BIOAVAILABILITAS MINERAL KALSIUM DARI TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG KEDELAI REBUS PADA TIKUS PERCOBAAN
KHALID ASYAIFULLAH
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai pada Tikus Percobaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Khalid Asyaifullah NIM F24100125
ABSTRAK KHALID ASYAIFULLAH. Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan. Dibimbing oleh SUBARNA dan MADE ASTAWAN. Bahan pangan alternatif yang dapat menggantikan fungsi susu sebagai sumber asupan mineral dengan harga yang terjangkau dibutuhkan masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bioavailabilitas mineral kalsium tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap kontrol (kasein), serta mengevaluasi pengaruh bioavailabilitasnya terhadap konsentrasi mineral dalam tulang, kemudian dievaluasi kemungkinannya sebagai pangan alternatif sumber mineral pengganti konsumsi susu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan sebagai model. Tikus percobaan dibagi menjadi kelompok perlakuan tepung tempe 10%, tepung tempe 20%, tepung kedelai 10% dan kasein 10% sebagai kontrol. Pemberian ransum percobaan dilakukan selama 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioavailabilitas Ca tepung tempe dan tepung kedelai rebus tidak berbeda nyata dengan kontrol (kasein). Kadar dan total Ca tulang femur tikus percobaan pada semua perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol (Kasein). Berat kering tulang femur tikus percobaan perlakuan kontrol kasein 10% (1.11 g) tidak berbeda nyata dibandingkan semua perlakuan sampel, namun perlakuan tepung tempe 20% (1.29 g) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% (0.98 g) dan tepung kedelai rebus 10% (0.96 g). Kata kunci: bioavailabilitas mineral, parameter tulang dan plasma, tepung kedelai rebus, tepung tempe
ABSTRACT KHALID ASYAIFULLAH. Bioavailability of Mineral Calcium from Tempe Flour and Boiled Soy Flour in Rats. Supervised by SUBARNA and MADE ASTAWAN. The food alternatives that can replace milk as a source of minerals at affordable prices is needed by Indonesian society. This study aimed to evaluate the bioavailability of minerals calcium from tempeh flour and boiled soy flour toward control (casein), and evaluate the influence of bioavailability to the mineral concentration in the bones, and then evaluate them as a possible alternative food sources of mineral to substitute milk consumption. The study was conducted using mice as a model. Mice were divided into treatment groups; tempe flour 10%, tempe flour 20%, boiled soy flour 10% and casein 10% as a control. Experiments conducted over 90 days. The results showed that the bioavailability of Ca from boiled tempe flour and soy flour was not significantly different from control (casein). Levels and total Ca in the femur of rats in all treatments were not significantly different compared to control (Casein). The dry weight of the femur of rats treated control 10% casein (1.11 g) was not significantly different compared to all the sample treatment, but the treatment of tempe flour 20% (1.29 g) was significantly higher than tempe flour 10% treatment (0.98 g) and boiled soy flour 10% (0.96 g). Keywords: mineral bioavailability, bone and plasma parameter, boiled soy flour, tempe flour
BIOAVAILABILITAS MINERAL KALSIUM DARI TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG KEDELAI REBUS PADA TIKUS PERCOBAAN
KHALID ASYAIFULLAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah pangan tradisional yang memiliki sifat fungsional yang baik untuk kesehatan, dengan judul Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pemberi dana penelitian yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kantor Pusat Jakarta melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan No:64/PL.220/I.1/3/2014 tanggal 10 Maret 2014 atas nama Made Astawan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Subarna, MSi dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, pengarahan, dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini, serta Dr. Puspo Edi Giriwono yang telah bersedia menjadi dosen penguji tugas akhir. Di samping itu terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Tutik Wresdiyati yang telah memberi bimbingan dan bantuan dalam penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan selama penelitian Tessa W, Armando MG, Jefriaman S, dan teman sedosen pembimbing Gina N yang telah bekerjasama dengan baik. Terima kasih untuk laboran dan teknisi di laboratorium SEAFAST CENTER dan laboratorium departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; Bapak Adi, Bapak Jun, Bapak Deni, Bapak Jaenal, Bapak Rojak, Mbak Irin, dan juga staf UPT ITP yang telah memberi bimbingan dan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih untuk Bapak Yanto yang telah berbaik hati memberi pengarahan dan bantuan dalam pembuatan tempe di Rumah Tempe Indonesia. Di samping itu penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman ITP 47 yang telah memberi kebersamaan penuh arti selama kuliah dan penyelesaian tugas akhir; Anan, Disty, Vega, Alfi, Ayas, Funo, Tasa, Tep, Farisa, Nana, Qori, Tika, Anjani, Nizza, Furry, Tania, Rahmalia, Intha, Gideon Satria, Dicky dan terutama teman-teman Qobs Blasius, Bachtiar, Dil, Norman, Qabul, Uje, Tommy, Rizki, Arya, Dandy, Wawan, Rifqi, Andra, Dimas, Dani, Tirta, dan bang Nizar, serta teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Penulis mengharapkan segala masukan dan kritik yang membangun karena skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama untuk perkembangan teknologi pangan. Terima kasih Bogor, Maret 2015 Khalid Asyaifullah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
4
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Pembuatan Tempe dan Tepung Kedelai Rebus
8
Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus
8
Analisis Proksimat Sampel Percobaan
9
Formulasi Ransum Pakan Percobaan
10
Bioavailabilitas Mineral Kalsium
10
Kadar Mineral Kalsium pada Serum Tikus Percobaan
12
Kadar dan Total Mineral Kalsium Tulang Femur Tikus Percobaan
13
Berat Kering Tulang Femur Tikus Percobaan
16
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
26
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Perhitungan Komposisi Ransum Tikus Percobaan 6 Rendemen Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus 9 Analisis Proksimat Sampel Percobaan 9 Komposisi bahan penyusun ransum (basis 1000g) 10 Total konsumsi ransum dan total asupan kalsium dalam kandang metabolik 11
DAFTAR GAMBAR 5 1 Diagram alir tahapan penelitian 2 Histogram daya serap dan retensi kalsium dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. 11 3 Histogram kadar mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. 13 4 Histogram kadar mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. 14 5 Histogram total mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus 15 6 Histogram berat kering tulang femur tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Hasil analisis ragam daya serap kalsium Hasil analisis ragam retensi kalsium Hasil analisis ragam kadar kalsium serum tikus percobaan Hasil analisis ragam kadar Ca tulang femur tikus percobaan Hasil analisis ragam total Ca tulang femur tikus percobaan Hasil analisis ragam berat kering tulang femur tikus percobaan
20 21 22 23 24 25
