EVALUASI KEAMANAN TEPUNG TEMPE DARI KEDELAI TRANSGENIK MELALUI UJI SUBKRONIS DENGAN TIKUS PERCOBAAN
MARYANI SUWARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji Subkronis Dengan Tikus Percobaan adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014 Maryani Suwarno F251110341
∗
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
RINGKASAN MARYANI SUWARNO. Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji Subkronis Dengan Tikus Percobaan. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan TUTIK WRESDIYATI. Tempe merupakan pangan sumber protein yang penting bagi bangsa Indonesia. Sebagai sumber protein yang berasal dari nabati, tahu dan tempe berkontribusi sedikitnya 9.2% dari pola konsumsi protein penduduk Indonesia. Tempe sudah dikenal sejak abad ke-17 dan hingga kini masih diproduksi secara tradisional. Tempe dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang Rhizopus sp. Umumnya proses pembuatan tempe dari mulai pencucian kedelai hingga akhir proses fermentasi memerlukan waktu sekitar tiga hingga empat hari. Dari total produksi kedelai di dunia, 75% berupa kedelai transgenik. Amerika, Brazil dan Argentina sebagai negara penghasil kedelai terbanyak di dunia (80% dari total produksi dunia) lebih dari 90% petaninya membudidayakan kedelai transgenik. Kebutuhan kedelai untuk konsumsi yang mencapai 2,5-3 juta ton per tahun memaksa Indonesia untuk mengimpor sebanyak 1.95 juta ton per tahun. Sebagian besar kedelai impor berupa kedelai transgenik atau dikenal sebagai Genetically Modified (GM) soybean. Penggunaan kedelai untuk pembuatan tempe mencapai 50% dari total kebutuhan nasional. Kekhawatiran akan pangan yang berasal dari tanaman transgenik mengharuskan pangan yang berasal dari tanaman transgenik diuji keamanannya dan dievaluasi untuk melihat adanya potensi toksisitas dan alergi, komponen gizi atau racun baru, stabilitas gen yang disisipi, serta dampak buruk yang disebabkan oleh proses rekayasa genetik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keamanan tempe yang dibuat dari kedelai transgenik, melalui uji subkronis pada tikus jantan Sprague-Dawley. Pengujian toksisitas terhadap tempe dari kedelai transgenik dilakukan mengikuti prinsip pengujian European Food Safety Authority (EFSA, 2011) pada tikus percobaan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan besar, yaitu pembuatan tempe dan tepung tempe untuk formulasi ransum, pemeliharaan dan perlakuan hewan percobaan, serta analisis darah dan pengamatan histologi. Selama 90 hari, tiga kelompok tikus percobaan (masing-masing terdiri dari tujuh ekor) setiap hari diberikan ransum secara ad libitum yang mengandung tepung tempe dari kedelai trangenik, tepung tempe dari kedelai non-transgenik, dan kasein sebagai kontrol. Pengamatan klinis terhadap seluruh tikus percobaan dilakukan setiap hari untuk melihat adanya keganjilan yang muncul. Sisa ransum ditimbang setiap hari untuk digunakan dalam perhitungan Feed Conversion Efficiency (FCE). Setiap enam hari sekali tikus ditimbang berat badannya. Pada hari ke-90, seluruh tikus percobaan dikorbankan untuk diambil darah dan organnya. Darah diambil dari jantung untuk dianalisis profil hematologi dan serum. Analisis hematologi meliputi pengukuran kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit serta hematokrit. Parameter yang dianalisis pada serum meliputi kadar enzim GOT, GPT, glukosa, trigliserida, protein total, albumin, globulin, ureum dan kreatinin. Organ hati dan ginjal ditimbang untuk kemudian dibuat sediaan histologi. Bobot badan tikus, pertambahan bobot badan, FCE, hasil analisis terhadap hematologi dan serum serta bobot organ kemudian diuji secara statistika menggunakan rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
Tidak ada perbedaaan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, FCE, serta bobot organ hati dan ginjal antar kelompok tikus percobaan. Analisis hematologi menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit, hematokrit dan trombosit antar perlakuan. Hasil analisis serum juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada nilai SGOT, SGPT, protein total, albumin, globulin, glukosa, trigliserida, ureum dan kreatinin antar perlakuan. Pengamatan mikroskopik terhadap sediaan histologi jaringan hati tidak menunjukkan adanya kelainan. Hal ini sesuai dengan analisis serum terhadap SGOT, SGPT, trigliserida, glukosa, protein total, albumin dan globulin yang menunjukkan fungsi hati dalam keadaan baik. Hasil pengamatan pada jaringan ginjal tikus seluruh kelompok perlakuan, juga menunjukkan tidak adanya kerusakan. Hal ini sesuai dengan analisis kadar ureum dan kreatinin serum yang mengindikasikan bahwa fungsi ginjal dalam keadaan baik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada dampak yang merugikan akibat mengonsumsi tempe dari kedelai transgenik. Beberapa penelitian jangka panjang sebelumnya terhadap kedelai transgenik juga menunjukkan bahwa konsumsi kedelai transgenik bersifat aman dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi tepung tempe yang berasal dari kedelai transgenik bersifat aman dan tidak merugikan kesehatan. Kata kunci : tempe, kedelai transgenik, toksisitas, subkronis, tikus, histologi, hati, ginjal.
SUMMARY MARYANI SUWARNO. Safety Evaluation of Tempe Made from Transgenic Soybean Using Subchronic Test on Rats. Supervised by MADE ASTAWAN and TUTIK WRESDIYATI Tempe, made from soybean fermented with Rhizopus sp., is important for Indonesian people. As a protein source, tempe and tofu contributes about 9.2% of daily protein requirement. Tempe is made from soybean fermented with Rhizopus sp. Generally, the process of tempe production, from washing, soaking until fermentation process is about three to four days. Soybean utilization for tempe production is 50% from its total national supply. To fulfill the need for soybean consumption that reached up to 2,5 – 3 million tons per year, Indonesia has to import this commodity. Around 1,9 million tons of imported soybean or about 78% of total supply per year, are mostly transgenic soybean or known as Genetically Modified (GM) Soybean (80% global production of soybean is transgenic). Concerns about food derived from transgenic plants require food derived from genetically modified crops should be tested and evaluated for the presence of potential toxicity and allergies, nutritional or toxic components of the new protein, the stability of the inserted genes, and the adverse effects caused by the genetic engineering process. The aim of this research was to evaluate the safety of tempe made from transgenic soybean, by a subchronic test approach using male SpragueDawley rats. Toxicity evaluation of tempe from transgenic soybean was based on EFSA (2011) principal using animal laboratory. This research was conducted in three major phases, namely the process of tempe and tempe flour production for feed formulation, treatment of experimental laboratory rats, blood analysis and histological observations. For 90 days, three groups of male rats (each group contain seven rats) were fed ad libitum with tempe flour from transgenic soybean, tempe flour from non-transgenic soybean and casein as protein sources. Clinical parameters was observed to examine that all rats were healthy and in good condition. Every six days the rats body weight were measured. A leftover feed was weighed to be counted in feed conversion efficiency (FCE). All rats were sacrified on day 90 using anesthezid dose of ketamin and xylazine, where the blood, liver and kidney were collected. Blood is taken from the heart to be analyzed hematology and serum profile. Hematology profile include measuring levels of hemoglobin, erythrocytes, leukocytes, platelets and hematocryte. The serum parameters include enzyme levels in serum GOT,GPT, glucose, triglycerides, total protein, albumin, globulin, ureum and creatinine. Liver and kidneys were weighed to be prepared for histology. Rat body weight, body weight gain, FCE, the analysis of hematology and serum and organ weights were then statistically analyzed using a complete randomized design followed with post hoc Duncan test. Hematology analysis showed the level of hemoglobin, erythrocyte, leucocyte, trombocyte and hematocryte were not significantly different between the groups (p>0.05). Serum analysis on SGOT, SGPT, total protein, albumin, globulin, blood glucose, triglyceride, ureum and creatinine level also showed no significant difference between groups (p>0.05). Histopathological observation showed no injury tissue has been found on both kidney and liver of rats.
The result of this research showed that consumption of tempe flour derived from transgenic soybean was safe, and caused no adverse effect on health. Previous researches on transgenic soybean also showed that consumption of transgenic soybean for long term in rat showed no adverse effect on health. It can be concluded that the consumption of soybean flour derived from transgenic soybeans are safe and not harmful to health. Keywords : tempe, soybean, transgenic, GMO, rats
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun
EVALUASI KEAMANAN TEPUNG TEMPE DARI KEDELAI TRANSGENIK MELALUI UJI SUBKRONIS DENGAN TIKUS PERCOBAAN
MARYANI SUWARNO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof (R) Dr. Ir. Sri Widowati MAppSc.
Judul : Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik Melalui Uji Subkronis Terhadap Tikus Percobaan Nama : Maryani Suwarno NIM : F251110341
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Made Astawan, MS Ketua
Prof Drh Tutik Wresdiyati PhD, PA VET Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Maret 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ ala atas segala karunia dan rahmat-Nya, karya tulis ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik melalui Uji Subkronis dengan Tikus Percobaan dilaksakan sejak bulan Januari 2013. Penghargaan dan ucapan terima kasih dihaturkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kantor Pusat Jakarta, (surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan, No : 709/LB.620/I.1/2/2013 tanggal 25 Februari 2013 atas nama Made Astawan) atas bantuan dana penelitian. Penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Prof Dr Ir Made Astawan, MS dan Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD. PAVET selaku komisi pembimbing, atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dorongan semangat, mulai dari penulisan proposal, selama pelaksanaan penelitian dan hingga penulisan tugas akhir ini selesai. Begitu banyak ilmu dan cerita yang akan menjadi hikmah untuk masa depan penulis. Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof (R) Dr.Ir. Sri Widowati MAppSc. atas kesediaanya menjadi dosen penguji luar komisi pada ujian tesis. Terima kasih kepada Mursyid, Prima, Pa Adi dan Pa Iwan, atas banyak bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. Penghargaan dan terima kasih kepada para dosen dalam lingkup departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Ilmu Pangan IPB, serta dosen dan staf di Laboratorium Histologi FKH atas ilmu yang penulis dapatkan selama ini. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta, Dondick Wicaksono, anak-anakku Arsa dan Maher, kedua mertuaku Mama Lola dan Papa Hariadi Wiroto, serta Ibuku Mamih Heriyana atas kesabaran, keikhlasan, do’a, kasih sayang serta dukungan moril dan materilnya selama penulis berjuang menyelesaikan studi master ini. Kepada semua pihak yang telah membantu, semoga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan membalas setiap kebaikan itu dengan balasan yang lebih baik. Amiin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Maryani Suwarno
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tempe dan Kedelai dalam Sistem Pangan Indonesia Kualitas Gizi pada Tempe Rekayasa Genetik pada Kedelai Keamanan Tanaman Transgenik Kebijakan Pangan Transgenik di Indonesia Menguji Keamanan Pangan Transgenik Perumusan dan Pendekatan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan penelitian 1. Pembuatan tempe dan tepung untuk formulasi ransum 2. Pembuatan ransum tikus percobaan 3. Perlakuan hewan percobaan 4. Pengambilan darah untuk Analisis Hematologi dan Serum 5. Histologi 6. Analisis statistika dan pengamatan histologi HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Ransum Tikus Percobaan Parameter Klinis dan Pertumbuhan Tikus Percobaan Profil Hematologi Tikus Percobaan Analisis Serum Darah Tikus Percobaan Pengamatan Histologi Jaringan Hati dan Ginjal Fragmentasi DNA dalam Tempe KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 1 1 3 5 7 9 10 12 12 12 12 12 13 13 13 13 15 15 16 16 16 16 17 19 21 25 28 30 30 30 34 40
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Produksi kedelai dunia (dalam juta ton) Volume dan nilai impor beberapa bahan pokok, tahun 2011 Komposisi gizi kedelai dan tempe (per 100 gram bahan kering) Kandungan asam amino bebas pada tempe Tanaman transgenik dunia dominan 2010 Rumus formulasi komposisi ransum tikus percobaan Analisis proksimat kasein, tepung tempe transgenik dan tepung tempe non transgenik Komposisi bahan dalam 100 gram ransum Parameter klinis tikus percobaan Kenaikan bobot dan konsumsi ransum tikus selama 90 hari percobaan Nilai hematologi darah tikus setelah 90 hari percobaan Profil biokimia serum tikus setelah 90 hari percobaan Berat organ per 100 gram bobot badan tikus percobaan Hasil penelitian jangka panjang terhadap kedelai transgenik
2 2 3 4 7 15 17 17 18 19 19 24 26 31
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Statistik produksi kedelai dunia Peta sebaran tanaman transgenik dunia Pengujian keamanan produk pangan transgenik dengan tikus percobaan Bagan alir penelitian Pertumbuhan tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai transgenik dan tepung tempe kedelai non-transgenik dibandingkan dengan kasein (kontrol) 6 Foto jaringan hati tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah pemberian ransum selama 90 hari percobaan 7 Jaringan ginjal tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah pemberian ransum selama 90 hari
2 7 10 14
18 27 28
DAFTAR LAMPIRAN 1
Hasil analisis sidik ragam seluruh parameter menggunakan SPSS versi 16.0
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada 26 Februari 1980 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Wawan Suwarno (Alm.) dan Heriyana Baehaki. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada bulan Mei 2014. Saat ini penulis menjadi pengajar Food Safety di Lembaga Training BOTC Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah bekerja di Hotel Salak the Heritage Bogor, PT Ultrajaya Milk Industry Bandung, PT Tupperware Indonesia Jakarta dan PT Eksonindo Multy Product Industry Bandung antara tahun 2003 hingga 2011. Selama mengikuti program S-2, penulis pernah mengikuti Seminar International Soyfoods and Tradeshows di Bali pada tahun 2012 sebagai penyaji poster ilmiah. Karya tulis yang berasal dari Tesis berjudul Evaluasi Keamanan Tepung Tempe dari Kedelai Transgenik melalui Uji Subkronis pada Tikus Percobaan akan diterbitkan dalam Jurnal Veteriner edisi September 2014.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tempe dan Kedelai dalam Sistem Pangan Indonesia Tempe merupakan produk asli Indonesia yang memiliki nilai gizi dan ekonomi tinggi. Tempe dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang Rhizopus sp. Sebagai sumber protein, tempe dikonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak dari jenis pangan sumber protein lainnya. Angka kecukupan gizi (AKG) protein orang Indonesia sebanyak 52 gram per hari, terpenuhi oleh konsumsi tahu dan tempe sebanyak 4.9 g atau sekitar 9.2%; susu dan telur sebanyak 5.8% dan serealia sebanyak 39.3% (Hardinsyah 2013). Kedelai memegang peranan penting dalam sistem pangan di Indonesia. Sebanyak 83.7% dari total pasokan kedelai nasional digunakan untuk pembuatan tahu dan tempe (Hardinsyah 2013). Bahkan menurut Astawan (2013), 50% atau sekitar 1.3 juta ton kedelai nasional digunakan oleh produsen tempe. tempe dikonsumsi sebanyak 19.1g/kapita/hari atau sekitar 7 kg/kapita/tahun, dimana orang perkotaan mengonsumsi protein nabati ini lebih banyak dibandingkan dengan orang di daerah pedesaan, yaitu 21.3g/kapita/hari, sedangkan di pedesaan hanya 17 g/kapita/hari. Pola kebiasaan akan konsumsi tempe dan tahu terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Bali serta sebagian kecil Sumatra. Penduduk Jawa Timur mengonsumsi tempe dan tahu hingga sebanyak 64.3 g/kapita/tahun atau 7.4 g protein/kapita/hari, mencukupi sekitar 14% angka kecukupan gizi protein (Hardinsyah 2013). Tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kedelai utuhnya, di antaranya daya cerna protein, karbohidrat dan lemaknya lebih tinggi (lebih mudah dicerna); kandungan beberapa vitamin lebih tinggi; ketersediaan (bioavalabilitas) mineral menjadi lebih baik karena hilangnya faktor antigizi; serta ditemukannya berbagai komponen bioaktif yang sebelumnya tidak ada pada kedelai. Beberapa komponen bioaktif ini memiliki aktivitas antioksidan, antidiare serta mencegah penyakit degeneratif (Astuti et al. 2000; Nout dan Kiers 2005;). Selain kualitas gizinya lebih baik dari kedelai utuhnya, tempe diketahui berpotensi sebagai pangan hipoalergenik, karena proses fermentasi dapat mengurangi sifat alergenisitas dari protein kedelai (Wilson et al. 2005; Song et al. 2008). Kedelai yang berasal dari daratan Cina dapat tumbuh di iklim tropis maupun sub-tropis, tumbuh pada kisaran suhu 20-30oC pada saat musim panas. Kedelai paling baik tumbuh pada tanah aluvial dengan kandungan organik yang tinggi. Masa panen kedelai mencapai antara 80 hingga 120 hari (OECD 2000). Negara penghasil kedelai terbesar di dunia adalah Amerika, Brazil dan Argentina yang mencapai 80% dari total produksi global (Gambar 1). Pada tahun 2011, produksi kedelai dunia mencapai 251 juta ton (Tabel 1). Di Indonesia, produksi kedelai menurun setiap tahunnya. Data dari Kementrian Pertanian (2013) menyebutkan pada tahun 2012 produksi kedelai sebanyak 843.15 ribu ton biji kering, menurun dari 907.03 ribu ton pada tahun 2010. Pada rentang waktu tahun 2010 sampai 2014 diperkirakan kebutuhan nasional akan
2 kedelai mencapai sekitar 2.3 juta ton biji kering. Untuk memenuhi kekurangannya, pemerintah telah mengimpor sebanyak lebih dari 1.9 juta ton atau sekitar 78% dari total kebutuhan kedelai nasional (BPS 2012). Impor terbesar berasal dari Amerika Serikat dengan nilai mencapai lebih dari 2.5 milyar dolar Amerika (Tabel 2).
