Dendam Sejagad Legenda Kematian Shi Hun Yin (Mandarin) San Wat Yan (Cantonese) Cang Wan Hen A Spark of Distraction Karya : Khu Lung 1961, Saduran : Tjan ID Editor : Bona & Dewi KZ Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kang-zusi.info/ http://cerita-silat.co.cc/ 1
Jilid: 01 Bab 1 TEMPAT ini adalah sebuah kuil kuno. Kuil itu terletak di suatu tempat yang jauh dari keramaian manusia dan sudah lama terbengkalai. Tapi di mata orang persilatan, kuil bobrok itu demikian rahasia, demikian misterius, seram dan mengerikannya sehingga mendirikan bulu roma setiap orang. Ternyata setiap tengah malam tiba, dari dalam kuil itu selalu berkumandang suara nyanyian yang begitu aneh dan mengerikan. Kalau dibilang nyanyian itu indah, ternyata iramanya begitu aneh memekikkan telinga. Mengatakan seram dan memedihkan, nadanya ternyata tak sedap didengar, ibaratnya jeritan setan, atau teriakan kuntilanak, seperti pula lolongan serigala malam. Pokoknya suara nyanyian itu sedemikian anehnya sehingga membuat orang tak tahu bait lagu apakah yang sebenarnya sedang dinyanyikan, sehingga dengan demikian, kuil itupun diliputi oleh suasana serba rahasia dan misterius. Setiap kali orang mendengar irama nyanyian itu, segera merasakan suatu kekuatan gaib yang membuat orang sukar melawan, membuat orang terbuai dalam lamunan, terpesona,
terkesima dan tak tahu apa yang musti dilakukan. Selain itu, suara nyanyian itupun mengambang di angkasa raya dan menggema tak menentu. Ketika tersiar sampai berli-li jauhnya membuat orang sukar untuk membedakan dari arah manakah suara itu berasal dan di manakah sumber dari suara tersebut. Sekalipun demikian, suara nyanyian itu tak akan mampu untuk mengelabuhi kawanan persilatan. Mereka semua tahu bahwa suara 2
ini sudah menggetarkan hati setiap umat persilatan semenjak enam belas tahun berselang. Waktu itu banyak jago dari pelbagai perguruan dikirim untuk menyelidiki tempat tinggal dari pembawa lagu aneh itu, tapi baik dari pihak kaum lurus maupun dari golongan kaum sesat selalu gagal untuk memperoleh hasil dan pulang dengan hasil yang nihil. Ttba-tlba, pada tiga belas tahun berselang, irama nyanyian itu lenyap tak berbekas. Siapa tahu sepuluh tahun kemudian nyanyian misterius itu mengambang kembali di tempat itu, bahkan dalam waktu singkat tiga tahun sudah lewat. Penduduk di sekitar tempat itu yang sudah berotak sederhana, menaruh perasaan jeri dan hormat yang amat sangat terhadap nyanyian itu, sebab nyanyian aneh semacam itu sudah berlangsung hampir tiga tahun lamanya. Mereka semua beranggapan: Pastilah tangisan malaikat dari kahyangan yang turun ke bumi untuk memperingatkan kepada semua orang, bahwa tak lama lagi bakal terjadi bencana alam atau bencana peperangan yang akan melanda sekeliling tempat ini. Itulah sebabnya semua orang merasa tak pernah tenteram. Menyusul munculnya kembali suara nyanyian aneh itu, dunia persilatan yang selama ini berada dalam keadaan tenang, tiba-tiba saja menjadi geger dan tegang. Jago-jago lihai dari sembilan partai besar bersama-sama mengutus orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan. Maka berbondong-bondong datanglah kawanan jago persilatan ke tempat itu. Penyelidikan dan pengalaman yang dilakukan siang malam akhirnya menemukan bahwa suara nyanyian tersebut berasal dari dalam kuil yang bobrok tapi angker itu.
Dua tahun belakangan ini, meski tak sedikit jagoan lihay dari dunia persilatan yang menyerbu ke dalam kuil dan berusaha menangkap pembawa lagu itu, tapi ibaratnya menimpuk anjing dengan pakpoa, begitu pergi tak pernah kembali lagi. Sejak itu kabar beritanya lenyap tak berbekas dan orangnya tak pernah muncul kembali di dalam dunia persilatan. Tentu saja nasib beberapa orang itu kebanyakan menemui bencana daripada kemujuran. Mereka tewas secara misterius. 3
Akibatnya, pandangan orang persilatan terhadap kuil bobrok itu pun segera berubah. Timbul suatu perasaan seram dan takut di hati mereka terhadap kuil itu, dan tak seorangpun yang berani melakukan penyelidikan lagi atas kuil tersebut. Maka teka-teki yang penuh rahasia itu, dengan membawa rahasia dunia persilatan yang tiada taranya, sampai detik ini belum pernah tersingkap secara jelas. Malam itu adalah suatu malam yang sangat gelap. Kabut tebal menyelimuti permukaan tanah, angin dingin berhembus kencang, hanya beberapa titik cahaya bintang di angkasa yang memancarkan sedikit cahaya yang redup. Kentongan kedua baru lewat, tiba-tiba di depan kuil bobrok yang terpencil, menyeramkan dan mengerikan itu muncul seorang pemuda berusia dua puluh tahunan. Agak lama sudah ia berdiri di depan kuil angker itu. Kemudian “Aaaih,” dia menghela napas sedih. Pemuda itu sangat murung, juga kesepian. Dia seperti membawa perasaan murung yang sangat dalam. Setiap malam tiba dia selalu berdiri melamun di depan kuil itu. Sudah satu bulan lebih dia berbuat demikian. Entah udara sedang cerah atau sedang turun hujan badai dan kilat menyambar, dia selalu hadir di sana dan mendengarkan suara nyanyian yang misterius dan aneh itu. Tapi ia tak pernah berani untuk melangkah masuk ke dalam kuil itu barang satu langkahpun.
Mungkin dia pun merasa takut dan kuatir terhadap keselamatan jiwanya. Waktu itu, dia sedang mendongakkan kepalanya memandang bintang yang bertaburan di angkasa. Kemudian memperdengarkan suaranya helaan napas panjang yang amat berat. Cahaya bintang yang redup menyoroti wajahnya. Itulah selembar wajah yang membuat orang merasa keder, bukan lantaran 4
jelek atau menyeramkan, sebaliknya karena wajah yang tampan itu membawa keangkuhan serta sikap dingin yang menggidikkan hati. Alis matanya tajam bagaikan pedang, matanya tajam bagaikan sembilu. Ia memiliki bibir yang tipis berbentuk busur, ini melambangkan kekerasan hati serta watak kepalanya yang besar, namun sorot matanya yang tajam itu justru membawa sinar pembunuhan yang tebal, seakan-akan dia adalah orang yang begitu dingin dan kejam. Pemuda serba aneh itu kembali memperdengarkan suara helaan napas beratnya yang mengenaskan. Menyusul kemudian, bagaikan orang mengigau dia bergumam seorang diri: “Ku See-hong, wahai Ku See-hong, kau memiliki dendam berdarah yang lebih dalam dari samudra, tapi... kau demikian tak becus. Sudah belasan tahun lamanya kau berkelana dalam dunia persilatan yang penuh dengan tipu muslihat, tapi sedikitpun tanpa hasil. Kini kau tahu telah bertemu dengan manusia aneh yang tiada taranya ini, mengapa kau malah menjadi ketakutan setengah mati? Sekalipun akibatnya akan merenggut nyawamu, tapi kaupun harus tunjukkan keberanianmu serta semangat juangmu antara mati dan hidup, bila kau tak berani bertaruh maka kau akan selalu terombang-ambing dalam dunia persilatan tanpa hasil apa-apa. Akhirnya kau akan mampus dan menjadi seorang manusia berdosa yang paling tidak berbakti, kepada orang tua di dunia ini.... Mengertikah kau?"
