ntu kelak dia akan menjadi seorang pendekar pedang wanita yang cemerlang." "Kalau begitu marilah kita lekas tinggalkan tempat ini. Kalau sebelum terang tanah kita dapat mencapai tempat penyeberangan di Dairen, kemungkinan kita akan dapat berjumpa dengan Hun Ho sian-tiang bersama ketika koko-ku," Mo Lan Hwa juga gembira. Demikian mereka segera beramai-ramai turun gunung, Ternyata kuda dari kelima nyonya menantu keluarga Tio ditambatkan di hutan. Kesepuluh orang itu segera naik kuda menuju ke sebuah desa yang terletak sepuluh li jauhnya. Saat itu hampir menjelang dinihari, Ayam mulai berkokok bersahut-sahutan. Cepat sekali mereka tiba di desa itu. Hanya Tek Cun dan Thiat-lo-han yang masuk ke desa, sedang yang lain menunggu diluar desa. "Jit moay." kata Toa-soh kepada Tio Li Kun. "mamah sudah rindu dengan Ngo-te, setelah urusan disini selesai, suruhlah dia pulang." Tetapi Tio Li Kun mengatakan sebaiknya toa-sohnya itu mengatakan sendiri kepada Ngo-ko atau si Thiat-lo-han. Gin Liong merasa tak enak dalam hati. Adalah karena urusannya sampai merepotkan sekian banyak orang. Andaikata ia tak berjumpa dengan Mo Lan Hwa tentu saat itu ia sudah dapat menyusul Ban-hong liong-li. Melihat wajah pemuda itu mengerut, kedua gadis cantik. Mo Lan Hwa dan Tio Li Cun, serempak bertanya: "Adik Liong, apakah ada suatu yang hendak engkau katakan?" Dengan terbata-bata Gin Liong menjawab: "Kurasa urusan ini memang sudah selesai, Karena urusanku.... sesungguhnya tak harus membikin repot saudara2 sekalian...." Mendengar itu kelima ensoh segera menghampiri dan toasoh pun serentak berkata: "Liong-te, engkau adalah adik kami yang paling bungsu. Sudah seharusnya kami membantumu. Apalagi mamah tak tega kalau engkau berkelana seorang diri." Tengah mereka bicara dari arah desa tampak Tek Cun dan Thiat-lo-han mengendarai kuda dengan diikuti oleh ketiga ekor kuda yakni kuda hitam bulu
mulus, kuda hitam berkaki putih dan kuda Siau-pik milik Tio Li Kun. "Hayo, kita lekas berangkat!" teriak si limbung Thiat-lo-han dengan bersemangat. Toa-soh tertawa, serunya: "Aya, sudahlah, jangan mengurusi mereka, Mari kita pulang..." Thiat-lo-han terbelalak dan menggerung: "Siapa yang suruh ?" "Mamah !" Thiat-lo-han lemas seperti gelembung karet yang habis anginnya, ia memandang Gin Liong, Mo Lan Hwa, Tio Li Kun dan Tek Cun dengan pandang kecewa. Kelima pemuda itu segera naik kuda dan berseru: "Ngo-ko dan kelima ensoh, selamat tinggal." Demikian mereka segera mencongklangkan kudanya dan tak sampai sejam kemudian tibalah di kota penyeberangan. Begitu masuk ke kota, Mo Lan Hwa pun menjerit kaget seraya menunjuk kesebatang pohon besar: "Ah, lo-koko sudah tiba disini." Memang pada pohon itu terukir sebuah lukisan pipa emas, Segera mereka menuju ke selatan. Di tempat penyeberangan penuh orang, Barang2 menumpuk di tepi laut, Di tengah laut tampak beberapa kapal dan perahu2. Pada tumpukan peti setinggi tujuh tombak Gin Liong melihat sebuah lukisan pipa yang menghadap ke arah selatan. "Ah, rupanya lo-koko sekalian sudah datang dan sudah menyeberangi lautan." katanya. Mo Lan Hwa bersungut-sungut: "Mengapa mereka tak mau menunggu kita?" Tek Cun mengatakan hendak menyewa sebuah perahu besar karena hari itu anginnya besar. Tetapi Gin Liong mencegahnya, ia mengatakan hendak menyelidiki ke dalam kota dulu barangkali ada Ban Hong liong-li. Bahkan mungkin ketiga suheng dari Mo Lan Hwa. Mo Lan Hwa juga mempunyai pikiran begitu. ia mengusulkan akan pergi bersama Tio Li Kun kedalam kota sedang Gin Liong yang melakukan penyelidikan disekitar tempat penyeberangan. "Dan engkoh Tek Cun yang menyewa perahu." katanya, "dengan begitu kita dapat menghemat waktu. Mendengar si cantik menyebutnya "engkoh Tek Cun" diam2 Tek Cun girang sekali.
Demikian mereka segera membagi tugas, Dengan naik kuda bulu hitam, Gin Liong menuju ke tempat penyeberangan. Tiba2 ia mendengar orang ramai membicarakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Pusaka dunia persilatan hanya layak berada di tangan orang yang berbudi luhur. Orang tua yang tangannya berlumuran darah semacam itu, tak seharusnya memiliki cermin pusaka Te-kin . ." Gin Liong terkejut Ketika memandang dengan seksama ia melihat enam orang persilatan dengan pakaian ringkas dan membekal senjata tengah mengobrol. Yang bicara adalah seorang tua berumur lima puluhan tahun. Kawannya yang beralis tebal berseru dengan suara nyaring: "Belum satu bulan saja sudah berpuluh-puluh jago silat baik dari aliran Hitam maupun Putih yang mati di tangan orangg tua itu. Kabarnya di Tay sik-kiau dia telah membunuh tokoh Bu Tim cinjin dari partai Kiong-lay-pay dan sepasang tokoh Busiang-kiam dari partai Kong-tong-pay." Gin Liong terkejut entah apakah Ma Toa Kong masih berada di Tay-sik-kiau. Kalau dia juga sudah mati, bagaimana keadaan gua Thian-kiu jiok baru dapat ia ketahui setelah ia pulang ke kuil Leng-hun-si. Lanjutkan perjalanan kemuka, dari kerumunan orang di sebelah kiri, tampak beberapa orang persilatan juga tengah membicarakan tentang orang tua yang membawa cermin pusaka itu. "Orang tua itu sering berpindah tempat, entah apakah maksudnya?" kata seorang lelaki pertengahan umur yang menyanggul pedang. "Dua hari dua malam meninggalkan Tay-sik-kiau dia lalu lari ke gunung Hok-san diseberang laut ini." Memang Gin Liong sendiri juga heran. Siapakah sesungguhnya orang tua bertubuh kurus itu? Apakah dia memang hendak mencuri pusaka ataukah hanya hendak mempermain-mainkan orang persilatan saja? Seorang tua berambut putih berkata: "Soal ini memang sudah menarik perhatian para ketua partai persilatan. Mereka pun telah mengirim para ko-jiu (jago sakti) untuk mengikuti jejak orang tua itu dan menyelidikinya. Kabarnya Tujuh-tokohaneh-dari-dunia (Ih-lwe-jit-ki) yang sudah lama tak muncul di dunia persilatan, juga
diam2 ikut campur dalam peristiwa itu." Makin tergerak hati Gin Liong, Pikirnya, apakah bukan karena orang tua pembawa cermin pusaka itu maka lo-koko Hok To Beng bergegas menyeberangi laut ini? Tiba2 terdengar suara kuda meringkik. Ternyata Tek Cun dengan mengendarai kuda bulu coklat tengah mendatangi. Karena sampai sekian lama tak memperoleh keterangan tentang Hun Ho sian-tiang dan Ban Hong liong-li. akhirnya Gin Liong pun tinggalkan tempat itu dan larikan kudanya menyongsong Tek Cun. Saat itu kedua gadis Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun pun juga muncul dan mendatangi. "Memang benar, tua-suheng bersama kedua lo-koko sudah melintasi laut," seru Mo Lan Hwa agak gopoh, "dan menurut keterangan seorang jongos hotel, memang ada seorang wanita muda cantik lewat dimuka hotel terus menuju ke tempat penyeberangan Wanita itu tidak singgah makan. Entah apakah dia Ban Hong locianpwe atau bukan ?" "Ya, ya, memang Ban Hong locianpwe," kata Gin Liong, "ah, tak kira dia begitu cepat sekali Kemungkinan dia menempuh perjalanan siang malam untuk pulang ke daerah Biau." Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun menghibur pemuda itu supaya tak perlu cemas, Tentu mereka akan dapat menyusul Ban Hong liong-li. Ternyata Tek Cun sudah dapat menyewa sebuah perahu besar yang lengkap menyediakan makanan dan minuman. Anak perahu memandang sepasang muda mudi itu dengan rasa kagum. Tak lama seorang tua berambut putih bergegas keluar dari pintu ruang perahu dan mempersilahkan keempat anak muda itu naik. Keadaan perahu itu amat bersih, Juga makanan yang dihidangkan cukup lezat, Setelah makan mereka mandi lalu masing2 masuk kedalam kamar untuk beristirahat. Walaupun berbaring ditempat tidur tetapi Gin Liong tak dapat tidur, ia masih memikirkan su-moaynya. walaupun sudah ditolong oleh Hun Ho sian-tiang tetapi untuk mengambil dan mengantarkannya, tentu makan waktu. Hal itu berarti harus mempertangguhkan perjalanan untuk menyusul Ban Hong liong-li. Pada malam hari, angin bertambah kencang sehingga perahu agak bergoncang
keras, Gelombang mendampar hampir masuk kegeladak perahu. Gin Liong bangun dan melakukan pernapasan. Ternyata ia merasa sehat tak sampai mabuk laut, Tetapi dari kamar sebelah ia mendengar suara orang merintih. Cepat ia keluar dari kamar dan ternyata Tio Li Kun yang mengeluarkan suara rintihan sakit itu. ia hendak masuk tetapi agak ragu, Lebih baik ia meminta Mo Lan Hwa saja yang masuk, tetapi berulang kali dipanggil, Mo Lan Hwa tetap tak menyahut, kamarnya sunyi senyap. Mencari ke kamar lain, ternyata Tek Cun juga tak ada, pada hal Li Kun makin merintih keras, akhirnya terpaksa Gin Liong memberanikan diri masuk. "Cici, engkau kenapa?" tegurnya. Melihat Gin Liong, diam2 berdeburlah hati si jelita, wajahnya yang pucat bertebar warna merah "Ah, tak apa2...." katanya, lalu berusaha duduk. "Cici tak enak badan, tak perlu duduk," Gin Liong mencegahnya. Si jelita membuka sepasang matanya yang indah dan menatap Gin Liong dengan gelengkan kepala: "Aku hanya merasa pening dan ingin muntah...." Tiba2 kata2 Li Kun itu terputus oleh setiup gelombang besar yang mendampar perahu. Perahu oleng dan Li Kun pun sampai terperosok jatuh ke lantai. Gin Liong terkejut, Cepat ia memeluk tubuh jelita itu, ia dapatkan tubuh Li Kun lemas sekali seperti tak bertulang. Diluar dugaan, kedua tangannya yang memeluk tubuh Li Kun itu tepat menjamah dibagian dada si jelita. Gin Liong seperti terbang semangatnya. "Cici, engkau bagaimana?" tegurnya, Tetapi jelita itu diam saja, Ketika memandang kebawah ternyata mata Li Kun mengatup rapat, mulut yang mungil dan sepasang alisnya yang melengkung bagai bulan tanggal satu, makin mempercantik wajahnya yang saat itu seperti orang tidur. Gin Liong makin bingung, ia kira Li Kun tentu pingsan. Terpaksa ia lekatkan telinganya ke hidung si jelita, Ternyata pernapasan Li Kun kedengaran lemah, Bibirnya merekah merah, pipinya yang halus menyiarkan bau harum, menampar hidung Gin Liong. Rambut yang indah, bertebaran hinggap di pipi Gin Liong sehingga membuat
pemuda itu benar2 terbang semangatnya, jantungnya mendebur keras, darah tersirap serasa berhenti Kedua tangan yang memeluk tubuh jelita itupun gemetar. Memandang wajah si nona, tampak jelita itu makin cantik, Serentak terbayang, bagaimana mesra sekali Tio Li Kun bersikap kepadanya, betapa cantiklah gadis itu sesungguhnya . . . Tiba2 terlintas wajah Ki Yok Lan pada pelupuknya, Gin Liong pun tergetar hatinya, Dan serentak itu iapun segera malu dalam hati, semangatnya tenang kembali. Segera ia meletakkan Tio Li Kun keatas ranjang pula.