Tabel 1 Produksi kedelai dunia tahun 2011 (dalam juta ton) Negara Produksi Ekspor Amerika Serikat 83.2 34.7 Brazilia 72.0 37.8 Argentina 48.0 8.9 China 13.5 India 11.0 Canada 4.2 2.9 Paraguay 6.4 5.0 Lainnya 13.1 3.5 Total 251.5 92.8 Sumber : ASA 2012
Amerika Serikat 33%
Lainnya 5% Kanada 2% Paraguay 3% India 4%
Brazil 29%
Argentina 19% Cina 5%
Gambar 1 Statistik produksi kedelai dunia Sumber : http://www.soystats.com/2012/page_30.htm
Tabel 2 Volume dan nilai impor beberapa bahan pangan pokok, tahun 2011 Ratio Volume Nilai Impor Komoditas Konsumsi Impor/ Impor (Juta (Miliar Pangan ( juta ton) Konsumsi Ton) USD) (%) Beras 33.5 2.75 1.5 8 Kedelai 3.1 1.85 2.5 60 Gula 5.5 2.7 1.5 18 Gandum 5.5 5.5 1.3 100 Jagung 18.8 2.0 1.02 11 Sumber : BPS 2012
3
Kualitas Gizi pada Tempe
Secara umum, walaupun kandungan gizi antara kedelai dan tempe tidak berbeda jauh (Tabel 3), namun kualitas gizi tempe dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan kualitas gizi kedelai utuhnya (Astawan 2008). Hal ini disebabkan selama pembuatan tempe, komponen zat gizi dalam kedelai yang berupa karbohidrat, protein serta lemak mengalami perubahan secara kimia dan biokimia (Astuti et al. 2000; Nout dan Kiers 2005). Adanya enzim protease, lipase dan amylase yang dihasilkan oleh kapang R.oligosporus menjadikan tempe lebih lebih mudah dicerna (Astawan 2008). Tabel 3 Komposisi gizi kedelai dan tempe Zat Gizi per 100 gram (berat kering)
Kedelai
Tempe
Abu (g)
6.1
3.6
Protein (g)
46.5
50.5
Lemak (g)
23.6
19.3
Karbohidrat (g)
22.1
26.6
Serat (g)
3.7
7.2
Kalsium (mg)
254
347
Fosfor (mg)
781
724
Besi (mg)
11
9
Vitamin B1 (mg)
0.5
0.15
Riboflavin (mg)
0.15
0.85
Niasin (mg)
0.67
4.35
Asam Pantotenat (mg)
0.46
1
Piridoksin (mg)
0.08
0.47
Vitamin B12 (mcg)
0.15
5
34
71
Biotin (mcg) Sumber : Astawan 2008
Kandungan karbohidrat yang mencapai 35% (bk) pada bijinya terdiri dari gula bebas 10% (5% sukrosa, 4% stakiosa dan 1% rafinosa) serta antara 20-30% berupa polisakarida non-pati (Non Starch Polysaccharides), 8% selulosa serta sisanya berupa polisakarida pectin (Choct et al. 2010). Oligosakarida stakiosa dan rafinosa selain bersifat sebagai prebiotik juga dapat menyebabkan flatulensi jika dikonsumsi karena sifatnya yang tidak dapat dicerna (Rupérez 2006). Proses perendaman, pertunasan (sprouting) serta fermentasi kedelai dapat meningkatkan daya cerna karbohidrat serta mengurangi kandungan oligosakarida hingga 100% dikarenakan adanya aktivitas α-galaktosidase (Wang et al. 2003). Rhizopus dapat mempergunakan oligosakarida stakiosa dan rafinosa sebagai sumber karbon dan
4 energinya. Selain rafinosa dan stakiosa, beberapa oligosakarida dengan berat molekul yang besar juga ikut terdegradasi selama proses fermentasi dikarenakan aktivitas enzim karbohidrase, salah satunya α -galaktosidase (Wang et al. 2003; Nout dan Kiers 2005). Selama proses fermentasi, protein dalam kedelai mengalami degradasi dan hidrolisis menjadi peptida sederhana dan asam-asam amino bebas. Derajat hidrolisis protein tergantung kepada strain dari Rhizopus. Umumnya tempe yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari proses fermentasi 48 jam dengan Rhizopus oligosporus. Perbedaan lamanya fermentasi mempengaruhi kadar asam amino bebas yang terkandung dalam tempe (Handoyo dan Morita 2006). Kandungan asam amino bebas pada tempe meningkat selama proses fermentasi (Tabel 4). Selama proses fermentasi berlangsung, protein globulin yang ada dalam kedelai terdegradasi sehingga menjadikan protein yang terdapat dalam kedelai lebih mudah dicerna. Protein globulin yang terdegradasi selama fermentasi 48-72 jam adalah sekitar 90%, sedangkan protein albumin terdegradasi sekitar 60% (Handoyo dan Morita 2006). Dalam Astawan (2008), nilai daya cerna protein pada kedelai rebus 75% sedangkan pada tempe meningkat menjadi 83%. Tabel 4 Kandungan asam amino bebas pada tempe Asam Amino Bebas Lama Fermentasi (jam) (mg/100 g kedelai) 0 24 48 Asam Amino Esensial Isoleusin 4.6 5.2 9.5 Leusin 4.2 6.6 10.1 Lisin 5.1 52.6 3.3 Metionin 2.1 0.7 1.3 Fenilalanin 1.4 5.6 6.2 Threonin 0.2 0.2 0.4 Valin 3.8 2.8 6.1 Asam Amino Semi Esensial Arginin 26.7 32.4 7.6 Glysin 2.7 5.2 21.4 Histidin 1.7 26.4 2.0 Tyrosin 1.3 13.1 4.6 Asam Amino non-esensial Alanin 11.2 104 229.7 Asparagin (Asn) 1.5 22.5 20.1 Aspartat (Asp) 3.6 5.4 17.1 Sistein 0.9 4.5 6.4 Glutamat 42.1 16.7 140.0 Prolin 1.0 6.8 20.7 Serin 0.1 1.5 3.6 Ornitin 1.4 5.1 0.0 GABA 2.7 21.4 7.1 Total 118.3 338.9 517.2 Sumber : Handoyo dan Morita 2006
5
Kandungan lemak pada tempe sedikit lebih rendah dibandingkan kadar lemak pada kedelai utuhnya. Selama proses fermentasi enzim lipase menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas kemudian digunakan oleh kapang sebagai sumber energinya sehingga tempe memiliki kandungan lemak yang lebih rendah (Astuti et al. 2000). Kandungan asam lemak bebas meningkat pada kedelai rebus, yaitu 0.5% menjadi 21% pada tempe (Astawan 2008). Faktor antigizi yang secara alami terdapat dalam kedelai, seperti tripsin inhibitor dan asam fitat menghilang atau berkurang banyak selama proses perendaman, perebusan dan fermentasi. Hal ini dikarenakan adanya enzim fitase yang diproduksi oleh R.oligosporus. Fitase akan mengubah fitat menjadi fosfor dan inositol (Astawan 2008). Selama proses pembuatan tempe, fitat berkurang hingga 65% (Sudarmaji dan Markakis 1977). Berkurangnya fitat dapat meningkatkan ketersediaan mineral karena fitat diketahui dapat mengkelat berbagai mineral seperti Zn, Fe, Ca. Dengan berkurangnya fitat pada tempe, mineral seperti zat besi akan meningkat ketersediaannya sehingga dapat dipergunakan oleh tubuh (Kasaoka et al. 1997; Macfarlene et al. 1990). Kadar vitamin B-kompleks dalam tempe meningkat selama proses fermentasi, karena aktivitas beberapa bakteri, seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii yang memproduksi vitamin B12 (Keuth dan Bisping 1994). Dalam Mo et al. (2013), kandungan vitamin B12 dalam tempe adalah sekitar 0.160.72 μg/kg, sedangkan di Indonesia, umumnya kandungan vitamin B12 adalah sekitar 5 µg/100g (Astwan 2008). Selama proses perendaman, vitamin B12 diproduksi oleh Klebsiella pneumoniae. Walaupun diketahui kelompok Enterobactericeae ini dapat menghasilkan enterotoxin, namun selama proses pembuatan tempe, baik Citrobacter freundi maupun Klebsiella pneumoniae tidak dapat menghasilkan enterotoksin shiga-like toxin. Tidak hanya vitamin B12 yang dihasilkan oleh bakteri ini, namun juga riboflavin dan vitamin B6 (Keuth dan Bisping, 1994). Umumnya vitamin B12 terdapat pada produk-produk hewani, namun kandungan vitamin B12 yang tinggi pada tempe menjadikan tempe sebagai satusatunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati (Astawan 2008).
Rekayasa Genetik pada Kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan yang penting di dunia, dibudidayakan karena kandungan minyak dan proteinnya yang cukup tinggi (FAO 1992). Dengan kandungan minyak sebesar 20% (per berat kering biji) menjadikan minyak kedelai sebagai sumber minyak pangan terbesar di dunia, mencapai 50% dari total produksi minyak yang berasal dari biji-bijian (oilseed) di dunia (FAO 1992). Tidak hanya kandungan proteinnya yang tinggi dalam biji, yaitu mencapai 40-45%, kedelai juga mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Kelengkapan asam aminonya menjadikan kedelai memiliki kualitas protein yang sebanding dengan protein hewani (Dixit et al. 2011). Saat ini kedelai dunia dibudidayakan dari kedelai hasil rekayasa genetika / GMO (Genetically Modified Organism) atau dikenal dengan kedelai transgenik, mencapai 75% dari total produksi kedelai (James 2010). Di Amerika Serikat, 90% kedelai dibudidayakan dari bibit kedelai transgenik (James 2008).
6 Tanaman transgenik atau dikenal sebagai GMO menurut definisi WHO adalah organisme yang telah mengalami perubahan pada materi genetiknya sehingga organisme tersebut memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sebelumnya. Gen yang disisipkan ke dalam organisme tersebut dapat berasal dari spesies yang sama ataupun berbeda (WHO 2002). Proses rekayasa genetika memungkinkan suatu organisme memiliki sifat yang berbeda yang secara alami tidak dimiliki oleh organisme tersebut. Karakter dari tanaman rekayasa genetika yang dihasilkan antara lain toleran terhadap herbisida (herbicide tolerant), resisten terhadap insektisida (Bt toxin), virus, jamur atau nematoda, atau bahkan bersifat toleran terhadap herbisida sekaligus resisten terhadap insektisida atau yang dikenal dengan istilah stacked trait (Petriccione 2004). Tanaman hasil rekayasa genetika dengan karakteristik tersebut secara ekonomi sangat menguntungkan. Dengan produktivitas yang lebih tinggi, para petani kedelai dapat menghasilkan lebih banyak kedelai dalam area yang sama dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit, yang artinya secara ekonomi lebih menguntungkan (Mensah 2007). Secara global, produksi kedelai dapat ditingkatkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar yang makin tinggi, seiring dengan bertambahnya penduduk dunia. Sejarah munculnya tanaman rekayasa genetika dengan karakter di atas dikarenakan antara tahun 1988 sampai 1990 produksi tanaman pangan global mengalami kerugian hingga mencapai 40% yang disebabkan oleh kurangnya kontrol terhadap serangan hama, penyakit, virus dan gulma. Delapan jenis tanaman pertanian penting adalah beras, barley, jagung, kentang, kedelai, kapas dan kopi. Kerugian mencapai 42.1% dari angka prediksi panen, dimana 15.6% disebabkan oleh serangan hewan (animal pest), 13.3% karena penyakit dan 13.2% disebabkan oleh gulma (Oerke 2006). Selain bersifat tahan terhadap penyakit atau toleran terhadap herbisida, proses rekayasa genetika dapat menghasilkan tanaman dengan komposisi gizi yang lebih tinggi. Sebut saja kedelai yang menghasilkan kadar asam oleat lebih tinggi dibanding kedelai konvensional atau beras yang mengandung beta karoten, dikenal sebagai Golden Rice (James 2008). Saat ini, tanaman pertanian transgenik yang paling banyak dibudidayakan adalah yang bersifat tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Contohnya kedelai toleran terhadap herbisida, atau dikenal sebagai Roundup Ready (RR)® soybean dan Bt corn, yaitu jagung yang menghasilkan toksin yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), dimana gen yang disisipi mengkode protein kristal (Bt toxin) yang bersifat toksik terhadap lepidopteran. Selain bersifat toleran terhadap herbisida dan menghasilkan toksin bagi insektisida, ada juga tanaman pangan yang resisten terhadap virus. Saat ini tanaman pertanian hasil rekayasa genetik atau dikenal sebagai biotech crops di dunia didominasi oleh tanaman kedelai dengan karakter toleran terhadap herbisida (herbicide tolerant soybean) yang mencapai 50% area tanam keseluruhan tanaman biotek. Dari keseluruhan tanaman kedelai, 75% kedelai dunia dibudidayakan dari bibit transgenik, yaitu mencapai 75.4 juta hektar dari 100 juta hektar area yang ditanami kedelai. Total area dan peta sebaran tanaman transgenik dunia dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 2. Glyphosate, merupakan herbisida spektrum luas yang dapat membunuh hampir semua jenis tanaman pengganggu atau gulma (Cox 1995). Ketika digunakan sebagai herbisida, glyphosate dapat memblokir shikimic acid pathway pada tanaman dengan cara menghambat enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase
7
(EPSPS). Kekurangan enzim EPSPS ini akan mengganggu biosintesis asam amino aromatik fenilalanin, triptofan dan tirosin, sehingga akan mengganggu sintesis protein dan pertumbuhan tanaman. Enzim EPSPS secara alami terdapat pada hampir seluruh tanaman, fungi dan bakteri, namun tidak terdapat pada hewan (Padgette et al. 1995). Tabel 5 Tanaman transgenik dunia dominan 2010 Jenis tanaman Juta hektar % Area biotek Herbisida tolerant soybean 73.3 50 Stacked trait soybean 28.8 19 Bt cotton 16.1 11 Bt maize 10.2 7 Herbicide tolerant maize 7.0 5 Herbicide tolerant canola 7.0 5 Stacked traits cotton 3.5 2 Herbicide tolerant cotton 1.4 1 Herbicide tolerant sugarbeet 0.5 <1 Herbicide tolerant Alfalfa 0.1 <1 Lainnya 0.1 <1 Total 148 100% Sumber : James 2011
Gambar 2 Peta sebaran tanaman transgenik dunia (James 2008)
Keamanan Tanaman Transgenik Isu mengenai keamanan tanaman transgenik belum surut. Aktivis-aktivis anti GMO bertebaran di seluruh penjuru negeri, menolak akan keberadaan tanaman ini.