PENDAHULUAN Latar Belakang Asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Zat gizi makro meliputi karbohidrat, protein, lemak dan air. Zat gizi mikro meliputi vitamin dan mineral. Kebutuhan asupan zat gizi makro dan mikro dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam dan berimbang. Salah satu zat gizi mikro yang diperlukan tubuh adalah mineral yang bisa diperoleh dengan mengonsumsi pangan asal hewani maupun nabati. Pangan hewani meliputi daging ruminansia, daging unggas, ikan, telur, susu serta pangan olahannya. Pangan nabati meliputi kacang-kacangan serta pangan hasil olahannya, seperti kedelai, kacang hijau, kacang tolo, tempe, tahu dan lain-lain. Meskipun kedua kelompok pangan tersebut (pangan hewani dan pangan nabati) sama-sama mengandung mineral yang dibutuhkan tubuh, tetapi masingmasing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Secara umum pangan hewani mempunyai kandungan mineral yang lebih baik karena mineral tersebut lebih tersedia dan mudah diserap oleh tubuh. Kandungan mineral yang berasal dari sumber nabati lebih sulit untuk diserap tubuh karena umumnya pangan nabati mengandung senyawa antinutrisi yang dapat menghambat penyerapan mineral. Pangan hewani mempunyai keunggulan dalam kemudahan penyerapan mineralnya, akan tetapi mempunyai kekurangan yaitu mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi dan lemak jenuh. Sementara pangan nabati mempunyai keunggulan mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi, isoflavon, antioksidan dan anti-kolesterol (PGS 2014). Untuk mewujudkan konsumsi pangan yang beragam dan berimbang, kedua macam pangan ini (hewani dan nabati) harus dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai. Berdasarkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI, kebutuhan pangan hewani per hari adalah 2-4 porsi (setara dengan 70-140 g/2-4 potong daging sapi ukuran sedang atau 80-160 g/2-4 potong daging ayam ukuran sedang atau 80-160 g/2-4 potong ikan ukuran sedang) sehari dan pangan protein nabati 2-4 porsi sehari (setara dengan 100-200 g/4-8 potong tempe ukuran sedang atau 200-400 g/ 4-8 potong tahu ukuran sedang) tergantung kelompok umur dan kondisi fisiologis (hamil, menyusui, lansia, anak, remaja, dewasa). Konsumsi susu asal hewan tidak dianjurkan untuk penderita diare dan lactose intolerance. Konsumsi susu nabati seperti susu dari kedelai merupakan salah satu alternatif untuk orang yang tidak dapat mengonsumsi susu asal hewan. Penerapan teknologi pangan dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan penyerapan mineral yang berasal dari pangan nabati oleh tubuh. Rendahnya penyerapan mineral asal pangan nabati oleh tubuh dikarenakan adanya kandungan senyawa antinutrisi yang dapat mengikat mineral. Pada kedelai terdapat senyawa antinutrisi yaitu asam fitat yang dapat mengikat unsur-unsur mineral seperti kalsium, magnesium dan besi sehingga dapat mengurangi keterserapannya oleh tubuh. Kemampuan asam fitat untuk mengikat berbagai macam mineral dapat dihilangkan dengan menghidrolisis gugus fosfatnya. Dengan bantuan enzim fitase, asam fitat dapat dihidrolisis menjadi inositol dan asam fosfat (Astawan 2009).
2 Enzim fitase secara alami ada pada kapang. Proses fermentasi yang memanfaatkan aktivitas kapang, seperti pada pembuatan tempe, enzim fitase akan diproduksi selama masa fermentasi. Kapang yang digunakan pada pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosphorus dan Rhizopus oryzae. Penelitian yang dilakukan Almasyhuri et al. (1990) menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sekitar 77.6% sampai dengan 86.9% dari kedelai mentahnya. Penurunan kandungan asam fitat pada proses pembuatan tempe akan berpengaruh pada banyaknya mineral yang terkandung dalam tempe yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh (bioavailabilitas). Semakin besar penurunan kandungan asam fitat maka akan memperbesar bioavailabilitas dari mineral untuk digunakan oleh tubuh. Tempe mempunyai masa simpan yang singkat, pada penyimpanan suhu ruang tempe hanya mampu bertahan 1-2 hari. Oleh karena itu diperlukan teknologi pengolahan tempe menjadi produk lain dengan umur simpan lebih panjang, seperti nuget tempe. Penelitian yang dilakukan Astawan (2014) menunjukkan nuget tempe mempunyai daya cerna protein yang tinggi secara in vitro, yaitu 82.1-83.7 persen. Upaya mengeringkan tempe dan menjadikannya berbentuk tepung juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan umur simpan tempe. Proses pembuatan tepung tempe menggunakan pengeringan oven dengan memanfaatkan panas dari api yang dihembuskan ke dalam oven. Panas yang diberikan selama pengeringan dapat mempengaruhi kandungan zat bioaktif dari tempe. Namun belum diketahui pengaruh panas yang diberikan terhadap kandungan mineral pada tepung tempe. Upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan kepadatan tulang pada massa tulang puncak adalah dengan mengonsumsi pangan sumber mineral secara mencukupi selama masa pertumbuhan. Setelah melewati usia 35 tahun, kepadatan tulang akan menurun seiring dengan proses penuaan (Lukman dan Juniarti 2009). Kepadatan tulang yang tinggi pada massa tulang puncak (peak bone mass) dapat mempertahankan deposit mineral tulang pada masa-masa selanjutnya seiring bertambahnya usia. Pangan sumber mineral yang banyak direkomendasikan oleh para ahli kesehatan saat ini adalah susu. Susu merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan mineral di masyarakat negara-negara Barat. Sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, susu masih dianggap bahan pangan yang mahal, sehingga hanya mampu dijangkau oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Menurut FAO (2015) konsumsi susu rata-rata di negara-negara barat lebih dari 150 kg/kapita/tahun, sedangkan di negara-negara asia tenggara kurang dari 30 kg/kapita/tahun. Menurut Khomsan (2004) di Indonesia konsumsi susu rata-rata hanya sekitar 0.5 gelas per minggu setiap orang, sedangkan menurut BPS (2013) konsumsi susu rata-rata di Indonesia adalah 0.73 kg/kapita/tahun. Hal tersebut dapat diatasi dengan mencari sumber pangan alternatif yang mengandung mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah cukup, namun memiliki harga yang terjangkau oleh semua golongan ekonomi masyarakat. Salah satu alternatif pangan yang memenuhi kriteria tersebut adalah tempe. Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Tempe merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, besi, serta berbagai vitamin (Astawan 2008). Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat pada kedelai menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral yang terkandung
3 (seperti kalsium, magnesium, zink dan besi) menjadi lebih tersedia dan mudah untuk dimanfaatkan tubuh. Tempe mempunyai harga yang murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Pemodelan konsumsi pangan sumber mineral secara intensif di masa pertumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan. Pakan yang diformulasikan dengan penambahan sampel pangan sumber mineral diberikan setiap hari mulai ketika awal masa pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur 21-28 hari, hingga masa akhir pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur sekitar 100 hari (Muchtadi 1989). Selain jumlah mineral yang cukup dalam pangan yang dikonsumsi, tingkat penyerapan kandungan mineral dari pangan tersebut juga merupakan faktor yang penting. Tingkat keterserapan yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan mineral dari pangan dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara maksimal. Oleh karena itu diperlukan uji bioavailabilitas untuk mengetahui besarnya kandungan mineral dari sampel yang benar-benar diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Uji bioavailabilitas dilakukan dengan membandingkan tingkat keterserapan dan retensi mineral kalsium (Ca) dalam tepung tempe dan tepung kedelai rebus dibandingkan dengan kontrol yang berupa ransum standar kasein. Hasil penelitian digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus untuk menjadi alternatif pangan sumber mineral yang selama ini identik pada susu dan produk turunannya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi bioavaibilitas kalsium dari tepung tempe dan tepung kedelai rebus dengan melihat statusnya pada urin, feses dan tulang femur tikus percobaan. 2. Membandingkan bioavailabilitas mineral dari tepung tempe dan tepung kedelai terhadap kontrol, untuk evaluasi kelayakannya sebagai pangan alternatif sumber mineral pengganti susu. 3. Mengevaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan.