Lembah sempit Tiba2 si jelita mengerang pelahan dan memeluk Gin Liong, lalu susupkan kepalanya kedada pemuda itu dan terisak-isak. Sudah tentu Gin Liong makin gugup. ia belas memeluk Li Kun dan duduk disampingnya. "Cici, engkau...?" serunya tetapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya. "Adik Liong..." hanya sepatah kata yang Li Kun dapat mengatakan karena ia terus memeluk pemuda itu makin erat. Gin Liong makin resah, Bukan ia tak tahu bagaimana perasaan si jelita kepadanya, tetapi bayangan sumoaynya yang halus pendiam bagai seorang dewi, selalu memenuhi kalbunya, Tak pernah sedetik pun ia dapat melupakan. Apalagi suhunya pernah memberi pesan bahwa asal usul Ki Yok Lan itu sangat menyedihkan sekali maka Gin Liong supaya berusaha melindunginya. Begitu pula berulang kali suhunya secara halus memberi petunjuk kepada Ki Yok Lan bahwa hendaknya Ki Yok Lan kelak dapat menganggap sebagai suami isteri dengan Gin Liong. Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Gin Liong, ia menunduk memandang wajah Tio Li Kun Tampak wajah jelita itu berlinang air mata sehingga menimbulkan rasa sayang, Tanpa terasa Gin Liong segera mengusap air mata nona itu, Tetapi air mata sijelita laksana sumber air yang terus menumpah tak henti-hentinya. Saat itu pikiran Gin Liong sudah sadar, ia tak boleh menyiksa perasaan Li Kun lebih
lanjut. Tetapi ia tak sampai hati untuk menolaknya secara getas, ia tak ingin menjadi pembunuh hati anak gadis. Akhirnya ia memutuskan hendak memberi penjelasan secara halus, Bahwa ia sangat mengindahkan Tio Li Kun tetapi terpaksa tak dapat menerima cintanya, Pada saat dia hendak mengatakan tiba2 ia kehilangan faham tak tahu bagaimana harus memulai. Tetapi pada saat itu Tio Li Kun sudah tak kuat menahan gejolak hatinya . . Pelahanlahan ia ajukan kepalanya, menyongsongkan sepasang bibir yang semerah bunga mawar. Gin Liong gugup: "Cici, jangan . . " Tiba2 mulut Gin Liong tak dapat melanjutkan kata2 karena mulutnya tertutup oleh sepasang bibir si jelita, semangat Gin Liong serasa terbang melayang-layang ke suatu alam yang belum pernah ia nikmati sepanjang hidupnya. Demikian sepasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara itu telah terbuai dalam lautan sari madu, Keduanya telah tenggelam kedasarnya.... Badai dan gelombang masih mengamuk dilautan. Bahkan makin dahsyat, sedahsyat itu pula badai yang melanda kehangatan cinta dan kedua muda mudi itu. Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar suara helaan napas, Gin Liong terkejut, Segera ia meletakkan tubuh Li Kun terus loncat keluar ruang. Tetapi kehadaan di perahu itu tetap sunyi senyap Kamar Mo Lan Hwa dan Tek Cun tetap kosong tiada orangnya. Gin Liong terus menuju kegeladak, Tiba2 ia hentikan langkah dan merapat pada papan. ia melihat Mo Lan Hwa dan Tek Cun berdiri pada pintu ruang perahu dan tengah memandang ke laut, Tek Cun kerutkan alis dan menengadah memandang kelangit. Tiba2 kedengaran Mo Lan Hwa menghela napas serunya rawan: "Engkoh Tek Cun, harap jangan bersedih Mo Lan Hwa takkan melupakan perasaan hatimu yang tertumpah kepadaku, Sejak saat ini aku pasti akan menganggapmu sebagai engkohku sendiri." Tek Cun juga menghela napas. "Kuharap engkaupun jangan bersedih. Kurasa Liong-te pasti akan mencintaimu
dengan segenap hati." Mo Lan Hwa gelengkan kepala. "Ah, tak mungkin, Dalam pandangannya, aku ini seorang gadis yang manja dan liar, Kesan yang kuberikan kepadanya memang kurang baik", katanya. "Sekarang adalah karena aku maka nona Ki sampai menderita kesulitan, Adik Liong tentu akan membenciku. Engkoh Cun, apakah engkau tak memperhatikan betapa dingin sikapnya kepadaku?" Air mata bercucuran membasahi pipi Mo Lan Hwa. "Jangan engkau berbanyak hati". kata Tek Cun, "saat ini dia sedang gelisah memikirkan keselamatan sumoaynya. Apabila nona Ki sudah dapat diketemukan dan sudah memperoleh keterangan dari Ban Hong liong-li cianpwe serta menghimpaskan dendam kematian suhunya, dia pasti akan memperhatikan engkau." "Setelah ia berhasil membalas sakit hati suhunya, aku akan segera meninggalkannya dan mengasingkan diri di sebuah kuil dipegunungan sunyi. Seumur hidup aku akan mengabdi Buddha sampai pada akhir hayatku.." Mendengar kata2 itu Tek Cun ikut terharu dan tak dapat mengeluarkan kata2 lagi, ia lalu mengajak jelita itu masuk. Gin Liong terkejut. Cepat ia masuk kedalam kamar dan terus rebah di tempat tidur, Benar2 dia seperti orang yang kehilangan diri, Mo Lan Hwa mencintainya dengan segenap jiwa raga,Tio Li Kun telah menyerahkan kehangatan bibirnya dan Ki Yok Lan tetap menunggunya dengan penuh harapan. ia benar2 bingung, Bagaimana nanti kalau ia berjumpa dengan Ki Yok Lan. Entah selang berapa lama, ia mendengar derap langkah orang di geladak, Ah, ternyata hari sudah pagi, Anak buah perahu sibuk melakukan pekerjaannya. Tek Cun sudah berdiri digeladak ketika Gin Liong keluar Tak lama kemudian Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun pun menyusul keluar. Kedua jelita itu sama mengenakan pakaian baru. Li Kun berbaju biru muda, celana kembang dan mantel biru benang perak, menyanggul sebatang pedang, mengulum senyum berseri. Sedang Mo Lan Hwa mengenakan pakaian serba merah sehingga wajahnya yang cantik makin tampak menonjol. Rambutnya terurai panjang, menyanggul sebatang pedang. Kedua jelita itu berjalan seiring. sekalian anak perahu terbeliak dan
terlongong-longong memandangnya. Mereka seperti melihat sepasang bidadari turun dari kahayangan, Yang seorang bagai sekuntum mawar yang gemilang. Melihat Li Kun, agak merah wajah Gin Liong. Tetapi ketika melihat Lan Hwa, ia tersipu2 rawan. Sambil menunjuk kederetan puncak gunung Li Kun bertanya kepada anak perahu: "Gunung apakah itu?" "Gunung Hok-san." Gin Liong terkejut ia meminta keterangan benarkah untuk menuju ke pulau Honglay-to harus melalui pegunungan Hok-san itu. "Benar." sahut pemilik perahu, "harus melalui puncak Hok-san yang sebelah utara, walaupun luasnya hanya 30-an li tetapi gunung itu berbahaya sekali keadaannya Tak dapat menggunakan kuda tetapi harus jalan kaki." Karena terlambat selangkah, Mo Lan Hwa tak dapat melihat orang tua pemilik cermin pusaka ketika berada di gunung Tiang-pek-san. Kali ini ia tak mau melewatkan kesempatan lagi. "Karena sudah melewati Hok-san. mengapa kita tak melihat-lihat keadaannya," kata nona itu. Gin Liong diam saja dan Tek Cun pun tak memberi suatu tanggapan sedang Tio Li Kun, asal Gin Liong pergi, sekalipun ke sarang naga, ia tetap akan mengikuti. Tak berapa lama, perahu berlabuh dan ke-empat pemuda itupun turun bersama kudanya, Mereka hanya berhenti makan dikota Mopeng, setelah itu terus melanjutkan perjalanan ke Hok-san, Tengah hari mereka pun sudah tiba di puncak Hok-san sebelah utara. "Liok-ko. menilik keadaannya, memang tak mungkin kita mendaki dengan naik kuda," kata Gin Liong setelah memandang kepuncak itu. "Kita mendaki dulu, kalau memang tak dapat dengan naik kuda, kita pun jalan," kata Mo Lan Hwa. Ternyata keempat ekor kuda mereka itu kuda yang hebat semua. Setelah melalui beberapa tempat yang penuh batu aneh, akhirnya mereka tiba di sebuah lembah yang terletak dibawah kaki gunung.