Ketlika selesai bergumam, titik-titik air mata tiba-tiba meleleh keluar dan membasahi wajah Ku-See hong, si pemuda aneh itu. Jelas ia terbayang kembali akan semua pengalaman pahit yang telah dialaminya sewaktu kecil dulu. Ini membuat hatinya amat pedih dan menyesal. Setelah menghela napas panjang lagi dengan pedih kembali pemuda itu bergumam. 5
“Ku See-hong, wahai Ku See-hong. Jangan lupa bahwa kau pernah bersumpah berat kepada langit untuk membalas dendam sakit hati ayah ibumu dan mencincang tubuh pembunuh itu menjadi berkepingkeping....” Ketika bergumam sampai di situ, dari balik matanya yang jeli segera memancar keluar suatu tekad yang besar, bersinar mata dingin keji dan mengerikan. Dia menghembuskan napas panjang lalu berdiri mematung dan tidak berbicara lagi.... Kentongan ketiga hampir tiba, pemuda aneh Ku See-hong yang membungkam itu mendadak menampilkan sesuatu tekad yang bulat. Pelan-pelan dia berjalan menuju ke arah kuil kuno itu. Jelas dia telah mengambil keputusan untuk mempertaruhkan nyawa dan pergi beradu nasib. Sebab lebih baik mati di dalam kuil daripada harus hidup di dunia bebas tanpa mendapatkan hasil apa-apa. Mendadak pada saat itulah suara nyanyian yang aneh dan misterius itu berkumandang lagi dalam kuil. Suara nyanyian yang melengking dan tajam itu berkumandang nyaring di tengah hembusan angin barat laut yang kencang, begitu mengerikan dan seramnya suara tersebut, membuat bulu kuduk orang pada bangun berdiri. Irama nyanyian yang aneh itu penuh mengandung tenaga gaib yang mampu membetot sukma orang, sekalipun seorang jago yang memiliki tenaga dalam amat sempurna, juga susah untuk melawan
pengaruh nyanyian tersebut. Tapi kenyataannya, Ku See-hong sama sekali tidak terpengaruh oleh suara nyanyian itu… bukankah hal ini menunjukkan sesuatu keanehan? Ku See-hong memang seorang pemuda yang berbakat bagus. Gemblengan selama hampir satu bulan di depan kuil itu membuat timbulnya sesuatu kebiasaan terhadap pengaruh irama iblis tersebut, sekalipun saat ini diapun terpengaruh juga oleh irama tersebut. 6
Namun dalam lelapnya kesadaran dia masih memiliki tenaga yang kuat untuk meronta diri, bahkan otaknya yang cerdas berhasil menghapalkan nada irama nyanyian yang aneh itu. Semenjak setengah bulan berselang, irama nyanyian yang aneh itu sudah berhasil dihapalkan olehnya, malahan ia bisa membawanya sendiri untuk bersenandung, sekalipun bait syairnya masih tidak diketahui olehnya. Itulah sebabnya, berhubung Ku See-hong sudah hapal dengan irama nyanyian itu, maka ketika itu dia sudah tidak terpengaruh lagi oleh tenaga gaib dari ilmu pembetot sukma tersebut. Angin barat laut yang dingin berhembus semakin kencang, suaranya yang memilukan hati. Dari balik sorot mata Ku See-hong terpancar keluar sinar kebulatan tekadnya yang tebal. Dengan membusungkan dada, dan melangkah lebar, dia berjalan menghampiri kuil itu. Sinar matahari yang tajam dengan cepat menyapu sekejap sekeliling ruang kuil yang bobrok itu. Tampak bangunan kuil tersebut sangat besar dan luas. Dinding pekarangan yang mengitari bangunan itupun mencapai ratusan kaki luasnya. Ruang kuil itu menjulang tinggi di angkasa dan saling
sambung-menyambung, tapi berhubung sudah dimakan usia, pintu gerbangnya sudah ambruk dindingnya banyak yang retak dan berlubang, bahkan rumput ilalang tumbuh setinggi lutut. Pemandangannya amat mengerikan sekali. Bila seseorang bernyali kecil, dia tak akan berani, untuk mendatangi tempat semacam ini di tengah malam buta begini.... Sementara itu, angin barat laut yang kencang masih berhembus lewat tiada hentinya. Pohon siong dengan ranting yang gundul dan bayangan batang yang kurus bagaikan setan yang sedang mementangkan cakarnya. 7
Betul Ku See hong bernyali besar, tapi selama satu bulan terakhir ini sudah terlalu sering ia mendengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati dari kawanan jago silat yang memasuki kuil itu. Maka tak urung timbul juga perasaan bergidik dalam hatinya. Semakin dipandang kuil itu, semakin terasa olehnya betapa seram dan menakutkannya pemandangan di sekeliling sana, apalagi ditambah bunyi ranting yang terhembus angin, semakin menambah seramnya suasana. “Ci it…. Ci it….” Serentetan jeritan tajam mendadak bergemas memecahkan keheningan. Dengan perasaan terperanjat buru-buru Ku See-hong mundur sejauh tiga langkah ke belakang. Dengan cepat dia mengalihkan sinar matanya ke dalam ruang kuil yang gelap gulita itu, ternyata ada beberapa ekor kelelawar hitam yang sedang terbang keluar. Setelah mengetahui suara apakah itu, Ku See-hong segera menghembuskan napas panjang, rasa tegang yang semula menyelimuti wajahnya lambat laun menjadi tenang kembali.
Selangkah demi selangkah kembali dia berjalan masuk ke dalam. Sekarang dia sudah mulai melangkah di atas jalan setapak yang berhiaskan batu hijau. Mungkin karena sudah terlampau lama kuil tersebut terbengkalai maka di atas batu-batu hijau itu sudah tumbuh lumut yang amat tebal, ditambah lagi kegelapan malam mencekam seluruh jagad, seandainya seorang tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, mungkin baru selangkah saja berjalan akan terpeleset jatuh ke tanah. Jalan beralas batu hijau yang menghubungkan pintu gerbang dengan ruangan tengah itu lebih kurang puluhan kaki jauhnya. Ketika baru selesai melalui jalan berlumut itu, sekujur badan Ku See-hong sudah basah kuyup oleh keringat. 8
Tiba-tiba… ia mendongakkan kepala memandang papan nama di atas ruang tengah kuil itu, hampir saja ia menjerit kaget saking terperanjatnya. Ternyata di atas papan nama itu tertera beberapa huruf besar yang berwarna merah darah, tulisan itu berbunyi: “SIAPA MASUK BAKAL MAMPUS” Di kedua belah sisi papan nama itu masing-masing tergantung dua butir tengkorak manusia. Siapa saja pasti akan merasa terperanjat sekali bila menjumpai benda tersebut untuk pertama kalinya. Sinar matanya yang dingin menyeramkan kembali dialihkan memandang sekeliling tempat itu. Kemudian dengan kening berkerut melangkah naik ke atas undak-undakan batu. Tampak ruangan tengah kuil itu gelap gulita dan menggidikkan hati. Sarang laba-laba berada di mana-mana, debu setebal beberapa inci menghiasi lantai. Dengan langkah tegap Ku See-hong masuk ke dalam ruang tengah itu. Di sana ia saksikan patung arca sudah banyak yang hancur dan rusak, banyak di antaranya yang
kutung tangan atau kakinya dan pakaianpun compang-camping, keadaannya sangat mengenaskan. Angin dingin yang berhembus lewat dalam ruangan semakin mendirikan bulu roma orang, apalagi memandang patung-patung arca dalam ruang tengah yang menyeramkan itu. Ini semua membuat suasana sedemikian menggidikkan hati sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata. “Keeekkk…” terhembus angin dingin, tiba-tiba pintu sebelah di depan ruangan itu terhembus hingga menutup sebagian. Suara menutupnya pintu yang memanjang dan memendek itu kedengaran amat menusuk pendengaran. Walaupun paras muka Ku See-hong sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut atau ngeri padahal hatinya sudah merasa tidak tenang semenjak tadi. 9
Dengan membesarkan nyalinya dan penuh diliputi ketegangan dia berjalan masuk ke dalam kuil yang mirip rumah setan itu. Di serambi yang gelap dan suatu hembusan aneh yang mirip jeritan setan akhirnya melintaskan juga setitik perasaan ngeri di atas wajahnya. “Sreet. Sreet…” mengikuti suara langkah kakinya yang membawa bunyi gemerasak, jantungnya terasa berdenyut makin kencang. “Weeess,” segulung angin dingin berhembus lewat.
“Aaahh…!” Ku See-hong memperdengarkan jeritan kaget. Dengan kaki gemetar dia mundur tujuh-delapan langkah lagi ke belakang. Kiranya waktu itu dia sudah sampai di depan sebuah bangunan loteng yang sangat lebar. Di atas undak-undakan di sebelah kiri dan kanan masing-masing berdiri tegak sesosok tulang belulang manusia yang masih utuh. Di tengah tengkorak itu membawa sebuah benda perak yang bercahaya tajam. Dalam lirikan matanya yang sedang menegang itu, anak muda tersebut merasa seakan-akan kedua sosok mayat itu adalah mayat hidup yang sedang melotot ke arahnya dengan sinar mata kemarahan. Tapi setelah mengetahui kalau tengkorak itu sudah lama mati, diam-diam Ku See-hong baru menghembuskan napas panjang, meski jantungnya masih berdenyut dengan kerasnya sebab kuil ini dalam kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada berita yang tersiar di luaran. Setelah menenangkan sebentar hatinya, pemuda itu baru menengok ke arah papan nama di atas pintu gerbang itu. Di sana tercantum empat huruf merah darah yang berbunyi: “PEK KUT YU HUN” (Tulang tengkorak sukma gentayangan). 10
Di kedua belah sisi papan nama tadi, masing-masing tergantung sebuah kepala tengkorak. Ku See-hong segera bergumam seorang diri, “Pek-kut-yu-hua,… Pek-kut-hun…. Apakah yang dimaksudkan adalah tumpukan tulang-belulang manusia yang mati dalam kuil ini…?” Bergumam sampai di situ, dia lantas melirik sekejap ke dalam. Sayang suasana di dalam ruang itu gelap-gulita, susah dilihat jelas.
Maka dengan cepat dia mengambil keputusan di dalam hati dan melangkah naik ke atas undak-undakan batu itu. Tiba-tiba terdengar bunyi desingan lirih, kemudian terlihatlah benda berwarna perak di tangan tengkorak yang berada di sebelah kiri itu mengayun ke bawah dengan membawa suara desingan angin yang amat tajam. Sreet, cahaya perak itu langsung menusuk ke ulu hati Ku Seehong. Bukan saja serangan ini dilancarkan dengan kekuatan yang amat besar, jurus serangannya juga garang dan keji, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Mimpin pun Ku See-hong tidak menyangka kalau tengkorak tersebut bakal menyergap secara tiba-tiba. Dalam terperanjatnya cepat dia merendahkan badan sambil berputar arah secara lihay dan manis, ia menghindarkan diri dari sergapan maut tersebut. Siapa tahu baru saja ia menghembuskan nafas lega. “Kraaak,” lagi-lagi terdengar suara desingan keras. Kali ini, tengkorak yang berdiri kaku di sebelah kanannya mulai bergerak. Cahaya di tangannya itu secepat sambaran kilat menghantam ke arah jalan darah Ciok-sun-hiat di belakang batok kepala Ku Seehong. Saking terkesiapnya, paras muka si anak muda itu berubah hebat. Keinginannya untuk hidup membuat badannya tanpa sadar miring ke samping kemudian tangan kanannya membalik sambil 11
melempar ke belakang. Cahaya perak yang mengancam tiba itu segera menyambar ke arah tiang. Siapa tahu belum sampai jurus serangan dari Ku See-hong itu digunakan sampai matang, cahaya perak tadi tiba-tiba menyusup ke belakang, kemudian dari sisi kiri dengan membawa berpuluh-puluh titik cahaya tajam menyambar lagi mengancam dua belas jalan darah penting di tubuh anak muda tersebut. Perubahan jurus serangan, melancarkan pukulan, semuanya dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, sama sekali tidak terpaut jauh bila dibandingkan dengan jago nomor satu dari dunia persilatan.