Manfaat Penelitian Manfaat dari peneltian ini adalah dihasilkannya data bioavailabilitas mineral kalsium dari tepung tempe dan tepung kedelai rebus sebagai referensi untuk berbagai keperluan.
4
METODE Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kedelai (Glycine max) lokal varietas Grobogan, air dan ragi tempe. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pakan tikus percobaan adalah pati jagung, kasein, minyak jagung, carboximethylcelulose (CMC), campuran mineral, tepung tempe, tepung kedelai dan campuran vitamin. Bahan yang digunakan untuk pembedahan adalah ketamine yang digunakan untuk membius tikus percobaan. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kadar mineral adalah akuades, HCl 6M, asam encer dan larutan standar kalsium. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat untuk membuat tepung tempe dan tepung kedelai: ember, timbangan, panci, kompor, plastik, slicer, oven, tabung gas, blancer, pin disk mill yang dilengkapi ayakan 60 mesh dan sealer. Alat untuk membuat ransum: baskom besar, baskom kecil, sendok, timbangan, plastik. Alat pemeliharaan tikus percobaan: kandang pemeliharaan, kandang metabolik, wadah ransum, botol air minum, timbangan tikus. Refrigerator untuk menyimpan sampel tepung kedelai dan tepung tempe. Neraca analitik, cawan alumunium, loyang alumunium, mortar, oven, plastik klip, papan bedah, alat bedah, alat suntik 5 ml, kertas tissue, alumunium foil, pipet, labu ukur, gelas ukur, cawan porselen, tanur listrik dan spektrofotometer absorpsi atom (AAS).
Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahap pembuatan tempe dan kedelai rebus, pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai, formulasi ransum tikus percobaan, pemberian pakan sampel percobaan secara in vivo pada tikus putih, analisis kadar mineral kalsium pakan, urin, feses dan tulang femur dengan metode AAS dan analisis bioavailabilitas mineral kalsium sampel. Secara umum, bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
5 Pembuatan tempe dan kedelai rebus
Pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus
Formulasi ransum tikus percobaan
Pemberian pakan percobaan secara in vivo pada tikus selama 90 hari putih Analisis mineral Ca pada pakan, urin, feses, serum dan tulang femur dengan metode AAS
Analisis bioavailabilitas mineral kalsium Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian Pembuatan Tempe dan Kedelai Rebus Proses pembuatan tempe dilakukan dengan mengikuti prosedur yang diterapkan di Rumah Tempe Indonesia. Proses pembutan tempe diawali dengan penyortiran kedelai, kemudian pencucian kedelai agar bersih dari pengotor, perendaman pertama selama 2 jam untuk melunakkan kedelai, perebusan selama 60 menit, perendaman kembali selama semalam, pengupasan kulit ari dengan alat dehuller, pencucian dan pemisahan kulit ari dan tunas, penyiraman kedelai yang telah bersih dengan air panas, penirisan dan pendinginan, peragian, pengemasan, dan fermentasi selama 40 jam. Proses pembuatan kedelai rebus dimulai dari penyortiran, pencucian kedelai, perendaman selama 2 jam untuk melunakkan kedelai, perebusan selama 60 menit hingga kedelai matang. Kedelai matang kemudian dikupas dan dibersihkan dari kulit arinya dengan alat dehuller. Kemudian dilakukan pencucian dan pemisahan kulit ari dan tunas.
Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan memotong tipis tempe segar menggunakan slicer yang kemudian diblansir dengan uap panas selama 30 detik. Irisan tempe blansir kemudian dikeringkan dalam pengering rak pada suhu 60 0C selama 6 jam. Tempe kering lalu digiling menggunakan pin disk mill yang dilengkapi ayakan. Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan tepung tempe dengan ukuran butiran yang seragam. Ukuran pengayak yang digunakan adalah 60 mesh. Pembuatan tepung kedelai dilakukan dengan mengeringkan kedelai rebus dalam oven pengering rak pada suhu 60 0C selama 6 jam. Kedelai kering kemudian digiling menggunakan pin disk mill yang dilengkapi ayakan 60 mesh. Tepung yang
6 dihasilkan dikemas dalam plastik dan disimpan di dalam refrigerator hingga digunakan.
Teknik Formulasi Ransum Tikus Percobaan Ransum tikus percobaan diberikan sesuai dengan kebutuhan asupan harian dan komposisinya disesuaikan dengan standar AOAC (Tabel 1). Untuk memformulasikan ransum tikus percobaan diperlukan acuan kandungan zat gizi pada sampel percobaan. Oleh karena itu terlebih dahulu dilakukan analisis proksimat pada tepung tempe, tepung kedelai dan kontrol yang berupa kasein. Tabel 1 Perhitungan komposisi ransum tikus percobaan Komponen Sumber Jumlah Perhitungan 1,60 × 100 Protein Protein standar/ 10% 𝑥= protein uji % N Sampel Lemak
Minyak jagung
8%
Mineral
5%
Serat
Campuran Mineral Campuran vitamin CMC
Air
Air minum
5%
Karbohidrat
Pati jagung
% sisanya
Vitamin
1% 1%
x × % kadar lemak 8−( ) 100 x × % kadar abu 5−( ) 100 1% x × % kadar serat kasar 1−( ) 100 x × % kadar air 5−( ) 100 100 − (lainnya)
Sumber : AOAC (1995)
Pemberian Ransum pada Tikus Percobaan Analisis bioavailabilitas mineral Ca dilakukan secara in vivo menggunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley berusia 4 minggu. Tikus Percobaan diadaptasikan terlebih dahulu selama 3 hari dengan diberikan ransum pakan standar kasein dan air minum secara ad libitum. Tikus percobaan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan berdasarkan seleksi keseragaman bobot tubuh. Ransum tikus percobaan dibagi menjadi 4 kelompok yang dibedakan berdasarkan sumber proteinnya. Kelompok kontrol (I) diberi ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari kasein (kasein 10%), kelompok perlakuan pertama (J) diberi ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari tepung tempe (tepung tempe 10%), kelompok perlakuan kedua (K) diberi ransum yang 20% kandungan proteinnya berasal dari tepung tempe (tepung tempe 20%) dan kelompok perlakuan ketiga (L) diberi ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari tepung kedelai rebus (tepung kedelai rebus 10%). Selama masa perlakuan, tikus dikandangkan dalam kandang metabolik selama 7 hari untuk mengumpulkan feses dan urinnya. Urin
7 yang terkumpul disaring dengan menggunakan kertas saring. Feses dikeringkan dengan menggunakan oven, kemudian dibersihkan dari sisa ransum yang menempel dan digerus menggunakan mortar. Setelah masa perlakuan selama 90 hari, tikus diterminasi, tulang femur dan serum darah diambil dan dilakukan analisis kadar mineral kalsium.
