yang berupa bubur ke permukaan drum yang panas hingga kering. Pengeringan drum ini biasanya menghasilkan produk yang kurang baik karena terjadi karamelisasi, reaksi Mailard dan denaturasi protein yang besar. Produk hasil pengeringan drum biasanya memiliki kelarutan yang cukup kecil. Pengeringan drum biasanya diaplikasikan pada pembuatan bubur instan. Kebanyakan minuman instan diperoleh dengan metode pengeringan semprot. Bahan yang berbentuk emulsi, dispersi maupun larutan dimasukkan ke dalam inlet pengering yang bersuhu 180-220 °C. Pengeringan semprot biasanya menghasilkan produk yang memiliki kelarutan yang baik, flavor yang masih bertahan serta warna yang baik. Metode pengeringan beku menghasilkan produk yang baik seperti pengeringan semprot namun biasanya dihindari karena memerlukan biaya produksi yang cukup besar (Farias and Ratti 2009). Metode lain pembuatan minuman adalah dengan kokristalisasi dimana dilakukan penambahan gula pada larutan hingga diperoleh larutan pekat yang kemudian akan kering. Penambahan gula pada minuman berfungsi untuk kokristalisasi, pengawet, pemanis maupun penambah energi. Pembuatan minuman serbuk dapat juga berasal dari bahan-bahan yang memang sudah berbentuk serbuk. Proses pembuatan produk ini biasa dilakukan dengan pencampuran kering yang
16
relatif hanya pencampuran bahan saja. Hal ini bisa dilihat dalam proses pembuatan susu formulasi yang relatif tidak menggunakan proses lain. Proses pencampuran kering dapat menggunakan alat yang relatif sederhana yakni berupa mixer dengan tipe pengaduk wisk dengan kecepatan putar rendah atau alat pencampur berupa v-tumbler yang dapat menghomogenkan campuran dengan baik. Pada industri pangan, proses pencampuran dapat dilakukan secara batch maupun kontinyu. Pencampuran secara batch biasanya lebih disukai karena menghasilkan produk yang lebih homogen. Kelebihan metode pencampuran kering adalah prosesnya yang lebih sederhana, biaya relatif lebih murah, menghindari reaksi antar bahan dan lebih fleksibel dalam perubahan resep. Proses pencampuran kering ini perlu memperhatikan kecukupan homogenitas bahan yang dicampur.
2. Minuman Berbasis Kedelai Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang digunakan untuk membuat minuman. Produk minuman dari kedelai antara lain susu kedelai, bubuk minuman kedelai, isolat kedelai. Susu kedelai merupakan hasil ekstraksi kedelai yang diperoleh dengan cara pemasakan, penghancuran dan penyaringan. Susu kedelai memiliki konsistensi yang menyerupai susu sapi dan digunakan sebagai pengganti produk susu. Susu kedelai biasa diolah lebih lanjut menjadi makanan penutup seperti es krim dan yogurt kedelai (Boye et al 2010) Salah satu pengolahan kedelai adalah pembuatan minuman berbentuk bubuk. Hal ini didasarkan bahwa pangan dalam bentuk minuman mudah dikonsumsi oleh siapa saja. Sekarang ini banyak sekali produk bubuk minuman berbahan dasar kedelai di pasaran yang memiliki sasaran lebih sebagai minuman kesehatan. Pengolahan kedelai menjadi bubuk minuman dilakukan dengan dua metode. Metode pertama biji kedelai disangrai hingga diperoleh biji kering yang kemudian digiling halus. Metode kedua dilakukan dengan pembuatan sari kedelai yang dilanjutkan dengan pengeringan semprot. Standar bubuk minuman kedelai dapat dilihat pada Tabel 6. Sari tempe merupakan salah satu diversifikasi produk olahan dari tempe kedelai. Proses pembuatan sari tempe meliputi pemotongan, perebusan, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan dan pengemasan aseptis (Syarief et al 1999). Penelitian mengenai sari tempe telah banyak dilakukan. Surya (2011) melakukan pengalengan sari tempe melalui proses sterilisasi yang karakteristik sensorinya tidak berbeda nyata dengan sari tempe segar. Selain itu kapasitas antioksidan sari tempe kaleng yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan sari kedelai UHT komersial.
3. Kerusakan yang Terjadi pada Minuman Serbuk Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya prroduk mengalami perubahan. Produk pangan mengalami penuruan mutu apabila terjadi perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang dapat menurunkan penerimaan konsumen. Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O2 dan CO2, kelembaban relatif dan tekanan. Penurunan mutu biasanya terjadi selama pengolahan, penyimpanan dan distribusi.
17
Tabel 6. SNI 7612-2011 bubuk minuman kedelai Kriteria uji Satuan
No
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal, khas
1.2
Warna
-
Normal
1.3
Rasa
-
Normal
2
Kadar air (b/b)
%
Maks 10.0
3
Kadar abu (b/b)
%
Maks 6.0
4
Kadar lemak (b/b)
%
Min 17.0
5
Kadar protein (Nx6.25) (b/b)
%
Min 30.0
6
Kadar serat kasar (b/b)
%
Maks 3.0
7
Cemaran logam
7.1
Kadmium (Cd)
mg/kg
Maks 0.2
7.2
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 0.25
7.3
Timah (Sn)
mg/kg
Maks 40
7.4
Merkuri (Hg)
mg/kg
Maks 0.03
8
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
Maks 0.25
9
Cemaran mikroba
9.1
ALT (35°C, 48 jam)
koloni/g
Maks 5x104
9.2
Bakteri koliform
APM/g
Maks 1x102
9.3
Escherichia coli
APM/g
<3
9.4
Salmonella sp
-
Negatif/25 g
9.5
Staphylococcus aureus
-
Negatif/g
9.6
Bacillus cereus
koloni/g
Maks 1x102
9.7
Kapang
koloni/g
Maks 5x10
Sumber: BSN (2011)
18
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat varietas kedelai impor yang diberi kode A, B, G2 dan H. Kedelai A merupakan kedelai komersial yang sudah banyak beredar di pasaran yang diperoleh dari industri tempe rumah tangga di daerah Leuwiliang Bogor, sementara tiga kedelai lainnya merupakan kedelai impor varietas baru yang sedang dikembangkan yang diperoleh dari Forum Tempe Indonesia. Laru tempe yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah laru tempe produksi Pusat Penelitian Kimia LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Bandung. Bahan tambahan lainnya yaitu gula dan coklat bubuk serta bahan pembanding bubuk minuman kedelai M yang sudah beredar di pasaran. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah akuades, K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, larutan Na2S2O3, HCl 0.02 N, HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, larutan buffer Na-fosfat, pereaksi DNS, larutan maltosa standar, larutan enzim α-amilase, kertas saring, indikator MM dan MB serta heksan. Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe adalah timbangan analitik, pisau, talenan, steamer, oven pengering rak, disc mill, ayakan, baskom, sendok dan gelas. Sementara alat untuk analisis yaitu penetrometer, chromameter, mikrometer, timbangan analitik, gelas piala, gelas ukur, gelas pengaduk, cawan porselen, buret, tanur listrik, oven, pH meter, desikator, oven pengering, labu Kjeldahl dan alat gelas lainnya.
B. Metode Penelitian Pembuatan minuman berbasis tempe kedelai dilakukan dengan menggunakan tempe segar yang diolah terlebih dahulu menjadi tepung. Pemilihan metode pengering rak dalam pembuatan tepung diharapkan agar keseluruhan bagian tempe dapat diikutsertakan serta pada proses pengolahan tidak menyisakan produk samping. Tahap-tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
1. Pembuatan Tempe Kedelai Pembutan tempe dilakukan di salah satu industri rumah tangga di daerah Leuwiliang, Bogor. Proses pembuatan tempe dilakukan secara tradisional seperti yang biasa dilakukan oleh produsen tempe bersangkutan. Kedelai dalam kondisi terbungkus kain saring direbus selama 3 jam. Selanjutnya kedelai yang telah direbus tersebut direndam air selama satu malam dengan tujuan untuk melunakkan biji dan terjadi fermentasi asam laktat. Setelah direndam kedelai dipisahkan dari kulitnya menggunakan mesin pengupas dan dicuci bersih hingga aroma asam hilang. Kedelai yang telah bersih kemudian ditambahkan ragi tempe sesuai takaran. Setelah dilakukan pencampuran secara homogen, kedelai kemudian dikemas dengan plastik yang telah dilubangi dan diperam. Selama pemeraman dilakukan pembalikan dan penambahan lubang kemasan untuk mengurangi kandungan air dalam plastik. Setelah pemeraman selama 48 jam akan diperoleh tempe dengan tingkat kematangan optimum.
19
Karakterisasi fisik dan kimia kedelai
Pembuatan tempe
Karakterisasi tempe, perbandingan tempe dari bahan baku
Pembuatan tepung tempe
Karakterisasi tepung tempe, perbandingan dengan bubuk kedelai komersial
Formulasi minuman Pemilihan formulasi terpilih
Karakterisasi fisik dan kimia minuman tepung tempe Gambar 1. Diagram alir penelitian
2. Pembuatan Tepung Tempe Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan metode oven pengering rak. Pemilihan metode ini diharapkan untuk mendapatkan keseluruhan komponen dalam tempe tanpa menghasilkan produk samping. Metode pengeringan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan metode Driyani (2009). Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan memotong tempe segar menjadi ukuran 1 cm x 1 cm x 0.2 cm yang kemudian diblansir menggunakan uap 100 °C selama 10 menit. Irisan tempe blansir kemudian dikeringkan dalam pengering rak pada suhu 60 °C selama 6 jam. Tempe kering lalu digiling menggunakan disc mill yang dilengkapi ayakan.
3. Formulasi Minuman Tepung Tempe Pembuatan formula minuman tepung tempe didasarkan pada beberapa hal. Takaran saji yang disarankan pada kemasan bubuk kedelai M adalah 20 gram bubuk minuman ditambahkan 300 ml air dengan atau tanpa penambahan gula dan atau perisa. Penggunaan tepung tempe dilakukan setengah resep dari takaran saji yaitu 10 gram dengan penyeduhan air sebanyak 150 ml atau dapat dilakukan satu resep yaitu 20 gram dengan air 300 ml. Hal ini mengacu pada pembuatan minuman superoralit pencegah diare dimana digunakan tempe seberat 40-50 gram atau 17-20 gram tepung tempe kering ditambahkan satu liter air tajin dan elektrolit natrium klorida, kalsium klorida serta natrium bikarbonat. Formulasi minuman dilakukan berdasarkan preferensi konsumen terhadap minuman kemasan di pasaran. Beberapa minuman serbuk komersial dipasaran memiliki berat berkisar 8-25 gram per kemasan saji. Berat yang kecil dikarenakan penggunaan bahan yang berupa perisa serta pemanis buatan. Sementara untuk minuman seperti kopi susu, beratnya dapat mencapai 31 gram. Berat gula
20
ditentukan dari standar minuman serbuk yaitu 5-15 % dari minuman (Buckle et al 1985). Proses pembuatan minuman tepung tempe dilakukan dengan metode pencampuran kering dimana bahanbahan yang sudah berbentuk kering dicampurkan hingga homogen. Formula minuman yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7.
Formula
Tabel 7. Formulasi minuman tepung tempe W tepung tempe (gram) W gula (gram) W coklat (gram)
W total (gram)
F1
10
15.00
0.00
25.00
F2
10
15.00
0.75
25.75
F3
10
15.00
1.00
26.00
F4
10
18.75
0.75
29.50
F5
10
18.75
1.00
29.75
Pemilihan formulasi terpilih dilakukan dengan analisis organoleptik yaitu uji rating hedonik terhadap 30 panelis tidak terlatih dengan skala 1 sampai 7 yaitu sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), suka (5) agak suka (6), sangat suka (7). Parameter yang dianalisis meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Data yang diperoleh diolah menggunakan program SPSS dengan metode Anova General Linear Model pada taraf 5 % dan uji lanjut Duncan.
C. Metode Analisis Analisis yang dilakukan meliputi analsis fisik, kimia dan organoleptik. Analisis fisik dan kimia dilakukan pada tahap kedelai, tempe, tepung tempe dan minuman tepung tempe. Sementara analisis organoleptik dilakukan pada tahap tempe dan penentuan formulasi minuman tepung tempe.
1. Analisis fisik Analisis fisik dilakukan pada kedelai yaitu panjang biji dan massa per 100 biji. Analisis fisik pada tempe meliputi rendemen, panjang biji tempe dan perhitungan pengembangan panjang biji dari kedelai menjadi tempe. Sementara analisis untuk tepung tempe adalah rendemen,warna, IPA dan IKA. a. Panjang biji dan pengembangan biji Pengukuran panjang biji dilakukan menggunakan mikrometer sebanyak 10 kali. Kedelai utuh dan tempe diukur panjangnya seperti terlihat pada Gambar 2. Pengembangan biji kedelai menjadi tempe diketahui dengan perhitungan
pengembangan biji (%)=
panjang tempe – panjang kedelai panjang kedelai
×100%
Gambar 2. Pengukuran panjang biji kedelai
21
b. Massa per 100 biji Sebanyak 100 biji kedelai diambil secara acak dari dalam karung penyimpan dan ditimbang menggunakan timbangan analitik. c. Rendemen Perhitungan nilai rendemen didasarkan pada perbandingan antara berat akhir dengan berat awal yang digunakan. Perhitungan rendemen tempe dilakukan dengan persamaan
rendemen tempe (%)=
w tempe (gram) ×100% w kedelai (gram)
Sementara perhitungan rendemen tepung tempe dilakukan dengan persamaan
rendemen tepung tempe (%)=
w tepung tempe (gram) ×100% w tempe yang dikeringkan (gram)
d. Analisis warna Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-310. Intensitas zat warna dinyatakan menggunakan notasi Hunter (sistem warna L, a, dan b). Nilai L menunjukkan kecerahan yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) dari 0 hingga 80, sampai warna merah (a positif) dari 0 hingga 100. Notasi b untuk warna biru (b negatif) dari 0 hingga 70 sampai warna kuning (b positif) dari 0 hingga 70. e. Indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) (Ganjyal et al 2006) Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan kedalam 15 ml akuades dalam tabung sentrifugasi hingga terdispersi merata. Sampel kemudian disentrifuse pada 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh ditimbang dan hitung IPA dengan persamaan
IPA (gram/gram)=
w (tabung+residu) (gram)-w tabung (gram) w sampel (gram)
Sebanyak 2 ml supernatan dimasukkan ke dalam cawan kemudian dioven 100 °C selama 4 jam hingga diperoleh bobot tetap kemudian ditimbang hasilnya. Perhitungan IPA dan IKA menggunakan persamaan
IKA (gram/ml)=
w akhir (gram)-w cawan (gram) 2 ml
2. Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat dan analisis daya cerna protein in vitro. a. Kadar air (SNI 01-2891-1992) Sampel sejumlah 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dan cawan kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C
22
selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar air digunakan persamaan kadar air (%bb) =
w(c+s) -wa ×100 ws
kadar air (%bk) =
w(c+s) -wa ×100 wa -wc
Keterangan: ws = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram) w(c+s) = bobot sampel ditambah cawan kering kosong ( gram ) wc = bobot cawan kosong (gram) wa = bobot akhir (gram) b. Kadar abu (SNI 01-2891-1992) Timbang 2-3 gram sampel ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Sampel dirahkan di atas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 °C sampai pengabuan selesai (sekali-sekali pintu tanur dibuka sedikit agar oksigen bisa masuk). Dinginkan dalam desikator lalu ditimbang hingga bobot tetap. Perhitungan kadar abu digunakan persamaan kadar abu (%bb)=
wa -wc ×100 ws
kadar abu (%bk)=
kadar abu (%bb) 100-kadar air(%bb)
Keterangan: ws = bobot sampel sebelum diabukan (gram) wc = bobot cawan kosong (gram) wa = bobot akhir (gram) c. Kadar protein (AOAC 1995) Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Sampel kemudian ditambahkan 1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 ml H2SO4. Sampel ditambahkan 2-3 butir batu didih dan dididihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu secara bertahap hingga cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan. Sampel ditambahkan sejumlah kecil air destilata secara perlahan dan goyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata, air destilata tersebut dipindahkan ke labu destilasi. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH - 5% Na2S2O3. Letakkan erlenmeyer 250 ml berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator metilen red-metilen blue dibawah kondensor hingga ujungnya terendam. Lakukan destilasi hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Encerkan destilat hingga 50 ml. Titrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan persamaan
23
kadar protein (%bb)=
kadar protein (%bk)=
(VHCl (contoh) - VHCl (blanko) ) x NHCl x 14.007 ws (mg)
× 100 × 6.25
kadar protein (%bb) 100 - kadar air (%bb)
d. Kadar lemak (SNI 01-2891-1992) Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram sampel dibungkus kertas saring dan dioven pada 80 °C selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Kondensor dirangkaikan pada bagian atas dan bagian bawahnya dihubungkan dengan labu lemak yang berisi 30 ml pelarut heksana di atas heating mantle. Refluks dilakukan selama kira-kira 6 jam. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari tabung soxhlet dan dilakukan destilasi heksana. Labu lemak yang berisi lemak sampel hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 °C selama 30 menit hingga pelarut menguap seluruhnya. Setelah dikeluarkan dari oven, labu lemak didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan kemudian ditimbang. Perhitungan kadar lemak digunakan persamaan kadar lemak (%bb)=
wa -wl ×100 ws
kadar lemak (%bk)=
kadar lemak (%bb) 100 - kadar air (%bb)
Keterangan: ws = bobot sampel (gram) wa = bobot labu lemak dan lemak hasil ekstraksi (gram) wl = bobot labu lemak kosong (gram) e. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat diperoleh dengan metode perhitungan dengan persamaan kadar karbohidrat (%bb) = 100 - (W+A+P+F) kadar karbohidrat (%bk)=
kadar karbohidrat (%bb) 100-kadar air (%bb)
Keterangan: W = kadar air (%bb) A = kadar abu (%bb) P = kadar protein (%bb) F = kadar lemak (%bb) f. Perhitungan total energi (Muctadi et al 2006) Energi diperoleh dari pembakaran komponen protein, lemak dan karbohidrat pada produk pangan. Perhitungan energi ditentukan dengan mengalikan hasil analisis proksimat kadar protein, lemak dan karbohidrat basis basah dengan faktor Atwater-Bryant yaitu
24
Energi (kkal/100 gram)=(4 kkal/gram×P)+(9 kkal/gram×F)+(4 kkal/gram×C) Keterangan: P = kadar protein (%bb) F = kadar lemak (%bb) C = kadar karbohidrat (%bb) g. Perhitungan persen AKG Perhitungan kecukupan energi dihitung dari jumlah komposisi kimia yang terdapat dalam produk pangan dalam satu kali konsumsi atau takaran saji. Perhitungan jumlah komponen per takaran saji dapat dilakukan dengan menghitung dari komposisi kimia hasil analisis proksimat. Jika diasumsikan komposisi proksimat dihasilkan 100 % untuk 100 gram, maka jumlah komponen kimia per takaran saji dapat dihitung dengan persamaan
Komposisi gizi per takaran saji=
takaran saji ×kadar gizi (%bb) 100 gram
Perhitungan % AKG dilakukan berdasarkan kebutuhan gizi harian yang besarnya protein 50 gram/hari, lemak 55 gram/hari dan karbohidrat 325 gram/hari untuk memenuhi diet 2000 kkal. Untuk menghitung persen yang telah dipenuhi dengan konsumsi sebanyak takaran saji dapat dihitung dengan persamaan
% AKG=
jumlah komponen per takaran saji × 100% angka kebutuhan zat gizi
h. Analisis daya cerna protein in vitro metode Hsu (Muchtadi 2010b) Analisis diawali dengan pembuatan larutan multienzim yang terdiri dari 1.6 mg tripsin, 3.1 mg kimotripsin dan 1.3 mg peptidase per ml aquades. Sejumlah sampel yang telah diketahui kadar proteinnya disuspensikan dalam aquades hingga konsentrasi nitrogennya mencapai 6.25 mg/ml. Perhitungan jumlah sampel per ml dilakukan dengan persamaan
massa sampel per ml air = 6.25 ×
100 kadar protein (%bk)
Sebanyak 25 ml suspensi diatur pH-nya hingga 8.00. Sampel diinkubasi pada suhu 37 °C selama 5 menit. Sampel ditambahkan larutan multi enzim sebanyak 2.5 ml. Sampel diangkat dari penangas pada menit ke 10 setelah penambahan enzim dan diukur pH-nya. Daya cerna protein dihitung dengan persamaan y = 210.464 - 18.103x Keterangan: y = daya cerna protein x = pH pada menit ke 10
25
3. Analisis organoleptik Analisis organoleptik dilakukan dengan melarutkan masing-masing sampel minuman hasil formulasi dengan 150 ml air hangat. Sampel disajikan terhadap panelis dalam keadaan hangat setelah dilakukan pengadukan. Panelis diharap mengisi form berdasarkan tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan.