8 Uni Eropa merupakan wilayah yang memilki regulasi yang ketat mengenai tanaman genetik. Jika dilihat dari peta sebaran tanaman transgenik, hanya beberapa negara di wilayah Uni Eropa yang telah mengadopsi tanaman transgenik. Uni Eropa juga membatasi impor komoditas dan pangan yang berasal dari transgenik dan mewajibkan produk transgenik yang beredar di pasaran harus diberi keterangan pada label / kemasannya bahwa produk tersebut mengandung transgenik. Toleransi kadar transgenik dalam pangan pun sangat kecil, yaitu 0.9% untuk pangan yang mengandung transgenik yang telah diotorisasi atau nol (zero tolerance) untuk pangan dengan kandungan transgenik yang belum diotorisasi. Proses otorisasi tersebut melalui tahapan yang panjang, lama dan memerlukan biaya yang sangat besar. Hanya perusahaan yang sangat besar lah yang mampu untuk mengomersialisasikan produk transgenik mereka ke daratan Eropa (Davison 2010). Menurut definisi yang termuat dalam regulasi EC no.258/97 pangan yang berasal dari tanaman transgenik termasuk dalam kategori novel food, yaitu pangan atau bahan baku (ingredient) yang tidak pernah ada sejarahnya pernah dikonsumsi di wilayah EU sebelum Mei 1997. Oleh karenanya, semua jenis pangan transgenik yang akan dipasarkan di wilayah ini harus melalui uji keamanan serta evaluasi yang sama dengan novel foods. European Food Safety Authority (EFSA) merupakan badan yang bertanggung jawab untuk hal ini. Pengaturan secara spesifik mengenai pangan dan pakan transgenik dan pelabelannya tercantum dalam GM Food and Feed Regulation EC No.1829/2003. Setiap pangan hasil rekayasa genetika harus dievaluasi keamanannya secara kasus per kasus, termasuk potensi toksisitas, gizi, dan alergi, sebelum dapat dikomersialisasikan dan dipasarkan (Arvanitoyannis et al. 2005). Bahkan WHO (2009) dalam websitenya, menyebutkan bahwa produk pangan transgenik menjadi salah satu isu keamanan pangan dunia (global food safety issue) dan harus dievaluasi keamanannya (assessment of new food technologies, such as genetically modified food). Hingga kini, baru sedikit otorisasi yang disahkan oleh Uni Eropa untuk dapat mengadopsi budidaya tanaman transgenik untuk konsumsi manusia. Dalam 14 tahun terakhir sejak pertama kali tanaman trangenik diperkenalkan dan dipasarkan di dunia, Uni Eropa hanya memperbolehkan budidaya dua jenis tanaman transgenik untuk konsumsi manusia, yaitu kentang Amflora dari BASF dan jagung MON810 dari Monsanto. Sedangkan untuk pakan ternak, Uni Eropa telah melegalkan lebih dari 50 jenis tanaman transgenik (Anonim 2014). Hanya beberapa negara di wilayah Eropa yang memperbolehkan kedelai transgenik untuk diadopsi, sehingga sebagian besar masih merupakan kedelai konvensional atau non-transgenik (Davidson 2010). Ketatnya aturan mengenai pangan transgenik merupakan langkah pemerintah Uni Eropa untuk melindungi penduduknya yang khawatir mengenai dampak kesehatan yang berpotensi timbul akibat konsumsi pangan transgenik. Mengenai pelaksanaan pengujian keamanan pangan transgenik, secara rinci dijelaskan dalam pedoman pengujian menggunakan hewan coba yang dikeluarkan oleh EFSA (2011), yaitu pedoman pelaksanaan studi toksisitas pangan/pakan dengan dosis berulang 90 hari pada hewan percobaan (Guidance on conducting repeated-dose 90-day oral toxicity study in rodents on whole food/feed). Evaluasi dilakukan terhadap darah dan urin, berat organ serta gambaran histopatologi (FAO-WHO 2000; FDA 2003; EFSA 2005; EFSA 2011). Kekhawatiran sebagian masyarakat akan pangan transgenik salah satunya dikarenakan adanya sifat-sifat baru yang dimiliki tanaman ini dapat menimbulkan
9
ekspresi protein baru akibat gen dari spesies lain, dimana protein yang baru ini dapat memunculkan toksisitas dan alergi (Kuiper et al. 2001; Pettricione 2004; Domingo 2007; Dona dan Arvanitoyannis 2009; Seralinni et al. 2009). Selain itu, dikarenakan sifatnya yang menjadi tahan terhadap pestisida atau herbisida, dikhawatirkan residu paparan pestisida ini dapat mengontaminasi tanaman selama kultivasi dan dapat ikut terkonsumsi (Antoniou et al. 2012). Umumnya pangan transgenik menggunakan virus mosaic dari kembang kol (Cauliflower Mozaic Virus / CaMV 35S) sebagai promotor. Dikhawatirkan virus ini dapat termutasi atau berpindah dan dapat menimbulkan penyakit, bersifat karsinogen dan mutagen atau dapat memunculkan reaktivitas dan generasi baru virus (Dona dan Arvanitoyannis 2009). Selain itu, sifat resisten terhadap antibiotik yang digunakan sebagai gen penanda (marker gene) pada proses rekayasa genetika menimbulkan ketakutan bahwa mungkin saja gen ini dapat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang ada pada saluran pencernaan, walaupun kemungkinan akan terjadinya hal ini sangatlah jarang (Dona dan Arvanitoyannis 2009). Oleh karena itu penanganan pangan hasil rekayasa genetika (GMO) atau transgenik harus dilakukan melalui pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) guna memastikan keamanannya. Pangan transgenik harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan sebelum diedarkan. Pemerintah telah menetapkan regulasi terkait sebagai upaya untuk melindungi masyarakat.
Kebijakan Pangan Transgenik di Indonesia Di Indonesia, regulasi mengenai pangan transgenik diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan bagian ke-empat pasal 77-79, yang secara jelas menyatakan larangan untuk mengedarkan dan menjual pangan yang berasal dari tanaman transgenik sebelum dilakukan pengujian keamanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 109 menegaskan bahwa “Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan”. Pemerintah mewajibkan pemeriksaan keamanan Produk Rekayasa Genetika (PRG) sebelum diedarkan (pre-market food safety assessment). Pengkajian keamanan dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG). Pangan PRG yang telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi wajib mencantumkan label keterangan pangan PRG pada kemasan sebelum diedarkan. Pelabelan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.03.12.1564 Tahun 2012 tentang Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik. Jika dilihat dari besarnya angka kebutuhan akan kedelai yang terpenuhi dari impor, kemungkinan besar kedelai yang digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan tempe dan tahu merupakan kedelai trangenik. Hingga kini, belum ada hasil publikasi mengenai tempe yang berasal dari kedelai transgenik. Walaupun hasil dari beberapa penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa konsumsi kedelai
10 transgenik tidak menimbulkan bahaya terhadap kesehatan (Hemre et al. 2005; Tudisco et al. 2006; Appenzeller et al. 2008; Daleprane et al. 2009; Qi et al. 2012; Snell et al. 2012), namun pengujian terhadap tempe perlu dilakukan, karena belum pernah dilakukan sebelumnya.
Menguji Keamanan Pangan Transgenik Dalam panduan yang dikeluarkan oleh European Food Safety Authority (EFSA 2011), pengujian keamanan pangan transgenik dilakukan mengikuti pedoman pengujian terhadap zat kimia atau dikenal sebagai uji toksisitas. Umumnya pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dosis toksis suatu zat tertentu terhadap paparan manusia yang dilakukan melalui hewan percobaan. Pengujian toksisitas terbagi menjadi tiga, yaitu uji toksisitas akut, subkronis dan kronis. Toksisitas akut merupakan derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam tempo singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal atau pemberian berulang dalam waktu terbatas (umumnya 24 jam). Batasan waktu singkat adalah bisa dalam rentang 24 jam ataupun paling lama adalah 14 hari (Hodgson dan Levi 2000). Tujuan utama dilakukan pengujian ini adalah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik bahan uji pada satu hewan uji atau lebih. Selain itu pengujian toksisitas akut juga ditujukan untuk menilai berbagai macam gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji (Omaye 2004). Uji ketoksikan sub kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama jangka waktu kurang lebih 10 % dari masa hidup hewan uji, misalnya 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Pengujian sub kronis ini bertujuan untuk menyelidiki efek toksik yang timbul karena pemberian berulang dari zat/senyawa/bahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Data pengujian sub kronis dapat memberikan informasi berharga mengenai efek kumulatif dari suatu zat pada organ sasaran, toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu tertentu (Syabana 2010). Sedangkan uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu zat/bahan/senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari hidupnya, misal 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995; Omaye 2004). Jadi uji toksisitas subkronis dan akut hanya dibedakan berdasarkan waktunya saja. Pengujian keamanan pangan transgenik yang dilakukan terhadap tikus percobaan harus dilakukan paling sedikit selama 90 hari (long term studies). Hal ini berdasarkan bahwa pangan transgenik akan dikonsumsi sepanjang masa. Penelitian subkronik selama 90 hari atau lebih dari tiga bulan lamanya dapat memberikan gambaran terhadap perubahan sistem metabolik, syaraf, imun, hormonal bahkan potensi kanker (Serallini et al. 2009). Ilustrasi mengenai pengujian pangan transgenik dapat dilihat pada Gambar 3. Parameter yang digunakan dalam toksisitas sub kronis dan kronis adalah : pengamatan terhadap klinis hewan percobaan dan pertumbuhan; analisis terhadap
11
profil hematologi, serum (atau plasma) dan urin; serta pengamatan terhadap histopatologi organ tikus percobaan (FDA 2000). 1. Pengamatan klinis hewan percobaan Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan 2. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan berpengaruh terhadap konsumsi pakan hewan coba dan berkaitan dengan berat badannya. 3. Analisis kimiawi darah, serum atau urin Analisis kimiawi darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin, eritosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah, kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium, natrium dan klorida. Sedangkan pada urin mencakup pemeriksaan fisik warna, berat jenis, dan pH. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan kimiawi yang mencakup protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah, kristal dan benda amorf. Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan urea yang tinggi dalam serum dan urin mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. 4. Pengamatan histologi terhadap organ/jaringan yang diduga menjadi sasaran senyawa toksik. Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya kerusakan organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan terhadap kejadian kerusakan jaringan hati dan ginjal.
Gambar 3 Pengujian kemanan produk pangan transgenik dengan tikus percobaan (Seralinni et al. 2009)
12 Perumusan dan Pendekatan Masalah
Total kebutuhan kedelai sebesar 2,5 juta ton per tahun, sebagian besar (78%) dipenuhi oleh impor dari negara yang mengadopsi kedelai transgenik. Adapun 50% dari total pasokan yang ada digunakan oleh produsen tempe. Tempe yang dibuat dari kedelai transgenik belum pernah diuji keamanannya, padahal landasan hukum mengenai pangan transgenik yang tercantum dalam Undang-undang Pangan no.18 tahun 2012 dan Undang-undang Kesehatan no. 36 tahun 2009 secara jelas menyatakan larangan untuk mengedarkan dan menjual pangan yang berasal dari tanaman transgenik sebelum dilakukan pengujian keamanan. Tempe sebagai pangan yang berasal dari tanaman hasil rekayasa genetika belum pernah diuji keamanannya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji keamanan tempe yang dibuat dari kedelai impor transgenik dan non-transgenik melalui pengujian toksisitas subkronis secara in vivo menggunakan tikus percobaan selama 90 hari. Analisis darah dan organ dilakukan terhadap tikus yang telah diterminasi. Parameter yang digunakan adalah profil hematologi (kadar hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit dan hematokrit) serta profil serum (kadar SGOT, SGPT, protein total, albumin, globulin, trigeliserida, glukosa, ureum dan kreatinin). Pengamatan kualitatif di bawah mikroskop dilakukan terhadap jaringan hati dan ginjal tikus percobaan untuk melihat kondisi histopatologi.
Hipotesis Penelitian
Konsumsi jangka panjang akan tepung tempe yang berasal dari kedelai transgenik pada tikus percobaan tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Rumah Tempe Indonesia (RTI) Cilendek Bogor, Laboratorium Pilot Plant Laboratorium Southeast Asean Food Agricultural Science Technology Center (SEAFAST Center), Laboratorium Hewan Percobaan SEAFAST Center IPB, Laboratorium Histologi FKH IPB, dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Bogor. Penelitian dilakukan pada periode April – Desember 2013.
13
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : tempe kedelai transgenik dan tempe kedelai non-transgenik yang didapat dari Rumah Tempe Indonesia (RTI) Cilendek Bogor, pati jagung, minyak jagung Mazola®, kasein, vitamin mix Fitkom®, mineral mix, alkohol 70%, larutan Bouin, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol absolut, xylol, paraffin, pewarna hematoksilin-eosin, serta reagen untuk analisis serum. Peralatan yang digunakan adalah : seperangkat kandang tikus, syringe, alat bedah, cawan petri, tabung darah dengan EDTA, tabung sentrifuse, automatic hematology analyzer (Medonic M-series Haematology Analyzer, Boule Medical, Stockholm, Sweden), dan chemistry analyzer (Vital scientific Selectra Junior Clicinal Chemistry Analyzer, Dieren, The Netherlands), gelas objek, cover glass, tissue embedding console (Tissue Tec® TEC), hot chamber, inkubator, mikrotom, mikroskop, serta kamera digital dino eye.
Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam enam tahapan yang terdiri dari : pembuatan tempe dan tepung tempe untuk formulasi ransum, pembuatan ransum tikus percobaan, perlakuan hewan percobaan, sampling untuk mengambil darah dan organ tikus percobaan, dan analisis statistika serta observasi histologi. Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. 1. Pembuatan tempe dan tepung untuk formulasi ransum Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan tempe dan tepung tempe. Tempe dibuat di Rumah Tempe Indonesia, Cilendek, Bogor. Pembuatan tempe dilakukan secara terpisah untuk masing-masing jenis kedelai (kedelai transgenik dan kedelai non-transgenik). Proses pembuatan tempe dilakukan dengan cara sebagai berikut. Kedelai dicuci, direbus selama 30 menit, direndam 12 jam untuk mendapatkan pH sekitar 4.0–4.5, digiling untuk memecah biji, dicuci dan dibuang kulitnya. Biji kedelai tanpa kulit kemudian dicuci bersih, direbus selama 15 menit, ditiriskan dan didinginkan, diberi ragi komersial (satu gram per satu kilogram kedelai mentah), dan difermentasi selama 48 jam pada suhu 30–32oC. Tempe segar diiris dan diblansir menggunakan uap panas selama 10 menit, digiling dan dikeringkan (dioven dengan suhu 60 oC selama 8 jam), digiling dengan disc-mill dan diayak menggunakan saringan 40 mesh untuk mendapatkan tepung tempe. 2. Pembuatan ransum tikus percobaan Sebelum diformulasi ke dalam ransum, tepung tempe dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan gizinya. Tepung tempe kemudian diformulasi sesuai standar ransum Association of Official Analytical Chemists (AOAC 1995) dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Formulasi ransum yang digunakan seperti pada Tabel 6.
14 Kedelai Impor transgenik
Kedelai Impor nontransgenik
Proses pembuatan Tempe Tempe Kedelai Transgenik
Tempe Kedelai Nontransgenik
Tepung tempe transgenik
Tepung tempe non-transgenik
Pengujian keamanan subkronis in vivo selama 90 hari
21 ekor tikus jantan Sprague-Dawley umur 28 hari, adaptasi 4 hari
Grup Kontrol (kasein)
Grup Tempe Trasgenik
Grup Tempe nontransgenik
tikus dianestesi dengan xylazine & ketamin dosis 0,9 ml/Kg BB
darah diambil dari jantung
tikus dibedah, diambil organ hati dan ginjal, dan ditimbang
Analisis hematologi Analisis serum biokimia
Hati & ginjal untuk pengamatan histologi
Gambar 4 Bagan alir penelitian
15
Tabel 6 Rumus formulasi komposisi ransum tikus percobaan Komponen
Sumber Kasein / Tepung tempe
Jumlah
Lemak
Minyak jagung
8%
Mineral
Campuran mineral
5%
Vitamin
Fitkom
1%
CMC
1%
Air
Air minum
5%
Karbohidrat
Pati jagung
% sisanya
Protein
Serat
Perhitungan
1,60 𝑥𝑥 100 % 𝑁𝑁 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑥𝑥 × % 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 8−( ) 100 𝑥𝑥 × % 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 5−( ) 100 𝑥𝑥 =
10 %
1%
𝑥𝑥 × % 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 ) 100 𝑥𝑥 × % 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 5−( ) 100
1−(
100 – (lainnya)
Sumber : AOAC 1995
3. Perlakuan hewan percobaan Pengujian keamanan tempe dari kedelai transgenik dan non-transgenik dilakukan secara in vivo dengan menggunakan tikus jantan Sprague-Dawley selama 90 hari. Metode ini mengikuti pedoman pengujian pangan yang berasal dari tanaman transgenik yang dikeluarkan oleh European Food Safety Authorithy (EFSA 2011) yaitu pedoman pelaksanaan studi toksisitas pangan/pakan dengan dosis berulang 90 hari pada tikus percobaan (Guidance on conducting repeateddose 90-day oral toxicity study in rodents on whole food/feed) dengan beberapa modifikasi. Tikus sebanyak 21 ekor dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing sebanyak tujuh ekor. Kelompok tikus A dan B mendapatkan ransum tepung tempe dari kedelai transgenik dan tempe dari kedelai non-transgenik. Sebagai kontrol, kelompok tikus C mendapatkan ransum kasein sebagai sumber protein. Setiap hari selama 90 hari perlakuan, tikus diberikan ransum secara ad libitum sesuai kelompoknya. Pengamatan terhadap perilaku tikus dan tandatanda klinis dilakukan setiap hari untuk mengamati adanya keganjilan yang muncul. Penimbangan bobot badan dilakuan setiap enam hari sekali.
4. Pengambilan darah untuk Analisis Hematologi dan Serum Setelah 90 hari percobaan, seluruh tikus dikorbankan menggunakan obat bius campuran ketamin dan xylazine dosis anestesi 0.9 mg/kg bobot badan. Darah tikus diambil melalui jantung. Untuk analisis hematologi diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung darah yang telah diberi anti-koagulan EDTA. Untuk analisis serum, darah diambil sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Analisis hematologi meliputi kadar hemoglobin (Hb), jumlah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit), dan hematokrit menggunakan alat hematology analyzer. Serum darah dianalisis menggunakan alat chemistry analyzer untuk menentukan kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), protein total, albumin,
16 globulin, trigeliserida, glukosa, ureum dan kreatinin. Kedua analisis ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Bogor. Organ hati dan ginjal ditimbang dan dianalisis lebih lanjut.
5. Analisis Histologi Jaringan Hati dan Ginjal Setelah diambil darahnya, tikus dibedah untuk diambil organ hati dan ginjalnya. Kedua organ ditimbang dan dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya difiksasi menggunakan larutan Buoin. Jaringan yang telah difiksasi kemudian didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 70, 80, 90, dan 95% masing-masing selama 24 jam, dilanjutkan dengan alkohol absolut selama 1 jam yang diulang sebanyak tiga kali. Setelah dehidrasi dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xilol sebanyak tiga kali masing-masing selama satu jam, dilanjutkan dengan infiltrasi parafin. Jaringan kemudian ditanam dalam media parafin. Berikutnya dilakukan penyayatan dengan ketebalan 4-5 mikron menggunakan mikrotom. Hasil sayatan dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) untuk kemudian dilakukan pengamatan terhadap kelainan jaringan.
6. Analisis statistika dan pengamatan histologi a. Hasil analisis profil hematologi dan serum darah kemudian diuji secara statistik menggunakan sidik ragam dan uji beda lanjut Duncan. b. Pengamatan histologi dilakukan terhadap preparat jaringan hati dan ginjal yang telah diwarnai. Pengamatan dilakukan secara kualitatif terhadap morfologi jaringan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Ransum Tikus Percobaan Dari hasil analisis proksimat terhadap kasein, tepung tempe kedelai transgenik dan tepung tempe kedelai non-transgenik (Tabel 7), didapatkan komposisi ransum tikus percobaan (Tabel 8) sesuai formulasi acuan AOAC (1995) yang telah disajikan pada bagian metode (Tabel 6). Berdasarkan kadar protein tepung tempe transgenik, tepung tempe non-trangenik dan kasein sebesar 47.08, 49.88 dan 90.11% (bk), dengan kadar protein sebesar 10% pada formulasi ransum, maka ransum tikus percobaan mengandung 12.45 gram kasein, 21.86 dan 20.88 gram tepung tempe transgenik dan tepung tempe non-transgenik dalam setiap 100 gram ransum yang dibuat.
17
Tabel 7 Analisis proksimat kasein dan tepung tempe Tepung tempe Kasein kedelai Kandungan Gizi (%) Transgenik (%) Kadar air (bb) 10.85 2.82 Kadar abu (bk) 0.56 0.43 Kadar lemak (bk) 0.59 29.57 Kadar protein (bk) 90.11 47.08 Serat kasar (bk) 0 4.69 Karbohidrat by difference 8.73 18.21
Tepung tempe kedelai Nontransgenik (%) 3.95 1.48 29.06 49.88 5.08 14.49
Tabel 8 Komposisi bahan dalam 100 gram ransum Jenis protein ransum (dalam bentuk tepung) Komposisi Tempe Tempe Non (gram) Kasein Transenik trangenik Protein 12.45 21.86 20.88 Minyak jagung 7.93 1.72 2.17 Mineral mix 4.94 4.91 4.70 Vitamin Fitkom 1.00 1.00 1.00 CMC 1.00 Air 3.65 4.38 4.18 Pati Jagung 69.03 66.13 67.07 Total 100 100 100
Parameter Klinis dan Pertumbuhan Tikus Percobaan Dari hasil pengamatan terhadap beberapa parameter klinis, semua tikus tumbuh dengan sehat dan normal tanpa adanya kematian dalam setiap kelompoknya. Pengamatan terhadap tanda-tanda klinis dilakukan setiap hari selama masa percobaan 90 hari. Perilaku normal yang ditandai dengan keaktifan dan kelincahan serta tidak ditemukan perilaku agresif, mata yang berwarna merah, bulu yang tebal dan putih, tidak ditemukan adanya pembengkakan pada anus dan penis, serta tidak ditemukan adanya tikus yang mengalami diare, menandakan bahwa seluruh tikus dalam keadaan sehat (Tabel 9). Tidak ada perilaku yang menyimpang ataupun pengamatan klinis yang berbeda pada kelompok tikus dengan ransum tempe transgenik. Kelompok tikus percobaan yang diberi ransum tepung tempe dari kedelai transgenik dan non-transgenik menunjukkan grafik pertumbuhan yang sama, tetapi sedikit lebih rendah dibandingkan kasein (Gambar 5). Parameter pertumbuhan tikus percobaan, yaitu kenaikan berat badan dan Feed Conversion Efficiency (FCE) tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan (Lampiran 1 dan Tabel 10). Perbedaan kandungan protein pada tepung tempe transgenik, tepung tempe non-transgenik dan kasein yang tercantum pada Tabel 7 tidak berpengaruh terhadap perbedaan pertumbuhan tikus percobaan. Hal ini dikarenakan komposisi ransum
18 dibuat secara isogenik dengan kandungan protein sebesar 10%. Namun jika diamati grafik pertumbuhan kelompok tikus yang diberi tepung tempe dan tikus yang diberi kasein, serta parameter FCE ketiga kelompok yang tidak berbeda nyata secara statistik menunjukkan bahwa kualitas protein tempe dapat dikatakan sebanding dengan kualitas protein kasein. Kualitas protein yang baik membuat kedelai seringkali digunakan sebagai “gold standar” untuk membandingkan kualitas protein dari sumber pangan yang berbeda (Cromwell 2013). Tepung tempe yang berasal dari kedelai transgenik memiliki kualitas gizi yang sama dengan tepung tempe dari kedelai non-transgenik. Tidak ada perbedaan dalam mempengaruhi pertumbuhan kelompok tikus percobaan.
Tabel 9 Parameter klinis tikus percobaan Kelompok perlakuan (jenis ransum) Tepung Tempe Tepung Tempe Kasein Transgenik Non-trangenik Ya Ya Ya
Parameter Klinis Perilaku lincah, aktif, responsif Kesehatan mata : jernih, merah, terang, respon terhadap cahaya Bulu putih, lebat, bersih, tidak rontok Pendarahan pada hidung dan mulut Bentuk feses Pembengkakan dubur / anus Pembengkakan penis
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak Padat, hitam Tidak Tidak
Tidak Padat, hitam Tidak Tidak
Tidak Padat, hitam Tidak Tidak
Bobot Tikus (g)
300 250 200 150 100 50 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
78
84
90
Perlakuan Hari keKasein
Tempe Transgenik
Tempe Non-Transgenik
Gambar 5 Pertumbuhan tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai transgenik dan tepung tempe kedelai non-transgenik dibandingkan dengan kasein (kontrol)
19
Tabel 10 Kenaikan bobot badan dan konsumsi ransum tikus selama 90 hari percobaan Kelompok perlakuan (jenis ransum) Parameter Pertumbuhan Tepung Tempe Tepung Tempe Kasein Transgenik Non-transgenik Berat badan awal (gram) 38.7 ± 2.7 40.8 ± 2.1 41.8 ± 6.0 Berat badan akhir (gram) 280.8 ± 31.7 257.7 ± 12.6 254.0 ± 52.2 Kenaikan berat badan (gram) 242.2 ± 30.7 216.8 ± 12.4 217.2 ± 26.6 Total konsumsi ransum (gram) 1319.2 ± 208.9 1106.0 ± 136.8 1252.8 ± 190.9 Feed Conversion Efficiency (%) 18.0 ± 2.0 20.0 ± 2.0 19.0 ± 1.0 Keterangan : tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan
Profil Hematologi Tikus Percobaan Hasil analisis terhadap darah tikus yang meliputi kadar haemoglobin, leukosit, eritrosit, trombosit dan hematokrit dapat dilihat pada Tabel 11. Dari hasil uji statistik menggunakan Anova (Lampiran 1), diperoleh hasil bahwa parameter hematologi haemoglobin, leukosit, eritrosit, trombosit dan hematokrit tidak menunjukkan beda nyata (p>0.05) antar kelompok percobaan. Data tersebut, menunjukkan kelompok tikus yang diberi ransum tepung tempe dari kedelai transgenik dan non-transgenik tidak berbeda dengan kelompok kasein (kontrol) dan kisarannya masih dalam batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok tikus dengan ransum tepung tempe dari kedelai transgenik sama sehatnya dengan kelompok pembanding, yaitu kelompok tempe dari kedelai non-transgenik dan kelompok kasein sebagai kontrol. Tabel 11 Nilai hematologi darah tikus setelah 90 hari percobaan Parameter Haemoglobin (g/dL) Leukosit (mm3) Eritrosit (juta/mm3) Trombosit (ribu sel/mm3) Hematokrit (%)
Kelompok perlakuan (jenis ransum) Tepung Tepung Kasein Tempe Tempe NonTransgenik transgenik 14.8 ± 0.9 14.8 ± 0.7 14.6 ± 0.8 7.6 ± 2.1 8.4 ± 1.3 7.9 ± 2.3 7.5 ± 0.4 7.8 ± 0.5 8.1 ± 0.4 416.0 ± 104.8 464.3 ± 37.5 476 ± 22.2 38.3 ± 2.0 38.2 ± 1.8 39.1 ± 2.2
Nilai acuan* 12 – 17.5 5 – 25 7.2 – 9.6 39 – 52
Keterangan : tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05) *sumber : Arrington, 1972 Hematologi dan biokimia serum sangat berguna dan merupakan indikator yang cukup sensitif untuk menggambarkan kesehatan tikus secara umum (Zhu et al. 2004). Adanya kelainan metabolisme dapat diketahui dari pemeriksaan hematologi dan biokimia serum. Abnormalitas pada beberapa parameter menunjukkan adanya gangguan kesehatan.