Dalam terkesiapnya Ku See-hong segera jongkok dan menggulingkan diri ke bawah undak-undakan batu. Setelah itu dengan cepat dia melompat bangun lagi, dengan napas terengah dan keringat bercucuran dia berdiri memucat di situ. Anehnya, begitu Ku See-hong sudah melompat turun dari undakundakan batu tadi, tengkorak yang ada di sebelah kiri dan kanan itupun segera balik kembali pada posisinya semula. Ku See-hong yang keras kepala tak mau menyerah kalah dengan begitu saja. Sekali lagi dia melompat naik ke atas undak-undakan batu itu. Tapi seperti yang pertama tadi, kembali dia mengalami serangan demi serangan yang amat gencar. Tak sampai sepertanak nasi lamanya, ia gagal untuk menembusi tempat tersebut. Kesemuanya ini dengan cepat membuat hatinya menjadi kecut dan sedih sekali. Tapi pemuda itu memang cukup cerdas. Setelah gagal dengan tujuh kali percobaannya pikirannya pun segera terbuka. Rupanya kedua sosok tengkorak itu memang sudah mendapat latihan yang khusus untuk menyergap musuh-musuh yang datang dari luar. Apabila kakinya tidak melangkah di atas undak-undakan batu itu, secara otomatis kedua sosok tengkorak itu juga tak akan bergerak, dan dengan sendirinya tak akan menyerang pula dirinya. 12
Berpikir sampai di situ, Ku See-hong siap-siap mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyeberangi ruangan tersebut, ketika ia mendongakkan kepalanya, tiba-tiba dijumpai pada beberapa kaki di atas pintu gerbang itu terlihat berjajar tiga buah rantai tipis yang menjulur ke bawah. Jarak antara rantai yang
pertama dengan rantai lainnya adalah tiga jengkal lebih. Tentu saja, dengan kecerdasan otak yang dimiliki Ku See-hong, tidak sulit baginya untuk menduga bahwa benda tersebut adalah semacam senjata rahasia pembunuh yang berbahaya sekali. Maka rencananya untuk menyeberang dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh pun segera mengalami kegagalan total. Untuk sesaat lamanya anak muda itu berdiri tertegun dengan perasaan kecewa dan putus asa. Semua harapan di dalam hatinya juga turut musnah tak berbekas. Sampai lama sekali, sekilas rasa girang baru melintas di atas wajah anak muda itu, ia berhasil menemukan suatu akal yang sangat bagus. Sambil berpekik nyaring, secepat sambaran kilat, Ku See-hong melompat naik ke atas undak-undakan batu itu. “Srrreeet…” tengkorak yang berada di sebelah kanan itu segera memutar senjata peraknya sedemikian rupa sehingga menciptakan serangkaian bianglala berwarna perak, kemudian langsung menusuk ke iga kiri anak muda itu, serangannya garang sekali. Sedari tadi Ku See-hong telah memperhitungkan sampai ke situ, di kala kakinya sedang menginjak di atas ubin batu itu, badannya segera menjatuhkan diri ke tanah dan berguling cepat menyusup ke arah dalam ruangan. Detik terakhir menjelang tubuh Ku See-hong tiba di depan pintu ruangan itulah, mendadak dari atas pintu menyambar datang sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata, tahu-tahu sebuah pintu berpisau yang tajam telah meluncur ke bawah dan siap mencabikcabik tubuh pemuda tersebut. 13
Tak terlukiskan rasa kaget Ku See-hong menghadapi kenyataan itu. Hampir saja ia
merasa kehilangan sukma lantaran terperanjatnya. Entah dari mana datangnya kekuatan, sekuat tenaga dia melejit ke samping. “Blaaam…!” di ringi suara yang sangat keras, pintu berpedang yang terdiri dari belasan buah pedang tajam itu langsung menancap di atas lantai yang mengakibatkan timbulnya percikan bunga api. Ku See-hong mendengus tertahan… kaki kirinya yang terlambat menghindar segera termakan tusukan sebilah pedang. Sebuah mulut luka yang besar muncul di atas badannya, darah segar bercucuran membasahi seluruh badannya. Coba sedikit ia terlambat menghindar, niscaya tubuhnya sudah tertembus oleh tusukan pedang-pedang itu. Dengan cepat Ku See-hong melompat bangun lalu memandang pintu pedang itu dengan termangu-mangu. Lama, lama sekali ia baru menghela napas panjang, pekiknya di hati: “Hampir saja aku mampus di ujung pedang-pedang itu. Coba kalau mampus, dendam berdarahku tak akan terbalas untuk selamanya.” Teringat tentang dendam berdarah itu, kobaran api kebencian yang kuat segera muncul dalam hatinya dan membakar badannya. Sekulum senyuman dingin yang kejam tersungging di ujung bibirnya, sinar mata yang memancar pun merupakan sinar merah berapi-api yang penuh dengan rasa benci dan dendam yang dalam. Tapi setelah Ku See-hong dapat melihat jelas suasana dalam ruang dalam, sekali lagi ia bergidik, bahkan bersin beberapa kali. Kobaran api dendam dan rasa benci yang membara dalam dadanya itu seakan-akan terguyur oleh sebaskom air dingin, kontan lenyap tak berbekas. Ternyata di dalam ruangan itu penuh berserakan tulang tengkorak manusia.
Ada yang sedang berduduk, ada yang berbaring, ada pula yang berdiri, bentuknya aneh sekali. Ditambah 14
lagi rambutnya yang hitam dengan gigi putih yang menyeringai keluar, membuat wajah mereka kelihatan begitu menakutkan dan seramnya hingga menggidikkan hati siapapun. Ku See-hong merasakan dirinya seakan-akan berada di dalam neraka. Hatinya tercekat, bergidik dan ketakutan. “Ci it… ci it…” serentetan bunyi aneh yang memekikkan telinga berkumandang datang dari arah belakang. Dengan cekatan Ku See-hong berpaling ke belakang, tapi dengan cepat ia menjerit kaget: “Aaaah….” Dengan ketakutan ia mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata lebih kurang satu kaki dari Ku See-hong terdapat sebuah peti mati. Waktu itu penutup peti mati tersebut sedang pelan-pelan membuka sendiri…. Menyusul kemudian, dari balik peti mati itu pelan-pelan muncul sebuah tangan aneh yang tinggal tulangnya melulu. Tangan aneh tadi mencakar kesana-kemari dengan serawutan. Jantung Ku See-hong kembali berdebar keras. Dengan pancaran sinar mata yang aneh dan takut dia awasi peti mati itu tak berkedip, terasa kakinya menggigil keras dan lemas sekali. Kalau bisa dia ingin menjatuhkan diri untuk duduk di lantai. “Blaaam…!” tiba-tiba suatu benturan keras kembali terjadi. Pintu di mana Ku See-hong lewat ketika melangkah masuk ke dalam ruangan tadi mendadak menutup dengan sendirinya, bahkan menutup rapat-rapat sehingga setitik cahayapun tak Nampak. Suasana di tempat itu menjadi gelap gulita hingga kelima jari tangan sendiripun susah dilihat. Udara menjadi sesak dan lamat-lamat Ku See-hong mengendus bau busuknya bangkai yang amat menusuk hidung. 15
Untung Ku See-hong memiliki ketajaman mata yang melampaui orang lain, walau berada di tengah kegelapan, ia masih dapat melihat peti mati itu dengan jelas. “Kreeek… kreeek…. Serentetan suara aneh yang menusuk pendengaran kembali menggema dalam ruangan itu. Penutup peti mati tersebut kini sudah terangkat tinggi-tinggi ke udara, kemudian…. “Blaaam!” di ringi suara keras penutup peti mati itu sudah terlempar jatuh ke tanah. Bersama dengan membukanya penutup peti mati itu, sesosok tengkorak hidup pelan-pelan bangkit berdiri dari balik peti mati. Tengkorak itu jauh berbeda dengan tengkorak-tengkorak lainnya. Dia mempunyai rambut yang sangat panjang dan mata yang cekung ke dalam, tapi anehnya ternyata mata itu memancarkan cahaya hijau yang berkilauan. Dalam takutnya Ku See-hong merasa sangat ngeri. Ia tidak percaya kalau di dunia ini terdapat tengkorak hidup, tapi kenyataan telah berada di depan mata, tidak percayapun tak mungkin. Dalam pada itu, tengkorak hidup itu sudah bangkit dari peti matinya dan melangkah keluar, kemudian selangkah demi selangkah lamban tapi tetap menghampiri Ku See-hong. Pada saat itulah, ruangan yang gelap gulita dan sebenarnya tiada hembusan angin itu mulai dipenuhi oleh deruan angin yang sangat keras dan tajam. Munculnya angin inipun sangat aneh seolah-olah berhembus keluar dari balik dinding di sekitar ruangan itu. Makin lama angin itu berhembus semakin kencang. Suara deruan angin pun makin keras dan memekikkan telinga. Sekarang tengkorak hidup itu sudah berada lebih kurang empat jengkal dari Ku See-hong. Sepasang lengan panjangnya yang tinggal tulang itu sudah diluruskan ke depan mencengkeram tubuh 16