4. Rancangan percobaan dan analisis data Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (Randomized Complete Design) dengan dua kali ulangan. Faktor yang digunakan adalah perlakuan empat varietas kedelai A, B, G2 dan H. Model rancangan percobaan yang dilakukan adalah Yi = μ + ρ + εi Keterangan: Yi = nilai pengamatan respon karena pengaruh penggunaan varietas kedelai i = banyaknya ulangan µ = pengaruh rerata ρ = pengaruh perlakuan penggunaan varietas kedelai εi = pengaruh error (galat) pada ulangan ke-i Data yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap karakteristik produk dihitung menggunakan program Microsoft Excel 2007 selanjutnya diuji secara statistik menggunakan program SPSS 16.0. Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan analisis ragam dengan One-way Anova untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada karakteristik sampel yang diuji. Jika diketahui bahwa karakteristik sampel berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji lanjut Tukey sehingga dapat diketahui seberapa besar perbedaan antar sampel. Sementara pada analisis organoleptik rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Blok Acak Lengkap (Randomized Complete Block Design) dimana model yang digunakan adalah Yij = μ +
+
+ εij
Keterangan: Yij = nilai pengamatan respon karena pengaruh penggunaan tempe atau formula minuman i = banyaknya sampel j = banyaknya panelis τ = pengaruh rerata β = pengaruh perlakuan penggunaan varietas kedelai εij = pengaruh error (galat) pada ulangan ke-i dan blok j Data yang diperoleh dari hasil analisis dihitung menggunakan program Microsoft Excel 2007 selanjutnya diuji secara statistik menggunakan program SPSS 16.0. Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan analisis ragam dengan Anova multivariat untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada karakteristik sampel yang diuji. Jika diketahui bahwa karakteristik sampel berbeda
26
nyata, dilakukan dengan uji lanjut Duncan untuk mendapatkan subset sampel sehingga dapat dilihat kelompok-kelompok sampel yang berbeda.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Kedelai Kedelai merupakan salah satu tanaman kacang-kacangan yang banyak digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan produk makanan. Kualitas kedelai berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Salah satu faktor internal yang berpengaruh terhadap kualitas kedelai adalah varietas. Masing-masing varietas berbeda dalam ukuran, bentuk, warna, kadar protein, kadar lemak dan flavor. Universitas Illinois memiliki koleksi kedelai sekitar 20000 varietas. Varietas kedelai komersial dari Amerika Serikat berjumlah kurang dari 10 % dari varietas yang ada. Selain faktor internal, kualitas kedelai juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti tempat produksi, cuaca dan nutrisi tanah (Clarkson 2006). Pemilihan kedelai sebagai bahan baku suatu produk pangan diputuskan berdasarkan beberapa hal, salah satunya jenis produk yang akan dibuat. Industri tempe biasanya memilih bahan baku berupa kedelai kuning dengan ukuran biji besar. Sifat ini dapat diperoleh dengan penggunaan kedelai impor yang memiliki kualitas baik dan seragam serta ukuran biji yang lebih besar dibandingkan kedelai lokal. Selain itu kedelai impor juga dapat memberikan rendemen tempe 25 % lebih besar. Hal ini berbeda pada kasus industri tahu, dimana bahan baku kedelai yang biasa dipilih merupakan kedelai yang memiliki kadar protein tinggi agar diperoleh rendemen tahu yang lebih besar. Produsen tahu lebih memilih kedelai lokal yang biasanya dipasarkan pada umur penyimpanan yang masih baru sehingga kadar protein didalamnya masih besar (Suharno dan Mulyana 1996). Sarwono dan Saragih (2003) menyebutkan bahwa varietas kedelai lokal yang memberikan rendemen tahu yang besar adalah Dempo dan Shakti yang besarnya lebih dari 220 %. Varietas Wilis, No 129 dan Galunggung menghasilkan tahu dengan rasa yang baik meskipun rendemennya hanya sedang yaitu 190-220 %. Varietas Shakti merupakan kedelai varietas lokal yang menghasilkan tahu dengan rendemen besar serta rasa yang baik. Untuk industri susu kedelai, produsen menghendaki kedelai yang berwarna kuning sementara industri kecap menggunakan kedelai hitam (Ginting et al 2009). Karakterisasi kedelai sebagai bahan baku perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kedelai terhadap produk yang dihasilkan.
1. Karakteristik Fisik Kedelai Kedelai yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari empat varietas kedelai impor asal Amerika Serikat. Kedelai A merupakan kedelai komersial yang telah dipasarkan di Indonesia, sementara kedelai B, G2 dan H merupakan tiga kedelai impor varietas baru yang diperoleh dari Forum Tempe Indonesia. Karakter fisik yang dianalisis dari kedelai adalah panjang biji dan massa per 100 biji. Karakteristik fisik kedelai dapat dilihat pada Tabel 8 sementara data analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Keempat kedelai pada penelitian ini merupakan kedelai kuning. Kedelai B dan G2 memiliki tingkat kebersihan yang baik. Pada kedelai A masih ditemukan butir belah dan butir keriput serta kontaminasi berupa potongan kecil ranting dan biji jagung. Sementara pada kedelai H masih ditemukan kedelai hitam. Kedelai A memiliki penampakan bulat dengan ukuran biji paling kecil dibandingkan ketiga varietas kedelai lainnya. Kedelai G2 dan H juga memiliki bentuk yang cenderung bulat, sementara kedelai B memiliki bentuk yang cenderung lonjong. Pengukuran secara geometri
28
dilakukan hanya satu dimensi, namun dapat dilihat dari panjang biji bahwa kedelai B memiliki panjang biji paling besar dibandingkan ketiga varietas kedelai lain dan berbeda nyata pada taraf 0.05.
Parameter
Kedelai A
Tabel 8. Karakteristik fisik kedelai Kedelai B Kedelai G2
Kedelai H
Gambar
Bulat, terdapat
Lonjong, ukuran
butir belah dan
besar
Bulat, ukuran kecil
Bulat, terdapat biji kedelai hitam
keriput Panjang biji (mm) Massa 100 biji (gram) Kategori biji
4.76 a
6.53 c
5.13 ab
5.44 b
14.81 a
20.01 c
18.43 b
15.90 a
besar
besar
besar
besar
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05)
Berdasarkan besar dan bobot bijinya, kedelai dibedakan menjadi tiga yaitu berbiji besar (13 gram per 100 biji), berbiji sedang (11-13 gram per 100 biji) dan berbiji kecil (7-11 gram per 100 biji) (Cahyadi 2004). Perbedaan ukuran biji merupakan akibat dari lingkungan selama masa pertumbuhan biji yang berpengaruh langsung pada rendemen tanaman (Egli 2010). Dilihat dari massa per 100 biji, keempat varietas kedelai dapat digolongkan memiliki ukuran biji yang besar. Meskipun dilihat dari panjang biji kedelai H berbeda dengan kedelai A yang merupakan kedelai komersial, namun kedelai H memiliki massa per 100 biji yang tidak berbeda nyata dengan kedelai A. Kedelai B memiliki massa per 100 biji yang berbeda nyata pada taraf 0.05. Kedelai dengan ukuran biji yang besar disukai sebagai bahan baku pada industri tempe. Sementara pada industri tahu dan susu kedelai, ukuran biji tidak menjadi pertimbangan utama pemilihan bahan baku produk.
2. Komposisi Kimia Kedelai Kadar zat gizi bahan pangan dapat beragam diakibatkan oleh banyak faktor yang saling bergantungan antara lain faktor genetik, sinar matahari, curah hujan, topografi, tanah, lokasi, musim, pemupukan dan derajat kemasakan (Harris 1989). Karakteristik kimia yang diukur dari kedelai meliputi analisis proksimat dan daya cerna protein dimana rekapitulasi hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9 sementara data analisis lengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.
29
Parameter
Tabel 9. Komposisi kimia sampel kedelai Kedelai A Kedelai B Kedelai G2 a
8.94 a
9.03
Kadar abu (%bk)
5.52 b
5.07 a
5.68 c
5.46 b
Kadar protein (%bk)
38.44 bc
37.98 ab
38.85 c
37.58 a
Kadar lemak (%bk)
25.75 c
25.27 b
22.74 a
22.76 a
Kadar karbohidrat (%bk)
30.29
31.68
32.73
34.20
DC protein (%)
70.80
70.35
a
8.82
Kedelai H
a
Kadar air (%bb)
a
8.81
a
70.17
a
70.80 a
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05)
Air merupakan salah satu unsur kimia yang terdapat dalam bahan pangan, termasuk didalam kedelai. Pemanenan kedelai biasa dilakukan pada kedelai dengan kadar air 13-15 % untuk mengurangi resiko kehilangan karena pecahnya polong kedelai. Untuk meningkatkan umur simpan, kacangkacangan biasanya dikeringkan hingga diperoleh kadar air sekitar 10-14 %. Penyimpanan pada kadar air 10-11 (%bb) dapat memberikan umur simpan kedelai hingga empat tahun (Ghosh and Jayas 2010). Pembagian mutu kedelai berdasarkan SNI 01-3922-1995 didasarkan oleh beberapa kriteria mutu, salah satunya adalah kadar air. Kedelai mutu I memiliki kadar air maksimal 13 %, mutu II dan III memiliki kadar air maksimal 14 % dan kedelai mutu IV dengan kadar air maksimal 16 %. Berdasarkan data yang diperoleh, kadar air keempat kedelai berkisar 8.81-9.03 % dan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Kedelai varietas B memiliki kadar air terendah yang besarnya 8.81 %, sementara kedelai varietas A memiliki kadar air tertinggi yaitu 9.03 %. Jika hanya dilihat dari kadar air, keempat kedelai dapat dimasukkan dalam mutu I. Namun hal ini tidak dapat disimpulkan karena penentuan mutu juga menggunakan parameter lain yaitu butir belah, butir rusak, butir warna lain, kotoran dan butir keriput (BSN 1995). Abu dimaksudkan sebagai bagian bahan pangan yang tidak dapat terbakar karena mengandung berbagai mineral di dalamnya. Semakin besar persentase abu diartikan semakin tinggi pula jumlah mineralnya. Kedelai memiliki kadar abu berkisar 5-6 % (Kumar et al 2010, Sugano 2006). Hasil analisis kedelai dari keempat varietas menghasilkan angka kadar abu dalam persentase basis kering (%bk) untuk varietas A sebesar 5.52, varietas B sebesar 5.07, varietas G2 sebesar 5.68 dan varietas H sebesar 5.46. Berdasarkan hasil pengolahan statistik, keempat kedelai memiliki kadar abu yang berbeda nyata pada taraf 0.05. Kedelai diketahui mengandung berbagai jenis mineral. Mineral dengan konsentrasi paling tinggi di dalam kedelai adalah kalium (2.3 %) yang direkomendasikan untuk mengurangi resiko hipertensi. Sementara itu mineral utama kedelai antara lain kalsium (0.2 %), magnesium (0.3 %), dan fosfor (0.6 %) (Kumar et al 2010). Kelebihan kedelai dibandingkan kacang-kacangan lainnya adalah kadar proteinnya yang tinggi. Selain kadar proteinnya yang hampir menyamai protein hewani, kedelai juga memiliki kandungan asam amino yang agak berbeda dengan protein nabati lainnya. Kedelai memiliki kandungan asam amino esensial dalam jumlah yang cukup meskipun kadar asam amino belerang yaitu metionin dan sistein lebih rendah dibandingkan pola yang direkomendasikan oleh FAO (Muchtadi 2010a). Kadar protein kedelai umumnya sekitar 35 %, namun beberapa varietas tertentu dapat mencapai 45 %. Kedelai yang dipakai pada penelitian ini memiliki kadar protein yang cukup tinggi yaitu varietas A sebesar 38.44 (%bk), varietas B sebesar 37.98 (%bk), varietas G2 sebesar 38.85 (%bk) dan varietas H sebesar 37.58 (%bk). Varietas G2 memiliki kadar protein tertinggi meskipun berdasarkan pengolahan statistik berada pada subset yang sama dengan kedelai komersial A. Kedelai varietas lokal memiliki
30
kadar protein yang dapat mencapai lebih dari 40 %. Kadar protein kedelai lokal memungkinkan untuk menghasilkan bobot dan tekstur tahu yang lebih baik dibandingkan kedelai impor (Ginting et al 2009). Kadar protein kedelai yang tinggi didukung pula oleh daya cernanya yang juga tinggi. Berdasarkan hasil analisis daya cerna protein yang dilakukan diketahui keempat kedelai memiliki daya cerna protein sekitar 70 % dan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Daya cerna protein berhubungan erat dengan ketersediaan protein bagi tubuh. Kedelai mengandung zat antigizi salah satunya antitripsin yang dapat menghalangi kecernaan protein dalam tubuh. Pengolahan kedelai menjadi produk pangan dapat mengurangi bahkan menghilangkan kandungan zat antigizi tersebut. Selain memiliki kadar protein yang tinggi, kedelai juga dikenal sebagai sumber lemak yang baik. Kadar lemak kedelai dapat mencapai 20 %. Kadar lemak yang diperoleh dari hasil analisis untuk varietas A sebesar 25.75 (%bk), varietas B sebesar 25.72 (%bk), varietas G2 sebesar 22.74 (%bk) dan varietas H sebesar 22.76 (%bk). Lemak kedelai merupakan lemak baik karena tinggi akan asam lemak tak jenuh yang merupakan asam lemak esensial bagi tubuh. Kadar karbohidrat kedelai dilakukan dengan metode by difference dimana nilainya berkisar antara 30.29 hingga 34.20 (%bk). Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 30 % yang dikelompokkan menjadi dua yaitu gula-gula larut air (sukrosa, stakiosa dan rafinosa) serta serat tidak larut. Kedelai kaya akan oligosakarida yaitu rafinosa (0.5 %) dan stakiosa (4.0 %). Meskipun diketahui dapat menimbulkan gejala flatulensi, oligosakarida diketahui memiliki manfaat bagi tubuh. Adanya oligosakarida dapat memicu tumbuhnya bifidobacteria dalam usus. Mikroflora ini dipercaya dapat menurunkan resiko kanker usus besar dan penyakit pencernaan lainnya (Golbitz and Jordan 2006). Selain itu oligosakarida juga mampu mencegah tumbuhnya bakteri patogen (Clostridium perfringensis, Escherichia coli, Salmonella, Campylobacter dan Listeria) serta mampu menambah serat sehingga dapat menyerap racun dan bakteri gram negatif dan mengeluarkannya dari saluran pencernaan (Kumar et al 2010). Selain dilihat dari karakteristik fisik dan komposisi kimia kedelai, hal yang menjadi pertimbangan untuk memilih kedelai sebagai bahan baku produk pangan adalah keamanan dari produk bersangkutan. Rekayasa genetika telah dilakukan oleh beberapa negara untuk menghasilkan produk pertanian yang lebih baik. Rekayasa genetik pada kedelai menghasilkan varietas dengan karakteristik spesifik seperti rendemen yang tinggi, ketahanan terhadap penyakit, kualitas minyak yang baik dan sebagainya. India telah menghasilkan sekitar 80 varietas kedelai hasil rekayasa genetik sejak pertengahan 1960-an. Sementara itu China telah membudidayakan sekitar 134 kultivar hasil rekayasa genetik pada 25 % area tanam sejak tahun 1980-an (Mishra and Verma 2010). Negara-negara di Amerika Selatan seperti Argentina dan Brazil telah mengijinkan penggunaan varietas kedelai hasil rekayasa genetik untuk dibudidayakan (Chianu et al 2010). Meskipun penggunaan rekayasa genetik telah berhasil menghasilkan produk pertanian yang lebih baik, keamanan produk bagi kesehatan manusia dan lingkungan masih diteliti. Oleh karena itu perlu kewaspadaan terhadap produk transgenik yang mungkin banyak beredar di pasaran.
B. Karakterisasi Tempe Kedelai Tempe merupakan salah satu produk olahan kedelai yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Produk ini diperoleh dengan cara memfermentasi kedelai menggunakan kapang Rhizopus. Tempe memiliki penampakan dan komposisi gizi yang berbeda dibandingkan kedelai maupun produk olahan kedelai lainnya. Pada penelitian ini, pembuatan tempe dilakukan di salah satu industri tempe rumah tangga milik Bapak Warsori yang berlokasi di Dusun Warnasari Desa Cibeber, Leuwiliang Bogor. Prosedur yang digunakan untuk pengolahan tempe sampel sama dengan prosedur pengolahan tempe komersial
31
sehari-hari yang dilakukan oleh industri tersebut. Dengan demikian akan diperoleh tempe dengan karakter normal tempe di pasaran. Metode pengolahan tempe yang dilakukan pada industri bersangkutan adalah perebusan kedelai, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, penambahan starter, pengemasan dan pemeraman.
1. Karakteristik Fisik Tempe Karakteristik fisik yang dianalisis dari tempe adalah rendemen dan panjang biji tempe. Rekapitulasi hasil analisis karakteristik fisik tempe dapat dilihat pada Tabel 10 sementara data lengkap analisis dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Proses fermentasi akan membentuk tempe yang berupa padatan kompak dari biji kedelai yang diselimuti oleh hifa kapang (Golbitz and Jordan 2006). Tempe berkualitas baik dicirikan oleh warna putih bersih dan merata pada permukaannya, struktur yang homogen dan kompak serta rasa dan aroma khas tempe. Sedangkan tempe kualitas buruk ditandai dengan permukaan yang basah, struktur tidak kompak, bercak hitam, berbau amonia dan alkohol serta beracun (Astawan 2009). Tempe yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki ciri-ciri sebagaimana ciri tempe dengan kualitas baik dimana butir-butir kedelai diselimuti oleh hifa kapang secara merata, tekstur yang kompak dan aroma khas tempe. Namun pada tempe dari kedelai varietas G2 batch pertama terdapat penyimpangan yaitu aroma yang terlalu tajam. Tempe G2 memiliki aroma kapang yang sedikit menyengat. Hal yang menyebabkan penyimpangan diduga dapat terjadi selama proses produksi maupun transportasi. Produksi tempe dilakukan dengan metode perebusan kedelai, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, penambahan starter, pengemasan dan pemeraman. Kesalahan selama proses produksi yang mungkin antara lain pemberian starter ragi yang melebihi kadar yang seharusnya serta kondisi pemeraman yang mungkin berbeda. Penambahan starter pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe merupakan salah satu hal yang penting dalam pembuatan tempe. Penambahan ragi dilakukan 1 gram per kg kedelai, atau disebutkan dalam kemasan 1 sdm untuk 10 kg kedelai. Pada industri tempe, penambahan ragi dilakukan dengan takaran rumah tangga sehingga memungkinkan penambahan yang kurang tepat. Hal ini mungkin menyebabkan penambahan starter yang tidak sesuai dengan takaran. Penambahan jumlah inokulum dapat mempengaruhi waktu pemeraman. Dengan kondisi yang sama, penambahan atau pengurangan jumlah inokulum akan mempersingkat atau memperpanjang waktu pemeraman (Sudigbia 1996). Kedelai yang telah ditambahkan starter kemudian ditimbang berdasarkan berat tertentu dan dikemas menggunakan plastik yang telah dilubangi. Kedelai kemudian diletakkan pada ruang khusus yang terdiri dari rak-rak tempat pemeraman. Kondisi pemeraman juga berpengaruh terhadap kualitas tempe yang dihasilkan. Pada hari kedua dilakukan pembalikan disertai penambahan lubang pada kemasan plastik untuk menjaga kondisi tempe agar tidak berkeringat. Pemeraman yang kurang baik dapat memberikan hasil tempe yang tidak baik. Selain itu penyebab penyimpangan juga dimungkinkan terjadi pada saat transportasi. Kondisi yang terlalu padat dan rapat dapat menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu cepat. Pertumbuhan kapang sejalan dengan jumlah zat sisa metabolisme yang dihasilkan yang berpengaruh terutama terhadap rasa dan aroma tempe yang dihasilkan.
32
Parameter
Kedelai A
Tabel 10. Karakteristik fisik tempe Kedelai B
Kedelai G2
Kedelai H
Normal, tekstur kompak,
Normal, testur kompak,
warna bulir putih
warna bulir putih
kekuningan dengan hifa
kekuningan dengan hifa
putih
putih
Gambar
Penampakan
Penampakan normal, tekstur kompak, warna bulir putih kekuningan dengan hifa putih
Normal, tekstur kompak, ukuran biji besar, warna bulir kekuningan dengan hifa putih
163.53 a
175.24 a
179.59 a
171.59 a
Panjang biji (mm) *
8.02 a
10.84 c
8.31 a
9.81 b
Pengembangan biji (%) **
68.56
65.93
62.15
80.50
Rendemen (%)
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05) * Rata-rata dari 100 biji kedelai yang diambil secara acak ** Perhitungan dari rata-rata panjang biji kedelai menjadi panjang biji tempe
33
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, rendemen tempe yang diperoleh berkisar antara 163.53 % sampai 175.24 % dari bahan baku kedelai kering dan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Kedelai A memberikan rendemen paling rendah, sementara kedelai G memberikan rendemen tertinggi. Pengolahan kedelai menjadi tempe dilakukan dengan menghilangkan bagian kulit yang besarnya sekitar 8-12 % (Jones 1975). Tempe merupakan salah satu produk pangan yang memiliki kadar air yang tinggi. Selama proses perebusan dan perendaman kedelai akan menyerap air sehingga massa dan volumenya akan bertambah. Pada tahap tersebut juga akan terjadi pelunakan jaringan serta pengurangan intensitas langu kedelai. Kedelai yang telah direbus dan dikupas kemudian ditambahkan ragi sebagai starter proses fermentasi. Selama proses pemeraman ragi tempe akan menghasilkan massa hifa yang mengikat butir-butir kedelai menjadi kesatuan yang kompak. Penambahan massa hifa ini akan memperbesar rendemen tempe yang dihasilkan. Produsen tempe biasanya memilih kedelai dengan ukuran biji yang besar agar dapat memperoleh rendemen dan volume tempe yang baik. Berdasarkan analisis statistik dari data yang dihasilkan, tempe B memiliki panjang biji yang berbeda nyata dibandingkan ketiga varietas lainnya. Sementara dilihat dari ukuran bijinya, tempe B memiliki ukuran biji yang paling besar. Kedelai impor lebih banyak dipilih karena memiliki penampakan yang bersih serta ukuran bijinya yang besar. Selain itu pasokan kedelai impor lebih stabil dibandingkan kedelai lokal. Ginting et al (2009) melakukan penelitian pembuatan tempe dengan menggunakan beberapa varietas kedelai lokal dibandingkan dengan kedelai impor. Hasilnya kedelai varietas Burangrang, Bromo dan Argomulyo menghasilkan tempe yang tidak berbeda nyata dengan tempe yang diproduksi dari kedelai impor. Selain penampakannya yang lebih bersih, rendemen tempe yang dihasilkan juga lebih banyak.