Jalan kearah lembah itu sempit dan lembah penuh dengan gunduk2 batu yang tinggi dan runcing serta rumput yang subur. "Mungkin disebelah muka itu adalah mulut lembah, kita turun saja disini." kata Gin Liong. Setelah turun, kuda mereka dilepaskan di sebuah aliran air kecil Dan keempat pemuda itupun segera menuju ke mulut lembah sempit. Keadaan dalam lembah memang berbahaya dan sulit dilalui penuh dengan batu2 yang aneh dan runcing serta rumput, rotan yang lebat, Gin Liong ragu2 tetapi Tek Cun mengatakan bahwa lembah itu memang yang disebut Hiut-koh atahu lembah sempit Mereka lalu gunakan ilmu lari cepat untuk memasuki lembah, Lembah itu tak kurang dari lima enam li panjangnya Kedua samping dinding karangnya setinggi ratusan tombak, Makin kebagian dalam makin berbahaya. Tiba2 dari balik segunduk batu aneh di tengah gerumbul pohon siong pendek, muncul tiga sosok tubuh, Sekali loncat mereka melayang kearah Gin Liong berempat Dalam sekejab mata mereka sudah tiba hanya terpisah sepuluhan tombak dari tempat Gin Liong. Ketiga orang itu terdiri dari seorang tua berumur lebih kurang tujuh puluh tahun dan dua orang lelaki pertengahan umur yang berpakaian ringkas. Ketiga lelaki itu tampak marah. Tanpa melihat pada Gin Liong berempat, mereka terus lari keluar lembah. Gin Liong heran melihat gerak-gerik ke tiga orang itu. Tetapi iapun tak mau menghiraukan dan mengajak kawannya melanjutkan masuk kedalam lembah. Pada saat tiba disebuah gerumbul hutan yang penuh dengan batu2 aneh, sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru Bu-liang siu-hud. Dan muncullah enam orang imam. Yang tiga berjubah kelabu, yang tiga berjubah hitam. wajahnya angkuh, masing2 menyanggul pedang dibelakang bahunya. Yang dimuka dua orang imam tua, rambutnya putih, umur diantara lima puluh tahun, sebelah kirinya seorang imam tua, bertubuh kurus mengenakan jubah hitam. Sebelah kanan juga seorang imam tua berjubah kelabu, bermuka bopeng, Dibelakang mereka, dua orang imam pertengahan umur yang berwajah seram. Imam tua jubah hitam segera berseru.
"Pinto bernama Biau Liang, menerima perintah dari kedua tianglo perguruan kami untuk membawa murid perguruan kami Jing Hun dan Jing Gwat, Hian Leng totiang dari partai Kiong-lay-pay beserta Kong Beng dan Ceng Beng berdua toyu..." Sejak ke enam imam itu muncul dengan jual lagak, Mo Lan Hwa sudah mengkal, Mendengar si imam tua Biau Liang jual omongan garang, Lan Hwa segera membentaknya: "Kalau mau mengatakan apa2, lekaslah katakan, jangan jual nama dan gelaran!" Imam tua berwajah bopeng tertawa dingin: "Li-pohsat ini, masih muda usia tetapi keras sekali ucapannya, berani omong sembarangan terhadap Biau Liang Totiang dari partai Kong-tong-pay" "Siapakah engkau? Mengapa engkau berani banyak mulut." bentak Tek Cun. Merahlah muka imam tua itu. "Pinto adalah Hian Leng totiang dari Kiong lay-pay," serunya dengan marah. "Hm, kiranya kawanan manusia yang tak ternama," Mo Lan Hwa mendengus. Karena marahnya, imam tua itu menengadahkan muka dan menghambur tertawa keras. Imam tua Kong Beng yang berada dibelakang Hian Leng totiang, segera memekik keras dan maju menghantam si nona. "Kawanan tikus, engkau cari mampus." teriak Tek Cun seraya maju dan mendahului untuk menyambar tangan imam Kong Beng. Tujuan Gin Liong kelembah itu adalah hendak mencari Ma Toa Kong dan sekalian mencari tahu apakah Swat-thian Sam Yu juga datang ke lembah itu. Untuk mengejar waktu, ia tak mau terlibat dalam perkelahian. "Liok-ko, jangan melukainya," cepat ia mencegah Tek Cun. Tetapi Tek Cun sudah terlanjur mencengkeram lengan imam itu. Mendengar permintaan Gin liong ia segera mendorong imam itu: "Enyah !" Imam Kong Beng terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh terduduk ditanah. Hian Leng dan Biau Liang terkejut Tak kiranya hanya sekali bergerak, pemuda itu telah mampu mendorong rubuh imam Kong Beng, murid pilihan dari partai Kionglay-pay. Kedua imam itu tak berani memandang rendah kepada kawanan pemuda itu lagi. "Sicu sekalian ini dari perguruan mana dan siapakah nama suhu sicu yang mulia?
Harap lekas katakan, siapa tahu kemungkinan antara perguruan kita masih terdapat hubungan," cepat Biau Liang berseru dengan nada sarat. Karena harus mengejar waktu, Gin Liong mengatakan kalau dirinya dan kawan2 itu tidak termasuk murid dari suatu partai persilatan. "Kami mohon tanya, mengapa totiang menghadang perjalanan kami?" tanyanya kemudian. Imam Biau Liang tertawa dingin, tubuhnya gemetar karena menahan kemarahan. "Perguruan pinto dan partai Kong-tong-pay masing2 telah mengutus dua orang tiang-lo untuk memimpin para murid datang kemari mencari jejak orang tua pemilik cermin pusaka, Untuk menghimpaskan dendam kematian dari Bu Tim sute serta kedua Bu-song-kiam It Jeng towyu dari partai Kong-tong-pay. Pinto bersama Biau Liang toyu telah ditugaskan menjaga tempat ini, siapa pun juga, baik dari kalangan Hitam maupun Putih, tak dibenarkan masuk ke dalam lembah Hiap-koh sini. Jika ada yang berkeras masuk, heh, heh..." seru imam Hian Leng dari Kionglaypay. "Kalau berkeras masuk, lalu bagaimana?" akhirnya Gin Liong geram juga atas sikap kawanan imam yang mengandalkan jumlah banyak itu. "Berarti hendak bermusuhan dengan partai Kong-tong-pay dan Kiong-lay-pay" seru Biau Liang seraya deliki mata. Tring!, Mo Lan Hwa cepat mencabut pedang dan melengking: "Sebagai alasan hendak membalas dendam tetapi pada hakekatnya kalian hendak mengincar cermin pusaka itu sendiri dan mencegah lain2 partai persilatan tak dapat masuk dalam lembah ini." Berhenti sebentar untuk tertawa, si cantik berseru pula: "Kalian hanya dapat menggertak orang yang bernyali kecil, Tetapi kalian sial telah bertemu dengan aku. Coba saja hendak kulihat sampai dimana kemampuan kalian hendak merintangi rombonganku!" Imam Ceng Hun yang berada di belakang imam Biau Liang mencabut pedang dan loncat kemuka seraya berseru keras: "Besar sekali mulutmu, budak perempuan! Akupun ingin menguji sampai dimana tingginya ilmu pedangmu sehingga engkau berani bermulut sebesar itu!"
Tek Cun cepat mencabut trisula pendek dan membentak: "Kawanan kunang2, engkau berani menerjang api, huh, sungguh tak tahu diri." Pemuda itu terus gerakkan senjatanya untuk menyongsong pedang imam Ceng Hun. Imam itu belum pernah mengenal kelihayan senjata trisula, Cepat ia merobah gerak pedangnya dalam jurus Toa-peng-can-ki atau Burung rajawali merentangsayap, membabat lengan Tek Cun. Pemuda itu tertawa dingin, kebaskan trisula melingkar, ia membentak: "Lepaskan !" Tring!, terdengar gemerincing tajam diiringi pancaran sinar kemilau ke udara, Pedang dari imam Ceng Hun telah terlepas dari tangannya. Ceng Hun terkejut semangatnya serasa terbang dan cepat ia membuang tubuh kebelakang, berguling sampai setombak jauhnya. Kuatir Tek Cun akan menyusuli serangan, imam Ceng Gwat pun membentak dan menyerang anak muda itu. Kini Mo Lan Hwa yang menghadang. Ujung pedang nona itu segera menusuk kebahu Ceng Gwat, Imam itu marah sekali, Dengan mendengus dingin, ia menghindar lalu balas menusuk dada si nona, Mo Lan Hwa tersipu-sipu merah, Cepat ia membentak dan secepat kilat tubuhnya berputar, pedang menabas, Terdengar jeritan ngeri. Sambil menyurut mundur, imam Ceng Gwat mendekap telinganya yang berdarah, Ternyata sebelah daun telinga kiri imam itu telah hilang. Wajah Biau Liang si imam dari Kong-tong-pay, pucat seperti kertas, Tiba2 ia tertawa keras, mencabut pedang lalu bergegas lari menuju ketempat Mo Lan Hwa. Gin Liong menyadari bahwa tak mungkin lagi ia dapat menghindari pertempuran ia memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu secepat mungkin. "Telah lama kudengar bahwa ilmu pedang dari partai Kong-tong-pay itu tiada tandingannya dalam dunia persilatan. Hari ini sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dengan totiang, Sukalah totiang bermurah hati untuk memberi pelajaran kepadaku," serunya dengan tertawa hambar, serentak ia mencabut pedang. Ditingkah sinar matahari, pedang itu memancarkan sinar warna merah, Pedang
Tanduk Naga kembali muncul hendak mengunjuk kesaktian. Seketika pucatlah wajah Biau Liang tojin, ia cepat dapat mengenal pedang itu sebagai pedang Tanduk Naga. pedang pusaka yang termasyhur dari daerah Biau, ia hentikan langkah. Walaupun tahu bahwa Gin Liong itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tetapi selama ini belum pernah Tio Li Kun melihat pemuda itu bertempur dengan orang, Maka cepat ia loncat kesisi Gin Liong dan berkata dengan bisik2: "Liong-te, harap menyingkir kesamping, biar aku saja yang menghadapinya." Habis berkata jelita itu terus mencabut pedangnya. Imam Hian Leng dan Biau Liang kembali terkesiap, Mereka tahu bahwa pedang pandak yang berada di tangan nona cantik itu tentu juga sebuah senjata yang hebat. Saat itu Tio Li Kun pun sudah melangkah maju menghampiri imam Biau Liang. Sebagai sute dari Biau It cinjin ketua partai Kong-tong-pay, Biau Liang sangat dihormati oleh anak murid Kong tong-pay. Dengan ilmu pedangnya yang sakti. Biau Liang selalu bersikap angkuh tak memandang mata pada orang. Sudah tentu saat itu ia tak mau unjuk kelemahan terhadap seorang nona, Apalagi dilihat oleh imam Hian Leng dari partai Kiong-lay-pay dan dua orang muridnya. "Jika li-sicu berminat hendak adu ilmu pedang dengan pinto, pinto pun bersedia melayani." kata imam Biau Liang, "tetapi pedang itu tak bermata, Begitu melancar tentu tak dapat terhindar dari melukai orang, jika terjadi peristiwa semacam ini, harap jangan mengatakan pinto menghina orang yang lebih muda." Tio Li Kun hanya tertawa hambar dan tetap melangkah maju, sedikitpun ia tak mengacuhkan peringatan tokoh Kong-tong-pay itu. "Huh, batang kepala sendiri belum tentu dapat melindungi masakan masih sibuk mengurus lain orang," dengus Mo Lan Hwa. Mendengar itu serasa meledaklah dada imam Biau Liang, Serentak pedang ditaburkan dalam tebaran sinar yang segera menimpali tubuh Mo Lan Hwa. Melihat ilmu permainan imam dari Kong-tong pay itu, Tek Cun dan Mo Lan Hwa diam-diam terkejut Ternyata imam Kong-tong-pay itu memiliki ilmu pedang yang hebat sekali jauh lebih lihay dari imam Ceng Hun, Ceng Gwat berdua. Tetapi si jelita Li Kun tetap tenang saja. Tubuhnya bergeliatan dengan lemah