pemuda itu. Segulung bau amis yang amat menusuk hidung segera menerpa tiba. Ku See-hong yang berdiri begitu dekat dengan tengkorak itu dapat melihat dengan jelas bagaimana bagian dada dari tengkorak itu cuma terdiri dari tulang-tulang iga yang berjajar lurus, sementara di dalamnya kosong melompong tak berisi apa-apa. Ini membuktikan kalau tengkorak itu benar adalah sesosok tengkorak hidup. Bagaimanapun besarnya nyali pemuda itu tak urung dia menjerit kaget juga. Selangkah demi selangkah dia mundur terus ke belakang. Anehnya, ternyata mayat hidup itupun mempercepat langkahnya mengejar kemanapun dia pergi. Tiba-tiba, kaki Ku See-hong terkait oleh seonggok tulang belulang. Sambil menjerit kaget tubuhnya segera terpelanting dan terlempar sejauh beberapa kaki dari tempat semula. Rupanya tempat di mana ia terjatuh barusan adalah sebuah peti mati juga. Ketika itu, penutup peti mati itu sedang terangkat ke atas, sesosok tengkorak lain sedang menjulurkan tangannya yang aneh untuk mencengkeram tubuh anak muda itu. Ku See-hong ketika itu benar-benar ketakutan setengah mati sehingga sukma pun terasa bagaikan mau terbang meninggalkan raganya. Ia memperdenarkan suara auman yang agak gemetar. Suara itu seperti jeritan kaget, seperti juga teriakan ngeri, namun sepasang matanya masih mengawasi kedua sosok tengkorak hidup itu tanpa berkedip. Dalam pada itu gerak pengejaran yang dilakukan kedua sosok tengkorak hidup itu makin lama semakin cepat… dalam waktu singkat mereka sudah berada empat jengkal di hadapan Ku Seehong. Dengan ketakutan pemuda itu kembali mundur ke belakang. 17
Tiba-tiba… kaki Ku See-hong tergaet kembali oleh sesuatu benda. Rupanya membentur lagi pada sebuah peti mati. Dengan cepat dia berpaling, tapi sesosok tengkorak hidup tahu-tahu sudah muncul kembali di hadapan matanya. Pemuda itu benar-benar ketakutan setengah mati. Matanya sampai terbelalak lebar sedang tubuhnya berdiri kaku seperti mayat. Tengkorak-tengkorak hidup itu sama sekali tidak berlaku sungkan kepadanya. Lengan bertulang putihnya itu secara lurus disodok ke muka, menusuk dada pemuda itu, tapi gerakannya lambat sekali. Segulung bau amis yang menusuk hidung segera berhembus lewat. Mendadak Ku See-hong tersadar kembali dari lamunannya. Ia menyaksikan kuku tengkorak hidup yang tajam itu sudah menempel di atas pakaian bagian dadanya. Ku See-hong menjerit keras, secepatnya dia membuang diri ke belakang dan mundur cepat-cepat. Belum lagi kakinya berdiri tegak, kembali segulung bau amis kembali datang, dan dua sosok tengkorak hidup lainnya dengan yang satu di kiri dan yang lainnya di kanan sedang memutar kuku-kukunya yang panjang dan tajam mencengkeram ke atas bahunya. Hampir pecah nyali Ku See-hong menghadapi ancaman tersebut, buru-buru dia melompat lagi beberapa kaki ke belakang dengan badan gemetar. Kali ini saking paniknya ia sampai tak mampu menguasai diri dan terjatuh ke tanah, dadanya terengah-engah. Meski dalam kegelapan sukar untuk mengetahui paras mukanya, tapi bisa diduga muka itu tentu sudah berubah menjadi pucat pias seperti mayat. Yang berada di hadapan Ku See-hong sekarang bukan hanya tiga sosok tengkorak hidup saja tapi tengkorak-tengkorak yang semula tiduran atau duduk itu sekarang telah berlompatan bangun sambil menarik sepasang lengannya, pelan-pelan mereka mendesak ke depan. 18
Api setan menari-nari di udara, warna hijau menyeramkan yang mencorong dari balik lekukan mata tengkorak-tengkorak yang kosong itu menambah seramnya suasana. Tapi waktu itu hembusan angin yang maha aneh tersebut telah menjadi tenang kembali, menyusul suara jeritan dan teriakan aneh yang menyeramkan bergema amat memekikkan telinga. Rasa putus asa memenuhi seluruh benak Ku See-hong. Ia membenci segala-galanya, ia membenci kepada Thian yang tidak memberi keadilan kepadanya, membenci karena dendam sakit hati ayah-ibunya belum terbalas. Tapia pa gunanya membenci bila elmaut sudah berada di ambang pintu? Sesosok tengkorak hidup telah mendesak ke hadapan Ku Seehong. Sreeet… di ringi desingan tajam sepasang lengan tengkorak itu menyambar ke bawah bersama-sama. Hanya kali ini gerak serangan tersebut dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Harapannya untuk hidup yang semula masih berkobar di dada Ku See-hong, kini sudah lenyap tak berbekas. Tanpa berpikir panjang lagi dia menjatuhkan diri berguling ke samping untuk menyelamatkan diri, setelah itu dengan cepat dia melompat bangun. Tiba-tiba, di
tengah ruangan yang sunyi senyap itu berkumandang suara gelak tertawa setan yang dingin dan memekakkan telinga. “Heeehhh… heeehhh… heeehhh…. Heeehhh… heeehhh… heeehhh….” Suara tertawa itu lamban, berat dan dalam meski amat pelan tapi saling susul menyusul hingga membuat seluruh ruangan bergetar dengan kerasnya. Ku See-hong hanya merasakan seluruh tubuhnya seperti tersayat-sayat oleh pisau tajam mengikuti gelak tertawa yang menggema barusan itu. Sekujur tulang badannya seakan-akan tergetar lepas dan hancur berantakan hingga tak ada wujudnya lagi. 19
Bagaikan orang gila Ku See-hong berteriak keras, tubuhnya secepat kilat menubruk ke depan dan malahan menghampiri salah satu di antara tengkorak-tengkorak hidup itu. Bila seseorang dihadapkan pada ancaman maut, ada kalanya mereka tidak melakukan perlawanan dan pasrah pada takdir yang telah mengaturnya, tapi lebih banyak orang yang berjuang sampai titik darah penghabisan melawan malaikat elmaut. Dalam keadaan terancam oleh bahaya ini, Ku See-hong bukannya
pasrah sebaliknya justru timbul suatu kekuatan untuk memberontak yang kuat sekali. Dia ingin mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk meloloskan diri dari neraka yang menyeramkan itu. Sekalipun harapan tersebut nampaknya sangat tipis, toh bukan berarti tak dapat dicoba, sebab bagaimanapun juga lebih baik berusaha daripada pasrah kepada nasib. Entah dari mana datangnya kekuatan, sepasang lengan Ku Seehong dengan membawa segulung kekuatan yang dahsyat, bagaikan ambruknya bukit karang, langsung disodokkan ke tubuh sesosok tengkorak hidup yang sedang menubruk datang itu. “Blaaammm…! ” ketika tengkorak hidup itu termakan oleh serangan tersebut, tubuhnya hanya bergetar sedikit, kemudian sambil tertawa seram selangkah demi selangkah maju kembali untuk mengejar korbannya. Keadaan Ku See-hong pada waktu itu sudah mirip orang gila, telapak tangan kirinya membacok ke belakang, telapak tangan kanannya mendorong. Maka angin puyuh menderu-deru di sekeliling tubuhnya. Kembali sesosok tengkorak hidup terhajar telak oleh pukulan beruntun tangan kiri kanannya, namun sama sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa. Gelak tertawa aneh yang mengerikan menggema semakin keras, api setan yang berwarna hijau berkedip-kedip di balik kegelapan, seramnya bukang kepalang. 20
Ku See berteriak keras, sepasang lengannya diputar sekenanya, bahkan kadangkala sepasang kakinya ikut melancarkan tendangan berantai, pokoknya setiap kali ada bayangan hitam mendekatinya, serangan segera dilancarkan secara ngawur. Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari kurungan tengkorak-tengkorak hidup itu. Tanpa berpikir panjang dia lantas putar
badan dan melarikan diri secepatnya. Dalam ruangan gelap gulita sukar melihat kelima jari tangan sendiri ini, dia sendiri tak tahu kemana akan pergi, pemuda itu cuma tahu lari dan lari terus secara membabi buta. Mendadak Ku See-hong merasa ada segulung angin dingin berhembus datang dari arah belakang yang membuat tubuhnya terpelanting dan jatuh berjumpalitan di udara, menyusul kemudian ia merasakan badannya seakan-akan sedang meluncur jatuh ke bawah dengan kecepatan luar biasa. “Habis sudah riwayatku kali ini!” pekiknya diam-diam. Dia sadar bahwa tubuhnya yang besar itu sedang terjerumus ke dalam sebuah liang yang tak diketahui berapa dalamnya. Ku See-hong menggerakkan tangannya kesana kemari secara ngawur dengan maksud mencari pegangan, tapi usahanya selalu gagal, maka akhirnya ia memperdengarkan jeritan anehnya yang memekakkan telinga. Inilah jeritan atau rontaan terakhir dari seseorang menjelang datangnya elmaut. Daya luncur tubuhnya serta deruan angin yang terpancar keluar membuat kesadaran pemuda itu lambat laun menjadi makin kabur. Tapi jeritan kesakitan yang keras itu masih berkumandang keluar dari mulutnya. “Blaaamm…!” satu benturan nyaring menggema di udara. Ku See-hong merasakan tubuhnya terjatuh di atas sebuah benda yang lunak sekali. 21
Dalam sekejap mata tubuhnya seakan-akan dikurung oleh banyak sekali benang yang tipis tapi kuat. Dia bagaikan seekor ikan besar yang terjebak di dalam jala, mau berkutik pun tak ada gunanya. Rasa kaget yang luar biasa tadi sesungguhnya membuat kesadarannya hampir punah. Tapi sekarang, setelah dia tidak