Analisis Kadar Mineral Kalsium dengan Metode Atomic Absorption Spectrophotometry After Dry Ashing (AOAC 2012) Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar kalsium dari ransum, feses, urin, serum dan tulang femur tikus percobaan dengan menggunakan instrumen Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Analisis ini diawali dengan menghilangkan kandungan bahan-bahan organik dari sampel dengan menggunakan proses pengabuan menggunakan tanur pada suhu 550°C sehingga tersisa residu yang bebas dari bahan-bahan organik. Residu kemudian didestruksi dengan penambahan 5 mL HCL 6M dan pemanasan pada suhu rendah di atas hot plate hingga diperoleh residu sekitar 1 mL. Residu kemudian dilarutkan dalam asam encer untuk menyempurnakan degradasi komponen organik dan diencerkan 50 kali. Hasil pengenceran kemudian disebarkan dalam nyala api (flame) yang ada dalam AAS sehingga absorpsi atau emisi logam dari residu sampel dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu. Selama pegukuran larutan sampel, secara periodik nilai standar dilihat kekonstanannya. Kemudian dibuat kurva standar untuk logam mineral yang akan dianalisis. Kurva standar digunakan untuk menghitung konsentrasi logam mineral dari sampel. Perhitungan konsentrasi logam mineral sampel dilakukan dengan rumus berikut: Konsentrasi mineral (mg/kg) =
a ×V m
Keterangan: a = konsentrasi larutan sampel (mg/L) V = volume pengenceran (mL) m = bobot sampel (kg)
Analisis Bioavailabilitas Mineral Kalsium Analisis bioavailabilitas mineral dilakukan berdasarkan absorpsi nyata mineral yang merupakan selisih antara kandungan mineral pangan yang dikonsumsi dengan mineral yang diekskresikan lewat feses (Allen 1982). Selain itu juga dilakukan pengukuran retensi mineral yang merupakan selisih antara kandungan mineral pangan yang dikonsumsi dengan jumlah mineral yang diekskresikan lewat feses dan urin. Perhitungan bioavailabilitas dinyatakan dalam satuan persen (%) dengan rumus sebagai berikut: Daya serap mineral =
asupan mineral − mineral feses asupan mineral
x 100%
8 Retensi mineral =
asupan mineral − mineral feses−mineral urin asupan mineral
x 100%
Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah uji kandungan mineral serum darah tikus percobaan. Analisis ini dilakukan untuk membandingkan kandungan mineral dalam serum antara kontrol, yaitu tikus percobaan yang diberi ransum standar kasein, dengan tikus percobaan yang diberi ransum perlakuan. Selain itu juga dilakukan uji kadar dan total mineral pada tulang femur tikus percobaan. Analisis kadar mineral dalam tulang femur tikus percobaan menggunakan instrumen AAS, hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan dalam penelitian Martinez-Flores et al. (2002), Sedangkan total mineral dalam tulang femur dihitung dengan cara mengalikan kadar mineral tulang femur hasil analisis dengan berat kering tulang femur yang dianalisis. Analisis terakhir yang dilakukan adalah uji berat kering tulang femur tikus percobaan. Analisis ini dilakukan untuk membandingkan berat kering tulang femur tikus percobaan kontrol dengan tikus percobaan perlakuan. Berat kering tulang femur tikus percobaan dilakukan dengan menimbang tulang femur yang telah dibersihkan dari daging yang menempel dan telah dikeringkan dengan menggunakan oven.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tempe dan Kedelai Rebus Kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe dan kedelai rebus adalah kedelai lokal varietas grobogan. Varietas lokal ini mempunyai keunggulan umurnya lebih pendek, polongnya besar, dan tingkat kematangan polong dan daun bersamaan, sehingga pada saat dipanen daun kedelai sudah rontok (BPTPI 2010). Kedelai lokal varietas grobogan memiliki ukuran terbesar (19.53g/100 biji) dibandingkan kedelai impor GMO dan Non-GMO, serta kedelai lokal varietas Anjasmara dan Agromulyo, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap rendemen tempe yang dihasilkan (Astawan 2013). Pembuatan tempe dilakukan berdasarkan standar pembuatan tempe higienis produksi Rumah Tempe Indonesia. Tempe yang dihasilkan memiliki tekstur yang kompak dan padat. Hal ini dikarenakan pada saat proses pembuatan tempe, kedelai yang telah dikemas dalam plastik dipadatkan dengan menggunakan alat yang terbuat dari balok kayu yang datar. Tempe yang dihasilkan memiliki bau, warna dan rasa yang normal dan khas tempe sesuai dengan standar SNI (2009).
Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus Tempe dan kedelai rebus yang dihasilkan dari tahapan sebelumnya diproses lebih lanjut untuk menghasilkan tepung tempe dan tepung kedelai rebus. Pembuatan tempe dan kedelai menjadi bentuk tepung bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk. Dalam bentuk tepung, kadar air dan aktivitas air (aw) produk akan turun yang menyebabkan pertumbuhan mikroba pembusuk akan terhambat. Tepung kedelai rebus yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan tepung kedelai
9 mentah (kedelai yang tidak direbus). Tepung kedelai mentah masih mengandung banyak zat anti-nutrisi yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam tubuh. Sedangkan pada tepung kedelai rebus telah berkurang kandungan zat antinutrisinya dikarenakan adanya proses perebusan. Asam fitat meskipun dapat larut dalam air dan menurun kadarnya dengan proses pemanasan, namun tidak dapat menghilangkan asam fitat dalam jumlah besar, sebab proses pemanasan yang berlebih akan merusak dan mengurangi nilai gizi kedelai (Kanetro dan Hastuti 2006). Penelitian yang dilakukan Almasyhuri et al. (1990) menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sekitar 77.6%86.9% dari kedelai mentahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Singh (2015) menyebutkan, anti-nutrisi yang berkurang setelah dilakukan perebusan pada sayuran berdaun adalah nitrat, fitat dan oksalat. Mursyid (2014) menjelaskan dalam penelitannya bahwa secara umum nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari kedelai lokal varietas grobogan memiliki kualitas yang sama dengan tepung tempe kedelai Non-GMO, tetapi lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai GMO dalam hal nilai true protein digestibility (TPD). Proses pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus dilakukan dalam dua batch. Rendemen pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rataan rendemen tepung tempe lebih rendah dibandingkan rendemen tepung kedelai rebus. Rendemen tepung tempe sebesar 57.5 persen dari bahan segarnya yang berupa kedelai kering, sedangkan rendemen tepung kedelai rebus sebesar 65 persen dari bahan segar berupa kedelai kering. Rendemen tepung tempe lebih rendah dikarenakan terdapat tempe yang tertinggal selama proses, seperti pada proses blancing, terdapat bagian tempe yang terlepas dan menempel pada lubang-lubang yang terdapat pada konveyor besi. Pada proses penggilingan dan pengayakan, terdapat tepung tempe yang terbang keluar dari alat pin disk mill. Tabel 2 Rendemen tepung tempe dan tepung kedelai rebus Bahan Tepung Rendemen (%) Segar (Kg) (Kg) Tempe 5 2.875 57 5 2.915 58 Kedelai 3 1.948 64 rebus 4 2.675 66
Rataan Rendemen (%) 57.5 65