2. Komposisi Kimia Tempe Tempe dikenal sebagai makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi. Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam pembuatan tempe yang dapat memberikan kebaikan berupa flavor yang enak serta komponen gizi yang baik. Komposisi kimia yang terkandung dalam tempe dapat dilihat dalam Tabel 11, sementara data analisisnya pada Lampiran 11, 12, 13, 14 dan 15.
Parameter Kadar air (%bb) Kadar abu (%bk)
Tabel 11. Komposisi kimia sampel tempe kedelai Tempe A Tempe B Tempe G2 64.23 2.53
a
a
49.83
a
Kadar lemak (%bk)
24.42
b
Kadar karbohidrat (%bk)
23.22
Kadar protein (%bk)
DC protein (%)
63.90 2.31
a a
49.91
a
21.41
ab
26.37
64.43 3.02
a
a
50.48
a
19.15
a
27.35
Tempe H 65.46 2.45
a
a
SNI * ≤ 65.00 ≤ 4.29
51.17
a
≥ 45.71
19.91
ab
≥ 28.57
26.47
Tidak dilakukan analisis
-
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05) * SNI 3144-2009 tentang tempe kedelai (BSN 2009)
Tempe merupakan salah satu produk pangan yang memiliki umur simpan relatif singkat. Hal ini dikarenakan oleh kadar air tempe yang tinggi serta keberadaan kapang yang berperan penting dalam proses pengolahan tempe. Menurut SNI 3144:2009, kadar air tempe maksimal 65 %. Tempe dari varietas A, B dan G2 memiliki kadar air dibawah 65 %, sementara tempe dari kedelai varietas H memiliki kadar air 65.46 % yang sedikit melebihi ketentuan SNI. Namun berdasarkan pengolahan
34
statistik diperoleh bahwa kadar air tempe H tidak berbeda nyata dengan ketiga tempe lainnya. Dilihat dari rendemen dan pengembangan panjang biji pada tempe H yang besar, dimungkinkan penyerapan air pada kedelai H relatif lebih besar. Proses perendaman mengakibatkan berat kedelai mencapai hingga 2.2 kali berat awalnya (Muchtadi 2010a). Keberadaan air yang besar akan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme menjadi lebih tinggi yang memicu kerusakan tempe menjadi lebih cepat. Kadar abu pada tempe yang dihasilkan memiliki nilai tertinggi pada sampel G2 sebesar 3.02 (%bk). Kadar abu tempe dalam penelitian ini masih berada dalam rentang SNI yaitu dibawah 1.5 (%bb) atau 4.29 (%bk). Kadar abu diasosiasikan dengan jumlah mineral dalam produk pangan. Meskipun kadar abu pada tempe cenderung lebih rendah dibandingkan kedelai, namun pengolahan kedelai menjadi tempe diketahui mampu menghilangkan senyawa antigizi seperti fitat yang biasa menghalangi penyerapan mineral dalam sistem pencernaan. Kadar protein tempe yang dihasilkan berkisar 49.83-51.1 (%bk) yang tidak berbeda nyata berdasarkan pengolahan statistik pada taraf 0.05. Dibandingkan dengan kedelai, kadar protein tempe mengalami kenaikan. Protein tempe dinilai sebagai protein yang memiliki kualitas hampir sama dengan protein hewani. Tempe segar memiliki kadar protein sekitar 19.5 (%bb), dibandingkan dengan ayam (21 %bb), daging sapi (20 %bb), telur (13 %bb) (Shurtleff and Aoyagi 2001). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis daya cerna pada tahap tempe. Hal ini dikarenakan analisis daya cerna menggunakan metode Hsu memerlukan data kadar protein. Tempe memiliki daya cerna sekitar 80 % (Cahyadi 2009). Dilihat dari kadar protein dan daya cerna protein tempe cenderung lebih besar dibandingkan kedelai, pembuatan tempe kedelai untuk menjadi minuman menjadi salah satu potensi pengembangan produk olahan tempe. Kadar lemak tempe cenderung menurun dibandingkan kedelai. Penurunan kadar lemak dalam tempe disebabkan penggunaan asam lemak oleh kapang selama proses fermentasi. Tempe A memiliki kadar lemak tertinggi yaitu 24.42 (%bk), sementara tempe G2 memiliki kadar lemak terendah 19.15 (%bk) yang berbeda nyata pada pengolahan statistik taraf 0.05. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tempe mengandung lemak yang sehat karena mengandung asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Meskipun lebih dikenal sebagai sumber protein, tempe juga memiliki kadar karbohidrat yang baik. Kadar karbohidrat tempe berkisar 23.22-27.35 (%bk). Proses fermentasi menguraikan berbagai polisakarida menjadi gula sederhana. Hal ini terjadi terutama oleh aktivitas enzim amilase dari R oryzae. Dilihat dari komposisi kimianya, keempat tempe yang dihasilkan cenderung memiliki komposisi yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Pengolahan kedelai A, B, G2 dan H menjadi tempe berpengaruh lebih terhadap karakteristik fisik terutama pada rendemen dan penampakan. Industri tempe biasanya lebih memilih bahan baku berupa kedelai yang dapat memberikan rendemen dan sifat fisik yang baik.
3. Analisis Organoleptik Tempe Penyajian tempe dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti digoreng, dibakar bahkan dibentuk menjadi bakso atau nuget (Golbitz and Jordan 2006). Meskipun tempe biasanya tidak dikonsumsi dalam kondisi mentah, namun karakteristik organoleptik tempe juga menjadi perhatian dalam pemilihan tempe sebagai bahan baku pangan. Analisis organoleptik atau analisis sensori merupakan pengujian untuk menilai kualitas dan keamanan suatu produk pangan. Pembuatan tempe kedelai dilakukan sebanyak dua batch, sementara analisis organoleptik dilakukan hanya pada tempe batch I. Analisis organoleptik tempe kedelai dilakukan dengan metode hedonik dengan skala 1 (sangat
35
tidak suka) hingga 7 (sangat suka). Hasil analisis organoleptik pada tempe dapat dilihat pada Tabel 12. Rekapitulasi data analisis organoleptik tempe dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tempe
Warna b
Tabel 12. Tingkat kesukaan tempe kedelai Aroma Rasa Tekstur 5.0
b
4.5
b
5.2
Keseluruhan
b
4.9b
A
5.4
B
5.5b
5.3b
4.8b
5.3b
5.1b
G2
3.4a
3.1a
3.3a
4.2a
3.4a
H
5.0b
5.3b
4.9b
5.0b
4.9b
Nilai pada satu kolom dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Tempe memiliki penampakan seperti kue dimana biji kedelai yang berwarna kuning akan diselimuti hifa berwarna putih. Semakin lama masa fermentasi, akan diperoleh warna hifa yang keabu-abuan. Untuk parameter warna dapat dilihat bahwa tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan antara 5 sampai 6 artinya agak suka sampai suka. Sementara itu tempe G2 memiliki angka hedonik 3.4 yang berada diantara angka 3 dan 4 yang berarti agak tidak suka sampai biasa saja. Warna menjadi salah satu parameter fisik yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih tempe. Konsumen kadang menghendaki warna tempe yang cenderung kuning. Hal ini kadang mendorong produsen tempe untuk menambahkan zat pewarna dalam proses pembuatan tempe. Pada penelitian ini, tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan disukai oleh panelis. Sementara tempe G2 memiliki tingkat kesukaan aroma 3.1 yang cenderung kurang disukai oleh panelis. Aroma tempe juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempe. Semakin lama proses fermentasi yang dilakukan, akan timbul aroma amoniak yang intensitasnya semakin bertambah. Aroma tempe sering digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kerusakan pada tempe. Tempe memiliki rasa yang cenderung gurih karena kandungan asam amino yang tinggi. Untuk parameter rasa, terdapat perbedaan nyata sampel A, B dan H dengan G2. Sampel A, B dan H memiliki tingkat kesukaan 4.5-5.3 artinya dari biasa saja sampai agak suka. Sementara sampel G2 memiliki angka kesukaan 3.3 yang cenderung agak tidak disukai oleh panelis. Secara keseluruhan sampel B memiliki tingkat kesukaan paling tinggi yaitu 5.1 yang berarti agak suka. Sementara sampel G2 memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu 3.0 yang cenderung tidak disukai. Dilihat dari hasil analisis organoleptik dan pengolahan statistik diperoleh tempe G2 memiliki angka kesukaan yang paling rendah dan nilai kesukaan yang berbeda nyata dibandingkan ketiga tempe lainnya. Nilai kesukaan tempe G2 disebabkan oleh penyimpangan terutama aroma dan rasa tempe yang berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan. Panelis biasanya menyukai tempe segar dimana memiliki penampakan yang baik, aroma khas tempe dan rasa tempe yang normal. Jika dilihat dari nilai kesukaan yang dihasilkan, tempe A, B dan H memiliki nilai kesukaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
C. Karakterisasi Tepung Tempe Pembuatan minuman tepung tempe pada penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung tempe untuk memperoleh keseluruhan bagian tempe. Pada beberapa penelitian tepung tempe digunakan untuk menambah kadar protein suatu produk pangan. Tepung tempe juga merupakan bahan pengganti tepung terigu misal pada produk bakeri. Penelitian tempe menjadi minuman juga pernah dilakukan oleh oleh Surya (2011) dan Afriyanti (2010). Surya menggunakan metode pembuatan sari tempe, sementara Afriyanti menggunakan keseluruhan tempe dengan metode pengering drum.
36
Pembuatan minuman tempe juga dapat dilakukan dengan mengambil sari dari tempe. Metode ini menghasilkan ampas yang masih mengandung berbagai komponen baik zat gizi maupun senyawa fitokimia pangan. Harahap (1998) meneliti kadar isoflavon yang terdapat pada kedelai, tempe dan minuman yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan isoflavon berupa senyawa aglikon pada kedelai besarnya 1929.826 mg/100 g basis kering, sementara pada tempe besarnya 4006.550 mg/100 g basis kering. Sari kedelai dan sari tempe yang dihasilkan memiliki kandungan aglikon rata-rata 736.109 mg/100 g basis kering. Sebagian besar senyawa isoflavon tertinggal dalam ampas yang merupakan hasil samping pada proses penyaringan. Pembuatan tepung tempe dipengaruhi oleh bahan baku dan metode yang digunakan. Tempe yang digunakan sebagai bahan tepung tempe merupakan tempe berumur 2 hari atau 48 jam pemeraman. Tempe dengan masa pemeraman tersebut telah mengalami pemecahan karbohidrat, protein dan lemak yang optimum. Tempe dengan masa pemeraman lebih lama mungkin telah mengalami perubahan rasa dan aroma akibat semakin banyaknya zat metabolit yang dihasilkan oleh kapang. Prinsip pembuatan tepung adalah penghilangan air dari bahan pangan. Pemilihan metode pengeringan sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Pembuatan tepung tempe yang menghendaki keseluruhan bagian tempe ikut disertakan dapat menggunakan metode pengering rak, pengering drum maupun pengering vakum. Penelitian ini menggunakan metode pengering rak yang sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tepung tempe. Tempe dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 0.2 cm yang kemudian diblansir uap selama 10 menit. Proses blansir dengan uap panas lebih baik dibandingkan dengan perebusan karena dapat mengurangi resiko hilangnya zat gizi yang larut air pada bahan pangan. Tempe yang telah diblansir kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Pengeringan dianggap telah cukup karena menghasilkan tempe kering yang memiliki sifat mudah dipatahkan. Tempe kering memiliki permukaan mengkerut dan berwarna coklat tua. Beberapa penelitian yang telah dilakukan memiliki variasi ukuran irisan tempe, waktu blansir, suhu dan waktu pengeringan, serta penggilingan yang berbeda-beda. Soeryo (1991) menggunakan tempe dengan ukuran 2 cm x 1.5 cm x 0.4 cm dengan perebusan selama 10 menit dilanjutkan pengeringan oven suhu 55 °C selama 24 jam. Inayati (1991) menggunakan irisan tempe berukuran 0.5 cm x 3.5 cm x 1.5 cm yang dilakukan blansir uap 100 °C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60 °C selama 24 jam. Mardiah (1992) menggunakan irisan tempe 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan oven pada variasi suhu 50-70 °C dan waktu 20-24 jam. Hasilnya diperoleh pengeringan pada suhu dibawah 50 °C menghasilkan tepung yang memiliki bau amonia yang disebabkan oleh kapang yang mungkin masih tumbuh. Pengeringan pada suhu 70 °C dan waktu lebih dari 26 jam menghasilkan tepung yang terlalu kering dan berwarna gelap. Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi), emulsi, vitamin dan lemak (Winarno 1980). Murdefi (1992) menggunakan irisan tempe ukuran 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan 50 °C selama 22 jam. Syarief et al (2000) menyebutkan tepung tempe dibuat dengan pengeringan oven maupun penjemuran selama 7 jam. Penelitian lebih lanjut oleh Driyani (2007) pengeringan dilakukan selama 6 jam. Afriyanti (2010) menggunakan tempe yang direbus kemudian digiling menggunakan food procesor hingga terbentuk bubur. Pengeringan dilakukan dengan pengering drum pada suhu 90 °C selama 20-30 detik hingga diperoleh flakes dan dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan blender kering. Tempe yang telah dikeringkan kemudian dilakukan penggilingan untuk memperoleh bentuk tepung. Untuk mencapai ukuran halus, penggilingan dilakukan secara bertahap dimulai dari ukuran yang besar sampai ukuran kecil yang diinginkan. Tempe kering didinginkan untuk mengeluarkan uap panas digiling menggunakan disc mill yang dilengkapi dengan ayakan ukuran 60 mesh. Pada
37
penggilingan 60 mesh diperoleh butiran halus namun masih terlihat bintik-bintik kecil berwarna coklat. Tepung tempe 60 mesh kemudian dilakukan penggilingan kembali menggunakan disc mill yang dilengkapi dengan ayakan 80 mesh. Pada proses penggilingan kedua ini terjadi penyumbatan pada ayakan sehingga tepung tidak keluar dari ayakan. Percobaan penggilingan dilakukan dengan metode lain. Penggilingan dilakukan menggunakan blender kering. Namun proses ini mengalami kesulitan karena tepung yang dihasilkan akan menggumpal dibawah pisau sehingga bagian yang masih diatas tidak tergiling hingga halus. Selain itu, penggilingan menggunakan blender memiliki kapasitas yang tidak terlalu besar. Percobaan penggilingan juga dilakukan dengan menggunakan penggiling kopi yang memiliki prinsip kerja sama dengan disc mill yaitu pengecilan ukuran dengan pukulan dan gesekan. Namun karena tidak dilengkapi dengan ayakan, sulit untuk mengetahui hasil gilingan. Penggilingan dengan penggiling kopi dilakukan dalam beberapa kali proses. Penggiling kopi memberikan hasil tepung yang cenderung tidak menggumpal karena selama proses penggilingan terjadi panas yang membuat tepung menjadi lebih kering. Namun tepung tempe yang dihasilkan memiliki aroma gosong yang biasanya kurang disukai. Oleh karena itu, tepung tempe yang digunakan merupakan tepung tempe dengan penggilingan disc mill dengan ukuran maksimal 60 mesh.
1. Karakteristik Fisik Tepung Tempe Tepung tempe yang dihasilkan dilakukan perbandingan antar varietas serta dengan bubuk minuman kedelai yang sudah banyak dikenal masyarakat. Bubuk minuman kedelai merupakan salah satu produk olahan kedelai yang banyak dikonsumsi sebagai pengganti susu sapi. Sudah banyak merek bubuk minuman kedelai komersial di pasaran, namun dalam penelitian ini hanya digunakan satu merek bubuk minuman kedelai komersial yang sudah banyak dikenal masyarakat. Karakter fisik yang dianalisis dari tepung tempe adalah rendemen, IPA, IKA dan warna. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 13 dan rekapitulasi analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 17, 18, 19 dan 20. Rendemen merupakan salah satu parameter kesetimbangan materi selain proporsi campuran, kehilangan dan komposisi. Kesetimbangan massa adalah suatu perhitungan mengenai bahan masuk dan bahan keluar dalam suatu proses serta penentuan jumlah atau bagian dalam setiap bagian proses (Farias and Ratti 2009). Diagram kesetimbangan massa pada pengolahan kedelai menjadi tempe dan tempe menjadi tepung tempe dapat dilihat pada Lampiran 21. Pengolahan kedelai menjadi tempe menghasilkan rendemen yang lebih besar. Meskipun terbuat dari kedelai tanpa kulit, tempe menunjukkan kenaikan massa karena terjadinya penyerapan air dan pertumbuhan miselium kapang. Pembuatan tepung menggunakan metode pengeringan yang menghilangkan kadar air tempe yang cukup besar yang berjumlah hampir 60 %. Tepung tempe memiliki rendemen yang sangat kecil jika dibandingkan dengan tempe kedelai. Kehilangan air dapat menyebabkan perubahan struktur berupa penyusutan. Hal-hal yang berkaitan dengan adanya penyusutan antara lain perubahan bentuk dan ukuran, hilangnya kapasitas rehidrasi, keretakan permukaaan dan pengerasan tekstur bahan (Farias and Ratti 2009). Rendemen tepung tempe yang diperoleh besarnya sekitar 35 % dari bahan baku tempe. Dari beberapa karakteristik, warna merupakan parameter kualitas eksternal yang penting dalam produk pangan. Warna berkorelasi terhadap berbagai sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengeringan menyebabkan perubahan warna yang signifikan terutama oleh terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi Maillard dan oksidasi. Pencoklatan akan menurunkan kualitas produk dan biasanya berkaitan erat dengan perubahan tekstur, terciptanya off flavor, penurunan kelarutan dan kehilangan zat gizi (Jinorose et al 2009). Inayati (1992) menduga bahwa perubahan warna tempe menjadi coklat disebabkan oleh pencoklatan non-enzimatis. Inayati juga menyebutkan penambahan eritobrat pada
38
proses blansir tidak memberikan pengaruh nyata pada derajat putih tepung tempe yang dihasilkan. Warna tepung tempe cenderung coklat kekuningan, sementara bubuk kedelai memiliki penampakan putih kekuningan seperti susu sapi bubuk. Berdasarkan angka chromameter yang diperoleh dapat dilihat bahwa tepung tempe memiliki nilai L sekitar 55 yang menandakan tingkat kecerahan lebih ke arah putih, nilai a berkisar +2 yang menandakan warna ke arah merah dan nilai b sekitar +13 yang berwarna kuning. Sementara bubuk kedelai komersial M memiliki nilai L 57.76 yang lebih tinggi dibandingkan tepung tempe sehingga warnanya lebih cerah, nilai a +1.41 dan nilai b +13.77 sehingga warnanya lebih ke arah kuning.
Parameter
Tepung A
Tabel 13. Karakteristik fisik tepung tempe Tepung B Tepung G2 Tepung H
Bubuk kedelai M
Gambar
Warna coklat
Warna coklat
Warna coklat
Warna
Warna putih
kekuningan,
kekuningan,
kekuningan,
kekuningan,
kekuningan,
butiran agak
butiran agak
butiran agak
butiran agak
butiran halus
kasar
kasar
kasar
kasar
36.88
34.43
36.26
35.09
-
L
55.44
56.13
55.19
55.64
57.76
a
+2.03
+1.90
+2.24
+2.13
+1.41
b
+13.30
+14.13
+12.76
+14.06
+13.77
IPA (g/g)
4.23
4.71
4.57
4.42
5.19
IKA (g/ml)
0.009
0.006
0.012
0.009
0.02
Penampakan
Rendemen (%) Warna
Dari beberapa karakteristik, warna merupakan parameter kualitas eksternal yang penting dalam produk pangan. Warna berkorelasi terhadap berbagai sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengeringan menyebabkan perubahan warna yang signifikan terutama oleh terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi Maillard dan oksidasi. Pencoklatan akan menurunkan kualitas produk dan biasanya berkaitan erat dengan perubahan tekstur, terciptanya off flavor, penurunan kelarutan dan kehilangan zat gizi (Jinorose et al 2009). Inayati (1992) menduga bahwa perubahan warna tempe menjadi coklat disebabkan oleh pencoklatan non-enzimatis. Inayati juga menyebutkan penambahan eritobrat pada proses blansir tidak memberikan pengaruh nyata pada derajat putih tepung tempe yang dihasilkan. Warna tepung tempe cenderung coklat kekuningan, sementara bubuk kedelai memiliki penampakan putih kekuningan seperti susu sapi bubuk. Berdasarkan angka chromameter yang diperoleh dapat dilihat bahwa tepung tempe memiliki nilai L sekitar 55 yang menandakan tingkat kecerahan lebih ke arah putih, nilai a berkisar +2 yang menandakan warna ke arah merah dan nilai b sekitar +13 yang berwarna kuning. Sementara bubuk kedelai komersial M memiliki nilai L 57.76 yang lebih tinggi
39
dibandingkan tepung tempe sehingga warnanya lebih cerah, nilai a +1.41 dan nilai b +13.77 sehingga warnanya lebih ke arah kuning. Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air merupakan parameter fisik yang banyak dianalisis pada bahan pangan berbentuk tepung. Nilai IPA berkaitan erat dengan jumlah air yang dapat diserap oleh suatu bahan pangan, sementara IKA berkaitan erat dengan jumlah sampel yang dapat terlarut dalam air. Nilai IPA tepung tempe berkisar 4.23-4.71 (gram/gram), sementara nilai IKA berkisar 0.0064-0.0115 (gram/ml). Nilai kelarutan tepung tempe dapat dikatakan sangat kecil. Sementara pada bubuk kedelai diperoleh nilai IPA 5.19 (gram/gram) dan nilai IKA 0.02 (gram/ml). Analisis IPA dan kelarutan tepung tempe yang dilakukan oleh Mardiah (1992) menghasilkan nilai IPA sebesar 2.1 (gram/gram) sementara kelarutannya 11.3-23.2 %. Angka kelarutan yang diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan minuman serbuk yang biasanya hampir larut 90 %.