gemulai dan berlincahan seindah kupu2 terbang diatas kuntum bunga. Tiba2 ia memekik nyaring sehingga kumandangnya sampai menembus jauh kedalam awan. Pandang mata Biau Liang serasa kabur dan serangan pedangnya pun menemui angin kosong, Serentak ia mendengar pekik si jelita yang berada dibelakangnya, ia berteriak kaget dan cepat balikkan tangannya menabas kebelakang, sedang tubuhnya meluncur deras kemuka. Ternyata hilangnya Tio Li Kun itu karena ia melambung ke udara. ia memang tak bermaksud hendak melukai orangg. Gerakannya itiu hanya sekedar untuk menggertak saja. Ketika Biau Liang meluncur kemuka iapun segera bergeliatan di udara dan mengejar dibelakang lawan. Setelah mencapai tiga tombak, cepat2 Biau Liang cinjin berputar tubuh kebelakang, Sepasang matanya berkilat-kilat mencari tempat beradanya lawan. Tetapi pada saat ia berputar tubuh tadi Tio Li Kun pun sudah melayang kebelakangnya, Sudah tentu Biau Liang tak melihat nona itu. Tetapi cepat ia menyadar, apa yang terjadi. Dengan memekik keras ia balikkan pedang menghantam kebelakang. Melihat Biau Liang masih berkeras kepala, marahlah Li Kun. Dengan bersuit nyaring ia gunakan jurus Hay te-jui-ciam atau didasar laut mencari jarum. Cepat laksana kilat ia membabat pedang si imam. Tring!, terdengar dering yang tajam sekali di-iringi dengan pekik kejut dari Biau Liang yang terus loncat mundur setombak jauhnya. Ternyata pedangnya telah terbabat kutung oleh pedang si jelita. Sebelum imam itu sempat menenangkan diri, Mo Lan Hwa pun sudah melesat dan secepat kilat menutuk tubuh imam itu. Biau Liang masih tercengang karena pedangnya putus, atau sudah diserang lagi oleh Mo Lan Hwa. ia tak keburu menghindar lagi, 'bluk,' jatuhlah ia ke tanah. Melihat itu imam Hian Leng cepat membentak dan maju menerjang, Demikian pula dengan keempat imam yang lain, Mereka menggembor kalap dan terus lari menyerbu. Tetapi Gin Liong, Lan Hwa dan Tek Cun sudah siap menyambut. Tek Cun menghadang imam Ceng Hun dan Ceng Gwat, Mo Lan Hwa menoegat
imam Komg Beng dan Ceng Beng. Sedang Gin Liong segera menyerang imam Hian Leng. Tio Li Kun masih berdiri tiga tombak diluar gelanggang, Sambil lintangkan pedang ia memandang langit. Tiba2 ia berseru memberi peringatan kepada kawan-kawannya bahwa hari sudah menjelang petang dan lembah masih belum diketahui berapa dalamnya. Tio Li Kun cepat bergerak, Tring!, terdengar dering senjata yang keras diusul dengan suara erang tertahan imam Hian Leng lepaskan pedang dan terjungkir tujuh langkah kebelakang. Gin Liong pun cepat menutuk jalan darah imam tua itu, Kemudian kedua muda mudi itu menghampiri ketempat Lan Hwa dan Tek Cun. Melihat Hian Leng dan Biau Liang tojin kena tertutuk, buyarlah semangat keempat imam yang lain, Berputar tubuh mereka terus melarikan diri. Gin Liong berempat tak mau melepaskan Mereka berhamburan melayang ke udara dan terus meluncur menghadang dimuka keempat imam itu. Keempat itu makin gugup, Mereka berputar dan lari balik, Tetapi dengan cepat Gin Liong dan kawan2 telah dapat menutuk rubuh mereka. Keenam imam itu dibawa kebelakang sebuah batu besar dan diletakkan disitu, Setelah itu Gin Liong dan kawan2 segera hendak melanjutkan langkah masuk kedalam lembah. Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat dimuka sebuah hutan, lebih kurang tiga puluh tombak dari mulut guha, telah penuh dengan rombongan orang persilatan yang terdiri tak kurang dari empat lima puluh orang. Tua. muda, imam dan paderi, Mereka memandang terkejut kearah Gin Liong. "Tak perlu menghiraukan mereka," kata Tek Cun seraya menyarungkan trisula, Mereka pun melanjutkan masuk kedalam lembah, Ketika berpaling kebelakang, Gin Liong melihat rombongan orang persilatan tadi pun berhamburan lari masuk kedalam lembah. Setelah melewati dua buah hutan bambu, lembah pun berkelok kesebelah kiri, Dan setelah melalui ujung puncak, mereka melihat sebuah air terjun raksasa yang mencurah kedasar lembah, membentuk sebuah telaga kedalam 30-an tombak. Ada suatu pemandangan yang cepat menarik perhatian. Bahwa air telaga itu
ternyata memantulkan sinar yang gilang gemilang menyilaukan mata. Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa sinar kemilau itu adalah sinar cermin yang ditingkah cahaya matahari. "Hai lihatlah, itulah cermin pusaka dari si orang tua!" teriak Gin Liong seraya menunjuk kemuka, Kemudian ia memandang kesekeliling tetapi tak melihat orang tua itu. Cermin itu diletakkan diujung atas dari batu runcing yang tepat berada ditengah2 curahan air terjun, Entah bagaimana cara orang tua itu meletakkannya. Gin Liong dan kawan2 hentikan langkah dan memandang ke sekeiling. Tiba2 mereka terkejut sekali ketika melihat diantara gerumbul semak dan batu yang berada disebelah muka, terkapar malang melintang belasan sosok mayat manusia. Keadaan mayat2 itu menyedihkan sekali. Ada yang kakinya hilang, lengan buntung, mulut berlumuran darah, Mereka terdiri dari orang tua, rahib wanita ada pula yang dandanan seperti sasterawan. Diam2 Gin Liong ngeri melihat keganasan orang tua pemilik cermin itu. "Hm, sungguh kejam sekali orang tua itu," Mo Lan Hwa juga penasaran, "huh, kemanakah dia bersembunyi? Biar dia bagaimana saktinya, tetapi aku ingin menempurnya juga!"
23. Sinar cermin pusaka "Cici, jangan marah," seru Gin Liong, "turut yang kulihat ketika didalam rumah gubuk yang lalu, dia hanya memiliki cermin pusaka itu saja dan tak punya senjata lainnya". Berpaling kebelakang, ia melihat rombongan orang persilatan itu pun berhenti pada jarak tiga puluhan tombak, Dia heran mengapa mereka tak mau melanjutkan maju ke muka lagi. "Liong-te, menurut keterangan imam Hian Leng dan Biau Liang tadi, mereka masih ada empat orang tianglo yang berada disini, tetapi mengapa tak kelihatan?" tiba2 Tio Li Kun berkata. "Hm, mungkin sudah mampus," gumam Mo Lan Hwa. Tetapi serempak dengan ucapan nona itu tiba2 dari balik sebuah batu besar
disebelah kiri terdengar suara orang tertawa mengekeh. "Siapa!" bentak Tek Cun, terus melayang ke tempat itu. "Liok-ko, jangan..." cepat Gin Liong mencegah karena ia tahu akan kesaktian orang tua pemilik cermin pusaka, iapun segera loncat menyusul Tek Cun, Mo Lan Hwa dan Tio Li Kun juga mengikuti. Baru tiba dimuka batu besar dan belum lagi dapat berdiri tegak, seorang imam tua telah loncat keluar dari balik batu itu dan terus lepaskan hantaman. Walaupun sudah bersiap tetapi jarak begitu dekat dan pukulan dilancarkan secara tiba tiba sekali, Tek Cun terkejut dan cepat cepat dorongkan tangannya kemuka. Gin Liong terkejut ketika melihat kesaktian tenaga pukulan imam tua itu. ia kuatir Tek Cun tak mampu bertahan. Dengan menggembor keras, iapun segera menghantam. Tetapi tepat pada saat Gin Liong lepaskan pukulan, dari balik batu besar itu muncul pula seorang imam tua lagi yang sambil barteriak keras juga lantas lepaskan hantaman kearah pukulan Gin Liong. Terdengar letupan keras diiring dengan debu dan batu bertebaran dihembus angin, imam tua kurus yang pertama muncul tadi serta Tek Cun sama2 terhuyung-huyung mundur, imam kurus itu termakan pukulan Gin Liong sehingga terhuyung kebelakang, punggungnya membentur batu besar itu. Mo Lan Hwa menjerit kaget seraya loncat menyambar tubuh Tek Cun pemuda itu muntahkan segumpal darah segar. Tio Li Kun pun menghampiri lalu membawa engkohnya duduk ditanah. Gin Liong melihat peristiwa itu. "Hm, terimalah pukulanku sekali lagi..!" serunya seraya maju tiga langkah lalu ayunkan tangannya. Imam tua yang muncul belakang itu mempunyai raut muka seperti kuda, ia tahu pemuda itu memiliki tenaga yang sakti, Cepat ia kerahkan tenaga dalam dan menyongsong dengan pukulan juga. Terdengar letupan lagi dan langkah kaki si imam bermuka kuda yang terhuyunghuyung kebelakang. Setelah muntah darah, iapun rubuh terkapar. Pada saat itu dua sosok tubuh loncat keluar lagi dari balik batu besar. Dua
orang imam tua berambut putih itu segera menolong imam bermuka kuda. Yang mengenakan jubah hitam dan berumur enam puluhan tahun, berwajah persegi, alis tebal dan mata tajam segera loncat menghampiri ketempat si imam kurus yang terluka tadi. Gin Liong pun juga memandang kearah Tek Cun. Dilihatnya pemuda itu kerutkan dahi, pejamkan mata. wajahnya pucat lesi, mulut masih membekas noda darah, Mo Lan Hwa memberinya minum sebutir pil warna hijau, Sedang Tio Li Kun duduk dibelakang engkohnya, melekatkan telapak tangannya kepunggung Tek Cun hendak memberi saluran tenaga dalam. Makin meluaplah kemarahan Gin Liong. ia marah kepada kawanan imam tua yang dalam kedudukan sebagai tiang-lo telah menyerang seorang anak muda tanpa bertanya suatu apa lebih dulu, Tiba2 pula Gin Liong teringat mengapa orang tua pemilik cermin pusaka itu tak tampak? Apakah orang tua itu juga sudah mati dibunuh keempat imam tua yang ganas itu? Dan jangan2 korban2 yang jatuh berserakan di tanah itu juga keempat imam itu yang membunuhnya. Gin Liong memandang sesosok mayat yang berada didekatnya, "Hai, Ma Toa Kong !" serentak ia memekik kaget dan terus loncat menghampiri. Ternyata perut Ma Toa Kong telah robek sepanjang delapan inci, ususnya berhamburan keluar. Gin Liong cepat beralih memandang ke arah empat imam tua itu dan membentak: "Kim-piau Ma Toa Kong, apakah kalian yang membunuh ?" Imam tua berjubah kelabu yang berada disamping imam bermuka kuda, pelahanlahan berbangkit dan deliki mata ialu tertawa dingin: "Ya. memang toya yang menyempurnakan ia engkau mau apa ?" Gin Liong tertawa keras untuk menghamburkan kemarahannya. "Bagus, akupun akan menyasulkan engkau ke akhirat." serunya seraya mencabut pedang Tanduk Naga. Tiba2 ia mendengar suara erang pelahan. Ah. ternyata suara itu berasal dari mulut Ma Toa Kong. Gin Liong cepat berjongkok dan memegang pergelangan tangan Ma Toa Kong. Ternyata detak jantungnya masih berjalan lemah.