Analisis Proksimat Sampel Percobaan Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel percobaan yaitu tepung tempe, tepung kedelai dan kasein. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi pada sampel percobaan. Hasil analisis proksimat (Tabel 3) digunakan untuk acuan formulasi ransum tikus percobaan. Tabel 3 Analisis proksimat sampel percobaan Kadar (%bb) Sampel Air Abu Protein Lemak Serat kasar Kasein 9.88 0.59 89.44 0.30 0.52 Tepung tempe 4.34 1.80 51.73 25.36 6.46 Tepung kedelai rebus 5.49 2.62 51.06 25.26 7.65
10 Formulasi Ransum Tikus Percobaan Hasil analisis proksimat sampel percobaan yang didapat kemudian dijadikan acuan untuk formulasi ransum tikus percobaan. Formulasi bahan-bahan yang digunakan untuk ransum masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Pada formulasi ransum selain kelompok kasein tidak ditambahkan CMC (carboximethylcelulose) dikarenakan dari hasil uji proksimat diketahui bahwa kandungan serat yang terkandung dalam sampel sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan untuk ransum tikus percobaan. Pada formulasi ransum kelompok perlakuan tepung tempe 20% juga tidak ditambahkan minyak jagung dikarenakan jumlah lemak yang terkandung di dalamnya sudah memenuhi kebutuhan asupan ransum tikus percobaan. Tabel 4 Komposisi bahan penyusun ransum (basis1000g) Komponen Penyusun (g) Kelompok Perlakuan Sampel Minyak Campuran Campuran CMC Air Pati jagung mineral vitamin jagung Kasein 112 80 49 10 9 39 701 10 % (kontrol) Tepung kedelai 196 30 45 10 39 680 rebus 10% Tepung tempe 10%
193
31
46
10
-
42
678
Tepung 386 43 10 33 528 tempe 20% Keterangan : Kasein 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari kasein Tepung kedelai rebus 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari tepung kedelai rebus Tepung tempe 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari tepung tempe Tepung tempe 20% : 20% protein dalam ransum berasal dari tepung tempe
Bioavailabilitas Mineral Kalsium Bioavailabilitas mineral kalsium dengan metode keseimbangan mineral dapat dievaluasi dengan melihat dari daya serap mineral kalsium yang merupakan selisih antara kandungan kalsium pangan yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Total konsumsi ransum dan total asupan mineral kalsium dari tikus percobaan selama 7 hari dalam kandang metabolik dapat dilihat pada Tabel 5. Keseimbangan mineral tercapai ketika konsumsi mineral mampu untuk menggantikan kehilangan mineral melalui feses, urin dan keringat. Ketika keseimbangan konsumsi mineral tercapai, hal tersebut merupakan indikasi banyaknya kebutuhan mineral tersebut. Keseimbangan yang positif dibutuhkan
11 untuk pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Selain pengukuran daya serap, analisis bioavailabilitas dengan metode keseimbangan mineral juga dilihat dari retensi mineral tersebut (Allen 1982; Sabatier et al. 2002). Pengukuran retensi dilakukan untuk melihat banyaknya mineral yang dapat ditahan oleh tubuh setelah diserap. Tabel 5 Total konsumsi ransum dan total asupan kalsium selama dalam kandang metabolik Total Konsumsi Ransum Total Asupan Kalsium Perlakuan (g) (mg) Kasein 10% (kontrol) 133.09±8.2a 2121.86±131.1bc Tepung kedelai rebus 10% 116.09±6.6b 1639.30±93.3c a Tepung tempe 10% 123.63±15.8 1822±232.2a a Tepung tempe 20% 153.93±17.5 2424.92±276.3ab Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan *berbeda nyata (p<0.05) atau **berbeda sangat nyata (p<0.01)
Daya serap dan retensi kalsium (%)
Bioavailabilitas penting untuk diketahui dikarenakan kandungan mineral yang tinggi dalam bahan pangan tidak menjamin daya serapnya tinggi pula. Hasil analisis daya serap dan retensi kalsium dari perlakuan kasein 10% sebagai kontrol, tepung tempe 10%, tepung tempe 20% dan tepung kedelai 10% pada tikus percobaan, serta hasil analisis statistikanya ditunjukkan pada Gambar 2. 80
71.03±9.9a
72.65±5.7a
70
68.41±2.9a 64.23±4.0a
70.94±9.9a 68.07±2.9a 64.1±5.4a
72.54±5.7a
60 50 40 30 20 10 0 Daya serap Ca
Retensi Ca
Komponen Kasein 10%
Tepung kedelai rebus 10%
Tepung tempe 10%
Tepung tempe 20%
Gambar 2 Histogram daya serap dan retensi kalsium dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan perlakuan ransum tikus percobaan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap daya serap kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan yaitu tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% dan tepung tempe 20 % dapat dikatakan mempunyai daya serap kalsium yang tidak berbeda dengan kontrol kasein 10%. Artinya semua perlakuan sampel tersebut dapat dijadikan pangan sumber kalsium
12 alternatif pengganti susu, dikarenakan mempunyai daya serap yang tidak berbeda dengan susu yang diwakilkan oleh daya serap kontrol berupa kasein 10%. Retensi mineral diperlukan untuk mengevaluasi banyaknya mineral yang dapat ditahan oleh tubuh untuk dimetabolisme. Retensi mineral diperoleh dari selisih mineral yang dikonsumsi dengan mineral yang diekskresikan melalui feses dan urin. Mineral yang diekskresikan melalui feses menunjukkan mineral yang tidak diserap oleh tubuh. Mineral yang diekskresikan melalui urin menunjukkan mineral yang tidak digunakan untuk metabolisme tubuh. Hasil analisis ragam retensi kalsium (Lampiran 2) menunjukkan perlakuan ransum tikus percobaan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap retensi kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa retensi kalsium dari semua perlakuan sampel yang dilakukan tidak berbeda dibandingkan dengan retensi dari kontrol yang dianalogikan sebagai retensi kalsium susu. Jika dilihat dari sisi retensi kalsium, maka semua perlakuan, baik tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% maupun tepung tempe 20% dapat dijadikan sebagai pangan alternatif pengganti susu. Hasil analisis statistik bioavailabilitas mineral memperlihatkan bahwa, daya serap dan retensi kalsium dari semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kasein 10%. Daya serap dan retensi perlakuan tepung kedelai rebus 10% terhadap kasein 10% pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamao et al. (2000) yang melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan sampel perlakuan berupa isolat protein kedelai (SPI) dan kasein. Daya serap dan retensi kalsium pada SPI tidak berbeda nyata dibandingkan daya serap dan retensi perlakuan kasein. Sebaliknya, daya serap dan retensi perlakuan tepung tempe 10% dan 20% terhadap kasein10% pada penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Kamao et al. (2000), yang mana menyebutkan bahwa, daya serap dan retensi kalsium dari sampel ransum protein kedelai bebas fitat (PFS) nyata lebih tinggi dibandingkan daya serap dan retensi dari ransum kasein. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada sampel PFS yang digunakan pada penelitian Kamao et al. (2000) benar-benar hampir bebas fitat (kurang lebih 0.15%). PFS disiapkan dengan pengendapan asam menggunakan larutan NaCl berkonsentrasi tinggi. Sementara itu, kandungan fitat pada produk tepung tempe lebih tinggi dibandingkan PFS. Penelitian yang dilakukan ReyesBastidas (2010) tentang pengaruh fermentasi terhadap kandungan fisikokimia dan nutrisi tepung tempe yang berasal dari kacang common (Phaseolus vulgaris L.), menghasilkan penurunan kandungan asam fitat sebesar 58.3%. Penelitian yang dilakukan Haron et al. (2010) yang menyatakan bahwa daya serap kalsium dari tempe tersedia dalam jumlah yang sama dibandingkan susu. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini pada daya serap kalsium perlakuan tepung tempe 10% dan 20%.