20 Analisis hematologi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keadaan darah dan komponen-komponennya. Tujuan analisis hematologi adalah mendeteksi kelainan hematologi (misalnya anemia atau leukemia) dimana diduga ada kelainan jumlah dan fungsi dari sel-sel darah, mendeteksi penyakit pendarahan yang menunjukkan kelainan faal homeostatis, membantu diagnosis penyakit infeksi, dengan melihat kenaikan atau penurunan jumlah leukosit (dan hitung jenisnya), serta untuk mengetahui kelainan sistemik pada hati dan ginjal yang dapat mempengaruhi sel darah, baik bentuk atau fungsinya (Turner et al., 2008). Sebagai komponen yang penting dalam sistem transport tubuh, darah berfungsi menyalurkan oksigen, nutrisi penting yang diperlukan oleh metabolisme, dan sisa-sisa zat buangan yang tidak diperlukan tubuh. Darah juga berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai patogen dan toksin (Turner et al., 2008). Darah mengirimkan hormon dan regulator lain dari dan ke dalam sel dan jaringan. Darah juga menjaga homeostasis dengan cara berperan sebagai buffer dan berpartisipasi dalam proses koagulasi dan regulator panas. Darah terdiri dari sel dan turunannya, serta cairan kaya protein yang disebut plasma. Sel darah dan turunannya terdiri dari sel darah merah/eritrosit (RBCs/Red Blood Cells), leukosit atau sel darah putih (WBCs/White Blood Cells) dan trombosit atau dikenal sebagai keping darah/platelets. Perbandingan sel dan plasma darah adalah 45:55. Beberapa parameter yang dapat dianalisis dalam pengujian hematologi antara lain : hemoglobin (Hb), eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Haemaglobin (MCH), Mean Corpuscular Haemaglobin Concentration (MCHC), RBC distribution width, platelet distribution width dan mean platelet volume (MPV). Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb), senyawa protein dan besi yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh. Pemeriksaan kadar Hb digunakan untuk mengetahui kelainan seperti anemia, yaitu keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal, atau polisitopenia, yaitu pembentukan sel darah merah yang berlebihan di sumsum tulang belakang (Stockham dan Scott, 2008). Leukosit berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri maupun virus. Bila jumlah leukosit lebih tinggi dari nilai normal, maka keadaan tersebut disebut leukositosis, yang mengindikasikan terjadinya infeksi patogen atau kanker (leukemia). Trombosit atau keping darah berfungsi dalam proses pembekuan darah, berguna untuk mendiagnosis dan memantau perdarahan, serta gangguan pembekuan darah. Hematokrit merupakan perbandingan antara sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit dengan plasma darah. Pemeriksaan hematokrit dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan Hb dan eritrosit yang digunakan untuk menentukan keadaan anemia, kehilangan darah, anemia hemolitik dan polisitemia (Stockham dan Scott, 2008). Tidak ditemukannya kelainan pada pengukuran parameter hematologi pada penelitian tempe transgenik ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya pada kedelai transgenik (Zhu et al., 2004; Hemre et al., 2005; Appenzeller et al., 2008; Sakamoto et al., 2008; Daleprene et al., 2009; Qi et al., 2012). Pada penelitianpenelitian tersebut, walaupun ditemukan adanya perbedaan nyata (p<0.05) pada beberapa parameter hematologi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan kedelai transgenik, namun hal tersebut bukan disebabkan oleh dampak pemberian
21
kedelai transgenik dalam jangka panjang, namun lebih dikarenakan adanya keragaman antar individu tikus percobaan. Dalam Zhu et al. (2004), perbedaan nyata ditemukan pada parameter MCH dan platelet distribution width pengukuran 7 minggu pada kelompok tikus jantan yang diberi perlakuan kedelai transgenik. Sementara pada parameter lainnya (jumlah leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit, MCV, MCHC, Red Blood Cell (RBC) distribution width, dan MPV pada pengukuran 7 dan 13 minggu, baik dalam kelompok perlakuan jantan dan betina, angkanya tidak menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok percobaan (kedelai transgenik dan non-transgenik). Parameter hematologi hematokrit dan hemoglobin kelompok tikus jantan Wistar yang diberi kedelai non-transgenik dan kedelai transgenik pada penelitian Daleprane et al. (2009) selama 455 hari menunjukkan angka yang lebih rendah (p<0.05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberi kasein. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan bioavalabilitas zat besi (iron) pada kedelai yang rendah dikarenakan masih tingginya komponen antinutrisi seperti asam fitat, oksalat, tanin dan polifenol yang dapat membentuk kompleks dengan zat besi dan bersifat tidak larut dalam lumen lambung (Zijp et al. 2000 dalam Daleprane et al. 2009). Penelitian jangka panjang selama dua tahun (104 minggu atau 728 hari) yang dilakukan oleh Sakamoto et al. (2008) terhadap 100 ekor tikus F344 jantan dan betina yang mengukur WBC, RBC, Hb, hematokrit, MCV, MCH, MCHC dan trombosit menemukan adanya perbedaan nyata (p<0.05) pada parameter MCHC pada kelompok tikus jantan yang diberi kedelai transgenik serta parameter Hb dan hematokrit pada kelompok tikus betina yang diberi kedelai transgenik. Namun hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perbedaan yang ditemukan bukan disebabkan oleh intervensi pemberian kedelai transgenik, namun lebih karena keragaman individu. Hasil analisis terhadap parameter hematologi MCV yang lebih rendah (p<0.05) pada kelompok ikan salmon yang diberi ransum kedelai transgenik dan non-transgenik dibandingkan dengan kontrol kelompok ikan yang diberi ransum komersial ditemukan juga pada penelitian Hemre et al.(2005). Tidak adanya kelainan pada analisis hematologi yang dilakukan pada percobaan ini dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi kedelai transgenik dalam bentuk tepung tempe selama 90 hari tidak mengakibatkan adanya gangguan kesehatan.
Analisis Serum Darah Tikus Percobaan Plasma terdiri dari 90% air, protein (7-8%) dan berbagai komponen terlarut (1-2%), termasuk berbagai elektrolit (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-, PO43-, SO42-), zat non protein (urea, asam urat, kreatinin, garam ammonia), nutrisi (glukosa, lipid, asam amino), gas darah (oksigen, CO2, nitrogen) dan komponen regulator (hormon dan enzim). Komponen terlarut dalam plasma berperan dalam mekanisme homeostasis, yaitu keadaan keseimbangan pada pH dan osmolaritas optimal untuk metabolisme selular. Serum merupakan plasma yang sudah tidak memiliki protein koagulan (protein pembeku). Serum lebih banyak digunakan sebagai sampel dalam pengujian laboratorium dikarenakan adanya antikoagulan pada plasma dapat mempengaruhi hasil analisis (Ross dan Pawlina, 2011).
22 Protein yang berasal dari makanan akan diserap oleh usus halus dalam bentuk asam-asam amino. Asam-asam amino di hati kemudian dimetabolisme, disintesis menjadi protein kemudian akan menjdi protein hati atau protein plasma (Muchtadi 2008). Protein utama dalam plasma adalah albumin, yaitu setengah dari protein plasma. Albumin merupakan protein plasma terkecil (70 kD) dan disintesis di dalam hati. Albumin bertanggung jawab untuk mengerahkan gradien konsentrasi antara darah dan cairan jaringan ekstraseluler. Tekanan osmotik utama ini pada dinding pembuluh darah, yang disebut tekanan osmotik koloid, mempertahankan proporsi yang benar dari darah ke volume cairan jaringan. Ketika sejumlah protein albumin dilepaskan dari pembuluh darah ke jaringan pengikat atau terlepas dari darah ke urin di ginjal, tekanan koloid osmotik darah berkurang, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan pada jaringan (edema). Albumin juga berperan sebagai protein pembawa yang mengikat dan membawa hormon transport (tyroxine), metabolit (bilirubin) dan obat-obatan (Ross dan Pawlina 2011). Globulin, termasuk immunoglobulin, merupakan komponen terbesar dari fraksi protein globulin dan non-imun globulin. Imunoglobulin merupakan antibodi, suatu molekul fungsional sistem imun yang disekresikan oleh sel-sel plasma, sedangkan non-imun globulin disekresikan oleh hati. Protein globulin menjaga tekanan osmotik dalam sistem pembuluh darah dan juga berfungsi sebagai protein pembawa untuk berbagai zat seperti tembaga (dengan ceruloplasmin), besi (oleh transferin), dan hemoglobin protein (oleh haptoglobin). Non-imun globulin juga termasuk fibronektin, lipoprotein, faktor koagulasi, dan molekul lain yang dapat berpindah-pindah antara darah dan jaringan ikat ekstravaskuler (Ross dan Pawlina 2011). Menurut Davidson dan Henry (1974) pengukuran total protein, albumin dan globulin dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati meskipun kurang spesifik. Terjadinya sirosis pada sel hepatosit dapat diindikasikan dari terjadinya penurunan konsentrasi total protein dan albumin (hipoalbuminemia). Hasil pengukuran terhadap kadar protein total, albumin dan globulin (Tabel 12) dan hasil analisis secara statistika terhadap rata-rata kadar ketiga parameter tersebut (Lampiran 1) menunjukkan bahwa tidak ada gangguan metabolisme protein yang terjadi pada seluruh tikus percobaan. Hati dan ginjal merupakan tempat penyimpanan toksikan yang paling besar karena organ tersebut merupakan tempat terjadinya metabolisme (hati) dan jalur eliminasi (ginjal) yang utama bagi toksikan (Lu 1995). Adanya penyakit yang merusak sel-sel hati, menyebabkan fungsi hati terganggu dan dapat mengubah komposisi cairan, mengakibatkan abnormalitas yang dapat dideteksi melalui uji laboratorium (Stockham dan Scott 2008). Beberapa enzim serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati, seperti SGOT (AST) dan SGPT (AST). Enzim serum berasal dari sel. Sebelum dilepaskan dari sel, enzim serum berada di sitoplasma, mitokondria atau membran. Aktivitas enzim serum pada hewan yang sehat diasumsikan sebagai hasil dari proses fisiologis yang normal (Stockham dan Scott 2008). Pada kondisi hati normal, kadar kedua enzim tersebut dalam serum sangat rendah, tetapi ketika terjadi nekrosa sel hepatosit maka konsentrasi keduanya dalam serum darah akan naik dengan cepat. Semakin banyak sel yang mengalami nekrosis maka peningkatan konsentrasi SGPT dan SGOT bisa meningkat sebesar delapan kali lipat (Kaneko 1980).
23
Dari hasil pengukuran terhadap kadar SGOT dan SGPT pada ketiga kelompok tikus percobaan (Tabel 12) tidak ditemukan adanya perbedaan nyata (p>0.05) antara kelompok tikus yang diberi tepung tempe transgenik dan nontransgenik dan kelompok tikus dengan ransum kasein. Hal ini menunjukkan tidak ada kerusakan pada sel-sel hati. Analisis terhadap enzim serum dan enzim pada organ dilakukan oleh Tudisco et al. (2006) setelah melakukan intervensi pemberian kedelai transgenik selama 70 hari pada 20 ekor kelinci percobaan. Hasil pengukuran terhadap creatine kinase (CCK), aspartate aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), lactic dehydrogenase (LDH), gamma glutamyltransferase (GGT) dan alkaline phosphatase (ALP) pada serum darah tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Sedangkan pengukuran enzim dari organ ditemukan adanya perbedaan nyata (p<0.05), yaitu LDH pada jantung dan ginjal, serta ALT dan GGT pada ginjal. Namun demikian, kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa pemberian kedelai transgenik dalam jangka panjang tidak memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan. Lemak dari makanan yang dikonsumsi umumnya dalam bentuk trigliserida. Jika asupan kalori berlebih, kalori yang tidak dipergunakan akan diubah dalam bentuk trigliserida dan disimpan sebagai cadangan lemak di hati dan berbagai jaringan adiposa. Trigliserida ditemukan dalam jumlah sedikit dalam darah. Jika trigliserida dalam darah meningkat, telah terjadi gangguan pada proses metabolisme (Stockham dan Scott 2008). Rata-rata kadar trigliserida pada ketiga kelompok tikus percobaan (Tabel 12) tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (Lampiran 1). Data tersebut menunjukkan bahwa pada seluruh tikus percobaan tidak ditemukan adanya gangguan metabolisme lemak. Karbohidrat yang telah dicerna di usus halus dalam bentuk glukosa kemudian akan masuk ke aliran darah. Selain dipergunakan oleh sel sebagai sumber energi dengan bantuan hormon insulin, glukosa akan disimpan di hati dan sebagian kecil di otot dalam bentuk glikogen (Muchtadi 2008). Salah satu gejala terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat berupa diabetes, yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah. Rata-rata kadar glukosa darah tikus percobaan (Tabel 12) antara kelompok tikus yang diberi tempe transgenik dan non transgenik tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05), begitu pula jika dibandingkan dengan kasein (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan tidak ada gangguan metabolisme karbohidrat. Hampir seluruh ureum (urea) yang dibentuk di hati berasal dari deaminasi protein. Urea berdifusi bebas masuk ke dalam cairan intra sel dan ekstrasel dan masuk ke ginjal untuk difiltrasi dan dibuang. Kadar ureum yang tinggi di dalam darah mengindikasikan adanya gangguan terhadap fungsi hati dan ginjal (Stockham dan Scott 2008). Peningkatan kreatinin serum merupakan indikator gangguan fungsi ginjal. Kreatinin merupakan produk akhir dari kreatin. Kreatin terutama disintesis dalam hati dan ginjal dari asam-asam amino, dan terdapat dalam hampir semua otot rangka dalam bentuk kreatin fosfat (creatin phosphate), suatu senyawa penyimpan energi. Dalam sintesis adenosine triphosphate (ATP) dari adenosine diphosphate (ADP), kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (creatin kinase). Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil kreatinin fosfat diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin. Kreatin diambil dari aliran darah oleh otot kemudian
24 difosforilasi dan memasuki metabolisme otot, dan hampir semua kreatin tubuh terdapat dalam otot (Panjaitan et al. 2007). Kreatinin secara metabolik tidak aktif, berdifusi ke dalam plasma dan dieksresikan ke dalam urin. Pada kegagalan ginjal, kreatinin ditahan bersama unsur nitrogen non-protein (NNP) darah lainnya. Dibandingkan dengan urea plasma, kreatinin plasma lebih luas digunakan untuk mengukur fungsi ekskresi kegagalan ginjal kronik dan sebagai ukuran kuantitatif kerusakan ginjal karena kreatinin plasma hampir tidak dipengaruhi oleh diet seperti halnya urea plasma (Panjaitan et al. 2007). Dari hasil pengukuran kadar ureum dan kreatinin pada ketiga kelompok tikus percobaan (Tabel 12), tidak ada perbedaan nyata antara ketiga kelompok perlakuan (Lampiran 1), tidak ada gangguan yang terjadi pada fungsi ginjal dan hati. Tidak ada dampak buruk yang terjadi pada kesehatan tikus percobaan akibat mengonsumsi tepung tempe yang berasal dari kedelai transgenik Tabel 12 Profil biokimia serum tikus setelah 90 hari percobaan Kelompok perlakuan (jenis ransum) Parameter Tepung Tempe Tepung Tempe Kasein Transgenik Non-transgenik SGOT (U/L) 97.0 ± 15.6 122.0 ± 22.6 107 ± 10.7 SGPT (U/L) 49.2 ± 7.5 53.2 ± 10.5 50.5 ± 9.4 Protein Total (g/dL) 5.6 ± 0.2 5.5 ± 0.2 5.4 ± 0.2 Albumin (g/dL) 3.3 ± 0.2 3.2 ± 0.1 3.2 ± 0.1 Globulin (g/dL) 2.4 ± 0.1 2.3 ± 0.2 2.2 ± 0.1 Rasio Albumin/Globulin 1.4 ± 0.1 1.4 ± 0.1 1.4 ± 0.1 Glukosa (mg/dL) 164.8 ± 38.2 162.5 ± 14.6 182.3 ± 34.3 Trigliserida (mg/dL) 45.3 ± 14.2 50.7 ± 22.1 54.2 ± 24.8 Ureum (mg/dL) 25.8 ± 4.9 22.5 ± 5.3 21.8 ± 3.0 Kreatinin (mg/dL) 0.66 ± 0.2 0.68 ± 0.1 0.66 ± 0.2 Keterangan : tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05) SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (AST) SGPT = Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (ALT)
Dari hasil uji statistika menggunakan Anova terhadap seluruh parameter (Lampiran 1), diperoleh hasil bahwa tidak ditemukan adanya beda nyata (p>0.05) pada parameter SGOT, SGPT, protein total, albumin, globulin, glukosa, trigliserida, ureum dan kreatinin antara kelompok perlakuan. Tidak ada perbedaan hasil analisis serum darah antara kelompok tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai transgenik dan kelompok tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai nontransgenik, serta tidak adanya perbedaan kedua kelompok tersebut dengan kelompok kontrol (kasein) menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok perlakuan tidak terjadi gangguan fungsi organ dan ginjal serta infeksi akut. Kekhawatiran bahwa konsumsi pangan yang berasal dari tanaman transgenik dapat menimbulkan dampak toksisitas, tidak terbukti dalam penelitian ini. Hasil analisis pada beberapa parameter dalam serum darah yang umumnya diukur dalam menguji dampak toksisitas menunjukkan konsumsi tepung tempe dari kedelai
25
transgenik selama 90 hari tidak menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya, dimana parameter dalam serum darah tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05) antara kelompok tikus yang diberi kedelai transgenik dengan pembandingnya, yaitu kedelai nontransgenik dan, atau kelompok tikus dengan ransum komersial atau kasein (Zhu et al. 2004; Tudisco et al. 2006; Appenzeller et al. 2008; Sakamoto et al. 2008; Daleprane et al. 2009; Daleprane et al. 2010; Qi et al. 2012;).