Segera ia menutup luka Ma Toa Kong dengan pakaiannya lalu lekatkan telapak tangan keperutnya untuk memberi penyaluran tenaga dalam, Walaupun wajahnya pucat seperti kertas tetapi bibir Ma Toa Kong mulai bergerak-gerak. "Ma locianpwe, bagaimana engkau rasakan?" seru Gin Liong. Ma Toa Kong hendak mengucap kata2 tetapi tenaganya lemas sekali, ia pejamkan mata lagi, Tak berapa lama terbuka lagi dan bibirnya pun bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian kedengaran ia dapat menghela napas dan memandang Gin Liong: "Ah . . . tak kira . . . bukan di . . . guha Kiu-kiok-tong . . . . tetapi . . . aku mati disini . . ." "Ma locianpwe bagaimana meninggalkan guha Kiu-kiok-tong?" seru Gin Liong cepat. Dengan napas terengah-engah Ma Toa Kong paksakan diri berkata: "Pada waktu itu . . . gurumu masuk guha, . . lama tak keluar . . . pertama It Ceng . . . kuatir Ban Hong liong-li keluar . . . yang pertama-tama lalu . . . kemudian . . . . semua pergi . . . ." Tiba2 dari jauh terdengar suara orang berseru memanggil: "Ma susiok . . . ." Nampak sosok bayangan berlarian mendatangi ketempat Ma Toa Kong. Mereka dua lelaki berpakaian hitam, bertubuh gagah perkasa dan masing2 menyanggul golok besar. Gin Liong duga kedua orang itu tentu orang Tiam-jong-pay. Mungkin karena mendengar ia menghardik keempat iman tua tadi, kedua orang itupun segera bergegas mendatangi. "Ma susiok, siapakah yang membunuh engkau?" kedua orang itu menangis. Dua butir airmata menitik dari pelupuk mata Ma Toa Kong, kemudian berkata: "Hong Tim. .. dan . . . Ceng . . ." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena saat itu lidahnya kaku. Melihat itu Gin Liong cepat salurkan tenaga dalam lagi ketubuh Ma Toa Kong, Tetapi percuma, Ma Toa Kong telah putus jiwanya, Gin Liong meluap darahnya. Berpaling kebelakang dilihatnya Mo Lan Mwa berdiri dengan lintangkan pedang menjaga Tio Li Kun dan Tek Cun yang tengah duduk menyalurkan pernapasan.
Sedang imam tua bermata tikus, berada dua tombak dari mereka, imam tua berjubah hitam pun tengah berjalan menghampiri. Gin Liong segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ketika Tio Li Kun sedang merawat engkohnya yang terluka dan dia sedang menolong Ma Toa Kong, kedua imam itu tentu berusaha hendak turun tangan. Segera ia berseru nyaring: "Hai, siapakah diantara kalian yang bernama Hong Tim lo-to, lekas kemari terima kematian!" Sambil berkata, pemuda itu loncat ketengah gelanggang, imam yang bermata kecil seperti mata tikus dan bermuka pesegi segera berhenti terkejut melihat ilmu meringankan tubuh dari Gin Liong yang begitu hebat. Gin Liong berhenti setombak dihadapan kedua imam itu dan menghardik lagi: "Siapa? Siapa yang bernama Hong Tim?" Setelah tenangkan semangat kedua imam itu meliarkan pandang kearah jago2 persilatan yang berada dalam lingkungan dua puluh tombak disekelilingnya. Merahlah muka mereka, Kemudian menatap Gin Liong, kedua imam itu tertawa dingin. Tiba2 kedua orang yang menangis disisi mayat Ma Toa Kong tadi, serentak berbangkit mencabut golok dan menggerung: "Keparat Hong Tun, bayarlah jiwa susiokku!" Keduanya melalui Gin Liong dan terus langsung menyerbu si imam mata tikus, Gin Liong terkejut ia tahu kedua orang itu tentu bukan tandingan Hong Tim, Tetapi ia tak leluasa untuk mencegah kedua orang yang hendak membalaskan dendam kematian susioknya. Ternyata imam bermata seperti mata tikus itu memang Hong Tim. Segumpal jenggotnya yang putih tampak berguncang-guncang dibawa tertawanya. Tahu2 dia sudah loncat melayang dua tombak jauhnya. "Tikus2 kecil, kalian berdua cari kematian sendiri, jangan salahkan aku Hong Tim toya berhati kejam!" habis berkata imam tua itu terus mencabut pedangnya. Melihat sikap si imam yang begitu congkak, marahlah Gin Liong, Segera ia berseru menyuruh kedua orang itu berhenti. Tetapi sudah terlambat. Kedua orang itu tak mau menghiraukan lagi dan terus menyerbu laksana harimau melihat darah.
Tiba2 seorang imam tua berjubah hitam, loncat menyongsong dan lepaskan hantaman kearah kedua orang itu: "Tikus kecil, terimalah pukulanku dulu." Melihat itu Gin Liong marah sekali. Cepat ia ayunkan tangannya kearah imam jubah hitam atau imam tua Ceng Hian. Terdengar jeritan ngeri dan tubuh imam tua Ceng Hian itupun terlempar sampai empat tombak jauhnya, membentur sebuah batu besar. Melihat itu imam kurus yang baru saja selesai menyilangkan tenaga cepat loncat untuk menanggapi tubuh Ceng Hian, Tetapi ketika memeriksanya ternyata imam tua Ceng Hian sudah putus nyawanya. Pada saat itu berpuluh jago2 silat yang berada dua puluh tombak dari tempat Gin Liong berdiri, tiba2 bersorak keras. Gin-Liong berpaling dan tampak wajah jago2 silat itu terkejut memandang kearah belakangnya. Menurut arah pandang mereka, Gin Liong segera mengetahui bahwa lelaki berpakaian ungu tadi sudah dibelah dua oleh pedang imam tua Hong Tim. Dan saat itu Hong Tim meneruskan pedangnya kearah lelaki berpakaian hitam. Saat itu Gin Liong menyadari bahwa teriakan jago2 silat tadi adalah sebagai peringatan kepadanya bahwa kedua orang murid keponakan dari Ma Toa Kong terancam bahaya. Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Serentak ia mencabut pedang Tanduk Naga dan terus loncat membabat Hong Tim. Melihat kedahsyatan gerak Gin Liong dan pedang Tanduk Naga, imam tua Hong Tim terkejut sekali, Buru2 ia loncat mundur beberapa langkah. Tetapi Gin Liong sudah terlanjur diamuk amarah, Terutama setelah tahu bahwa imam tua Hong Tim itulah pembunuh dari Ma Toa Kong, Dengan mengaum laksana harimau melihat darah, ia menerjang maju dan menusuk perut Hong Tim. imam kurus meletakkan mayat imam Ceng Hian lalu loncat menerjang Gin Liong: "Bangsat, kembalikan jiwa ji-suhengku..." Serangan imam kurus itu disertai dengan hud-tim atau kebut pertapaan yang berbulu kawat perak, menyabet lambung Gin Liong. Lelaki baju hitam yang hendak diserang Hong Tim tadi karena melihat kawannya, lelaki baju ungu mati begitu mengenaskan, marah dan kalap, ia segera menyerang
imam kurus dengan sebuah tabasan golok. Dengan demikian serangan imam kurus kepada Gin Liong pun tertahan, Dan Gin Liong dapat melanjutkan tusukannya keperut Hong Tim. Hong Tim cepat menangkis dengan pedang tetapi begitu berbentur dengan pedang Tanduk Naga, pedangnya pun putus, Sebelum Hong Tim sempat menghindari ujung pedang Tanduk Naga sudah bersarang di perutnya. Darah mengucur deras, Hong Tim lepaskan pedangnya, mendekap perut dan terhuyung-huyung kebelakang dan rubuh ke tanah. Ususnya berhamburan, kematiannya sengeri kematian Ma Toa Kong. Setelah berhasil membunuh Hong Tim, Gin Liong pun berpaling. Dilihatnya imam kurus sedang bertempur seru dengan lelaki baju hitam, imam kurus dengan permainan kebut hud-timnya yang cepat dan dahsyat dapat mendesak lawan sehingga orang itu mandi keringat, permainan goloknya pun makin kacau, Tetapi rupanya dia sudah kalap dan hendak mengadu jiwa, Dengan negkad ia balas melakukan serangan sehingga mampu juga mendesak imam kurus. Dalam pada itu, imam tua bermuka seperti kuda yang tengah pejamkan mata memulangkan tenaga tadi, membuka mata dan dengan menggerung ia ayunkan kedua tangannya. Benda halus macam sutera perak mendesis-desis kearah Siau-bun-hau Tek Cun yang saat itu masih pejamkan mata memulangkan tenaga. Mo Lan Hwa menjerit kaget dan cepat loncat kesamping Tek Cun seraya memutar pedangnya dalam sebuah lingkaran untuk melindungi anak muda itu. Melihat itu Gin Liong marah sekali, sambil meraung ia loncat ke udara dan bergeliatan untuk meluruskan tubuh. Ketika ia hendak melepaskan hantaman tiba2 Mo Lan Hwa menjerit kaget pedangnya terpental jatuh dan nona itu pun jatuh terjungkir balik kebelakang. Gin Liong terkejut, ia tahu bahwa nona itu tentu terkena senjata rahasia berbentuk seperti sutera perak tadi. Cepat ia ayunkan kaki keatas dan berjumpalitan Dengan kaki di atas dan kepala dibawah ia melayang kearah tempat Mo Lan Hwa. Pada saat ia hendak menyambar tubuh Mo Lan Hwa tiba2 matanya terpancar oleh cahaya keras yang dipancarkan dari kaca wasiat tadi. Seketika pandang matanya