Kadar Mineral Kalsium pada Serum Tikus Percobaan Kadar mineral serum menunjukkan mineral yang digunakan untuk fungsi fisiologis tubuh. Mineral kalsium dalam serum berada dalam bentuk terionisasi. Mineral dalam serum dapat berasal dari saluran pencernaan yang menyerap mineral dari bahan pangan yang dikonsumsi, ataupun juga dapat berasal dari resorpsi mineral dalam tulang jika konsumsi asupan mineral kurang. Sekitar 99% kalsium
13 tubuh ditemukan pada tulang dan gigi, sementara sekitar 1% ditemukan didalam cairan ekstrasel, seperti serum dan plasma darah. Kalsium selain berperan utama sebagai pembentuk dan pemelihara tulang dan gigi, juga mempunyai peran fisiologis dalam proses pembekuan darah dan kontraksi otot, yaitu untuk merelaksasikan otot setelah berkontraksi (Nieves 2005). Keseimbangan kalsium di dalam serum diatur oleh tubuh melalui pengukuran level kalsium. Level kalsium yang rendah akan merangsang sistem pencernaan untuk meningkatkan penyerapan kalsium terhadap makanan yang masuk saluran pencernaan, sedangkan ketika level kalsium telah tinggi, akan merangsang sistem pencernaan untuk mengurangi penyerapan kalsium. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi penyerapan kalsium yaitu jumlah asupan harian kalsium, kerja hormon seperti parathormon (PTH) dan 1,25 dihydroxyvitamin D3, dan estrogen (Ghosh dan Joshi 2008). Kadar dari mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari berbagai kelompok perlakuan, yaitu perlakuan tepung kedelai 10%, tepung tempe 10%, tepung tempe 20% dan kontrol kasein 10% dapat dilihat pada Gambar 3. 17.5±1.9a
Kadar kalsium serum (mg/100mL)
18
16.8±0.5 a
17±0.8a
16.4±0.4a
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Komponen Kasein 10%
Tepung kedelai rebus 10%
Tepung tempe 10%
Tepung tempe 20%
Gambar 3 Histogram kadar mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan perlakuan ransum tikus tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar kalsium serum tikus percobaan. Hal ini menunjukkan kadar mineral kalsium serum darah tikus percobaan dari semua perlakuan baik tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% maupun tepung tempe 20% tidak berbeda dibandingkan kontrol kasein 10%.
Kadar dan Total Mineral Kalsium Tulang Femur Tikus Percobaan Sekitar 99% kalsium dalam tubuh ditemukan dalam tulang dan gigi dan hanya sekitar 1% ditemukan pada cairan ekstrasel (Bulshinsky dan Monk 1998). Asupan dan bioavailabilitas kalsium yang mencukupi terutama pada masa pertumbuhan, akan berpengaruh terhadap kepadatan massa tulang di masa puncaknya. Kepadatan tulang yang maksimal di masa puncak terkait dengan kesehatan tulang karena
14
Kadar kalsium tulang femur (mg/100g)
berpengaruh terhadap penurunan kecepatan terkikisnya massa tulang akibat penyerapan kembali mineral-mineral tulang di usia tua. Kadar kalsium tulang femur tikus percobaan menunjukkan banyaknya kalsium yang terendapkan pada tulang femur tersebut. Pengukuran kadar kalsium ini dilakukan pada saat tikus percobaan mencapai akhir masa pertumbuhannya, yang dianalogikan dengan masa akhir pertumbuhan manusia pada umur sekitar 30 tahun, yang mana merupakan masa puncak densitas massa tulang. Kalsium yang berasal dari susu merupakan sumber kalsium utama yang direkomendasikan. Kebiasaan mengonsumsi pangan sumber kalsium dapat memberikan cadangan kalsium yang diperlukan dalam pertumbuhan dan pembentukan tulang yang tercermin pada densitas tulang dan ukuran tulang (Hardinsyah et al. 2008). Hasil analisis kadar mineral kalsium pada tulang femur tikus percobaan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4. 50000
48540±13720a 41964±3743a
45000 40000
36515±3545a
35725±3112a
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Komponen Kasein 10%
Tepung kedelai rebus 10%
Tepung tempe 10%
Tepung tempe 20%
Gambar 4 Histogram kadar mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan perlakuan ransum tikus tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar kalsium tulang femur tikus percobaan. Hal tersebut menunjukkan kadar kalsium tulang femur tikus percobaan dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol kasein 10%. Hal ini menandakan konsumsi kalsium yang berasal dari protein tepung kedelai rebus 10% dan protein tepung tempe 10% maupun 20% menghasilkan kadar kalsium yang tidak berbeda dengan konsumsi kalsium dari susu, sehingga ketiganya mempunyai peluang untuk menggantikan susu sebagai sumber kalsium. Oleh karena konsumsi protein tepung tempe 10% saja sudah menghasilkan kadar kalsium dalam tulang femur yang tidak berbeda dengan susu, maka konsumsi dalam konsentrasi yang lebih besar tidak diperlukan. Kadar mineral dalam tulang femur tikus percobaan dapat diukur langsung dari hasil analisis dengan instrument AAS, sedangkan total mineral tulang femur tikus percobaan pada umumnya dihitung dengan mengalikan kadar mineral tulang femur hasil analisis dengan berat kering tulang femur yang dianalisa. Total mineral tulang femur tikus percobaan menunjukkan jumlah riil mineral dalam tulang femur
15 tersebut. Hasil analisis total mineral kalsium pada tulang femur tikus percobaan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan tikus memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap total kalsium (Lampiran 5) tulang femur tikus percobaan pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa total kalsium tulang femur tikus percobaan dari semua perlakuan sampel tidak berbeda dibandingkan kontrol kasein 10%. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kamao et al. (2000) yang menyatakan konsentrasi Ca pada femur tikus percobaan yang diberi pakan protein kedelai bebas fitat dan isolat protein kedelai selama 5 minggu tidak berbeda dibandingkan yang diberi pakan kasein.