2. Komposisi Kimia Tepung Tempe Tepung tempe menjadi salah satu tepung yang banyak diaplikasikan dalam pengolahan bahan makanan karena kandungan proteinnya yang dikenal tinggi. Karakteristik kimia yang diukur dari tepung tempe meliputi analisis proksimat dan daya cerna protein dimana hasilnya dapat dilihat pada Tabel 14 sementara rekapitulasi data analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 22, 23, 24, 25 26 dan 27.
Parameter Kadar air (%bb) Kadar abu (%bk)
Tabel 14. Komposisi kimia sampel tepung tempe Tepung tempe sampel A
B
4.20
a
3.16
a a
G2
4.66
a
2.70
a
48.43
a
H
4.90
a
2.86
a
47.59
a
Bubuk kedelai Sampel M
4.63
a
3.15
a
48.89
a
SNI *
7.11
a
≤ 10.00
4.53
a
≤ 6.67
44.42
a
≥ 33.33
Kadar protein (%bk)
46.05
Kadar lemak (%bk)
25.70 a
27.36 a
24.96 a
25.41 a
28.69 a
≥ 18.89
Kadar karbohidrat (%bk)
25.09
21.51
24.59
22.55
22.36
-
DC protein (%)
80.12 d
75.42 a
76.50 b
78.49 c
83.11 e
-
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05) * SNI 7612-2011 tentang bubuk minuman kedelai (BSN 2011)
Kadar air tepung tempe cenderung kecil yaitu tepung A sebesar 4.20 (%bb), tepung sebesar B 4.66 (%bb), tepung sebesar G2 4.90 (%bb) dan tepung H sebesar 4.63 (%bb). Bubuk minuman kedelai komersial memiliki kadar air 7.11 (%bb). Kadar abu hasil analisis untuk tepung tempe A sebesar 3.16 (%bk), tepung tempe B sebesar 2.70 (%bk), tepung tempe G2 sebesar 2.86 (%bk) dan tepung tempe H sebesar 3.15 (%bk). Kadar abu biasanya tidak banyak berubah selama proses pengolahan pangan. Kadar protein tepung tempe yang dihasilkan berkisar antara 46.05-48.89 %. Dibandingkan dengan tempe kedelai yang memiliki kadar protein sekitar 49.83-51.17 (%bk), kadar protein tepung tempe sedikit lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena proses pengeringan dapat menyebabkan kerusakan protein. Tempe dikenal memiliki daya cerna protein yang cukup tinggi, sekitar 86.1 % (Cahyadi 2009). Daya cerna protein tepung tempe menurun oleh proses pengeringan. Pengeringan menyebabkan reaksi Maillard dimana asam amino bereaksi dengan gugus gula pereduksi yang kemudian menghambat penetrasi enzim ke dalam substrat protein yang dapat diserang enzim karena terjadinya ikatan silang tersebut. Dibandingkan kedelai, daya cerna tepung tempe cenderung lebih besar. Hal ini karena tempe sudah mengalami proses fermentasi yang menguraikan asam-asam amino
40
kedelai. Nilai biologis dan daya cerna protein tidak mengalami perubahan yang signifikan pada banyak bahan pangan yang dikeringkan (Fellow 2000). Tepung tempe G2 memiliki kadar lemak terendah sebesar 24.96 %, diikuti tepung H sebesar 25.41 %, tepung A sebesar 25.70 % dan tepung B 27.36 %. Sementara itu kadar karbohidrat tepung tempe yang dihasilkan sebesar 21.51-25.09 %. Karbohidrat bersifat tidak terlalu sensitif terhadap panas. Dilihat dari analisis statistik yang dilakukan, keempat tepung tempe memiliki komposisi kimia yang tidak berbeda nyata dengan bubuk kedelai komersial. Salah satu proses untuk menghasilkan minuman berbentuk serbuk adalah pengeringan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode pengeringan antara lain aspek ekonomi, karakteristik bahan yang dikeringkan, ketersediaan alat dan kualitas produk yang diinginkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya penggunaan udara panas. Mekanisme pengeringan dengan udara panas adalah melewatkan udara panas pada bahan pangan sehingga air dalam bahan pangan akan terbawa oleh udara panas tersebut (Fellow 2000). Beberapa metode pengeringan dengan udara panas antara lain pengering rak dan pengering semprot. Pengering rak biasa digunakan untuk bahan pangan berupa potongan maupun irisan, sementara pengering semprot digunakan untuk bahan pangan berbentuk koloid (Farias and Ratti 2009). Untuk mendapatkan keseluruhan komponen bahan dalam produk akhir, penggunaan pengering rak lebih dipilih. Pengering rak biasa digunakan pada produksi skala kecil dengan penanganan yang mudah dan dapat diaplikasikan dalam berbagai produk pangan. Namun proses pengeringan mungkin tidak terkontrol secara maksimal sehingga kualitas produk yang dihasilkan dapat berbeda-beda. Bahan pangan yang terletak dekat dengan saluran udara pengering mungkin mengalami pengeringan lebih cepat. Kelebihan pengeringan dengan udara panas adalah biaya yang rendah serta peralatan yang sederhana. Namun kelemahannya metode ini memberikan efek tak balik seperti kehilangan zat gizi akibat panas disertai penyusutan, porositas produk yang kecil dan kemampuan rehidrasi yang kecil (Marabi and Saguy 2009). Pada proses pembuatan tepung tempe terjadi hambatan. Proses penggilingan tempe kering menjadi tepung tempe direncanakan dilakukan dalam beberapa kali proses penggilingan. Penggilingan pertama dilakukan dengan ukuran ayakan 60 mesh. Penggilingan selanjutnya dilakukan dengan ayakan 80 mesh, namun pada penggilingan 80 mesh ini terjadi penyumbatan. Penyumbatan dapat terjadi akibat penyerapan air dari lingkungan. Peristiwa case hardening juga dapat menyebabkan masih terdapat kandungan air dalam bahan pangan. Selama penggilingan air yang terperangkap akan pecah dan mengikat bagian yang telah menjadi tepung. Soegiharto (1995) mengeringkan kembali tepung tempe yang dihasilkan menggunakan fluidized bed dryer untuk menghindari peningkatan kembali kadar air. Pada produk campuran tepung kedelai dan tepung kacang hijau misalnya, pengolahan kedelai dilakukan dengan pengupasan kedelai kering, pencucian, perebusan pada suhu 80 °C selama 25 menit, pengeringan menggunakan oven pada suhu 60 °C selama 7-8 jam, penggilingan, pencampuran dengan tepung kacang hijau dan bahan lain serta pengemasan (Ningrum 2012). Proses penggilingan kacang kedelai hanya dilakukan sekali dengan ukuran tepung yang diharapkan 120 mesh. Sementara penggilingan kacang hijau dilakukan dengan tiga kali proses. Hal ini dikarenakan kondisi kacang kedelai yang lebih lembab dibandingkan kacang hijau, sehingga dapat menyumbat mesin (Prahasti 2012). Dilihat dari hasil analisis, kadar air tepung tempe yang dihasilkan relatif kecil. Hal ini menunjukkan peristiwa penyumbatan pada proses penggilingan mungkin tidak dikarenakan oleh tingginya kadar air. Penyumbatan juga dapat terjadi karena kadar lemak tempe yang tinggi sekitar 25 %. Produk pangan dengan kadar lemak yang rendah seperti sari buah, kentang dan kopi lebih mudah diolah
41
menjadi bentuk tepung yang mudah mengalir dibandingkan produk pangan dengan kadar lemak yang cukup tinggi (Fellow 2000). Penggilingan tempe kering memungkinkan pecahnya lemak yang akan mengikat tepung yang telah dihasilkan sehingga terjadi penggumpalan. Pembuatan tepung kedelai biasanya dilakukan dari kedelai yang telah diekstrak minyaknya. Untuk menambahkan kadar lemak pada tepung kedelai dapat dilakukan dengan penambahan minyak kedelai maupun lesitin ke dalam tepung kedelai tanpa lemak yang kemudian dikeringkan kembali menggunakan ekstruder (Liu and Limpert 2004). Inayati (1991) dan Soeryo (1991) menggunakan tepung tempe berukuran 30-40 mesh dan tidak melaporkan adanya masalah dalam penggilingan. Penggilingan tepung dilakukan secara bertahap namun semakin kecil bahan yang digunakan, penggilingan dan pengayakan akan semakin sulit dilakukan. Proses pengolahan akan berpengaruh baik secara fisik maupun kimia produk pangan. Tempe merupakan produk fermentasi kedelai dimana salah satu tahapan proses yang dilakukan adalah perebusan. Proses perebusan menyebabkan terjadinya denaturasi pada protein kedelai. Denaturasi adalah modifikasi struktur sekunder, tersier dan kuarter dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida. Denaturasi biasanya terjadi karena panas dan penambahan asam, pelarut organik maupun garam. Denaturasi protein dapat menyebabkan hilangnya kelarutan dan aktivitas enzim dalam bahan pangan (Winarno et al 1989). Kedelai merupakan salah satu kacang-kacangan yang dikenal memiliki kadar protein yang sangat tinggi. Protein kedelai kebanyakan merupakan protein albumin dan globulin. Kedua jenis protein memiliki struktur susunan molekul berupa protein globular. Protein albumin bersifat larut air namun terkoagulasi oleh panas. Sementara protein globulin bersifat tidak larut air, terkoagulasi oleh panas, larut dalam larutan garam encer dan mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi (Winarno 1992). Globulin merupakan protein utama dalam kedelai yang besarnya 80 % dari total protein (Boye et al 2010). Protein globular dapat terdenaturasi pada suhu 60-70 °C. Penelitian ini menggunakan keseluruhan bagian tempe sebagai bahan baku minuman dengan tujuan untuk mempertahankan keseluruhan komponen baik zat gizi maupun non-gizi dalam tempe. Namun komponen seperti serat dan pati yang bersifat tidak larut air akan berpengaruh terhadap sifat fisik minuman. Pada produk akhir akan dihasilkan bagian tak larut yang akhirnya akan mengendap di dasar minuman. Pada beberapa penelitian tepung tempe digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu yang diaplikasikan dalam makanan untuk bayi, makanan untuk anak, biskuit dan mi. Pemanfaatan tepung tempe sebagai minuman sedikit berbeda karena tepung tempe hanya dilarutkan dengan air sehingga parameter kelarutan harus diperhatikan. Nilai kelarutan berhubungan erat dengan instanisasi produk minuman. Semakin tinggi tingkat kelarutan akan semakin baik. Pemilihan metode pengeringan menjadi perhatian utama dalam pembuatan minuman. Minuman bubuk biasa diolah menggunakan metode pengeringan semprot. Bahan pangan yang dapat dikeringkan dengan pengering semprot merupakan dispersi dari bahan pangan dengan kadar air 40-60 % yang telah dilakukan atomisasi sehingga diperoleh droplet kecil yang kemudian disemprotkan pada pengering (Fellow 2000). Dilihat dari kadar air tempe yang besarnya sekitar 60 %, penggunaan pengering semprot terlihat dapat dilakukan. Namun tingginya kandungan serat yang cukup tinggi dalam tempe memungkinkan terjadinya penyumbatan pada nozel pengering. Untuk mengatasinya hanya dapat dilakukan dengan penyaringan atau pembuatan sari tempe yang kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot. Pengeringan dengan pengering semprot biasa dilakukan pada suhu tinggi selama beberapa detik untuk menurunkan resiko kerusakan bahan. Kelebihan pengering semprot adalah pengeringan yang cepat, dapat diaplikasikan dalam skala besar secara kontinyu, biaya tenaga kerja yang rendah serta
42
pengoperasian yang mudah. Sementara kelemahannya adalah biaya modal yang tinggi dan energi yang besar (Fellow 2002). Tempe dikenal sebagai salah satu pangan fungsional karena selain kandungan protein dan daya cernanya yang tinggi, tempe juga mengandung senyawa fitokimia yang baik bagi tubuh. Kelebihan tempe mendorong banyaknya penelitian pengembangan produk turunan dari tempe. Pengolahan tempe menjadi tepung tempe mampu memperpanjang umur simpannya. Tepung tempe banyak digunakan dalam produk pangan sebagai substitusi tepung terigu serta dalam upaya menambah kadar protein produk. Secara karakteristik bahan dan pengolahan, tepung tempe dengan keseluruhan komponen lebih sesuai untuk diaplikasikan pada produk pangan yang tidak dilarutkan dengan air sebagai contoh produk bakeri. Sementara untuk aplikasi minuman dapat dilakukan adalah pengambilan sari tempe dan dilanjutkan dengan formulasi serta pengeringan. Dengan demikian terdapat bagian yang hilang. Namun secara karakteristik fisik akan diperoleh bentuk minuman yang mungkin lebih disukai konsumen.
D. Penentuan Formulasi Tepung Tempe Penelitian ini menggunakan tepung tempe sebagai minuman. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuatan minuman tepung tempe secara keseluruhan memiliki kekurangan pada proses, karakteristik fisik produk serta penerimaan konsumen. Keseluruhan tempe mengandung serat dan komponen tak larut lainnya yang akan mengendap. Seperti pada bubuk kedelai yang dihasilkan dengan penggilingan kedelai yang sebelumnya telah dikeringkan baik dengan udara panas maupun sangrai, akan terjadi pengendapan pada produk minuman. Untuk mengkonsumsinya perlu dilakukan pengadukan terlebih dahulu. Zalis (2000) melakukan penelitian penambahan CMC pada bubuk kedelai untuk menurunkan kemungkinan terjadinya pengendapan saat diseduh. Hasilnya penambahan CMC 4 % paling optimal untuk diaplikasikan. Namun hal ini berpengaruh terhadap produk akhir minuman dimana akan terjadi kenaikan viskositas. Dilihat dari komposisi gizi yang diperoleh, tepung tempe memiliki kelebihan untuk diaplikasikan menjadi minuman seperti halnya bubuk kedelai komersial. Pembuatan fomula minuman tepung tempe didasarkan pada beberapa hal yaitu takaran saji bubuk kedelai M, superoralit dan preferensi konsumen terhadap minuman serbuk. Takaran saji yang disarankan pada kemasan bubuk kedelai M tepung adalah 20 gram bubuk minuman ditambahkan 300 ml air dengan atau tanpa penambahan gula dan atau perisa. Sudigbia (1996) menyatakan bahwa penggunaan tepung tempe dan air tajin dalam superoralit untuk pengobatan rehidarsi oral penderita diare akut anak dan kholera memberikan hasil cukup baik. Tempe seberat 40-50 gram setelah direbus dan dihaluskan atau 17-20 gram tepung tempe kering dilarutkan dalam satu liter air tajin atau 2 sdm tepung beras yang dilarutkan dalam satu liter air, kemudian ditambahkan elektrolit natrium klorida, kalsium klorida serta natrium bikarbonat sesuai dengan formula oralit WHO. Secara praktis dapat diberikan garam dapur 4-5 gram atau dengan mengganti tepung beras dengan gula pasir sehingga memiliki rasa yang lebih manis dan enak. Formula ini yang dijadikan sebagai acuan pembuatan minuman tepung tempe. Penggunaan tepung tempe dilakukan setengah resep dari takaran saji yaitu 10 gram dengan penyeduhan air sebanyak 150 ml atau dapat dilakukan satu resep yaitu 20 gram dengan air 300 ml. Minuman sachet yang beredar dipasaran biasanya memiliki berat sekitar 8-25 gram per kemasan saji. Berat yang kecil biasanya disebabkan oleh penggunaan bahan yang berupa perisa dan atau pemanis buatan. Sementara untuk minuman seperti kopi susu biasanya memiliki berat sekitar 20-30 gram. Penggunaan tepung tempe hingga 20 gram sebelum panambahan gula akan mendapatkan minuman dengan massa yang besar.
43
Penambahan gula ditentukan dari standar minuman serbuk yaitu 5-15 % dari volume minuman (Buckle et al 1985). Jika digunakan satu resep yaitu 20 gram tepung tempe yang diseduh dengan 300 ml air, dapat dihitung jumlah gula yang dapat ditambahkan adalah 15-45 gram. Dalam satuan seharihari, penggunaan 10 gram gula dapat diukur dengan 1 sendok makan. Penambahan gula dilakukan pada taraf 10 % dan 12.5 % dari volume minuman yang diharapkan. Proses pembuatan minuman tepung tempe dilakukan dengan metode pencampuran kering dimana bahan-bahan yang sudah berbentuk kering dicampurkan hingga homogen. Penampakan minuman tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 15.
Parameter
Tabel 15. Karakteristik fisik pada formulasi minuman tepung tempe F1 F2 F3 F4
F5
Gambar
Setelah F1
diseduh
Penampakan
F2
Coklat
F3
Coklat
F4
Coklat
F5
Coklat gelap
Coklat gelap
kekuningan Formula terpilih ditentukan melalui analisis organoleptik hedonik atau kesukaan terhadap lima formula dengan nilai kesukaan 1 (sangat tidak suka) hingga 7 (sangat suka). Minuman tempe yang disajikan merupakan minuman yang berasal dari tepung tempe A saja. Hal ini didasari karena kedelai A sudah tersedia di pasaran Indonesia. Formula yang dipilih adalah formula yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi dari parameter warna, aroma, rasa dan keseluruhan. Analisis statistik pada data hasil organoleptik menunjukkan seberapa besar perbedaan kelima formula satu sama lain. Rekapitulasi hasil analisis organoleptik yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 16, sementara data dan pengolahan statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 28.
Formulasi
Tabel 16. Tingkat kesukaan formulasi minuman tepung tempe Warna Aroma Rasa Tekstur a
3.8
a
4.0
ab
3.7
Keseluruhan
a
3.8 a
F1
4.1
F2
4.2 ab
4.7 bc
4.1 ab
3.8 a
4.0 ab
F3
4.8 b
5.2 c
4.8 c
3.7 a
4.5 c
F4
4.7 ab
5.0 bc
4.7 bc
3.8 a
4.3 c
F5
4.1 a
4.7 b
3.9 a
3.8 a
3.9 ab
Nilai pada satu kolom dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
44
Warna merupakan parameter yang paling pertama menjadi perhatian pada produk pangan. Warna dapat merepresentasikan bagaimana suatu minuman dan memberikan persepsi pertama bagi konsumen. Formula F1 memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah. Formula F1 tidak ditambahkan coklat bubuk sehingga diperoleh warna minuman cenderung putih dengan bintik coklat oleh karena ukuran tepung tempe yang terlihat masih besar. Warna coklat pada tepung mungkin cenderung tidak disukai, namun penambahan coklat bubuk memberikan kesan rasa coklat yang banyak digunakan pada produk makanan dan minuman. Penambahan coklat bubuk pada minuman tepung tempe memberikan hasil organoleptik yang lebih disukai oleh panelis. Berdasarkan pengolahan data statistik yang diperoleh, tingkat kesukaan warna untuk minuman yang paling tinggi adalah F3 sebesar 4.8 yang artinya agak suka hingga suka. Beberapa penelitian menggunakan tepung tempe memberikan penilaian mutu produk yang menurun. Soegiharto (1995) menggunakan tepung tempe sebagai pengganti tepung terigu. Semakin besar penambahan tepung tempe akan menurunkan nilai kesukaan produk. Hal ini dikarenakan tepung tempe memiliki rasa getir atau pahit. Penambahan gula dan coklat bubuk dapat menutupi aroma dan rasa minuman tepung tempe. Minuman tepung tempe formula F3 memiliki tingkat kesukaan pada rasa dan aroma yang tinggi dibandingkan formula lainnya. Formula F1 yang hanya ditambahkan gula memiliki tingkat kesukaan terhadap aroma sebesar 3.8 dan rasa sebesar 4.0 yang cenderung lebih kecil dibandingkan formula lainnya. Penambahan gula dan coklat bubuk pada keempat formula lain dapat menutupi aroma dan rasa tempe sehingga nilai kesukaannya lebih tinggi. Panelis menyatakan bahwa tepung tempe cenderung memiliki rasa gurih yang kurang disukai jika disajikan sebagai minuman. Rasa gurih pada tepung tempe dikarenakan tingginya kandungan asam amino dalam tempe. Kedelai sebagai bahan baku tempe memiliki kandungan asam glutamat dan asam aspartat melimpah yang jumlahnya sekitar 45 % dari total asam amino (Sugano 2006). Kandungan protein dan serat yang tidak larut air akan menimbulkan endapan seperti dapat dilihat pada Gambar 3 yang cenderung tidak disukai oleh konsumen. Ditambah dengan ukuran partikel yang masih terlalu besar membuat tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur minuman cenderung rendah. Ukuran partikel yang terlalu besar ini membuat tekstur minuman yang masir. Beberapa panelis menyarankan untuk menunggu partikelnya mengendap sebelum dikonsumsi seperti halnya dalam mengkonsumsi kopi tubruk. Namun karena tujuan dari pembuatan tepung adalah menghasilkan keseluruhan bagian tempe, solusi sementara untuk mengatasinya adalah dilakukan pengadukan sebelum dikonsumsi.
F1
F2
F3
F4
F5
Gambar 3. Minuman tepung tempe setelah didiamkan beberapa saat Formulasi terpilih didasarkan pada kesukaan panelis yang paling besar gabungan dari parameter warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Dari hasil tersebut, formula F3 memiliki tingkat kesukaan yang paling tinggi untuk parameter warna, aroma, rasa dan keseluruhan. Oleh karena
45
itu formulasi yang dipilih adalah F3 dimana digunakan 10 gram tepung tempe yang ditambahkan 15 gram gula dan 1 gram coklat bubuk.