silau, ia tak dapat melihat benda disekelilingnya lagi, Empat penjuru terasa gelap gelita, Untung Gin Liong masih sadar pikirannya. ia bergeliatan dan melayang turun ke tanah, Tetapi ia terkejut sekali ketika matanya tetap gelap tak dapat melihat apa2. Serempak pada saat itu ia mendengar pula suara mendesis-desis halus menuju ketempatnya, ia tahu bahwa musuh telah menyerangnya dengan senjata rahasia, Cepat ia putar pedang Tanduk Naga dan berhasil membuyarkan benang2 perak itu jatuh ke tanah. Tiba2 para jago silat diluar gelanggang kembali berteriak pula, Gemuruh dan gempar. Bahkan mereka bukan melainkan bersorak tetapi pun menyisih kebelakang, membuka sebuah jalan. Gin Liong cepat berpaling untuk melihat. Tetapi ia tetap tak dapat melihat apa2, matanya tetap gelap, ia hanya mendengar diantara suara hiruk pikuk itu samar2 terdengar suara kibaran pakaian beberapa orang yang tengah mendatangi. Imam bermuka kuda, karena meleypaskan senjata rahasia sutera perak yang selembut bulu kerbau. telah kehabisan tenaga dalam, Luka dalamnya kambuh lagi, berulang kali ia muntah darah Saat itu terdengar si cantik Tio Li Kun melengking kaget, Rupanya setelah selesai menyalurkan tenaga, Tio Li Kun tahu apa yang terjadi pada diri Mo Lan Hwa. Cepat ia loncat memeluk tubuh Mo Lan Hwa, Wajah Mo Lan Hwa pucat lesi, matanya meram dan dahinya mengerut menahan kesakitan. Memandang kesebelah muka, hati Tio Li Kun makin tergetar keras. Dilihatnya Gin Liong ter-longong2 memandang kearah jago2 silat yang tengah hiruk dan sibuk menyisih kesebelah samping. Tio Li Kun segera hendak menegur tetapi tiba2 dilihatnya tiga orang tua lari menerobos keluar dari kerumun jago2 silat itu. Yang paling depan umurnya lebih kurang delapan puluh tuhun, berambut pendek berjenggot panjang, putih seperti perak, wajahnya lebar, alis tebal mata bundar. Mengenakan pakaian dari kain kasar, Tangannya mencekal sebatang pipa hun-cwe, gembung pula sebesar kepalan tangan orang, memancarkan sinar ke-emas2an. Di sebelah kiri dari orang tua itu, seorang tua yang sikapnya seperti orang sinting,
Dia membawa sebatang tongkat bambu wulung dan pakaiannya compang-camping seperti pengemis. Disebelah kanan orang tua tadi, juga seorang lelaki tua berumur lebih kurang delapan puluh tahun, Rambut dan jenggotnya putih, matanya kuyu seperti seorang pemabok. Mulutnya besar dan lebar sekali, Mengenakan pakaian warna kelabu yang memanjang menutupi kedua kakinya, punggungnya memanggul tiga buah buli2 arak yang berkilat-kilat menyilaukan. Ketiga orang tua itu lari pesat sekali, Tio Li Kun pun cepat mengenali ketiga orang itu sebagai Swat-thian Sam-yu. Maka ia segera menggolek-golekkan kepala Lan Hwa dan memberitahu: "Adik Hwa, adik Hwa, lihatlah, ketiga suhengmu datang." Mendengar itu Mo Lan Hwa paksakan diri membuka mata. Setelah melihat memang ketiga suhengnya datang, ia pejamkan mata pula. Saat itu pandang mata Gin Liong pun sudah sembuh. ia dapat melihat kedatangan Swat-thian Sam-yu itu, Cepat2 ia berseru: "Lo-koko berdua, harap segera kemari!" Melihat Gin Liong, Hok To Beng dan Hong-tian-soh (siorang tua sinting) tertawa gelak2. Tetapi wajah mereka cepat mengerut gelap ketika melihat Mo Lan Hwa menggeletak ditanah dipeluk Tio Li Kun. Cepat mereka lari menghampiri. Lebih terkejut pula mereka ketika memeriksa keadaan sumoaynya itu. Hok To Beng sibuk memanggil-manggil sumoaynya tetapi nona itu tetap diam saja. Didapatinya lengan Mo Lan Hwa membegap, jelas nona itu tentu terkena senjata rahasia yang amat beracun. "Siapa yang berani mencelakai sumoay dengan senjata rahasia beracun itu!" Hongtian-soh berbangkit dan berteriak keras. Sebelum Gin Liong memberi keterangan, Mo Lan Hwa pun paksakan diri membuka mata dan menuding kearah si imam potongan muka kuda. Menurutkan arah yang ditunjukkan si nona, Hong-tian-soh segera membentak keras: "Hai, kurcaci tua dari mana berani menggunakan senjata rahasia yang begitu ganas!" Dengan mengangkat tongkat bambu wulung, Hong-tian-soh pun segera lari kearah
si iman muka kuda yang masih duduk di tanah. Ketika Cui-sian-ong atau Dewa Pemabuk merentang mata, segera ia berseru: "Hai, sinting, jangan menghajar, dia Ih Tim tianglo dari partai Kiong-lay-pay." Hong-tian-soh sudah terlanjur angot gilanya. Sudah tentu ia tak menghiraukan peringatan Dewa Pemabuk. "Tak peduli dia tianglo dari partai mana, yang penting harus dihajar dulu!" seru orang sinting itu, ia tetap lanjutkan larinya ketempat imam tua itu. Mendengar keterangan Dewa Pemabuk, Hok To Beng terkejut dan berpaling ikut mencegah: "Sinting . ..." Tetapi terlambat. Terdengar suara bambu menghantam benda keras disusul dengan jeritan ngeri. Batok kepala dari Ih Tim tianglo partai persilatan Kionglaypay telah hancur lebur, berhamburan keempat penjuru.
24. Kaca wasiat membutakan mata Baik Hok To Beng maupun Dewa Pemabuk berobah wajahnya seketika. Mereka menganggap peristiwa pembunuhan itu akan menimbulkan akibat besar, Partai Kiong-lay-pay pasti akan mencari balas kepada Swat-thian Sam-yu. Tidak demikian dengan Gin Liong. pemuda itu tak puas melihat kekuatiran kedua tokoh itu. Sejenak ia keliarkan pandang kearah sosok2 mayat yang menjadi korban keganasan keempat imam tua dari Kiong-lay-pay itu. Baru ia hendak berkata, tiba2 Hong-tian-soh pun sudah berteriak keras lagi: "Hai, masih ada seorang kurcaci tua lagi!" Habis berkata ia terus mengangkat tongkat bambunya hendak dikemplangkan ke kepala imam kurus yang tengah bertempur dengan orang yang berpakaian hitam tadi. Kali ini Hok To Beng berbangkit dan berteriak marah: "Hai, sinting, itu Ceng Cin tianglo dari Kong-tong-pay !" Mendengar itu imam kurus terkejut Cepat menggembor keras dan menyelinap kesamping. Ketika berpaling kejutnya bukan kepalang, Cepat2 ia ayunkan kebut hud-timnya. "Bagus, ha, ha, ha," teriak Hong-tian-soh yang tanpa merobah gerak jurusnya, tetap
ayunkan tongkat bambu mengemplang kepala imam itu. Waktu mengetahui bahwa yang menyerangnya itu si sinting dari Swat-thian Samyu, berobahlah wajah Ceng Cin tianglo, ia tahu bahwa jurus Pang-ta-lian-hoa yang dimainkan tokoh sinting itu penuh perobahan yang sukar diduga. Dengan menggembor keras. Ceng Cin segera buang tubuhnya bergelundungan ke tanah dengan ilmu Kiu-te-sip-pat-kun. Rupanya Hong-tian-soh tak mau mengejar. Berpaling memandang kearah lelaki baju hitam yang masih tegak terlongong. ia membentak: "Karena bertempur mati-matian di tempat ini, engkau tentu bukan manusia baik!" Habis berkata orang sinting itu terus ayunkan tongkat bambunya, kepinggang orang. Karena hendak diserang, lelaki baju hitam itu pun menangkis dengan goloknya, Melihat itu Gin Liong cepat berteriak: "Hong koko, dia bukan..." Tetapi belum selesai Gin Liong berseru, golok lelaki baju hitam itupun sudah mencelat ke udara, Untung karena mendengar peringatan Gin Liong, Hong-tian-soh segera hentikan tongkatnya, Memandang kepada orang itu ia tertawa mengekeh lalu berputar tubuh dan melangkah ke tempat Mo Lan Hwa lagi dan berjongkok. Rupanya sayang sekali dia akan sumoaynya. Saat itu Dewa pemabuk berhasil mendapat sebuah botol kecil dari kumala putih, Setelah menuangkan pil dari botol itu, terus disusupkan ke mulut Mo Lan Hwa. Tek Cun pun sudah kuat berdiri tetapi semangatnya masih lelah, Dalam kesempatan itu Hok To Beng suruh Gin Liong berkenalan dengan Dewa Pemabuk, Demikian pula dengan Tio Li Kun dan Tek Cun. Ternyata Swat-thian Sam-yu juga naik perahu bersamaan waktunya dengan Gin Liong, Tetapi karena penumpangnya banyak, perahu agak pelahan jalannya hingga Gin Liong dan rombongannya tiba lebih dulu setengah jam. Jago2 persilatan dari berbagai aliran makin banyak tiba di tempat itu, Tetapi mereka tak berani mendekat dan hanya berdiri dua puluh tombak jauhnya, Mereka kasak kusuk dengan kawan2nya. Dengan munculnya Swat-thian Sam-yu di tempat itu, tak seorang pun yang berani melanjutkan perjalanannya kemuka. Sejenak memandang kesekeliling, Hok To Beng kerutkan dahi, lalu bertanya kepada
Gin Liong: "Orang tua itu mengapa tak tampak ?" Memandang kearah cermin pusaka di tengah telaga, Gin Liong juga menyatakan keheranannya: "Sejak kami datang, orang tua itu tak pernah kelihatan." "Lalu siapa yang membunuh korban2 itu ?" seru Hong-tian-soh seraya memandang sosok2 mayat yang berserakan di tanah, Gin Liong kerutkan alis, Tiba2 ia teringat akan kematian Ma Toa Kong. "Kemungkinan mati di tangan keempat imam tua itu!" akhirnya ia menyahut. Sudah tentu Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka mendesah dan serempak berpaling ke arah imam tua Ceng Cin. Tampak imam tua Ceng Cin tengah memondong mayat Ceng Hian dibawa lari keluar dari lembah itu. "Hm, hari ini kurcaci tua itu mendapat kemurahan," dengus Hong-tian-soh geram. Mo Lan Hwa sudah dapat bangun. "Bagaimana? Apakah lenganmu sudah tak sakit?" seru ketiga Swat-thian Sam-yu. Dengan manja sekali Mo Lan Hwa mengatakan kalau sudah sembuh, ia singsingkan lengan baju dan tampaklah sebatang sutera perak selembut bulu kerbau menyusup kelengan nona itu. Dewa Pemabuk mengambil buli2 araknya meneteskan dua tetes arak ke bulu perak itu lalu mencabutnya. "Untung Ih Tim loto sudah menderita luka dalam, sehingga tenaganya berkurang, Kalau tidak sutera perak itu tentu akan menyusup lebih dalam lagi ketulang," kata Tio Li Kun. Dewa Pemabuk merentang mata dan bertanya siapakah yang melukai Ih Tim loto itu. Gin Liong mengaku bahwa dialah yang melukai imam tua itu karena melihat imam itu mengganas Tek Cun dengan pukulan yang dahsyat ia menunjuk ke arah Tek Cun yang wajahnya masih pucat. Dewa Pemabuk mendesis, Rupanya ia seperti kurang percaya kalau seorang anak semuda Gin Liong mampu melukai Ih Tim yang berkepandaian tinggi. "Lalu siapakah yang membunuh Ceng Hian loto?" tanyanya pula. "Juga siaute" kata Gin Liong, "karena dia berlaku curang menyerang dari belakang."