Histologi Jaringan Hati dan Ginjal Untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan jaringan hati dan ginjal, dilakukan pengamatan histologi pada kedua jaringan ini. Hati merupakan organ yang paling tepat digunakan sebagai model untuk mengevaluasi dampak dari pola diet, dikarenakan fungsinya yang mengontrol keseluruhan metabolisme dan sebagai organ yang berfungsi mendetoksifikasi komponen toksik dan xenobiotik (Malatesta et al. 2008). Ginjal merupakan organ yang penting dalam proses metabolisme, yaitu berfungsi untuk membuang sisa-sisa metabolisme yang tidak diinginkan tubuh. Selain itu, ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, sebagai regulator tekanan darah, pengatur keseimbangan asam basa, serta berperan dalam stimulasi produksi sel-sel darah merah. Hati merupakan tempat utama terjadinya transformasi biologis berbagai komponen yang berasal dari saluran pencernaan. Hati berperan penting sebagai tempat pembentukan, penyimpanan dan distribusi berbagai nutrisi dan vitamin yang berasal dari pembuluh darah. Hati berperan penting dalam metabolisme karbohidrat dengan cara menjaga kecukupan nutrisi untuk metabolisme sel. Pada proses metabolisme glukosa, hati memfosforilasi glukosa yang berasal dari saluran pencernaan menjadi glukosa-6-fosfat. Tergantung dari kebutuhan energi, glukosa-6fosfat dapat disimpan di hati dalam bentuk glikogen atau digunakan dalam proses glikolisis. Pada keadaan puasa, glikogen dipecah melalui proses glikogenolisis menjadi glukosa dan dilepaskan ke darah (Ross dan Pawlina 2011). Sebagai organ eksokrin, hati berfungsi memproduksi cairan empedu yang berisi garam empedu, fosfolipid dan kolesterol (Stockham dan Scott 2008). Hati meregulasi kadar Very Low Density Lipoprotein (VLDL) yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Hepatosit membuat asam lemak, trigliserida, kolesterol, dan apolipoprotein untuk lipoprotein, serta ester kolesterol untuk fosfolipid. Hepatosit mendegradasi kilomikron dari saluran darah dan membuang sisa lipoprotein (Ross dan Pawlina 2011). Selain mensistesis protein albumin dan non-imun globulin, hati juga mensintesis sebagian besar VLDL, yang berperan dalam transportasi trigliserida dari hati ke berbagai organ. Hati juga memproduksi sebagian kecil protein plasma lipoprotein seperti Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein (HDL). LDL, dikenal sebagai kolesterol jahat berfungsi mentrasportasikan kolesterol ester dari hati ke jaringan di seluruh tubuh. Sedangkan HDL, yang dikenal sebagai kolesterol baik, berfungsi membuang kolesterol dari jaringan peripheral dan membawanya ke hati (Ross dan Pawlina 2011).
26 Selain itu, sel hati (hepatocyte) juga mengubah atau menghancurkan komponen endogenus (asam urat, hormon steroid, hormon polipeptida dan hemoglobin) serta komponen eksogenus (contohnya hormon steroid) melalui serangkaian reaksi kimia termasuk konjugasi, oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Hepatocyte merupakan tempat utama fiksasi NH4+ menjadi urea atau asam amino (Stockham dan Scott 2008) Sebagai organ yang berfungsi mendetoksifikasi berbagai komponen toksik, komponen sel-sel hati berperan dalam proses degradasi obat-obatan, toksin, dan xenobiotik. Sebagian besar komponen tersebut bersifat hidrofobik, sehingga tidak dapat dengan mudah dibuang melalui sirkulasi pembuangan melalui ginjal. Hati akan mengubah kelarutannya sehingga komponen ini menjadi lebih hidrofilik. Jika paparan obat-obatan, toksin dan senyawa xenobiotik menyerang hati secara terusterusan, akan menyebabkan kerusakan sel serta jaringannya, sehingga fungsi hati menjadi terganggu (Ross dan Pawlina 2011). Respon awal jaringan terhadap adanya gangguan metabolisme yang terjadi pada suatu organ, akibat adanya radikal bebas, senyawa xenobiotik, toksikan atau senyawa berbahaya lainnya, adalah terjadi peradangan pada jaringan. Pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel-sel jaringan tubuh di tempat terjadinya peradangan turut berperan dalam proses terjadinya peradangan (Sander 2004). Kerusakan jaringan dapat berlanjut dengan terjadinya sel-sel yang mengalami degenerasi (bersifat reversible), selanjutnya nekrosa (irreversible). Degenerasi dapat terjadi di dalam sel dan jaringan yang mempunyai aktivitas metabolik yang tinggi, seperti sel-sel hati, sel tubuli pada ginjal, serta sel-sel otot pada jantung. Sel hati (hepatocyte) tergolong sel yang stabil, karena mempunyai kemampuan untuk regenerasi (Sander 2004). Dalam keadaan normal, sel hati tidak mengalami replikasi, tetapi apabila mengalami cedera, sel terangsang untuk replikasi. Kemampuan regeneratif ini sangat vital bagi penderita pada fase penyembuhan kerusakan hati akibat infeksi virus, obat atau trauma. Apabila terjadi kerusakan hati yang menetap (persisten) atau berulang, struktur asinar atau tubular normal akan hilang dan diganti oleh nodul sel hati regeneratif yang fungsinya menjadi tidak efisien. Kerusakan ini disebut nekrosis. Sebelum dibuat sediaan histologi untuk diamati, organ hati dan ginjal ditimbang terlebih dahulu untuk melihat apakah ada perbedaan berat organ antara kelompok tikus dengan ransum tepung tempe transgenik, tempe non-transgenik dan kasein (Tabel 13). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ditemukan perbedaan nyata antara ketiga kelompok perlakuan (Lampiran 1). Tabel 13 Berat organ tikus per 100 gram bobot badan setelah 90 hari percobaan Kelompok perlakuan (jenis ransum) Organ Tepung tempe Tepung tempe Kasein transgenik Non-trangenik Hati 2.60 ± 0.21 2.57 ± 0.20 2.59 ± 0.32 Ginjal 0.53 ± 0.04 0.52 ± 0.05 0.50 ± 0.05 Keterangan : tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok percobaan Hasil pengamatan pada jaringan hati tikus semua kelompok perlakuan menunjukkan tidak ada kelainan jaringan (Gambar 6). Hal ini berarti tepung tempe kedelai transgenik dan kedelai non-transgenik tidak menyebabkan kerusakan hati
27
tikus perlakuan. Hasil ini juga sesuai dengan hasil analisis SGOT, SGPT, protein total, albumin, globulin, trigliserida dan glukosa di serum pada kelompok tikus dengan ransum tepung tempe kedelai transgenik dan non-transgenik yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol. Tidak ditemukannya kerusakan jaringan pada hati dan tidak adanya abnormalitas beberapa parameter pada serum mengindikasikan bahwa organ hati berfungsi dengan baik dan tidak menimbulkan gangguan pada kesehatan.
Gambar 6 Foto jaringan hati tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah pemberian ransum selama 90 hari percobaan. Keterangan : (1) Kasein (kontrol), (2) Tepung tempe kedelai transgenik, (3) Tepung tempe kedelai non-transgenik, CV=Vena sentralis, HP=hepatosit. Skala=50µm
Permukaan ginjal dilapisi oleh jaringan pengikat (connective tissue) yang disebut kapsula (capsule). Kapsul terdiri dari dua lapisan yang berbeda : bagian luar yang berupa lapisan fibroblast dan serat kolagen, dan lapisan dalam yang terdiri dari komponen selular berupa miofibroblas (Ross dan Pawlina 2011). Bila dibuat irisan memanjang dari medial ke lateral, akan tampak struktur ginjal terdiri dari dua bagian: Cortex yang berwarna coklat gelap kemerahan di sebelah luar dan Medulla yang berwarna lebih terang di sebelah dalam. Pada semua hewan domestik, cortex terletak di bagian luar dan menyelubungi medula. Keseluruhan komponen cortex dan medula pada ginjal membentuk renal tubules (uriniferous tubule) yang merupakan struktur primer, berperan dalam menjalankan berbagai fungsi ginjal, termasuk sebagai tempat pengosongan filtrasi menuju ke pelvis renalis. Secara mikroskopis ginjal terdiri dari nefron berjumlah ± 2.4 Juta. Nefron terdiri dari : (1). Corpusculus renalis (capsula Bowman dan glomerulus); (2). Tubulus renalis proksimalis; (3). Jerat henle (loop of henle) dan (4). Tubulus renalis distalis. Di dalam glomerolus terjadi proses filtrasi, sedangkan di dalam tubulus masih terjadi reabsorpsi beberapa materi yang diperlukan tubuh, sebelum cairan filtrasi diubah menjadi urin. Glomerulus memiliki sistem kapiler bertekanan tinggi yang menghasilkan ultrafiltrat dari plasma (Ross dan Pawlina 2011). Ultrafiltrat merupakan suatu cairan dengan komposisi yang sama seperti plasma, kecuali protein yang hanya ada dalam jumlah sedikit. Komposisi ultrafiltrat berubah selama perjalanannya melalui sistem tubular, karena sel-sel di sini secara selektif menyerap kembali zat-zat dari lumen tubuli ke dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat di sekitarnya dan mengeluarkan zat-zat dari kapiler darah ke dalam tubulus. Hasil akhir proses ini adalah urine (Geneser 1993).
28 Beberapa filtrat yang dibersihkan dari plasma antara lain urea, asam urat, dan kreatinin. Umumnya kadar urea yang tinggi dalam darah (ureum) menunjukkan adanya kerusakan glomerulus, sebagai dampak umum efek toksikan (Lu 1995). Jaringan ginjal tikus semua kelompok perlakuan yang diwarnai dengan pewarnaan HE, diamati secara mikroskopik terhadap kelainan jaringan (Gambar 7). Hasil pengamatan pada jaringan ginjal tikus kelompok yang diberi tepung tempe kedelai transgenik dan kedelai non-transgenik, keduanya menunjukkan tidak ada kelainan jaringan; yaitu tidak ditemukan peradangan pada interstisial sel, maupun kerusakan pada corpuskulus renalis, dan degenerasi hingga nekrosa pada sel-sel tubuli renalis. Kondisi jaringan tersebut tidak berbeda dengan jaringan ginjal tikus percobaan kelompok kontrol yang diberi kasein. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tepung tempe kedelai transgenik dan non-transgenik tidak berpengaruh terhadap kerusakan ginjal tikus perlakuan. Tidak ditemukannya kerusakan jaringan pada ginjal mendukung hasil analisis ureum dan kreatinin pada kelompok tikus dengan perlakuan tepung tempe kedelai transgenik dan non-transgenik yang menunjukkan tidak berbeda secara nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol. Hasil analisis terhadap kedua parameter ginjal dan tidak ditemukannya kerusakan jaringan pada ginjal menunjukkan bahwa selama 90 hari tikus diberi ransum berupa tepung tempe dari kedelai transgenik dan nontransgenik, tidak menimbulkan gangguan dan kerusakan ginjal. Ginjal masih berfungsi dengan baik.
Gambar 7. Jaringan ginjal tikus percobaan dengan pewarnaan HE setelah pemberian ransum selama 90 hari. Keterangan (1) Kasein (kontrol), (2) Tepung tempe kedelai transgenik, (3) Tepung tempe kedelai non-transgenik, G=Glomerulus, TR=Tubuli Renalis. Skala=50µm Tidak ditemukannya perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada semua parameter uji subkronis (pertumbuhan, hematologi, serum serta histologi jaringan hati dan ginjal) pada penelitian ini menggambarkan bahwa konsumsi tepung tempe dari kedelai transgenik tidak memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian jangka panjang sebelumnya yang terangkum dalam Tabel 14.