mendengar lagi suaranya deruan angin yang tajam itu, maka matanya pelan-pelan dipentangkan kembali. Pemandangan pertama yang masuk dalam pandangannya adalah tubuh sendiri yang terkurung di dalam jaring raksasa itu. Hampir saja dia tidak percaya kalau dirinya masih hidup, tapi ketika rasa girang itu meluap dalam hati, rasa sakit dan sedih menyelimuti pula benaknya. Betul dia berhasil lolos dari cengkeraman tengkorak-tengkorak hidup itu, tapi ia toh akan mati kelaparan juga dalam jaring ini? Dengan sorot matanya yang tajam Ku See-hong mencoba untuk mengawasi ruang bawah tanah yang aneh itu. Butiran permata kelihatan berhamburan di atas dinding batu di sekeliling tempat itu, cahaya tajam yang berkilauan itu membuat benda dalam ruang bawah tanah itu dapat terlihat jelas. Diam-diam ia menghela napas panjang sehabis melihat kesemuanya itu, dia tak menyangka kalau di dunia ini masih terdapat banyak sekali keanehan yang mencengangkan hati. Kiranya ruang bawah tanah di mana ia berada sekarang mempunyai kedalaman kira-kira lima-enampuluh kaki sehingga bentuknya persis seperti sebuah sumur kuno yang sangat besar. Jaring yang menjaring tubuhnya sekarang tergantung pada ketinggian kurang lebih sepuluh kaki dari permukaan tanah. Sedangkan jala raksasa itu sendiri tergantung pada tiga batang tiang besi yang masing-masing lima kaki tingginya. Tiang tersebut dibuatnya sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk mengembang-kempiskan jala di bawahnya. 22
Pada dasar ruang bawah tanah itu terdapat sebuah sumur kuno berwarna hitam yang satu kaki luasnya. Letak sumur itu persis di bawah jala raksasa itu. Ketika Ku See-hong mengawasi bagian yang lain, maka tanpa sadar dia menjerit kaget. Apa yang sesungguhnya dia saksikan? Di sudut lain dari ruang
bawah tanah itu tergeletak tulang tengkorak manusia yang berserakan di mana-mana. Dengan suara pedih ia lantas bergumam seorang diri: “Aaai …. Lewat beberapa hari lagi tentu aku pun akan berubah menjadi sesosok tengkorak seperti itu.” Teringat akan kematian, tanpa terasa beberapa titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya. Ia bukan takut mati, tapi merasa sedih karena setelah mati, sudah pasti dendam berdarah ayah-ibunya tak akan terbalas lagi. Tapi berada dalam keadaan demikian, apa pula yang bisa dia lakukan? Menjerit kepada langit, langit tidak menjawab berteriak ke bumi, bumi tiada berpintu, terpaksa dia harus berdiam diri untuk menunggu datangnya maut yang akan merenggut nyawanya. Suasana keheningan dan kesepian mencekam seluruh ruangan bawah tanah. Dalam keadaan sunyi senyap begini, dia merasakan kesedihan, ketakutan dan kengerian. Kini Ku See-hong mulai merasa agak mendendam terhadap manusia aneh yang berada dalam kuil itu, ia menganggap manusia aneh tersebut terlalu keji, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Tapi berpikir lebih jauh, tanpa terasa dia harus menegur pula kepada diri sendiri: “Semua kejadian ini toh berlangsung karena kesalahanku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan cianpwe yang berada dalam kuil ini? Dia kan bersemedi dan mengasingkan diri di dalam kuilnya, tak pernah melakukan kepada orang luar, sedangkan di depan kuil pun sudah tertera tulisan – Siapa berani masuk bakal mampus? Aku 23
sudah tahu barang siapa masuk ke dalam kuil ini pasti akan mati, tapi nyatanya aku nekad masuk juga. Lantas kalau bukan diri sendiri yang disalahkan, apakah orang lain yang musti disalahkan?” Setelah berhenti sejenak, gumamnya lebih jauh: “Aaaai , yang lebih menggemaskan adalah ketidak-becusanku
sendiri, mana tak punya ilmu silat yang lihay, dendam berdarah sedalam lautan tak bisa dibalas lagi.” Ku See-hong yang sedang bergumam dan menyesal kepada diri sendiri itu sama sekali tidak menyangka kalau waktu itu ada sepasang mata yang cekung lagi mengawasi gerak-geriknya dari balik kegelapan sana. Terdengar Ku See-hong sekali lagi menghela napas pedih, gumamnya lebih jauh: “Menurut pendapatku locianpwe yang tinggal dalam kuil ini bisa berwatak begitu aneh dan dingin tak berperasaan pasti disebabkan ia mempunyai pengalaman lagi yang demikian memedihkan hatinya sehingga dia merasa putus harapan. Aaai , apalagi kalau kudengar suara nyanyiannya yang begitu memedihkan hati, meski aku masih belum memahami bait lagunya, tapi aku tahu bait tersebut pasti merupakan suatu nyanyian yang sangat meremukkan perasaan.” Setelah berhenti sebentar, mencorong sinar aneh dari balik mata Ku See-hong, katanya lebih jauh, “Mungkin cianpwe ini seperti pula aku, mempunyai dendam kesumat yang lebih dalam dari samudra.” Sesudah mengerutkan dahinya, sekali lagi dia menghela napas panjang. “Aaaai… andaikata ia dapat menyelamatkan jiwaku dan mengajarkan ilmu silat kepadaku. Thian di atas dan hati sanubariku sebagai saksi, aku Ku See-hong pasti akan menyelesaikan keinginan hatinya….” Bergumam sampai di situ, Ku See-hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali. 24
“Tidak, tidak. Sudah pasti persoalannya tidak menyangkut masalah dendam sakit hati,” katanya kembali, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, siapakah yang sanggup melawan kehebatan dari locianpwe ini? Seandainya ia mempunyai musuh, sudah pasti musuh-musuhnya itu sudah habis semua terbunuh olehnya….” Sewaktu Ku See-hong bergumam sampai di situ, sepasang sorot mata bercahaya hijau yang berada di balik kegelapan itu kembali menatapnya tajam-tajam, sedangkan dalam hati kecilnya dia berpikir:
“Dugaan bocah itu tepat sekali, siapakah manusia di dalam dunia persilatan dewasa ini yang berani mengganggu seujung rambut lohu? Aaaai , tapi….” Manusia di balik kegelapan itu kembali melenyapkan diri tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Sementara itu Ku See-hong masih duduk termangu-mangu seperti orang bodoh, lalu sekali lagi menghela napas sedih. Akhirnya dia duduk bersila di dalam jala dan mengatur pernapasan. Rasa ketakutan yang menterornya semalaman membuat pemuda itu merasa sedemikian penatnya sehingga tanpa disadari dia telah terlelap tidur. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ku See-hong dibangunkan dari tidurnya oleh serentetan suara gemuruh yang aneh sekali. Dalam kejut dan terkesiapnya, buru-buru Ku See-hong bangun berduduk, kemudian mengawasi sekeliling tempat itu dengan sorot mata tajam. Akan tetapi tiada sesuatu keanehan yang berhasil dijumpainya. Tapi suara gemuruh tersebut kian lama kian bertambah besar, suara pantulan yang dihasilkan dari dalam ruang bawah tanah itupun seakan-akan terjadi pergolakan keras yang mengakibatkan timbulnya suara deruan angin yang mirip suara guntur. Anehnya, 25
ternyata dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak terasa adanya hembusan angin. Tiba-tiba Ku See-hong menjerit kaget. Ternyata ia telah menemukan bahwa suara keras yang terdengar tadi berasal dari dalam sebuah sumur kecil di dasar ruang bawah tanah itu. Dengan wajah terkejut bercampur tercekat Ku See-hong mengawasi sumur kecil itu tanpa berkedip. Dalam pada itu suara gemuruh tersebut makin lama semakin cepat dan gencar. Ibaratnya semburan lahar di kepundan gunung berapi, menyusul kemudian terjadinya gempa hebat dalam ruangan yang membuat
segala sesuatunya bergoncang keras. Sedemikian besarnya kekuatan itu seakan-akan seluruh jagad akan menjadi musnah, begitu menggetarkan perasaan orang membuat sukma serasa terombang-ambing di tengah samudra. “Bluuup. Bluuup. Bluuup!” letupan demi letupan yang beruntun terjadi di udara. “Aaaah… suara ini adalah suara api!” pekik Ku See-hong dengan suara tertahan. “Inilah api gas dari dalam perut bumi. Aduuuh, celaka! Habis sudah riwayatku, kali ini aku pasti akan mampus dengan tubuh tak berwujud lagi.” Di tengah suara letupan demi letupan yang menggelepar di udara itulah, bagaikan sebuah gunung berapi kecil, dari balik sumur kecil itu menyembur keluar kobaran api yang menjilat-jilat setinggi enam-tujuh kaki tingginya, bahkan mengikuti suara letusan-letusan yang beruntun itu, kobaran api kian lama kian bertambah dahsyat. Ku See-hong yang berada di dalam jala ibaratnya seekor anak kijang yang dipanggang. Dia dipanggang hidup-hidup dari bawah secara keji. Sekalipun jilatan api besar itu tidak sampai membakar tubuh Ku See-hong, namun hawa panas yang luar biasa besarnya itu cukup memberikan penderitaan dan siksaan yang hebat baginya. 26
Berada dalam jala, Ku See-hong bergelindingan kesana kemari seperti monyet makan terasi, bahkan tiada hentinya memperdengarkan suara rintihan kesakitan yang hebat. Dengan sekuat tenaga Ku See-hong meronta dan menggetarkan jala itu keras-keras dengan harapan bisa merobek jala itu dan terjun ke dalam kobaran api, sehingga dapat mati dengan cepat.