Total kalsium tulang femur (mg)
600
545.7±190.7a
500
458.1±50.4a 412.2±35.7a
400
350.6±72.8 a
300 200 100 0
Komponen Kasein 10%
Tepung kedelai rebus 10%
Tepung tempe 10%
Tepung tempe 20%
Gambar 5 Histogram total mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium, serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan menunjukkan, dari uji statistika baik kadar maupun total mineral kalsium tulang femur tidak berbeda nyata antar semua perlakuan. Namun jika dilihat dari tren grafik yang dihasilkan, kadar kalsium tulang femur tren grafiknya berbeda dengan total kalsium tulang femur. Grafik kadar kalsium tulang femur menunjukkan perlakuan tepung tempe 10% lebih tinggi grafiknya dibandingkan perlakuan tepung tempe 20%, akan tetapi pada grafik total kalsium tulang femur menunjukkan perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi grafiknya dibandingkan tepung tempe 10%. Hal ini terjadi dikarenakan berat tulang femur kering perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan tepung tempe 10%. Sehingga meskipun kadar kalsium hasil analisis perlakuan tepung tempe 20% lebih rendah dari tepung tempe 10%, perhitungan total kalsium menunjukkan perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan tepung tempe 10%.
16 Berat Kering Tulang Femur Tikus Percobaan Puncak pembentukan massa tulang terjadi di akhir masa pertumbuhan. Pada manusia terjadi pada usia sekitar 30 tahun. Konsumsi dan penyerapan yang cukup mineral-mineral pembentuk massa tulang di masa muda dan remaja akan memaksimalkan kepadatan dan ukuran tulang pada massa tulang puncak (peak bone mass) (Hardinsyah et al. 2008). Semakin tinggi kepadatan dan massa tulang, tentunya akan berpengaruh terhadap meningkatnya berat tulang tersebut. Pada penelitian ini, hal tersebut diuji coba dengan menggunakan tikus percobaan sebagai model. Pakan perlakuan diberikan setiap hari mulai ketika awal masa pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur 21-28 hari, hingga masa akhir pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur sekitar 100 hari (Muchtadi 1989). Setelah dilakukan terminasi dan pembedahan untuk mengambil tulang femur tikus percobaan, kemudian dilakukan penimbangan terhadap tulang femur yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Penimbangan tulang femur kering tikus percobaan dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan terhadap kondisi tulang tikus percobaan. Bioavailabilitas mineral yang lebih tinggi dari sampel perlakuan tentunya akan berpengaruh terhadap berat tulang femur yang lebih tinggi pula. Hasil analisis berat kering tulang femur tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa berat kering tulang femur tikus percobaan yang tertinggi terdapat pada perlakuan tepung tempe 20%, kemudian diikuti oleh perlakuan kontrol kasein 10%, perlakuan tepung tempe 10% dan yang terendah pada perlakuan tepung kedelai rebus 10%. Hal ini menunjukkan bahwa berat tulang tertinggi diperoleh pada ransum tikus percobaan dengan perlakuan tepung tempe 20%, dan yang terendah pada perlakuan tepung kedelai rebus 10%. Berat kering tulang femur (g)
1.4 1.2 1
1.29±0.2b 1.11±0.2ab 0.96±0.02 a
0.98±0.1a
0.8 0.6 0.4 0.2 0
Komponen Kasein 10%
Tepung kedelai rebus 10%
Tepung tempe 10%
Tepung tempe 20%
Gambar 6 Histogram berat kering tulang femur tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus Hasil analisis ragam terhadap berat kering tulang femur tikus percobaan (Lampiran 6) menunjukkan ransum perlakuan tikus yang diberikan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap berat kering tulang femur tikus percobaan. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa berat kering tulang femur
17 tikus percobaan perlakuan kontrol kasein 10% tidak berbeda nyata dibandingkan semua perlakuan sampel, namun perlakuan tepung tempe 20% sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai rebus 10%. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan kadar protein dari ransum perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai 10%. Menurut NIH (2012) tulang tidak hanya tersusun dari mineral. Penyusun terbesar tulang adalah kolagen. Kolagen merupakan protein yang menjadi kerangka lembut dari tulang, dan dengan adanya mineral berupa kalsium fosfat, kerangka dari kolagen tersebut menjadi bertambah kekuatan dan kekerasannya. Kombinasi kolagen dan kalsium membuat tulang menjadi kuat dan cukup lentur untuk menahan tekanan. Penelitian yang dilakukan Haron et al. (2010) yang menyatakan, konsumsi tempe dapat memenuhi keterserapan kalsium secara signifikan bagi wanita postmenopause di Malaysia. Keterserapan kalsium yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap berat tulang menjadi lebih tinggi pula. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Kamao et al. (2000) pada tulang femur tikus percobaan yang diberi perlakuan pakan protein kedelai bebas fitat, isolat protein kedelai dan kasein, menghasilkan data bahwa pada parameter kepadatan mineral tulang, berat abu tulang dan kekuatan mekanik tulang, tidak berbeda pada ketiga perlakuan tersebut, kecuali pada kepadatan mineral tulang femur perlakuan protein kedelai bebas fitat yang nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan isolat protein kedelai.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Bioavailabilitas mineral kalsium dari konsumsi tepung kedelai rebus dengan kadar protein ransum 10% dan tepung tempe dengan kadar protein ransum 10% dan 20% tidak berbeda nyata dengan kontrol kasein 10%. Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan menunjukkan bahwa, mineral kalsium dari perlakuan tepung tempe 20% banyak menumpuk pada tulang, yang menyebabkan berat kering tulang femur tikus percobaan perlakuan tepung tempe 20% nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai rebus 10%. Berdasarkan aspek bioavailabilitas mineral kalsium, kadar mineral kalsium serum, kadar dan total mineral kalsium, serta berat kering tulang femur tikus percobaan, perlakuan tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% dan 20% mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol (kasein). Hal ini menandakan tepung tempe maupun tepung kedelai rebus layak menjadi makanan alternatif pengganti susu sebagai sumber mineral kalsium Saran Perlu dilakukan pengujian desitas tulang dengan densitometer untuk mengetahui nilai densitas yang lebih akurat dari tulang. Perlu juga dilakukan
18 pengujian dengan subjek manusia, sehingga diketahui pengaruh riil konsumsi sampel terhadap kondisi tulang dan kondisi fungsi fisiologis tubuh pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA Allen LH. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. Am J Clin Nutr. Almasyhuri, Yuniati H, Slamet DS. 1990. Kandungan asam fitat dan tanin dalam kacang-kacangan yang dibuat tempe. JPGM 13:65-72. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry (US). 1995. Official Method of Analysis AOAC International: Maryland,USA. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry (US). 2012. AOAC Official Method 942.05. Ash of Animal Feed, AOAC International: Maryland, USA. Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Ichsani N. 2013. Karakter fisikokimia dan sifat fungsional tempe yang dihasilkan dari berbagai varietas kedelai. Pangan 22(3):209-286. Astawan M, Adiningsih NR, Palupi NS. 2014. Evaluasi kualitas nuget tempe dari berbagai varietas kedelai. Pangan 23(3):244-255. [BPS] Badan Pusat Statistik (ID).2013. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013: Jakarta, Indonesia. [BPTPI] Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia (ID). 2010. Informasi Ringkas Kedelai Varietas Lokal Grobogan. Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia: Jakarta, Indonesia. Bulshinsky DA, Monk RD. 1998. Electrolyte Quintet: Calcium. Lancet 11: 352:306. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations (IT). 2015. Milk and milk products facts: Roma, Italia. Ghosh AK, Joshi SR. 2008. Disorders of calcium, phosphorus and magnesium metabolism. J Assoc Physic Ind 56:613-621. Hardinsyah, Damayanthi E, Zulianti W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. J Giz Pang 3(1):4348. Haron H, Shahar S, O’brien KO, Ismail A, Kamaruddin N, Rahman SA. 2010. Absorption of calcium from milk and tempeh consumed by postmenopausal Malay women using the dual stable isotope technique. Intern J Food Scien Nutr 61(2):125-137. Kamao M, Tsugawa N, Nakagawa K, Kawamoto Y, Fukui K, Takamatsu K, Kuwata G, Imai M, Okano T. 2000. Absorption of calcium, magnesium, phosphorus, iron and zinc in growing male rats fed diets containing either phytate-free soybean protein or soybean protein isolate or casein. J Nutr Sci Vitaminol 46:34-41. Kanetro B, Hastuti S. 2006. Ragam Produk Olahan Kacang–kacangan. Yogyakarta(ID): Unwama Press.