Fragmentasi DNA dalam Tempe Dalam pembuatan tempe, kedelai telah mengalami berbagai proses, yaitu : pencucian, perebusan selama 30 menit, perendaman 12 jam, perebusan ulang 15
29
menit, serta proses fermentasi. Proses pengolahan ini menyebabkan perubahan karakter kimia bahan pangan tersebut, termasuk sifat protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan sifat dari gen yang ada di dalam kedelai. Protein dan DNA akan terdegradasi dengan proses pemanasan, kondisi asam, dan fermentasi menjadi peptida, asam amino dan potongan-potongan gen yang lebih kecil (Vijayakumar et al. 2009). Penelitian Prakoso et al. (2003) menunjukkan bahwa deteksi keberadaan antigen dari kedelai RUR (Roundup Ready) atau kedelai transgenik pada tempe sulit untuk dilakukan dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA). Jumlah antigen RUR soybean pada proses pembuatan tempe yaitu perendaman dan pemasakan telah membuat antigen RUR soybean hilang, sehingga sulit untuk dideteksi menggunakan metode ELISA. Abdulah et al. (2006) telah melakukan pendeteksian terhadap keberadaan gen kedelai transgenik pada beberapa produk kedelai komersial di Malaysia menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dari delapan sampel tempe yang ada di pasaran, hanya satu sampel tempe yang terdeteksi masih mengandung gen 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthesis (EPSPS) dan Cauliflower Mosaic Virus (CaMV) 35S sebagai promotor dan Nopalin Synthase (NOS)-terminator. Hal ini mengindikasikan bahwa gen asing yang disisipkan pada kedelai transgenik terfragmentasi selama proses pembuatan tempe. Kakihara et al. (2007) melakukan pendeteksian terhadap keberadaan DNA rekombinan pada kedelai transgenik yang dipanaskan dan produk fermentasi natto. Hasilnya, DNA rekombinan terfragmentasi menjadi potongan-potongan kecil. Natto adalah pangan olahan kedelai yang dibuat dengan fermentasi Bacillus natto. Proses pembuatan natto dapat dikatakan mirip dengan tempe, namun proses fermentasi natto lebih singkat, yaitu 20 jam. Secara umum, tidak ada genom DNA yang dapat terdeteksi pada proses pengolahan menggunakan panas, hidrolisis, turunan pati atau pengolahan yang melibatkan proses kimia, seperti minyak kedelai (Meyer 1999). Rekayasa secara mekanik dan kimia yang dilakukan selama proses pengolahan pangan, seperti pemanasan, pH atau pengadukan (shear forces) menyebabkan penurunan jumlah fragmen genom DNA dikarenakan adanya pemecahan molekul besar secara acak. Beberapa proses ekstraksi atau pendeteksian terhadap genom DNA pada pengolahan pemurnian dan fermentasi sulit dilakukan, karena hilangnya atau terdegradasinya genom DNA selama proses pemurnian dan fermentasi. Gen EPSPS yang mengekspresikan protein enzim EPSPS toleran terhadap glyphosate tidak terdeteksi aktivitasnya melalui uji in vitro menggunakan enzim setelah melalui pemanasan 6570oC selama 30 menit (Hammond dan Jez 2011). Bahkan, gen lectin, sebagai gen endogen kedelai terdegradasi selama proses pemanasan (Chen et al. 2006). Sebagai pertimbangan, tempe umumnya dikonsumsi dalam olahan menggunakan panas (digoreng, ditumis, diungkep atau dikukus). Dengan demikian tempe sebagai salah satu pangan yang berasal dari kedelai transgenik, cukup aman untuk dikonsumsi. Tidak ada efek toksik akibat proses rekayasa genetika pada kedelai.
30
30
Tabel 14 Hasil penelitian jangka panjang terhadap kedelai transgenik Trait (Perlakuan)
Referensi
Kedelai toleran glyphosate
Zhu et al. (2003)
Kedelai toleran glyphosate RR (Roundup Ready®)
Tudisco et al. 2006
Kedelai toleran glyphosate Optimum GAT Soybean (GAT4601, GM-HRA)
Appenzel ler et al. 2007
Spesies & Durasi Tikus. 13 mgg
Parameter
Analisis hematologi & serum pada 7 & 13 mgg. Histopatologi jaringan hati, limfa, jantung, ginjal, paru, timus, tiroid, ovari, testis, lambung dan usus kecil. Analisis DNA cp4, Lec, prl pada otot Kelinci. DNA chloroplast, 70 hari lectin GM soybean analisis dalam darah, jaringan otot, jantung, hati dan ginjal. Enzim assay serum & organ Tikus. neurobehavioral & 8 mgg klinis, opthamology pathologi (96 hr) clinical, (hematologi dan koagulasi darah Gross dan microscopic anatomy pathology Berat organ
Grup (n = jmlh ekor per grup) 80 (n=10 jantan & 10 betina). Total 4 grup perlakuan
Hasil temuan
Interpretasi hasil
Tidak ada perbedaan signifikan pada hematologi grup tikus betina. Pada tikus jantan usia 7 mgg ditemukan perbedaan MCH pada diet kombinasi dan platelet distribution width dgn diet 90%. Serum : perbedaan pada calcium tikus betina 7 mgg diet 90%, perbedaan pada kreatinin tikus jantan 7 mgg diet 90%. Tidak ada DNA terdeteksi pada otot tikus
Aman. Tidak ada dampak jangka panjang. (no long term effects, safe).
2 grup (n=10; 5 jantan & 5 betina) Total 20 ekor.
DNA chloroplast (100 bp) terdeteksi di semua sampel jaringan. DNA lectin dan 35S1/35S-2 (transgenik) tidak terdeteksi di semua jaringan. p<0.05 pada enzim LDH di jantung & ginjal; ALT & GGT di ginjal.
Kedelai transgenik aman. Namun harus dilakukan pengujian lebih lanjut.
6 grup (n=12 jantan & betina). Total 144 ekor
Tidak ada keganjilan scr klinis dan opthamology pada semua grup. p<0.05 pada : grup tikus ransum kedelai 2x glyphosate (betina MCV, MCH & jantan BUN). Tidak ada perbedaan signifikan pada parameter yang lainnya
Tidak ada perbedaan nyata antara grup perlakuan (transgenik) dan non-transgenik.
31
Tabel 14 (lanjutan) Hasil penelitian jangka panjang terhadap kedelai transgenik Trait (Perlakuan)
Referensi
Kedelai toleran glyphosate
Daleprane et al. (2009a)
Kedelai toleran glyphosate
Daleprane et al. (2010).
Kedelai Qi et al. toleran (2012) glyphosate & HOA (High Oleic Acid). DP-305423 (TREUS™)
Spesies & Parameter Durasi Tikus. Pertumbuhan. 455 hr Komposisi darah. (65 mgg)
Grup (n = jmlh ekor per Hasil temuan grup) 3 grup (n = BB grup transgenik & organic sama, tapi lbh 10 jantan) ; rendah dari kontrol. Asupan protein lebih total 30 ekor. rendah pada kontrol. Pertumbuhan, albumin & serum sama pada ketiga grup.
Interpretasi hasil
Tidak ada perbedaan nyata antara grup perlakuan (transgenik) dan non-transgenik. Kedelai dpt digunakan sbg sumber protein untuk pakan ternak. Tikus. Aorta wall tissue. 3 grup (n = BB dan masa lemak lebih rendah pd grup Tidak ditemukan 455 hr Kolesterol, 10 jantan) ; kontrol. perbedaan pada grup trigliserida, insulin, perlakuan transgenik & (65 total 30 ekor. glukosa & non-transgenik dlm mgg) testosteron semua paramerter uji. Transgenik & nontransgenik scr substansi sama (substantially equivalent) 90 hr Observasi klinis, 7 grup Semua tikus selamat dan tidak menunjukkan Aman. Tidak ada pertumbuhan, FCE, (n=10). kesehatan yg terganggu. dampak jangka panjang. Hematologi & Serum Total 70 ekor Kenaikan BB, FCE, bb organ, hematology, (no long term effects, safe). serum, tidak ada perbedaan yg signifikan. biokimia Tidak ada pengamatan histologi yang berarti Patologi anatomi organ : jantung, hati, ginjal, paru-paru, limpa, the adrenal glands, thymus, otak, indung telur, uterus, testis, lambung & usus kecil.
31
32
32
Tabel 14 (lanjutan) Hasil penelitian jangka panjang terhadap kedelai transgenik Trait (Perlakuan)
Referensi
Kedelai toleran glyphosate
Sakamoto et al. (2007)
Spesies & Durasi Mencit. 26 & 52 mgg
Kedelai toleran glyphosate
Sakamoto et al. (2008)
Mencit. 104 mgg
Kedelai toleran glyphosate
Hemre et al. (2005)
Salmon . 3 bln
Kedelai toleran Glyphosate
Sissener et al. (2009).
Salmon . 7 bln (28 mgg)
Grup (n = jmlh ekor per grup) Pertumbuhan, 3 (jmlh ekor konsumsi ransum per grup (feed intake), berat tidak organ, hematologi, disebutkan) serum. Pertumbuhan, 3 (jmlh ekor konsumsi ransum per grup (feed intake), berat tidak organ, hematologi, disebutkan) serum. Laju pertumbuhan : 3 grup (n = FCR, protein dan 400); lipid efficiency ratio total 1200 (PER, LER), Protein ekor & Lipid Productive Value (PPV & LPV) Berat organ : hati, limfa, ginjal, usus halus, otak dan otot Hematologi, plasma, enzim anti-oksidan Pertumbuhan, BB, 3 grup (n = perkembangan organ, 640); enzim plasma, diff total 1920 leukosit ekor Parameter
Hasil temuan
Interpretasi hasil
Perbedaan pertumbuhan, konsumsi ransum & berat organ antar kelompok perlakuan. Bobot badan, konsumsi ransum sama antara grup transgenik & non transgenik.
Aman. Tidak ada dampak jangka panjang. (no long term effects, safe).
Perbedaan pertumbuhan, konsumsi ransum & berat organ antar kelompok perlakuan. Bobot badan, konsumsi ransum sama antara grup transgenik & non transgenik.
Aman. Tidak ada dampak jangka panjang. (no long term effects, safe).
Tidak ada keganjilan akan pertumbuhan, retensi protein, lemak & tidak ditemukan kematian. Limfa grup transgenik lebih besar dibanding grup lainnya namun masih dalam ukuran yg normal. Hematologi, serum, & enzim antioksidan tidak ada perbedaan signifikan.
Aman. Tidak ada dampak jangka panjang. (no long term effects, safe). Kedelai dapat digunakan sebagai pakan ikan salmon.
Parameter pertumbuhan tidak berbeda nyata antar kelompok. Kadar triasilgliserol lebih tinggi (p<0.05) pada kelompok kedelai transgenik. Usus halus tengah (mid intestine) lbh kecil pada kelompok kedelai transgenik.
Aman, tidak ada dampak buruk terhadap kesehatan. Perbedaan dikarenakan perbedaan kultivasi bukan perlakuan rekayasa genetika.
33
KESIMPULAN Hasil pengujian keamanan tempe yang berasal dari kedelai transgenik secara in vivo pada tikus jantan Sprague-Dawley, menunjukkan bahwa tempe aman untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Melalui uji subkronis pada tikus percobaan selama 90 hari, disimpulkan bahwa pangan ini aman untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Pengamatan selama 90 hari menunjukkan seluruh kelompok tikus perlakuan dalam kondisi sehat. Parameter pertumbuhan berupa kenaikan berat badan dan Food Conversion Efficiency (FCE) tidak berbeda nyata antara kelompok tikus dengan pemberian ransum kasein, tepung tempe transgenik dan tepung tempe nontransgenik. Grafik pertumbuhan kelompok tikus yang diberi tempe kedelai transgenik dan tempe dari kedelai non-transgenik menunjukkan pertumbuhan yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berupa kasein. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas gizi tempe dapat dikatakan sama baiknya dengan kasein. Profil hematologi dan serum darah menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara kelompok tikus dengan pemberian ransum tepung tempe dari kedelai transgenik dan non-transgenik, serta kelompok kontrol yang diberi kasein. Pengamatan histologi terhadap jaringan hati dan ginjal tidak menunjukkan adanya kelainan, baik berupa peradangan maupun degenerasi dan nekrosa. Tidak ada efek toksik yang termanifestasi dari proses rekayasa genetika kedelai pada tempe. Tempe sebagai pangan olahan telah melalui proses pemanasan, perendaman, dan fermentasi yang menyebabkan DNA berkurang atau terdegradasi menjadi fragmen-fragmen yang kecil. Selain itu, tempe umumnya dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, sehingga semakin memperkecil kemungkinan adanya fragmen gen yang terkespresi.
SARAN 1. Perlu dilakukan pengujian kronis dengan jangka waktu yang lebih lama dengan parameter yang lebih lengkap, meliputi sistem imun, gastrointestinal, saraf, hormon, dan reproduksi. 2. Perlu dilakukan pengujian kronis konsumsi tempe dari kedelai transgenik menggunakan tikus percobaan multigenerasi. 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai keamanan tempe dari kedelai transgenik terkait dengan potensi alergi. 4. Perlu dilakukan penyempuraan metode dalam menguji keamanan pangan dari tanaman transgenik, misalnya menggunakan kedua jenis tikus jantan dan betina, perlakuan aklimatisasi menggunakan obat cacing dan sampling di awal penelitian untuk penentuan base line data terhadap pengukuran parameter.