E. Karakterisasi Minuman Tepung Tempe Penelitian kali ini diharapkan memberikan gambaran potensi penggunaan tempe menjadi minuman. Minuman tepung tempe dibuat dari tepung tempe yang ditambahkan gula dan coklat bubuk sesuai dengan formulasi yang disukai oleh panelis. Dari hasil analisis organoletik diperoleh F3 merupakan formula yang paling disukai oleh panelis. Formula F3 kemudian diaplikasikan terhadap keempat tepung tempe dari empat varietas kedelai.
1. Karakteristik Fisik Minuman Tepung Tempe Hasil analisis fisik minuman tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 17, sementara rekapitulasi analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 32, 33 dan 34.
Parameter
Tabel 17. Karakteristik fisik minuman tepung tempe Minuman A Minuman B Minuman G2
Minuman H
Warna L
45.96
46.07
46.81
46.14
a
+4.94
+5.02
+4.48
+5.00
b
+8.29
+8.40
+8.39
+8.38
IPA (gram/gram)
0.63
0.31
0.65
0.30
IKA (gram/ml)
0.05
0.06
0.06
0.06
Penambahan coklat bubuk dalam minuman tepung tempe menurunkan nilai L (kecerahan) tepung tempe. Minuman tepung tempe memiliki nilai L sekitar 46. Nilai ini turun dibandingkan tepung tempe karena penambahan bubuk coklat yang dilakukan. Sementara nilai a +5 yang artinya lebih ke arah merah, dan b +8 yang lebih ke arah kuning. Nilai IPA dan IKA berhubungan erat dengan kemampuan minuman dalam menyerap air. Tepung merupakan bahan yang mudah menyerap air karena sifatnya yang kering. Sementara itu, gula memiliki sifat mudah larut dalam air. Jika dilihat dari data yang diperoleh, nilai IPA minuman lebih rendah dibandingkan pada tepung sementara nilai IKA minuman lebih tinggi. Kenaikan nilai IKA lebih dipengaruhi oleh penambahan gula, sementara tepung tempe masih mengalami pengendapan.
2. Komposisi Kimia Minuman Tepung Tempe Karakteristik kimia yang diukur dari minuman tepung tempe meliputi analisis proksimat dimana hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18 sementara rekapitulasi analisisnya dapat dilihat dalam Lampiran 35, 36, 37, 38, 39 dan 40. Pada penelitian ini minuman tepung tempe merupakan aplikasi tepung tempe sebagai bahan utama dengan penambahan gula untuk memberikan rasa manis dan coklat untuk memberikan rasa sekaligus memperbaiki penampakan minuman. Keempat kedelai menghasilkan tepung tempe yang memiliki komposisi kimia tidak berbeda nyata, sehingga komposisi kimia minuman tepung tempe akan tidak banyak berbeda. Pada penelitian ini tidak dianalisis komposisi kimia gula dan coklat bubuk
46
secara terpisah. Gula yang digunakan dalam penelitian kali ini merupakan gula pasir yang biasa dipakai pada rumah tangga. Gula pasir atau gula granulasi merupakan hasil olahan gula kristal mentah yang ditambahkan sulfur dioksida yang berfungsi untuk memucatkan warna gula yang selanjutnya dilakukan penguapan. Gula pasir berbentuk butiran kecil yang kadang dipasarkan dalam bentuk gula kubus. Kandungan gula pasir biasanya adalah sukrosa yang mudah larut dalam air serta cepat dimetabolisme oleh tubuh menghasilkan energi. Kadar karbohidrat yang sangat besar pada minuman merupakan akibat dari penambahan gula. Jumlah gula yang ditambahkan dalam minuman sebenarnya lebih kecil dibandingkan pada kopi gula susu menurut SNI 6685-2009 yang besarnya 30-75 % (b/b) (BSN 2009). Penambahan gula yang terlalu besar justru menurunkan nilai lebih tepung tempe yang kaya protein dan berpotensi menjadi minuman bagi penderita diabetes mellitus.
Parameter
Tabel 18. Komposisi kimia minuman tepung tempe Minuman A Minuman B Minuman G2
Minuman H
Kadar air (%bb)
10.31
8.44
4.44
7.60
Kadar abu (%bk)
1.81
1.11
1.57
1.12
Kadar protein (%bk)
22.02
22.69
21.28
21.72
Kadar lemak (%bk)
32.10
25.17
21.70
22.43
Kadar karbohidrat (%bk)
50.42
50.93
54.41
54.40
Daya cerna protein (%)
78.04 b
67.90 a
79.58 c
78.04 b
Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05)
3. Minuman Tepung Tempe dan Tepung Tempe Pembuatan formulasi minuman tepung tempe yang dilakukan hanya untuk menutupi kekurangan tepung tempe dan tidak memperhatikan komponen gizi. Akibatnya kelebihan-kelebihan yang diharapkan dari tepung tempe juga tidak dapat dicapai. Tepung tempe memiliki potensi untuk dikembangkan dalam berbagai produk pangan. Menilik penelitian Sudigbia (1996) dimana tepung tempe digunakan sebagai minuman formula, dapat dicontohkan kemungkinan penggunaan tepung tempe yang dihasilkan. Tabel 19 menunjukkan komposisi kimia tepung tempe dan minuman tepung tempe dengan perhitungan energi yang terkandung di dalamnya. Perhitungan nilai energi dan kalori dilakukan dengan ukuran takaran saji untuk minuman tepung tempe 26 gram, sementara tepung tempe saja 20 gram. Hal ini disesuaikan dengan penelitian Sudigbia yang menggunakan 20 gram tepung tempe untuk membuat minuman rehidrasi oral bagi penderita diare. Dilihat dari energi yang dihasilkan, minuman tepung tempe memiliki nilai kalori yang hampir sama dengan tepung tempe. Sebagai contoh dari kedelai A, dalam satu takaran saji minuman tepung tempe sebesar 26 gram terdapat kandungan protein 5.14 gram, lemak 6.09 gram dan karbohidrat 11.67 gram dengan kandungan energi sebesar 87 kkal. Berdasarkan BPOM (2003), angka kecukupan gizi (AKG) untuk acuan pelabelan pangan umum berdasarkan energi 2000 kkal meliputi konsumsi harian protein sebanyak 50 gram, lemak total sebanyak 55 gram dan karbohidrat total sebanyak 325 gram. Dengan demikian, konsumsi satu takaran saji minuman tepung tempe dapat memenuhi sekitar 4 % kebutuhan energi harian, 10 % kebutuhan protein harian, 11 % kebutuhan lemak harian dan 4 % kebutuhan karbohidrat harian.
47
Komponen
Tabel 19. Nilai kalori tepung tempe, minuman tepung tempe dan bubuk minuman kedelai Minuman tepung tempe Tepung tempe
Bubuk kedelai
A
B
G2
H
A
B
G2
H
Protein (%bb)
19.77
20.78
20.34
20.06
44.12
46.17
45.26
46.62
41.26
Lemak (%bb)
23.42
23.04
20.74
20.73
24.62
26.08
23.73
24.23
26.65
Karbohidrat (%bb)
44.87
46.73
52.98
50.58
24.03
20.51
23.39
21.52
20.77
325.76
327.86
310.40
307.27
417.28
435.81
413.32
421.77
487.97
84.70
85.24
80.71
79.90
83.46
87.16
82.66
84.35
97.59
Energi per 100 gram (kkal) Energi per saji (kkal)*
* Takaran saji minuman tepung tempe 26 gram Takaran saji tepung tempe 20 gram
48
Sementara itu angka kecukupan gizi yang dapat diperoleh dari 20 gram tepung tempe A dengan kandungan protein 8.82 gram (18 %), lemak 4.92 gram (9 %) dan karbohidrat 4.81 gram (1 %) menghasilkan kandungan energi sebesar 83 kkal atau memenuhi sekitar 4 % energi harian. Perbedaan yang dapat dilihat adalah susunan zat gizi yang diperoleh. Zat gizi yang memiliki kadar paling besar pada tepung tempe adalah protein, sementara pada minuman adalah karbohidrat. Meskipun persentase protein yang diperoleh untuk konsumsi satu takaran saji cukup tinggi yaitu 18 %, tepung tempe belum dapat dikatakan sebagai bahan makanan tinggi protein. Bahan makanan tinggi protein ditetapkan memenuhi minimal 50 % kebutuhan harian. Untuk memenuhi angka tersebut setidaknya diperlukan konsumsi sekitar 3 kali. Oleh karena itu klaim untuk makanan tinggi protein belum dapat dilakukan. Pada pembuatan minuman serbuk, penambahan gula biasanya 5-15 % dari volume cairan. Jika diinginkan 20 gram tepung tempe dalam 300 ml air, maka gula yang ditambahkan antara 15-45 gram. Jika diambil angka gula minimal akan diperoleh massa per sachet sekitar 35 gram yang termasuk besar untuk diaplikasikan dalam minuman sachet. Namun jumlah gula yang ditambahkan mungkin sedikit berlebihan. Tingkat kelarutan gula dalam air cukup tinggi. Dalam tubuh gula akan segera dimetabolisme oleh tubuh menghasilkan energi. Pada penderita diabetes, hal ini tidak baik karena memberikan kemungkinan resiko naiknya gula darah secara cepat. Selain itu penggunaan bahan tambahan pangan berupa pemanis dapat menjadi alternatif. Beberapa pemanis buatan memiliki tingkat kemanisan beberapa kali dari gula pasir. Pemakaian pemanis dalam jumlah kecil dapat memberikan tingkat kemanisan yang sama dengan gula pasir. Namun penggunaan gula sukrosa dalam minuman mungkin akan memberikan kalori yang sangat besar. Konsumsi gula yang terlalu banyak dapat meningkatkan resiko diabetes. Sebagai pangan bagi penderita diabetes mellitus disarankan menggunakan pemanis sintesis untuk menghindari bahaya gula. Pemanis buatan yang biasa digunakan dalam makanan bagi penderita diabetes melitus adalah campuran siklamat dan sakarin. Dibandingkan sukrosa 10 %, sakarin memiliki tingkat kemanisan 200-700 kali sementara siklamat 15-30 kali. Aplikasi sakarin dan siklamat biasanya dilakukan dengan perbandingan 1:3. Pemanis alternanif dengan nilai kalori rendah sangat dibutuhkan untuk penderita diabetes melitus sebagai pengganti gula reduksi lainnya (Cahyadi 2008). Penambahan gula rendah kalori dapat diaplikasikan untuk mendukung tepung tempe menjadi minuman rendah kalori. Hal ini didukung pula dengan kadar serat tepung tempe yang cukup tinggi sekitar 3 % (Soeryo 1991). Kebanyakan minuman bubuk memiliki variasi rasa coklat. Coklat merupakan salah satu rasa yang banyak disukai oleh konsumen. Penambahan coklat bubuk dalam bahan pangan biasa dilakukan pada taraf 0.5-1.5 % dari volume minuman. Dari pemilihan formulasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat bahwa semakin besar jumlah coklat bubuk yang ditambahkan pada kadar tepung dan gula yang sama akan memberikan nilai kesukaan yang lebih tinggi. Meskipun demikian penambahan coklat bubuk dimaksudkan untuk menutupi rasa tepung tempe yang tidak terlalu disukai selain memang banyak disukai oleh konsumen. Penambahan coklat bubuk sudah baik untuk menutupi warna, aroma dan rasa tepung tempe yang memiliki sifat cenderung kurang disukai. Jika diambil dari formulasi pada penelitian ini, bubuk coklat yang ditambahkan adalah 1 % sehingga untuk satu kali saji digunakan 2 gram bubuk coklat. Takaran saji yang digunakan tetap 20 gram tepung tempe dalam 300 ml air. Pada penelitian ini diketahui panelis menyukai minuman dengan penambahan gula 10 % dari volume minuman. Jika diaplikasikan dalam 300 ml minuman tepung tempe besarnya 30 gram atau hampir 3 sdm. Penggantian keseluruhan gula dengan pemanisan buatan memerlukan sakarin sebesar 0.1 gram atau siklamat sebesar 1 gram. Jika dikonversi menjadi basis 1 kg minuman tepung tempe, penggantian gula dilakukan dengan 5 gram sakarin atau 50 gram siklamat. Berdasarkan keputusan Kepala BPOM No HK.00.05.5.4575 tahun 2004, penggunaan sakarin pada produk makanan khusus untuk diet besarnya
49
500 mg/kg atau 5 gram/kg, sehingga penggantian keseluruhan dapat dilakukan. Sementara penggunaan siklamat untuk makanan khusus diet maksimal 1300 mg/kg atau 13 gram/kg. Batas penggunaan siklamat yang kecil tidak memungkinkan penggantian gula dengan siklamat secara keseluruhan. Penggunaan campuran sakarin dan siklamat memerlukan perhitungan lebih lanjut dan aplikasi langsung untuk menentukan kadar yang sesuai.
50
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Varietas merupakan salah satu parameter penting dari kedelai yang berpengaruh pada karakteristik produk yang dihasilkan. Perlakuan empat varietas kedelai impor berpengaruh nyata terhadap sifat fisik tempe namun analisis proksimat menunjukkan komposisi kimia tempe yang tidak berbeda nyata. Penelitian ini dilakukan untuk membuat tepung tempe kemudian mengaplikasikannya menjadi minuman. Pembuatan tepung dilakukan untuk mendapatkan keseluruhan bagian tempe. Komposisi kimia tepung tempe tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan bubuk minuman kedelai komersial. Namun tepung tempe memiliki kelemahan pada proses pengolahan, karakteristik fisik dan organoleptik. Pada pembuatan tepung terjadi penyumbatan akibat kadar lemak tempe yang tinggi. Kandungan serat dan komponen tak larut air lain membentuk endapan yang menurunkan karakteristik fisik minuman. Beberapa kelemahan tepung tempe mempengaruhi kesukaan panelis terhadap formulasi minuman. Formula F3 memiliki nilai kesukaan tertinggi dimana komposisinya 10 gram tepung, 15 gram gula dan 1 gram coklat bubuk. Komposisi kimia minuman tepung tempe memberikan asupan gizi yang tidak seimbang sehingga perlu dilakukan perubahan formulasi. Dilihat dari komposisi kimianya, tepung tempe memiliki potensi untuk dijadikan minuman. Meskipun demikian tepung tempe yang dibuat dari keseluruhan bagian tempe kurang sesuai untuk digunakan sebagai bahan minuman. Tepung tempe lebih sesuai untuk digunakan untuk substitusi penggunaan tepung terigu sebagai upaya untuk menambahkan kadar protein.
B. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya dilakukan perbaikan pada proses pembuatan tepung tempe sehingga diperoleh tepung yang memiliki sifat fisik yang sesuai untuk diaplikasikan menjadi minuman. Perbaikan formulasi minuman juga perlu dilakukan sehingga dapat memberikan kelebihan tepung tempe sebagai minuman fungsional. Selain itu juga analisis daya cerna protein in vivo untuk mengetahui kualitas protein dalam tubuh.
51
DAFTAR PUSTAKA [AOAC]. 1995. Official Method of Analysis 9260. 5. Washington DC Afriyanti D. 2010. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Sifat Kimia, Fisik dan Organoleptik Minuman Fungsional Berbasis Tempe Kedelai [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB Anonim. 2008. Manfaat Susu Kedelai untuk Penderita http://mdl525.info/2008/01/23/manfaat-susu-kedelai-untuk-penderita-diabetes/
Diabetes.
Arbai AMB. 1996. Tempe dan hipokolesterolemia. Di dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta: Penebar Swadaya Astuti M. 1996a. Sejarah perkembangan tempe. Di dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Astuti M. 1996b. Tempe dan ketersediaan besi untuk penanggulangan anemi besi. Di dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Beverages Institut. 2012. Types of Beverages. The Coca Cola Company. http://www.beverageinstitute.org/en_us/pages/article-hydration-types-of-beverages.html Boye JI, L’Hocine L and Rajamohamed SH. 2010. Processing foods without soybean ingredients. Di dalam Boye JI and Godefroy SB (eds). Allergen Management in Food Industry. New Jersey: John Willey and Son Inc [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Dalam: Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.5.4547 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Ramalan I Tahun 2013. Berita resmi statistik No 45/07/Tahun XVI 1 Juli 2013 [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992 tentang cara uji makanan dan minuman. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia, [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3922-1995 tentang kedelai. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 01-3144-2009 tentang tempe kedelai. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 6685-2009 tentang kopi gula susu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 7612-2011 tentang bubuk minuman kedelai. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH dan Wooton M. 1985. Ilmu Pangan (Terjemahan). UI Press, Jakarta Budisantoso H. 1994. Susu dan Yogurt Kedelai. Jogjakarta: Penerbit Kanisius Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara Cahyadi W. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
52
Chianu JN, Zegeye EW and Nkonya EM. 2010. Global soybean marketing and trade: a situation and outlook analysis. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Clarkson L. 2006. Selection of soybean for food application. Di dalam Riaz MN (ed). Soy Applications in Food. Florida: CRC Press, Taylor and Francis Group [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Road Map Peningkatan Produksi Kedelai 2010-2014. Jakarta: Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Departemen Pertanian Driyani Y. 2007. Biscuit Crackers Substitusi Tepung Tempe Kedelai sebagai Alternatif Makanan Kecil Bergizi Tinggi [skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang Egli DB. 2010. Soybean yield physiology: principles and processes of yield production. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Farias MA and Ratti C. 2009. Dehydration of foods: general concepts. Di dalam Ratti C (ed). Advances in Food Dehydration. Boca Raton: CRC Press Fellow P. 2000. Food Processing Technology: Principles and Pratices. Cambridge: Woodhead Publishing Limited Ganjyal G, Hanna MA, Supprung P, Noomhorm and Jones D. 2006. Modelling selected properties of extruded rice flour and rice starch by neural network and statistic. J Cereal Chemist. 83 (3): 223-227 Ghosh PK and Jayas DS. 2010. Storage of soybean. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Ginting E, Antarlina SS dan Widawati S. 2009. Varietas unggul kedelai untuk bahan baku industri pangan. J Litbang Pertanian 28(3): 79-87 Golbitz P and Jordan J. 2006. Soyfoods: market and products. Di dalam Riaz MN (ed). Soy Applications in Food. Florida: CRC Press, Taylor and Francis Group Harahap D. 1998. Mempelajari Kandungan Senyawa Isoflavon pada Pembuatan Minuman Kedelai dan Minuman Tempe [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Harriss RS. 1989. Pengaruh budidaya pertanian terhadap bahan pangan nabati. Di dalam Harris RS and Karmas E. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit ITB Hermana, Karmini M dan Karyadi D. 1996. Komposisi dan nilai gizi tempe serta manfaatnya dalam peningkatan mutu gizi pangan. Dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Hermana dan Karmini M. 1996. Pengembangan teknologi pembuatan tempe. Dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Hymowitz T. 2008. The history of the soybean. Di dalam Johnson LA, White PJ and Galloway R (eds). Soybeans: Chemistry, Production, Processing and Utilization. Illinois: AOCS Press Imram N. Gomez I dan Soh V. 2003. Soya Handbook. Imram (ed). Singapore: Words Worth Media Management Inayati I. 1991. Biskuit Berprotein Tinggi dari Campuran Tepung Terigu, Singkong dan Tempe Kedelai [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB Ismariarsi. 1982. Memperlajari Karakteristik Cookies yang Dibuat Berdasarkan Formula Tepung Terigu dan Maizena [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian IPB
53
Jinorose M, Devahastin S, Blacher S and Leonard A. 2009. Application of image analysis in food drying. Di dalam Ratti C (ed). Advances in Food Dehydration. Boca Raton: CRC Press Jones, DI. 1975. Pengaruh pengolahan dengan fermentasi terhadap zat gizi. Dalam Harris RS dan Karmas E. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: ITB Press Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2012. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Kompas. 2012. Data produksi kedelai nasional diragukan. http://www.kompas.com/ [24 Agustus 2013] Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kumar V, Rani A and Chauhan GS. 2010. Nutritional value of soybean. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Lewis MJ. 1996. Physical Properties of Foods and Food Processing Systems. Cambridge: Woodhead Publishing Limited Liu K. 2004a. Edible soybean products in the current market. Di dalam Liu K (ed). Soybeans as Functional Foods and Ingredients. Illinois: AOCS Press Liu K. 2004b. Soybeans as a powerhouse of nutrients and phytochemicals. Di dalam Liu K (ed). Soybeans as Functional Foods and Ingredients. Illinois: AOCS Press Liu K. 2008. Food use of whole soybeans. Di dalam Johnson LA, White PJ and Galloway R (eds). 2008. Soybeans: Chemistry, Production, Processing and Utilization. Illinois: AOCS Press Liu K and Limpert WF. 2004. Soy flour: varieties, processing, properties and application. Di dalam Liu K (ed). Soybeans as Functional Foods and Ingredients. Illinois: AOCS Press Marabi A and Saguy IS. 2009. Rehydration and reconstitution of foods. Di dalam Ratti C (ed). Advances in Food Dehydration. Boca Raton: CRC Press Mardiah. 1992. Mempelajari Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pengembangan Produk Olahannya sebagai Makanan Tambahan bagi Anak [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Margono T, Suryati D dan Hartinah S. 2000. Buku Panduan Teknologi Pangan: Pembuatan Bubuk Kedelai untuk Minuman. Jakarta: Pusat Informasi Wanita PDII-LIPI Mishra SK and VermaVD. 2010. Soybean genetic resourches. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Muchtadi D, Astawan M dan Palupi NS. 2006. Metabolisme Zat Gizi Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka Muchtadi D. 2010a. Kedelai: Komponen untuk Kesehatan. Bandung: Penerbit Alfabeta Muchtadi D. 2010b. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung: Alfabeta Murdefi Y. 1992. Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pemanfaatannya dalam Pembuatan Biskuit untuk Anak Balita [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Petanian, IPB Ningrum NW. 2012. Penerapan Good Manufacturing Practices pada Proses Produksi Minuman Serbuk Serealia di PT Zena Nirmala Sentosa. Bogor: Program Diploma IPB Nout MJR and Kiers JL. 2004. Tempeh as a functional food. Di dalam Liu K (ed). Soybeans as Functional Foods and Ingredients. Illinois: AOCS Press Panthee DR. 2010. Varietal improvement of soybean. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI
54
Pawiroharsono S. 1996. Aspek mikrobiologi tempe. Di dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Prahasti A. 2012. Penyusunan Rencana Hazzard Analysis Critical Control Point pada Minuman Serbuk Serealia di PT Zena Nirmala Sentosa. Bogor: Program Diploma, IPB Raghuvanshi RS and Bisht K. 2010. Uses of soybeans: products and preparation. Di dalam Singh G (ed). 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Santoso SP. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan praktek). Laboratorium Kimia Pangan. Universitas Widyagama, Malang Saono S, Hull RR, Dhamcharee B. 1986. A Concise Handbook of Indigenous Fermented Foods in the Asia Countries. Jakarta: LIPI Sarwono B dan Saragih YP. 2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya Shurtleff W and Aoyagi A. 2001. The Book of Tempeh. California: Ten Speed Press Singh G. 2010. The Soybean: Botany, Production and Uses. Oxfordshire: CABI Soeryo PS. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong sebagai Bahan Pensubstitusi Terigu dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi dengan Tepung Tempe [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Sudigbia P. 1996. Tempe dalam penatalaksanaan diare anak. Dalam Sapuan dan Soetrisno N (eds). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia Sugano M. 2006. Nutritional implication of soy. Di dalam Sugano M (ed). Soy in Health and Disease Prevention. Florida: CRC Press, Taylor and Francis Group Suharno P dan Mulyana W. 1996. Industri tahu dan tempe. Di dalam Amang B, Sawit MH dan Rachman A (eds). Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor: IPB Press Surya R. 2011. Produksi Sari Tempe dalam Kaleng sebagai Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Syarief R, Hermanianto J, Hariyadi P, Wiraatmadja J, Suliantari, Dahrulsyah, Suyatna NE dan Saragih YP. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala Widowati S. 2004. Tempe dan produk turunannya: pangan fungsional indigenous Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional Bogor: Balitbang Pasca Panen hal 220-227 Winarno FG. 1996. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Winarno FG, Fardiaz S dan Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia
55
LAMPIRAN
56
Lampiran 1. Analisis panjang biji kedelai Sampel U Panjang biji kedelai (mm) 1 4.82 A 2 4.69 1 6.45 B 2 6.61 1 5.13 G2 2 5.12 1 5.55 H 2 5.32
Rata-rata (mm)
SD
4.76
0.09
6.53
0.11
5.13
0.01
5.44
0.16
One way anova ANOVA panjang.biji Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
3.510
3
1.170
.048
4
.012
3.557
7
F 97.998
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki panjang biji yang berbeda nyata.