Siapa tahu jala raksasa itu justru terbuat dari serat ulat sutera yang dipintal bersama emas. Meski lunak dan empuk, tapi kuatnya bukan kepalang. Sudah barang tentu harapannya tak bisa terpenuhi. Ku See-hong yang masih muda belia ini terpaksa harus menerima siksaan berat yang tak akan pernah dialami orang lain. Jilatan api yang membara menyerang dan menyengat badannya terus menerus tanpa hentinya. Tapi anehnya, kobaran api yang menyembur keluar itu demikian kerasnya sehingga sama sekali tidak mengandung asap. Kalau tidak, mungkin sedari tadi si anak muda itu sudah mati sesak oleh asap yang tebal. Kulit badan di sekujur tubuh Ku See-hong telah terpanggang sehingga berubah warnanya menjadi merah membara. Panas, perih dan sakitnya luar biasa, tapi rambut dan bajunya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hangus atau ikut terbakar. Kenyataan ini memang sedikit agak aneh. Napas Ku See-hong mulai terengah-engah, aliran darah di sekujur badannya mengalir semakin keras dan mendidih hebat. Dia bergulingan kesana kemari berusaha mengurangi penderitaannya. Tapi usaha tersebut hanya sia-sia belaka, sebab sengatan hawa panas yang menyerang badannya kian lama kian bertambah dahsyat. Kobaran api yang tak berperasaan, makin lama membara semakin dahsyat. Suhu udara makin meninggi dan hawa panas menyesakkan napas. 27
Ia sudah tidak sanggup lagi untuk merasakan penderitaan yang sedemikian hebatnya itu. Akibatnya setelah memperdengarkan jeritan ngeri yang memilukan hati semacam jeritan menjelang kematian, sekujur badannya bergulingan kesana kemari dengan
sekarat. Ku See-hong merasa darah dalam tubuhnya seakan-akan telah mongering. Sekujur tulang belulangnya seperti mau retak dan hancur berkeping-keping karena kepanasan, di sana-sini sudah mulai bermunculan bagian tubuh yang hangus dan menyiarkan bau busuk. Lama kelamaan…. Sekarang hidung Ku See-hong dengan tajam dapat mengendus bau daging yang hangus. Baunya bukan kepalang lagi, sekuat tenaga, dia bergulingan lagi kesana kemari berusaha meronta dan melepaskan diri dari siksaan, tapi lambat laun rontaannya itu makin lamban… makin lamban dan akhirnya berhenti sama sekali. Siapa tahu pada saat itulah, di kala jiwanya sudah kritis dan berada di ujung tanduk, mendadak dari sumur kecil itu meledakkan segumpal kobaran api yang maha besar, menyusul kemudian di ringi serangkaian suara gemerutukan, jilatan api panas itu lenyap tak berbekas dan suasana pun pulih kembali dalam keheningan. Hawa panas dalam ruang bawah tanah itupun dengan cepat membuyar kemana-mana, dalam waktu singkat suasana seram kembali menyelimuti sekeliling tempat itu. Dada Ku See-hong naik turun tiada hentinya. Sepasang matanya menjadi merah membara, mulutnya memperdengarkan suara rintihan kesakitan, sedang kesadaran otaknya sudah makin kabur. Dalam keadaan antara sadar dan tak sadar ini, Ku See-hong hanya bisa berpikir di hati: “Oooh, Thian, mengapa Kau tidak cepat-cepat biarkan aku mati saja? Mengapa Kau harus menggunakan cara sekeji ini untuk menyiksa diriku? Apakah nyawaku benar-benar sedemikian tidak berharganya…?” 28
Tiba-tiba telinga Ku See-hong mendengar suara mengalirnya air.
Dengan cekatan dia meronta dan bangun berduduk. Dengan sorot mata ngeri diawasinya sumur kecil itu tak berkedip. Pada waktu inilah, jala raksasa yang mengurung Ku See-hong itu seakan-akan dikendalikan oleh seseorang. Pelan-pelan meluncur ke bawah, langsung masuk ke dalam sumur kecil itu. Ku See-hong segera tahu bahwa siksaan yang lebih keji telah berada di ambang pintu, tapi saat itu jangankan melawan, tenaga untuk meronta sudah tidak dimilikinya lagi, apalagi ia masih terkurung di dalam jala tersebut. Terpaksa dia hanya bisa pasrah, membiarkan nasib buruk macam apapun menimpa dirinya. Titik-titik air mata kembali meleleh keluar membasahi wajah pemuda itu. Kejadian mengenaskan yang pernah dialaminya di masa kecil dulu sekarang terbayang kembali dalam benaknya. Ia merasa seakan-akan menyaksikan seorang lelaki dan seorang perempuan yang bermandi darah sedang meratap, meronta di dalam neraka. “Aduuuhh…. Dingin sekali!” Ku See-hong menjerit dengan mengenaskan, sekujur badannya gemetar keras karena kesakitan. Waktu itu, jala tersebut telah diceburkan ke dalam sumur kuno yang amat dalam itu. Ternyata air dalam sumur adalah air yang dinginnya bagaikan es. Padahal kulit badan di sekujur tubuh Ku See-hong sedang merasa kesakitan hebat lantaran digarang dengan api, begitu direndam di dalam air yang dinginnya bagaikan es ini, kontan saja penderitaan yang dialaminya itu membuat dia tak sanggup menahan diri. Tragisnya jala yang tak berperasaan itu justru menyusut semakin kecil pada waktu itu. Menyusut sedemikian rupa sehingga luasnya hanya cukup bagi pemuda itu untuk berdiri kaku. Maka dari itu sekalipun Ku See-hong tak kuat menahan siksaan air dingin yang menyayat badan, ia sama sekali tak berdaya untuk meronta. 29
Lambat laun darah yang mengalir di dalam tubuh Ku See-hong
makin membeku. Sekujur tubuhnya tegak kaku dan mengeras seperti batu, napasnya semakin lirih sedangkan sorot matanya mulai kabur dan termangu-mangu seperti orang bodoh. Dia hampir mati kedinginan, untuk sesaat tubuhnya sama sekali tak mampu berkutik lagi. Di kala kesadaran Ku See-hong sudah hampir mulai punah, pelan-pelan jala raksasa dikerek naik lagi ke atas dan meninggalkan permukaan ruang bawah tanah itu setinggi sepuluh kaki. Sungguh kasihan Ku See-hong, sepasang matanya terpejam rapat-rapat, sekujur badannya kaku karena kedinginan, tubuhnya berdiri kaku tak mampu berkutik, mukanya pucat pias sama sekali tak berdarah. Keadaannya waktu itu tak jauh berbeda dengan sesosok mayat. Suasana dalam ruang bawah tanah itu pulih kembali dalam keheningan yang luar biasa, suasana seram dan menggidikkan hati mulai menyelimuti sekeliling tempat itu. Mendadak dari atas langit-langit ruang bawah tanah itu berkumandang kembali suara pekikan aneh yang menyeramkan. Suara itu bagaikan tangisan setan atau lolongan serigala, pokoknya begitu seramnya suara itu sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata. Suara pekikan itu menggetarkan seluruh ruangan bawah tanah seperti ada berpuluh ribu ekor kuda yang lari bersama saja, membuat perasaan orang tercekam dalam keadaan yang luar biasa. Menyusul pekikan nyaring itu, dari langit-langit ruang bawah tanah yang tingginya lima enam puluh kaki itu melayang turun sesosok bayangan manusia. Tubuhnya begitu enteng seperti bulu. Dengan ringannya, bagaikan sukma gentayangan dia melayang turun ke atas tiang di mana jala itu tergantung. 30
Manusia aneh bagaikan sukma gentayangan ini mempunyai rambut yang terurai awut-awutan, mukanya putih seperti mayat. Keadaannya sangat menyeramkan.
Mata kirinya cacad sebelah dan tinggal sebuah lubang yang kosong, lengan kanannya kutung, sedangkan sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah sudah membusuk dan tak karuan keadaannya, sehingga kelihatan tulang tengkoraknya yang berwarna putih. Keadaan tersebut sangat mengerikan, membuat orang menjadi tak tega untuk memandang lebih jauh. Manusia aneh itu menghembuskan napas panjang, lalu mengeluarkan tangan kirinya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu untuk menghantam pelan ke ujung tiang di ujung sebelah depan. “Pluuuk…!” benturan nyaring terjadi. Mendadak jala itu menyebar dan membentang lebar sehingga tubuuh Ku See-hong yang kaku itu terjatuh dan roboh terkapar di atas jala. Ia masih belum bisa berkutik sama sekali. Tidak Nampak gerakan apa yang digunakan tahu-tahu manusia aneh itu sudah berada di sisi Ku See-hong. Gerakan tubuhnya ibarat sukma gentayangan, membuat ia kelihatan semakin mengerikan. Pada hakekatnya belum pernah ada jago silat dalam dunia persilatan yang memiliki ilmu sakti sedahsyat itu. Dengan sebuah matanya yang hijau bercahaya, manusia aneh itu mengawasi sekejap sekujur badan Ku See-hong. Sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya yang menyeringai aneh itu. Mungkin senyuman tersebut baru pertama kali ini diperlihatkannya setelah lenyap selama berpuluh tahun lamanya. Tiba-tiba senyuman manusia aneh itu lenyap kembali, wajahnya berubah kembali menjadi dingin menyeramkan, membuat orang merasakan hatinya bergidik bila berjumpa dengannya. 31
Kemudian manusia aneh itu merentangkan kelima jari tangannya lebar-lebar. Dengan gerakan aneh secara beruntung dia totok dalam nadi penting Jin dan Tok-meh di tubuh anak muda itu. Kemudian didudukkannya Ku See-hong di atas jala. Lengan kirinya pelan-pelan diangkat dan dengan lima jari yang terbentang lebar dia ancam jalan darah Sing Cong, Leng-siu, Sin-hong, Poh-long, dan Yu-bun. Lima buah jalan darah penting di badan pemuda itu. “Sreeet… sreeet…!” Lima gulung cahaya putih memancar keluar dari ujung jari manusia aneh itu dan menyambar secara telak ke setiap jalan darah tadi. Begitu jalan darahnya terserang secara telak, sekujur badan Ku See-hong gemetar keras, tapi dengan cepat menjadi kaku kembali. Kelima jari tangan manusia aneh itu kembali beralih ke arah lima jalan darah Tong-kok, Sang-si, Im-tok, Bong-gi, Tiong-cu, lima buah jalan darah penting di bagian tubuh yang lain. “Ceeesss,” lima gulung cahaya putih kembali memancar keluar dari kelima jari tangannya dan menyambar kelima buah jalan darah tersebut secara telak. Seperti keadaannya tadi, Ku See-hong gemetar lagi beberapa kali kemudian kaku kembali seperti semula. Begitu secara beruntun manusia aneh itu melancarkan beberapa kali serangan cahaya putih dan menghajar semua jalan darah penting di sekujur badan pemuda itu. Beberapa waktu kemudian, manusia aneh itu baru bangkit berdiri, menghembuskan napas panjang dan dari dalam sakunya mengeluarkan sebutir pil berwarna merah yang dicekokkan ke dalam mulut Ku See-hong. Di kala semua pekerjaannya telah selesai, kembali manusia aneh itu berpekik nyaring, lengan kirinya berputar membentuk sebuah gerak lingkaran, lalu seperti bulu ayam badannya dengan enteng melayang kembali naik ke atas langit-langit. 32
Pada saat tubuh manusia aneh itu melayang keluar dari ruang
bawah tanah, jala raksasa tadi pelan-pelan mengecil kembali sebagaimana keadaan tadi. Tubuh Ku See-hong disekap kembali tegak lurus hingga sama sekali tak sanggup berkutik lagi. “Blaaamm…!” dari atas dinding ruangan yang licin, tiba-tiba meluncur sebatang toya besar berwarna hitam, kemudian…. “Blaaam…!” menghajar keras-keras di atas tubuh pemuda itu. “Weesss,” dari arah lain kembali muncul sebatang toya yang secara cepat dan keras menghantam pula punggung pemuda itu keras-keras. “Blaaam!” Benturan keras kembali terjadi. Namun ketika itu Ku See-hong masih belum sadar dari pingsannya, sekalipun sepasang toya itu menghajar punggungnya keras-keras, ia tidak merasakan sakit sedikitpun juga, malah sebaliknya jala raksasa yang tergantung di tengah udara itu berputar setengah lingkaran. Rupanya alat rahasia penggerak toya itu sudah dijalankan. Seperti titiran air hujan, pukulan demi pukulan berhamburan ke atas badan Ku See-hong dan menimbulkan serangkaian irama yang nyaring. Anehnya, kedua toya itu tidak menghajar di satu tempat saja, melainkan atas bawah tak menentu. Daya pukulan dari setiap pukulan toya itu kerasnya bukan kepalang, ini bisa dilihat dari desingan angin yang dibawa dalam setiap ayunan toya tersebut. Andaikata orang biasa yang termakan pukulan itu, jangan heran kalau orang itu tak akan sanggup untuk bangun lagi selamalamanya. “Aduuuhh…!” pekikan kesakitan bergema memecahkan keheningan dalam ruangan itu.