Sudah tentu Dewa Pemabok makin terkejut. Dengan matanya yang redup menatap Gin Liong. "Siau-hengte" serunya dengan sikap serius, "begitu keluar dari perguruan, engkau sudah mengikat permusuhan dengan dua partai persilatan. Kemungkinan engkau akan menghadapi bermacam-macam kesulitan nanti." Gin Liong hanya tertawa hambar, "Dalam terjun kedunia persilatan siaute hanya berpijak pada kebenaran dan keadilan. Memberantas yang lalim dan jahat, menolong yang lemah dan benar. Apapun bahaya yang akan menimpali pada diri siaute, siaute tak dapat menghindari lagi." Dewa Pemabuk terkesiap, Setelah berbicara beberapa saat lagi, diam2 ia mengagumi pendirian dan sikap Gin Liong yang perwira. "Bagus, bagus, siau-hengte." bahkan Hong-tian-soh si Sinting menepuk-nepuk bahu Gin Liong "tak kecewa engkau menjadi adik dari aku si Sinting ini Hong-tian-soh. Berani dan perwira, Tak gentar menghadapi ancaman, tak menindas yang lemah dan tak melakukan pekerjaan yang melanggar hukum Allah, Aha, aku si sinting Hong-tian-soh, sekarang sudah mempunyai adik sealiran." Habis berkata tokoh sinting itu tertawa gelak2 dengan gembira sekali. Walaupun menahan sakit karena ditepuk-tepuk bahunya itu, terpaksa Gin Liong harus tersenyum. Tio Li Kun dan Tek Cun tergerak hatinya mendengar pernyataan si sinting yang begitu perwira. Mereka tak mengira kalau tokoh yang tampak seperti orang sinting ternyata menpunyai pendirian seorang pendekar besar. Melihat Gin Liong tertawa meringis, Mo Lan Hwa berseru: "Hong koko, engkau boleh saja bergembira tetapi dengan menepuk-nepuk bahu begitu, orang harus meringis kesakitan untuk memuaskan kegembiraan hatimu." Hong-tiang-soh menyadari dan cepat hentikan tangannya. Tiba2 terdengar suitan nyaring dari arah puncak gunung yang jauh dari situ, Gin Liong terkejut Demikian pula dengan sekalian tokoh yang berada disitu. Mereka serempak memandang kearah suara suitan itu. Suitan itu seolah menembus udara, memenuhi lembah dan makin lama makin dekat ke lembah. Sekonyong-konyong dari arah dua puluh tombak jauhnya terdengar suara orang
berteriak keras: "Lekas lari, orang tua pemilik kaca wasiat itu datang!" Mendengar itu para jago silat yang berkumpul diluar lembah segera desak mendesak berebut lari. Mereka seperti akan diserang bencana. Gin Liong kerutkan alis, 'Dari berbagai tempat yang jauh mereka datang, bukankah karena hendak melihat orang tua pemilik kaca wasiat itu? Mengapa sekarang orang tua itu datang, mereka matah melarikan diri?' Pikir Gin Liong penuh keheranan. Suitan pun berhenti dan beberapga jago silat yang sudah membelok di puncak gunung sebelah muka itupun berhenti. Mereka berpaling memandang ke telaga, cemas dan sangsi. Tiba2 sebuah suara suitan yang aneh dan parau, mengiang ditelinga Gin Liong. Gin Liong terkejut dan cepat berpaling. Hong-tian-soh meregang rambutnya, muka menengadah dan mulut ternganga, Tengkuk lehernya menjulur ke muka. Ah, dialah yang bersuit aneh itu. Luka Tek Cun baru saja baik, Mendengar suitan aneh itu, wajahnya pucat dan keringat dingin pun mengecur lagi, Melihat itu Gin Liong, Tio Li Kun cepat loncat kesamping Tek Cun dan serempak memegang punggung Tek Cun. Tampak Hok To Beng dan Dewa pemabuk serius sekali wajahnya. Kedua tokoh itu mengadahkan muka untuk menanti jawaban dari suitan aneh yang dipancarkan Hong-tian-soh tadi. Memandang ke puncak gunung sebelah muka, Gin Liong tak melihat lagi rombongan jago2 silat yang berdiri disitu, Rupanya karena mendengar suitan Hongtian-soh, mereka ketakutan melarikan diri. Setelah bersuit, Hong-tian-soh merentang mata dan memandang ke puncak sebelah muka, Tiba2 suitan nyaring tadi terdengar pula, jelas berasal dari balik puncak gunung yang tingginya beratus-ratus tombak, Menyusul muncul dua sosok tubuh warna kelabu dan putih meluncur turun bagai dua buah bintang jatuh dari langit. Baik Gin Liong maupun Swat-thian Sam-yu terkesiap melihat kesempurnaan ilmu meringankan tubuh dan kedua pendatang itu. Seiring dengan suitan berhenti, kedua sosok tubuh itupun sudah mencapai tengah2 lereng gunung. Tetapi kumandang suitannya masih berkumandang jauh ke
angkasa. Saat itu Gin Liong dapat melihat bahwa kedua pendatang itu terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita. "Sepasang lelaki dan wanita," serunya, Swat-thian Sam-yu terkejut. Mereka sendiri belum dapat melihat jelas kedua pendatang itu. Terutama Dewa Pemabuk, Dia sampai mendesuh kejut karena heran atas ketajaman mata anak muda itu. Dalam pada itu kedua pendatang itupun sudah tiba di kaki gunung dan lari menghampiri kearah lembah. Swat-thian Sam-yu memperhatikan bahwa wala upun tampaknya pelahan tetapi sesungguhnya kedua pendatang itu lari cepat sekali Pada lain saat tiba2 Gin Liong berteriak kaget: "Sumoay, sian-tiang . .. .!" iapun terus loncat dan lari menyongsong kedatangan bayangan putih itu. Mendengar itu berdebarlah hati si jelita Tio Li Kun. Apabila tokoh yang disebut siantiang telah datang, dia tentu dapat membuka rahasia siapa sesungguhnya suhu dari Tio Li Kun itu. Beda dengan engkohnya, Tek Cun, Pemuda itu gembira sekali, ia merasa hari itu benar2 luar biasa sekali karena dapat berjumpa dengan empat tokoh dari Ih-lwejitki atau Tujuh tokoh aneh dalam dunia. Sedangkan Mo Lan Hwa merasa cemburu karena mendengar Gin Liong begitu girang sekali menyambut kedatangan sumoaynya. Saat itu Swat-thian Sam-yu dapat mengetahui jelas bahwa salah seorang pendatang itu bukan lain adalah Hun Ho sian-tiang bersama seorang gadis cantik baju putih yang umurnya sekitar 16-17 tahun, Ketiga tokoh itu segera dapat menduga bahwa gadis baju putih itu tentu sumoay dari Gin Liong, Mereka tertawa ikut gembira atas pertemuan itu. Terpisah tujuh tombak jauhnya, Gin Liong berhenti dan memberi hormat kepada Hun Ho sian tiang. "Liong koko . ." teriak gadis baju putih dengan penuh haru. ia berlinang-linang air mata melihat Gin Liong. "Harap siau-sicu tak memakai banyak peradatan," begitu tiba dihadapan Gin Liong,
Hun Ho sian-tiang mencegah anak muda yang hendak membungkuk tubuh menghaturkan hormat ia ulurkan tangan untuk mencekal tangan Gin Liong, Seketika Gin Liong merasa seperti terangkat ke atas dan terus melayang kearah Swat-thian Sam-yu. "Bertahun-tahun tak berjumpa, toheng bertiga masih segar bugar seperti yang lalu." seru Hun Ho sian-tiang yang menyusul tiba dihadapan Swat-thian Sam-yu. Hok To Beng dan Dewa pemabuk tertawa dan serempak menegur: "Imam hidung kerbau, angin apakah yang meniup engkau sampai ke lembah ini?" "Bukan angin tetapi keinginan nafsu hati yang serakahlah yang membawanya kemari." tiba2 Hong-tianw-soh menyelutuk tertawa. Sambil mengurut-urut jenggotnya, Hun Ho sian-tiang tertawa: "Ah, Hong toheng masih gemar berolok-oIlk. Ketika pergi ke gunung Tiang-pek-san mencari tanaman obat, kebetulan kita saling bertemu dan secara kebetulan pula berjumpa dengan orang tua pemilik kaca wasiat tadi bukan sengaja khusus mencarinya . . ." "Dan kali ini? Apakah kedatanganmu kemari juga hendak mencari daun obat?" tukas Hong-tian-soh. "Tadi kalau tak mendengar suitan yang memecah angkasa dari mulut Hong toheng, mungkin saat ini aku sudah tinggalkan gunung Hok-san ini sahut Hun Ho siantiang. Swat-thian Sam-yu dan Gin Liong tertawa, Dalam pada itu si cantik Tio Li Kun, Mo Lan Hwa dan Tek Cun pun menghampiri dan memberi hormat kepada Hun Ho siantiang, Melihat Tio Li Kun, Hun Ho sian-tiang segera tertawa: "Nona Tio, apakah suhumu Ceng Hun suthay baik2 saja?" tegurnya. Merah wajah Li Kun, Dia gugup mendapat pertanyaan itu tetapi karena tak dapat ditutupi lagi akhirnya ia menyahut juga. "Berkat restu sian-tiang, suhu tak kurang suatu apa." Swat-thian Sam-yu terkesiap, Mereka memang pernah mendengar kabar orang bahwa kepandaian si cantik Tio Li Kun jauh di atas saudara2nya, Saat itu baru mereka mengetahui bahwa suhu dari si cantik itu ternyata rahib Ceng Hun, murid