57
Uji lanjut Multiple Comparisons panjang.biji Tukey HSD
(I) kedelai kedelai A
kedelai B
kedelai G2
kedelai H
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
(J) kedelai
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*
.10926
.000
-2.2198
-1.3302
kedelai G2
-.37000
.10926
.088
-.8148
.0748
kedelai H
-.68000*
.10926
.012
-1.1248
-.2352
kedelai A
1.77500*
.10926
.000
1.3302
2.2198
kedelai G2
1.40500
*
.10926
.001
.9602
1.8498
kedelai H
1.09500*
.10926
.002
.6502
1.5398
kedelai A
.37000
.10926
.088
-.0748
.8148
kedelai B
*
.10926
.001
-1.8498
-.9602
kedelai H
-.31000
.10926
.145
-.7548
.1348
kedelai A
.68000
*
.10926
.012
.2352
1.1248
kedelai B
-1.09500*
.10926
.002
-1.5398
-.6502
.31000
.10926
.145
-.1348
.7548
kedelai B
-1.77500
-1.40500
kedelai G2
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas panjang.biji Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 kedelai
N
1
2
kedelai A
2
4.7550
kedelai G2
2
5.1250
kedelai H
2
kedelai B
2
Sig.
3
5.1250 5.4350 6.5300
.088
.145
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
58
Lampiran 2. Analisis massa per 100 biji kedelai Sampel U Massa 100 biji kedelai (gram) 1 14.2308 A 2 14.9894 3 15.1981 1 20.2474 B 2 20.3504 3 19.4354 1 18.1994 G2 2 18.2874 3 18.8002 1 15.1610 H 2 16.0413 3 16.5044
Rata-rata (gram)
SD
14.8061
0.51
20.0111
0.50
18.4290
0.32
15.9022
0.68
One way anova ANOVA massa.100biji Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
50.391
3
16.797
2.163
8
.270
52.554
11
F 62.138
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki massa per 100 biji yang berbeda nyata.
59
Uji lanjut Multiple Comparisons massa.100biji Tukey HSD
(I) kedelai kedelai A
kedelai B
kedelai G2
kedelai H
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
(J) kedelai
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
kedelai B
-5.2049667
*
.4245147
.000
-6.564412
-3.845521
kedelai G2
-3.6229000*
.4245147
.000
-4.982346
-2.263454
kedelai H
-1.0961333
.4245147
.120
-2.455579
.263312
kedelai A
5.2049667*
.4245147
.000
3.845521
6.564412
kedelai G2
1.5820667
*
.4245147
.024
.222621
2.941512
kedelai H
4.1088333*
.4245147
.000
2.749388
5.468279
kedelai A
*
.4245147
.000
2.263454
4.982346
kedelai B
-1.5820667
*
.4245147
.024
-2.941512
-.222621
kedelai H
2.5267667*
.4245147
.002
1.167321
3.886212
kedelai A
1.0961333
.4245147
.120
-.263312
2.455579
kedelai B
-4.1088333*
.4245147
.000
-5.468279
-2.749388
*
.4245147
.002
-3.886212
-1.167321
3.6229000
kedelai G2
-2.5267667
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas massa.100biji Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 kedelai
N
1
2
kedelai A
3
14.806100
kedelai H
3
15.902233
kedelai G2
3
kedelai B
3
Sig.
3
18.429000 20.011067 .120
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
60
Lampiran 3. Analisis kadar air kedelai Sampel A B G2 H
Kadar air (%)
U
Ws (gram)
W(c+s) (gram)
Wa (gram)
BB
BK
1 2 1 2 1 2 1 2
2.1148 2.1149 2.2521 2.2124 2.1619 2.2886 2.2490 2.1327
7.1321 6.9862 6.9764 6.6397 7.2424 6.0631 7.1040 6.6606
6.9417 6.7947 6.7872 6.4357 7.0534 5.8593 6.9004 6.4724
9.0032 9.0548 8.4010 9.2208 8.7423 8.9050 9.0529 8.8245
9.8940 9.9563 9.1716 10.1573 9.5798 9.7755 9.9540 9.6786
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
9.03
9.93
0.04
0.04
8.81
9.66
0.58
0.70
8.82
9.68
0.12
0.14
8.94
9.82
0.16
0.19
One way anova ANOVA kadar.air Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
.064
3
.021
Within Groups
.377
4
.094
Total
.440
7
F
Sig. .226
.874
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.874 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata.
61
Lampiran 4. Analisis kadar abu kedelai Sampel A B G2 H
U
ws (gram)
w(c+s) (gram)
wa (gram)
1 2 1 2 1 2 1 2
2.0599 2.0800 2.1389 2.0949 2.1033 2.0315 2.1297 2.1663
22.7202 23.8647 24.4538 29.8475 17.0937 21.3194 20.8472 20.9376
20.7638 21.8890 22.4136 27.8497 15.0999 19.3924 18.8233 18.8791
Kadar abu (%) BB
BK
5.0245 5.0144 4.6145 4.6351 5.2061 5.1440 4.9678 4.9762
5.5233 5.5122 5.0603 5.0829 5.7097 5.6416 5.4556 5.4648
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
5.02
5.52
0.01
0.01
4.62
5.07
0.01
0.02
5.18
5.68
0.04
0.05
4.97
5.46
0.01
0.01
One way anova ANOVA kadar.abu Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
.395
3
.132
Within Groups
.003
4
.001
Total
.397
7
F 196.556
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki kadar abu yang berbeda nyata.
62
Uji lanjut Multiple Comparisons kadar.abu Tukey HSD
(I) kedelai kedelai A
kedelai B
kedelai G2
kedelai H
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
(J) kedelai
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
kedelai B
*
.4461500
.0258752
.000
.340816
.551484
kedelai G2
-.1579000*
.0258752
.012
-.263234
-.052566
kedelai H
.0575500
.0258752
.259
-.047784
.162884
kedelai A
-.4461500*
.0258752
.000
-.551484
-.340816
kedelai G2
-.6040500
*
.0258752
.000
-.709384
-.498716
kedelai H
-.3886000*
.0258752
.000
-.493934
-.283266
kedelai A
.1579000
*
.0258752
.012
.052566
.263234
kedelai B
.6040500
*
.0258752
.000
.498716
.709384
kedelai H
.2154500*
.0258752
.004
.110116
.320784
kedelai A
-.0575500
.0258752
.259
-.162884
.047784
kedelai B
.3886000*
.0258752
.000
.283266
.493934
*
.0258752
.004
-.320784
-.110116
kedelai G2
-.2154500
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas kadar.abu Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 kedelai
N
1
2
3
kedelai B
2
kedelai H
2
5.460200
kedelai A
2
5.517750
kedelai G2
2
Sig.
5.071600
5.675650 1.000
.259
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
63
Lampiran 5. Analisis kadar protein kedelai Sampel A B G2 H
Kadar protein (%)
U
ws (gram)
VHCl (ml)
%N
1 2 1 2 1 2 1 2
0.0441 0.0440 0.0510 0.0308 0.0456 0.0542 0.0609 0.0402
6.20 6.20 7.05 4.35 6.50 7.70 8.35 5.55
5.5890 5.6017 5.5063 5.5755 5.6710 5.6658 5.4737 5.4779
BB
BK
34.9315 35.0109 34.4144 34.8469 35.4439 35.4112 34.2107 34.2370
38.3989 38.4862 37.7392 38.2135 38.8724 38.8365 37.5694 37.5983
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
34.97
38.44
0.06
0.06
34.63
37.98
0.31
0.34
35.43
38.85
0.02
0.03
34.22
37.58
0.02
0.02
One way anova ANOVA kadar.protein Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1.832
3
.611
.117
4
.029
1.949
7
F 20.814
Sig. .007
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.007 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki kadar protein yang berbeda nyata.
64
Uji lanjut Multiple Comparisons kadar.protein Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
(I) kedelai
(J) kedelai
kedelai A
kedelai B
.4662000
.1712840
.161
-.231073
1.163473
kedelai G2
-.4119000
.1712840
.218
-1.109173
.285373
kedelai H
.8587000*
.1712840
.025
.161427
1.555973
kedelai A
-.4662000
.1712840
.161
-1.163473
.231073
*
.1712840
.023
-1.575373
-.180827
kedelai H
.3925000
.1712840
.243
-.304773
1.089773
kedelai A
.4119000
.1712840
.218
-.285373
1.109173
kedelai B
.8781000
*
.1712840
.023
.180827
1.575373
kedelai H
1.2706000*
.1712840
.006
.573327
1.967873
kedelai A
*
.1712840
.025
-1.555973
-.161427
-.3925000
.1712840
.243
-1.089773
.304773
*
.1712840
.006
-1.967873
-.573327
kedelai B
kedelai G2
kedelai G2
kedelai H
-.8781000
-.8587000
kedelai B kedelai G2
-1.2706000
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas kadar.protein Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 kedelai
N
1
2
kedelai H
2
37.583850
kedelai B
2
37.976350
kedelai A
2
kedelai G2
2
Sig.
3
37.976350 38.442550
38.442550 38.854450
.243
.161
.218
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
65
Lampiran 6. Analisis kadar lemak kedelai Sampel A B G2 H
U
ws (gram)
wl (gram)
wa (gram)
1 2 1 2 1 2 1 2
2.5375 2.5118 2.5486 2.5505 2.5431 2.5345 2.5041 2.5172
107.1364 101.8125 104.4444 102.6965 107.1352 115.9017 106.3280 93.1118
107.7319 102.3998 105.0305 103.2854 107.6623 116.4276 106.8480 93.6326
Kadar lemak (%) BB
BK
23.4680 23.3816 22.9969 23.0896 20.7267 20.7497 20.7659 20.6897
25.7975 25.7026 25.2187 25.3203 22.7316 22.7568 22.8047 22.7209
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
23.42
25.75
0.06
0.07
23.04
25.27
0.07
0.07
20.74
22.74
0.02
0.02
20.73
22.76
0.05
0.06
One way anova ANOVA kadar.lemak Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
15.425
3
5.142
.013
4
.003
15.439
7
F 1524.282
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki kadar lemak yang berbeda nyata.
66
Uji lanjut Multiple Comparisons kadar.lemak Tukey HSD
(I) kedelai kedelai A
kedelai B
kedelai G2
(J) kedelai
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
kedelai B
.4805500
*
.0580797
.004
.244116
.716984
kedelai G2
3.0058500*
.0580797
.000
2.769416
3.242284
kedelai H
2.9872500*
.0580797
.000
2.750816
3.223684
kedelai A
-.4805500*
.0580797
.004
-.716984
-.244116
kedelai G2
2.5253000
*
.0580797
.000
2.288866
2.761734
kedelai H
2.5067000*
.0580797
.000
2.270266
2.743134
kedelai A
-3.0058500
*
.0580797
.000
-3.242284
-2.769416
-2.5253000
*
.0580797
.000
-2.761734
-2.288866
kedelai H
-.0186000
.0580797
.987
-.255034
.217834
kedelai A
-2.9872500
*
.0580797
.000
-3.223684
-2.750816
kedelai B
-2.5067000*
.0580797
.000
-2.743134
-2.270266
.0186000
.0580797
.987
-.217834
.255034
kedelai B
kedelai H
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
kedelai G2
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas kadar.lemak Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 kedelai
N
1
2
kedelai G2
2
22.744200
kedelai H
2
22.762800
kedelai B
2
kedelai A
2
Sig.
3
25.269500 25.750050 .987
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
67
Lampiran 7. Analisis kadar karbohidrat kedelai by difference K air (%) K abu (%) K protein (%) K lemak (%) Sampel BB BK BB BK BB BK BB BK A B G2 H
9.03 8.81 8.82 8.94
5.02 4.62 5.18 4.97
5.52 5.07 5.68 5.46
34.97 34.63 35.43 34.22
38.44 37.98 38.85 37.58
23.42 23.04 20.74 20.73
25.75 25.27 22.74 22.76
K karbohidrat (%) BB
BK
27.56 28.90 29.83 31.14
30.29 31.68 32.73 34.20
Lampiran 8. Analisis daya cerna protein kedelai Sampel A B G2 H
U
pH
DC Protein
1 2 1 2 1 2 1 2
7.70 7.73 7.74 7.74 7.75 7.75 7.74 7.69
71.0709 70.5278 70.3468 70.3468 70.1658 70.1658 70.3468 71.2519
Rata-rata
SD
70.80
0.38
70.35
0.00
70.17
0.00
70.80
0.64
One way anova ANOVA dc.protein Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
.623
3
.208
Within Groups
.557
4
.139
1.180
7
Total
F
Sig. 1.490
.345
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.345 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat kedelai memiliki daya cerna protein yang tidak berbeda nyata.
68
Lampiran 9. Analisis rendemen tempe Sampel U wkedelai (gram) 1 5000 A 2 2000 1 5000 B 2 2000 1 5000 G2 2 2000 1 5000 H 2 2000
wtempe (gram) 7192.56 3664.00 8485.96 3615.20 8794.48 3665.90 8111.17 3619.00
Rendemen (%) 143.85 183.20 169.72 180.76 175.89 183.30 162.22 180.95
Rata-rata (%) 163.53 175.24 179.59 171.59
One way anova ANOVA rendemen Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
278.467
3
92.822
Within Groups
1038.013
4
259.503
Total
1316.480
7
F
Sig. .358
.788
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.788 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe menghasilkan rendemen tempe yang tidak berbeda nyata.
69
Lampiran 10. Analisis panjang biji tempe Panjang biji Rata-rata Sampel U kedelai (mm) (mm) 1 4.69 A 4.76 2 4.82 1 6.45 B 6.53 2 6.61 1 5.13 G2 5.13 2 5.12 1 5.55 H 5.44 2 5.32
Panjang biji tempe (mm) 7.98 8.05 10.73 10.94 8.46 8.16 9.85 9.77
Rata-rata (mm)
Pengembangan panjang biji (%)
8.02
68.56
10.84
65.93
8.31
62.15
9.81
80.50
One way anova ANOVA panjang.biji Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
10.469
3
3.490
.073
4
.018
10.542
7
F 192.001
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe memiliki panjang biji yang berbeda nyata.
70
Uji lanjut Multiple Comparisons panjang.biji Tukey HSD
(I) tempe tempe A
(J) tempe
tempe G2
tempe H
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*
.13481
.000
-3.3688
-2.2712
-.29500
.13481
.268
-.8438
.2538
tempe H
-1.79500*
.13481
.001
-2.3438
-1.2462
tempe A
2.82000*
.13481
.000
2.2712
3.3688
tempe G2
2.52500
*
.13481
.000
1.9762
3.0738
tempe H
1.02500*
.13481
.006
.4762
1.5738
tempe A
.29500
.13481
.268
-.2538
.8438
tempe B
-2.52500
*
.13481
.000
-3.0738
-1.9762
tempe H
-1.50000*
.13481
.001
-2.0488
-.9512
tempe A
1.79500
*
.13481
.001
1.2462
2.3438
tempe B
-1.02500*
.13481
.006
-1.5738
-.4762
*
.13481
.001
.9512
2.0488
tempe B
-2.82000
tempe G2
tempe B
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
tempe G2
1.50000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas panjang.biji Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 tempe
N
1
2
tempe A
2
8.0150
tempe G2
2
8.3100
tempe H
2
tempe B
2
Sig.
3
9.8100 10.8350 .268
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
71
Lampiran 11. Analisis kadar air tempe Sampel
A
B
G2
H
Kadar air (%)
Rata-rata (%)
U
Ws (gram)
W(c+s) (gram)
Wa (gram)
BB
BK
1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b
4.4258 4.3169 5.8544 6.4474 4.3217 4.4783 6.3057 5.1858 4.3916 4.4453 5.3408 5.2624 4.3489 4.3042 5.2808 5.2595
9.1338 8.5128 10.9799 10.8620 8.7501 9.2021 11.3105 10.0561 9.7732 8.9115 10.4880 9.7878 8.8017 8.9740 9.9429 10.2766
6.3090 5.7348 7.2191 6.7020 5.9536 6.2848 7.3400 6.8012 6.9082 6.0314 7.1040 6.4020 5.9724 6.1870 6.4497 6.8107
63.8257 64.3517 64.2389 64.5221 64.7083 65.1430 62.9668 62.7656 65.2382 64.7898 63.3613 64.3395 65.0578 64.7507 66.1491 65.8979
176.4397 180.5186 179.6332 181.8659 183.3530 186.8866 170.0283 168.5691 187.6720 184.0084 172.9354 180.4220 186.1872 183.6936 195.4128 193.2371
SD
BB
BK
BB
BK
64.23
179.61
0.30
2.31
63.90
177.21
1.20
9.27
64.43
181.26
0.80
6.29
65.46
189.63
0.67
5.58
One way anova ANOVA kadar.air Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
5.475
3
1.825
Within Groups
7.884
12
.657
13.359
15
Total
F
Sig. 2.778
.087
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.087 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata.
72
Lampiran 12. Analisis kadar abu tempe Sampel
A
B
G2
H
U
ws (gram)
w(c+s) (gram)
wa (gram)
1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b
2.1838 2.6935 2.6232 2.7117 2.3357 2.3336 3.3995 3.4163 2.5621 2.4806 3.2602 3.1189 2.5920 2.9106 3.5649 3.0073
24.2849 20.8869 17.6128 20.6373 21.1110 23.3167 20.1621 24.0769 18.8882 20.0425 22.1218 25.9607 30.3487 23.4170 24.0666 25.6757
22.1166 18.2152 15.0161 17.9551 18.7918 20.9995 16.7958 20.6932 16.3543 17.5891 18.8953 22.8751 27.7762 20.5283 20.5350 22.6967
Kadar abu (%) BB
BK
0.7098 0.8094 1.0102 1.0879 0.7064 0.7028 0.9766 0.9542 1.1007 1.0965 1.0337 1.0677 0.7523 0.7524 0.9341 0.9410
1.9843 2.2627 2.8242 3.0413 1.9569 1.9468 2.7053 2.6433 3.0943 3.0827 2.9060 3.0016 2.1781 2.1784 2.7044 2.7245
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
0.90
2.53
0.17
0.49
0.84
2.31
0.15
0.42
1.07
3.02
0.03
0.09
0.84
2.45
0.11
0.31
One way anova ANOVA kadar.abu Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
1.146
3
.382
Within Groups
1.552
12
.129
Total
2.697
15
F
Sig. 2.953
.076
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.076 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe memiliki kadar abu yang tidak berbeda nyata.