Saking sakitnya oleh pukulan toya itu, Ku See-hong sampai tersadar dari pingsannya. Padahal daging badannya yang terbakar oleh api, kemudian terendam dalam air tadi, masih sakitnya bukan 33
kepalang. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya bila dihajar kembali oleh ayunan toya yang demikian kerasnya itu. Siksaan semacam itu betul-betul kejam dan tak berperikemanusiaan. Jangankan tubuh Ku See-hong yang hanya terdiri dari darah daging, sekalipun terbuat dari baja pun lama-kelamaan tak akan tahan juga. Tak heran kalau ia menjerit-jerit kesakitan seperti babi yang mau disembelih. Tapi sekujur tubuh Ku See-hong sudah terbelenggu dalam pengepresan jala raksasa itu hingga sama sekali tak berkutik, sama sekali tak bisa meronta. Dia hanya pasrah dan membiarkan hujan toya yang tidak berperasaan itu menghajar tubuhnya habis-habisan. Jerit kesakitan dan suara pukulan toya bercampur aduk menjadi satu membentuk serangkaian irama yang aneh. Ku See-hong betulbetul tidak tahan lagi, dia mulai menjerit-jerit seperti tangisan setan di tengah malam buta. Dalam suasana hening semacam ini, teriakan-teriakan itu kedengaran mengerikan dan mendirikan bulu roma siapapun. Hampir semua kulit badannya sudah pecah dan terluka. Darah kental membasahi seluruh badan anak muda itu, kulit wajahnya mengejang keras menahan penderitaan yang luar biasa, rambutnya awut-awutan seperti setan, keadaan seperti itu tak ubahnya seperti sukam gentayangan yang baru disiksa dalam neraka. Ku See-hong menggigit bibirnya menahan semua siksaan dan penderitaan yang telah dilimpahkan Thian kepadanya itu.
Lebih kurang sepeminum teh kemudian, agaknya sepasang toya itu sudah merasa puas dengan pukulan-pukulannya. Mendadak gerak serangan itu terhenti dengan sendirinya. Begitu pukulan berhenti, jala raksasa itu pun membentang lebar. Sesudah mengalami siksaan serta hajaran setiap waktu, Ku Seehong sungguh merasakan tubuhnya lelah tak bertenaga lagi. Dengan lemas dia berbaring di atas jala sambil terengah-engah. Selang sejenak kemudian, dengan air mata bercucuran dia baru termenung sambil melamun. 34
Entah dosa besar apa yang kulakukan dalam kehidupanku di alam dunia masa lalu? Mengapa Thian telah melimpahkan siksaan ala neraka ini kepadaku? Berpikir sampai di situ ia merasa matanya berat sehingga tanpa disadarinya, dia tertidur kembali. Tapi… siapa pula yang menyangka kalau Ku See-hong ketika itu sesungguhnya sedang melatih semacam ilmu silat yang tiada keduanya di kolong langit? Untuk menjadi seorang yang sukses, bukan kecil perjuangan yang dibutuhkannya. Betul Ku See-hong mengalami siksaan dan penderitaan yang berat saat ini, … tapi hasil yang berhasil diraihnya di kemudian hari membuat ia akan merasa bahwa pengorbanannya saat itu sangat berharga sekali. Satu hari lewat tanpa terasa, di kala Ku See-hong masih terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba kembali berkumandang suara gemuruh yang sanggat mememekikkan telinga. Dengan perasaan kaget dia tersadar kembali dari tidurnya. Sesudah ada pengalaman satu kali, dia tahu bahwa tubuhnya kembali akan menerima siksaan dari semburan api dari bawah
ruangan sana. Dengan dahi berkerut tapi sinar mata memancarkan kebulatan tekadnya, sambil menggertak gigi keras dia siap menerima siksaan tersebut. Semburan api kembali memancar keluar dari dalam sumur. Kobaran api yang tak berperasaan mulai memanggang anak muda itu tanpa ampun. Tapi kali ini dia tidak menjerit-jerit lagi. Bukan berarti badannya tidak merasa sakit lagi, sebaliknya justru siksaan yang dialaminya kali ini seratus kali lipat jauh lebih dahsyat. Sebab dia tahu kalau nasibnya sudah ditetapkan demikian, kemudian pada akhirnya tak akan lolos dari kematian, jeritan-jeritan menjelang saat kematiannya hanya akan memperlihatkan kelemahan sendiri, maka dia hanya menahan penderitaan itu dengan mulut membungkam. Tak lama kemudian semburan api telah padam, menyusul air sumur yang dingin merendam sekujur badannya. Bagaimanapun 35
kerasnya watak Ku See-hong, setiap kali setelah menerima siksaaan air dingin, dia pasti jatuh tak sadarkan diri dan kedinginan sampai membeku badannya. Lalu hujan pukulan toya pun menghajar seluruh badannya sampai penuh dengan luka dan darah kental bercucuran dari manamana. Semburan api, rendaman air dan pukulan toya, tiga macam siksaan dahsyat itu hampir selama 7 hari lamanya menyiksa tubuh Ku See-hong. Setiap hari pemuda itu tentu akan merasakan satu kali kenikmatan tersebut. Ketika tujuh hari sudah lewat, keadaan Ku See-hong sudah tidak mirip dengan manusia lagi. Napasnya sangat lemah, sinar matanya pudar, sekujur badannya lemas dan tak bertenaga, dia sudah tak mampu menggunakan tenaganya lagi. Menerima siksaan api, air dan pukulan, tiga macam siksaan ala neraka ini, dia boleh dibilang hampir saja selalu tak sadarkan, bahkan nyaris tak akan bisa bangun lagi untuk selama-lamanya. -oo0dw0ooJilid: 02 SETELAH lewat tujuh hari tujuh malam, tiba-tiba Ku See-hong berangsur-berangsur menjadi sadar kembali. “Haaah!” dengan kejut bercampur keheranan dia berseru tertahan, bagaikan sedang mengigau, dia bergumam, “Kenapa aku
belum mati? Kenapa aku bisa berbaring di sini?” Ternyata ketika itu Ku See-hong sudah tidak berbaring di atas jala lagi, melainkan berbaring di atas sebuah pembaringan kuno. Dengan cepat dia melompat bangun, kemudian dengan sorot mata yang tajam dan dingin menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian gumamnya lebih jauh: 36
“Heran, bukankah badanku sudah tersiksa oleh semburan api, rendaman air dingin dan pukulan toya sehingga tidak berbentuk manusia lagi? Mengapa aku tidak merasakan kesakitan apa-apa sekarang?” Buru-buru Ku See-hong menundukkan kepalanya dan memeriksa sekujur badannya, tapi lagi-lagi dia menjerit kaget. “Mengapa sekujur badanku tidak meninggalkan bekas luka apaapa? Bahkan tampak putih bersih, dan halus? Jangan-jangan aku lagi bermimpi?” Dari balik sinar mata Ku See-hong pelan-pelan muncul sebercak sinar gembira, dia merasa gembira sekali karena dapat hidup kembali bahkan sinar kehidupannya makin lama semakin kuat. Akhirnya dia mengangkat tangan kanannya dan menampar mulutnya keras-keras untuk membuktikan bahwa apa yang dialaminya sekarang bukan berada dalam alam impian. -odwooBab 2 PLOK! Sebuah tamparan yang pelan tapi mantap membuat ujung bibirnya segera mengucurkan darah, itulah rasanya darah yang amis dan membawa rasa asin. Kesemuanya ini menunjukkan kalau dia masih hidup, tapi Ku See-hong tidak berteriak ataupun bersorak kegirangan, malah
otaknya menjadi dingin dan tenang. Otaknya berputar keras untuk menemukan alasan di mana terletak keanehan yang telah dialaminya selama ini. Mendadak…. Serentetan suara tertawa dingin yang menyeramkan dan berbunyi tinggi melengking bagaikan hembusan angin dingin dari gudang salju, berkumandang dalam ruangan itu. Menyusul kemudian, terdengar seorang berkata dengan suara yang dingin merasuk tulang: “Bocah muda, kau sudah sadar? Heehh…heehh…heehh… Kemari, sebelum meninggal lohu ada beberapa persoalan hendak disampaikan kepadamu.” 37
Ucapan itu berhawa dingin dan diucapkan sepatah demi sepatah bagaikan jeritan setan, suaranya menusuk pendengaran dan membuat bulu kuduk orang pada bangun berdiri. Sepasang sorot mata Ku See-hong yang tajam bagaikan sembilu itu segera dialihkan ke arah pintu lain dalam ruangan itu, wajahnya sama sekali tanpa emosi, sahutnya pelan: “Locianpwe, boanpwe Ku See-hong segera akan datang menjumpaimu.” Ku See-hong sudah tahu bahwa selembar jiwanya telah ditolong oleh manusia aneh dalam kuil itu, bahkan dia mengerti, semua siksaan bagaikan dalam neraka yang dialaminya tadi tak lebih hanya suatu percobaan yang diberikan manusia aneh itu kepadanya. Maka dia tidak membenci manusia aneh itu, dia hanya merasa watak manusia aneh itu sedemikian anehnya sehingga agak rahasia dan misterius.