19 Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta(ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. Lukman M, Juniarti N. 2009. Skrining Osteoporosis: Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Kejadian Osteoporosis di Desa Cijambu Kecamatan Tanjungsari. Maj Keper Unpad 10(19):18-26. Martinez-Flores HE, Figueroa JDC, Martinez-Bustos F, Gonzalez-Fernandez J, Rodriguez-Garcia ME, Banos-Lopez AML, Garnica-Romo MG. 2002. Physical properties and composition of femurs of rat fed with diet based on corn tortillas made from different processes. Int J Food Sci Nutr 53:155-162. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Mursyid, Astawan M, Muchtadi D, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Suwarno M. 2014. Evaluasi nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari varietas kedelai impor dan lokal. Pangan 23(1):33-42. Nieves JW. 2005. Osteoporosis : the role of micronutrients. Am J Clin Nutr 81:1232S-1239S. [NIH] National Institutes of Health (US). 2012. What Is Bone?. NIH Osteoporosis and Related Bone Desease-National Resource Center: Bethesda, USA. [PGS] Pedoman Gizi Seimbang (ID). 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta, Indonesia. Reyes-Bastidas M, Reyes-Fernandez EZ, Lopez-Cervantes J, Milan-Carrillo J, Loarca-Pina GF, Reyes-Moreno C. 2010. Physicochemical, nutritional and antioxidant properties of tempeh flour from common bean (Phaseolus vulgaris L.). Food Sci Tech Int 16(5):0427-0434. Sabatier M, Arnaud MJ, Kastenmayer P, Rytz A, Barclay DV. 2002. Meal effect on magnesium bioavailability from mineral water in healthy women. Am J Clin Nutr 75:65-71 Singh S, Swain S, Singh DR, Salim KM, Nayak D, Roy SD. 2015. Changes in phytochemicals, anti-nutrients and antioxidant activity in leafy vegetables by microwave boiling with normal and 5% NaCl solution. Food Chem 176:244253. [SNI] Standar Nasional Indonesia (ID). 2009. Tempe Kedelai. Badan Standarisasi Nasional: Jl. Jend Gatot Subroto Senayan, Jakarta, Indonesia.
20 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis ragam daya serap kalsium Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Daya_serap_Ca Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares 202.528a
3
67.509
1.610
.226
95436.783
1
95436.783
2276.018
.000
Perlakuan
202.528
3
67.509
1.610
.226
Error
670.904
16
41.931
Total
96310.215
20
873.432
19
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .232 (Adjusted R Squared = .088)
21 Lampiran 2 Hasil analisis ragam retensi kalsium
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Retensi_Ca Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares 205.497a
3
68.499
1.625
.223
94978.653
1
94978.653
2252.741
.000
Perlakuan
205.497
3
68.499
1.625
.223
Error
674.582
16
42.161
Total
95858.732
20
880.079
19
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .233 (Adjusted R Squared = .090)
22 Lampiran 3 Hasil analisis ragam kadar kalsium serum tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar_Ca_serum Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares 3.211a
3
1.070
2.290
.117
5740.966
1
5740.966
12280.010
.000
Perlakuan
3.211
3
1.070
2.290
.117
Error
7.480
16
.468
Total
5751.657
20
10.691
19
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .300 (Adjusted R Squared = .169)
23 Lampiran 4 Hasil analisis ragam kadar Ca tulang femur tikus percobaan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar_Ca_tulang_femur Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
175532994.534
3.127
.055
589.856
.000
3.127
.055
Squares Corrected Model Intercept
526598983.602a 33106813491.4 20
3 1
33106813491.4 20
Perlakuan
526598983.602
3
175532994.534
Error
898031129.802
16
56126945.613
Total
Corrected Total
34531443604.8 25 1424630113.40 5
20
19
a. R Squared = .370 (Adjusted R Squared = .251)
24 Lampiran 5 Hasil analisis ragam total Ca tulang femur tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total_Ca_tulang_femur Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares Corrected Model
101194.035a
3
33731.345
3.250
.050
Intercept
3900825.048
1
3900825.048
375.873
.000
perlakuan
101194.035
3
33731.345
3.250
.050
Error
166048.465
16
10378.029
Total
4168067.548
20
267242.500
19
Corrected Total
a. R Squared = .379 (Adjusted R Squared = .262)
25 Lampiran 6 Hasil analisis ragam berat kering tulang femur tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Berat_tulang_kering Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares .339a
3
.113
8.906
.001
23.588
1
23.588
1860.246
.000
perlakuan
.339
3
.113
8.906
.001
Error
.203
16
.013
Total
24.130
20
.542
19
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .625 (Adjusted R Squared = .555) Berat_tulang_kering Duncan perlakuan
N
Subset 1
2
tepung kedelai rebus 10%
5
.9600
tepung tempe 10%
5
.9840
kasein10%
5
1.1120
tepung tempe 20%
5
Sig.
1.2880 .059
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .013. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b. Alpha = .01.
1.1120
.025
26
RIWAYAT HIDUP Khalid Asyaifullah dilahirkan di kota Magelang pada 13 November 1992 dari ayah Muhdi Nurfinta dan ibu Sri Murwati. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2010, penulis lulus dari MA Ma’ahid Kudus, Jawa Tengah, dan terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SNMPTN. Selama kuliah, penulis aktif sebagai pengurus HIMITEPA pada tahun 2012-2013 dan 2013-2014, pengurus OMDA KKB MK pada tahun 2010-2011 dan 2011-2012. Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa acara kepanitiaan seperti acara BAUR 2012 dan ACCESS sebagai divisi desain dan dokumentasi, HACCP dan Halal Management training sebagai divisi logistik dan transportasi, Food Chat Club sebagai divisi desain dan dokumentasi, Food Processing Club 2012 sebagai member staf logistik dan Food Processing Club 2013 sebagai ketua, LCTIP XX sebagai divisis desain dan dokumentasi, ORDE dan MALAM KERAMAT sebagai divisi medis, dan Foodival 2013 sebagai divisi desain dan dokumentasi. Penulis selama kuliah merupakan penerima beasisawa Bank Indonesia tahun 2013 dan beasiswa Supersemar tahun 2013.