73
Lampiran 13. Analisis kadar protein tempe Sampel
A
B
G2
H
Kadar protein (%)
U
ws (gram)
VHCl (ml)
%N
1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b
0.0787 0.0593 0.0648 0.0645 0.0780 0.0778 0.0489 0.0538 0.0612 0.0552 0.0373 0.0759 0.0432 0.0541 0.0811 0.0335
5.45 4.05 4.80 4.95 5.85 5.65 3.60 3.80 4.25 3.95 2.85 5.65 3.10 3.95 5.35 2.60
2.7468 2.6915 2.9307 3.0383 2.9786 2.8824 2.8920 2.7789 2.7399 2.8182 2.9790 2.9546 2.8060 2.8755 2.6157 3.0154
BB
BK
17.1674 16.8216 18.3168 18.9893 18.6165 18.0152 18.0753 17.3678 17.1247 17.6136 18.6187 18.4662 17.5373 17.9717 16.3480 18.8461
47.9939 47.0272 51.2070 53.0871 51.5694 49.9036 50.0700 48.1103 48.1436 49.5181 52.3439 51.9150 50.7740 52.0316 47.3306 54.5631
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
17.82
49.83
1.01
2.81
18.02
49.91
0.51
1.42
17.96
50.48
0.71
1.99
17.68
51.17
1.04
3.01
One way anova ANOVA kadar.protein Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
4.638
3
1.546
Within Groups
68.820
12
5.735
Total
73.459
15
F
Sig. .270
.846
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.846 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata.
74
Lampiran 14. Analisis kadar lemak tempe Sampel
A
B
G2
H
U
ws (gram)
wl (gram)
wa (gram)
1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b
5.1461 4.9004 4.7801 4.1457 5.0701 4.9634 4.3066 4.1519 4.6902 4.9867 4.1604 4.1200 4.5799 4.7988 4.2505 4.1600
115.9024 104.4391 107.1208 104.4576 107.0769 96.4591 115.8979 93.1134 101.8145 102.6897 106.3226 97.2648 101.6965 103.1781 102.6953 115.8844
116.2901 104.8051 107.5989 104.8692 107.4805 96.8405 116.2252 93.4317 102.1620 103.0647 106.5766 97.5205 102.0215 103.5236 102.9732 116.1618
Kadar lemak (%) BB
BK
7.5339 7.4688 10.0019 9.9285 7.9604 7.6842 7.5999 7.6663 7.4091 7.5200 6.1052 6.2064 7.0962 7.1997 6.5381 6.6683
21.0620 20.8800 27.9618 27.7564 22.0510 21.2860 21.0524 21.2364 20.8295 21.1414 17.1638 17.4483 20.5449 20.8446 18.9289 19.3060
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
8.73
24.42
1.42
3.98
7.73
21.41
0.16
0.44
6.81
19.15
0.76
2.13
6.88
19.91
0.32
0.93
One way anova ANOVA kadar.lemak Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
65.088
3
21.696
Within Groups
64.299
12
5.358
129.387
15
Total
F
Sig. 4.049
.033
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.033 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tempe memiliki kadar lemak yang tidak berbeda nyata.
75
Uji lanjut Multiple Comparisons kadar.lemak Tukey HSD Mean Difference (I-J)
95% Confidence Interval
(I) tempe
(J) tempe
tempe A
tempe B
3.0086000
1.6368005
.304
-1.850899
7.868099
tempe G2
5.2693000*
1.6368005
.032
.409801
10.128799
tempe H
4.5089500
1.6368005
.072
-.350549
9.368449
tempe A
-3.0086000
1.6368005
.304
-7.868099
1.850899
tempe G2
2.2607000
1.6368005
.533
-2.598799
7.120199
tempe H
1.5003500
1.6368005
.797
-3.359149
6.359849
tempe A
-5.2693000*
1.6368005
.032
-10.128799
-.409801
tempe B
-2.2607000
1.6368005
.533
-7.120199
2.598799
tempe H
-.7603500
1.6368005
.965
-5.619849
4.099149
tempe A
-4.5089500
1.6368005
.072
-9.368449
.350549
tempe B
-1.5003500
1.6368005
.797
-6.359849
3.359149
.7603500
1.6368005
.965
-4.099149
5.619849
tempe B
tempe G2
tempe H
tempe G2
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas kadar.lemak Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 tempe
N
1
2
tempe G2
4
19.145750
tempe H
4
19.906100
19.906100
tempe B
4
21.406450
21.406450
tempe A
4
Sig.
24.415050 .533
.072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 15. Analisis kadar karbohidrat tempe by difference K air (%) K abu (%) K protein (%) K lemak (%) Sampel BB BK BB BK BB BK BB BK A 64.23 0.90 2.53 17.82 49.83 8.73 24.42 B 63.90 0.84 2.31 18.02 49.91 7.73 21.41 G2 64.43 1.07 3.02 17.96 50.48 6.81 19.15 H 65.46 0.84 2.45 17.68 51.17 6.88 19.91
K karbohidrat (%) BB 8.32 9.51 9.73 9.14
BK 23.22 26.37 27.35 26.47
76
Lampiran 16. Rekapitulasi analisis organoleptik tempe Warna Aroma Rasa Panelis A B G2 H A B G2 H A B G2 1 5 4 4 5 4 4 4 5 3 3 5 2 5 4 4 5 4 4 4 5 3 3 5 3 7 6 3 4 7 6 5 7 4 5 4 4 4 5 3 4 4 4 3 4 3 5 6 5 5 6 4 4 7 6 2 6 1 3 4 6 6 7 2 6 5 6 2 7 3 6 2 7 6 6 2 7 7 6 2 7 6 4 3 8 6 6 3 4 6 6 4 6 4 6 4 9 5 6 3 4 5 6 5 4 3 2 2 10 6 4 2 5 3 5 2 6 4 5 2 11 4 5 3 5 1 3 2 2 3 4 6 12 7 7 2 6 4 6 1 6 3 6 2 13 6 6 3 6 5 6 2 6 5 6 2 14 6 7 2 5 6 6 2 5 5 6 5 15 7 7 5 7 7 6 6 6 6 6 3 16 2 6 6 2 6 5 2 6 6 6 5 17 4 6 5 6 2 6 3 5 4 5 5 18 6 6 5 5 7 6 5 6 6 5 4 19 6 6 6 6 4 5 3 6 2 3 3 20 6 6 6 6 5 6 3 5 6 6 5 21 6 5 6 3 5 6 6 4 4 4 6 22 6 4 2 7 7 3 2 6 6 6 2 23 2 2 4 6 3 2 5 6 3 1 2 24 6 6 6 4 6 7 4 6 6 6 3 25 5 6 3 7 4 6 4 6 5 6 3 26 7 6 4 5 6 4 3 5 6 4 3 27 5 6 2 6 3 3 2 6 6 5 2 28 6 4 1 2 1 7 1 6 5 7 1 29 5 7 5 6 5 6 3 6 5 5 3 30 7 4 2 6 6 6 3 3 6 5 1 31 4 3 2 4 6 6 6 5 3 3 4 32 5 5 4 4 4 4 3 4 4 3 5 33 2 6 1 6 7 4 3 6 6 3 1 34 5 6 4 4 6 6 3 4 5 7 3 35 6 4 4 5 6 3 3 5 5 4 3 36 7 7 4 5 6 7 2 7 4 6 4 37 6 6 2 4 6 6 3 3 5 6 2 38 6 6 2 5 3 6 4 4 6 5 2 39 6 6 2 6 6 6 2 4 4 2 1 40 5 6 2 3 5 6 1 5 6 7 3
H 6 6 4 4 2 6 6 6 3 6 3 4 6 6 6 6 4 6 6 6 5 6 5 4 6 5 6 7 6 3 5 2 4 3 5 3 3 2 6 7
A 4 4 5 5 2 6 6 4 2 4 3 5 6 6 6 6 6 6 4 6 5 7 4 6 4 7 6 7 5 6 4 4 6 5 6 6 7 6 5 6
Tekstur B G2 5 4 5 4 6 4 5 5 3 5 7 5 5 3 7 3 4 3 5 2 3 4 6 3 6 4 6 5 5 4 6 6 4 5 5 5 4 5 6 6 6 5 6 4 4 4 7 4 6 4 5 3 6 2 5 4 5 6 6 3 2 4 4 5 6 4 6 5 4 3 7 3 7 4 4 2 6 6 6 6
H 4 4 4 5 2 7 7 6 3 6 5 6 6 6 6 6 5 5 6 6 4 3 5 5 6 6 6 6 6 3 5 3 6 5 5 3 3 6 2 5
A 4 4 6 5 3 5 6 5 4 4 3 4 5 5 6 5 3 6 3 6 4 7 3 6 4 6 6 3 5 6 5 4 5 5 6 6 6 6 6 6
Keseluruhan B G2 H 4 4 5 4 4 5 6 4 4 5 4 5 6 4 3 7 2 7 5 3 7 6 4 6 5 4 4 5 2 6 3 3 4 6 2 5 6 3 6 6 3 5 5 4 6 6 5 5 5 4 5 5 5 5 2 5 6 6 5 6 5 6 5 3 2 6 2 3 5 7 4 4 6 4 6 4 3 5 6 2 6 6 1 6 6 4 6 5 2 3 3 4 5 4 4 2 4 3 5 6 3 4 4 3 5 7 3 3 6 3 3 6 3 2 3 2 3 7 3 5
77
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:warna Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 3915.519 43 panelis 83.494 39 sampel 116.769 3 Error 183.481 117 Total 4099.000 160 a. R Squared = ,955 (Adjusted R Squared = ,939)
91.059 2.141 38.923 1.568
F
Sig.
58.065 1.365 24.820
.000 .104 .000
warna Duncan sampel
Subset
N
1
2
G2 40 3.37 H 40 5.00 A 40 5.40 B 40 5.50 Sig. 1.000 .094 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,568. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:aroma Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 3731.350 43 panelis 104.100 39 sampel 130.350 3 Error 188.650 117 Total 3920.000 160 a. R Squared = ,952 (Adjusted R Squared = ,934)
86.776 2.669 43.450 1.612
F 53.818 1.655 26.948
Sig. .000 .021 .000
aroma Duncan sampel
N
Subset 1
2
G2 40 3.12 A 40 5.00 H 40 5.27 B 40 5.30 Sig. 1.000 .324 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,612.
78
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:rasa Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 3196.550 43 panelis 104.400 39 sampel 64.550 3 Error 223.450 117 Total 3420.000 160 a. R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,911)
74.338 2.677 21.517 1.910
F
Sig.
38.924 1.402 11.266
.000 .086 .000
rasa Duncan sampel
Subset
N
1
2
G2 40 3.28 A 40 4.50 B 40 4.75 H 40 4.88 Sig. 1.000 .257 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,910. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tekstur Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 3948.569 43 panelis 84.944 39 sampel 31.819 3 Error 152.431 117 Total 4101.000 160 a. R Squared = ,963 (Adjusted R Squared = ,949)
91.827 2.178 10.606 1.303
F 70.483 1.672 8.141
Sig. .000 .019 .000
tekstur Duncan sampel
N
Subset 1
2
G2 40 4.15 H 40 4.95 A 40 5.20 B 40 5.27 Sig. 1.000 .234 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,303.
79
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:keseluruhan Source
Type III Sum of Squares
df a
Model 3465.075 43 panelis 58.375 39 sampel 76.075 3 Error 166.925 117 Total 3632.000 160 a. R Squared = ,954 (Adjusted R Squared = ,937)
Mean Square 80.583 1.497 25.358 1.427
F 56.482 1.049 17.774
Sig. .000 .410 .000
keseluruhan Duncan sampel
N
Subset 1
2
G2 40 3.38 H 40 4.88 A 40 4.92 B 40 5.08 Sig. 1.000 .485 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,427.
80
Lampiran 17. Analisis rendemen tepung tempe Sampel U W tempe (gram) W tepung (gram) 1 3587.59 1296.10 A 2 1379.10 519.10 1 3236.49 1007.90 B 2 1371.80 517.40 1 4402.09 1578.00 G2 2 1480.20 542.80 1 3746.81 1341.40 H 2 1470.10 505.50
Rendemen (%) 36.13 37.64 31.14 37.72 35.85 36.67 35.80 34.39
Rata-rata (%) 36.88 34.43 36.26 35.09
Lampiran 18. Analisis warna tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Sampel U L a b L a 1 55.45 +2.03 +13.29 A 2 55.44 +2.03 +13.29 55.44 +2.03 3 55.44 +2.02 +13.31 1 56.16 +1.90 +14.10 B 2 56.12 +1.90 +14.14 56.13 +1.90 3 56.11 +1.89 +14.15 1 55.20 +2.23 +12.75 G2 2 55.19 +2.25 +12.77 55.19 +2.24 3 55.18 +2.23 +12.76 1 55.65 +2.14 +14.05 H 2 55.64 +2.12 +14.06 55.64 +2.13 3 55.63 +2.12 +14.08 1 57.76 +1.41 +13.76 M 2 57.76 +1.41 +13.77 57.76 1.41 3 57.76 +1.41 +13.77
b +13.30
+14.13
+12.76
+14.06
13.77
Lampiran 19. Analisis indeks penyerapan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial W tabung W sampel W akhir IPA Rata-rata Sampel U (gram) (gram) (gram) (g/g) (g/g) 1
6.79
1.03
12.2775
4.3277
2
6.81
1.00
11.9399
4.1299
1
6.58
1.00
12.3432
4.7632
2
6.72
1.01
12.4309
4.6544
1
6.71
1.00
12.3463
4.6363
2
6.73
1.03
12.3909
4.4960
H
1 2
6.77 6.74
1.03 1.02
12.3913 12.2245
M
1 2
6.74 6.57
1.01 1.05
13.2115 12.6229
A B G2
SD
4.23
0.14
4.71
0.08
4.57
0.10
4.4576 4.3770
4.42
0.06
5.5115 4.8643
5.19
0.46
81
Lampiran 20. Analisis indeks kelarutan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial W cawan W akhir IKA Rata-rata Sampel U (gram) (gram) (gram/ml) (gram/ml) A B G2 H M
1
2.4333
2.4500
0.0084
2
2.1413
2.1603
0.0095
1
2.1950
2.2070
0.0060
2
2.1025
2.1160
0.0068
1
2.1274
2.1514
0.0120
2
2.0979
2.1202
0.0112
1
2.1175
2.1357
0.0091
2
5.3553
5.3732
0.0090
1 2
3.0362 3.0816
3.0826 3.1340
0.0232 0.0262
SD
0.009
0.00
0.006
0.00
0.012
0.00
0.009
0.00
0.02
0.00
82
Lampiran 21. Diagram pengolahan kedelai menjadi tempe dan tempe menjadi tepung tempe Diagram massa pengolahan kedelai menjadi tempe Kedelai 3 x berat kedelai
Air
Perebusan Perendaman
Air
Ka 8-13 %
150 % kedelai
Pengupasan kulit
Kulit
Pencucian
Air
8-12 % kedelai
Kedelai rebus 1 gram/kg kedelai
Ragi
Pencampuran
Plastik
Pengemasan
Pemeraman 130-170 % Tempe
Ka 60-65 %
Diagram massa pengolahan tempe menjadi tepung tempe Tempe
Ka 60-65 %
Pengirisan
Uap panas
Blansir
Uap air
Udara panas
Pengeringan
Air
Tempe kering
37 % tempe
Penggilingan
Bagian tertinggal
Tepung tempe
35 % tempe Ka 5 %
83
Lampiran 22. Analisis kadar air tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Kadar air (%) Rata-rata (%) SD Sampel U ws (gram) w(c+s) (gram) wa (gram) BB BK BB BK BB BK 1a 2.1553 6.8178 6.7176 4.6490 4.8757 1b 2.1472 6.9309 6.8185 5.2347 5.5239 A 4.20 4.39 0.89 0.97 2a 2.0048 7.0587 6.9882 3.5166 3.6447 2b 2.0130 7.4043 7.3360 3.3929 3.5121 1a 2.2800 6.8237 6.7072 5.1096 5.3848 1b 2.1912 7.0145 6.8854 5.8917 6.2606 B 4.66 4.90 1.02 1.13 2a 2.0646 6.3830 6.3017 3.9378 4.0992 2b 2.0373 7.0611 6.9856 3.7059 3.8485 1a 2.3616 7.0198 6.8748 6.1399 6.5416 1b 2.0469 6.7011 6.5778 6.0237 6.4099 G2 4.90 5.17 1.37 1.51 2a 2.0014 6.6640 6.5884 3.7774 3.9256 2b 2.0044 7.0449 6.9715 3.6619 3.8011 1a 2.4817 7.4948 7.3530 5.7138 6.0601 1b 2.3743 7.4215 7.2962 5.2773 5.5714 H 4.63 4.86 1.01 1.12 2a 2.0249 7.0649 6.9879 3.8027 3.9530 2b 2.0188 6.7585 6.6832 3.7299 3.8745 1 2.1217 6.6493 6.4985 7.1075 7.6513 M 7.11 7.65 0.00 0.00 2 2.1217 6.6493 6.4985 7.1075 7.6513 One way anova ANOVA kadar.air Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
1.026
3
.342
Within Groups
14.223
12
1.185
Total
15.249
15
F
Sig. .289
.833
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.833 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tepung tempe dan bubuk kedelai komersial memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata.
84
Lampiran 23. Analisis kadar abu tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Kadar abu (%) Rata-rata (%) SD Sampel U ws (gram) w(c+s) (gram) wa (gram) BB BK BB BK BB BK
A
B
G2
H
M
1a
2.3579
20.4555
18.1772
3.3759
3.5239
1b
2.1177
20.8330
18.7868
3.3763
3.5243
2a
1.0304
19.8853
18.8830
2.7271
2.8467
2b
0.9653
19.7349
18.7950
2.6313
2.7467
1a
2.1940
17.1874
15.0597
3.0219
3.1696
1b
2.2690
22.9286
20.7286
3.0410
3.1896
2a
1.1494
20.4386
19.3141
2.1663
2.2722
2b
0.9605
21.6203
20.6798
2.0822
2.1840
1a
2.1656
24.4819
22.3845
3.1492
3.3115
1b
2.0617
23.8468
21.8494
3.1188
3.2795
2a
2.0140
16.9972
15.0280
2.2244
2.3390
2b
0.9699
19.9174
18.9706
2.3817
2.5044
1a
2.2613
20.4223
18.2422
3.5909
3.7652
1b
2.3307
21.1011
18.8640
4.0160
4.2109
2a
2.0603
23.8444
21.8304
2.2472
2.3563
2b
0.9167
28.6693
27.7724
2.1599
2.2648
1
2.1341
23.1154
21.0711
4.2079
4.5299
2
2.1341
23.1154
21.0711
4.2079
4.5299
3.03
3.16
0.40
0.42
2.58
2.70
0.52
0.55
2.72
2.86
0.48
0.51
3.00
3.15
0.94
0.99
0.00
0.00
4.21
4.53
One way anova ANOVA kadar.abu Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
.607
3
.202
Within Groups
5.139
12
.428
Total
5.745
15
F
Sig. .472
.707
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.707 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tepung tempe dan bubuk kedelai komersial memiliki kadar abu yang tidak berbeda nyata.
85
Lampiran 24. Analisis kadar protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Kadar protein (%) Rata-rata (%) SD Sampel U ws (gram) VHCl (ml) %N BB BK BB BK BB BK
A
B
G2
H
M
1a
0.0368
6.90
7.4663
46.6645
48.7104
1b
0.0479
8.90
7.4232
46.3952
48.4292
2a
0.0387
6.85
7.0476
44.0472
45.9783
2b
0.0385
6.10
6.2970
39.3565
41.0819
1a
0.0483
8.70
7.1944
44.9653
47.1631
1b
0.0380
7.00
7.3369
45.8555
48.0968
2a
0.0377
7.10
7.5024
46.8902
49.1821
2b
0.0207
3.95
7.5151
46.9695
49.2653
1a
0.0321
5.80
7.1749
44.8431
47.1536
1b
0.0384
6.95
7.2078
45.0490
47.3701
2a
0.0218
4.00
7.2286
45.1787
47.5065
2b
0.0283
5.25
7.3530
45.9565
48.3244
1a
0.0364
6.75
7.3819
46.1367
48.3765
1b
0.0351
6.55
7.4250
46.4065
48.6594
2a
0.0235
4.50
7.5654
47.2836
49.5791
2b
0.0230
4.35
7.4663
46.6645
48.9300
1
0.0449
8.95
6.4880
40.5499
43.6537
2
0.0424
8.75
6.7153
41.9704
45.1829
44.12
46.05
3.38
3.53
46.17
48.43
0.95
1.00
45.26
47.59
0.49
0.51
46.62
48.89
0.49
0.51
41.26
44.42
1.00
1.08
One way anova ANOVA kadar.protein Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
18.659
3
6.220
Within Groups
41.983
12
3.499
Total
60.642
15
F
Sig. 1.778
.205
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.205 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tepung tempe dan bubuk kedelai komersial memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata.
86
Lampiran 25. Analisis kadar lemak tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Kadar lemak (%) Rata-rata (%) SD Sampel U ws (gram) wl (gram) wa (gram) BB BK BB BK BB BK
A
B
G2
H
M
1a
2.5337
101.8134
102.4895
26.6843
27.8542
1b
2.5421
102.6977
103.3782
26.7692
27.9428
2a
2.0115
101.8121
102.2632
22.4261
23.4092
2b
2.0376
97.8159
98.2767
22.6148
23.6063
1a
2.5483
104.4425
105.1824
29.0350
30.4542
1b
2.5118
97.2617
97.9866
28.8598
30.2704
2a
2.0056
107.0752
107.5433
23.3396
24.4804
2b
2.0508
115.9028
116.3763
23.0886
24.2171
1a
2.5528
107.0762
107.7212
25.2664
26.5682
1b
2.5234
93.1128
93.7459
25.0892
26.3819
2a
2.0010
106.3215
106.7666
22.2439
23.3900
2b
2.0228
82.7466
83.1985
22.3403
23.4914
1a
2.5237
115.9608
116.5693
24.1114
25.2820
1b
2.5462
101.8125
102.4847
26.4001
27.6818
2a
2.0016
107.0627
107.5292
23.3064
24.4378
2b
2.0473
102.7029
103.1762
23.1183
24.2406
1
1.5202
97.2496
97.6547
26.647809
28.68749
2
1.5202
97.2496
97.6547
26.647809
28.68749
24.62
25.70
2.43
2.54
26.08
27.36
3.31
3.47
23.73
24.96
1.67
1.75
24.23
25.41
1.51
1.58
26.65
28.69
0.00
0.00
One way anova ANOVA kadar.lemak Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
13.108
3
4.369
Within Groups
72.236
12
6.020
Total
85.344
15
F
Sig. .726
.556
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.556 (> 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tepung tempe dan bubuk kedelai komersial memiliki kadar lemak yang tidak berbeda nyata.