Dari balik ruangan kembali terdengar suara manusia aneh itu bergema, tapi suaranya masih begitu dingin bagaikan es dan sama sekali tidak membawa nada manusia. “Bocah cilik. Ehmm… Ku See-hong, kau adalah satu-satunya manusia dalam dunia dewasa ini yang bisa bertemu muka dengan lohu, untuk ini kau bisa merasa amat bangga.” Mendengar ucapan tersebut, Ku See-hong mengernyitkan alis matanya, ia merasa ucapan manusia aneh itu terlampau latah dan angkuh, dengan nada tak puas segera serunya: “Locianpwe, sewaktu kau masih berkelana di dalam dunia persilatan, apakah belum pernah ada orang yang bisa berjumpa denganmu?” Tiba-tiba manusia aneh itu memperdengarkan suara tertawa panjangnya yang mengerikan. Suara itu tinggi melengking dan memekikkan telinga membuat pemuda itu merasakan badannya gemetar karena kaget. Selesai tertawa dengan suara dingin menyeramkan orang itu berkata lagi, 38
“Semenjak kematian lohu pada dua puluh tahun berselang, belum pernah ada orang yang bisa bertemu muka lagi dengan lohu.” Mendengar ucapan tersebut, kontan saja bulu kuduk Ku Seehong pada berdiri semua, bila ucapannya benar, bukankah berarti manusia aneh itu adalah sukma gentayangan atau sebangsa manusia halus? Mungkin benar demikian, sebab ucapannya juga terasa bukan suara manusia biasa. Tanpa terasa Ku See-hong terbayang kembali akan tengkoraktengkorak hidup yang berada dalam Pek Kut Yu Hun itu. Rasa kaget dan ngeri
segera berkecamuk dalam dadanya, tanpa terasa sepasang kaki dan sekujur badannya menggigil keras. “Hmm… Manusia yang tak becus,” damprat manusia aneh itu dengan suara dingin, “Apakah bedanya antara manusia dan setan? Coba lihat begitu ketakutannya kau mendengar perkataanku barusan, bagaimana mungkin kau bisa membalaskan sakit hati ayah-ibu-mu?” Dampratan tersebut ibaratnya suara Guntur yang menggelegar di siang hari bolong. Seketika itu juga membuat Ku See-hong tertegun dan menjadi malu sendiri. Tanpa memperdulikan lagi apakah orang itu manusia atau setan, dengan cepat dia menyelinap ke dalam ruangan itu seraya berseru, “Locianpwe… Ku See-hong akan datang!” “Kreeekk… kreeekk…” suara pintu yang nyaring menggema memecahkan keheningan. Dengan sorot mata tajam Ku See-hong dapat memandang ke dalam sana, dengan cepat (matanya)menangkap (satu) kaki yang tinggal tulang kerangka berwarna putih itu. Tak terlukiskan rasa terkejutnya pemuda itu… pelan-pelan sorot matanya dialihkan ke atas, dengan cepat dia menangkap seraut wajah yang menyeringai mengerikan. 39
Waktu itu, manusia aneh tersebut sedang mementangkan mulutnya sambil mengerutkan kulit wajahnya, kemudian, “Heeehh… heehh…” memperlihatkan senyumnya yang mengerikan. Bagaimanapun besarnya nyali Ku See-hong, tak urung bergidik juga hatinya setelah menyaksikan tampang (wajah) itu. Seluruh badannya kembali gemetar keras, rasa kaget, gugup dan tegang segera menyelimuti wajahnya yang tampan itu. Meski demikian, dia enggan untuk memperlihatkan rasa takutnya di hadapan orang itu. Dengan langkah lebar ia berjalan ke dalam ruangan, menjura seraya berkata nyaring: “Boanpwe Ku See-hong, datang menghunjuk hormat buat
cianpwe.” Sehabis berkata, dia lantas bertekuk pinggang dan menjura dalam-dalam kepada orang itu. Suara pembicaraan manusia aneh itu berubah menjadi agak halus dan hangat, pujinya: “Punya nyali. Benar-benar punya nyali…. Tidak malu untuk menjadi pemegang pucuk pimpinan dalam dunia persilatan pada masa mendatang….” Ku See-hong merasa amat terkejut mendengar ucapan tersebut, sebab dari balik perkataan manusia aneh itu, lamat-lamat dia dapat menangkap maksud yang lebih mendalam lagi di balik perkataan itu. Bukankah dia mengartikan bahwa selanjutnya dialah yang akan menentukan mati hidup orang-orang persilatan…? Waktu itu, di hati kecil Ku See-hong sudah tidak tercekam oleh perasaan takut lagi, dengan hormat ia berkata: “Cianpwe terlalu memuji, boanpwe tak berani untuk menerimanya.” Manusia aneh itu mendengus dingin, “Hmmm…. Kau adalah satu-satunya manusia yang pernah kupuji sepanjang hidupku, apakah kau masih belum puas…?” katanya dingin, “Untuk sementara waktu, duduk dulu di atas bangku itu….” 40
Ku See-hong berpaling mengikuti arah yang ditunjuk manusia
aneh itu, tapi ketika sorot matanya menangkap benda yang dimaksudkan, ia menjadi melongo. Yaa, kursi apaan itu? Pada hakekatnya tidak lebih adalah suatu benda berbentuk segi empat yang terdiri dari tumpukan tulang tengkorak manusia. Tapi Ku See-hong tidak menjerit, wajahnya juga tidak menunjukkan sikap aneh, malah dengan berlapang dada segera duduk di atas tengkorak kepala manusia itu. Dengan cepat ia merasakan munculnya segulung hawa dingin yang sangat aneh muncul dari atas tulang tengkorak itu dan langsung menyergap ke atas ubun-ubunnya. Ini, membuat seluruh badannya menjadi kedinginan setengah mati. Tapi aneh sekali…. Tiba-tiba Ku See-hong merasakan timbulnya segulung hawa aliran panas dari dalam pusarnya dan langsung menyusup ke seluruh bagian tubuhnya itu. Dalam waktu singkat hawa dingin yang menyusup masuk lewat pantatnya tadi dapat teratasi, bahkan hawa dingin itu segera menjadi lenyap tak berbekas. Menerang sinar hijau dari balik mata si manusia bermata tunggal itu. Diawasinya semua perubahan pada diri Ku See-hong tanpa berkedip, kemudian kepalanya manggut-manggut berulang kali. Tapi pada saat itulah, di atas pantat Ku See-hong tiba-tiba terjadi lagi suatu perubahan yang sangat aneh. Sekarang dia merasa seakan-akan sedang duduk di atas pelat besi yang sedang panas membara. Sekujur tubuhnya gemetar keras, hawa darah dalam tubuhnya mendidih dan bergolak keras, seakan-akan sedang digarang oleh semburan api saja. Tersiksanya bukan kepalang…. 41
Ku See-hong tahu, dia sedang dicoba oleh manusia keji itu,
mengapa pula dia harus memperlihatkan rasa ketakutannya. Karena itu sambil berusaha keras menahan penderitaan yang luar biasa, ia tetap duduk di situ sambil menahan diri. Dalam waktu singkat sekujur badannya sudah basah kuyub bermandikan keringat. Di kala Ku See-hong sudah mulai merasa hampir tidak tahan oleh serangan hawa panas yang menyerang datang secara gencar itu, suatu kejadian aneh tiba-tiba kembali terjadi. Mendadak Ku See-hong merasakan mengalir keluarnya segulung hawa dingin bagaikan es dari dalam pusarnya dan secepat kilat mengalir ke seluruh bagian tubuhnya. Dengan munculnya hawa dingin itu, dengan cepat dia merasakan betapa hawa panas yang meyiksa tubuhnya tadi tersapu lenyap hingga tak berbekas. Kini badannya menjadi segar dan nyaman kembali. Mimpipun Ku See-hong tidak menyangka kalau di dalam pusarnya telah terdapat dua macam tenaga aliran yang sama sekali berlawanan. Diam-diam Ku See-hong menghela napas panjang, hampir tertegun pemuda itu karena menghadapi keanehan yang tak terduga tersebut. Tiba-tiba … manusia aneh itu membentak keras, tangan kirinya yang kurus kering itu terayun ke depan dan secara beruntun melepas tiga buah serangan berantai ke tubuh pemuda itu. Di mana serangan itu dilancarkan, gulungan hawa pukulan yang sangat dahsyat segera menghembus kencang di dalam ruangan itu. Bagaikan bukit karang yang berguguran, angin puyuh yang mahadahsyat itu dengan cepat menggulung ke atas badan Ku Seehong. Sedemikian dahsyatnya tenaga serangan ini. Seakan-akan dunia mau kiamat saja rasanya. Menghadapi serangan yang demikian gencarnya itu, paras muka Ku See-hong segera berubah hebat. Dia tidak mengira kalau manusia aneh itu bakal melancarkan serangan mematikan ke arahnya, apalagi setelah menyaksikan tenaga serangan orang yang 42
begitu kencang bagaikan sebuah jala besar yang menggulung tiba dari empat arah
delapan penjuru itu. Hampir pecah nyali anak muda tersebut. “Habis sudah riwayatku! Habis sudah riwayatku!” pekik Ku Seehong di dalam hatinya “… tak kusangka setelah berhasil lolos dari siksaan api, air dingin dan pukulan toya, akhirnya aku toh akan mati pula di ujung tangan manusia aneh yang keji ini.” Beberapa titik air mata tanpa terasa bercucuran keluar membasahi pipinya. Pemuda itu tidak meronta, tidak pula menghindar, dia hanya memejamkan matanya, pasrah kepada nasib. Padahal sekalipun dia ingin menghi