pewaris dari Bong-san loni atau rahib tua dari gunung Bong-san salah seorang dari Bu-lim Su-ik atau Empat-luar-biasa dalam dunia persilatan. Jangankan Swat-thian Sam-yu, bahwa Tek Cun engkoh nomor enam dari si jelita Li Kun sendiri, juga terlongong-longong heran. walaupun sebagai saudara tua, tetapi ia tak tahu bahwa adiknya itu ternyata murid dari rahib tua Bong-san loni. Dia kira kalau kepandaian adiknya itu berasal dari mamahnya. Karena lama tak berjumpa maka pertemuan antara Swat-thian Sam-yu dengan Hun Ho sian-tiang itu amat menggembirakan sekali Mereka ber-cakap2 dengan riang dan asyik. Melihat Ki Yok Lan. Tek Cun benar2 terkesiap, ia tak menyangka bahwa sumoay yang sering diucapkan oleh Gin Liong itu ternyata seorang gadis yang agung dan cantik, wajahnya yang cantik berseri, makin memancarkan kecantikan yang syahdu dalam pakaiannya yang berwarna putih. Sepintas pandang menyerupai seorang bidadari. ia memperhatikan bahwa adiknya, Mo Lan Hwa dan Ki Yok Lan dalam waktu yang singkat tampak akrab sekali, Tetapi diam2 iapun memperhatikan juga bahwa pada wajah adiknya, Tio Li Kun tampak memancarkan sinar cemburu. Sedang wajah Mo Lan Hwa mengunjuk rasa putus asa. Sedang Ki Yok Lan sendiri tampak tenang dan wajar. Secara tak disadari, ia telah membuat perbandingan untuk menilai ketiga gadis cantik itu. Ki Yok Lan, berwajah agung cantik dan alim. Memberi kesan bahwa dia seorang dara yang berhati bersih dan suci. Mo Lan Hwa cantik berseri, meriah dan gagah sehingga orang tak berani main2 kepadanya Seorang dara yang bersemangat Adiknya, Tio Li Kun, cantik laksana sekuntum bunga mekar di pagi hari, Memiliki sikap yang berwibawa, cerdas tetapi angkuh. Diam2 Tek Cun mencemaskan adik perempuannya itu. jika Tio Li Kun tak mau berlapang dada, menerima dan memberi dalam soal asmara, dikuatirkan dia akan menderita. Tiba2 suara tertawa gelak2, menghentikan pikiran Tek Cun yang tengah melamun
itu. Ah, ternyata Hun Ho sian-tiang bersama Swat-thian Sam-yu telah menuju ke tepi telaga. "Liok-ko, mari kita kesana juga," tiba2 Gin Liong mengajak, Tek Cun mengiakan dan segera kedua pemuda itu menuju ke tepi telaga juga, Melihat itu ketiga gadis pun mengikuti pula. Rombongan Swat-thian Sam-yu beristirahat di sebuah tempat yang jauh dari hamburan air terjun. "Imam hidung kerbau," tiba2 Hong-tian-soh bertanya, "apakah engkau tak menduga bahwa orang tua pembawa kaca wasiat itu bukan salah seorang dari Thian lam Ji-gi?" Hun Ho sian-tiang gelengkan kepala pelahan sahutnya: "Kedua tokoh Thian-iam Jigi itu sudah lama menutup pintu tak mau bertemu orang. Tahun muka baru mereka menyudahi persemedhiannya" Berhenti sejenak, Hun Ho siantiang melanjutkan pula: "Ketika Siau sicu hendak memheri hormat kepadaku di tanah lapang lembah salju gunung Tiang pek-san, dari rumah pondok itu tiba2 memancar sepercik sinar dan menyusul segulung asap putih melintas di atas kepala si pengemis jahat dan Hoa hweshio, Kedua orang itu menjerit ngeri. Ketika kuburu keluar hutan. ternyata asap itu sudah lenyap." "Imam hidung kerbau," Dewa Pemabuk tak percaya, "jangan membual, Dengan ilmu meringankan tubuh Ki-hong-hui-heng-sut yang sakti itu, masakan orang tua pembawa kaca wasiat itu mampu lolos dari pengawasanmu ?" Hun Ho sian-tiang menghela napas panjang, "Ketika aku melambung ke udara, kulihat berpuluh sosok tubuh kaum persilatan yang bersembunyi disekeliling hutan itu, berhamburan lari kesegenap penjuru, Sukar bagiku untuk mengejar yang mana." Hok To Beng memandang kearah kaca wasiat di telaga dan bertanya: "Menurut pandanganmu apa maksudnya orang tua itu meletakkan kaca wasiat di tempat yang sedemikian berbahaya ?" Hun Ho sian-tiang kerutkan alis. "Rupanya orang tua itu bermaksud hendak membunuh orang yang berhati temaha,
Sejak dia muncul, entah sudah berapa banyak jiwa kaum persilatan yang binasa ditangannya." Berhenti sejenak Hun Ho sian-tiang melanjutkan pula: "Menurut dugaanku, dengan menaruh kaca wasiat di tengah telaga, dia bermaksud hendak memancing nafsu keinginan orang agar jago2 silat itu saling bunuh membunuh sendiri dan dunia persilatan berkurang jumlahnya manusia2 yang berhati temaha." "Huh, apakah itu bukan berarti hendak menciptakan suatu pembunuhan besarbesaran?" teriak Hong-tian-soh tak puas, "jika tiada kaca wasiat itu orang tentu takkan timbul nafsu temahanya." Kemudian tokoh sinting dari Swat-thian Sam-yu itu menggeram: "Lebih baik menghancurkan kaca itu agar jangan menimbulkan peristiwa berdarah!" Habis berkata ia terus menjemput sebuah batu kecil dan hendak dilontarkan. Sudah tentu Hok To Beng, Dewa Pemabuk terkejut, membentak dan mencengkeram tangan si sinting Hun Ho sian-tiang pun berkata dengan wajah serius: "janganlah Hong-toheng bertindak gegabah. Kaca wasiat itu adalah benda peninggalan seorang paderi suci pada jaman dulu. Benar2 sebuah benda pusaka dalam dunia persilatan, kegunaan kaca itu bukan melainkan hanya mencari benda2 pusaka yang tertanam dalam tanah saja..." "Kemungkinan orang tua itu bersembunyi disekeliling tempat ini!" tiba2 Hok To Beng menyelutuk. Hong-tian-soh keluarkan biji matanya dan menggentakkan tongkat bambunya ke tanah lalu berseru keras2: "Tindakanku tadi, bukankah suatu siasat untuk memancing supaya dia keluar dari tempat persembunyiannya ?" Tetapi sekeliling penjuru tenang2 saja, Tiada penyahutan, Keadaan itu memberi kesan kepada sekalian orang bahwa orang tua pemilik kaca wasiat itu memang tak berada disekeliling situ. Kalau tidak, dia pasti akan keluar untuk menemui Hongtian-soh. Akhirnya Hun Ho sian-tiang menghela napas, "Karena jelas toheng sekalian tak menginginkan kaca itu, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini agar terhindar dari kekeruhan."
Sekalian orang termenung diam, Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di telaga itu secara kebetulan, Gin Liong telah menemukan Ma Toa Kong, berjumpa dengan Swat-thian Sam-yu dan bertemu pula dengan sumoaynya Ki Yok-lan serta Hu Ho sian-tiang. Dia gembira sekali. Kini tinggal satu tujuan lagi ialah mengejar jejak Ban Hong liong-li untuk meminta keterangan siapakah sesungguhnya yang telah membunuh suhunya. Setitikpun Gin Liong tak mengandung hasrat untuk memiliki kaca wasiat itu, ia masih mempunyai lain tugas penting, Kelika ia hendak menghaturkan terima kasih kepada Hun Ho sian-tiang yang telah menolong sumoaynya, tiba2 orang tua itu menengadahkan memandang kelangit. "To-heng" katanya, hari sudah menjelang petang, mari kita pergi" Swat-thian Sam-yu mengangguk dan mengikuti langkah Hun Ho sian-tiang. Gin Liong berlima baru mengetahui bahwa Hun Ho sian-tiang mengundang Swat-thian Sam-yu ke pulau Hong-lay-to. Sambil mengurut jenggotnya yang indah, Hun Ho sian-tiang berkata kepada Ki Yok Lan: "Lan-ji, kebetulan sekali ditempat ini engkau dapat menemukan suhengmu, Lebih baik kalian pergi bersama-sama." Kemudian dengan wajah serius, tokoh itu memberi pesanan kepada Yok Lan: "Harap engkau ingat baik2 pelajaran itu dan berlatihlah dengan tekun, Kelak tentu berhasil." Dengan berlinang-linang air mata, Ki Yok Lan segera berlutut menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan orang tua sakti itu. "Bangunlah!" seru Hun Ho siantiang seraya kebutkan dengan jubahnya, Tahu2 tubuh Yok Lan terangkat berdiri. Melihat itu diam2 Gin Liong girang sekali, ia tahu bahwa sumoaynya telah diterima sebagai murid tak resmi oleh Hun Ho sian-tiang. Swat-thian Sam-yu juga memberi pesan kepada Gin Liong dan Yok Lan agar berhatihati dan waspada dalam perjalanan keselatan itu. Demikian keempat tokoh sakti itu segera berpisah dengan rombongan anak muda
dan menuju ke puncak gunung sebelah kiri. Setelah mereka lenyap dari pandang rnata, Gin Liong pun bertanya kepada Tek Cun: "Liok-ko, apakah engkau masih kuat untuk menggunakan ginkang?" Tek Cun mengatakan hendak mencobanya. Tetapi ketika berjalan, Yok Lan cepat dapat melihat bahwa pemuda itu terlalu maksa diri. "Liok-ko," seru Yok Lan," biarlah aku bersama Liong koko memapahmu berjalan, Luka