87
Lampiran 26. Analisis kadar karbohidrat tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial by difference K air (%) K abu (%) K protein (%) K lemak (%) K karbohidrat (%) Sampel BB BK BB BK BB BK BB BK BB BK A
4.20
3.03
3.16
44.12
46.05
24.62
25.70
24.03
25.09
B
4.66
2.58
2.70
46.17
48.43
26.08
27.36
20.51
21.51
G2
4.90
2.72
2.86
45.26
47.59
23.73
24.96
23.39
24.59
H
4.63
3.00
3.15
46.62
48.89
24.23
25.41
21.52
22.55
M
7.11
4.21
4.53
41.26
44.42
26.65
28.69
20.77
22.36
Lampiran 27. Analisis daya cerna protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial Sampel A B G2 H M
U
pH
DC Protein (%)
1
7.19
80.3034
2
7.21
79.9414
1
7.46
75.4156
2
7.46
75.4156
1
7.39
76.6828
2
7.41
76.3208
1
7.29
78.4931
2
7.29
78.4931
1 2
7.03 7.04
83.1999 83.0189
Rata-rata (%) 80.12 75.42 76.50 78.49 83.11
One way anova ANOVA dc.protein Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
74.248
4
18.562
.147
5
.029
74.396
9
F 629.545
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat tepung tempe dan bubuk kedelai komersial memiliki daya cerna protein yang berbeda nyata.
88
Uji lanjut Multiple Comparisons dc.protein Tukey HSD
(I) sampel
Mean Difference (IJ) Std. Error
(J) sampel
bubuk kedelai tepung tempe A M tepung tempe B tepung tempe G2 tepung tempe H tepung tempe A bubuk kedelai M
Sig.
Lower Bound Upper Bound
2.9870000
*
.1717117
.000
2.298178
3.675822
7.6938000
*
.1717117
.000
7.004978
8.382622
6.6076000
*
.1717117
.000
5.918778
7.296422
4.6163000
*
.1717117
.000
3.927478
5.305122
*
.1717117
.000
-3.675822
-2.298178
*
-2.9870000
tepung tempe B
4.7068000
.1717117
.000
4.017978
5.395622
tepung tempe G2
3.6206000* .1717117
.000
2.931778
4.309422
*
.1717117
.001
.940478
2.318122
-7.6938000
*
.1717117
.000
-8.382622
-7.004978
-4.7068000
*
.1717117
.000
-5.395622
-4.017978
-1.0862000
*
.1717117
.008
-1.775022
-.397378
-3.0775000
*
.1717117
.000
-3.766322
-2.388678
-6.6076000
*
.1717117
.000
-7.296422
-5.918778
-3.6206000
*
.1717117
.000
-4.309422
-2.931778
1.0862000* .1717117
.008
.397378
1.775022
tepung tempe H tepung tempe B bubuk kedelai M tepung tempe A tepung tempe G2 tepung tempe H tepung tempe G2
95% Confidence Interval
bubuk kedelai M tepung tempe A
1.6293000
tepung tempe B
-1.9913000
*
.1717117
.000
-2.680122
-1.302478
-4.6163000
*
.1717117
.000
-5.305122
-3.927478
-1.6293000
*
.1717117
.001
-2.318122
-.940478
*
.1717117
.000
2.388678
3.766322
tepung tempe G2 1.9913000 .1717117 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
.000
1.302478
2.680122
tepung tempe H tepung tempe H bubuk kedelai M tepung tempe A tepung tempe B
3.0775000
*
Homogenitas dc.protein Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 sampel tepung tempe B tepung tempe G2 tepung tempe H tepung tempe A bubuk kedelai M Sig.
N
1 2 2 2 2 2
2
3
4
5
75.415600 76.501800 78.493100 80.122400 1.000
1.000
1.000
1.000
83.109400 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
89
Lampiran 28. Rekapitulasi analisis organoleptik formulasi tepung tempe Warna Aroma Panelis F1 F2 F3 F4 F5 F1 F2 F3 F4 F5 1 4 5 6 6 6 4 6 6 6 6 2 3 4 6 6 5 6 5 5 5 4 3 3 3 3 3 3 4 4 6 6 6 4 6 6 6 6 6 4 4 4 3 3 5 6 6 4 5 6 6 6 5 5 5 6 7 7 6 6 6 6 6 6 6 6 7 5 2 4 2 2 5 4 5 4 4 8 5 4 6 5 5 3 3 6 7 7 9 6 2 5 2 2 4 6 6 3 3 10 5 3 5 4 4 4 3 4 4 4 11 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 12 3 4 3 5 3 4 5 5 5 6 13 2 5 6 5 6 2 6 5 6 6 14 5 5 6 6 5 5 5 6 6 5 15 3 3 5 5 4 2 4 5 6 5 16 3 3 4 3 4 4 3 3 3 3 17 2 3 4 4 3 2 3 3 3 4 18 5 6 3 6 4 2 5 4 6 3 19 5 5 3 3 3 4 5 5 4 5 20 4 6 5 6 5 2 5 6 4 3 21 2 3 6 5 3 4 6 6 6 6 22 5 6 6 5 5 3 5 6 5 6 23 5 5 5 5 5 5 5 6 6 5 24 5 5 6 4 4 5 6 6 5 5 25 4 3 2 2 2 2 3 3 3 3 26 4 6 6 6 6 4 6 7 7 6 27 1 5 5 6 3 2 6 6 5 3 28 6 3 3 4 4 4 6 6 6 5 29 3 5 6 6 3 2 2 1 3 2 30 5 3 3 3 3 5 4 6 6 6 31 2 2 2 4 2 4 5 6 6 4 32 1 3 7 7 5 2 3 6 5 5
F1 3 3 3 5 4 7 5 5 5 4 4 3 2 4 3 3 2 2 6 5 4 5 4 5 2 4 1 6 2 6 6 5
F2 4 5 2 2 5 7 4 3 4 4 3 5 6 3 5 2 6 6 2 2 5 5 5 3 3 6 5 5 1 5 4 5
Rasa F3 6 6 4 6 6 6 4 6 6 5 5 4 5 4 6 4 2 1 5 3 6 6 3 5 3 7 6 5 3 5 6 6
F4 5 6 3 4 4 5 4 7 5 4 6 5 6 3 6 3 3 5 5 4 4 6 2 5 3 7 4 5 5 6 7 2
F5 6 5 2 2 4 7 2 3 4 3 5 5 6 3 4 3 2 6 3 2 2 6 3 6 3 6 2 5 2 6 2 5
F1 5 4 4 2 2 6 5 3 2 4 6 4 2 3 3 3 2 4 5 3 5 5 3 3 3 3 5 3 2 6 6 2
F2 2 4 4 4 5 7 3 3 2 4 4 5 6 2 4 3 5 6 5 2 5 5 2 3 3 6 3 3 2 4 2 2
Tekstur F3 3 5 4 3 5 7 3 4 3 4 4 4 4 2 2 3 1 4 3 2 6 6 3 3 3 7 3 3 4 5 3 2
F4 2 5 4 2 3 7 3 5 3 4 4 5 3 2 4 3 1 7 3 2 5 6 3 4 3 7 3 3 3 5 6 2
F5 6 6 4 2 5 6 3 4 3 4 4 3 5 3 2 3 1 4 4 3 2 6 3 5 3 6 3 3 2 6 6 2
F1 3 3 4 5 3 6 5 5 5 4 5 4 2 3 2 3 2 3 5 3 2 5 4 4 2 4 3 5 2 6 5 3
Keseluruhan F2 F3 F4 4 5 4 4 5 5 3 4 3 3 5 4 5 5 4 7 6 6 3 4 3 3 6 6 4 6 3 3 5 4 3 5 6 5 4 5 6 5 5 3 3 3 4 5 5 3 3 3 5 2 3 6 2 6 4 4 4 2 2 2 5 6 4 5 6 6 4 5 3 3 4 4 3 3 3 6 7 7 4 6 5 4 3 4 2 3 4 4 5 5 2 4 6 5 5 3
F5 6 4 3 2 5 6 2 4 3 4 5 5 6 3 4 3 3 4 4 2 2 6 4 5 3 6 4 4 2 6 2 4
90
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:warna Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
3244.850
a
36
90.135
72.505
.000
panelis
160.944
31
5.192
4.176
.000
formula
12.650
4
3.162
2.544
.043
Error
154.150
124
1.243
Total
3399.000
160
a. R Squared = ,955 (Adjusted R Squared = ,941) warna Duncan Subset formula
N
1
2
F1
32
4.09
F5
32
4.12
F2
32
4.25
4.25
F4
32
4.69
4.69
F3
32
4.75
Sig.
.052
.092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,243. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:aroma Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
3640.488
a
36
101.125
118.843
.000
panelis
142.800
31
4.606
5.414
.000
formula
38.088
4
9.522
11.190
.000
Error
105.512
124
.851
Total
3746.000
160
a. R Squared = ,972 (Adjusted R Squared = ,964)
91
aroma Duncan Subset formula
N
1
2
3
F1
32
F5
32
4.66
F2
32
4.69
4.69
F4
32
5.00
5.00
F3
32
Sig.
3.75
5.16 1.000
.163
.056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,851. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:rasa Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
3135.738
a
36
87.104
54.754
.000
panelis
146.394
31
4.722
2.969
.000
formula
22.337
4
5.584
3.510
.009
Error
197.262
124
1.591
Total
3333.000
160
a. R Squared = ,941 (Adjusted R Squared = ,924) rasa Duncan Subset formula
N
1
2
3
F5
32
3.91
F1
32
4.00
4.00
F2
32
4.12
4.12
F4
32
F3
32
Sig.
4.66
4.66 4.84
.518
.050
.553
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,591.
92
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tekstur Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
2450.900
a
36
68.081
64.394
.000
panelis
200.400
31
6.465
6.114
.000
.500
4
.125
.118
.976
Error
131.100
124
1.057
Total
2582.000
160
formula
a. R Squared = ,949 (Adjusted R Squared = ,934) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:keseluruhan Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
2814.288a
36
78.175
75.902
.000
panelis
129.975
31
4.193
4.071
.000
formula
11.087
4
2.772
2.691
.034
Error
127.712
124
1.030
Total
2942.000
160
a. R Squared = ,957 (Adjusted R Squared = ,944) keseluruhan Duncan Subset formula
N
1
2
F1
32
3.75
F5
32
3.94
3.94
F2
32
3.97
3.97
F4
32
4.31
F3
32
4.47
Sig.
.421
.057
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,030.
93
Lampiran 29. Analisis indeks penyerapan air minuman tepung tempe W tabung W sampel W akhir IPA Sampel U (gram) (gram) (gram) (g/g) A B G2 H
1
6.72
1.01
8.4131
0.6763
2
6.73
1.00
8.3089
0.5789
1
6.87
1.01
8.3182
0.4339
2
6.91
1.01
8.1098
0.1879
1
6.68
1.00
8.3383
0.6583
2
6.75
1.02
8.4174
0.6347
1
6.68
1.03
8.1072
0.3856
2
6.79
1.00
8.0102
0.2202
Lampiran 30. Analisis indeks kelarutan air minuman tepung tempe W cawan W akhir IKA Sampel U (gram) (gram) (gram/ml) A B G2 H
1
2.0861
2.2032
0.0585
2
2.1441
2.2378
0.0469
1
2.1063
2.2229
0.0583
2
2.1512
2.2546
0.0517
1
2.1155
2.2339
0.0592
2
2.0885
2.2198
0.0657
1
2.2011
2.3245
0.0617
2
2.1942
2.3234
0.0646
Lampiran 31. Analisis warna minuman tepung tempe Sampel U L a b A
B
G2
H
1
45.97
+4,95
+8,26
2
45.96
+4,94
+8,29
3
45.95
+4,93
+8,31
1
46.08
+5,03
+8,43
2
46.07
+5,02
+8,38
3
46.06
+5,02
+8,40
1
46.82
+4,80
+8,38
2
46.81
+4,80
+8,40
3
46.81
+4,80
+8,40
1
46.15
+4,99
+8,36
2
46.14
+5,02
+8,38
3
46.13
+4,99
+8,41
Rata-rata (g/g)
SD
0.63
0.07
0.31
0.17
0.65
0.02
0.30
0.12
Rata-rata (gram/ml)
SD
0.05
0.01
0.06
0.00
0.06
0.00
0.06
0.00
L
a
b
45.96
+4.94
+8.29
46.07
+5.02
+8.40
46.81
+4.80
+8.39
46.14
+5.00
+8.38
94
Lampiran 32. Analisis kadar air minuman tepung tempe Kadar air (%) ws w(c+s) wa Sampel U (gram) (gram) (gram) BB BK A B G2 H
1
2.0492
7.0558
6.8468
10.1991
11.3575
2
2.0393
6.3393
6.1268
10.4202
11.6324
1
2.0322
6.7277
6.5511
8.6901
9.5171
2
2.1680
6.7477
6.5703
8.1827
8.9119
1
2.0521
7.1873
7.1036
4.0787
4.2522
2
2.1545
6.6811
6.5775
4.8085
5.0514
1
2.0999
6.7438
6.5780
7.8956
8.5725
2
2.1396
7.5258
7.3696
7.3004
7.8754
Lampiran 33. Analisis kadar abu minuman tepung tempe Kadar abu (%) ws w(c+s) Sampel U wa (gram) (gram) (gram) BB BK A B G2 H
1
1.0198
22.4610
21.4635
2.1867
2.4381
2
2.0971
20.8704
18.7957
1.0681
1.1909
1
2.1504
20.8678
18.7400
1.0510
1.1478
2
2.0480
23.8370
21.8090
0.9766
1.0666
1
2.0271
20.9760
18.9808
1.5737
1.6468
2
2.2609
20.4228
18.1940
1.4198
1.4858
1
2.2736
25.1178
22.8671
1.0072
1.0901
2
2.1474
20.3422
18.2176
1.0617
1.1491
Lampiran 34. Analisis kadar protein minuman tepung tempe Kadar protein (%) Sampel U ws (gram) VHCl (ml) %N BB BK A B G2 H
1
0.0448
4.45
3.1961
19.9758
22.2721
2
0.0489
4.75
3.1301
19.5631
21.8119
1
0.0411
4.20
3.2836
20.5227
22.4145
2
0.0406
4.25
3.3646
21.0288
22.9673
1
0.0435
4.40
3.2538
20.3363
21.2812
2
0.0435
4.40
3.2538
20.3363
21.2812
1
0.0418
4.15
3.1893
19.9330
21.5725
2
0.0438
4.40
3.2315
20.1970
21.8582
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
10.31
11.49
0.16
0.19
8.44
9.21
0.36
0.43
4.44
4.65
0.52
0.57
7.60
8.22
0.42
0.49
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
1.63
1.81
0.79
0.88
1.01
1.11
0.05
0.06
1.50
1.57
0.11
0.11
1.03
1.12
0.04
0.04
Rata-rata (%)
SD
BB
BK
BB
BK
19.77
22.04
0.29
0.33
20.78
22.69
0.36
0.39
20.34
21.28
0.00
0.00
20.06
21.72
0.19
0.20
95
Lampiran 35. Analisis kadar lemak minuman tepung tempe Kadar lemak Sampel U ws (gram) wl (gram) wa (gram) BB BK A B G2 H
Rata-rata (%)
1
2.0447
107.1364
107.7319
29.1241
32.4719
2
2.0638
101.8125
102.3998
28.4572
31.7284
1 2
2.5486 2.5505
104.4444 102.6965
105.0305 103.2854
22.9969 23.0896
25.1168 25.2180
1
2.5431
107.1352
107.6623
20.7267
21.6897
2
2.5345
115.9017
116.4276
20.7497
21.7137
1
2.5041
106.3280
106.8480
20.7659
22.4740
2
2.5172
93.1118
93.6326
20.6897
22.3914
SD
BB
BK
BB
BK
28.79
32.10
0.47
0.53
23.04
25.17
0.07
0.07
20.74
21.70
0.02
0.02
20.73
22.43
0.05
0.06
Lampiran 36. Analisis kadar karbohidrat minuman tepung tempe K air (%) K abu (%) K protein (%) K lemak (%) Sampel BB BK BB BK BB BK BB BK
K karbohidrat BB
BK
A
10.31
-
1.63
1.81
19.77
22.02
23.42
25.75
44.87
50.42
B
8.44
-
1.01
1.11
20.78
22.69
23.04
25.27
46.73
50.93
G2
4.44
-
1.50
1.57
20.34
21.28
20.74
22.74
52.98
54.41
H
7.60
-
1.03
1.12
20.06
21.72
20.73
22.76
50.58
54.40
Lampiran 37. Analisis daya cerna protein minuman tepung tempe Sampel A B G2 H
U
pH
DC Protein (%)
1
7.31
78.1311
2
7.32
77.9500
1
7.87
67.9934
2
7.88
67.8124
1
7.23
79.5793
2
7.23
79.5793
1
7.31
78.1311
2
7.32
77.9500
Rata-rata (%) 78.04 67.90 79.58 78.04
One way anova ANOVA dc.protein Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
173.309
3
57.770
.049
4
.012
173.358
7
F 4698.846
Sig. .000
Hasil pengolahan Anova menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (< 0.05) sehingga dapat disimpulkan keempat minuman tepung tempe memiliki kadar air yang berbeda nyata.
96
Uji lanjut Multiple Comparisons dc.protein Tukey HSD
(I) sampel minuman A
minuman B
minuman G2
minuman H
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) Std. Error
(J) sampel
Sig.
Lower Bound Upper Bound
minuman B
10.1376500
*
.1108802
.000
9.686272
10.589028
minuman G2
-1.5387500*
.1108802
.001
-1.990128
-1.087372
minuman H
.0000000
.1108802
1.000
-.451378
.451378
minuman A
-10.1376500*
.1108802
.000
-10.589028
-9.686272
minuman G2
-11.6764000
*
.1108802
.000
-12.127778
-11.225022
minuman H
-10.1376500*
.1108802
.000
-10.589028
-9.686272
minuman A
*
.1108802
.001
1.087372
1.990128
minuman B
11.6764000
*
.1108802
.000
11.225022
12.127778
minuman H
1.5387500*
.1108802
.001
1.087372
1.990128
minuman A
.0000000
.1108802
1.000
-.451378
.451378
minuman B
10.1376500*
.1108802
.000
9.686272
10.589028
*
.1108802
.001
-1.990128
-1.087372
1.5387500
minuman G2
-1.5387500
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogenitas dc.protein Tukey HSD Subset for alpha = 0.05 sampel
N
1
2
3
minuman B
2
minuman A
2
78.040550
minuman H
2
78.040550
minuman G2
2
Sig.
67.902900
79.579300 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
97
Lampiran 38. Perhitungan energi dan AKG minuman tepung tempe Protein Lemak Karbohidrat Minuman 100 gram 26 gram 100 gram 26 gram 100 gram 26 gram A 19.77 5.14 23.42 6.09 44.87 11.67 B 20.78 5.40 23.04 5.99 46.73 12.15 G2 20.34 5.29 20.74 5.39 52.98 13.77 H 20.06 5.22 20.73 5.39 50.58 13.15
Energi 100 gram 26 gram 336.52 87.50 339.08 88.16 323.12 84.01 319.41 83.05
Perhitungan jumlah komponen gizi dalam takaran saji Contoh perhitungan minuman tepung tempe A Protein per 26 gram = 26/100 x 19.77 = 5.14 gram Energi per 100 gram = (4 x 19.77) + (9 x 23.42) + (4 x 44.87) = 336.52 kkal Energi per 26 gram = (4 x 5.14) + (9 x 6.09) + (4 x 11.67) = 87.50 kkal Perhitungan persen AKG jumlah komponen per takaran saji % AKG= ×100 % angka kebutuhan zat gizi Contoh perhitungan minuman tepung tempe A % AKG protein = 5.14 / 50 x 100% = 10.280 ≈ 10 % AKG lemak = 6.09 / 55 x 100% = 11.071 ≈ 11 % AKG karbohidrat = 11.67 / 325 x 100% = 3.590 ≈ 4 % total energi = 87.50/2000 x 100% = 4.375 ≈ 4
98
Lampiran 39. Perhitungan energi dan AKG tepung tempe Protein Lemak Tepung tempe 100 g 20 g 100 g 20 g A 44.12 8.82 24.62 4.92 B 46.17 9.23 26.08 5.22 G2 45.26 9.05 23.73 4.75 H 46.62 9.32 24.23 4.85
Karbohidrat 100 g 20 g 24.03 4.81 20.51 4.10 23.39 4.68 21.52 4.30
Energi 100 g 20 g 417.28 83.46 435.81 87.16 413.32 82.66 421.77 84.35
Perhitungan jumlah komponen gizi dalam takaran saji Contoh perhitungan tepung tempe A Protein per 20 gram = 20/100 x 44.12 = 8.82 gram Energi per 100 gram = (4 x 44.12) + (9 x 24.62) + (4 x 24.03) = 417.28 kkal Energi per 20 gram = (4 x 8.82) + (9 x 4.92) + (4 x 4.81) = 83.46 kkal Perhitungan persen AKG jumlah komponen per takaran saji % AKG= ×100 % angka kebutuhan zat gizi Contoh perhitungan tepung tempe A % AKG protein = 8.82 / 50 x 100% = 17.648 ≈18 % AKG lemak = 4.92 / 55 x 100% = 8.953 ≈ 9 % AKG karbohidrat = 4.81 / 325 x 100% = 1.479 ≈ 1 % total energi = 83.46/2000 x 100% = 4.173 ≈ 4
99