34
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah T, Son R, Zaiton H, Jamal KH. 2006. Detection of genetically modified soy in processed food sold commercially in Malaysia by PCRbased method. Journal of Food Chemistry, 98:565-579 Anonim. 2014. GMO Database : Genetically Modified Food and Feed: Authorization in the EU. [Internet]. http://www.gmocompass.org/eng/gmo/db/# Antoniou M, Robinson C, Fagan J. 2012. GMO Myths and Truths, An evidencebased examination of the claims made for the safety and efficacy of genetically modified crops. Earth Open Source. [AOAC] 1995. Official Methods of Analysis at The Association of Official Agricultural Chemist. AOAC, Washington DC Appenzeller LM, Munley SM, Hoban D, Skyes GP, Malley LA, Delaney B. 2008. Subchronic feeding study of herbicide-tolerant soybean DP356Ø43-5 in Sparague-Dawley rats. Food and chemical Toxicology, 46:2201-2213. Arrington LR. 1972. Animal Laboratory. In Introduction Laboratory Animal Science – The Breeding, Care dan Management of Experimental Animals. The Interstate, Printers dan Publisher Inc, Denville Illinois. [ASA] American Soybean Association. 2012. Soy Stats: A Reference Guide to Important Soybean Facts and Figures, St. Louis, Mo. U.S.A. [Internet]. http://www.soystats.com/2012/ Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe. Dian Rakyat. Jakarta. Astawan M. 2013. Evaluating Health Benefit of Tempe : Indonesian Traditional Fermented Soyfood. Prosiding Fermentation Biotechnology Workshop in National Pingtung University of Science and Technology, Taiwan 2125 October 2013 Astuti M, Meliala A, Dalais FS, Wahlqvist M. 2000. Review Article : Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific Journal Clin Nutr, 9(4):322–325 [BPS] Biro Pusat Statistik Indonesia (ID). 2012. Nilai dan Volume Impor Bahan Pangan tahun 2011. Chen Y, Yuan W, Yiqiang G, Baoliang Xu. 2006. Degradation of Endogenous and Exogenous Genes of Roundup-Ready Soybean during Food Processing. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 53 (26):10239– 10243 Choct MY, Li D, McLeish J and Peisker M. 2010. Soy Oligosaccharides and Soluble Non-starch Polysaccharides: A Review of Digestion, Nutritive and Anti-nutritive Effects in Pigs and Poultry. Asian-Aust. J. Anim. Sci.Vol. 23, No. 10 : 1386 - 1398 Cox C. 1995. Glyphosate - Toxicology Part 1. Journal of Pesticide Reform, Volume 15,Number 3, Fall 1995. Northwest Coalition for Alternatives to Pesticides, Eugene, OR
35
Cromwell GL. 2012. Soybean Meal – An Exceptional Protein Source. [Internet] http://www.soymeal.org/ReviewPapers/SBMExceptionalProteinSource.p df Daleprane JB, Feijo TS, Boaventure GT. 2009. Organic and genetically soybean diets : Consequences in Growth and in Hematological Indicators of Aged Rats. Plant Foods Human Nutrition, 64:1-5 Davison J. 2010. GM plants : Science, politics and EC Regulations. Plant Sci. doi:10.1016/j.plantsci.2009.12.005 [diunduh 15 Desember 2013] Davidson I, Henry JB. 1974. Clinical diagnosis by Laboratory Methods. 15th Edition. Philadelphia: WB Sauber Company. Dixit AK, Antony JIX, Sharma NK, Tiwari RK. 2011. Soybean constituents and their functional benefits. Opportunity, Challenge and Scope of Natural Products in Medicinal Chemistry, 367-383. Research Signpost, Kerala, India. [Internet] http://www.trnres.com/ebook/uploads/tiwari/T_1302158885Tiwari12.pdf Domingo JL. 2007. Toxicology Studies of Genetically Modified Plants : A Review of the Published Literature. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 47:721-733 Dona A, Arvanitoyannis IS. 2009. Health Risks of Genetically Modified Foods. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 49:164-175 [EFSA] European Food Safety Authority. 2005. Guidance document of the scientific panel on genetically modified organisms for the risk assessment of genetically modified plants and derived food feed. The EFSA Journal 2004, 99:1–94. [EFSA] European Food Safety Authority. 2011. EFSA guidance on conducting repeated-dose 90-day oral toxicity study in rodents on whole food/feed. EFSA Journal, 9(12):2438 [FAO] Food and Agricultural Organization. 1992. Technology of Production of Edible Fluors and Protein Products from Soybean. FAO Corporate Document Repository. [Internet] http://www.fao.org/docrep/t0532E/t0532E00.htm FAO/WHO. 2000. Safety Aspect of Genetically Modified Foods of Plant Origin. Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation on Foods Derived from Biotechnology, Geneva, Switzerland, 29 May-2 June 2000. Rome : Food and Agriculture Organisation of the United Nations. [Internet]. http://www.fao.org/es/esn/gm/biotech.htm [FDA] Food and Drug Administration. 2003. Redbook 2000 : Toxicological Principles for the Safety Assesment of Food Ingredient: Chapter IV.C.4.a Subchronic Toxicity Studies with Rodents. [Internet] http://www.fda.gov/Food/GuidanceRegulation/GuidanceDocumentsRegu latoryInformation/IngredientsAdditivesGRASPackaging/ucm078345 Felsot A. 2000. Herbicide Tolerant Genes. Part 1: Squaring Up Roundup Ready Crops. Agrichemicaland Environmental News WSU. [Internet] http://www.biotech-info.net/felsot1.htm Geneser F. 1993. Textbook of Histology. Munksgaard, Copenhagen, Denmark. Alih bahasa Arifin Gunawijaya. Binarupa Aksara.
36 Hammond BG, Jez JM. 2011. Impact of food processing on the safety assessment for proteins introduced into biotechnology-derived soybean and corn crops. Food and Chemical Toxicology, 49:711-721. Handoyo T, Morita N. 2006. Structural and Functional Properties of Fermented Soybean (Tempeh) by Using Rhizopus Oligosporus. Intemationai Journal of Food Properties, 9: 347-355 Hardinsyah. 2013. Soyfood Consumption in Indonesia – Updates from Current National Health & Nutrition Survey. Prosiding 8th South East Asia Soyfood Seminars and Trade Show in Westin Hotel Nusa Dua, Bali 2123 June 2013. Hemre GI, Sanden M, Bakke-McKellep AM, Sagstad A, Krogdahl A. 2005. Growth, feed utilization and health of Atlantic salmon Salmo salar L. fed genetically modified compared to non-modified commercial hybrid soybeans. Aquaculture Nutrition, 11:157-167 Hodgson E, Levi PE. 2000. Modern toxicology. Boston: Mc Graw Hill. James C. 2008. Global status of Commercialized biotech/GM Crops: 2008. International Service for the Acquisitions of Agri-biotech Application (ISAAA) Brief no. 39-2008. Ithaca, NY James C. 2011. Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2011. International Service for the Acquisitions of Agri-biotech Application (ISAAA) Brief No. 43. Ithaca, NY Kakihara Y, Hiroshi M, Makoto C, Kazuo Y. 2007. Detection of recombinant DNA of genetically modified (GM) soybeans in heat-treated GM soybeans and commercial natto. Journal of Food Control, 18:1289-1294 Kaneko JJ. 1980. Clinical biochemistry of domestic animals. New york: Academic Press. Kasaoka S, Astuti M, Uehara M, Suzuki K, and Goto S. 1997. Effect of Indonesian Fermented Soybean Tempeh on Iron Bioavailability and Lipid Peroxidation in Anemic Rats. J. Agric. Food Chemistry 45, 195-198 Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2013. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. Keuth S, Bisping B. 1994.Vitamin B12 Production by Citrobacter freundii or Klebsiella pneumonia during Tempeh Fermentation and Proof of Enterotoxin Absence by PCR. Applied and Environmental Microbiology. P. 1495-1499 Vol.60 no. 5. America Society for Microbology. Kuiper H A, Kleter GA, Noteborn Hub P J M, and Kok E J. 2001. Assesment of the safety food safety issues related to genetically modified foods. The Plant Journal 27(6):503-528. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Macfarlane BJ, van der Riet WB, Bothwell TH, Baynes RD, Siegenberg D, Schmidt U, Tal A, Taylor JRN, and Mayet F. 1990. Effect of traditional oriental soy products on iron absorption. Am Jr Clin Nut 51; 873 – 880. Malatesta M, Boraldi F, Annovi G, Baldelli P, Battistelli S, Biggiogera M, Quaglino D. 2008. A long term study on female mice fed on a genetically modified soybean: effect on liver ageing. Histochem Cell Biologi, 130: 967-977
37
Mensah EC. 2007. Factors that Affect the Adoption of Roundup Ready Soybean Technology in the U.S. Journal of Economic Development & Business Policy. Vol. 1 Issue 1, p90. University of North Carolina at Pembroke. [Internet]. http://www.jepson.gonzaga.edu/JEDBP/Volumes/V1papers/Mensah.pdf Meyer R. 1999. Development and application of DNA analytical methods for the detection of GMOs in food. Food Control, 10: 391-399. Mo H, Kariluoto S, Piironen V, Zhu Y, Sanders MG, Vincken JP, WolkersRooijackers J, Nout MJ. 2013. Effect of soybean processing on content and bioaccessibility of folate, vitamin B12 and isoflavones in tofu and tempe. Food Chem; 141(3):2418-25. Muchtadi D. 2008. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta. Bandung Nout MJR, Kiers JL. 2005. A Review – Tempe fermentation, innovation and functionality: update into the third millennium. Journal of Applied Microbiology, 98:789-805 [OECD] Organization for Economic Co-operation and Development. 2000. Consensus document on the biology of Glycine max (L.) Merr. (Soybean), Series on Harmonization ofRegulatory Oversight in Biotechnology No. 15, ENV/JM/MONO(2000)9. Oerke EC. 2006. Crop losses to pests. Journal of Agricultural Science, 144: 31– 43. Omaye ST. 2004. Food and nutritional toxicology. New york: CRC press Padgette SR, Taylor NB, Nida DL, Bailer MR, Macdonald J, Holden LR, and Fuchs RL. 1996. The Composition of Glyphosate-Tolerant Soybean Seeds is Equivalent to That of Conventional Soybeans. Journal of Nutrition 126: 702-716. American Institite of Nutrient. Panjaitan RGP, Handharyani E, Masriani C, Zakiah Z, Manalu W. 2007. Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida Terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus. Makara, Majalah Kesehatan, 11:11-16. Petriccione, BB. 2004. Introduction to GMO: technique and safety. LES CAHIERS DU RIBIOS. RIBios - Réseau Interdisciplinaire Biosécurité Biosafety Interdisciplinary Network c/o IUED - Institut Universitaire d'Etudes du Développement. [Internet] www.ribios.ch [28 Maret 2013] Prakoso B, Sunee N, Williem FS. 2003. Genetically modified soybeans : false positive detection in fermented natural soybean (tempe). Biotechnology Letters, 25:1485-1490 Qi X, He X, Luo Y, Li S, Zou S, Cao S, Tang M, Delaney B, Xu W, Huang K. 2012. Subchronic feeding study of stacked trait genetically-modified soybean (3 Ø5423 x 40-3-2) in Sparague-Dawley rats. Food and Chemical Toxicology, 50:3256-3263 Ross MH, Pawlina W. 2011. Histology A Text and Atlas with Correlated Cell and Molecular Biology. Lippinscott Williams dan Wilkins. Baltimore, MD. Rupérez IEM. 2006. Soybean oligosaccharides potential as new ingredients in functional food. Nutr Hosp, 21(1):92-96. [Internet] tersedia pada : http://digital.csic.es/bitstream/10261/1652/1/espinosa.pdf
38 Sakamoto Y, Tada Y, Fukumori N, Tayama K, Ando H, Takahashi H, Kubo Y, Nagasawa A, Yano N, Yuzawa K, Ogata A. 2012. A 104-Week Feeding Study of Genetically Modified Soybeans in F344 Rats. J. Food Hyg. Soc. Japan Vol. 49, No. 4 Sander MA. 2004. Atlas Berwarna Patologi Anatomi. Rajawali Pers, Jakarta. Seralini GE, de Vendomois JS, Cellier D, Sultan C, Buiatti M, Gallagher L, Antoniou M, Dronamraju KR. 2009. How Subchronic and Chronic Health Effects can be Neglected for GMOs, Pesticides or Chemicals. International Journal of Biological Sciences 5(5): 438-443. Snell C, Bernheim A, Berge JB, Kuntz M, Pascal G, Paris A, Ricroch AE. 2012. Assessment of the health impact of GM plant diets in long-term and multigenerational animal feeding trials: A literature review. Food and Chemical Toxicology, 50:1134–1148. Stockham SL, Michael AS. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. 2nd edition. Blackwell Publishing. Iowa, USA. Song Y-S, Frias J, Martinez-Villaluenga C, Vidal-Valdeverde C, de Mejia EG. 2008. Immunoreactivity reduction of soybean meal by fermentation, effect on amino acid composition and antigenicity of commercial soy products. Journal of Food Chemistry 108 : 571–581 Sudarmadji S, Markakis P. 1977. The Phytate and Phytase of Soybean Tempeh. J. Sci. Fd Agri; 28, 381-383 Syabana MA. 2010. Toksisitas Akut dan Subkronis Ekstrak Air Buah Murbei (Morus alba L.) Pada Tikus Sprague-Dawley. [Tesis]. Pascasarjana:Institut Pertanian Bogor. Tudisco R, Lombardi P, Bovera F, d’Angelo D, Cutrignelli MI, Mastelllone V, Terzi V, Avallone L, Infascelli F. 2006. Genetically modified soybean in rabbit feeding : Detection of DNA fragments and evaluation of metabolic effect by enzymatic analysis. Journal of Animal Science, 82:193-199. Turner AH, Pike MJ and Francis MA. 2008. Haematology what does your blood test mean?. Workshop at RMIT’s Experience Health and Medical Science day. [Internet]. [Diunduh 21 Jan 2014]. Tersedia pada http://mams.rmit.edu.au/hgfc58lk9pwc1.pdf Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. http://pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/files/UU_18_2012.pdf [diunduh 1 Juli 2012] Vijayakumar KR, Martin A, Lalitha RG, Prakash V. 2009. Detection of genetically modified soya and maize: Impact of heat processing. Journal of Food Chemistry, 117:514–521. Wang TL, Domoney C, Hedley C L, Casey R, Grusak M A. 2003. Can We Improve the Nutritional Quality of Legume Seeds?. Plant Physiol. Vol.13. [Internet] http://www.plantphysiol.org/ [3 Januari 2014] [WHO] World Health Organization. 2002. Food derived from modern technology: 20 question on genetically modified foods. [Internet]. http://www.who.int/fsf/GMfood/ [Diunduh 8 Maret 2013]
39
[WHO] World Health Organization. 2009. 10 facts on food safety. http://www.who.int/features/factfiles/food_safety/en/index.html Wilson S, Blaschek K, Mejia EG. 2005. Allergenic proteins in soybean: processing and reduction of P34 allergenicity, Nutrition Rev 63(2):47– 58. Zhu Y, Li D, Wang F, Yin J, Jin H. 2004. Nutritional Assesment and Fate of DNA of Soybean Meal from Roundup Ready or Conventional Soybeans using Rats. Archieves of Animal Nutrition, 58(4):295-310. Zijp IM, Korver O, Tijburg LBM. 2000. Effect of tea and other dietary factors on iron absorption. Crit Rev Food Sci Nutr. 2000 Sep;40(5):371-98.
40 Lampiran 1 Hasil analisis statistika uji sidik ragam seluruh parameter menggunakan SPSS versi 16.0 ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
15.722 15.667
1.004
.390
BB awal
Between Groups Within Groups Total
31.444 235.000
2 15
266.444
17
BB akhir
Between Groups
2 15 17
1270.167 1295.211
.981
.398
Delta BB
Within Groups Total Between Groups
2540.333 19428.167 21968.500 2533.778 9026.500 11560.278
2 15 17
1266.889 601.767
2.105
.156
Konsumsi Ransum
Within Groups Total Between Groups
142399.805
2
71199.902
2.161
.150
494113.161 636512.966
15 17
32940.877
FCE
Within Groups Total Between Groups
.000 .003 .003
2 15 17
.000 .000
.939
.413
Brt Hati/100g BB
Within Groups Total Between Groups
.007 .914 .921 .004 .032 .037 .124 9.340 9.464 1.668 57.757
2 15 17 2 15 17 2 15 17 2 15
.003 .061
.054
.948
.002 .002
.976
.399
.062 .623
.100
.905
.834 3.850
.217
.808
59.424 1.141 3.247
17 2 15
.570 .216
2.635
.105
Brt Ginjal/100g BB
Hemoglobin
Leukosit
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Eritrosit
Between Groups Within Groups Total
Trombosit
Between Groups
Hematokrit
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
SGOT
Between Groups Within Groups Total
4.388
17
12144.444 64645.333 76789.778
2 15 17
6072.222 4309.689
1.409
.275
2.808 64.595
2 15
1.404 4.306
.326
.727
67.403 1772.333
17 2
886.167
3.064
.077
4337.667 6110.000
15 17
289.178
41
SGPT
Between Groups
Protein Total
Within Groups Total Between Groups Within Groups
Albumin
Total Between Groups Within Groups Total
Globulin
Between Groups Within Groups Total
Rasio A/B
Ureum
Kreatinin
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
49.778 1275.167
2 15
24.889 85.011
.293
.750
1324.944 .232
17 2
.116
2.096
.158
.832 1.064
15 17
.055
.073 .281
2 15
.036 .019
1.936
.179
.354
17
.046 .298
2 15
.023 .020
1.153
.342
.344 .001
17 2
.000
.041
.960
.099 .100 55.111
15 17 2
1.354
.288
305.167 360.278 .003 .364
15 17 2 15
.051
.950
.367
17
.007 27.556 20.344 .001 .024